JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 139-153 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/empati
THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK EFFICACY WITHJOB INSECURITY ON PRODUCTION EMPLOYEESPT “X” SEMARANG
Rini Sulistyawati, Harlina Nurtjahjanti, Unika Prihatsanti *)
Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024) 7460051
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT Post ACFTA, ASEAN harmonization program as an effort towards the ASEAN Economic Community (AEC) will be implemented in 2015. Integration will impact on various sectors include traditional herb medicine industry. The inability of the organization to face these conditions can lead to the threat of layoffs and made employees experience job insecurity. Therefore work efficacy to minimize the perceived job insecurity is needed by employees. The purpose of this research is to find out the relationship between work efficacy with job insecurity production employees of PT "X" Semarang. Study uses 56 production employees on PT "X" Semarang as a research subject. Determination of sample using incidental sampling technique. Methods of data collection using job insecurity scale consists of 32 aitem valid (α= 0.900) and Work Efficacy Scale consists of 28 aitem valid (α= 0.931). The results of the analysis with the simple regression analysis method get rxy = -0.644 with p = 0.000 (p <0.05), meaning that the research hypothesis is accepted and that there is a negative and significant correlation between work efficacy and job insecurity. Negative relationship between the two variables means the higher work efficacy, perceiving job insecurity on production employees will be low and vice versa. Work efficacy providing 41.5% effective contribution against job insecurity. These results indicate that there is 58.5% of another factor, which also contributed to job insecurity that are not disclosed in this study.
Keywords: Job insecurity, Work efficacy, Production employees
*) Penulis Penanggung Jawab
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 140
A. PENDAHULUAN Program harmonisasi ASEAN sebagai upaya menuju ASEAN Economic Community (AEC) akan diimplementasikan pada 2015 mendatang. Integrasi tersebut akan berimbas pada berbagai sektor termasuk industri jamu. Indonesia sebagai negara mega-biodiversity kedua setelah Brasil dapat menjadikan momentum tersebut sebagai economic opportunity untuk memasuki mainstream pasar global. Namun dalam usaha untuk mewujudkannya, industri jamu lokal dihadapkan pada sejumlah tantangan baik secara internal maupun eksternal. Tantangan internal yang muncul antara lain kenaikan bahan baku jamu dan maraknya jamu berbahan kimia (Sudarsono, 2011), belum dimilikinya standar mutu bahan baku nasional yang juga diakui secara internasional (Suara Pembaruan, 2011) serta regulasi pemerintah ala negeri Swiss yang termuat dalam peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) juga dianggap memberatkan pelaku usaha industri jamu lokal (BPOM, 2011). Sementara itu tantangan eksternal muncul dari negeri “tirai bambu“ Cina. Pasca pemberlakuan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) tahun 2010, menurut analis revealed comparative advantage dan indikator makroekonomi, jamu termasuk salah satu dari 228 tarif line dari 12 sektor yang mengalami pelemahan ACFTA (Gilang, 2011). Menurut survei yang dilakukan Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) di Semarang penjualan produk kosmetik dan jamu dalam negeri menyusut sekitar 50 persen akibat ACFTA. Senada dengan Perkosmi, Ketua Umum Gabungan
Pengusaha (GP) Jamu sekaligus direktur PT Nyonya Meneer Semarang, Charles Saerang menghitung potensi kehilangan penjualan jamu mencapai Rp 4 triliun (dalam Fathoni, 2010). Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat memaparkan, sejak ACFTA diberlakukan terjadi penurunan angka penjualan di pasar domestik 10-25%, penurunan keuntungan sekitar 10-25%, hingga pengurangan tenaga kerja antara 10 dan 25% (Republika, 2011). Charles Saerang menyebutkan bahwa sekitar 200-an pabrik jamu telah ditutup karena perusahaan kalah bersaing dan takut melanjutkan usaha (Rosita, 2011). Kondisi tersebut dapat menyebabkan 15 juta tenaga kerja industri jamu, dimana sekitar 3 juta terserap di industri jamu murni merasakan ketakutan akan kehilangan pekerjaan (Nugroho, 2011). Sejatinya tujuan suatu perusahaan adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan produk yang berkualitas. Hal tersebut dapat terpenuhi apabila perusahaan memiliki karyawan yang memiliki kondisi mental yang sehat secara psikologis sehingga dapat mengoptimalkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk pekerjaannya. Menurut Burchel (dalam Setiawan dkk., 2008, h. 2), terdapat empat hubungan antara pekerjaan dan kondisi mental seseorang yaitu general conditions, resting, job satisfaction, dan job insecurity (ketidakamanan kerja). Menurut Burchel, ketidakamanan kerja adalah kondisi di mana seseorang yang bekerja tetapi mengalami gangguan psikologis. Gangguan psikologis dalam pekerjaan tersebut adalah adanya atmosfer lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung, di mana adanya ketidakpastian dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pekerjaan mereka di dalam suatu organisasi. Tidak jarang hal seperti ini diiringi dengan kondisi bahwa seseorang tersebut memiliki kecocokkan dan keterikatan yang tinggi dengan
