Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara (Gonad maturity level mud crabs(Scylla serrata) in the mangrove area Sicanang, Medan Belawan North Sumatera) Alfredyanto Sianturi1, Mohammad Basyuni2, Zulham Apandy 3 1
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email :
[email protected]) 2 Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155 3 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155
ABSTRACT Mud crabs in the mangrove ecosystem play an important role and potential commodity, however the population has decreased. Knowledge level of maturity of gonad mud crab is very important to note because this level illustrating the ability of aquatic animals to reproduce in order to remain sustainability.The aim of the research is to know the effect of different density on the gonad maturity and difference in carapace length with the maturity level of gonad in the mangrove area of Sicanang Medan Belawan, North Sumatera.The research has been analyzed in July-September 2015 in Sicanang Medan Belawan, North Sumatera. The research using purposivesampling method that consists of 3 stations. Mud crabs (Scylla serrata)are captured using traps and observed level of maturity gonad. The total were amount 66 mud crab tails. Respectively gonad maturity level mud crabs in the period in July was I. 50 %, II. 36,36 %, III. 4,54 %, IV. 9,09 %. Gonad maturity level mud crabs in the period in August is I. 60,86 %, II. 30,43 %, III. 4,34 %, IV. 4,34 %. Gonad maturity level mud crabs in the period in September was I. 57,14 %, II. 19,04 %, III.14,28 %, IV. 9,52 %.The gonad maturity level V was not found in all stations. Between the carapace with the maturity indexs of gonads Correlation coefficientwas 0.907 . Carapace correlation with the level of maturity of gonad mudcrab is close. Keywords : Mud Crab, Gonads; Gonad maturity, Carapace PENDAHULUAN Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesiasejak awal tahun 1980 an. Kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria dan dari budidaya. Akhir-akhir ini,dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di
beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun(Wijaya dkk., 2010). Kepiting Bakau memiliki peranan yang cukup berarti dalam ekosistem mangrove dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang potensial yang memiliki nilai ekonomis penting. Kepiting bakau merupakan jenis makanan laut yang digemari masyarakat karena memiliki rasa daging yang lezat juga memiliki nilai gizi yang tinggi dimana setiap 100 g daging kepiting bakau segar mengandung 13,6 g
protein, 3,8 g lemak, 14,1 g hidrat arang, dan 68,1 g air (Rahmi dkk., 2013). Berdasarkan peraturan menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia nomor 1/permen-kp/2015 tentang penangkapan kepiting (Scylla spp.) disebutkan bahwa keberadaan dan ketersediaan kepiting dan telah mengalami penurunan populasi, sehingga perlu dilakukan pembatasan penangkapan terhadap kepiting. Dimana setiap orang dilarang melakukan penangkapan kepiting dalam kondisi bertelur. Syarat kepiting yang dapat ditangkap yaitu dengan ukuran panjang karapas >15 cm (di atas lima belas sentimeter). Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad kepiting bakau sangat penting untuk diketahui karena tingkatan ini yang menggambarkan kemampuan bereproduksi hewan air. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang “Tingkat kematangan gonad kepiting bakau di kawasan hutan mangrove Desa Sicanang Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara”.
