TESIS
KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS DI KECAMATAN TABANAN - BALI
I KETUT SUTARWIYASA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS DI KECAMATAN TABANAN - BALI
I KETUT SUTARWIYASA NIM 1290261007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS DI KECAMATAN TABANAN - BALI
Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KETUT SUTARWIYASA NIM 1290261007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
ABSTRAK Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Rerajahan merupakan sarana upacara umat Hindu di Bali yang sebelumnya dibuat secara tradisional dan diyakini mengandung kekuatan gaib. Pada perkembangan di era globalisasi ini, rerajahan dibuat atau diproduksi menggunakan teknologi desain grafis. Dalam konteks pemahaman ini aspek-aspek rerajahan dijadikan komoditas dalam proses komodifikasi yang menguntungkan secara sosial dan ekonomi, sehingga rerajahan dulunya sakral menjadi profan. Masalah yang diteliti dirumuskan dalam tiga pertanyaan berikut ini, (1) bagaimana bentuk komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan? (3) bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan?. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komodifikasi untuk menganalisis permasalahan pertama, kedua, dan ketiga, teori dekonstruksi dan teori praktik untuk menganalisis permasalahan ke dua, teori semiotika untuk menganalisis permasalahan ke tiga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, studi dokumen dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan dipengaruhi oleh faktor keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, faktor pewarisan budaya, faktor ekonomi, faktor globalisasi dan teknologi, faktor budaya konsumtif. Terdapat beberapa dampak dan makna dalam penelitian ini terkait dengan komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan. Dampak tersebut adalah peningkatan pengetahuan, peningkatan kesejahteraan dan peluang kerja, produktivitas, efektivitas dan efisiensi, degradasi nilai budaya, keterancaman warisan budaya. Adapun makna yang terdapat di dalam komodifikasi rerajahan ini adalah makna desakralisasi budaya, makna kreativitas dan inovasi, serta makna estetik.
Kata kunci: komodifikasi, rerajahan, desain grafis, dan desakralisasi.
ix
ABSTRACT This thesis is the result of research on commodification rerajahan through technology graphic design in the district of Tabanan, Bali. Rerajahan a means Hindu ceremony in Bali previously made traditionally and is believed to contain magical powers. On developments in the globalization era, rerajahan made or manufactured using graphic design technology. In the context of this understanding rerajahan aspects can be used as a commodity in the process of commodification is socially beneficial, and economically. The problem under study is formulated in the following three questions: (1) how the form of commodification rerajahan through graphic design technology in the district of Tabanan? (2) whether the factors that led to the commodification rerajahan through graphic design technology in the district of Tabanan? (3) how the impact and meaning of commodification rerajahan through graphic design technology in the district of Tabanan?. The theory used in this research is to analyze the problems of commodification theory first, second, and third, deconstruction theory and practice theory to analyze the problem into two, the theory of semiotics to analyze the problem into three. This study used qualitative methods. Collecting data in this study was done by using observation, interviews, document, and literature. The results of this study indicate that the commodification rerajahan through graphic design technology in the district of Tabanan influenced by lack of knowledge and skills, cultural inheritance factors, economic factors, globalization and technological factors, cultural factors consumptive. There is some impact and significance in the research related to the commodification rerajahan through graphic design technology in the district of Tabanan. The impact is increased knowledge, increased prosperity and employment opportunities, productivity, effectiveness and efficiency, degradation of cultural values, the threatened of cultural heritage. As for the meaning contained in this rerajahan commodification is the meaning of desecration of cultural significance, the meaning of creativity and innovation, as well as the aesthetic meaning. Keywords: commodification, rerajahan, graphic design, and desecration.
x
RINGKASAN Perkembangan teknologi di bidang produksi sangat membantu manusia untuk dapat mempermudah pekerjaan dan mempercepat waktu pengerjaan. Teknologi produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila setiap orang atau perusahaan berlomba-lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Hasil produksi pada masa lalu sangat terbatas dan hasil yang didapatpun sedikit dan waktu yang digunakan relatif lebih lama. Hasil produksi pada masa sekarang berbeda jauh dengan masa lalu, pada masa sekarang rerajahan diproduksi dengan jumlah besar dan dengan waktu yang lebih cepat. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor terjadinya komodifikasi rerajahan. Dalam konteks pemahaman ini aspek-aspek rerajahan dijadikan komoditas dalam proses komodifikasi yang menguntungkan secara sosial dan ekonomi, sehingga rerajahan dulunya sakral menjadi profan. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tabanan. Proses komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis semakin marak dilakukan di kecamatan tersebut, baik dari aspek produksi, distribusi, maupun aspek konsumsi. Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok permasalahan, yakni (1) bagaimanakah bentuk komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di
xi
Kecamatan Tabanan? (2) faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan? dan (3) bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan?. Atas dasar permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menemukan pemahaman utuh tentang komodifikasi warisan budaya khususnya rerajahan dalam era globalisasi yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi, dengan harapan akan berdampak terhadap berbagai kebijakan yang ada. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, untuk memahami serta menganalisis komodifikasi rerajahan, dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan multidimensional. Data penelitian diperoleh melalui teknik pengumpulan data : observasi, wawancara mendalam terhadap nara sumber yang ditentukan secara purposive, serta studi dokumen. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teoriteori; (1) teori komodifikasi; untuk menganalisis permasalahan pertama, kedua, dan ketiga, (2) teori praktik dan teori dekonstruksi; untuk menganalisis permasalahan kedua, dan (3) teori semiotika; untuk menganalisis permasalahan ketiga yaitu dampak serta makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis. Hasil analasis data menunjukan bahwa komodifikasi telah merambah ke semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan komodifikasi rerajahan (produksi, distribusi dan konsumsi) dengan bentuk-bentuk komodifikasi: (1) komodifikasi alokasi sumber daya, (2) komodifikasi produksi rerajahan, (3) komodifikasi
xii
distribusi rerajahan, dan (4) komodifikasi konsumsi rerajahan. Bentuk-bentuk komodifikasi tersebut dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor internal; faktor keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, faktor pewarisan budaya, dan faktor ekonomi, (2) faktor-faktor eksternal; faktor globalisasi dan teknologi, serta faktor budaya konsumtif. Terdapat beberapa dampak dan makna dalam penelitian ini terkait dengan komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan. Dampak tersebut adalah peningkatan pengetahuan, peningkatan kesejahteraan dan peluang kerja, produktivitas, efektivitas dan efisiensi, degradasi nilai budaya, keterancaman warisan budaya. Adapun makna yang terdapat di dalam komodifikasi rerajahan ini adalah makna makna desakralisasi budaya, makna kreativitas dan inovasi, serta makna estetik. Untuk menghindari agar rerajahan yang dibuat secara tradisional tidak mengalami kepunahan, peneliti menyampaikan beberapa saran. Pertama, dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya lama dalam menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan menyeleksi agar didapat nilai-nilai yang betul-betul bermanfaat bagi kehidupan. Kedua, disarankan kepada pemerintah khususnya pemerintah daerah agar meningkatkan kepekaan dan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal sebagai penunjang kebudayaan nasional, misalnya dengan membuat pelatihan-pelatihan tentang cara-cara membuat sarana upakara tradisional dan memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di dalam melestarikan kebudayaan daerah tersebut.
xiii
Ketiga, pewarisan ritual keagamaan yang dianggap terlarang/tabu (ajawera) bagi generasi muda sudah saatnya diinterpretasi atau dikaji ulang, karena dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman di era globalisasi ini.
xiv
GLOSARIUM
abhiseka
:
julukan, sebutan, penobatan atau pemberkatan dan pencurahan arus dharma suci kepada seseorang yang telah dianggap mampu menyampaikan dan mentransformasikan dharma kepada khalayak umum.
aja wera
:
sesuatu yang dilarang atau tabu untuk dipelajari/ diketahui/dibaca karena kalau salah bisa menyebabkan kegilaan atau kesengsaraan
alengkat
:
sejengkal
amor ing acintya
:
memperoleh tempat yang baik dialam-Nya, bersatu dengan kepribadian Yang Maha Esa
angkus
:
sejenis alat pertanian tradisional yang digunakan untuk membimbing ternak, khususnya lembu. Di dalam kepercayaan agama Hindu angkus dianggap sebagai senjata Dewa Sangkara
atiwa-tiwa
:
upacara yadnya yang berkaitan dengan upacara kematian
atma
:
roh, percikan kecil dari Tuhan (Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang berada di dalam setiap makhluk hidup
bajra
:
atau sering juga disebut genta, tongkat logam dengan sula ditengahnya dikelilingi banyak sulasula lain yang melengkung ke dalam dan ujungnya menyambung bersatu dengan sula utama di tengahnya, biasanya digunakan oleh pemimpin upacara ritual keagamaan umat Hindu Di dalam kepercayaan agama Hindu bajra dianggap sebagai senjata Dewa Iswara
banjar
:
organisasi kemasyarakatan masyarakat tradisional di Bali, seperti sistem RT/RW pada masyarakat Indonesia
xv
banten
:
persembahan dan sarana bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
berumbun
:
panca warna (merah, putih, kuning, hitam dan poleng/loreng)
Bhuta Kala
:
suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya suatu kekuatan di alam semesta beserta dengan isinya sehingga menimbulkan ethos kerja, biasanya digambarkan sebagai sesosok mahluk yang mempunyai wajah yang menyeramkan dengan perilaku layaknya raksasa
brahmana
:
salah satu golongan atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan.
