TINGKAT KEBISINGAN KENDARAAN YANG MELEWATI HUTAN KOTA JEMBATAN MAHAKAM
Oleh :
YAFET PARISA PULUNG NIM. 120 500 141
PROGRAM STUDI MANAJEMEN LINGKUNGAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016
TINGKAT KEBISINGAN KENDARAAN YANG MELEWATI HUTAN KOTA JEMBATAN MAHAKAM
Oleh :
YAFET PARISA PULUNG NIM. 120 500 141
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN LINGKUNGAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016
TINGKAT KEBISINGAN KENDARAAN YANG MELEWATI HUTAN KOTA JEMBATAN MAHAKAM
Oleh :
YAFET PARISA PULUNG NIM. 120 500 141
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN LINGKUNGAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2016
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Karya Ilmiah
: Tingkat Kebisingan Kendaraan Yang Melewati Hutan Kota Jembatan Mahakam
Nama
: Yafet Parisa Pulung
NIM
: 120 500 141
Program Studi
: Manajemen Lingkungan
Jurusan
: Manajemen Pertanian
Pembimbing,
Penguji I,
Penguji II,
Furqaan Hamsyani, S.Hut., M. Si NIP.19790104 201012 1 0002
Fachruddin Azwari, ST., M.Si NIP. 19750521 200812 1 001
Kemala Hadidjah, ST., M,Si NIP. 19830718 201012 2 004
Menyetujui,
Mengesahkan,
Ketua Program Studi Manajemen Lingkungan
Ketua Jurusan Manajemen Pertanian
Ir. Dadang Suprapto, MP NIP. 19620101 198803 1 003
Ir. M. Masrudy, MP NIP. 19600805 198803 1 003
Lulus ujian pada tanggal : .............................
ii
ABSTRAK
YAFET PARISA PULUNG. Tingkat Kebisingan Kendaraan Yang Melewati Hutan Kota Jembatan Mahakam (di bawah bimbingan FURQAAN HAMSYANI). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk mengukur tingkat kebisingan Hutan Kota Jembatan Mahakam dimana salah satu fungsi Hutan Kota adalah meredam kebisingan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur tingkat kebisingan pada hutan kota jembatan Mahakam. Penelitian ini telah dilaksanakan oleh penulis selama kurang lebih tiga bulan terhitung sejak bulan Januari sampai Maret 2016. Pengumpulan data terdiri dari pengukuran secara langsung pada tiga titik yang sudah ditentukan. Setiap titik diukur nilai kebisingan sebanyak 5 kal i dengan interval waktu 2 menit dan hasil akhir berupa nilai rataan selanjutnya data rataan tersebut dianalisis berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996. Pada setiap titik diadakan pengukuran pada pagi hari yakni pukul 07:00-08:00 Wita, siang 12:00-13:00 dan sore 17:00-18:00 Wita. Titik 1 tingkat kebisingan pada pukul 07:00 sebesar 75,46-60 dB dengan jumlah kendaraan 308 Unit. Titik 2 pada pukul 12:00 tingkat kebisingan 74,2-56,7 dB dengan jumlah kendaraan 261 Unit dan Titik 3 pada pukul 17:00 tingkat kebisingan 73,18-65 dB dengan jumlah kendaraan 257 Unit. Nilai tingkat kebisingan menurun dikarenakan adanya faktor jarak pengukuran dari sumber kebisingan dan diikuti dengan jumlah kendaraan yang melintas. Selain itu, kerapatan vegetasi pada Hutan Kota Jembatan Mahakam diduga menjadi faktor penurunan intensitas kebisingan, dimana setiap titik pengukuran mempunyai kerapatan vegetasi yang berbeda. Hasil pengukuran nilai kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam sebesar 75,46-60 dB telah melebihi nilai baku mutu sesuai dengan ketentuan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996 bahwa tingkat kebisingan (dB) pada ruang terbuka hijau adalah 50 dB. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi awal dalam pengukuran tingkat kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam. Manfaat penelitian ini adal ah memberikan informasi kepada masyarakat tentang tingkat kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam dan memberikan data yang akurat sebagai masukan betapa pentingnya keberadaan hutan kota. Kata kunci: Kebisingan, Kendaraan dan Hutan Kota.
iii
RIWAYAT HIDUP
Yafet Parisa Pulung, lahir pada tanggal 10 Desember 1993 di Tarakan, Kalimantan Utara. Merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Daniel Parisa dan Ibu Dina Sulle. Memulai pendidikan di SD Juata Sesanip Kota Tarakan pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Tarakan pada tahun 2006 dan lulus 2009. Melanjutkan pendidikan kembali di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tarakan pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2012. Pendidikan tinggi dimulai pada tahun 2012 di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Jurusan Manajemen Pertanian pada Program Studi Manajemen Lingkungan dan pernah menjadi salah satu pengurus Keluarga Besar Mahasiswa Kristen (KBMK) bidang kerohanian di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda kepengurusan tahun 2013-2014. Selama menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Manajemen Pertanian Penulis telah mengikuti kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) selama dua bulan terhitung 01 Maret 2016 sampai 30 April 2016 di PT. Indomining Sanga Sanga Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Penulisan Karya Ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dengan sebutan Ahli Madya Manajemen Lingkungan pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Penulis menyusun Karya Ilmiah yang berjudu l Tingkat Kebisingan Kendaraan yang Melewati Hutan Kota Jembatan Mahakam Samarinda. Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan tambahan bagi para pembaca. Amin. God Bless U
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya petunjuk-Nya lah karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan tepat waktu. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis selama kurang lebih tiga bulan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh sebutan Ahli Madya Manajemen Lingkungan pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Judul karya ilmiah ini adalah Tingkat Kebisingan Kendaraan Yang Melewati Hutan Kota Jembatan Mahakam. Dalam penyusun Karya Ilmiah ini, Penulis tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, untuk ini dengan segala kerendahan hati. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Furqaan Hamsyani, S.Hut., M.Si Selaku Dosen Pembimbing. 2. Bapak Fachruddin Azwari, ST., M.Si Selaku Dosen Penguji I. 3. Ibu Kemala Hadidjah, ST., M.Si Selaku Dosen Penguji II. 4. Bapak Ir. Dadang Suprapto, MP Selaku Ketua Program Studi Manajemen Lingkungan. 5. Bapak Ir. M. Masrudy, MP Selaku Ketua Jurusan Man ajemen Pertanian. 6. Bapak Ir. Hasanudin, MP Selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. 7. Seluruh dosen dan staf pengajar di Program Studi Manajemen Lingkungan Jurusan Manajemen Pertanian. 8. Keluarga tercinta, Bapak Daniel Parisa dan Ibu Dina Sulle yang selalu men Parisa Katik, Yoktan Parisa Sulle, Yohs
, Jesicca yang telah
memberikan dukungan baik materi maupun moril untuk kelancaran penulis.
v
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan tugas akhir. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran yang bersifat membangun penulis terima dengan senang hati. Akhirnya penulis berharap semoga bermanfaat untuk kita semua.
