HASIL DAN PEMBAHASAN
Pematangan oosit in viZro Keseluruhan jumlah ovari yang digunakan dalam penelitian utarna adalah
316
buah, dari ovari ini dapat digunakan 4711 oosit. Sedangkan sperma yang digunakan berasal dari semen k k u
yaitu Japanese Black
sebanyak 144 straw, FH 59 straw
dan juga
memanfaatkan ejakulat semen segar dari sapi FH.
Pengaruh perbedaan kualitas oosit terhadap pematangan oosit in vitro. Hasil percobaan seleksi oosit dengan cara mengklasifikasikan oosit menjadi 4 kategori (A,B,C dan D) menunjukkan bahwa, kualitas oosit memberikan pengaruh yang nyata terhadap pematangan oosit sapi yang diukur berdasarkan transformasi inti oosit yang sedang mengalami meiosis (F0,Ol). Pengamatan kualitas tersebut didasari oleh keadaan kualitas sitoplasma dan sel-sel kumulus, kedua faktor ini sangat berperan penting dalam proses pernatangan oosit. Shamsudin dkk.(l993) mengatakan bahwa pa&
proses
pematangan oosit tejadi perubahan-perubahan dan reorganisasi dari organela-organela dalam mitokondria, semua kejadian ini tejadi di sitoplasma oosit pada saat pematangan oosit. Seperti tampak pada gambar 6 b h w a oosit berkualitas A dan B dapat rnelalui tahap GV dan GVBD dengan baik, keduanya mencapai 0 persen, artinya apabila oosit berkualitas A dan B di kultur selama 24 jam. maka semuanya paling tidak akan mencapai PM1 dan
bahkan sebagian terbesar rnencapal metafase 2. Hasil penelitian tersebut adalah sbb: oosit berkualitas A sebesar 90,2 persen dan B sebesar 90,3 persen, sedangkan oosit berkualitas C dan D justru sebaliknya. Oosit berkualitas C clan D kelornpok terbesar hanya rnencapai tahap perkembangan GV dan GVBD sajq yaitu oosit C 23.3 persen dan 18.3 persen, oosit
D 20,3 persen clan 23,7 persen. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oosit berkualitas C dan D mengalami kesulitan untuk mencapai metafase 2.
Garnbar 6.Pengaruh perbedaan kwalitas oosit (A,B,C daa D) terhadap transformasi inti omit yang dikultur secara in vitro selama 24 jam. M e n ~ Gall ~ t
dkk. (1996) kesulitan
oosit untuk
mencapai tahap pematangan
metafase 2 diperkirakan karena ketidakmampuan oosit membentuk MPF (m-phase promoting factor)
pada tahap GVBD. MF'F
berperan dalam proses pemrograman
fosforilasi/defosforilasi,proses ini sangat berperan sekali pada saat pematangan oosit. Faktor iniiah yang diperkirakan menjadi salah satu faktor oosit berkualitas C dan D tjdak mampu berkembang dengan baik, keadaan ini berbeda sekali dengan oosit yang berkualjtas A dan B.
(a;40cr~~la00X), Me&
II (c; 4&x), metafase I (d, 2009
Pemhmgan oosit pada kelompok oosit yang berkualitas A dsn B diuji secara statistik temyata ti& munjdhn p e h i h r i yang nysta ( jM,OS), ini beratti kualitas A dan B m e m p y a i kernamptun mtuk menerime sinyal pembelahan sel dahm rangka
pematangan oosit seperti MPF (Whitaker, 1996). Hesil penelitian irs juga semakia menguatkan peadal#it bahwa keadaan sitoplasma dan sel-sel kumulus mempunyai peman penting peda proses -tangan
oosit. Dixi percobgan ini dapat disimpulkan bahwa faktor
penting melihat kualitas oosit adalah morfologi sitoplasma Morfologi sitoplasma ini relatif
mudab untuk diamati di bawah mikmskop. Dari hasil penelitian in1 dapat disimpuikan bahwa pengametan morfologis ini &pat dhadaatkan untuk mcnseleksi oosit sebelurn difertilisasi.
-
J. BLACK
@ % a
qi)
Gambar 8.Kualitas oosit hasil aspirasi dan ovarium sapi yang berbeda bangsa.
Pengaruh perbedaan bangsa sapi terhadap pematangan oosit in vitro.
Pada percobaan pengaruh bangsa sapi terhadap pernatangan oosit in vifro, temyata bangsa sapi
tidak rnernberikan pengaruh yang
nyata terhadap kualitas oosit yang
dihasilkan(p0,05) (gambar 8). Begitu pula pada percobaan transformasi inti oosit, temyata bangsa sapi juga tidak rnernberikan pengaruh yang nyata terhadap transformasi inti oosit ( m , 0 5 ) (Gambar 9). Hasil ini juga menunjukkan bahwa apabila oosit telah diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma dan sel kumulus yang menempel pada oosit, dirnana oosit yang dikultur hanya oosit dengan keadaan sitoplasma dan sel kumulus baik saja (oosit berkualitas A dan B), maka perbedaan bangsa tidak berpengaruh terhadap pematangannya.
Gambar 9: Perbedaan transformasi inti oosit setelah dikultur selama 24 jam dengan oosit yang b e d dari ovarium sapi yang berbeda bangsa.
Gambar 10.0osithasil aspirasi den*
I
kualifikasi A (100X).
mr matahari
keadaan sosial
Gambar 11 : Konsep umum pengaruh keadaan linglcungan ierhadap mekanisme reproduksi pada marnalia Wodifikasi dari Bronson, 1988). Pengaruh musim terhadap pematangan oosit in vitro-
Musim memberikan pengar& pa& kondisi fisiologis hewan, ha1 ini dimungkinkan karena adanya perbedaan suhy kelembaban maupun photoperiod (Iamanya terkena sinar matahari). Menurut Bronson (1988) meskipun sebagai akibat adanya perbedaan musim memberikan efek yang multi kornplek (lihat gambar 11) tetapi diantara banyak faktor yang terpengaruh ak~batadanya perbedaan lingkungan
adalah laju sekresi hormokhomon
prolaktin, FSH dan LH. Menurut De Smedt dkk.(1992) hormon-hormon FSH dan LH akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas oosit yang dihasilkan oleh ovarium sapi, sehingga dengan adanya
perbedaan musim maka dihasilkan kuantitas dan kualitas oosit yang
berbeda pula. Pendapat ini sesuai dengan kuatitas
oos~t seperti
hasil percobaan pengaruh musim terhadap
tampak pa& gambar 12, ternyata
&lam
uji statistik musim
berpengaruh nyata {P
clan kuantitas wsit terbaik buat sapi Japanese black, sedangkan pada musim panas dan musim dingin kondisi sebaliknya.
t
April
Agurtus
Oktober
Januari
I
Gambar 12: Pengaruh musim terhadap kuitlitas oosit yang dihasilkan oleh Japanese black COW.
Seperti pada perwbaan sebelumnya, apabila oosit dikultur hanya oosit yang berkualitas baik saja (A dan B), musim tidak berpengaruh terhadzrp pematangan oosit
(m.05) (gambar 13). Hasil ini juga menunjukkan bahwa kondisi yang paging penting dalam menyeleksi oosit adalah keadaan sitoplasma dan sel-sel kumulus, apabiIa kualitas nya baik, maka bangsa, maupun musim tidak memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit. Sehingga untuk penelitian utama seleksi oosit &pat digunakan dengan metode ini.
