TESIS
PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA NIM 1090 2610 18
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA NIM 1090 2610 18
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 Januari 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A
Dr. Putu Sukardja, M.Si
NIP. 19431231 197602 1 001
NIP.195206221985031001
Mengetahui
Ketua Program Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. I Gusti Ketut Gede Arsana.,M.Si NIP. 195208151981031004
Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215 198510 2 001
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 27 Januari 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasaran SK Rektor Universitas Udayana, No.: 0127/WH.14.4/HK/2014, Tanggal 24 Januari 2014
Ketua: Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A.
Anggota: 1. 2. 3. 4.
Dr. Putu Sukardja, M.Si Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S Prof. Dr. I Gde Semadi Astra Dr. I Wayan Redig
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA
: I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA
NIM
: 1090 2610 18
PROGRAM STUDI : MAGISTER KAJIAN BUDAYA JUDUL TESIS
: “PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN”
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Kemendiknas RI No. 17 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 27 Januari 2014
I Putu Putra Kusuma Yudha 1090 2610 18
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya telah memberikan kesehatan dan hikmah sehingga penulisan tesis dengan judul “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis disusun untuk memperoleh gelar Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana. Terselesaikannya tesis ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara moriil maupun materiil. Pada kesempatan kali ini perkenankanlah penulis terima kasih kepada yang terhormat Bapak Rektor dan Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah menerima penulis sebagai karya siswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, dan sekaligus memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses penyelesaian masa studi. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada Bapak Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M.Si sebagai pembimbing II yang penuh perhatian telah memberikan, bimbingan, tuntunan, dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S Prof. Dr. I Gde Semadi Astra, dan Dr. I Wayan Redig selaku penguji yang telah banyak memberikan saran, masukan dan koreksi demi kesempurnaan tesis ini.
vi
Kepada semua dosen pengajar yang telah bersedia membagi begitu banyak pengetahuan dan pengalaman yang sangat berguna bagi penulis dan seluruh staf yang bertugas di sekretariat Kajian Budaya di kampus Nias I Wayan Sukaryawan, Ni Luh Witari, Ketut Budiarsa, Ni Wayan Ariati, Agung Indrawati, Cok Istri Putra Muniarti, I Nyoman Candra, dan Made Gria, terima kasih atas bantuan dalam hal administrasi serta dukungan moral kepada penulis. Juga kepada Dr. I Nyoman Dhana, M. A yang banyak memberikan saran kepada penulis dan juga dukungan berupa buku-buku mengenai etnis Tionghoa, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kepada Bapak Drs. I Made Purna M. Si selaku Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Badung, Bali NTB NTT dan Bapak I Made Dharma Suteja, S.S, M. Si, tempat penulis bekerja dan mengamalkan ilmu, penulis ucapkan terima kasih atas izin belajar yang diberikan serta dukungan penuh hingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Begitu juga dengan teman-teman di BPNB, yang seringkali penulis repotkan, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kepada seluruh narasumber, I Ketut Anto Wijaya, I Ketut Aryawan, I Ketut Ananda Kusuma, I Nyoman Raka, I Made Selamet, Dhamma Joti Kassapa, Ir. Wayan Sudarsana, Drs. I Wayan Suantika, I Wayan Sugawa dan kawan-kawan di dunia maya yang tergabung dalam komunitas Budaya Tionghoa yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Akhirnya rasa hutang budi dan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada bapak (Drs. I Made Paria), ibu (Dra. I Gusti Ayu Putu Kartini), istri (Desak Komang Dewi Adnyani), putra tercinta (I Putu Bagus Purushottama Yudha) dan saudari (Made Putri Kusuma Ningrat) serta kawan-kawan (Nadi, Inggit, Didik, Kadek Hery
vii
Cuplesh, Devi, Taufik, Sukarma, Bli Mawan, Dewa Made Oka Dwi Putra, Bayu Tilem) dan pasukan BPNB (Pak Satya, Pak Suca, Mbok Ayu Heni, Bli Gus Sugianto, Mas Bambang, dll) yang tidak bisa disebutkan satu persatu), yang telah dengan setia dan tulus ikhlas mengorbankan segala-galanya demi selesainya tesis ini. Penulis dalam hal ini menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi kebaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya bagi umat yang berhati mulia
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, 29 Januari 2014
Penulis
viii
ABSTRAK
Mengacu pada pandangan cultural studies, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya. Identitas seseorang atau suatu kelompok kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi budaya sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hal ini kemudian, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisikondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut, (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yakni data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teori yang dipergunakan adalah teori hibriditas, teori hegemoni, dan teori praktik. Hasil penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut, pertama perubahan identitas budaya etnis Tionghoa sangat terlihat pada, perubahan agama dan kepercayaan, perubahan bahasa dan perubahan nama. Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah adanya kesamaan/kemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa, adanya faktor sosial ekonomi, adanya tekanan politik dari pemerintah dan hubungan Indonesia dengan China. Ketiga, adanya perubahan identitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, kedua dampak ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa ini juga mengandung makna harmonisasi dan asimilasi serta makna ekonomi. Kata kunci: perubahan, identitas budaya, etnis tionghoa
ix
ABSTRACT Acording to cultural studies view, identity is fully one of the social culture construction. There is no identity that can exist outside of representatitio of culture or aculturation culture. Identity from some one or group then become susceptible to the change that happend arund it, such as the existence of domination, minority, or the existence of hegemony from the administrator that make the identity changed. This phenomenon is happend by Tionghoa etnic in Pupuan Villages. If we looked aboard from Tionghoa etnic history in Indonesia, their life axperience was raise and fall caused by the culture social political situation inside and out side Indonesia. Acording Indonesian history Tionghoa etnic always have a difficult position and always incleaned as a victim from Indonesian social politic slap situation. This make them always face a difficult situantions that influence their existance as an etnic. Acording that problematic background there are three problems that disccuse in this study such as, 1. How the indentity changes in Tionghoa etnic in pupuan happend? 2. What factor that influence the Tionghoa etnict identity changes in Pupuan Village? 3. What the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village? The objective from this study are to know the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to understand the factor that influence the indentity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to intrepretation the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village. The method that used in this study is kualitatif method, where the data collected by observation, interview, and document study. The theory that used in this study are hybridity theory, hegemony theory, and practical theory. The result from this study are explain bellow first cultural identity changes of Tionghoa etnic is seen in the changes of religion and belived, changes of language and change of name, second, the factors the influence the changes are the same of cultural vallue between Balinese etnic and Tionghoa etnic, social economic factors, the political presure from Indonesia administrators,and the realtionship between Indonesia and China. Third, the exintence of cultural identity changes alson bring an implication to tionghoa etnic in pupuan village. The implication that happend in them is rise colectifities or individual, both of this impac are get a different reaction by each individuals. Cultural Identity changes of tionghoa etnic also contain harmonisation and asimilation meaning and also economic meaning. Keywords: changes, cultural identity, etnic tionghoa
x
RINGKASAN THESIS
Pandangan cultural studies menyatakan bahwa identitas dan subjektifitas sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subjektifitas adalah menyangkut diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker kemudian menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut : (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna eksistensi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? Konsep yang terkandung dalam penelitian ini adalah: (1) Perubahan, (2) Identitas Budaya, (3) Etnis Tionghoa. Perubahan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu dimana, konsep dasar dari perubahan mencakup tiga gagasan: perbedaan, pada waktu yang berbeda dan diantara sistem sosial yang sama (Sztomka, 2007:5). Identitas budaya adalah suatu jati diri sebuah komunitas ‘Tionghoa’ yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami perubahan, baik itu pengaruh unsur-unsur budaya luar yang mutual maupun pengaruh sejarah dan kekuasaan. Hal ini, sejalan dengan pandangan Bhaba dan Hall yang menyatakan bahwa identitas budaya bukan merupakan identitas yang dibawa semenjak lahir dan akan mengalami perubahan terus menerus dan perubahan ini akan terkait dengan relasi interaksi budaya, sosial, kekuasaan, politik dan sejarah masa lalu. Etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari China yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia. Dengan melihat ketiga konsep tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah
xi
sebuah fenomena sosial budaya mengenai perubahan jati diri/identitas khas etnis Tionghoa yang menjadi kondisi khusus yang terdapat di lokasi penelitian yang disebabkan oleh beberapa faktor, dimana akan mengakibatkan adanya perubahan identitas budaya melalui beberapa proses yang telah berjalan sampai saat ini. Sebagai pisau analisis dari penelitian ini, maka akan dipergunakan tiga buah teori, yakni (1) teori hibriditas,(2) teori hegemoni, dan (3) teori praktik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berparadigma kritits dengan mempergunakan pendekatan kajian budaya (cultural studies) yang bersifat kritis, interdisipliner dan multidimensional sebagai landasan berfikir. Sumber data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan dan objek yang diobservasi langsung di lapangan. Data primer penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Ketua Perkumpulan Suka Duka Etnis Tionghoa ‘Karang Semadi’ di Desa Pupuan, tetua etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Bendesa Adat desa adat Pupuan, Kepala Desa Pupuan. Data primer juga didapatkan dari observasi langsung di lapangan untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti tesis, disertasi, buku dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder penulis dapatkan dari referensi buku-buku yang berkaitan dengan etnis Tionghoa, yang dijual bebas di toko-toko buku. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul sejak awal. Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, ketegori dan uraian dasar. Proses analisis data sebenarnya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan di lapangan dan dikerjakan secara intensif ketika sudah meninggalkan lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dengan interpretatif. Analisis deskriptif bertujuan membuat deskripsi, atau gambaran secara deskripsi secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sedangkan analisis kualitatif adalah cara pendataan dengan klasifikasi kronologis yang mencakup jumlah keterangan yang menunjukkan keterkaitan yang sistematis. Hasil analisis data disajikan secara formal dan informal. Secara formal, hasil analisis data disajikan dengan mempergunakan bagan, tabel, gambar dan bentuk
xii
lainnya. Sedangkan secara informal. Hasil analisis disajikan melalui narasi kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dalam penelitian ini dapat dikemukakan tiga hal. Pertama perubahan identitas budaya etnis Tionghoa sangat terlihat pada: (1). Perubahan agama dan kepercayaan, dimana pada awal masuknya etnis Tionghoa agama yang dianut oleh etnis Tionghoa adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan Dewa-Dewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada perkembangan berikutnya, masa Orde Baru etnis Tionghoa dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan melakuan asimilasi total pada pribumi, termasuk kepercayaan yang mereka anut. (2). Perubahan bahasa. Generasi pertama Etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, baik itu dari utara (Buleleng) maupun selatan (Tabanan dan Badung) masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i. Generasi kedua, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, disamping bahasa ko’i sebagai bahasa sehari-hari sedangkan generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i sebagai alat komunikasi sehari-hari semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa. (3). Perubahan nama. Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (she), dan 2 nama dibelakangnya adalah nama yang sebenarnya. Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai
nama resmi
dalam
identitas,
termasuk
identitas
kependudukan sampai dengan 27 Desember 1966. Setelah tahun 1966, semua keturunan Tionghoa di Indonesia ‘diminta’ untuk berganti nama dengan nama yang berbau Indonesia. Peraturan ganti nama tersebut tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127/U/Kep—12/1966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’. Dampak dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang berbau “lokal”. Adapun pola
xiii
perubahan nama di Desa Pupuan berdasarkan hasil penelitian dilapangan: 1. Mengganti Nama dengan Nama yang Sama dengan Orang Bali 2. Mencari nama Bali yang punya Makna 3. Mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya 4. Memakai nama-nama yang berbau internasional Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan berkaitan erat dengan kondisi sosial politik yang berkembang pada masa tersebut. Selain itu adanya kesamaan filosofi yang mendasari gerak langkah kehidupan masyarakat di Desa Pupuan juga mendukung perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa. Adapun faktor-faktor tersebut: (1). Adanya kesamaan/kemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya kesamaan nilai budaya. Adanya kesamaan-kesamaan nilai budaya merupakan modal budaya yang menjadikan proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa menjadi identitas budaya baru yang bersifat hibrid di Desa Pupuan berlangsung secara damai. (2). Adanya faktor sosial ekonomi. Selain adanya kesamaan nilai budaya, faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hal ini terlihat pada: 1. Hakekat kerja serta usaha manusia, dimana etos kerja etnis Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius, terdapat ajaran yang disebut dengan hubungan segitiga, yakni hubungan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kalinya harus terjadi dalam keluarga. Apabila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang serasi, maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Sikap bakti anak kepada orang tua juga terjadi dalam keluarga, sikap pemujaan kepada leluhur yang digariskan secara tetap juga membicarakan tentang keluarga. Penggunaan nama keluarga secara cermat dan teratur oleh Konfusius juga memberikan jalinan yang terjadi dalam keluarga.2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran Budha dikembangkan sifat suka menolong antara manusia dengan sesamanya. Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sifat suka menolong karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan. Konfusius juga mengajarkan jen untuk menamakan hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi antara sesama manusia. Jen
xiv
juga berusaha untuk membuat orang lain menjadi besar, karena kebesaran hati tidaklah mengenal batas-batas bangsa. Jen mengetahui bahwa dalam empat samudra semua manusia bersaudara. Akan tetapi dalam jen, juga dikemukakan bahwa hubungan sosial yang paling berarti adalah hubungan antara keluarga. (3). Adanya perubahan politik di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihilangkan identitas etnisnya. Berbagai unsur yang terkait dengan budaya leluhur dihilangkan dengan memperkenalkan politik asimilasi total yang bertujuan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa yakni sekolah, organisasi dan media China sebagai sarana pengembangan budaya dan adat istiadat leluhur. Dengan melaksanakan asimilasi inkorporasi, pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya dinamika hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950 Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, dimana mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan juga keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini merupakan dampak dari ditengarainya China sebagai pendukung Gerakan 30 September pada masa itu. Secara perlahan hubungan ini kemudian pulih khususnya ketika era reformasi, dimana ketiga Presiden (Abdurahhman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono) mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menormalisasikan hubungan dengan China dan juga mencabut segala peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Secara garis besar dinamika hubungan antar kedua negara terbagi dalam beberapa masa yang saling terikat satu sama lain. Ketiga, adanya perubahan indentitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, yang mana kedua
xv
dampak ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Secara sosial, perubahan identitas budaya tentunya membawa implikasi bagi etnis Tionghoa. Ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan proses mimikri (peniruan) budaya Bali dalam kehidupan sehari-harinya, maka berdampak langsung terhadap rasa solidaritas yang tinggi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial keagamaan di Desa Pupuan. Akan tetapi sebaliknya, ,ketika etnis Tionghoa mulai meninggalkan identitas ke-Baliannya menuju kearah sebuah identitas yang berorientasi nasional dan internasional, maka mulai timbullah ruang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri. Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa seharihari dan perubahan nama. Dalam kehidupan sehari-hari, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada ditengah lingkungan masyarakat etnis Bali. Interaksi yang intens menjadikan banyak hal yang berubah dari individu etnis TIonghoa di Desa Pupuan. Misalnya pada ritual etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Sedangkan, pada penggunaan bahasa sehari – hari etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa ‘hibrid’yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Pada perubahan nama yang dipergunakan oleh masing-masing individu. Perubahan nama ini bisa dipolakan menjadi empat pola, yakni mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, mencari nama Bali yang memiliki makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya dan memakai nama-nama internasional. Dalam studi kajian budaya, makna merupakan tahapan yang paling penting untuk menemukan sebuah arti atau nilai yang terkandung dalam suatu objek yang diteliti, baik objek yang berupa benda, wacana, aktivitas sosial (berkaitan dengan sikap dan prilaku) maupun gejala kehidupan dan fenomena alam. Penemuan suatu makna (meaning) terlebih dahulu harus diawali oleh proses penemuan suatu bentuk dan fungsi dari suatu
xvi
objek yang diteliti. Adapun makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan adalah sebagai berikut: (1). Makna harmonisasi dan asimilasi Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menghasilkan budaya bersifat yang bersifat hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga hubungan harmonis dengan etnis Bali. Adanya upaya ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh habitus yang berkembang di Desa Pupuan. Selain itu ketika berbicara masalah asimilasi seperti yang diharapkan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak zaman orde lama, maka yang terjadi di Desa Pupuan adalah sebuah prosesi asimilasi yang sudah berjalan tanpa adanya campur tangan pemerintah (pra politi ali baba). Ketika kemudian timbul hemegoni pemerintah dalam asimilasi ini dengan menjalankan prinsip asimilasi inkorporasi, maka yang terjadi adalah, etnis Tionghoa semakin terasimilasi dalam etnis Bali di Desa Pupuan. Ini juga didukung oleh adanya perasaan nyaman etnis Tionghoa dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari yang bernuansa Bali. (2). Makna Ekonomi Dalam sejarahnya, etnis Tionghoa selalu mendominasi kegiatan perdagangan di Desa Pupuan, walaupun secara jumlah penduduk, jumlahnya tidak terlalu banyak. Keberhasilan ekonomi etnis Tionghoa di Desa Pupuan didukung oleh kerja keras dan hidup hemat sesuai dengan ajaran leluhur. Selain itu tentunya, adanya upaya etnis Tionghoa untuk belajar budaya setempat (bahasa, kebiasaan bahkan kepercayaan) sangat mendukung keberhasilan di bidang ekonomi di Desa Pupuan. Dengan keberhasilannya di bidang ekonomi, secara tidak langsung, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mengangkat nama desanya dengan keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi. Selain itu, dengan kekuatan ekonominya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu membangun desa menjadi lebih maju dari desa-desa sekitarnya. Tentunya perubahan-perubahan identitas ini menghasilkan stereotip dikalangan masyarakat yang tingal di Desa Pupuan terhadap etnis Tionghoa. Berdasarkan analisis dan kajian yang dilaksanakan terhadap Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka dapat disimpulkan, bahwa perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas agama
xvii
dan kepercayaan, perubahan identitas bahasa dan juga perubahan nama.
Perubahan
identitas budaya etnis Tionghoa sebuah perubahan yag terjadi secara bertahap dan dalam jangka waktu yang cukup lama dan secara bertahap. Bahkan hingga kini perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih tetap berlangsung.
xviii
DAFTAR ISI Halaman
SAMPUL DALAM ..........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .....................................................................................................
x
RINGKASAN ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxiii DAFTAR BAGAN ..........................................................................................
xxv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxvi GLOSARIUM .................................................................................................. xxvii BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
8
1.3.1 Tujuan Umum ...............................................................
8
1.3.2 Tujuan Khusus ..............................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
9
1.4.1 Manfaat Teoretis ...........................................................
9
xix
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................. BAB II
9
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ............................................................................... 11 2.1 Kajian Pustaka .......................................................................
11
2.2 Konsep ...................................................................................
19
2.2.1 Perubahan .....................................................................
19
2.2.2 Identitas Budaya ...........................................................
22
2.2.3 Etnis Tionghoa..............................................................
26
2.2.4 Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan……………………………………………….. 31
BAB III
2.3 Landasan Teori .......................................................................
32
2.3.1 Teori Hibriditas ............................................................
32
2.3.2 Teori Hegemoni ............................................................
35
2.3.4 Teori Praktik .................................................................
37
2.4 Model Penelitian ....................................................................
41
METODE PENELITIAN ..............................................................
43
3.1 Rancangan Penelitian .............................................................
43
3.2 Lokasi Penelitian ....................................................................
44
3.3 Jenis dan Sumber Data ...........................................................
45
3.3.1 Jenis Data……………………………………………..
45
3.3.2 Sumber Data…………………………………………..
45
3.4 Penentuan Informan ...............................................................
47
3.5 Instrumen Penelitian ..............................................................
47
3.6 Teknik Pengumpulan Data .....................................................
48
3.6.1 Observasi ......................................................................
48
3.6.2 Wawancara ...................................................................
49
xx
BAB IV
BAB V
BAB VI
3.6.3 Studi Dokumen .............................................................
51
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................
51
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data ................................................
53
GAMBARAN UMUM DESA PUPUAN .....................................
54
4.1 Keadaan Geografis dan Penduduk Desa Pupuan ....................
55
4.2 Mata Pencaharian Penduduk ...................................................
58
4.3 Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial .............................
59
4.4 Sistem Kepercayaan dan Pandangan Hidup ............................
71
4.5 Pola Permukiman ....................................................................
74
4.6 Sejarah Pupuan ........................................................................
78
4.7 Sejarah Etnis Tionghoa di Desa Pupuan…………………….
85
PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN ................................................................................... 92 5.1 Perubahan Agama dan Kepercayaan .......................................
94
5.2 Perubahan Bahasa ...................................................................
107
5.3 Perubahan Nama…………………………………………….
113
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN ......................................... 124 6.1 Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dengan Etnis Tionghoa ................................................................................ 125 6.1.1 Masalah Hakekat Hidup ...............................................
128
6.1.2 Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam .
132
6.1.3 Masalah Mengenai Persepsi Manusia tentang Waktu ..
135
6.2 Adanya Faktor Sosial Ekonomi .............................................
136
6.2.1 Hakekat Kerja serta Usaha Manusia.............................
137
xxi
6.2.2 Hubungan antara Manusia dengan Sesamanya ............
141
6.3 Adanya Perubahan Politik di Indonesia .................................
151
6.3.1 Adanya Tekanan Politik oleh Pemerintah.....................
152
6.4.2 Perubahan Hubungan Luar Negeri Indonesia dengan China ............................................................... BAB VII
163
IMPLIKASI DAN MAKNA PERUBAHAN IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN .......................................................... 170 7.1 Implikasi Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan.................................................................................... 171 7.1.1 Implikasi Secara Sosial .................................................
171
7.1.2 Implikasi Individu ........................................................
173
7.2 Makna Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa ............
175
7.2.1 Makna Harmonisasi dan Akulturasi .............................
176
7.2.2 Makna Ekonomi ...........................................................
177
7.3 Refleksi .................................................................................
180
BAB VIII PENUTUP .....................................................................................
191
8.1 Simpulan ................................................................................
191
8.2 Saran ......................................................................................
196
Daftar Pustaka ..................................................................................................
197
LAMPIRAN Pedoman Wawancara Daftar Informan Peraturan Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa
xxii
DAFTAR GAMBAR
4.1
Peta Desa Pupuan............................................................................... 56
4.2
Ilustrasi Tempat Ibadah Etnis Tionghoa…………………................ 73
4. 3 Tempat Ibadah Etnis Tionghoa……………………………………..
73
4.4
Cetia.................................................................................................... 74
4.5
Pemukiman di Desa Pupuan................................................................ 78
4.6
Temuan Sarkofagus di Pura Griya Sari Desa Pupuan………………. 79
4.7
Sarkofagus di Kayu Puring di Desa Pupuan………………………... 80
4.8
Foto Pelinggih Tegal Penangsar......................................................... 84
4.9
Catatan Mengenai Kedatangan She Kang yang Pertama ke Pupuan... 88
4.10
Salah Satu Anugerah dari Raja yang Berupa Pedang…………........ 89
5.1
Bangunan Rumah Abu, Bangunan Dewa Kwan Kong dan Cetia di Salah Satu Rumah Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan................ 96
5.2
Merajan di Pekarangan Salah Seorang Warga Tionghoa di Desa Pupuan………………………………………………………………. 98
5.3
Pura Luhur Kayu Padi (Duur Kauh) ………………………………..
101
5.4
Vihara Dharma Giri…………………………………………………. 105
5.5
Contoh SBKRI………………………………………………………. 117
5.6
Penggantian Nama yang didaftarkan di Kajari……………………… 118
6.1
Cerita Ramayana yang ditulis dalam Aksara Bali, Buah Karya salah satu Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan………………………... 147 xxiii
7.1 Dominasi Pemukiman Etnis Tionghoa yang berada di Pinggir Jalan… 178 7.2 Bukti Kepemilikan Lahan di Pupuan pada Masa Hindia Belanda……. 180
xxiv
DAFTAR BAGAN 2.1
Model Penelitian................................................................................. 41
4.1
Struktur Pemerintahan Desa Pupuan........................................ …….. 65
4.2
Struktur Pemerintahan Desa Adat Pupuan.......................................... 68
4.3
Struktur Karang Semadi….................................................................. 70
6.1
Etos Kerja pada Masyarakat Tionghoa menurut Konfusius................ 138
xxv
DAFTAR TABEL
4.1
Jumlah Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Jenis Kelamin.............. 57
4.2
Jumlah Penduduk Desa Adat Pupuan berdasarkan Banjar Adat......... 57
4.3
Pengelompokkan Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Jenis Pekerjaan............................................................................................. 59
4.4
Marga (she) Etnis Tionghoa di Desa Pupuan...................................... 62
4.5
Jumlah Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Agama.......................... 71
xxvi
GLOSARIUM
awig-awig
:suatu ketentuan yang mengatur tatakrama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg diimasyarakat.
bahasa ko’I
:bahasa mandarin.
banjar
:suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan.
cacakan
:masuk hitungan.
cap go meh
:merupakan rangkaian hari raya terakhir di bulan Cia Gwee bagi orang Tionghoa. Cap Go Meh disebut juga pesta Goan Siauw atau hari lahirnya Siang Goan Thian Koan atau roh yang memerintah langit dan bumi. Versi lain menyebut perayaan Cap Go Meh sebagai pesta musim bunga terbesar untuk menghormati matahari yang muncul pada musim dingin yang berkabut.
cengbeng
:Merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Khonghucu. Festival tradisional Cina ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik Matahari pada musim dingin (atau hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat, Qing Ming jatuh pada tanggal 4 April
cetia
:tempat sembahyang yang berada di rumah khusus untuk etnis Tionghoa. Biasanya pada cetia terdapat patung Buddha, dan Dewi Kwan Im. Kadangkala terdapat juga patung Buddha Sivali.
dadia
:klen/kumpulan klen klen, kadangkala dadia juga disebut dengan tempat sembahyang klen (pura dadia).
xxvii
desa kala patra
:tempat, waktu keadaan. Biasanya mengacu pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada tempat, waktu dan ruang, mirip dengan pribahasa dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
desa pakraman
:kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga/kahyangan desa,yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
dresta
:pandangan suatu masyarakat mengenai tatakrama pandangan hidup.
gamang
:mahluk gaib yang biasanya tinggal di tempat-tempat tertentu.
gambling
:perjudian, berani mengambil resiko.
hibrid
:mengacu pada percampuran/perkawinan dua esensi atau lebih yang kemudian melahirkan sesuatu yang dianggap lebih unggul, dalam tulisan ini mengacu pada budaya.
hoki
:peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara seseorang menyiasati agar selalu mendaptkan nasib baik. :kepercayaan pad faktor-faktor alamiah yang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia.
hongsui
hopeng
:cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha.
imlek
: perayaan yang awalnya dilakukan oleh para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang
xxviii
Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga . jero gde
:istilah lain untuk penunggun karang, merupakan dewa yang berfungsi untuk penjaga rumah (menjaga karang).
karang desa
:tanah yang dimiliki oleh desa.
klian banjar
:pimpinan banjar.
kongco
: secara harafiah memiliki arti kakek buyut. Akan tetapi di Indonesia Kongco merupakan tempat peribadatan etnis Tionghoa untuk memuja Dewa Kong.
lauchu
:ketua.
lekita lotiah
:catatan mengenai suatu kejadian dimasyarakat: :kepala kampung.
maha cetia
:cetia yang bisa dipergunakan untuk umum.
mebanten
:sebuah prosesi mempersembahkan sesuatu kehadapan Tuhan yang biasa dilakukan oleh orang Bali.
mekekawin
:melantunkan nyanyian, biasanya puja-puji kehadapan Tuhan.
mepekuren
:mengacu pada pernikahan.
merajan
:tempat bersembahyang umat Hindu Bali.
nangkil
:menghadap untuk memperlihatkan sujud bakti.
ngelawar
:membuat lawar.
xxix
keanggotaan
benjar
berdasarkan
ngodalin
:peringatan tempat suci biasanya dipergunakan hitungan berdasarkan sasih atau wuku.
nyungsung
:memuja/memiliki.
paswara
:suatu keputusan raja (pemerintah).
patra cina
:ukiran yang mendapatkan pengaruh dari budaya China.
penyamaan
:persaudaraan.
perbekel
:kepala desa.
pis bolong
:uang kepeng, uang yang berasal dari China, Korea, Vietnam, yang saat ini dipergunakan sebagai sarana ritual di Bali.
purusa
:penerus garis keturunan dari pihak laki-laki, patrilineal, tetapi belum tentu laki-laki.
totok
:murni, tanpa campuran. Mengacu pada etnis Tionghoa.
ratu nyoman
:sering disebut juga penumbak rurung/dewa penjaga depan rumah.
rebutan
:perayaan dan sembahyang sebagai penghormatan kepada hantu-hantu tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Adanya pengaruh Buddhisme memunculkan kepercayaan mengenai hantuhantu kelaparan (makhluk Preta) yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.
rumah abu
:tempat penyimpanan abu leluhur, dimiliki oleh etnis Tionghoa.
sanggah kemulan
:mengacu pada pelinggih, tempat pemujaan leluhur, biasanya dipergunakan oleh Hindu Bali.
xxx
sarkofagus
:kubur batu tempat mayat. Dipergunakan pada awal masehi.
sekaa
:perkumpulan-perkumpulan yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu.
shee
:marga.
sima
:mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat.
siopwe
:mediator dewa, biasanya dipergunakan untuk menentukan hari baik atau penentuan keluarga siapa yang mendapatkan mandate utama.
subak
:organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam di Bali.
taksu
:kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut/kalau mengacu pada pelinggih taksu, berarti tempat melinggihnya batara yang memberikan keahlian.
tauke
: anggota.
xxxi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Tiada yang abadi selain perubahan itu sendiri, begitu kata I Ching alias Ya
Keng (http://www.jamilazzaini.com/678/. diakses tanggal 28 mei 2012). Tidak mungkin juga memahami apa yang dipandang baru tanpa merujuk pada masa lalu (Gungwu dalam Erniwati, 2011:1). Demikian juga halnya dengan identitas, identitas masa kini sangat berkaitan erat dengan identitas pada masa lalu, dan perubahan identitas merupakan suatu hal yang wajar adanya. Mengacu pada pandangan cultural studies, identitas dan subjektifitas sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subjektifitas adalah menyangkut diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas seseorang atau suatu kelompok dalam kaitan inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Perubahan identitas di Indonesia, juga didukung dengan adanya fakta, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultur yang terdiri dari berbagai
1
2
macam etnis dari Sabang sampai Merauke, Mianggas sampai Rote. Berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 3 Februari 2011 diketahui Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa (http://www.bps.go.id. diakses tanggal 28 mei 2012), mendiami sekitar 13.000-an pulau. Selain itu pada awal tarikh masehi sampai abad ke XV, wilayah Indonesia merupakan sumber dari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, yang menarik minat bangsa-bangsa China, India, Arab maupun Eropa untuk datang ke Indonesia. Adanya hubungan dengan bangsa luar, etnis-etnis yang ada di Indonesia mengadakan kontak, baik secara intens maupun jarang, karena salah satu sifat dasar manusia, membutuhkan manusia lainnya untuk hidup, dan merupakan mahluk yang senang bergaul (animal society). Kontak antar etnis ini kemudian menimbulkan pengaruh baik secara difusi maupun evolusi terhadap masing-masing etnis, menjadikan perubahan identitas suatu etnis di Indonesia menjadi suatu hal yang terus menerus dan terjadi secara berkelanjutan. Perubahan nama depan menjadi Wayan, Made, Komang dan Ketut pada komunitas Muslim Kampung Pegayaman, penggunaan uang kepeng (pis bolong), patra Cina pada etnis Bali, merupakan bukti bahwa identitas suatu etnis dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan etnis lainnya. Hegemoni, juga sangat mempengaruhi perubahan identitas budaya suatu etnis, di mana budaya dominan akan berusaha untuk mengkooptasi budaya minoritas, dan budaya minoritas akan berusaha untuk mengadopsi produk budaya dominan untuk menjaga eksistensinya. Prinsip hegemoni dalam perkembangan identitas dibangun di atas sebuah landasan demokrasi yang terbentuk antara
3
kelompok berkuasa (budaya dominan) dengan kelompok yang dikuasai (budaya minoritas) sehingga apa yang diciptakannya adalah sebuah masyarakat sipil. Di dalam masyarakat sipil tersebut, pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup yang ada dari berbagai kelompok sosial, yang kemudian disatukan dalam sebuah prinsip artikulasi yang konduktornya adalah kelas hegemoni (Piliang, 2010:71-73). Hal ini tentunya akan menimbulkan adanya sebuah identitas budaya baru yang berbeda dengan budaya sebelumnya, akan tetapi masih memiliki nilai, bahkan bentuk budaya lama. Identitas budaya ini, berada pada ranah yang “abu-abu”, tidak hitam, tidak putih tetapi memiliki ciri-ciri identitas budaya yang hitam maupun putih. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hegemoni negara maupun dominasi etnis mayoritas atas etnis Tionghoa demikian kuatnya, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis. Selain itu adanya hubungan pernikahan campuran dengan etnis-etnis lain, dalam hal ini khususnya etnis Bali, yang kemudian melahirkan Tionghoa
4
peranakan juga mempengaruhi eksistensi etnis Tionghoa. Tentunya Tionghoa peranakan memiliki identitas budaya yang berbeda dengan leluhurnya. Perubahan identitas budaya dari “totok” ke peranakan, menyebabkan identifikasi terhadap etnis Tionghoa di Desa Pupuan, pada masa kini, sudah tidak bisa dilakukan berdasarkan kriteria ras yang paling sederhana sekalipun. Hal ini dikarenakan etnis Tionghoa peranakan mengidentifikasikan diri di negeri mereka tinggal, seraya tetap sadar sebagai orang Tionghoa (Gungwu, 1991:1). Oleh sebab itu, untuk mengidentifikasikan identitas etnis Tionghoa, satusatunya cara yang bisa dipergunakan adalah dengan jalan identifikasi identitas secara budaya. Identitas budaya seorang etnis Tionghoa akan terlihat pada penggunaan produk budaya Tionghoa, semisal penggunaan nama keluarga dan keterikatan pada ikatan keluarga Tionghoa (Skinner, dalam Tan.ed, 1979:1-2). Pada penggunaan nama misalnya, seorang Tionghoa akan menjadi cepat akrab dengan orang yang baru dikenalinya, apabila mengetahui bahwa nama keluarganya sama (shee). Walaupun
demikian,
etnis
Tionghoa
peranakan
juga
melakukan
penyerapan unsur-unsur budaya lokal setempat seperti bahasa, pendidikan, bahkan agama dalam sendi-sendi prilaku kehidupannya (Hirschman, dalam Cushman, Jeniffer dan Wang Gungwu.ed, 1991:31-33). Di mana unsur-unsur budaya lokal ini pada kelanjutannya, memperkaya budaya Tionghoa peranakan dan sekaligus mengubah identitas budayanya. Di Desa Pupuan, identitas budaya etnis Tionghoa peranakan yang berkembang merupakan sebuah identitas budaya yang dipergunakan oleh etnis
5
Tionghoa di Desa Pupuan. Di mana identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang saat ini dipergunakan merupakan hasil dari sebuah proses perubahan, proses adaptasi yang dilakukan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Desa Pupuan. Tidak kurang dari empat masa yang bisa dikatakan sebagai momen-momen krusial perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yakni masa Kerajaan Tabanan (masa pra kemerdekaan), masa kemerdekaan, masa Orde Baru, dan masa reformasi. Masing-masing dari masa ini memiliki peran tersendiri dalam perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hal yang menarik terjadi setelah era reformasi, di mana terjadi kebangkitan harga diri etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan. Perubahan yang sangat besar terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Tionghoa dalam merayakan hari besar dan menunjukkan adat istiadat mereka. Keterbukaan dan kebebasan melaksanakan budaya serta adat istiadat leluhur semakin terbuka setelah tahun 2002 Presiden Megawati menyatakan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional dan tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapus diskriminasi dengan mengeluarkan UU Kewarganegaraan RI no. 12 tahun 2006. Perubahan kebijakan dari negara yang bersifat nasional yang mengembalikan identitas etnis Tionghoa ke pemiliknya, juga ikut mengubah identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan (Erniwati, 2011:2-5). Desa Pupuan sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam perubahan identitas etnis Tionghoa. Pupuan sebagai sebuah
6
rumah, memberikan ruang bagi etnis Tionghoa tempat untuk melakukan aktivitas, berinteraksi, bersosialisasi juga berbagi peran dengan masyarakat lainnya. Saat ini, jumlah etnis Tionghoa yang tercatat sebanyak 180 kepala keluarga dan tergabung dalam satu ikatan perkumpulan suka duka Karang Semadi. Pada kehidupan sehari-hari di Desa Pupuan, kehidupan masyarakat etnis Tionghoa Pupuan berbaur dengan masyarakat etnis Bali baik itu dalam pemukiman maupun desa pakraman. Tidak ada pemukiman khusus etnis Tionghoa, maupun etnis lainnya di Desa Pupuan. Demikian juga dalam kehidupan desa pakraman di Desa Pupuan, masyarakat etnis Tionghoa, walaupun mereka bukan etnis Bali, tetapi ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan adat maupun agama terutama kegiatan-kegiatan di Pura Khayangan Tiga (Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale Agung) maupun pura-pura lainnya yang terletak di wilayah desa pakraman. Keikutsertaan ini sudah merupakan tradisi yang diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang dibuktikan dengan adanya peninggalanpeninggalan masa lampau yang berupa patung, tulisan yang memiliki kekhasan etnis Tionghoa di beberapa tempat suci di Desa Pupuan. Walaupun demikian pembauran tersebut tidak menjadikan etnis Tionghoa menjadi kehilangan akar budayanya, yang masih sangat kental akan tradisi-tradisi yang bersumber dari ajaran nenek moyangnya. Meskipun secara ekstrinsik etnis Tionghoa berbeda dengan etnis Bali di Desa Pupuan, namun mereka hidup berdampingan sehingga dapat dikatakan telah membentuk masyarakat multikultural. Bahkan masyarakat etnis Bali di Desa Pupuan memiliki istilah baru untuk etnis Tionghoa yang telah menetap lama di Desa Pupuan, yakni China Bali/China Pupuan.