Yafet Parisa Pulung Kampus Gunung Panjang, 2016.
v
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... i ABSTRAK .................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..............................................................................................
v
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
vii
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. A. Tinjauan Umum Keadaan Tempat Penelitian ................................. B. Manfaat Hutan Kota ....................................................................... C. Tinjauan Umum Kebisingan............................................................ D. Sumber - Sumber Kebisingan......................................................... E. Dampak Kebisingan ....................................................................... F. Jenis - Jenis Kebisingan................................................................. G. Baku Mutu Tingkat Kebisingan .......................................................
5 5 7 10 11 11 14 15
BAB III. METODE PENELITIAN................................................................ A. Waktu dan Tempat ......................................................................... B. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. C. Prosedur Penelitian ........................................................................ D. Pengolahan Data ............................................................................
17 17 17 17 19
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. Hasil ............................................................................................... B. Pembahasan ..................................................................................
20 20 24
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ A. Kesimpulan .................................................................................... B. Saran .............................................................................................
26 26 26
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Nomor
Tubuh Utama
Halaman
1. Baku Mutu Tingkat Kebisingan.............................................................
16
2. Nilai Intensitas Kebisingan Pada Titik 1, 1.1, dan 1.2 (dB) ...................
20
3. Nilai Intensitas Kebisingan Pada Titik 2, 2.1, dan 2.2 (dB) ...................
21
4. Nilai Intensitas Kebisingan Pada Titik 3, 3.1, dan 3.2 (dB) ...................
21
Nomor
Lampiran
Halaman
5. Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam ............................................................................
30
6. Hasil Rata-rata Pengukuran Tingkat Kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam ............................................................................
32
vii vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Tubuh Utama
Halaman
1. Ilustrasi Pengambilan Sampel ..............................................................
18
2. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak dari Sumber Kebisingan pada Titik 1, 1.1, dan 1.2 .....................
21
3. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak dari Sumber Kebisingan pada Titik 2, 2.1, dan 2.2 .....................
22
4. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak dari Sumber Kebisingan pada Titik 3, 3.1, dan 3.2 .....................
22
5. Grafik Jumlah Kendaraan yang Melintas Pada Saat Dilakukan Pengukuran Kebisingan .......................................................................
23
Nomor
Lampiran
Halaman
6. Sound Level Meter..............................................................................
33
7. Meteran ..............................................................................................
33
8. Pengukuran jarak 71,5 m antara titik 1, 2, 3 diluar jalan .....................
34
9. Pengukuran Jarak 10 m Ke Arah Dalam Hutan Kota ..........................
34
10. Pengukuran Kebisingan Titik 1, 1.1, 1.2 ..............................................
35
11. Pengukuran Kebisingan Titik 2, 2.1, 2.2 ..............................................
35
12. Pengukuran Kebisingan Titik 3, 3.1, 3.2 ..............................................
36
13. Tempat Penelitian Hutan Kota Jembatan Mahakam ...........................
36
BAB I PENDAHULUAN
Perhutanan kota merupakan ilmu terapan yang berkaitan dengan banyak disiplin ilmu sehingga dapat ditinjau dari berbagai segi. Pada umumnya hutan kota dikembangkan dengan tujuan untuk mengkonservasi tanah, air dan kehidupan satwa liar. Dalam hal hubungan antar individu pohon untuk fungsi tersebut maka hutan kota sangat erat kaitanya dengan ilmu silvikultur. Sementara untuk mempelajari hutan kota dari aspek budidayanya maka sangat erat dengan silvikultur. Ilmu landscape silvikultur telah dikembangkan di negara-negara maju sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana membudi dayakan hutan dengan mempertimbangkan aspek lanskap. Ilmu silvikultur yang dipelajari di Indonesia masih berorientasi pada pertimbangan pohon untuk produksi kayu atau hasil hutan non kayu. Padahal saat ini sudah mulai muncul praktek silvikultur dari aspek konservasi lingkungan. Praktek lanskap silvikultur diduga berasal dari pengembangan hutan kota yang mempertimbangkan jasa hutan untuk wisata. Ilmu kehutanan banyak membahas tentang bentuk, komposisi jenis dan kerapatan vegetasi. Sedangkan perhutanan kota sebagai suatu ilmu merupakan kombinasi ilmu manajemen, ilmu silvikultural dan ilmu konservasi. Sebagai suatu ilmu yang dekat dengan ilmu manajemen, perhutanan kota terkait dengan kegiatan perencaanaan, pelaksanaan, dan pemantauan yang memperhatikan pertimbangan teknis silvikultural. Apabila ditinjau berdasarkan fungsi jasa lingkungan, maka hutan kota sangat erat kaitannya dengan ilmu ekologi. Sementara dari tinjauan lanskap, mak a banyak ilmu yang terkait, misalnya ilmu arsitektur.