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 141
organisasi di mana mereka bekerja. Di satu sisi mereka ingin terus eksis di dalam organisasi tempat mereka bekerja, tetapi di sisi lain mereka merasa bahwa posisinya (pekerjaan dan keberadaannya dalam organisasi) senantiasa terancam. Greenhalgh & Rosenblatt (2010, h. 10) mendefinisikan ketidakamanan kerja sebagai kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Greenhalgh dan Rosenblatt menyebutkan bahwa ketidakamanan kerja memiliki empat elemen penting yaitu kesinambungan kerja yang diinginkan (desired continuity), ancaman (threat), aspek kerja yang beresiko (job feature at risk) serta ketidakberdayaan (powerlesness). Terdapat hubungan yang timbal balik antara individu dan organisasi sehingga berbagai tantangan yang dihadapi organisasi menuntut organisasi bertindak secara responsif yang tentunya akan berdampak bagi individu. Organisasi seringkali melakukan penyesuaian yang mempengaruhi baik dalam hal cara kerja maupun kontinuitas kerja untuk mencapai low cost production. Hal tersebut juga dialami oleh PT “X” Semarang. PT “X” Semarang adalah salah satu perusahaan jamu terbesar di Semarang yang menguasai 34% market share di Indonesia (Sukardi dkk., 2007, h. 7) serta telah meraih penghargaan “Corporate Image Award 2011” untuk kategori Traditional Herbal Medicine, dari majalah “Bloomberg BusinessWeek” dan Frontier Group. Namun disisi lain, karyawan pelaksana produksi PT “X” Semarang tersebut, kini telah mengalami ancaman kehilangan pekerjaan. Ancaman tersebut ditandai oleh berbagai kebijakan perusahan yang meliputi adanya giliran kerja (shift kerja), penghapusan kerja lembur, program pengunduran diri secara sukarela (pensiun dini), serta pengurangan jam dan hari kerja Menurut Bosman (2005, h. 49), ketidakamanan kerja seringkali dianggap
sebagai fase pertama sebelum kehilangan pekerjaan dan terjadi dalam konteks krisis organisasional atau perubahan organisasional. Berdasarkan hasil angket terhadap 15 karyawan pelaksana produksi. Berkaitan dengan pentingnya aspek kerja. Sejumlah 15 karyawan menyatakan bahwa status menjadi pekerja adalah hal yang penting, 86,67% memilih gaji dan tunjangan, 26,67% memilih kesempatan peningkatan karir, 53,3% memilih kebersamaan dengan rekan kerja. Semakin penting aspek kerja maka keinginan karyawan untuk mempertahankan kesinambungan kerja (desired continuity) semakin tinggi. Elemen ancaman (threat) terlihat dari 73,33% karyawan khawatir akan adanya PHK tiba-tiba atau penutupan perusahaan, elemen aspek kerja yang beresiko (job feature at risk) terlihat dari 86,67% karyawan yang merasa khawatir kehilangan gaji dan tunjangan. Elemen terakhir yaitu ketidakberdayaan (powerlesness) dimana 62,67% merasakan ketidakberdayaan akibat merasa tidak mendapatkan sosialisasi kebijakan dari perusahaan. Kebijakan organisasi seringkali justru dapat membuat organisasi kehilangan sumber daya manusia yang bernilai dan bermanfaat untuk achieving dan sustaining keunggulan bersaing. Penelitian yang dilakukan oleh Greenhalgh & Rosenblatt seperti yang dikutip oleh Reisel et al., (2007, h. 106) menyatakan bahwa karyawan akan menunjukkan semakin memburuknya sikap dan perilaku mereka seiring dengan terjadinya peningkatan ketidakamanan kerja yang mengakibatkan mereka menjadi, resist terhadap perubahan, memiliki inisiatif untuk turn over, dan kurang produktif yang kesemuanya itu akan berdampak pada performansi organisasional. Buruknya konsekuensi dari ketidakamanan kerja tersebut tentunya diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakamanan kerja guna menghasilkan sumber daya manusia yang
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 142
berkualitas demi tercapainya tujuan perusahaan. Literatur tentang ketidakamanan kerja menunjukkan bahwa secara garis besar terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya ketidakamanan kerja karyawan yaitu faktor dari dalam individu dan faktor dari luar individu. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi ketidakamanan kerja adalah karakteristik personal. Namun tidak semua karakteristik personal mempengaruhi ketidakamanan kerja karyawan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai pengaruh karakteristik personal terhadap ketidakamanan kerja. Menurut Ashford dan Hartley (dalam De Witte, 2005, h. 2), faktor makro (lingkungan utama dan kondisi organisasional) lebih dominan dalam menentukan tingkat ketidakamanan kerja seseorang dibandingkan dengan faktor karakteristik personal karyawan. Sementara itu, pendapat yang berbeda mengungkapkan peranan pentingnya karakteristik personal dalam mendorong terbentuknya ketidakamanan kerja seseorang. Penelitian Roskies dan Guerin (dalam Kinnunen et al., 2003, h. 618) menyatakan bahwa faktor personal memiliki pengaruh yang signifikan pada situasi dimana terdapat ancaman dalam jangka panjang terhadap pekerjaannya, sebaliknya Klandermans dan Vuuren menyatakan bahwa karakteristik personal berpengaruh terhadap ketidakamanan kerja saat kondisi aman atau tidak terdapat ancaman terhadap pekerjaannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut tidak dapat disimpulkan secara langsung bahwa semua karakteristik personal berpengaruh secara langsung terhadap ketidakamanan kerja. Salah satu karakteristik personal yang perlu dikaji lebih lanjut dan diduga mempengaruhi ketidakamanan kerja adalah efikasi kerja. Konsep efikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah efikasi kerja.