7
Apapun bentuknya itu, perubahan identitas budaya adalah hal yang harus terjadi untuk mempertahankan eksistensi sebuah etnis. Masalahnya adalah bagaimana etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu beradaptasi, tetap memperlihatkan identitas budayanya, dan hidup secara secara berdampingan sampai sekarang dalam keadaan masyarakat yang terus berubah. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti fenomena tersebut dari sudut pandang Cultural Studies dengan judul, “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa diDesa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang menarik untuk dikaji. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan? 2. Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? 3. Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan?
8
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum ditujukkan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dari penelitian secara umum, sedangkan tujuan khusus ditujukkan guna memperoleh jawaban atas rumusan masalah.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menggali informasi dan mengkaji identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Melalui penelitian ini diharapkan studi tentang etnis Tionghoa di Bali dari sudut pandang kajian budaya bisa dikembangkan dan pada akhirnya diharapkan ikut menyumbangkan sedikit pengetahuan bagi khazanah keilmuan kajian budaya.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini, secara khusus bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Jadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan 2. Untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. 3. Untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
9
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis yang sangat penting dan dapat dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi perguruan tinggi khususnya dan secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, rujukan maupun perbandingan dalam penelitan mengenai etnis Tionghoa maupun identitas suatu etnis berikutnya.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu tentang interaksi, multikulturalisme serta identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Penelitian ini dapat dijadikan acuan keilmuan dalam khazanah kajian budaya, terutama dalam bidang penelitian sistem pengembangan dan pengendalian sosial.
1.3.3
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan mampu memberi
gambaran baik secara umum maupun khusus tentang perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan dan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi masukan bagi seluruh masyarakat maupun penentu kebijakan untuk dapat mengembangkan multikulturalisme dan toleransi yang belakangan ini sedikit mengendor di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi batu loncatan bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitian mengenai
10
identitas etnis serta diharapkan mampu memperkaya khazanah ilmu Kajian Budaya
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian sebelumnya memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian pustaka dibutuhkan untuk memberi arahan yang lebih baik dan memberikan gambaran umum dalam penelitian ini. Dalam kajian pustaka ini penulis merujuk beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dibahas. Penelitian yang berhubungan dengan perubahan identitas etnis Tionghoa di Bali sampai saat ini masih sangat kurang, terlebih lagi bila ditinjau dari aspek Kajian Budaya. Atas keterbatasan ini, beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dipergunakan untuk mendukung kepentingan penelitian yang berjudul “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa Kasus di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan”. Beberapa hasil penelitian dan pustaka yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dipergunakan sebagai arahan dan perbandingan bagi kepentingan penelitian. Disertasi dari Erniwati yang berjudul China Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau dari Revolusi sampai Reformasi. Disertasi dari Erniwati menjelaskan bagaimana karakteristik China Padang yang minoritas di Padang khususnya ketika menghadapi masa revolusi, PRRI, Orde Lama, Orde Baru dan 11
12
Reformasi. Proses yang panjang ini menjadikan identitas China Padang menjadi fluktuatif, menyesuaikan diri dengan politik yang ada. Akan tetapi pada waktuwaktu tertentu, China Padang memperlihatkan identitasnya baik sebagai anggota perkumpulan, keagamaan atau kongsi dagang. Hal ini memperlihatkan bahwa China Padang memiliki identitas ganda, namun ada unsur ruang, lokalitas Padang yang sangat mempengaruhi pembentukan identitas China Padang. Secara umum disertasi dari Erniwati yang mengambil perspektif historis memberikan penulis gambaran secara luas mengenai perkembangan identitas etnis yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang, dari revolusi sampai reformasi. Konsep-konsep yang dipergunakan Erniwati, juga penulis pergunakan sebagai perimbangan dalam melakuan penelitian ini. Akan tetapi tentunya dibalik itu semua, penelitian yang penulis laksanakan berbeda dari disertasi Erniwati. Penelitian penulis akan mengambil fokus pada perubahan identitas budaya dengan melihat dari perspektif Kajian Budaya. Tesis dari I Ketut Wirata pada tahun 2005 yang berjudul Integrasi Etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari Kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali, Suatu Kajian Budaya. Dalam tesisnya ini, Wirata meneliti tentang integrasi etnis Tionghoa kedalam masyarakat Bali. Etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari dikatakan Wirata terikat satu penyamaan dengan etnis Bali di Carangsari. Hal ini dimungkinkan dikarenakan etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari sama-sama menempati karang desa dengan etnis Bali. Selain itu terintegrasinya etnis Tionghoa ke dalam Desa Adat juga dibuktikan dengan etnis Tionghoa di Desa
13
Adat Carangsari juga memiliki sanggah untuk memuja leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa, serta sama-sama memeluk agama Hindu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Wirata adalah penelitian baik dari Wirata maupun penelitian yang akan penulis teliti sama-sama mengambil sudut pandang Kajian Budaya, selain itu, baik Wirata maupun penulis, sama-sama mempergunakan etnis Tionghoa sebagai objek penelitian yang diteliti. Sedangkan perbedaannya, Wirata menekankan penelitiannya pada integrasi etnis Tionghoa ke dalam Desa Adat Carangsari, mengapa etnis Tionghoa di Carangsari bisa berintegrasi ke dalam struktur masyarakat Bali, sedangkan penelitian ini terfokus pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang tidak hanya mendapatkan pengaruh dari budaya Bali akan tetapi juga pengaruh dari kehidupan sosial ekonomi dan religi komunitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hasil penelitian dari Sutjiati Berata dkk, tahun 2010 yang berjudul Dari Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa Pakraman, Studi Tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang China di Bali yang diterbitkan oleh Udayana University Press. Penelitian ini mengambil lokasi di beberapa tempat di Bali, diantaranya, Desa Baturiti, Denpasar, Desa Carangsari dan Desa Padangbai yang mana menghasilkan beberapa buah simpulan mengenai hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Bali di tengah kehidupan masyarakat yang multikultur khususnya mengenai pernikahan campur yang terjadi antar etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Selain itu, dalam penelitian ini juga dijelaskan mengenai implikasi kebersamaan orang Bali dengan orang China dalam desa Pakraman. Penelitian dari Sutjiati Berata ini bisa dikatakan mengambil perspektif yang multidisipliner, dikarenakan
14
latar belakang ketiga peneliti yang berbeda. Sutjiati Berata, berlatar sastra, Wayan Ardika berlatar belakang arkeologi sedangkan Nyoman Dana berlatar belakang antropologi. Penelitian ini memberikan peneliti gambaran mengenai bagaimana implikasi perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, yang mana penulis ingin mengetahui seberapa jauh perkawinan campuran ini mempengaruhi identitas budaya pada etnis Tionghoa diDesa Pupuan. Akan tetapi tentunya secara keseluruhan penelitian yang akan penulis laksanakan berbeda dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Sutjiati Berata dkk. Penelitian yang akan penulis lakukan mengambil cakupan yang lebih luas, yakni mengenai perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Selain itu lokasi penelitiannya pun berbeda sehingga hasil penelitian, pada nantinya akan berbeda. Sedangkan perspektif penelitian akan berbeda karena perspektif penelitian yang akan penulis gunakan adalah perspektif kajian budaya. Buku yang berjudul Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas: Hubungan Antara Ingatan Kolektif dan Media, karangan Aimee Dawis, Phd terbit tahun 2010. Buku ini sebenarnya adalah terjemahan disertasi Aimee Dawis yang berjudul “The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The Relationship Between Collective Memory and the Media” yang menceritakan tentang saat-saat penuh bahaya dalam sejarah Indonesia ketika Orde Baru pimpinan Soeharto menerapkan kebijakan akulturasinya terhadap orang Tionghoa Indonesia. Pemerintah Orde Baru ketika itu mengeluarkan larangan penggunaan tradisi, bahasa dan kesenian etnis Tionghoa dimuka umum dalam upaya
15
memotong semua hubungan dengan Tiongkok yang dianggap komunis. Buku ini menyoroti generasi yang lahir, dibesarkan dan menajdi dewasa dalam tekanan ini. Iklim tekanan ini, kemudian lepas dan mencapai puncaknya ketika Presiden Abddurahman Wahid mencabut semua Keppres dan peraturan pemerintah yang mendiskriminasi etnis Tionghoa. Ironisnya era keterbukaan ini dimulai dengan saat-saat yang kelam bagi etnis Tionghoa, di mana terjadi perampokan, pembunuhan, pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Sedikit berbeda dengan buku yang ditulis oleh Aimee Dawis, penelitian ini akan terfokus pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa dengan studi kasus di Desa Pupuan, di mana identitas komunitas Tionghoa di sana terbentuk tidak hanya disebabkan oleh akulturasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga hasil kompromi budaya dengan budaya sekitarnya, selain itu bidang kajian dari penelitian ini berbeda. Aimee Dawis mengambil dari bidang Kajian Media, sedangkan penelitian ini akan bersudut pandang Kajian Budaya. Namun, dibalik perbedaan-perbedaan yang ada, tulisan dari Dawis ini sedikitnya memberikan gambaran bagi penulis untuk membayangkan bagaimana perkembangan situasi secara umum di Indonesia bagi etnis Tionghoa, khususnya bagaimana etnis Tionghoa memandang media sebagai sarana untuk bernostalgia terhadap kehidupan etnis Tionghoa pada masa lampau, baik itu melalui film-film kungfu maupun berita-berita. Tulisan dari Sulistyawati, pada tahun 2011 yang berjudul Pengaruh Kebudayaan Tionghoa Terhadap Peradaban Budaya Bali yang termuat pada Bunga Rampai Integrasi Budaya Tionghoa kedalam Budaya Bali dan Indonesia
16
terfokus pada akulturasi yang terjadi antara budaya etnis Tionghoa ke dalam budaya Bali, di mana unsur-unsur budaya etnis Tionghoa melebur menjadi satu ke dalam budaya Bali. Terdapat 7 poin yang ingin diungkapkan Sulistyawati dalam tulisannya ini. Pertama pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem religi dan upacara keagamaan; kedua pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem dan organisasi kemasyarakatan; ketiga, pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem pengetahuan; keempat, pengaruh budaya Tionghoa terhadap bahasa; kelima pengaruh budaya Tionghoa terhadap kesenian; keenam pengaruh budaya Tionghoa terhadap mata pencaharian hidup; dan ketujuh pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem teknologi dan peralatan (2011:14-39). Tulisan dari Sulistyawati ini mengambil sudut pandang dari perspektif budaya Tionghoa. Tulisan dari Sulistyawati ini memberikan penulis gambaran tentang besarnya pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Bali. Bahkan bisa dikatakan berdasarkan tulisan ini, bahwa hampir semua unsur budaya Bali mendapatkan pengaruh dari budaya Tionghoa. Penelitian yang akan dilakukan penulis akan mengambil gambaran yang berbeda dari tulisan Sulistyawati ini, di mana penulis akan mengambil gambaran bagaimana budaya Bali, dan kehidupan sosial ekonomi religius komunitas etnis Tionghoa mempengaruhi identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Selain itu perbedaan penelitian penulis dengan tulisan Sulistyawati ini adalah, penulis akan mempergunakan perspektif Kajian Budaya dalam melakukan penelitian. Penelitian Made Purna pada tahun 2008 yang berjudul Pengaruh Kebudayaan Tionghoa Dalam Pembentukan Identitas Budaya Spiritual Bali:
17
Sebuah Model Integrasi Budaya, yang termuat dalam Jurnal Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, menyatakan bahwa perkenalan budaya Tionghoa terhadap budaya Bali sudah ada semenjak abad ke 7 Masehi, di mana Bali pada saat itu sudah dikenal oleh China dikarenakan oleh pemerintahannya yang sudah dianggap maju. Dalam bidang religi, banyak tradisi-tradisi, ceritacerita maupun tarian-tarian yang mendapatkan pengaruh dari etnis Tionghoa. Misalkan saja pada Barong Landung, di mana keberadaan Barong Landung berdasarkan pada mitologi rakyat Kang Cing Wi, Dalem Balingkang dan Dewi Danu. Selain itu dalam penelitiannya, Purna juga meneliti tentang unsur-unsur perekat/integrasi antara budaya Bali dengan etnis Tionghoa, yang diantaranya masalah kawin, sama-sama menghormati leluhur dan simbol-simbol keagamaan. Khusus mengenai simbol-simbol keagamaan Purna, menjelaskan bahwa kesamaan simbol-simbol keagamaan menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan budaya Bali menjadi sangat erat. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purna adalah sama-sama melihat adanya hubungan erat antara budaya Bali dengan etnis Tionghoa, sehingga menjadikan kedua unsur ini saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan perbedaannya adalah penulis akan mengambil perspketif dari kajian budaya, berbeda halnya dengan Purna yang mengambil perpektif dari antropologi. Penelitian penulis juga lebih terfokus pada perubahan identitas yang ada pada etnis Tionghoa yang mengambil studi kasus di Desa Pupuan. Buku yang berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, sebuah karya dari Onghokham yang terbit tahun 2009. Buku ini sebenarnya adalah kumpulan
18
artikel yang pernah dipublikasikan di Star Weekly dari tahun 1958-1960, di mana kesemua artikel tersebut menyangkut tentang posisi kelompok Tionghoa peranakan di Indonesia. Analisis dari buku ini yang mengambil sudut pandang sejarah dan politik, sangat dipengaruhi oleh latar belakang Onghokham, seorang sejarahwan walaupun sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hukum Universitas Indonesia. Terdapat 14 artikel yang dimuat dalam buku ini dari 41 artikel yang Ong sumbangkan kepada Star Weekly. Jika dilihat dan dianalisis, terdapat 4 poin bahasan yang dimuat dalam buku ini yang saling terikat satu sama lain. Pertama mengenai sejarah sosial politik orang Tionghoa peranakan di Jawa, Madura dan Filipina. Kedua mengenai pandangan Ong terhadap kedudukan Tionghoa dalam tataran masyarakat Indonesia. Ketiga, kontribusi Ong atas polemik mengenai akulturasi versus integrasi, di mana Ong merupakan salah satu tokoh utama akulturasi hingga tahun 1963, dan yang keempat membahas mengenai keluarga Ong yang merupakan keturunan keluarga Han dan Tan yang cukup disegani di Jawa Timur. Sedikit berbeda dengan buku yang ditulis oleh Onghokham, penelitian ini akan terfokus pada perubahan identitas etnis Tionghoa, dengan mengambil kasus di Desa Pupuan dan mempergunakan perspektif kajian budaya. Akan tetapi, buku ini bisa menjadi salah satu perbandingan untuk melihat akulturasi yang terjadi di Jawa, Madura, Filipina dengan yang terjadi di Bali. Selain kajian-kajian di atas secara keseluruhan masih banyak penelitian/ laporan/ karya tulis yang membicarakan tentang etnis Tionghoakhususnya
19
mengenai akulturasi antara etnis Tionghoa dengan budaya lokal. Kajian-kajian tersebut di atas, secara keseluruhan dapat memberikan gambaran yang sangat berarti dalam melihat secara jeli terhadap fenomena perubahan identitas budaya yang terdapat pada etnis Tionghoa. Akan tetapi, dari beberapa kajian-kajian di atas tampaknya belum ada kajian khusus yang membahas mengenai perubahan identitas budaya etnis Tionghoa.
2.2. Konsep Istilah konsep digunakan sebagai upaya untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Dalam definisinya diartikan sebagai istilah yang menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai topik kajian dalam penelitian ini, maka ada beberapa konsep yang perlu dibatasi yakni: (1)Perubahan, (2) Identitas Budaya, (3)Etnis Tionghoa,
2.2.1 Perubahan Ketika berbicara tentang perubahan, tentunya terjadi dalam jangka waktu tertentu, yang mana terdapat keadaan sebelum dan sesudah dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan perubahan adalah perubahan identitas. Menurut Machionis, perubahan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu di mana,
20
konsep dasar dari perubahan mencakup tiga gagasan: perbedaan, pada waktu yang berbeda dan diantara sistem sosial yang sama (Sztomka, 2007:5). Perubahan, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan, apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem sosial yang tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen sebagai berikut: 1.Unsur-unsur pokok (misalnya jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka). 2.Hubungan antar-unsur (misalnya ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, integrasi). 3. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial). 4. Pemeliharaan batas ( misalnya kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekruitmen dalam organisasi). 5. Subsistem (misalnya jumlah dan jenis seksi, segmen atau divisi khusus yang dapat dibedakan) 6. Lingkungan (misalnya keadaan alam atau lokasi geopolitik). Secara garis besar, dengan adanya perubahan keadaan-keadaan seperti yang disebut di atas, kemungkinan perubahan sosial yang dapat terjadi:
21
1. Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok). 2. Perubahan struktur (misalnya terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerjasama atau hubungan kompetitif). 3. Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasi oleh sekolah atau universitas). 4.
Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok atau satu
kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan dan penaklukkan). 5. Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendaliann keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintahan otoriter). 6. Perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional) Namun, kadangkala, perubahan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem. Sistem sebagai keseluruhan tetap utuh, tidak terjadi perubahan menyeluruh atas unsur-unsurnya meski di dalamnya terjadi perubahan sedikit demi sedikit (Sztomka, 2007:2-5).
22
Dalam penelitian ini
yang dimaksud dengan perubahan adalah
transformasi dalam organisasi mayarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Lingkup perubahan dalam penelitian ini mencakup, perubahan komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas, perubahan hubungan antarsubsistem.
2.2.2 Identitas Budaya Identitas berasal dari bahasa latin, kemudian diadopsi oleh bahasa Perancis menjadi identité. Identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda atau jatidiri. Identitas seseorang dapat ditilik dari jenis kelamin, ras, etnis, bahasa, bangsa, agama, dan bahkan dari cara dia berpakaian. Identitas bisa disimpulkan secara sederhana sebagai sebuah kumpulan sifat-sifat yang menentukan bagaimana seseorang “ingin meng/ di-identifikasi-kan. Menurut Takashi Irimoto (dalam Kumbara, 2011:40-41), sebagai paradigma baru dalam antropologi tentang etnisitas dan identitas menyebutkan: 1. Identitas sebagai kerangka kerja terdiri atas hubungan antara alam, manusia dan masyarakat. 2. Pergaulan dengan satu macam tingkatan kelompok dari individu-individu di dalam masyarakat terhadap segala macam kehidupan manusia. 3. Lebih lanjut, jika etnisitas ditambahkan kepada identitas, maka identitas dapat diposisikan di dalam hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok yang melakukan kontak satu dengan yang lain dan.
23
4. Identitas berhubungan dengan proses perubahan penduduk dan kebudayaannya. Madan Sarup dalam kaitannya dengan perubahan identitas menyatakan bahwa identitas itu tidak pernah tetap, tidak utuh, tidak satu, tetapi fabricated dan constructed, terus digodok dalam proses. Artinya, bahwa identitas itu akan terus berubah, terus dikonstruksi dalam suatu proses. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta ‘buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari budi atau akal. Kemudian kata ini berkembang definisinya menjadi daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa (Koentjaraningrat, 2000:181). Sedangkan kebudayaan sendiri adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia, di mana dalam antropologi istilah ini tidaklah dibedakan. Williams, mendefinisikan konsep budaya sebagai budaya yang dibentuk oeh makna dan praktik. Kebudayaan adalah pengalaman yang hidup: teks, praktik dan makna bagi semua orang ketika mereka menjalani hidupnya. Kebudayaan tidak menggambarkan kondisi material kehidupan, sebaliknya apapun tujuan praktik budaya, sarana produksinya tidak terbantahkan lagi selalu bersifat materi. Jadi makna kebudayaan yang hidup harus dieksplorasi di dalam konteks syarat produksi mereka, sehingga menjadi bentuk kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup(Barker, 2005:50-55). Secara umum identitas dibagi menjadi dua dunia kategori utama, yakni: identitas budaya dan identitas politik. Identitas budaya menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of
24
belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Barker, 2005:169-190). Stuart Hall (dalam Erniwati, 2011:21-22) membagi identitas budaya atas dua definisi yang berbeda, yaitu pertama, identitas budaya berhubungan dengan persamaan budaya pada suatu kelompok tertentu di mana anggota-anggotanya memiliki sejarah dan nenek moyang yang sama. Identitas budaya pada definisi ini, menggambarkan persamaan pengalaman sejarah dan berbagai lambang-lambang budaya yang membuat mereka menjadi satu komunitas yang stabil, tidak berubah dan melanjutkan kerangka acuan dan pemaknaan di bawah perubahan sejarah. Kedua, definisi identitas budaya adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah dan unsur-unsur kebudayaan. Identitas budaya disini kemudian mengandung identitas politik, yaitu politik penentuan posisi dalam masyarakat tertentu. Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas kebudayaan sebagai representasi adalah tidak permanen karena merupakan produksi atau konstruksi yang tidak lengkap, tetapi selalu dalam proses perubahan dan dibentuk dari dalam kelompok. Kedua definisi ini memperkuat definisi identitas sebagai kategori budaya, sejarah, dan politik. Identitas budaya tunduk atau berada di bawah permainan sejarah, budaya, dan kekuasaan yang berakar pada masa lalu. Dengan kata lain identitas budaya dibentuk oleh diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan permainan kekuasaan melalui transformasi dan pembedaan (difference). Secara implisit, Bhaba (Supriyono, dalam Sutrisno dkk. ed, 2004:145-146) berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang dibawa sejak lahir dari kekosongan. Identitas budaya bukanlah entitas yang sudah ditakdirkan.
25
pandangan tentang oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai yang terpisah satu dari yang lain dan masing-masing berdiri sendiri. Sebaliknya, pendapat Bhaba menganjurkan bahwa negosiasi identitas budaya mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan budaya. Relasi budaya-budaya, termasuk “penjajah” dan “terjajah”, berada dalam interpendensi dan konstruksi subjektivitas yang mutual. Menurut Bhaba, budaya dan sistem budaya terbentuk dalam ruang ketiga. Interpendensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Hibriditas identitas, memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan sebagainya. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, cultural studies memaknai identitas sebagai sebuah ‘entitas’ yang dapat diubah menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Dalam kaitannya dengan identitas budaya etnis Tionghoa, Wang Gungwu mengatakan bahwa konsep identitas budaya membuka kemungkinan untuk mengkaji tidak hanya bagaimana orang-orang Tionghoa menopang identitas Tionghoa mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai yang bukan Tionghoa, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total dan menerima suatu identitas yang bukan Tionghoa yang sepenuhnya baru. Dengan konsep ini para cendekiawan akan bisa menjajaki kesediaan orang Tionghoa menerima identitas nasional, lokal, dan menelaah sejauh mana mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, ketika berhubungan dengan orang Tionghoa lainnya yang juga tinggal di lokalitas yang sama atau dengan orang Tionghoa yang tinggal di luar lokalitas tersebut.
26
Identitas budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu jati diri sebuah komunitas Tionghoa yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami perubahan, baik itu pengaruh unsur-unsur budaya luar yang mutual maupun pengaruh sejarah dan kekuasaan. Hal ini, sejalan dengan pandangan Bhaba dan Hall yang menyatakan bahwa identitas budaya bukan merupakan identitas yang dibawa semenjak lahir dan akan mengalami perubahan terus menerus dan perubahan ini akan terkait dengan relasi interaksi budaya, sosial, kekuasaan, politik dan sejarah masa lalu. Identitas budaya dalam penelitian ini mencakup bahasa, religi/kepercayaan, dan penamaan
2.2.3 Etnis Tionghoa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Narrol, menyatakan bahwasannya yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai berikut: 1.Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. 2.Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. 3.Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. 4.Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
27
Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan definisi etnis, yang menunjuk pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya (Barth, 1988:9-20). Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya. Terbentuknya ‘suku bangsa’ bersandar pada penanda budaya yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak sebagian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama (Barker, 2005:201).
Sedangkan
dalam
penelitian
ini
etnis
merupakan
sebuah
komuniatas/kelompok yang memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktek budaya. Sebelum menelaah mengenai kata Tionghoa, harus ditelaah terlebih dahulu kata China yang merupakan sumber dari Tionghoa. China adalah sebuah negara yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan Rusia. Asal muasal penggunaan kata China diperkirakan terjadi pada masa Dinasti Chin, dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil membangun tembok besar (great wall). Pada masa itu, orang di dataran China seringkali mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka akan menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa, mereka akan menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika Bangsa Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka
28
Bangsa Chin. Dalam dialek Hok-kian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan akhiran “a” atau “ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dilafalkan menjadi “Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata China (Marcus, 2009:viii-xvi). Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri, sebenarnya adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhongguo dan sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekeliingnya. Kadang, istilah Zhongguo dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya dengan penamaan kota dibawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar. Kemudian, istilah Zhongguo juga dipakai singkatan penamaan dari republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi tahun 1949, ketika diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo (CHINA). Istilah Tionghoa ini kemudian menjadi popular, setelah Dr. Sun Yat Sen 1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah negara rakyat Chunghwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
29
Sebutan Chungguo dan Chunghwa menjadi popular sebab revolusi perubahan dari kekaisaran menjadi negara demokratis, memberikan sebuah harapan baru adanya perbaikan pada masyarakat umum. Tersirat juga di sana persaingan primordial bahwa etnis Han terlepas dari dominasi etnis Manchu. Hal ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah penguasa Manchu ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok. Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga
diri
bangsa
dan
negara
yang
telah
lama
terpuruk.
(Kusteja,
2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongkok-Tionghoa-china chinese-dan-cina) Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK (Tiong Hoa Hwee Koan/"Tjung Hwa Hwei Kwan"/ Zhonghua Huiguan). Pada masa itu, etnis Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjina” oleh masyarakat. Perlu dicatat bahwadalam anggaran dasar THHK istilah Tjina dan negeri Tjina masih dipergunakan, dan kata Tionghoa/Tionghua belum masuk dalam perbendaharaan bahasa Melayu. Laporan Komisi THHK pada bulan Desember 1902 (disiarkan pada tanggal 14 Februari di surat kabar Li Po) menggunakan bahasa Tjina dan negeri Tjina untuk menyebut Tionghoa dan Tiongkok. Dokumen THHK yang kemudian diterbitkan tahun 1904 juga masih mempergunakan sekolah Tjina dan soerat Tjina untuk menyebut sekolah Tionghoa dan aksara
30
Tionghoa. Akan tetapi dalam beberapa catatat lainnya, istilah bangsa Tiong Hoa juga mulai dipergunakan. Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popular dengan bangkitnya nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke-20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah Zhonghua didaratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolah-sekolahnya dan juga pers, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (China) mulai dianggap sebagai istilah yang berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa. Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan Tionghoa saja. Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen, dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi. Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pers pribumi dan pers peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi dan sebutan “Hindia Belanda” dan “Hindia Olanda” diganti dengan sebutan Indonesia, di mana sebutan Indonesia mulai dipergunakan pers peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Februari 1927 pada Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru populer pada tahun
31
1930-an. Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pers (Suryadinata, 2002:100-106). Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari China yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia. Etnis Tionghoa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan.
2.2.4 Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Berdasarkan konsep-konsep di atas, dapat ditarik sebuah definisi operasional bahwa yang dimaksud dengan Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan adalah sebuah fenomena sosial budaya mengenai suatu jati diri sebuah komunitas Tionghoa yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami perubahan, baik itu pengaruh unsurunsur budaya luar yang mutual maupun pengaruh sejarah dan kekuasaan yang menjadi kondisi khusus yang terdapat di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan yang meliputi perubahan agama/kepercayaan, perubahan bahasa dan perubahan nama.
32
2.3 Landasan Teori Teori adalah aturan yang menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena ilmiah (Iskandar,2009: 103). Dalam penelitian ini penggunaan teori dilakukan secara eklektik, yaitu teori-teori yang dianggap relevan sebagai landasan untuk menganalisis Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Teori-teori tersebut adalah: (1) teori hibriditas,(2) teori hegemoni, dan (3) teori praktik.
2.3.1 Teori Hibriditas Teori pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hibriditas dari Homi K. Bhaba. Teori ini dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama yakni perubahan identitas budaya yang terjadi pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hibrid atau hibriditas berasal dari bahasa Latin hybrida, sebuah kata yang mengacu pada percampuran-perkawinan dua esensi atau lebih yang kemudian melahirkan sesuatu yang lebih unggul (Kamus Besar Indonesia, 2008:520). Dalam budaya, hibriditas mengacu pada pertemuan dua budaya atau lebih yang kemudian melahirkan sebuah budaya baru, akan tetapi budaya lama tidak ditinggalkan. Hibriditas diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu ruang baru. Suatu sistem tersendiri yang
33
‘Hibrid’, di mana menurut Bhabha merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Dalam hibriditas, biasanya identitas lama tidak begitu saja menghilang, meskipun identitas budaya baru akan kuat mempengaruhi. Di sinilah kemudian terjadi apa yang disebut oleh Bhaba sebagai ambiguitas identitas yang membawa seseorang dalam posisi ‘in-between’ alias “di tengah-tengah”. Hal inilah yang kemudian disebut oleh Bhaba bahwa hibriditas merupakan taktik dan strategi kebudayaan, di mana produk budaya hibrid senantiasa menghindari segala macam kategorisasi biner, pendatang versus pribumi, kapitalisme versus sosialisme, di mana pada akhirnya produk budaya hibrid akan menempati apa yang disebut ruang ketiga dalam setiap kategori biner. Bhaba menambahkan bahwa postkolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 1994:113-114). Namun, hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabilisasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Terminologi dunia ketiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori hibriditas Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk
34
melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Hal ini terjadi karena mimikri mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas yang hibrid (http//www.catatankecilsosiologi.blogspot.com//mooregilberttentanghomikbhabha .html). Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan,
yakni
perbedaan
tersebut
merupakan
proses
pengingkaran.
Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat
35
pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial. Pada prakteknya, mimikri juga mengusung paham mockery, meniru tetapi juga memperolok-olok (Bhabha, l994: 86). Dikaitkan dengan tema penelitian, prilaku mimikri etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tampak pada berbagai hal, seperti upacara agama, tradisi, kehidupan sosial, maka teori ini menjadi relevan untuk menganalisis perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
2.3.2 Teori Hegemoni Hegemoni, dalam pengertian tradisionalnya diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik. Istilah tersebut, dalam tradisi Marxisme, diperluas ke arah pengertian hubungan kekuasaan diantara kelas-kelas sosial, khususnya kelas berkuasa (ruling class) (Piliang, 2010:71). Hegemoni, kemudian dikembangkan oleh Gramsci. Menurutnya hegemoni merupakan kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas penguasa (Ritzer, 2010:300). Selain itu, hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan mempergunakan
kekuasaan,
melainkan
hubungan
persetujuan
dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, disamping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik. Prinsip hegemoni dengan demikian dibangun di atas sebuah landasan demokrasi yang terbentuk antara kelompok berkuasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga apa yang
36
diciptakannya adalah sebuah masyarakat sipil. Dalam masyarakat sipil tersebut, pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup yang ada dari berbagai kelompok sosial, yang kemudian disatukan kedalam sebuah prinsip artikulasi, yang konduktornya adalah kelas hegemoni (Piliang, 2010:71-73). Hegemoni juga dapat dipahami dalam konteks strategi di mana pandangan dunia dan kekuasaan kelompok sosial panutan (apakah mereka berupa kelas, seks, etnis atau nasionalitas) dipelihara. Namun ini harus dilihat dalam konteks relasional dan secara inheren tidak stabil. Hegemoni adalah tempat tinggal sementara dan serangkaian aliansi antar kelompok sosial yang dimenangkan dan tidak diberikan. Lebih jauh dia perlu terus menerus dimenangkan lagi, dinegosiasikan ulang, sehingga kebudayaan menjadi lahan konflik dan perjuangan mencapai makna. Hegemoni bukanlah suatu entitas statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang terus berubah yang secara intrinsik menyatu dengan kekuatan sosial. Karena hegemoni harus terus-menerus diciptakan dan dimenangkan, dia membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan kontra hegemoni harus mendapat dukungan di dalam masyarakat sipil (afiliasi di luar batas-batas formal kekuasaan negara termasuk keluarga, pers, aktivitas waktu senggang) sebelum berbagai upaya dilakukan terhadap kekuasaan negara. Gramsci membedakan ’perang posisi’ yang merupakan kemenangan hegemoni di
37
dalam ranah masyarakat sipil, dengan ’perang manuver’ yang merupakan serangan terhadap kekuasaan negara. Bagi Gramsci keberhasilan dalam ’perang manuver’ tergantung kepada pencapaian hegemoni melalui ’perang posisi’. Dikaitkan dengan tema penelitian, di mana hegemoni mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka teori ini menjadi relevan untuk menganalisis perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
2.3.3 Teori Praktik Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu, seorang ilmuan sosial politik Prancis kelahiran Denguin Pyrenia Atlantik (Haryatmoko, 2003:6-7). Bourdieu menyatakan teori praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi dari kekuatan, sesuatu kekuatan sepesifik yang beroperasi dalam ranah (Takwin, dalam Harker dkk.ed, 2009:xx). Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus
38
mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subjektif terhadap posisi itu (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 13-14). Konsep habitus itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan ranah. Dua konsep itu sangat terikat satu sama lain dikarenakan saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosia) dan strukturstruktur habitus yang terintegrasi pada pelaku (Bourdieu dalam Hardyatmoko, 2003:11). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat diantara titik-titik simbolik. Struktur ranah, di definisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 10-11). Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam masyarakat sangat terdiferesiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, di mana dalam pembedaan
ini, terletak prinsip
dasar
39
pengorganisasian sosial. Namun dominasi ini tergantung pada situasi modal dan strategi pelaku (Hardyatmoko, 2003:11). Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya) (Hardyatmoko, 2003:11). Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh, kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Sedangkan modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Hardyatmoko, 2003:12). Fukuyama, juga secara sederhana mengartikan modal sosial sebagai rangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002:22-26). Modal sosial yang ada merupakan cerminan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan
40
jaringan, pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya, termasuk nilai dan norma yang mendasari hubungan sosial tersebut Modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung. Nilai yang diberikan oleh modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan ke dalam habitus sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Lazimnya, jumlah modal sebagaimana struktur modal tambahan juga merupakan dimensi penting dalam ranah (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 15). Teori praktik dari Bourdieu ini akan dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang kedua, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, sekaligus untuk menganalisis implikasi dan makna perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
41
2.4 Model Penelitian Dinamika Sosial Ekonomi dan Politik
Budaya Bali
Budaya China/Etnis Tionghoa
Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Identitas budaya baru etnis Tionghoa yang bisa berbaur dengan masyarakat sekitarnya Keterangan garis: :
Mempengaruhi secara langsung
:
Harapan
:
Hubungan timbal balik Bagan 2.1. Model Penelitian
Implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan
42
Keterangan Model: Etnis Tionghoa, merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami Pulau Bali sejak ratusan tahun yang lalu. Relasi hubungan etnis Tionghoa dengan budaya Bali sudah terjalin sangat lama ini, saling mempengaruhi satu sama lain melalui proses dinamika sosial, ekonomi dan politik baik pada budaya Bali, maupun Etnis Tionghoa sendiri. Dari sudut Etnis Tionghoa sendiri, pengaruh budaya Bali menjadikan identitas etnis Tionghoa menjadi berubah dikarenakan ada beberapa produk budaya Bali dipergunakan/diserap oleh etnis Tionghoa. Perubahan yang telah terjadi ini tentunya perlu dicari bentuk-bentuknya, dalam hal apa telah terjadi perubahan identitas pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Kemudian perlu juga dianalisis, faktor apa yang mempengaruhi terjadinya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Selanjutnya pada tahap akhir, perlu juga di interpretasikan implikasi dan makna yang diakibatkan oleh perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Melalui perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang telah mengalami proses perubahan selama beberapa generasi kemudian memunculkan sebuah identitas budaya etnis Tionghoa yang baru yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Di mana identitas budaya yang baru ini diharapkan mampu membaur dengan masyarakat sekitar.
43
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dipergunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah di mana peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data merupakan trianggulasi (gabungan) di mana hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2005:1). Selain itu, metode penelitian kualitatif juga bisa diartikan sebagai sebuah sebuah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010:6). Hal ini dikarenakan metode yang digunakan adalah metode untuk meneliti gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa Studi Kasus di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan, yang mengambil perspektif Kajian Budaya, dilaksanakan dengan penelitian kualitatif berdasarkan data yang bersifat deskriptif yang diperoleh dari kumpulan data yang dikumpulkan. Hal-hal yang tidak terpecahkan secara teori masih dapat ditelusuri melalui pendekatan interpretatif atau tafsir, mengingat kebudayaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau nyata, melainkan juga menyimpan
43
44
nilai-nilai dan makna yang abstrak, seperti yang dikatakan oleh Geertz, bahwa analisis kebudayaan bukan merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Makna tersebut ditenunnya sendiri dalam jaringan-jaringan makna dan kebudayaan. (Salain, 2011:63)
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan tempat dilakukannya suatu pengamatan mengenai permasalahan yang akan diteliti lebih jauh dalam suatu penelitian. Penelitian akan dilaksanakan di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Desa Pupuan memiliki luas, 5.70 km2, terdiri dari 5 banjar dinas, dan secara adat Desa Pupuan juga terdiri dari 1 desa adat dengan 5 banjar adat. Jumlah penduduk Desa Pupuan berdasarkan data tahun 2010 adalah 3.023 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga sejumlah 771 kk. Jika dirinci menurut agama, maka jumlahnya adalah sebagai berikut: Hindu: 2.637 Jiwa, Budha: 140 jiwa, Islam: 235 jiwa, Katolik: 6, Kristen: 5, sedangkan jumlah tempat ibadah, Pura sebanyak 7 buah, dan Vihara, Gereja, Masjid masing-masing sebanyak 1 buah. (Kecamatan Pupuan dalam Angka, 2010: 1-81). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena di Desa Pupuan terdapat komunitas etnis Tionghoa yang jumlahnya 180 KK dan sudah terintegrasi ke dalam masyarakat Desa Pupuan. Selain itu di Desa Pupuan juga terdapat sebuah Vihara terbesar di Kabupaten Tabanan, kedua di Bali yang kemudian menjadi
45
salah satu simbol eksistensi etnis Tionghoa. Alasan yang paling penting Desa Pupuan dijadikan lokasi penelitian adalah di Desa Pupuan terdapat fenomena, komunitas etnis Tionghoa mengalami perubahan identitas budaya, di mana identitas budaya yang sekarang dianut oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan campuran antara identitas asli yang berasal dari leluhur dan identitas yang diserap dari masyarakat setempat.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yakni data kuantitatif yang berupa angka atau statistik dan data kualitatif yang berupa narasi, atau kata-kata, atau ungkapan. Pada penelitian ini, jenis data yang dipergunakan adalahjenis data kualitatif. Jenis data kualitatif berupa narasi atau kata-kata, ungkapan, dan uraian, beberapa dari data tersebut menunjukkan perbedaan dalam bentuk jenjang walaupun tidak jelas batas-batasannya (Nawawi, 2007:103). Selain itu, dalam penelitian ini juga didukung oleh data kuantitatif yang berupa angka-angka baik itu dalam bentuk tabel maupun grafik.
3.3.2 Sumber Data Untuk mendapatkan sejumlah data yang diperlukan, secara garis besar penulis menggunakan dua sumber data:
46
1.Sumber data primer berupainformasi yang diperoleh dari informan dan objek yang diobservasi langsung di lapangan. Data primer penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Ketua Perkumpulan Suka Duka Etnis Tionghoa ‘Karang Semadi’ di Desa Pupuan, tetua etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Bendesa Adat Desa Adat Pupuan, dan Kepala Desa Pupuan. Data primer juga didapatkan dari observasi langsung di lapangan untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Selain itu, data primer juga penulis dapatkan dari arsip-arsip data etnis Tionghoa yang terdapat di kantor Desa Pupuan dan Ketua Suka Duka Etnis Tionghoa Desa Pupuan. 2.Sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti tesis, disertasi, buku dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder penulis dapatkan dari referensi buku-buku yang berkaitan dengan etnis Tionghoa, yang dijual bebas di toko-toko buku. Selanjutnya, penulis juga mendapatkan arsip UU no. 41 tahun 1961 tentang pelarangan menggunakan bahasa asing dan dianjurkan Tionghoa Indonesia melakukan ganti nama, Inpres no. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, Kepres no 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres no. 14 tahun 1967, dan UU no. 12 tahun 2006 dari internet. Data sekunder juga penulis dapatkan dari Koran Radar Bali, harian Metro dengan tanggal terbit 24 januari 2012 dan juga majalah intisari edisi bulan Februari 2012. Berkaitan dengan penelitian ini, kedua sumber data itu sangat diperlukan dalam rangka memecahkan dan menjawab seluruh pokok permasalahan.
47
3.4 Penentuan Informan Informan dapat dinyatakan sebagai orang nomor satu setelah peneliti karena tanpa informan, peneliti akan kebingungan dalam menungkapkan permasalahan. Pada penelitian kualitatif, informan yang dijadikan sebagai sumber adalah informan yang kompeten, memiliki relevansi dengan setting sosial yang diteliti, di mana setting sosial itu sendiri menyangkut situasi dan kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian ini akan menggunakan teknik snowball, di mana strategi dasar teknik bola salju, dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key informants) dan melakukan interview terhadap mereka secara bertahap atau berproses. Pada penelitian ini, peneliti akan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci dan melakukan wawancara terhadap mereka. Kepada mereka kemudian dimintakan saran, arahan petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang menurut mereka memiliki pengetahuan, pengalaman dan informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya penentuan informan berikutnya dilakukan dengan cara yang sama sehingga diperoleh jumlah informan yang mencukupi (Iskandar, 2009:114-116). Informan kunci pada penelitian ini adalah pemuka-pemuka etnis Tionghoa, pengurus Karang Semadi di Desa Pupuan, tokoh adat di Desa Pupuan serta tokoh-tokoh Vihara.
3.5 Instrumen Penelitian Peneliti merupakan pengumpul data utama penelitian kualitatif namun perlu juga didukung oleh instrumen lainnya. Pengumpulan data diperlukan alat
48
(instrumen) yang tepat agar data yang berhubugan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap, di mana dalam melakukan observasi munculnya gejala-gejala dalam variabel penelitian harus segera dicatat meskipun dengan cara paling sederhana. Catatan yang paling sederhana adalah berbentuk lembaran kertas atau sebuah buku catatan dan kemudian dibuat catatan (fieldwork), daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dalam bentuk pedoman wawancara, kamera, dan tape recorder sebagai alat bantu yang mempermudah dalam membuat analisis data lapangan (Iskandar, 2009:120).
3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) studi dokumen.
3.6.1 Observasi Kegiatan observasi meliputi pengamatan, pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, prilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang dilakukan. Pada tahap awal observasi, dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan informasi atau data sebanyak-banyaknya., yang kemudian selanjutnya peneliti memfokuskan diri sehingga informasi yang diperoleh dapat terfokus. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian
kualitatif
dengan
menggunakan
observasi
digunakan
mengumpulkan beberapa informasi atau data yang berhubungan dengan ruang, pelaku kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa.
49
Terdapat tiga buah pola observasi, yakni observasi partisipasi, observasi tidak berstruktur dan observasi kelompok, di mana dalam penelitian ini observasi yang dipergunakan adalah observasi partisipasi (Iskandar, 2009:122-128). Observasi partisipasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan, di mana peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden, dalam hal ini peneliti akan terlibat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan perkumpulan ‘Karang Semadi’ maupun kegiatan di desa yang melibatkan etnis Tionghoa. Akan tetapi dalam observasi partisipasi juga memiliki kelemahan, diamana peneliti diharuskan untuk selalu membina hubungan baik dengan semua anggota kelompok yang diteliti agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apabila dikemudian hari, peneliti tidak bisa menjaga hubungan baik dengan objek penelitian maka informasi akan sangat sulit untuk diperoleh.
3.6.2 Wawancara Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data kualitatif dengan menggunakan instrumen yaitu pedoman wawancara. Wawancara dalam penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dari suatu masyarakat yang merupakan pendukung utama dari metode observasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan subjek penelitian yang terbatas. Untuk memperoleh data yang memadai sebagai cross check, peneliti dapat mempergunakan beberapa teknik wawancara yang sesuai dengan situasi dan kondisi (Iskandar, 2009:129).
50
Wawancara mendalam dilakukan dalam konteks observasi partisipasi di mana peneliti terlibat secara intensif dengan setting penelitian terutama keterlibatan subjek penelitian. Mc Milan dan Schumaher dalam Iskandar menyatakan bahwa wawancara mendalam merupakan tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan yang bagaimana menggambarkan kejadian atau fenomena yang berhubungan dengan setting penelitian (Iskandar, 2009:130). Selanjutnya Iskandar juga menyatakan bahwa wawancara mendalam adalam suatu proses mendapatkan informasi untuk kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti dengan informan dalam konteks observasi partisipasi (Iskandar, 2009:131). Adapun model wawancara yang dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara terstuktur dan tidak berstruktur (Iskandar, 2009:131-134). Penelitian ini penulis mempergunakan wawancara tidak terstruktur, akan tetapi tetap berdasarkan pada pedoman wawancara. Wawancara ini bersifat lentur dan terbuka, serta tidak terstruktur ketat. Melalui proses wawancara secara mendalam peneliti dapat mengumpulkan data-data melalui pertanyaan-pertanyaan yang semakin terfokuskan dan mengarah pada kedalaman informasi itu sendiri. Peneliti dalam hal ini dapat bertanya kepada beberapa narasumber mengenai fakta dari suatu peristiwa yang ada. Dalam berbagai situasi, peneliti dapat meminta narasumber untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan dapat menggunakan posisi tersebut sebagai dasar penelitian.
51
3.6.3 Studi Dokumen Selain pengamatan langsung dan wawancara dengan para informan, penelitian ini juga menggunakan dokumen, yakni pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian seperti bukubuku, majalah, jurnal, surat keputusan, arsip-arsip, peraturan-peraturan serta kepustakaan lainnya. Cara ini dilakukan dengan mencari, memahami kemudian mencatat data yang relevan sebab dokumen seringkali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sulit ditangkap melalui observasi langsung (Nawawi, 1992: 180). Dokumen yang diperoleh, bisa didapatkan dari informan atau dari hasil pencarian di tempat yang kemungkinan besar menyimpan dokumen yang peneliti perlukan. Pada penelitian ini, peneliti mencari dokumen di kantor desa, perpustakaan, maupun dokumentasi dimiliki oleh informan.
3.7 Teknik Analisis Data Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul sejak awal.
Analisis
data
merupakan
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, ketegori dan uraian dasar. Proses analisis data sebenarnya sudah mulai dilaksanakan sejak pengumpulan data dilakukan di lapangan dan dikerjakan secara intensif ketika sudah meninggalkan lapangan (Moleong, 2010:248-249). Pada penelitian kualitatif, data yang diperoleh dari berbagai sumber dengan mempergunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam, dan
52
dilakukan secara terus-menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus-menerus tersebut mengakibatkan tingginya variasi data. Data yang diperoleh di lapangan kemudian dianalisis untuk selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu analisis yang berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul (Sugiyono, 2005:87-89). Kemudian, data yang terkumpul diolah lagi dengan teori yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan untuk kemudian memunculkan adanya suatu hasil, yang berbeda dan atau sama. Pada indikator perubahan, akan dianalisis munculnya perubahanperubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Perubahan tersebut apakah berupa bahasa, bentuk upacara religi, maupun sistem penamaan etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Analisis pada perubahan ini akan mempergunakan teori hibriditas. Kedua, pada indikator faktor-faktor, akan dianalisis faktor-faktor apa yang mendorong perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mulai dari faktor kesamaan nilai budaya, faktor ekonomi maupun faktor perubahan kebijakan politik. Analisis pada tatanan ini akan mempergunakan teori hegemoni yang akan didukung oleh teori praktik, di mana teori praktik akan menganalisis bagaimana, habitus, modal dan ranah yang termaktub dalam faktor baik itu eknomi, politik
53
maupun budaya pada akhirnya menjadi sebuah praktik perubahan identitas budaya etnis Tionghoa yang terjadi di Desa Pupuan.
3.8 Hasil Penyajian Analisis Data Penyajian hasil penelitian merupakan tahap akhir dari sebuah penelitian. Penyajian hasil penelitian ini dilakukan baik dengan metode informal maupun formal. Metode informal adalah hasil penyajian analisis data dengan menggunakan kata-kata atau kalimat verbal sebagai sarananya, dengan menggunakan ragam bahasa ilmiah. Ciri ragam ilmiah diantaranya adalah objektif, tidak emotif, lugas, dan komunikatif, sedangkan penyajian hasil analisis data secara metode formal adalah penyajian hasil pengolahan data dengan menggunakan tanda-tanda berupa tabel, diagram, grafik, gambar dan lain-lain (Sugiyono, 2005: 65). Sistematika penelitian diungkapkan kedalam delapan bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai dengan proporsi yang diperlukan dan disusun secara sistematis.
54
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA PUPUAN
Desa merupakan satuan organisasi yang meliputi sekelompok masyarakat yang mendiami atau bertempat tinggal dalam satu wilayah tertentu, yang mana di Bali terdapat 2 macam desa yaitu desa adat dan desa dinas. Antara desa adat dan desa dinas memiliki variasi hubungan sebagai berikut: 1.
Ada satu desa dinas yang sama wilayahnya dan pendukungnya dengan satu
desa adat 2.
Ada satu desa dinas yang meliputi beberapa wilayah desa adat
3.
Ada beberapa desa dinas yang berada pada satu wilayah desa adat
4.
Ada sebagian desa dinas yang meliputi sebagian desa adat tertentu dan
sebagian lagi desa adat lainnya (Inventarisasi Aspek-Aspek Nilai Budaya Bali, 1983:10-11). Penelitian ini mengambil tempat di Desa Pupuan yang terletak di Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan, yang mana jika mengacu pada pengertian di atas, termasuk ke dalam variasi hubungan pertama, yaitu dalam satu desa dinas yakni Desa Pupuan, terdapat satu desa adat yakni Desa Adat Pupuan. Dalam hal ini yang berbeda hanyalah jumlah warganya, hal ini dikarenakan tidak semua warga desa dinas masuk menjadi warga desa adat.
54
55
4.1 Keadaan Geografis dan Penduduk Desa Pupuan Desa Pupuan yang terletak di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, tepatnya berada di ujung utara Kabupaten Tabanan. Luas Desa Pupuan 525 Ha/km2 yang terdiri dari 5 banjar dinas, yakni Banjar Dinas Pupuan, Banjar Dinas Kubu, Banjar Dinas Kayupuring, Banjar Dinas Kayupadi, dan Banjar Dinas Semoja. Jarak Desa Pupuan dengan pusat pemerintahan kecamatan adalah 1 km dan kabupaten adalah 47 km, dengan waktu tempuh jika menggunakan sepeda motor ± 90 menit. Dari arah pusat Kota Tabanan menuju Desa Pupuan dihubungkan dengan jalan beraspal hotmix kelas satu yang merupakan estándar
jalan nasional,
sehingga memudahkan aktivitas penduduknya dalam bepergian menggunakan berbagai macam transportasi darat, baik itu sepeda motor, mobil, maupun truk. Adapun batas wilayah teritorial Desa Pupuan adalah sebagai berikut; utara: Desa Bantiran, selatan: Desa Pajahan, barat: Desa Bantiran, timur: Desa Pujungan. Desa Pupuan terletak pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500 mdpl, dengan suhu udara berkisar 25° celsius dengan curah hujan rata-rata 3.330 mm/tahun. Dengan kondisi topografi yang demikian, Desa Pupuan merupakan daerah dataran tinggi yang sangat cocok untuk ditanami tanaman-tanaman perkebunan terutama kopi dan cengkeh. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam peta (gambar 4.1).
56
Gambar 4.1 Peta Desa Pupuan (Sumber: Database Desa Pupuan Juli 2012)
Penduduk Desa Pupuan bertempat tinggal dan tersebar dalam banjarbanjar dinas. Secara garis besar, terdapat 4 etnis yang bertempat tinggal di Desa Pupuan, yakni etnis Bali, Tionghoa, Jawa dan Madura. Tidak ada data mengenai jumlah etnis yang bisa divalidasi, akan tetapi berdasarkan wawancara dengan kepala desa (perbekel), jumlah etnis terbanyak adalah etnis Bali, kemudian, etnis Madura, etnis Jawa dan yang paling sedikit adalah etnis Tionghoa. Akan tetapi penduduk etnis Madura dan Jawa adalah penduduk yang datang belakangan jika dibandingkan dengan etnis Bali dan Tionghoa. Jumlah penduduk total Desa Pupuan sebanyak 3.205 jiwa yang terdiri dari 1.602 laki-laki dan 1.603 perempuan. Jumlah kepala keluarga sebanyak 804 KK,
57
di mana setiap keluarga rata-rata berjumlah 4 orang. Untuk lebih rinci mengenai jumlah penduduk Desa Pupuan, dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Jenis Kelamin No
Banjar Dinas
Jumlah Jumlah Penduduk KK L P 1. Pupuan 220 418 435 2. Kubu 141 278 277 3. Kayupuring 121 283 261 4. Kayupadi 125 230 252 5. Semoja 197 393 378 Total 804 1602 1603 Sumber: Database Desa Pupuan per Juni 2012
Total 853 555 544 482 771 3205
Dilihat dari tabel di atas, jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak di Desa Pupuan. Walaupun demikian, jika dilihat data perbanjar, ternyata penduduk Desa Pupuan yang didominasi perempuan hanya terdapat di banjar Pupuan dan banjar Kayupadi. Secara adat, jumlah penduduk Desa Adat Pupuan sebanyak 682 kepala keluarga yang tersebar di 5 banjar adat, yakni Banjar Adat Pupuan, Banjar Adat Kubu, Banjar Adat Kayupuring, Banjar Adat Kayupadi,dan Banjar Adat Semoja. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Desa Adat Pupuan berdasarkan Banjar Adat No. 1. 2. 3. 4. 5.
Banjar Adat Pupuan Kubu Kayupuring Kayupadi Semoja
Total Sumber:Data Sekretaris Desa Adat Pupuan2012
Jumlah Kepala Keluarga (KK) 202 123 141 109 107
Presentase (%) 29,619 18,035 20,674 15,982 15,689
682
100,000
58
Jika dilihat dari dua tabel di atas, terdapat perbedaan jumlah penduduk antara desa adat dengan desa dinas. Hal ini sangat dimungkinkan karena tidak semua penduduk yang berada di Desa Pupuan menjadi anggota Desa Adat Pupuan, di mana hal ini disebabkan hanya penduduk beragama Hindu wajib yang menjadi krama adat dan itu juga tidak seluruhnya, di mana ada penduduk Desa Pupuan yang beragama Hindu menjadi krama adat di desa lainnya.
4.2Mata Pencaharian Penduduk Hampir sebagian besar mata pencaharian penduduk di Desa Pupuan adalah bercocok tanam. Ini berarti bahwa sebagian besar penduduk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari hasil pertanian terutama pada tanaman keras yang berupa kopi dan cengkeh. Istilah petani dalam hal ini mencakup petani pemilik lahan dan petani penggarap/buruh tani. Selain bermata pencaharian sebagai petani, penduduk Desa Pupuan juga memiliki mata pencaharian yang bervariasi, seperti PNS, pedagang, dokter dan lain sebagainya, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak jumlah petani. Sampai saat penelitian ini selesai dilaksanakan, tidak data yang pasti mengenai jumlah pendapatan perkapita penduduk Desa Pupuan dari hasil mata pencahariannya. Akan tetapi dari hasil pengamatan di lapangan dan informasi yang diperoleh dari informan, diketahui bahwa hasil rata-rata pendapatan penduduk di Desa Pupuan diperkirakan 2 juta rupiah per bulan. Untuk lebih jelas mengenai mata pencaharian penduduk di Desa Pupuan dapat dilihat pada tabel berikut:
59
Tabel 4.3. Pengelompokkan Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Jenis Pekerjaan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Pekerjaan Petani Pedagang Wiraswasta Pegawai Swasta Buruh PNS, TNI, POLRI Lain-lain Pensiunan Transportasi Guru Dokter Pembantu Total
Jumlah (jiwa) 676 270 301 147 129 69 61 12 10 7 2 1 1685
Presentase (%) 40,190 16,024 18,242 8,724 7,656 4,095 3,620 0,713 0,593 0,415 0,119 0,059 100,000
Sumber: Diolah dari Database Desa Pupuan Bulan Juni Tahun 2012 Dilihat dari data di atas sebagian besar penduduk di Desa Pupuan berprofesi sebagai petani, petani yang dimaksudkan disini, tidak hanya petani diladang basah (sawah), tetapi juga petani dilahan kering (tegalan), di mana berdasarkan letak geografis Desa Pupuan yang berada di daerah pegunungan, petani yang mendominasi di Desa Pupuan adalah petani lahan kering (tegalan) dengan tanaman yang dominan adalah kopi dan cengkeh. Khusus untuk etnis Tionghoa di Desa Pupuan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang, baik itu yang berada di pasar maupun di sepanjang jalan Pupuan akan tetapi ada juga beberapa etnis Tionghoa yang bekerja di kebun.
4.3Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial Sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bali, kondisi sistem kekerabatan masyarakat Desa Pupuan, tidaklah berbeda dengan sistem
60
kekerabatan masyarakat di Pulau Bali pada umumnya. Perkawinan merupakan saat yang amat penting dalam kehidupan masyarakat Desa Pupuan, baik yang beretnis Bali maupun Tionghoa. Dengan perkawinan seseorang dianggap warga penuh di masyarakat, yaitu memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komunitas dan warga kelompok kerabat. Perkawinan masyarakat etnis Bali di Desa Pupuan masih dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), di mana perkawinan diharapkan dilakukan di antara warga se-klen, atau setidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta, orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah). Sesudah pernikahan, suami istri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (umah) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit pula suami istri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami istri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan dari keluarga si istri (nyeburin). Tempat di mana suami istri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Jika suami istri tinggal secara virilokal, maka anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anakanak dari keturunan mereka yang menetap secara neolokal. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen
61
tersebut. Dalam hal ini, kedudukan si istri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan) (Koentjaraningrat, 1993:294-296). Secara umum, sebuah rumah tangga di Desa Pupuan terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama bersama keluarga batih mereka masing-masing. Tiaptiap keluarga batih maupun keluarga luar, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan sekelompok kerabatnya yang lebih luas, ialah klen (tunggal dadia). Selain klen-klen kecil, terdapat juga kumpulan beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian disebut juga klen besar. Tidak kurang dari 10 klen yang mendominasi Desa Pupuan, yakni Arya Tegeh Kori, Pasek Gelgel, Tangkas Kori Agung, Pasek Bendesa Manik Mas, Pasek Prateka, Pasek Tohjiwa, Pande, Arya Belog, Bhujangga dan Dalem Tarukan. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad, prasasti maupun lontar yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasa senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dari klen. Pada etnis Tionghoa sistem kekerabatan juga berdasarkan pada kelompokkelompok kekerabatan atau klen-klen atau dalam bahasa Tionghoanya disebut dengan shee. Setidaknya terdapat 15 shee yang ada di Desa Pupuan, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
62
Tabel 4.4. Marga (shee) Etnis Tionghoa diDesa Pupuan No. Nama Marga (See) Jumlah (Kepala Keluarga) 1. Kang 54 2. Hoo 3 3. Liem 16 4. Tan 8 5. Go 4 6. Tjan (can) 6 7. Oei 3 8. Siem 2 9. Sia 4 10. The 9 11. Kwa 6 12. Kho 3 13. Pee 9 14. Thio 2 15. Tjoa 5 Jumlah 118 Sumber:Data Perkumpulan Karang Semadi tahun 2012 Perkawinan dalam etnis Tionghoa di Desa Pupuan menghindari adanya perkawinan,antar sesama shee yang sama, akan tetapi jika bukan kerabat dekat (misalnya saudara sepupu-sepupu) diperbolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua juga dihindari, sebaliknya perkawinan antara seorang anak perempuan dengan anggota keluarga dari generasi yang lebih tua dapat diterima. Alasan dari keadaan ini adalah bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda tingkatannya dengan istrinya. Perkawinan dengan etnis lainnya khususnya dengan etnis Bali juga seringkali terjadi di Desa Pupuan, di mana yang lebih sering terjadi adalah laki-laki etnis Tionghoa menikah dengan perempuan etnis Bali.
63
Setelah menikah, istri akan tinggal dirumah suami, di mana hal ini erat hubungannnya dengan tradisi Tionghoa bahwa anak laki-laki tertua merupakan pewaris dan yang akan melanjutkan pemujaan terhadap leluhur. Putra-putra selanjutnya tidak terlalu terikat dengan ketentuan ini, mereka bisa dengan bebas memilih sendiri, apakah ikut tinggal dirumah orang tua atau tinggal dirumah sendiri yang baru. Dilihat dari sistem perkawinannya, maka bentuk keluarga etnis Tionghoa di Desa Pupuan, termasuk ke dalam bentuk keluarga luas, yang bisa dibedakan menjadi 2 bentuk. 1. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya serta saudaranya yang belum kawin. 2. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak laki-laki beserta keluarga batih mereka masing-masing. Adanya sistem kekerabatan, yang berkembang di Desa Pupuan, baik itu pada etnis Bali maupun etnis Tionghoa, lama kelamaan akan menjadi pondasi dasar dari adanya organisasi-organisasi sosial yang berkembang di Desa Pupuan. Secara garis besar, organisasi sosial dalam masyarakat Desa Pupuan terdiri dari lembaga pemerintahan yang bersifat resmi (pemerintah) dan lembaga adat. Lembaga pemerintahan yang besifat resmi disebut dengan desa dinas bernaung secara struktural di bawah pemerintah Republik Indonesia, sedangkan lembaga adat yang merupakan sebuah lembaga kesatuan masyarakat lokal disebut dengan desa adat. Selain lembaga-lembaga ini, ada juga beberapa organisasi sosial yang
64
berkembang di Desa Pupuan, seperti kelompok-kelompok tani ternak, komunitaskomunitas seni,dan juga etnis Tionghoa sendiri memiliki organisasi sosial yang disebut dengan Karang Semadi. Desa dinas yang memiliki keterikatan langsung dengan pemerintahan pusat, di mana desa dinas juga menjadi sebuah representasi langsung dari negara. Segala urusan administratif kenegaraan seperti pembuatan KTP, KK, Jamkesmas, berhubungan dengan desa dinas. Desa dinas dikepalai oleh kepala desa atau disebut dengan perbekel, yang mana dipilih langsung oleh warga Desa Pupuan. Berbeda halnya dengan lurah yang ditunjuk langsung oleh Bupati. Desa Pupuan terdiri dari 5 banjar dinas yaitu Banjar Dinas yang dikepalai oleh kelian banjar dinas. Dalam pemerintahannya, perbekel dibantu oleh sebuah lembaga legislatif yang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa(BPD). Keanggotaan BPD Desa Pupuan terdiri dari 9 orang yang merupakan perwakilan dari banjar dinas. Untuk lebih jelasnya, struktur pemerintahan Desa Dinas Pupuan, dapat dilihat pada bagan berikut:
65
Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Pupuan
Perbekel
BPD
LPM Sekdes
Kasi Pembangunan Kasi
Klian Dinas
Kasi Kesejahteraan
Klian Dinas
Kaur Administrasi
Kaur Keuangan
Klian Dinas
Klian Dinas
Kaur Umum
Klian Dinas
Sumber: Data Desa Pupuantahun 2012 Keterangan: ------------------- : Garis Koordinasi : Garis Komando
Desa adat merupakan sebuah lembaga yang berkedudukan di desa yang memiliki wewenang dalam permasalahan adat di Desa Adat Pupuan. Ada beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan desa adat. Yaitu sima, dresta, lekita, paswara, awig-awig,dan karama atau krama. Sima pada mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokanpatokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu
66
masyarakat. Dresta yang pada mulanya berarti pandangan yang kemudian berubah menjadi pandangan suatu masyarakat mengenai tatakrama pandangan hidup. Lekita yang berarti catatan mengenai suatu kejadian dimasyarakat. Paswara berarti suatu keputusan raja (pemerintah). Awig-awig yang berarti suatu ketentuan yang mengatur tatakrama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg diimasyarakat. Karama yang kemudian berubah menjadi krama pada mulanya berarti kumpulan orang-orang yang sudah berumah tangga kemudian berubah menjadi berarti masyarakat. Istilah-istilah tersebut sampai sekarang masih dipergunakan dalam desa adat, yang mana istilah-istilah tersebut berasal dari jaman bali kuno (Inventarisasi Nilai-nilai Budaya Bali, 1983:8). Desa adat di Bali dibagi menjadi dua jenis, yakni desa adat yang terdiri dari satu banjar adat, dan desa adat yang terdiri dari beberapa banjar adat. Desa Adat Pupuan sendiri terdiri dari 5 banjar adat, yaitu Banjar Adat Pupuan, Banjar Adat Kubu, Banjar Adat Kayupuring, Banjar Adat Kayupadi, dan Banjar Adat Semoja. Banjar merupakan suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan. Keanggotaan sebuah banjar adat dibagi menjadi 2 yaitu sistem karang ayahan dan sistem mepekuren. Sistem karang ayahan mendasarkan keanggotaan krama banjar adat pada penggunaan tanah milik desa adat di mana krama banjar itu tinggal. Seseorang yang menenpati tanah desa atau karang ayahan desa tersebut dikenai ayahan desa yaitu wajib kerja untuk desa dan juga dikenai papeson (wajib materi
67
untuk desa). Ayahan desa yang pokok adalah memelihara Pura Tri Khayangan desa. Sedangkan sistem mepekuren mendasarkan keanggotaan pada pernikahan. Ketika ada seorang purusa yang menikah, secara otomatis dia akan menjadi anggota banjar adat. Untuk keanggotaan banjar adat di Desa Adat Pupuan mempergunakan gabungan antara sistem mepekuren dan karang ayahan. Secara singkat bisa dinyatakan bahwa ada dua cara menjadi warga desa adat di Desa Pupuan, yakni dengan menempati tanah desa yang kemudian berimplikasi pada tanggung jawab pada desa (karang ayahan) dan juga dengan melangsungkan pernikahan. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut klian banjar. Klian banjar dipilih untuk suatu masa jabatan tertentu oleh warga banjar, dimana di Desa Pupuan, klian banjar dipilih setiap tiga tahun sekali. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komunitas, tetapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Seorang klian banjar seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Adapun hal-hal yang menyangkut irigasi dan pertanian biasanya berada di luar kewenangannya. Hal itu adalah wewenang organisasi irigasi subak. Untuk lebih jelasnya, struktur pemerintahan Desa Adat Pupuan, dapat dilihat pada bagan berikut:
68
Bagan 4.2 Struktur Pemerintahan Desa Adat Pupuan
Bendesa Adat
Kerta Desa
Petajuh Penyarikan
Petengen Kasinoman Klian Adat
Penyarikan
Petengen Juru Arah
Sumber: Desa Adat Pupuan tahun 2012 Keterangan: : jalur komando : jalur koordinasi
Ada suatu ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku di Desa Pupuan, bahwa etnis Tionghoa juga mendapatkan perwakilan dalam struktur Desa Adat, yang mana pada saat ini, diwakili oleh Ketut Anto Wijaya, yang menjabat di Kerta Desa. Perwakilan ini hanya berlaku untuk etnis Tionghoa saja, tapi tidak untuk etnis-etnis lainnya di Desa Pupuan. Bahkan sampai tahun 1970-an, etnis Tionghoa di Desa Pupuan masuk cacakan banjar. Di luar banjar dan subak terdapat juga perkumpulan-perkumpulan yang disebut dengan sekaa, yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingankepentingan tertentu. Berbeda dengan keanggotaan banjar, keanggotaan sekaa
69
bersifat sukarelawan. Seseorang boleh mengikuti keanggotaan sekaa tertentu ataupun tidak, dan hal tersebut tidak akan mempengaruhi statusnya di banjar adat. Bila sesorang diluar sekaa membutuhkan bantuan sekaa, misalnya sekaa manyi, maka orang ini bisa memakai sekaa ini dengan sistem upah yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sebagaimana desa adat lainnnya di Bali, Desa Adat Pupuan juga mampergunakan konsepsi Tri Hita Karana. Secara etimologis, Tri Hita Karana tersusun dari tiga kata, yakni tri artinya tiga, hita artinya kemakmuran dan karana artinya sebab. Dengan demikian istilah tersebut berarti tiga sebab kemakmuran. Di mana jika konsep ini diletakkan dalam kerangka desa adat, maka akan diharapkan tercipta keharmonisan. Tri Hita Karana itu sendiri terdiri dari: 1.