2
Istilah lanskap sering diartikan sebagai suatu bentuk permukaan bumi dengan segala perwujudannya termasuk bentuk lahannya, vegetasi dan berbagai perwujudan hasil budidaya manusia. Phenology atau fenologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara proses pertumbuhan tanaman khususnya bagianbagian generatif yang berkaitan dengan saat terjadinya pembuangan, berbuah dan berbiji. Pembuangan berkaitan dengan C/D ratio dan berhubungan dengan munculnya hormon pembentuk bunga yang disebut florigen yang dipelajari dalam ilmu biokimia. Kedua bidang ilmu tersebut juga berhubungan dengan hutan yang memperhatikan aspek estetika dan proses fisiologi tanaman. Permasalahan areal bekas tambang yang lokasinya berada di dekat kota atau di dalam kota, perlu dilaksanakan reklamasi bekas tambang, dan hal ini sangat terkait dengan landscape geology dan ilmu tanah. Hutan kota dapat dirancang
sebagai
pelengkap
lanskap
bekas
tambang
agar
memiliki
pemandangan yang indah dan mempunyai fungsi-fungsi konservasi tanah, air, udara, dan keanekaragaman hayati. Landscape ecology dapat berarti suatu pendekatan penataan lanskap yang mempertimbangkan ekologi dalam pembangunan hutan kota. Landscape ecology mempelajari tentang cara-cara penataan lanskap yang di dalamnya terdiri atas susunan ekosistem alam yang dipadukan dengan budidaya manusia agar dapat memberikan panorama lanskap yang dengan lingk ungan buatan. Sementara itu, Ecology sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara kehidupan dan lingkungan fisiknya yang terdapat dan berlangsung di permukaan bumi. Mempelajari hutan kota juga tidak akan lepas dengan dendrologi yang berkaitan dengan upaya mencandra pohon yang berkaitan dengan pengenalan
3
pohon. Dendrologi sangat bermanfaat dalam menetapkan cara-cara pemilihan pohon yang tepat sesuai dengan lingkungannya. Kesesuaian jenis vegetasi dengan tipe hutan kota dan keserasian morfologi tanaman dan lingkungannya (Fandeli. C, 1994). Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya. Lokasi hutan kota dapat dirancang sesuai dengan fungsi hutan kota. Besarnya bobot tiap fungsi landsekap, fungsi pelestarian lingkungan dan fungsi estetika berbeda-beda tergantung pada lokasi peruntukan. Wirakusumah (1987) Menjelaskan bahwa peranan hutan kota berdasarkan lokasi peruntukan aktivitas kota, dapat dibagi menjadi : 1. Hutan kota konservasi 2. Hutan kota industri 3. Hutan kota wilayah permukiman 4. Hutan kota wisata 5. Hutan kota tangkar satwa Bentuk dan struktur hutan kota dapat menurunkan suhu, kebisingan dan debu serta dapat meningkatkan kelembaban. Fungsi ini sangat menentukan dalam pengelompokan hutan kota sehingga dapat digunakan sebagai penciri dalam pengelompokannya. Meningkatnya mobilitas orang memerlukan
sarana dan prasarana
transportasi yang memadai, aman, nyaman dan terjangkau bagi masyarakat. Peningkatan pendapatan/kapita membuat masyarakat mampu untuk membeli kendaraan seperti sepeda motor maupun mobil sebagai sarana transportasi pribadi. Peningkatan perekonomian daerah juga menyebabkan kebutuhan akan sarana transportasi lain seperti bus dan truk meningkat. Akibatnya, semakin hari
4
jumlah arus lalu lintas dan jenis kendaraan yang menggunakan ruas-ruas jalan semakin bertambah. Hal ini menimbulkan masalah di bidang transportasi, salah satunya adalah masalah polusi suara (kebisingan) yang ditimbulkan oleh lalu lintas terhadap lingkungan sekitarnya, yang salah satunya adalah kawasan hutan kota. Kebisingan adalah bunyi yang dapat mengganggu pendengaran manusia. Salter (1976) menyatakan jumlah sumber bunyi bertambah secara teratur di lingkungan sekitar, dan ketika bunyi menjadi tidak diinginkan maka bunyi ini disebut kebisingan. Murwono (1999) mendefinisikan kebisingan sebagai suara yang tidak diinginkan dan pengukurannya menimbulkan kesulitan besar karena bervariasi di antara perorangan dalam situasi yang berbeda. Kebisingan di perkotaan yang padat lalu lintasnya bukan merupakan masalah baru lagi, tetapi permasalahan lama yang perlu dipecahkan bersama. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan pengukuran tingkat kebisingan Hutan Kota Jembatan Mahakam dimana salah satu fungsi hutan kota adalah meredam kebisingan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam dan membandingkan hasil tingkat kebisingan dengan standar baku mutu lingkungan hidup . Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang tingkat kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam dan memberikan data yang akurat sebagai masukan betapa pentingnya keberadaan hutan kota.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum keadaan tempat penelitian Fandeli (2001), mendefinisikan hutan kota yang lebih baik fleksibel sebagai sebidang lahan di dalam kota atau sekitar kota yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang kehadirannya mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan di luarnya. Di dalam definisi ini tidaklah mempermasalahkan luas dan kerapatannya, tetapi yang penting adalah kumpulan pohon itu mampu membentuk iklim mikro yang spesifik seperti suhu, kelembapan, intensitas sinar matahari, arah dan kecepatan matahari. Menurut Irwan (1994), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota maupun sekitarnya, berbentuk jalur, bergerombol (menumpuk), struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan yang sehat, suasana yang nyaman dan sejuk. Anonim (2002), hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik di dalam tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota. Batasan tersebut memandang hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH). Lokasi penelitian pada karya ilmiah ini terletak di ujung Jembatan Mahakam dan letaknya berbatasan sebelah utara dengan Sungai Mahakam dan Kelurahan Sungai Keledang, sebelah timur dengan komplek Kompi Persenjataan TNI (Kompi C ), sebelah selatan dengan Kelurahan Sungai keledang dan sebelah barat dengan Sungai Mahakam.