kantong plastik, meteran, karung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kepiting bakau betina, larutan lugol untuk mengawetkan gonad, ikan rucah untuk umpan. Prosedur Penelitian Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Prosedur kerja penelitian ini dilakukan dengan mengamati langsung gonad kepiting bakau di lapangan dengan membuka cangkang tempat telur kepiting betina kemudian diamati tingkat kematangan gonadnya di Laboratorium Biologi Perikanan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara. Penentuan stasiun dan pengambilan sampel Stasiun pengambilan sampel dibagi menjadi 3 lokasi yaitu berdasarkan jenis vegetasi yang menjadi habitat kepiting bakau diantaranya, vegetasi Rhizopora apiculata, vegetasi Avicenia marinadan Nypa fruticans. Pengamatan sampel Sampel yang didapat di lapangan langsung diamati gonadnya dan dimasukkan kedalam coolbox kemudian dibawa ke Laboratorium Biologi Perikanan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara. Kemudian diamati Tingkat Kematangan Gonadnya (TKG) Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia air dilakukan pada saat pengambilan sampel kepiting. Baku mutu kualitas air untuk kehidupan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Mangrove Sicanang Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara pada bulan Juli sampai bulan September 2015. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan antara lain: termometer, bubu(alat tangkap kepiting), GPS (Global Positioning System), secchi disk, refraktometer, pH- meter, pipet tetes,timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram, alat tulis, kamera digital, spidol permanen,kertas label, tisu, gunting, Tabel 1. Baku mutu kualitas air untuk kehidupan kepiting bakau (Kordi 2012) Parameter Nilai yang dianjurkan Ph 7,0-8,5 Salinitas (PPt) 10-30 DO (mg/l 4-7 0 Suhu ( C) 23-32 Untuk mengetahui perubahan yang Analisis Data terjadi dalam gonad secara kuantitatif, Indeks Kematangan Gonad (IKG)
dapat dinyatakan “Indeks Kematangan Gonad”. Untuk menghitung indeks kematangan gonad dihitung dengan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002) : IKG = x 100% Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad Bg = Berat gonad (gram) Bt = Berat tubuh (gram) Fekunditas Fekunditas ditentukan dengan metode gravimetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 2002):
Hubungan Panjang Karapas dengan IKG Untuk mengetahui hubungan panjang karapas dengan Indeks Kematangan Gonad digunakan persamaan linier yaitu: Y = A +BX Keterangan : Y = Panjang karapas (cm) A = Konstanta B = Kemiringan X = IKG
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil GxVxX Sampel Kepiting Bakau F= Q Sampel kepiting bakau ditangkap Keterangan : dengan menggunakan alat tangkap F = Fekunditas (butir) kepiting yang disebut bubu. Penangkapan G = Berat gonad total (gram) dilakukan setiap bulannya saat terang V = Isi pengenceran (cc) bulan dimana sampel kepiting yang X = Jumlah telur tiap cc diambil adalah betina. Jumlah sampel Q = Berat gonad contoh (gram) yang ditangkap pada setiap stasiunnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah sampel yang ditangkap pada setiap stasiun. Lokasi Jumlah data (ekor) pengambilan Jumlah Juli Agustus September sampel Stasiun 1 5 7 5 17 Stasiun 2 11 9 10 30 Stasiun 3 6 7 6 19 Total 66 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Sicanang diperoleh perbandingan persentase tingkat kematangan gonad kepiting bakau di tiga stasiun pengamatan setiap bulannya. Pada stasiun 1,sampel kepiting bakau yang didapat pada bulan Juli 80% belum matang dan 20% yang sudah matang dan tidak ditemukan sampel kepiting bakau yang kondisinya TKG IIIsedangkan pada bulan Agustus dan September 100% belum matang gonad. Karena sampel yang kondisinya TKG III dan IV sama sekali tidak ditemukan. Untuk lebih jelasnya,
perbandingan pada Tabel 3.
persentasenya
