INDIKATOR ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP KRISIS AIR (STUDI KASUS DI PALU’E, NTT DAN KEMBANGBAHU, JAWA TIMUR) The People’s Adaptive Indicator Towards Water Crisis (Case Study in Palu’e, NTT and Kembangbahu, East Java) Ratih Putri R. Balai Litbang sosekling Bidang SDA Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat - Jaksel E-mail :
[email protected] Tanggal diterima : 29 September 2013 ; Tanggal disetujui: 16 Januari 2014
ABSTRACT When climate began to change, water resources are the most affected sectors. Of all the consequences of climate change, the biggest impact is on hydrological cycle and water resources management and social-economic system. Social and economic condition of the community is very influential on the adaptation of society. Adaptive capacity is characterized by the ability of communities to adapt to the changes occuring. This study aims to determine correlation between the willingness to pay and the indicators of education, income, and distance to water sources in Palu’e, NTT and Kembangbahu, East Java. Chisquare analysis method was used to analyze questionnaire result from 46 respondents in Kembangbahu and 28 respondents in Palu’e. The calculation result shows that the three adaptation indicators do not have a correlation with the willingness to pay. This variable indicates the level of adaptation. However, local wisdom significantly affects the adaptation of society. Keywords : climate change, adaptation, indicator, water, willingness to pay
ABSTRAK Ketika iklim mulai berubah, sumber daya air merupakan sektor yang paling terpengaruhi. Dari semua akibat perubahan iklim, yang paling besar adalah pada siklus hidrologi dan pengelolaan sumber daya air serta sistem sosial – ekonomi. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sangat berpengaruh terhadap adaptasi masyarakat. Kapasitas adaptif ditandai dengan kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kemauan membayar untuk mendapatkan air dengan indikator pendidikan, pendapatan, dan jarak ke sumber air di Palu’e, NTT dan Kembangbahu, Jawa Timur. Metode analisis chi-square dilakukan terhadap hasil kuesioner dari 46 responden di Kembangbahu dan 28 responden di Palu’e. Hasil perhitungan menunjukkan ketiga indikator adaptasi tidak memiliki hubungan dengan kemauan membayar. Variabel kemauan membayar menunjukkan tingkat adaptasi. Namun, kearifan lokal secara nyata mempengaruhi adaptasi masyarakat. Kata kunci : perubahan iklim, adaptasi, indikator, air, kemauan membayar
PENDAHULUAN Perubahan iklim yang terjadi saat ini dan akan datang disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat pembakaran secara besarbesaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta pembabatan hutan. Kerusakan terutama terjadi melalui produksi “gas rumah kaca” (GRK), dinamakan demikian karena gas-gas itu memiliki
efek yang sama dengan atap sebuah rumah kaca. Gasgas itu memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer bumi sehingga menghangatkan bumi, tetapi gas-gas ini mencegah pemantulan kembali sebagian udara panas ke ruang angkasa. Akibatnya, bumi dan atmosfer, perlahan-lahan memanas. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida. Iklim yang menghangat dalam beberapa dekade terakhir terkait erat dengan perubahan beberapa komponen siklus hidrologi dan sistem hidrologi seperti perubahan pola hujan, intensitas hujan,
53
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 6 No.1, April 2014
penyebaran luasan es yang meleleh serta perubahan pada kelembaban tanah (IPCC 2008). Perubahan pola curah hujan yang akan datang di Pulau Jawa dan Bali ditunjukkan Gambar 1.
Gambar 1. Kecenderungan pola curah hujan yang akan datang di Jawa dan Bali Gejala perubahan iklim telah terjadi di DAS Kampar, Riau dengan indikasi kecenderungan peningkatan suhu, peningkatan curah hujan, dan peningkatan frekuensi banjir sebagai akibat pergeseran musim yang tidak menentu (Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat 2010). Perubahan iklim dirasakan petani berdampak pada dua hal utama yaitu masalah kekeringan dan serangan organisme tanaman pengganggu (Suprihati dkk 2013).
Waggoner et al (1990) dalam laporan Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat tahun 2010 menyatakan bahwa peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi dan akan berpengaruh pada run-off (aliran permukaan/ limpasan) sehingga keseimbangan hidrologi akan terganggu. Selanjutnya, disebutkan apabila evapotranspirasi di suatu wilayah meningkat sebagai respon terhadap kenaikan suhu atmosfer, sedangkan curah hujan tetap atau bahkan berkurang maka wilayah tersebut akan kekurangan persediaan air bahkan kemungkinan besar terjadi bencana kekeringan. Sedangkan di beberapa wilayah akan memperoleh intensitas hujan yang lebih besar sehingga akan meningkatkan intensitas bencana banjir (Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, 2010).