bungsil
:
buah kelapa muda yang belum ada isinya
busung
:
daun kelapa yang masih berwarna putih/muda
Butha Yadnya
:
yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia
cemer
:
kotor
Dasaksara
:
sepuluh huruf utama dalam ajaran agama Hindu yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya yang terdiri dari : sa-ba-ta-a-i-na-ma-si-wa-ya
desti
:
perwujudan ilmu leak tingkat paling bawah yaitu perwujudannya bisa berbentuk binatang
Dewa Yadnya
:
yadnya yang ditujukan kepada para dewa selaku penguasa alam semesta ini
dewasa ayu
:
hari baik untuk melakukan ritual keagamaan
Dewata Nawa Sanga
:
sembilan dewa penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu di Bali
xvi
dharma
:
ajaran kebenaran dalam agama Hindu yang menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup
dwi jati
:
ritual agama Hindu yaitu lahir untuk kedua kalinya (reinkarnasi) sebagai persyaratan menjadi seorang sulinggih
gada
:
senjata pemukul besar yang mempunyai duri-duri atau paku-paku disisinya, dalam kepercayaan Hindu merupakan senjata dari Dewa Brahma
Galungan
:
hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma yang jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan
gering
:
sakit
gerubug
:
wabah penyakit yang menular pada suatu daerah tertentu (epidemi)
geseng
:
bakar, kremasi
jiwatman
:
atman di dalam badan manusia atau jiwa/roh yaitu yang menghidupkan manusia
kaja
:
utara
kajang
:
jenis rerajahan yang digunakan untuk menutupi jasad orang yang mau di-aben
kayangan tiga
:
tiga pura utama yang ada di sebuah desa adat di Bali, terdiri dari Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Bale Agung
kebot/kedel
:
kiri
kelian
:
berasal dari kata kelihan yang dalam Bahasa Bali berarti yang lebih tua, diartikan sebagai pemimpin
kelod
:
selatan
ksatrya
:
salah satu kasta dalam agama Hindu, merupakan bangsawan dan tokoh masyarakat yang bertugas sebagai penegak keamanan, penegak keadilan,
xvii
pemimpin masyarakat, dan pembela kaum tertindas atau kaum lemah Kuningan
:
merupakan rangkaian dari Hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon wuku kuningan (10 hari setelah Galungan), yang bermakna untuk memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan kepada para Dewa, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana.
langes/mangsi
:
jelaga, tinta hitam
lawar
:
masakan berupa campuran sayur-sayuran dan daging cincang yang biasanya dicampur dengan darah binatang
lembu
:
sapi
lontar
:
naskah-naskah keagamaan yang ditulis pada daun siwalan atau tal
luan
:
ulu
mamurti
:
hidup, memiliki jiwa
mantram
:
susunan kata yang berunsur puisi dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh pemimpin ritual upacara
Manusa Yadnya
:
yadnya / korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia mulai dari sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup manusia itu
masatia
:
ritual masa lampau kerajaan Hindu di Bali dimana bila seorang raja meninggal dan jenazahnya dibakar, maka sang ratu wajib menceburkan diri ke tempat pembakaran tersebut
mayanin
:
membahayakan, mencelakakan
mecaru
:
ritual upacara persembahan untuk Bhuta Yadnya
xviii
melaspas
:
upacara yang bertujuan membersihkan dan menyucikan bangunan yang baru selesai dibangun/dibuat atau baru ditempati kembali
melukat
:
upacara yang bertujuan menyucikan diri
merajan
:
tempat suci pemujaan dari keturunan atau keluarga tertentu
merana
:
kesengsaraan
mesare
:
tidur
mesuryak
:
bersorak
modre
:
jenis huruf rerajahan
mutik
:
pisau kecil
nasi kepel
:
nasi yang di kepal dan biasanya berbentuk bulat
natah
:
pekarangan rumah
nelu bulanin
:
upacara pada saat bayi berumur 3 bulan
nengkleng
:
menggangkat satu kaki
nerang
:
ritual upacara untuk menolak hujan
ngaben
:
rangkaian upacara Pitra Yadnya yang bertujuan untuk mengembalikan arwah orang yang meninggal ke nirwana / sorga
ngastawa
:
memulai upacara
nginang
:
makan sirih pinang
niskala
:
hal-hal yang tidak dapat dilihat atau diraba, tetapi kita yakini keberadaannya, dunia akhirat, tak nyata, maya, ilusi.
nyengkalen
:
membahayakan
xix
yang
membersihkan
suatu
digunakan
untuk
dan
kelompok
menulis
Ong kara
:
simbol suci dalam agama hindu yang bermakna sebagai alat bantu konsentrasi kita menuju kepada Sang Hyang widhi
paksi
:
burung garuda
palebon
:
upacara ngaben
palemahan
:
seluruh wilayah dari lembaga tersebut.
Panca Yadnya
:
lima upacara korban suci umat Hindu yang terdiri dari : Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya
pandita
:
seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Weda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana
papah nyuh
:
pelepah kelapa
paramaatma
:
adalah sebuah konsep pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai aspek yang berada disuatu tempat tertentu di dalam hati setiap mahluk hidup (roh yang utama)
parhyangan
:
Tuhan yang kehidupan.
pasupati
:
ritual upacara permohonan berkah kepada Sanghyang Widhi Wasa supaya bisa menghidupkan dan memberikan kekuatan magis kepada bendabenda yang dikeramatkan
pawongan
:
sumber daya manusia yang terdiri dari semua warga dari lembaga yang bersangkutan.
pedanda
:
sulinggih untuk kaum Brahmana
pelinggih
:
tempat pemujaan Ida Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya
pemangku
:
sebutan seseorang yang bertugas menghaturkan upakara sebagai perantara antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah melaksanakan upacara pewintenan
xx
memberikan
perlindungan
bagi
penawa ratnan
:
kelapa gading sebagai tempat tirta
pendem
:
ditanam, dikubur
penengen
:
kanan
pengangge
:
pakaian
pengerupak
:
pisau khusus untuk menulis pada daun lontar
pengideran
:
mata angin
pengiwa
:
aliran kiri
penjor
:
sebuah tiang bambu tinggi yg dihiasai dengan janur, hasil-hasil bumi dan kain warna kuning-putih. penjor adalah simbol dari gunung, yang berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan pengastawa
peripih
:
lempengan yang terbuat dari logam
pesaksi
:
para dewa-dewi sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam rangka ikut serta menyaksikan upacara yadnya
pewintenan
:
upacara mensucikan seseorang oleh sulinggih
Pitara
:
leluhur
Pitra Yadnya
:
upacara untuk orang yang sudah meninggal
pradana
:
perempuan, badan raga yang menjadi wadah dari purusa
purusa
:
laki-laki, jiwa atau atman yang berasal dari Paramaatma atau Tuhan Yang Maha Esa
pusuh
:
hati pohon pisang
rajas
:
seorang yang terombang-ambing oleh kepentingan nafsunya, yang mencari imbalan dari hasil perbuatannya yang serakah, merugikan lainnya dan tidak bersih perbuatannya hingga terombangambing oleh kesenangan dan penderitaan
xxi
rerajahan
:
berasal dari kata “rajah” memiliki makna sebagai sebuah suratan atau gambar yang dipercaya memiliki kekuatan gaib atau magis, “ngerajah”: membuat rerajahan.
Rsi Yadnya
:
yadnya atau korban suci kepada para pendeta atau para pemimpin upacara keagamaan
Sad Atatayi
:
enam kejahatan yang dilarang Agama Hindu
Sad Ripu
:
enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri
sangging
:
orang-orang yg mampu memvisualisasikan hasil karya sastra seperti : pematung, pelukis dan yang lainnya
sangkep
:
rapat urusan adat
Sapta Timira
:
tujuh macam kegelapan pikiran manusia
sarwa
:
serba, sekalian
satwam
:
suatu tindakan yang berdasarkan moral, yang lepas dari keterikatan yang dilakukan tanpa mengharap suatu pamrih dan yang dilakukannya bukan karena cinta atau benci
sawo
:
badan kasar orang yang meninggal
sekala
:
dunia nyata, segala hal yang dapat kita lihat, kita raba, hal-hal dari dunia materi ini
seluiring
:
seperti
soroh
:
komunitas dalam kehidupan masyarakat Bali
subak
:
organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali
sudra
:
golongan kasta yang paling bawah, biasanya pekerjaannya sebagai petani, buruh, nelayan dan yang lainnya
xxii
sulinggih
:
seseorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang sangat suci dan sangat istimewa yang diperoleh melalui suatu persyaratan sasana (kode etik) dan telah diberkati melalui suatu upacara pediksan yang suci
taksu
:
suatu kekuatan gaib yang merasuk pada diri seseorang yang mempengaruhi pola pikir, perkataan dan perbuatannya
tamas
:
tidak stabil, kasar, keras kepala, penuh kepalsuan, kelicikan, beritikad jahat, malas, tak punya harapan, mudah putus asa dan selalu menunda-nunda sesuatu
tambah
:
alat untuk mencangkul
tamiang
:
hiasan yang dibuat dari janur sebagai simbol pelindung dan juga senjata dari Dewata Nawa Sanga sebagai lambang perputaran roda kehidupan
tantra
:
konsep atau cara pemujaan terhadap Ida Sanghyang Widhi Wasa
tattwa
:
cara melaksanakan ajaran agama dengan mendalami pengetahuan dan filsafat agama.
tawur
:
pecaruan, yadnya untuk Butha Kala
teben
:
hilir
telebingkah
:
pecahan genteng/gerabah
tenggala
:
alat untuk membajak sawah yang biasanya ditarik oleh sapi atau kerbau
tirta pengentas
:
air suci/tirta yang dibuat khusus oleh sulinggih bagi roh orang mati yang gunanya menunjukkan arah/ sasaran perjalanan roh/ atma ke alam sunia
tiying empet
:
bambu tidak berongga
tiying gading
:
bambu yang warnanya kuning
Tri Hita Karana
:
tiga hubungan penyebab terciptanya kebahagiaan, terdiri dari : hubungan manusia dengan sesama
xxiii
manusia, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan Tuhan Tri Murti
:
tiga kekuatan Brahman/Sang Hyang Widhi dalam menciptakan (Dewa Brahma), memelihara (Dewa Wisnu) , melebur (Dewa Siwa) alam beserta isinya.
ulap-ulap
:
jenis rerajahan yang biasanya digunakan untuk upacara Dewa Yadnya
upakara
:
sesajen, persembahan
urip
:
hidup
wadah/dade
:
tempat untuk mengusung jenasah pada saat upacara ngaben
walaka
:
orang yang belum di dwi jati atau diangkat menjadi sulinggih
wesya
:
golongan yang biasanya bekerja sebagai usahawan, industriawan, pedagang dan yang sejenisnya
wijaksara
:
aksara, huruf, suku kata; suku kata suci yang diyakini memiliki kekuatan kesucian, kekuatan magis, kekuatan magnetis, niskala, dan spiritual religius
wong
:
orang
wyanjana
:
konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali
yantra
:
alat/sarana yang digunakan untuk menyatukan atau mendekatkan diri kepada Tuhan
yoga
:
cara untuk menyatukan atau mendekatkan diri kepada Tuhan
xxiv
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR .....................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. vi ABSTRAK
...................................................................................................... ix
RINGKASAN TESIS ....................................................................................... xi GLOSARIUM ................................................................................................... xv DAFTAR ISI ..................................................................................................... xxv DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xxx DAFTAR TABEL
….................................................................................... xxxii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................