Efikasi kerja merupakan konsep yang berasal dari efikasi diri namun dalam domain area pekerjaan (occupational self-efficacy). Schyns dan Von Collani (dalam Schyns, 2009, h. 4), menyatakan bahwa efikasi diri dalam pekerjaan (occupational self-efficacy) adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dan kompetensinya dalam menampilkan unjuk kerja yang baik pada berbagai jenis tugas dan situasi pekerjaan. Berbagai literatur mengungkapkan bahwa efikasi kerja sangat besar pengaruhnya dalam suatu perusahaan. Studi mengenai efikasi kerja menyatakan bahwa efikasi kerja berhubungan dengan kepuasan kerja dan tuntutan kerja Schyns & von Collani (2002, dalam Schyns, 2009, h. 4). Menurut Heslin et al. (2006, h. 705), tingginya efikasi kerja akan memperbaiki kemampuan karyawan untuk mengumpulkan informasi yang relevan, membuat keputusan, dan mengambil tindakan yang sesuai ketika mereka dalam situasi menekan. Sebaliknya efikasi kerja yang rendah akan mengarahkan pada analisis berpikir inkonsisten yang mendasari buruknya kualitas problem solving. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bandura (2006, h. 3) yang menyebutkan bahwa efikasi kerja mempengaruhi apakah seseorang berpikir inkonsisten atau strategis, optimis atau pesimis, mempengaruhi tindakan yang dipilih, tantangan dan tujuan yang mereka atur serta komitmen mereka terhadapnya, seberapa banyak usaha yang dilakukan, seberapa besar hasil yang diharapkan, seberapa lama mampu bertahan dalam menghadapi rintangan, resiliensi terhadap rintangan, kualitas kehidupan emosional, seberapa banyak stress dan depresi yang mereka alami dalam menghadapi tuntutan lingkungan, dan pilihan kehidupan yang mereka buat serta pencapaian yang telah mereka capai. Efikasi kerja merupakan aspek penting yang harus dimiliki karyawan
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 143
dalam bekerja karena berpengaruh pada keberhasilan pekerjaan dan diduga memiliki peran besar. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan konsentrasi karyawan dalam bekerja kurang optimal, orientasi untuk mengembangkan karir dan kemajuan juga terhambat sehingga diperlukan keyakinan akan kemampuan untuk mencapai target yang ada. Penilaian positif karyawan terhadap kemampuannya untuk mempengaruhi lingkungan akan memunculkan keyakinan diri karyawan pada kemampuannya dalam bekerja dalam situasi ketidakpastian. Bagaimana karyawan memandang bahwa dia memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi ketidakpastian akan memperkuat kondisi penuh keyakinan. Kondisi penuh keyakinan tersebut yang dibutuhkan untuk menciptakan efikasi kerja yang tinggi pada karyawan. Peneliti berasumsi bahwa dengan tingginya ketidakamanan kerja yang dirasakan karyawan maka memiliki efikasi kerja yang tinggi merupakan harapan bagi tiap karyawan untuk dapat memaksimalkan kinerja mereka dan memenuhi tujuannya dalam bekerja. Berdasarkan uraian di atas serta menimbang masih minimnya penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi ketidakamanan kerja, peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan Antara Efikasi Kerja dengan Ketidakamanan Kerja pada Karyawan Pelaksana Produksi PT “X” Semarang. Pemilihan PT “X” Semarang dengan alasan bahwa jumlah karyawan bagian pelaksana produksi cukup banyak serta adanya situasi dimana sewaktu-waktu karyawan dapat mengalami kehilangan pekerjaan. Pemilihan perusahaan jamu di kota Semarang selain karena kota tersebut menjadi sentra jamu juga dikarenakan industri jamu tidak memiliki kesulitan dalam hal bahan baku serta masuk dalam daftar 10 produk potensial (Antara, 2010).
1. Landasan Teoritis a. Ketidakamanan Kerja Perspektif global berdasarkan asumsi bahwa ketidakamanan kerja merupakan kekhawatiran mengenai hilangnya pekerjaan seseorang dimasa yang akan datang (Greenhalgh & Rosenblatt, 2010, h. 10). Perspektif multidimensional berpandangan bahwa ketidakamanan kerja merupakan fenomena yang lebih kompleks yang bukan hanya terdiri dari ketakutan akan kehilangan pekerjaan, namun juga meliputi ketakutan kehilangan dimensi-dimensi atau fasilitas yang bernilai dari suatu pekerjaan (valued job feature) yang meliputi stabilitas kerja, penilaian kerja yang positif dan promosi (Greenhalgh & Rosenblatt, dalam Sverke et al., 2006, h. 7). Pada penelitian ini ketidakamanan kerja diasumsikan dalam perspektif multidimensional karena konsep multifaktor terbukti lebih baik daripada unidimensional serta telah digunakan dalam berbagai penelitian selama bertahun-tahun dan telah menjadi pusat pengembangan dan pengukuran teori ketidakamanan kerja (Greenhalgh & Rosenblatt, 2010, h. 10). Pada penelitian ini, peneliti sejalan dengan pendapat De Witte dan Naswall (2003, dalam Sverke et al., 2004, h. 41) bahwa ketidakamanan kerja adalah pengalaman subjektif berdasarkan evaluasi dan interpretasinya terhadap kondisi objektif perusahaan, dengan demikian dalam menghadapi ancaman objektif yang sama terhadap pekerjaan misal restrukturisasi organisasi dan pengurangan karyawan, ada individu yang tidak merasa khawatir kehilangan pekerjaan (Sverke et al, 2004, h. 41). Peneliti juga sejalan dengan De Witte (2005, h. 1) yang menyatakan ketidakamanan kerja merupakan kondisi yang involuntary (tidak sukarela) sehingga penelitian pada ketidakamanan kerja tidak
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 144
berfokus pada karyawan yang secara sengaja memilih pekerjaan yang tidak pasti (misal pekerjaan dengan kontrak waktu sementara). Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa ketidakamanan kerja adalah kondisi ketidakberdayaan individu untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Ashford et al. (dalam Lee et al., 2006, h. 513-514) mengembangkan pengukuran multidimensional dari konsep ketidakamanan kerja yang dikemukakan oleh Greenhalgh & Rosenblatt dan menyatakan bahwa ketidakamanan kerja terdiri dari 5 komponen yaitu: a. Tingkat pentingnya aspek-aspek pekerjaan yang dirasakan karyawan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi, mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang terancam (terdapat kemungkinan aspek kerja tersebut akan hilang) akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. b. Kemungkinan perubahan negatif pada aspek kerja tersebut bagi individu. Jika kemungkinan negatif pada aspek-aspek kerja tersebut semakin tinggi, maka akan meningkatkan ketidakamanan kerja karyawan. c. Tingkat kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap peristiwa yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja individu. Misalnya dipecat, diberhentikan dalam jangka pendek, atau dipindahkan ke kantor cabang lain. d. Kemungkinan munculnya peristiwa-peristiwa tersebut yang secara negatif dapat mempengaruhi keseluruhan kerja individu. Jika kemungkinan yang muncul semakin tinggi, maka akan meningkatkan kemungkinan
e.
