TINGKAT PEMATANGAN DAN FERTILISASI OOSIT DOMBA YANG DIMATURASI DALAM MEDIUM DENGAN SERUM ATAU KOMPONEN PENGGANTI SERUM
PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Pratiwi NIM B352110061
RINGKASAN PRATIWI. Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA Medium maturasi oosit pada produksi embrio in vitro sering ditambahkan berbagai komponen yang dapat mendukung perkembangan oosit selanjutnya. Hal ini karena medium maturasi sangat penting tidak hanya untuk proses maturasi tetapi juga untuk fertilisasi dan perkembangan embrio. Salah satu komponen yang sering ditambahkan pada media maturasi yaitu serum. Contoh serum yang sering digunakan yaitu fetal bovine serum (FBS). Fetal bovine serum digunakan sebagai sumber protein pada proses pematangan oosit dan media kultur embrio. Fetal bovine serum banyak mengandung faktor pertumbuhan, hormon, asam amino dan protein. Penambahan serum juga memiliki resiko yaitu kontaminasi yang disebabkan virus, prion dan mycoplasma. Oleh karena itu dilakukan berbagai upaya untuk menggantikan sumber protein dalam media dengan sumber protein lainnya, seperti bovine serum albumin (BSA) dan polyvinyl alcohol (PVA). Bovine serum album berfungsi untuk meningkatkan kematangan oosit dan dapat mengikat ion-ion, radikal bebas, dan steroid. Polyvinyl alcohol terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hyaluronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan kompetensi, maturasi, dan fertilisasi oosit domba dalam medium yang disuplementasi dengan serum atau komponen pengganti serum. Pada penelitian tahap 1, ovarium domba dikoleksi dan dimaturasi dalam tissue culture medium-199 (TCM-199) yang disuplementasi dalam empat kelompok yaitu FBS, BSA, makromolekul PVA dan tanpa penambahan serum sebagai kontrol. Maturasi dilakukan selama 24 jam. Tingkat maturasi oosit dievaluasi dengan cara melihat oosit yang mampu mencapai tahap metafase II (MII). Pada penelitian tahap MII oosit yang telah matang difertilisasi secara in vitro.Thawing semen beku dilakukan pada suhu 3032°C selama 30 detik. Berikutnya semen disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam media fertilisasi. Selanjutnya, dilakukan penghitungan konsentrasi serta dilakukan penambahan media fertilisasi untuk mendapatkan konsentrasi 5 x 106 spermatozoa/mL. Kemudian, oosit ditransfer ke dalam 100 μL drop media in vitro fertilization (IVF) yang mengandung spermatozoa dan diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5% temperatur 39°C. Setelah 14 jam spermatozoa dan oosit di fertilisasi, lalu oosit didenudasi, difiksasi, dan diwarnai untuk dievaluasi. Oosit dengan 2 atau lebih pronukleus (PN) diklasifikasikan sebagai oosit yang telah terfertilisasi. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada persentase oosit yang mencapai MII pada medium yang disuplementasikan dengan FBS (85.5%), BSA (78.6%), dibandingkan dengan PVA (61.1%) dan kontrol (45.0%) (P<0.05). Pada penelitian kedua menunjukkan bahwa suplementasi hasil fertilisasi yang terbaik terdapat pada medium yang disuplementasi FBS (72.5%), BSA (58.5%),berbeda dengan PVA (30.0%) dan kontrol (21.2%) (P<0.05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah media yang disuplementasikan dengan FBS dan komponen serum (BSA) lebih baik dalam
mendukung perkembangan kompetensi oosit untuk dimaturasi dan difertilisasi dibandingkan dengan PVA dan tanpa serum. Kata kunci: fertilisasi, makromolekul, maturasi, oosit, serum
SUMMARY PRATIWI. Maturation and Fertilization Rate of Sheep Oocyte Matured in Medium Supplemented Serum or Replacement Serum Components. Supervised by MOHAMAD AGUS SETIADI and NI WAYAN KURNIANI KARJA Supplemented maturation medium of oocytes for in vitro embryo production is often added with various components which able to support further development of oocytes. Hence the maturation medium is very important not only for the process of maturation, but also for fertilization and embryo development. One component which often added to maturation medium is serum. The examples of serum commonly used is fetal bovine serum (FBS). FBS is used as a source of protein in the process of oocyte maturation and embryo culture media. FBS contains many growth factors, hormones, amino acids and binding protein. The addition of serum also has the effect that the risk of contamination by viruses, prions and mycoplasm. Several attempts to substitute source of protein in medium with other protein sources, such as bovine serum albumin (BSA) and polyvinyl alcohol (PVA). BSA works to improve oocyte maturation and able to bind molecular compounds including ions, free radicals, and steroids. The compound are PVA is glycosaminoglycans, especially hyaluronic acid which able to stimulate the development embryos in vitro. The purpose of this experiment was to evaluate the development of competence, sheep oocyte maturation and fertilization in the medium which supplemented with serum or serum replacement components. In the first experiment, sheep ovaries were collected and matured in TCM-199 supplemented into four groups: FBS, BSA, PVA macromolecules and without the addition of serum as a control. The nuclear maturation status of oocytes were examined after maturation culture for 24 hours. Oocyte maturation rates was evaluated on number of oocytes reached MII. In the second experiment, we evaluated the effect supplementation of FBS, BSA, PVA macromolecules and without the addition of serum on the fertilization rate of sheep oocytes matured. First, semen was thawed at temperature of 30-32°C for 30 seconds. Sperm suspension was centrifuged at 1800 rpm for 5 minutes in a fertilization medium. After centrifugation, a portion of sperm pellet was diluted in the IVF media. The sperm concentration was adjusted to 5x106 spermatozoa/mL. COCs (10-15 oocytes) were introduced into 100 μl of the spermatozoa microdroplet, and then co-incubated for 14 h. After coincubation with spermatozoa, the oocytes were fixed for evaluation of fertilization rate. Oocytes showing two or more pronuclei were classified as fertilized oocytes The result of first experiment showed there were significant differences in the percentage of oocytes reached MII on medium supplemented with FBS (85.5%) and BSA (78.6%), compared with PVA (61.1%) and control (45.0%) (P<0.05). In the second experiment oocytes fertilization rate was better in medium suplemented
with FBS (72.5%), BSA (58.5%), compared with PVA (30.0%) and control (21.2%) (P<0.05). In conclusion, medium suplemented with FBS and serum component (BSA) could support developmental competence of oocytes to be matured and fertilized better than PVA supplementation and without serum. Keywords : fertilization, macromolecule, maturation,oocytes, serum
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DOMBA YANG DIMATURASI DALAM MEDIUM DENGAN SERUM ATAU KOMPONEN PENGGANTI SERUM
PRATIWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Drh Iman Supriatna
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Oktober 2015 ialah Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi dan Ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja MP,PhD selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, perhatian dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna selaku penguji luar komisi atas saran dan arahannya. Terimakasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf RPH (Rumah Potong Hewan Domba/Kambing) Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor, yang telah banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, ibu dan bapak mertua, serta semua keluarga besar, khususnya kepada suami tercinta Resandy Ekacandra Perdana Rohanda S.Pt, anakku tersayang Zahrayya Kamila Latisha terimakasih atas cinta, doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman program studi Biologi Reproduksi atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Pratiwi
2
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis
4 4 5 5 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Pematangan Oosit Fertilisasi Oosit Komponen dalam Media Maturasi
6 6 7 8