6
1.3 Tujuan penelitian ..................................................................................
6
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................
6
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................
7
1.4.1 Manfaat Teoritis ...............................................................................
7
1.4.2 Manfaat Praktis
7
...............................................................................
xxv
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
8
2.1 Kajian Pustaka ......................................................................................
8
2.2 Konsep ................................................................................................. 14 2.2.1 Komodifikasi Rerajahan
................................................................. 15
2.2.2 Teknologi Desain Grafis
................................................................. 18
2.2.4 Komodifikasi Rarajahan Melalui Teknologi Desain Grafis ............. 23 2.3 Landasan Teori ..................................................................................... 25 2.3.1 Teori Komodifikasi .......................................................................... 25 2.3.2 Teori Semiotika
.............................................................................. 27
2.3.3 Teori Praktik
............................................................................... 31
2.3.4 Teori Dekonstruksi ........................................................................... 34 2.4 Model Penelitian ................................................................................... 38 BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 41 3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 41 3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................. 43 3.3 Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 43 3.4 Teknik Penentuan Informan ................................................................. 45 3.5 Instrumen penelitian.............................................................................. 46 3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 46 3.6.1 Observasi
...................................................................................... 46
3.6.2 Wawancara ........................................................................................ 47 3.6.3 Studi Dokumen ................................................................................. 48 3.7 Teknik Analisis Data .......................................................................... 49
xxvi
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ............................................... 50 BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN.................................... 51 4.1 Kecamatan Tabanan..................................................................................51 4.1.1
Sejarah Kecamatan Tabanan............................................................. 51
4.1.2
Letak Geografis dan Batas Wilayah ................................................ 54
4.1.3
Penduduk dan Angka Demografis ................................................... 55
4.1.4
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ........................................... 56
4.1.5
Struktur Pemerintahan .................................................................... 57
4.1.6
Mata Pencaharian Penduduk ........................................................... 58
4.1.7
Pola Pemukiman
4.1.8
Agama dan Kepercayaan ................................................................ 63
4.1.9
Bahasa dan Tradisi Budaya ........................................................... 66
4.2
Rerajahan
.................................................................... 61
........................................................................................ 67
4.2.1 Bentuk Rerajahan ........................................................................... 68 4.2.2 Jenis Rerajahan
......................................................................... 76
4.2.3 Fungsi Rerajahan
.......................................................................... 86
4.2.4 Alat dan Bahan untuk Membuat Rerajahan .................................... 96 BAB V BENTUK KOMODIFIKASI RERAJAHAN 5.1 Komodifikasi Rerajahan
................................... 99
.................................................................. 99
5.2 Komodifikasi Alokasi Sumber Daya .................................................... 105 5.2.1
Sumber Daya Manusia .................................................................... 105
5.2.2
Alat dan Bahan .............................................................................. 108
5.2.3
Alokasi Waktu ................................................................................. 114
xxvii
5.3 Komodifikasi Produksi Rerajahan ..................................................... 116 5.4 Komodifikasi Distribusi Rerajahan ..................................................... 122 5.5 Komodifikasi Konsumsi Rerajahan
................................................ 126
BAB VI FAKTOR-FAKTOR KOMODIFIKASI RERAJAHAN ..................... 142 6.1 Faktor-faktor Internal
...................................................................... 144
6.1.1
Faktor Keterbatasan Pengetahuan dan Keterampilan ...................... 145
6.1.2
Faktor Pewarisan Budaya
6.1.3
Faktor Ekonomi ............................................................................. 150
............................................................. 147
6.2 Faktor-faktor Eksternal ...................................................................... 154 6.2.1 Faktor Globalisasi dan Teknologi .................................................... 155 6.2.2 Faktor Budaya Konsumtif .............................................................. 159 BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RERAJAHAN ........ 162 7.1 Dampak Positif .................................................................................... 162 7.1.1
Peningkatan Pengetahuan ............................................................... 164
7.1.2 Peningkatan Kesejahteraan dan Peluang Kerja ............................... 166 7.1.3
Produktivitas, Efektivitas dan Efisiensi
............................... 168
7.2 Dampak Negatif .................................................................................. 171 7.2.1
Degradasi Nilai Budaya ................................................................. 171
7.2.2 Keteran caman Warisan Budaya ..................................................... 174 7.3 Makna Komodifikasi Rerajahan ........................................................... 176 7.3.1 Makna Desakralisasi Budaya .......................................................... 177 7.3.2
Makna Kreatifitas dan Inovasi
7.3.3
Makna Estetik .................................................................................. 184
xxviii
..................................................... 180
7.5 Refleksi .................................................................................................. 187 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 190 8.1 Simpulan.................................................................................................. 190 8.2 Saran ...................................................................................................... 191 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 194 LAMPIRAN ....................................................................................................... 201
xxix
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
pola kehidupan masyarakat di dunia sudah banyak yang berubah. Tidak dapat dipungkiri lagi pada era globalisasi ini dunia semakin berkembang di semua aspek kehidupan, terutama di bidang ekonomi. Dalam kehidupan manusia masalah ekonomi adalah masalah yang terpenting, karena semua orang yang hidup di dunia ini mempunyai kebutuhan masing-masing yang mungkin berbeda satu sama lain. Dengan dasar inilah ilmu ekonomi muncul untuk mempelajari kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh makhluk hidup dalam pemenuhan kebutuhannya (Mangunwijaya, 1983:12). Pada saat sekarang sadar atau tidak sadar masyarakat telah teracuni oleh kapitalis.
Kapitalis
memang
tidak
secara
langsung
diterapkan
dalam
pemerintahan, namun kita dapat menilai bahwa segala kebijakan yang diambil pemerintah harus berdasarkan standar finansial. Jika dilihat secara sepintas tidak akan berdampak pada masalah lainnya, tetapi jika dilihat dengan teliti secara tidak langsung kebijakan yang diambil tersebut dapat mengubah paradigma seseorang yang akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat umum. Banyak bukti yang nyata dengan kapitalis. Tatanan kehidupan sosial semakin semrawut dengan adanya pengkastaan yang secara tidak langsung di buat oleh masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin. Padahal pada hakikatnya semua sama dan merata tidak ada nilai
1
2
yang didapat dari suatu barang. Namun dengan kapitalis ini terbentuklah nilai yang didapat dari suatu barang. Keadaan seperti ini menjadikan manusia akan beranggapan bahwa suatu barang atau apa saja yang dapat dinilaikan akan mendatangkan keuntungan pada dirinya tanpa memikirkan hakikat awal dari barang tersebut. Keadaan seperti inilah yang akan melahirkan budaya masyarakat konsumen, dimana semua barang akan dikonsumsi sebagai bahan komoditas untuk mendapatkan keuntungan (Faruk, 1994:25). Budaya konsumen dan cara hidup masyarakat kita sudah jauh mengalami perubahan, menuju budaya dan prilaku kehidupan yang konsumtif. Prilaku konsumstif ternyata bukan hanya milik orang kaya atau orang kota, melainkan juga ditiru oleh kelompok kelas bawah dan masyarakat desa. Perubahan pola konsumtif tersebut adalah sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi komunikasi
dan
media,
seperti
TV dan media
cetak
lainnya.
Iklan
dan advertising telah memainkan peran yang tidak sedikit dengan “bujukan” dan “rayuan”nya yang dilancarkannya secara terus menerus guna merangsang budaya konsumsi masyarakat. Konsumerisme memang adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dicegah karena ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah sistem ekonomi pasar bebas dan globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Hanya dengan mengedepankan dan menganggap penting konsumerisme pada masyarakat modern atau posmodern, sistem kapitalisme memperoleh “garansi” untuk kelangsungannya. Kelebihan kapital dan produksi secara besar-besaran yang dimiliki oleh industri negara-negara maju sebagai dampak kemajuan dan inovasi teknologi baru,
3
menyebabkan mereka mesti mencari pasar ke wilayah-wilayah negara dunia ketiga, termasuk Indonesia (Ibrahim, 1997:50). Budaya konsumen dan perkembangan teknologi tersebut juga sangat mempengaruhi pola kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali, seperti misalnya di dalam proses melaksanakan ritual keagamaan serta pembuatan sarana upacara/upakara masyarakat di Bali. Dengan adanya teknologi tersebut di atas, maka segala sesuatu akan dapat dibuat dengan lebih mudah, cepat dan dengan biaya yang relatif lebih murah. Salah satu sarana upacara/ritual masyarakat Bali yang saat ini banyak diproduksi menggunakan teknologi adalah “rerajahan”, yaitu melalui teknologi desain grafis (komputer), seperti yang banyak terdapat di Kecamatan Tabanan. Desain grafis adalah suatu bentuk komunikasi visual yang menggunakan gambar untuk menyampaikan informasi atau pesan seefektif mungkin. Dalam disain grafis, teks juga dianggap gambar karena merupakan hasil abstraksi simbolsimbol yang bisa dibunyikan, disain grafis diterapkan dalam disain komunikasi dan fine art. Seperti jenis disain lainnya, disain grafis dapat merujuk kepada proses pembuatan, metoda merancang, produk yang dihasilkan (rancangan), atau pun disiplin ilmu yang digunakan (Kusrianto, 2007:22) Desain grafis dengan teknologi komputernya memungkinkan perancang untuk melihat hasil dari tata letak atau perubahan tipografi dengan seketika tanpa menggunakan tinta atau pena, atau untuk mensimulasikan efek dari media tradisional tanpa perlu menuntut banyak ruang. Seorang perancang grafis menggunakan sketsa untuk mengeksplorasi ide-ide yang kompleks secara cepat, dan selanjutnya ia memiliki kebebasan untuk memilih alat untuk menyelesaikannya, dengan tangan atau komputer.