Hasil penelitian pendahuluan ini dapat mengantisipasi kemungkinan kejadian terlalu besarnya variabilitas data akibat : 1.ketidak seragaman individu dari sampel, dalam penelitian ini menggunakan bangsa sapi, sebagai representasinya 2. ketidak seragaman
akibat
kondisi
lingkungan,
dalam
penelitian
ini
menggunakan
musim
sebagai
representasinya. Dari kedua hasil penelitian pendahuluan, yaitu bangsa dan rnusim tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pematangan oosit, den-
syarat bahwa oosit yang
digunakan adalah oosit kualifikasi A den B sesuai dengan kriteria daiam penelitian ini
inti owit
GVBD
AI-TI
April
Oktober
Jmnuar~
Gambar 13. Transformasi inti oosit yang di aspirasi dari ovarium dengan musim yang berbeda dan setelah di kultur secara in vitro selama 24 jam. Pengaruh suplementasi PMSG dan hCG terhadap ekspansi sel-sel kumulus dan transiormasi inti oosit in wYIIro.
Has11 percobaan pemberian PMSG dan hCG terhadap ekspansi sel-sel kumulus menunjukkan, suplementasi hormon PMSG dan hCG memberikan pengaruh sangat nyata terhadapekspansi sel-sel kurnulus (pc 0,Ol) (lihat gambar 14). Dalam penelitian ini tampak bahwa oosit yang dikultur dalarn TCM 199 saja. sama rsekali tidak terdapat sel-sel kumulus yang terekspansi secara sempurna (0 persen), sebagian besar masih pada tingkat 0
(57,lpersen). Sedangkan oosit yang d k d t u r dengan TCM 199 dan suplementasi FCS, PMSG dan hCG didapatkan sel-sel kurnulus yang terekspansi sempuma mencapai 96.7 persen.
90
=ngkzt ckspansi scl-xl
80
kurnulus
70 60
50 40
30 20
10 pmsgthcg
Gambar 14.Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hCG pada medium pematangan oosit in vrtro terhadap tingkat ekspansi sel-sel kumutus.
Pa&
percobaan pematangan oosit (gambar 15) ternyata menunjukkan bahwa
hormon PMSG clan hCG dapat memberikan p e n g d sangat nyata terhadap transfonnasi inti oosit ( ~ 0 , 0 1 ) .Tampak pula dari hasil percobaan ini kombinasi hormon PMSG dan hCG dengan FCS 10 persen memberikan pengaruh yang terbaik di bandingkan suplementasi PMSG atau hCG saja. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi PMSG dan
hCG memberikan pengaruh positif secara sinergis. Dalam rangka proses meiosis, hormon gonadotropin ini berperan mengaktifkan cAMF' intraseluler untuk melakukan alctifitas fisiologis dalam proses meiosis (Aktas dkk., 1995).
Pada medium pematangan oosit TCM 199 tanpa suplementasi, ternyata terdapat oosit yang mencapai tingkat transformasi inti pada metafase 2 (1 9.3 persen), meskipun pada percobaan ekspansi kumulus menunjukkan bahwa pada medium ini tidak terdapat sel-set kurnulus yang terekspansi sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa pematangan oosit tidak hanya tergantung pada tingkat ekspansi sel-sel kumulus. Meskipun menunrt Galeati ( i 994) peran sel-sel kumulus pa& setiap spesies berbeda, pa& oosit sapi tanpa sel-set kumulus dapat berkembang sampai tingkat pematangan metafase 2 clan &pat difertilisasi secara in vitro.
transfonnasi inti oosit
GVBD
Al-T1
V1 199
tcm +fcs
tcm+rcs+ pmsg+hcg
(medium kultur)
Gambar 15.Pengaruh suplementasi PMSG clan hCG pada medium PIV terhadap transformasi inti omit sapi.
Dari percobaan pematangan oosit ini dapat diketahui bahwa hormon PMSG dan hCG dapat berperan sebagi pengganti hormon FSH dan LH (Revel dkk., 1995; Moor dan Trounson,l977; Wolf dan Farin,1996). Sifat PMSG &n
hCG dapat menggantikan FSt1
dan LH menurut perIdapat Talarnantes dan Ogren, (1988) disebabkan bahwa 90 persen
PMSG-dan FSH
bersifat homolog, perbedaamya hanya 14 peptida asarn amino yang
terpasang pada a- FSH, sedangkan Q-hCG 80 persen homolog P-LH, kedua hormon ini bekerja seem sinergis dalam proses ekspansi sel-sel kumulus. Akibat homologi hormonhormon ini reseptor-reseptor FSH dan LH dari
sel-sel kumulus oosit dan granulosa
mengenali PMSG dan hCG sebagai FSH dan LH, percobaan-percobaan yang sudah dilakukan adalah pada sapi. domba dan babi (Moore dan Ward, 1980; Licht dkk., 1979; Giilou dan Cornbarnus, 1983;Stewart dan Allen, 1981; Haresign dkk.,1994). PMSG dan hCG melalui proses pengenalan, transduksi, amplifikasi
dapat menstimulasi produksi
CAMP,CAMPini berperan secara intra seluler dalam proses pematangan oosit (Dennefors dkk.,1982; Hamberger dkk., 1979; Marsh dm LeMaire, 1974;Rojas dan Asch, 1984; Hadley, 1984)
Gambar 16. Model hipotetik rnekanisme transduksi LH modifikasi dari Mattioli (1994)
Secara hipotetik mekanisme kerja honnon LH in vivo adaIah sebagai berikut: LH yang berasal dinding folikel dan termasuk sel theca clan granulosa mengirim homon LH langsung ke oosit maupun lewat sef-sel kumulus, melalui sistem proses transduksi (gambar 16). Mekanisme kerja homon LH ini dapat dijadikan dasar cara kerja hormon-hormon
PMSG dan hCG bekerja sama dengan sel-sel kumulus-oosit secant in vitro, sehingga secara in vitro hormon-hormon ini &pat dimanfaatkan pada suplementasi medium kultur untuk
pematangan oosit dapat digantikan oleh PMSG clan hCG. Penclapat ini diduirung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh D e Smedt dkk.(1992), pada pematangan oosit domba secara
in vitro dengan medium TCM 199 ditambahkan 19 persen serum anak sapi dan hormon FSH, LH dan estradiol-$ d m digunakan sel-sel kurnulus dihasilkan oosit matang 86 persen. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Keskintepe dkk (1994) penambahan LH, FSH d m hCG pada medium kultur pernatangan oosit kambing in vitro menghasilkan sel-seI kumulus terekspansi sempurna sebesar 97-5 persen.
Perkembangan sel-sel kumulus maupun sel granulosa tidak tergantung dari asal tahap perkernbangan folikelnya, pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez, dkk (1994) dimana sel-sel granulosa dari berbagai tahap perkembangan folikel mengalami proliferasi bila di kultur secara in vitro. Menurut Kennedy dkk. (1994) sel-sel
kumulus berperanan dalam
proses
pematangan oosit berupa pemberi sarana (vasilitator) &lam proses metabolisme hormonal dan nutrisional serta komunikasi sel. Demikian pula pendapat Mattiolli (1994) bahwa kumulus sei mempunyai peran sebagai alat spesifik dalam mekanisme transduksi untuk menstransfer sinyal gonadotropin ke oosit melafui sistem "gap junct~on". Sedangkan Salustri dkk.(1990) terjadinya ekspansi sel-sel kumulus memberi peranan dalam
rnencipcakan liigkungan mikro untuk oosit, Kenaedy
dklt(1994) lingkungan mikro
tersebut berupa pmhgkatan M t a s metabolism kebututm makanan oosit. I
Gambar 17. K ekspansi sel-sel kumuhrs pach tingkat 2 (sel-sel kumulus terekspmsi secara sempurna) setelah dikultir selama 24 jarn.(2OOX).