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Tahap I Kemampuan Pematangan Inti Oosit Koleksi Oosit dan Maturasi Oosit Evaluasi Tingkat Pematangan Inti Oosit Tahap II Fertilisasi Oosit In Vitro (IVF) Evaluasi Keberhasilan Fertilisasi Analisis Data
12 12 12 12 12 13 13 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
14 14 16
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
18 18 18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
26
3
DAFTAR TABEL 1 Tingkat maturasi inti oosit domba 2 Tingkat fertilisasi in vitro oosit domba
14 15
DAFTAR GAMBAR 1 Status inti oosit selama proses pematangan 2 Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi
14 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Komposisi media transportasi ovarium Komposis media koleksi Komposisi media dasar TCM-199 untuk maturasi oosit Komposisi media fertilisasi in vitro
24 24 24 25
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies karena setiap individu mempunyai jangka waktu kehidupan terbatas dan hanya dengan reproduksi kelangsungan spesies dapat terjaga. Pada beberapa spesies tertentu, khususnya hewan liar yang dilindungi, terdapat kendala berupa gangguan alam atau akibat campur tangan manusia yang menyebabkan terganggunya reproduksi hewan tersebut. Hal ini menyebabkan populasi hewan tersebut semakin berkurang bahkan dikhawatirkan suatu saat akan punah. Kematian hewan langka menyebabkan sumber material genetik berupa spermatozoa dan oosit tidak mudah untuk diselamatkan. Dalam upaya penyelamatan material genetik, teknologi fertilisasi in vitro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan. Teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk memproduksi embrio. Teknologi ini terdiri atas serangkaian kegiatan yang meliputi pematangan oosit (IVM), fertilisasi oosit dengan spermatozoa (IVF) dan kultur embrio (IVC) (Gordon 2003). Produksi embrio melalui fertilisasi in vitro dapat menggunakan oosit yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) maupun dari hewan hidup yang diperoleh melalui teknik ovum pick-up (OPU) dengan bantuan ultrasonografi (Ptak et al. 1999; Kochhar et al. 2002). Oosit yang berasal dari RPH dimatangkan pada medium maturasi untuk mencapai tahap metafase II (MII). Keberhasilan fertilisasi in vitro sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu komponen yang digunakan dalam media maturasi in vitro, kualitas oosit yang digunakan, serta resiko kontaminasi dan kondisi kultur (Hammam et al. 2010). Medium maturasi oosit pada produksi embrio in vitro sering ditambahkan berbagai komponen yang dapat mendukung perkembangan oosit selanjutnya. Hal ini karena medium maturasi sangat penting tidak hanya untuk proses maturasi tetapi juga untuk fertilisasi dan perkembangan embrio (Bavister et al.1992). Salah satu komponen yang sering ditambahkan pada media maturasi yaitu serum. Contoh serum yang sering digunakan yaitu fetal bovine serum (FBS) dan bovine serum albumin (BSA). Fetal bovine serum dan BSA digunakan sebagai sumber protein pada proses pematangan oosit dan media kultur embrio. Fetal bovine serum banyak mengandung faktor pertumbuhan, hormon, asam amino dan protein. Fetal bovine serum memiliki efek pada proses maturasi oosit dan memberikan nutrisi ke dalam sel-sel cumulus oocytes complexes (COC) dan mencegah pengerasan zona pelusida (Wani 2002). Pengaruh adanya FBS juga menyebabkan lepasnya chymotrypsin dari zona pelusida, dan terjadinya proses modifikasi ZP2 (reseptor sperma glycoprotein) menuju ZP2F (proses yang menghambat terjadinya polispermi) (Schroeder et al. 1990; Zhang et al. 1995). Disamping itu, FBS mempunyai manfaat lain yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan pembentukan radikal bebas dalam proses maturasi (Bavister 1995). Namun demikian, penambahan serum memiliki potensi kontaminasi yang disebabkan virus, prion dan mycoplasma. Hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan morfologi embrio, perubahan struktur dan kinetika perkembangan embrio, serta peningkatan berat badan saat lahir (Langendonckt et al. 1997; Abe et
2 al. 1999; Gardner et al. 1994; Thompson et al. 1995). Kondisi tersebut disebut kelahiran fetus yang besar (large offspring syndrome) (Young et al. 1998). Jumlah FBS diproduksi untuk pasar dunia diperkirakan sekitar 500.000 liter per tahun. Ini berarti, bahwa lebih dari 1.000.000 fetus sapi (anak sapi) harus dipanen, angka-angka ini akan terus meningkat setiap tahunnya (Jochems et al. 2002; Shah 1999). Kekhawatiran terfokus terutama pada metode pengumpulan FBS yang dapat menyebabkan penderitaan bagi hewan, khususnya untuk fetus. Secara singkat, darah fetus sapi diambil untuk produksi FBS, diperoleh dari sapi bunting yang dikirim ke rumah potong hewan. Darah janin dikumpulkan dalam kondisi aseptik. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara menusuk jarum suntik pada jantung fetus atau pada vena umbilikalis dan vena jugularis (Jochems et al. 2002). Oleh karenanya berbagai upaya dilakukan untuk menggantikan sumber protein dalam media dengan sumber protein lainnya. Sumber protein pada media kultur selain FBS adalah makromolekul, baik yang alami maupun sintetis. Makromolekul alami dari komponen serum contohnya seperti bovine serum albumin (BSA). Sedangkan makromolekul sintetis contohnya seperti polyvinyl alcohol (PVA) dan polyvinyl pyrrolidone (PVP). Bovine serum albumin dilaporkan berfungsi untuk meningkatkan kematangan oosit (Lonergan et al. 1999). Menurut Bavister (1995), BSA dapat mengikat molekul termasuk ion-ion, radikal bebas, dan steroid. Hal ini dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi, menstabilkan pH dan tekanan osmolaritas. Sedangkan PVA memiliki aktivitas surfaktan yang sama dengan BSA. Polivynil alcohol memiliki pengaruh yang lebih besar dari PVP karena bahan aktif permukaannya yang sifatnya lebih besar (Ali dan Sirard 2002; Lee et al. 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa di dalam PVA terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hyaluronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio sapi secara in vitro (Mingoti et al. 2001; Shirazi et al. 2012). Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pematangan dan fertilisasi oosit domba yang dimatangkan pada medium yang disuplementasi dengan serum dan bahan pengganti serum. Kerangka Pemikiran Kematian hewan langka menyebabkan sumber material genetik berupa spermatozoa dan oosit tidak mudah untuk diselamatkan. Dalam upaya penyelamatan material genetik, teknologi fertilisasi in vitro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan. Teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk memproduksi embrio. Keberhasilan fertilisasi in vitro sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu komponen yang digunakan dalam media maturasi in vitro, kualitas oosit yang digunakan, serta resiko kontaminasi dan kondisi kultur. Serum digunakan sebagai bahan suplementasi dalam media kultur, karena serum memiliki komponen esensial seperti protein, hormon, mineral, lipid yang diperlukan untuk maturasi, fertilisasi maupun perkembangan embrio. Namun serum juga berpotensi membawa kontaminasi virus dan bakteri. Oleh karena itu diperlukan bahan pengganti jenis serum yang memiliki kualitas yang sama. Oleh karena itu penambahan BSA dan PVA sebagai pengganti serum diharapkan mampu menghasilkan kualitas oosit yang sama dengan media yang ditambahkan serum dan mampu mendukung kemampuan perkembangan oosit.
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat pematangan dan fertilisasi oosit domba yang dimatangkan pada medium yang disuplementasi dengan serum dan bahan pengganti serum. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar untuk penggunaan komponen pengganti serum dalam produksi embrio in vitro dan mendapatkan formulasi medium maturasi dengan bahan yang disuplementasi serum dan bahan pengganti serum terhadap kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik. Hipotesis Media maturasi yang ditambahkan serum dan bahan pengganti serum mampu menghasilkan kualitas oosit yang sama dan mampu mendukung kemampuan perkembangan oosit.
