439
Tingkat densitas larva botia dalam satuan volume air ... (Agus Priyadi)
TINGKAT DENSITAS LARVA BOTIA (Chromobotia macracanthus) DALAM SATUAN VOLUME AIR PADA AKUARIUM SISTEM RESIRKULASI Agus Priyadi*), Rendy Ginanjar*), Asep Permana*), dan Jacques Slembrouck**) Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas, Depok E-mail:
[email protected];
[email protected] **) Institute Recherche Pour Le Developpement, Prancis *)
ABSTRAK
Rendahnya sintasan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya kualitas air, ketersediaan pakan dan padat tebar. Padat tebar merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam bidang budidaya karena berpengaruh secara langsung terhadap sintasan, pertumbuhan, tingkah laku, kesehatan, kualitas air, pemberian pakan, dan produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui padat tebar optimal pemeliharaan dalam akuarium sistem resirkulasi yang dapat menghasilkan sintasan larva botia tertinggi. Larva botia dipelihara selama 31 hari dalam akuarium berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yang diisi air sebanyak 5 liter. Perlakuan dalam penelitian ini adalah padat tebar yang berbeda yaitu: A. 15 ekor/L, B. 20 ekor/L, C. 25 ekor/L, D. 30 ekor/L, dan E. 35 ekor/L. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Pakan yang diberikan selama penelitian adalah nauplii Artemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padat tebar tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan, namun memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan panjang larva botia. Sintasan dari masing-masing perlakuan adalah A. 96,45%; B. 96,67%; C. 97,07%; D. 96,22%; dan E. 95,81%. Pertumbuhan panjang larva botia tertinggi dihasilkan pada padat tebar 15 ekor/L yaitu 9,67 mm.
KATA KUNCI:
ikan botia, sintasan, padat tebar
PENDAHULUAN Botia (Chromobotia macracanthus) atau clownloach merupakan spesies ikan hias air tawar asli Indonesia yang banyak ditemukan di perairan umum Sumatera dan Kalimantan. Botia bernilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas potensial untuk ekspor ke mancanegara terutama ke Asia, Amerika Serikat, dan beberapa negara Uni Eropa. Dengan bentuk badan yang unik, punggung agak bungkuk, serta warna belang hitam kuning dengan sirip oranye membuat botia merupakan primadona andalan ekspor komoditas ikan hias air tawar. Permintaan ikan hias air tawar dunia termasuk botia terus meningkat, dari US$ 126 juta pada tahun 1991 telah meningkat menjadi US$ 260 juta pada tahun 2001. Nilai ekspor ikan hias Indonesia yang tercatat oleh Stasiun Karantina Bandara Soekarno-Hatta sebesar US$ 11,3 juta pada tahun 2001 telah meningkat menjadi US$ 120 juta pada tahun 2004 (NAFED, 2004 dalam Satyani et al., 2007). Salah satu masalah dalam kegiatan pembenihan adalah tingginya tingkat kematian pada fase larva. media hidup, kualitas, dan kuantitas pakan serta padat tebar merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi sintasan dan kualitas larva. Agar dapat mengurangi tingkat kematian larva, penentuan padat tebar merupakan upaya yang sangat menentukan dalam menunjang keberhasilan pembenihan. Tingkat padat tebar yang tepat akan memberikan kesempatan bagi ikan dalam memanfaatkan pakan, oksigen dan ruang sehingga pertumbuhan berjalan secara optimal dan menghasilkan sintasan yang tinggi (North et al., 2006). Menurut Rowland et al. (2006), padat tebar merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam bidang budidaya karena berpengaruh secara langsung terhadap sintasan, pertumbuhan, tingkah laku, kesehatan, dan kualitas air. Lebih lanjut Foss et al. (2006) menyatakan bahwa hubungan yang negatif maupun positif antara padat tebar dengan pertumbuhan telah dilaporkan, dan pola dari interaksi ini muncul secara spesifik pada tiap-tiap spesies. Pengaruh padat tebar terhadap pertumbuhan sangat beragam, biasanya menunjukkan hubungan yang negatif pada beberapa spesies finfish seperti ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) (Refstie, 1977), Atlantic cod (Gadus morhua) (Lambert & Dutil, 2001) atau pada spesies flatfish seperti turbot