ketidakamanan kerja yang dirasakan karyawan. Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan membawa implikasi tentang kemampuan individu untuk menghadapi berbagai ancaman yang teridentifikasi dalam empat komponen sebelumnya. Individu yang merasa mampu menghadapi ancaman maka tingkat ketidakberdayaannya rendah, tidak akan merasa tidak aman dan gelisah, walaupun mereka merasakan adanya ancaman terhadap aspek kerja atau keseluruhan kerjanya.
Ashford et al. ( dalam Lee et al., 2006, h. 513) merumuskan ketidakamanan kerja dalam bentuk persamaan sebagai berikut: JI = [(Σtingkat kepentingan aspek kerja x kemungkinan hilangnya aspek kerja) + ((Σtingkat kepentingan keseluruhan pekerjaan x kemungkinan hilangnya keseluruhan pekerjaan)] x tingkat ketidakberdayaan dalam menghadapi ancaman b. Efikasi Kerja Menurut Bandura (2010, h.3), efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan dalam mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecakapan tertentu. Menurut Schyns (2009, h. 3) konsep efikasi diri dapat dipahami dan diukur melalui tiga tingkat yang berbeda yaitu: 1. Specific task self efficacy Merupakan efikasi diri yang sifatnya paling spesifik diantara efikasi diri lainnya. spesifik yang dimaksud disini adalah efikasi diri seseorang dalam melakukan tugas-tugas tertentu 2. Domain spesific self efficacy Efikasi diri yang dipahami sebagai domain yang bersifat spesifik merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan diri yang lebih banyak atau sedikit pada domain yang berbeda atau pada situasi-situasi tertentu, dengan demikian
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 145
tingkat spesifik efikasi diri seseorang akan berbeda-beda dan belum tentu sama pada semua domain 3. General self efficacy Merupakan konsep efikasi diri yang lebih umum dan lebih stabil dalam diri seseorang. General self efficacy sering dianggap sebagai bagian dari kepribadian yang dapat digeneralisasikan dalam berbagai domain atau semua situasi. Pada penelitian ini, konsep efikasi diri yang akan digunakan adalah domain specific self efficacy yaitu domain area pekerjaan (occupational self-efficacy) yang disebut efikasi kerja (work efficacy). Berdasarkan uraian di atas, efikasi kerja adalah keyakinan dalam diri individu akan kemampuan yang dimiliki dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu, menghadapi rintangan dan melakukan tindakan sesuai situasi yang dihadapi untuk meraih keberhasilan yang diharapkan. Menurut Bandura (2010, hal. 42-43), aspek-aspek efikasi kerja antara lain: a. Level Level adalah tingkat kesulitan yang diharapkan dapat dicapai oleh individu (Luthans et al., 2007, hal. 41). Konsep ini berkaitan dengan pencapaian tujuan. Beberapa individu berfikir bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas yang sulit. Tingkat dari suatu tugas dapat dinilai dari tingkat kecerdikan, adanya usaha, ketelitian, produktivitas, cara menghadapi ancaman dan pengaturan diri yang dikehendaki. Pengaturan diri tidak hanya dilihat dari apakah seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan pada saat tertentu namun apakah seseorang dapat memiliki efikasi kerja pada setiap saat untuk menghadapi situasi bahkan ketika individu diharapkan untuk pasif. b. Strength B. METODE Variabel prediktor adalah efikasi kerja
Ada individu yang memiliki kepercayaan kuat bahwa mereka akan berhasil walaupun dalam tugas yang berat, sebaliknya ada juga yang memiliki kepercayaan rendah apakah dapat melakukan tugas tersebut. Individu dengan efikasi kerja yang rendah mudah menyerah apabila mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, sementara individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya akan tekun berusaha menghadapi kesulitan dan rintangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan yang harus dihadapi daripada sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari (Bandura, 2010, h.39). c. Generality Aspek ini menunjukkan apakah individu mampu memiliki efikasi kerja pada banyak situasi atau pada situasi-situasi tertentu. Generalitas dapat dinilai dari tingkatan aktivitas yang sama, cara-cara dalam melakukan sesuatu dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif dan konatif, jenis situasi yang dihadapi dan karakteristik individu dalam berperilaku sesuai tujuan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi kerja terdiri dari tiga aspek, yaitu level, strength, generality.