Menurut Lu dkk (1987) secara in vim peaingkatanCAMPm e n g a k i sel-sel
kumulus terekspsi secant sempwna, sedangkan meningkatnya CAMP akan mengaktifasi
proses meiosis. Dati basid penelitian ini dapat disimpdkm sel-sel kumulus ti& hanye ddam pmses meiosis oosit termasuk menghambat manpun mengaktifkannya
tetapi sel-sel ini dapat dijadikan iadikator pematangannya, tendama &lam aplikasinya untuk pelaksanaan fertilisasi in v i m Sedangkan menumt Funahashi dan Day (1995)
men-
bahwa hubungan ytmg sangat delrat antara sel-sel granutosn dan sel-sel
kumulus disekitar Ooeit ekan mengakibetkan pematangan oosit tertahan
untuk
tidak
mengalami meiosis, apabila hubungsn ini stldahmerenggmgoleh Mctor-kktor pemtmgan
oosit dan atau sel-sel kumulus yang terekspansi, akan mengalubatkan gap junction dengan cepat men-
jurnlahnya, sebagai akibatqkakses penghambatan berlangsungnya meiosis
berkurang drastis. Proses pematangan oosit rnerupakan proses meiosis yang diawaIi dengan segregasi kromosom-kromosom (kondensasi DNA) pada spindel meiosis yang rnenghasilkan gamet yang bersifat haploid dari prekusor gamet yang bersifat diploid, pada proses ini terdapat beberapa kejadian penting yang sangat berkaitan erat dengan aktifitas meiosis oosit. Kejadian-kejadian itu merupakan kejadian jntra seluler oosit yang didukung oleh kondisi lingkungan yaitu berupa sel-sel disekitar oosit misalnya sel-sel kumulus atau sel-sel granulosa dan hormon-hormon, zat biologi dctiOmetabolit, berupa messenger kedua, faktor penumbuh, M-phare promoting factor (MPF), plaminogen aktifator dl1 (Darnell dkk.,1990; Whitaker, 1996). Zat-zat ini punya peran fisiologis ekstfa maupun intra seluler untuk memberikan signal pembetahan pada miosis maupun intra seluler untuk rnemberikan signal
pa& kmmosom-kromosom untuk bersegregrasi. (Nebreda clan Hunt,1993; Draetta dan Beach, 1988; Moor dan Crosby.1986; Mattioli dkk., 1991; Naito dan Toyoda, 1991; Naito
dkk., 1992). Zat-zat ekstra seluler yang mendukung kejadian pematangan oosit laimya adalah hormon-hormon gonadotropin yaitu LH. FSH, PMSG, hCG dan Hormon C h R H . Hormon hormon ini secara in vivo akan men~ngkatkansekresi aktivator plasminogen oleh ovari (Liu dan Hsueh, 1987; Liu dkk.. 1987; Ny dkk., 1987; Lipner, 1988), dan sel-sel kumulus in vitro pa& kompleks oosit-sel kurnulus sapi dan babi pa&
saat in virro ( Kim, 1993).
Aktivator plasminogen berperan dalarn sintesis mRNA yang dibutuhkan oleh oosit untuk mencapai GVBD ( Sirard dkk., 1989) dan dapat terjadi secara in vitro (Kim. 1993). Tanpa
adanya stirnulasi LH granulosa Iayer tidak dapat memproduksi aktivator plasminogen (Tischkau, dkk. 1996). Salah satu zat ekstra seluler yang berfungsi sebagai penghambat pematangan oosit adalah OMI (Oocyte mattnation inhibitor), OM1 merupakan peptida yang berperan dalam menghambat transformasi inti oosit secara in vivo agar supaya oosit tetap bertahan pada GV,
O.M.1 disekresi sel-sel granulosa dan sel-sel kumulus (Ookata dkk., 1992; Tsafriri
d k k , 1975; Sato dan Ishibashi 1990). Pa&
saat ovulasi ataupun aspirasi, aplagi setelah
dikultur &lam medium kultur, dimana konsentrasi OM1 menjadi sangat rendah, babkan aktifitasnya dapat ditekan dengan meningkatnya suplai gonadotropin sehingga secara spontan oosit mengalami proses pematangan oosit melalui proses transfoxmasi inti (Tsafriri
dkk., 1975; Tsafriri, 1988;Sato dan Ishibashi,l990; Chen dkk.,1990). Fertilisasi in vitro 0. Pengaruh N a H C O s pada medium fertilisasi in vitro.
Dalam percobaan ini digunakan modifikasi pada konsentrasi
NaHC03 dengan
osmolaritas larutan BO betkisar 270 s.d 330 mOsm. Kisaran osmolaritas ini masih memenuhi sarat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang (1995) yaitu 256 s.d. 330 mOsm. NaHCO3 merupakan buffer fisiologis yang diharapkan punya peran dalam proses fertilisasi. Dan gambar 18 tampak bahwa konsentrasi NaHCO3 37 m M mempakan konsentrasi terbaik pada medium BO untuk fertilisasi, pada gambar ini menunjukkan prosentase sperma hidup (viabilitas sperma) setelah di kultur selama 8jam pa& konsentrasi NaHC03 21 mM, 37 mM dan 45 mM mengalami penurunan sebesar 28,9 persen, 1,2 persen dan 17,2 persen, dari uji statistik hasil penelitian viabilitas sperma menunjukkan perbedaan yang nyata (p(0,OI). Sedangkan hasil percobaan tentang flulciuasi prosentase
sperma dengan pola CTC pada prbedaan konsentrasi N-03
tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (p0,05).
LAMA INKUBAS (JAM)
Gambar
18
: Viabilitas sperma yang diinkubasi selama 8 jam dengan konsentrasi
NaHC03 &lam BO yang berbeda.(2 1mM; 37mM;45mM).