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
440
(Scopthalmus maximus) (Irwin et al., 1999). Walaupun padat tebar yang terlalu rendah juga memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan pada ikan yang memiliki tingkah laku schooling (berkelompok) seperti Arctic charr (Salvelinus alpines) (Jorgensen et al., 1993) atau sea bass (Dicentarchus labrax ) (Papoutsoglou et al ., 1998). Padat tebar juga memiliki peranan yang penting selama pemeliharaan larva ikan Japanese flounder (Paralichthys olivaceus) (Bolasina et al., 2006), dan padat tebar juga berperan dalam fish welfare pada banyak spesies (Ashley, 2007), seperti ikan Rainbow trout (Ellis et al., 2002; North et al., 2006), Atlantic salmon (Salmo salar) (Tumbull et al., 2005) atau Atlantic Halibut (Hippoglossus hippoglossus) (Kristiansen et al., 2004). Bentuk ikan Senegalese sole juga dipengaruhi secara nyata oleh padat tebar (Ambrosio et al., 2008). Menurut Baras (2009), pengetahuan mengenai pengaruh padat tebar adalah sangat penting untuk menunjang upaya produksi massal dari ikan botia yang saat ini coba dikembangkan di Depok (Pilot Project). Hal ini akan menjadi sangat penting apabila di masa yang akan datang, para importir ikan botia membatasi produk mereka dengan produk-produk perikanan yang hanya diproduksi melalui proses budidaya. Upaya peningkatan padat tebar harus diiringi dengan kemampuan ikan untuk tumbuh dan mempertahankan tingkat sintasan yang maksimal. Peningkatan padat tebar tanpa disertai dengan kualitas air yang terkontrol akan menyebabkan penurunan sintasan ikan dan pertumbuhan yang lambat. Dengan demikian, untuk dapat meningkatkan sintasan larva botia, selain memperhatikan faktor padat tebar juga harus diperhatikan kualitas air media pemeliharaan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas air agar kondisi lingkungan pemeliharaan tetap terkontrol adalah dengan pemeliharaan dalam sistem resirkulasi. Pemeliharaan larva botia dengan menggunakan sistem resirkulasi menghasilkan sintasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa sistem resirkulasi (Satyani et al., 2006). Akan tetapi data mengenai padat tebar optimal yang memberikan sintasan larva botia tertinggi dalam sistem resirkulasi belum ada. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui padat tebar optimal pemeliharaan dalam sistem resirkulasi yang dapat menghasilkan sintasan larva botia tertinggi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga September 2009 di Balai Budidaya Ikan Hias Depok, Jawa Barat. Hewan dan Bahan Uji Hewan uji yang digunakan adalah larva ikan botia umur 8 hari dari menetas dengan bobot ratarata 1,59 mg dan panjang rata-rata 5 mm. Larva ikan botia yang digunakan merupakan hasil pemijahan di LRBIHAT Depok. Perlakuan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Penelitian ini menggunakan lima perlakuan padat tebar yang berbeda, dan masing-masing ulangan diulang sebanyak 3 kali. Adapun padat tebar yang digunakan adalah 15; 20; 25; 30; dan 35 ekor/L. Pemeliharaan Larva Larva ikan botia dipelihara dalam akuarium berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm (volume 6 liter) dengan menggunakan sistem resirkulasi. Pakan yang diberikan adalah nauplii Artemia yang baru menetas dengan metode pemberian pakan sekenyangnya, frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak enam kali sehari yaitu 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00, dan 21.00 WIB. Proses penyiponan dilakukan setiap dua hari sekali sebelum pemberian pakan, hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas air akuarium tetap baik. Pengamatan Sintasan dan Pertumbuhan Pengamatan dilakukan setiap hari dengan cara menghitung jumlah larva yang mati untuk mengetahui sintasannya. Sedangkan untuk pengamatan pertambahan panjang mutlak dilakukan
441
Tingkat densitas larva botia dalam satuan volume air ... (Agus Priyadi)
setiap 8 hari selama 32 hari pemeliharaan. Ikan dianestesi dengan menggunakan larutan 2–phenoxy-ethanol, 0,4 mL L–1 kemudian diukur panjangnya setelah itu dikembalikan lagi ke akuarium. Sintasan larva dihitung dengan menggunakan rumus (Effendi, 1997), yaitu :
Keterangan: SR = Sintasan (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) N 0 = Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor)
Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan rumus (Effendi, 1997):
Keterangan: P = Pertumbuhan mutlak (mm) Pt = Panjang rata-rata ikan pada akhir penelitian (mm) Po = Panjang rata-rata ikan pada awal penelitian (mm)
Pertumbuhan panjang relatif dihitung dengan menggunakan rumus (Brown & Robert, 2002 dalam Acarli & Lok, 2008)
Keterangan: K = Pertumbuhan panjang relatif (%) Lt = Panjang rata-rata ikan pada akhir penelitian (mm) Lo = Panjang rata-rata ikan pada awal penelitian (mm) T = Lama waktu pemeliharaan (hari)
Analisis Data Analisis data menggunakan program SPSS versi 16. Uji tingkat perbedaan sintasan dan panjang mutlak dilakukan dengan analisis satu arah antar perlakuan (ANOVA). Untuk data yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN BAHASAN Data hasil penelitian mengenai sintasan, pertumbuhan panjang mutlak, dan pertumbuhan panjang relatif larva ikan botia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data sintasan, pertumbuhan panjang mutlak, dan pertumbuhan panjang relatif larva ikan Botia (Chromobotia macracanthus)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
442
Sintasan Berdasarkan hasil pengamatan selama 31 hari terhadap jumlah individu yang mati, maka dapat dilakukan penghitungan terhadap sintasan larva botia pada setiap kepadatan. Pada akhir penelitian, jumlah larva botia yang mati dari masing-masing ulangan pada kepadatan 15 ekor/L sebanyak 8 ekor, kepadatan 20 ekor/L sebanyak 10 ekor, kepadatan 25 ekor/L sebanyak 11 ekor, kepadatan 30 ekor/L sebanyak 17 ekor, dan kepadatan 35 ekor/L sebanyak 22 ekor. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan larva botia dalam sistem resirkulasi dengan kepadatan 15, 20, 25, 30, dan 35 ekor/L memiliki sintasan yang tinggi. Sintasan larva botia untuk masing-masing kepadatan adalah sebesar 96,45%; 96,67%; 97,07%; 96,22%; dan 95,81% (Tabel 1). Masing-masing perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sintasan. Hal ini diduga karena daya dukung lingkungan masih memenuhi kebutuhan tiap-tiap populasi serta kebutuhan larva akan pakan terpenuhi. Selain itu, pemeliharaan larva botia dengan menggunakan sistem resirkulasi dapat mengontrol kualitas air media pemeliharaan. Hal ini didukung oleh pernyataan Satyani (2005), bahwa selain kualitas air dapat terjaga, sintasan pun akan semakin tinggi apabila dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa sistem resirkulasi. Menurut D’orbcastel et al. (2009), secara umum area perlakuan (treatment) dari sebuah sistem resirkulasi adalah kombinasi dari penghilangan kotoran (filtrasi secara mekanik), pengontrolan gas (suplai oksigen, dan proses menghilangkan gas CO2) dan proses biologi (proses nitrifikasi amonia dengan menggunakan biofilter, serta disinfektan dengan menggunakan sinar UV). Pada sebuah sistem resirkulasi yang berada dalam kondisi anaerob, filter biologi mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Melakukan kontrol terhadap parameter psikokimia adalah salah satu manfaat dari sistem resirkulasi. Sintasan ikan dapat lebih terjaga apabila kondisi lingkungan dalam hal ini kualitas air, kondisinya baik. Kematian larva botia mulai terjadi pada hari ke–2 yaitu pada kepadatan 25, 30, dan 35 ekor/L sedangkan pada kepadatan yang lebih rendah kematian dimulai pada hari ke–9. Pada hari ke–20 dan ke–21, banyak larva yang mati, terutama pada padat tebar yang tinggi. Larva botia yang mati umumnya yang berukuran kecil. Hari ke–20 merupakan hari dengan kematian larva tertinggi yaitu sebanyak 30 ekor, dan kematian terjadi pada malam hingga pagi hari. Hal ini diduga akibat adanya fluktuasi suhu yang cukup signifikan pada saat penelitian, di mana fluktuasi suhu yang terjadi berkisar antara 3°C–5°C. Perubahan suhu air yang terjadi secara mendadak, akan berpengaruh terhadap sistem metabolisme dan membuat larva menjadi stres. Penurunan suhu juga mengakibatkan ikan menjadi tidak aktif dan kehilangan nafsu makan, hal ini menyebabkan daya imunitas berkurang yang berakibat pada kematian ikan. Walaupun terjadi kematian pada setiap kepadatan, namun sintasan larva botia masih tetap tinggi, yaitu lebih dari 95%, hingga kepadatan 35 ekor/L. Selain faktor kualitas air yang masih berada dalam kisaran optimal mungkin juga didukung oleh sifat dan tingkah laku ikan botia yang tidak agresif. Menurut Rowland et al. (2006), perilaku yang agresif merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh negatif terhadap padat tebar misal seperti ikan Atlantic salmon (Salmo salar) dan ikan channel catfish (Ictalurus punctatus). Pertambahan Panjang Mutlak Pada awal penelitian, rata-rata panjang larva pada kepadatan 15, 20, 25, 30, dan 35 ekor/L masingmasing sebesar 5,29 mm; 5,28 mm; 5,30 mm; 5,33 mm; dan 5,34 mm. Pada akhir penelitian, ratarata panjang larva pada masing-masing perlakuan adalah yaitu 15,05 mm (15 ekor/L); 14,43 mm (20 ekor/L); 13,56 mm (25 ekor/L); 13,44 mm (30 ekor/L); dan 12,58 mm (35 ekor/L). Pertambahan panjang pada kepadatan 15, 20, 25, 30, dan 35 ekor/L masing-masing sebesar 9,67 mm; 9,15 mm; 8,27 mm; 8,11 mm; dan 7,24 mm (Tabel 1). Kepadatan 15 ekor/L memberikan pertambahan panjang tertinggi yaitu 9,67 mm dan kepadatan 35 ekor/L memberikan pertambahan panjang terendah yaitu sebesar 7,24 mm.
443
Tingkat densitas larva botia dalam satuan volume air ... (Agus Priyadi)
Secara umum pertambahan panjang menurun dengan meningkatnya kepadatan. Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan panjang larva botia pada berbagai kepadatan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata di antara perlakuan (P<0,05) (Tabel 1). Pada kepadatan yang rendah, ruang gerak individu menjadi lebih bebas dan pergerakannya lebih banyak dibandingkan dengan kepadatan yang lebih tinggi, akibatnya pertumbuhan menjadi lebih cepat. Kompetisi ruang gerak akan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pakan yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhannya. Kepadatan 15 ekor/L menghasilkan pertumbuhan panjang tertinggi. Namun tidak berbeda dengan kepadatan 20 ekor/L. Kepadatan 25 ekor/L dan 30 ekor/L memiliki pertumbuhan panjang yang tidak berbeda nyata satu sama lain dan lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan 15 ekor/L dan 20 ekor/L. Hal ini disebabkan pada kepadatan 25 ekor/L dan 30 ekor/L sudah terjadi kompetisi ruang gerak dan kompetisi dalam mendapatkan pakan antar individu, sehingga larva sulit untuk mendapatkan pakan sebagai asupan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Pada kepadatan 15 ekor/L, ukuran panjang larva botia lebih seragam dibadingkan dengan kepadatan lain. Pada kepadatan yang lebih tinggi, ukuran panjang larva lebih bervariasi. Semakin tinggi padat tebar, maka semakin bervariasi ukurannya. Adanya perbedaan pertumbuhan diantara masing-masing padat tebar diduga diakibatkan oleh adanya hirarki sosial di antara ikan. Hal ini didukung oleh pernyataan Paspatis et al. (1999) yang menyatakan bahwa pengaruh dari hirarki sosial terhadap perilaku makan ikan ditemukan pada pemeliharaan ikan Atlantic salmon (Salmo salar) dan Arctic charr (Salvelinus alpines). Menurur Wedemeyer (1996), masalah kesehatan dan kondisi stres yang kronis merupakan hasil dari adanya dominasi sosial yang terjadi pada hubungan interaksi di antara ikan, dan ini sering terjadi pada sistem budidaya yang intensif, di mana ikan-ikan yang subordinat (cenderung lemah) memiliki akses yang sangat sedikit untuk mengambil makanan dan cenderung tumbuh lebih lambat, hal ini dikarenakan kalori energi yang dihasilkan sedikit sebagai akibat dari kondisi stres yang kronis. Pertumbuhan Panjang Relatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa padat tebar yang berbeda memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan harian ikan botia. Laju pertumbuhan harian dari ikan botia yang diberi perlakuan padat tebar 15 ekor/L menunjukkan angka tertinggi, kemudian diikuti oleh padat tebar 20 ekor/L, padat tebar 25 ekor/L, padat tebar 30 ekor/L, dan padat tebar 35 ekor/L. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata dari padat tebar terhadap laju pertumbuhan harian ikan botia (P<0,05) (Tabel 1). Laju pertumbuhan harian relatif lambat pada ikan botia yang diberi perlakuan padat tebar 30 ekor/L dan 35 ekor/L. Pertumbuhan yang lambat ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam mencari ruang gerak dan mencari pakan. Pada padat tebar yang tinggi, kesempatan untuk mencari pakan menjadi berkurang akibat ruang gerak yang sempit. Akibatnya asupan energi dari pakan yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi tidak ada. Oleh karena itu, ikan yang dipelihara dalam padat tebar tinggi berukuran lebih kecil daripada ikan yang dipelihara dalam padat tebar rendah. Foss et al., 2006 menyatakan bahwa adanya penurunan pertumbuhan pada ikan yang dipelihara dalam padat tebar yang sedang dan tinggi, lebih diakibatkan adanya ruang lingkup pemeliharaan yang tidak berimbang. Pengaruh negatif padat tebar terhadap pertumbuhan juga ditemukan pada beberapa penelitian yang sejenis (Hosfeld et al., 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan Ellis et al. (2002) yang menyatakan bahwa beberapa studi telah dilakukan mengenai pengaruh dari padat tebar dan pengaruhnya terhadap ikan. Kebanyakan dari studi ini mengatakan bahwa semakin tinggi padat tebar maka akan semakin memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ikan. Lebih lanjut Vromant et al. (2001) menyatakan, laju pertumbuhan spesifik (SGR) dari ikan Barbodes gonionitus turun secara signifikan seiring dengan semakin bertambahnya padat tebar, hal ini diduga diakibatkan oleh adanya kompetisi intraspesifik. Menurut Solomon et al. (2002), kompetisi intraspesifik merupakan kompetisi yang terjadi di antara masing-masing individu pada spesies yang sama. Kompetisi ini muncul apabila jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi ataupun kondisi lingkungan sudah tidak mendukung. Adanya penurunan pertumbuhan pada larva ikan botia yang dipelihara dalam padat tebar yang tinggi, diduga
444
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
diakibatkan oleh adanya kompetisi intraspesifik ini. Padat tebar yang tinggi membuat kompetisi dalam memperebutkan makanan pun menjadi semakin tinggi. Ikan yang lemah atau berukuran lebih kecil pasti akan kalah saing dengan ikan yang kuat dan berukuran lebih besar. Ini merupakan salah satu akibat yang muncul dari adanya hirarki sosial di antara masing-masing individu. Hirarki sosial mampu meningkatkan tingkat stres pada ikan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Ikan yang dipelihara pada padat tebar yang lebih rendah cenderung memiliki pertumbuhan panjang relatif yang tinggi. Ini disebabkan oleh minimnya kompetisi dalam mencari pakan ataupun dalam memperebutkan ruang gerak. Selain karena adanya hirarki sosial, laju pertumbuhan yang lambat diakibatkan adanya penurunan kualitas air media pemeliharaan. Menurut Person-Le Ruyet et al. (2008), adanya peningkatan pada jumlah padat tebar akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air media pemeliharaan, seperti penurunan kadar oksigen terlarut (DO) sebagai akibat dari hasil buangan sisa metabolisme ikan dan karbondioksida yang diikuti oleh penurunan pH. Perubahan lingkungan yang mendadak membuat sistem metabolisme ikan terganggu dan ikan menjadi stres, pada kondisi stres yang kronis pertumbuhan ikan cenderung menjadi lambat karena energi yang ada lebih digunakan untuk bertahan hidup daripada untuk pertumbuhan. Kualitas Air Hasil pengukuran terhadap parameter kualitas air dari setiap kepadatan, menunjukkan bahwa nilai kualitas air pada awal dan akhir penelitian masih dalam kisaran yang dianjurkan. Suhu berkisar antara 26°C–29,5°C. Sedangkan suhu ruang pemeliharaan berkisar antara 27,5°C–30°C. Kisaran nilai parameter kualitas air yang diukur yaitu suhu, pH, DO, dan amoniak masih berada dalam kisaran yang dianjurkan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan larva botia. Penggunaan sistem resirkulasi dan penyiponan dapat mempertahankan dan menjaga nilai parameter kualitas air pada kondisi yang optimal. Dalam penelitian ini tingginya persentase sintasan pada semua perlakuan ini diduga karena faktor pendukung sintasan seperti pakan, kualitas air serta pemeliharaan yang cukup baik. Salah satu parameter yang penting adalah amoniak, di mana kadar amoniak yang terdapat pada media air penelitian berkisar antara 0,00089–0,00697 mg/L, kadar ini berada di bawah kondisi sub lethal amoniak terhadap ikan, sehingga sintasan larva ikan yang dicapai relatif tinggi. Data kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai parameter kualitas air selama penelitian Parameter Suhu (°C) pH DO (mg/L) Amoniak (mg/L)
Nilai 26–29,5 7,5 7,21–8,05 0,00089–0,00697
KESIMPULAN Tingkat densitas (padat tebar) yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan dari larva ikan botia, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak (mm) dan pertumbuhan panjang relatif (%). Pertumbuhan panjang mutlak dan pertumbuhan panjang relatif tertinggi diperoleh dari padat tebar 15 ekor/L yaitu 9,67 mm dan 3,47% sedangkan yang terendah diperoleh dari padat tebar 35 ekor/L di mana nilai pertumbuhan panjang mutlak sebesar 7,24 mm dan nilai pertumbuhan panjang relatif 2,86%. DAFTAR ACUAN Acarli, S. & Lok, A. 2008. Larvae Development Stages of the European Flat Oyster (Ostrea edulis). The Israeli Journal of Aquaculture–Bamidgeh, 61(2), 2009, 114–120. Ambrosio, P.P., Costa, C., Sánchez, P., & Flos, R. 2008. Stocking density and its influence on shape of Senegalese sole adults. Aquacult Int., 16: 333–343.
445
Tingkat densitas larva botia dalam satuan volume air ... (Agus Priyadi)
Ashley, P.J. 2007. Fish welfare: current issues in aquaculture. Appl. Anim. Behav. Sci., 104: 199–235. Baras, E. 2009. Research On Clownloach (Chromobotia macracanthus). Synthetic Report. Annual Report of Freshwater Fish Diversity in South East Asia: “FISH-DIVA”. Institut de Recherche pour le Développement (IRD) dan Badan Riset Kelautan Perikanan (BRKP). 36 pp. Bolasina, S., Tagawa, M., Yamashita, Y., & Tanaka, M. 2006. Effect of stocking density on growth, digestive enzyme activity and cortisol level in larvae and juveniles ofJapanese flounder, Paralichthys olivaceus. i, 259: 432–443. D’orbcastel, E.R., Blancheton, J.P., & Belaud, A. 2009. Water quality and rainbow trout performance in a Danish Model Farm recirculating system: Comparison with a flow through system. Aquacultural Engineering, 40: 135–143. Effendi. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, 112 hlm. Ellis, T., North, B., Scott, A.P., Bromage, N.R., Porter, M., & Gadd, D. 2002. Review paper: the relationships between stocking density and welfare in farmed rainbow trout. J. Fish Biol., 61: 493–531. Foss, A., Kristensen, T., Åtland, A., Hustveit, H., Hovland, Øfsti, A., & Imsland, A.K. 2006. Effects of water reuse and stocking density on water quality, blood physiology and growth rate of juvenile cod (Gadus morhua). Aquaculture, 256: 255–263. Hosfeld, C.D., Hammer, J., Sigurd, O., Handeland, Fivelstad, S., Sigurd, O., & Stefansson. 2009. Effects of fish density on growth and smoltification in intensive production of Atlantic salmon (Salmo salar L.). Aquaculture, 294: 236–241. Irwin, S., O’Halloran, J., & FitzGerald, R.D. 1999. Stocking density, growth and growth variation in juvenile turbot, Scophthalmus maximus (Rafinesque). Aquaculture, 178: 77–88. Jørgensen, E.H., Christiansen, J.S., & Jobling, M. 1993. Effects of stocking density on food intake, growth performance and oxygen consumption in Arctic charr (Salvelinus alpinus). Aquaculture, 110: 191–204. Kristiansen, T.S., Fernö, A., Holm, J.C., Privitera, L., Bakke, S., & Fosseidengen, J.E. 2004. Swimming behaviour as an indicator of low growth rate and impaired welfare in Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus L.) reared at three stocking densities. Aquaculture, 230: 137–151. Lambert, Y. & Dutil, J.D. 2001. Food intake and growth of adult Atlantic cod (Gadus morhua L.) reared under different conditions of stocking density, feeding frequency and size-grading. Aquaculture, 192: 233–247. North, B.P., Ellis, T., Turnbull, .J.F., Davis, J., & Bromage, N.R. 2006. Stocking density practices of commercial UK rainbow trout farms. Aquaculture, 259: 260–267. Papoutsoglou, S.E., Tziha, G., Vrettos, X., & Athanasiou, A. 1998. Effects of stocking density on behavior and growth rate of European sea bass (Dicentrarchus labrax) juveniles reared in a closed circulated system. Aquacult. Eng., 18: 135–144. Paspatis, M., Batarias, C., Tiangos, P., & Kentouri, M. 1999. Feeding and growth in response of sea bass (Dicentrarchus labrax) reared by four feeding methods. Aquaculture, 175: 293–305. Person-Le Ruyet, J., Le Bayon, N., & Gros, S. 2007. How to assess fin damage in rainbow trout, (Oncorhynchus mykiss) ?. Aquat. Living Resour., 20: 191–195. Rowland, S.J., Mifsuda, C., Nixon, M., & Boyd, P. 2006. Effects of stocking density on the performance of the Australian freshwater silver perch (Bidyanus bidyanus) in cages. Aquaculture, 253: 301–308. Refstie, T. 1977. Effect of density on growth and survival of rainbow trout. Aquaculture, 11: 329–334. Satyani, D., Sudradjat, A., & Sugama, K. 2007. Ikan Hias Air Tawar Indonesia. Pusat Perikanan Budidaya. Jakarta, 170 hlm. Satyani, D., Mundriyanto, H., Subandiyah, S., Chumaidi, Sudarto, Taufik, P., Slembrouck, J., Legendre, M., & Pouyaud, L. 2006. Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia (Chromobotia macracanthus Bleeker) Skala Laboratorium. Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 19 hlm. Satyani, D. 2005. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. 80 hlm. Solomon, E.P., Berg, L.R., & Martin, D.W. 2002. Biology, sixth edition. Rose, N. (Ed.). Stamford, CT: Thomson Learning.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
446
Turnbull, J., Bell, A., Adams, C., Bron, J., & Huntingford, F. 2005. Stocking density and welfare of cage farmed Atlantic salmon: application of a multivariate analysis. Aquaculture, 243: 121–132. Vromant, N., Namb, C.Q., & Ollevier. 2001. Growth performance of Barbodes gonionotus (Bleeker) in intensively cultivated rice fields. Aquaculture, 212: 167–178. Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. Chapman and Hall, Melbourne, 232 pp.