2. Hipotesis Terdapat hubungan negatif antara “Efikasi Kerja dengan Ketidakamanan Kerja Pada Karyawan Pelaksana Produksi PT “X” Semarang. Semakin tinggi efikasi kerja karyawan maka semakin rendah ketidakamanan kerja yang dirasakan. Sebaliknya semakin rendah efikasi kerja maka semakin tinggi ketidakamanan kerja yang dirasakan sedangkan variabel kriterium adalah ketidakamanan kerja. Penelitian ini melibatkan 56 karyawan pelaksana
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 146
produksi PT “X” Semarang, berstatus karyawan tetap, dengan tingkat pendidikan minimal SMP atau sederajat, memiliki masa kerja minimal 5 tahun, berjenis kelamin wanita, serta memiliki usia kronologis 30-55 tahun. Penelitian ini menggunakan teknik sampling insidental sebagai teknik pengambilan sampel. Metode pengumpulan data yang digunakan C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh dari uji hipotesis dengan teknik analisis regresi sederhana menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara efikasi kerja dengan ketidakamanan kerja. Hubungan antara kedua variabel yang memuaskan terlihat dari angka koefisien korelasi sebesar -0,644 dengan tingkat signifikansi korelasi sebesar p=0,00 (p<0,05). Hubungan yang negatif mengindikasikan bahwa semakin tinggi efikasi kerja maka semakin rendah ketidakamanan kerja yang dirasakan. Hal itu berlaku pula sebaliknya, semakin rendah efikasi kerja maka semakin tinggi ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT „„X”Semarang. Hasil penelitian membuktikan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT „„X”adalah adanya efikasi kerja yang dimiliki karyawan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rigotti et al. (2008, dalam Schyns, 2009, h.4) terhadap sejumlah karyawan kontrak di lima negara Eropa (Jerman, Swedia, Belgia, Inggris, Spanyol) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara efikasi kerja terhadap ketidakamanan kerja karyawan. Berdasarkan kondisi lapangan, ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT „„X” Semarang berada pada kategori rendah dengan jumlah sampel yang berada pada kategori ini sebanyak 31 orang atau sekitar 55,36%.
dalam penelitian ini menggunakan skala ketidakamanan kerja dan efikasi kerja Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi sederhana pada program komputer Statistical Packages for Social Science (SPSS) for windows version 17.0.
Kondisi tersebut berdasarkan gambaran umum skor variabel yang menunjukkan bahwa mean empirik variabel ketidakamanan kerja adalah sebesar 80,8571 dan berada pada rentang antara skor 56 hingga 80. Hal tersebut berarti bahwa subjek memiliki ketakutan akan kehilangan pekerjaan pada taraf rendah. Tingkat ketidakamanan kerja yang berada pada kategori rendah dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Sverke et al, 2004, h. 43) yang menyatakan bahwa ketidakamanan kerja dibentuk oleh dua komponen yaitu besarnya ancaman (severity of threat) dan ketidakberdayaan (powerlessness), dengan demikian, meskipun karyawan merasa adanya ancaman yang sekiranya berakibat buruk terhadap keseluruhan aspek kerja dan pekerjaannya saat ini, namun apabila ia merasa memiliki kemampuan untuk memberdayakan dirinya dalam menghadapi ancaman tersebut maka tingkat ketidakamanan kerja yang dirasakan tidak terlalu tinggi. Berdasarkan dua komponen model dari ketidakamanan kerja tersebut, perasaan ketidakamanan dapat dibagi menjadi: (1) tinggi jika ancaman yang dirasakan tinggi serta tingkat ketidakberdayaannya tinggi. Hal ini disebabkan karena ancaman terjadinya PHK benar-benar akan terjadi, (2) sedang apabila ancaman yang dirasakan tinggi dan perasaan ketidakberdayaannya rendah atau sebaliknya ancaman yang dirasakannya rendah dan perasaan ketidakberdayaannya tinggi. Hal ini disebabkan karena ancaman kehilangan pekerjaan atau PHK masih
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 147
merupakan rumor yang tidak pasti. (2) rendah apabila ancaman yang dirasakannya rendah dan perasaan ketidakberdayaannya rendah. Hal ini disebabkan karena karyawan percaya bahwa perusahaan tidak akan melakukan PHK dan mereka mempercayai bahwa perusahaan akan menolong mereka untuk mencegah hal tersebut terjadi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi karyawan di perusahaan PT „„X” Semarang dimana selama 93 tahun perusahaan tersebut berdiri, perusahaan belum pernah melakukan PHK massal, bahkan meskipun terjadinya giliran kerja 3 bulan sekali dan hilangnya beberapa tunjangan kesejahteraan, karyawan merasakan rendah kemungkinan terjadinya PHK. Penjelasan lain dari kategori ketidakamanan kerja pada taraf rendah adalah PT “X” memiliki produk unggulan yang memiliki kekhasan serta telah dipercaya secara turun temurun oleh konsumen. Kondisi ini akan menyebabkan karyawan merasa bahwa konsumen membutuhkan mereka sehingga rendah kemungkinan untuk kehilangan pekerjaan yang dirasakan karyawan. Namun berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan cukup rendahnya gap antara subjek yang memiliki ketidakamanan kerja rendah dengan subjek yang memiliki ketidakamanan kerja yang tinggi (rendah=31; tinggi=25). Hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan sumber-sumber ketidakamanan kerja itu sendiri, yang terdiri dari informasi yang diharapkan (intended organizational messages), 2) munculnya isyarat organisasional yang tidak diharapkan (unintended organizational clues), serta 3) rumor yang jumlahnya sangat banyak, (dalam Greenhalg & Rosenblat, 2010, h. 10). Meski karyawan pelaksana produksi merasakan bahwa perusahaan telah melakukan sosialisasi kebijakannya dalam kondisi penurunan perusahaaan sehingga intended organizational messages berada dalam taraf baik namun mereka
