Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
This Is Me … Neno Anywhere, anytime
C
erita ini kumulai dari diriku sendiri dulu. Aku adalah manusia biasa yang mungkin sama seperti orang lain yang sedang melalui
fase-fase tragis menuju „dewasa‟. Segelintir orang mengatakan „aku sedang mencari jati diri‟, sebagian orang lain mengatakan „aku sedang membuang-buang waktu‟, dan tidak sedikit yang mengatakan „aku seorang perempuan jahat tapi tolol‟ pada saat semua orang tahu bahwa aku sering kali berganti pacar dalam kurun waktu yang tidaklah lama. I think I’m not a playgirl, I just trying to find someone better. Sama seperti halnya dengan orang lain yang selalu berusaha bagaimana mendapatkan hal lebih terbaik dalam hidupnya. Hanya saja, letak perbedaannya, aku enggan membuang waktuku untuk stuck di tempat yang sama. Aku berusaha bergerak ke tempat lain agar aku tahu bagaimana bisa mengatasi kesalahanku pada koordinat sebelumnya. Just it. Neno. Itu nama panggilan akrabku. Seperti nama seorang anak berjenis kelamin lelaki. Tak jarang kudengar diriku sendiri dipanggil „mas‟ oleh orang baru yang belum bertatap muka langsung denganku. Aku anak ke 3 dari 4 bersaudara. Dua kakakku perempuan, sedangkan adikku semata wayang laki-laki. Betapa sesungguhnya aku butuh sosok kakak yang bisa mengajarkan aku sesuatu hal dengan cara yang baik, maupun adik laki-lakiku yang bisa membela dan melindungi aku seperti keluarga lain pada umumnya. Meskipun fakta yang kualami jauh dari kenyataan itu, namun aku tidak rela menyerah begitu saja, karena aku yakin bisa mengenal diri ini dengan caraku sendiri. Pada dasarnya, aku adalah orang yang lebih banyak bertindak daripada berkata. Sedikit bicaraku adalah prakata, sedangkan perbuatanku yang sering membuat orang lain terkejut adalah halaman yang sesungguhnya. Bintangku Gemini dan shioku Kelinci. Beberapa „orangtua‟ memprediksi bahwa aku adalah orang yang waspada, gesit, mudah bergaul, demokratis dan unpredictable. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa aku adalah orang yang ceroboh, keras kepala, plin-plan dan cukup egois. Mereka seringkali penasaran dengan apa yang akan aku lakukan pada esok hari, karena aku dinilai sebagai orang yang penuh dengan kejutan. Tidak
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
banyak orang yang bisa membaca gerak langkah dan pikiran otakku. Dan aku lebih percaya pada diriku sendiri daripada mereka. Semua orang dengan mata telanjang pastinya akan mengatakan bahwa aku adalah gadis remaja biasa yang baru saja menyelesaikan studi sarjana. Tidak cantik, tidak sexy, bahkan nyaris tidak menarik. Fine, ok. Setiap orang pasti punya penilaian masing-masing tentang aku. Wajar apabila tidak semua orang pun akan menyukai aku, terutama pada pandangan pertama. Banyak yang bilang, wajahku tidak ramah, suram, sampai menyedihkan. Terserah saja adanya dan aku terima. Aku menghabiskan lebih dari separuh usiaku sekarang di kampung halamanku, Kalimantan Timur, (Balikpapan.red) dan selama lima tahun, aku pernah merantau dan tinggal di sebuah kota besar dan nyaris menganut pergaulan „free-sex‟ disebabkan oleh tak terkendalinya mahasiswa, pelajar dan masyarakat pendatang yang membawa kebiasaan „liar‟ tanpa pengawasan orangtua maupun pihak berwenang. Semua orang pasti tahu, atau setidaknya pernah mendengar namanya, Yogyakarta. Kota itu adalah kota yang indah, aku nyaris tidak ingin meninggalkannya setelah gelar sarjanaku terpatri pada selembar ijazah formal. Itulah mengapa banyak orang sering