Seminar Nasional Peternakan dan Peteriner 1999
KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM MoHAMADAGus SETIADI
Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertaniatt Bogor Alan Lodayu 11 Uung, Bogor 16153 Telp. (0251) 324358 ABSTRAK Penelitian telah dilakukan untuk mengamati kapasitas perkembangan oosit babi secara in vitro pada media tanpa suplemen serum. Kumulus oosit komplek dimatangkan pada dua media yang berbeda . Kelompok pertauna dimatangkan pada media TCM 199 yang disuplementasi dengan 10% Fetal calf serum dan kelompok kedua dimatangkan pada media Brinster medium for oocyte culture (BMOC-3) yang disuplementasi dengan Dextran T-70 . Kedua kultur media disuplementasi maslng-maslng dengan 10 IU/nil eCG, 5 IU/ml hCG, 1 pghnl estradiol -17B serta dua buah dinding follikel . Prosedur pematangan dilakukan pada inkubator 39 °C, 5% CO, di udara dengan kelembaban maksimal selama 48 jam . Pengamatan dilakukan dengan melihat kemampuan pematangan - inti dan -sitoplasma yang dinilai berdasarkan terbentuknya pronucleus setelah diaktivasi . Hasil penclitian Inenunjukkan tidak adanya perucahan yang nyata pada tingkat pematangan inti (91 vs 83%). Walaupun demikian terdapat perubahan yang nyata pada tingkat pematangan sitoplasmanya (86,6 vs 34,5%) . Dapat disimpulkan bahwa suplementasi media dengan makromolekul dapat mendukung dengan baik pematangan inti tetapi tidak terlalu bagus untuk pematangan sitoplasma. Kata kunci : Oosit, babi, pematangan secara in vitro PENDAHULUAN Tingkat pematangan oosit sangat berperanan dalam perkembangan baru makhluk hidup. Oleh karenanya berbagai upaya telah dilakukan untuk memacu proses pematangan sel telur secara in vitro . Tingkat pematangan biasanya dinilai berdasarkan dua kriteria yaitu pada tingkat pematangan inti (nuclear maturation) yang dinilai berdasarkan kronologis perubahan meiosis dan tingkat pematangan sitoplasma (cytoplasmic maturation) yang dinilai berdasarkan kemampuan oosit untuk mengalami perkembangan embrio tahap awal. Untuk memacu tingkat perkembangan oosit in vitro, serum sudah secara umum sering digunakan sebagai komponen media suplemen karena mengandung berbagai macam komponen seperti hormon, vitamin, peptida, protein, mihro dan makro elemen dan faktor pertumbuhan (GARDNER dan LANE, 1993). Disamping itu salah satu faktor pertumbuhan yang terkandung dalam serum seperti Epidermal growth factor (EGF) diduga kuat digunakan oosit sebagai sumber protein sehingga menyebabkan perubahan metabolisme dan mengatur proses perkembangan (LONERGAN et al., 1996). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggantikan fungsi serum darah dengan makromolekul synthetic seperti polyvinil alcohol (PVA), polyvinylpyrolidone (PVP) atau lainnya (SAEKI et al., 1991 ; KESKINTEPE dan BRACKET, 1996) . Oleh karena itu penelitian ini didisain untuk mengamati sejauh mana penganlh kedua komponen tersebut terhadap tingkat pematangan inti dan sitoplasma oosit babi secara in vitro. 292
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
MATERI DAN METODE Pengumpulan oosit Ovarium dikumpulkan dari rumah potong hewan dan dibawa ke Laboratorium menggunakan media 0,9% (w/v) NaCl yang disuplementasi dengan 50pg/ml Gentamycin . Ovarium yang terkumpul diletakkan pada media dulbelcos phosphat buffered saline (DPBS) yang disuplementasi dengan 3mg/ml BSA, 50pg /ml Gentamycin pada meja penghangat (Warm plate, 37°C) . Oosit dikumpulkan dari folikel dengan diameter 3-6 mm dengan cara pengirisan (slicing) kemudian dibilas (flushing) dengan PBS yang mengandung 1% (w/v) fetal calfserum (FCS) yang telah diinaktivasi . Hanya oosit yang mempunyai ooplasma yang kompak dan kumulus sel yang tidak berekpansi dipilih untuk