mendapatkan banyak unintended organizational clues dan rumor yang banyak dalam kondisi perusahaan seperti itu. Berdasarkan kondisi lapangan, karyawan pelaksana produksi PT „„X”Semarang memiliki efikasi kerja yang tinggi terhadap pekerjaannya dengan jumlah sampel yang berada pada kategori ini sebanyak 43 orang atau sekitar 76,78%. Kondisi tersebut berdasarkan gambaran umum skor variabel yang menunjukkan bahwa mean empirik variabel efikasi kerja adalah sebesar 82, 6964 dan berada pada rentang antara skor 70 hingga 91. Hal tersebut berarti subjek memiliki keyakinan diri yang tinggi terhadap kemampuannya. Berkaitan dengan kondisi di atas, efikasi kerja pada penelitian ini berada pada kategori tinggi dapat dijelaskan berdasarkan sumber-sumber efikasi kerja, yaitu pengalaman keberhasilan and successful experiences), pengalaman keberhasilan orang lain (vicarious learning/modelling), persuasi sosial atau umpan balik positif (social persuation/ positif feedback), serta keadaan fisiologis dan emosional (psychological dan physiological araousal/wellbeing), (dalam Luthans et al., 2007, h. 43-49). Berdasarkan keempat sumber tersebut, subjek memiliki tiga sumber efikasi kerja dalam kategori tinggi, yaitu pengalaman penguasaan dan kesuksesan (mastery and successful experiences) dimana sebagian besar subjek telah memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun, hal tersebut menjadikan subjek telah memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja yang memadai sehingga meskipun dihadapkan pada tantangan-tantangan kerja yang baru karyawan memiliki kemampuan untuk mengatasinya, 2) Pengalaman keberhasilan orang lain (vicarious learning/modelling), hal ini sejalan dengan penelitian Tsai (2009, h. 991) yang menyatakan bahwa efikasi kerja mempengaruhi perilaku berbagi (sharing behavior) sehingga karyawan yang
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 148
memiliki efikasi kerja akan membagikan pengalaman kerjanya atas keberhasilan pengerjaan tugas kepada rekan kerja sehingga rekan kerjanya tersebut juga memiliki efikasi kerja yang tinggi, 3) persuasi sosial atau umpan balik positif (social persuation/ positif feedback). Persuasi dari dari pimpinan dan rekan kerja memberikan peran besar dalam menumbuhkan efikasi kerja karyawan dalam melakukan tugas-tugas perusahaan. Bentuk-bentuk dukungan informatif seperti nasehat, petunjuk dan saran dari pimpinan maupun rekan kerja mempengaruhi keyakinan diri karyawan agar dapat berhasil dalam pekerjaan, tantangan-tantangan pekerjaan dan mencapai target yang ditetapkan perusahaan. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Bandura (2010, h.79) yang menyatakan bahwa salah satu sumber terbentuknya efikasi kerja adalah persuasi verbal. Sumber-sumber efikasi yang dimiliki karyawan membuat karyawan memiliki efikasi kerja yang tinggi. Karyawan yang bekerja dalam kondisi penurunan organisasi bukan berarti tidak memiliki beban kerja dan tuntutan kerja yang tinggi, justru dengan jumlah karyawan yang semakin sedikit mereka mendapatkan beban kerja yang sama dan bahkan ada yang lebih berat. Salah satu karyawan pelaksana produksi menyatakan bahwa perusahaan menuntut agar tiap bagian produksi meminimalkan taraf barang cacat yang dihasilkan dan tetap menghasilkan kinerja yang baik meski dengan sumber daya yang minim. Saks (dalam Handayani, 2008, h. 75) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki efikasi kerja yang tinggi akan mengerjakan pekerjaan dengan mempertimbangkan konsekuensi kesalahan. Tingginya efikasi kerja akan memperbaiki kemampuan karyawan untuk mengumpulkan informasi yang relevan, membuat keputusan, dan mengambil tindakan yang sesuai ketika mereka dalam
situasi menekan. Individu yang memiliki efikasi kerja yang tinggi akan memiliki pemikiran yang lebih positif sehingga mendorong karyawan untuk melakukan penyesuaian yang lebih baik. Wanberg & Banas (dalam Jimmieson et al, 2004, h. 13) menyatakan bahwa efikasi akan menjadikan karyawan mengfungsikan dirinya lebih baik sehingga dapat memenuhi tuntutan kerja. Karyawan yang memiliki keraguan akan kemampuannya akan berfokus pada ketidakmampuannya sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan organisasional. Keyakinan akan ketidakmampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan kerja dalam kondisi perubahan organisasional akan berdampak pada ketidakamanan kerja yang dirasakannya. Tingginya efikasi kerja dengan diiringi tingkat adaptability terhadap kondisi perusahaan yang telah berlangsung lama membuat ketidakamanan kerja karyawan berada dalam kategori rendah. Hal tersebut karena individu tersebut memiliki keyakinan diri yang tinggi sehingga memiliki pemikiran yang positif bahwa dia dapat berkontribusi bagi kemajuan perusahaan, namun berdasarkan hasil penelitian terlihat terdapat cukup tingginya jumlah subyek yang memiliki ketidakamanan kerja yang tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pengharapan yang jelas, misalnya saat karyawan merasakan adanya ancaman terhadap kontinuitas kerjanya, namun tidak mengetahui apakah performansi kerja yang tinggi dapat mempertahankan statusnya sebagai pekerja. Hasil analisis regresi penelitian ini juga menunjukan sumbangan efektif variabel efikasi kerja terhadap ketidakamanan kerja sebesar 41,5%. Kondisi tersebut menunjukan bahwa konsistensi variabel ketidakamanan kerja dapat diprediksi oleh variabel efikasi kerja. Sisanya 58,5 % ditentukan oleh faktor lain yang tidak diungkap dalam penelitian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) faktor dari dalam diri karyawan (internal) misal
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 149
faktor demografi (usia, gender, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi), keikutsertaan dalam serikat pekerja, employability, konflik peran, ketidakjelasan peran, karakteristik personal (locus of control, optimisme, self esteem, negative affectiviy). Serta faktor dari luar individu (eksternal), yaitu lingkungan utama dan kondisi organisasional, dukungan sosial, faktor karakteristik pekerjaan, serta komunikasi.