menilai „pantas‟, aku lebih dekat dengan sahabatsahabatku daripada saudara-saudaraku. Mereka lebih sering „ada‟ ketika aku membutuhkan sandaran saat sedih, gema ketika ingin membagi tawa, riak kemenangan ketika kami sama-sama berjuang menjelang ujian skripsi bersama. Sahabat-sahabatku rasanya seperti sekelompok massa di sebuah partai. Anggap saja banyak dan ada di beberapa titik koordinat. Lain di kampus, di tongkrongan, bahkan lain lagi pada teman masa sekolah. Dan 85 persen mereka adalah kaum adam. Mereka lebih sering mengajarkan aku banyak hal. Baik, buruk, canda, tawa, tangis, amarah, sampai motivasi hingga lulus kuliah. Beberapa teman atau orang yang belum tentu kukenal dan menilai dengan banyaknya rentetan mantan pacarku, tentu akan terseret menganggap aku penganut pergaulan bebas. Aku hanya bisa tersenyum setiap mereka menggodaku dengan sebuah pertanyaan, “Sudah pernah Making Love, kan?”. Secara logika pada sudut pandang remaja yang haus akan „nafsu‟ ingin tahu, wajar apabila pertanyaan itu muncul sebagai sebuah „tembakan‟. Mahasiswa terkenal dengan kebebasannya dalam bergaul, mulai dari berteman tanpa mengenal status, sampai pada perkumpulan komunitas malam, bahkan kegiatan tanpa pengawasan orangtua yang jauh di
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
kampung halaman. Banyak diakui bahwa tidak sedikit mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi. Mereka bukan sahabatku! Dicatat. Semua sahabatku pun belum tentu mengenalku sedetail itu. Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak akan kujawab dengan kata. Sebelum semua orang menganggap aku munafik, pendusta dan pembohong, maka aku membuat rentetan kisahkisah cinta ini menjadi sebuah „bingkisan‟ agar orang lain bisa menilai sendiri apa saja yang sudah terjadi. Bahkan sampai aku sudah kembali pada pangkuan keluargaku, masih saja muncul pertanyaan dengan tujuan sejenisnya. Aku suka berpetualang, pada alam, pada setiap insan manusia, bahkan pada cinta. Pada Alam aku mencintai Pantai, pasirnya, karangnya, ombaknya sampai hembusan anginnya. Aku juga mencintai pegunungan dan perbukitan, asrinya, jalan setapaknya, tanjakannya, heningnya sampai kesejukan embun paginya. Pada manusia aku mencintai ragam karakter, cara bicara, cara berfikir, cara menilai, cara bertindak, sampai cara mendewasakan dirinya. Aku mencari banyak teman dan ketertarikan itu akan semakin kuat ketika kutemukan karakter baru dan unik di dalamnya. Sedangkan pada Cinta, secara tidak sadar aku telah menjalani revolusi. Entah dari titik radius mana aku telah memulainya. Nyaris, aku sungguh tidak paham apa saja makna dari perbuatan yang sudah aku lakukan dengan memiliki sekian rentetan mantan pacar. Bahagia sesaat di hari-hari jatuh cinta, sakit hati ketika terpaksa harus melepaskan pilihan hati, pahitnya kejujuran dan realita kehidupan. Suka aku pada petualangan, tapi dengan kejujuran yang akan terpapar dalam sekumpulan catatan pada proses pencarian jati diri tentang cinta. Tentang dua puluh cerita cinta, mulai dari teman kecil, cinta monyet, cinta segitiga, gebetan, hubungan tanpa status, teman tapi mesra, sampai mantan pacar. This is me, my story and us …
♥
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
Andi Arya Giri
S
Balikpapan, Sekitar 1991 eorang bocah laki-laki berusia setahun lebih tua dariku beberapa bulan. Usiaku 5 tahun saat mengenalnya. Tepatnya ketika kami masuk di Taman Kanak-kanak yang sama, TK Istiqamah Balikpapan. Dia tetanggaku, satu blok jarak selisih rumahnya dengan rumahku.