disajikan
Tabel 3. Perbandingan persentase Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau pada bulan Juli, Agustus dan September distasiun 1. Bulan Penelitian
Juli
Agustus
September
TKG
Persentase
I II III IV V I II III IV V I II III IV V
60 20 20 71 29 60 40 -
Jumlah persentase
Keterangan
80
Belum matang
20
Matang
100
Belum matang
-
-
100
Belum matang
-
-
Pada stasiun 2, perbandingan belum matang gonad dan hanya 11.2% persentase tingkat kematangan gonad yang telah matang gonad dan pada bulan kepiting bakau setiap bulannya relatif September terdapat 80% telah matang berbeda. Dimana pada bulan Juli gonad dan hanya 20% yang matang gonad. ditemukan 90.3% belum matang gonad Untuk lebih jelasnya perbandingan dan hanya 9.7% yang telah matang gonad, persentasinya disajikan pada Tabel 4. pada bulan Agustus terdapat 88.8% yang Tabel 4. Perbandingan persentase Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau pada bulan Juli, Agustus dan September distasiun 2. Bulan TKG Persentase Jumlah Keterangan Penelitian persentase I 36.3 90.3 Belum matang II 54 III Juli IV 9.7 9.7 Matang V I 44.4 88.8 Belum matang II 44.4 Agustus III 11.2 IV 11.2 Matang V I 60 80 Belum matang II 20 September III 20 IV 20 Matang V Berdasarkan penelitian yang telah belum matang gonad dan 16.63% telah dilakukan, perbandingan persentase matang gonad, pada bulan Agustus 86% tingkat kematangan gonad kepiting bakau belum matang gonad dan hanya 14.4% di stasiun 3 ialah pada bulan Juli 83.26% yang sudah matang gonad sedangkan di
bulan September 50.8% belum matang gonad dan 49.2% yang telah matang
gonad.,Untuk lebih jelasnya perbandingan persentasinya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan persentase Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau pada bulan Juli, Agustus dan September di stasiun 3. Bulan Penelitian
Juli
Agustus
September
TKG I II III IV V I II III IV V I II III IV V
Persentase 66.63 16.63 16.63 71.6 14.4 14.4 50.8 16.4 32.8 -
Jumlah persentase
Keterangan
83.26
Belum matang
16.63
Matang
86
Belum matang
14.4
Matang
50.8
Belum matang
49.2
Matang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan perbandingan persentase tingkat sedangkan pada bulan September 76.18% kematangan gonad kepiting bakau di Desa belum matang gonad dan 23.8% telah Sicanang yaitu pada bulan Juli ditemukan matang gonad. Nilai persentasi ini didapat 86.36% belum matang gonad dan 13.64% dengan menggabungkan persentasi dari telah matang gonad, pada bulan Agustus ketiga stasiun. Untuk lebih jelasnya 91.29% belum matang gonad dan hanya perbandingan persentasinya dapat dilihat 8.68% yang sudah matang gonad pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan persentase Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakaupada bulan Juli, Agustus dan September di ketiga stasiun Desa Sicanang Bulan Penelitian
Juli
Agustus
September
TKG I II III IV V I II III IV V I II III IV V
Persentase 50 36.36 4.54 9.09 60.86 30.43 4.34 4.34 57.14 19.04 14.28 9.52 -
Jumlah persentase
Keterangan
86.36
Belum matang
13.64
Matang
91.29
Belum matang
8.68
Matang
76.18
Belum matang
23.80
Matang
secara visual. Gonad kepiting bakau Tingkat Perkembangan Gonad Kepiting dikatakan matang apabila sudah mencapai Bakau Sampel kepiting bakau yang TKG III sampai TKG V. Untuk lebih diamati perkembangan gonadnya yaitu jelasnya, tingkat perkembangan gonad sampel kepiting betina. Penentuan tingkat kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 7 kematangan gonad sampel kepiting bakau yang ditangkap yaitu dengan pengamatan Tabel 7. Tingkat Perkembangan Gonad Kepiting Bakau TKG
Gambar
Keterangan Gonad belum masak, berwarna kuning keputihan dan terdapat lapisan peritonium yang tipis
I
Gonad belum masak, warna kekuning-kuningan, butir telur belum kelihatan II
Gonad sudah masak, berwarna kuning orange, dan butiran telur sudah jelas, lapisan peritonium semakin sedikit.