6
Berdasarkan SK Walikota Samarinda Nomor 178/HK -KS/2005 bahwa luas Hutan Kota Ujung Jembatan Mahakam sebesar 1,5 Ha, sedangkan berdasarkan peta digital Hutan Kota Samarinda tahun 2009 yang dibuat oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota Samarinda sebesar 2 Ha, sehingga terjadi penambahan luas Hutan Kota Jembatan Mahakam Samarinda sebesar 0,5 Ha. Sementara pada tahun 2013 Hutan Kota Ujung Jembatan Mahakam tidak mengalami perubahan, perubahan tersebut baru terjadi pada tahun 2014, berdasarkan hasil lapangan luas Hutan Kota Ujung Jembatan Mahakam sebesar 0, 87 Ha. Terjadi perubahan pengurangan sebesar 1,13 Ha, hal ini terjadi karena perubahan fungsi lahan yang dulunya hutan menjadi bangunan dan lokasi penjualan tanaman hias. Berdasarkan letaknya, Hutan Kota Ujung Jembatan Mahakam berada di Tepi Sungai Mahakam sehingga berfungsi untuk mencegah atau mengurangi bahaya erosi dan tanah longsor pada daerah dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai dengan karakteristik tanah. Selanjutnya dijelaskan Grey and Denneke (1989) keberadaan pohon dalam hutan kota dapat meredam kebisingan melalui tiga cara yaitu absorption (absorpsi), deflection (dibelokkan) dan reflection (dipantulkan). Adanya hutan dapat mengurangi kebisingan hingga 40-50 %. Ketebalan hutan dengan lebar setinggi pohon dapat mengurangi sekitar 5-10 dBA. Hutan kota berbentuk jalur di antara dua tebing dapat mengurangi kebisingan sekitar 50-70 %. Sedangkan pada jalan yang datar pengurangan kebisingan mencapai 20-40 dBA dari bunyi kendaraan yang lewat.
7
B. Manfaat Hutan Kota Permasalahan lingkungan di perkotaan akhir-akhir ini banyak menjadi sorotan banyak pakar. Permasalahan yang dibicarakan tidak berhenti pada persoalan pencemaran lingkungan di perkotaan saja, melainkan juga dampak yang terjadi akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan. Kondisi sebagian besar perkotaan di Indonesia semakin memprihatinkan. Salah satu permasalahan utama yang menyebabkan penurunanan kualitas lingkungan adalah penataan ruang kota yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan aspek perkembangan kota itu sendiri Fandeli (1995). Salah satu upaya untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang telah rusak adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun hutan kota yang memilki beraneka ragam manfaat. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Nilai Estetika Komposisi vegetasi dengan strata yang bervarisasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervarisasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai akan memberi kesan keindahan
tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk
kaku. Disamping itu, penataan pohon yang berlapis di sekitar bangunan akan mengurangi tingkat kebisingan dan menciptakan suara khas akibat gesekan daun. Sedangkan pada beberapa jenis pohon yang menghasilkan bunga dan buah, di samping itu terlihat indah juga akan menjadi habitat satwa.
8
2. Pelestarian Plasma Nutfah Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk membangun masa depan, terutama di bidang pangan, sandang papan, obat-obatan
dan
industri.
Penguasaannya
merupakan
keuntungan
komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Hutan Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. 3. Habitat Hidup Liar Hutan kota bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis kehidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan kota merupakan tempat perlindungan dan penyedia nutrisi bagi beberapa jenis satwa terutama burung, mamalia kecil, dan serangga. 4. Penahan dan Penyaringan Partikel Padat dari Udara Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan terapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melaya ng-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.
9
5. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan. Diperkirakan sekitar 60-70 % partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. Damar (Agathis alba ), Mahoni (Swietenia macrophylla), Jamuja (Podocarpus imbricatus), Johar (Cassia siamea) mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam menurunkan kandungan timbale dari udara. Glodogan (Polyantlthea longifolia), Keben (Barringtonia asiatica)
dan Tanjung
(Mimusops elengi) memiliki kemampaun penyerap timbal rendah, tetapi jenis tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara. 6. Peredam Kebisingan Pohon
dapat
meredam
suara
dengan
cara
mengabsorpsi
gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara adalah yang memiliki tajuk tebal dengan daun yang rindang. Penanaman berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi dapat mengurangi kebisingan, khususnya kebisingan yang sumbernya berasal dari posisi di bawah tajuk pohon. Daun tanaman hutan kota dapat menyerap kebisingan sampai 95 %. Kebisingan yang ditimbulkan oleh lalu lintas dikurangi hingga 85 % dengan cara penanaman. Pemilihan jenis, kerapatan pohon dan mengatur konfigurasi lapangan tepi jalan.
10
C. Tinjauan umum kebisingan Davis Cornwell dalam Djalante (2010) mendefinisikan, bahwa kebisingan berasal dari kata bising yang artinya semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan seharihari. Bising, umumnya didefisinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dan juga dapat menyebabkan polusi lingkungan. Ditambahkan lagi oleh Djalante (2010) suara adalah sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia, ketika gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya. Anonim (1996) mendefinisikan, bahwa kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Sedangkan menurut Setiawan (2010) kebisingan didefinisikan sebagai getaran-getaran yang tidak teratur, dan memperlihatkan bentuk yang tidak biasa. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah pola intensitas, frekuensi dan pembangkitan. Kebisingan itu sendiri biasanya dianggap sebagai bunyi yang tidak dikehendaki. Bunyi terjadi ketika telinga manusia mendengar pada tekanan kecil yang naik turun di udara, yang disebabkan oleh pergerakan getaran dari benda padat. Kebisingan dapat dideskripsikan dalam beberapa istilah dari tiga variabel yaitu amplitudo, frekuensi, dan pola waktu. Dari tiga variabel tersebut maka dapat dijelaskan: 1) Amplitudo Kerasnya dari suatu bunyi bergantung pada amplitudo dari naik turunnya tekanan atmosfer di atas dan di bawah yang digabungkan dengan gelombang suara. Dan besarnya berlaku pada tekanan suara
11
dalam gelombang suara yang dinyatakan dalam root-mean-square (rms). 2)
Frekuensi Suara adalah fluktuasi dari tekanan udara. Bilangan dari terjadinya fluktuasi waktu dalam satu detik disebut frekuensi. Dalam akustik frekuensi dinyatakan dalam satuan Hertz (Hz).
