TESIS
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK KEKHUSUSAN KEDOKTERAN KLINIK (COMBINE DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA NIM 1014108201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
TESIS
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA NIM 1014108201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK KEKHUSUSAN KEDOKTERAN KLINIK (COMBINE DEGREE) PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA NIM 1014108201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Anestesi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
I DEWA GEDE TRESNA RISMANTARA NIM 1014108201
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 25 Maret 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. I Ketut Sinardja, Sp.An.KIC NIP. 195505211983021001
dr. I M.G.Widnyana, Sp.An.M.Kes.KAR NIP :197202012008011017
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie .I. Pangkahila, SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 194612131971071001 NIP. 19590215198510200
iii
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal : 25 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 797/UN 14.4/HK/2015, Tanggal : 12 Maret 2015
Ketua
:
dr. I Ketut Sinardja, SpAn. KIC
Anggota
:
1. dr. I M.G.Widnyana, Sp.An.M.Kes.KAR 2. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn. KIC. KAO 3. dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN 4. Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn. MKes. KMN. KNA
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
“Om Swastyastu” Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta waranugraha-Nya, tugas penyusunan tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Universitas Udayana. Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kepada dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV, selaku Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku direktur utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
vi
untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana. Kepada dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dan pembimbing I penulis dalam penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, Sp.An, M.Si, selaku Sekretaris Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis. Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO, selaku Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR, selaku vii
Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif dan pembimbing II, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini dan selaku pembimbing dua yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi dalam penulisan serta penyusunan tesis ini. Kepada Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, M.Kes, KMN, KNA selaku Ketua Litbang Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, masukan, dan motivasi yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Wayan Sukra, Sp.An, KIC, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi. Kepada semua guru : dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, Sp.An, KIC; dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN; Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, Sp.An; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR; dr.I G.A.G. Utara Hartawan, Sp.An, MARS; dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS; dr I Putu Kurniyanta, Sp.An; dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An; dr.Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Sp.An, M.Kes; dr. Tjahya Aryasa EM, Sp.An, vii
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan penelitian ini. Kepada semua senior dan rekan- rekan residen anestesi, terutama dr. Adi Chandra, dr. David, dr. Rinal P. Purba, dr. Ni Komang Ayu Kosalini Pratiwi, dr. Pande Kurniasari dan dr. Andrian Yadikusumo sebagai teman penulis dalam menapaki jenjang pendidikan penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialias ini, kepada segenap penata anestesi, paramedic dan semua karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini. Kepada bapak I Dewa Made Riasmana, B.s.c. dan ibu Desak Ketut Dwi Antari, S.H. serta Desak Putu Raka selaku orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik. Terima kasih kepada istriku tercinta Ns. Desak Kadek Sastrawati, S.Kep ix
yang telah menjalani semua proses ini dengan penuh kesabaran dan rasa cinta. Kepada ananda I Dewa Ayu Sinta Maharani dan ananda I Dewa Ayu Meira Mahaswari yang telah menjadi semangat dalam setiap langkah penulis. Kepada Ns. I Dewa Ayu Rismayanti, S.Kep, M.Kep, M.Si. CWCCA dan I Dewa Gede Putra Riswama persaudaraan kita adalah semangat dalam perjuangan ini. Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini. “Om Shanti, Shanti, Shanti, Om”
Denpasar, Maret 2015 dr. I Dewa Gede Tresna Rismantara
x
ABSTRAK Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask Airway Pendahuluan : kestabilan hemodinamik pada pemasangan laryngeal mask airway (LMA) dengan propofol sebagai agen induksi dapat dioptimalkan dengan penambahan agen koinduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kestabilan hemodinamik yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA. Bahan dan Metode : setelah mendapat persetujuan dari bagian etik RSUP Sanglah Denpasar, 42 pasien dengan status fisik ASA I dan II dilakukan pembiusan umum dengan pemasangan LMA, dipilih secara consecutive random sampling. Setelah dipersiapkan pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A yang diberikan midazolam 0,03 mg/kgbb dan kelompok B yang diberikan fentanyl 2 mcg/kgbb. 5 menit setelah koinduksi pasien diinduksi dengan menggunakan target control infusion (TCI) propofol efek target 4 mcg/ml hingga tercapai nilai bispectral index (BIS) 40-60. Kondisi hemodinamik dianggap tidak stabil bila terjadi penurunan nilai tekanan arteri rerata (TAR) post induksi lebih dari 20% TAR basal. Total dosis propofol dihitung sejak mulai induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI. Kondisi relaksasi dinilai dengan kriteria Young’s. Data yang didapat akan diolah dengan software SPSS 17.0. karakteristik sampel diuji normalitas dengan Shapiro-Wilk dan homogenitas dengan levene test. Perbandingan hemodinamik dan total dosis propofol diuji dengan uji t-2-sampel tidak berpasangan dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA diuji dengan chi-square dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hasil : terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada penurunan nilai TAR saat pemasangan LMA dibandingkan nilai basal pada kedua kelompok uji yaitu A 13,08 ± 2,88 % dan B 14,11 ± 2,96 % dengan nilai p = 0,216, total dosis propofol yang digunakan secara signifikan lebih sedikit pada kelompok A 118,71 ± 13,24 mg dibandingkan kelompok B 131,61 ± 12,86 mg dengan p = 0,003, sedangkan kondisi relaksasi yang dihasilkan tidak berbeda bermakna dengan p = 0,739. Simpulan : fentanyl sebagai koinduksi tidak lebih baik dalam memberikan stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA dan menurunkan dosis induksi propofol lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam. Kata Kunci : hemodinamik, koinduksi, fentanyl, midazolam, LMA
xi
ABSTRACT Hemodynamic Stability of Fentanyl as Coinduction to Propofol Compared With Midazolam for The Insertion of Laryngeal Mask Airway Background: hemodynamic stability for insertion of laryngeal mask airway (LMA) with propofol as an induction agent can be optimized by the addition of coinduction agent. The aim of this study was to determine whether fentanyl as coinduction can provide better hemodynamic stability compared with midazolam for insertion of laryngeal mask airway. Materials and Methods: After approval from the ethics commite of Sanglah Hospital, 42 patients with ASA I and II scheduled for general anesthesia with LMA was selected by consecutive random sampling. The patients were divided into 2 groups: group A were given midazolam 0.03 mg/kg and group B were given fentanyl 2 mcg/kg. 5 minutes after coinduction patients induced using the target control infusion (TCI) of propofol effect target of 4 mcg/ml until a value of bispectral index (BIS) was 40-60. Unstable hemodynamic conditions was measure by the decrease in mean arterial pressure (MAP) post induction of more than 20% then the basal MAP. The total dose of propofol calculated from the start of induction to achieve BIS values of 40-60 that recorded at TCI engine. Relaxation condition was assessed by Young's criteria. The data will be processed with SPSS 17.0 software. Normality of Characteristics samples was analyzed by ShapiroWilk test and levene test for the homogenity data. Comparison of hemodynamic, total dose of propofol with coinduction agent was analysed by unpaired t-test and relaxation condition during insertion of LMA was analyzed with chi-square test with significance level of p <0.05. Results: There were no significant differences in hemodynamic stability in both groups, with decrease on MAP 13.08 ± 2.88 % on group A and 14.11 ± 2.96% on group B with p = 0.216, the total dose of propofol used significantly lesser in group A 118.71 ± 13.24 mg compared to group B 131.61 ± 12.86 mg, p = 0.003, while theres no significant difference on the relaxation condition produced in both groups with p = 0.739. Conclusion: fentanyl as coinduction not better than midazolam in term of hemodynamic stability and relaxation conditions in insertion of LMA, and midazolam is better in decrease the induction dose of propofol than fentanyl. Keywords: hemodynamic, coinduction, fentanyl, midazolam, LMA
xii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM …….…….……………………………………………
i
PRASYARAT GELAR …….…………………….………………………..
ii
LEMBAR PENGESAHAN …..………...…………………………………
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………….
v
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………….
vi
ABSTRAK ……………………………………….………………………..
xi
ABSTRACT ……………………………………..….………………………
xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………....
xvii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………......
xviii
DAFTAR SINGKATAN & LAMBANG …..…………………………….
xix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xxi
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................... ................................
1
1.2 Rumusan Masalah.................................................. ........................
4
1.3 Tujuan Penelitian....................................... ....................................
4
1.4 Manfaat Penelitian.......................................... ...............................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................
6
2.1 Laryngeal Mask Airway (LMA) ...................................................
6
2.1.1 Jenis-jenis LMA ...................................................................
7
2.1.2 Indikasi dan kontraindikasi pemasangan LMA ...................
8
2.1.3 Teknik insersi LMA .............................................................
10
xiii
2.1.4 Komplikasi penggunaan LMA .............................................
12
2.2 Propofol..........................................................................................
13
2.2.1 Mekanisme kerja ..................................................................
14
2.2.2 Struktur bangun dan karakteristik ........................................
14
2.2.3 Farmakokinetik.....................................................................
16
2.2.4 Farmakodinamik...................................................................
17
2.3 Midazolam........................................................................... ..........
20
2.3.1 Farmakologi midazolam ......................................................
21
2.3.2 Farmakokinetik midazolam .................................................
22
2.3.3 Farmakodinamik midazolam ...............................................
22
2.4 Fentanyl..........................................................................................
24
2.4.1 Farmakokinetik fentanyl .....................................................
24
2.4.2 Farmakodinamik fentanyl ...................................................
26
2.5 Target Controlled Infusion (TCI)....................................................
28
2.5.1 Model marsh ........................................................................
30
2.5.2 Model schnider .....................................................................
31
2.6 Bispectral Index (BIS) ....................................................................
32
2.6.1 Indek BIS ..............................................................................
32
2.6.2 Validasi indek BIS ...............................................................
34
2.6.3 Menilai indek BIS saat pemulihan kesadaran ......................
35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ......................................................................................
36
3.1 Kerangka Berpikir.................................................................... ......
36
xiv
3.2 Hipotesis Penelitian................................................................ .......
38
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................
39
4.1 Rancangan Penelitian......................................... ............................
39
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................. .......
39
4.3 Penentuan Sumber Data..................................................................
39
4.3.1 Populasi target .....................................................................
39
4.3.2 Populasi terjangkau ..............................................................
39
4.3.3 Sampel eligible ....................................................................
40
4.3.4 Kriteria eligibilitas ...............................................................
40
4.3.5 Teknik pengambilan sampel .................................................
40
4.3.6 Perhitungan besar sampel .....................................................
41
4.4 Variabel Penelitian........................................................ .................
42
4.5 Definisi Operasional Variabel.............................................. ..........
42
4.6 Instrumen Penelitian.......................................................................
45
4.7 Prosedur Penelitian................................................................ ........
46
4.7.1 Persiapan penelitian..............................................................
46
4.7.2 Pelaksanaan penelitian .........................................................
46
4.8 Pengolahan Data dan Penyajian Analisis Statistik..........................
46
BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................
50
BAB VI PEMBAHASAN................................................................... ........
56
6.1 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik Fentanyl dan Midazolam .
57
6.2 Perbandingan Dosis Induksi Propofol............................................
59
6.3 Perbandingan Kondisi Relaksasi Saat Pemasangan LMA..............
62
xv
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN...................................................... ..
64
7.1 Simpulan........................................................ ................................
64
7.2 Saran........................................................ ......................................
64
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
66
LAMPIRAN......................... .......................................................................
70
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 LMA classic ...........................................................................
7
Gambar 2.2 LMA flexible ..........................................................................
7
Gambar 2.3 LMA proseal ...........................................................................
8
Gambar 2.4 LMA fastrack ..........................................................................
8
Gambar 2.5 Teknik insersi LMA cara classic ............................................
12
Gambar 2.6 Three compartment model .......................................................
30
Gambar 2.7 Panduan skala indek BIS .........................................................
33
Gambar 3.1 Bagan kerangka berpikir .........................................................
37
Gambar 4.1 Skema pelaksanaan penelitian .................................................
49
Gambar 5.1 Grafik hemodinamik kelompok midazolam ............................
52
Gambar 5.2 Grafik hemodinamik kelompok fentanyl ................................
52
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Berbagai macam ukuran LMA....................................................
9
Tabel 5.1 Data karakteristik subyek penelitian ...........................................
50
Tabel 5.2 Data karakteristik hemodinamik subyek penelitian ....................
51
Tabel 5.3 Data karakteristik non hemodinamik subyek penelitian .............
53
Tabel 5.4 Perbandingan jenis obat koinduksi dengan stabilitas hemodinamik ..............................................................................
54
Tabel 5.5 Perbandingan antara jenis obat koinduksi dengan dosis propofol, nilai BIS post koinduksi dan lama waktu induksi
54
Tabel 5.6 Perbandingan antara jenis obat koinduksi dengan kejadian apneu dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA ..
xviii
55
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ASA
:
american society of anesthesiology
BB
:
berat badan
BIS
:
bispektral index
cm
:
centimeter
Ce
:
effect site concentration
Cp
:
concentration in plasma
dL
:
desiliter
EEG
:
electroencephalogram
FDA
:
food and drug administration
GABA
:
gamma aminobutyric acid
Ho
:
hipotesis nol
Ha
:
hipotesis alternative
iv
:
intravena
im
:
intramuskular
kg
:
kilogram
kg/m2
:
kilogram per meter persegi
kgBB
:
kilogram berat badan
KTP
:
kartu tanda penduduk
L
:
liter
LMA
:
laryngeal mask airway
N2O
:
nitrous oxide
MAC
:
minimum alveolar concentration
MAP
:
mean arterial pressure
mmHg
:
millimeter air raksa
mL
:
milliliter
mg
:
miligram
mcg
:
microgram
O2
:
oksigen
xix
RSUP
:
rumah sakit umum pusat
SD
:
standar deviasi
SB
:
simpangan baku
SVR
:
systemic vascular resistance
TAR
:
tekanan arteri rerata
TCI
:
target controlled infusion
α
:
alfa
µ
:
miu
%
:
Persen
>
:
lebih dari
<
:
kurang dari
RO
:
rasio odds
IK
:
interval kepercayaan
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Jadwal Penelitian .....................................................................
72
Lampiran 2 Lembar Penelitian ....................................................................
73
Lampiran 3 Pencatatan Hasil Evaluasi ........................................................
77
Lampiran 4 Form Inform Concent Penelitian .............................................
78
Lampiran 5 Surat Persetujuan Subyek Penelitian .......................................
80
Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian .................................................................
81
Lampiran 7 Keterangan Kelaikan Etik ........................................................
82
Lampiran 8 Penjabaran Hasil Analisa Data ................................................