Parahyangan, yang tercermin dengan adanya Pura Khayangan Tiga yang
terdapat di Desa Adat Pupuan, yang merupakan tempat pemujaan warga desa, yakni Pura Puseh (tempat pemujaan Brahma yang menciptakan alam semesta beserta isinya), Pura Desa dan Bale Agung (tempat pemujaan Wisnu beserta isinya), dan Pura Dalem (tempat pemujaan Siwa, sebagai pemralina). 2.
Palemahan, tercermin dengan adanya tanah-tanah ulayat milik desa.
3.
Pawongan, merupakan seluruh warga desa adat yang bersangkutan , di mana
yang menjadi inti adalah pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Sedangkan etnis Tionghoa di Desa Pupuan terikat dengan satu organisasi suka duka yang dikenal dengan nama Karang Semadi. Keanggotaan Karang Semadi meliputi semua warga etnis Tionghoa yang berasal dari Desa Pupuan,
70
baik itu yang masih tinggal di Desa Pupuan, maupun yang bertempat tinggal diluar Desa Pupuan. Untuk lebih jelasnya, struktur Karang Semadi sebagai berikut:
Bagan 4.3 Struktur Organisasi Perkumpulan Suka Duka Karang Semadi di Desa Pupuan Ketua (Lotiah) Pupuan)
Wakil
Sekretaris 1
Sekretaris 2
Pembantu Umum Bidang Persembahyangan
Bendahara 1
Pembantu Umum Bidang Duka
Bendahara 2
Pembantu Umum Bidang Transportasi
Anggota
sumber: Data Karang Semadi tahun 2012
Dalam perkumpulan Suka Duka Karang Semadi, anggota wajib untuk datang pada saat ada warga yang meninggal dan membayar uang iuran kematian sebesar Rp 5.000 per anggota. Selain itu dalam persembahyangan Cengbeng dan
71
Rebutan, Karang Semadi juga membentuk kepanitian yang pada nantinya akan menjadi pelaksana dalam acara sembahyang, pemilihan kepanitiaan ini berdasarkan pada lemparan Siopwe, yang mana akhirnya akan dipilih 1 ketua (Lauchu) dan 9 anggota (Tauke). Anggota Karang Semadi juga akan mendapatkan hak untuk dikuburkan dikompleks pekuburan etnis Tionghoa diDesa Pupuan.
4.4 Sistem Kepercayaan dan Pandangan Hidup Penduduk Desa Pupuan sebagian besar memeluk Agama Hindu, hanya sebagian kecil yang memeluk agama lainnya. Besarnya jumlah umat hindu di Desa Pupuan berbanding lurus dengan jumlah pura di Desa Pupuan, yang mana jumlahnya 7 pura, di mana dalam pelaksanaannya, masyarakat Desa Pupuan memeluk agama Hindu Bali, yang mana dalam beberapa kegiatan ritual keagamaannya masih mempergunakan desa kala patra (tempat, waktu, keadaan). Untuk lebih jelas mengenai jumlah penduduk Desa Pupuan berdasarkan agama, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Agama. No. 1. 2. 3. 4.
Agama
Jumlah Persentase % Hindu 2791 87,219 Islam 276 8,625 Buddha 120 3,75 Kristen Protestan 13 0,406 Total 3.200 100,000 Sumber: Diolah dari Database Desa Pupuan Bulan Juni Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan bahwa pemeluk agama Hindu yang paling dominan di Desa Pupuan dengan jumlah mencapai 2.791 atau 87,219%. Secara
72
umum masyarakat Desa Pupuan mempercayai adanya keberadaan Tuhan, akan tetapi masyarakat Desa Pupuan juga mempercayai hal-hal yang bersifat gaib atau magis, seperti gamang, ilmu pengleakan, tonya, adanya tempat-tempat atau barang-barang yang bersifat sakral atau keramat. Penduduk etnis Tionghoa diDesa Pupuan sebagian besar memeluk agama Buddha sebagai agama di identitas resmi KTP, akan tetapi ada juga yang memeluk agama Hindu dan dua kk Kristen (yang beragama Kristen tidak masuk ikut aktif dalam keanggotaan Karang Semadi dan kegiatan etnis Tionghoa di Desa Pupuan). Walaupun sudah memeluk agama Buddha, akan tetapi masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga masih percaya dengan keberadaan Nabi Kong (Khonghucu) dan juga keberadaan Jero Gede serta adanya Taksu. Dalam kehidupan sehari-harinya, upacara ritual yang dilaksanakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan gabungan dari 3 kepercayaan yakni kepercayaan tradisional China (Khonghucu), kepercayaan Hindu Bali yang berkembang di Desa Pupuan dan Buddha. Gabungan dari 3 kepercayaan ini terlihat pada berbagai upacara, baik itu upacara yang sifatnya sehari-hari (rutin) maupun upacara yang sifatnya khusus. Pada bangunan tempat suci dimasing-masing rumah khususnya rumah yang dianggap rumah tua (rumah asal) juga terlihat adanya gabungan dari 3 kepercayaan ini. Jika diilustrasikan akan terlihat seperti ilustrasi dibawah ini:
73
B
Kemulan
A
Surya
KONGCO
N G
Dewa Ayu Tamanbali
Merajan
Taksu U
Pengrurah
Gapura Jero Gede
Bangunan
Bangunan
Gambar 4.2. Ilustrasi Tempat Ibadah Etnis Tionghoa (Kongco yang bersebelahan dengan merajan pada shee Kang) (Sumber:ilustrasi by Yudha, 2012)
Sedangkan secara nyata dapat terlihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 4.3. Foto Tempat Ibadah Etnis Tionghoa (Kongco yang bersebelahan dengan merajan pada shee Kang) (Dok. : Yudha, 2012)
N
74
Pada ilustrasi dan foto di atas terlihat gabungan dari 2 kepercayaan yang berdampingan, yakni kongco dan merajan sedangkan patung Buddha, biasanya diletakkan didalam ruangan tempat tinggal, ditempatkan didalam cetia (dapat dilihat pada foto dibawah). Selain itu, masyarakat Tionghoa diDesa Pupuan, juga masih percaya dengan hal-hal yang bersifat gaib dan mahluk-mahluk hidup tak kasat mata disekeliling mereka.
Gambar 4.4. Cetia (Dok.: Yudha, 2012)
4.5 Pola Permukiman Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun
75
perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Terbentuknya sebuah permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang secara keseluruhan dapat dilihat unsur-unsur ekistiknya. Adapun unsur-unsur ekistik pada sebuah pola permukiman sebagai berikut: 1. Natural (Fisik Alami): a. Geological resources (tanah/geologi); b. Topographical resources (kelerengan/ketinggian); c. Water (hidrologi/sumber daya air); d. Plant life (tanam-tanaman/vegetasi); f. Animal (hewan); dan g. Climate (iklim). 2. Man (Manusia): a. Biological needs (space, air, temperature); b. Sensation and perception (lima indera); c. Emotional needs (hubunagn sosial); dan d. Moral values (nilai-nilai moral). 3. Society: a. Population composition and density (komposisi dan kepadatan penduduk); b. Social stratifications (stratifikasi masyarakat); c. Culture pattern (bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat); d. Economic development (pertumbuhan ekonomi); e. Education (tingkat pendidikan); f. Health and welfare (tingkat kesehatan dan kesejahteraan); dan g. Law and administration (hukum dan administrasi). 4. Sheell: a. Housing (rumah); b. Community services (pelayanan masyarakat); c. Shopping
centres
and
markets
(pusat
perdagangan
dan
pasar);
d.
Recreationalfacilities (teater, museum, stadium); e. Civic and business centres (gedung-gedung perdagangan dan pusat bisnis); f. Industry (sektor industri); dan g. Transportationcentres (pusat pergerakan).
76
5. Network: a. Water supply systems (sistem jaringan air); b. Power supply systems (sistem jaringan listrik); c. Transportation systems (sistem transportasi); d. Communication systems (sistem komunikasi); e. Sewerage and drainage (sistem pembuangan dan drainase); dan f. Physical lay out (bentuk fisik). Secara kronologis kelima elemen tersebut membentuk lingkungan permukiman. Nature (unsur alami) merupakan wadah manusia sebagai individu (man) hidup di dalamnya dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai suatu masyarakat (society). Kelompok sosial tersebut membutuhkan
perlindungan
sebagai
tempat
untuk
dapat
melaksanakan
kehidupannya, maka mereka menciptakan sheell. Sheell berkembang menjadi besar dan semakin kompleks, sehingga membutuhkan network untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari isi (content), yaitu manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah (container), yaitu lingkungan fisik permukiman (Doxiadis, dalam Antariksa “Pola Pemukiman Tradisional”, lihat, www.architecturearticles.blogspot.com, diakses tanggal 8 Juli 2012 ). Perkembangan berikutnya lingkungan fisik yang dibentuk oleh manusia juga disesuaikan dengan kondisi alam tempat tinggalnya atau disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakatnya. Hal ini menciptakan pola-pola pemukiman yang berbeda-beda dimasyarakat. Adapun pola permukiman antara lain: 1. Pola permukiman memanjang (linier satu sisi) di sepanjang jalan baik di sisi kiri maupun sisi kanan saja;
77
2. Pola permukiman sejajar (linier dua sisi) merupakan permukiman yang memanjang di sepanjang jalan; 3. Pola permukiman cul de sac merupakan permukiman yang tumbuh di tengahtengah jalur melingkar; 4. Pola permukiman mengantong merupakan permukiman yang tumbuh di daerah seperti kantong yang dibentuk oleh jalan yang memagarnya; 5. Pola permukiman curvalinier merupakan permukiman yang tumbuh di daerah sebelah kiri dan kanan jalan yang membentuk kurva; dan 6. Pola permukiman
melingkar merupakan permukiman
yang tumbuh
mengelilingi ruang terbuka kota. Rapoport, menyatakan bahwa permukiman merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar normanorma tradisi. Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Sri Narni dalam Mulyati dalam Antariksa “Pola Pemukiman Tradisional”, lihat, www.architecturearticles.blogspot.com, diakses tanggal 8 Juli 2012 ). Pola permukiman penduduk Desa Pupuan semuanya berlokasi sejajar, menghadap ke jalan, baik jalan desa maupun jalan raya yang melintasi desa tersebut. Bentuk bangunan rumah penduduk Desa Pupuan sebagian besar merupakan rumah biasa, di mana bangunannya sebagian besar mempergunakan
78
bata danatau batako dan beratap genteng danatau seng. Bangunan rumah penduduk terdapat disepanjang alur jalan utama Pupuan-Singaraja-Negara. Pada bangunanyang terletak dipinggir jalan utama, didominasi oleh bangunan rumah toko (ruko),sedangkan rumah biasa terdapat di bagian yang lebih didalam. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada foto dibawah ini:
Pola Pemukiman Sejajar dengan Jalan.
Pola Pemukiman Sejajar dengan Jalan.
Gambar 4.5. Permukiman di Desa Pupuan (Dok. : Google Earth, 2012)
4.6 Sejarah Pupuan Lokasi Desa Pupuan saat ini merupakan salah salah satu daerah hunian kuna di Bali. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan arkeologis berupa sarkofagus-sarkofagus yang tersebar di Desa Pupuan, diantaranya sarkofagus yang ditemukan pada sekitar tahun 1950-an didaerah perkebunan Pupuan, yang sekarang sudah dikubur kembali dan menjadi bangunan suci yang disebut dengan Pura Gria Sari. Seperti yang terdapat pada gambar berikut:
79
Gambar 4.6. Sarkofagus di Pura Griya Sari di Desa Pupuan (Dok. : Yudha, 2012) Pada tahun 1996 diketemukan juga lengkap dengan tutup di lokasi yang disebut dengan Kayu Puring (Suantika, 2010:15-16). Dimana lokasi sarkofagus saat ini dikeramatkan oleh pemilik tanah walaupun kondisi sarkofagus sudah rusak. Adapun isi sarkofagus, menurut penuturan pemilik tanah, sudah dibawa ke museum. Selain itu di Pura Puseh Taman, juga terdapat tinggalan-tinggalan berupa Bajra, Tombak, Sangku dan beberapa lontar. Seperti yang terdapat pada gambar berikut:
80
Gambar 4.7. Sarkofagus di Kayu Puring di Desa Pupuan (Dok. : Yudha, 2012) Temuan ini membuktikan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sana (Desa Pupuan saat ini) pada awal masehi, karena budaya penguburan mempergunakan sarkofagus merupakan budaya penguburan yang berkembang pada masa perundagian di Bali, dan masa perundagian ini berkembang pada awal-awal tahun masehi. Selain penemuan-penemuan arkelogis tidak ada catatan-catatan yang khusus memuat mengenai perkembangan Desa Pupuan, hanya dari penuturan masyarakat setempat diketahui bahwa, sebelum ada Desa Pupuan, masyarakat yang tinggal di wilayah Desa Pupuan saat ini, menginduk pada desa induk yakni desa Bantiran Kuna. Nama Bantiran sendiri termuat dalam prasasti Gobleg, di mana dalam peresmian sebuah bangunan suci di Desa Tamblingan, banyak pejabat yang hadir termasuk Nayakan Bantiran. Mengingat lokasi Desa Bantiran
81
dengan Desa Tamblingan berdekatan, maka diduga Nayakan Bantiran sendiri adalah tetua Desa Bantiran. Batas Desa Bantiran sendiri pada masa itu, meliputi, Barat Yeh Kepah dan Yeh Byu Metatu (kemungkinan Sungai Titab sekarang), sebelah utara ara terus naik ke tangkup (kemungkinan Sungai Saba, naik hingga di pertemuan dua sungai). Naik sampai patalyan batu(naik ke tempat yang tinggi tempat batu-batu berserakan, kemungkinan Desa Batungsel sekarang), sebelah timur Punduk Ibu (Gunung Batukaru), sebelah selatan sampai Kayu Puring (sebelah barat daya Desa Pupuan sekarang), Punduk Sumpilah Hanjuling(Sungai Jeling) terus di Leklek (Desa Seleksek sekarang). Jika diperkirakan, luas wilayah Desa Bantiran kuna sebagai desa induk (Banua I Bantiran) meliputi hampir keseluruhan wilayah Kecamatan Pupuan saat ini (Suantika, 2010:30-32). Pada masa berikutnya, keberadaan Desa Pupuan, juga belum disinggung. Hanya nama bantiran sebagai desa induk saat itu mulai disinggung dalam prasasti. Ini terlihat pada Prasasti Bantiran yang terbuat dari tembaga wasa. Dalam prasasti tersebut, disebutkan: Ing Caka 1072 Cetramasa, Tithi Dwadeca Cuklapaksa, Ta, Wa, Wr Waraning Julung Pujut irika dewasarine Paduka Cri Maharaja Jaya Sakti umajari para senapati mekadi rakyan Apatih Umingsor I Tanda Rakyan Ri Parkiran I Jro Mekabehan Kerusan Mpengku Cewasegata masabrahmana I Pingsor nyajna Paduka Cri Maharaja Ajaren sire kabeh Ri Gatinikang keramani Bantiran Apasapara pawongannya magil mare Tha Ni Salen kari Masesa sakuren atunggu karaman makanimitta kabyatan hutang lumud tan Kawasedenia ngisya drwya haji mwang pinta panumbas ri nayakanya ya tika sampun inusadan denier kabeh sumrahaken pandaksayanye kangenangen pawa lara prih sakitnya de Ibu ni Paduka Cri Maharaja apan purih kadhi sire Prabu saksat Hari Murti Jagadhita karuna ummmitisakaparipurnakna nikang rat rinaksaderina matangnyadawuh anugra paduka Cri Maharaja (Kecamatan Pupuan dalam Angka, 2010)
Artinya:
82
Pada tahun 1072 saka, bulan cetra, tanggal 12 bulan paro terang, hari tinggleh wager kemis wuku julung pujut, pada hari itulah Sri Maharaja Jayasakti memerintahkan para senapati terutama rakyan apatih kemudian para tanda rakyan didalam paseban terutama pendeta Siwa dan Buddha, Maha Brahmana, berikut amanat Sri Paduka Maharaja menerangkan kepada sekalian yang isinya tentang peristiwa penduduk desa Bantiran keadaannya pecah belah antara penduduk itu ada yang pergi kemudian tinggal didesa lain, hingga kini sisa dari penduduk tersebut masih satu keluarga saja yang tinggal menetap didesanya. Oleh karena itu mereka sngat berat menanggungnya, serta mereka tidak sanggup membayar pajak Drewyahaji dan iuran-iuran yang dipungut oleh para nayakanya. Hal ini sudah dibebaskan oleh sri baginda karena baginda terasa belas kasihan kepada kesusahan dan kesedihan masyarakat yang kecil itu. Lebih-lebih karena baginda merupakan penjelmaan Dewa Wisnu yang selalu mengamankan negara dan berbelas kasihan serta selalu menyempurnakan keadaan negara yang dikuasainya. Dan itulah baginda memerintahkan penduduk Desa Pupuan itu sekalian taklukannya diberikan sebuah piagam keputusan yang isinya antara lain: membebaskan hutang Prihawak, iuran-iuran dan hutang naik turun selama 5 tahun, di mana selama 5 tahun mereka tidak dipersalahkan dan tidak boleh ditahan serta disiksa dengan duri belatung dan juga tidak boleh dilaporkan kedalam pura. Setelah 5 tahun lamanya, barulah mereka kena iuranpermulaan sebagai biasa, sebanyak 4 masaka setiap hutangnya, yang satu Tabil dan tidak boleh dilipat dan tidak boleh dikenai iuran-iuran setiap hari, tidak kena Pancagina, hutanghutangnya itu tidak kena Panusurtulis, dan iuran pembeli Sayub. Apabila ada seorang penduduk Desa Bantiran mempunyai hutang Prihawak, hal itu tiada dibenarkan oleh isi piagam keputusan ini. Berdasarkan isi dari prasati Bantiran dan Gobleg, maka dapat diperkirakan, usia Desa Bantiran sebagai desa induk adalah sekitar 10 abad (1000 tahun). Akan tetapi tidak ada satupun dari prasasti tersebut yang menyinggung nama Pupuan secara khusus, hanya, wilayah-wilayah yang menjadi wilayah Desa Pupuan saat ini telah disebutkan, seperti Kayu Puring dan Sungai Saba. Hingga saat ini, tidaklah dapat diketahui secara khusus, kapan pertama kalinya kata Pupuan muncul dan Desa Pupuan terlepas menjadi satu desa tersendiri yang mandiri, lepas dari Desa Bantiran Kuna. Akan tetapi, kata Pupuan diperkirakan berasal dari kata pupu yang artinya paha, kemudian diberi imbuhan
83
an menjadi Pupuan. Pengertian paha ini sesuai dengan letak Desa Pupuan yang merupakan paha dari gunung batukaru. Kemudian ada juga versi lain yang menyebutkan, nama Desa Pupuan berasal dari kata plupuhan yang berarti kubangan. Dilihat dari topografinya, yang cekung dan berlembah tepatlah dikatakan bahwa Desa Pupuan berasal dari kata plupuhan, dikarenakan Desa Pupuan dikelilingi oleh dataran tinggi di bagian utara, timur, dan barat. Mengenai kata Plupuhan ini, berdasarkan wawancara dengan Bendesa Adat Pupuan I Nyoman Raka, dikatakan bahwa sebelumnya, penduduk Desa Pupuan yang beretnis Bali, tinggal di daerah yang disebut dengan Desa Sega. Pada suatu ketika, makanan yang ada di sana semua direbut oleh semut sampai habis sehingga masyarakat Desa Sega mengalami kelaparan. Timbullah keresahan dimasyarakat akibat kelaparan yang menyerang. Di tengah keresahan itulah muncul pawisik yang mengatakan agar penduduk Desa Sega berpindah kearah barat ke Plupuhan Kebo (kubangan kebo). Pawisik ini kemudian diikuti oleh masyarakat, dan berpindahlah masyarakat dari wilayah Desa Sega ke Desa Pupuan sekarang. Inilah kemudian yang membuat Desa Pupuan juga sering disebut dengan Pupuan Sega. Untuk lebih jelasnya mengenai Desa Sega, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
84
Gambar 4.8. Foto Pelinggih Tegal Penangsarsaat ini di sekitar wilayah yang diperkirakan sebagai setra Desa Sega pada masa lalu (Dok. : Yudha, 2012) Setelah berpindah ternyata sudah ada penduduk yang menetap termasuk juga dari golongan etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di sana. Akhirnya tetuatetua di sana memutuskan, dikarenakan karena tempat yang lebih tinggi tidak terendam air (tidak basah), maka diputuskan penduduk yang beretnis Bali tinggal ditempat yang lebih tinggi, sedangkan penduduk etnis Tionghoa tinggal di tempat yang lebih rendah, hal ini juga dikarenakan tempat yang lebih rendah yang juga lebih dekat dengan jalan merupakan tempat yang lebih srategis untuk kegiatan berdagang. Ada versi lain yang mengatakan, bahwa ketika masyarakat Desa Sega pindah ke Plupuhan Kebo, masyarakat Desa Sega yang berjumlah 6 keluarga masih tinggal secara berpencar diwilayah Plupuhan, kemudian datanglah 1
85
keluarga Tionghoa (Kang Ik Khim), tinggal di sana, kemudian 7 keluarga inilah yang membangun Desa Pupuan pertama kalinya.
4.7 Sejarah Etnis Tionghoa diDesa Pupuan Tidak ada yang tahu secara pasti kapan migrasi etnis Tionghoa pertama kali ke Indonesia. Akan tetapi terdapat beberapa catatan-catatan tua yang menyebutkan hubungan Tiongkok dengan Nusantara. Berdasarkan catatan kronik “Han Awal” bab “Catatan Geografi” pada masa pemerintahan Kaisar Sundi tahun pemerintahan Yongjian ke-6 ( 131 M) dituliskan bahwa ada utusan dari kerajaan Yetiao. Ini menandakan sudah ada hubungan diplomasi antara dinasti Han (202 BCE – 220 CE) dengan kerajaan Yetiao atau yang dikenal dengan sebutan lain Java Dvipa. Dalam catatan yang sama, selain dengan Pulau Jawa, juga dicatat Kalimantan 婆羅洲 sebagai salah satu alternatif pelayaran menuju India Selatan. Selain itu adalah “Kronik Han Berikut” bab "Catatan Yi Timur" 後漢書東夷列傳 dituliskan bahwa orang Provinsi Fujian sudah bermigrasi hingga ke Sumatra. Catatan Yang Fu 楊孚 yang terbit pada masa pemerintahan Kaisar Jingdi 景帝 (76-88) menuliskan adanya kata Funan 扶南 dan pada peridode Tiga Negara (220-280), kerajaan Dong Wu 東吳 sudah menjalin hubungan perdagangan resmi dengan Funan 扶南 yang mengontrol wilayah Semenanjung Malaya dan Malaka. Pada masa dinasti Jin Timur 東晉 (317-420 CE) seorang bhiksu Buddhist bernama Fa Xian 法顯 yang dalam perjalanannya dari Srilanka kembali ke Tiongkok terhadang badai dan terdampar sampai kerajaan Ye Po Ti
86
耶婆提 (Sumatera tapi ada yang beranggapan Pulau Jawa). Beliau tinggal kurang lebih 100 hari lamanya kemudian kembali ke Guang Zhou Tiongkok dengan menaiki kapal niaga yang berisi kurang lebih 200 orang. Tulisan Fa Xian ini menunjukkan bahwa sudah ada pelayaran dan interaksi antar warga Tiongkok dengan
warga
Nusantara
(Cangianto,
2013:
http://web.budaya-
Tionghoa.net/index.php/item/3660-kronologis-hubungan-tiongkok-dan-indonesiaserta-arus-migrasi). Agamawan Tiongkok yang melakukan kunjungan ke nusantara juga memiliki catatan-catatan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan adanya suatu kerajaan di To lo mo (sebutan untuk pulau Jawa) dan kedatangan I Ching singgah di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta. I Ching berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra. Pada prasastiprasasti yang berasal dari Pulau Jawa orang China disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera China. Sedangkan hubungan antara Bali dengan Tiongkok (China) juga diperkirakan dimulai pada awal-awal abad masehi. Temuan cermin perunggu dari zaman dinasti Han dalam sarkopagus di desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tiongkok. Cermin perunggu dari zaman dinasti Han diduga berasal dari abad awal masehi. Lebih lanjut, hubungan Bali dengan Tiongkok, juga dapat diketahui dari temuan-temuan
87
sejumlah keramik dari zaman dinasti Tang di situs Blanjong Sanur, yang diperkirakan berasal dari abad VII-X masehi (Ardika dalam Sulistyawati (ed), 2011:1-2). Hubungan ini juga terlihat jelas pada pengaruh-pengaruh budaya Tiongkok dalam budaya Bali, adanya cerita Dalem Balingkang dan Kang Ching Wi juga memberikan gambaran, bahwasanya telah ada komunikasi bahkan arus migrasi etnis Tionghoa ke Pulau Bali. Di mana pada saat ini, komunitaskomunitas etnis Tionghoa di Bali tersebar di berbagai daerah misalnya Pempatan, Pupuan, Tabanan, Petang, Padangbai, Lampu dan lain sebagainya. Pupuan merupakan salah satu daerah di mana terdapat komunitas etnis Tionghoa. Awal etnis Tionghoa mendiami Desa Pupuan tidaklah diketahui secara pasti, akan tetapi berdasarkan wawancara dan hasil temuan di lapangan, diperkirakan etnis Tionghoa pertama kali menjejakkan kakinya di Desa Pupuan pada tahun 1820-an, yang dimulai dari kedatangan Kang Ik Khim. Kang Ik Khim sendiri, sebenarnya berasal dari kampung Ko Puei, kecamatan Lamuan, kabupaten Chuanciu (Nan An), provinsi Hokkian/Fukkian. Adapun catatan mengenai sislsilah keluarga dapat dilihat pada gambar dibawah ini yang memuktikan bahwa Kang Ik Khim berasal dari Hokkian.
88
Gambar 4.9. Catatan Mengenai Kedatangan SheeKang yang Pertama ke Pupuan (Dok.: Wayan Sudarsana, 2012)
Alasan kedatangannya ke Bali belumlah diketahui secara pasti akan tetapi pada saat itu di di daerah Hokkian sendiri ada beberapa permasalahan yang menyebabkan banyak penduduk dari Hokkian melakukan migrasi ke daerah lain. Permasalahan itu, diantaranya ledakan populasi penduduk, pemberontakanpemberontakan dan juga adanya kemunduran dari dinasti yang berkuasa. Pada awal kedatangannya ke Bali, Kang Ik Khim berlabuh di sekitaran Kuta dan diangkat oleh seseorang, yang mengabdi pada Raja Badung. Pada suatu ketika, di Puri Denpasar ada pertemuan, yang diikuti oleh Kang Ik Khim, yang mana pada saat itu, Kang Ik Khim diberikan jodoh Ni Cengkeg, putri dari Jero Bendesa Tonja.
89
Kemudian, karena sesuatu dan lain hal, Kang Ik Khim lalu memohon diri dari Kerajaan Badung untuk pindah ke tempat lain. Pada awalnya berpindah ke daerah Dharmasabha sekarang (sekitar tahun 1800-an), tapi tidak menemukan kecocokan, kemudian menghadap lagi pada Raja Badung untuk berpindah lokasi, pada awalnya tidak diijinkan akan tetapi kemudian diijinkan, dengan 1 syarat, yakni pindah ke wilayah yang masih ada hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Badung. Akhirnya Kang Ik Khim menghadap ke Kerajaan Tabanan, dan diberikan ijin untuk menempati tempat di sebelah barat kerajaan, beserta dengan itu, Raja Tabanan pada saat itu menganugerahkan 3 buah senjata kepada Kang Ik Khim, yakni sebuah pedang, tombak dan pisau pendek. Pada awalnya, Kang Ik Khim menempati sekitar daerah Sanda Pupuan saat ini, kemudian pindah lagi ke Padangan Pupuan, dan pada akhirnya menetapDesa Pupuan yang sampai saat ini ditempati.
Gambar 4.10. Salah Satu Anugerah dari Raja yang Berupa Pedang (Dok.: Yudha, 2012)
90
Pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1900-an dan tahun 1920-an, mulai banyak etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan secara bergelombang, yang didominasi oleh shee Kang, hal ini mungkin dikarenkan karena yang pertama membuka wilayah tersebut adalah dari shee Kang dan, dalam sistem kekerabatan etnis Tionghoa, dalam satu marga (shee) wajib saling membantu satu sama lain. Kedatangan etnis Tionghoa pada masa ini sebagian besar merupakan kaum pedagang yang berdagang kulakan dari pelabuhan di Buleleng. Kemudian pada perkembangan berikutnya, etnis Tionghoa dan etnis Bali bahu membahu membangun Desa Pupuan, akan tetapi etnis Tionghoa memiliki keistimewaan yakni mereka memiliki Lotiah (kepala kampung) yang langusng berhubungan dengan Raja Tabanan, untuk mengurusi perdagangan, khususnya pembelian barang dagangan terutama candu dari pelabuhan di Kerajaan Buleleng. Lotiah pertama, bernama Kang Hok Ciu, yang juga membangun Sekolah Rakyat (S.R) dijaman Belanda sekitar tahun 1906. Lotiah kedua, bernama Kang Bing Ciang, adalah lotiah yang membangun Sekolah Tionghoa di Pupuan dan juga membentuk perkumpulan suka duka Tionghoa yang bernama Perkumpulan Karang Semadi. Perkumpulan Karang Semadi Sendiri diperkirakan dibentuk oleh lotiah kedua pada akhir zaman penjajahan Belanda-awal zaman penjajahan Jepang. Pada perkembangan berikutnya, peranan Lotiah di Pupuan semakin besar dalam kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, sehingga menjadikan masyarakat Tionghoa menjadi masyarakat yang disegani di Desa Pupuan karena pengaruh sosial ekonominya. Bahkan pada masa tahun 1950-an,
91
etnis Tionghoa di Desa Pupuan berperan sangat aktif dalam kehidupan adatistiadat dan agama di Desa Pupuan. Ngayah di banjar, pura merupakan agendaagenda rutin yang biasa dilaksanakan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Akan tetapi perkembangan ini seakan terhenti pada pasca G 30 S PKI, peranan etnis Tionghoa di Desa Pupuan menurun drastis, dikarenakan adanya ketakutan-ketakutan akan adanya cap komunis atau antek PKI dan tekanan pemerintah terhadap etnis Tionghoa. Menjadikan masyarakat etnis Tionghoa seakan terkurung dalam penjara masyarakat. Kehidupan sosial ekonomi dan budaya menjadi sangat-sangat terbatas, walaupun secara sembunyi-sembunyi masih bisa melakukan ritual-ritual pemujaan leluhur. Pada era reformasi, peranan etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih tetap eksis, walaupun terbatas khususnya pada bidang ekonomi. Pada bidang sosial budaya, peranan etnis Tionghoa dalam pelestarian budaya sangatlah sedikit dan terbatas pada kalangan-kalangan tertentu saja. Peranan Lotiah atau yang secara familiar sekarang disebut dengan ketua, hanyalah sebatas ketua perkumpulan etnis Tionghoa di Desa Pupuan dan juga sebagai penghubung komunikasi antara etnis Tionghoa dengan pihak Desa Adat (etnis Bali).
92
BAB V PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DIDESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Uraian dalam bab ini akan menjawab pertanyaan pada rumusan masalah yang pertama, mengenai munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Menurut Machionis, perubahan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Konsep dasar dari perubahan mencakup 3 gagasan: perbedaan, pada waktu yang berbeda dan diantara sistem sosial yang sama(Sztomka, 2007:5). Perubahan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis tergantung pada sudut pengamatan, apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Hal ini disebabkan oleh keadaan sistem sosial yang tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen berikut: 1. Unsur-unsur pokok (misalnya jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka). 2.Hubungan antar-unsur (misalnya ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, integrasi). 3. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
92
93
4. Pemeliharaan batas ( misalnya kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekruitmen dalam organisasi). 5. Subsistem (misalnya jumlah dan jenis seksi, segmen atau divisi khusus yang dapat dibedakan) 6. Lingkungan (misalnya keadaan alam atau lokasi geopolitik(Sztomka, 2007:25). Perubahan juga dapat terjadi pada identitas budaya sebuah etnis, di mana menurut Stuart Hall adanya perubahan identitas budaya merupakan hal yang lazim terjadi. Identitas kebudayaan sebagai sebuah representasi adalah nirpermanen karena merupakan produksi atau konstruksi yang tidak lengkap, tetapi selalu dalam proses perubahan dan dibentuk dari dalam maupun luar kelompok. Disinilah kemudian identitas sebagai points of temporary attachment to the subject positions which discursive practices construct for us. Artinya, jika seseorang berada dalam lingkungan masyarakat Tionghoa, maka “orang tersebut” akan mengidentifikasikan diri dan menyesuaikan “identitasnya sebagai salah satu dari mereka, namun ketika seseorang itu berada di lingkungan luar, semisal di Desa Pupuan, maka orang tersebut akan melihat dirinya sebagai orang Pupuan. Di sini identitas menjadi sebuah konstruksi sosial yang tidak permanen. Identitas adalah sebuah
posisi
yang
subjektivitas.