3) Pola waktu Karakteristik penting yang ketiga dari kebisingan yaitu variasi dalam waktu. D. Sumber-Sumber Kebisingan Sumber-sumber bising pada dasarnya ada tiga macam, yaitu sumber bising titik, sumber bising bidang dan sumber bising garis. Kebisingan yang diakibatkan lalu lintas adalah kebisingan garis (Suroto, 2010). Sumbersumber kebisingan menurut Prasetio (1985) dapat bersumber dari: 1. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung. 2. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat -tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung. E. Dampak Kebisingan Pengaruh kebisingan pada tenaga kerja adalah adanya gangguangangguan seperti di bawah ini (Anonim, 2003).
12
1.
Gangguan fisiologis Gangguan yang mula-mula timbul akibat kebisingan. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, pembicara terpaksa berteriak-teriak selain memerlukan ekstra tenaga juga menambah kebisingan (Anonim, 2003). Contoh gangguan fisiologis adalah naiknya tekanan darah, nadi menjadi cepat, emosi meningkat, vaso kontriksi pembuluh darah (semutan), otot menjadi tegang atau metabolisme tubuh meningkat. Semua hal ini sebenarnya merupakan mekanisme daya tahan tubuh manusia terhadap keadaan bahaya secara spontan (Benny L. Pratama dan Adhi Ari Utomo, 2002). Kebisingan juga dapat menurunkan kinerja otot yaitu berkurangnya kemampuan otot untuk melakukan kontraksi dan relaksasi, berkurangnya kemampuan otot tersebut menunjukkan terjadi kelelahan pada otot
2.
).
Gangguan Psikologis Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003), dapat mengganggu pekerjaan dan menyebabkan timbulnya kesalahan karena tingkat kebisingan yang kecil pun dapat mengganggu konsentrasi (Benny L. Pratama dan Adhi Ari Utomo, 2002) sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban
dan
keengganan
untuk
melakukan
aktivitas.
Kebisingan
mengganggu perhatian tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau hasil serta dapat membuat Kebisingan
kesalahan-kesalahan yang
tidak
akibat
terkendalikan
terganggunya dengan
baik,
konsentrasi. juga
dapat
13
menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan tenaga kerja 3.
).
Gangguan Patologis Organis Pengaruh kebisingan terhadap alat pendengaran yang paling menonjol adalah menimbulkan ketulian yang bersifat sementara hingga permanen (Anonim, 2003). Kebisingan dapat menurunkan daya dengar, dan tuli akibat kebisingan (Budiono, dkk, 2003). Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengar yang menyebabkan ketulian progresif. Pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising untuk efek kebisingan sementara. Tetapi paparan bising terus menerus berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali, biasanya dimulai pada frekuensi sekitar 4000 Hz dan kemudian menghebat dan meluas ke frekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang digunakan untuk percakapan
). Di tempat kerja, tingkat
kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan (tingkat kebisingan 80 s/d 90 dBA atau lebih dapat membahayakan pendengaran. Seseorang yang terpapar kebisingan secara terus menerus dapat menyebabkan dirinya menderita ketulian. Ketulian akibat kebisingan yang ditimbulkan akibat pemaparan terus menerus dibagi menjadi dua yaitu a)
temporary deafness, yaitu kehilangan pendengaran sementara.
b)
permanent deafness, yaitu kehilangan pendengaran secara permanen atau disebut ketulian syaraf. Pada pekerja permanent deafness
harus
dapat
dikompensasi
oleh
jamsostek
atau
14
rekomendasi dari dokter pemeriksa kesehatan (Benny L. Pratama dan Adhi Ari Utomo, 2002). F. Jenis - Jenis Kebisingan Jenis kebisingan yang sering dijumpai menurut
(1996)
yaitu: 1) Kebisingan yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state wide band noise) 2) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state narrow band noise) 3) Kebisingan terputus-putus (intermittent) 4) Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise) 5) Kebisingan impulsif berulang. Sedangkan menurut Tambunan (2005) di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar yaitu: 1) Kebisingan tetap (steady noise), yang terbagi menjadi dua yaitu: a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise), -
murni pada frekuensi yang beragam,
b. Broad band noise, kebisingan yang terjadi pada frekuensi terputus yang
2) Kebisingan tidak tetap (unsteady noise), yang terbagi menjadi tiga yaitu: a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise), kebisingan yang selalu berubahubah selama rentang waktu tertentu, b. Intermittent noise, kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contoh kebisingan lalu lintas,
15
c. Impulsive noise, dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api. G. Baku Mutu Tingkat Kebisingan Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama/terus menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk diketahui bahwa di dalam menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada respon masing-masing individu (Anonim, 1996). Beberapa negara telah membuat ketentuan tentang NAB dalam undang-undang, seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, Yugoslavia dan Jepang menetapkan nilai ambang batas 90 dBA, Belgia dan Brazilia 80 dBA, Denmark, Finlandia, Italia, Swedia, Switzerland dan Rusia 85 dBA (Suheryanto, 1994). Di Indonesia nilai ambang batas kebisingan ditetapkan 85 dBA berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 1/1978. Baku tingkat kebisingan yang diperuntukkan kawasan/lingkungan kegiatan sesuai dengan (Anonim, 1996) adalah sebagai berikut:
16
Tabel 1. Baku Mutu Tingkat Kebisingan PERUNTUKAN KAWASAN/LINGKUNGAN KEGIATAN a. Peruntukan Kawasan. 1. Perumahan dan Pemukiman 2. Perdagangan dan Jasa 3. Perkantoran dan Perdagangan 4. Ruang Terbuka Hijau 5. Industri 6. Pemerintah dan Fasilitas Umum 7. Rekreasi 8. Khusus: Bandar Udara Stasiun Kereta Api Pelabuhan Laut Cagar Budaya b. Lingkungan Kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Tempat ibadah atau sejenisnya
TINGKAT KEBISINGAN dB(A)
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996
55 70 65 50 70 60 ??
??
?? ?? ?? ??