dimatangkan . Persiapan media Media yang digunakan terdiri dari media yang umum dipakai yaitu TCM-199 yang disuplementasi dengan 10% FCS dan media kedua yaitu brinster iuedia for oocyte culture (BMOC-3) yang hanya disuplementasi dengan Makromolekul Dextran T-70 sebagai pembanding dengan serum. Media pematangan disuplementasi dengan 10 IU/ml eCG, 5 IU/ml hCG, 1 pghnl estradiol17j3 dan dengan penambahan dinding folikel sebanyak dua buah per media (co-culture) . Pematangan oosit Oosit yang terpilih dimatangkan pads kedua media yang diuraikan sebelumnya pada plastik piring petri dengan diameter 35 mm (Nunclon, Denmark) yang mengandung 2 ml media pematangan pada inkubator yang mengandung 5% COZ dengan kelembaban maksinmm, 39 °C selama 48 Jam . Pematangan diperkaya dengan dua buah dinding folikel dalam posisi terbalik . Pengamatan pematangan inti (Percobaan 1) Oosit yang telah dimatangkan dibebaskan dari kumulus sel yang melapisinya dengan cara menyedotnya secara berulang-ulang dengan pipet kecil pada media yang mengandung 0,1% Hyaluronidase. Oosit yang tidak mempunyai kumulus tersebut ditempatkan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup untuk kemudian difiksasi pada larutan ethanol/asam asetat (3 :1) selama 48 Jam . Setelah fiksasi, preparat oosit ditempatkan pada ethanol selama lebili kurang 24 jam untuk selanjutnya diwarnai dengan Aceto-orcein 2% (Merck) . Klasifikasi tingkat kematangan oosit dilakukan menunit metoda MOTLIK dan FuLKA (1976). Oosit dianggap mengalami kematangan inti yang sempurna jika inti oosit berada pada tahap metaphase II yang ditandai dengan keluanrya Badan Kutub I . Pengamatan pematangan sitoplasma oosit (Percobaan 2) Proses pengumpulan, seleksi dan pematangan oosit serta media yang digunakan pada percobaan ini sama dengan pada percobaan 1 . Oosit yang telah dimatangkan pads kedua medium selama 48 jam, dilepaskan sebagian kumulus selnya (denudasi) dengan cara menyedotnya berulang-ulang seperti metoda sebelumnya . Selanjutnya oosit yang terdenudasi, sebagian kunufus selnya diaktivasi dengan cara menginkubasinya pada media pematangan yang mengandung 10% ethanol absolut (96%) selama dua menit. Sebelum dilakukan kultur berikutnya, oosit dicuci tiga kali pada media yang bebas ethanol . Oosit yang telah dicuci ditempatkan pads media pematangan 293
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999
yang diperkaya dengan 10 pg/ml Cycloheximide .pada 39° C selama 24 jam pads inkubator 5% CO2, dengan kelembaban maksimal . Oosit yang telah diaktivasi ditempatkan pada gelas objek seperti prosedur sebelumnya . Pengamatan dilakukan dengan cara menganalisa terbentttknya pronucleus dan tingkat penibahan meiosis yang terjadi . Aktivasi dianggap terjadi apabila terbentuk pronucleus dengan pewarnaan eosin. Analisa statistik Perbedaan tingkat germinal vesicle breakdown dan kematangan inti serta tingkat kematangan sitoplasma dianalisa dengan menggunakan uji Khi-Kuadrat. HASIL Pada kedua media perlakuan menunjukkan hasil yang baik yang ditandai dengan tingginya tingkat Germinal vesicle breakdown teasing-masing 98,4 dan 98,3%. Disamping itu tingkat kematangan inti yang dicapai kedua media tersebut yang ditandai dengan junilah oosit yang mencapai tahap metaphase II mencapai lebih dari 80% (Tabel 1). Secara statistik tingkat kematangan inti dari kedua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata . Tabel 1.
Tingkat pematangan inti setelah dikultur pada dtua media yang berbeda
Media
Jumlah
Jutnlah
Tahap Meiosis (%)
posit GVBD GV D M-1 AI TI M-II TCM 199 + 10% 124 113 8 122 1 FCS (98,4%) (6,5%) (0,8%) (91,1%) BMOC-3 + 4.5 119 117 2 99 18 mg/ml Dextran T70 (98,3%) (1,7%) (15,1%) (83,2%) Keterangan :
GV GVBD -
Tabel 2.