H a i l penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan NaHC03 pada BO medium dengan konsentrasi 37 rnM rnenghasilkan kondisi lingkungan terbaik untuk viabilitas sperma (persen sperma hidup), karena dengan penambahan NaHCO3 pada konsenttasi ini menghasilkan penurunan viabilitas terkecil (hanya 1,2 persen saja). Hasil ini rnenunjukkan
bahwa, meskipun natriumbikarbonat tidak berperan langsung pa& proses kapasitasi dan akrosorn reaksi spermatozoa, tetapi
NaHC03 dengan konsentrasi 37 m M dapat berperan
sebagai pembentuk buffer fisiologis yang &pat menciptakan lingkungan sperma &pat lebih survive di bandingkan dengan penambahan
N&C03
pada BO medium pa&
konsentrasi 21 mM dan 45 mM. Pendapat ini sesuai dengan perkiraan dan hasil penelitian
ymg dilakukan oleh Hyne (1984) Bahwa NaHC03 berperan sebagai komponen pembentuk
buffer pada medium BO, dengan adanya buffer ini proses fisiologis sel pada spermatozoa &pat berlangsung dengan normal, sehingga sperma tersebut dapat bidup terus sampai akhir masa
inkubasi. NaHC03 juga
berlangsungnya
memberikan
suasana
Iarutan BO memungkinkan
influx caZCkedalam spermatozoa (Lee dan Storey, 1986) dan dengan
konsentrasi tertentu dapat mensuport reaksi akrosom dan hiperaktifasi pada tikus (Neil1 dan Olds-Clarke, 1987; Niwa dan Chang.1974) dan marmut (Boatman dan Robbins, 1991), kelinci (Bhattcharya dan Yanagimachi, 1988). Menurut Fraser dkk. (1995) dengan pewarnaan CTC (Gambar 19) akan tarnpak pola sebagai berikut yaitu : a. pola sperma belum terkapasitasi dengan kepala sperma utuh, seluruhnya tenvamai, b. pola kapasitasi sperma &ngm akrosom utuh, sehingga hanya bagian akrosom terwarnai, dan pola c. yaitu pola reaksi akrosom dimana keseluruhan kepala splrma tidak terwarnai. Menurut Yanagimachi (1994) dan Barboni (1994) kapasitasi dan reaksi akrosom m e ~ p a k a nprasarat berlangsungnya fertilisasi, dalam proses kapasitasi ini terlibat banyak perubahan yang terjadi baik pada -1asma membran maupun komponen intraseluler, sperma terkapasitasi &pat melakukan penetrasi oosit setelah terjadi reaksi akrosom. Menurut Wang (1995) pada satu jam setelah inkubasi proporsi pola sperma belurn terkapasitasi akan menurun drastis dengan rata-rata genurunan sebesar 44-46 persen, sebaliknya pola reaksi akrosom sperma meningkat dengan drastis sebesar 38-40 persen. sedangkan kapasitasi sperma berpola naik dengan kenaikan sebesar 15-18 persen. Pada gambar 20 tarnpak bahwa angka penetrasi sperma terhadap oosit tertinggi pada medium BO dengan konsentrasi N a C O , 37 mM
yaitu dengan nilai 92,3 persen.
Tingginya angka penetrasi sperma terhadap oosit ini disebabkan karena viabilitas sperma pada medium ini mengalami p e n m a n tersedikit. Dengan demikian masih banyak sperma
yang tetap bertshan hidup sampai akhir masa inkubasi, sperma berpeluaag lebih
besar
untuk melakukan penetrasi terbadap oosit dibandingkan medium BO dengan konsentrasi NaHCa 21 m M dan 4 5 m U Meskipun menurut Schoneck dkk(1996) viabilitas spe.nna I
I
bukanlah merupakan satu-satuuya indikator fertilitas sperms, namun menurut pendapat Tajik dkk. (1994) bikahonat dengan konsentrasi moderat dapat memehhm spermatozoa I
mtuk tetap mampu melakukan penetrasi terhadap oosit.
Gambar 19: Sperrna dengan pola CTC (Chlort&acycline): A. pola sperms normal; B. pola kapasitasi spenna C. reaksi alcrosom sperma .(800X). Pada penelitian ini medium f d s a s i juga di tambahkan kafein, menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Tajik dkk (1994)
~~kafein den*
kombinasi
NaHCa memberha peran cukup esensial pada proses kapasitasi sperms sad. Sesuai
dengan sifat kafein,
kafein berperan pula pada peningkatan motilitas spenna dan
hiperaktifrtas sperrna (Niwa dkk., 1988).
Garnbar 20.Pengamh konsentrasi NaHC03 dalam medium BO terhadap angka penetrasi sperrna-oosit. transformasi inti sperma (PKS, pembengkakan kepala sperma,dan terbentuknya pronukleus janta-tina). Oosit sperma
hewan mamalia dapat dipenetrasi oleh sperma pada tahap sejak GV, inti
mengalami proses transformasi m d a i dari pembengkakan kepala sperma,
kondensasi kromatln dan akhtrnya terbentuk pronukleus jantan, demikian pula inti oosit terpenetrasi dapat mengalami transformasi berkembang menjadi pronukleus betina (Niwa dkk.. 1991 ; Abeydeera, 1994; Chian dkk., 1992). Menurut Osbom dan Moor (1983) dalam proses pernbentukan pronukleus jantan atau betina sangat bekaitan erat dengan kemampuan oosit dalarn mensintesa polipeptida tertentu untuk
rnemprakarsai dekondensasi inti,
polipeptida ini disintesa di sitoplasma dan tidak terpengaruh atas transformasi inti oosit. Di dalam penelitian ini dapat dilihat melalui tabel 9, 10, d m 11, dimana oosit terpenetrasi &pat
rnembentuk pronukleus jantan maupun betina, meskipun oosit-oosit tersebut
teqxnetrasi lebih dari satu sperma.
Pengaruh lama inkubasi sperrna-oosit pada medium fertilisasi in vie0 terhadap angka penetrasi sperma oosit.
-
Lama inkubasi spenna dalam medium fertilisasi in vitro (FIV) yang berisi oosit merupakan faktor penting dalam proses fertilisasi in viho, ha1 ini sangat berkaitan sekali dengan proses kapasitasi maupun alcrosom reaksi, dimana proses ini memerlukan waktuwaktu tertentu tergantung jenis spesies dan bangsanya. Menurut Niwa dkk.(1991) oosit sapi pada saat tahap germinal vesicle (GV) clan masih dalam proses pematangan merupakan oosit yang dapat di penetrasi oleh sperma secara in vitro. Pada percobaan ini (tabel 9) tarnpak bahwa pa& pengamatan 2 jam lama inkubasi sudah tejadi proses penetrasi sperma terhadap oosit (14,1 persen). Penetrasi tersebut meningkat apabila inkubasi di Ianjutkan menjadi 5 jam (60 persen), begitupula apabila lnkubasi dilanjutkan menjadi 8 jam (90,3 persen), tetapi apabila lama inkubasi dilanjutkan menjadi 11 dan 14 jam, pa&
lama inkubasi ini temyata tingkat penetrasi tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (90,3 persen, 89,s persen dan 91,s persen), dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 8 s.d. 14 jam merupakan masa inkubasi maksimal untuk fertilisasi in vitro pada sapi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah di lakukan oleh Niwa (1991) inkubasi sperma-oosit selama 8 jam &an mernberikan kesempatan pada spermatozoa melakukan penetrasi terhadap oosit secara sempuma.Dari hasil penelitian ini juga tampak bahwa proses terbentuknya pronukleus
jantan atau betina berkaitan dengan lama inkubrtsi, dimana pada lama inkubasi terjadi 90,7 persen dari oosit terpenetmsi telah terbentuk pronukleus jantan dan betina, keadaan sebaliknya pada perkakuan lama inkubasi 2 jam belum satupun terbentuk pronukleus jantan atau betina.
Tabel 9 :
lama inkubasi terhadap penetrasi spenna pa& msit.
