Thank You Note
Jim Clifton, Gallup CEO
Thanks to Jim Clifton who inspired me with his speech “We change the world one person at a time through extraordinary analytics and advice on everything important facing humankind.” …Meiliany Wu, who taught me how to leverage strengths to excel in my role, …not to forget Dahlia Sutrisno and Vidhya Thomas, who have been my awesome coaches at Gallup, ……….and last but not least, all the Gallup Certified Coaches who are passionately spreading the strengths movement in Indonesia.
Introduction Tahun 2005 saya mendapatkan pekerjaan di salah satu hotel bintang 5 terbaik di Jakarta. Disana saya mendapatkan kesempatan untuk belajar bagaimana mengenai berbagai macam hal mengenai service excellence. Dibandingkan dengan hotel tempat saya bekerja sebelumnya, hotel yang bernama The Ritz Carlton ini memang berbeda sekali dalam melayani tamu-tamunya. Selalu ada cerita menarik mengenai pelayanan yang luar biasa tiap hari yang dinamakan WOW Story. Sebagai contoh, suatu hari ada tamu dari Jepang yang membawa anaknya untuk menginap di Ritz Carlton Jakarta. Karyawan di departemen Reservation mengetahui bahwa anaknya tamu Jepang ini senang sekali main video game, maka dari itu karyawan tersebut request Playstation 2 untuk disediakan di kamar sebelum tamu tersebut check in. Sewaktu tamu dan anaknya tiba di Ritz Carlton Mega Kuningan dan menemukan Playstation di kamar, anak tersebut sangat terkejut dan lompat kegirangan ketika menemukan video game di kamar. Orangtuanya pun senang sekali ketika melihat anaknya mendapatkan surprise yang dia tidak dapatkan di hotel lain. Di tempat inilah saya baru mengerti konsep CULTURE OF ENGAGEMENT. Mungkin kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia untuk engagement adalah KETERLIBATAN. Dalam konteks cerita diatas, karyawan dari departemen Reservasi tersebut ingin go the extra mile karena dirinya sangat antusias terlibat dalam pekerjaannya sehingga memberikan impact yang luar biasa buat tamu dan orang lain di sekitarnya. Saya baru mengerti kalau engagement itu ternyata bisa diukur. Tahun 2006 saya diminta untuk mengisi survey employee engagement yang waktu itu programnya disosialisasikan oleh departemen HRD. Saya sempat menanyakan ke rekan saya di HR, "Buat apa sih sebenarnya survey ini? Memang ada pengaruhnya sama kerjaan saya kalau saya isi?" Waktu itu rekan saya menjawab dan menjelaskan bahwa hasil survey ini bukan hanya dibagikan ke manager tiap unit kerja, tapi juga akan ditindaklanjuti langsung oleh Managing Director dan Management Team untuk memperbaiki lingkungan kerja menjadi lebih nyaman dan meningkatkan produktivitas. Ternyata yang disampaikan oleh rekan saya itu benar, Managing Director waktu itu memanggil semua karyawan untuk membahas hasil dari survey tersebut. Masing-masing departemen mendapatkan scorecard yang menunjukkan tingkat keterlibatan karyawan di tempat kerja. Departemen tempat saya bekerja waktu itu mendapatkan score yang lebih rendah dari nilai rata-rata secara keseluruhan. Ada 12 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keterlibatan karyawan secara emosional pada saat itu, dan yang saya ingat score yang paling rendah adalah pertanyaan nomor 3: "At work, do you have the opportunity to do what you do best every day?" Karena ingin mengerti lebih jauh mengenai pertanyaan tersebut, suatu saat saya menemui Assistant Director of Human Resource di kafetaria pada jam makan siang. Waktu saya tanya, beliau menjelaskan bahwa potensi seseorang itu akan muncul secara maksimal saat orang tersebut ada pada posisi dimana dia bisa menggunakan bakat terbaiknya. Performa seseorang bisa maksimal saat bakat dan perannya cocok. Masalahnya, tidak semua orang punya kesempatan tersebut, maka dari itu manager harus mengerti bagaimana menaruh orang di posisi yang tepat.