4
Setelah desain/karya selesai di buat, biasanya karya tersebut dicetak dengan memanfaatkan teknologi yang ada, misalnya: digital printing, cetak offset, dan cetak sablon (Tinarbuko, 2008:45).
Rerajahan yang berasal dari kata “rajah” memiliki makna sebagai sebuah suratan atau gambar yang dipercaya memiliki kekuatan gaib atau magis. Rajah/Rerajahan pada hakekatnya merupakan budaya Hindu Bali, sebagai suatu produk lokal genius. Hal ini dapat dilihat pada upakara panca yadnya, sarana pengobatan, ilmu penengen dan ilmu pengiwa. Antara rerajahan, tantra dan mantram memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat dan saling mendukung di dalam membangkitkan kekuatan magis sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Bali (Watra, 2008:3). Rajah juga sama dengan tatto, namun dalam konteks yang berbeda, dimana rajah atau rerajahan tidak sembarang gambar atau huruf yang dapat digambarkan. Dalam dunia rerajahan ada pakem atau aturan tersendiri bagaimana dan dimana sesuatu bisa di suratkan/dirajah dan sebagainya. Dalam kehidupan beragama di Bali rerajahan bukanlah hal yang asing lagi, dari Manusa Yadnya sampai Dewa Yadnya, rerajahan dipakai oleh para pemangku dan sulinggih (Watra, 2008:5). Pada saat upacara bayi 42 hari, pada hal ini rerajahan dituliskan pada pelapah kelapa, seperti melaspas rumah, merajan, pelinggih rerajahan biasanya dipasang di depan rumah yang sering disebut dengan ulap-ulap. Rerajahan tersebut biasanya dibuat/dipakai dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya: sebagai sarana untuk keselamatan sekala niskala, sebagai alat penangkal hal-hal
5
negatif, sebagai penjaga/pengijeng, sebagai jimat pelindung, kekebalan, dan lainnya sesuai dengan tujuan dan kebutuhan pengguna. Dalam proses pembuatannya rerajahan memerlukan sarana atau media, dimana tergantung tujuan dan fungsi dari rerajahan tersebut, biasanya rerajahan dibuat dengan cara ditulis/digambar tangan pada media kertas, kain biasa/kafan, peripih (emas, tembaga, selaka, kuningan), daun lontar, benda-benda tertentu sesuai tujuannya, seperti :
telebingkah, kertas, tiying empet (bambu tidak
berongga), tiying gading (bambu kuning), bata, batu, paras, kayu dan lainnya. Rerajahan biasanya dibuat oleh orang-orang tertentu saja, seperti : sulinggih, pemangku, sanging dan sebagainya, dan juga
biasanya memilih
“dewasa ayu/hari baik” dan persiapan dalam melakukan olah rerajahan, apalagi rerajahan tersebut digunakan untuk “Jimat”. Setelah persiapan cukup, masih ada proses lanjutan yaitu "pasupati/pengisian (penyucian)" agar rerajahan dapat memurti atau "hidup" dan bertuah (taksu) (Watra, 2008:11). Dengan memanfaatkan teknologi desain grafis, maka rerajahan bisa dibuat oleh siapa saja dan kapan saja, dan dianggap lebih gampang atau lebih cepat, seperti yang banyak terjadi di Kecamatan Tabanan, baik dari aspek produksi, distribusi, maupun aspek konsumsi. Hal ini menyebabkan rerajahan dijadikan sebagai barang/produk massal (mass product), sehingga terjadi pergeseran nilai dari sakral menjadi profan. Dari uraian tersebut di atas maka penulis mengambil judul “Komodifikasi Rerajahan Melalui Teknologi Desain Grafis di Kecamatan Tabanan - Bali”.
6
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat adalah : 1. Bagaimanakah bentuk komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan - Bali?” 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan - Bali ?” 3. Bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan - Bali?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah menemukan pemahaman baru tentang
komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis. Pemahaman baru yang dimaksudkan adalah adanya teknik baru dalam proses pembuatan rerajahan. 1.3.2
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami bentuk komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan, Bali 2. Untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan, Bali. 3. Untuk menginterpretasikan dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan – Bali.
7
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan tentang komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan menggugah minat para peneliti lain untuk melakukan penelitian tentang sarana prasarana upacara agama Hindu khusunya di Bali. 1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
baik terhadap peneliti sendiri, pembaca, maupun Program studi Kajian Budaya Universitas Udayana. 1. Bagi peneliti, diharapkan dapat memperoleh pengalaman menganalisis pengaruh – pengaruh yang ditimbulkan dari komodifikasi rerajahan melalui desain grafis tersebut. 2. Bagi Program studi Kajian Budaya, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada penentu kebijakan di lingkungan universitas.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan ada beberapa pustaka hasil penelitian yang relevan untuk dikaji dan diuraikan sebagai berikut. Wijaya (1991) dalam tesisnya yang berjudul ”Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1990” mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan ekonomi masyarakat di Bali. Berbagai perlengkapan upacara keagamaan sudah biasa diperjualbelikan di antaranya: banten. lawar, sate, babi guling, wadah atau bade, serta perlengkapan-perlengkapan lainnya seperti “rerajahan”. Bahkan ada yang membeli seluruh upakara dalam bentuk jadi, lengkap dengan peralatan-peralatan ritual lainnya, seperti penjor, tamiang lengkap dengan sulinggih. Tulisan Wijaya tersebut menyiratkan telah terjadi komodifikasi berbagai perlengkapan upacara keagamaan di Denpasar, tanpa dijelaskan bagaimana hal tersebut terjadi dan berlangsung dengan analisis pendekatan sejarah. Penelitian peneliti tentang komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan, hendak menunjukkan bagaimana bentuk komodifikasi rerajahan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak serta makna komodifikasi rerajahan tersebut di era globalisasi. Selanjutnya, akan diteliti pula proses produksi, proses distribusi, dan proses konsumsi dalam komodifikasi rerajahan tersebut.
9
Keterkaitan atau persamaan antara kajian Wijaya dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi sarana upacara atau upakara umat Hindu di Bali, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Wijaya membahas tentang perlengkapan sarana upacara atau upakara secara umum, sedangkan penulis membahas tentang perlengkapan sarana upacara atau upakara secara khusus, yaitu rerajahan. Suweta (2006) dalam disertasinya yang berjudul ”Aksara pada Kajang dalam Upacara Ngaben Masyarakat Hindu di Bali (Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan)” mengatakan bahwa kajang adalah sejumlah tulisan bahasa Bali ragam khusus dengan huruf Bali dalam wujud wijaksara sebagai lambang manifestasi Tuhan, yang ditulis dalam selembar kain blacu, tetoron, dan lain-lain dengan ukuran tertentu, yang sering dilengkapi dengan rerajahan dan gambar, yang digunakan untuk menutup jenazah pada saat upacara ngaben, agar atma orang yang meninggal mendapat tempat bersatu dengan Tuhan (amor ing acintya). Aksara pada kajang dalam penelitian ini selanjutnya disingkat APK. Aksara suci yang ada dalam lukisan kajang merupakan tanda legisigns, karena secara konvensional memiliki bentuk dan makna tertentu, yang dalam aktivitas sosial religius (upacara ngaben) berfungsi sebagai simbol komunikasi, secara immanent dan transendental yang dipedomani oleh masyarakat Hindu di Bali. Bentuk aksara suci pada kajang dibedakan menjadi empat, yaitu (1) bentuk aksara suci APK berdasarkan kesejarahan aksara Bali (semua aksara APK tergolong bulat/bundar); (2) bentuk aksara suci APK berdasarkan struktur aksara
10
(aksara suara, pengangge aksara suara, aksara pangangge aksara wyanjana); (3) bentuk akasara suci APK berdasarkan macam aksara wyanjana,dibedakan menjadi delapan, yaitu ekaksara, dwyaksara, triaksara, panca brahm. panca aksara, dasaksara, catur dasaksara, saddasaksara; (4) bentuk aksara suci APK aksara sebagai singkatan; bentuk APK berdasarkan tata letak/komposisi. Beberapa fungsi aksara suci APK. (1) Fungsi referensial yaitu fungsi bahasa yang mereferensikan objek sebagai acuan makna. (2) Fungsi emotif/ekspresif, yakni mengekspresikan bahasa sesuai dengan keinginan seperti pembuat kajang (pendeta) dan pengguna kajang (orang yang mengadakan upacara ngaben). Ada beberapa penggolongan kajang masing-masing memiliki aksara suci sebagai ciri pembesda: Kajang Brahmana, Kajang Ksatrya, Kajang Wesya, Kajang Sudra, Kajang Pasek, Kajang Pande. (3) Fungsi metalinguistik adalah fungsi bahasa yang dikaitkan dengan faktior di luar bahasa, dalam APK secara metalinguistik fungsi bahasa dikaitkan dengan hakikat kehidupan, manusia sesuai keyakinan umat Hindu di Bali. Terlihat dari aksara suci yang dijadikan kode/sandi terkait dengan badan manusia. (4) Fungsi magis, yaitu APK yang dikaitkan dengan sesuatu yang sakral (aksara suci APK dikaitkan dengan nama-nama Dewa manifestasi Tuhan). Makna aksara suci APK meliputi: (1) makna pemujaan kepada Tuhan: Tuhan yang tunggal, Tuhan sebagai Purusa Pradana, Tuhan sebagai Tri Murti, Tuhan sebagai Panca Dewata, Tuhan sebagai Siwa, dan Tuhan sebagai Dewata Nawa Sanga; dan (2) makna permohonan kepada Tuhan yaitu untuk mencapai
11