“Neno!!! Di mana kamu?!” dahulu Ibuku kerap kali berteriak nyaring ketika marah padaku. Sementara aku selalu bersikeras, bersembunyi ke mana pun aku merasa tak terjangkau, karena tak jarang Ibu ber„main-tangan‟ padaku. Maka, -masih kuingat beberapa tempat persembunyian tersebut- aku sering mengendap-endap menuju lantai atas rumahku yang bertingkat 2, bersembunyi di pojok ranjang kamarku seluas 3x4 meter, di bawah meja makan atau di samping lemari besar di kamar kakak perempuanku, bahkan pernah di balik tumpukan batu bata -yang dulu digunakan untuk renovasi rumahku-. Tak jarang pula aku sering ketiduran di sana, sampai Ayah yang menemukan aku dan menggendongku ke kamar. Dan tempat yang jarang sekali dipikirkan oleh Ibuku, yaitu rumah Andi. Ya, namanya Andi. Dia anak seorang Dokter kandungan, bunsu tiga bersaudara, pemalu, tidak banyak bicara, dan tidak bergaya „neko-neko‟ –istilah familiar pada jaman itu-. Dalam perasaan sedih atau sepi, aku sering berlari dan bersembunyi ke rumahnya. Pikirku, Ibu tidak akan mungkin memarahiku di rumah tetangga, apalagi tetangga yang sudah sangat akrab seperti saudara sendiri. “Assalamualaikum,” sapaku siang itu seraya mengetuk pintu berbahan kayu jati itu. Aku tidak sedang dimarahi. Sepulang sekolah itu, aku hanya ingin mencari teman bermain. Berhubung hanya bersama bocah laki-laki jangkung itu aku merasa akrab. Mami yang membuka pintu. Beliau adalah Ibu kandung Andi yang juga sudah kuanggap sebagai Ibuku sendiri. “Neng Neno. Si Andi ada di kamar tuh, masuk aja. Ndiiii...” Mami seketika paham tiap kali aku bertandang ke kediaman keluarga bersuku sunda dan betawi itu. Dipanggilkannya Andi, yang lantas langsung keluar dari kamar usai mendengar namaku disebut wanita separuh baya itu. Aku pun masuk dan diajak ikut bermain bersama Andi. Bermain robotrobotan, miniatur tentara, sampai ular tangga.
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
Persahabatan kami bisa dibilang cukup erat. Aku tidak bermain dengan anak-anak perempuan seusiaku. Hanya dia temanku, hanya dia yang kuanggap saudaraku. Cukup pula aku seakan-akan ketergantungan padanya. Apa saja yang akan aku lakukan, akan kukatakan padanya, begitu pun sebaliknya. Satu contoh peristiwa yang masih melekat dalam ingatanku, saat aku tengah dalam perjalanan pulang ke rumah dari masjid komplek usai mengaji. Ada beberapa teman-teman komplek yang tidak begitu kukenal, menggangguku. Melempariku dengan gumpalan kertas untuk bercanda. Meski hanya sekedar mencari perhatian, tapi tetap saja aku risih. “Ngapain sih ngaji? Enak kan mainan,” kata mereka. Aku diam saja dan melanjutkan perjalanan. Mereka mulai melempariku lagi, bahkan ada yang sengaja dibentuk menyerupai pesawat-pesawatan. “Apa-apaan sih kalian?” aku mulai kesal. Mereka malah tertawa. Seorang bersepeda berhenti di depanku. Membuat aku menoleh padanya. Kulihat Andi menatap marah pada anak-anak usil itu. “Ayo pulang.” katanya padaku dengan nada pelan, tetap tak melepas pandangan dari mereka. Aku langsung naik ke pijakan kaki di samping roda bagian belakang sepeda, lalu berpegangan pada pundaknya. Kami pun pergi. Diantarkannya aku pulang sampai ke rumah. Bukan hanya kenakalan anak-anak kompleks, dulu pernah waktu dikejar segerombolan anjing di blok belakang, sepulangnya aku dari warung sembako membeli titipan Ibu. Andi baru saja pulang dari rumah kawannya, yang tidak kukenal. Belum sempat keempat anjing itu mengejarku, baru menatapku bengis, memamerkan rentetan gigi yang cemerlang, melangkah pelan tapi pasti mendekat ke arahku. Ketakutan, aku nyaris menangis, menahan jantungku yang berdebar kencang. Dia lantas menoleh pada segerombolan anjing itu, lalu berlari ke arahku dan menarik tanganku. Kami berlari sekuat tenaga, segera bersembunyi di balik tumpukan drum bekas di halaman rumah orang. Sampai kemudian aku benar-benar menangis. Cengeng! Kemudian Andi memegang tanganku dan berkata, “Gitu aja, nangis,” sembari dia memegang kepalaku. “Ayo aku temani pulang ke rumah.” dia langsung melangkah pergi, dan aku mengikutinya sambil menghapus airmataku. Pernah di suatu hari, aku tidak bisa menyelesaikan PR (Pekerjaan Rumah) -ku di sekolah. Dia yang tadinya datang ingin sekedar bermain, sekejap mengurungkan niatnya saat melihatku bermain puzzle sementara buku PR kugeletakkan begitu saja. Dia mendekati buku pelajaranku, kemudian menyuruhku mengerjakan kembali. Aku cemberut dan akhirnya mengaku kesulitan di soal hitungan matematika. Kuperhatikan, dia membuka-buka halaman buku cetak, hingga