Beliau juga menjelaskan bahwa semua orang itu unik—memiliki kombinasi bakat, pengetahuan dan keterampilan yang merupakan STRENGTHS mereka. Apabila seseorang mengerti bagaimana caranya untuk mengaplikasikan strengths tersebut dalam apapun yang mereka kerjakan, efeknya sangat luar biasa! Menurut riset yang dilakukan oleh Gallup, perusahaan riset terkemuka di Amerika, orang yang menggunakan strengths setiap hari 6X lipat lebih engaged di pekerjaan mereka dan 3X lebih sejahtera dalam kehidupannya sehari-hari. Masalahnya, masih banyak sekali orang yang belum mengenal strengths mereka sendiri. Kebanyakan orang fokus dalam memperbaiki kelemahan mereka. Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membantu banyak orang menemukan bakat dan strengths yang ada dalam diri masing-masing. Meskipun mempelajari strengths (kekuatan) dapat menjadi pengalaman yang menarik, manfaatnya hanya sedikit jika tidak diterapkan. Oleh karena itu saya ingin sharing mengenai bagaimana saya menerapkan strengths dalam kehidupan saya sehari-hari. Akhir kata, kepada para pembaca buku ini saya ucapkan selamat membaca, semoga apa yang saya share di dalam buku ini membawa manfaat yang luar biasa. ...and now, let the journey begin.
Chapter 1: The Journey Strengths Movement Sebelum saya cerita mengenai perjalanan saya menjadi seorang Strengths Evangelist, saya ingin menjelaskan bagaimana pergerakan yang dinamakan Strengths Movement dimulai. Pada tahun 1992, Don Clifton (1924-2003) menulis buku berjudul “Soar With Your Strengths: A Simple Yet Revolutionary Philosophy of Business and Management” (Dell Publishing, 1992), yang mengungkapkan minatnya dalam membantu banyak orang dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi terbaik di dalam diri mereka. Visi Misi Don Clifton ini disambut baik oleh anak didiknya di Gallup, Marcus Buckingham, yang membantu Clifton menyebarkan strengths movement tersebut. Menulis buku terlaris dengan Don Clifton membukakan pintu untuk Marcus Buckingham dalam penelitiannya yang terus menerus melalui konsultasi dan berbicara di acara-acara besar berskala nasional. Dalam salah satu bukunya, seorang pakar manajemen di America bernama Peter Drucker mengatakan, "Kebanyakan orang Amerika tidak tahu apa kekuatan mereka. Ketika Anda bertanya kepada mereka, mereka melihat Anda dengan tatapan kosong, atau mereka merespon dalam hal pengetahuan mereka mengenai suatu subjek, yang merupakan jawaban yang salah." Pada akhir 1990-an, setelah diangkat menjadi presiden American Psychological Association, Martin Seligman menelepon temannya, Mihaly Csikszentmihalyi, dan mereka bersama-sama mengumpulkan sekelompok psikolog muda untuk memetakan pendekatan baru yang dinamakan "Psikologi Positif". Saat itu, psikolog positif dipahami berhubungan erat dengan konsep Strengths. Maka dari itu, Clifton dijuluki sebagai "Father of the Strengths Movement” dan "Grandfather of Positive Psychology." Hari ini, Strengths Movement sudah memiliki banyak followers. Tujuannya sederhana—untuk merubah mindset untuk fokus pada apa yang benar dalam diri orang, bukan hanya terus berkutat dalam memperbaiki kelemahan. Weakness Fixing VS Strengths Development Dari dulu saya selalu tertarik untuk belajar sesuatu yang baru. Waktu saya masih kerja di Ritz Carlton, teman di HR menunjukkan sebuah buku di perpustakaan yang ada di kantor HRD. Buku itu berjudul “Now, Discover Your Strengths”. Ada beberapa hal menarik yang saya pelajari dari buku tersebut: 1) Apa semua perilaku manusia bisa dipelajari? Waktu kerja di hotel, saya sering memperhatikan rekan-rekan yang bekerja di housekeeping. Setelah mengamati mereka dan melihat performa antara housekeeper terbaik dan yang biasa saja, saya baru sadar bahwa tidak semua behavior bisa dipelajari. Contohnya, ada rekan saya yang attention to detail-nya sangat luar biasa—tidak pernah ada debu atau apapun yang terlewat saat dia bersihkan kamar. Maksud saya, perilaku seperti ini tidak bisa dipelajari di sekolah atau kampus, ini suatu bakat yang memang bawaan dari kecil.