kesucian, mencapai kebahagiaan abadi, mendapat perlindungan Tuhan, kembali ke alam asal, dan bersatu dengan leluhur yang suci. Nilai APK dikelompokkan menjadi empat. (1) Nilai religius yaitu penyadaran akan hakikat hidup sebagai manusia, penyucian diri, yakin kepada Tuhan dalam berbagai manifestasi. (2) Nilai sosiologis, yaitu memupuk kebersamaan, menghormati perbedaan, menghormati pendeta. (3) Nilai didaktis paedagogik yaitu meningkatkan keimanan, pengendalian diri, hormat kepada leluhur. (4) Hubungan antara nilai dengan bentuk, fungsi, dan makna APK sangat erat. Tanpa adanya bentuk APK, tidak mungkin bisa melihat fungsi dan maknanya. Persamaan antara kajian Suweta dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan salah satu objek penelitian yaitu kajang, dimana kajang merupakan bagian dari jenis-jenis rerajahan. Sedangkan perbedaannya yaitu Suweta mengkaji kajang sebagai salah satu bagian dari sarana ngaben dari perspektif linguistik kebudayaan, sedangkan penulis meneliti kajang sebagai sebuah komoditas yang tergolong ke dalam produk komodifikasi. Penelitian tentang rerajahan dilakukan oleh Ngurah T.Y (2002) dalam tesisnya yang berjudul ”Transformasi rerajahan dalam seni lukis modern di Bali”. Ngurah T.Y mengungkapkan bahwa Rerajahan pada hekekatnya merupakan budaya Hindu Bali, sebagai suatu produk lokal genius. Hal ini dapat dilihat pada upakara panca yadnya, sarana pengobatan, ilmu penengen dan ilmu pengiwa. Antara rerajahan, tantra, dan mantram memiliki suatu keterpaduan yang sangat
12
erat dan saling mendukung di dalam membangkitkan kekuatan magis sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat Bali. Umat Hindu di Bali sangat yakin bahwa Rerajahan tersebut mengandung kekuatan magis yang dapat digunakan untuk tujuan yang suci dan ada juga dapat digunakan untuk tujuan bertentangan dengan Dharma. Dalam sistem ritual agama Hindu simbol-simbol dalam wujud Rerajahan digolongkan pada Yantra yang dapat menimbulkan berbagai kekuatan magis. Agar Yantra dapat menimbulkan kekuatan magis harus dipadukan dengan Mantra, Tantra, Yadnya dan Yoga. Dapat dikatakan Rerajahan sangat erat dengan fungsi, manfaat dan makna yang terkandung didalamnya. Relevansi tulisan Ngurah T.Y dengan penelitian penulis adalah persamaan dalam konsep rerajahan, dimana tulisan beliau memberikan wawasan kepada penulis tentang jenis-jenis rerajahan yang ada di Bali. Perbedaannya terletak dalam perspektif atau tinjauan yang dikaji. Ngurah T.Y menganalisis dalam perspektif transformasi seni rupa (estetika), sedangkan penulis menganalisa dari perspektif kajian budaya terutama dalam hal komodifikasi rerajahan tersebut dengan menggunakan teori-teori kritis. Disertasi Pemayun (2009) yang berjudul ”Komodifikasi Patung Garuda di Banjar Pakudui Desa Kedisan, Sebuah Kajian Budaya” menjelaskan bahwa komodifikasi patung garuda terjadi karena ada proses sebagai produksi, ternyata di dalamnya terdapat sistem produksi yang meliputi benda produksi, di dalamnya terdapat sistem produksi yang meliputi sistem individu dan sistem berantai untuk
13
mengejar produktivitas agar cepat mendapatkan hasil produksi untuk selanjutnya ditukar dengan uang. Pada tingkat produktivitas dengan beragam material jenis kayu yang digunakan menyebabkan harga jual produk patung garuda berbeda-beda. Di samping itu, kebutuhan yang mendesak menyebabkan para pematung melepas atau menjual produk patungnya dengan harga murah. Pemasaran produk patung garuda mencakup pemasaran di tempat kerja, pasar seni, gallery, kios seni, dan web-site internet. Faktor- faktor yang mempengaruhi komodifikasi patung garuda di Banjar Pakudui, Desa Kedisan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ada di dalam tiap-tiap pencipta produk komodifikasi patung garuda yang meliputi munculnya imajinasi baru pembuat patung, motivasi untuk meningkatkan kebutuhan hidup, aktualisasi diri, dan kreativitas untuk menciptakan yang baru untuk menunjang kebutuhan hidup, aktualisasi, dan pencitraan diri. Kemudian, faktor eksternal yang mempengaruhi komodifikasi patung garuda mencakup beragamnya permintaan konsumen, perkembangan selera pasar, kondisi perkembangan pariwisata, dan kondisi ekonomi. Selain itu, tidak adanya standar harga yang memadai dan munculnya perantara penjualan patung, menjadi ganjalan dalam distribusi produk patung garuda kepada konsumen. Dampak komodifikasi patung garuda temuan penelitian ini, mencakup rendahnya upah pelaku produksi patung, memberikan keuntungan kepada para penjual, dan konsumen dalam menggunakan produk patung garuda sesuai kehendaknya. Persaingan antara pematung garuda di sekitar Banjar Pakudui, Desa
14
Kedisan menyebabkan munculnya varian-varian patung garuda yang dihasilkan. Keberagaman ini mengidentifikasikan bahwa pembuatnya ingin menampilkan identitas sebagai pematung yang pada akhirnya mereka berlombalomba membuat modifikasi patung garuda baru dengan imajinasi dan kreativitas mereka masingmasing untuk menarik minat konsumen sehingga berdampak kepada sosial budaya dan kebutuhan sosial ekonomi. Berkaitan dengan memaknai komodifikasi patung garuda, ternyata makna estetika posmodern diterapkan untuk memperoleh keuntungan individu bagi pemilik modal. Di samping itu, muncul makna menciptakan peluang kerja bagi masyarakat. Kemudian makna profan yang mengarah pada nilai jual produk untuk kebutuhan pasar dan makna kesejahteraan personal yang pada akhirnya mengarah pada pelestarian tradisi untuk identitas budaya. Persamaan antara kajian Pemayun dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Pemayun di atas adalah patung garuda sedangkan penulis menggunakan objek rerajahan.
2.2. Konsep Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun teori. Dalam penelitian ini akan dikemukakan tiga konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep komodifikasi rerajahan, konsep teknologi desain grafis, dan konsep komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis.
15
2.2.1 Komodifikasi Rerajahan Piliang (2006:21) mengatakan bahwa komodifikasi (comodification) adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini menjadi komoditi. Sementara itu Barker (2005: 517) mendefinisikan komodifikasi adalah proses yang diasosiaikan dengan kapitalisme. Objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Marx memberi makna, apa pun yang diproduksi dan untuk diperjualbelikan. Produk dari kerja yang dibuat bukan untuk dipergunakan, tetapi untuk diperjualbelikan. Sebagai komoditas ia tidak hanya penting untuk berguna, tetapi juga berdaya jual (Smith & Evans, 2004:32-33). Komodifikasi tidak lain adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja, dengan penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal dapat menjadi produk yang siap untuk dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakankeabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian “tubuh privat” (Mudana, 2005). Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas tentang barang dan jasa yang diperjualbelikan.
Permasalahan
bagaimana
barang
dan
jasa
tersebut
didistribusikan dan dikonsumsi termasuk juga di dalamnya. Menurut Fairclough (1995: 207) komodifikasi adalah proses. Domaindomain dan institusi-institusi sosial yang perhatiannya tidak hanya memproduksi komoditas dalam pengertian ekonomi yang sempit mengenai barang-barang yang
16
akan dijual, tetapi bagaimana diorganisasikan dan dikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas. Rerajahan yang berasal dari kata “rajah” memiliki makna sebagai sebuah suratan atau gambar yang dipercaya memiliki kekuatan gaib atau magis. Rajah/Rerajahan pada hakekatnya merupakan budaya Hindu Bali, sebagai suatu produk local genius. Hal ini dapat dilihat pada upacara panca yadnya, sarana pengobatan, ilmu penengen dan ilmu pengiwa. Antara rerajahan, tantra dan mantram memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat dan saling mendukung di dalam membangkitkan kekuatan magis sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat bali (Watra, 2008:3). Rajah juga sama dengan tatto, namun dalam konteks yang berbeda. dimana rajah atau rerajahan tidak sembarang gambar atau huruf yang dapat digambarkan. Dalam dunia rerajahan ada pakem atau aturan tersendiri bagaimana dan dimana sesuatu bisa di suratkan/dirajah dan sebagainya. Dalam kehidupan beragama di Bali rerajahan bukanlah hal yang asing lagi, dari manusa yadnya sampai dewa yadnya, rerajahan dipakai oleh para pemangku dan sulinggih. Seperti pada saat upacara bayi 42 hari, pada hal ini rerajahan dituliskan pada pelapah kelapa, seperti melaspas rumah, merajan, pelinggih rerajahan biasanya dipasang didepan rumah yang sering disebut dengan ulapulap. Rerajahan tersebut biasanya dibuat/dipakai dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya: sebagai sarana untuk keselamatan sekala niskala, sebagai alat penangkal hal-hal negatif, sebagai penjaga/pengijeng, sebagai jimat pelindung,
17
kekebalan, dan lainnya sesuai dengan tujuan dan kebutuhan pengguna (Watra, 2008:5). Dalam proses pembuatan rerajahan memerlukan sarana atau media tertentu, dimana media tersebut tergantung dari tujuan dan fungsi rerajahan yang dibuat. Biasanya rerajahan dibuat dengan cara ditulis/digambar tangan pada media kertas, kain biasa/kafan, peripih (emas, tembaga, selaka, kuningan), daun lontar, benda-benda tertentu sesuai tujuannya ; seperti. telebingkah, kertas, tiying empet (bambu tidak berongga), tiying gading (bambu kuning), bata, batu, paras, dan kayu. Rerajahan biasanya dibuat oleh orang-orang tertentu saja, seperti misalnya: sulinggih, pemangku, sangging dan sebagainya, dan juga
biasanya memilih
“dewasa ayu/hari baik” dan persiapan dalam melakukan olah rerajahan, apalagi rerajahan tersebut digunakan untuk “jimat”. Setelah persiapan cukup, masih ada proses lanjutan yaitu "pasupati/pengisian (penyucian)" agar rerajahan dapat memurti atau "hidup" dan bertuah (Watra, 2008:10). Rerajahan yang ada di Bali banyak sekali macam dan ragamnya. Mulai dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai pada bentuk-bentuk yang rumit. Secara umum rerajahan dikelompokkan menjadi 5, yaitu untuk upacara Panca Yadnya, antara lain: 1) Rerajahan dalam Upacara Dewa Yadnya, 2) Rerajahan dalam Upacara Rsi Yadnya, 3) Rerajahan dalam Upacara Manusa Yadnya, 4) Rerajahan dalam Upacara Bhuta Yadnya, dan 5) Rerajahan dalam Upacara Pitra Yadnya (Watra, 2008:15).