Selain itu, penemuan tentang krisis air digarisbawahi pada final statement di Second World Climate Conference, tahun 1990, yang menyebutkan bahwa: dari semua akibat perubahan iklim, yang paling besar adalah pada siklus hidrologi dan pengelolaan sumber daya air serta sistem sosial – ekonomi (Sadoff 2009). Sistem sosial ekonomi masyarakat akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan fisik tempat dia tinggal akibat
54
meningkatnya kecenderungan terjadi kekeringan dan banjir.
Menurut UNDP (2008) perubahan iklim akan mempengaruhi pada pencapaian MDGs pada penanggulangan kemiskinan dan kelaparan ekstrem, pencapaian pendidikan dasar universal, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, angka kematian anak, kesehatan ibu, mengatasi berbagai penyakit, penjaminan kelestarian lingkungan dan pengembangan kemitraan global. Ditegaskan lebih lanjut, dampak perubahan iklim dapat lebih memiskinkan rakyat miskin. Perubahan siklus hidrologi ditunjukkan dengan durasi kekeringan yang semakin panjang tiap tahun. Oleh karena itu, dalam rangka beradaptasi, pengelolaan sumber daya alam harus direkayasa.
Wilayah penelitian yang diambil adalah Kecamatan Kembangbahu, Kab. Lamongan, Jawa Timur dan Kecamatan Palu’e, NTT. Kedua daerah ini tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi kebutuhan dan belum adanya sistem pengelolaan air bersih yang memadai. Penampungan air hujan menjadi sumber air untuk kebutuhan seharihari. Namun masyarakat Palu’e memiliki tradisi sublimasi uap panas bumi untuk menambah ketersediaan air bersih. Kecamatan Kembangbahu secara geografis dapat dibagi ke dalam dua wilayah geografis, yaitu bagian utara dengan kondisi wilayah yang lebih subur karena dialiri air dari Waduk Gondang dan bagian selatan yang relatif lebih kering karena memiliki sumber air yang sangat terbatas. Sumber air utama di bagian selatan adalah air hujan. Dalam penelitian ini, pencarian data hanya difokuskan pada tiga desa dengan kondisi yang paling kering, yaitu Desa Kaliwates, Pelang dan Puter.
Kecamatan Palue (selanjutnya disebut Palue) yang terletak di Kabupaten Sikka adalah salah satu kecamatan dari 6 kecamatan dengan kondisi ‘sangat krisis’ air bersih di Provinsi NTT. Palue yang terpisah dari daratan Kabupaten Sikka adalah salah satu pulau yang terletak di sebelah utara Kabupaten Ende. Palue memiliki gunung api Rokatenda yang masih aktif. Palue dijuluki ‘pulau gunung’ yang terletak di Laut Flores karena memiliki area gunung api (dalam bahasa Palue disebut poa). Poa inilah yang menjadi salah satu sumber air bagi masyarakat Palue melalui proses sublimasi. Permasalahan kekeringan dan krisis air muncul ketika perubahan iklim membawa musim kemarau lebih cepat dan lebih panjang. Kemampuan adaptasi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa indikator sosial ekonomi, diantaranya pendidikan, pendapatan, jarak ke sumber air. Penelitian ini
Indikator Adaptasi Masyarakat Terhadap Krisis Air (Studi Kasus di Palu’e, NTT dan Kembangbahu, Jawa Timur) Ratih Putri R. bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kemauan membayar untuk mendapatkan air dengan indikator sosial ekonomi. KAJIAN PUSTAKA
Perubahan sumber daya air akan mempengaruhi pola hidup masyarakat sekitar. Kerentanan terhadap perubahan ini akan menentukan sejauh mana masyarakat akan mampu bertahan. Menurut McCarthy, 2001 dalam O’Brein, 2004 disebutkan bahwa kerentanan terhadap perubahan iklim dipahami sebagai fungsi dari beberapa faktor biofisik dan sosial – ekonomi. Laporan IPCC menyatakan tipologi kerentanan sebagai fungsi dari 3 (tiga) komponen, yaitu kapasitas adaptif (adaptive capacity), sensitivitas (sensitivity), dan eksposur (exposure) (O’Brein 2004). Menurut O’Brien, kapasitas adaptif adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim yang sedang atau diprediksi terjadi, atau untuk menanggung beban konsekuensi dari perubahan iklim. Variabel dari kapasitas adaptif adalah kesejahteraan, teknologi, pendidikan, informasi, keahlian, infrastruktur, akses terhadap sumber daya alam, stabilitas dan manajemen kemampuan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa batas adaptasi dibentuk dari tiga dimensi, yaitu ekologi dan fisik, ekonomi, dan teknologi ( Adger 2008).