III
Gonad sudah keadaan matang dan berwarna orange atau orange-kemerahan, butiran tampak membesar dan jelas,
IV
Hubungan Panjang Karapas dengan Indeks Kematangan Gonad Pada grafik hubungan panjang karapas dengan indeks kematangan gonad diperoleh nilai r sebesar 0.907. hal ini menunjukkan bahwa hubungan panjang karapas dengan IKG erat pada kepiting bakau yang telah matang gonad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7. panajng karapas
15
Hubungan panjang karapas dengan indeks kematangan gonad
10
y = 0.307x + 7.721 r = 0.907
5 0 0
5 10 15 20 indeks kematangan gonad Gambar 7. Grafik hubungan panjang karapas dengan indeks kematangan gonad kepiting bakau
Fekunditas Kepiting bakau yang dihitung fekunditasnya merupakan kepiting bakau yang telah mencapai TKG III-V. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8 Tabel 8. Fekunditas kepiting bakau Panjang Ikg( %) Karapas (cm) Fekunditas 5.145 10 1.309.000 4.134 9 591.000 3.479 8 284.500 7.285 10.2 809.700 9.803 11.2 1.565.000 1.697 7.8 472.000 11.626 11.3 1.281.000 8.061 10.6 1.773.000 13.506 11.8 913.000 16.931 12.4 1.449.000
fisika dan kimia yang mendukung meliputi suhu (0C), pH, DO (mg/l), Salinitas (‰), Kualitas Air Pengambilan data kualitas air kecerahan (cm). Data parameter kualitas diambil dari setiap lokasi penelitian pada air selengkapnya disajikan pada Tabel 9. saat pasang dengan pengecekan parameter Tabel 9. Rata rata hasil pengamatan kualitas air pada setiap stasiun Stasiun Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Ph 7.10 6.86 6.96 Salinitas (ppt) 18 18.60 16.30 DO (mg/l) 4.20 4.66 5.32 Suhu (0C) 31 31.60 30 Kecerahan (cm) 80 65 60 Pembahasan Sampel Kepiting Bakau Penelitian tingkat kematangan gonad kepiting bakau dilakukan di daerah Sicanang dengan penentuan stasiun berdasarkan jenis vegetasi mangrove yaitu stasiun 1. R. apiculata, stasiun 2. A. marina dan stasiun 3. N. fruticans. Jenis kepiting bakau yang diteliti adalah Scylla serrata sp. betina. Salah satu spesies dari genus Scylla spp. Jumlah sampel yang diamati selama penelitian berjumlah 66 ekor yang ditangkap menggunakan bubu dari ketiga stasiun. Seperti yang disajikan pada Tabel 1, jumlah kepiting yang tertangkap pada setiap stasiunya relatif berbeda jumlahnya. Dimana jumlah sampel yang paling banyak tertangkap ditemukan pada stasiun 2 sebanyak 30 ekor dan yang sedikit ditemukan pada stasiun 1 sebanyak 17 ekor. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa persentase tingkat kematangan gonad kepiting bakau lebih tinggi pada TKG I dan TKG II di setiap stasiunnya. Bahkan pada stasiun 1, untuk pengambilan sampel pada bulan Agustus dan September tidak ditemukan TKG III-V. Hal ini diduga karena sumber nutrien yang minim dan kondisi lingkungan yang kurang sesuai. Menurut Kasri (1991) diacu dalam Endrawati dkk. (2004) bahwa pada saat kepiting dalam fase reproduksi akan membutuhkan
kuantitas pakan serta kualitas nutrisi yang mencukupi untuk menunjang proses – proses reproduksi dan kematangan gonad. Dari ketiga stasiun pengamatan kepiting bakau yang mencapai TKG V tidak ditemukan selama penelitian. Masyarakat yang mata pencahariannya juga menangkap kepiting bakau di kawasan hutan manggrove tersebut menyebutkan hampir tidak pernah menemukan kepiting bakau yang kondisinya mencapai TKG V. Nelayan lebih sering menemukan kepiting bakau yang mencapai TKG V di perairan pantai yang mengarah kelaut. Hal ini disebabkan karena kepiting bakau memiliki sifat beruaya kelaut untuk melakukan pemijahan. Menurut Muna (2010), Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut kemudian induk kepiting bakau dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan dan berkembang biak Tingkat Perkembangan Gonad Kepiting Bakau Tingkat perkembangan gonad kepiting bakau diamati secara visual dengan membuka karapas kepiting tersebut. TKG I dan II digolongkan ke gonad yang belum matang, dan TKG III, IV dan V digolongkan ke gonad yang sudah matang. Menurut Kasry (1996), menjelang matang indung telur berukuran