Selanjutnya,
posisi
di
mana
kita
mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi orang lain tidak netral atau setara. Artinya, kekuasaan bermain dalam menentukan identitas seseoran. Identitas budaya kemudian menjadi tunduk atau berada di bawah permainan sejarah,
94
budaya, dan kekuasaan yang berakar pada masa lalu. Dengan kata lain identitas budaya dibentuk oleh diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan permainan kekuasaan melalui transformasi dan pembedaan (difference). Adapun perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
5.1 Perubahan Agama dan Kepercayaan Istilah agama berasal dari kata religio, yang berarti ikatan relasi-relasi sosial antar individu. Agama, menurut Durkheim berarti seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral dan yang profan, yang menciptakan ikatan sosial antar individu (Turner, 2012:22). Agama juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam aspek kehidupan yang lain. Anne Marie Malefijt mengungkapkan bahwa agama adalah the most important aspects of culture. Aspek kehidupan agama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan institusi budaya yang lain. Ekspresi religiusitas ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain selain agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia (Malefijt, dalam Agus, 2006:5-6). Agama dalam khasanah bahasa Mandarin adalah jiao教 atau ajaran, di mana berasal dari dua kata yaitu xiao孝 dan pu. Xiao bermakna bakti, atau cinta kasih orang tua dan anak. Pu bermakna adalah pukulan atau hukuman. Secara
95
keseluruhan makna adalah cara atau ajaran mencegah terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Mirip dengan pengertian agama dalam bahasa Sansekerta yaitu A adalah tidak dan Gam adalah kekacauan, jadi agama adalah suatu cara mencegah kekacauan dalam masyarakat. Sebutan umum yang lain adalah zong jiao宗教,di mana kata ini berasal dari dua kata yaitu zong宗, berasal dari dua kata,yaitu mian宀 dan shi示. Mian berarti adalah atap dan tembok atau rumah, tempat bernaung. Shi adalah gambaran atau fenomena langit yang memberitahu manusia akan hal baik atau buruk yang akan terjadi, tapi secara umum arti kata shi sering diartikan adalah ritual. Gabungan dua kata itu adalah zong宗yang bermakna kuil leluhur atau leluhur dan penghormatan kepada dewata. Jiao教 seperti yang telah diuraikan di atas.Zong jiao宗教 bisa berarti adalah ajaran yang bertujuan mencegah kekacauan dimasyarakat dengan penghormatan pada leluhur dan atau Dewata atau Tuhan dalam istilah yang umum berlaku. Di mana, awalnya sebutan zong jiao宗教 ini berasal dari Buddha Mahayana China中国佛教大乘宗 yang makna awalnya adalah ajaran Buddha dan Murid-muridNya (Cangianto, 2012: www.budayaTionghoa.net, diakses 19 Agustus 2012). Pada awal masuknya etnis Tionghoa di Desa Pupuan sekitar akhir 1800an, agama yang dianut oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan DewaDewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada masa awal belum dikenal adanya istilah agama Buddha, Khonghucu, atau Hindu pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mereka hanya menjalankan ritual-ritual tradisi yang sama dengan
96
yang dilakukan oleh leluhurnya di kampung halamannya. Bentuk-bentuk ritualritual persembahyangan yang dilakukan misalnya nyungsung abu leluhur, nyungsung Dewa Kwan Kong dan sembahyang cetia yang terdapat di masingmasing rumah, di mana bentuk-bentuk ritual seperti ini masih dipertahankan sampai saat ini. Selain itu perayaan hari-hari raya juga berputar pada perayaan leluhur seperti Cing Bing (Cheng Beng), Imlek, Cap Go Meh dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 5.1. Bangunan Rumah Abu, Bangunan Dewa Kwan Kong dan Cetia di Salah Satu Rumah Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan(gambar dari kiri ke kanan) (Dok.: Yudha, 2012) Dalam kehidupan kesehariannya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada di lingkungan masyarakat Etnis Bali. Hubungan yang intens selama puluhan tahun dan banyaknya perkawinan campuran yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadikan banyak ritual-ritual Etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang awalnya hanya berdasarkan pada ajaran leluhur,
97
bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual seharihari. Selain itu masyarakat etnis Tionghoa diDesa Pupuan juga membangun merajan, pelinggih Jero Gede maupun pelinggih Ratu Nyoman di pekarangan rumah masing-masing, bahkan ikut aktif sembahyang dan ngayah di pura-pura yang ada dilingkungan Desa Pupuan. Inilah kemudian yang menjadi awal dari munculnya perubahan agama dan kepercayaan pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Adanya
proses
perubahan
indentitas
agama
dan
kepercayaan
menyebabkan, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah melakukan proses mimikri, yakni sebuah proses peniruan dengan meniru unsur-unsur budaya dan agama Hindu Bali yang terdapat di Desa Pupuan. Selain itu peniruan unsur-unsur budaya ini bisa berlangsung dengan mudah dan tidak adanya penentangan dari pemilik budaya asal (etnis Bali) karena adanya kesamaan-kesamaan pandangan tentang bagaimana memandang dunia ini (makrokosmos dan mikrokosmos), tentang kekuatan besar di luar manusia dan tujuan-tujuan hidup menjadi manusia. Hal ini terlihat dari hasil penelitian di lapangan, bahwa pada masa pra kemerdekaan bahkan pada masa kerajaan Tabanan, masyarakat enis Tionghoa di Desa Pupuan telah menjalankan ritual agama Hindu Bali yang berkembang di Desa Pupuan, seperti mebanten, bahkan ngodalin di merajan masing-masing. Seperti yang dituturkan oleh narasumber, Bapak Wayan Sudarsana: “Pada masa sebelum G30S PKI, masyarakat Tionghoa Pupuan sudah melakukan persembahyangan dengan dua cara baik Bali maupun Tionghoa, ini terbukti dengan adanya merajan gede di rumah saya yang sudah ada sebelum tahun 1900-an dan kemungkinan dibangun pada tahun 1850-an oleh kumpi saya dan sampai saat ini saya terus mengadakan piodalan secara rutin.”
98
Berdasarkan penuturan narasumber, dapat dinyatakan bahwa etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah melakukan sebuah proses mimikri, peniruan, di mana mimikri itu sendiri merupakan dasar dari hibriditas. Menurut Bhaba, hibriditas didasari oleh adanya mimikri (peniruan) yang menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Mimikri bisa dipandang sebagai sebuah strategi penyamaran, di mana dia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Mimikri juga dipandang sebagai suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Proses mimikri merupakan hasil dari pertemuan kebudayaan, di mana kebudayaan yang satu akan meniru/mengimitasi kebudayaan yang lain Penuturan dari narasumber dapat diperkuat pada gambar berikut :
Gambar 5.2 Merajan di Pekarangan Salah Seorang Warga Tionghoa di Desa Pupuan (Dok.: Yudha, 2012)
99
Dari pernyataan narasumber yang diperkuat dengan foto di atas dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki Sanggah Kemulan. Dari kepemilikan Sanggah Kemulan ini, bisa terlihat adanya proses mimikri yang terjadi pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan semenjak awal-awal kedatangannya. Hal ini merupakan proses awal menuju sebuah hibriditas identitas agama dan kepercayaan. Hampir sama dengan yang terjadi di Desa Pupuan, Geertz dalam bukunya Negara Teater, sempat mencatat “Bandar itu bernama Singkeh Cong, seorang Tionghoa yang bertempat tinggal di Baturiti yang rumahnya disebut dengan Jero Singkeh Cong. Pada masa itu, Singkeh Cong memegang kesubandaran raja tua dan raja muda, Gde dan Kaleran bersama-sama, kepada mereka dia membayar sewa tahunan yang besar. Selain sebagai seorang subandar, Singkeh Cong juga sebagai seorang pemimpin upacara-upacara agung yang merupakan campuran antara Sino-Buddhis dengan Hindu-Bali” (GeChinaz, 2000:178184).
Pernyataan bahwa etnis Tionghoa sudah melakukan proses mimikri pada awal-awal kedatangannya juga dikuatkan oleh pandangan dari tetua di Desa Pupuan, Bapak Nyoman Raka: “Tionghoa di pupuan sampun kudang generasi nyarengin iraga ke pura di Pupuan, mebanten uli pidan sampun kenten. Uli tiang cerik sampun nyingakin nak China sareng ke pura, sareng mebanten ajak ngayah”. Apa yang diungkapkan oleh narasumber memperkuat pandangan bahwa pada awal kedatangannya, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan sudah mulai melakukan pertemuan-pertemuan kultural. Hal ini kemudian berkembang menjadi sebuah proses mimikri, di mana unsur-unsur budaya yang dianggap sesuai dengan budaya mereka diimitasikan dalam kehidupan sehari-hari.
100
Pertemuan-pertemuan kultural inilah yang kemudian menjadikan etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu untuk melakukan peniruan-peniruan unsur budaya yang berkembang di Desa Pupuan. Menurut Barker, terdapat enam jenis pertemuan kultural yaitu: 1. Dua tradisi yang berlainan dibiarkan tetap terpisah dalam konteks waktu dan ruang. 2. Dua tradisi kultural yang terpisah dipertemukan dalam ruang dan waktu. 3. Kebudayaan bersifat translokal dan melibatkan aliran global. 4. Tradisi kultural berkembang di tempat terpisah namun mengembangkan identifikasi yang didasarkan atas persepsi tentang kemiripan dan kesamaan tradisi dan situasi. 5. Suatu tradisi kultural menyerap atau menghapus tradisi kultural lain dan menciptakan kemiripan yang efektif. 6. Bentuk-bentuk baru identitas dibentuk dari kepedulian bersama terhadap poros kelas, etnisitas, gender, ummur, dan lain-lain (Barker, 2000: 213). Pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, pertemuan kultural yang terjadi adalah pertemuan kultural pada poin kelima di atas, yakni suatu tradisi kultural menyerap atau menghapus tradisi kultural lain dan menciptakan kemiripan yang efektif. Di mana efektifitas ini terlihat pada hubungan yang sangat erat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, karena mereka banyak melaksanakan ritual-ritual secara bersama-sama khususnya ritual-ritual yang berkaitan dengan agama Hindu Bali. Pada masa itu, etnis Tionghoa ikut berperan aktif baik fisik maupun materi dalam setiap piodalan-piodalan yang dilaksanakan di pura-pura di lingkungan
101
Desa Pupuan. Masyarakat etnis Tionghoa juga percaya dengan rajinnya mereka “nangkil” ke pura maka segala usaha mereka akan dilindungi dan diberi berkah, bahkan di Pura Luhur Kayu Padi masyarakat etnis Tionghoa sangat percaya bahwa kalau segala doa mereka akan dikabulkan oleh Ida Sasuhunan asal mereka rajin untuk berbakti. Adapun foto Pura Luhur Kayu Padi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 5.3 Pura Luhur Kayu Padi (Duur Kauh) (Dok.: Yudha, 2012)
Pada perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama pasal 1, terdapat enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Islam, dan
102
setelah peristiwa G 30 S PKI, pemerintahan Orde Baru kemudian menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat China. Kedua aturan ini, khususnya Instruksi Presiden no 14 tahun 1967 memiliki implikasi yang sangat luas bagi etnis Tionghoa, di mana etnis Tionghoa dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan melakuan akulturasi total pada pribumi, termasuk kepercayaan yang mereka anut. Khusus untuk agama, etnis Tionghoa dipaksa untuk memilih salah satu dari 5 agama berdasarkan
Surat
Edaran
(SE)
Menteri
Dalam
Negeri
Nomor
477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha yang secara resmi diakui oleh pemerintah, padahal Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1969 mengakui ada enam agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU ini mengatur sama persis dengan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Identitas agama ini kemudian dicantumkan pada kolom KTP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun agama yang dominan dipilih oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada saat itu adalah agama Hindu, hal ini disebabkan proses mimikri yang telah mereka lakukan secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa merasa diri menjadi bagian dari komunitas Hindu Bali di Desa Pupuan. Selain agama Hindu Bali, ada juga beberapa KK dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang mengambil agama Buddha sebagai agama resmi pada KTP. Pada saat itu etnis Tionghoa
103
berkiblat pada Brahmavihara Arama atau Vihara Buddha Banjar yang terdapat di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng pimpinan Bhikkhu Girirakkhito (Bhante Giri/Ida Bagus Giri) dan untuk persembahyangan di desa, etnis Tionghoa yang memeluk agama Buddha melakukan persembahyangan di salah satu rumah warga (maha cetia). Akan tetapi walaupun menganut agama resmi yang berbeda, dalam pelaksanaannya Etnis Tionghoa yang beragama Hindu maupun yang beragama Buddha tetap menjalankan ritual yang hampir sama yang memadukan antara kepercayaan tradisional China, dengan Hindu Bali dan agama Buddha. Hanya yang membedakannya adalah etnis Tionghoa yang beragama Hindu tidak rutin ke Vihara, dan etnis Tionghoa yang beragama Buddha tidak rutin ke pura, hanya pada saat-saat tertentu saja khususnya pada saat Piodalan Pura. Pada masa Orde Baru inilah banyak terjadi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual-ritual tradisi mereka, sebagai imbas Instruksi Presiden no 14 tahun 1967. Pelaksanaan ritual tahun baru Imlek, Cing Bing dilakukan secara “sembunyi-sembunyi” dan terpusat di keluarga masing-masing. Tidak ada perayaan yang berskala besar yang dilakukan, semua dilakukan secara sederhana bahkan kadang mereka diinteli dan dipanggil ke kantor. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ketut Anto: “Pada masa orde baru, sangat susah ngerayain Imlek gen keweh, harus mengkeb-mengkeb, sing cara jani nyidang bebas, kadang-kadang jeg panggile ajak intel e tanpa alasan yang jelas, tapi secara umum aman di Pupuan, nak onyang be nawang, cuman mungkin karena ada aturan pemerintah dadine keto”
104
Dari wawancara di atas, dapat dianalisis bahwa secara umum pada masa Orde Baru pelaksanaan ritual-ritual yang bersifat tradisi etnis Tionghoa berlangsung dengan lancar dan aman walaupun kadangkala harus berurusan dengan aparat pemerintahan. Lancarnya pelaksanaan ini juga dikarenakan situasi di Desa Pupuan sendiri, di mana hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali berlangsung sangat baik sehingga perayaan-perayaan yang bersifat tradisi Tionghoa sudah menjadi rahasia umum di desa dan tidak dibesar-besarkan. Disinilah kemudian peranan mimikri terlihat di mana budaya-budaya lokal yang sudah terserap menjadikan etnis Tionghoa tidak dianggap “berbeda” oleh etnis Bali akan tetapi dianggap “sama”, dan karena kesamaannyalah, secara tidak langsung budaya Bali yang terserap menjadi pelindung Etnis Tionghoa diDesa Pupuan. Pada awal 90-an, timbul gejolak di masyarakat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, dikarenakan kehidupan masyarakat Tionghoa yang lebih sejahtera dari segi ekonomi dibanding etnis lainnya di Desa Pupuan, karena itu, muncullah tekanan-tekanan dari oknum-oknum pengurus Desa Adat di Desa Pupuan yang berupa sumbangan-sumbangan sukarela, pemerasan, pemaksaan dan untuk menghindarkan diri dari pemerasan tersebut, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang pada awalnya sebagian besar beragama Hindu, memutuskan diri untuk beralih ke agama Buddha. Hal ini juga kemudian didukung oleh pembangunan Maha Cetiya Dharma Giri di ujung timur Desa Pupuan yang dikukuhkan pada tahun 1992, yang kemudian berubah menjadi Vihara Dharma Giri pada tahun 1996 dengan
105
didukung 69 KK. Adapun Foto Vihara Dharma Giri, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 5.4 Vihara Dharma Giri (Dok. : Yudha, 2012) Dengan pembangunan vihara ini, seakan menjadi solusi alternatif umat Buddha di Desa Pupuan yang selama ini harus jauh ke Vihara Banjar untuk melakukan persembahyangan, dan juga menjadi pelindung bagi etnis Tionghoa yang semakin ditekan oleh oknum-oknum Desa Adat Pupuan dengan jalan memeluk agama Buddha. Akan tetapi peralihan agama pada etnis Tionghoa diDesa Pupuan ini tidak serta merta dilakukan oleh seluruh masyarakat etnis Tionghoa secara berbarengan, akan tetapi secara pelan-pelan, bahkan sampai saat ini pun masih ada etnis Tionghoa yang menganut agama Hindu pada KTPnya. Implikasi dari peralihan agama ini kemudian menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadi sedikit renggang, dikarenakan agama sebagai sebuah identitas yang awalnya tidak dianggap penting
106
menjadi sesuatu yang sangat penting, dan ketika agama berbeda maka akan timbul perasaan segan untuk meminta bantuan. Akan tetapi peralihan ini juga membawa implikasi yang positif bagi etnis Tionghoa dikarenakan permintaan sumbangan ke etnis Tionghoa sekarang haruslah disetujui dan diketahui bersama oleh dua lembaga yakni Desa Adat dan juga perkumpulan Karang Semadi. Adanya perbedaan-perbedaan agama yang kemudian timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tidaklah menjadikan etnis Tionghoa terpecah-pecah dan meninggalkan ritual-ritual tradisi Hindu Bali yang telah diserap. Agama Buddha yang kemudian menjadi sebuah identitas baru etnis Tionghoa diDesa Pupuan dilekatkan pada identitas kepercayaan yang sudah ada yakni menjalankan tradisi ritual leluhur dan juga ritual-ritual Hindu Bali. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ketut Anto : “Agama saya secara KTP masih Hindu, saya juga ngiring di pura akan tetapi saya tetap menjalankan tradisi Tionghoa saya, demikian juga dengan pergi ke vihara, saya juga melakukannnya, karena saya sangat menghormati ketiganya dan menurut saya ketiganya tidak bertentangan satu sama lain.” Hal yang hampir senada juga diungkapkan narasumber Bapak Wayan Sudarsana : “Saya mulai menekuni agama Buddha semenjak tahun 80-an, tetapi itu bukan berarti saya meninggalkan tradisi Hindu dan Tionghoa saya, saya masih tetap melaksanakan piodalan di merajan, tetap rutin mebanten, dan sembahyang leluhur juga masih saya lakukan secara rutin.”
Dari dua narasumber di atas yang secara agama berbeda, bisa dijelaskan bahwa walaupun agama yang tertera pada kartu tanda penduduk berbeda, akan tetapi dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melaksanakan tiga kepercayaan sekaligus, yakni secara tradisi Tionghoa,
107
secara Hindu Bali dan dengan cara Buddha. Walaupun dirasa kadang berat, akan tetapi masyarakat etnis Tionghoa diDesa Pupuan tetap menjalankannya karena adanya perasaan yakin dan percaya dengan apa yang dijalankannya. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam hal agama dan kepercayaan, bisa dinyatakan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah membentuk identitas budaya baru yang hibrid, yang memadukan tradisi Tionghoa, ajaran Hindu, ajaran Buddha dan dengan identitas agama di KTP yang berbedabeda. Akan tetapi dalam hal ini juga terlihat adanya proses mimikri yang memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan yaitu dengan mengikuti kepercayaan dan kebiasaan – kebiasaan setempat seperti mebanten dan membangun
sanggah,
sedangkan
mereka
juga
ingin
mempertahankan
perbedaannya seperti tetap membangun cetia, nyungsung, dan tetap merayakan hari besar Tionghoa.
5.2 Perubahan Bahasa Peranan bahasa dalam kehidupan manusia sangatlah besar. Tanpa adanya bahasa, manusia takkan bisa berkomunikasi tanpa adanya salah sangka. Tanpa adanya bahasa perkembangan kebudayaan akan mengalami stagnasi, bahkan Koentjaraningrat menjadikan bahasa sebagai unsur kebudayaan yang pertama (Koentjaraningrat, 2000:203). Bahasa dalam kajian budaya, adalah bahasa sehari-hari, bukan bahaa logis. Bahasa memiliki beberapa fungsi dan untuk memahaminya, perhatian haruslah
108
dialihkan dari logika dan penyusunan bahasa yang sempurna kepada logika bahasa sehari-hari, yaitu bahsa common sense. Menurut Wittgensten, bahasa bukanlah kehadiran metafisik, tetapi sebuah alat yang dipergunakan manusia untuk mengkoordinasikan tindakan-tindakannya dalam konteks hubungan sosial (Storey, dalam Santoso, 2007:1). Penggunaan bahasa yang digunakan sehari – hari oleh masyarakat etnis Tinghoa di Desa Pupuan merupakan bahasa yang mampu menghubungkan atau mengkomunikasikan antar-etnis di Desa Pupuan. Penggunaan bahasa ini tentunya telah mengalami proses mimikri di mana masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan proses pembelajaran bahasa lokal dari semenjak awal kedatangannya. Pembelajaran ini tentunya membuat masyarakat Etnis Tionghoa mengalami perubahan bahasa dalam penggunaan sehari – hari. Perubahan penggunaan bahasa pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan memerlukan waktu puluhan tahun, bahkan antar generasi. Generasi pertama etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, baik itu dari utara (Buleleng) maupun selatan (Tabanan dan Badung) masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i bahkan hanya beberapa saja yang pada saat itu bisa berbahasa Bali, khusus bagi yang sudah bisa mempergunakan Bahasa Bali, biasanya adalah etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Bali, tetapi kemudian memutuskan diri untuk berpindah ke Desa Pupuan. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber Wayan Sudarsana; “Leluhur saya ketika pertama kali datang ke Desa Pupuan sudah mahir mempergunakan bahasa Bali, ini dikarenakan sebelum datang ke desa sudah lama menetap di Kerajaan Badung dan di sanalah belajar bahasa Bali. Kalau yang leluhurnya datang dari utara (pelabuhan di wilayah
109
Buleleng), jarang yang bisa bahasa Bali pada saat itu, karena mereka datang langsung dari Tiongkok, dan baru belajar Bahasa Bali ketika di Pupuan. Sedangkan anak-anaknya kemudian yang lahir di Desa Pupuan, belajar dua bahasa. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur dan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari.” Hasil wawancara di atas juga menjelaskan adanya perubahan penggunaan bahasa, di mana pada generasi kedua, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, disamping bahasa ko’i sebagai bahasa seharihari, hal ini dikarenakan karena semakin intensnya komunikasi antar budaya yang terjadi, dan juga ada kepentingan ekonomi, di mana Etnis Tionghoa yang pada saat itu dominan sebagai pedagang mau tidak mau harus belajar Bahasa Bali, karena sebagian besar konsumen dan pekerjanya adalah orang Bali. Seperti yang diutarakan oleh Gabriel Tarde, bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan peningkatan dalam imitasi perilaku secara timbal balik. Ia juga memandang imitasi memainkan peranan yang sentral dalam tranmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Padahal pada generasi ini, mulai dibangun sekolah khusus etnis Tionghoa di Desa Pupuan, akan tetapi penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa yang dominan dipergunakan dalam komunikasi tidak bisa dibendung. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur hanya dipergunakan dalam komunikasi terbatas antar etnis Tionghoa saja, sedangkan komunikasi secara umum mempergunakan Bahasa Bali.
110
Generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i sebagai alat komunikasi seharihari semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa. Hal ini dikarenakan selain karena kepentingan ekonomi dan budaya, pada generasi ini, pada generasi ini terjadi peristiwa G 30 S PKI, yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di seluruh Indonesia, dan berujung pada keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat China yang berisikan larangan penggunaan adat istiadat dan budaya China, hal ini sangat mempengaruhi generasi ketiga bahkan keempat dan selanjutnya tidak bisa mempergunakan bahasa leluhurnya dengan leluasa. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur dilarang penggunaanya, dan dipergunakan sangat terbatas khususnya dalam hal penghitungan uang, dan sistem kekerabatan dan ritual-ritual keagamaan, bahkan yang mahir dalam bahasa ko’i ini hanyalah orang-orang tua. Seperti yang dikemukakan oleh narasumber Bapak Ketut Aryawan: “Generasi yang lahir setelah G 30 S PKI sangat jarang yang bisa berbahasa ko’i, ini karena pada pemerintah melarang penggunaan bahasa ko’i seharihari, selain itu orang tua juga enggan untuk mengajarkannya, jadi kami sejak kecil dirumah biasa mempergunakan bahasa Bali” Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Ketut Ananda Kusuma; “Saya dari kecil tidak pernah belajar bahasa ko’i, tapi untuk istilah-istilah keluarga, saya masih bisa misalnya koko untuk kakak laki, cece untuk kakak perempuan. Dari kecil kami dikeluarga dibiasakan mempergunakan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari, lagian dari beberapa generasi kami sudah tinggal di Bali dan lebih merasa sebagai orang Bali.”
111
Dari dua pandangan di atas, bisa diambil sebuah simpulan bahwa setelah berlakunya Inpres No 14 Tahun 1967, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan meniadakan pembelajaran bahasa ko’i pada keturunannya. Disatu sisi generasi penerus etnis Tionghoa merasakan keterputusan budaya dengan leluhurnya, akan tetapi disisi lain, hal ini mendukung juga proses akulturasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pemerintah Pada masa setelah reformasi pasca dicabutnya Inpres No 14 Tahun 1967 dengan Keppres Np 6 tahun 2000 oleh pemerintahan Gus Dur, sempat ada pembelajaran mengenai bahasa ko’i yang dilaksanakan oleh lembaga sekolah selama beberapa waktu. Akan tetapi pembelajaran ini terhenti ditengah jalan. Menurut Birch, pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala politis, sosial, kultural dan ideologi. Ada kekuatan diluar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan dipergunakan. Hal ini sering terjadi dibawah sadar maupun secara sadar. Implikasinya dapat kita lihat, bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi-strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat. Menurut Menz, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, melainkan diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pandangan ini, aktor penghasil teks bukanlah individu
112
yang merdeka, tetapi merupakan individu yang diatur oleh dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada dibawah dimensi kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu (Santoso, 2007:6). Merujuk pada pandangan Birch dan Menz, bahasa yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan sebuah pilihan bahasa yang dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya, kepentingan ekonomi, maupun hegemoni dari pihak penguasa (pemerintah). Pengunaan bahasa Bali oleh etnis Tionghoa generasi kedua sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kepentingan ekonomi. Etnis Tionghoa yang pada saat itu berada pada strata yang lebih tinggi di masyarakat secara ekonomi (superior), mau tidak mau harus belajar mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasi untuk mempermudah komunikasi dengan konsumennya maupun dengan pekerjanya yang sebagian besar orang Bali. Faktor perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali juga mendorong hal ini, di mana bahasa Bali dipergunakan sebagai komunikasi sehari-hari dalam keluarga, walaupun kadangkala juga dipergunakan bahasa ko’i dalam komunikasi sehari-hari. Hal yang berbeda terjadi pada generasi ketiga, di mana pasca terjadinya peristiwa G 30 S PKI, semua budaya Tionghoa dihapus oleh pemerintahan yang baru termasuk juga bahasanya. Hegemoni pemerintah sebagai pemegang kuasa penuh atas budaya baik-buruk, legal-ilegal pada masa itu, menjadikan bahasa ko’i menjadi bahasa yang sangat dilarang untuk dipergunakan, sehingga keturunan Etnis Tionghoa pada generasi berikutnya tidak bisa mempergunakan bahasa leluhurnya lagi.
113
Berdasarkan uraian di atas yang bersumber pada hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada masa kini mempergunakan bahasa ‘hibrid’ yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Bahasa ko’i atau bahasa Mandarin sudah sangat terbatas penggunaannya, dikarenakan masyarakat Tionghoa di Desa Pupuan saat inisebagian besar lahir di atas 1970-an tidak mahir mempergunakan bahasa ko’i lagi, hanya dalam penyebutan istilahistilah kekerabatan saja bahasa ko’i masih sering dipergunakan dan juga pada istilah besaran uang.
5.3 Perubahan Nama Pada hakekatnya nama adalah identitas seseorang agar bisa dikenal memudahkan untuk membedakan dengan orang lainnya. Dalam pemberiannya, nama juga terkandung makna-makna pengharapan yang diharapkan oleh si pemberi nama kepada si pemilik nama. Selain untuk memudahkan panggilan, dalam nama juga terkandung simbol-simbol kultural seseorang. Seringkali dalam nama dapat diketahui dari suku mana dia berasal. Misalnya nama Kadek, Nyoman, Ketut menandakan bahwa dia berasal dari etnis Bali, nama Mooy menandakan dia adalah keturunan Rote Ndao. Demikian juga pada etnis Tionghoa di mana dalam setiap nama etnis Tionghoa terkandung beberapa informasiinformasi yang menjelaskan siapa si pemilik nama. Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (shee), dan 2 nama
114
dibelakangnya adalah nama yang sebenarnya. Misalnya Kang Yung Min. Kang adalah marganya, sedangkan Yung Min adalah namanya. Akan tetapi ada juga yang menganut shee rangkap misalnya Su-ma, Su-to, Ao-jang, Sang-koan dan Hehou, yang kemudian diikuti oleh namanya. Pada umumnya nama Tionghoa laki-laki didasarkan pada kesusilaan, kepandaian, kegagahan, kejantanan. Misalnya nama Kho Kim Djin, Kho=nama keluarga, Kim=mas, Djin=kemanusiaan, jadi, Kho Kim Djin artinya kemanuisaan emas. Nama Thio Lam Hok; Thio=nama keluarga, Lam=selatan, Hok=rezeki jadi Thio Lam Hok artinya rezeki selatan. Sedangkan untuk nama wanita seringkali dipergunakan nama bunga, misalnya bunga teratai (Lian), bungga angrek (Lan) dan sebagainya. Misalnya Ong Kim Lian=ong teratai emas, Tji Giok Lan=tji anggrek pualam selain bunga, seringkali, nama permepuan juga diidentikkan dengan harum (hiang) dan indah (eng). Selain itu dalam sistematika penamaan orang-orang Tionghoa, seringkali para orang tua juga menamakan anaknya berdasarkan
pada lima kata yang
menjadi konsepsi dari konfusius yakni Djin Gi Le Ti Sin (kemanusiaan, kebajikan, upacara, pengetahuan dan kepercayaan). Misalkan anak petama dari keluargka King bernama King Djin Han, anak kedua bernama King Djin Ho dan anak ketiga bernama King Djin Ciang, maka anak-anak mereka akan memiliki nama King Gi Han, King Gi Ho dan King Djin Ciang, demikian pula dengan keturunan berikutnya. Ucapan Konfusius Su Hai Tji Lue Kai Heng Te (disebelah dalam lingkungan keempat laut semua saudara ) juga dipergunakan sebagai sistem penamaan sama seperti konsepsi Konfusius.
115
Ada juga yang berdasarkan pada Phe Dji (delapan huruf) yang mengenai tahun bulan tanggal dan jam kelahiran. Atas dasar-dasar keterangan kelahiran, ditetapkanlah sebuah nama yang sesuai dengan anak yang baru lahir. Dan biasanya penamaan ini dibantu oleh seorang Sinshe Phe Dji yang memberikan nama sesuai dengan memeriksa keterangan kelahirannya (Joe Lan,1961:1-9). Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai namanya pada setiap identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai nama resmi dalam identitas, termasuk identitas kependudukan sampai dengan 27 Desember 1966. Memang sebelumnya pada tahun 1960-an pada masa Orde Lama, Menteri Sosial Moeljadi sempat menyarankan agar warganegara keturunan Tionghoa mengganti nama mereka menjadi nama yang lebih berbau Indonesia, akan tetapi ini hanya berupa anjuran, dan tidak ada sanksi yang dikenakan bagi yang melanggar. Hal yang berbeda terjadi pada tahun 1966, semua keturunan Tionghoa di Indonesia ‘diminta’ untuk berganti nama dengan nama yang berbau Indonesia. Peraturan ganti nama tersebut tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127/U/Kep—12/1966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’ yang ditanda tangani oleh Djenderal T.N.I Soeharto, sebagai Ketua Presidium. Implikasi dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang
116
berbau “lokal”, di mana perubahan nama ini hanyalah pada tataran identitas formal semata seperti KTP, Akta Kelahiran, Ijazah , namun pada tataran informal seperti dalam pergaulan, intern keluarga nama yang diberikan oleh orang tuanya masih tetap dipergunakan, sebagai nama panggilan, walaupun hal ini seringkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perubahan nama ini menambah beban sebelumnya di mana etnis Tionghoa yang memilih kewarganegaraan Indonesia harus memiliki tanda bukti yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia yang kemudian disingkat SBKRI yang berdasar hukum Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang "Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Untuk lebih jelasnya mengenai contoh SBKRI yang secara resmi diberlakukan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
117
Gambar 5.5. Contoh SBKRI (Dok.: googlesearch.SBKRI, 2012) Akan tetapi di Desa Pupuan berdasarkan hasil wawancara tidak ada satupun yang memiliki SBKRI, bahkan mereka sebagian besar tidak mengetahui fungsi dari SBKRI. Ketika masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan pergantian nama, mereka mendaftarkannya secara resmi di Kajari, dan menunggu sidang untuk agar pergantian nama tersebut diakui oleh negara. Secara langsung dapat terlihat adanya hegemoni negara dalam permasalahan pergantian nama ini, di mana negara akan memberikan sanksi kepada etnis Tionghoa yang menolak untuk mengikuti peraturan pemerintah. Adapun contoh penggantian nama yang didaftarkan di Kajari sebagai berikut :
118
Gambar 5.6. Penggantian Nama yang didaftarkan di Kajari (Dok. : dokumentasi pribadi wayan sudarsana, 2012)
Ada beberapa cara Etnis Tionghoa untuk mengganti namanya. Proses perubahan nama ini, juga merupakan sebuah mimikri (peniruan), di mana etnis Tionghoa diDesa Pupuan melakukan peniruan-peniruan nama etnis Bali, yang pada akhirnya menjadikan nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi sebuah hibrid. Adapun pola perubahan nama di Desa Pupuan berdasarkan hasil penelitian dilapangan:
1. Mengganti Nama dengan Nama yang Sama dengan Etnis Bali Sebagian besar, etnis Tionghoa di Desa Pupuan kelahiran kelahiran sebelum 1980-an dapat dipastikam memiliki nama-nama yang menjadi identitas khusus etnis Bali. Misalnya nama putu untuk anak pertama, made kedua, nyoman ketiga
119
dan ketut untuk anak keempat. Akan tetapi identitas ini tidak meninggalkan identitas Tionghoanya, dalam artian tetap memiliki nama Tionghoa dengan sheenya, tetapi dalam dokumen-dokumen resmi yang dipergunakan adalah nama Balinya, misalnya nama I Wayan Kisan sebagai nama formal di identitas resmi, sedangkan nama Tionghoanya, Kang Kisan.
2. Mencari nama Bali yang Memiliki Makna yang Baik Selain mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, pola lain penggantian nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah berganti nama dengan cara mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Bali. Kebanyakan orang Tionghoa berganti nama dengan memilih nama yang berbau Bali dan yang mempunyai makna tertentu, dan saat itu umum dipakai. Kang Kheng Djin-I Wayan Sudarsana, sama sekali tidak dipilih karena dekat nama Tionghoanya. Pilihan nama ini murni memperhatikan makna dari namanya. Sudarsana sendiri berarti dasar laksana yang baik.
3. Mendekatkan Nama Tionghoanya dengan Nama Indonesianya Rata-rata orang Tionghoa di Desa Pupuan biasanya memakai nama dengan tiga suku kata. Suku kata pertama adalah nama marganya, suku kata kedua adalah nama keluarganya, dan suku kata terakhir adalah namanya yang sebenarnya. Misalnya King Ming Han. King adalah nama marga, Ming adalah nama keluarga (biasanya semua anak laki-laki dalam keluarga ini akan mempunyai nama tengah yang sama, yaitu Ming) dan Han adalah nama dia yang sebenarnya.