Lama inkubasi
Jml oosit yg diuji
Jml oosit terpenetrasi (persen) Total dg terbentuknya Pembekakan pronukleus kepala sperma jantanhetina
2 iam 5 jam 8 jam fljarn 14 jam
64 60 62 59 59
9(14,1) 36(60) 56(90,3) 53(89,8) 54(9 1,5)
9(100) 33(9 1,7) 45(80,4) 10(18,9) 5(9,3)
o(0) 3(8,3) 1 1(19,6) 43(81,1) 49(90,7)
Jurnlah oosit polispermi 4(44,4) 7(19,4) 12(2 1.4) 10(18,9)
9(16,7)
Polispermi merupakan peristiwa dirnana oosit terpenetrasi lebih dari satu spermatozoa, pada penelitian ini ternyata lama inkubasi sperma-oosit selama 2 jam menghasifkan angka polispemi terbesar yaitu 44.4 persen. Hasil penelitian
yang di
lakukan oleh Clarke dan Masui (1986) menunjukkan penetrasi lebih dari satu spermatozoa tidak
rnenghambat proses pematangan oosit.
mengatakan polispermi tidak
Sedangkan Abeydeera
memberikan efek rnorfologis dan
(1994)
juga
kemarnpuan oosit
melakukan pematangan, tetapi oosit yang terpenetrasi Iebih dari 4 spermatozoa sebagian besar mengalami retardasi. Hal ini diduga disebabkan oleh ketidakcukupan tersedianya
MPF (M-phase promoting fuctor), baik yang dtbutuhkan oleh spermatozoa maupun oosit pada saat transfomasi inti, sebagai akibatnya kejadian polispemi dengan penetrasi spermatozoa dalam jumlah 4 ekor mengakibatkan
retardasi oosit. Dalam jumlah yang
sedikit (6 persen) oosit yang diinsemenasi pa& tahap GV juga dapat mencapai rnetafase I1
dan membentuk pronukleusjantan clan betina. Hal ini berbeda dengan penelitian Clarke dan Masui (1986) pa& oosit yang diinsemenasi pada fase PM-I ke MI gaga1 membentuk pronukleus, sedangkan Longo dkk.(1991) melaporkan dengan menggunakan sta@sh pembentukan pronukleus jantan dapat pula tejadi bila disinseminasikan pada fase MI.
100
90 80 70
60 50 40
30
20 10
(2rel)
(8s e l )
(16sel)
(morula)
(Blartosls)
Gambar 21. Pengaruh lama inkubasi sperrna-oosit pada saat FIV terhadap tumbuh embrio pasca FW. Pada gambar 21 tampak hasil penelitian lama inkubasi untuk fertilisasi in vifro ternyata juga memberikan efek nyata pada kultur embrio pasca fertilisasi ( F0,005), sedangkan pada percobaan lama inkubasi 2 jam ternyata pertumbuhan ernbrio tejadi hanya sampai 8 sel saja. Keadaan ini diduga hanya karena sedikitnya oosit yang terpenetrasi sehingga peluang berkemliang lebih lanjut menjadi semakin sedikit. Sedikitnya oosit terpenetrasi oleh sperma tersebut akibat kesempatan spermatozoa untuk melakukan
penetrasi secara ympuma lebih sedikit I)emikian pula pada percobaan lama inkubasi 5
jam embrio yang berkembang sampai tahap blaftosis juga relatif sedikit, jutnlah ini juga
.,
didcibatkan datif sedikitnya jumlah w i t yimg terpenehasi (60 persen) sehingga peluang
berkembang menjadi embrio tahp blastosis juga semakin kecil.
Gambar 22:FVoses fertilisasi in viho (200X), set-sel kumulus blah mulai terdistruksi. a.oosit terpenetrasi,b. sel-sel kumulus terdisttuksi oleh sperma,c.sekelompok sperma
Keadaan tersebut di atas berbeda bila dibandhgkan dengan lama inkubasi 8,11, dan 14 jam, pada masa inkubasi ini penetrasi ~ l a t i cukup f tinggi yaitu 90.3 persen, 89,s
persen dan 91,5 persen tetapi dari basil percobam ini tampak bahwa masa inkubnsi fertllisasi m vitro lebih dari 8 jam, menunjukkan pertumbuhan embrio tahap berikutnya lebih rendah dibandingkan dengan 8 jam Data ini menunjukkan bahwa inkubasi dalm
medium F N (BO) terhadap oosit lebih dari 8 jam
rnengdubatkan gangguan terfiadap
pertumbuhan pada embrio-embrio tersebut, gangguan ini diperkirakan karena kebutuhan nutrisional dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat untuk perkembangan embrio pada medium FIV (Kaye, 1986), oleh sebab itu oosit hams dipindahkan ke medium perkembangan embrio. Dari penelitian ini &pat disimpulkan bahwa inkubasi sperma-oosit pada medium FIV selarna 8 jam adalah metode terbaik guna mendapatkan embrio pasca FIV maksimal.
Pengaruh keberadaan set-sel kumulus pada saat Fertilisasi in vitro. Ejakulat spermatozoa secara alamiah mempunyai kemampuan untuk melakukan pergerakan dim alctifitas di dalam medium buatan dalarn rangka melakukan penetrasi oosit yang terselubung oleh sel-sel kumulus (Makler dkk., 1984; Ing dkk., 1991). Sebagai prasaraf kemampuan sperma untuk rnelakukan penetrasi oosit tersebut adalah motilitas, kapasitasi dan akrosom reaksi &n hiperaktifasi (Bavister, 1989; Ward dan Storey, 1984; Yanagirnachi, I981;White dkk.,1992). Demikian pula
dari hasil penelitian ini tampak
bahwa disamping kondisi medium, sel-sel kwnulus mempunyai peran didalam proses fertilisasi in vitro. Dari Uji statistika tarnpak bahwa sperma yang di inkubasi bersama-sama selama 180 menit dengan oosit berkumulus penuh, 2/3 dan 1/3 serta tanpa sel-sel kumulus . sperrna tersebut menunjukkan pola menunjukkan pola CTC yang berbeda ( ~ 0 , 0 5 )Artinya
belum terkapasitasi, terkapasitast dan reaksi akrosom yang berbeda. Data ini menunjukkan bahwa sel-sel kumulus mempunyai peranan dalam proses kapasitasi dan akrosom reaksi (Salustri dkk., 1992). Menurut Veselsky dkk. (1992) sel-sel kumulus ini juga membantu spermatozoa mencari oosit yang sepenuhnya dikelilingi sel-set kumulus, set-sel kumulus tersebut kaya akan hyaluronidase, yang akan menyebabkan sperma dapat melakukan
pergerakan aktrf untuk dapat menumbus kumulus mencapai permukaan zona pelusida serta mempercepat proses kapasitasi dan akrosom reaksi. Aarons dkk. (1992) menambahkan pergerakan sperma menempel pada dinding zona pelusida, merupakan serangkaian peristiwa yang sangat komplek, baik berupa pergerakan ekor sperma maupun serangkaian r e a k i biokimiawi pada kepala spenna
Tabel 10 Tingkat penetrasi sperrna terhadap oosit dengan kondisi seI kumulus berbeda. Kondisi sel kumulus Jml Jml oosit terpenetrasi (persen) oosit Total PKS pronukleus Oosit jantanktina polispermi Oosit tanpa sel kurnulus 59 52(88,1) 28(53.8) 24(46,1) 23(44,4) Oosit dengan 113 sel kumulus 60 54(90) 26(48,1) 28(5 1,s) 16(29,6) Oosit dengan 2/3 sel kumulus 58 53(91,4) 26(49,1) 27(50,9) 13(24,5) Oosit dengan sel kumulus 58 53(91,4) 24(45,3) 29(54,7) 14(26,4)
pen& Keterangan:PKS :pembengkakankepala sperma
Pada proses fertilisasi in virro, sel-sel kumulus mernpunyai peran mengharnbat terjadinya proses polispermi
(lihat tabel
lain, yaitu
10). Dimana oosit yang