2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Pematangan Oosit Proses pertumbuhan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum (CL) sangat dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hypothalamus berfungsi menstimulasi pengeluaran folicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respons terhadap estrogen atau progesteron. Ketika proses pertumbuhan folikel (recruitment) berlangsung, mRNA meningkat. Pada saat seleksi morfologis, folikel dominan mengandung estrogen dengan konsentrasi tinggi dalam cairan folikel dan segera setelah proses seleksi berakhir, maka folikel dominan banyak mengandung mRNA untuk reseptor gonadotrophin dan hormon steroid (Fortune et al. 2001). Perkembangan folikel pada domba ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresia (Gordon 2003). Satu siklus estrus terdiri dari fase folikuler dan fase luteal. Fase folikuler ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang berlangsung selama 3-4 hari. Pada domba, sebanyak 1 atau 2 folikel besar menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainnya (Hafez dan Hafez, 2000). Pada fase folikuler, prostaglandin dihasilkan oleh endometrium, sehingga CL lisis dan hormon progesteron (P4) menurun, turunnya P4 menyebabkan kontrol umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior tidak ada, sehingga hipotalamus mensekresikan GnRH dan hipofisa anterior mensekresikan FSH dan LH, tingginya sekresi FSH dan LH merangsang pertumbuhan folikel yang berdampak meningkatnya hormon estrogen yang diproduksi oleh folikel. Folikel terus berkembang menjadi folikel antrum dan preovulasi sehingga
4 estradiol mencapai level tertinggi dan menyebabkan kontrol umpan balik positif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga level FSH dan LH mencapai puncaknya dan menyebabkan folikel preovulasi pecah dan terjadinya pelepasan oosit dari ovarium ke saluran alat reproduksi betina yang disebut ovulasi (Gordon 2003). Selama pematangan oosit, terdapat perubahan konfigurasi struktur kromatin. Perubahan konfigurasi kromatin ini dihubungkan dengan tingginya level sintesis RNA dan diikuti oleh kondensasi kromatin yang menandakan aktifnya proses transkripsi RNA (Lodde et al. 2008). Selama maturasi oosit, struktur kromatin dalam oosit yang belum matang (immature) berupa membran nuklear utuh/germinal vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk germinal vesicle breakdown (GVBD). Setelah tahap GVBD, berikutnya oosit akan masuk ke dalam tahap MI. Pada oosit domba, tahapan ini dicapai 12 sampai 14 jam setelah inkubasi dan diikuti oleh tahapan anaphase (A) dan telophase (T) yang berlangsung singkat. Lebih lanjut oosit akan mencapai tahapan MII, yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub I. Ekstruksi badan kutub I merupakan indikasi dari proses meiosis dan keberhasilan dalam tahapan MII (Gordon 2003). Sel kumulus sangat berperan dalam maturasi oosit mempengaruhi kelanjutan meiosis dan maturasi sitoplasma. Fungsi ini berkaitan dengan adanya gap junction dan kemampuan metabolisme. Gap junction berperan dalam transfer nutrien dan faktor penting dalam perkembangan oosit (Lv et al. 2010). Tanpa adanya gap junctions oosit tumbuh sangat kecil dan setelah beberapa hari dalam kultur akan mengalami nekrosis karena secara normal oosit tergantung pada sel-sel granulosa untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Gondolfi et al. 2005). Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan struktur di dalam sitoplasma. Pematangan sitoplasma ditandai dengan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon 2003). Beberapa perubahan akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma diantaranya terjadi migrasi kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan lipid droplet yang akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan keberadaan reticulum endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks, pembentukan pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002). Fertilisasi Oosit Fertilisasi adalah proses yang berhubungan antara dua sel gamet haploid, spermatozoa dan oosit untuk menghasilkan individu baru. Untuk keberhasilan fertilisasi, spermatozoa harus menjalani serangkaian perubahan fisiologis, yang disebut kapasitasi, selama di dalam saluran reproduksi betina (Tienthai et al. 2004). Kapasitasi dan reaksi akrosom adalah proses penting dalam pematangan sperma, sebelum terjadinya pembuahan (Lane et al. 1999). Kapasitasi melibatkan banyak perubahan biokimia, perubahan komposisi membran lipid, peningkatan permeabilitas untuk ion seperti Ca2+, perubahan pH internal, peningkatan fluiditas
5 membran plasma, dan penurunan rasio phosphorilasi protein (Yanagimachi et al. 1994). Oosit yang dapat terfertilisasi adalah oosit yang telah memasuki tahap MII, pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti maupun sitoplasma. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996). Komponen dalam Media Maturasi Media Basal Hampir setiap sel memiliki perbedaan terhadap media yang digunakan. Karena setiap jenis sel memiliki reseptor yang berbeda yang terlibat di dalam kelangsungan hidup sel, pertumbuhan sel dan diferensiasi sel. Mengembangkan dan menggunakan media basal dengan serum dinilai bekerja dengan baik, dan tingkat keberhasilan tinggi. Formulasi media ini menggabungkan kandungan asam amino yang tinggi. Selain itu, media basal harus mengandung insulin, transferin dan selenium. Transferin juga merupakan protein penting dalam medium kultur dimana tindakan utama adalah untuk mentransfer zat besi ke dalam sel (Bjare 1992). Selenium merupakan elemen penting di selenoproteins yang melindungi sel-sel dari proses oksidatif (Helmy et al. 2000). Meskipun beberapa jenis sel dapat dipertahankan dalam medium basal (Bettger dan McKeehan, 1986; Butler dan Jenkins, 1989), sebagian besar sel membutuhkan suplemen tambahan untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Komponen yang paling umum yang disediakan didalam media basal adalah sebagai berikut. Hormon Semua hormon adalah konstituen fisiologis dalam sirkulasi darah dan juga hadir dalam serum dalam jumlah yang bervariasi (Lindt dan Gstraunthaler, 2008; Price dan Gregory, 1982). Hormon insulin telah terbukti wajib dalam semua formulasi dalam media. Hormon lain yang paling banyak digunakan dalam kultur sel adalah glukokortikoid (Deksametason dan hidrokortison), tryodothyronine (T3), dan hormon yang khusus bertindak dengan meningkatkan intraseluler tingkat cAMP. Faktor Pertumbuhan (Growth Factor) Faktor pertumbuhan (growth factor) umumnya ditambahkan ke dalam media basal untuk meningkatkan proliferasi sel dan merangsang fungsi sel tertentu Faktor pertumbuhan dan suplemen lainnya ditambahkan dalam bentuk bovine serum yaitu fetal bovine serum (FBS). Kebanyakan faktor pertumbuhan sangat spesifik untuk jenis sel tertentu. Penggunaan growth factor memiliki efek positif pada beberapa jenis sel yang berbeda. Growth factor berpengaruh pada faktor pertumbuhan fibroblast dan memiliki efek positif pada fenotip kondrosit (Mandl et al. 2004).
6 Protease inhibitor Protease inhibitor yang diberikan dalam penambahan FBS adalah α1antitrypsin dan α2-macroglobulin (Gstraunthaler, 2003). Protease inhibitor mengakhiri proses trypsinization dengan menghambat peptidases lisosom yang dilepaskan pada pergantian sel. Protease inhibitor memiliki efek perlindungan pada sel. Protein Protein adalah zat pembawa komponen dengan berat molekul rendah dan dapat memfasilitasi adhesi sel (Taub 1990). Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai pembawa lipid. Namun, BSA berasal dari hewan (Taub, 1990). Saat ini, protein rekombinan termasuk albumin, yang tersedia untuk komponen sel (Keenan et al. 2006). Vitamin Vitamin yang disediakan oleh media basal sedikitnya tujuh vitamin yang ditemukan untuk pertumbuhan sel dan proliferasi: kolin, asam folat, nicotinamide, pantothenate, piridoksin, riboflavin, dan tiamin (Bjare, 1992 ; Taub, 1990). B-vitamin diperlukan untuk biokimia sel. Asam amino Terdapat 20 asam amino esensial yang terdapat pada FBS yang diperlukan untuk kultur sel yaitu alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003) Glutamin Glutamin merupakan prekursor penting untuk sintesis protein dan ribonukleotida. Hal ini juga berpengaruh terhadap penggunaan glukosa dalam sel. Namun, glutamin juga memiliki kekurangan yaitu tidak stabil dalam larutan dan hasil metabolisme dari glutamine adalah akumulasi amonia, yang merupakan racun bagi sel-sel, karena tidak diserap oleh protein serum di dalam media. Untuk mengatasi kelemahan glutamin, alternatif yang digunakan dalam media kultur diganti dengan glutamat yang dapat menggantikan glutamin dalam kultur sel (Schneider et al. 1996) Lipid Lipid berfungsi sebagai cadangan energi, sebagai konstituen struktural membran sel, transportasi sel dan sebagai sistem sinyal pada sel. Lipid yang tersedia di dalam media basal. Namun, asam lemak esensial direkomendasikan sebagai suplemen. Suplemen yang larut dalam air yang tersedia secara komersial seperti serum albumin sebagai pembawa asam lemak dan lipid (Keenan et al. 2006).