18
Secara operasional, komodifikasi rerajahan yang dimaksud adalah menjadikan rerajahan sebagai komoditas yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan kepada konsumen (masyarakat hindu di Bali). Sulinggih atau pedanda selaku produsen memberikan mandat kepada desainer grafis/tukang sablon untuk merancang dan membuat rerajahan yang akan didistribusikan kepada konsumen untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat.
2.2.2 Teknologi Desain Grafis Desain grafis adalah suatu bentuk komunikasi visual yang menggunakan gambar untuk menyampaikan informasi atau pesan seefektif mungkin. Dalam disain grafis, teks juga dianggap gambar karena merupakan hasil abstraksi simbolsimbol yang bisa dibunyikan. disain grafis diterapkan dalam disain komunikasi dan fine art. Seperti jenis disain lainnya, disain grafis dapat merujuk kepada proses pembuatan, metoda merancang, produk yang dihasilkan (rancangan), atau pun disiplin ilmu yang digunakan (Kusrianto, 2007:22). Teknologi disain grafis mencakup kemampuan kognitif dan keterampilan visual, termasuk di dalamnya tipografi, ilustrasi, fotografi, pengolahan gambar, dan tata letak. Ilmu desain grafis belum begitu lama ada, istilah graphic design yang berarti desain grafis pertama kali dikemukakan oleh William Addison Dwiggins pada tahun 1922, sebenarnya sejak zaman prasejarah sudah ada aktivitas manusia untuk membuat seni yang seperti desain grafis, beberapa diantaranya adalah di Gua Lascaux, Kolom Trajan Roma, Manuskrip abad pertengahan, dan Neon Ginza. Dalam sejarah yang panjang dan seiring
19
perkembangan komunikasi visual di abad 20 dan 21, Banyak terjadi kesamaan pada seni periklanan, desain grafis, dan seni rupa (Kusrianto, 2007:40) Selama Dinasti Tang (618-907) antara abad ke-7 dan 9, kayu dipotong sebagai cetakan untuk mencetak pola pada tekstil dan kemudian untuk mencetak teks agama Budha. Sebuah kitab agama Buddha yang dicetak pada tahun 868 adalah buku hasil cetakan pertama di dunia. Sejak abad ke-11, buku yang lebih tebal diproduksi menggunakan pencetakan mekanik, hal ini membuat buku banyak tersedia selama dinasti Song (960-1279). Pada tahun 1450, mesin cetak Johann Gutenberg menjadikan buku tersedia di Eropa. Desain buku Aldus Manutius menjadi dasar desain buku di percetakan Negara-negara barat. Masa ini disebut sebagai Era Humanis atau Era Lama. Pada akhir abad ke 19, di Inggris, muncul pergerakan yang memisahkan desain grafis dari seni rupa. Pada tahun , Henry Cole menjadi salah seorang yang paling berpengaruh dalam pendidikan desain di Inggris, ia meyakinkan pemerintah tentang pentingnya desain dalam sebuah jurnal yang berjudul Journal of Design and Manufactures. Dia menyelenggarakan The Great Exhibition sebagai perayaan atas munculnya teknologi industri modern dan desain bergaya Victoria. Dari tahun 1891 sampai 1896, Percetakan William Morris Kelmscott mempublikasikan buku karya desain grafis yang dibuat oleh gerakan Arts and Crafts , dan membuat buku dengan desain yang lebih bagus dan elegan untuk dijual kepada orang-orang kaya. Morris membuktikan adanya potensi pasar untuk produk-produk desain grafis. Morris juga mempelopori pemisahan desain grafis
20
dari seni rupa. Karya-karya Morris dan karya dari pergerakan Private Press secara langsung mempengaruhi Art Nouveau, dan secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan desain grafis pada awal abad ke 20 (Kusrianto, 2007:34). Kata Desain Grafis pertama kali digunakan pada tahun 1922 di sebuah esai berjudul New Kind of Printing Calls for New Design yang ditulis oleh William Addison Dwiggins, seorang desainer buku Amerika. Raffe's Graphic Design, yang diterbitkan pada tahun 1927, dianggap sebagai buku pertama yang menggunakan istilah Desain Grafis pada judulnya The signage in the London Underground adalah contoh desain klasik pada abad modern yang menggunakan jenis huruf yang dirancang oleh Edward Johnston pada tahun 1916. Pada tahun 1920, Aliran konstuktivisme di Uni Soviet melihat seni yang berorientasi individu tidak ada gunanya bagi Rusia dan membuat sesuatu yang dapat diterapkan di dunia nyata. Mereka mendesain bangunan, perangkat teater, poster, kain, pakaian, perabot, logo, menu, dll. Jan Tschichold merumuskan prinsip-prinsip dasar tipografi modern pada tahun 1928 dalam bukunya yang berjudul New Typography. Tschichold, Bauhaus,Herbert Bayer and Laszlo Moholy-Nagy, and El Lissitzky adalah tipografer yang berpengaruh besar dalam ilmu desain grafis yang kita kenal sekarang ini. Mereka mempelopori teknik produksi yang digunakan sepanjang abad ke 20. Pada tahun-tahun berikutnya desain grafis mendapat banyak pengakuan dan mulai banyak diterapkan. Pasca Perang Dunia II, kebutuhan akan desain grafis meningkat pesat, terutama untuk periklanan dan kemasan produk. Perpindahan
21
Sekolah Bauhaus dari Jerman ke Chicago pada tahun 1937 membawa pengaruh besar pada desain di Amerika. Nama- nama yang terkenal diantaranya Adrian Frutiger (desainer jenis huruf Univers dan Frutiger), Paul Rand(yang dari akhir 1930-an sampai kematiannya pada tahun 1996 menggunakan prinsip Bauhaus dan menerapkannya padaiklan dan desain logo. Perkembangan industi desain grafis tumbuh seiring dengan perkembangan konsumerisme. Hal ini menimbulkan kritik dari berbagai komunitas desain yang tertuang dalam First Things First manifesto yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 dan diterbitkan kembali pada tahun 1999 di majalah Émigré. Konsumerisme terus tumbuh, sehingga terus memacu pertumbuhan ilmu desain grafis. Hal ini menarik para praktisi desain grafis, beberapa diantaranya adalah : Rudy VanderLans, Erik Spiekermann, Ellen Lupton and Rick Poynor. Peralatan yang digunakan oleh desainer grafis adalah ide, akal, mata, tangan, alat gambar tangan, dan komputer. Sebuah konsep atau ide biasanya tidak dianggap sebagai sebuah desain sebelum direalisasikan atau dinyatakan dalam bentuk visual. Pada pertengahan 1980, kedatangan desktop publishing serta pengenalan sejumlah aplikasi perangkat lunak grafis memperkenalkan satu generasi desainer pada manipulasi image dengan komputer dan penciptaan image 3D yang sebelumnya adalah merupakan kerja yang susah payah. Desain grafis dengan komputer memungkinkan perancang untuk melihat hasil dari tata letak atau perubahan tipografi dengan seketika tanpa menggunakan tinta atau pena, atau
22
untuk mensimulasikan efek dari media tradisional tanpa perlu menuntut banyak ruang. Seorang perancang grafis menggunakan sketsa untuk mengeksplorasi ideide yang kompleks secara cepat, dan selanjutnya ia memiliki kebebasan untuk memilih alat untuk menyelesaikannya, dengan tangan atau komputer. Setelah desain/karya selesai di buat, biasanya karya tersebut dicetak dengan memanfaatkan teknologi yang ada, misalnya: digital printing, cetak offset, dan cetak sablon (Tinarbuko, 2008:45). Cetak sablon merupakan proses stensil untuk memindahkan suatu citra ke atas berbagai jenis media atau bahan cetak seperti : kertas, kayu, metal, kaca, kain, plastik, kulit, dan lain-lain. Wujud yang paling sederhana dari stensil terbuat dari bahan kertas atau logam yang dilubangi untuk mereproduksi atau menghasilkan kembali gambar maupun hasil dari suatu rancangan desain. Stensil tersebut selanjutnya merupakan gambaran negatif dari gambar asli atau original dimana detail-detail gambar yang direproduksi memiliki tingkat keterbatasan terutama bila mereproduksi detail-detail yang halus (Nusantara, 2008 : 15) Pada teknik cetak sablon acuan yang berupa stensil dapat juga melalui tahapan fotografi, yang pada umumnya dikenal dengan istilah film hand cut.Film photographi dan emulsi stensil direkatkan ke atas alat penyaring (screen) yang dibentangkan pada sebuah bingkai yang terbuat dari bahan kayu maupun logam yang berfungsi sebagai pemegang bagian dari suatu desain, dan harus mampu menahan bagian yang digunakan selama proses penyablonan berlangsung.