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini akan di laksanakan selama tiga bulan yakni dari bulan Januari- Maret 2016 yang meliputi tahapan persiapan, pelaksanaan penelitian, analisa hasil, pengumpulan data, dan penulisan karya ilmiah. Tempat penelitian dilaksanakan di jalan sekitar Hutan Kota Jembatan Mahakam. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Sound Level Meter, digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan. 2. Stopwatch, digunakan untuk menghitung waktu pergantian pengambilan sampel pada setiap titik area pengukuran. 3. Meteran, digunakan untuk mengukur jarak setiap titik. 4. Alat tulis, digunakan untuk mencatat data tingkat kebisingan dari pengukuran. 5. Kamera, digunakan untuk mendokumentasikan semua kegiatan penting selama penelitian. Sedangkan bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah suara kendaraan. Suara kendaraan ini digunakan sebagai penilaian terhadap tingkat kebisingan. C. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini meliputi tahap-tahap kegiatan sebagai berikut: 1. Orientasi Lapangan Orientasi ini dilakukan untuk menentukan titik pengambilan nilai kebisingan. Pada penelitian ini pengukuran panjang jalan di sekitar Hutan
18
Kota Mahakam adalah
143 m,
pengambilan titik sampel kebisingan
sebanyak 3 titik dengan jarak per titik adalah 71,5 m, pembagian titik sebagai berikut: a. Titik I berada di depan jembatan arah samarinda seberang, titik I dilakukan pembagian titik sebanyak 2 titik dengan jarak pengukuran ke arah dalam Hutan Kota Mahakam 10 m. b. Titik II berada pada plang/ reklame Hutan Kota Mahakam. titik II dilakukan pembagian titik sebanyak 2 titik dengan jarak pengukuran ke arah dalam Hutan Kota Mahakam 10 m. c. Titik III berada pada kantor polisi lama. titik III dilakukan pembagian titik sebanyak 2 titik dengan jarak pengukuran ke arah dalam Hutan Kota Mahakam 10 m. Titik 3.1
Titik 3.2
Titik 3
Titik 2.2
10 m 10 m Titik 2.1
10 m
Titik 1.2
10 m 71, 5 m
Jalan Raya
Titik 2
10 m
Titik 1.1
Titik 1 71,5 m
Gambar 1. Ilustrasi pengambilan sampel
10 m
19
2. Persiapan alat pengukur tingkat kebisingan (Sound level meter) Alat pengukur tingkat kebisingan (sound level meter) yang digunakan adalah milik Laboratorium Kualitas Udara dan Cuaca Manajemen
Lingkungan
Politeknik
Pertanian
Negeri
Samarinda,
digunakan sebanyak 1 buah. 3. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu data atau informasi yang diperoleh langsung dari sumber data (pengukuran nilai kebisingan dari tiga titik dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan mengutip dari sumber-sumber sekunder (hasil-hasil penelitian yang terkait atau relevan dengan penelitian). D. Pengolahan Data Pengumpulan data terdiri dari pengukuran secara langsung pada tiga titik yang sudah ditentukan. Setiap titik diukur nilai kebisingan sebanyak 5 kali dengan interval waktu 2 menit dan hasil akhir berupa nilai rataan titik Selanjutnya data rataan tersebut dianalisis berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup N o. Kep-48/MENLH/11/1996. Rataan tingkat kebisingan adalah jumlah nilai tingkat kebisingan 5 kali pengukuran dibagi dengan banyaknya pengukuran
Titik ke- 1 Data 1 + Data 2 + Data 3 D : 5 = Hasil
=D
20
Hasil rata-rata tingkat kebisingan dari tiga titik pengamatan di bandingkan dengan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pengukuran tingkat kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam, dilakukan dengan cara pembagian titik pengukuran yang terdiri dari titik 1, 2 dan 3. Jarak antara titik adalah 71,5 m, dan setiap titik terbagi dua titik ke arah dalam hutan dengan jarak 10 m. Tujuan dari pembagian ini untuk mendapatkan nilai tingkat kebisingan di luar dan di dalam hutan. Hasil pengukuran tingkat kebisingan (dB) pada setiap titiknya ditampilkan pada Tabel 6. (Lampiran) Dari data pengukuran intensitas kebisingan di Hutan Kota Jembatan Mahakam pada pukul 7:00, 12:00 dan 17:00 Wita, terjadi pengurangan nilai kebisingan karena faktor jarak. Untuk intensitas kebisingan terbesar terjadi pada pukul 7:00 dapat dikarenakan aktivitas mulai terjadi sehingga menyebabkan aktivitas tinggi lalu lintas dengan nilai intensitas sebesar 75,46-60 dB, sedangkan penurunan terjadi pada pukul 12:00 kebisingan sebesar 74,2-56,7 dB. Sementara pada pukul 17:00 intensitas kebisingan meningkat sebesar 73,18-65 dB. Tabel 2. Nilai Intensitas Kebisingan (dB) Pada Titik 1, 1.1, dan 1.2 /YlGY?slA?
Tabel 3. Nilai Intensitas Kebisingan (dB) Pada Titik 2, 2.1, dan 2.2 /YlGY?slA?
21
Tabel 4. Nilai Intensitas Kebisingan (dB) Pada Titik 3, 3.1, dan 3.2 /YlGY?slA?
Gambar 2. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak dari Sumber Kebisingan pada Titik 1, 1.1 dan 1.2
22
Gambar 3. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak
dari Sumber Kebisingan pada Titik 2, 2.1 dan 2.2. Gambar 4. Grafik Penurunan Intensitas Kebisingan Karena Perbedaan Jarak dari Sumber Kebisingan pada Titik 3, 3.1 dan 3.2.
Dari grafik 2, 3, dan 4 dapat dilihat bahwa nilai kebisingan menurun dikarenakan adanya faktor jarak dengan jarak terjauh 20 meter dari sumber kebisingan dibanding dengan jarak terdekat aktivitas jalan raya. Gambar 5. Grafik Jumlah Kendaraan yang Melintas Pada Saat Dilakukan Pengukuran Kebisingan.