kecil dan pucat, telur telur belum dapat dilihat dengan mata telanjang, berbentuk sepasang filamen seperti sari susu berwarna kuning keputihan. Hubungan Panjang Karapas dengan Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan penelitian yang dilakukan panjang karapas kepiting bakau minimal yang telah mencapai TKG I yaitu 5,2 cm. Dan panjang karapas yang mencapai tahap matang atau TKG III yaitu 10 cm. Menurut Quinn dan Kojis (1987) in Poovachiranon (1992) diacu dalam Muna (2010) telah melaporkan bahwa panjang karapas minimum pada kematangan seksual bervariasi diatas 53 mm di berbagai negara (85 mm di Filipina hingga 138 mm di Queensland, Australia). Di daerah tropis, S. serrata mengalami kematangan seksual pada ukuran lebar karapas yang lebih kecil jika dibandingkan kepiting di daerah subtropis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai r = 0,907 yang artinya 90,7% panjang karapas mempengaruhi indekskematangan gonad kepiting bakau, sedangkan sebesar 9,3% diduga dipengaruhi oleh faktor lain seperti ketersediaan pakan, salinitas yang sesuai, suhu, DO dan lain sebagainya. Menurut Karim (2006) ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam yaitu ukuran jenis kelamin dan kelengkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar yaitu ketersediaan pakan, cahaya, suhu dan salinitas. Fekunditas Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh fekunditas kepiting bakau yang paling tinggi yaitu sebanyak 1.773.000 pada TKG IV dan yang paling rendah sebanyak 283.500 pada TKG III. Menurut Asmara (2003) Berdasarkan data yang diperoleh dari perhitungan, diperoleh fekunditas kepiting bakau pada TKG III berkisar antara 345.923-1.046.272 butir, sedangkan pada TKG IV berkisar antara 352.152-1.472.639 butir. Fekunditas kepiting bakau dapat mencapai ratusan
ribu sampai jutaan sehingga kepiting bakau dapat menghasilkan telur dan larva yang cukup besar. Kualitas Air Pengetahuan tentang toleransi organisme terhadap parameter kualitas air sangatlah penting. Karena akan dapat memberikan petunjuk yang berarti, bukan saja untuk kebutuhan organisme itu sendiri, tetapi juga untuk berbagai kondisi yang diperlukan agar setiap tingkat kehidupanya berada dalam keadaan normal. Pengukuran prameter fisika dan kimia dapat di lihat pada Lampiran 8. pH (Derajat Keasaman) Berdasarkan penelitian yang dilakukan kisaran pH yang didapat yaitu 6,86-7,1. Dimana nilai paling tinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 7,1. Hal ini dikarenakan karena aktivitas disana hanyalah penangkapan kepiting dan tidak terlalu dekat dengan pemukiman. Dan nilai ini masih sesuai untuk kehidupan organisme. Nilai pH paling rendah terdapat pada stasiun 2, dengan nilai 6,86. Hal ini disebabkan karena stasiun ini berdekatan dengan pemukiman dan jalan raya. Nilai ini masih kurang sesuai untuk kehidupan organisme kepiting bakau menurut baku mutu. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987), kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu daerah yang bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Salinitas Nilai salinitas hasil pengukuran selama penelitian yaitu 16,3-18,6 ppt. Dimana nilai paling rendah ditemukan pada stasiun 3, dengan nilai 16,3 ppt. Hal ini disebabkan karena stasiun tersebut berdekatan dengan muara sungai yang setiap harinya terjadi fluktuasi salinitas. Menurut Nybakken (1992) dalam Rosmaniar (2008) adanya penambahan air tawar yang mengalir masuk ke perairan laut muara menurunkan nilai salinitas. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan selama penelitian, didapatkan suhu 30-31,6 oC. Nilai ini masih sesuai
dengan baku mutu untuk kelangsungan hidup dari kepiting bakau. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 31,6 oC dimana stasiun ini berdekatan langsung dengan pemukiman masyarakat dan berdekatan dengan jalan raya yang biasa dilewati kendaraan roda dua dan roda empat. Sehingga faktor ini mempengaruhi perubahan suhu di stasiun tersebut. Selain itu intensitas cahaya juga mempengaruhi perubahan suhu di suatu perairan, dimana pengukuran sampel untuk suhu dilakukan saat kondisi siang hari. Menurut Odum (1998), suhu ekosistem aquatik dipengaruhi intensitas matahari, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutup vegetasi) dari pepohon yang tumbuh di sekitarnya. Kecerahan Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, diperoleh kisaran nilai kecerahan di ketiga stasiun sebesar 60-80 cm. Kecerahan air di ketiga stasiun dipengaruhi oleh jenis subtrat dengan jenis subtratnya adalah berlumpur. Nilai kecerahan paling tinggi ditemukan di stasiun 3, yang berdekatan dengan