Semakin tinggi kapasitas adaptif menunjukkan kemampuan untuk melanjutkan hidup lebih besar karena mampu menyesuaikan diri. Lebih lanjut Adger menegaskan bahwa meskipun batasbatas fisik dan ekologi yang mempengaruhi alam, adaptasi perubahan iklim tidak hanya dibatasi oleh hal tersebut. Namun juga oleh faktor-faktor sosial yaitu etika (nilai apa yang diusung), pengetahuan (apa yang diketahui), resiko (apa yang dilihat) dan tradisi (bagaimana kita hidup). Hal ini merupakan nilai sosial yang ada di masyarakat tersebut yang kemudian akan membedakan cara beradaptasi satu daerah dengan daerah lainnya. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan dan adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf 2002). Kearifan lokal sebagai nilai sosial yang khas antara satu daerah dengan lain akan menyebabkan perbedaan kapasitas adaptif.
Aspek pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan mensyaratkan adanya fungsi ekonomi, ekologi dan sosial yang saling berhubungan satu sama lain. Untuk meningkatkan fungsi ekologi maka upaya yang dilakukan
yaitu dengan menitikberatkan pada terjaganya kelestarian kawasan sumber daya air. Fungsi sosial budaya diupayakan untuk semakin melibatkan peran serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan sumberdaya air. Disamping itu sebagai fungsi ekonomi dimana pengelolaan sumber daya sebagai penyangga keberlanjutan sistem produksi, konservasi dan pendayagunaan kekayaan yang terkandung di dalamnya serta bentuk berbagai penggunaan secara terpadu, hal ini dapat ditopang dengan kearifan lokal (Aprianto dkk 2008).
Upaya adaptasi petani Desa Tlogolele terhadap perubahan iklim adalah model budidaya pertanian yang memadukan prinsip konservasi tanah, infrastruktur pengendalian aliran lahar hujan serta pengetahuan-kearifan lokal pendukung dan sistem informasi klimatologi maupun bencana (Suprihati dkk 2013). Selanjutnya adaptasi petani berdasarkan kearifan lokal juga telah dilakukan. Masyarakat lokal Dusun Lubuk Baka, Lampung dalam mengelola agroforestri pada waktu penanaman menggunakan tata waktu pertanian yang dilekatkan dengan indikator ekologi memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan tanaman, produksi komoditi agroforestri, dan tingkat pendapatan (Hilmanto 2011). METODE PENELITIAN
Indikator yang akan ditinjau lebih lanjut dalam penelitian ini adalah pendidikan, pendapatan dan jarak ke sumber air. Indikator adaptasi memiliki hubungan dengan kemauan membayar. Teknologi untuk menjawab ketiadaan air adalah pengadaan sistem pengelolaan air bersih. Kemauan untuk membayar menunjukkan sejauh mana masyarakat bersedia berkontribusi. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pemahaman akan esensi ketersediaan air sehingga mau membayar. Jumlah pendapatan yang tinggi juga akan meningkatkan kemauan membayar karena memiliki uang lebih. Kemudian jarak yang semakin jauh akan meningkatkan kemauan membayar karena air semakin mudah didapat. Ketiga indikator adaptasi memiliki hubungan dengan kemauan membayar. Kearifan lokal dapat mempengaruhi kemauan membayar karena ketersediaan air dapat dijawab dengan melaksanakan usaha-usaha pengelolaan air yang berbasis masyarakat. Responden yang diobservasi merupakan masyarakat setempat (household). Lokasi penelitian di Kecamatan Palue adalah Desa Rokirole, Tuanggeo, Ladolaka, dan Reruwairere dengan jumlah 28 responden. Sedangkan di Kecamatan Kembangbahu adalah Desa Kaliwates, Puter, dan Pelang dengan jumlah responden di 46 responden. Analisis chi-
55
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 6 No.1, April 2014
square dilakukan untuk mengetahui hubungan antar indikator dengan menggunakan program ms excel.