83
xxi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemasangan laringeal mask airway (LMA) telah menjadi salah satu teknik anestesi yang populer digunakan untuk memfasilitasi jalannya operasi. Pemasangan LMA dilakukan dengan perantara agen induksi untuk mencapai kondisi ideal pemasangan LMA. Kondisi ideal pemasangan LMA dapat dicapai dengan mencapai target kedalaman anestesinya sehingga dapat memberikan relaksasi yang cukup serta menginhibisi reflek jalan napas. (Tanmoy, dkk 2012) Agen induksi yang ideal adalah yang mampu memberikan efek transisi yang halus dari kondisi sadar menjadi tidak sadar, memberikan efek hipnosis dan mampu menginhibisi reflek jalan napas. (Kevin, dkk 2003). Beberapa obat seperti thiopental, midazolam dan propofol telah dievaluasi kegunaannya sebagai agen induksi dan propofol menunjukkan keunggulannya dalam memberikan efek induksi namun dengan efek buruk depresi kardiovaskular. (Morgan, dkk 2006) Efek utama propofol pada sistem kardiovaskular adalah menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan sistemic vascular resistance (SVR) yaitu dengan menghambat aktivitas vasokonstriktor oleh sistem simpatis, menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan menurunkan preload. Efek depresi kardiovaskular dari propofol tergantung dari dosis obat yang diberikan, kecepatan penyuntikan dan usia tua. (Morgan, dkk 2006)
1
Naik turunnya tekanan arteri rata-rata yang masih bisa ditoleransi selama proses induksi adalah sekitar 20%. (Morgan, dkk. 2006) Hipotensi saat induksi dapat memberikan beberapa efek buruk terhadap fungsi organ tubuh pasien. Hipotensi yang melampaui batas autoregulasi otak dapat merusak sawar darah otak dan menyebabkan edema dan perdarahan otak. Hipotensi juga dapat mengganggu perfusi darah ke organ-organ vital seperti hepar dan ginjal yang mengakibatkan kerusakan pada organ tersebut baik yang bersifat reversible maupun yang irreversible. Mengingat begitu besarnya efek dari hipotensi maka kita harus berusaha menghindari terjadinya hipotensi berlebihan saat melakukan induksi anestesia. Dari ketiga faktor yang menyebabkan efek depresi kardiovaskular dari propofol,
faktor
kecepatan
penyuntikan
dapat
kita
modifikasi
dengan
menggunakan TCI yang dapat mengatur kecepatan pemberian propofol berdasarkan konsentrasi propofol dalam plasma sehingga dapat meminimalisir efek hipotensi yang ditimbulkannya. (Wu, dkk 2009 dan Krisnayana 2013) Untuk mengurangi dosis propofol yang diberikan dapat dilakukan pemberian obat koinduksi dengan obat yang berefek sedasi sehingga dosis induksi propofol dapat dikurangi. (Armein, dkk 1995 dan Cressey, dkk 2001) Pada penelitian yang membandingkan antara propofol auto koinduksi dan midazolam-propofol autokoinduksi dengan saline sebagai kontrol didapatkan penurunan dosis propofol yang bermakna pada kelompok uji jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, dengan penurunan dosis yang lebih banyak pada kelompok midazolam dibandingkan kelompok propofol (PP = 27,48%; MP = 45,37%; p = 0,001).
3
Sedangkan stabilitas hemodinamik didapatkan lebih baik pada kelompok propofol namun tidak berbeda secara statistik. (Kataria, dkk 2010 dan Djaiani, dkk 1999). Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Dimple, dkk 2010 dimana perbedaan kondisi hemodinamik pada kelompok midazolam tidak berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok propofol sebagai kontrol. Dari beberapa penelitian diatas perlu diteliti lebih lanjut obat-obatan lain yang juga dapat digunakan sebagai koinduksi, apakah dapat memberikan hasil yang lebih baik atau tidak. Opioid telah dikenal luas sebagai obat analgesia dengan efek sedasi yang baik dan minimal efek terhadap fungsi kardiovaskuler. Sejumlah dosis kecil opioid diketahui tidak menekan reflek simpatis terutama opiod jenis fentanyl, sufentanyl, ramifentanyl dan alfentanyl. (Morgan, dkk 2006 dan Stoelting, dkk 2006). Pada penelitian Ghatak, dkk tahun 2012 fentanyl memberikan stabilitas hemodinamik yang sama baiknya dengan ketamine sebagai koinduksi propofol pada 180 pasien coba. Pada penelitian Ali Sizlan, dkk tahun 2010 didapatkan bahwa opiat sebagai ko-induksi untuk propofol dapat memberikan kondisi pemasangan LMA yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan propofol sebagai agen tunggal. Pada penelitian Seong, dkk tahun 1998 didapatkan waktu optimal pemberian fentanyl sebelum laringoskopi intubasi adalah 5 menit sebelum tindakan. Dari penjabaran diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang fentanyl sebagai agen koinduksi untuk propofol dengan agen koinduksi yang sudah umum dipakai yaitu midazolam sebagai pembandingnya
dalam hal stabilitas hemodinamik, dosis induksi propofol yang dibutuhkan dan kondisi relaksasi pemasangan LMA yang dihasilkan.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA? 2. Apakah dosis induksi propofol yang dibutuhkan pada koinduksi dengan fentanyl lebih sedikit jika dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA? 3. Apakah fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui agen koinduksi mana yang dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik antara fentanyl dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk membuktikan bahwa fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA.
5
2. Untuk membuktikan bahwa dosis induksi propofol yang dibutuhkan pada koinduksi dengan fentanyl lebih sedikit jika dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA. 3. Untuk membuktikan bahwa fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis 1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia kedokteran khususnya anestesia dalam induksi menggunakan fentanyl sebagai agen koinduksi. 2. Sumber informasi menjelaskan teknik koinduksi dengan menggunakan fentanyl. 1.4.2 Manfaat praktis Dengan adanya perbedaan yang bermakna dalam hal kestabilan hemodinamik dan kondisi relaksasi pemasangan LMA maka fentanyl sebagai koinduksi dapat dijadikan dijadikan salah satu pilihan agen koinduksi dalam memfasilitasi pemasangan LMA di RSUP Sanglah Denpasar. Bagi peneliti, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman penulis tentang fungsi fentanyl sebagai koinduksi bagi propofol.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemasangan Laringeal Mask Airway (LMA) telah menjadi salah satu teknik anestesi yang populer digunakan untuk memfasilitasi jalannya operasi. Pemasangan LMA dilakukan dengan perantara agen induksi untuk mencapai kondisi ideal pemasangan LMA. Dalam mencapai target kedalaman anestesi diperlukan agen induksi yang mampu memberikan efek induksi dengan minimal efek samping. Dalam usaha meminimalisir efek samping pemberian agen induksi, peran agen koinduksi mulai menjadi perhatian. Pengetahuan tentang LMA, agen induksi dan koinduksi menjadi dasar dari pelaksanaan penelitian ini.
2.1 Laryngeal Mask Airway (LMA) Penemuan
dan
pengembangan
“laryngeal
mask airway” (LMA)
diprakarsai oleh seorang ahli anastesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara penggunaan “face mask” dengan intubasi endotracheal. LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis, terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30°. LMA dapat dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun demikian juga tersedia LMA yang disposible. (Brimacombe, 2005; Dorsch dan Dorsch, 2008). 86
7
2.1.1
Jenis-jenis LMA Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan keunggulan dan
tujuan tertentu dari masin-masing jenis LMA. Jenis-jenis LMA yang telah tersedia sebagai berikut : (Morgan, dkk 2010) 1.
LMA klasik
2.
LMA flexible
3.
LMA proseal
4.
LMA fast track
Gambar 2.1 LMA Classic (dikutip dari Brimacombe, 2005)
Gambar 2.2 LMA flexible (dikutip dari Brimacombe, 2005)
Gambar 2.3 LMA Proseal (dikutip dari Brimacombe, 2005)
Gambar 2.4 LMA Fastrack ((dikutip dari Brimacombe, 2005)
2.1.2
Indikasi dan kontraindikasi penggunaan LMA Prinsipnya LMA dapat digunakan pada semua pasien yang bila dilakukan
anastesi dengan face mask dapat dilakukan dengan aman (kecuali penderitapenderita yang memiliki kelainan orofaring). LMA telah digunakan secara rutin pada prosedur-prosedur minor ginekologi, orthopedi, bronkoskopi dan endoskopi. Prosedur yang lain yang dapat menggunakan LMA antara lain ekstraksi gigi, adenotonsilektomi, repair celah langit, miringotomi, prosedur memasukkan pipa
9
timpanostomi, dan operasi mata. Pada beberapa periode terakhir penggunaan LMA untuk penanganan jalan nafas sulit terus meningkat.
Tabel 2.1 Berbagai macam ukuran LMA (Morgan, et. al, 2010) Ukuran Masker
Berat Badan (Kg)
Volume Balon (mL)
1
<5
4
1,5
5 – 10
7
2
10 – 20
10
2½
20 – 30
14
3
30 – 50
20
4
50 – 70
30
5
> 70
40
Indikasi penggunaan LMA adalah (Brimacombe, 2005) : 1. Alternatif face mask dan intubasi endotrakheal untuk penanganan jalan nafas 2. Penanganan airway selama anastesi umum pada : a.
rutin ataupun emergency
b.
radioterapi
c.
CT-Scan/MRI
d.
resusitasi luka bakar
e.
ESWL
f.
adenotonsilektomi
g.
bronkoskopi dengan fiberoptik fleksibel
h.
resusitasi neonatal
3. Situasi jalan nafas sulit : a.
terencana
b.
penyelamatan jalan nafas
c.
membantu intubasi endotrakeal
Diluar indikasi diatas kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi penggunaan LMA : 1. Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa). 2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipofaring sulit. 3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar. 4. Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya. 5. Kelainan pada orofaring (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan). 6. Ventilasi satu paru. 2.1.3
Teknik insersi LMA Macam-macam teknik insersi LMA : 1.
Teknik klasik/standard (Brain’s original technique)
2.
Inverted/reserve/rotation approach
3.
Lateral apporoach inflated atau deflated cuff
Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr.Brain telah menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien dan prosedur
11
pembedahan. Teknik insersi dari dr.Brian telah terbukti secara konsisten lebih baik. Banyak teknik insersi lainnya yang menyebabkan penempatan LMA yang teralalu tinggi dari jalan nafas atas dan pengembangan balon terlalu besar untuk mencegah kebocoran gas anastesi disekeliling LMA. (Dorsch dan Dorsch, 2008) Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan. Setelah makanan dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan terhadap langit-langit rongga mulut berasamaan dengan otot-otot pharyngeal mendorong makanan kedalam hipofaring. Insersi LMA, dengan cara yang mirip balon LMA yang belum terkembang dilekatkan menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk menekan LMA menyusuri sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak terus sampai ke hipopharyngx. Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa ataupun anak-anak dan sesuai untuk semua model LMA. Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut : 1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada balon LMA. 2. Pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap keluar berlawanan arah dengan lubang LMA. 3. Lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA. 4. Pastikan anastesi telah adekuat sebelum mencoba untuk insersi sehingga tercapai Relaksasi yang cukup sebelum dilakukan pemasangan LMA 5. Posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing. 6. Gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum terus turun sampai ke hipofaring sampai terasa tahanan yang
meningkat. Garis hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap kecephalad (menghadap ke bibir atas pasien). 7. Kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai. 8. Obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh epiglotis yang terlipat kebawah atau laringospame sementara.
Gambar 2.5 Teknik insersi LMA cara classic
2.1.4
Komplikasi penggunaan LMA 1.
2.
Komplikasi mekanikal (Dorsch dan Dorsch, 2008) : a.
gagal insersi (0,3 – 4%)
b.
ineffective seal (<5%)
c.
malposisi (20 – 35%)
Komplikasi traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
13
3.
2.2
a.
tenggorokan lecet (0 – 70%)
b.
disfagia (4 – 24%)
c.
disartria (4 – 47%)
Komplikasi patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) : a.
batuk (<2%)
b.
muntah (0,02 – 5%)
c.
regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d.
regurgitasi klinik (0,1%)
Propofol
Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi, semakin populer dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Propofol merupakan turunan dari fenol dengan komponen hipnotik kuat yang dihasilkan dari pengembangan 2,6-diisopropofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Ctemophor EL (polyethoxylated Castrol oil), namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi (Hasani, dkk 2012). Ahli anestesi lebih suka menggunakan propofol karena sifat mula kerja obat yang cepat hampir sama dengan obat golongan barbiturat tetapi masa pemulihan yang lebih cepat dan pasien bisa lebih cepat dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang rawat. Secara subyektif pasien merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol dibandingkan obat anetesi induksi lainnya. Kejadian mual muntah paska operasi sangat jarang karena propofol
memiliki efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek anti pruritik, antikejang dan mengurangi konstriksi bronkus. Propofol dalam dosis 1,5– 2,5 mg/kgBB diberikan intravena akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Keunggulan sifat inilah yang membuat propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga penggunaannya begitu luas di seluruh dunia. 2.2.1 Mekanisme kerja Propofol merupakan modulator selektif reseptor gamma aminobutyric acid (GABA). GABA merupakan neurotransmiter inhibisi utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek
GABA.
Efek
hipnotik dan
kemungkinan efek analgesia propofol dihubungkan dengan reseptor GABA ini, selain itu juga propofol akan menginduksi potensiasi dari reseptor glisin pada tingkat spinal dan juga diperkirakan memberikan kontribusi sebagai antinosiseptif yang bekerja pada reseptor NMDA (Hasani, dkk 2012). 2.2.2 Struktur bangun dan karakteristik Propofol adalah bagian dari grup alkilfenol yang memiliki kemampuan hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropylphenol) terdiri dari cincin
15
fenol dengan dua gugus isopropil. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilfenol ini. Propofol tidak larut dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkilfenol menjadi minyak dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut lemak. Larutan 1% propofol berupa emulsi air, minyak kacang hijau 10%, glicerol, dan lecitin telur (kuning telur). Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap telur belum tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi telur disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi kuning telur. Kejelekan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang timbul saat penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7. Untuk mengurangi rasa nyeri saat penyuntikan disarankan pemberian lidokain 1% intravena. Propofol yang terdiri dari emulsi lemak, air dan kuning telur menyebabkan formula ini sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri, sehingga teknik seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam dari saat pertama kali membuka ampul obat. Saat ini propofol sudah mengandung 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme walaupun hal ini belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika Serikat (Morgan, dkk 2006).
2.2.3 Farmakokinetik 2.2.3.1 Absorpsi Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat. 2.2.3.2 Distribusi Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit (Trevor, dkk 2010). Banyak peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu pemulihan propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat.
17
Keadaan equilibrium untuk propofol yang dapat menyebabkan supresi dari elektroencephalogram (EEG) yang berkaitan dengan hilangnya kesadaran adalah sekitar 0,3 menit dengan efek puncak dicapai 90-100 detik. Farmakokinetik propofol menurun oleh karena beberapa faktor antara lain jenis kelamin, berat badan, penyakit sebelumnya, umur dan medikasi lain yang diberikan. 2.2.3.3 Biotransformasi Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus kontinyu. 2.2.3.4 Ekskresi Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol. 2.2.4 Farmakodinamik 2.2.4.1 Kardiovaskular Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan systemic vascular resistance (SVR) yaitu dengan menghambat aktivitas vasokonstriksi oleh sistim simpatis, menurunkan kontraktilitas otot jantung, dan menurunkan preload. Kejadian hipotensi pada pemberian propofol lebih sering terjadi dibandingkan dengan tiopental tetapi biasanya akan dihilangkan akibat perlakuan saat laringoskopi intubasi. Faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi adalah besarnya dosis, kecepatan injeksi dan umur tua.
Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi setelah penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Efek yang paling menonjol dari propofol adalah penurunan tekanan darah arteri selama induksi anestesi. Terlepas dari adanya penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg menghasilkan penurunan 25% sampai 40% dari tekanan darah sistolik, perubahan serupa terlihat pada tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan tekanan arteri dikaitkan dengan penurunan curah jantung/indek jantung (±15%), indek stroke volume (±20%), dan resistensi pembuluh darah sistemik (15% sampai 25%). Tinjauan retrospektif terhadap 2406 pasien menunjukkan bahwa 9% dari pasien mengalami hipotensi berat 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum. (Reich, dkk 2005) Prediktor signifikan secara statistik multivariat hipotensi 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi termasuk pasien status fisik ASA III dan IV, dengan dasar TAR kurang dari 70 mm Hg, usia 50 tahun atau lebih, menggunakan propofol dan fentanyl untuk induksi anestesi. Kombinasi propofol dengan fentanyl adalah stimulus utama yang ampuh untuk hipotensi. Selama pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan darah sistolik juga menurun menjadi 20% sampai 30%. Pemberian dosis pemeliharaan propofol 100 µg/kgBB/menit menyebabkan penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah sistemik (30%), tetapi indeks jantung dan indek stroke volume tidak berubah. Efek penekanan pada pembuluh darah (vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada otot jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan anestesi. 2.2.4.2 Respirasi
19
Apneu bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi propofol, kejadian dan lamanya apneu bergantung pada dosis, kecepatan injeksi, dan premedikasi yang diberikan sebelumnya. Insiden apneu mencapai 25% sampai 30% selama induksi propofol. Durasi apneu terjadi akibat propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik, namun kejadian apneu yang berkepanjangan (> 30 detik) meningkat lebih lanjut dengan penambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum induksi anestesi. Kejadian apneu dengan propofol lebih sering dibandingkan dengan anestesi intravena umum lainnya yang digunakan untuk induksi. Permulaan apneu biasanya didahului dengan pengurangan volume napas ditandai pasang surut dan takipnea. Infus pemeliharaan propofol (100µg/kgBB/menit) menghasilkan penurunan 40% pada tidal volume dan peningkatan 20% pada frekuensi pernapasan,
dengan
perubahan
tak
terduga
dalam
ventilasi
semenit.
Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 µg/kgBB/menit menyebabkan penurunan lebih lanjut volume tidal (455-380 mL), tetapi tidak ada perubahan dalam frekuensi pernapasan. 2.2.4.3 Susunan saraf pusat Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran γaminobutyric acid (GABA)-induced chloride melalui ikatan pada subunit β dari reseptor GABA. Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di hippocampus menghambat pelepasan asetilkolin di hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2-adrenoreseptor juga tampaknya memainkan peran tidak langsung dalam efek penenang propofol. Propofol juga bekerja pada penghambatan dari subtipe N-
metil-D-aspartat (NMDA) dari reseptor glutamat melalui modulasi kanal sodium, sehingga menyebabkan efek pada SSP. Propofol tidak memiliki komponen analgetik. Propofol memiliki dua efek menguntungkan, yaitu efek antiemetik dan rasa nyaman pada pasien. Propofol meningkatkan konsentrasi dopamin di nucleus accumbens. Efek antiemetik propofol dapat dijelaskan dengan penurunan kadar serotonin yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang mungkin disebabkan karena penghambatan GABA. Permulaan hipnosis setelah pemberian dosis 2,5 mg/kg BB sangat cepat (arm-brain circulation time), dengan efek puncak terlihat pada 90 sampai 100 detik. Dosis efektif median (ED50) propofol untuk hilangnya reflek mata adalah 1 sampai 1,5 mg/kgBB setelah bolus. Durasi hipnosis adalah tergantung dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2 sampai 2,5 mg/kgBB bolus propofol. Dosis propofol menjadi lebih rendah jika dikombinasikan dengan obat lain. Konsentrasi propofol (jika dikombinasikan dengan N 2 O 66%) diperlukan selama operasi adalah 1,5-4,5 µg/mL,dan konsentrasi untuk operasi besar adalah 2,5-6 µg/mL.
2.3 Midazolam Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang pertama kali disintesa pada tahun 1976 oleh Fryer dan Walser (Stoelting, dkk 2006). Berbeda dengan diazepam, obat ini dapat larut dalam air. Secara kimia, merupakan derivat imidazo-benzodiazepin. Nitrogen pada cincin imidazol memberikan dasar yang kuat pada molekul dan kemampuan untuk larut dalam air yang besar. Struktur
21
bangun midazolam yang tertutup pada pH fisiologis, cincin ini akan meningkatkan
kelarutan
midazolam
dalam
lemak,
sehingga
berakibat
meningkatnya penetrasi ke jaringan (Lichtor dan Collins, 1996). 2.3.1 Farmakologi midazolam Midazolam mempunyai efek hipnotik, sedatif, anti cemas, anti kejang dan efek relaksasi otot seperti golongan benzodiazepine lainnya, yang bekerja di reseptor GABA di kortek serebri (Morgan, dkk 2006). Efek sedasi, amnesia anterograde dan antikejang timbul akibat aktivasi reseptor α 1 GABAa. Anti cemas dan relaksasi otot terjadi karena aktivasi reseptor α 2 GABAb. Diperkirakan bahwa dengan tingkat ikatan reseptor benzodiazepine kurang dari 20% mungkin sudah cukup untuk menghasilkan efek anti cemas. Ikatan reseptor benzodiazepine sebesar 30-50% diperlukan untuk menimbulkan efek sedasi dan lebih dari 60% untuk menimbulkan ketidaksadaran. Benzodiazepine menimbulkan efek mereka secara umum melalui ikatan dengan reseptor benzodiazepine yang memodulasi GABA
yang
merupakan
neurotrasmiter
inhibisi
utama
dalam
otak.
Benzodiazepine mengikat reseptor GABAa pada subunit γ 2 dari komplek pentametrik glikoprotein. Aktivasi reseptor GABAa akan membuat saluran ion klorida terangsang dan sel mengalami hiperpolarisasi yang akan menimbulkan hambatan perangsangan saraf. Reseptor benzodiazepin dengan kepadatan tertinggi ditemukan di olfactory bulb, kortek serebri, serebelum, hipokampus, substansia nigra dan colliculus inferior sedangkan kepadatan yang lebih rendah ditemukan di striatum, bagian bawah batang otak dan sumsum tulang belakang. Midazolam mengikat reseptor benzodiazepin di berbagai daerah di otak seperti sumsum
tulang belakang, batang otak, serebelum, sistem limbik dan kortek serebri. Efek hipnotis dari midazolam pada manusia juga menghasilkan amnesia anterograde. 2.3.3 Farmakokinetik midazolam Hati merupakan tempat utama proses metabolisme dari midazolam. Hampir semua obat mengalami hidroksilasi pada ikatan metil dicincin imidazol ke α-hidroksimidazolam atau ke 4-hidroksimidazolam, dimana keduanya dikonjugasi dengan cepat di hati. Kedua metabolit awal tersebut juga dapat mengalami hidroksilasi kebentuk α-4-dihidroksi dan kemudian dikonjugasi menjadi glukoronida. Metabolit utama adalah α-hydroksimethylmidazolam, dimana memiliki beberapa aktivitas farmakologik, tetapi dapat dikonjugasi dengan cepat dan tidak memiliki arti klinik. Clearence di hati tergantung pada aliran darah ke hati. Perubahan aliran darah di hati dapat merubah clearence. Metabolisme ekstrahepatik juga dapat terjadi. Clearence midazolam dari darah sangat cepat yaitu 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan diazepam (Collins, dkk 1996). Semua metabolit midazolam dapat di deteksi dalam urin. Metabolit utama, α-hidroksimetilmidazolam, merupakan 45-50 % dari konjugasi glukoronida urin. Kurang dari 1 % midazolam di eksresi dalam bentuk utuh (Collins, 1996). 2.3.4 Farmakodinamik midazolam 2.3.4.1 Efek midazolam terhadap susunan saraf pusat Seperti halnya golongan benzodiazepine yang lain midazolam menurunkan kebutuhan metabolisme oksigen otak dan cerebral blood flow seperti halnya obat golongan barbiturat dan propofol. Midazolam tidak menimbulkan gelombang EEG isoelektrik. Pada penggunaan dosis tinggi terjadi ceiling effect terkait
23
penurunan kebutuhan metabolisme oksigen otak. Midazolam tidak atau sedikit pengaruhnya terhadap peningkatan tekanan intra kranial bila digunakan sebagai agen induksi. Midazolam dapat memperbaiki kondisi neurologis pasien post incomplete ischemia, namun tidak terbukti menunjukkan sifat neuroprotektif pada manusia. Midazolam merupakan antikejang yang potent dan efektif untuk terapi status epileptikus (Stoelting, dkk 2006). 2.3.4.2 Efek midazolam terhadap sistem pernafasan Puncak mula kerja dari midazolam dalam menimbulkan penekanan ventilasi (dengan dosis 0,13-0,2 mg/kgBB secara intra vena) adalah cepat (sekitar 3 menit) dan secara bermakna depresi pernafasan terjadi selama sekitar 60-120 menit dan lebih cepat obat diberikan maka lebih cepat efek puncak depresi pernafasan ini terjadi. Apneu yang terjadi pada penggunaan benzodiazepin berhubungan dengan dosis benzodiazepin dan lebih mungkin terjadi bila dikombinasi dengan opioid. 2.3.4.3 Efek midazolam terhadap sistem kardiovaskuler Perubahan hemodinamik yang terjadi adalah penurunan dari tekanan darah arteri akibat dari penurunan resistensi vaskuler sistemik dan hal ini terkait dengan dosis yang diberikan. Semakin tinggi plasma levelnya semakin berat juga efek penurunan tekanan darahnya. Midazolam dapat menimbulkan hipotensi, namun pada dosis hingga 0,2 mg/kg midazolam aman dan efektif untuk induksi pada pasien dengan aorta stenosis berat. Pada pasien dengan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri midazolam memiliki ”nitrogliserin-like effect” dengan
menurunkan tekanan pengisian dan meningkatkan isi sekuncup. Dosis rendah midazolam berkisar antara 0,03-0,04 mg/kg BB. (Miller, dkk 2010)
2.4 Fentanyl Fentanyl
merupakan
sintetik
agonis
opioid
yang
berasal
dari
phenylpiperidin yang secara struktural berhubungan dengan meperidin. Sebagai analgesia, fentanyl 75-125 kali lebih potensial dibandingkan morfin. Fentanyl bekerja sebagai agonis dari reseptor µ1 dan µ2 di seluruh sistem saraf pusat dan jaringan lainnya.
2.4.1 Farmakokinetik fentanyl Dosis tunggal fentanyl yang diberikan intravena memiliki onset yang cepat dan durasi yang lebih singkat dibandingkan dengan morfin. Terdapat perbedaan waktu dimana kadar puncak fentanyl dalam plasma berbeda dengan efek puncak memperlambat gelombang EEG yang disebut effect-site equilibration time antara otak dan darah fentanyl, yang berkisar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang cepat disebabkan oleh kelarutan fentanyl dalam lemak yang lebih besar daripada morfin. Durasi yang singkat menggambarkan kecepatannya mengalami redistribusi ke dalam otot dan lemak. Paru juga merupakan gudang inaktivasi yang besar, dimana 75% fentanyl yang diberikan mengalami uptake di paru. Pemberian fentanyl secara kontinyu atau berulang, tdapat mningkatkan kejenuhan dalam jaringan inaktif ini. Hasilnya, konsentrasi plasma fentanyl tidak menurun
25
dengan cepat, dan durasi analgesia, dan depresi ventilasinya juga akan mengalami pemanjangan. Metabolisme
fentanyl
oleh
N-demetilasi
membentuk
norfentanyl,
hidroksipropionil-fentanyl dan hidroksipropionil-norfentanyl. Struktur norfentanyl mirip dengan normeperidin dan menjadi metabolit utama pada manusia. Norfentanyl dibuang melalui ginjal dan dapat dideteksi dalam 72 jam setelah dosis tunggal intravena. Kurang dari 10% fentanyl diekskresi dalam bentuk utuh dengan aktivitas farmakologik yang minimal. Fentanyl memiliki durasi kerja yang singkat, namun memiliki eliminasi half-time yang lebih lama dibanding morfin, karena fentanyl memiliki volume distribusi (Vd) lebih besar daripada morfin, karena fentanyl lebih larut dalam lemak. Setelah bolus intravena, fentanyl dengan cepat memasuki jaringan. Lebih dari 80% fentanyl meninggalkan plasma dan masuk ke jaringan dalam waktu <5 menit. Konsentrasi plasma fentanyl dipertahankan dengan reuptake dari jaringan inaktif. Eliminasi half-time yang memanjang pada orang tua adalah karena penurunan klirens opioid. Perubahan ini berhubungan dengan penurunan aliran darah hepar, aktivitas enzim mikrosomal dan produksi albumin, karena fentanyl sangat berikatan dengan protein, maka fentanyl yang diberikan pada orang tua memiliki durasi yang lebih lama dibandingkan dengan orang muda (Coda, dkk 2006, Stoelting, dkk 2006). Pada penggunaan fentanyl kontinyu lebih dari 2 jam, context-sensitivity half-time fentanyl menjadi lebih lama daripada sufentanil sebagai akibat dari kembalinya fentanyl dari jaringan ke plasma. Gudang penyimpanan fentanyl akan
menggantikan fentanyl dalam plasma yang mengalami metabolisme di hati saat infus fentanyl dihentikan. 2.4.2 Farmakodinamik fentanyl Fentanyl secara klinis diberikan dalam dosis yang lebar. Fentanyl dosis rendah 1-2 mcg/kgBB intravena diberikan untuk koinduksi dan suplemen analgesia. Dosis 2-20mcg/kgBB intravena diberikan untuk adjuvan anestesi inhalasi dengan tujuan menumpulkan respon sirkulasi dalam laringoskopi untuk intubasi, atau perubahan tingkat stimulasi bedah. Fentanyl dosis 1,5-3 mcg/kgBB intravena yang diberikan 5 menit sebelum induksi akan mengurangi dosis inhalasi isofluran atau desfluran dengan N2O 60% untuk memblokir respon simpatis terhadap stimulasi bedah. Dosis besar, sekitar 50-150 mcg/kgBB intravena, digunakan untuk dosis tunggal sebagai agen utama anestesia. Keuntungannya adalah minimal efek depresi miocardial, tidak adanya pelepasan histamin, dan penekanan respon stres terhadap pembedahan. Kerugiannya antara lain kegagalan mencegah respon simpatis terhadap stimulasi bedah yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan fungsi jantung yang baik, kemungkinan pasien bangun, dan depresi napas postoperasi. Fentanyl transmukosal dalam bentuk lozenges (permen) diproduksi dalam dosis 5-20 mcg/kgBB, dengan tujuan untuk menurunkan kecemasan dan memfasilitasi induksi pada pasien anak-anak. Pada anak usia 2-8 tahun yang diberikan fentanyl transmukosal 15-20 mcg/kgBB 45 menit sebelum induksi, akan menghasilkan sedasi dan akan memfasilitasi induksi dengan anestesia inhalasi, namun dapat menurunkan frekuensi napas dan oksigenasi, serta peningkatan
27
insiden mual dan muntah post operasi. Fentanyl sebagai analgetik postoperasi pasien ortopedik, dapat diberikan secara transmukosal 1 mg yang memiliki potensi yang sama dengan 5 mg morfin intravena (Stoelting, dkk 2006). 2.4.2.1 Efek pada sistem saraf pusat Aktivitas kejang telah diamati setelah pemberian bolus cepat fentanyl, sufentanil, dan alfentanil. Sulit untuk membedakan kekakuan otot dengan kejang tanpa rekaman EEG. Pada konsentrasi plasma tinggi 1750 ng/mL setelah pemberian fentanyl cepat 150 mcg/kgBB, tidak terdapat gambaran aktivitas kejang pada EEG, yang kemungkinan terjadi karena opioid dapat menyebabkan mioklonus yang mirip dengan kejang. Pemberian fentanyl dan sufentanil pada pasien dengan cedera kepala menyebabkan sedikit kenaikan tekanan intrakranial (6-9 mmHg) selama PaCO2 tidak berubah. Kenaikan tekanan intrakranial ini diikuti dengan penurunan TAR dan tekanan perfusi serebral. Sebenarnya, kenaikan tekanan intrakranial ini ditimbulkan oleh autoregulasi otak dimana penurunan TAR akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler cerebral yang akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan volume darah dan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga peran opioid dalam peningkatan tekanan intrakranial tidak begitu nyata. Konsentrasi analgesik fentanyl sangat mempotensiasi efek midazolam dan menurunkan dosis propofol. Kombinasi opioid-benzodiazepin berlangsung sangat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi ventilasi. Preinduksi dengan fentanyl akan menekan refleks batuk (Coda, dkk 2006, Stoelting, dkk 2006).
2.4.2.2 Efek pada sistem kardiovaskuler Dibandingkan dengan morfin, fentanyl dalam dosis besar (50 mcg/kgBB), tidak menyebabkan pelepasan histamin. Hasilnya, dilatasi pada vena yang akan menyebabkan hipotensi tidak terjadi. Refleks baroreseptor sinus karotikus sangat ditekan oleh fentanyl 10 mcg/kgBB IV, pada neonatus. Bradikardia lebih jelas dengan fentanyl daripada morfin yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan cardiac output. Reaksi alergi jarang terjadi pada pemberian fentanyl.