difertilisasikan tanpa sel-sel kurnulus mengalami kejadian polispermi terbanyak ( 44,4 persen), demikian pula pada hasil uji statistik temyata keberadaan sel-sel kurnulus memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian polispermi (p<0,05). Hawk dkk. (1992) melakukan penelitian dengan membagi oosit bersel kurnulus pen& dan sebagian, temyata pada oosit yang difertilisasikan dengan menggunakan sel-sel kumulus sebagian berpeluang lebih besar mengalami polispermi b ~ l adibandingkan oosit dengan sel-sel kumulus penuh. Sperma melakukan penetrasi pada zona pelusida di bagian reseptor sperma (Yanagimachi, 1988; Veselsky dkk., 1992). reseptor tersebut terletak pada glikoprotein zonapelusida 3 (ZP3) (Wassarman. 1988; Hanquing dkk., 1991). Pada saat penetrasi te rjadi beberapa peristiwa fisiologis, salah satu kejadiannya adalah adanya gelombang perpindahan
caC2 di sitoplasma yang menekan terjadinya eksositosis granula kortikal, peristiwa ini menyebabkan membran mempunyai potensi memblok sperma lain yang akan melakukan penetrasi terhadap oosit (White dan Yue, 1996;Yanagimachi, 1988; Kline, 1996). Dengan tidak terbukanya semua reseptor pada zona pelusida
karena tetutup sel-sel kumulus,
peluang tejadinya banyak penetrasi oleh sperma (polispermi) pada saat relatif bersamaan semakin berkurang. Menurut Yanagimachi dalam Hunnicut dkk.(1996) adanya lapi$an kumulus mengakibatkan penghambatan sperma mencapai reseptor sperma yang terdapat pada zonapelusida, sehingga peluang terjadi penetrasi sperma secara bersamaan lebih sedikit. Keadaan berbeda bila mbandingkan dengan oosit tanpa sel-sel kumulus, peluang sperma mencapai reseptor pada zona pelusida secara bersamaan besar, artinya sebelum terjadi proses terbentuknya potensi oosit untuk memblok sperma akibat adanya penetrasi satu sperma, sudah ada sperma lain yang melakukan penetrasi terhadap oosit tersebut, selungga oosit terpenetrasi lebih dari satu sperma. Hasil peneiitian ini di dukung oleh Fukui dan Ono, (1989) adanya sel-sel kumulus dan sel-sel granulosa dapat meningkatkan angka fertilisasi dan menurunkan angka polispenni. Pembentukan pronukleus juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan sel-sel kumulus (Sawai, 1997) dan suplementasi gonadotropin (Funahashi dan Day,1995). Hal ini disebabkan bahwa secara in v~trosel-sel dapat memanfaatkan sistein dan sistin untuk disintesa menjadi glutation, bahan ini yang beperan dalam proses kondensasi kepala sperma untuk membentuk pronukleus. (SawaiJ997; Funahashi dan Day, 1993; Yoshida dkk.,1992).
Menurut Wang dkk., (1991) pembentukan pronukleus me~p.%kaiI proses
penting dari keberhasilan proses fertilisasi sampai terjadinya singami.
Pertumbuhan embrio in vim
Pengaruh suplementasi PMSG dan hCG terhadap angka fertilisasi dan pertumbuhsn embrio dengan sistim kokultur. Seperti tampak pada tabel 1 1 bahwa pengaruh suplementasi hormon PMSG clan hCG pada medium pematangan in v i h o terhadap tingkat penetrasi sperma terhadap omit menunjukkan perbedaan yang nyata (F0,05), sedangkan untuk angka polispermi oosit tidak menujuldcan perbedaan yang nyata (p>0,05). Pada percobaan ini juga tarnpak bahwa
medium TCM 199 tanpa supfementasi juga terdapat oosit terpenetrasi sperma, angka tingkat penetrasi (61,02persen) lebih besar di bandingkan dengan pada percobaan tingkat
tabp metafase 2 (19,3persen) pa& medium yang sama (Gambar
pematangan oosit pa&
15). Data ini menunjukkan bahwa penetrasi sperma terhadap oosit tidak selarnanya tejadi
pada tahap metafase 2, pada tahap pematangan sebelumnya juga berpelmg tejadi penetrasi sperma. Pada sapi keadaan ini sudah indikasikan oleh beberapa peneliti seperti Niwa dkk.(199I), Wang dkk. (1992), Mahi dan *nagimachi
(1976). tetapi menurut
Abeydeera (1994) penetrasi pa& saat GVBD akan menyebabkan banyak kejadian oosit polispermi. Kejadian polispermi ini yang menyebabkan gaga1 berkembangnya embrio.
Tabel 11. Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hCG pada medium PIV terhadap tingkat pene-kasi sperma terhadap oosit sapi. Medium kulrur jml Jumlah oosit y a n terpenetrasi(persen) ~ oosit yg Total PKS pronuklcus oosit diuji polispermi 1q 5 0 ) 17(47,2) TCM 199 36(6 1.02) 18(50) 59 26c56.5) 12(26,1) TCM I99+FCS 62 4q74.2) 20(43,5) 28(52,8) 13(24,7) 64 53(82.8) 25(47,2) TCM 199+FCS+PMSG 30(55,6) 11(20,04) TCM 199+FCS+HCG 63 54(85,7) 24(44,4) TCM199+FCS+HCG+-PMSG 6 1 55(90,2) 18132.7) 37(67,3) 1 1(20,O) K c t ~ a n g a n:PKS:-be&dao
k I .
rpemv
Pada tabel 11juga tampak bahwa kejadian polispenni pada medium TCM 199 tanpa suplementasi juga paling besar dibandingkan medium yang lain (47,2 persen), diperkirakan
pada medium ini penetrasi sperma terfradap oosit banyak terjadi pada saat oosit fase
GVBD, karena banyak oosit yang belum matanp, sehingga peluang polispermi semakin besar. Menurut Shamsudin dkk.(1993) penggunaan FCS untuk medium pematangan in vitro dan tumbuh in vitro, memkrikan pengaruh
positif terhadap produksi blastosis,
karena di dalam serum FCS terdapat kandungm hornon gonadotropin, faktor penumbuh, d m beberapa bahan nutrisional laimya yang sangat esensial dibutuhkan untuk pematangan oosit maupun pertumbuhan embrio. Begitu pula menurut Pawshe dkk. (1 9%) suplementasi hormon gonadotropin dikombinasi dengan FCS 10 persen memberikan dampak positif terhadap produksi blastosis. Sedangkan pada penelitian ini juga tampak bahwa medium tanpa
suplementasi serum d m hormon
gonadotropin hanya
pertumbuhan embrio sampai 8 sel saja itupun &lam jumlah
dapat menstimulasi
sangat kecil (4,8persen),
sehingga produksi ernbrio blnstosis tidak di hasilkan sama sekali (0 persen). Hasil penelitian ini juga didukung hasii. beberapa peneliti lain seperti Keskintepe, dkk. (1994) yaitu dibandingkan medium yang ditambahkan FSH dan LH mencapai angka moru1a 40 persen, medium tanpa suplementasi mencapai angka morula hanya 2 persen. Begitu pula menunrt Cameron
dkk. (1996) kultur sel-sel granulosa atapun sel-sel kumulus dengan
penambahan gonadotropin, meningkatkan M ~ t a ssitoplasma kinase yang berfmgsi sebagai pengaktif mitogen (pembelahan sel) yaitu berupa mitagen associated protein kinases ( M A P K ) , aktifitas MAPK ini yang sangat berperan pembelahan sel-sel embrio,
sehingga embrio dapat tumbuh dan berkembang secara in vitro.
