11. TlNJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) masuk ke Indonesia lebih dari satu abad yang lalu dan mempakan tanaman introduksi dari Brasil. Tanaman tersebut tumbuh baik di daerah dengan rata-rata curah hujan 2000 mm/th, suhu 27 C ' dan tanah bertekstur ringan, dengan pH 4.5. Pohon karet umumnya dapat disadap pada umur sekitar
5 tahun, yaitu setelah 60 % populasi tanaman mempunyai lilit batang 45 cm, dengan umur produktif kurang lebih 25 tahun (Raswil, 1998). H. brasiliensis adalah pohon yang dapat tumbuh cepat dengan batang lurus
berkay dan berkulit kayu.
Warna permukaan batangnya abu-abu dan halus atau
variasinya. Karet adalah spesies yang memiliki pertumbuhan batang tertinggi di dalam genusnya, tingginya bisa mencapai 40 m dan mencapai umur 100 tahun. Di perkebunan umurrlnya karet hanya mencapai ketinggian 25 m karena pertumbuhan direduksi oleh penyadapan dan peremajaan setelah 25-35 tahun (Webster & Paardekooper, 1990). Salah satu bagian penting pada tanaman karet adalah bagian kulit kayu, yang merupakan tempat dilakukannya penyadapan untuk menghasilkan lateks. Struktur anato~nikulit kayu dewasa pertama kali ditemukan oleh Bryce & Campbell tahun 1917. Pada batang karet dewasa, bagian kayu ditutupi oleh kulit kayu yang dipisahkan oleh lapisan tipis kambium. Bagian dalarn atau xilem terdiri dari serat kayu, trakheid dan pembuluh yang bertanggung jawab dalam transportasi air dan numsi yang diambil dari tanah oleh akar. Sistem perakaran karet rnemiliki akar tumggang yang kuat dan dilengkapi dengm akar lateral yang menyebar (Webster & Paardekooper, 1990).
2.2. Cara Perbanyakan Tanaman Karet Perbanyakan tanaman karet dilakukan secara vegetatif melalui okulasi. Klon anjuran untuk batang bawah adalah biji dari klon-klon tertentu seperti AVROS 2037, GT 1, LCB 1320, PR 228 dan PR 300. Biji diproduksi dari pohon induk yang berumur minin~al10 tahun dan diketahui tetuanya, memiliki daya kecarnbah dan kesegaran yang baik serta kemurnian jenis (Siagian & Husny, 1995). Semaian klonal tersebut diokulasi dengan mata tunas yang juga berasal dari kayu okulasi klon-klon anjuran dan hasilnya bempa stum mata tidur dipakai sebagai bahan tanaman. Bentuk bahan tanaman karet seperti sttun mata tidur, shun mini, slum tinggi dan tanaman polibag adalah berasal dari hasil okulasi. Program perbanyakan dan seleksi dengan cara okulasi pada tanarnan karet bertujuan untuk mendapatkan kombinasi genetik yang lebih bak, seperti produksi yang tinggi, tahan penyakit, toleran terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan mempersingkat masa TBM (Siagian, 1993; Boerhendhy, 1990; Lasminingsih, 1990). Metode okulasi pada tanaman karet ada tiga macam, yaitu okulasi dini, okulasi hijau dan okulasi cokelat. Okulasi dini dilakukan pada batang tanaman karet yang beru~nurdua sampai empat bulan, okulasi hijau pada umur empat sampai enam bulan dan okul:~icokelat dilakukan pada umur delapan sampai sepuluh bulan. Okulasi cokelat menlpakan okulasi yang paling banyak dilakukan (Santoso & Lubis, 1989).
2.3. Kompatibilitas-lnkompatibilitasOkulasi Pada sistem okulasi yang melibatkan dua individu yang berbeda menyebabkan timklulnya interaksi antara batang bawah dengan batang atas.
Pada okulasi yang
kompatibel tanaman dapat tumbuh normal dan sebaliknya terjadi pada okulasi yang tidak korr~patibel. Gejala inkompatibilitas antara batang bawah clan batang atas mulai terlihat
pada beberapa tahapan,
dimulai sejak gagalnya okulasi hingga matinya tanaman.