2.5 Target Controlled Infusion (TCI) Pengembangan
TCI
berbarengan
dengan
berkembangnya
konsep
farmakokinetik yang diaplikasikan dalam bidang anestesi yaitu effect site compartment yang dihubungkan dengan konstanta blood/effect site equilibration (Ke0), time to peak effect dan context-sensitivity half life dan context-sensitivity decrement time. Target controlled infusion dapat membantu obat anestesi intravena diberikan berdasarkan farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang digabungkan dengan teknologi komputer modern. TCI mempertahankan konsentrasi target yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan dapatan klinis pasien. Prinsip dasar TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu yang harus dicapai dan dipertahankan oleh alat baik di plasma (Cp) maupun effect site concentration (Ce). Konsentrasi target diatur sejak awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang diatur oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site compartment setelah waktu tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju
29
atau obat berefek (Naidoo D, 2011). TCI tetap memberikan teknik yang lebih aman dalam pemberian obat anestesi intravena karena mampu menyesuaikan antara konsentrasi obat dengan efek klinis yang diinginkan dengan lebih baik dimana hal ini paling diinginkan dalam mengelola anestesi terutama saat induksi dan prediksi pemulihan. Teknik ini memungkinkan titrasi obat yang lebih tepat berdasarkan peningkatan konsentrasi bertahap dimana variasi antar individu dalam hal farmakokinetik dan farmakodinamik diperkirakan sekitar 30%. Farmakokinetik propofol telah banyak dipelajari pada berbagai keadaan pasien pada pemberian bolus maupun infus kontinyu. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas serta klirens metabolik yang cepat juga. Setelah pemberian dosis bolus terdapat fase distribusi insial yang cepat ke organ yang kaya perfusi seperti otak (the effect site). Setelah itu proses berlanjut ke fase dua yang lebih lambat dimana terjadi redistribusi ke organ yang lebih sedikit vaskularisasinya seperti otot. Pemulihan dari anestesia adalah manifestasi redistribusi obat dari otak ke organ lain dan bersihan metabolik. Turunnya konsentrasi obat setelah pemberian bolus atau penghentian infus dapat dijelaskan dengan baik dengan model tiga kompartemen. Cara penggunaan TCI adalah: hal pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan data dasar pasien ke mesin serta konsentrasi target yang diinginkan untuk obat yang dipilih dan mesin akan memberikan bolus obat dalam dosis tertentu untuk mengisi kompartemen sentral. Komputer akan mengkalkulasi metabolisme dan eliminasi obat serta menentukan obat yang diinfuskan untuk mengisi kompartemen kedua dan ketiga setelah bolus awal. Pada saat tindakan
berlangsung konsentrasi target dapat diubah-ubah sesuai respon pasien dan stimulus bedah. (Naidoo D, 2011)
Gambar 2.6 Three compartment model Untuk sistem TCI dengan propofol pada orang dewasa model farmakokinetik yang banyak digunakan adalah marsh dan schnider, sedangkan pada pasien anak-anak model paedfusor dan kataria. Selain propofol obat lain yang dapat dioperasikan menggunakan sistim TCI adalah sufentanil (model bovil dan gepts), alfentanil (model mitre), remifentanil (model minto). 2.5.1 Model marsh Model marsh adalah model yang pertama kali dikembangkan, yang merupakan pengembangan dari model farmakokinetik propofol oleh Gepts dengan memperkirakan volume kompartemen sentral sebagai sebuah fungsi linear secara langsung terhadap berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun pompa tidak dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi sumber bias dan ketidakakuratan sistem marsh. 2.5.2 Model schnider
31
Model schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan, dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien dihitung dan digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang dipakai berat badan aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi obat pada pasien obese sehingga pada pasien obese dipergunakan berat badan ideal. Perbedaan utama antara kedua model ini adalah jumlah volume kompartemen sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen sentral tetap dan sama pada setiap pasien dan lebih kecil (4,27 L pada pasien BB 70 kg) dibanding model marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini akan didapatkan model schnider Keo yang lebih besar (equilibrasi sentral dan effect site kompartemen lebih cepat) dan K10 lebih besar (bersihan metabolik lebih cepat) sehingga model schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding marsh. Sebagai alat induksi model schnider akan lebih lambat dibandingkan model marsh. Pada model marsh hanya menggunakan berat badan sebagai kovariat sedangkan model schnider memakai berat badan, lean body mass, umur dan jenis kelamin. Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah dapat memfasilitasi titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan mengenai obat yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian, konsentrasi dan lain-lain, pemberian dosis obat dengan memperhitungkan usia dan karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih cepat (Sugiarto, 2012).
2.6 Bispectral Index (BIS)
Selama evolusi praktek anestesi modern, penilaian kedalaman anestesi pada pasien telah mengalami perubahan bertahap dan perbaikan. Pengamatan kedalaman anestesi sebelumnya dari tanda-tanda klinis seperti respon pupil, pola pernapasan, kualitas denyut nadi ditambah dengan pengukuran langsung dari titik akhir fisiologis termasuk tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan dan volume pernapasan. Perkembangan pulse oximetry dan kapnografi, memberikan penilaian yang lebih tepat dari manajemen ventilasi. Penggunaan end-tidal dan stimulasi saraf perifer memberikan kemampuan dokter anestesi untuk mengukur konsentrasi agen farmakologis dan efek masing-masing obat. The bispectral indek (Indek BIS) menawarkan anestesi profesional dengan metode langsung dan akurat untuk memonitor status otak secara terus menerus sepanjang perjalanan administrasi anestesi atau obat penenang. 2.6.1 Indek BIS Indek BIS adalah skala angka antara 0 hingga 100 yang berkorelasi dengan titik akhir klinis yang penting selama pemberian obat anestesi (Gambar 2.7). Nilai BIS mendekati 100 menunjukkan keadaan "terjaga" dari keadaan klinis, sementara nilai 0 menunjukkan efek maksimal EEG (yaitu, EEG isoelektrik). (Sigl, dkk 1994)
33
Gambar 2.7 Panduan skala indek BIS–indek BIS adalah skala dari 100 (terjaga, respon terhadap suara normal) sampai 0 (menunjukkan keadaan isoelektrik, garis flat EEG). Nilai indek BIS di bawah 70 kemungkinan recall eksplisit menurun secara drastis. Pada nilai indek BIS kurang dari 60, pasien memiliki probabilitas kesadaran yang sangat rendah. (Struys, dkk 2002) Nilai indek BIS lebih rendah dari 40 menandakan efek anestesi berlebih pada EEG. Pada nilai-nilai BIS rendah, tingkat penekanan EEG adalah penentu utama dari nilai BIS. Uji klinis prospektif telah menunjukkan bahwa mempertahankan nilai-nilai indek BIS di kisaran 40-60 memastikan efek hipnotis yang memadai selama anestesi umum sementara meningkatkan proses pemulihan. Selama pemberian sedasi, nilai indek BIS>70 dapat diamati selama kecukupan tingkat sedasi adekuat tetapi memiliki probabilitas yang lebih besar akan kesadaran dan potensi memori. Indek BIS memberikan pengukuran langsung status otak, bukan konsentrasi obat tertentu. Sebagai contoh, nilai-nilai Indek BIS menurun saat tidur
alami serta selama pemberian agen anestesi. Penurunan yang dihasilkan selama proses alami tidur, tidak pada tingkat yang disebabkan oleh dosis tinggi propofol, thiopental atau anestesi inhalasi. (Scott, dkk 2004) 2.6.2 Validasi indek BIS Keakuratan indek BIS dalam menilai efek obat hipnotis pada tingkat kesadaran telah divalidasi pada sejumlah studi. Studi-studi ini meneliti transisi tak sadarkan diri, pemulihan kesadaran dan konsistensi kinerja. Penyelidikan kunci dalam menggunakan agen anestesi umum dan kombinasi (propofol, midazolam, isoflurane,
midazolam-alfentanil,
propofol-alfentanil,
dan
propofol-nitrous
oksida), pengukuran simultan indek BIS dan penilaian keadaan sedasi diperoleh. Daya ingat akan kata atau gambar hilang ketika indek BIS menurun ke kisaran 70-75, menunjukkan bahwa gangguan memori terjadi ketika nilai-nilai indek BIS yang lebih tinggi dari hilangnya kesadaran. Penyelidikan lebih lanjut telah menyarankan bahwa beberapa fungsi memori dapat terjadi pada nilai indek BIS yang lebih rendah. Data awal ini telah didukung oleh penyelidikan berikutnya yang menguji kemampuan indek BIS untuk secara akurat memprediksi keadaan kesadaran. Penelitian terbaru menunjukkan indek BIS memiliki probabilitas prediksi signifikan lebih tinggi untuk tingkat kesadaran bila dibandingkan dengan nilainilai hemodinamik tradisional tekanan darah dan denyut jantung dan dalam penelitian ini selama anestesi propofol, nilai ambang indek BIS 60 mencapai sensitivitas 99% dan spesifisitas 81% untuk memprediksi respon terhadap
35
perintah
verbal,
menunjukkan
keakuratan
indek
BIS
dalam
penilaian
ketidaksadaran. 2.6.3 Menilai indek BIS saat pemulihan kesadaran Selama
pemeliharaan
anestesi,
sebuah
keharusan
utama
adalah
pemeliharaan ketidaksadaran dan indek BIS telah dipelajari sebagai indikator pemulihan kesadaran. Menggunakan teknik lengan terisolasi, akurasi pemantauan indek BIS untuk memprediksi kembalinya kesadaran setelah induksi anestesi. Setelah bolus dosis tunggal propofol atau thiopental, interval penilaian kesadaran pasien dengan meminta mereka untuk menekan jari-jari penyidik dan Indek BIS dipantau terus menerus. Pemulihan kesadaran terjadi secara konsisten pada nilai indek BIS di atas 60 meskipun intensitas dan durasi efek hipnotis bervariasi antara pasien. Nilai indek BIS<65 mengindikasikan probabilitas <5% kesadaran yang akan kembali dalam 50 detik. Meskipun terdapat respon terhadap perintah verbal, namun pasien tidak memiliki episode memori, dengan demikian membenarkan perbedaan nilai indek BIS diamati untuk kesadaran/responsif dan nilai lebih tinggi indek BIS menandakan daya memori yang telah dirusak yang divalidasi lebih lanjut bahwa nilai Indek BIS di bawah 60 merupakan indikator yang sangat baik bahwa pasien tidak sadarkan diri dan akan memiliki nilai rendah probabilitas me-recall memori dan nilai BIS dibawah 40 tidak dianjurkan penggunaannya pada monitoring tindakan pembedahan. (Scott, dkk 2004)
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan pada tinjauan pustaka yang disajikan pada BAB II, dapat dirumuskan beberapa konsep kemudian dibuat hipotesis penelitian. Konsepkonsep tersebut adalah: 1. Kondisi ideal pemasangan LMA dapat dicapai dengan mencapai target kedalaman anestesinya dengan memberikan agen induksi pada dosis induksi sehingga tercapai kondisi yang ideal untuk pemasangan LMA. 2. Propofol sebagai agen induksi intravena memenuhi hampir semua kriteria obat induksi ideal namun memiliki efek hipotensi saat dilakukan induksi. Efek depresi kardiovaskular dari propofol tergantung dari dosis obat yang diberikan, kecepatan penyuntikan dan usia tua. Dari ketiga faktor diatas, faktor kecepatan penyuntikan dapat dikendalikan dengan menggunakan alat TCI. Faktor dosis obat yang diberikan dapat kita modifikasi dengan pemberian obat koinduksi dengan obat yang berefek sedasi sehingga dosis induksi propofol dapat dikurangi. 3. Midazolam menunjukkan keunggulannya dibanding agen koinduksi yang lain. namun masih belum optimal dalam mempertahankan tekanan darah pasien dan memberikan kondisi yang ideal untuk pemasangan LMA, sehingga perlu diteliti lebih lanjut obat-obatan lain yang juga dapat digunakan sebagai koinduksi
36
37
4. Opioid telah dikenal luas sebagai obat analgesia dengan efek sedasi yang baik dan minimal efek terhadap fungsi kardiovaskuler. Dosis kecil opioid diketahui tidak menekan reflek simpatis terutama opiod jenis fentanyl, sufentanyl, ramifentanyl dan alfentanyl. Pada penelitian opiat sebagai ko-induksi untuk propofol dapat memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan propofol sebagai agen tunggal. 5. Dengan melakukan penelitian diharapkan dapat membuktikan fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan stabilitas hemodinamik, menurunkan dosis induksi propofol dan menghasilkan kondisi relaksasi pemasangan LMA yang lebih baik jika dibandingkan dibandingkan dengan midazolam. 6. Dengan menggunakan BIS diharapkan kedalaman anestesinya dapat dijaga
dalam batas aman. Pemberian koinduksi : -Midazolam -Fentanyl
INDUKSI PROPOFOL
HIPOTENSI
1. Usia lanjut 2. Kecepatan penyuntikan
Gambar 3.1 Bagan kerangka berpikir Keterangan Gambar : = diteliti
KONDISI PEMASANGAN LMA
3.2 Hipotesis Penelitian Dari kerangka berpikir yang telah dijabarkan diatas maka dapat diambil beberapa hipotesis penelitian : 1. Fentanyl sebagai koinduksi memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA. 2. Dosis induksi propofol yang dibutuhkan pada koinduksi dengan fentanyl lebih sedikit jika dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA. 3. Fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA.
39
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Double blind Randomized Control Trial Study. Subyek eligible ditarik dari populasi dan dilakukan randomisasi dengan teknik Simple Randomised.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Sanglah Denpasar. 4.2.2 Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan Pebruari 2015
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi target Pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum pemasangan LMA. 4.3.2 Populasi terjangkau Pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum pemasangan LMA di RSUP Sanglah selama bulan Pebruari 2015.
39
4.3.3 Sampel eligible Diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir informed consent. 4.3.4 Kriteria eligibilitas Kriteria eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi 4.3.4.1 Kriteria inklusi 1. pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum pemasangan LMA di RSUP Sanglah Denpasar. 2. pasien usia 21-64 tahun 3. status Fisik ASA 1 dan 2 4.3.4.2 Kriteria eksklusi 1. pasien menolak untuk ikut dalam penelitian 2. pasien alergi terhadap propofol dan komponen telur 3. pasien dengan syok hipovolemik 4. penyakit jantung dan pembuluh darah 5. wanita hamil 6. indeks massa tubuh (IMT) antara 18-28 kg/m2 4.3.5
Teknik pengambilan sampel Sampel diambil secara konsekutif dan dirandomisasi dengan teknik simple
random dengan menggunakan dua amplop tertutup yang berisi masing-masing kelompok fentanyl dan midazolam yang diambil secara acak untuk menentukan
41
obat koinduksi yang akan diberikan, pasien yang memenuhi syarat dipilih sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. 4.3.6
Perhitungan besar sampel Besar sampel dihitung berdasarkan rumus perbedaan rata-rata antara 2
kelompok tidak berpasangan untuk uji klinik (Madiyono, dkk 2002), yaitu: 4(Zα + Z β ) σ 2 2
2N =
(µ
− µ i)
2
c
Keterangan: N = jumlah sampel untuk satu kelompok σ = standar deviasi di populasi µ c = penurunan tekanan arteri rerarta pada kelompok midazolam µ i = penurunan tekanan arteri rerarta pada kelompok fentanyl Zα = nilai Z untuk α tertentu Zβ = nilai Z untuk power (1–β) tertentu Penelitian yang dilakukan oleh Djaiani, dkk 2010, dimana penurunan tekanan arteri rerata yang didapatkan pada kelompok midazolam adalah 14,9±3. Nilai (µ c –µ i ) adalah selisih rata-rata yang dianggap bermakna secara klinis, yaitu ditetapkan sebesar 20%. Kesalahan tipe I (α) ditetapkan sebesar 0,05, sehingga nilai Zα untuk hipotesis adalah 1,96. Kesalahan tipe II (β) ditetapkan sebesar 10% sehingga besar power adalah 90% dan nilai Zβ adalah 1,282. Berdasarkan data dan rumus diatas, didapatkan sampel untuk masingmasing kelompok 21 orang dan besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 42 orang.