2 -
= Germinal vesicle ; D=Diakinesis ; Ml= Metaphase 1; AI= Anaphase I; TI=Telophase l; M Il=Metaphase 11 = Germinal vesicle breakdown
Parthenogenetik yang terjadi setelah aktivasi dengan ethanol dan cycloheximide pada media yang berbeda
Media TCM 199 + 10% FCS
Jumlah
Jumlah posit
oosit 112
yang teraktivasi 973 (86,6%)
Kontrol BMOC-3 + 4 .5 mg/ml Dextran T70
64 109
Kontrol
63
Keterangan :
294
Degenemsi
38° (34,5%)
Aunlah pronucleus (%) I PN
2 PN
71 (73,2)
23 (23,1)
> 3 PN 3 (3,1)
11 (28,9)
14 (36,8)
13 (34,2)
PN= Pronucleys fluruf superscript yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perlvdaan yang nyata (P 0,05)
Seminar Nasional Peternakan dan lVeteriner 1999
Berbeda dengan kematangan inti, pada percobaan 2 diperoleh tingkat kematangan sitoplasma yang berbeda nyata diantara kedua perlakuan . Tingkat kematangan sitoplasma yang dinilai berdasarkan terbentuknya pronucleus pada medium TCM 199 + 10% FCS lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada media BMOC-3 (Tabel 2). Dari hasil ini menunjukkan bahwa pada media yang disuplementasi dengan serum, perkembangan oosit lebih baik dibandingkan dengan tanpa serum. PEMBAHASAN Telah diketahui bahwa tingkat kematangan oosit sangat menentukan proses perkembangan individu selanjutnya . Oleh karenanya, dua hal umum yang biasa dilakukan untuk menentukan kriteria pematangan oosit yaitu pematangan inti dan sitoplasma. Pematangan inti dinilai berdasarkan kronologis tahapan meiosis, sedangkan pematangan sitoplasma dinilai berdasarkan kemampuan oosit untuk berkembang lebih lanjut sampai terbentuknya individu baru . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dilihat dari jumlah oosit yang mengalami genninal vesicle breakdown (GVBD) sebagai kriteria tahap awal meiosis, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata, dimana lebih dari 90% oosit yang dikultur sudah mampu mengawai meiosis . Hal ini menunjukkan bahwa media yang digunakan mendukung perkembangan oosit. Pengaruh ini lebih jelas lagi terlihat pada perkembangan oosit yang mampu mencapai tahap M-11 (91% vs 83.1%) yang secara statistik juga tidak berbeda nyata . Meskipun demikian ditinjau dari aspek pematangan sitoplasma, jumlah oosit yang teraktivasi dengan manifestasinya melalui pembenttdckan pronucleus, menunjiilckan perbedaan hasil yang nyata. Jumlah oosit yang teraktivasi pada media TCM 199 (98%) lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada media BMOC-3 (Tabel 2). Dari hasil tersebut jclas menunjukkan bahwa media tanpa serum yang digunakan (BMOC-3) hanya mampu mendukung sampai tingkat pematangan inti, tetapi tingkat pematangan sitoplasma tidak sepenuhnya teraktivasi . Hal ini kemungkinan terdapat faktor lain dari serum yang mungkin mendukung perubahan inti menjadi pronucleus. Hasil ini diperkuat oleh hasil penelitian OCAMPU et al. (1993) dimana penambahan serum meningkatkan pematangan inti dan proses pembentukan pronucleus. Tingginya tingkat pematangan sitoplasma yang terjadi pada media TCM-199, kemungkinan juga sebagai efek positif dari kokultur dengan granulosa sel, karena telah dibuktikan bahwa kokultur dengan mennggunakan dinding folikel menghasilkan berbagai macam protein yang diduga memperantarai proses pematangan sitoplasma (Du et al., 1997) . Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa pronucleus yang terbentuk bukan akibat kultur oosit yang terlalu lama atau kejadian yang sifatnya spontan, atau oosit yang mengalami penuaan . Hal ini dibuktikan pada kelompok kontrol yang tidak mendapat aktivator, dimana tidak ditemukan oosit yang teraktivasi, yaitu tetap berada pada stadium M-1- M-11. KESIMPULAN Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut 1.
Oosit babi dapat dimatangkan pada media tanpa suplemen serum dengan tingkat keberhasilan yang nyata 295
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
2. 3. 4.
Tingkaf kematangan t*,* hanya dinilai berdasarkan penlbahan inti saja, tetapi harus melihat kemanlpuan perkembangan sitoplasmanya . Dextran T70 dapat digimakan sebagai suplemen media . Makromolekul sebagai suplemen kurang mendukung terhadap tingkat kematangan sitoplasma oosit .
DAFTAR PUSTAKA GARDNER, D .K . and M . LANE . 1993 . Embrio culture system . In: A . Trounsen and D .K . GARDNER (Eds) Handsbook of in vitro fertilization . CRC Press, Boca-Raton, FL. pp . 85 - 114 .
KESKINTEPE, L ., and B .G. BRAcKETt . 1996 . In vitro developmental competence of in vitro matured bovine oocytes fertilized and cultured in completely defined media . Biol. Reprod. 55, 333-339 . Liu, L., Y . DAI, and R.M. MooR . 1997. Rol e of secreted proteins and gonadotrophin in promoting full maturation of porcine oocytes in vitro. A1ol. Reprod. Dev. 47, 191 - 199 LONERGAN, P ., P. MONAGHAN, D . Rlzos, M .P . BOLAND, and 1. GoRDON . 1996. Role of epidermal growth factor in bovine oocytes maturation and preimplantation embryo development in vitro. Biol. Reprod. 54, 1420-1429 . MoTLIK, J . and J . FuLKA . 1976 . Breakdown of the germinal vesicle in pig oocytes in vivo and in vitro . J. Erp. Zool. 198, 155 - 162 . OcAwo, M.B ., L .C . OcAwo, I .S. RYu, T . MoRI, J . UEDA, and H. KANAGAWA . 1993 . Effects of culture time, ovarian activity, cumulus cells and sera on the nuclear and cytoplasmic maturation of pig oocytes in vitro. Anim. Reprod. Sci. 34, 135 - 146 .
SAEKI, K., M . HASHI, M .L . LIEBFRIED-RuTLEixiE, and N .L. FIRST . 1991 . In vitro fertilization and development of bovine oocytematured in senun-free medium . Biol. Reprod. 44 : 256-260 .