1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara efikasi kerja dengan ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT „„X” Semarang yang ditunjukkan dengan angka koefisien rxy = -0,644, p = 0,000 (p<0,05). Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada hubungan negatif antara efikasi kerja dengan ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT „„X” Semarang dapat diterima. Arah hubungan bersifat negatif, artinya semakin tinggi efikasi kerja maka semakin rendah ketidakamanan kerja karyawan. Sebaliknya semakin rendah efikasi kerja maka semakin tinggi ketidakamanan kerja yang dirasakan. Efikasi kerja memberikan sumbangan efektif 41,5% terhadap ketidakamanan kerja. Hal ini mengisyaratkan bahwa efikasi kerja bukanlah merupakan faktor utama yang mempengaruhi ketidakamanan kerja pada karyawan pelaksana produksi PT “X” Semarang. 2. Saran
Penelitian ini masih banyak kelemahan yang dimiliki, antara lain: a. Pada penyusunan alat ukur psikologi, terutama dalam penentuan batasan kawasan alat ukur yang digunakan untuk membuat indikator dan aitem ketidakamanan kerja dan efikasi kerja dalam skala psikologi. b. Penggunaan teknik sampling insidental yang membuat jumlah sampel mungkin tidak representatif karena tergantung hanya pada anggota sampel yang ada pada saat itu sehingga penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal generalisasi. D . KESIMPULAN DAN SARAN a. Bagi Karyawan Karyawan disarankan untuk mempertahankan tingginya tingkat keyakinan terhadap pekerjaan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan, antara lain melalui peningkatan rasa ketertarikan terhadap sehingga karyawan diharapkan memiliki employability memberdayakan dirinya.
dapat untuk
b. Bagi Perusahaan 1 Pihakmanajemen PT „„X” Semarang diharapkan mampu mempertahankan efikasi kerja karyawan
tugas-tugas yang sedang dilaksanakan, penetapan target atau tujuan yang ingin dicapai dalam pekerjaan. Tingkat efikasi diri yang tetap tinggi dapat membuat perasaan ketidakamanan kerja tetap rendah terhadap kemampuannya dalam bekerja. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan peran karyawan yang jelas di perusahaan, tidak menghapus penghargaan dan pengakuan bagi karyawan yang berprestasi, tetap memberikan stimulus pekerjaan yang dapat mendorong semangat, tanggung jawab dan kemajuan dalam pekerjaan agar karyawan dapat lebih mengoptimalkan seluruh keterampilan
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 150
dan menggali potensi yang dimiliki oleh karyawan sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. 2 Perusahaandiharapkan dapat menjaga agar ketidakamanan kerja yang dirasakan tetap rendah, dengan melakukan intervensi seperti melakukan komunikasi dan sosialisasi kebijakan dengan baik, mengirimkan perwakilan mengalami shift kerja sementara sampai tingkat produktivitas perusahaan kembali stabil) sehingga ancaman ketidakamanan kerja yang dirasakan akan rendah, selain itu perusahaan harus memberikan kejelasan kriteria-kriteria karyawan yang akan dipertahankan apabila suatu saat
karyawan dalam rapat penentuan kebijakan perusahaan, melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini perlu dilakukan agar terciptanya pemahaman antara karyawan dan pihak pimpinan, sehingga menimbulkan proses negosiasi (misalnya: apakah karyawan hanya terjadi perampingan diperusahaan, misalkan berdasarkan evaluasi kinerja (performance appraisal), berdasarkan deskripsi pekerjaan (job description), spesifikasi pekerjaan (job spesification) sehingga karyawan dapat memahami serta menerima keputusan pihak pimpinan dalam melakukan kebijakan.
c. Bagi Peneliti Lain 1 Bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud menghubungkan variabel efikasi kerja dengan ketidakamanan kerja disarankan agar memperhatikan faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap ketidakamanan 2 Peneliti selanjutnyadapat memperkaya orientasi kancah penelitian pada jenis efikasi kerja lainnya misal general self efficacy, task spesific self efficacy atau dapat mengukur ketidakamanan kerja dengan menggunakan aspek berbeda sehingga dapat mengungkap wacana baru dengan daya generalisasi yang lebih luas. kerja, misal usia, gender, tingkat pendidikan, masa kerja serta komunikasi.