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
dipaksanya aku mengerjakan soal-soal tersebut sedangkan dia menunjukkan cara menemukan jawabannya. Aku sangat menyayanginya dulu. Tanpa dia, aku pasti merasa sangat kesepian dan terkucil di rumah. Kami tumbuh menjadi anak-anak sampai usia kira-kira kelas 3 atau 4 Sekolah Dasar. Aku pindah rumah, di sebuah komplek Dinas tempat Ayah bekerja. Sejak saat itu, kami jarang bertemu, bahkan sejak masuk SD pun kami tidak satu sekolah. Dia masuk sekolah favorit karena kecerdasan dan prestasinya. Dia tipikal bocah yang tidak banyak bicara, namun sekali bicara sering kali membuat lelucon, dan aku merasa sangat nyaman di sana, di sisinya. Bagaimana tidak, hubungan kami menjadi renggang? Pada jaman itu, kami tidak punya alat komunikasi secanggih sekarang. Kedekatan kami pun berkurang. Hingga pada kelas 5 SD, Papi dipindahtugaskan ke Cirebon. Pulang ke kampung halaman mereka. Beberapa hari sebelum mereka sekeluarga berangkat, aku dan keluargaku bersilaturrahmi ke rumah mereka. Entah efek beranjak remaja atau bagaimana, semakin hari aku semakin malu bertemu dengannya. Yang aku perhatikan hanyalah, dia tumbuh dengan postur yang tinggi, hitam manis dan masih tetap dengan sosoknya yang pendiam. Saat itu aku ingin menyapanya, ketika ia baru selesai bersepeda. Tapi itu tidak kulakukan sama sekali. Melihat bayangannya saja rasanya wajahku sudah memerah dan lututku terasa kaku. “Yuk, pamit pulang.” ajak Ibuku melihat hari sudah menjelang petang. Aku tertegun. Aku merasa ingin melakukan sesuatu. Namun tidak satu pun yang bisa kuperbuat. Rasa canggung dan kaku menguasaiku. Hanya bisa kuamati Andi mondar-mandir di dalam rumah. Melangkah mandi, minum, sampai beres-beres semua alat bermainnya ke dalam kardus. Mataku berkaca pada saat itu. Aku sedih karena takut tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengannya. Tidak bisa lagi menemukan sahabat yang sangat mengerti aku, seperti dia. Yang selalu melindungi aku dari tangan-tangan jahil di masa Taman Kanak-kanak, selain dia. Dia seperti malaikat yang diutus Tuhan untukku. Ayah dan Ibuku berdiri dari kursi tamu. Mereka mulai melangkah, hendak meninggalkan pintu rumah. Andi dan sekeluarga berkumpul di depan pintu rumah. Masih kurasakan suasana hangat pada saat itu. Mami dan Ibu berpelukan, tak ayal meneteskan airmata sambil tersenyum. Ayah dan Papi berjabat tangan. Sedangkan Andi yang berdiri di samping Mami, hanya diam. Dia menatapku. Aku membisu. Aku mencoba menahan tangisku. Detik itu, aku ingin sekali memeluknya atau sekedar mengucapkan sesuatu. Dia tersenyum. Dipegangnya kepalaku
Sample : Catatan Tentang Cinta
NENO (2014)
seperti kakak yang menyentuh ubun-ubun adiknya. Airmataku jatuh. Kemudian dia menghapuskannya. “Jangan sedih. Harus nurut sama Ayah Ibu.” ujarnya. Aku malah terisak, spontan memeluk Mami. Aku menangis dalam dekapan hangat beliau. Dekapan yang jarang sekali aku dapat dari Ibuku sendiri. Dalam pelukan itu, aku merasakan tangan Andi menggenggam tanganku yang ada di balik pinggang Mami. “Aku sangat mencintai kalian.” itu yang rasanya ingin kuteriakkan dengan keras. Tapi hanya terucap di dalam hati. Sejak hari perpisahan itu, aku sering melamun, sering menjadi sosok pendiam dan merasa tampak tolol. Aku merasa kehilangan tali pada buntut layanganku. Terbang tanpa arah, mengikuti saja ke mana arus membawaku. Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan dan situasi yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang memilukan. Jika manusia kehilangan, dia akan melihat di sekitarnya dan menemukan sahabat-sahabatnya datang lalu menghiburnya. Tetapi apabila hati manusia kehilangan kedamaiannya, dimana dia akan menemukannya, bagaimana dia akan bisa memperolehnya kembali? Satu hal yang mungkin bisa menjadi pelajaran buatku adalah ketika kita dihadapkan oleh sebuah perpisahan dan kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi kita, maka Tuhan sudah menyiapkan penggantinya. Mungkin kelak, suatu hari …
♥