Pembuatan medium PIV dengan sistim kokultur sel-set kumulus meskipun tanpa suplementasi masih dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan oosit maupun spermatozoa
untuk melakukan transfomasi inti, seperti glutation, PA, CAMP, sistin dl1 ( Wiesel dan Schultz, 1981;Calvin dkk., 1986; Perreaqdt dkk., 1988: Kim. 1993; Sawai,1997). Apalagi di dalam medium TCM 199 terdapat kandungan sistein yang cukup tinggi yaitu 26 mg/l (Lihat P
lampiran I), Menurut Sawai (1997) konsentrasi sistein yang cukup tinggi akan mengakiiatkan sintesis glutation oleh sel-sel kumulus, sebagai akibatnya pronukleus jantan akan mudah terbentuk. Dari tabel 12 juga tampak bahwa, oosit yang berasal dan medium PIV hanya menggunakan TCM 199 juga terbentuk pronukleus jantanhetina, karena oositoosit tersebut masih terselubung sel-sel kumulus. Pada gambar 23 tampak bahwa suplementasi PMSG dan hCG pada medium tumbuh in vitro (pertumbuhan embrio) dapat memberikan pengaruh
nyata terhadap turnbuh
kembang embrio ( ~ 0 , 0 0 5 ) . Dari percobaan ini juga tampak bahwa kombinasi suplementasi PMSG dan hCG serta FCS dapat menghasillian produksi blastosis terbaik di banding dengan suplementasi PMSG dan hCG saja.
Dari hasil penelitian ini (gambar 23) dketahui hambatan terbesar dari semua jenis suplementasi medium pertumbuhan embrio adalah kemampuan embrio untuk tumbuh dan berkembang melampaui tahap 8 sel-16 sel, dimana pada grafik tersebut tampak bahwa semua jenis suplementasi medium menunjukkan penurunan lebih cepat dibandingkan pada tahap perkembangan embrio yang lain (dari uji statistik p>0,005). Sebagian besar peneliti juga menghadapi masalah ini. Hambatan ini sering disebut "fenomena sel b l o k (Sparks, dkk., 1992; McGinnins dan Youngs.1992 ), pada sapi fenomena ini terjadi pada saat 8 s.d.
16 set. Sedangkan pada babi terjadi pada tahap 4 sel ( Davis dan Day, 1978).
Gambar 23.Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hCG pada medium tumbuh in vitro terhadap pertumbuhan ernbrio sapi. Meskipun para peneliti masih berbeda pendapat, tetapi beberapa peneliti menganggap bahwa glukosa sebagai salah satu penyebab tejadinya sel blok (McGinnins dan Youngs, 1992). Pada penelitian ini digunakan TCM 199 yang juga mengandung glukosa (lihat komposisi TCM 199, lampiran I), sehingga fenomena sel blok juga t e r j d . Pendapat ini dapat dilihat dari gambar 24, dimana medium yang hanya mengandung TCM 199 saja. tidak satupun embrio dapat melewati tahap 8 sel. Sedangkan pada medium
perkernbangan embrio dengan kombinasi suplemen homon PMSG, hCG dan FCS temyata dapat melalui tahap 8 sel, meskipun banyak embrio yang terdegenerasi sebelum mencapai blastosis. Sebagai contoh dari hasil penelitian ini menunjukkan medium pertumbuhan embrio dengan suplementasi FCS saja untuk melalui tahap 8 sel embrio terdegenerasi
sebesar 74,4 persen, FCS dan PMSG sebesar 682 persen, FCS dan hCO sebesar 63,M pemq FCS dm PMSG serta hCG sebesar 47,9 persen Dari data tersebut menunjukkan
bahwa meskipun suplementasi pads medium pemrmbuhan embrio dengan FCS, PMSG,
.,
dan hCG sudab dilakukan, temyata fenomena sel blok masih juga terjadi Suplementasi
medium ini hanya dapat mengumpi embrio tedegemrasi lebih banyak pada saat melalui
-
I
tahap 8 16 sel, kiuena temyata masih batyak embrio yang &pat berkembang men&pai
Garnbar 24: Monolayer dari&.G&l,,
Dari @tian
-.- --.-y...w.-
,xv--.,
ini sel-sel kumults yang dimnnfsmLIInsebagai sel-sel kokultur dapat
berpem dalam menpmgi embrio terdegenerasi agar sopaya &pat melalui tahap
perkembangan 8 sel. Sel-sel kumulus berperan dalam ketabolisme g l m meskipun peda p e n e k ini tidak diamati kemampuan sel-sel kumulus untuk meugkonsumsi glukosa, tetapi menlnut Krisher dklc, (1989) k e m m p ~ ~ sel-sei tl kumulw &lam katabolisme
glukosa d i p e r m m e m b e h kontribusi perkembangan embrio melevati sel blok
Menurut Khurana dan Wales (1989) Metabofisme glukosa mengakiiatkan terabmulasi laktat, dip*
.,
konsenttasi laktat yang berlebihan akan menyebabkan toksisitas pada
embrio muda (sebelum mencapii tahap 8 sel). Delam suasana aerobik laktat tersebut dapat teroksidasi kembali secara lambat (Lehhger,l992). a h tetapi kebutub glukosa 1
meningkat dengan drastis pub tahap morula (Javed dan Wright, 1988) sehingga arhys glukosa puda sistem kokultur bermanfaat untuk menghasilkan blastosis yang lebih banyak,
.
tetapi diperlukan pengatman waktu pemberiannya (Rob1 dkk, 1991;Minami dkk.,1992)
Gambar 25: Embrio tahap momla (a) pada hari ke 5 kultur (200X)dengan monolayer selsel kumulus(b)
ap blastosis am I (c) ernbrio de
) dm blastosis akh
rasi.
Cfambat 27: Blastosis etas pada had ke 23 tam* (10x1
ICM (inner ceU miudtanda paoah )
Kaltur klon embrio K u h r kloa embrio yang bemml dari embrio dengan tahrrp perkembangan h kondisi medium yang berbeda. Pernbuatan klon embrio berasal dari e m b r i m o basil Feailisasi in vitro temyata cukup layak untuk dikembangkan, lrarena men-
pro&
sederhaha Tampak dari tabel 12, bahwa produksi klon embrio berdasarkan
reM
embrio (VI,I/II,IVII,I/fII,IYILI, dan III/III) berasal dari tahap perkembangan embrio morula maupun blastosis
menunjukkan perbedaan
nyata (@,05).
Dibandingkan manipdasi
embrio pa& tahap blastosis, manipulasi embrio pada tahap perkembangan rnorula lebih mudah karena susunan blastomer masih seragam dan klum ada blastosul, sehingga peneliti dengan mudah menentukan garis sayat secara lebih simetris.Namun demikian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reichelt dan Niemann (1994) klon embrio herasal dari embrio blastosis akan menghasilkan jumlah inner cells mass (ICM) dan trofoblas yang Iebih banyak. Jumlab inner cells mass ini sangat berpengaruh setelah transfer nantinya, karena berkurangnya ICM mengakibatkan potensi perkembangannya secara in vtvo berkurang. Meskipun demikian Heyman (1985) menambahkan bahwa disamping jumlah set-sel embrionik, kualitas sel-sel tersebut mempunyai arti penting untuk komunikasi antara embrio dan uterus. Kornunikasi ini sangat penting pa& saat transfer embrio. Demikian pula McEvoy dan Sreenan (1990) pada embrio sapi manipdasi pa& saat blastosis &an
dapat menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi bila dibanding rnorula. Berdasarkan pertimbangan ini penelitian dilanjutkan dengan memanfaatkan embrio blastosis sebagai embrio yang dimanipulasi.