Memang benar orang bilang bahwa practice makes perfect, akan tetapi yang namanya talent inilah yang membedakan tiap orang. Untuk lebih jelasnya, saya tunjukkan formula Strengths dibawah ini:
Kalau lihat formula diatas, saya yakin bahwa bakat sendiri saja tidak akan membantu seseorang untuk menampilkan kinerja yang mendekati sempurna secara konsisten. Bakat harus dilengkapi dengan investasi waktu untuk mengasah keterampilan dan ketekunan sehingga suatu saat bisa menjadi Strength. Tapi kenapa bakat itu paling penting dalam pengembangan diri seseorang? Karena bakat itu bawaan lahir, bukan sesuatu yang dipelajari seperti keterampilan dan pengetahuan. Contoh: Teman saya di Ritz Carlton, Sari, yang dulu bekerja sebagai departemen Sales. Saya bisa lihat dia punya bakat dimana dia bisa cepat dekat dengan orang baru dan entah kenapa semua orang yang baru kenal sama dia bisa akrab dan percaya dengan apa yang Sari katakan. Ini adalah sesuatu yang alami dan bukan sesuatu yang bisa dipelajari seperti halnya fitur produk atau teknik berjualan. Atasan saya yang gemar olahraga waktu itu memberikan perumpamaan seperti ini: Ibaratnya kita kalau olahraga angkat beban, ada 2 hal yang kita bisa lakukan dengan otot kita: Melenturkan atau Meregangkan. Misalnya, kalau otot di tangan kita sudah kuat, saat kita latihan kita hanya perlu melenturkan otot kita saja. Akan tetapi, kalau kita menggunakan otot kaki kita yang tidak biasa digunakan untuk latihan beban, kita tetap bisa melakukannya—tetapi kali ini kita harus meregangkan otot tersebut. Ini artinya ada extra effort dibandingkan otot lain yang hanya perlu kita lenturkan saja. Saya akhirnya mengerti bedanya bakat dan keterampilan. It all makes sense now.
2) Hasil bisa sama, tapi caranya berbeda Konsep Strengths ini mengingatkan saya bahwa tiap orang itu unik. Bakat kita itu seperti lensa atau kacamata yang kita gunakan untuk melihat dunia. Lensa yang mempengaruhi bagaimana kita menyelesaikan sesuatu pekerjaan, membina hubungan dengan orang lain, cara kita berpikir, dan sebagainya.
Sebagai contoh, Sari, teman saya yang dulu di Sales. Dia sangat nyaman bicara dengan orang yang dia baru kenal. Sedangkan, Joko, orang sales yang juga berprestasi seperti Sari, orangnya agak sedikit kaku kalau menghadapi orang yang baru dia kenal. Akan tetapi, Joko sangat baik dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang dia sudah kenal dekat sehingga Joko bisa menjadi salah satu orang Sales terbaik di hotel tempat saya bekerja dulu. 3) Memperbaiki kelemahan tidak membuat Anda sukses Mencoba memperbaiki kelemahan hanya mencegah kegagalan. Kalau Anda fokus pada kekuatan Anda, hasilnya sudah pasti maksimal. Contoh: Dulu saya pernah memberikan training untuk 2 karyawan baru di Wallstreet Institute. Dalam masa probation (3 bulan pertama), karyawan A tidak mencapai target 150 juta/bulan, sedangkan karyawan B berhasil menghasilkan 160 juta/bulan. Di kwartal berikutnya, kedua karyawan tersebut diberikan training yang sama dalam kurun waktu yang sama juga. Karyawan A akhirnya dapat mencapai 150 juta rupiah/bulan, dan yang bikin saya kaget waktu itu adalah karyawan B ternyata melampaui target dengan 250 juta/bulan! Hasil yang luar biasa! Saat itulah saya baru mengerti bahwa Strengths development leads to excellence! Clifton StrengthsFinder Ada suatu sistem yang membantu menemukan bakat saya yang dominan. Untuk mengerti potensi kita sebenarnya cukup sederhana—coba perhatikan saat Anda melakukan suatu aktivitas yang Anda sukai. Contohnya, saat Anda belajar presentasi dan menyadari betapa mudahnya Anda menguasainya. Dibanding orang lain yang memulai belajarnya pada saat yang bersamaan, Anda jauh lebih cepat menguasai teknik presentasinya. Teman Anda masih di step #2, Anda sudah di step #5 karena saking cepatnya Anda menguasai teknik presentasi. Inilah yang namanya potensi atau bakat. Di bagian belakang buku “Now, Discover Your Strengths” ternyata ada kode unik untuk mengakses suatu asesmen yang bernama Clifton StrengthsFinder. Asesmen ini dirancang oleh pakar psikologis bernama Donald Clifton, yang tujuannya membantu Anda menemukan bakat yang dominan. Tujuannya bukan untuk mengkategorikan tipe personality Anda apa—misalnya: introvert atau extrovert—tapi asesmen ini membantu menemukan strengths dan potensi terbaik Anda. Waktu itu saya akhirnya mencoba asesmen Clifton StrengthsFinder karena penasaran hasilnya seperti apa. Ada banyak sekali pernyataan, seingat saya ada 177 items yang saya harus pilih satu diantara dua tiap pernyataannya, dan hanya diberikan 20 detik untuk memilih satu dari dua pernyataan. Yang dicari adalah top of mind answer karena kalau tidak dibatasi waktu kemungkinan besar kita menganalisa jawaban kita terlebih dahulu sehingga hasilnya bukan apa adanya. Hasil asesmen Strengths saya waktu itu adalah:
TOP 5 STRENGTHS: FUTURISTIC COMPETITION ACHIEVER FOCUS IDEATION Apa artinya? Dengan mengetahui Top 5 Strengths, saya jadi lebih mudah setting goal/tujuan saya karena paham akan kekuatan saya sendiri. Sebagai contoh, salah satu goal saya waktu itu adalah memulai usaha tempat makan karena terinspirasi oleh cerita John Willard Marriott. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, waktu itu saya bekerja untuk dua property—JW Marriott dan The Ritz Carlton Hotel—yang kebetulan dimiliki oleh owner yang sama. Dulu, sebelum punya hotel, John Marriott memiliki restoran bernama Hot Shoppes. Inilah yang memotivasi saya untuk masuk bisnis F&B. Saat itu karena saya sudah aware akan strengths, saya menggunakan FOCUS dan ACHIEVER untuk mencapai tujuan saya. Ini saya lakukan terus secara konsisten sampai akhirnya saya berhasil memiliki café di daerah Slipi, Jakarta Barat. Tapi yang unik adalah ketika saya download full reportnya yang memperlihatkan semua 34 bakat/talent saya. Ternyata yang paling bawah ada yang namanya EMPATHY. Mungkin karena sudah terbiasa dengan mencari-cari kelemahan jadi saya focus ke nomor 34 tersebut dan menanyakan kepada coach saya waktu itu, “Apa ini berarti saya tidak terlalu perduli sama orang lain kalau EMPATHY posisinya paling bawah?” Coach saya waktu itu malah menjawab dengan pertanyaan, “Coba Anda bayangkan, kalau ada seseorang teman kerja kamu yang dating ke kantor dalam keadaan sedih, menangis terisak-isak, karena dompetnya dicopet di jalan, apa yang akan kamu lakukan?” Lalu saya jawab. “Ya, kalau keadaannya begitu saya akan langsung bantu dia untuk mendapatkan dompetnya kembali dengan menanyakan siapa yang ambil, apa yang terjadi, dan coba untuk hubungi polisi agar pelakunya cepat ditangkap.” Coach berkata begini, “Nah, itu dia, Strengths itu seperti lensa cara kita melihat dunia, dimana reaksi orang terhadap suatu peristiwa itu bisa berbeda-beda—seseorang dengan EMPATHY yang dominan kemungkinan besar akan menempatkan dirinya di posisi temannya yang kecopetan, hal pertama yang dia akan lakukan adalah memberikan tempat duduk, membuatkan teh hangat untuk temannya itu, lalu menghiburnya dengan mengatakan: it’s ok, everything is going to be alright.”
Mungkin Anda masih bingung apa sebenarnya itu EMPATHY, FOCUS atau ACHIEVER. Untuk lebih jelasnya, saya akan membahas di Chapter berikutnya masing-masing dari 34 tema bakat (talent theme), apa yang harus dilakukan, dan juga tips tentang seperti apa tema itu terlihat. Untuk mendapatkan strengths Anda, coba kunjungi www.gallupstrengthscenter.com. Asesmen ini hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit. Setelah Anda menyelesaikan asesmen, baru baca Chapter II: The Implementation. Untuk masing-masing dari 34 tema, Chapter berikutnya ini menyajikan deskripsi masing-masing tema, contoh, dan apa yang harus dilakukan apabila Anda memilikinya. Deskripsi 34 tema di chapter berikut sumbernya dari buku Gallup berjudul “Strengths Finder 2.0”.