Analisis chi-square merupakan statistik nonparametrik karena data untuk pengujian adalah data kategori/kualitatif (nominal dan ordinal) (Sujarweni dkk 2012). Analisis chi-square dilakukan dengan membuat tabulasi silang kemudian dihitung x2. Tabulasi silang dilakukan dengan mengategoriksasikan indikator menjadi tabel 2x2 seperti ditunjukkan pada Tabel 1 Tabel 1. Tabulasi Silang
Kemauan membayar
Indikator
Tidak
Ya
Total
Sub indikator 1
a
b
a+c
Sub indikator 2
c
d
b+d
a+b
c+d
n
Jumlah
Kemudian dihitung berikut:
x2
dengan rumus sebagai
dengan derajat kepercayaan 5%, x2hitung dibandingkan dengan x2tabel. Jika x2hitung> x2tabel maka Ho ditolak. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kuesioner terhadap tingkat pendidikan, pendapatan, jarak ke sumber air, dan kemauan membayar di Palue, NTT dan Kembangbahu, Jatim disajikan pada Tabel 2. Indikator pendidikan ditunjukkan dengan tingkat pendidikan yang terakhir diikuti responden, yaitu tidak sekolahSD-SMP-SMA-S1, pendapatan ditunjukkan dengan jumlah rupiah yang diperoleh per bulan, dan jarak dari rumah ke sumber air dalam satuan meter. Kemauan membayar diberikan poin 1 untuk ya dan 2 untuk tidak.
Tabel 3 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan responden dan pada Gambar 3 diperlihatkan bahwa mayoritas responden, baik di Kembangbahu (35%) dan Palu’e (57%) adalah lulusan SD. Kemudian diikuti dengan lulusan SMA, SMP, S1 dan tidak sekolah. Namun, jumlah responden yang tidak bersekolah di Palu’e lebih besar. Hal ini dapat memperlihatkan penduduk Pulau Jawa lebih banyak mengenyam pendidikan tinggi dibanding di luar pulau. Hal ini terkait dengan keberadaan institusi
56
Tabel 2. Hasil Rekap Kuesioner Di Kembangbahu dan Palu’e Indikator
Kembangbahu
Palu'e
Pendidikan Tidak Sekolah
0
3
SD
16
16
SMP
12
3
SMA
15
4
3
2
S1 Pendapatan (Rp) <500.000
10
9
500.000-1.000.000
21
12
1.000.001-1.500.000
7
4
>1.500.000
8
3
<200
17
21
201-500
10
4
>500
19
3
38
19
8
9
Jarak ke sumber air (m)
Kemauan Membayar Ya Tidak
Sumber: kuesioner penelitian MAPI Balai Sosekling SDA, 2012
pendidikan tinggi yang hanya ada di kota-kota besar saja. Menurut O’Brien, pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kapasitas adaptif masyarakat. Dalam hal ini Kembangbahu lebih adaptif dibanding Palu’e.
Tabel 3 menunjukkan sebaran responden untuk masing-masing indikator. Gambar 3 menunjukkan perbandingan dalam % untuk pendapatan, dapat dilihat bahwa mayoritas responden di lokasi penelitian memiliki pendapatan kurang dari Rp 1.500.000 per bulan. Menurut O’Brien, kesejahteraan mempengaruhi kapasitas adaptif. Dalam hal ini, kedua lokasi penelitian dapat dianggap kurang adaptif atau rentan. Gambar 4 menunjukkan perbandingan jarak dari rumah ke sumber air di lokasi penelitian mayoritas kurang dari 500m. Dalam pemantauan di lapangan, hal ini dikarenakan terdapat bangunan Pengumpul Air Hujan (PAH) individu dan komunal yang digunakan sebagai sumber air bersih. Sedangkan jarak ke sumber air tawar tanah lebih jauh. Akses terhadap sumber daya alam mempengaruhi kapasitas adaptif Tabel 3. Sebaran Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan T.SEKOLAH
Kembangbahu (Org)
Palu'e (Org) 0
4
SD
16
16
SMP
12
3
SMA
15
4
S1 Jumlah
3
1
46
28
Sumber: kuesioner penelitian MAPI Balai Sosekling SDA, 2012
Indikator Adaptasi Masyarakat Terhadap Krisis Air (Studi Kasus di Palu’e, NTT dan Kembangbahu, Jawa Timur) Ratih Putri R. 60 50 40 30 20 10 0
57 35 0 14
33
26 11
Kembangbahu 7 4
14
Palu'e
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
91
89
Kembangbahu Palu'e
9
11
>=Rp 1.500.000
Gambar 3. Perbandingan (%) Pendapatan
Gambar 2. Perbandingan (%) Tingkat Pendidikan
Tabel 4. Sebaran Responden berdasarkan Pendapatan, Jarak ke sumber air dan kemauan membayar Pendapatan (Rp)
Kembangbahu (org)
Palu'e (org)
42
25
4
3
<500
30
23
>=500
16
5
38
19
8
9