7 Serum dan Komponen Pengganti Serum Untuk mencapai eksperimental reproduktifitas yang baik, komposisi media di dalam kultur sel sangat penting. Kondisi media yang dibuat meniru kondisi secara in vivo yang berhubungan dengan suhu, pH, osmolaritas, dan supply oksigen (Davis 2002; Masters 2000). Media juga harus mengandung nutrisi yang bertujuan menjaga sel tetap hidup untuk waktu yang cukup lama. Media harus dilengkapi dengan beberapa faktor untuk mengevaluasi proliferasi sel, migrasi sel dan diferensiasi sel. Contohnya media yang dilengkapi dengan serum. Serum merupakan bagian plasma darah tanpa fibrinogen atau faktor-faktor penggumpalan lain. Serum digunakan sebagai suplementasi dalam medium maturasi in vitro karena mengandung faktor pertumbuhan, hormon, dan peptida yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan oosit (Wani 2002). Menurut Gordon (2003) serum yang digunakan dalam medium maturasi in vitro, yaitu bovine serum, fetal calf serum (FCS), steer serum (SS), dan estrus goat serum (EGS). Bovine serum dalam bentuk FBS dan BSA yang paling sering digunakan dalam medium maturasi sebagai sumber protein utama dalam maturasi in vitro (Gordon, 2003). Efektivitas dari bovine serum pada maturasi in vitro sangat bervariasi, hal ini karena refleksi dari perbedaan dalam komposisi dari proses yang digunakan. Variabilitas yang sama mungkin terjadi dengan hormon, faktor pertumbuhan, sitokin, vitamin dan banyak konstituen lain pada bovine serum. Dalam menggunakan Oestrous Cow Serum (OCS) yang diperoleh dari siklus oestrous ternak diasumsikan bahwa konsentrasi hormon (steroid, gonadotropin) berbeda, tingkat estradiol dapat meningkatkan tiga kali lipat dari nilai basal dari 5 pg ml ke nilai puncak 15 pg ml pada hari berahi. Konsentrasi puncak LH juga terjadi ketika estradiol pada tingkat tertinggi. Perubahan konsentrasi hormon menjelaskan mengapa OCS berbeda komponen dan efektivitas dari serum lainnya (Gordon, 2003). Perlakuan pemanasan pada bovine serum dilakukan sebelum digunakan dalam IVM. Pemanasan biasanya mengekspos serum pada suhu 56-60°C selama 30 menit, hal ini bertujuan menonaktifkan imunoglobulin yang terdapat dalam serum. Pada proses alami secara in vivo proses pematangan oosit dilakukan tanpa imunoglobulin dan komplemen yang sama berlaku pada sapi. Pada Oestrous Cow Serum (OCS) pengaruh perlakuan pemanasan berpengaruh pada kadar steroid dan gonadotropin yaitu kadar FSH dan LH menurun, sedangkan tingkat estradiol dan progesteron tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dalam konsentrasi (Isachenko et al. 1994). Fetal Bovine Serum (FBS) Fetal bovine serum (FBS) adalah suplemen medium IVM yang berasal dari darah fetus sapi yang dibekukan dan dikoleksi secara aseptik. Fetal bovine serum (FBS) berisi komponen- komponen kompleks, seperti pertumbuhan faktor, protein, vitamin, hormon, yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan sel. Fetal bovine serum digunakan untuk merangsang pertumbuhan dalam jumlah yang besar dari kultur jaringan sel. Konsentrasi serum dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan sel. Untuk pertumbuhan sel yang terbaik digunakan konsentrasi berkisar dari 5 sampai 10% (Mc Dowall et al. 2004). Fetal bovine serum banyak mengandung faktor pertumbuhan, hormon, asam amino dan protein.
8 Fetal bovine serum mengandung asam amino essential yang lengkap seperti alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003). Fetal bovine serum juga mengandung albumin, hemoglobin, kolesterol, fatty acid, phospholipids, glukosa, insulin, kortison, vitamin, dan mineral (Price dan Gregory, 1982). Fetal bovine serum memiliki efek pada proses maturasi oosit dan memberikan nutrisi ke dalam sel-sel cumulus oocytes complexes (COC) dan mencegah pengerasan zona pellusida (Wani 2002). Pengaruh adanya FBS juga menyebabkan lepasnya chymotrypsin dari zona pelusida, dan terjadinya proses modifikasi ZP2 (reseptor sperma glycoprotein) menuju ZP2F (proses yang menghambat terjadinya polispermi) (Schroeder et al. 1990; Zhang et al. 1995). Disamping itu, FBS mempunyai manfaat lain yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan pembentukan radikal bebas dalam proses maturasi (Bavister 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa FBS memberikan hasil yang baik sebagai suplemen protein dalam medium maturasi in vitro dan mampu mendukung follicle stimulating hormone (FSH) yang ditunjukkan oleh viabilitas dan ekspansi sel-sel kumulus (Gordon, 2003). Bovine Serum Albumin (BSA) Albumin adalah protein utama dalam serum, dengan persentase sebesar (50 sampai 60%) dalam darah sapi. Bovine serum albumin memiliki peran fisiologis, berfungsi sebagai penstabil pH, mengatur regulasi tekanan osmotik, menstabilisasi membran, mengandung asam amino, vitamin,asam lemak, hormon, faktor pertumbuhan, dan bersifat surfaktan (Blake et al. 2002). Albumin merupakan makromolekul yang paling banyak terdapat saluran reproduksi betina (Leese 1988). Albumin berperan sebagai rantai polipeptida glikosilasi non tunggal. Albumin memiliki pemukaan sel yang luas dan bersifat mengikat. Berfungsi sebagai pengikat berbagai molekul seperti air, garam, asam lemak bebas, vitamin, dan hormon. Albumin berperan sebagai transportasi zat-zat nutrisi antar molekulmolekul (Blake et al. 2002). Albumin bersama dengan globulin berperan penting sebagai pembawa molekul lemak atau mineral dan secara luas digunakan dalam media tanpa serum (Ali dan Sirard 2002). Bovine serum albumin umumnya ditambahkan ke dalam media kultur sebagai sumber energi dan protein untuk proses metabolik. Penambahan BSA tersebut mampu mencukupi komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekulmolekul kecil (Wrenzycki et al. 2001). Lebih lanjut menurut Francis (2010) albumin berfungsi untuk mempertahankan pH, molekul pembawa dengan berikatan dengan ligand (lemak, ion logam, asam amino), dan sebagai antioksidan. Selain itu, molekul albumin mampu berinteraksi dengan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel. Polyvinyl Alcohol (PVA) Polyvinyl alcohol adalah gabungan dari molekul-molekul (polimerisasi) yang diperoleh dari hidrolisis polimervinil ester dengan menggunakan material
9 awal polyvinyl asetat. Polyvinyl alcohol adalah salah satu dari beberapa polimer sintetik yang biodegradable (Kroschwitz, 1998). Polyvinyl alcohol memiliki aktivitas surfaktan seperti albumin. Pada PVA terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hialuronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio sapi secara in vitro (Mingoti et al. 2001; Shirazi et al. 2012). Glycosaminoglycans (GAG) termasuk heparin, heparan sulfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, asam hialuronat dan keratan sulfat. Glycosaminoglycans (GAG) efektif pada proses kapasitasi di dalam proses fertilisasi in vitro, hal ini berhubungan dengan adesi sperma dari sel epitel (Gualtieri dan Talevi, 2000)
3 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Agustus 2014 sampai Oktober 2015. Metode Penelitian Tahap I. Kemampuan Pematangan Inti Oosit Koleksi Oosit dan Maturasi Oosit Ovarium domba dikumpulkan dari Rumah Potong Hewan dan dibawa ke laboratorium dalam larutan NaCl fisiologis (0.9%) suhu 35-37ºC yang ditambahkan 100 IU/mL penicillin (Sigma-Aldrich. Inc, St. Louis, MO,USA) dan 0.1 mg/mL streptomycin (Sigma-Aldrich). Setelah sampai di laboratorium, ovarium dicacah (slicing) untuk mengeluarkan oosit di dalam cawan petri yang berisi m-PBS ditambah dengan 10% Fetal Bovine Serum (Sigma-Aldrich.USA), 100 IU/mL, penicillin dan 0.1 mg/L streptomycin. Oosit yang digunakan dalam penelitian adalah oosit dengan sel kumulus yang kompak dikelilingi >3 lapis sel kumulus dan sitoplasma homogen kemudian dicuci sebanyak 2 kali pada medium maturasi untuk selanjutnya dimaturasi secara in vitro. Oosit hasil koleksi dimaturasi dalam media maturasi. Medium maturasi terdiri dari tissue culture medium-199 (TCM-199,Gibco, USA) yang disuplementasi dengan 10 IU/mL pregnant mare serum gonadothropine (PMSG) (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 10 IU/mL human chorionic gonadotropin (hCG) (Kyoritsu Seiyaku, Japan), 50 µg/mL gentamycin (Sigma, USA) yang ditambah dengan 10% Fetal Bovine Serum (FBS) (Kelompok 2), 3 mg/mL BSA (Kelompok 3), dan 3 mg/mL PVA (Kelompok 4). Sebagai kelompok kontrol, oosit dimaturasi dalam medium maturasi tanpa penambahan serum (Kelompok 1). Maturasi oosit dilakukan dalam bentuk drop 100 µL yang berisi 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA) dalam inkubator 5% CO2 temperatur 39°C selama 24 jam.