badan sungai. Sehingga terjadi pergantian air yang cepat akibat aliran sungai. Dan nilai kecerahan paling rendah ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 60 cm. Hal ini disebabkan karena stasiun ini berdekatan dengan aktivitas tambak yang bersubtrat lumpur. Menurut Nybakken (1992), adanya zat-zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan. Oksigen Terlarut (DO) Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, didapatkan nilai oksigen terlarut di ketiga stasiun yaitu 4,2-5,32 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut di ketiga stasiun tersebut masih sesuai untuk hidup kepiting bakau. Nilai oksigen terlarut yang paling rendah ditemukan pada stasiun 1. dengan nilai 4,2. Hal ini disebabkan karena tingginya suhu perairan di stasiun tersebut dan pengambilan sampel dilakukan pada siang hari. Selain itu, massa perairan hanya berganti akibat pengaruh pasang surut saja,
sedangkan faktor angin sedikit karena adanya vegetasi mangrove. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka didapat kesimpulan sebgai berikut: 1. Tingkat kematangan gonad kepiting bakau (S. serrata) pada peride bulan Juli adalah TKG I: 50%, TKG II: 36,36%, TKG III: 4,54%, TKG IV: 9,09%. Periode bulan Agustus TKG I: 60,86%, TKG II: 30,43%, TKG III: 4,34%, TKG IV: 4,34%. Periode bulan September TKG I: 57,14%, TKG II: 19,04%, TKG III: 14,28%, TKG IV: 9,52%. Sedangkan TKG V tidak di temukan di semua stasiun. 2. Hubungan antara panjang karapas dengan indeks kematangan gonad diperoleh nilai r (koefisien korelasi) sebesar 0,907, menunjukkan korelasi yang erat antara panjang karapas dengan indeks kematangan gonad kepiting bakau. Saran Berdasarkan hasil penelitian, diperlukan penelitian lanjutan tentang tingkat kematangan gonad kepiting bakau di kawasan hutan mangrove Sicanang, agar diketahui puncak pemijahan kepiting bakau di daerah. DAFTAR PUSTAKA Arifin, S. 1993. Budidaya Kepiting Bakau dengan Keramba Apung. Techner.08 Th II. Dinas Perikanan Gresik. Jawa Timur. Effendie M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Endrawati, H., M. Zainuri., C. A. Suryono., Suryono. 2004. Pengaruh Kepadatan Terhadap Tingkat Kematangan Gonad dan Fekunditas Kepiting Bakau (Scylla serrata) Pada Kultivasi di Tambak Garam. [Skripsi] Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
Karim.
Muh. Y. 2005. KInerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata forsskal) Pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya Pada Salinitas Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor. Bogor Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bhratara. Jakarta. Kordi, K. dan M. Ghufran. 2012. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis. Lily Publisher. Yogyakarta. Muna, N. F. 2010. Keragaan Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Di Perairan Indonesia. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Ahli Bahasa oleh H. Mohammad Eidman. PT. Gramedia. Jakarta. Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Keempat. Alih Bahasa Oleh Thahjono FMIPA – IPB Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Putra, R. R., D. Hermon., M. P. Farida. 2013. Studi Kualitas Air Payau Untuk Budidaya Perikanan di Kawasan Pesisir Kecamatan Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. [Skripsi]. Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat. Padang.
Rahmi, E. G., R. Sumarmin., A.Lusi.2013. Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Teluk Buo Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang. [Skripsi] Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI., Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang. Padang Rosmaniar, 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan. Stacey, N.E., 1989. Control of The Timing of Ovulation By Exogenous and Endogenous Factors. in G.W Potts and R.J. Wootton, (Eds.). Fish Reproduction: Strategies and Tactics. Academic Press. 207219pp. Wahyuni, I.S. dan W. Ismael, 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan Kepiting Bakau (Scylla serrata, (Forskal) di Perairan Tanjung Pasir. Journal Penelitian Perikanan Laut 38 : 59-68. Tanggerang. Wijaya, N. I., F. Yulianda., M. Boer., S. Juana. 2010. Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata f.) Di habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(3): 443-461.