120
Ada juga ditemui nama-nama yang meng-Indonesia-kan nama marganya, seperti: Lee menjadi Herleeyana. Penggantian dengan cara mendekatkan dengan nama Indonesia juga terjadi pada nama sesungguhnya, atau nama belakang. Misalnya pada nama Kang Bok Lan menjadi Made Lany Arwati, nama Lan yang merupakan nama sebenarnya, juga dikaitkan pada saat perubahan nama menjadi nama “lokal” (Lan menjadi Lany).
4. Memakai Nama-Nama Internasional Meski tidak terlalu lazim digunakan oleh mereka yang lahir sebelum tahun 1980, nama-nama yang berbau barat banyak dipakai oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Nama seperti Johan, Anton, Susan, dan lain-lain mendominasi namanama keturunan Tionghoa yang lahir tahun 1980 sampai saat ini, di mana namanama barat tersebut sudah dipilihkan oleh orangtuanya sejak lahir. Perubahan penamaan sejak awal 1980 menunjukkan bahwa tekanan politik saat Orde Baru membuat mereka berpaling kepada Barat. Sebab nama barat bisa diterima oleh orang Indonesia, meski berbeda sama sekali dengan nama-nama yang lazim dipakai oleh orang Indonesia. Pada era setelah 1980-an etnis Tionghoa diDesa Pupuan mulai meninggalkan nama Tionghoanya sebagai identitasnya, seperti narasumber I Ketut Anto Wijaya dan I Ketut Angga Wijaya yang sudah tidak memiliki lagi nama Tionghoa.
Adapun
alasannya
ialah
adanya
kehilangan
pengetahuan
terhadappenamaan Tionghoa sehingga orang tuanya memilih untuk tidak mempergunakan nama Tionghoa.
121
Seperti yang dituturkan oleh I Ketut Anto Wijaya: “saya tidak memiliki nama Tionghoa lagi karena orang tua saya kurang memiliki pengetahuan terhadap penamaan, karena sistem pemberian nama Tionghoa itu tidaklah sederhana. Lagian saya tinggal di Bali, dan saya juga orang bali, agama saya Hindu. Etnis saya memang Tionghoa tetapi saya juga orang bali”.
Demikian juga dengan penuturan I Ketut Angga Wijaya; “saya tidak masih memiliki nama Tionghoa, tetapi saya tahu marga saya apa, pengetahuan mengenai siapa saudara tidak hanya lewat marga saja kan, bisa juga tahu pas piodalan atau sembahyangan. Orang tua saya tidak memberikan saya nama Tionghoa karena saya lahir dibali, hidup di bali dan menjadi orang bali”
Dari penuturan di atas, dapat dianalisis bahwa pada masa kini bukanlah suatu masalah besar apabila seorang etnis Tionghoa tidaklah memiliki nama Tionghoa, karena adanya perkawinan campuran dan keluarga sudah saling mengenal. Selain itu hal ini juga dikarenakan karena sudah lama terjadi akulturasi dengan penduduk lokal, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan lebih merasa dekat dengan etnis Bali, bahkan sudah merasa bagian dari etnis Bali itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada masa kini identitas “penamaan” etnis Tionghoa di Desa Pupuan bersifat hibrid, karena melakukan proses mimikri terhadap unsur-unsur nama baik Bali maupun barat, sehingga memunculkan sebuah identitas “nama” yang bersifat campuran. Dari ketiga pemaparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa perubahan identitas budaya etnis Tionghoa, terjadi karena adanya perubahan pada unsurunsur pokok, hubungan antarunsur, berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem, pemeliharaan batas, subsistem, dan lingkungan. Di mana proses mimikri yang
122
dijalankan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya (Bhaba l994: 86). Adanya ambivalensi ini, juga menegaskan pandangan dari Wang Gungwu bahwa etnis Tionghoa mampu untuk menopang identitas Tionghoa mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai bukan Tionghoa, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total dan menerima suatu identitas bukan Tionghoa yang sepenuhnya baru. Di mana etnis Tionghoa mampu dan mau menerima identitas nasional, lokal, dan menelaah sejauhmana mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, ketika berhubungan dengan orang Tionghoa lainnya yang juga tinggal di lokalitas yang sama atau dengan orang Tionghoa yang tingal di luar lokalitas tersebut. Proses mimikri ini, kemudian menjadi sebuah identitas budaya baru yang hibrid,di mana, menurut Bhabha identitas budaya yang baru merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan
sifat-sifat
tertentu
dari
masing-masing
bentuk,
sekaligus
meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Harapannya, dalam jangka waktu yang lama identitas budaya yang hibrid bisa menjadi sebuah negoisasi mencakup perjumpaan
123
dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan adanya perbedaan budaya.
124
BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DIDESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Uraian dalam bab ini akan membahas permasalahan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Faktor – faktor yang mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan berkaitan erat dengan kondisi sosial politik dan ekonomi yang berkembang pada masa tersebut. Selain itu adanya kesamaan filosofi yang mendasari gerak langkah kehidupan masyarakat di Desa Pupuan juga mendukung perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Untuk
membicarakan
kesamaan
filosofi-filosofi
yang
kemudian
mempengaruhi sistem nilai budaya antara kebudayaan etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Desa Pupuan, akan didasarkan pada kerangka kajian yang pernah dikembangkan oleh C. dan F Kluckhohn yang secara universal membagi nilainilai budaya dari semua bangsa di dunia ke dalam lima kategori berdasarkan lima masalah universal terpenting dalam kehidupan manusia yang sering juga disebut dengan orientasi nilai budaya, yaitu mengenai hakekat hidup, masalah mengenai hakekat kerja serta usaha manusia, masalah mengenai hubungan manusia dengan alam, masalah mengenai persepsi manusia tentang waktu, dan masalah mengenai
124
125
hubungan antara manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 2003). Kelima kategori ini akan dibagi menjadi dua yakni kategori budaya dan sosial ekonomi. Selain itu, adanya gejolak politik yang senantiasa mempengaruhi hubungan etnis Tionghoa di Indonesia, juga menjadi faktor pendukung perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah:
6.1. Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dan Etnis Tionghoa Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya kesamaan nilai budaya. Adanya kesamaan-kesamaan nilai budaya merupakan sebuah modal budaya yang menjadikan proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa menjadi identitas budaya baru yang bersifat hibrid di Desa Pupuan berlangsung secara damai. Budaya Bali dan budaya Tionghoa adalah dua kebudayaan yang telah saling mempengaruhi selama ratusan tahun. Jejak-jejak kebudayaan Tionghoa dalam budaya Bali terekam hampir dalam seluruh jejak kehidupan etnis Bali khususnya yang beragama Hindu. Penggunaan uang kepeng (pis bolong), dupa, patra China hanyalah sebagian kecil dari rekam jejak kebudayaan itu. Demikian juga sebaliknya, pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, jejak-jejak budaya etnis Bali juga terekam dengan jelas. Adanya Pelinggih Kemulan dengan bentuk dan fungsi yang sama dirumah warga etnis Tionghoa, penggunaan banten dalam ritual-ritual keagamaan dan tradisi adalah bukti sahih bagaimana budaya Bali mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Adanya
126
hubungan saling mempengaruhi ini tentunya dikarenakan adanya kesamaan pandangan-pandangan dalam memahami nilai sosial budaya. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber Dhama Joti Kassapa berikut ini: “Mengapa etnis Tionghoa bisa cepat sekali dekat dengan etnis Bali, hal itu dikarenakan adanya hubungan yang sudah lama, dan seperti yang diketahui bahwa banyak sekali budaya Bali mendapatkan pengaruh China, demikian juga, ketika orang Tionghoa tinggal di Bali, dia juga menyerap unsur-unsur budaya Bali, karena orang Tionghoa menganggap ada banyak sekali pandangan-pandangan yang sama antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Misalnya, bagaimana menghormati leluhur, bagaimana kita percaya dengan hukum karma dan bagaimana kita harus menghormati alam tempat kita tinggal. Inilah yang menyebabkan mengapa etnis Tionghoa di Bali cepat sekali menyerap unsur-unsur budaya Bali.” Dari pendapat di atas bisa terungkap bahwa adanya kesamaan-kesamaan akan pandangan atau filosofi merupakan salah satu modal yang menyebabkan identitas budaya etnis Tionghoa bisa mengalami perubahan. Etnis Tionghoa secara garis besar menjalankan suatu filosofi dasar yang telah dilaksanakan selama ratusan tahun yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian
yang
memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Ini merupakan modal yang sangat berarti dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di
127
mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektifitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya). Modal juga merupakan sebuah strategi investasi, di mana pada momen tertentu, modal dapat mewujud dalam sebuah realitas sosial, yang fungsinya bertahan lama dan menetukan peluang, keberhasilan suatu praktik. Karena modal merupakan “strategi investasi”, maka ia tidak datang tiba-tiba. Modal terbentuk melalui proses kerja akumulatif dan memiliki rentang waktu yang kadang sangat lama. Ia ekslusif pada ranah tertentu. Pada ranahnya yang tertentu itu, modal memiliki diferensiasi, hierarki, keistimewaan, yang memungkinkan berlangsungnya “konversi” dari modal satu ke modal yang lain. Di mana dalam pandangannya, Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal budaya itu sendiri merupakan pengetahuan yang diperoleh, kodekode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukankedudukan sosial (Hardyatmoko, 2003:12). Sehingga etnis Tionghoa di Desa Pupuan bisa diterima dengan baik oleh etnis lainnya di Desa Pupuan. Adanya pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Bali, dan banyaknya persamaan filosofi antara etnis Bali dan etnis Tionghoa, semisal dalam memandang leluhur, merupakan modal budaya yang sangat kuat. Selain itu filosofi etnis Tionghoa yang mengutamakan keharmonisan, toleransi dan perikemanusiaan juga merupakan termasuk modal budaya.
128
Adanya kesamaan-kesamaan antara nilai budaya Etnis Tionghoa dengan etnis Bali yang juga merupakan modal budaya terlihat pada:
6.1.1. Masalah Mengenai Hakekat Hidup Hakekat hidup etnis Tionghoa di Desa Pupuan, memiliki kesamaan dengan hakekat hidup etnis Tionghoa di daerah lainnya, di mana hakekat hidup etnis Tionghoa banyak sekali dipengaruhi oleh pandangan pandangan ajaran Buddha, Tao maupun Konfusius. Dalam ajaran Budha, hakekat hidup manusia adalah dukkha yang diterjemahkan sebagai ketidakpuasan, yang bersumber dari keinginan rendah (tanha) dan untuk membebaskan diri dari penderitaan, dan menuju tujuan hidup umat Buddha yakni nibana maka manusia haruslah mengurangi segala godaan keduniawian. Selain itu ada juga pandangan filosofi lain dari etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa sempurna adalah orang yang arif bijaksana dalam melakukan hubungan sosial masyarakat. Aliran filosofi ini diajarkan oleh Konfusius yang banyak menjelaskan tentang hubungan antara sesama manusia. Jadi meskipun hidup dikatakan penuh dengan dukha dan godaan keduniawian, namun manusia diberikan alternatif yang lebih optimistis untuk menyingkirkan kesengsaraan itu, yakni dengan menjalin hubungan atara sesama manusia. Ajaran ini dapat dilihat pada ajaran Konfusius tentang jen maupun chuntzu.
129
Demikian pula dalam ajaran Budha mengenai kebesaran utama, yakni yang pertama disebutkan hidup itu adalah dukha yang disebabkan oleh tanha atau keinginan untuk mementingkan diri sendiri. Maka dicarilah cara menganggulangi sikap mementingkan diri sendiri itu, yaitu melalui delapan jalan. Pengertian benar (sammä-ditthi), pikiran benar (sammä-sankappa), ucapan benar (sammä-väcä), perbuatan benar (sammä-kammanta), pencaharian benar (sammä-ajiva), dayaupaya benar (sammä-väyäma), perhatian benar (sammä-sati), konsentrasi benar (sammä-samädhi) Dukha juga bisa berasal dari Kamma seseorang, karena itu Budha juga mengajarkan Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, di mana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya. Semua perbuatan yang dilakukan atau disertai dengan kehendak berbuat (cetena) merupakan Kamma. Kehendak dapat berarti keinginan, kemauan, kesengajaan atau adannya rencana berbuat. Sang Budha bersabda: “O, Bhikkhu! Kehendak berbuat (cetena) itulah yang kami namakan Kamma.” (Anguttara Nikaya III : 415). Semua perbuatan akan menimbulkan akibat dan semua akibat akan menimbulkan hasil perbuatan. Akibat perbuatan disebut kamma-vipaka, dan hasil perbuatan disebut kammaphala. Jadi Hukum Karma adalah hukum perbuatan yang akan menimbulkan akibat dan hasil perbuatan (kamma-vipaka dan kamma-phala), Hukum kamma bersifat mengikuti setiap Kamma, mutlak-pasti dan harmonis-adil (anonym.
130
http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html. diakses 17 september 2012). Jadi pada diri etnis Tionghoa, baik melaui pengaruh filsafat Konfusius maupun filsafat Budha dapat dikatakan bahwa hakekat hidup itu adalah dukha, tetapi manusia dapat bertekad untuk membebaskan diri dengan menjalankan jalan mulia berunsur delapan maupun kesempurnaan hubungan sosial untuk mencapai tujuan akhir yakni nibbana. Sedangkan hakekat hidup etnis Bali bersumber dari ajaran-ajaran Hindu. Dalam ajaran Hindu terdapat tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :Tattwa, pengetahuan tentang filsafat agama;Susila, pengetahuan tentang sopan santun, tata karma dan Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama. Pada ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “. Yang terdiri dari : 1. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi 2. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman 3. Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala 4. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali 5. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan lahir batin. Moksa dalah tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh agama Hindu, yang berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam
131
kebahagiaan yang tiada tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa. Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “. Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang terdiri dari : a. Bhakti Marga ( jalan Bhakti ) b. Karma Marga ( jalan Perbuatan ) c. Jnana Marga ( jalan Ilmu Pengetahuan ) d. Raja Marga ( jalan Yoga ) Dari dua pandangan di atas, bisa dicermati bahwa tujuan agama Hindu adalah moksa, dan tujuan agama Buddha adalah nibbana, di mana keduanya memiliki jalan masing-masing. Walaupun jalannya berbeda namanya, akan tetapi tujuaannya sama yakni pembebasan menuju kebahagiaan lahir dan bathin. Dalam menjalankannya,
baik
yang
beragama
Hindu
maupun
Buddha,
sangat
mempercayai akan hukum Karma/Kamma, seperti yang diungkapkan oleh, Ketut Anto: “Kedekatan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali sampai sekarang ini, salah satunya karena sama-sama percaya dengan hukum karma, karena itu orang Tionghoa dan orang Bali takut untuk berbuat yang jelek-jelek karena takut kedepannya seperti apa, kan kita tidak tahu.”
132
Dari pandangan di atas, diketahui bahwa terdapat persamaan-persamaan antara hakekat hidup etnis Tionghoa dengan hakekat hidup etnis Bali yang mayoritas mendiami Desa Pupuan. Hakekat hidup adalah sesuatu yang paling dasar dalam kehidupan manusia, tanpa adanya hakekat hidup, manusia tidak akan bisa menjalankan hidupnya sebagai manusia tanpa adanya tujuan.
6.1.2. Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam Hubungan manusia dengan alam, dapat dilihat pada ajaran Taosime yang mengagung-agungkan alam semesta. Dalam ajaran Tao, manusia diajak untuk menata hidupnya agar selaras dengan cara bekerja alam semesta, salah satunya dengan memilih jalan kesederhanaan, mencontoh sifat air yang selalu memilih tempat rendah yang terlemah dari semua benda, tetapi dapat menembus batubatuan. Sifat air yang lemah ini sanggup menampung segala-galanya, baik yang bersih maupun yang kotor. Pengertian Tao memiliki makna transenden maupun imamen. Makna transenden menunjuk pada jalan dari kenyataan terakhir, di mana menjadi dasar dari semua yang ada dan dapat diketahui hanya melalui kenyataan yang mistis. Disinilah kemudian muncul semboyan Tao “mereka yang mengetahui tidak akan bicara sedangkan mereka yang bicara tidak mengetahui”. Tao yang bermakna transenden ini menunjukkan pada kekuatan alam semesta yang menjadi sumber dan akhir dari semua yang ada.
133
Tao yang mengandung makna imamen merupakan jalan alam semesta sebagai kaidah, irama dan kekuatan pandang dalam seluruh alam semesta. Tao dalam makna ini mengambil wujud fana dan memberi tahu segala sesuatu. Ia menyesuaikan hakekatnya pada setiap manusia dan mendorong seseorang mendekati menuju jalan dari kenyataan yang terakhir. Dengan demikian, pada etnis Tionghoa juga dikenal kehidupan yang selaras dengan alam semesta dan dihubungkannnya dengan dunia mistis yang berkaitan dengan religio magi (Hariyono, 1994:39-40). Hal ini kemudian yang menjadi landasan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mampu menyatu dengan lingkungan alam di Desa Pupuan. Hidup yang selaras, seimbang sama dengan lingkungan lainnya, menjadikan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Sedangkan pada etnis Bali masalah keharmonisan ini sangat erat kaitannya dengan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana, memiliki arti tiga penyebab keharmonisan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, yang terdiri dari: 1. Parahyangan (hubungan baik antara Sang Maha Pencipta dan mahluk ciptaannya). 2. Pawongan (hubungan baik antara manusia dengan manusia). 3. Palemahan (hubungan baik antara manusia dengan lingkungan). Konsep Tri Hita Karana bersifat universal dan mendorong manusia untuk mendapatkan keseimbangan hidup lewat membina hubungan yang baik di ketiga aspek kehidupan. Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam berpikir, yang membedakannya dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
134
Merupakan kewajiban yang harus ditaati secara tulus ikhlas untuk selalu menjaga ‘hubungan baik’ dengan Sang Pencipta lewat bersyukur, berdoa, bersembahyang dan jalan lainnya dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satu bentuk rasa syukur dan taat kepada pencipta adalah lewat membina hubungan baik dengan makhluk Tuhan lainnya, yang dalam konteks ini adalah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang dengan masing-masing keterbatasannya memerlukan orang lain dalam hidupnya. Sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan sesama kita karena dengan begitu banyak kemudahan yang akan kita dapatkan di kehidupan ini. Sudah seharusnya sesama manusia harus bisa hidup rukun, saling membantu serta meringankan beban sesama,saling menjaga dan saling mengingatkan. Tidak cukup sampai di situ, tidak kalah pentingnya bagi kita untuk membina hubungan baik dengan lingkungan kita yang dalam Bali disebut palemahan. Jika kita membina hubungan baik dengan lingkungan dalam hal ini menjaga kelestarian alam sekitar,maka alam juga akan menjaga kita. Namun apabila kita tidak menjaga alam dengan baik seperti contoh menebang hutan secara terus-menerus, mengeruk segala isinya secara berlebihan, maka cepat atau lambat lingkungan akan angkat bicara. Maka, hubungan baik dengan ketiga aspek, ketuhanan, kemanusiaan dan lingkungan harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing, sehingga keharmonisan, kesejahteraan, keseimbangan, serta kebahagiaan hidup dapat kita capai. Filosofi Tri Hita Karana menjadi dasar hubungan masyarakat etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang sama-sama ingin mencari keharmonisan dalam hidup khususnya dengan alam semesta. Apalagi kemudian,
135
masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga memiliki kepercayaan dengan filosofi ini, karena dianggap memiliki makna yang kurang lebih sama dengan ajaran leluhur mereka.
6.1.3. Masalah Mengenai Persepsi Manusia tentang Waktu Pada dasarnya etnis Tionghoa memiliki filosofi waktu tentang kekinian, akan tetapi terkadang mereka juga memiliki filosofi waktu tentang masa lalu. Konfusius seorang filosof Tionghoa juga memberikan penghormatan pada masa lalu. Bahkan, ajaran Konfusius sendiri bersumber pada sejarah masa lampau yang disebut dengan zaman keselarasan agung yang pernah dialami oleh China, di mana pada masa itu tradisilah yang menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat pada masa itu. Tradisi yang diciptakan dengan baik akan menciptakan manusia yang baik juga. Selain itu, etnis Tionghoa juga memiliki pandangan waktu ke masa yang akan datang, misalnya dalam bekerja, etnis Tionghoa lebih berani untuk mengorbankan atau mengubah sesuatu demi kelangsungan di masa yang akan datang, meskipun itu tampak suatu gambling sekalipun. Etnis Bali juga memiliki konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang.
136
Dalam ajaran hukum karma phala yang dipercayai oleh etnis Tionghoa maupun etnis Bali disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Adanya kesamaan filosofi dalam memandang hakekat hidup, hubungan manusia dengan alam dan persepsi mengenai waktu merupakan modal budaya yang menjadi prasyarat untuk mengakumulasi modal yang lain. Sebab modal budaya merupakan hasil dari proses akumulasi yang panjang dan memiliki konsekuensi historis yang sulit dihindari.
6. 2. Adanya Faktor Sosial Ekonomi Faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor sosial ekonomi merupakan modal sosial dan modal simbolik yang memiliki peran dalam proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Modal sosial merupakan menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari
kekuasaan
simbolik
yaitu
kekuasaan
yang
memungkinkan
untuk
mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, hal ini terlihat pada pada:
137
6.2.1. Hakekat Kerja serta Usaha Manusia Hakekat kerja etnis Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius, terdapat ajaran yang disebut dengan hubungan segitiga, yakni hubungan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kalinya harus terjadi dalam keluarga. Apabila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang serasi, maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Sikap bakti anak kepada orang tua juga terjadi dalam keluarga, sikap pemujaan kepada leluhur yang digariskan secara tetap juga membicarakan tentang keluarga. Penggunaan nama keluarga secara cermat dan teratur oleh Konfusius juga memberikan jalinan yang terjadi dalam keluarga. Sedemikian pentingnya perhatian pada keluarga, sehingga etos kerja pun dihubungkan dengan keluarga. Salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Konfusius pun mengatakan “meskipun ayah dan ibumu telah meninggal, tetapi kalau kamu telah bekerja dengan baik maka hal ini akan menunjukkan bagaimana mengharumkan nama orang tuamu dan segala cita-citamu akan tercapai. Tetapi sebaliknya bila kamu bekerja dengan tidak baik, maka ini akan memberikan aib bagi nama orang tuamu dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu ”. Orang yang dapat bekerja dengan baik telah dianggap berbakti kepada orang tua dan akan memperoleh pahala didunia akhirat kelak, dan sebaliknya orang yang tidak bekerja dengan baik, ia telah berlaku tidak bakti kepada orang tua dan mendapat hukuman di dunia akhirat kelak. Karena itulah etnis Tionghoa menjadi memiliki
138
sifat rajin, ulet, tanpa mengenal lelah dalam mencari kekayaan dan kesetiaan dalam keluarga. Konfusius
Keluarga
Kerja
Bagan 6.1. Etos Kerja pada Masyarakat Tionghoa menurut Konfusius
Dengan melihat anak panah di atas, tampak bahwa keluarga merupakan fokus pembicaraan, etos kerja pada masyarakat Tionghoa terletak pada keinginan untuk bakti pada keluarga serta memperoleh pahala kelak di akhirat (Hariyono, 1994:37-39). Hal ini kemudian menjadi pendorong etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki kemampuan ekonomi lebih dibandingkan dengan etnis Bali. Menurut Boerdiue, hal ini merupakan modal simbolik yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, yang
mana
tidak
terlepas
dari
kekuasaan
simbolik;
kekuasaan
yang
memungkinkan untuk mendapatkan sesuatu yang setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Akan tetapi hal ini juga bisa berkonversi menjadi modal sosial, apabila hubunganhubungan yang terjalin antar filosofi (konfusius), keluarga, dan kerja menjadi sebuah jaringan dan membetuk relasi dengan jaringan-jaringan yang lain semisal kekuasaan, di mana pada akhirnya memperkuat peluang etnis Tionghoa mendapatkan kemampuan ekonomi yang lebih.
139
Pada masa lampau, sebagian besar tanah di Desa Pupuan dan wilayah kecamatan Pupuan dimiliki oleh tuan-tuan tanah etnis Tionghoa, yang mana digarap oleh etnis Bali dan ini menjadikan etnis Tionghoa sangat dihormati di Pupuan dikarenakan kemampuan ekonominya. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa di Desa Pupuan terkenal dengan simbol kekuatan ekonominya. Sedangkan pada etnis Bali, hakekat kerja tidaklah bisa terlepas dari adanya konsepsi ngayah. Secara harfiah ngayah berarti: melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990). Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feodal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya. Dalam hal ngayah, setiap orang Bali, khususnya yang masih memeluk agama Hindu, terikat dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan kewajibankewajibannya ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1. Kewajiban religius, kepada Ida Sang Hyang Widhi, bisa berupa ngayah di pura, merajan, maupun ngayah yang berkaitan dengan upacara-upacara Dewa Yadnya. 2. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat (metulungan), baik itu dengan keluarga, di banjar maupun di desa
140
3. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan lingkungan, baik itu yang ada hubungannya dengan upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun
Bhuta
Yadnya.
( anonim.
http://singaraja.wordpress.com/2008/07/13/ngayah%E2%80%9D-sebuah-kajianfilosofis/. Diakses tanggal 9 Agustus 2012). Secara fenomenalogis, ngayah merupakan sebuah gejala sosio-religiokultural masyarakat Hindu Bali. Dalam kaitan ini ngayah menjadi gejala religiokultural yang dengan jelas dapat diamati dalam masyarakat bersangkutan.Refleksi ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan.Bentuk pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini, antara lain dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita keTuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya. Aktivitas ngayah yang masih melekat dalam sikap batin dan budaya manusia Hindu pada hakekatnya berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman demikian tertuang dalam motto “ora et labora” (bekerjalah dan berdoalah). Pemahaman atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh suatu sikap batin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”. Ungkapan ini nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, di mana pada tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang otomatis memiliki hakikat “kebebasan eksistensial” ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit
141
yang dinyatakan : “tan hanang wastu tan palalayan” (tiada anugrah tanpa suatu usaha sungguh-sungguh untuk menggapai-Nya). ( anonim.http://singaraja.wordpress.com/2008/07/13/ngayah%E2%80%9Dsebuah-kajian-filosofis/. Diakses tanggal 9 Agustus 2012) Jadi secara garis besar hakekat kerja etnis Tionghoa dan etnis Bali memiliki kesamaan yakni sama-sama ingin menunjukkan baktinya baik itu kepada keluarga maupun kepada Tuhan, disinilah kemudian letak kesinambungan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, di mana konsepsi bakti etnis Tionghoa bertemu dengan konsepsi ngayah etnis Bali, dan kedua konsepsi disini akhirnya bertemu di Desa Pupuan. Kata ngayah sendiri kemudian ditiru oleh etnis Tionghoa diDesa Pupuan untuk menunjukkan baktinya ke hadapan leluhur, dewa bahkan ke pura.
6.2.2. Hubungan antara Manusia dengan Sesamanya. Dalam ajaran Budha dikembangkan sifat suka menolong antara manusia dengan sesamanya. Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sifat suka menolong karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan. Konfusius juga mengajarkan jen untuk menamakan hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi antara sesama manusia. Jen juga berusaha untuk membuat orang lain menjadi besar, karena kebesaran hati tidaklah mengenal batas-batas bangsa. Jen mengetahui bahwa dalam empat samudra semua manusia bersaudara.
142
Akan tetapi dalam jen, juga dikemukakan bahwa hubungan sosial yang paling berarti adalah hubungan antara keluarga. Pada etnis Bali terdapat filsafat Tat Twam Asi, yang memiliki arti aku adalah kamu/kita (manusia) seyogyanya sama, baik yang menciptakan maupun yang menjiwai kita (roh). Dengan filsafat Tat Twam Asi, kita tidak akan pernah berpikir untuk membedakan-bedakan individu manapun. Perbedaan seperti suku, agama, ras, warna kulit, bukanlah alasan untuk terpecah. Semua manusia memiliki hak yang sama untuk bisa hidup berdampingan satu sama lain. Selain itu, teredapat juga filosofi Tri Kaya Parisudha, yang berarti tiga tahap perbuatan yang baik,terdiri dari Manah cika (berpikir yang baik dan positif), Wacika (berkata/berucap yang baik), dan Kayika (berprilaku yang baik). Filsafat ini mengarahkan seseorang untuk selalu memulai sesuatu dari pikiran yang positif, sehingga dari pikiran yang positif akan muncul perkataan serta perbuatan yang baik. Orang atau individu yang mengamalkan filsafat ini diarahkan untuk bagaimana menjadi pribadi yang baik. Namun makna “orang yang baik” disini dapat
mengandung
dua
makna,
pertama
merupakan
penyataan,
kedua
menunjukkan seseorang yang cara hidupnya dipakai sebuah teladan. Dalam konteks ini makna yang dimaksud adalah yang kedua-yang di mana terkandung suatu nilai yaitu nilai kesusilaan. Jadi makna “orang yang baik” dalam konteks ini adalah orang yang mempunyai perikehidupan yang bernilai ditinjau dari sudut pandang kesusilaan. Rekatnya hubungan sesama antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan, juga dikarenakan adanya perkawinan saling silang yang terjadi
143
antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa. Perkawinan campur dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan reproduksi kedudukan sosial. Hal ini, merupakan modal sosial yang bagi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubunganhubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. (Hardyatmoko, 2003:12). Inti dari modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari antar warga masyarakat. Dalam modal sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada pada modal sosial yang mencakup:
1. Kepercayaan/Trust Fukuyama, menyatakan bahwa kepercayaan adalah efek samping yang sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif yang memunculkan modal sosial. Kepercayaan bukan merupakan kebajikan moral tetapi lebih merupakan efek samping dari kebajikan, ia muncul ketika masyarakat saling berbagi norma-norma kejujuran dan kesediaan untuk saling menolong dan oleh karenanya mampu bekerja sama (Fukuyama, 2002: 72-75).
2. Jaringan Sosial/Social Networks Jaringan adalah sekelompok agen-agen individual yang berbagi norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma-norma formal. Hubungan
manusia
sangat
berarti
baginya
sebagai
individu.
Dapat
144
dikatakanbahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui siapa yang kita kenal. Secaralebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia juga berperan sebagai dindingpembatas bagi struktur-struktur sosial yang lebih luas. Ide sentral dari modalsosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai (Field dalam Syahputra, 2008:14). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Jaringan sosial tradisional biasanya atas dasar kesamaan garisketurunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeatedsocial experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan(religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentangjaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompokyang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaanorganisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yanglebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. (Syahputra, 2008: 14-15).
3. Norma/norms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan). Norma merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan modal sosial, dikarenakan dalam norma terdapat nilai-nilai seperti kejujuran (trust), pemenuhan tugas, dan kesedian tolong menolong. Akan tetapi norma tidak sendiri menghasilkan modal sosial, dikarenakan nilai tersebut mungkin nilai yang salah. Misalkan saja dalam kasus mafia di Italia. Mafia dicirikan oleh aturan internal yang kuat, dan para mafiosa disebut sebagai orang-orang yang terhorat. Namun norma-norma yang berlaku pada mafia tidak bisa diberlakukan secara umum,
145
dikarenakan dalam norma-norma yang dilakukan oleh mafia Italia, terdapat aturan-aturan yang tidak mempromosikan kerjasama sosial, dan konsekwensikonsekwensi negative, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat (Fukuyama, 2002:22-25) Ketiga elemen modal sosial di atas berikut aspek-aspeknya pada adalah elemen yang ada atau seharusnya ada dalam kehidupan sebuah kelompok sosial, apakahkelompok itu bernama komunitas, masyarakat, suku bangsa, atau kategori lainnya atau dengan kata lain elemen-elemen modal sosial tersebut merupakan pelumas yang melicinkan berputarnya mesin struktur sosial. Modal sosial ini kemudian membuat adanya relasi hubungan timbal balik, di mana etnis Bali mempelajari kebiasaan-kebiasaan etnis Tionghoa dan begitu juga sebaliknya, etnis Tionghoa juga mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Bali. Tidak sebatas kebiasaan, etnis Tionghoa bahkan mempelajari makna di dalamnya, yang kemudian mereka imitasikan karena dianggap sesuai atau memiliki kesamaan-kesamaan dengan budaya asli mereka. Selain itu modal sosial juga terdapat pada relasi-relasi yang terjadi dikarenakan sama-sama menjadi anggota subak, krama banjar dan hubungan-hubungan pertemanan yang terjadi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa. Adanya ketiga modal yang dimiliki oleh masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, menjadikan praktik perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi suatu keniscayaan. Di mana, praktik dari Bourdieu yang dinyatakan dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. (Takwin, dalam Harker dkk.ed, 2009:xx).
146
Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subjektif terhadap posisi itu (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 13-14). Konsepsi habitus menjadi penting karena merupakan skema kognitif pilihan individusebagai sesuatu yang terpola, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yangbertahan dalam jangka panjang. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupansosial. Konsepsi habitus yang dilaksanakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh etnis Bali di Desa Pupuan. Misalnya persembahyangan ke Pura, membuat banten, penjor pada saat hari Raya Galungan, ngelawar, bahkan mekekawin dan mempelajari aksara Bali. Selain itu dalam upacara-upacara yang dilaksanakan oleh etnis Tionghoa khususnya yang dilaksanakan di rumah pribadi, pastilah didahului dengan mebanten pada Jero Gde. Kebiasaan-kebiasaan ini dilakukan atau diimitasi oleh etnis Tionghoa baik secara sadar maupun tidak sadar dikarenakan ranah mereka tinggal sama-sama di Desa Pupuan. Hal ini juga menjadikan etnis Tionghoa di
147
Desa Pupuan sangat fasih untuk menulis dalam Aksara Bali. Salah satu contoh dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 6.1 Cerita Ramayana yang ditulis dalam Aksara Bali, Buah Karya salah satu Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan (Dok.: Yudha, 2012) Konsep habitus tidak bisa dilepaskan dengan konsep ranah. Dua konsep itu sangat terikat satu sama lain dikarenakan saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan strukturstruktur habitus yang terintegrasi pada pelaku (Bourdieu dalam Hardyatmoko, 2003:11). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif
148
kekuasaan yang terdapat diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat diantara titik-titik simbolik. Struktur ranah, didefinisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 10-11). Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan masyarakat sangat terdiferensiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif, mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, di mana dalam pembedaan ini, terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun dominasi ini tergantung pada situasi modal dan strategi pelaku (Hardyatmoko, 2003:11). Ketika modal budaya, modal sosial dan modal simbolik sudah ada, maka kemudian modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung. Nilai yang diberikan oleh modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan kedalam habitus sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Lazimnya, jumlah modal sebagaimana struktur modal tambahan juga merupakan dimensi penting dalam ranah (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 15).