10 Evaluasi Tingkat Pematangan Inti Oosit Oosit yang telah dimaturasi dicuci dan dihilangkan semua bagian sel cumulusnya dengan bantuan 0.25% enzim hyaluronidase dengan cara dipipet berulang-ulang. Kemudian oosit diletakkan pada drop 0.7% KCl diatas gelas objek, lalu difiksir dengan cara ditutup dengan cover glass yang memiliki bantalan paraffin dan vaselin (1:9) pada kedua sisinya. Preparat tersebut dimasukkan dalam larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan etanol (1:3) selama 48-72jam. Oosit diwarnai dengan pewarna 2% aceto-orcein selama ±5 menit. Kemudian zat pewarna dibersihkan dengan 25% asam asetat dan keempat sisi cover glass diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan mikroskop fase kontras (Olympus IX 70, Japan). Status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle break down (GVBD), metafase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metafase II (MII). Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matang jika telah berada pada tahap MII. Tingkat maturasi oosit adalah perbandingan antara jumlah oosit yang mencapai tahap MII dengan jumlah seluruh oosit yang dimaturasi. Tahap II. Kemampuan Fertilisasi In vitro (FIV) Pada tahap ini oosit dimaturasi seperti pada tahapan I. Oosit yang sudah melalui proses maturasi kemudian difertilisasi dengan semen beku domba yang berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan straw dalam air bersuhu 30-32°C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam medium fertilisasi. Setelah sentrifugasi, bagian supernatan dibuang dan sisa spermatozoa sekitar 200 µL sebagai endapannya, dan dilakukan pengenceran menggunakan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi akhir 5x106 spermatozoa/mL. Spermatozoa yang telah disiapkan dibuat dalam bentuk drop pada petridish (Nunclon, Denmark) masing-masing sebanyak 100 µL untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA). Masing-masing kelompok oosit (kontrol, FBS, BSA dan PVA) yang telah dimaturasi dicuci sebanyak 2 kali dalam medium fertilisasi dan kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa untuk proses fertilisasi. Inkubasi oosit dengan spermatozoa dilakukan selama 14 jam pada inkubator 5% CO2 temperatur 39°C.
Evaluasi Keberhasilan Fertilisasi Oosit yang telah difertilisasi kemudian difiksasi dan diwarnai seperti pada metode evaluasi pematangan inti oosit. Tingkat fertilisasi diamati dengan melihat pembentukan pronukleus (PN). Oosit yang telah mengalami fertilisasi normal ditandai dengan terbentuknya 2 pronukleus (jantan dan betina) dalam sitoplasma oosit. Sedangkan oosit yang mempunyai lebih dari dua pronukleus dikategorikan sebagai polispermi. Total oosit yang terfertilisasi adalah oosit yang mempunyai dua pronukleus atau lebih. Analisis Data Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data berupa tingkat maturasi dan tingkat fertilisasi disajikan dalam persentase±standar deviasi.
11 Data diuji secara statistik menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada taraf nyata 95%. Terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Tingkat maturasi oosit domba setelah penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum Tahapan maturasi inti diamati mulai status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), metafase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metafase II (MII). Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matang jika telah berada pada tahap MII dan siap untuk difertilisasi. Perubahan status inti oosit domba yang telah di maturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum dapat dilihat pada gambar 1.
A
B
20 µm
20 µm
C
D
20 µm
20 µm
12 Gambar 1. Status inti oosit selama proses pematangan in vitro (A) Oosit pada tahapan GV (Germinal Vesicle); (B) Oosit pada tahapan MI; (C) Oosit pada tahapan AI/TI; (D) Oosit pada tahapan metafase II (MII) ; Pembesaran 200 kali. Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat maturasi inti oosit domba setelah dimaturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum menunjukkan bahwa penambahan FBS dalam media maturasi mendukung perkembangan oosit mencapai tahap MII (85.5%), sedangkan kelompok BSA (78.6%), paling tinggi jika dibandingkan dengan oosit yang dimaturasi dalam media dengan atau PVA (61.1%) (P< 0.05). Sedangkan hanya 45.07% oosit yang mencapai tahap MII pada kelompok oosit yang dimaturasi tanpa penambahan serum pada kelompok kontrol (Tabel 1). Tabel 1 Tingkat Maturasi inti oosit domba n (% status inti oosit) Jumlah Kelompok oosit GV MI A/TI MII DEG a a a c 71 10 (15.0) 29 (40.3) 0 (0.0) 32 (45.0) 0.00 Kontrol 76 0 ( 0.0)b 9 (11.2)c 0 (0.0)a 65 (85.5)a 0.00 FBS b bc a a 75 2 ( 2.8) 14 (19.0) 0 (0.0) 59 (78.6) 0.00 BSA ab ab a b 72 5 (10.1) 20 (27.1) 2 (2.7) 44 (61.1) 0.00 PVA a,b,c Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05); FBS: fetal bovine serum;BSA: bovine serum slbumin;PVA: polyvinyl alcohol.GV: Germinal vesicle; M-I: Metafase I; A/T: Anafase/Telofase; M-II: Metafase II; DEG : Degenerasi.
Tingkat fertilisasi oosit domba setelah penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum Oosit domba yang terfertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua atau lebih pronukleus (PN) seperti pada gambar 2.
A
20 µm
B
20 µm
13 Gambar 2. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi. A. Oosit dengan 2 pronukleus (2 PN), B. Oosit dengan lebih 2 pronukleus (>2 PN), tanda panah menunjukkan pronukleus. Perbesaran 200x
Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat fertilisasi oosit domba setelah dimaturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum menunjukkan oosit yang terfertilisasi normal (membentuk 2 PN) pada kelompok FBS sebesar 72.5%, BSA sebesar 58.5%, PVA sebesar 30.0%, dan kontrol sebesar 21.2% (Tabel 2). Tabel 2 Tingkat fertilisasi in vitro oosit domba Jumlah Tingkat Kelompok oosit yang Fertilisasi difertilisasi n (%) Kontrol 58 17 (27.6)b FBS 66 55 (81.7)a BSA 52 38 (74.4)a PVA 54 20 (38.1)b
Pembentukan pronukleus (n) (Total PN %) 2 PN >2PN b 12 (21.2) 5 ( 7.1)a a 47 (72.5) 8 (11.2)a 31 (58.5)a 7 (16.0)a 15 (30.0)b 5 ( 8.7)a
a,b,
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata P<0.05. FBS: Fetal bovine serum;BSA: Bovine serum albumin;PVA: Polyvinyl alcohol.2PN: 2 pronukleus; >2PN: lebih dari 2 Pronukleus: Tingkat fertilisasi : jumlah oosit yang dapat membentuk 2 atau lebih PN dari keseluruhan oosit yang difertilisasi.