Menwut Hartman et al. (1997) inkompatibilitas dapat disebabkan ketidak sesuaian matomi, respon fisiologis yang tidak cocok antara kedua bagian tanaman, transmisi vims atau fitoplasma dan abnormalitasjaringan vaskuler dalam pertautan Tingkat kompatibilitas pada okulasi tanaman karet beqman sangat penting dalam proses translokasi senyawa anorgad dari batang bawah melalui jaringan ikat pembuluh kayu dan translokasi senyawa organik dari batang atas melalui jaringan ikat pembuluh kulit kayu. Proses biosintesis senyawa organik dan pengangkutan unsur hara pada okulasi karet ;rang kompatibel akan bejalan lancar. Sedangkan inkompatibilitas okulasi tanaman karet dapat bempa pembengkakan batang di sekeliling pertautan, atau penghambatan pemindahan air, hara, dan hasil biosintesis seperti protein dan sukrosa. lnkompatibilitas okula:ii
ini karena struktur anatomi batang bawah dan batang atas, atau susunan
komponen biokimia dan genetik berbeda, sehingga batang yang digunakan bertindak sebag,i individu terpisah. Keadaan ini akan menghambat laju translokasi protein dan sukro:;a hasil biosintesis lateks pada batang karet (Boerhendhy, 1992; Toman-Matius el
al., 15199). Prawoto et al. (1987) menemukan adanya perbedaan anatomi kulit batang pada daerah pertautan antar okulasi yang kompatibel dengan yang inkompatibel pada tananan kakao.
Okulasi yang kompatibel ditunjukkan dengan batas pertautan yang tidak
kelihatan, sedang okulasi yang inkompatibel ditunjukkan dengall banyaknya akumulasi lignin pada daerah pertautan. lnkompatibilitas pada okulasi ape1 menyebabkan penyatuan hdit kayu yang tidak mulus akibat digantinya pembuluh xilem oleh jaringan parenkhim di daeraln pertautan (Wannund el al., 1993). Tom-Mathius el al. (1999) menemukan bahw;3 anatomi kulit batang daerah pertautan pada kombinasi okulasi tanaman karet
PB26CIPR255 dan PB 260PR 300 terjadi penyambungan batang yang tidak mdus dan pada claerah floem terjadi pembentukan sel batu yang lebib banyak. lnkompatibilitas pada okulasi juga dapat menyebabkan terjadmya penunman kandungan protein dan asam amino diseluruh organ pada okulasi tanaman peach dengan plum (Moreno et al., 1994).
C m s o et al. (1996) juga menemukan pada kombinasi
okulasi batang bawah dari lima kultivar peach dengan Prunus perslca Lo secara nyata mempengamhi hasil panen. Batang bawah mempengaruhi kandungan mineral (N, K, Fe dan ZII), gula (sukrosa dan fruktosa) dan asam organik (suksinat) buah peach Lord et al. (1985) melaporkan bahwa kombinasi batang bawah pada tanaman 'Emp~re' ape1 (Malus domestrca Borkh.) menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan, konsentrasi M n di dalam dam, ukuTan buah yang tidak tetap, dan perbedaan hngkat kmaiangan buah serta perbedaan kandungan zat yang telarut di dalam buah ape1 namun
tidak 1,erpengamh terhadap efesiensi produksi batang atas. 3.4. Protein lateks Lateks merupakan suatu larutan koloid dari partikel karet dan bukan karet yang tersuspensi di dalam suatu media cair. Lateks segar hemama putih susu sampai kuning tergar~tungdari klon (varietas) tanaman karet. Selain mengandung partikel karet (Cis-1,4
- polyisoprene) lateks juga mengandung lemak 2.4 %, protein 2.2 %, glikolipidafosfolipida 1.0 % , karbohidrat 0.4 %, bahan-bahan organik 0.2 %, dan lain-lain 0.1 % (Tanaka, 1998). Men~m~t Oh et al. (1999) lateks segar dapat dipisahkan dengan ultra sentrifugasi ke dalam tiga fraksi, fraksi atas berisi partikel karet, fraksi tengah yang berisi s e m i C, dan fiaksi bawah yang berisi serum B (lutoids). Cara lain yang lebih sederhana untuk memisahkan serum lateks adalah koagulasi lateks dengan menggunakan ass% dan dengsin pembekuan pada suhu -20°C
cara seperti ini akan diperoleh dua fraksl, yaitu
partikel karet dan serum C. Terdapat variasi dalam jumlah protein yang terlarut dalam ketiga. eaksi tersebut di atas. Hashim (1993) memperoleh besaran sekitar 2 % protein
dalm lateks, dimana 27 % berada di M s i atas, 25 % dalam serum B, dan 48 % dalam serum C. Protein merupakan senyawa organik yang berbobot molekul besar berkisar antara beberapa ribu sampai jutaan. Protein disusun oleh banyak asam amino yang unit masingmasin~gmonomernya dihubungkan oleh tkatan peptida. Semua sel mengandung protein yang berfungsi sebagai penyusun struktur, biokatalis, hormon, sumber energi, penyangga racun, dan pengatur pH. Unit-unit protein yang membentuk suatu sel organisme dapat diidentifikasi melalui metode elektroforesis gel poliaknlamida. Unit-unit protein akan terpisah-pisah sesuai dengan ukuran, bentuk dan besar muatanya dalam bentuk pola pita-pita protein, banyzlknya pola pita protein yang terbentuk dan hasil elektroforesis menunjukkan jumlah unit pembentuk suatu protein dan merupakan ciri yang khas untuk suatu genotipe tertentu, serta dapat menunjukkan asal usul suatu organisme (Lasminingsih, 1987). Pola pita protein hasil elektroforesis telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi berbagai tanaman, dan pada tanaman karet
dilakukan untuk
memlbandingkan pola pita protein lateks dari berbagai klon karet (Arreguin et al, 1988); isola!;i, karakterisasi dan analisis fungsi Sn~allRubber Particle Protein (SSRP) (Oh et al., 1999); identifikasi protein lateks yang dikode oleh Hev b 5 (Slater et a[., 1996); kand~mganprotein lateks di dalam karet alam (Siler & Cornish, 1995); protein yang berpr:ran dalam koagulasi lateks( Gidrol
el
al., 1994).