Chapter 2: The Talent Themes
34 talent themes of Clifton StrengthsFinder
ACHIEVER Tema Achiever Anda membantu menjelaskan kegigihan Anda. Achiever menggambarkan kebutuhan yang terus-menerus untuk berprestasi. Anda merasa seolah-olah setiap hari berawal dari nol. Di penghujung hari Anda harus meraih sesuatu yang nyata agar bisa merasa senang dengan diri Anda sendiri. Yang Anda maksudkan dengan istilah “setiap hari” ini adalah memang setiap hari — hari kerja, akhir pekan, liburan. Tidak peduli sekuat apa Anda merasa bahwa Anda layak libur satu hari, namun jika satu hari berlalu tanpa pencapaian dalam bentuk apa pun, meski sekecil apa pun, Anda akan merasa tidak puas. Anda memiliki api sanubari yang membara di dalam diri Anda. Api ini mendorong Anda untuk berbuat lebih banyak, meraih lebih banyak. Setiap kali prestasi diraih, api pun meredup sejenak, tetapi segera membara kembali, memaksa Anda meraih prestasi berikutnya. Kebutuhan Anda yang tidak pernah terpuaskan untuk meraih prestasi bisa jadi tidak masuk akal. Bahkan, mungkin juga tidak terfokus. Tetapi ini selalu ada pada diri Anda. Sebagai seorang Achiever, Anda harus belajar untuk hidup dengan bisikan ketidakpuasan ini. Hal ini juga bermanfaat. Ini menghadirkan energi yang Anda butuhkan untuk bekerja berjam-jam lamanya tanpa mengalami kejenuhan. Ini merupakan pemicu yang selalu dapat Anda andalkan untuk membangkitkan Anda memulai tugas baru, tantangan baru. Inilah tema yang membuat Anda terus bergerak.
Apa yang harus dilakukan?
Pilihlah pekerjaan yang memberikan kelonggaran untuk bekerja segiat yang Anda inginkan, sehingga Anda terdorong untuk mengukur produktivitas Anda. Anda akan merasa tertantang dan bersemangat dalam lingkungan ini. Sebagai seorang peraih, Anda menikmati perasaan sebagai orangsibuk, tapi Anda juga perlu tahu apakah Anda sudah “selesai.” Lengkapi tujuan dengan jadwal dan pengukuran, sehingga upaya tersebut mengarah pada kemajuan dan hasil nyata. Ingatlah untuk membuat perayaan dan penghargaan dalam hidup Anda. Achiever cenderung beralih pada tantangan selanjutnya tanpa mengakui kesuksesan mereka. Lawan dorongan ini dengan menciptakan saat yang tepat untuk menikmati kemajuan dan pencapaian Anda. Dorongan Anda untuk bertindak mungkin membuat Anda menganggap rapat sedikit membosankan. Jika itu yang terjadi, tarik bakat Achiever Anda dengan sebelumnya mempelajari tujuan dari setiap rapat dan mencatat progres dalam mencapai tujuan tersebut selama rapat. Anda dapat membantu untuk memastikan rapat tersebut produktif dan efisien. Selain menghadiri konferensi dan program lainnya, lanjutkan pendidikan Anda dengan memperoleh sertifikasi di bidang atau keahlian khusus Anda. Ini akan memberikan lebih banyak sasaran untuk diraih dan akan mendorong batasan yang sudah ada dalam pencapaian. Anda tidak memerlukan banyak motivasi dari orang lain. Manfaatkanlah motivasi diri Anda dengan menetapkan sasaran yang menantang. Tetapkanlah sasaran yang lebih menuntut setiap kali Anda menyelesaikan suatu proyek. Bermitra dengan pekerja keras lainnya. Berbagi sasaran Anda dengan mereka agar mereka dapat membantu Anda untuk menyelesaikan lebih banyak.
Hitunglah pencapaian pribadi dalam “sistem” penilaian Anda. Ini akan membantu Anda mengarahkan bakat Achiever pada keluarga dan teman dan juga pada pekerjaan. Lebih banyak pekerjaan membuat Anda bergairah. Prospek ke depan yang tak terbatas lebih memotivasi dibandingkan dengan yang telah dicapai. Lancarkan inisiatif dan proyek baru. Cadangan energi Anda yang tak terhingga akan menciptakan antusiasme dan momentum. Pastikan dalam keinginan Anda untuk melakukan yang lebih dalam pekerjaan tidak mengurangi kualitasnya. Buat standar hasil terukur untuk memastikan peningkatan produktivitas diimbangi dengan peningkatan kualitas.