4.4 Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas adalah teknik koinduksi menggunakan fentanyl 2 mcg/Kg BB dan Midazolam 0,03 mg/kg BB. 2. Variabel tergantung adalah : stabilitas hemodinamik, jumlah propofol yang digunakan untuk induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60, kondisi relaksasi saat pemasangan LMA. 3. Variabel kendali adalah pasien ASA I dan II, usia 21-64 tahun, IMT antara 1828 kg/m2, dikerjakan anestesi umum pemasangan LMA dengan induksi menggunakan TCI propofol dengan target konsentrasi efek 4,0 µg/mL sampai nilai BIS 40-60.
4.5 Definisi Operasional Variabel 1. Koinduksi adalah pemberian dosis rendah agen anestesi yang memiliki efek sedasi, 5 menit sebelum pemberian agen induksi dengan tujuan mengurangi dosis agen induksi. Pada penelitian ini koinduksi dengan midazolam menggunakan dosis rendah 0,03 mg/Kg BB sedangkan koinduksi dengan fentanyl menggunakan dosis rendah 2 mcg/Kg BB. 2. Stabilitas hemodinamik dinilai dari perbedaan tekanan arteri rerata antara tekanan arteri rerata sebelum pemberian agen koinduksi dengan tekanan arteri rerata setelah induksi. Selisih dari nilai ini akan dibandingkan antara nilai yang didapat pada kelompok fentanyl dengan kelompok midazolam.
43
3. Tekanan arteri rerata adalah tekanan darah arteri rata-rata pada setiap individu selama satu kali siklus jantung yang didapatkan melalui perhitungan 2 kali tekanan darah diastolik ditambahkan tekanan darah sistolik dibagi 3. Nilai tekanan darah dicatat berdasarkan angka yang muncul di layar monitor, yang dicatat saat pasien sudah berada di ruang operasi sebelum koinduksi, 5 menit setelah koinduksi, setelah tercapai BIS 40-60 dan setelah pemasangan LMA. Tekanan arteri rerata yang dianggap stabil bila perubahannya tidak melebihi 20% dari TAR basal. 4. Jumlah propofol yang digunakan adalah total propofol yang digunakan selama proses induksi sampai tercapai nilai BIS 40-60 yang tercatat pada mesin TCI. 5. Laju nadi adalah perubahan denyut jantung persatuan waktu yang tertera pada monitor. Pencatatan dilakukan saat pasien sudah berada di ruang operasi sebelum koinduksi, 5 menit setelah koinduksi, setelah tercapai nilai BIS 40-60 dan setelah pemasangan LMA. 6. Pemasangan LMA adalah upaya menempatkan sungkup laring tipe classic yang sesuai ukuran pasien di jalan nafas untuk menjaga keadekuatan jalan nafas selama dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan. Cara pemasangan LMA adalah dengan teknik klasik/standar (Brain’s original technique) dengan memasukan cuff LMA yang sudah dikempiskan terlebih dahulu dan diberikan jelly di bagian belakang cuff, dengan bantuan jari telunjuk dan jari tengah menyusuri palatum kemudian didorong sampai ujung cuff LMA di orofaring, setelah penempatan LMA benar, cuff diisi udara sesuai kebutuhan. Tindakan pemasangan LMA dikerjakan oleh residen tingkat madya keatas yang telah
memiliki kompetensi untuk melakukan pemasangan LMA. Pemasangan LMA dilakukan maksimal sebanyak 2 kali percobaan. 7. Kondisi pemasangan LMA dinilai dengan menggunakan kriteria Young’s untuk menilai relaksasi mandibula. Kriteria Young’s : 1. Relaksasi penuh, tanpa ada ketegangan otot 2. Relaksasi menengah dengan sedikit kekakuan otot 3. Relaksasi buruk dengan kekakuan otot penuh 8. Target controlled infusion (TCI) adalah teknik anestesi umum dengan menggunakan obat intravena yang diberikan secara kontinyu dengan target kadar tertentu di plasma dan effect site berdasarkan umur, berat badan serta tinggi badan pasien. Model yang dipergunakan adalah schnider, dengan induksi propofol target konsentrasi efek 4 µg/mL sampai nilai BIS 40-60 TCI yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah perfusor®space dari B.Braun. 9. Wanita hamil adalah wanita yang terbukti sedang hamil yang diketahui dari hasil pemeriksaan USG dan atau tes urine untuk kehamilan. 10. Penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah. Pada penelitian ini yang dimaksud adalah penyakit jantung dan hipertensi. 11. Umur adalah umur resmi pada saat akan dilakukan operasi, yang diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari wawancara atau dari dokumen resmi, misalnya KTP atau SIM (tahun).
45
12. Indek masa tubuh adalah ukuran persentase relatif antara masa otot dengan lemak yang didapat dari hasil perhitungan dari berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam satuan meter. IMT yang dipakai pada penelitian ini adalah 19-28 Kg/m2. 13. Berat badan diukur dengan timbangan dengan nama dagang health scale seri TZ 120, posisi berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan satuan kilogram (Kg). 14. Tinggi badan diukur dengan alat ukur tinggi badan dengan nama dagang health scale seri TZ 120, dalam posisi berdiri tegak tanpa alas kaki, dengan satuan meter (m). 15. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of Anesthesiologists, dikatakan status fisik ASA I jika pasien tanpa penyakit sistemik, status fisik ASA II jika pasien dengan penyakit sistemik ringan tanpa pembatasan fungsional.
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan adalah: 1. Kuesioner dan data dari status pasien 2. Monitor untuk mengukur tekanan darah, tekanan darah rerata dan laju nadi. 3. Form pencatatan hasil 4. Target controlled infusion machine (perfusor®space dari B.Braun) yang ada di RSUP Sanglah)
5. Alat bispectral index (BIS) beserta kelengkapannya. 6. LMA jenis classic sesuai ukuran pasien.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Persiapan penelitian Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan penelitian (ethical clearence) dari komisi etika penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan RSUP Sanglah Denpasar. 4.7.2 Pelaksanaan penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan dalam tahapan-tahapan yang ditentukan sebelumnya dengan harapan perlakuan lain yang tidak diteliti diberikan sama ke semua subyek. Pelaksanaan penelitian dapat digambarkan pada gambar 4.1
4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis statistik program komputer SPSS versi 17.0 untuk windows (SPSS Inc., Chicago, IL, USA). Nilai p < 0,05 dianggap bermakna, dengan langkah-langkah analisis seperti dibawah ini. Untuk hipotesis pertama karakteristik sampel dalam hal usia, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh dipresentasikan dalam rerata±simpang baku dan dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk. Data perbedaan tekanan arteri rerata dan nadi rerata diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk pada tingkat kemaknaan 0,05, dimana data dinyatakan normal bila p>0,05, dan dinyatakan tidak normal bila p<0,05. Kemudian dilakukan uji homogenitas
47
dengan menggunakan Levene test untuk mengetahui homogenitas data pada tingkat kemaknaan p>0,05. Distribusi data dikatakan memiliki varian yang sama bila p>0,05 dan dikatakan memiliki varian yang berbeda bila p<0,05. Selanjutnya bila data berdistribusi normal akan dilakukan uji variabel numerik 2 kelompok tidak berpasangan dengan menggunakan uji T 2 sampel tidak berpasangan. Bila data salah satu atau kedua kelompok berdistribusi tidak normal akan diuji dengan Mann-Whitney (uji nonparametrik). Untuk hipotesis kedua karakteristik sampel dalam hal usia, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh dipresentasikan dalam rerata±simpang baku dan dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk. Data dosis propofol yang digunakan diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk pada tingkat kemaknaan 0,05, dimana data dinyatakan normal bila p>0,05, dan dinyatakan tidak normal bila p<0,05. Kemudian dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Levene test untuk mengetahui homogenitas data pada tingkat kemaknaan p>0,05. Distribusi data dikatakan memiliki varian yang sama bila p>0,05 dan dikatakan memiliki varian yang berbeda bila p<0,05. Selanjutnya data ini diuji dengan uji variabel numerik 2 kelompok tidak berpasangan dengan menggunakan uji T 2 sampel tidak berpasangan bila distribusi data kedua kelompok normal. Bila data salah satu atau kedua kelompok berdistribusi tidak normal akan diuji dengan Mann-Whitney (uji nonparametrik). Untuk hipotesis ketiga karakteristik sampel dalam hal usia, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh dipresentasikan dalam rerata±simpang baku dan dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk. Data kondisi relaksasi pada saat
pemasangan LMA diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk pada tingkat kemaknaan 0,05, dimana data dinyatakan normal bila p>0,05, dan dinyatakan tidak normal bila p<0,05. Kemudian dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Levene test untuk mengetahui homogenitas data pada tingkat kemaknaan p>0,05. Distribusi data dikatakan memiliki varian yang sama bila p>0,05 dan dikatakan memiliki varian yang berbeda bila p<0,05. Selanjutnya bila data berdistribusi normal akan dilakukan uji variabel Kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan menggunakan uji chi-square. Bila data salah satu atau kedua kelompok berdistribusi tidak normal akan diuji dengan uji kolmogorovsmrnov (uji nonparametrik).
49
Populasi target Kriteria inklusi Populasi terjangkau Kriteria eksklusi Eligible subyek
Randomisasi
Midazolam 0,03 mg/Kg BB
Induksi dengan TCI propofol sampai BIS 40-60
Fentanyl 2 mcg/Kg BB
Dosis propofol untuk Induksi
1. Tekanan darah dan nadi rerata 2. Relaksasi pemasangan LMA
Induksi dengan TCI propofol sampai BIS 40-60
1. Tekanan darah dan nadi Rerata 2. Relaksasi pemasangan LMA
Analisa data
Gambar 4.1 Skema pelaksanaan penelitian
BAB V HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian perbandingan stabilitas hemodinamik fentanyl dan midazolam sebagai koinduksi bagi propofol untuk memfasilitasi pemasangan LMA pada 42 pasien dengan status fisik ASA I dan ASA II yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok midazolam (A) yang mendapatkan midazolam 0,03 mg/kgBB dan kelompok fentanyl (B) yang mendapatkan fentanyl 2 mcg/kgBB, yang diberikan 5 menit sebelum induksi propofol dimulai. Selanjutnya dilakukan induksi dengan TCI propofol target efek 4 mcg/ml sampai nilai BIS 40-60 dan kemudian dilakukan pemasangan LMA. Tabel 5.1 Data karakteristik subyek penelitian Variabel Usia (tahun) Jenis kelamin Laki-laki (%) Perempuan (%) IMT (kg/m2) Status fisik ASA I (%) ASA II (%)
Kelompok midazolam ( n = 21 ) 41 ± 12,57
Kelompok fentanyl ( n = 21) 40 ± 12,67
10 (47) 11 (53) 23 ± 2,33
10 (47) 11 (53) 23,4 ± 2,33
11 (53) 10 (47)
10 (47) 11 (53)
p 0,974
1,000 0,857
1,000
Hasil dipresentasikan dalam rerata (± = SB) atau rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal
50
51
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik penderita pada kedua kelompok uji berdistribusi normal atau homogen karena didapatkan nilai p > 0,05 pada semua variabel yaitu umur, jenis kelamin, IMT, dan status fisik ASA penderita.
Tabel 5.2 Data karakteristik hemodinamik subyek penelitian Variabel TD Sistolik Basal Post koinduksi Post induksi Setelah pemasangan LMA TD diastolik Basal Post koinduksi Post induksi Setelah pemasangan LMA TAR Basal Post koinduksi Post induksi Setelah pemasangan LMA Nadi Basal Post koinduksi Post induksi Setelah pemasangan LMA Selisih TAR post induksi dengan TAR basal Selisih nadi post induksi dengan nadi basal
Kelompok midazolam ( n = 21 )
Kelompok fentanyl ( n = 21 )
p
124,52 ± 11,10 121,24 ± 12,90 107,81 ± 9,48
126,38 ± 9,89 122,14 ± 11,17 107,95 ± 7,44
0,159 0,249 0,100
114,33 ± 9,59
114,10 ± 6,47
0,925
76,71 ± 6,45 74,52 ± 6,78 66,86 ± 6,47
78,76 ± 6,22 75,19 ± 6,47 67,33 ± 5,03
0,956 0,471 0,228
71,90 ± 5,73
71,42 ± 4,95
0,775
92,53 ± 7,19 90,01 ± 8,02 80,44 ± 6,65
94,05 ± 6,67 90,67 ± 5,07 80,69 ± 5,07
0,788 0,352 0,157
86,04 ± 6,33
85,65 ± 4,44
0,816
86,00 ± 17,39 81,95 ± 15,89 76,62 ± 13,95
90,57 ± 11,84 85,33 ± 12,92 78,86 ± 10,60
0,073 0,485 0,337
79,19 ± 13,44
81,57 ± 10,34
0,524
12,11 ± 1,488
13,36 ± 1,474
0,314
9,52 (6,86)
11,71 (7,10)
0,770
Hasil dipresentasikan dalam rerata (± = SB) atau rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal
Tabel 5.2 menunjukkan karakteristik hemodinamik penderita pada kedua kelompok uji berdistribusi normal atau homogen karena didapatkan nilai p>0,05.
Gambar 5.1 Grafik hemodinamik kelompok midazolam Keterangan : 1 = Basal; 2 = postkoinduksi; 3 = postinduksi; 4 = postpemasangan LMA
Gambar 5.2 Grafik hemodinamik kelompok fentanyl Keterangan : 1 = Basal; 2 = postkoinduksi; 3 = postinduksi; 4 = postpemasangan LMA
53
Tabel 5.3 Data karakteristik non hemodinamik subyek penelitian Variabel Lama induksi (menit) Total propofol (mg) Kejadian apneu Apneu (%) Tidak apneu (%) Nilai BIS Basal Post koinduksi Post Induksi Kondisi relaksasi Relaksasi penuh (%) Relaksasi menengah(%) Relaksasi buruk (%)
Kelompok midazolam ( n = 21 ) 3,71 ± 1,00 118,71 ± 13,24
Kelompok fentanyl ( n = 21 ) 4,10 ± 0,88 131,61 ± 12,86
7 (33) 14 (67)
11 (52) 10 (48)
0,134
97 ± 1 84 ± 3 46 ± 5
97 ± 1 91 ± 3 47 ± 4
0,807 0,960 0,504
14 (67) 7 (33) 0 (0)
15 (71) 6 (39) 0 (0)
0,519
P 0,636 0,608
Hasil dipresentasikan dalam rerata (± = SB) atau rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal
Tabel 5.3 menunjukkan karakteristik penderita pada kedua kelompok uji berdistribusi normal atau homogen karena didapatkan nilai p>0,05 pada semua variabel yaitu lama induksi, total jumlah propofol, nilai BIS, kejadian apneu, dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA.