Mubiyanto (1983) menemukan perubahan pola protein lateks tanaman karet pada batar~gtengah, pembahan yang terjadi diduga akibat adanya kombinasi genetik klon tajuk deng,m batang tengah.
Lasminingsih (1987) menemukan bahwa pola pita protein
tananlan karet muda tidak berbeda dengan tanaman tua, sehmgga pola pita protein dapat diguriakan untuk mengidentifikasi klon karet dalam waktu yang tepat dan relatif tidak dipengamhi oleh umur. Toman-Mathius et al. (1999) melaporkan pada okulasi tanaman karet menggunakan berbagai jenis batang bawah dengan batang atas yang sama, mengakibatkan p e ~ t ~ ~ pola h a npita protein kulit batang atas. Pembahan pola pita protein batang atas yang terbesar diperoleh pada kombinasj okulasi PB 260PR 255 dan PB 260PR 300. 3.5. Isoenzim
Isoenzim adalah enzim yang mempakan produk lansung dari gen, terdiri dari berbagai molekul aktif yang mempunyai sbuktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reakri kimia yang sama (Adam, 1983). Enzim merupakan protein biokatalisator untuk prost:s-proses fisiologis tanaman yang pengadaan dan pengaturanya dikonirol secara genetis. Perbedaan suatu sistem enzim yang mengkatalis suatu reaksi dalam sel, dapat dilih,~tmelalui perbedaan pola pita dengan metode elektroforesis gel sesudah diwamai. Perbedaan pola pita ini berkaitan langsung dengan perbedaan bobot dan muatan listrik asam amino penyusun enzim yang dianalisis dan susunan asam amino yang rnernbentuk maciun-macam protein ini disandikan oleh susunan basa nukleotida dalam DNA yang khas untuk setiap jenis enzim (Ghesquiere, 1984). Analisis isoenzim telah diterapkan pada banyak tanaman. Isoenzim Peroksidase (PER)
digunakan untuk mengidentifikasi kultivar
terhadap jamur (Lebeda et al., 1999).
Cucurbita pepo dan ketahanan
Isoenzim Phosphoglucomutase (PGM) dan
Isocirrare dehydrogenase (IDH) digunakan untuk mengidentifikasi varietas alfalfa dan
ditemukzn dua lokus untuk PGM dan satu lokus untuk IDH. Ketiga lokus isoenzim tersebut ditemukan di sitosol (Corts & Martinez, 2000). Chaidamsari & Dmssamin (1993) melaporkan adanya polimorfisme isoenzim bebempa tetua dari hasil persilangan karet. Dan' lima macam sistim enzim yaitu Esterase (EST>l,Alkohol Dehrdrogenase (ADH), Leusrn Amrnopeptrdase (LAP), Acrd Phospatase (AP), dan Srkrmrc Dehrdrogenase (SK) yang diisolasi ditemukan tujuh macam lokus gen dari klon tetuanya yaitu ADH, SK, LAP-1, LAP-2, AP, EST-4 dan EST-5, sedangkan dari empat macam sistim enzim yaitu EST, AP, LAP dan ADH, dari ortet hail persilangannya ditemllkan enam lokus gen yang semuanya polimorfik yaitu; ADH, AP, LAP-I, LAP-2, EST4, EST-5, yang bertumt-turut mempunyai 4,3,2,5,2 dan 3 alel. Analisis isoenzim dapat juga digunakan untuk mengetahui kesesua~an antara batan;: bawah-batang atas yang digunakan pada okulasi.