149
Selain itu, proses imitasi budaya ini bisa berjalan tanpa adanya konflik dari etnis Bali yang dominan di Desa Pupuan, juga dikarenakan etnis Bali dianggap memiliki sifat-sifat: 1. Terbuka. Manusia Bali memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam interaksi antar-suku bangsa, dan bahkan antar bangsa sehingga lahirlah suatu sifat dan karakter terbuka; manusia Bali adalah ‘manusia herodianis’, dalam arti selalu siap membuka pintu untuk menyongsong kehadiran manusia asing dan kebudayaan luar. 2. Ramah dan luwes. Manusia bali memiliki pengalaman yang luas dan panjang tentang berbagai perbedaan kelompok, hierarki kelompok, jarak sosial, segregasi kelompok, serta kompetisi keras dalam kelompok. Oleh sebab itulah manusia Bali terlahir sebagai manusia yang ramah dalam menghadapi siapa saja. Karena manusia Bali telah lama menghadapi berbagai perbedaan, maka kemudian lahir sifat-sifat luwes atau fleksibel (lentur) 3.
Jujur. Manusia Bali pada hakekatnya adalah manusia-manusia jujur, karena
sangat yakin akan makna ontologisme dari hukum karma. Di masa yang lampau di dalam masyarakat Bali dijumpai fenomena penyimpangan dan penyakit sosial yang sangat rendah, dan bahkan pencuri saja hampir tidak ada. Namun kini situasi telah berubah. 4.
Kreatif dan estetis. Manusia Bali memiliki sifat kreatif dalam penciptaan
budaya dalam arti luas, dan dalam penciptaan seni. Seni tari klasik, seni lukis, seni ukir serta pahatan sudah sangat maju dan populer hingga ke mancanegara.
150
5. Kolektif. Manusia-manusia Bali memiliki sifat kolektif yang sangat kuat, karena manusia-manusia Bali dilahirkan, dibesarkan dan dikembangkan dalam sistem sosial yang menekankan kebersamaan dan sistem interaksi primer dalam adat, dalam kekerabatan yang integratif dan dalam sistem kelompok. Sistem sosial ini juga telah melahirkan sifat toleransi dan gotong royong. Namun sifat ini tampaknya mulai mencair. 6. Kosmologis. Manusia Bali memiliki sifat yang sangat menekankan keseimbangan, meliputi keseimbangan antara material dan spiritual antara manusia dengan Tuhan, alam dan masyarakat sebagaimana tercermin dalam Tri Hita Karana 7. Religius. Manusia-manusia Bali sebagai manusia yang berbudaya adalah manusia yang religius; manusia Bali selalu disibukkan dengan ritual agama (Panca Yadnya) yang kompleks. Kendatipun jauh lebih sibuk melaksanakan ritual dibandingkan dengan menjalankan ajaran agama, namun manusia Bali memiliki emosi religius internal yang kuat dan kokoh. 8. Moderat. Manusia Bali dianggap memiliki sifat yang moderat yaitu sifat yang tidak radikal maupun tidak lembek. Manusia Bali selalu memiliki sifat dan sikap untuk mengendalikan diri ditengah lingkungan fisik dan sosial sehingga tidak memiliki sifat radikal atau agresif manakala mereka berada dalam kondisi frustasi (Naya Sujana, Nyoman. Manusia Bali di Persimpangan Jalan dalam Dinamika masyarakat dan Kebudayaan Bali,1994: 49-50).
151
6.3. Adanya Perubahan Politik di Indonesia Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka pasca Perang Dunia ke II pada awal kelahirannya memiliki tentunya pandangan politik nasionalisme seperti yang menjadi trend pada masa itu, seperti yang dijalankan oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno. Demikian juga dengan pemilihan asas kewarganegaraan ius soli yang kemudian menjadi sangat penting untuk memastikan berapa sumber daya manusia yang dimiliki oleh Indonesia demi tercapainya tujuan pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Akan tetapi, hal ini kemudian menimbulkkan permasalahan khusus untuk etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, karena China memiliki paham kewarganegaraan ius sanguinis, berbeda paham dengan yang dipergunakan di Indonesia. Karena itu untuk masalah kewarganegaraan muncullah istilah dwi kewarganegaraan untuk etnis Tionghoa yang diatur dalam PP 20 Tahun 1959. Demikian juga dengan politik luar negeri, sebagai sebuah negara yang baru merdeka dan dihadapkan pada kondisi perang dingin antara dua blok ideologi, politik luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia bersifat bebas aktif. Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara tertentu atau oleh blok negara-negara tertentu. Aktif artinya dengan giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain demi tercapainya perdamaian dunia. Akan tetapi hal ini kemudian berubah pasca peristiwa G 30 S PKI, dimana Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto, kembali mempertanyakan status kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan keharusan melampirkan SBKRI dalam
152
keterangan warganegaranya. Politik luar negeri Indonesia dari awalnya bebas aktif menjadi memiliki kecenderungan berafiliasi dengan blok barat, dan menjauhi blok timur. Setelah kejatuhan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia, kembali mengarah ke politik bebas aktif dan normalisasi hubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pro komunis termasuk juga dengan China. Permasalahan kewarganegaraan etnis Tionghoa dan peraturan diskriminasi lainnya akhirnya dicabut pada masa ini. Pandangan politik ini tentunya memiliki korelasi dengan peraturan perundangan yang akhirnya dimunculkan dan mempengaruhi hubungan luar negeri khususnya dengan China. Kemudian hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Karena itulah kemudian perubahan politik pemerintah sangat mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Perubahan itu termaktub dalam dua hal yakni adanya tekanan politik oleh pemerintah dan perubahan hubungan luar negeri Indonesia-China.
6.3.1 Adanya Tekanan Politik oleh Pemerintah Sejak era kolonial Belanda, identitas Tionghoa masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah dipaksa untuk diubah. Dalam pasal 109 Regeerings Reglement tahun 1920 dan kemudian diperkuat dengan Indische Stattsregerling yang mulai berlaku 1 Januari 1926, Volksraad membagi masyarakat koloni Kerajaan Belanda menjadi tiga bagian, yaitu Eropa, Timur Asing termasuk etnis
153
Tionghoa dan Pribumi. Pembagian ini disusun berdasarkan tingkatan pertama kawula Eropa berada pada posisi pertama, nomor kedua ditempati oleh kelompok timur asing termasuk etnis China, India, Arab. Dengan demikian, seolah-olah, etnis Tionghoa mendapatkan kedudukan di atas pribumi, sementara kenyataannya tidak demikian. Hal ini terbukti dengan adanya pembatasan tempat tinggal, surat ijin, peluang pendidikan, aktivitas ekonomi, aktivitas budaya dan lain sebagainya. (Liem, dalam Erniwati, 2012:116). Selain itu dibangunnya sekolah-sekolah ChinaBelanda bertujuan untuk mengalihkan sebagian sebagian etnis Tionghoa khususnya peranakan untuk kembali berorientasi kepada pemerintah kolonial dan bukan lagi kepada tanah leluhur yang tidak lagi memiliki ikatan dengan mereka. Perubahan terjadi ketika rezim kolonial digantikan oleh pemerintah RI. Sebagai negara yang merdeka, pemerintah Indonesia melakukan penghilangan identitas terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang ketika masa penjajahan dinilai memperoleh hak – hak istimewa yang tidak diperoleh oleh masyarakat Indonesia secara umumnya. Perbedaan status kewarganegaraan yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda sangat mempengaruhi psikologis etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pembatasan ruang gerak etnis Tionghoa mulai diterapkan di bidang sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, pendidikan, dan bidang lainnya. Keterbatasan hubungan dengan masyarakat pribumi, kewajiban sebagai pembayar pajak terbesar, keharusan melayani pemerintah kolonial Belanda, dengan pembatasan hak – hak adalah bentuk diskriminasi dan tekanan yang diterima etnis Tionghoa. Posisi terpisah dari masyarakat pribumi dengan
154
berbagai keistimewaan bagi mereka dimata orang pribumi menyebabkan kesenjangan ketika Indonesia merdeka. Hegemoni dari pemerintah ini membuat, etnis Tionghoa secara tiba – tiba dihadapkan pada suatu kondisi baru yang menuntut penyesuaian status dan posisi mereka. Kebanyakan etnis Tionghoa merasa tidak siap menghadapi perubahan yang terjadi sebagai akibat kemerdekaan RI. Ketika Indonesia merdeka, fenomena ini mempengaruhi hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pada satu sisi etnis Tionghoa merasa berbeda dengan masyarakat indonesia karena berbagai keistimewaan yang dinikmati oleh sekelompok kecil etnis Tionghoa lewat hubungan langsung dengan pemerintah kolonial Belanda, terutama melalui perdagangan. Sementara disisi lain, masyarakat Indonesia memandang etnis Tionghoa merupakan antek-antek kolonial Belanda, yang hanya mengambil keuntungan semata di Indonesia. Pada masa Orde Lama muncullah PP 10 tahun 1959 yang mengatur mengenai larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten kebawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang pada masa itu didominasi oleh orang asing. PP No.10 tahun 1959 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam
155
tempatnya berjualan harus diserahkan kepada koperasi. Pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa karena dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90 persennya adalah orang Tionghoa. Saat peraturan ini diterapkan, sekitar 500 ribu pengusaha keturunan Tionghoa terimbas (Majalah Tempo) sedangkan Harian Waspada memiliki perhitungan lain, yaitu terdapat sekitar 25.000 warung/kios milik pedagang asing yang umumnya orang China
yang
terkena
PP
No.
10
(harian
Waspada
1960)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959. diakses 18 september 2012) . Di Desa Pupuan sendiri berdasarkan wawancara dengan narasumber Ketut Anto, Wayan Sudarsana dan Ketut Aryawan, diketahui bahwa setelah beberapa minggu penerapan PP 10 di Jakarta, puluhan warga etnis Tionghoa yang menetap di Desa Pupuan pergi meninggalkan Desa Pupuan menuju ke Surabaya maupun pulang ke China. Mereka ketakutan dengan keberlangsungan kehidupan mereka setelah berlakunya PP 10 dikarenakan kehidupan mereka hanya bersandar pada bidang perdagangan. Hal ini menimbulkan gonjang-ganjing pada masyarakat Pupuan ketika itu karena etnis Tionghoa memegang peranan secara ekonomi yang sangat besar di Desa Pupuan. Akan tetapi ternyata itu hanyalah isapan jempol semata, dikarenakan tidak ada pengusiran ataupun pemaksaan-pemaksaan dari aparat pemerintahan untuk pindah dari Desa Pupuan. Akan tetapi hal ini menimbulkan ketidakstabilan hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Desa Pupuan.
156
Selain PP 10, kemudian keluar juga PP 20 tahun 1959 yang mengatur tentang Persetujuan antara Indonesia-China mengenai dwikewarganegaraan. Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan untuk menentukan pilihan, apakah memilih kewarganegaraan China dan menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara China dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban memilih itu dibebankan kepada orang dewasa yang telah berumur 18 tahun atau pernah kawin. Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugas-petugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis atau secara lisan, dengan disertai surat-surat keteranagan diri serta keluarganya. Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahunsetelah mereka dewasa. Adanya peraturan pemerintah ini, kemudian menjadi salah satu penyebab masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua kubu yang bertentangan. Satu pihak yang memilih kewarganegaraan Indonesia, dan pihak lainnya yang memilih kewarganegaraan China. Di Desa Pupuan sendiri, etnis Tionghoa yang memilih kewarganegaraan China, kemudian memilih keluar dari Desa Pupuan. Sedangkan yang memilih warganegara Indonesia, tetap tinggal di Desa Pupuan, karena sudah menganggap Desa Pupuan sebagai kampung keduanya, karena lahir hidup mati di Desa Pupuan. Kondisi kemudian semakin setelah peristiwa G 30S PKI, pemerintah orde baru dengan kebijakan anti komunisnya menunjukkan anti terhadap unsur-unsur pendukungnya. Kecurigaan terhadap keterlibatan China dalam peristiwa G 30S
157
PKI menyulitkan posisi etnis Tionghoa yang tinggal dan memilih menjadi warga Negara Indonesia. Kondisi semakin tidak menentu setelah Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Chinapada Oktober 1967. Pada awal pemerintahanan Orde Baru, trauma terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial di masa Orde Lama masih menyelimuti masyarakat dan pemerintah Indonesia. Trauma ini khususnya, dengan kejadian G 30 S PKI, akhirnya mendorong pemerintah melakukan perbaikan pada segala aspek kehidupan. Sebagai langkah pertama, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik, ekonomi dan sosial di bawah dukungan militer. Kekuatan militer menjadi tombak dalam menyusun dan menjalankan programprogramnya. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut hingga berimplikasi pada pemaksaan kepada setiap individu dan institusi yang tidak mau bergabung dengan arah politik yang diinginkan. Kekuatan militer dijadikan senjata rezim baru ini melakukan penindasan dan menyingkirkan lawannya atas nama komitmen pada stabilitas ekonomi dan politik negara. Secara perlahan Orde Baru menyusun kekuatan pendukung untuk mempertahankan kekuasaanya dengan membentuk negara patrimonial, yakni sebuah negara yang terdiri dari pola hubungan atas bawah atau pimpinan anakbuah, mewarnai hubungan sosial politik. Hasil dari hubungan tersebut terwujud suatu sistem politik dalam bentuk hierarki yang terdiri dari hierarki-hierarki kecil yang saling berhimpitan satu sama lain. Bagi yang setara dan bagi yang tidak setara terjadi tunggangan antara yang satu dengan yang lainnya secara vertikal sehingga membangun hierarki besar. Dalam hierarki tercipta suatu hubungan
158
kekeluargaan di mana negara dilihat sebagai suatu keluarga besar dengan seorang bapak di puncaknya (Dhakidae, dalam Erniwati 119). Hegemoni paternalistik Orde Baru mempertahankan Soeharto sebagai bapaknya dan melibatkan militer dalam setiap institusi yang menunjang dan menjalankan kekuasaannya. Peranan utama militer terlihat jelas dalam Orde Baru terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi hingga Presiden Soeharto lengser. Orde Baru menyingkirkan sisa-sisa kekuatan politik Orde Lama dengan tujuan utama mengantisipasi bangkitnya pengaruh Soekarnois dan komunis dalam pemerintahan. Untuk memberantas komunisme dan meyakinkan diri bersih dari komunis, pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan dengan melakukan pembatasan terhadap kehidupan berbudaya, agama, sosial, politik maupun ekonomi masyarakat Indonesia termasuk terhadap etnis Tionghoa yang disinyalir terkait dengan komunis. Untuk mencapai tujuannya, pemerintah Orde Baru mengeluarkan lebih dari 64 aturan-aturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, budaya, pendidikan di mana empat yang paling menonjol adalah: 1. Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang kelompok etnis China pemeluk agama Tao beribadah di depan umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf yang mencirikan budaya ina 2. Keputusan Presidium Kabinet nomor 127/U/Kep/12/1966 tentang prosedur ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama China
159
3. Instruksi presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China 4. Instruksi presidium kabinet nomor 49/U/8/1967 tentang pendayagunaan mass media berbahasa China. Dari keempat peraturan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa politik pemeriontah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa terfokus pada politik penghilangan identitas etnis Tionghoa. Berbagai unsur yang terkait dengan budaya leluhur dihilangkan dengan memperkenalkan politik akulturasi total yang bertujuan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa yakni sekolah, organisasi dan media China sebagai sarana pengembangan budaya dan adat istiadat leluhur. Dengan melaksanakan akulturasi inkorporasi, pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya program akulturasi ini mengalami kegagalan dikarenakan tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Tionghoa juga bukan persoalan yang mudah, dikarenakan ke-Chinaanya melekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan dimata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Banyak tuduhan miring yang dialamatkan pada etnis Tionghoa. Larangan pemerintah Orde Baru terhadap agama tradisional Tionghoa dan kewajiban menganut salah satu agama resmi negara menyebabkan agama tradisional Tionghoa mulai ditinggalkan, meskipun hanya untuk alasan politis. Agama tradisional Tionghoa dikenal dengan tiga ajaran, yaitu Budha, Tao, dan
160
Konfusius (Kong Hu Cu) yang kemudian dikenal dengan Tri Dharma atau Sam Kauw Hwee. Sejak Tao dan Kong Hu Cu menjadi ajaran yang dilarang di Indonesia, banyak etnis China yang pindah ke agama Budha, Hindu, Kristen, Katolik, dan beberapa orang masuk Islam. Proses perpindahan agama ini dilakukan karena setiap warga negara Indonesia diwajibkan menganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Jika tidak beragama, berarti tidak mematuhi Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Akibatnya, hubungan dengan Tuhan menjadi urusan negara, bukan “your personal matter”. Meskipun masih ada di antara etnis China yang berusaha mempertahankan ajaran Tao dan Kong Hu Cu, jumlahnya sangat sedikit dan tidak menonjol. Melalui Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967, pemerintah Orde Baru juga melarang adat dan istiadat etnis Tionghoa dilaksanakan didepan umum. Budaya menjadi private live, yaitu hanya untuk kalangan sendiri. Peraturan ini berlaku secara resmi di seluruh Indonesia. Seperti yang diungkapkan Ketut Aryawan: Jaman orde baru susah, semua diatur oleh pemerintah. Mau sembahyang susah, mau Imlekan susah, semua diperiksa, bahkan kadang, kalau mau hari raya kadang kita sengaja dipanggil ke kantor, tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak seperti dijawa, tetapi kami tetap harus sembahyang secara sembunyi-sembunyi, dan itu juga tetap terlaksana karena dukungan masyarakat sekitar. Begitu kuatnya hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa membuat etnis Tionghoa harus sembahyang dengan jalan sembunyi-sembunyi, dan karena adanya dukungan dari warga sekitar maka pada saat itu tidak ada warga etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang ditangkap karena melanggar peraturan perundangan. Hegemoni disini menjadi sebuah rantai kemenangan sebuah
161
kekuasaan(pemerintah) yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui kekerasan terhadap kelas sosial lain. Hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa, sebagaimana yang disebutkan oleh Gramsci di dalamnya terdapat dua kata kunci pendorong munculnya hegemoni, yakni politik dan ideologi. Ideologi merupakan sebuah gagasan, cara pandang, doktrin serta visi yang komprehensif sebagai suatu cara untuk memandang sesuatu yang diterapkan, sehingga akan melahirkan kepatuhan yakni sebuah sikap yang menerima keadaan tanpa menanyakan lebih lanjut secara lebih kritis. Dalam hal pergantian nama misalnya, ketika etnis Tionghoa mempergunakan nama Bali sebagai identitas legal mereka kartu identitas, sebenarnya adalah mengerjakan hal yang sama 2 kali karena secara lahiriah, mereka sudah diberikan nama oleh kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan adanya ketaatan yang sudah tertanam dalam benak etnis Tionghoa di Desa Pupuan bahwa aturan pemerintah haruslah dihormati. Sedangkan kata kunci yang kedua dari hegemoni adalah politik. Politik mempunyai arti adanya muatan-muatan yang bernilai politis yang didasari oleh aturan-aturan politis yang dikeluarkan oleh pemerintahan politik. Hal ini kemudian
dijadikan
alasan
pembenaran
untuk
melakukan
diskriminasi-
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, melalui pemberangusan-pemberangusan kebudayaan etnis Tionghoa yang ada di Indonesia. Fenomena yang berbeda ditemukan dalam penerapannya. Meskipun berada dalam kontrol negara, etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih bisa
162
melaksanakan adat-istiadat tradisional mereka, walaupun secara terbatas dan sembunyi-sembunyi. Pada dasarnya tidak ada peraturan tertulis yang mengatur khusus tentang aturan atau kebijakan yang memberikan batasan-batasan khusus terhadap etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Kesepakatan informal antar pemuka masyarakat etnis Tionghoa, etnis Bali dan pemerintah melahirkan norma dan aturan lisan yang dipatuhi sebagai kearifan lokal. Melalui konsolidasi kepentingan etnis Tionghoa turut serta diperjuangkan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi. Sikap pemerintah Orde Baru yang mengidentikkan budaya Tionghoa dengan komunis juga memberikan implikasi besar bagi keturunan etnis Tionghoa di masa berikutnya. Perubahan pergantian nama yang dimulai tahun 1966 mengakibatkan banyak generasi baru mengganti nama etnis Tionghoanya dengan nama daerah atau nama-nama yang mengandung unsur nasionalisme. Proses pergantian nama ini menjadikan identitas etnis Tionghoa semakin lama menjadi semakin kabur. Selanjutnya, pemerintah Orde Baru juga menerapkan program pembauran antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi. Di Desa Pupuan program ini berjalan dengan sukses dikarenakan banyak akulturasi budaya yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Bali. Akan tetapi setelah era reformasi, setelah semua peraturan yang mendiskriminasi dicabut, maka etnis Tionghoa bisa dengan bebas untuk mengekspresikan budayanya, akan tetapi di Desa Pupuan masyarakat etnis Tionghoa sudah mengambil pilihan untuk tetap menjalankan budaya yang telah
163
mereka bentuk. Menjalankan 3 tradisi yakni tradisi Bali yang kental dengan nuansa ke-Hinduannya, tradisi Tionghoa dan ajaran Agama Budha.
6.3.2. Perubahan Hubungan Luar Negeri Indonesia dengan China Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga dipengaruhi oleh adanya dinamika hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, dimana mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan juga keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini merupakan dampak dari ditengarainya China sebagai pendukung Gerakan 30 September pada masa itu. Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Secara garis besar dinamika hubungan antar kedua negara terbagi dalam beberapa masa yang saling terikat satu sama lain, diantaranya
1. Dinamika Hubungan Indonesia-China pada masa Orde Lama Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950, setelah ada kepastian ditutupnya semua Konsulat Republik China (Taiwan) di Indonesia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman Duta Besar China, Wang Renshu
164
pada bulan Juli 1950. Namun pemerintah Jakarta hanya mengirim Isak Mahdi sebagai Kuasa Usaha pada tahun 1950. Baru kemudian pada tahun 1953, Indonesia mengirim Arnold Monotutu sebagai Duta Besar Indonesia yang pertama. Peristiwa ini kemudian diikuti oleh penandatangan nota kerjasama RIChina. Hubungan ini kemudian semakin membaik dengan ditandatanganinya hubungan perjanjian dwikewarganegaraan pada tahun 1954, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP 20 tahun 1959. Perjanjian ini mengijinkan masyarakat etnis Tionghoa untuk memilih menjadi warganegara Indonesia atau China dalam jangka waktu dua tahun. Inilah pertama kalinya etnis Tionghoa memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan non China karena semenjak zaman Dinasti Qing (1644-1911) semua orang yang berdarah China oleh pemerintahnya dianggap sebagai warga negaranya (asas ius sanguinis). Pola perjanjian ini dianggap sebagai salah satu solusi yang sangat tepat dalam menyelesaikan ketegangan akibat kewarganegaraan ganda yang tidak diakui Indonesia. Akan tetapi keluarnya PP 10 Tahun 1959 oleh pemerintah Indonesia yang melarang warga asing untuk berniaga eceran dalam rangka melindungi pengusaha lokal, sempat mengganggu hubungan baik antar kedua Negara. Ketika PP tersebut diterapkan, China pada saat itu mengajukan protes dan ratusan ribu etnis Tionghoa di Indonesia bermigrasi kembali ke daratan Tiongkok. Sedangkan di Desa Pupuan sendiri, banyak etnis Tionghoa kemudian memilih untuk meninggalkan Desa Pupuan menuju ke Surabaya ataupun bermigrasi kembali ke China.
165
Pada awal tahun 1960-an, terciptalah poros Jakarta-Peking, yang dimaksudkan untuk mematahkan dominasi-dominasi negara-negara imperialis, untuk membentuk suatu kekuatan baru yang kuat di dunia (make a new emerging forces). China juga kemudian mendukung langkah-langkah Indonesia untuk mengadakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) untuk menandingi olimpiade, membentuk CONEFO (Confrence of New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB, bahkan memuji sikap Indonesia keluar dari PBB sebagai protes terpilihnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Sebaliknya Indonesia membalas sikap China dengan mendukung penuh langkah-langkah China di dunia termasuk merebut kedudukan perwakilan China di PBB yang saat itu masih dikuasai oleh Republik China (Taiwan). Hubungan mesra ini tidaklah berlangsung lama, karena pada tahun 1965 di Indonesia terjadi kudeta yang diberi nama “Gerakan 30 September”, yang ditengarai pada masa itu merupakan gerakan makar dari PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketika diumumkan oleh rezim Soeharto bahwa PKI berada dibelakang kudeta itu dan China ditengarai member dukungannya kepada PKI, gelombang protes tak terhindarkan diseluruh Indonesia, dan etnis Tionghoa menjadi sasaran pelampiasan kemarahan. Kudeta ini mengakibatkan pembekuan kedua negara pada bulan Oktober 1967. Adanya kudeta ini berdampak sangat buruk bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupu tidak ada catatan resmi yang bisa dikonfirmasi, akan tetapi banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang tewas terbunuh sebagai dampak
166
peristiwa ini. Selain itu untuk mengekang kebebasan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Diantaranya yang paling dikenal adalah Inpres No. 14 Tahun 1967 mengenai pelarangan pelaksanaan tradisi/budaya/adat istiadat China. Dampak dari adanya kudeta ini juga terasa sampai ke Desa Pupuan. Tameng, sebutan untuk kelompok pemburu komunis, berkeliling di Desa Pupuan dan menangkap masyarakat yang dicurigai sebagai partisipan komunis termasuk juga etnis Tionghoa. Ada yang ditahan akan tetapi ada juga yang dibunuh tanpa adanya peradilan. Tidak ada data yang valid yang bisa dikonfrontir mengenai berapa jumlah etnis Tionghoa yang menjadi korban tewas di Desa Pupuan, akan tetapi berdasarkan penuturan warga Desa Pupuan, kemungkinan 7-10 orang etnis Tionghoa tewas dalam peristiwa ini. Dampak lain dari adanya kudeta ini khususnya keluarnya berbagai peraturan pemerintah yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimana, etnis Tionghoa di Desa Pupuan dipaksa untuk meninggalkan adat istiadatnya, walau secara sembunyi-sembuyi mereka masih melaksanakannya.
2. Dinamika Hubungan Indonesia-China pada masa Orde Baru Setelah lama tidak ada kontak antar kedua negara secara resmi, pada bulan November 1977, Indonesia mulai mengadakan kontak dengan China, dimana kontak langsung ini terjadi dengan kehadiran KADIN pada Pameran Dagang Guangzhou. Semenjak saat itu, mulailah terjadi kontak-kontak secara intensif yang dilakukan antara Indonesia dan China walaupun masih sebatas hubungan
167
dagang. Walaupun demikian, hubungan secara diplomatik masih harus menunggu beberapa saat dikarenakan ABRI enggan mencairkan hubungan
diplomasi
Indonesia-China, karena adanya bahaya komunisme dan bahaya kelompok etnis Tionghoa. Perkembangan kearah normalisasi hubungan kemudian muncul lagi pada sekitaran tahun 1988-1989, dimana China melalui peranan Menteri Luar Negerinya, Qian Qichen berhasil meyakinkan Presiden Soeharto bahwa hubungan kedua negara akan dilandasi pada “ Lima Prinsip Koeksistensi Damai” dan Qian menyatakan bahwa China sama sekali tidak berhubungan dengan PKI. Hasilnya baru terlihat pada kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1990, untuk menandatangani nota perbaikan hubungan diplomatik. Walaupun pada dekade 90-an sudah terjadi perbaikan hubungan diplomatik dengan China, akan tetapi pada strata masyarakat tingkat bawah, tidak terjadi perbaikan kondisi etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan. Pemerintah masih tetap berpegang teguh dengan aturan-aturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.
3. Dinamika Hubungan Indonesia-China Pasca Orde Baru Pasca kejatuhan pemerintahan Soeharto, hubungan Indonesia dengan China semakin berjalan ke arah yang semakin baik. Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Beijing sebagai kunjungan di tahun pertama menjabat membuktikan pentingnya peran China bagi Indonesia. Kunjungan Abdurrahman Wahid menjadi tanda membaiknya hubungan
168
kedua negara, yang sempat panas karena kerusuhan Mei 1998 yang banyak mengambil korban warga etnis Tionghoa. Pada masa ini, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No 14 tahun 1967 yang sangat mendiskriminasi etnis Tionghoa selama 32 tahun (1967-1999) dan kemudian menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keppres No 19 Tahun 2001 tanggal 9 April 2001 yang menyatakan bahwa imlek sebagai hari libur fakultatif. Karena jasanya inilah Presiden Abdurrahman Wahid sangat dihormati oleh masyarakat etnis Tionghoa di seluruh Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan. Era pemerintahan
Presiden
Megawati,
hubungan
Indonesia-China
meningkat kearah yang lebih baik. Pada kesempatan kunjungannnya ke Beijing bulan Maret 2012, Presiden Megawati berdansa dengan Presiden Jiang Zemin, sebuah peristiwa yang sangat langka yang menandai meningkatnya hubungan diplomatik kedua negara. Presiden Megawati jualah yang akhirnya menetapkan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Peristiwa ini disambut dengan gegap gempita, karena ini merupakan pertanda bahwa pemerintah mengakui eksistensi etnis Tionghoa termasuk juga budayanya sebagai bagian dari budaya Indonesia. Klimaks dari hubungan baik ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana ditandatangani Nota Kemitraan Strategis Indonesia China pada tahun 2005, yang mencakup perdagangan internasional, pembangunan infrastruktur, keamanan, militer dan kebudayaan termasuk juga pengajaran bahasa Mandarin. Selain itu, pada perayaan Imlek Nasional ke 2557, 4 Februari 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan sambutan sekaligus menyatakan bahwa Agama Khonghucu kembali diakui oleh pemerintah
169
Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang berkembang di Indonesia(Hadi, 2009:51-71).
170
BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERUBAHAN IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DIDESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Dalam bab ini akan dibahas kajian mengenai implikasi dan makna perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang muncul sebagai akibat dari bentuk dan faktor penyebab perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Pada pemaparannya, akan dibahas dalam dua subbab. Subab pertama mengenai implikasi perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa yang mencakup; implikasi secara sosial dan implikasi secara individual. Subbab kedua akan membahas makna dari perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
7.1. Implikasi Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan,tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoadi Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, yang mana kedua implikasi ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Implikasi ini juga dipengaruhi oleh hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa, di mana menurut Gramschi, implikasi hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi yang dihegemoni (Simon, 2000).
170
171
Kehidupan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah kehidupan sosial dan interaksi sosial etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan pribadi adalah menyangkut privasi etnis Tionghoa dalam menjalankan kehidupannnya sehari-hari di Desa Pupuan.
7.1.1 Implikasi Secara Sosial Perubahan identitas budaya tentunya membawa implikasi sosial bagi etnis Tionghoa dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan proses mimikri (peniruan) budaya Bali dalam kehidupan sehariharinya, maka berimplikasi langsung terhadap rasa solidaritas yang tinggi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial keagamaan di Desa Pupuan. Nuansa nyama braya, patuh ngelah sanggah kemulan sangat terasa, karena Etnis Bali merasa bahwa Etnis Tionghoa yang ada di Desa Pupuan adalah saudaranya dan waib untuk diajak bersama. Akan tetapi sebaliknya, dalam perkembangan berikutnya, ketika sebagian etnis Tionghoa mulai meninggalkan identitas ke-Baliannya menuju kearah sebuah identitas yang berorientasi nasional dan internasional, maka mulai timbullah ruang-ruang, sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Ruang-ruang ini bisa timbul pada keengganan ‘metulungan’ ketika ada warga yang berlainan etnis meninggal, demikian juga pada kegiatan ngayah di desa, yang biasanya dilaksankan secara bersama-sama kemudian mulai digantikan dengan sumbangan yang berupa materi.
172
Hal ini tampak dalam pandangan yang diungkapkan oleh I Nyoman Raka: Dahulu masyarakat etnis Tionghoa diDesa Pupuan ikut ngayah seperti biasa seperi orang Bali pada umumnya. Ikut metulungan, ikut nampah, tapi makin kebelakang makin jarang yang ikut ngayah. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Mungkin ini implikasi dari perkembangan zaman, dan pemerintah punya pengaruh dalam hal ini. Saya inget dulu ketika saya masih muda, sangat erat hubungan menyama-braya kita, sekarang masih, cuman tidak seperti dulu lagi, dan seringkali ngayah digantikan dengan uang. Ya tapi itu adalah pilihan, susah untuk menuntut. Kita jalani saja apa adanya. Dari pandangan di atas bisa dianalisis bahwa perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan membawa implikasi sosial baik itu bagi etnis Tionghoa maupun etnis Bali di Desa Pupuan. Implikasi ini memiliki ambivalensi bagi kedua etnis yang ada di Desa Pupuan, karena pada masa lalu ketika proses mimikri dilakukan oleh etnis Tionghoa etnis Bali merasakan adanya kedekatan secara emosional, dikarenakan adanya hubungan saling tulungin dan menyama braya. Sedangkan pada perkembangan berikutnya ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai menjauh, maka etnis Bali meresponnya dengan sikap jengah. Dalam artian, sadar diri dengan kondisi yang ada sekarang di lapangan. Hegemoni pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan juga mendukung
kondisi
ini.
Ketika
berbagai
peraturan
perundangan
yang
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ketat diberlakukan oleh pemerintah, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan mendekat dengan etnis Bali. Akan tetapi ketika berbagai peraturan itu mengendor bahkan kemudian dicabut pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebagian etnis Tionghoa di Desa Pupuan, seakan menjauh dari hubungan sosial dengan masyarakat etnis Bali. Inilah kemudian yang memunculkan prasangka eksklusivisme dari sebagian besar
173
masyarakat. Perubahan ini tentunya juga menimbulkan adanya stereotip baru di kalangan masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Adanya stereotip bahwasanya masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan sangat dekat dengan agama Hindu dan budaya Bali, pada masa kini kian tergerus. Pada saat ini sendiri, stereotip masyarakat Bali di Desa Pupuan, menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Desa Pupuan tidaklah sedekat dahulu dengan masyarakat Bali. Hubungan menyama braya yang dahulu rekat, kini agak sedikit longgar dikarenakan berbagai hal. Seperti yang dituturkan oleh I Wayan Sugawa Dahulu, masyarakat etnis Tionghoa sangat dekat dengan kita dalam hubungan menyama braya, masyarakat Bali dengan etnis Tionghoa sangatlah dekat. Akan tetapi beberapa tahun terakhir hubungan ini seakan-akan renggang, mungkin ini dikarenakan berbagai hal termasuk juga kemajuan jaman. Sehingga mungkin sudah jarang bisa kumpul-kumpul seprti dahulu. Dari pandangan di atas, bisa dianalisis bahwa, telah terjadi adanya pergeseran stereotip etnis pada etnis Tionghoa, di mana dahulu, etnis Tionghoa dikatakan sangat dekat dengan etnis Bali, akan tetapi belakangan ini semakin menjauh. Cook dan Selltiz menyatakan bahwa kontak bisa mengubah stereotip etnis. Di mana dalam hal ini, ternyata semakin berkurangnya kontak membuat stereotip etnis Tionghoa yang dahulunya positif (dekat dengan etnis Bali) menjadi negatif (menjauh).