23
Adakalanya para perancang grafis melakukan tahapan desain secara langsung pada permukaan alat penyaring dengan bahan yang disebut “tusche” dan kemudian menutup eseluruhan sablonan dengan lem. Tusche selanjutnya dicuci dengan bahan pelarut agar diperoleh bagian yang dapat mengalirkan tinta pada permukaan alat penyaring (Nusantara, 2008 : 23) Pada awal abad ke 20 proses pelaksanaan cetak sablon mulai menggunakan kain/screen yang terbuat dari bahan sutera yang semula dipergunakan untuk menyaring tepung. Dari sinilah maka istilah cetak sablon dikenal dengan sebutan “silk screen printing” yang digunakan pada tahapan proses cetak. Karena sutera harganya cukup mahal, serta memiliki kekuatan yang kurang baik, serta secara dimensional kurang stabil, maka kemudian diganti dengan bahan yang terbuat dari nilon dan selanjutnya dengan poliester. Sedangkan untuk keperluan cetak, alat-alat atau benda-benda elektronik dipergunakan kain (screen) yang terbuat dari bahan stainless steel/logam. Serat kain dibuat/dianyam/dirajut menurut standar dan diproduksi dengan berbagai ukuran tergantung dari tingkat ketebalan serat benang yang akan menghasilkan tingkat kerapatan anyaman (Nusantara, 2008 : 34)
2.2.3 Komodifikasi Rerajahan Melalui Teknologi Desain Grafis Menurut Pilliang (2003 : 261-263), komodifikasi adalah kecendrungan berdampingnya secara kontradiksi antara nilai-nilai global dan nilai-nilai lokal dalam kehidupan masyarakat posmodernitas. Kecendrungan tersebut terwujud dalam empat ciri utama yaitu; 1) Munculnya budaya komsumerisme sebagai dampak meningkatnya kemakmuran, 2) Semakin terbentuknya kehidupan sosial
24
masyarakat yang diwarnai oleh berbagai ilusi dan fantasi tentang kesempurnaan, 3)
Munculnya
kecendrungan
hidup
“permukaan”
atau
“pendangkalan”
(depthlessness), yakni penggunaan keanekaragaman simbol yang tidak memiliki gaung spiritual dan keagamaan di dalamnya. Yang lebih dipentingkan adalah gaya hidup, status, prestise, citra, dan penampilan. 4) Adanya bentuk kehidupan masyarakat postmodern yang semakin dikuasai oleh hasrat (desire), baik hasrat ekonomi (kekayaan), kekuasaan, kemajuan, gengsi, prestise, status maupun popularitas. Bertolak dari konsep dasar di atas, maka konsep komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai proses perubahan atau transformasi rerajahan sebagai ciptaan manusia masa lalu menjadi barang dagangan atau komoditas, yang sengaja dilakukan oleh manusia masa kini melalui bantuan teknologi desain grafis, baik di dalam merancang rerajahan tersebut, maupun di dalam pencetakannya. Dengan demikian secara konseptual komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis dipahami sebagai proses perubahan di dalam pembuatan rerajahan, baik dari teknik pembuatan, media yang digunakan, durasi waktu yang dibutuhkan, maupun sumber daya manusianya. Rerajahan yang biasanya sering dikomodifikasi menggunakan teknologi desain grafis adalah rerajahan yang digunakan untuk upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya yang menggunakan media kain dan kertas.
25
2.3. Landasan Teori Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Kerlinger (2004:1617) sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis cultural studies. Adapun teori-teori yang digunakan, yaitu (1) teori komodifikasi ; (2) teori semiotika; (3) teori praktik ; dan (4) dekonstruksi. 2.3.1. Teori Komodifikasi Teori komodifikasi gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Karl Marx dan George Simmel (Turner, 1992: 115-132) yang sepakat bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan semangat menciptakan keuntungan yang sebanyakbanyaknya mengakibatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sector kehidupan. Komodifikasi merupakan suatu konsep yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sangat sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan. Permasalahannya juga menyangkut pendistribusian barang-barang tersebut dan barang tersebut dikonsumsi. Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari konsumsi massa, masyarakat komoditas atau masyarakat konsumenlah sebagai penyebabnya.
26
Lebih lanjut menurut Piliang (1999: 245-246) bahwa perkembangan masyarakat postindustri dan kebudayaan postmodern tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalis mutakhir. Dalam pengertian masyarakat posindustri juga masyarakat konsumen, berkenaan dengan masyarakat konsumen, mereka lebih menyenangi hasil produksi pabrik atau massal dibandingkan dengan yang mereka hasilkan sendiri. Menurut Piliang (2003) komodifikasi tidak saja menunjuk pada barangbarang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan
masyarakat
konsumen
mempengaruhi
cara-cara
pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena terjadi perubahan mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang mempengaruhinya yaitu: kekuasaan kapital, produser, dan media massa (Piliang, 1999:246).
27
Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, Rerajahan telah muncul menjadi barang dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemenelemen yang berkepentingan. Di sini Rerajahan tidak lagi dikerjakan oleh orangorang yang berkompeten saja, seperti sebelumnya, tetapi dibuat dan muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang diperdagangkan. Dalam penelitian ini teori komodifikasi diposisisikan sebagai teori dasar dan digunakan sebagai landasan kajian untuk membedah rumusan masalah yang telah ditetapkan dimana rerajahan dapat dikomersialisasikan untuk kepentingan konsumen yaitu masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Tabanan khusunya.
2.3.2. Teori Semiotika Sebelum dipaparkan konsep tentang teori semiotika, perlu disampaikan latar belakang atau sejarah teori semiotika. Teori semiotika pada awalnya diperkenalkan seorang ahli linguistik berkebangsaan Swiss Ferdinand de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 dan meninggal di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur 55 tahun). Saussure adalah linguist Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak linguistik dan semiotika modern (Saussure, 1973: 2-3). Karya utamanya, Cours de linguistique générale diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua orang mantan muridnya, Charles Bally and Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang dimaknai). Dalam
28
semiologi, Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai "suatu sistem tanda yang mewujudkan ide" dapat dibagi menjadi dua unsur yaitu: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran),yakni realisasi individual atas sistem bahasa (Saussure, 1973: 6-7). Dari pandangan Saussure tentang bahasa sebagai sistem tanda yang mewujudkan ide, maka Roland Barthes (Hoed, 2011) kemudian mengembangkan teori semiotiknya dengan dua penekanan utama sebagaimana diungkapkan oleh Saussure yakni (1) konsep hubungan Sintagmatik-Paradigmatik, serta (2) konsep denotasi dan konotasi. Barthes mengembangkan konsep Saussure ini dengan apa yang disebutnya sebagai sintagme dan sistemyang dijadikan dasar dalam menganalisis kebudayaan sebagai tanda (Hoed, 2011: 11). Sintagme merupakan susunan berdasarkan hubungan sintagmatik yakni hubungan atau kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan-aturan tertentu sehingga menghasilkan makna. Sementara sistem, merupakan perbendaharaan tanda, atau keseluruhan urutan sintagme yang ada yang membentuk satu struktur bermaknasecara totalitas (hoed, 2011: 11). Dalam kaitannya dengan analisis budaya sebagai tanda, Barthes secara teknis menggunakan beberapa terminologi semiotiks atau tema-tema konseptual (Sutrisno, 2005: 117-118) sebagai berikut: (1) Langue/parole; tidak hanya dipakai dalam
fenomena
linguistik,
tetapi
juga
dalam
konteks
semiotic,
(2)
signifier/signified; benda atau konsep yang dihadirkan melalui “yang ditandakan” (signified), dan tanda yang menghadirkan (signifier/penanda)sebagai sesuatu yang
29
sangat esensial dalam sistem penandaan (sign system), (3) sintagme/syntagm; merupakan cara bagaimana tanda-tanda disusun, karena setiap bagian tanda mengambil nilai terhadap lawannya, (4) system; merupakan perlawanan yang bisa diganti atau paradigma, dan (5) denotation dan connotation; mengacu kepada tatanan makna kata (orders of signification). Denotation mengacu pada makna kata lugas atau literal (denotasi), sedangkan connotation mengacu pada makna kata secara kiasan (konotasi). Melalui karya Mythologynya (Sutrisno, 2005) Barthes berpendapat bahwa tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos murni (innocent), tetapi tanda-tanda budaya tersebutmemiliki kaitan yang kompleks dengan reproduksi idiologi. Oleh itu, segala fenomena budaya harus diinterpretasikan agar dapat mengetahui lebih dalam tentang idiologi, kebenaran-kebenaran sejati dan bahkan mungkin pemujaan berhala komoditas (commodity fetishism). Semua fakta atau realitas yang ada, perlu dikaitkan dengan studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) melalui penalaran sosiologis tentang bagaimana hubungan antara bentuk-bentuk konkrit dan fungsi tanda-tanda abstrak tersebut bekerja (Sutrisno, 2005: 118-119). Berkaitan dengan kompleksitas tanda budaya dalam mereproduksi idiologi, Barthes dalam Elements of Semology (Pilliang, 2011) menyatakan bahwa tanda dibentuk di dalam tiga dunia yang saling berkaitan satu sama lainnya yakni pertama dunia realitas, dunia tanda dan dunia budaya. Dunia realitas atau dunia alam adalah dunia yang di dalamnya terdapat berbagai fragmen penanda dan petanda potensial yang belum membentuk tanda-
30
tanda. Kedua adalah dunia tanda yakni dunia tanda-tanda dengan segala relasi, struktur dan sistemnya, sebagai bagian dari system bahasa dan komunikasi, dimana potensi-potensi semiotik dari alam ditarnsformasikan ke dalam bentuk tanda-tanda. Ketiga dunia budaya yakni dunia relasi antar manusia yang diperantarai oleh benda, tanda dan makna. Dalam dunia budaya, tanda-tanda digunakan sebagai alat berbagai relasi cultural, dengan mengaitkan tanda-tanda dengan berbagai relasi idiologis. (Pilliang, 2011: 48). Berkaitan dengan penelitian komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan melalui teknologi desain grafis, penulis mencoba menganalisis keberadaannya sebagai suatu realitas tanda yang menghadirkan (mereproduksi) berbagai idiologi baik secara internal maupun eksternal. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa komodifikasi rerajahan Bali merupakan suatu realitas yang sedang dan mungkin akan terus terjadi karena adanya pertemuan (interaksi) budaya global (teknologi) dengan budaya lokal. Realitas rerajahan yang dikaitkan dengan modifikasinya adalah realitas perubahan teknologi yang lebih bersifat modern baik dari segi proses produksi maupun konsumsinya. Berdasarkan pemahaman atau konsep pemikiran tersebut, maka teori ini akan digunakan untuk membedah masalah penelitian yang ke 3 yakni masalah yang berkaitan dengan dampak serta makna dari komodifikasi rerajahan tersebut.
2.3.3. Teori Praktik Tujuan dari Pierre Bourdieu mengemukakan secara singkat tentang teori praktik (practise) dan keterlibatan si subjek dalam proses konstruksi budaya.