Degani et al. (1990)
mempelajari pola pita isoenzim dari Akonitase, Isositrat Dehidrogenase, Leusin
Amin~~peptidasedan Glukosa Fosfat Isomerase pada okulasi kultivar mangga, dan mendapatkan pola pita isoenzim yang tidak tetap pada setiap perbedaan genomik dari batan;; atas-batang bawah pada tanaman mangga. Krisbnakumar el al. (1992) meneliti 22 ekstrak tunas tanaman karet klon RRII 105 untuk mempelajari polimorfisme isoenzim untuk menetapkan kesesuaian batang atasbatan;: bawah. Dari penelitian ini dihasilkan variasi dari pola pita isoenzim Aspartut
Aminotran.~f'era.ve(AAT), 1,eusin Aminopeptidase (LAP), Acid I'ho.sphu/ase (ACP), Alkalrnc i'hhospho/a.ve (ALP) dan Cilucose I'hosphate Isomerase (GPI). lsozim ini sangat pentir~gperanannya di dalam proses metabolisme tanaman
Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan dalam suatu lamtan atas dasar proses perpir~dahanpartikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Molekul-moleln~l biologis yang bermuatan listrik, di dalam lamtan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul.
Metode ini akan memisahkan
nukleotida berbeda dan tiap protein (enzim) yang dianalisis ke dalam pola pita yang dapat dilihat melalui pewamaan. Pola pita tersebut adalah hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Perbedaan jarak migrasi pada pita-pita merupakan wujud dari perbedaan muatan dan bentuk molekul enzim. Struktur isoenzim tersusun dari asam-asam amino yang mengandung gugus karb~~rsil dan gugus amino tertentu.
Urutan asam amino yang berbeda dari suatu
polipeptida ditentukan oleh susunan nukleotida atau gen yang berbeda. Dengan demikian hasil tdektroforesis isoenzim suatu tanaman dapat digunakan untuk menganalisis gen itu sendiri (Simpson & Withers, 1986). Menurut Pasteur 62 Pasteur (1987) ada dua teknik elektroforesis yang digunakan untuk menganalisis isoenzim yaitu poliakrilamida ( N,N'-metilena-bis akrilamida) dan gel pati. Gel poliakrilamida diperoleh dengan polimerisasi akrilamida (20% - 40%) dengan agen i m g k a t silang seperb metilen bis-akrilamida (3%) dan amonium per sulfat (0.2 0.4%) sebagai katalisnya. Untuk mengawali terjadinya proses polimerisasi diperlukan 0.23%)tetrametil-etilenadiamine(TEMED) sebagai katalis.
Pada gel pati molekul-molekul protein yang bermuatan negatif dan positif karena sifat amfoterik akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berbeda. Namun pada gel pc~liakrilamida,konstitusi asam amino yang bermuatan positif dapat dirubah menjadi negatif dengan bantuan Sodium Ilodecyl Suffat (SDS) dan larutan bufer vang bersifat
basa sehingga seluruhnya bermigrasi ke kutub positip medan listrik (Sambrook er al.,
1989) Dalam analisis protein, gel poliakrilamida mempunyai keunggulan dibandingkan dengal bahan lain karena substansinya yang bersifat stabil dan tidak bebas dalam medan listik. porositasnya seragam dan transparan. Di samping itu pita yang terbentuk oleh protein dengan berat molekul besar leblh tajam dan juga menguntungkan dalam penye'diaan matriks yang tidak bermuatan yang diperlukan pada pemisahan campuran molekul atas dasar ukuran molekul dan perbedaan mobilitas. Kekurangan sistem gel ini jika dibandingkan dengan pati antara lain adalah sifat racun, tingkat viskositasnya, dan jumlah ekstrak yang mampu dipisahkan. Feret & Bergman (1976) mengemukakan untuk mencapai pemisahan yang optimim, protein dan enzim membutuhkan sistem penyangga khusus. Ini disebabkan karenii sifat molekul protein selama pemisahan gel tergantung pada nilai pH, kekuatan ion dan tipe penyangganya. Sistem penyangga berfungsi untuk mempertahankan pH dalam bejani~ dan dalam gel akrilamida agar selalu stabil, clan sebagai elektrolit pembawa arus listrik Pada umwnnya sistem penyangga terdiri dari dua bagian yaitu penyangga elektmsda dan penyangga gel. Pada elekroforesis suatu sampel tanaman akan terpisah berbagai macam isoenzim yang dimiliki tanaman tersebut. U n t ~ kmendapatkan pola pita dari isoenzim yang dikehendaki, ditentukan oleh pewarnaan yang dilakukan. Setiap isoenzim memiliki komp~~sisi bahan kimia pewarna tersendiri.