23
Aktivitas kendaraan dapat dilihat pada grafik tertinggi dimulai pada pukul 7:00 sebanyak 308 rataan kendaraan yang terhitung, penurunan kendaraan terjadi pada pukul 17:00 sebanyak 257 kendaraan, sedangkan pada jam 12:00 jumlah kendaraan mencapai 261 unit. B. Pembahasan Pengukuran nilai tingkat kebisingan menurun dikarenakan adanya faktor jarak pengukuran dari sumber kebisingan dan diikuti dengan jumlah kendaraan yang melintas. Selain itu, diduga kerapatan vegetasi juga menjadi pengaruh menurunnya nilai kebisingan. Jenis kebisingan yang dijumpai pada Hutan Kota Jembatan Mahakam ini termasuk dalam katagori kebisingan terputus -putus (intermittent noise) sejalan dengan pendapat Tambunan (2005), yang telah mengemukakan bahwa kebisingan tidak tetap (unsteady noise), yang terbagi menjadi tiga yaitu: 1) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise), kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu, 2) Intermittent noise, kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contoh kebisingan lalu lintas, 3) Impulsive
noise,
dihasilkan
oleh
suara-suara
berintensitas
tinggi
(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api. Penurunan nilai kebisingan dapat dilihat pada tabel 2, 3 dan 4 dipengaruhi oleh jarak pengukuran kebisingan yaitu 10 meter ke arah hutan. Dimana jumlah vegetasi pada setiap titik pengukuran berbeda hal ini menjadi dugaan sementara bahwa vegetasi menjadi salah satu peredam kebisingan. Hal ini, sejalan dengan pendapat Fandeli (1995), mengemukakan bahwa salah satu manfaat hutan kota
24
adalah sebagai peredam kebisingan dimana pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Berdasarkan tabel 2 tingkat kebisingan pada pukul 07:00 sebesar 75,4660 dB dengan jumlah kendaraan 308 unit dipengaruhi masyarakat pada pagi hari yang
memulai aktifitas seperti pekerja, mahasiswa, dan anak sekolah.
Sedangkan tabel 3 pada pukul 12:00 tingkat kebisingan 74,2-56,7 dB dengan jumlah kendaraan 261 unit di pengaruhi aktifitas masyarakat yang kurang karena pada saat itu jam istirahat dan tabel 4 pada pukul 17:00 tingkat kebisingan 73,1865 dB dengan jumlah kendaraan 257 unit dipengaruhi masyarakat pada sore yang telah melakukan aktififtas pekerjaannya masing -masing dari arah Samarinda kota maupun Samarinda seberang. Hal ini dapat dilihat bahwa lalu lintas kendaraan menjadi sumber bunyi utama pada Hutan Kota Jembatan Mahakam. Nilai kebisingan terendah terjadi pada jarak pengukuran 20 meter dari sumber kebisingan yaitu jalan raya. Hasil pengukuran nilai kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam sebesar telah melebihi nilai baku mutu sesuai dengan ketentuan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-48/MENLH/11/1996 bahwa tingkat kebisingan (dB) pada ruang terbuka hijau adalah 50 dB.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Nilai kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu, jarak pengukuran dari sumber kebisingan, jumlah kendaraan yang melintas dan kerapatan vegetasi. 2. Jenis kebisingan yang dijumpai pada Hutan Kota Jembatan Mahakam ini termasuk dalam katagori kebisingan terputus-putus (intermittent noise). 3. Titik 1 tingkat kebisingan pada pukul 07:00 sebesar 75,46-60 dB dengan jumlah kendaraan 308 unit. Titik 2 pada pukul 12:00 tingkat kebisingan 74,256,7 dB dengan jumlah kendaraan 261 unit dan Titik 3 pada pukul 17:00 tingkat kebisingan 73,18-65 dB dengan jumlah kendaraan 257 unit. 4. Besaran rata-rata tingkat kebisingan pada semua titik telah melebihi nilai baku mutu sesuai dengan ketentuan Menter i Lingkungan Hidup No. Kep48/MENLH/11/1996 bahwa tingkat kebisingan (dB) pada ruang terbuka hijau adalah 50 dB. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka beberapa saran yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Sumber utama dari kebisingan adalah kendaraan, hendaknya dilakukan pembenahan alur lalu lintas sehingga tidak terjadi kemacetan yang dapat menyebabkan tingginya tingkat kebisingan. 2. Perlu adanya penanaman pohon pada Hutan Kota Jembatan Mahakam, untuk memperbanyak jumlah kerapatan pohon sehi ngga dapat mengurangi tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Menteri Lingkungan Hidup. 1996. Tentang: Baku Kebisingan. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: Kep48/MENLH/1996/25 November 1996. Jakarta. Anonim, 2002. Direktorat Jenderal Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial. Anonim, 2003. Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja, Jakarta. Benny L, Pratama dan Adhi Ari Utomo dalam Edhie Sarwono, dkk, 2002. Green Company Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (LK3), Jakarta: PT Astra International Tbk. Budiono, A.M.S., dkk, 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Djalante,
S. 2010. Analisis Tingkat Kebisingan Di Jalan Raya Yang Menggunakan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APIL) (Studi Kasus: Simpang Ade Swalayan). Jurnal SMARTek. Vol. 8 No. 4. November 2010: 280-300.
Fandeli. C, 1994. Penelitian Hutan Kota Yogjakarta, Fakultas Kehutanan UGM. Fandeli, C. 1995. Penelitian Potensi Hutan Kota Yogjakarta. Penelitian DP3.Yogjakarta. Fandeli, C. 2001. Kriteria dan Hirarki Perencanaan Hutan Kota. Workshop diselenggarkan oleh Fakultas Kehutanan UGM. Grey, G. W., and Deneke, F.J., 1989. Urban Forestry. Second Edition. John Wiley and Sons. New York. Irwan, Z.D. 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Hutan Kota terhadap Kualitas Lingkungan Kota. Disertasi, Pasca Sarjana. IPB Press. Bogor. Murwono, D, 1999. Perencanaan Lingkungan Transportasi. Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Universitas Gajah Mada. Prasetio, L. 1985. Akustik Lingkungan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Salter, R.J., 1976. Highway Traffic Analysis and Design. The Macmillan Press Ltd, London. Setiawan, F. N. 2010. Tingkat Kebisingan Pada Perumahan Di Perkotaan. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, No.2, Volume 12 Juli 2010: 191-200.