PEMBAHASAN Tingkat maturasi inti oosit Pematangan inti oosit domba sangat dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan. Pada penelitian ini oosit domba yang digunakan dipilih dengan menilai secara morfologi berdasarkan homogenitas sitoplasma dan sel kumulus yang kompak serta lapisan kumulus yang minimal terdiri dari tiga lapis. Sehingga oosit yang digunakan diasumsikan seragam dan mempunyai kompetensi perkembangan yang sama. Pematangan oosit juga dipengaruhi oleh komponen yang digunakan di dalam media maturasi (Hammam et al. 2010). Penggunaan serum selama proses fertilisasi dan maturasi in vitro sangat diperlukan karena adanya beberapa komponen seperti hormon, katekolamin, vitamin, lipid, protein dan faktor pertumbuhan yang efektif pada proses meiosis dan pematangan sitoplasma pada oosit (Saeki et al. 1991 & Shirazi et al. 2010). Pematangan oosit dilakukan dengan menggunakan serum dan bahan komponen pengganti serum. Data pada tingkat maturasi menunjukkan bahwa penambahan FBS mampu mendukung lebih baik jumlah oosit yang mencapai tahap MII dibandingkan dengan kelompok lainnya yaitu 85.5%. Hal ini diduga karena FBS yang tidak hanya mengandung berbagai sumber energi tetapi juga mengandung hormon, cytokine dan vitamin serta faktor pertumbuhan yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio in vitro (Rizos et al. 2001; Choi et al. 2002; Gordon 2003). Di samping itu, FBS mempunyai manfaat lain yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan pembentukan radikal bebas dalam proses maturasi (Bavister 1995). Fetal bovine serum juga kaya akan kandungan asam amino yang
14 lengkap seperti alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003). Data hasil penelitian lain yang dilakukan pada kerbau (Puri et al. 2015), kucing (Karja et al. 2002), babi (Kim et al. 2007) dan sapi (Landim Alvarenga et al. 2002), menunjukkan bahwa penggunaan FBS dapat meningkatkan perkembangan oosit hingga mencapai tahap MII. Kemampuan oosit berkembang hingga mencapai tahap MII merupakan salah satu faktor penting untuk kompetensi perkembangan oosit selanjutnya. Proses maturasi membutuhkan sintesis protein secara aktif (Tatemoto dan Horiuchi 1995; Tatemoto dan Terada, 1995), protein sangat diperlukan untuk mendorong terbentuknya proses GVBD yang disintesis di dalam oosit, dan proses sintesis protein secara terus menerus berlangsung hingga oosit mencapai tahap MII (Liu et al.1998). Sementara itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan media dengan BSA memperlihatkan persentase tingkat pematangan oosit yang tidak berbeda nyata dengan penambahan serum meskipun memiliki angka yang sedikit lebih rendah (78.66%). Hal ini menunjukkan BSA mampu menggantikan fungsi FBS walau kandungan BSA tidak sekompleks FBS. Dilaporkan bahwa BSA mengandung berbagai macam protein seperti : leucin, lysin, glutamat, alanin, aspartat, valin, cystein, threonin, prolin, serin, phenylalanin, arginin, glutamin, tyrosin, histidin, glycin, asparagin, isoleucin, methionin, tryptophan (Hilger et al. 2001). Selain itu, BSA juga mempunyai fungsi yaitu sebagai penstabil pH, mengatur regulasi tekanan osmotik, menstabilisasi membran, mengandung asam amino, vitamin, asam lemak, hormon, faktor pertumbuhan, dan bersifat surfaktan (Blake et al. 2002). Berbeda dengan kedua hasil tersebut diatas (penambahan FBS dan BSA), persentase oosit yang mencapai tahap MII pada media yang disuplementasi dengan PVA hanya mencapai 61% (P<0.05) yang secara statistik signifikan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kedua serum tersebut diatas, meskipun PVA memberikan hasil yang lebih baik dari kontrol. Rendahnya tingkat maturasi pada medium yang disuplementasi dengan PVA diduga terkait dengan perubahan metabolisme dan besarnya kebutuhan akan kandungan asam amino untuk proses sintesis protein pada oosit yang tidak dimiliki PVA secara kompleks sehingga kurang mendukung proses maturasi (Orsi dan Leese 2004). Tingkat Fertilisasi Oosit Hasil penelitian menunjukkan fertilisasi oosit yang dimaturasi dengan menggunakan serum dan bahan komponen pengganti serum, FBS sebesar 72.5%, BSA sebesar 58.5%, PVA sebesar 30.0%, dan kontrol sebesar 21.2%. FBS dan BSA menghasilkan tingkat fertilisasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok PVA dan Kontrol. Keadaan ini membuktikan suplementasi media dengan serum atau komponennya (BSA) mampu mendukung kompetensi oosit tidak saja untuk mencapai pematangan inti tetapi juga kompetensi untuk dibuahi oleh spermatozoa. Keadaan ini diduga karena serum dan BSA mengandung berbagai komponen seperti berbagai sumber energi, hormon, cytokine dan vitamin
15 serta faktor pertumbuhan yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio in vitro (Rizos et al. 2001; Choi et al. 2002; Gordon 2003), yang diduga berperanan penting untuk proses fertilisasi. Serum dan BSA umumnya ditambahkan ke dalam media kultur sebagai sumber energi dan protein untuk proses metabolik. Penambahan serum dan BSA tersebut mampu mencukupi komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-molekul kecil (Wrenzycki et al. 2001). Sementara itu rendahnya tingkat fertilisasi pada kelompok PVA dan kelompok yang tidak diberikan serum (kontrol), diduga berkaitan dengan rendahnya angka maturasi dari kedua kelompok tersebut karena kurang atau tidak memiliki unsur-unsur seperti yang dimiliki serum, sehingga tidak mampu mendukung kompetensi oosit baik untuk dimaturasi maupun untuk difertilisasi. Lebih lanjut juga diduga rendahnya tingkat fertilisasi pada medium yang di suplementasi dengan PVA atau tanpa penambahan serum mengakibatkan perbedaan metabolisme protein yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi oosit (Orsi dan Leese 2004). Hal ini menunjukkan bahwa oosit memerlukan sumber protein dan asam amino untuk perkembangannya. Diketahui juga bahwa sintesis protein diperlukan untuk dekondensasi kepala sperma dan pembentukan pronukleus jantan (Liu et al. 1998). Secara in vivo, selama masa perkembangan oosit hingga mencapai embrio akan terpaparkan pada lingkungan dengan level asam amino yang tinggi dalam oviduk dan uterus (Elhassan et al. 2001). Asam amino tertentu pada membran oosit dan embrio, berperan sebagai molekul pembawa asam amino lain melalui membran untuk memenuhi kebutuhan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein (Van Winkle 2001). Secara spesifik, berbagai asam amino dibutuhkan sebagai substrat untuk sintesis nukleotida (glutamina, aspartat, glisina), GSH (asam glutamat, sisteina, glisina), glikoprotein, asam hyaluronic, dan molekul signal (arginina). Asam amino tersebut juga berperan penting dalam pengaturan pH dan osmolaritas, pengkelat logam berat (glisina) dan donor gugus metil (metionina) (Dumollarad et al. 2007; Sturmey et al. 2008).
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan FBS dan BSA mampu mendukung tingkat maturasi dan tingkat fertilisasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok PVA dan Kontrol.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut hingga tahap kultur embrio untuk melihat pengaruh penambahan serum atau komponennya (BSA), dan makromolekul PVA pada tahap lebih lanjut.