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 151
DAFTAR PUSTAKA
Antara. (11 Februari 2010). Jamu Masuk Dalam Daftar Industri Potensial. Diakses pada 11 Agustus 2011. http://www.antaranews.com/new s/173417/jamu-masuk-dalam -daftar-industri-potensial. Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bandura. 2010. Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company. Bosman, J., J.H. Buitendach, S. Bothman. 2005. Work Locus of Control and Dispositional Optimism as Antesedent to Job Insecurity. Journal of Industrial Psychology. p. 17-23. _________. 2005. Job Insecurity, Burnout And Work Engagement: The Impact Of Positive And Negative Affectivity.Journal of Industrial psychology, 31 (4), 48-56 BPOM.2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. De Witte, H. 2005. Job Insecurity: Review Of The International Literature On Definition, Prevalence, Antecedent And Consequences. Journal of Industrial psychology, Vol. 31 (4), p. 1-6. Fathoni, Riza. (20 Januari 2010). Imbas
ACFTA, Omzet Industri Jamu dan Kosmetik Anjlok, Diakses pada 5 Maret 2011. http://www.nyonyameneer.com/ showNews.php?id=213. Gilang, Andri. (25 Maret 2011). Analisis Peluang dan Tantangan Serta Langkah Pemerintah Indonesia Terhadap Implementasi Penuh ASEAN-China FTA. Diakses pada April 2011. http://saepudinonline.wordpress. com/2011/03/25/analisis-peluan g-dan-tantangan-serta-langkah-p emerintah-indonesia-terhadap-i mplementasi-penuh-asean-chinafta/ Greenhalgh, L., Rosenblatt, Z. 2010. Evolution Of Research On Job Insecurity. International Studies Of Management And Organizational, Vol. 40, p. 6-9. Handayani, Wiwik. 2008. Dampak Komitmen Organisasi, Self Efficacy Terhadap Konflik Persan Dan Kinerja Karyawati PT. HM SAMPOERNA, Tbk Disurabaya. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis Vol.8 No. 2. Heslin., P.A., & Klehe, U.C. 2006. Self Efficacy. Encyclopedia of Industrial/Organizational Psychology. Vo.2, p. 705-708. Thousand Oaks: Sage Jimmieson, L., Nerina,Terry, J.,Deborah, Callan, J., Victor. 2004. A Longitudinal Study Of Employee Adaptation To Organizational Change: The Role Of Change-Related Information And Change-Related Self Efficacy. Journal of Occupational Health Psychology, 9 (1): 11-27
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 152
Lee, S.,Bobko, P., Chen, Z.X. 2006. Investigation of the Multidimensional Model of Job Insecurity in China and the USA. Applied Psychology: An International Review, 55 (4), 512–540 Luthans, F., Youssef., C.M., Avolio, B.J. 2007. Psychological Capital: Developing the Competitive Edge. University Press.
Human Oxford
Nugroho, Iwan. 2011. Wow! Omzet Jamu RI di 2010 Capai Rp 10 Triliun. Diakses pada 11 Agustus 2011 http://us.detikfinance.com/read/2 011/04/25/175005/1625008/103 6/wow-omzet-jamu-ri-di-2010-capai-rp-10 -triliun. Reisel, W.D., Chia, S.L., Maloles, C.M., 2007. The Effects of Job Insecurity on Satisfaction and Perceived Organizational Performance. Journal of Leadership & Organizational Studies, Vol. 14.No. 2. p. 106-107 Republika. (Selasa 12 April 2011). Indonesia Tagih Komitmen Cina. Di akses pada 11 November 2011. http://www.bsn.go.id/news_detai l.php?news_id=2858&language =en&language=id Rosita, Maria. (7 Oktober 2011). Industri. Jamu Lokal Muram Diserbu Produk Impor. di akses pada 11 Novemver 2011. http://bisniskeuangan.kompas.co m/read/2011/10/07/09482740/In dustri. Jamu.Lokal.Muram.Diserbu.Pro duk.Impor
Schyns, Birgit., Moldzio, Thomas., 2009. The Value of Occupational Self Efficacy in Selection and Development. British academy of management. 15-17 Setiawan, R., Hadianto, B. 2008. Job Insecurity Dalam Organisasi. Bandung: Universitas Kristen Maranata. Suara Pembaruan. 21 September 2011. Industri jamu RI belum miliki standar. Diakses pada 5 Desember 2011. http://www.nyonyameneer.com/ showNews.php?id=213 Sudarsono. (26 April 2012). Industri jamu sulit berkembang. Diakses pada 5 Desember 2011. http://economy.okezone.com/rea d/2011/04/26/320/450292/indust ri-jamu-sulit-berkembang
Sugiyono. 2010. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sverke, M., Hellgreen, J., Naswall, K., Chirumbolo A., De Wittem H., Goslinga, S. 2004. Job Insecurity and Union Membership : European Union In The Wake of Flexible Production. A literatur Review. Germany : Peter Lang Sverke, M., Hellgreen, J., Naswall, K. 2006. Job Insecurity: A literatur Review. Eropa: SALTSA. Sukardi K.D., & Gunawan, L. 2007. Life Cycle Of Indonesian Family Business. Economy Faculty of International Business Management Department Ciputra University. Tsai, Ming-Tien & Nai-Chang Cheng,
JURNAL PSIKOLOGI, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 153
2009, The Effect of Self-Efficacy and Self-Regulation on Knowledge Sharing /behavior under Social cognitive Perspective. Decision Sciences Institute 2009 Annual Meeting (DSI) in New Orleans. November 14-17, 2009