28
Sihar Tigor Benjamin Tambunan, 2005, Kebisingan Di Tempat Kerja (Occupational Noise), Yogyakarta: Andi. Simarmata, 2013. Paparan Pembangunan Hutan kota. Direktorat Bina Rehabilitas Hutan dan Lahan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan. Jakarta. Suheryanto, R. 1994. Pengaruh Kebisingan Mesin Pabrik Tekstil terhadap Pendengaran Karyawan, Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran UNAIR/RS. Dr. Soetomo. Surabaya. ,1996. Hygene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV Gunung Agung, Jakarta. Suroto, W. 2010. Dampak Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Pemukiman Kota (Kasus Kota Surakarta). Jurnal of Rulan and Development. Volume 1, No. 1 Februari 2010. Wirakusumah, S. 1987. Program Hutan Kota Untuk Jakarta. Makalah Seminar Hutan Kota DKI Jakarta, Jakarta.
LAMPIRAN
30
Tabel 5. Hasil Pengukuran Tingkat Kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam Waktu & Tingkat Kebisingan Titik Sampel
Titik 1
Jumlah Rata-rata
Titik 1.1
Jumlah Rata-rata
Titik 1.2
Jumlah Rata-rata
Titik 2
Jumlah Rata-rata
Titik 2.1
7:00 74,3 76,8 67,6 77,1 81,5 377,3 75,46 64,5 65,6 64,5 66,5 63,0 324, 1 64,82 60,9 60,9 61,4 60,0 56,8 300, 0 60 73,9 71,1 70,3 71,5 66,7 353, 5 70,7 65,2 64,3 68 61,7 63,8
Jumlah Kendaraan 155 170 145 160 180 810 162 114 100 108 98 89 509 101,8 85 80 91 86 92 434,0 87 152 112 107 114 90 575 115 65 74 77 65 68
12:00 73,5 72,5 75,2 73,1 76,7 371 74,2 67,3 77,1 66,9 68,3 70,4 350 70 53,9 56,8 63,4 58,5 57,7 290,3 58 80,8 65,3 69,6 66,4 67,7 349,8 69,96 62,3 60,7 61,9 60,7 61,3
Jumlah Kendaraan 109 105 111 101 112 538 107,6 108 99 109 98 107 521 104,2 89 96 97 94 90 466,0 93 170 83 80 88 68 489 97,8 63 65 67 66 60
17:00 78,1 75,3 65,0 71,2 76,3 365,9 73,18 68,1 65,8 67,2 67,4 68,9 337,4 67,48 62,5 65,5 65,4 67,0 66,1 326,5 65 79,6 75,2 73,2 71,3 71,2 370,5 74,1 63,5 65,5 65,6 64,3 62,8
Jumlah Kendaraan 160 120 83 102 140 605 12,1 90 70 79 80 98 417 83,4 86 87 85 93 89 440,0 88 154 112 104 100 101 571 114,2 74 77 78 72 70
31
Lanjutan. Tabel 5 Jumlah Rata-rata
Titik 2.2
Jumlah Rata-rata
Titik 3
Jumlah Rata-rata
Titik 3.1
Jumlah Rata-rata
Titik 3.2
Jumlah Rata-rata
323 64,6 63,2 63,2 65,4 62,9 68,0 322, 7 64,54 77 72,1 72,9 70,9 72,5 365, 4 73,08 70,3 67,1 69,6 62,2 68,8 338 67,6 62,5 63,3 60,9 61,0 60,3 308 61,6
349 69,8 72 74 77 72 87 382 76,4 160 125 122 115 129 651 130,2 110 100 95 89 93 487 97,4 88 90 80 83 81 422 84,4
307 61,38 62,7 60,4 62,1 58,1 59,5 302.8 60,56 73,2 61,7 76,7 71,3 74,5 3,574 71,48 57,9 53,2 62,8 61,5 61,4 297 59,36 57,1 59,9 53,6 55,5 57,4 284 56,7
321 64,2 58 68 79 75 78 358 71,6 102 65 112 115 120 514 102,8 77 69 80 70 78 374 74,8 69 77 62 64 66 338 67,6
322 64,34 67,8 64,0 61,8 63,4 60,0 317 63,4 70,5 73 68,5 71,5 66,7 350,2 70,04 74,6 57 62,2 63,6 64,5 322 64,38 59,7 57,2 57 68,6 64,8 307 61,46
371 74,2 77 78 72 75 70 372 74,4 112 73 63 113 61 422 84,4 112 55 75 64 66 372 74,4 54 51 49 67 66 287 57,4
32
Tabel 6. Hasil Rata-rata Pengukuran Tingkat Kebisingan pada Hutan Kota Jembatan Mahakam Waktu & Tingkat Kebisingan Titik Sampel 7:00
Jumlah Kendaraan
12:00
Jumlah Kendaraan
17:00
Jumlah Kendaraan
Titik 1
75,46
162
74,2
108
73,18
121
Titik 1.1
64,82
102
70
104
67,48
83
Titik 1.2
60
87
58
93
65
88
Jumlah
200,3
351
202, 3
305
206
292
Rataan
66,76
117
67,42
102
68,65
97
Titik 2
70,7
115
69,96
98
74,1
114
Titik 2.1
64,6
70
61,38
64
64,34
74
Titik 2.2
64,54
76
60,56
72
63,4
74
Jumlah
199,8
261
191,9
234
2018
263
Rataan
66,6
87
64,0
78
67,3
88
Titik 3
73,08
130
71,48
103
70,04
84
Titik 3.1
67,6
97
59,36
75
64,38
74
Titik 3.2
61,6
84
56,7
68
61,46
57
Jumlah
202,3
312
187, 5
24
195,9
216
Rataan
67,4
104
62,5
82
65,3
72
33
Gambar 6. Sound Level Meter
Gambar 7. Meteran
34
Gambar 8. Pengukuran Jarak 71,5 m Antara Titik 1, 2, 3 Diluar Jalan
Gambar 9. Pengukuran Jarak 10 m Ke Arah Dalam Hutan Kota
35
Gambar 10. Pengukuran Kebisingan Titik 1, 1.1, 1.2
Gambar 11. Pengukuran Kebisingan Titik 2, 2.1, 2.2
36
Gambar 12. Pengukuran Kebisingan Titik 3, 3.1, 3.2
Gambar 13. Tempat Penelitian Hutan Kota Jembatan Mahakam