16
17
DAFTAR PUSTAKA Abe H, Yamashita S, Itoh T, Satoh T, Hoshi H. 1999. Ultrastructure of bovine embryos developed from in vitro matured and fertilized oocytes: comparative morphological evaluation of embryos cultured either in serum free medium or in serum supplemented medium. Mol Reprod Dev. 53:325335. Ali A, Sirard MA. 2002. Effect of the absence or presence of various protein supplements on further development of bovine oocytes during in vitro maturation. Biol Reprod. 66:901-905. Bavister BD, Rose-Hellekant TA, Pinyopummintr T. 1992. Development of in vitro matured in vitro fertilized bovine embryos into morulae and blastocysts in defined culture media. Theriogenology. 37:124-46. Bavister BD. 1995. Culture of preimplantation embryos: facts and artifacts. Hum Reprod Update. 1:1481-1491. Bjare U. 1992. Serum-free cell culture. Pharmacology and Therapeutics. 53:355– 374. Blake D, Svalander P, Jin M, Silversand C, Hamberger L.2002. Protein supplementation of human IVF culture media. J Assist Repord Genet. 19:310. Butler M, Jenkins H. 1989. Nutritional aspects of the growth of animal-cells in culture. Jour of Biotech. 12:97–110 Choi YH, Lee BC, Lim JM, Kang SK, Hwang WS. 2002. Optimization of culture medium for cloned bovine embryos and its influence on pregnancy and delivery outcome. Theriogenology. 58:1187-1197. Cleine JH. 1996. Fertilization: Theory. In: Bras M, Lens JW, Piederiet MH, Rijnders PM, Verveld M, Zeilmaker GH. IVF Lab. NV Organon 127-145. Davis JM. 2002. Basic Cell Culture. A Practical Approach. 2nd Ed. Oxford University Press. Ducibella T. 2002. Egg-to-embryo transition is driven by differentian responses to Ca2+ oscillation number. Dev Biol. 250:280-291. Dumollard R, Duchen R, Carrol J. 2007. The role of mitochondrial function in the oocyte and embryo. Dev Biol. 77:21-49. Elhassan YM, Wu AC, Leanez RJ, Tasca AJ, Watson R, Westhusin ME. 2001. Amino acid concentrations in fluids from the bovine oviduct and uterus and in ksom-based culture media. Theriogenology.55:1907-1918. Fallon MN, Rammell CG, Hoogenboom JL.1988. Amino acids in bovine sera. New Zea Vet Jour. 36:96-98. Fortune JE, Rivera GM, Evans ACO, Turzillo AM. 2001. Differentiation of dominant versus subordinate follicles in cattle. Biol Reprod. 65:648-654. Francis GL. 2010. Albumin and mammalian cell culture: implications for biotechnology applications. Cytotechnology.62:1-26. Gandolfi F, Brevini T.A.L, Cillo F, Antonini, S. 2005. Cellular and molecular mechanisms regulating oocyte quality and the relevance for farm animal reproductive efficiency. Reprod Anim. 24 :413-423. Gardner DK, Lane M, Spitzer A, Batt PA. 1994.Enhanced rates of cleavage and development for sheep zygotes cultured to the blastocyst stage in vitro in the
18 absence of serum and somatic cells: amino acids, vitamins, and culturing embryos in groups stimulate development. Biol Reprod. 50:390-400. Gordon I. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos 2nd Edition. CABI publishing. Willingford UK. Gstraunthaler G. 2003. Alternatives to the use of fetal bovine serum: serum-free cell culture. ALTEX. 20:275–281. Gualtieri, R. and Talevi, R. 2000. In vitro-cultured bovine oviductal cells bind acrosome-intact sperm and retain this ability upon sperm release. Biol Reprod. 62:1754–1762. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. Hafez B, Hafez ESE, editor. Ed-7. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Hammam AM, Whisnant CS, Elias A, Zaabel SM, Hegab AO, Abu-El Naga EM. 2010. Effect of media, sera and hormones on in vitro maturation and fertilization of water buffallos (bubalus bubalis). J Anim Vet. 9:27-31. Helmy MH, Ismail SS, Fayed H, El-Bassiouni, EA. 2000. Effect of selenium supplementation on the activities of glutathione metabolizing enzymes in human hepatoma Hep G2 cell line. Toxicology. 144 :57–61. Hilger C, Grigioni F, De Beaufort C, Michel G, Freilinger J, Hentges F. 2001. Differential binding of IgG and IgA antibodies to antigenic determinants of bovine serum albumin. Clin Exp Immunol. 3:387-394 Jochems CEA, Van der Valk JBF , Stafleu FR, Baumans V. (2002). The use of fetal bovine serum: ethical or scientific problem. ATLA. 30: 219 227. Karja NWK, Otoi T, Murakami,Fahrudin M, Suzuki T. 2002. In vitro maturation, fertilization, and development of domestic cat oocytes recovered from ovaries collected at three stage of reproductive cycle. Theriogenology. 57:2289-2298. Keenan J, Pearson D, Clynes M. 2006. The role of recombinant proteins in the development of serum-free media. Cytotechnology 50:49–56. Kim JY, Kim SB, Park MC, Park H, Park YS, Park HD, Lee JH, KimJM. 2007. Addition of macromolecules to PZM-3 culture medium on the development and hatching of in vitro porcine embryos. Asian-Aust J Anim Sci. 20 :18201826. Kochhar HP, Morris LH, Buckrell BC, Pollard JW, Basrur PK, King WA. 2002. Maturation status, protein synthesis and developmental competence of oocytes derived from lambs and ewes. Reprod Domes Anim. 37:19-25. Kroschwitz JI. 1998. Concise Encyclopedia of polymer science and engineering. New York: John Willey & Sons Inc Landim-Alvarenga FC, Boyazoglu SEA, Carvalho LR, Choi YH, Squires EL, Seidel JR. 2002. Effects of fetuin on zona pellusida hardening, fertilization and embryo development in cattle. Anim Reprod Sci. 71:181-191. Lane ME, Therien I, Moreau R, Manjunath P. 1999. Heparin and high density lipoprotein mediate bovine sperm capacitation by different mechanisms. Biol Reprod. 60:169–175. Langendonckt AV, Donnay I, Schuurbiers N, Auquier P, CarolanC.1997. Effects of supplementation with fetal calf serum on development of bovine embryos in synthetic oviduct fluid medium. J Reprod Fertil. 109:87-93. Lee ES, Pugh PA, Allen N, Fukui Y, Thompson JG.1998. (5-3H)-glucose and (114C)- pyruvate utilization by fresh and frozen thawed Day 7 IVP bovine
19 blastocysts cultured in PVA or BSA supplemented medium. Theriogenology. 49:233-241. Leese HJ. 1988. Formation and function of oviduct fluid. J Reprod Fertil. 82:843-856. Lindl, T., Gstraunthaler, G., 2008. Zell- und Gewebekultur. Von den Grundlagen zur Laborbank. Spektrum Akademischer Verlag, Heidelberg.. Liu L, Zhang HW, Qian JF, Fujihara N. 1998. Effect of cycloheximide on bovine oocyte nuclear progression and sperm head transformation after fertilization in vitro. Asian-Aust J Anim Sci. 12:22-27. Lodde V, Modina S, Maddox-Hytell P, Franciosi F, Lauria A, Luciano AM. 2008. Oocyte morphology and trancriptional in relation to chromatin remodelling during final phase of bovine oocyte growth. Mol Reprod Dev.75:915-924. Lonergan P, O’Kearney-Flynn M, Boland MP. 1999. Effect of protein supplementation and the presence of an antioxidant on the development of bovine zygotes in synthetic oviduct fluid medium under high or low oxygen concentration. Theriogenology. 51:1565-1576. Lv L, Wenbin Y, Wenzhong L, Youshe R, Fuzhong L, Kyung-Bon L, Goerge W S. 2010. Effect of oocyte selection, estradiol and antioxidant treatment on in vitro maturation of oocyte collected from prepubertal boer goats. Italian J Anim Sci. 9:50-53. Mandl EW, Jahr H, Koevoet JL, Van Leeuwen JP, Weinans H, Verhaar JA, Van Osch GJ. 2004. Fibroblast growth factor-2 in serum-free medium is a potent mitogen and reduces dedifferentiation of human ear chondrocytes inmonolayer culture. Matrix Biology. 23:231–241. Mc Dowall, M L S, Gilchrist R B and Thompson J G. 2004. Cumullus expansion and glucose utilization by bovine cumulus-oocyte complexes during in vitro maturation, the influence of glucosamine and follicle stimulating hormone. J Reprod 128: 313-319. Masters, JRW. 2000. Animal Cell Culture. A Practical Approach. 3rd Ed. Oxford University Press. Mingoti GZ, Castro VS, Meo SC, Sa Barretto LS, Garcia JM. 2001. The effects of macromolecular and serum supplements and oxygen tension during bovine in vitro procedures on kinetics of oocyte maturation and embryo development. In Vitro Cell Dev Biol Anim. 47:361-367. Orsi NM, Leese HJ. 2004. Amino acid metabolism of preimplantation bovine embryos cultured with bovine serum albumin or polyvinyl alcohol. Theriogenology. 61:561-572. Price PJ, Gregory EA. 1982. Relationship between in vitro growth promotion and biophysical and biochemical properties of the serum supplement. In Vitro 18:576-584. Ptak G, Loi P, Dattena M, Tischner M, Cappai P. 1999. Offspring from onemonth-old lambs: studies on the developmental capability of prepubertal oocytes. Biol Reprod. 61:1568-1574 Puri G, Chaudhary SS, Singh VK, Sharma AK. 2015. Effects of fetal bovine serum and estrus buffalo serum on maturation of buffalo (Bubalus bubalis) oocytes in vitro. Vet World. 8:143-146. Rahman MA, Abdullah RB, Wan Khadijah WE. 2008. In vitro maturation of oocyte with special reference to goat: A review. Biothecnology. 7:599-611.