Tabel 5.4 Perbandingan antara jenis obat koinduksi dengan stabilitas hemodinamik Kelompok midazolam ( n = 21 )
Kelompok fentanyl ( n = 21 )
Perbedaan rerata
13,08 ± 2,88
14,11 ± 2,96
-1,029
10,73 ± 6,27
12,65 ± 7,08
-1,922
Peningkatan TAR postLMA (%)
7,05 ± 1,84
6,24 ± 2,60
0,809
-0,5092,217
0,252
Peningkatan nadi postLMA (%)
3,57 ± 2,03
3,56 ± 1,74
0,101
-1,1711,194
0,984
Variabel Penurunan TAR (%) Penurunan nadi (%)
IK 95% -2,8530,794 -6,0982,253
p 0,216 0,358
Hasil dipresentasikan dalam rerata (± = SB) atau rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal; IK = interval kepercayaan; p = probabilitas
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian fentanyl sebagai koinduksi dibandingkan dengan midazolam dalam hal stabilitas hemodinamik, p>0,05. Tabel 5.5 Perbandingan antara jenis obat koinduksi dengan dosis propofol, nilai BIS post koinduksi dan lama waktu induksi Variabel Total propofol (mg) Nilai BIS postkoinduksi Lama induksi (menit)
Kelompok midazolam ( n = 21 ) 118,71 ± 13,24
Kelompok fentanyl ( n = 21 ) 131,61 ± 12,86
84 ± 3
91 ± 3
3,71 ± 1,00
4,10 ± 0,88
Perbedaan rerata -12,905 -7,048 -0,381
IK 95% -21,047(-4,762) -8,930- (5,165) -0,9730,212
p 0,003 0,001 0,201
Hasil dipresentasikan dalam rerata (± = SB) atau rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal; IK = interval kepercayaan; p = probabilitas
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa midazolam secara bermakna menurunkan total jumlah propofol yang dibutuhkan untuk koinduksi dibandingkan dengan
55
fentanyl, p<0,05. Data ini juga menunjukkan idazolam sebagai koinduksi menurunkan nilai BIS lebih banyak dibandingkan dengan fentanyl sebagai koinduksi p<0,05. Pada Tabel 5.5 juga tampak tidak ada perbedaan bermakna pada waktu yang dibutuhkan untuk induksi setelah pemberian masing-masing agen koinduksi p>0.05. Tabel 5.6 Perbandingan antara jenis obat koinduksi dengan kejadian apneu dan kondisi relaksasi pada pemasangan LMA Variabel Kejadian apneu Apneu (%) Tidak apneu (%) Kondisi relaksasi Relaksasi penuh (%) Relaksasi menengah(%) Relaksasi buruk (%)
Kelompok midazolam ( n = 21 )
Kelompok fentanyl ( n = 21 )
RO
IK 95%
p
0,3071,320
0,212
7 (33) 14 (67)
11 (52) 10 (48)
0,636
14 (67) 7 (33) 0 (0)
15 (71) 6 (39) 0 (0)
0,933
0,6221,400
0,739
Hasil dipresentasikan dalam rasio (%); p>0,05 dianggap data berdistribusi normal; IK = interval kepercayaan; p = probabilitas
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian fentanyl sebagai koinduksi dibandingkan dengan midazolam dalam hal kejadian apneu saat induksi dan kondisi relaksasi yang dihasilkan, p>0,05. Pada uji chi-square untuk menilai hubungan antara kejadian apneu dengan kondisi relaksasi didapatkan nilai 0,001 (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian apneu secara bermakna memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik pada pemasangan LMA dibandingkan dengan kondisi tidak apneu.
BAB VI PEMBAHASAN
Penggunaan kombinasi obat untuk tujuan induksi anestesi telah menjadi objek penelitian selama bertahun-tahun. Penurunan kejadian hipotensi pada saat induksi anestesia dan perbaikan kondisi relaksasi saat pemasangan instrument jalan napas menjadi target utama pada penelitian tersebut. Penggunaan agen koinduksi yang memiliki efek sedasi diyakini dapat memberikan jawaban untuk semua pertanyaan itu. Saat ini midazolam menjadi salah satu agen koinduksi yang rutin digunakan pada induksi dengan agen propofol. Penelitian ini membandingkan stabilitas hemodinamik pada pemberian fentanyl dan midazolam sebagai koinduksi bagi propofol untuk memfasilitasi pemasangan LMA pada 42 pasien dengan status fisik ASA I dan ASA II. Data karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin, IMT dan status fisik ASA penderita serta karakteristik data penderita dalam hal hemodinamik, lama induksi, total jumlah propofol, nilai BIS, kejadian apneu, dan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA telah disajikan pada Tabel 5.1, 5.2 dan Tabel 5.3, dan dapat kita lihat bahwa tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok perlakuan, dengan demikian data pada kedua kelompok uji dapat dikatakan berdistribusi normal atau homogen.
56
57
6.1 Perbandingan Stabilitas Hemodinamik Fentanyl dan Midazolam Pada perbandingan stabilitas hemodinamik dari kedua agen koinduksi didapatkan bahwa hemodinamik pasien pada pemberian koinduksi fentanyl tidak berbeda bermakna jika dibandingkan dengan koinduksi dengan midazolam. Pada koinduksi dengan midazolam didapatkan penurunan TAR sebesar 13,02% dibandingkan dengan TAR basal. Hasil ini serupa dengan hasil yang didapatkan pada penelitian Kataria, dkk 2010 dan Djaiani, dkk 1999. Hasil ini pada penelitian sebelumnya menunjukkan nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan penurunan TAR pada penggunaan propofol saja sebagai agen induksi tanpa agen koinduksi yaitu antara 20 - 25%. Pada koinduksi dengan fentanyl didapatkan penurunan TAR 14,20% dan secara statistik tidak berbeda bermakna dengan hasil yang didapatkan pada pemberian midazolam. Penurunan TAR setelah induksi dengan propofol secara teori terjadi karena penurunan tonus otot polos pada pembuluh darah dan penurunan tahanan pembuluh darah sistemik serta penekanan dari aktivitas saraf simpatis sehingga terjadi penurunan yang signifikan pada TAR setelah induksi dengan propofol. Penurunan TAR ini pada penggunaan propofol saja tanpa agen koinduksi dapat mencapai antara 20-25% yang mana penurunan TAR diatas 20% pada saat induksi dikatakan sebagai kondisi hemodinamik yang tidak stabil. Pemberian agen koinduksi diharapkan dapat menurunkan dosis propofol yang diperlukan untuk induksi serta memberikan kondisi hemodinamik yang lebih stabil dengan nilai penurunan TAR kurang dari 20% dibandingkan dengan TAR basal. Pada koinduksi dengan midazolam didapatkan penurunan TAR sebesar 13,02% yang
menunjukkan kondisi hemodinamik dianggap lebih stabil dibandingkan dengan penggunaan propofol tunggal tanpa agen koinduksi. Pada penggunaan fentanyl sebagai koinduksi didapatkan hasil yang hampir sama yaitu sebesar 14,20%. Pada pemantauan selisih nadi setelah induksi dengan nadi basal didapatkan penurunan nadi yang lebih besar pada kelompok fentanyl yaitu 12,65 ± 7,08 % sedangkan pada kelompok midazolam 10,73 ± 6,27 %. Perbedaan klinis yang terjadi ini dianggap tidak bermakna secara statistik dengan p = 0,358 (p>0,05). Nilai diatas menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan penurunan nadi yang dihasilkan oleh penggunaan fentanyl sebagai koinduksi jika dibandingkan dengan midazolam pada induksi dengan propofol. Nilai yang sama juga ditemukan pada penelitian Kataria, dkk 2010, Djaiani, dkk 1999, dan Dimple, dkk 2010. Penurunan nadi yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh efek sinergis dari supresi sistem saraf simpatis oleh kedua jenis agen koinduksi dengan agen induksi propofol. Pada penilaian stabilitas hemodinamik secara umum, kestabilan hemodinamik yang dihasilkan oleh koinduksi dengan fentanyl kemungkinan disebabkan karena efek fentanyl yang pada dosis rendah (dibawah 2 mcg/kgbb) hanya sedikit berdampak kepada fungsi kardiovaskular. (Stoeltings dkk 2006) Ini tampak pada nilai TAR 5 menit post koinduksi dengan fentanyl yang hanya turun rata-rata 3,38%. Selain efek diatas, pemberian fentanyl juga menurunkan dosis induksi propofol sehingga menurunkan efek penekanan kardiovaskular yang ditimbulkan oleh propofol. Hasil berbeda dalam kondisi hemodinamik yang ditemukan pada penelitian ranju, dkk 2011 dan joshi, dkk 2011 kemungkinan disebabkan karena
59
pada pemasangan LMA komponen analgetik tidak terlalu dominan diperlukan jika dibandingkan dengan komponen sedasi. Pernyataan ini diperkuat oleh persentase peningkatan TAR setelah pemasangan LMA yang naik kurang dari 20%, yaitu 7,05 ± 1,84% pada kelompok midazolam dan 6,24 ± 2,60% pada kelompok fentanyl dan persentase peningkatan nadi setelah pemasangan LMA didapatkan 3,57 ± 2,03% pada kelompok midazolam dan 3,56 ± 1,74 pada kelompok fentanyl. Hasil ini menunjukkan bahwa pada pemasangan LMA lebih dibutuhkan komponen sedasi dibandingkan komponen analgetik. Kondisi hemodinamik yang stabil pada penggunaan fentanyl kemungkinan akan tampak setelah dilakukan perbandingan pada koinduksi untuk memfasilitasi tindakan laringoskopi intubasi, karena pada tindakan tersebut membutuhkan analgesia yang lebih dominan dengan sedasi yang cukup. Data hemodinamik yang didapat ini membantah hipotesis yang peneliti buat dimana penulis mengharapkan bahwa fentanyl akan memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam sebagai koinduksi. Namun perbedaan yang tidak bermakna ini menunjukkan bahwa fentanyl memberikan stabilitas hemodinamik yang sama secara statistik dengan midazolam sehingga fentanyl dapat digunakan sebagai agen koinduksi yang stabilitas hemodinamiknya setara midazolam pada induksi propofol.
6.2 Perbandingan Dosis Induksi Propofol Jika dilihat dari jumlah propofol yang digunakan untuk induksi setelah pemberian masing-masing agen koinduksi didapatkan nilai yang berbeda
bermakna. Pada penggunaan midazolam sebagai koinduksi diperlukan rata-rata propofol sebesar 118,71 ± 13,24 sedangkan pada fentanyl didapatkan hasil 131,61 ± 12,86 dengan nilai p = 0,003 (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fentanyl tidak lebih baik dalam menurunkan dosis propofol yang diperlukan untuk induksi jika dibandingkan dengan midazolam. Pada penelitian Djaiani, dkk 1999, dan Dimple, dkk 2010 didapatkan jumlah propofol yang diperlukan untuk induksi setelah pemberian midazolam sebagai agen koinduksi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan agen koinduksi sama sekali. Pada penelitian-penelitian tersebut didapatkan jumlah rata-rata propofol yang diperlukan untuk induksi tanpa agen koinduksi adalah 170 mg. Pengurangan dosis lebih dari 20% dari 160 mg atau kurang dari 135 mg dikatakan bermakna menurunkan dosis induksi propofol. Pada penelitian ini kedua agen koinduksi yaitu midazolam dan propofol sama-sama menurunkan dosis induksi propofol dibawah 135 mg yaitu 118,71 ± 13,24 dan 131,61 ± 12,86. Penurunan dosis propofol yang ditimbulkan oleh midazolam secara statistik lebih banyak jika dibandingkan dengan fentanyl p = 0,003 (p<0,05). Nilai ini berlawanan dengan hipotesa awal peneliti yang berasumsi bahwa fentanyl sebagai koinduksi akan menurunkan dosis propofol induksi lebih banyak dibandingkan dengan midazolam. Penurunan dosis induksi propofol oleh koinduksi dengan midazolam ini kemungkinan berkaitan dengan efek sedasi yang ditimbulkannya lebih kuat jika dibandingkan dengan fentanyl pada dosis coba. Hal ini selaras dengan nilai BIS yang dihasilkan setelah pemberian masing-masing agen koinduksi. Nilai BIS
61
setelah pemberian koinduksi midazolam lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah pemberian fentanyl. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pemberian agen sedasi sebelum induksi (koinduksi) dapat menurunkan dosis induksi propofol. Data ini diperkuat oleh hasil BIS post koinduksi dengan midazolam 0,03 mg/kgbb yang turun hingga ke nilai 84 ± 3 jika dibandingkan dengan pada koinduksi dengan fentanyl 2 mcg/kgbb 91 ± 3, yang mana kedua nilai ini berbeda bermakna p = 0,001 (p<0,05). Hasil ini sesuai dengan teori bahwa efek sedasi dari midazolam lebih baik jika dibandingkan dengan efek sedasi dari fentanyl. (Stoelting, dkk 2006, Morgan, dkk 2006 dan Miller, dkk 2010). Hasil yang sama ditemukan juga pada penelitian Katarina, dkk 2010 yang mendapatkan nilai BIS post pemberian midazolam sebagai koinduksi sebesar 82,40. Pada pemberian saline sebagai kontrol didapatkan nilai BIS 94,42 nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan setelah pemberian fentanyl 2 mcg/kgbb pada penelitian ini. Pada penilaian lama waktu induksi setelah pemberian koinduksi, didapatkan hasil 3,71 ± 1,00 menit pada penggunaan midazolam dan 4,10 ± 0,88 menit pada penggunaan fentanyl. Nilai ini tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p = 0,201 (p>0,05) atau dengan kata lain tidak ada perbedaaan hasil yang bermakna pada waktu induksi propofol setelah pemberian midazolam sebagai koinduksi dibandingkan dengan setelah pemberian fentanyl sebagai koinduksi. Hasil ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu sekitar 3,71 ± 1,00 menit untuk melakukan induksi dengan propofol setelah pemberian koinduksi midazolam sampai tercapai nilai BIS 40-60 sedangkan jika menggunakan fentanyl sebagai koinduksi
diperlukan waktu 4,10 ± 0,88 menit. Perbedaan waktu ini tidak berbeda secara bermakna secara statistik namun perbedaan klinis yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh efek sedasi midazolam yang lebih kuat sehingga induksi dengan propofol membutuhkan waktu yang lebih pendek ntuk mencapai nilai BIS 40-60. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa midazolam sebagai koinduksi menurunkan dosis induksi propofol lebih baik jika dibandingkan dengan fentanyl.
6.3 Perbandingan Kondisi Relaksasi Saat Pemasangan LMA Pada perbandingan kondisi relaksasi saat pemasangan LMA setelah pemberian fentanyl sebagai koinduksi dan midazolam didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,739 (p>0,05). Sehingga disimpulkan bahwa fentanyl tidak memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam sebagai koinduksi propofol untuk pemasangan LMA. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian ranju, dkk 2011 dimana kombinasi fentanyl 2 mcg/kgbb dengan propofol memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jika dilihat dari angka kejadian apneu saat induksi dengan propofol setelah pemberian koinduksi dengan fentanyl didapatkan angka yang lebih banyak jika dibandingkan dengan midazolam yaitu 11 (52%) berbanding 7 (33%) namun nilai ini tidak berbeda bermakna secara statistik. Data jumlah kejadian apneu yang secara klinis lebih banyak pada koinduksi dengan fentanyl ini sesuai dengan hasil penelitian Joshi, dkk 2014 yang mana fentanyl preinduksi meningkatkan frekuensi apneu saat induksi dengan propofol hingga 94% jika dibandingkan dengan
63
kontrol. Hasil ini kemungkinan disebabkan oleh efek depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh penggunaan fentanyl yang berefek sinergis dengan efek depresi napas oleh propofol. Hasil berbeda ditemukan pada penelitian Goh, dkk 2005 dimana persentase apneu pada pemberian fentanyl lebih kecil yaitu 23,1% yang kemungkinan perbedaan nilai persentase apneu yang terjadi karena dosis fentanyl yang digunakan sebagai koinduksi hanya 1 mcg/kgbb sementara pada penelitian ini menggunakan dosis 2 mcg/kgbb. Pada uji chi-square untuk menilai hubungan antara kejadian apneu dengan kondisi relaksasi didapatkan nilai 0,001 (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian apneu secara bermakna memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik pada pemasangan LMA dibandingkan dengan kondisi tidak apneu. Hasil ini berlawanan dengan hipotesa awal peneliti yang berasumsi bahwa fentanyl sebagai koinduksi dapat memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 1. Fentanyl tidak memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam sebagai koinduksi untuk propofol pada pemasangan LMA. 2. Fentanyl sebagai koinduksi tidak lebih baik dalam menurunkan dosis propofol yang diperlukan untuk induksi jika dibandingkan dengan midazolam. 3. Fentanyl tidak memberikan kondisi relaksasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan midazolam sebagai koinduksi propofol untuk pemasangan LMA
7.2 Saran Fentanyl dapat digunakan sebagai alternatif agen koinduksi propofol pada pemasangan LMA karena menghasilkan stabilitas hemodinamik dan kondisi relaksasi yang sama baiknya dengan midazolam. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada penggunaan opioid jenis lain seperti alfentanyl, ramifentanyl dan sufentanyl sebagai koinduksi dibandingkan dengan midazolam pada pemasangan LMA.
64
65
Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan kedua agen koinduksi dalam hal kondisi pemulihan pascaanestesi dan dalam memfasilitasi tindakan laringoskopi intubasi.