7.1.2 Implikasi Individu Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri.
174
Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa sehari-hari dan perubahan nama. Dalam kehidupan sehari-hari, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada ditengah lingkungan masyarakat etnis Bali. Interaksi yang intens menjadikan banyak ritual etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Selain itu masing individu masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga membangun merajan, pelinggih Jero Gede maupun pelinggih Ratu Nyoman di pekarangan rumah masing-masing. Pada penggunaan bahasa sehari – hari etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa hibrid yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Penggunaan bahasa ini oleh masyarakat etnis Tinghoa di Desa Pupuan merupakan bahasa yang mampu menghubungkan atau mengkomunikasikan antar-etnis antar-individu di Desa Pupuan. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, terlihat dari perubahan nama yang dipergunakan oleh masing-masing individu. Perubahan nama ini bisa dipolakan menjadi empat pola, yakni mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, mencari nama Bali yang memiliki makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya dan memakai namanama internasional.
175
Hal ini mengakibatlkan, pada masa kini nama Tionghoa etnis Tionghoa menjadi hilang, dikarenakan hilangnya pengetahuan terhadap penamaan Tionghoa sehingga orang tuanya memilih untuk tidak mempergunakan nama Tionghoa.
7.2. Makna Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa Dalam studi kajian budaya, makna merupakan tahapan yang paling penting untuk menemukan sebuah arti atau nilai yang terkandung dalam suatu objek yang diteliti, baik objek yang berupa benda, wacana, aktivitas sosial (berkaitan dengan sikap dan prilaku) maupun gejala kehidupan dan fenomena alam. Setiap individu dalam setiap geraknya, selalu memberi makna terhadap aspek-aspek yang dia temui di sekitarnya. Mulai dari benda-benda yang secara kasat mata dapat disentuh atau dipegang sampai pada sesuatu yang sifatnya imanen atau transenden. Mulai dari perlengkapan rumah tangga, rumah, kendaraan, sampai pada relasi sosial seperti rasa cinta, kasih sayang, sampai kebencian dan permusuhan di antara individu atau masyarakat. Penemuan suatu makna (meaning) terlebih dahulu harus diawali oleh proses penemuan suatu bentuk dan fungsi dari suatu objek yang diteliti. Hal ini dikarenakan, melalui interpretasi dan anilisis terhadap objek yang diteliti, yang kemudian melahirkan bentuk dan fungsi belum mampu memberikan semacam jawaban tentang arti dibalik objek dan fenomena yang diteliti. Oleh karenanya perlu dilakukan analisis secara lebih menadalam dengan mempergunakan paradigma berfikir yang kritis dan holistik agar mampu menangkap semua nilai yang terkandung dibalik objek dan fenomena yang diteliti. Pengungkapan sebuah
176
nilai yang terkandung dibalik objek dan fenomena yang diteliti inilah yang selanjutnya disebut pemberian makna dari suatu proses penelitian (Nyoman Dalem, 2012:163). Sebagaimana halnya dengan penelitian tentang perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa diDesa Pupuan, setelah mengatahui bentuk-bentuk dan faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa diDesa Pupuan, sebagaimana yang diuraikan dalam bab V dan VI di atas, maka akan dilanjutkan dengan proses penemuan makna. Nilai-nilai apa yang sesungguhnya ada dibalik perubahan identitas tersebut. Adapun makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan adalah sebagai berikut:
7.2.1
Makna Harmonisasi dan Akulturasi Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan yang
menghasilkan budaya bersifat yang bersift hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga harmonisasi hubungan dengan etnis Bali. Adanya harmonisasi ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh habitus yang berkembang di Desa Pupuan. Hibriditas identitas yang terjadi memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Selain itu ketika berbicara masalah akulturasi seperti yang diharapkan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak zaman orde lama, maka yang terjadi di
177
Desa Pupuan adalah sebuah prosesi akulturasi yang sudah berjalan tanpa adanya campur tangan pemerintah (pra politik ali baba). Ketika kemudian timbul hemegoni pemerintah dalam akulturasi ini dengan menjalankan prinsip akulturasiinkorporasi, maka yang terjadi adalah, etnis Tionghoa semakin terakulturasi dalam etnis Bali di Desa Pupuan. Ini juga didukung oleh adanya perasaan nyaman Etnis Tionghoa dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari yang bernuansa Bali.
7.2.2
Makna Ekonomi Etnis Tionghoa memegang peranan ekonomi yang sangat besar di Desa
Pupuan. Sebagian besar orang kaya di Desa Pupuan didominasi oleh etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang, baik itu yang berdagang di Kecamatan Pupuan maupun di luar Kabupaten Tabanan. Majunya perekonomian etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga terlihat dari bentuk-bentuk rumah etnis Tionghoa yang lebih bagus dari sekitarnya dan kepemilikan tanah yang lebih banyak didesa maupun luar Desa Pupuan. Bahkan di Desa Pupuan sendiri ada anekdot yang menyatakan kalau tidak ada etnis Tionghoa, maka desa tidak akan maju perekonomiannya. Lokasi tempat tinggal etnis Tionghoa di Desa Pupuan sangat strategis dipergunakan sebagai lokasi berdagang, di mana hampir sebagian besar etnis Tionghoa tinggal dijalan utama Singaraja Pupuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
178
Permukiman di pinggir jalan yang didominasi oleh etnis Tionghoa
Permukiman di pinggir jalan yang didominasi oleh etnis Tionghoa
Gambar 7.1 Dominasi pemukiman etnis Tionghoa yang berada di pinggir jalan (Sumber:googleearth.com/pupuan)
Terkait pemilihan lokasi tempat tinggal, sangat erat kaitannya dengan pandangan-pandangan hidup masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Pandangan-pandangan itu berasal dari keyakinan dan kepercayaan leluhur yang selalu dijaga secara turun temurun. Paling tidak ada tiga nilai yang sangat mempengaruhi prilaku etnis Tionghoa, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam menjalankan aktivitas ekonominya di manapun berada, yakni hopeng, hong sui dan hoki. Ketiganya nilai kepercayaan dan mitos yang diyakini oleh etnisTionghoa untuk menjalankan berbagai bidang kehidupan dan usaha yang mereka tekuni. Hopeng adalah cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha, hongsui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Melalui hongsui manusia akan dituntun
179
untuk mendapatkan keberuntungan dalam perdagangan. Karena itu untuk melakukan segala sesuatu, orang Tionghoa cenderung berdasarkan pada hongsuinya. Sedangkan hoki, merupakan peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara seseorang menyiasati agar selalu mendaptkan nasib baik. Orang Tionghoa menganut konsep mengelola nasib atau takdir melalui hongsui karena nilai hoki memiliki kaitan dengan unsure hong sui (Erniwati dalam Sulistyawati (ed), 2011:156). Kemajuan perekonomian etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga tidak terlepas dari kemampuan adaptasi etnis Tionghoa dengan kondisi sosial masyarakat di Desa Pupuan. Kebiasaan untuk mempergunakan bahasa Bali dalam bahasa pergaulan sehari-hari, khususnya dalam berdagang menjadi salah satu cara untuk meningkatkan hasil, karena masyarakat merasa lebih dekat dan akan lebih sering berbelanja, apabila bahasa yang dipergunakan sama. Strategi adaptasi ini merupakan sebuah proses mimikri yang secara jitu diterapkan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan, demi peningkatan perekonomian mereka. Dengan keberhasilannya melaksanakan perubahan identitas budaya yang secara tidak langsung berpengaruh pada bidang ekonomi. Etnis Tionghoa diDesa Pupuan mampu mengangkat nama desanya dengan keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi. Selain itu, dengan kekuatan ekonominya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu membangun desa menjadi lebih maju dari desa-desa sekitarnya. Salah satu bukti kekayaan warga etnis Tionghoa di Desa Pupuan, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
180
gambar 7.2 Bukti kepemilikan lahan di Pupuan pada masa Hindia Belanda (Sumber: Yudha, 2012) 7.3 Refleksi Identitas budaya adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah dan unsurunsur kebudayaan. Identitas dalam kaitan ini kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya. Dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa menyebabkan identitas mengalami perubahan. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Menilik dari sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa di Desa Pupuan mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Selain itu, adanya hubungan pernikahan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis lain, dalam hal ini khususnya etnis Bali, juga
181
mempengaruhi eksistensi etnis Tionghoa. Identitas budaya etnis Tionghoa yang berkembang di Desa Pupuan, merupakan sebuah identitas budaya yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Identitas budaya etnis Tionghoa yang saat ini dipergunakan merupakan hasil dari sebuah proses perubahan dan proses adaptasi yang dilakukan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Desa Pupuan. Terdapat empat masa yang dikatakan sebagai momenmomen krusial perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yakni masa Kerajaan Tabanan (masa pra kemerdekaan), masa Kemerdekaan, masa Orde Baru, dan masa Reformasi. Desa Pupuan sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam perubahan identitas etnis Tionghoa, dimana Desa pupuan memberikan ruang bagi etnis Tionghoa tempat untuk melakukan aktivitas, berinteraksi, bersosialisasi juga berbagi peran dengan masyarakat lainnya. Adapun perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan mencakup perubahan agama dan kepercayaan, perubahan bahasa, serta perubahan nama. Pada awalnya, agama yang dianut oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah agama-agama tradisional Tionghoa, namun, adanya hubungan yang intens selama puluhan tahun dan banyaknya perkawinan campuran yang terjadi menyebabkan banyak ritual yang mengalami perubahan, dari yang awalnya hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Secara tidak langsung, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah melakukan proses mimikri, yakni sebuah proses peniruan dengan meniru unsur-
182
unsur budaya dan agama Hindu Bali yang terdapat di Desa Pupuan. Efektifitas mimikri ini terlihat pada hubungan yang sangat erat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, karena mereka banyak melaksanakan ritual-ritual secara bersama-sama khususnya ritual-ritual yang berkaitan dengan agama Hindu Bali. Pada masa itu, etnis Tionghoa ikut berperan aktif baik fisik maupun materi dalam setiap piodalan-piodalan yang dilaksanakan di pura-pura di lingkungan Desa Pupuan. Masyarakat etnis Tionghoa juga percaya dengan rajinnya mereka “nangkil” ke pura maka segala usaha mereka akan dilindungi dan diberi berkah. Adapun agama yang dominan dipilih oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada saat ituadalah agama Hindu, namun ada juga beberapa KK dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang mengambil agama Buddha. Walaupun menganut agama berbeda, dalam pelaksanaannya etnis Tionghoa yang beragama Hindu maupun yang beragama Buddha tetap menjalankan ritual yang hampir sama yang memadukan antara kepercayaan tradisional China, dengan Hindu Bali dan agama Buddha. Hanya yang membedakannya adalah etnis Tionghoa yang beragama Hindu tidak rutin ke Vihara, dan etnis Tionghoa yang beragama Buddha tidak rutin ke pura, hanya pada saat-saat tertentu saja khususnya pada saat Piodalan Pura. Dalam hal agama dan kepercayaan, bisa dinyatakan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah membentuk identitas budaya baru yang hibrid, yang memadukan tradisi Tionghoa, ajaran Hindu, ajaran Buddha. Akan tetapi dalam hal ini juga menunjukkan adanya proses mimikri yang memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas
183
persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan yaitu dengan mengikuti kepercayaan dan kebiasaan – kebiasaan setempat seperti mebanten dan membangun
sanggah,
sedangkan
mereka
juga
ingin
mempertahankan
perbedaannya seperti tetap membangun cetia, nyungsung, dan tetap merayakan hari besar Tionghoa. Kuatnya masyarakat etnis Tionghoa dalam memegang adat istiadat dan kepercayaan karena mereka memiliki filosofi jing tian sun zu, yang berarti memuliakan langit memuliakan leluhur. Disinilah kemudian sangat terasa bagaimana peran leluhur dalam kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Tanpa adanya pemujaan leluhur, maka hidup akan terasa kosong, karena leluhur adalah kekuatan untuk hidup, kekuatan untuk berjuang. Dalam hal penggunaan bahasa yang digunakan sehari – hari oleh masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan bahasa yang mampu menghubungkan atau mengkomunikasikan antar-etnis di Desa Pupuan. Perubahan penggunaan bahasa pada masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Pupuan memerlukan waktu puluhan tahun, bahkan antar generasi. Generasi pertama Etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i bahkan hanya beberapa saja yang pada saat itu bisa berbahasa Bali. Pengunaan bahasa oleh etnis Tionghoa generasi kedua sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kepentingan ekonomi. Etnis Tionghoa yang pada saat itu berada pada strata yang lebih tinggi di masyarakat secara ekonomi (superior), mau tidak mau harus belajar mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasi untuk mempermudah komunikasi dengan konsumennya maupun
184
dengan pekerjanya yang sebagian besar orang Bali. Faktor perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali juga mendorong hal ini, di mana bahasa Bali dipergunakan sebagai komunikasi sehari-hari dalam keluarga, walaupun kadangkala juga dipergunakan bahasa ko’i dalam komunikasi sehari-hari. Pada generasi ketiga, pasca terjadinya peristiwa G 30 S PKI, semua budaya Tionghoa dihapus oleh pemerintahan yang baru termasuk juga bahasanya. Hegemoni pemerintah sebagai pemegang kuasa penuh atas budaya baik-buruk, legal-ilegal pada masa itu, menjadikan bahasa ko’i menjadi bahasa yang sangat dilarang untuk dipergunakan, sehingga keturunan Etnis Tionghoa pada generasi berikutnya tidak bisa mempergunakan bahasa leluhurnya lagi. Pada
masa
kini
masyarakat
etnis
Tionghoa
di
Desa
Pupuan
mempergunakan bahasa ‘hibrid’ yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Dalam hal penamaan, nama seorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (shee), dan 2 nama dibelakangnya adalah nama yang sebenarnya. Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai namanya pada setiap identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai nama resmi dalam identitas, termasuk identitas kependudukan sampai dengan munculnya peraturan ganti nama yang tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127/U/Kep—12/1966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi
185
Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’ yang ditanda tangani oleh Djenderal T.N.I Soeharto, sebagai Ketua Presidium. Implikasi dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang berbau “lokal”, di mana perubahan nama ini hanyalah pada tataran identitas formal semata seperti KTP, Akta Kelahiran, Ijazah , namun pada tataran informal seperti dalam pergaulan, intern keluarga nama yang diberikan oleh orang tuanya masih tetap dipergunakan, sebagai nama panggilan. Perubahan nama ini menambah beban sebelumnya di mana etnis Tionghoa yang memilih kewarganegaraan Indonesia harus memiliki tanda bukti yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia yang kemudian disingkat SBKRI yang berdasar hukum Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang "Kewarga-negaraan Republik Indonesia”. Akan tetapi masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan pergantian nama, mereka hanya mendaftarkannya secara resmi di Kajari, dan menunggu sidang agar pergantian nama tersebut diakui oleh negara. Ada beberapa cara etnis Tionghoa untuk mengganti namanya. Proses perubahan nama ini, juga merupakan sebuah mimikri (peniruan), di mana etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan peniruan-peniruan nama etnis Bali, yang pada akhirnya menjadikan nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi sebuah hibrid. Pola perubahan nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan berdasarkan hasil penelitian adalah dengan mengganti nama dengan nama yang sama dengan orang Bali, mencari nama Bali yang punya makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya, serta memakai nama-nama internasional.
186
Pada masa kini bukanlah suatu masalah besar apabila seorang etnis Tionghoa tidaklah memiliki nama Tionghoa, karena adanya perkawinan campuran dan keluarga sudah saling mengenal. Hal ini membuktikan bahwa pada masa kini identitas “penamaan” etnis Tionghoa di Desa Pupuan bersifat hibrid, karena melakukan proses mimikri terhadap unsur-unsur nama baik Bali maupun barat, sehingga memunculkan sebuah identitas “nama” yang bersifat campuran. Terlihat jelas bahwa perubahan identitas budaya etnis Tionghoa, terjadi karena adanya perubahan pada unsur-unsur pokok, hubungan antarunsur, berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem, pemeliharaan batas, subsistem, dan lingkungan. Proses mimikri yang dijalankan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya (Bhaba l994: 86). Faktor – faktor yang mempengaruhi identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan berkaitan erat dengan kondisi sosial politik dan ekonomi yang berkembang pada masa tersebut. Selain itu adanya kesamaan filosofi yang mendasari gerak langkah kehidupan masyarakat di Desa Pupuan juga mendukung perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa. Adanya kesamaan-kesamaan akan pandangan atau filosofi merupakan salah satu modal yang menyebabkan identitas budaya etnis Tionghoa bisa mengalami perubahan. Etnis Tionghoa secara garis besar menjalankan suatu filosofi dasar yang telah dilaksanakan selama ratusan tahun yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu
187
jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Ini merupakan modal yang sangat berarti dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan Modal budaya itu sendiri merupakan pengetahuan yang diperoleh, kodekode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukankedudukan sosial, sehingga etnis Tionghoa di Desa Pupuan bisa diterima dengan baik oleh etnis lainnya di Desa Pupuan (Hardyatmoko, 2003:12). Adanya kesamaan-kesamaan antara nilai budaya etnis Tionghoa dengan etnis Bali yang juga merupakan modal budaya terlihat pada masalah mengenai hakekat hidup, masalah mengenai hubungan manusia dengan alam, serta masalah mengenai persepsi manusia tentang waktu. Selain adanya kesamaan nilai budaya, faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor sosial ekonomi merupakan modal sosial dan modal simbolik yang memiliki peran dalam proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Modal sosial merupakan menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi.
188
Pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, hal ini terlihat pada pada, Hakekat Kerja serta Usaha Manusia, Hubungan antara Manusia dengan Sesamanya. Faktor lain yang menyebabkan adanya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya perubahan politik dari pemerintah, khususnya pada masa Orde Baru. Munculnya melalui peraturan-peraturan politik yang terfokus pada politik penghilangan identitas etnis Tionghoa. Pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia. Begitu kuatnya hegemoni dari pemerintah membuat etnis Tionghoa harus sembahyang dengan jalan sembunyi-sembunyi, namun karena adanya dukungan dari warga sekitar maka pada saat itu tidak ada warga etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang ditangkap karena melanggar peraturan perundangan. Hal ini juga diperkuat adanya kesepakatan informal antar pemuka masyarakat etnis Tionghoa, etnis Bali dan pemerintah melahirkan norma dan aturan lisan yang dipatuhi sebagai kearifan lokal. Melalui konsolidasi kepentingan etnis Tionghoa turut serta diperjuangkan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga dipengaruhi oleh adanya perubahan hubungan antara negara China dengan Indonesia. Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun
189
secara individual, yang mana kedua implikasi ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Implikasi ini juga dipengaruhi oleh hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa, di mana menurut Gramschi, implikasi hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi yang dihegemoni (Simon, 2000). Implikasi sosial perubahan identitas budaya etnis Tionghoa memiliki ambivalensi bagi kedua etnis yang ada di Desa Pupuan, karena pada masa lalu ketika proses mimikri dilakukan oleh etnis Tionghoa, etnis Bali merasakan adanya kedekatan secara emosional, dikarenakan adanya hubungan saling tulungin dan menyama braya. Sedangkan pada perkembangan berikutnya ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai menjauh, maka etnis Bali meresponnya dengan sikap jengah. Dalam artian, sadar diri dengan kondisi yang ada sekarang di lapangan. Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri. Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa sehari-hari dan perubahan nama. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menghasilkan budaya bersifat yang bersifat hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga harmonisasi hubungan dengan etnis Bali. Adanya harmonisasi ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh habitus yang berkembang di Desa Pupuan. Selain itu ketika berbicara masalah akulturasi seperti yang diharapkan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak zaman orde lama, maka yang terjadi di
190
Desa Pupuan adalah sebuah prosesi akulturasi yang sudah berjalan tanpa adanya campur tangan pemerintah (pra politik Ali Baba). Ketika kemudian timbul hemegoni pemerintah dalam akulturasi ini dengan menjalankan prinsip akulturasi inkorporasi, maka yang terjadi adalah, etnis Tionghoa semakin terakulturasi dalam etnis Bali di Desa Pupuan. Ini juga didukung oleh adanya perasaan nyaman Etnis Tionghoa dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari yang bernuansa Bali. Dalam
sejarahnya,
etnis
Tionghoa
selalu
mendominasi
kegiatan
perdagangan di Desa Pupuan, walaupun secara jumlah penduduk, jumlahnya tidak terlalu banyak. Keberhasilan ekonomi etnis Tionghoa di Desa Pupuan didukung oleh kerja keras dan hidup hemat sesuai dengan ajaran leluhur. Selain itu tentunya, adanya upaya etnis Tionghoa untuk belajar budaya setempat (bahasa, kebiasaan bahkan kepercayaan) sangat mendukung keberhasilan di bidang ekonomi di Desa Pupuan. Dengan keberhasilannya di bidang ekonomi, secara tidak langsung, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mengangkat nama desanya dengan keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi. Selain itu, dengan kekuatan ekonominya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu membangun desa menjadi lebih maju dari desa-desa sekitarnya.
191
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan analisis dan kajian yang dilaksanakan terhadap Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas agama dan kepercayaan, perubahan identitas bahasa dan juga perubahan nama. Perubahan identitas agama dan kepercayaan etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan sebuah perubahan yang terjadi secara bertahap. Pada awalnya, permasalahan agama apa yang dianut, bukanlah menjadi masalah. Akan tetapi ketika agama menjadi sebuah identitas legal formal diterapkan oleh pemerintah, maka etnis Tionghoa mulai mengadopsi agama kedalam identitas mereka. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan menganut agama Hindu, dengan tetap menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya. Pada perkembangan berikutnya, etnis Tionghoa secara agama mulai beralih untuk memeluk agama Buddha, tanpa meninggalkan tradisi leluhur dan tradisi Hindu Bali yang selama ini dilakukannya. Hal ini kemudian membentuk identitas baru yang hibrid, memadukan tradisi Tionghoa, ajaran Hindu, ajaran Buddha dan dengan identitas agama di KTP yang berbeda.
191
192
Perubahan penggunaan bahasa pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan terjadi lintas generasi, yang secara garis besar bisa dibagi menjadi 4 generasi. Generasi pertama masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i. Generasi kedua, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, hal ini dikarenakan semakin intensnya komunikasi antar budaya, dan juga ada kepentingan ekonomi, di mana etnis Tionghoa pada saat itu dominan sebagai pedagang, mau tidak mau harus belajar bahasa Bali, karena sebagian besar konsumen dan pekerjanya adalah orang Bali. Generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa. Pada generasi ini terjadi peristiwa G 30 S PKI, yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di seluruh Indonesia. Secara garis besar, masa kini etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa hibrid yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari, di mana bahasa ko’i, hanya dipakai penyebutan istilah kekerabatan dan juga pada istilah besaran uang. Kedua, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor tersebut adalah adanya kesamaan pandangan antara etnis Bali dan etnis Tionghoa, adanya faktor sosial ekonomi, dan adanya perubahan politik pemerintah. Adanya kesamaan pandangan merupakan faktor pertama yang merupakan modal penyebab identitas budaya etnis Tionghoa bisa mengalami perubahan. Etnis Tionghoa menjalankan suatu filosofi dasar yakni harmoni, toleransi dan
193
perikemanusiaan. Toleransi terlihat dalam keterbukaan untuk pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat pribadi, suatu sikap pluralitas, yang menyebabkan adanya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, yang tentunya dilandasi dengan sikap prikemanusiaan. Hal ini merupakan modal yang sangat berarti dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan Faktor kedua yang mendukung adanya perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi merupakan modal sosial dan modal simbolik yang memiliki peran dalam proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Modal sosial merupakan menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Adanya faktor pertama dan kedua kemudian didukung oleh ranah dan habitus yang berkembang di Desa Pupuan, sehingga menjadikan praktik perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi sebuah keniscayaan. Faktor ketiga yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah adanya perubahan politik dari pemerintah. Pemerintah melalui kekuasaan ideologi dan politiknya, mampu memaksa etnis Tionghoa (melalui berbagai peraturan perundangan) untuk mengubah identitas etnisnya. Akan tetapi di Desa Pupuan dikarenakan etnis Tionghoa sudah melakukan proses mimikri budaya, maka hegemoni yang dilakukan oleh
194
pemerintah malah mendukung integrasi masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan ke dalam desa. Selain itu, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga dipengaruhi oleh adanya perubahan hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, yang dimulai pada tahun 1950-an pada masa Orde Lama. Kemudian mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hubungan ini kemudian kembali pulih sepenuhnya semenjak era reformasi bergulir yang ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mencabut segala aturan-aturan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia Ketiga, melihat dari bentuk dan faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tentunya akan menimbulkan implikasi dan makna bagi etnis Tionghoa. Implikasi yang timbul ini muncul secara sosial maupun individual. Secara sosial, implikasi yang ditimbulkan ialah, rasa solidaritas yang tinggi antar etnis dalam melaksanakan kegiatan yang bersifat sosial keagamaan di Desa Pupuan, akan tetapi sebaliknya ketika, etnis Tionghoa mulai meninggalkan identitas ke-Baliannya menuju kearah sebuah identitas yang berorientasi nasional dan internasional, maka mulai timbullah ruang, sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Secara individu, etnis Tionghoa ikut dalam kegiatan adat di Desa Pupuan maka ini akan membawa implikasi postif bagi dirinya sendiri,
195
sebaliknya ketika terjadi pergeseran kebiasaan dari yang awalnya bernuansa Bali menjadi nuansa nasional atau internasional. Membuat masyarakat etnis Bali menilai secara individu-individu etnis Tionghoa di Desa Pupuan secara berbedabeda. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan tentunya menghasilkan makna baik bagi etnis Tionghoa maupun yang lainya. Perubahan identitas ini menghasilkan budaya bersifat yang bersift hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga harmonisasi hubungan dengan etnis Bali. Adanya harmonisasi ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh adanya filosofi dasar etnis Tionghoa yang mengutamakan adanya harmonisasi, toleransi dan perikemanusiaan. Hibriditas identitas memungkinkan adanya pengenalan bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Selain itu, dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga terkandung makna ekonomi di dalamnya. Pada sejarahnya, etnis Tionghoa selalu mendominasi kegiatan ekonomi di Desa Pupuan, walaupun secara jumlah penduduk, jumlahnya tidak terlalu banyak. Keberhasilan ekonomi etnis Tionghoa di Desa Pupuan didukung oleh kerja keras dan hidup hemat sesuai dengan ajaran leluhur. Selain itu tentunya, adanya upaya etnis Tionghoa untuk belajar budaya setempat (bahasa, kebiasaan bahkan kepercayaan) sangat mendukung keberhasilan di bidang ekonomi di Desa Pupuan.
196
8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dirumuskan beberapa saran: Pertama, kepada masyarakat etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan agar tetap menjaga kerukunan dan keberagaman, memperkuat rasa menyama braya, saling asah asih asuh. Kedua kepada lembaga pemerintah agar bisa memfasilitasi apabila terjadi konflik yang terjadi antar etnis di Desa Pupuan, dikarenakan multikulturalisme merupakan asset, dan hibriditas merupakan salah satu solusi untuk menengahi konflik. Ketiga kepada para peneliti khususnya dari bidang sejarah, antropologi dan arkeologi agar bisa membentuk sebuah tim yang mampu mengkaji bagaimana sejarah, perkembangan Desa Pupuan yang sampai saat ini datanya sangatlah sedikit. Tentunya hal ini sangat perlu didukung oleh masyarakat setempat.
197
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Anom Kumbara, A.A Ngr. 2011. Pergulatan Elite Lokal Representasi Relasi Kuasa dan IdentitasI. Yogyakarta: Kanisius Anonim. 2008. http://singaraja.wordpress.com/2008/07/13/ngayah%E2%80%9Dsebuah-kajian-filosofis/. Diakses tanggal 9 Agustus 2012 _______. 2010. Kecamatan Pupuan dalam Angka, 2010: 1-81 _______.2010. Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959. http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959. Diakses 18 September 2012 _______.2011. Jumlah Etnis di Indonesia. Avaliable from: URL: http:/www.bps.go.id./jumlah etnisdiindonesia.htm. Diakses tanggal 2 JANUARI 2012 _______.2011. http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html. Diakses 17 September 2012 _______.2011.Moore-Gilbert Tentang Homi. K. Bhaba. http//www.catatankecilsosiologi.blogspot.com//mooregilberttentanghomikbh abha.html. Diakses 17 Mei 2012 _______.2010. http://www.jamilazzaini.com/678/. Diakses tanggal 28 Mei 2012 Antariksa. 2011. Pola Pemukiman Tradisional. Avaliable from: URL: www.architecturearticles.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Juli 2012 A.S Marcus. 2009. Hari-Hari Raya Tionghoa. Jakarta: Suara Harapan Bangsa Ardhiya. 2012. Etnosentrisme, Stereotip dan Prasangka. http://arihdyacaesar.wordpress.com/2012/01/13/etnosentrisme-stereotip-danprasangka/. diakses 15 januari 2013 Bhaba, Homi K. 1994. The Location of Culture. London & New York: Routledge.
197
198
Baker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press Berry, David. 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Bungin, Burhan (ed). 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cangianto, Ardian. 2013. Kronologis Hubungan Tiongkok dengan Indonesia serta Arus Migrasi. Avaliable from: URL: http://web.budayaTionghoa.net/index.php/item/3660-kronologis-hubungan-tiongkok-danindonesia-serta-arus-migrasi-1. diakses tanggal 14 Agustus 2013 ____________. 2012: www.budayaTionghoa.net, diakses 19 Agustus 2012 Dawis, Aimee. 2009. The Chinese of Indonesia and Their Search For Identity: The relationship Between Collective Memory and The Media. Jakarta: PT. Gramedia Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Doxiadis, dalam Antariksa “Pola Pemukiman Tradisional”, www.architecturearticles.blogspot.com, diakses tanggal 8 Juli 2012
lihat,
Effendi, T. Noer. 2001. Potret Perempuan : Peran Perempuan Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Erniwati. 2011. China Padang dalam Dinamika Masyarakat Minangkabau: dari Revolusi Sampai Reformasi. Jakarta: Universitas Indonesia Fukuyama, Francis. 2002. The Great Disruption. Yogyakarta: Qalam G, Tan, Melly (ed).1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Geertz, Clifford. 2000. Negara Teater. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya H. Laurer, Robert. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
199
Hadi, Syamsul. 2009. Hubungan Indonesia-Cina di Era Pasca Orde Baru: Perspektif Indonesia. Dalam Merangkul Cina Hubungan Indonesia Cina Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Hall, Stuart. 1996. Culture, Media, Language. London & New York : Routledge, in Association with the Centre for Contemporary Cultural Studies, University of Birmingham. _____________. 1996. Critical Dialogues in Cultural Studies. London & New York : Routledge, in Association with the Centre for Contemporary Cultural Studies, University of Birmingham. Hariono, P. 1994. Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Akulturasi Kultural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Haryatmoko. 2003. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Bourdieu, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Basis 11-12: 4-23 Hindrawardhani, Desi. 2009. Konstruksi Identitas Orang Indonesia-Hadrami, Studi Tentang Hibrinitas (thesis). Jakarta: Universitas Indonesia Hirschman, Charles. 1991. Identitas Orang China Asia Tenggara: Perspektif Alternatif. Dalam: Chusman, Jeniffer dan Wang Gungwu. ed. Perubahan Identitas Orang China di Asia Tenggara. Jakarta. PT: Pustaka Utama Grafiti. p. 31-47 Iskandar.2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: GP Press Ju Lan, Thung. 2002. Politik Kebudayaan Baru Tentang Perbedaan. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume IV, No. 1 Tahun 2002. JoeLan, Nio. 1961. Peradaban Tionghoa Selajang Pandang. Djakarta: Penerbit Keng Po K. Yin, Robert. 2000. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa Keping, Wang. 2007. Kepustakaan Klasik China, Etos Budaya China. Jakarta:PT.Elex Media Komputindo Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia _____________. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
200
_____________. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta
Kusteja, Sugiri. 2011. Istilah Tiongkok, Tionghoa, China, Chinese, dan China. Avaliable from: URL:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilahtiongkok-Tionghoa-china-chinese-dan-cina. Diakses tanggal 26 Desember 2012 Mahar, Cheleen, dkk. 2009. Posisi Teoritis Dasar. Dalam : Richard Harker, Cheleen Mahar dan Chris Wilkes., editor. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarta: Jalasutra: 1-32 Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Narni,Sri dalam Mulyati dalam Antariksa “Pola Pemukiman Tradisional”, lihat, www.architecturearticles.blogspot.com, diakses tanggal 8 Juli 2012 Nawawi, Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Noor, Rusdian dan Faruk. 2003. Mimikri dan Resistensi Pribumi Terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Sosiohumanika edisi 16B Nyoman Dalem, Dewa. 2012. Bias Gender Penggunaan Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur dalam Program Keluarga Berencana di Desa Dawan Kaler Kecamatan Dawan Klungkung. Bali: Universitas Udayana Onghokham. 2009. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu Pelly, Usman dan Asih Menanti. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan. Pilliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra _____________. 2010. Post Realitas. Yogyakarta: Jalasutra Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Jakarta: Komunitas Bambu
201
Pruit, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purna, I Made. 2008. Pengaruh Kebudayaan Tionghoa dalam Pembentukan Identitas Budaya Spiritual Bali: Sebuah Model Integrasi Budaya. Bali: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redding, S. Gordon. 1994. Jiwa Kapitalisme China. Jakarta: PT. Dinastindo Adiperkasa Internasional Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana _____________. 2010. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Santoso, Anang. 2007. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Dalam Jurnal Bahasa dan Seni No. 1 Februari 2007. Jakarta: Simon, Roger. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST Skinner, G. William. 1979. Golongan Minoritas Tionghoa. Dalam Melly G. Tan., editor. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia untuk LEKNAS-LIPI dan Yayasan Obor Indonesia Sugono, Dendi. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Suantika, I Wayan. 2010. Tinggalan Arkeologi di Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan, Bali. Bali: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Arkeologi Denpasar Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Sulistyawati (ed). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia. Bali: Universitas Udayana Supriyono, J. 2004. Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan. Dalam: Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto., editor. Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius: 138-153 Susanto, Budi (ed). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
202
Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia ____________. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES ____________. 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap EtnisTionghoa:Dari Akulturasi ke Multikulturalisme?. Jakarta: Antropologi Indonesia
____________. 2006. Understanding the Ethnic Chinese of Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ____________. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Kompas Sutjiati Berata, Ni Luh, dkk. 2010. Dari Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa Pakraman Studi Tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang China di Bali. Bali: Udayana Universty Press. Swie Ling. 2010. G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme, Pemikiran China Jelata Korban Orba. Jakarta: Komunitas Bambu Syahputra, Zimi. 2008. Penggunaan Jaringan Sosial Sebagai Potensi Modal Sosial Dalam Bisnis Etnis China. Medan: Universitas Sumatera Utara Syahyuti.http//www.catatankecilsosiologi.blogspot.com//mooregilberttentanghom ikbhabha.html. Diakses tanggal 24 Desember 2011. Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya Turner, Bryan S. 2012. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontenporer. Jogjakarta: IRCiSoD Warnaen, Suwarsih. 1995. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Jakarta: Mata Bangsa Werbner Pnina. 1999. Global Pathways. Working Class Cosmopolitans and The Creations of Transnational Ethnic Worlds. European: European Association of Social Anthropologists
203
Wibowo, Priyanto. Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas. Prosiding The 4th International Confrence on Indonesian Studies: Unity Diversity and Future