20 Rizos D, Lonergan P, Ward F, Wade M, Boland MP. 2001. Implications of culturing bovine zygotes in vivo or in vitro for blastocyst development and quality. Reproduction.27:38-39. Saeki K, Hoshi M, Leibfried-Rutledge ML, First NL. 1991. In vitro fertilization and development of bovine oocytes matured in serum-free medium. Biol Reprod. 44(2):256-60. Shah G. 1999. Why do we still use serum in the production of biopharmaceuticals. Dev. Biol. Stand. 99:17-22. Shirazi A, Soleimani M, Karimi M, Nazari H, Ahmadi E, Heidari B. 2010. Vitrification of in vitro produced ovine embryos at various developmental stages using two methods. Cryobiology. 60:204-10. Shirazi A, Ardali MA, Ahmadi E, Nazari H, Mamuee M, Heidari B. 2012. The effect of macromolecule source and type of media during in vitro maturation of sheep oocytes on subsequent embryo development. J Reprod Infertil. 13:13-19. Schneider M, Marison IW, Vonstockar U. 1996. The importance of ammonia in mammalian cell culture. Jour of Biotech. 46:161–185. Schroeder AC, Schultz RM, Kopf GS,Taylor FR, Becker RB, Eppig JJ. 1990. Fetuin inhibits zona pellusida hardening and conversion of ZP2 to ZP2f during spontaneous mouse oocyte maturation in vitro in the absence of serum. Biol Reprod. 43:891-897. Sturmey RG, Leese HJ. 2008. Role of glucose and fatty acid metabolism in porcine early embryo development. Reprod Fertil Dev. 20:149-152. Tatemoto H, Horiuchi T.1995. Requirement for protein synthesis during the onset of meiosis in bovine oocytes and its involvement in the autocatalytic amplification of maturation-promoting factor. Mol Reprod Dev. 41:47-53. Tatemoto H, Terada T. 1995. Time dependent effects of cycloheximide and alpha amanitin on meiotic resumption and progression in bovine follicular oocytes. Theriogenology. 43:1107-1113. Taub M. 1990. The use of defined media in cell and tissue culture. Toxicology in Vitro. 4:213–225. Tienthai P, Johannisson A,Rodriguez MH. 2004. Sperm capacitation in the porcine oviduct. Anim Reprod Sci. 80:131-146. Thompson JG, GardnerDK, PughPA, McMillanWH, TervitHR. 1995. Lamb birth weight is affected by culture system utilized during in vitro pre-elongation development of ovine embryos. Biol Reprod. 53:1385-1391. Thompson JG, MitchellM, KindK. 2007. Embryo culture and long-term consequences. Reprod Fertil Dev. 19:43-52. VanWinkle LJ. 2001. Amino acid transport regulation and early embryo development. Biol Reprod.64:1-12.
Wani NA. 2002. In vitro maturation and in vitro fertilization of sheep oocytes. Small Rumin Res. 44:89-95. Wrenzycki C, Herrman D, Keskintepe L, Martins A, Sirisathien S, Brackett B, Niemann H. 2001. Effects of culture system and protein supplementation on mRNA expression in pre-implantation bovine embryos. Hum Reprod. 16:893-901
21 Yanagimachi R. 1994. Mammalian fertilization. In: The Physiology of Reproduction (Ed. E. Knobil and J. D. Neill). Eds New York: Raven Press. 189-131. Young L, Sinclair, K, Wilmut I.1998. Large offspring syndrome in cattle and sheep. ReprodDev. 3:155-163. Zhang L, Jiang S, Wozniak PJ, Yang X, Godke R. 1995. Cumulus cell function during bovine oocyte maturation, fertilization and embryo development in vitro. MolRep Dev. 40:338-344.
22
23
LAMPIRAN
24 Lampiran 1 Komposisi media transportasi ovarium Komponen Sodium chloride (Sigma Aldrich, USA) Milli Q water Penicilin-streptomycin (100IU/mL)
Jumlah 9.0 g 1000 mL 1000 μL
Lampiran 2 Komposisi media koleksi Komponen PBS Penicilin-streptomycin (100 IU/mL) Fetal Bovine Serum 10%
Jumlah 100 mL 1000 μL (v/v) mL
Stok PBS : 9.6 g (Dulbecco’s Nissui, Japan) / 1000 mL milli - Q water Stok penicillin-streptomycin Dosis penicillin: 0.06 g/L = 100.000 IU/L Dosis streptomycin :0.1 g/mL Untuk membuat stok Penicillin 0.0006 g (Sigma-Aldrich. Inc, P-4687) dan streptomycin (Sigma-Aldrich. Inc, S-9137) 0.001 g dilarutkan dalam 10 mL milliQ water. Fetal Bovine Serum 10% (v/v) mL (untuk stok 50 mL PBS, 5 mL FBS yang digunakan) Lampiran 3 Komposisi media dasar TCM-199 untuk maturasi oosit Komponen Larutan TCM-199 PMSG hCG Gentamycin
Jumlah 5 mL 50 μL 50 μL 5 μL
Stok PMSG Untuk membuat stok, maka 1000 IU PMSG dilarutkan dalam 1 mL TCM 199 Stok hCG Untuk membuat stok, maka 1500 IU HCG dilarutkan dalam 1.5 mL TCM 199
25 Lampiran 4 Komposisi media fertilisasi in vitro Komponen mM mg/100 mL NaCl 90 525.96 KCl 12 89.46 NaHCO3 25 210.03 NaH2PO4 anhydrous 0.5 6.00 MgSO4 7H2O 0.5 12.33 Sodium lactat 10 112.10 60% syrup 0.19 mL Hepes 10 238.30 CaCl2 2H20 8 117.60 Sodium piruvat 2 22.00 Caffeine anhydrous 2 38.44 BSA (Fatty acid free) 5 mg/mL 500.00 Suzuki et al. (2000). Effect of hyaluron on monospermic penetration of procine oocyte fertilized in vitro. Int J Androl 23:13-21.
26
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabanjahe (Sumatera Utara) pada tanggal 12 Oktober 1988 dari pasangan Bapak Tukiyo dan Ibu Sri Andani S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari 3 bersaudara, yaitu Agus Pratama S.H, dan Tri Utami S.E. Pada Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Medan dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dari melalui jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Gelar sarjana penulis peroleh pada tahun 2010. Dalam rentang waktu tahun 2010-2011 penulis pernah bekerja di LSM MAI (Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia) Provinsi Banten. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program Pascasarjana pada program studi Biologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program master, penulis menulis tesis dengan judul “Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum” yang diterbitkan pada jurnal veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali.