Tiada Tempat bagi
KEBENARAN
David F. Wells
Momentum 2004
Copyright © momentum.or.id
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN, Atau, Apa yang Telah Terjadi pada Teologi Injili? (No Place for Truth; or, Whatever Happened to Evangelical Theology?) Oleh: David F. Wells Penerjemah: Peter Suwadi Wong Editor: Hendry Ongkowidjojo Tata Letak: Djeffry Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo Copyright © 1993 by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 255 Jefferson Ave. S.E., Grand Rapids, Michigan 49503 Paperback edition 1993 Published jointly in the United States by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. and in the U. K. by Inter-Varsity Press 38 De Montfort Street, Leicester LE1 7GP, England All rights reserved.
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature) Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Copyright © 2002 Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail:
[email protected]
Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT) Wells, David F.
Tiada tempat bagi kebenaran, atau, Apa yang telah terjadi pada teologi Injili?/David F. Wells terj. Peter Suwadi Wong – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2004. xv + 364 hlm.; 15,5 cm. ISBN 979-8131-80-0 1. Kaum Injili – Amerika Serikat – Sejarah – Abad ke-20 2. Kekristenan dan Kebudayaan. 2004
230’.046 – dc20
Cetakan pertama: Maret 2004 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi
Prakata Penerbit Prakata Pendahuluan
xi xiii 1 PROLOG
1. HILANGNYA FIRDAUS YANG NIKMAT Firdaus yang Nikmat Meninjau Kembali Kota Puritan
Wanita Sejati Kebangunan Rohani yang Tenang dan Serius Wanita Sejati dan Kotanya Kota Kecil dalam Dunia yang Besar Menjangkau Amerika 2. KEBUDAYAAN KLISE DUNIA Roh yang Resah
Kemerosotan dan Pembaruan
Copyright © momentum.or.id
19 22 27 28 35 40 53 54 61 61 66
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
viii
Peradaban Baru
Modernisasi dan Modernitas Sekularisasi dan Sekularisme Jubah Kaisar yang Hilang Memasak Katak dalam Panci Air
79 84 92 98 102
KEADAAN IMAN 3. BERBAGAI HAL HANCUR BERANTAKAN Lenyapnya Teologi
Apakah Teologi Itu? Bagaimana Teologi Semakin Lenyap Teologi Itu Sedang Lenyap Dongeng tentang Dua Dunia
Dunia Kaum Modernis Tahun-tahun Merosotnya Gerakan Injili 4. KESALEHAN-DIRI Individualitas Modern
Reformasi Protestan Warisan Amerika Saya Melihat, Karena Itu Saya Ada Lingkungan Publik yang Telanjang Versi Revisi (Injili)
Gejala Akibat
111 113 113 123 127 134 134 147 159 163 166 173 187 193 199 199 206
5. BANGKITNYA SETIAP-PRIBADI Siapakah Setiap-pribadi Itu? Standar Menengah Bahaya Penghubung Kartupos dari Tepian Kaum Radikal yang Polos Ke Sanalah Mereka Pergi, dan Sayalah Pemimpin Mereka
217 219 224 229 236 244 247
6. ORANG-ORANG LUMPUH BARU Orang-orang Mandarin Baru Pengetahuan yang Baru
253 258 263 263 275
Pelayanan dan Pasar Pelayanan dan Perhimpunan
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi
Menuju Tatanan Baru Orang-orang Bodoh yang Suci
Pendeta Mencari Ceruk Pasar Pendeta sebagai Orang yang Tidak Permanen Pendeta sebagai Teolog
ix
284 284 288 290
7. KEBIASAAN-KEBIASAAN ALLAH Pemikiran Kafir Pemikiran Alkitabiah Pemikiran Modern
299 307 314 323
8. REFORMASI INJILI Orang Percaya dan Orang Tidak Percaya Pemanfaatan Allah Penemuan Kembali Allah
329 332 336 344
Bibliografi
351
Copyright © momentum.or.id
Prakata
Tentang penulisan buku, orang bijak berkata, tidak ada akhirnya. Dan jika saya tidak memperoleh bantuan dari orang lain, penulisan buku ini barangkali sangat mungkin tidak akan berakhir. Pertama dan terutama, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada Pew Charitable Trusts yang begitu bermurah hati mendukung dana sehingga memungkinkan saya menyisihkan waktu yang sangat dibutuhkan untuk memikirkan hilangnya teologi dari pandangan, dan menuangkannya di atas kertas. Hal ini juga tidak akan dimungkinkan jika saya tidak dibebaskan dari tugas mengajar. Gordon-Cornwell sangat mendukung dalam hal ini. Saya juga berterima kasih kepada semua orang yang telah mengisi kekosongan selama absennya saya. Mereka melakukannya dengan begitu baik sehingga saya mulai takut barangkali Seminari akan memutuskan untuk menjadikan cuti saya ini, cuti yang permanen! Selama cuti, saya menerima sejumlah undangan untuk memberikan kuliah di berbagai tempat. Beberapa di antaranya harus saya tolak, tetapi ada beberapa yang saya terima karena saya pikir dapat menolong memperjelas pikiran saya tentang hilangnya teologi dari pandangan.
Copyright © momentum.or.id
xiv
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
Dan ternyata saya benar. Saya menerima berbagai tanggapan yang sangat berarti terhadap pikiran-pikiran saya. Sebab itu saya mengucapkan terima kasih kepada Southern Baptist Theological Seminary di Louisville untuk kesempatan mengajar dan memperdebatkan pokok ini pada tahun 1990; kepada Coalition for Christian Outreach, Christian College Coalition, dan Christian Higher Education Commission yang adalah bagian dari National Association of Evangelicals atas undangan mereka untuk berbicara dan mendiskusikan tema ini pada tahun 1991; kepada dewan pengurus Wheaton College yang mengundang saya untuk berpikir bersama-sama dengan mereka mengenai pendidikan perguruan tinggi di masa yang akan datang, membuat perubahan-perubahan dalam dunia Injili yang telah saya uraikan sebelumnya; kepada Archdiocese of Sydney, Australia, untuk kebaikan hatinya mengundang saya berbicara kepada para pendeta di wilayah itu tentang bagaimana modernitas mewarnai persepsi kita tentang keunikan Kristus; dan kepada Trinity Evangelical Divinity School untuk kehormatan yang telah diberikan kepada saya untuk menyampaikan kuliah-kuliah Kenneth Kantzer pada tahun 1991 dengan tema menghilangnya teologi dari pandangan. Dan pada musim panas 1992, setelah manuskrip selesai ditulis dan terperangkap dalam kerumitan di kantor penerbit, saya menyampaikan dua seri ceramah tentang beberapa tema buku ini di Biola University dan satu kali di Francis A. Schaeffer Institute, Covenant Theological Seminary. Pada waktu itu sudah terlambat untuk membuat beberapa perubahan. Dadu sudah dilempar ke udara tetapi belum mendarat di meja. Namun saya berterima kasih untuk minat dalam isu-isu yang telah saya angkat. Sebagai tambahan, saya berhutang terima kasih kepada sejumlah orang yang, atas permintaan saya, membaca bagian-bagian dari manuskrip ini. Saya berterima kasih atas komentar-komentar mereka yang sangat berwawasan. Mereka adalah Thomas Askew, Stanley Gaede, T. David Gordon, Os Guinness, Nathan Hatch, James Hunter, Garth Rosell, Mark Noll, John Stott, Douglas Stuart, dan Ken Swetland. Tentu saya sendiri yang bertanggung jawab atas buku ini. Saya juga berterima kasih untuk komentar dan kritik yang diberikan atas bagianbagian manuskrip ini pada dua konferensi tentang “teologi dan alam
Copyright © momentum.or.id
Prakata
xv
kesadaran modern” yang diselenggarakan di Rockport pada tahun 1990 dan 1991. Akhirnya, untuk bab tentang Wenham, saya telah mendapat segala bantuan yang dapat diberikan oleh para staf di Museum Wenham, untuk itu saya sangat berterima kasih. Saya telah mengutip materi-materi di bawah pengawasan dan izin mereka. Terakhir, saya tidak bisa tidak mengekspresikan rasa terima kasih saya kepada semua mereka yang, selama bertahun-tahun, telah memperkaya pengertian saya melalui kesetiaan mereka mengkhotbahkan Firman Allah, melalui teladan mereka dalam kehidupan yang berprinsip, dan melalui kesejatian kerohanian mereka – persahabatan dengan mereka selalu mendorong saya untuk berbuat lebih baik dan lebih baik lagi. Mereka menolong saya untuk dapat melihat bahwa mereka yang paling relevan bagi dunia ini adalah yang dinilai paling tidak relevan.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
Saya sejenak ragu saat memasuki ruang kuliah yang besar dan kaku tempat saya akan mulai mengajar kelas teologi. Yang membuat saya ragu bukan ruangannya, meski di sana terdapat hal-hal yang mengesankan. Meja profesor terletak jauh dari para mahasiswa yang duduk di bangku-bangku yang ditata bertingkat seperti dalam gedung teater, dengan barisan belakang yang agak suram. Selain itu, sistem pemanasnya sering membuat orang kedinginan. Di musim dingin, sistem pemanas ini sering rusak tanpa peringatan, tanpa alasan, dan tanpa belas kasihan. Alat yang tak dapat diandalkan ini bukannya memberi kehangatan, tetapi justru menghisap masuk udara dingin dari luar dan mensirkulasikannya di dalam ruangan. Inilah perumpamaan dari eksistensi modern: sebuah mesin yang tak dapat dijinakkan oleh siapa pun juga, yang dimaksudkan untuk memberi kenyamanan bagi hidup manusia, justru menjalankan rongsokannya untuk merusak rencana-rencana terbaik lembaga tersebut. Namun bukan itu yang membuat saya ragu. Saya sudah membawa jaket panjang untuk berjaga-jaga apabila situasi yang paling buruk ter-
Copyright © momentum.or.id
2
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
jadi. Apa yang membuat saya ragu juga bukanlah keheningan tiba-tiba yang dapat saya rasakan ketika saya melangkah ke depan kelas. Jika mahasiswa-mahasiswa ini seperti para pendahulunya, maka akan banyak dari mereka yang ketakutan. Pertama, reputasi saya dianggap lebih menakutkan dari kaisar Ivan Yang Mengerikan, demikian saya diberitahu, khususnya pada waktu ujian. Kedua, mata kuliah itu sendiri. Teologi begitu jauh dan asing dalam pikiran banyak orang, sehingga pertemuan pertama akan selalu membingungkan dan sering kali menakutkan. Semua itu hanyalah sekadar bagian gambaran dari situasi yang ada. Tetapi saya ragu pada hari itu karena alasan lain. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa mengatasi ketakutan mereka dan menarik keluar rasa ingin tahu mereka yang pasti ada terpendam dalam benak para pria dan wanita ini. Adalah penting bagi saya untuk perlu mengatasi hal ini sedini mungkin. Tetapi sebelum saya mencoba petualangan yang menantang ini, ada pengantar perkuliahan yang harus diberikan. Sekarang saya beruntung dapat mengetahui salah satu pertanyaan yang nantinya akan terdapat dalam lembar evaluasi mahasiswa – laporan konsumen. Pada akhir kuliah, masing-masing akan diminta untuk menjawab pertanyaan: “Apakah pengantar perkuliahan ini disajikan dengan cukup baik?” yang diikuti dengan angka satu sampai lima untuk menilai sang profesor, dari yang terbaik sampai terjelek. Masalahnya, saya tidak pernah memahami pertanyaannya. Bukankah katalog sudah cukup menjelaskan materi kuliah? Ataukah saya diharapkan untuk membacakannya bagi mereka? Memperjelaskannya? Meringkaskannya? Berbicara dengan samar tetapi meyakinkan tentang kehidupan, sehingga mereka memiliki waktu untuk membiasakan diri dengan saya dan dapat memulai perkuliahan dengan perasaan nyaman? Kebingungan saya tentang hal ini terbukti dengan nilai rendah yang selalu saya dapatkan. Setelah lembaran-lembaran evaluasi para mahasiswa lewat di depan mata saya, dengan angka-angka yang menyedihkan, lembar-lembar itu masuk ke kantor dekan dan kemudian diberkas menjadi suatu kesaksian yang mendakwa saya bahwa saya masih belum belajar untuk bagaimana menyajikan pengantar perkuliahan yang baik. Dan siapa tahu kapan lembaran-lembaran itu akan
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
3
ditarik keluar, dikebaskan di hadapan saya dengan disertai tudingan? Ia adalah orang yang tidak tahu bagaimana menyajikan pengantar perkuliahan dengan benar. Jadi, pada hari itu, pada saat keheningan menguasai seluruh kelas, saya dengan cepat menyelesaikan basa-basi pembukaan dan langsung masuk ke inti persoalan. Adakah cara yang lebih baik untuk memulai perkuliahan dan melepaskan sedikit penghiburan daripada dengan menangani ketakutan mereka secara terbuka? Saya berkata saya tahu bahwa sebagian mereka akan memulai suatu perjalanan panjang ke wilayah yang tak dikenal dan yang barangkali tidak akan mereka jalani apabila tidak diwajibkan oleh kebijakan fakultas. Untuk menghangatkan tema saya, saya berkata bahwa saya memahami keengganan yang mungkin mereka rasakan, karena teologi tidak selalu menarik bagi seseorang. Tentu saja, saya katakan, para teolog sendiri tidak selalu membuat menarik pokok yang mereka cintai dan yang harus mereka hidupi itu. Para teolog memang dapat berargumentasi, meski saya yakin bukan hanya mereka yang mampu melakukannya. Tetapi terkadang mereka menaruh pikiran mereka sendiri pada Alkitab, meski saya juga yakin bahwa dalam hal ini, mereka tidak berbeda dengan para pakar lain. Ditambah dengan beberapa alasan lain yang saya singgung secara singkat, saya tahu bahwa teologi tidaklah secara alamiah menarik bagi mereka. Pada saat itu saya merasa berhasil menarik perhatian mereka. Dan terpikir oleh saya bahwa saya begitu beruntung dapat memiliki para mahasiswa yang benar-benar ingin melakukan hal yang benar dan mau memperhatikan apa yang saya katakan meski pasti ada keengganan dalam hati beberapa di antara mereka. Sebagian keengganan ini jelas timbul dari minimnya persiapan yang mereka terima sebelum masuk ke seminari. Para mahasiswa yang mau belajar dapat mencari jalan untuk mengatasi apa yang menghadang mereka di tingkat S1, dan banyak di antara mahasiswa ini yang berhasil. Tetapi mereka yang polos, yang pikirannya dalam tahun-tahun perkuliahan terarah pada hal-hal lain, merasa telah salah jalan. Bukan mustahil bagi para mahasiswa masa kini untuk memenuhi, segala tuntutan perkuliahan, menyelesaikan kuliah dalam kebanggaan dan merayakan wisuda dengan lega tanpa menerima pendidikan apa-apa. Hal ini terjadi bahkan dalam universitas-
Copyright © momentum.or.id
4
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
universitas terbaik. Mereka bisa meluluskan mahasiswa yang tidak memiliki ikatan mental dengan masa lalu, pengetahuan yang minim tentang literatur bidang studi mereka, kurang mengenali para pemikir besar, kurang mampu menilai diri sendiri, dan menganggap keharusan menulis makalah penelitian sebagai hal yang mengerikan. Ketika saya memandang kelas saya, saya menduga ada beberapa di antara mereka yang menjadi korban sistem pendidikan ini. Dan sekarang mereka ada di sini, di tempat yang mereka anggap sebagai tempat celaka. Namun hasrat mereka untuk masuk ke seminari adalah untuk suatu kompensasi yang kuat, suatu kekuatan tandingan, terhadap kebiasaan dan watak yang sebelumnya melekat di dalam diri mereka. Saya semakin tegas. Saya berkata supaya mereka jangan berpikir apakah kita dapat memilih antara mau berteologi dan tidak. Kita semua berteologi karena kita semua memiliki cara untuk merangkaikan berbagai hal dalam pikiran kita yang, jika kita orang Kristen, akan menghasilkan bentuk yang dipengaruhi oleh pengetahuan kita tentang Allah dan firman-Nya. Kita barangkali tidak menyadari bagaimana proses pembentukannya. Sering kali memang tidak, tetapi setidaknya kita akan mengorganisir segala persepsi kita seturut pola pikir yang kita anggap masuk akal. Jadi, pertanyaannya bukan apakah kita akan berteologi atau tidak, tetapi apakah teologi kita baik atau tidak, apakah kita menyadari proses berpikir kita atau tidak, dan, lebih khusus lagi, apakah kita akan belajar menaklukkan seluruh pemikiran kita kepada Kristus atau tidak. Para penulis Alkitab berteologi dalam arti demikian, demikian pula Tuhan Yesus. Ia menjelaskan diri-Nya dalam terang wahyu alkitabiah, memahami hidup dan pekerjaan-Nya dalam keterkaitan dengan Allah, dan memandang semua segi kehidupan dari perspektif ini. Wawasan dunia-Nya berasal dari maksud dan karakter Bapa-Nya, dan itu menuntun segala yang Ia katakan dan lakukan. Saya memberikan pendahuluan alkitabiah yang penting bagi apa yang akan saya usahakan dalam kuliah ini. Saya berpikir apa yang telah saya lakukan ini akan membereskan masalah. Saya kemudian menemukan bahwa para pendengar saya ternyata memiliki pendapat yang berbeda. Ketika lembaran-lembaran evaluasi yang menakutkan itu dikembalikan, tercantum penilaian buruk tentang
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
5
penyajian pendahuluan saya, suatu cap lain bagi perjalanan yang berawal buruk. Tetapi tampaknya ada suatu kemenangan kecil bagi saya. Sebelum saya selesai mengemasi barang-barang saya, sekelompok mahasiswa dengan cepat mengerumuni saya. Tidakkah aneh jika halhal yang tak bertalian bisa berbekas begitu kuat? Pada hari itu, seorang mahasiswa yang tampak bersemangat datang pada saya sambil berterima kasih untuk apa yang telah saya katakan. Ia merasa seakan-akan saya dapat membaca pikirannya. Ia bercerita bahwa ia persis seperti apa yang saya katakan. Ia juga dihantui oleh mata kuliah ini. Ia mengaku bahwa hati nuraninya bergumul keras atas masalah ini. Bukankah suatu pemborosan untuk menghabiskan sedemikian banyak uang untuk mengikuti mata kuliah yang tidak relevan dengan hasratnya untuk melayani jemaat dalam gereja? Ia sama sekali tidak bermaksud menghina, bahkan pengakuan ini saya anggap sebagai pujian. Itulah hari saat mana saya memutuskan bahwa saya harus menulis buku ini. Saya sebenarnya hanya berniat untuk menulis pengantar sederhana bagi sekelompok kecil pendengar, mungkin dengan judul “Suatu Dorongan Kecil bagi Para Teolog Muda.” Saya ingin menjadikannya sebagai persembahan kecil yang dirancang secara sederhana untuk mendorong mereka. Itu saja. Tetapi, apa yang saya tulis ternyata lebih luas dari bayangan saya semula dan ditujukan bagi kelompok pendengar yang lebih luas. Tahun demi tahun, dengan perasaan tidak percaya, saya mengamati bagaimana Gereja Injili dengan sukacita terjun ke dalam kebutaan teologi yang mengejutkan. Sebagian terjun karena menganggap itulah jalan menuju sukses. Tetapi, dampak dari perubahan besar ini bagi semangat Injili terlihat nyata dalam setiap tahun ajaran baru di seminari-seminari, dalam terbitan buku-buku baru, dalam mayoritas besar gereja, dan dalam kebanyakan gembala. Perubahan ini sedemikian besar dan menyeluruh sehingga mereka yang tidak setuju akan dianggap tidak dapat menyesuaikan diri, memiliki terlalu banyak keberatan terhadap hal yang tidak masuk akal, tidak loyal, dan tidak relevan. Selain itu, perubahan ini mengandung konsekuensi yang begitu besar sehingga hati nurani saya mendesak saya untuk menyorotinya. Hati nurani adalah mandor yang keras, dan saya yakin bahwa usaha saya ini akan tampak menggelikan. Saya akan seperti anjing bodoh di
Copyright © momentum.or.id
6
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
padang rumput yang melolong kepada bulan sementara orang lain merasa terganggu. Tetapi saya harus melolong. Perubahan sifat buku ini dari rencana semula tidak hanya merefleksikan suatu perubahan maksud, tetapi tumbuh dari keyakinan yang mendalam perihal natur teologi, pendengarnya, dan prinsip-prinsip pembangunnya. Tetapi selain di bagian awal ini, saya tidak akan berkata apa-apa tentang prinsip pembangun teologi dan hanya sedikit menyoroti natur teologi. Hampir seluruh buku ini ditujukan untuk membicarakan pendengar teologi, tentang bagaimana kondisi pendengar dapat mempengaruhi semua kemungkinan berteologi yang ada dan mengapa demikian. Pertanyaan tentang metode berteologi yang tepat sangat penting dan harus diberi perhatian yang cukup oleh para akademisi karena cukup berbahaya jika diabaikan dan diremehkan. Ada banyak karya teologi yang saya lihat premisnya salah arah. Mereka memandang teologi seperti mesin. Seperti mesin pemotong rumput tua, ia akan bekerja dengan satu atau dua tarikan, dan jika gagal, maka sedikit berpikir barangkali akan memperbaikinya. Dengan kata lain, ada anggapan bahwa jika teologi sedang merosot − dan hanya sedikit yang tidak berpendapat demikian − maka hal itu dikarenakan teologi tidak mengambil sumbersumber kesembuhan yang ada di dalam dirinya sendiri. Celakanya, meskipun ilmu kuno ini sudah banyak dipikirkan, meskipun ada berbagai saran untuk membangun kembali, dan meskipun ada banyak perbaikan yang berasal dari berbagai bidang baru, kita harus menarik kesimpulan menyedihkan yang tak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu yang secara serius telah hilang, yang tidak dapat diatasi dengan pemikiran yang bagaimanapun. Karena itu saya mengambil arah yang berbeda, dengan asumsi bahwa teologi terutama diperuntukkan bagi umat Allah dan pendengar utamanya adalah Gereja, bukan kumpulan pakar. Setiap kontribusi yang mereka berikan bagi kehidupan dan perkembangan teologi patut disyukuri, tetapi para pakar ini bukanlah pendengar utama. Alasannya, teologi bukan sekadar refleksi filsafat yang berbicara tentang kodrat dari berbagai hal. Teologi adalah perumusan yang kuat akan pengetahuan tentang Allah. Substansi teologi tidak hanya berasal dari refleksi manu-
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
7
siawi, tidak peduli betapapun pintarnya dia, tetapi dari Firman alkitabiah yang olehnya teologi diisi dan dibentuk. Dan tujuan teologi bukan pertama-tama untuk ambil bagian dalam percakapan para pakar, tetapi untuk memberi gizi bagi umat Allah. Inilah natur dan tujuan teologi. Di dalam Gerejalah kita seharusnya menemukan lingkaran pengetahuan yang menjadikan Kristus sebagai objek dan yang melayani Dia sebagai tujuan. Karena itu, di dalam Gerejalah pendengar teologi dapat ditemukan, yaitu komunitas iman yang menjadi sasaran fundamental dari para teolog. Sebab hanya oleh iman, pengetahuan tentang Allah diterima dan ditopang. Teologi yang dibangun dengan cara seperti ini jelas akan memiliki relevansi intelektual yang sangat kuat bagi masyarakat dan akan pula memiliki tempat yang sah dalam diskusi-diskusi publik. Namun karena tempat dari karya teologi adalah Gereja, maka bukanlah tidak mungkin di sana pula terletak kegagalan kontemporer kita. Jika para pakar terpisah dari pendengar utama mereka, maka kesalahan utama atas persoalan yang terjadi tidak dapat dituduhkan kepada mereka. Karena itu pula, perbaikan dalam berteologi, bahkan perbaikan pada sebagian besar metodologi, tidak dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Persoalannya lebih terletak pada hal rohani ketimbang intelektual. Alasan mengapa teologi semakin lenyap hanya sedikit berkenaan dengan keterampilan teknis, tetapi terkait erat dengan kondisi Gereja. Jadi, bukan dengan para teknisi saya harus memulai, tetapi dengan Gereja. Bukan dengan para pakar saya harus mulai, tetapi dengan seluruh umat Allah. Dan bukan pada metodologi saya harus mencari pemulihan, tetapi pada reformasi cara hidup dan pola pikir orang Kristen di tengah berbagai perubahan luar biasa, yang dikerjakan oleh modernitas atas dunia kita ini. Jadi jelas bahwa bagi saya, teologi berada pada simpul tempat beberapa dunia bertemu. Pertama, ada dunia pembelajaran tempat teologi diketuk: Kedua, ada Gereja yang baginya teologi dibangun; dan ketiga, ada para perantara, yang dalam konteks modern, kerap membentuk dunia kecil tersendiri, tetapi yang harus bekerja dalam jaringan. Perantara ini adalah para pakar, yang menjembatani dunia pembelajaran, dan para gembala, yang menyalurkan apa yang dihasilkan oleh para pakar
Copyright © momentum.or.id
8
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
kepada Gereja. Dalam buku ini saya akan menunjukkan bahwa simpul ini sekarang terlepas satu sama lain. Dunia-dunia ini tidak hanya saling terlepas, tetapi bahkan terjadi disintegrasi di dalam diri mereka sendiri. Banyak cabang ilmu seperti studi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dulunya memperkaya teologi, kini menyerangnya dengan semangat menegaskan kemandirian mereka. Banyak orang yang bertugas menyalurkan kebenaran Allah bagi umat Allah di Gereja, kini meredefinisikan tugas pastoral sedemikian rupa sehingga teologi telah menjadi beban penghambat yang memalukan atau menjadi sesuatu yang tidak begitu mereka pahami. Dan banyak orang dalam Gereja telah berpaling kepada diri sendiri dan menggantikan pengetahuan akan Allah dengan pencarian pengetahuan akan diri. Jika kapasitas untuk memikirkan dunia secara Kristen telah terkikis bahkan di dalam gereja, maka kelayakan untuk berteologi pasti juga akan dipertanyakan, baik di mimbar maupun di kalangan akademisi. Kelayakan pengetahuan semacam ini akan terdisintegrasi, seperti halnya kelayakan seorang novelis yang terus menulis sementara di lain pihak, budaya tempat ia hidup semakin kehilangan kemampuan untuk membaca. Mereka yang memahami bagaimana dunia modern dianalisis akan mengenali tema-tema yang sudah tidak asing lagi, bahkan meski sketsa yang saya berikan ini cukup ringkas. Apa pun yang kita katakan tentang modernisasi, salah satu dampak utamanya adalah tercerai-berainya kesatuan pemahaman manusia dan terseraknya berbagai bidang dan usaha, jauh dari pusat yang memberikan makna. Mereka terdorong ke tepian di mana mereka sulit terhubung satu sama lain. Modernitas telah menghancurkan apa yang menjadi inti sehingga tidak ada pemikiran atau kehidupan yang dapat kembali kepadanya. Ia telah mengikis berbagai ide dan keyakinan, yaitu kebenaran-kebenaran yang karena berasal dan diperantarai oleh Allah, berdiri sebagai penjaga yang tak pernah berubah di tengah kondisi yang terus berubah. Polarisasi seperti ini menyusup ke dalam dan merusak baik iman Injili maupun jalinan kehidupan kontemporer. Di satu pihak, iman dilucuti dari bungkus teologinya, di pihak lain, kehidupan dilucuti dari segala sesuatu yang absolut. Tidak sulit menelusuri jalur pembusukan budaya ini. Bahkan ketika hal ini didiskusikan secara abstrak, tidak banyak perselisihan pendapat
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
9
tentang arah yang diambil olehnya. Bukankah telah disetujui secara luas bahwa sekularisasi mengesampingkan Allah dengan membuat apa yang absolut dan transenden tidak relevan bagi kehidupan sehari-hari? Bukankah sekularisasi telah menggantikan minat akan hal-hal supranatural dengan hal-hal natural? Bahasa sehari-hari kita jelas memperdayai kita dalam hal ini. Ketika kita ingin menunjukkan bahwa pernyataan tertentu tidak terbantahkan, maka kita akan berkata “Itu adalah fakta” – bukannya “Itu adalah kebenaran!” Cukup beri saya fakta, dan saya akan memutuskan apa yang benar. Dan bukankah kita lebih disibukkan oleh perubahan lingkungan pribadi dan budaya, dan bukannya oleh aspek hidup yang tidak akan berubah, atau oleh kebenaran-kebenaran universal akan Allah, dunia, dan natur manusia? Bukankah kita telah mengganti yang absolut dengan yang relatif, Yang Esa dengan yang Banyak, kesatuan dengan keragaman, yang ilahi dengan yang manusiawi, kebenaran dengan pengalaman rohani pribadi? Tidak banyak perbantahan yang terjadi menyangkut perubahan dalam topografi dari persepsi kontemporer kita. Tetapi, dinamika yang menyebabkan semua ini tidak begitu mudah dilihat. Di balik semua perubahan ini terdapat kekuatan yang menyerakkan semua komponen kehidupan, dari pusat yang dulu kita miliki ke sisi luar yang kerap cukup jauh dan bahkan tak dikenal. Kita tersesat karena kita kehilangan kebenaran itu. Kita kehilangan tatanan ilahi yang selalu menjadi rujukan bagi pikiran dan roh kita, yang dengannya kita memahami dunia, dan yang meneguhkan arah di saat hidup kita gelap. Semua ini telah hancur berantakan. Aspek-aspek kehidupan terserak, berbagai minat dan aktivitas terceraiberai. Mereka menjadi dunia kecil dengan minat-minat khusus yang bersifat pribadi, yang mengikuti spesialis masing-masing. Dengan kata lain, hilanglah kemungkinan adanya pria dan wanita yang memiliki pengertian luas, yang berdiri di pusat yang telah dilekatakkan Allah dalam firmanNya, yang dapat memahami perbedaan kehidupan dalam terang kesatuan, dan melihat keragaman dalam terang tema-tema menyeluruh yang dimiliki oleh semua keragaman itu. Kesatuan itu telah lenyap. Perbedaan budaya, agama, profesi, dan pribadi menang. Bahkan, perbedaan adalah satu-satunya yang kita miliki. Dan, karena apa yang menjadi pusat telah runtuh, jiwa kita menjadi semakin tegang, bahkan terpecah.
Copyright © momentum.or.id
10
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
Namun, mereka yang dapat melihat dampak modernisasi dengan jelas, tidak selalu dapat melihat bagaimana fragmentasi ini juga bekerja di dalam Gereja. Meskipun sebagian besar lolos dari perhatian, dinamika yang sama bekerja pula di sini. Pusat yang ada di dalam Gereja juga telah tercabik dan aspek-aspek keyakinannya terserak ke tepian. Di sini, mereka yang bijaksana juga telah digantikan oleh para spesialis. Dampak modernisasi juga nyata dalam apa yang secara salah disebut sebagai gerakan Injili. Saya katakan secara salah karena tidak peduli seberapa Injili ia sebelumnya, ia tidak pernah berusaha menjadi sebuah gerakan. Sebuah gerakan harus memiliki tiga karakteristik. Ia harus memiliki (1) arah yang sama, (2) dasar yang sama untuk mendasari arah yang ia miliki, dan (3) jiwa (esprit) yang dapat menginformasi dan memotivasi mereka yang hendak terlibat dalam tujuan yang sama itu. Apa yang paling nyata tidak dimiliki oleh kaum Injili adalah arah, meskipun para pemimpin seperti Carl Henry pada tahun-tahun awal pertumbuhan gerakan ini telah berusaha semaksimal mungkin (baca Christianity Today dari edisi akhir 1950-an sampai awal awal 70-an). Kemiripan arah secara umum memang ada setiap kali gereja-gereja dipanggil untuk melakukan penginjilan sedunia, tetapi fokus ini terlalu sempit untuk dapat mempertahankan kesamaan tujuan di tengah-tengah budaya yang telah terlepas dari tambatannya ini. Kesatuan yang dibangun harus lebih dari sekadar hasrat menginjili yang sama. Perasaan itu harus tumbuh dari strategi budaya yang luas, yang diimplementasikan dari pandangan dunia yang alkitabiah. Dan itu tidak pernah ada. Ketika arah menjadi pudar, maka jiwa pun turut memudar. Seperti orang Israel di masa ketidakpastian, kaum Injili juga mengambil arah masing-masing. Pertumbuhan jumlah yang luar biasa dalam tiga dekade ini tumpah ruah ke segala arah, dan tanda-tanda modernisasi jelas terlihat. Mereka yang dengan gembira berbaris di bawah panji Injili dan yang menegaskan bahwa mereka mengimani ortodoksi Protestan historis, kini mulai melihat ke kiri dan ke kanan. Ketika pusat-pusat teologi mulai lenyap, maka banyak kaum Injili yang mulai bercampur dengan Katolik, Ortodoks Timur, feminisme, para pietis dari Dewan Gereja Dunia, dan aliran politik radikal. Hal terpenting yang dibutuhkan oleh gerakan potensial ini, yaitu kesatuan teologis, menjadi semakin tipis dan tidak pen-
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
11
ting. Dengan menipisnya dasar pijak yang sama ini, maka kemiripan arah yang ada mulai menjadi tidak teratur dan jiwa pun lenyap bagai kabut. Sementara fragmentasi ini terus berlanjut, baik dalam budaya maupun dalam iman Kristen, dan sementara pusatnya menghilang, maka kita mungkin akan mengira bahwa orang percaya akan semakin berkurang. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suatu budaya yang meninggalkan Allah akan percaya pada segala sesuatu. Siapa dapat membayangkan bahwa sementara kita semakin berorientasi kepada teknologi, ada jutaan orang yang semakin percaya kepada astrologi dan mengarahkan hidup mereka seturut gerakan planet-planet? Siapa akan menyangka bahwa kota-kota yang paling sekuler seperti Los Angeles dan Amsterdam akan menjadi tuan rumah bagi sederetan aliran aneh yang terus bertumbuh, yang sebagian besar berbau takhyul primitif? Siapa yang menyangka bahwa setelah mengalami dua kali perang dunia yang dahsyat yang diikuti konflik-konflik berikutnya, pemikiran Barat tetap setia menyertakan mitos tentang kemajuan pasti, yang menyebabkan para penganutnya terlihat seperti orang-orang kikir? Ketika kita tidak percaya apa-apa, kita membuka pintu untuk mempercayai apa saja. Dan hal yang sama terjadi di kalangan penganut iman Kristen. Ketika keyakinan bersama mengerut dan kepentingan iman mulai lenyap dalam dunia kaum Injili, muncullah orang-orang yang menyerukan hampir segala hal agamawi yang lain. Siapa sangka, misalnya, Christianity Today bisa memuat suatu proposal untuk menulis ulang iman Injili dengan menguburkan salah satu keyakinan utama Reformasi Protestan, yaitu pembenaran oleh iman? Saya menulis buku ini sebagai orang yang percaya sekaligus tidak percaya. Saya harus mengatakannya dengan segera. Setiap orang yang percaya kepada Allah dan menerima karakter transenden wahyu alkitabiah, seperti saya, harus menolak untuk percaya pada segala mitos yang dimunculkan oleh dunia modern. Di satu pihak, apa yang saya percayai lebih dari apa yang dipercayai kebanyakan kaum Injili. Di lain pihak, ada banyak hal yang mereka percayai lebih daripada saya. Yang pertama berkenaan dengan pusat, yang kedua dengan apa yang bukan pusat. Saya sangat percaya pada pentingnya kebenaran, dan saya sama sekali tidak percaya pada struktur kehidupan modern.
Copyright © momentum.or.id
12
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
Saya tahu bahwa menegaskan ketidakpercayaan saya kepada apa yang dihargai oleh dunia modern di awal buku merupakan cara yang tidak umum dan mencari musuh. Tetapi saya tidak bermaksud meremehkan pembaca maupun dunia modern. Saya bekerja untuk pembaca dan saya hidup dalam dunia modern. Saya tidak bemaksud mencari musuh, hanya terlihat seperti itu. Masalahnya, pada masa kini, penegasan kebenaran Kristen yang paling lembut sekalipun akan terdengar seperti guntur, karena peradaban agamawi kita yang terpoles baik mencegah kita dari mendengar hal-hal seperti itu. Seperti dikatakan John Kenneth Galbraith, seorang yang masuk ke dalam ruangan dengan menyandarkan diri pada pintu yang tidak kuat akan dituduh membuat gaduh. Padahal, kondisi pintu itulah yang membuatnya terlihat masuk secara tergesa-gesa. Demikian juga di sini. Dengan berkata bahwa saya sangat tidak percaya kepada dunia modern, saya tidak bermaksud sombong, seolah-olah saya datang dengan pengetahuan yang baru ditemukan. Hal ini tidak benar. Dalam hal ini, saya teringat cerita G.K. Chesterton tentang pelayar gelisah yang berlayar dari Inggris ke sebuah pulau yang indah di Laut Selatan. Setelah sekian waktu lamanya, ia mulai melihat daratan. Ia berusaha untuk berlabuh secepat mungkin dan dengan berani menjelajahi daratan itu. Di hadapannya berdiri sebuah kuil kafir yang menyeramkan. Dengan gagah berani ia mengklaim bangunan itu sebagai milik Inggris, memanjat temboknya dan menancapkan bendera Inggris di puncaknya. Baru kemudian ia sadar bahwa yang ia panjat itu adalah Brighton Pavillion di pantai selatan Inggris! Ia mengira ia berlayar dalam jalur yang lurus tetapi karena salah perhitungan, ia ternyata berlayar melingkar. Ia membayangkan bahwa ia adalah orang pertama di tanah itu, tetapi ternyata ia adalah orang terakhir. Saya sampai pada pokok buku ini seperti pelayar itu, seorang yang tiba terlambat, memanjat apa yang telah dibangun dengan rajin oleh orang lain. Pemikiran bahwa dunia mencari perlindungan dalam mitos dan rasionalisasi hanya akan mengejutkan mereka yang enggan untuk melihatnya sebagai mitos dan rasionalisasi. Mereka yang ingin bersembunyi di dalamnya akan mati-matian bertahan agar tidak diusik. Mereka yang hanya mengikuti diskusi-diskusi modern tentang
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
13
kebudayaan Barat dari jarak jauh pun akan mengetahui bahwa saya tidak membicarakan sesuatu yang baru, meskipun tampaknya garang. Namun saya akan dianggap lalai jika tidak mengatakan bahwa meskipun sudut pendekatan budaya saya sudah umum di antara sejumlah penafsir tetapi hal ini tidak umum di kalangan Injili. Kaum Injili hanya antimodern di medan yang sempit, sedangkan saya menulis dari posisi yang antimodern di segala medan. Hanya jika terdapat asumsi budaya yang jelas bertentangan dengan iman, maka barulah kebanyakan kaum Injili akan terusik dan memerangi “humanisme sekuler.” Terlepas dari hal-hal spesifik ini, mereka cenderung memandang budaya netral dan tak berbahaya. Mereka bahkan sering memandang budaya sebagai mitra untuk menyampaikan kebenaran Kristen. Saya tidak dapat menerima kenaifan ini, saya bahkan menganggapnya berbahaya. Budaya penuh dengan muatan nilai, dan banyak di antaranya mempengaruhi substansi iman, sekalipun nilai-nilai itu sampai kepada kita melalui manfaat yang juga diberikan oleh dunia modern kepada kita. Teknologi adalah sebuah contoh kasus. Sementara ia secara luar biasa meningkatkan banyak kemampuan kita dan mempengaruhi seluruh aspek hidup kita, ia juga membawa serta nilai-nilai naturalisme dan sebuah etika yang menyamakan apa yang efisien dengan apa yang baik. Teknologi itu sendiri tidak menyerang Injil, tetapi masyarakat teknologi akan menganggap Injil tidak relevan. Apa yang dapat dikatakan tentang teknologi juga dapat dikatakan tentang banyak segi lain dari budaya yang juga penuh muatan nilai. Kegagalan untuk melihat hal ini dan kegagalan untuk melihat bagaimana hal ini akan mentransformasi iman Injili, menghasilkan ketegangan yang kuat dengan ortodoksi Protestan historis. Karena saya menolak untuk percaya pada dunia modern, saya dapat percaya pada kebenaran yang berusaha dipelihara oleh ortodoksi. Karena banyak kaum Injili percaya pada kenetralan budaya modern sehingga mereka mengeksploitasi dan dieksploitasi olehnya, sehingga mereka tidak dapat percaya kepada seluruh kebenaran yang dulunya merupakan karakteristik ortodoksi Protestan. Dalam tipologi masa kini, orientasi kaum Injili bersifat modern, sementara buku ini bersikeras antimodern.
Copyright © momentum.or.id
14
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
Perbedaan orientasi terhadap modernitas ini menghasilkan perbedaan iman. Aliran ortodoks historis yang pernah mengairi jiwa Injili kini dibendung oleh keduniawian yang gagal dikenali oleh banyak orang, karena keduniawian ini menampilkan diri sebagai budaya yang tampaknya tidak berbahaya. Ortodoksi memang tidak selalu benar dan bahkan pernah salah serta memiliki kelemahan, tetapi saya tidak yakin bahwa gerakan kaum Injili yang lepas dari inti teologisnya akan menghasilkan kesetiaan yang lebih besar terhadap Alkitab. Yang terjadi justru sebaliknya. Kita kini semakin kurang setia pada Alkitab, semakin kurang berminat pada kebenaran, semakin kurang serius, kurang mendalam, dan kurang kapasitas untuk membicarakan Firman Allah bagi generasi kita, sementara kita mau menawarkan alternatif lain kepada mereka. Ortodoksi yang lebih tua digerakkan oleh cinta akan kebenaran, dan karena itu ia hanya dapat mengekspresikan diri melalui wawasan teologis. Aliran Injili yang lebih baru tidak digerakkan oleh cinta yang sama akan kebenaran, dan karena itu ia sering kali tidak memiliki minat teologis. Saya akan menjelaskan bagaimana saya mengembangkan kasus ini. Tujuan pokok saya adalah untuk mengeksplorasi alasan mengapa teologi telah menghilang. (Hal ini saja sudah cukup substansial sehingga baru di buku lain, saya akan menuliskan apa yang bisa kita lakukan untuk membalik keadaan ini.) Pendekatan saya dalam buku ini tidak bersifat sempit melainkan luas. Saya tidak sekadar tertarik pada teologi, tetapi teologi yang digerakkan oleh hasrat akan kebenaran; dan bukan pada sekadar Injili, tetapi Injili sebagai sarana kontemporer untuk merumuskan ortodoksi Protestan historis. Apa penyebab putusnya mata rantai antara masa lalu dan masa kini? Mengapa hasrat akan kebenaran dapat lenyap? Mengapa kaum Injili kontemporer beranggapan bahwa iman mereka dapat tetap hidup dan teguh tanpa hasrat dan teologi ini? Saya tahu bahwa menemukan jawaban bagi berbagai pertanyaan ini bisa sama kompleksnya dengan mencari penyebab kanker. Dalam kedua hal itu, ada banyak penelitian penting yang tampaknya tidak cocok. Meskipun mereka tampak saling berhubungan, mereka sering bercabang. Pencarian obat bagi kanker serupa dengan pencarian obat
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
15
bagi teologi dan bagi kaum Injili kontemporer yang sedang terdisintegrasi: ada banyak penelitian yang bisa dilakukan, banyak kemungkinan solusi yang ditawarkan, tetapi tidak semuanya kembali pada akar permasalahan yang sama. Saya tidak berkata bahwa saya telah meneliti secara lengkap dan menyeluruh, tetapi saya jelas melihat bahwa lenyapnya teologi, baik di Gereja maupun di lingkungan akademisi, merupakan buah modernisasi, dan hanya sedikit berkenaan dengan cara teologi dibangun. Selain itu, terurainya ikatan antara kaum Injili kontemporer dengan ortodoksi historis bukanlah hasil dari strategi yang disengaja, tetapi merupakan dampak modernitas yang tanpa disadari diterima oleh kaum Injili. Dua bab pertama buku ini (Bab 1 dan 2) merupakan prolog di mana saya berusaha menunjukkan esensi modernitas, sehingga kita dapat lebih mudah mengenali penyusupannya ke dalam pikiran Gereja dan pikiran para pakarnya. Saya mulai dengan merekonstruksi kehidupan dalam sebuah kota kecil di New England, sebuah kota yang cukup saya kenal. Ketika saya memikirkan kehidupan di dalamnya, saya melihat dengan jelas bahwa kira-kira satu abad yang lalu, sebuah batas telah diletakkan. Dan mereka yang hidup di kota itu pada hari ini tidak akan dapat mengenali kota itu pada masa lampau. Hal ini bukan dikarenakan perubahan topografis secara fisik, gedung-gedung dan jalan-jalan, tetapi sesuatu yang lebih besar telah terjadi di sana. Seperti di kota-kota lain, seluruh susunan sosial telah berubah di kota ini, demikian pula cara pandang terhadap kehidupan dan apa yang dicari dalam kehidupan. Setelah mendokumentasikan berbagai perubahan yang terjadi dalam kota kecil ini, saya mencoba menjelaskan dari sudut munculnya budaya dunia yang menyusup dan meliputi kota ini di sepanjang abad lalu, seperti yang juga terjadi pada setiap kota lain di Amerika. Seperti apa budaya dunia ini, dan apa yang telah dilakukannya terhadap cara kita memandang dunia, cara kita berpikir, apa yang kita inginkan? Lebih penting lagi, bagaimana penyusupannya ke dalam jiwa kita mempengaruhi kapasitas kita bagi kebenaran, kerinduan kita untuk mengenal Allah, dan cara kita mengejar hal-hal ini? Saya memulai bagian utama buku ini dengan bab yang menjabarkan masalah yang saya lihat dalam kehidupan batiniah dunia Injili.
Copyright © momentum.or.id
16
TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN
Dalam bab berjudul “Berbagai Hal Hancur Berantakan” ini (Bab 3), saya berusaha menerangkan alasan dari lenyapnya pengenalan akan kebenaran dan apa yang terjadi dengan otot-otot yang dulu bersamasama mempersatukan dunia ini. Tetapi diskusi ini hanya sebatas pada dinamika fragmentasi yang terjadi pada kaum Injili. Tidak ada jawaban yang dapat ditemukan di sana, saya hanya menyodorkan permasalahan. Penjelasan atas masalah ini terletak pada tiga bab berikutnya. Dalam dua bab di antaranya (Bab 4 dan 5), saya berusaha menjelaskan bagaimanakah perwujudan karakter Amerika pada masa kini mempengaruhi kemampuan kaum Injili untuk berpikir dengan cara yang sungguh-sungguh alkitabiah. Dalam bab terakhir dari ketiganya (Bab 6), saya menyoroti bagaimana jabatan gembala telah diprofesionalisasikan, bagaimana fungsi pokok gembala telah berubah dari agen kebenaran menjadi manajer perusahaan kecil yang kita sebut Gereja. Saya menyimpulkan bahwa kecenderungan ini telah melahirkan sebuah generasi yang tidak mampu menggembala. Pada poin ini saya menyodorkan perbedaan antara dunia Injili kontemporer dan dunia pada zaman Alkitab. Bab ini (Bab 7) berjudul “Kebiasaankebiasaan Allah,” yang diikuti dengan bab penutup (Bab 8) di mana saya menyajikan himbauan bagi gerakan Injili yang baru, yang mirip dengan apa yang pernah ada dahulu kala. Sekarang saya kembali memikirkan kuliah pengantar pada awal kelas teologi saya dan mahasiswa yang bertanya-tanya dalam hatinya, tentang patut tidaknya menghabiskan uang sebanyak itu bagi kuliah teologi yang begitu tidak relevan bagi kerinduannya untuk melayani jemaat dalam Gereja. Pikiran semacam ini tidak akan dapat dimengerti oleh kebanyakan generasi yang telah mendahului kita. Apakah yang telah terjadi dengan dunia kita yang dapat menjelaskan terjadinya transformasi yang begitu luas dan mendalam di dalam jiwa Injili ini? Kita akan mencoba mencari jawabannya di sebuah kota kecil yang unik di New England, yang membuat Anda bahkan dapat melihat diri Anda Sendiri. Kota ini bernama Wenham, dan ia terletak di Massachusetts.
Copyright © momentum.or.id