Tabel 12. Kategorisasi pasangan klon embrio yang berasal dari embrio morula rnaupun biastosis setelah dikuitur selama 24 jam. Tahap perkembangan Jml embrio yg Kategori klon embrio dimanipulasi I/I 1/11 IUII I/111 1l/I11 I11/1II Momla 37 7 6 5 8 7 4 Blastosis 41 16 I2 7 4 1 1 Periode kdtur pasca manipulasi mempakan masalah yang sangat urgen untuk mengkultur
klon embrio, terutama diperlukan waktu untuk rekonstitusi sel-sel yang
terdistruksi pada s a t manipulasi clan pembentukan blastosul kembali. Menurut
hasil
investigasi Walker dkk.(1992) embrio
- embrio hasil
manipulasi &pat dikultur dengan
menggunakan sistem kultur kokultur sel-sel ovidak, klon embrio tersebut dapat dengan cepat berkembang kembali. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian yang dapat dilihat pa& Tabel 13 tarnpak periode kultur Mon embrio yaitu 24 jam pascamanipulasi.Menutut Yang dan Anderson (1992), pemisahan blastomer seperti yang dilakukan pada penelitian ini untuk membuat embrio kernbar identik tidak akan mempengaruhi program perkembangan embrio itu sendiri (original devetopmental program). Meskipun manipulasi dilakukan beberapa kali tidak akan terjadi penggandaan progeni. Manipulasi tersebut tidak akan mempengaruhi program pembentukan konfigurasi sel-sel penyusun embrio, program pembelahan terus berlangsung sesuai dengan rencana, tanpa terpengaruh oleh berkurangnya jumlah sel. Sebagai contoh pada embrio sapi, pa& saat program pembelahan cleavage ke 6, sesuai dengan program sel-sel tersebut adalah saat membentuk blastosul dengan jumlah 64 sel, bila manipulasi dilakukan pada saat itu maka akan terbentuk vesikuia blatosul yaitu blastosul dalam ukuran kecil yang tidak mempunyai inner cell mass (ICM). Sebagai akibatnya klon embrio
terekonstitusi &lam waktu yang relatif cept. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Du dkk., (1995) sifat sel-sel embrio semacam ini dapat dilihat pada pembuatan embryonic stem ceN (ESC) dimana ESC dengan cepat membentuk embroit bod1 dan dapat menjadi embrio kembali setelab transfer inti.
Tabel l3.JumIah klon embrio kategori I dikultur s.d. 96 jam in vitro Medium kultur TCM TCM TCM TCM
199 199tFCS 199+(lGF)-I 199+FCS+(IGF)-I
Periode kultur Cjam) 24 48 48 32 50 34 50 34 48 35
72 26 29 30 31
96
11 17 17 18
Dari uji statistik ternyata kultur klon embrio dengan menggunakan medium yang berbeda dan periode kultur yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata (p-0.05) (tabel 14). Dari hasil penelitian ini dapat diketahui proses terkntuknya kembali blastosul secara sempurna dapat terjadi hanya dalam waktu 24 jam, hal ini menunjukkan bahwa pemisahan blastomer pada tahap perkembangan blastosis proses rekonstitusi embrio &pat terjadi secara cepat. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Taniguchi, dkk.(1992) proses rekonstitusi embrio tikus yang dimanipulasi prtda saat terbentuknya pronukleus dapat membentuk blastosis lebih cepat dibandingkan embrio utufi. Data lain darj kultln klon embrio setelah 24 jam (48.72 dart 96 jam) menunjukkan kejadian p e n m a n jumlah klon embrio, beberapa klon embrio mengalami degenerasi. Keadaan ini berarti setelah di
kultur melebihi 24 jam perkembangan embrio tersebut terganggu, ha1 ini diperkirakan bahwa medium kultur sudah tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhan klon-klon embrio tersebut, mengingat embrio-embrio tersebut sudah pa&
tahsp bhstosis, kebutuhan
nutrional, hormonal, d l sudah semakin komplek. Data penelitian hampir sama seperti yang difakukan oleh Stein-Stefani dan Hoitz (1994) yaitu klon embrio babi setelah dikultur lebih dari 24 jam, yaitu pa& 48, 72, dan 96 jam beberapa Mon embrio mengalami disintegrasi
dan kerusakan sel.
Tabel 14. Katagorisasi pasangan klon embrio yang dikultur dengan kondisi medium yang berbeda selarna 24 jam. Kondisi medium
Jml
embrio Kategori embrio
Yg TCM TCM+FCS TCM+(IGF)-I TCM+FCS+(IGF)-I
dimanipulasi 49 51 52 47
VI 12 15 16 16
YII 10 13 14 16
11/11 8 10 1I 11
11111 6
IVlIl 5
6
4
4
4
1
2
IXL'III 8 3 3 1
Penggunaan medium kultur untuk klon embrio dengan menggunakan kombinasi TCM, FCS dan IGF-1 menunjukkan perbedaan nyata pada morfologi klon embrio (p0,05) tetapi apabila masing-masing perlakuan diuji lanjut, ternyata perbedaan yang terjadi hanya pada medium tanpa suplemantasi, sedangkan pada medium dengan kombinasi suplerneniasi FCS dan IGF-1 yang perbedaannya ti*
nyata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sknyszowska dan Soinrag (1 989) pada saat dilakukan rnikromanipulasi embrio mengalami kehilangan sel berkisar 10-15 persen, kehilangan sel sangat tergantung dengan teknik yang digmakan, sehingga diperfukan suplernentasi medium yang &pat berperan sebagai cornpensato~ygrowth embrio pasca manipulasi, yaitu suatu proses pemulihan keadaan dalam bentuk pertumbuhan jumlah selsel embrio &lam waktu yang lebih cepat dari pertumbuhan normal. Untuk melakukan proses ini, klon embrio membutuhkan zat penumbuh yang mempunyai sifat mitogenik faktor cukup kuat yaitu IGF-1, Hadley (1984) menyatakan bahwa IGF-I mC~pakan senyawa yang tersusun dari rangkaian peptida, merupakan faktor penumbuh yang mempunyai sifat mirip dengan Insulin yaltu bersifat anabolic effect pada metabolisme karbohidrat, disamping itu IGF-I berfungsi pula sebagai multiplication stimulating activity yaitu mempunyai sifat menstimuli aktifitas penggandaan, sehingga IGF-I dapat membantu proses mitogenesis baik 1CM maupun trofoblas. Disamping penarnbahan IGF-I sebenarnya FCS juga mengandung IGF-I. faktor penumbuh ini sangat penting untuk pertumbuhan embrio (Spicer dan Geisert. 1992). Dengan demikian embrio dengan cepat terekonstruksi kembali menjadi klon embrio secara sempurna. Dengan terekonhuksi kembali ICM sangat bermanfaat untk pertumbuhan Llon embrio pasca transfer, sedangkan rekontruksi trofoblas sangat berperan pada saat implantasi dan pembentukan plasenta.
Hasil penelitian katagorisasi pasangan klon embrio hasil manipulasi (Tabel 15) dengan memanipulasi embrio sebanyak 199, ternyata dapat menghasilkan pasangan klon embrio layak transfer (transferable pairs) (In, 1/11 clan IVLI ) sebanyak 152 p a n g dan terdapat 32 klon embrio layak transfer dari pasangan dengan kategori I/LII dan IVLII. Sehingga total klon embrio &pat layak transfer ada1ah sebanyak 336 klon embrio. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan telcnik memanipulasi pembuatan embrio kembar &pat
meningkatkan stok embrio sebesar 168,s persen di bandingkan
dengan teknik TVF konvensional.