DAFTAR PUSTAKA
Absalom, A.R., Sutcliffe, N., Kenny, G.N., 2002. Closed-loop control of anesthesia using Bispectral index: performance assessment in patients undergoing major orthopedic surgery under combined general and regional anesthesia. Anesthesiology.96,67-73. Andrade, J., Englert, L., Harper, C., Edwards, N.D., 2001. Comparing the effects of stimulation and propofol infusion rate on implicit and explicit memory formation.Br J Anaesth, 86,189-95. Andreas, L., Joachim, B., dkk., 2002.Bispectral Index in Patients with Target-Controlled or Manually-Controlled Infusion of Propofol, Anesthesia Analgesia.95,639-44. Armein, R., Hetzel, W., Allen, S.R. 1995. Co-induction of anaesthesia, the rationale. Eur J Anesthesiol. 12(12).5-11. Ashraf, A.D., 2005. Different Condition that could Result in the Bispectral Index Indicating an Incorrect Hypnotic State, Anesthesia Analgesia.101,765-73. Bansal, S., Ramesh, V.J., Umamaheswara Rao, G.S., 2012. Fentanyl coadministration decreases the induction dose requirement of propofol in patients with supratentorial tumors and not in patients with spinal lesions. J Neurosurg Anesthesiol, 24(4), 345-354. Bower, A.L., Ripepi, A., Dilger, J., Boparai, N., Brody, F.J., Ponsky, J.L., 2000.Bispectral index monitoring of sedation during endoscopy.Gastrointest Endosc. 52.192-6. Covey-Crump, G.L., Murison, P.J., 2008.Fentanyl or midazolam for coinduction of anaesthesia with propofol in dogs. Vet Anaesth Analg., 35(6), 463472. Cressey, D.M., Claydon, P., Bhaskaran, N.C., Reilly, C.S., 2001.Effect of midazolam pre-treatment on induction dose requirement of propofol in combination with fentanyl in younger and older adults. Anesthesia 56.108-121. Dimple, W., Anjali, M., Arun, K.G., Visha, G., Poonam, D., Jyoti, K., Ashok, C., 2010. A Prospective, Randomized, Controlled Trial Study of Comparison of Two Techniques for Laryngeal Mask Airway Insertion. Anaesth Pain & Intens Care, 14(2).93-98.
67
Djaiani, G., Ribes-Pastor, M.P., 1999.Propofol auto-co-induction as an alternative to midazolam co-induction for ambulatory surgery. Anesthesia, 54, 63-71. Gan, T.J., Glass, P.S.A., Howell, S.T., dkk., 1997.Determination of plasma concentrations of propofol associated with 50% reduction of postoperative nausea. Anesthesiology, 87, 779–784. Ghatak, T., Singh, D., Kapoor, R., Bogra, J., 2012.Effects of addition of ketamine, fentanyl and saline with Propofol induction on hemodynamics and laryngeal mask airway insertion conditions in oral clonidine premedicated children. Saudi J Anaesth, 6(2), 140-144. Glass, P.S., Bloom, M., Kearse, L., Rosow, C., Sebel, P., Manberg, P., 1997.Bispectral analysis measures sedation and memory effects of propofol, midazolam, isoflurane, and alfentanil in healthy volunteers. Anesthesiology.86,836-47. Goh, P.K., Chiu, C.L., Wang, C.Y., Chan, Y.K., Loo, P.L., 2005 Randomized double-bind comparison of ketamine-propofol, fentanyl-propofol and propofol-saline on haemodynamics and laryngeal mask airway insertion conditions. Anesthesia Intensive Care. 33(2):223-8. Hasani, A., Jashari, H., Valbon, G., Albion, D., 2012. Propofoland postoperative pain: systemic review and meta-analysis. Available from: http://www.intechopen.com/book/pain-management-current-issues-andopinions/propofol-and-postoperative-pain-review-and-meta-analysis. Johansen, J.W., Sebel, P.S., 2000. Development and Clinical Application of Electroencephalographic Bispectrum Monitoring. Anesthesiology, 93, 13361344. Joshi, G.P., Kamali, A., Meng, J., Rosero, E., Gasanova, I., 2014. Effect of fentanyl administration before induction of anesthesia and placement of the Laryngeal Mask Airway: a randomized, placebo-controlled trial. Journal Clinical Anesthesia. 26(2):136-42. Leigh, A.M., 2010, Propofol-Related Infusion Syndrome, Practical Gastroenterology, 81, 16-24. Leslie, K., Ornella, C., dkk., 2008.Target controlled Infusion Versus Manually Controlled Infusion of Propofol for General Anesthesia or Sedation in Adult, Cochrane database of systemic reviews.
Kataria, R., Singhal, A., Prakash, S., Singh, I., 2010.A comparative study of efficacy of propofol auto-co-induction versus midazolam propofol co-induction using the priming principle. Indian J Anaesth, 54(6), 558-561. Katoh, T., Bito, H., Sato, S., 2000. Influence of age on hypnotic requirement, bispectral index, and 95% spectral edge frequency associated with sedation induced by sevoflurane. Anesthesiology.92,55-61. Kevin, G., Eugene, M., dkk., 2003.Comparison of the effects of propofol versus thiopental induction on postoperative outcomes following surgical procedures longer than 2 hours. AANA Journal, 71(3), 215-222. Krisnayana, A.A., 2012.Perbandingan Tekanan Arteri Rerata dan Waktu Pulih Sadar Pada Anestesi Intravena Total Propofol Targeted Controlled Infusion (TCI) dengan Manually Controlled Infusion (MCI) Di RSUP Sanglah Tahun 2012. Denpasar : Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Sanglah. Miller, R.D., Eriksson L.I., Fleisher, L.A., Wiener-Kronish, J.P., Young, W.L., dkk (Ed.)., 2010. Anesthesia. (7thed.). USA: Churchill Livingstone Elsevier. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Anesthesiology. (4thed.). USA : Mcgraw-Hill Companies, inc.
2006.
Clinical
Naidoo, D., 2011.Target Controlled Infusions, University of KwazuluNatal. Reich, D.L., Hossain, S., Krol, M., dkk., 2005.Predictors of Hypotension After Induction of General Anesthesia. Anesthesia Analgesia, 101:622-628. Renna, M., Venturi, R., 2000.Bispectral index and anaesthesia in the elderly.Minerva Anestesiol. 66,398-402. Safaee, M.H., Sepidkarand, A., Eftekharian, R.H., 2007. Hemodynamic Variation Following Induction And Tracheal. M.E.J. Anesth, 19(3), 603-610. Scott, D.K., 2004. Monitoring Level of Consciousness during Anesthesia and Sedation.A Clinician’s Guide to the Bispectral Index.USA : ASPECT medical system. Seong, H.K., Kim, D.C., Han, Y.J., Song, H.S., 1998.Small-Dose Fentanyl : Optimal Time of Injection for Blunting The Circulatory Responses to Tracheal Intubation. Anesthesia Analgesia, 86, 658-661. Sigl, J.C., Chamoun, N.G., 1994. An introduction to bispectral analysis for the electroencephalogram.J Clin Monit.10, 92-404.
69
Sizlan, A., Goktaş, U., Ozhan, C., Ozgur, M., Ozhan, Emin, M., Orhan, Kurt, E., 2010.Comparison of Remifentanil, Alfentanil, and FentanilCoAdministered with Propofol to Facilitate Laryngeal MaskInsertion. Turk J Med Sci, 40 (1).63-70. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006. Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. (2nded.). Philadelphia-USA, Lippincott Williams & Wilkins. Struys, M.M., De Smet, T., Versichelen, L.F., Van De Velde, S., Van den Broecke, R., 2001. Mortier EP. Comparison of closed-loop controlled administration of propofol using Bispectral Index as the controlled variable versus “standard practice” controlled administration. Anesthesiology.95, 6-17. Subagio, W.P., 2013. Propofol Dengan Midazolam Dalam Menurunkan Kejadian Mual Dan Muntah Pada Wanita Yang Menjalankan Operasi Abdomen Bawah Dengan Anestesia Spinal. Denpasar : Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Sanglah. Sugiarto, A., 2012.Panduan praktis total intravenous anesthesia dan target controlled infusion, 27-42 Trevor, A.j., Katzung, B.G., Masters, S.B., 2010. Pharmacology Examination and Board Review, (9th ed.). USA: McGraw-Hill. Tanmoy, G., Dinesh, S., Rajni, K., Jaishree, B., 2012.Effects of addition of ketamine, fentanyl and salinewith Propofol induction on hemodynamics andlaryngeal mask airway insertion conditions in oralclonidine premedicated children, Saudi Journal of Anesthesia, 6(2), p140-144. Olaf, L.C., 2009, The Propofol Infusion Syndrome: more Puzzling Evidence on a Complex and Poorly Characterized Disorder, Critical Care,13, 1012. Wu, C.T., Hwan, C., Sung, C., 2009.TIVA Medication,TCI manual, p.812. Wyoswski, D.K., Pollock, M.L., 2006.Report of Death with Use of Propofol (Diprivan) for Nonprocedura l(Long-Term) Sedation and Literature Review, Anesthesiology, 105, 1047-1051. Yususke, K., Raghavendra, G., dkk., 2009.The Correlation Between Bispectral Index and Observational Sedation Scale in Volunteers Sedated With Dexmedetomidine and Propofol, Anesthesia Analgesia, 109, 811-5. Zhu, H., dkk., 1997.The Effect of Thiopental and Propofol on NMDA and AMPA Mediated Glutamat Exitotoxicity, Anesthesiology, 87, 944-951.
Lampiran 1 JADWAL PENELITIAN
No 1.
Kegiatan Pembuatan Proposal
2.
Seminar Proposal
3.
Koreksi/Ijin Penelitian
4.
Pelaksanaan Penelitian
5.
Pengolahan data
6.
Seminar hasil
7.
Penyempurna an hasil
8.
Ujian Tesis
9.
Penyempurna an Tesis
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
2014
2014
2014
2015
2015
2015
71
Lampiran 2 LEMBAR PENELITIAN STABILITAS HEMODINAMIK PADA PEMBERIAN FENTANYL SEBAGAI KOINDUKSI PROPOFOL DIBANDINGKAN DENGAN MIDAZOLAM PADA PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY
Tanggal
:………………………………………
Nama pasien (Inisial)
:………………………………………
Berat badan
:………………………………………
Tinggi badan
:………………………………………
IMT
:………………………………………
No. RM
:………………………………………
Usia
:………………………………………
Kode sampel : Perlakuan/prosedur kerja : 1. Setiap pasien ASA I dan ASA II yang akan menjalani prosedur operasi dengan dilakukan pemasangan LMA di RSUP Sanglah Denpasar akan diberi penjelasan mengenai penelitian ini dan dimohon kesediaannya untuk berpartisipasi. 2. Setelah dijelaskan, bila pasien setuju maka surat persetujuan tindakan dan surat persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ditandatangani. 3. Sampai di ruang persiapan operasi diberikan cairan ringer laktat dengan kecepatan sesuai kebutuhan cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien. 4. Pasien dibawa ke ruang operasi, kemudian dipindahkan ke meja operasi. 5. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry, BIS, dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi dan nilai BIS basal. Obat-obatan
yang disiapkan termasuk disposable spuit, three-way catheter, extention tube, dan gas anestesi dan obat-obatan emergency 6. Pada kelompok A, dilakukan koinduksi dengan Midazolam 0,03 mg/kg BB yang diencerkan dengan normal saline sampai volume 5 ml, setelah 5 menit dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi basal. Kemudian dilakukan induksi anestesi intravena total propofol menggunakan TCI dengan target konsentrasi efek 4 mcg/mL. Setelah nilai BIS menunjukkan angka 40-60 kemudian dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi dan total propofol yang digunakan yang tercatat pada mesin TCI oleh pemeriksa yang berbeda dan kemudian dilakukan pemasangan LMA secara lege artis oleh residen anestesi dengan level madya keatas. Saat pemasangan LMA dilakukan penilaian
kondisi
pemasangan
LMA
dengan
kriteria
Young’s.
Pemeliharaan anestesi dengan N2O : oksigen dan gas anestesi. Setelah pemasangan LMA dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi. Kedalaman anestesi selama pembedahan dipertahankan pada nilai BIS 40-60 Pada kelompok B, dilakukan koinduksi dengan Fentanyl 2 mcg/kg BB yang diencerkan dengan normal saline sampai volume 5 ml, setelah 5 menit dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi basal. Kemudian dilakukan induksi anestesi intravena total propofol menggunakan TCI dengan target
73
konsentrasi efek 4 mcg/mL. Setelah nilai BIS menunjukkan angka 40-60 kemudian dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi dan total propofol yang digunakan yang tercatat pada mesin TCI oleh pemeriksa yang berbeda dan kemudian dilakukan pemasangan LMA secara lege artis oleh residen anestesi dengan level madya keatas. Saat pemasangan LMA dilakukan penilaian
kondisi
pemasangan
LMA
dengan
kriteria
Young’s.
Pemeliharaan anestesi dengan N2O : oksigen dan gas anestesi. Setelah pemasangan LMA dilakukan pencatatan hasil di monitor untuk tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju nadi. Kedalaman anestesi selama pembedahan dipertahankan pada nilai BIS 40-60. 7. Setelah operasi selesai pasien di ekstubasi di dalam ruang operasi 8. Segera setelah ekstubasi pasien dipindahkan ke ruang pulih. 9. Bila terjadi komplikasi : •
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 20% dari basal atau TAR kurang dari 65 mmHg) , diberikan ephedrine 5 mg, diulang setiap 5 menit sampai tekanan darah sistolik kembali normal.
•
Laringospasme adalah spasme pada laring yang menyebabkan ventilasi tidak bisa dilakukan. Jika terjadi laringospasme maka dilakukan pemberian pelumpuh otot golongan nondepolarisasi dan dilakukan pemasangan pipa endotrakeal.
•
Mual dan atau muntah diberikan ondancetron 4 mg intravena.
•
Apneu henti napas lebih dari 30 detik diberikan ventilasi tekanan positif sampai dilakukan pemasangan LMA
•
Pemasangan LMA dilakukan maksimal 2 kali percobaan, bila gagal dilakukan pemasangan pipa endotrakeal dengan terlebih dahulu diberikan pelumpuh otot.
75
No. Sample : A / B
Lampiran 3
PENCATATAN HASIL EVALUASI 1. Diagnosa
: _______________________________________________
2. Jenis pembedahan
: _______________________________________________
3. Status fisik ASA
: I / II * (lingkari yang dipilih)
4. Total jumlah propofol : ……... mg 5. Apneu / tidak apneu * (lingkari yang dipilih) 6. Keadaan hemodinamik pasien durante operasi dicatat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Tekanan Darah, Laju Nadi, dan nilai BIS WAKTU SISTOLIK DIASTOLIK TAR (pukul) (mmHg) (mmHg) (mmHg) Basal 5 menit Setelah koinduksi Post induksi Setelah pemasangan LMA 7. Kondisi pemasangan LMA * (lingkari yang dipilih)
Kriteria Young’s : 1. Relaksasi penuh, tanpa ada ketegangan otot 2. Relaksasi menengah dengan sedikit kekakuan otot 3. Relaksasi buruk dengan kekakuan otot penuh
Laju nadi (x/mnt)
NILAI BIS
Lampiran 4
77
Lampiran 5
79 Lampiran 6
Lampiran 7
81
Lampiran 9 Penjabaran Hasil Analisa Data KODE.SAMPEL * ASA Crosstabulation Count ASA 1 KODE.SAMPEL
2
Total
MIDAZOLAM
11
10
21
FENTANYL
10
11
21
21
21
42
Total
Statistics KODE.SAMPEL MIDAZOLAM
IMT N
Valid
21
21
0
0
Mean
22.5800
38.33
Std. Deviation
2.33605
12.371
21
21
0
0
Mean
23.3967
38.00
Std. Deviation
2.33166
12.677
Missing
FENTANYL
UMUR
N
Valid Missing
KODE.SAMPEL * JENIS.KELAMIN Crosstabulation Count JENIS.KELAMIN LAKI-LAKI KODE.SAMPEL
Total
PEREMPUAN
Total
MIDAZOLAM
10
11
21
FENTANYL
10
11
21
20
22
42
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F JENIS.KELAMIN Equal
.000
Sig.
t
df
1.000 .000
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
Lower
Upper
40 1.000
.000
.158
-.319
.319
.000 40.000 1.000
.000
.158
-.319
.319
variances assumed Equal variances not assumed IMT
Equal
.033
variances
.857
-
40
.264
-.81667
.72024 -2.27233 .63900
- 40.000
.264
-.81667
.72024 -2.27233 .63900
40
.932
.333
3.865
-7.479
8.145
.086 39.976
.932
.333
3.865
-7.479
8.145
.765
-.048
.158
-.367
.272
1.134
assumed Equal variances
1.134
not assumed UMUR
Equal
.001
.974 .086
variances assumed Equal variances not assumed ASA
Equal variances assumed
.000
1.000 -.302
40
83
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F JENIS.KELAMIN Equal
.000
Sig.
t
df
1.000 .000
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
Lower
Upper
40 1.000
.000
.158
-.319
.319
.000 40.000 1.000
.000
.158
-.319
.319
variances assumed Equal variances not assumed IMT
Equal
.033
variances
.857
-
40
.264
-.81667
.72024 -2.27233 .63900
- 40.000
.264
-.81667
.72024 -2.27233 .63900
40
.932
.333
3.865
-7.479
8.145
.086 39.976
.932
.333
3.865
-7.479
8.145
40
.765
-.048
.158
-.367
.272
-.302 40.000
.765
-.048
.158
-.367
.272
1.134
assumed Equal variances
1.134
not assumed UMUR
Equal
.001
.974 .086
variances assumed Equal variances not assumed ASA
Equal
.000
1.000 -.302
variances assumed Equal variances not assumed
Statistics KODE.SAMPE L
TOTAL.PR LAMA.IN APN SELISIH.TAR.BAS SELISIH BIS.POST.KO RELAK OPOFOL
MIDAZ N Vali OLAM
DUKSI
EU
AL.TO.LMA
.NADI
INDUKSI
SASI
21
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
0
d Miss ing Mean
118.71
3.71 1.67
12.119
9.52
84.43
1.33
Std.
13.244
1.007 .483
2.9352
6.867
3.108
.483
Deviat ion FENTA N Vali NYL
21
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
0
d Miss ing Mean
131.62
4.10 1.48
13.362
11.71
91.48
1.29
Std.
12.863
.889 .512
3.3229
7.100
2.926
.463
Deviat ion
Statistics PERSEN.TAR.N KODE.SAMPEL MIDAZOLAM
PERSEN.NADI N
Valid
21
21
0
0
Mean
10.7324
13.0832
Std. Deviation
6.27792
2.88133
21
21
0
0
Missing
FENTANYL
EW
N
Valid Missing
85
Mean
12.6549
14.1125
Std. Deviation
7.08934
2.96686
Statistics SISTOLI SISTOLI SISTOLI DIASTOLI DIASTOLI DIASTOLI TAR. TAR. TAR. KODE.SAMPEL MIDAZOL N Valid AM
K.1
K.2
K.3
K.1
K.2
K.3
1
2
3
21
21
21
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
0
0
0
124.52
121.24
107.81
76.71
74.52
Missi ng Mean
66.86 92.5 90.0 80.4 38
Std.
11.102
12.907
9.480
6.451
6.787
10
43
6.475 7.19 8.02 6.65
Deviati
67
23
36
on FENTAN N Valid YL
21
21
21
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
0
0
0
126.38
122.14
107.95
78.76
75.19
Missi ng Mean
67.33 94.0 90.6 80.6 52
Std.
9.897
11.177
7.446
6.228
6.470
76
90
5.033 6.67 7.34 5.07
Deviati
36
89
26
on
Statistics KODE.SAMPEL MIDAZOLAM N
NADI.1 Valid Missing
Mean Std. Deviation FENTANYL
N
Valid Missing
Mean
NADI.2
NADI.3
BIS.1
BIS.2
BIS.3
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
86.00
81.95
76.62
97.24
84.43
46.86
17.393
15.895
13.955
.625
3.108
5.304
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
90.57
85.33
78.86
97.05
91.48
46.95
Statistics KODE.SAMPEL MIDAZOLAM N
NADI.1 Valid
Std. Deviation FENTANYL
N
BIS.2
BIS.3
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
86.00
81.95
76.62
97.24
84.43
46.86
17.393
15.895
13.955
.625
3.108
5.304
21
21
21
21
21
21
0
0
0
0
0
0
90.57
85.33
78.86
97.05
91.48
46.95
11.847
12.928
10.608
.805
2.926
4.477
Missing
Std. Deviation
BIS.1
21
Valid
Mean
NADI.3
21
Missing Mean
NADI.2
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F TOTAL.PROPOFOL
Equal
Sig.
.267 .608
variances
t
df -
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower Upper 40
.003
-12.905
4.029
3.203
-
-
21.047 4.762
assumed Equal
- 39.966
variances
.003
-12.905
4.029
3.203
-
-
21.048 4.762
not assumed LAMA.INDUKSI
Equal variances assumed
.228 .636
1.299
40
.201
-.381
.293
-.973
.212
87
Equal
- 39.394
variances
.201
-.381
.293
-.974
.212
40
.222
.190
.154
-.120
.501
1.240 39.867
.222
.190
.154
-.120
.501
.206
-1.2429
.9675
1.299
not assumed APNEU
Equal
2.345 .134 1.240
variances assumed Equal variances not assumed SELISIH.TAR.BASAL.TO.LMA Equal
1.040 .314
variances
-
40
1.285
- .7125 3.1982
assumed Equal
- 39.400
variances
.206
-1.2429
.9675
1.285
- .7135 3.1992
not assumed SELISIH.NADI
Equal
.087 .770
variances
-
40
.316
-2.190
2.156 -6.547 2.166
- 39.956
.316
-2.190
2.156 -6.547 2.166
.000
-7.048
1.016
assumed Equal variances
1.016
not assumed BIS.POST.KOINDUKSI
Equal variances
.003 .960
-
40
.931 -8.930
7.566
5.165
assumed Equal variances
- 39.856
.000
-7.048
.931 -8.930
7.566
5.165
not assumed RELAKSASI
Equal variances assumed
.423 .519 .326
40
.746
.048
.146
-.247
.343
Equal
.326 39.928
.746
.048
.146
-.247
.343
variances not assumed
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F SISTOLIK.1
Equal
2.061
Sig.
t
df
.159 -.572
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower
Upper
40
.570
-1.857
3.246
-8.417
4.702
-.572 39.483
.570
-1.857
3.246
-8.419
4.705
40
.809
-.905
3.726
-8.435
6.625
-.243 39.199
.809
-.905
3.726
-8.440
6.630
40
.957
-.143
2.630
-5.459
5.174
-.054 37.876
.957
-.143
2.630
-5.469
5.183
.302
-2.048
1.957
-6.002
1.907
variances assumed Equal variances not assumed SISTOLIK.2
Equal
1.370
.249 -.243
variances assumed Equal variances not assumed SISTOLIK.3
Equal
2.843
.100 -.054
variances assumed Equal variances not assumed DIASTOLIK.1 Equal variances assumed
.003
.956
1.046
40
89
Equal
- 39.951
variances not
.302
-2.048
1.957
-6.002
1.907
40
.746
-.667
2.046
-4.802
3.469
-.326 39.909
.746
-.667
2.046
-4.802
3.469
40
.792
-.476
1.790
-4.093
3.141
-.266 37.705
.792
-.476
1.790
-4.100
3.148
40
.484
-1.5143
2.1418 -5.8429
2.8144
-.707 39.774
.484
-1.5143
2.1418 -5.8437
2.8151
40
.780
-.6667
2.3741 -5.4649
4.1316
-.281 39.696
.780
-.6667
2.3741 -5.4661
4.1327
40
.893
-.2476
1.8258 -3.9376
3.4424
-.136 37.378
.893
-.2476
1.8258 -3.9457
3.4505
.325
-4.571
4.592 -13.853
4.710
1.046
assumed DIASTOLIK.2 Equal
.530
.471 -.326
variances assumed Equal variances not assumed DIASTOLIK.3 Equal
1.502
.228 -.266
variances assumed Equal variances not assumed TAR.1
Equal
.073
.788 -.707
variances assumed Equal variances not assumed TAR.2
Equal
.325
.572 -.281
variances assumed Equal variances not assumed TAR.3
Equal
2.082
.157 -.136
variances assumed Equal variances not assumed NADI.1
Equal variances assumed
3.384
.073 -.995
40
Equal
-.995 35.272
.326
-4.571
4.592 -13.892
4.749
40
.454
-3.381
4.471 -12.417
5.655
-.756 38.406
.454
-3.381
4.471 -12.429
5.667
40
.562
-2.238
3.825
-9.969
5.493
-.585 37.328
.562
-2.238
3.825
-9.986
5.510
40
.397
.190
.222
-.259
.640
.857 37.688
.397
.190
.222
-.260
.641
40
.000
-7.048
.931
-8.930
-5.165
- 39.856
.000
-7.048
.931
-8.930
-5.165
40
.950
-.095
1.515
-3.156
2.966
-.063 38.905
.950
-.095
1.515
-3.159
2.969
variances not assumed NADI.2
Equal
.498
.485 -.756
variances assumed Equal variances not assumed NADI.3
Equal
.943
.337 -.585
variances assumed Equal variances not assumed BIS.1
Equal
.061
.807 .857
variances assumed Equal variances not assumed BIS.2
Equal
.003
variances
.960
7.566
assumed Equal variances not
7.566
assumed BIS.3
Equal
.454
.504 -.063
variances assumed Equal variances not assumed
91
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F SELISIH.TAR.BASAL.TO.LMA Equal
1.040
Sig. .314
variances
t
df -
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower
Upper
40
.206
-1.2429
.9675 -3.1982
.7125
- 39.400
.206
-1.2429
.9675 -3.1992
.7135
40
.316
-2.190
2.156
-6.547
2.166
- 39.956
.316
-2.190
2.156
-6.547
2.166
.358
-1.92250
2.06641
1.285
assumed Equal variances not
1.285
assumed SELISIH.NADI
Equal
.087
.770
variances
1.016
assumed Equal variances not
1.016
assumed PERSEN.NADI
Equal
.713
.403 -.930
40
variances
- 2.25387 6.09887
assumed Equal
-.930 39.423
.358
-1.92250
2.06641
variances not
- 2.25577 6.10077
assumed PERSEN.TAR.NEW
Equal variances
.339
.564
-
40
.261
-1.02925
.90249
1.140
- .79475 2.85326
assumed Equal variances not assumed
- 39.966 1.140
.261
-1.02925
.90249
- .79480 2.85331
Group Statistics
KODE.SAMPE L
SISTOLIK.4
DIASTOLIK.4
MAP.4
NADI.4
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
MIDAZOLAM
21
114.33
9.593
2.093
FENTANYL
21
114.10
6.472
1.412
MIDAZOLAM
21
71.9048
5.73502
1.25148
FENTANYL
21
71.4286
4.95552
1.08138
MIDAZOLAM
21
86.0476
6.33621
1.38268
FENTANYL
21
85.6508
4.44907
.97087
MIDAZOLAM
21
79.1905
13.44105
2.93308
FENTANYL
21
81.5714
10.34684
2.25787
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
F
Sig.
t
df
Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower
Upper
93
SISTOLIK.4
Equal
5.256
.027 .094
40
.925
.238
2.525
-4.866
5.342
.094 35.082
.925
.238
2.525
-4.888
5.364
.775
.47619
1.65397
variances assumed
Equal variances not assumed DIASTOLIK.4 Equal
.956
.334 .288
40
variances
- 3.81898 2.86660
assumed Equal
.288 39.176
.775
.47619
1.65397
variances
- 3.82117 2.86879
not assumed MAP.4
Equal
4.457
.041 .235
40
.816
.39683
1.68949
variances
- 3.81141 3.01776
assumed Equal
.235 35.865
.816
.39683
1.68949
variances
- 3.82372 3.03006
not assumed NADI.4
Equal variances
1.015
.320
-
40
.524 -2.38095
3.70147
.643
- 5.10000 9.86191
assumed Equal variances not assumed
- 37.543 .643
.524 -2.38095
3.70147
- 5.11529 9.87719
Group Statistics
KODE.SAMPE L
N
PERSEN.MAP.LMA_INDUKS MIDAZOLAM
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
21
7.0527
1.84569
.40276
21
6.2433
2.60635
.56875
21
3.5718
2.03610
.44431
21
3.5603
1.74718
.38127
I FENTANYL PERSEN.NADI.LMA_INDUK MIDAZOLAM SI FENTANYL
Independent Samples Test
Levene' s Test for Equality of Varianc es
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Sig. (2-
Std. Mean
Error
taile Differen Differen F Sig.
t
df
d)
ce
ce
Lower Upper
95
PERSEN.MAP.LMA_INDU Equal KSI
varianc
.52 .47 1.16 1
4
40 .252
.80939
.69692
1
- 2.2179 .59914
1
es assume d
Equal
1.16 36.02 .253
varianc
1
.80939
.69692
8
- 2.2227 .60399
7
es not assume d PERSEN.NADI.LMA_IND Equal UKSI
varianc
.37 .54 .020 4
40 .984
.01147
.58547
4
- 1.1947 1.1718
es
5
2
assume d Equal
.020 39.09 .984
varianc
.01147
9
.58547
- 1.1956 1.1726
es not
0
7
assume d
Crosstab APNEU APNEU KODE.SAMPEL
MIDAZOLAM
FENTANYL
Total
Count
TIDAK APNEU
Total
7
14
21
Expected Count
9.0
12.0
21.0
Count
11
10
21
Expected Count
9.0
12.0
21.0
Count
18
24
42
Crosstab APNEU APNEU KODE.SAMPEL
MIDAZOLAM
FENTANYL
Total
Count
TIDAK APNEU
Total
7
14
21
Expected Count
9.0
12.0
21.0
Count
11
10
21
Expected Count
9.0
12.0
21.0
Count
18
24
42
18.0
24.0
42.0
Expected Count
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
1.556a
1
.212
.875
1
.350
1.566
1
.211
Continuity Correctionb Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.350 1.519
N of Valid Cases
1
.175
.218
42
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00. b. Computed only for a 2x2 table
RELAKSASI * APNEU Crosstabulation APNEU APNEU RELAKSASI
RELAKSASI PENUH
Count Expected Count
RELAKSASI MENENGAH
Count Expected Count
TIDAK APNEU
Total
18
11
29
12.4
16.6
29.0
0
13
13
5.6
7.4
13.0
97
Total
Count Expected Count
18
24
42
18.0
24.0
42.0
Directional Measures Asymp. Value Nominal by
Lambda
Nominal
Std.
Errora
Approx.
Approx.
Tb
Sig.
Symmetric
.290
.249
1.053
.292
RELAKSASI
.154
.347
.409
.682
.389
.234
1.327
.185
.336
.091
.000c
.336
.085
.000c
Dependent APNEU Dependent Goodman and
RELAKSASI
Kruskal tau
Dependent APNEU Dependent
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on chi-square approximation
RELAKSASI * NILAI.BIS Crosstabulation NILAI.BIS 1.00 RELAKSASI RELAKSASI PENUH Count Expected
2.00
3.00
4.00
Total
14
11
3
1
29
12.4
9.7
4.8
2.1
29.0
4
3
4
2
13
5.6
4.3
2.2
.9
13.0
18
14
7
3
42
18.0
14.0
7.0
3.0
42.0
Count RELAKSASI MENENGAH
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
Correlations RELAKSASI Spearman's rho
RELAKSASI
Correlation Coefficient
1.000
.276
.
.076
42
42
Correlation Coefficient
.276
1.000
Sig. (2-tailed)
.076
.
42
42
Sig. (2-tailed) N NILAI.BIS
NILAI.BIS
N