31
Teori praktik tersebut menggugat subjektivisme yang meletakkan subjek intelektual pada peran utama pembentukan dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan waktu yang melatarbelakanginya dan objektivisme yang dianggap tidak memperhitungkan peran dan posisi subjek intelektual sosial dalam pembentukan struktur dan praktik sosial. Dalam rumusannya tentang teori praktik tersebut Bourdieu menyatakan bahwa praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior, atau dinamika dialketis antara internalisasi yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial. Apabila interior itu adalah pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya dibentuk oleh habitus, maka eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar diri pelaku sosial, yaitu arena. Dengan demikian, praktik sosial dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku social dan stuktur sosial, produk interaksi dialektis antara habitus dan struktur (Rusdiati, 2003:3334). Bourdieu dalam teori praktiknya menunjukkan bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan relasi sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang
32
ada dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dengan realitas hidup. Melalui skemaskema tersebut individu mempersepsi, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial. Itulah sebabnya habitus dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural. Menurut Fashri (2007: 83) habitus adalah kebiasaan-kebiasaan, merupakan hasil pembelajaran secara halus, takdisadari dan tampil sebagai hal yang wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberi oleh alam, atau ’sudah dari sananya’. Menurut Fashri (2007: 96) dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki modal, sehingga di sini modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisiposisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Bourdieu menggunakan ranah sebagai metafora untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Modal adalah suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus untuk dapat secara baik dan bertahan di dalamnya (Takwin, T.Th.:xx). Menurut Bourdieu (Fashri, 2007-98-99) modal dapat digolongkan menjadi empat. Pertama, modal ekonomi adalah mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
33
Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda/kode budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Keempat, modal simbolik adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi. Hubungan habitus, ranah, dan modal bertautan secara langsung dan bertujuan menerangkan praktik sosial. Berdasar atas ketiga konsep tersebut, Bourdieu menyususn teorinya ke dalam rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Fashri, 2007: 100). Teori praktik dari Bourdieu seperti dipaparkan di atas menjelaskan bahwa terjadinya praktik komodifikasi rerajahan tidak lepas dari faktor habitus, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang terjadi sudah sejak lama yang merupakan hasil pembelajaran secara halus, melaksanakan upacara berdasarkan ajaran acara, susila, dan tattwa agama Hindu. Teknologi desain grafis (cetak sablon) dan penguasaan komputer grafis merupakan faktor munculnya komodifikasi rerajahan. Di dalam ranah ada perkembangan modernitas sosial, karena beberapa orang menjatuhkan pilihan untuk menggunakan rerajahan hasil komodifikasi dalam berbagai kegiatan upacara keagamaan. Jadi komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan terjadi
34
karena faktor habitus, modal, dan adanya ranah yang dihadapi oleh sebagian warga masyarakat Hindu setempat. Teori praktik digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi rerajahan.
2.3.4. Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah kata yang terbentuk dari kata : ”de” dan ”constructio” (bahasa Latin). Prefik “de” berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas/melepaskan dari. Sementara kata benda constructio berasal dari kata kerja dasar : co dan structure. "Co" berarti bersama dengan, menyertai, atau bekerjasama dengan. Struere artinya membentuk, menyusun, mengatur dan membangun. Jadi construere artinya : membentuk, menyusun, mengatur dan membangun sesuatu secara bersama-sama dan seterusnya. Dari kata kerja ini terbentuklah constructum, constructio yang berarti : bentuk, susunan, bangunan, hal menyusun, hal mengatur dan membangun sesuatu secara bersama-sama. Dekonstruksi
lalu
diartikan
sebagai
pembongkaran,
perlucutan,
penghancuran atau penolakan terhadap struktur, susunan serta bangunan. Dalam hubungan dengan akar kata di atas, dekonstruksi diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas konstruksi itu (Ratna, 2007 : 244). Jadi, dekonstruksi mengandung arti mengurangi, rnelepaskan, membongkar suatu bagian atau keseluruhan dari suatu susunan, bangunan, dan struktur yang telah dibangun bersama sehingga intensitasnya berkurang, menyusut, dan sebagainya. Menurut Hoed (2008: 14-15) proses dekonstruksi memahami tanda tidak sesederhana menemukan makna. Suatu hal yang dimaknai adalah suatu proses
35
dengan cara membongkar (to dismantle) dan menganalisis secara kritis (critical analysis) tidak bersifat tetap melainkan dalam kenyataannya dapat bersifat ’ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang lain atau baru. Apa yang terjadi dalam proses differance penundaan ini, untuk menemukan makna lain atau makna baru itulah proses dekonstruksi. Struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang objektif dan bukan sesuatu yang subjektif. Tanda yang terdiri atas penanda dan petanda adalah suatu struktur yang dinamis, yang berkehidupan sendiri. Makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda menurut setiap individu. Oleh
Jaques
Derrida
(Barker,
2005:79)
mendekonstruksi
berarti
memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi dari suatu teks. Dekonstruksi melibatkan perlucutan/pembongkaran, terhadap oposisi biner hirarkis seperti tuturan/tulisan, realitas/kenampakan, alam/kebudayaan, nalar/kegilaan, dan lain-lain yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mengevaluasi bagian "inferior" oposisi biner tersebut. Derrida sebagai seorang pemikir posmodern sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran irasional Nietzhe dan Heidgger. Teori dekonstruksi Derrida bermain bebas dalam pertandaan dan menghancurkan tapal-tapal disiplin yang ketat. Teori dekonstruksi, sistem kerjanya bersifat subversif, merusak dan terkesan tidak bertanggung jawab yang secara ideologis lebih dekat dengan anarkisme, menghancurkan segala sesuatu yang dibangun oleh sejarah dan peradaban (Piliang, 2006: 221-222).
36
Selanjutnya, Ratna (2007:246-247) menyebut teori dekonstruksi sebagai teori yang radikal dan revolusioner. Lubis (2004:103) menyebut Derrida sebagai posmodernis garis keras (strong postmodernist). Dekonstruksi (deconstruction) menurut Piliang (2004 : 16), adalah suatu teori atau metode analisis yang dikembangkan oleh Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi biner sedemikian rupa sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Di sini dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks akibat adanya oposisi biner, berupa asumsi, ideologi, yang tidak disadari dan menjadi landasan kerja mereka. Jadi dekonstruksi yang dikembangkan Derrida adalah penyangkalan terhadap oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tidak ada, murni atau tercemar, dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penganut aliran dekonstruksi berpendapat ketika membaca penanda (signifier) agar menjadi petanda (signified), maka penafsiran harus ditunda agar mendapat makna yang berbeda (differance) dari petanda yang sudah menjadi mitos. Oleh karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi yakni penanda, petanda, dan penafsiran (interpretasi), maka hal ini dikatakan bersifat trikotomis. Pemaknaan terhadap komodifikasi rerajahan di Bali dilakukan melalui asas-asas yang dikembangkan Barthes (2007:xiii) yakni dengan membuka kemungkinan untuk membaca peringkat-peringkat penandaan yang real dan yang hipotesis, baik yang muncul di permukaan maupun yang ada di balik tanda, berupa
petanda
yang
mencerminkan
makna
yang
sebenarnya.
Makna
37
komodifikasi rerajahan dicermati dari adanya nilai-nilai modernitas oleh masyarakat Hindu di Bali serta pengaruh kapitalisme global terhadap dorongan prilaku yang mengabaikan filosofi religius. Menurut Lacan (2005:30) pencitraan diri seseorang sangat dipengaruhi oleh hasrat diri yang bersangkutan yang meliputi hasrat narsisistik, yakni seseorang berhasrat untuk menjadi objek kekaguman, idealisasi atau pengakuan; hasrat narsisistik aktif, yakni seseorang berhasrat sebagai bentuk pemujaan terhadap cinta, hasrat anaklitik aktif yakni seseorang ingin selalu mendapatkan kepuasan dari apa pun yang dilakukan; dan hasrat anaklitik pasif, yakni seseorang ingin menjadi objek dari sumber kepuasan. Dalam kaitannya dengan tema penelitian ini dapat disebutkan bahwa komodifikasi rerajahan telah dilakukan oleh pelaku desain grafis (cetak sablon) dengan tujuan meringankan beban pelaku upacara, tetapi di balik itu, tidak lepas bahwa prilaku itu dilakukan juga demi kepentingan kelompok tertentu. Teori dekonstruksi digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap dampak dan makna komodifikasi rerajahan. Berkenaan dengan itu teori dekonstruksi digunakan adalah untuk melihat, mengkritisi, membongkar, dan menafsirkan
kembali
berbagai
hal
yang
berhubungan
dengan
praktek
komodifikasi rerajahan Bali. Berbagai wacana dan konsep yang muncul berhubungan dengan rerajahan dicoba untuk dibongkar dan dimaknai sesuai dengan tempat, ruang, waktu, dan orang yang memakainya.
38
2.4
Model Penelitian Model penelitian komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di
Kecamatan Tabanan -
Bali dapat digambarkan dalam skema atau model
penelitian sebagai berikut :
Tradisi Agama Hindu & Kebudayaan Bali
Globalisasi
Rerajahan -
- Ekonomi - Teknologi - Selera konsumen
Ritual Agama Tradisi
Komodifikasi Rerajahan Bali
Bentuk komodifikasi
Faktor-Faktor penyebab komodifikasi Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan : : Hubungan langsung satu arah : Hubungan langsung dua arah
Dampak dan makna komodifikasi
39
Penjelasan Model Dalam melaksanakan ajaran agama Hindu secara tradisi dalam kebudayaan Bali, masyarakat di Bali hidup secara bersama-sama atau komunal.
Dalam
kehidupan tersebut mereka melaksanakan upacara agama sebagai wujud bakti baik kepada Dewa, Pitra, Manusia, Resi, dan Butha. Akibat globalisasi yang muncul akhir abad kedua puluh menyebabkan perubahan pola hidup pada masyarakat Bali, dimana masyarakat sudah hidup lebih mementingkan diri sendiri atau individualitas, masyarakat sudah diperbudak materi, hidup yang serba praktis dan efisien, munculnya teknologi dan budaya pencitraan serta gaya hidup dalam budaya konsumen. Semua itu memunculkan komodifikasi yaitu komodifikasi sarana upacara (rerajahan). Fenomena di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan?” (2) Faktor-faktor
apa saja yang
mempengaruhi komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan?” (3) Bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan ?”. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung untuk menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan relasinya dengan komodifiksi rerajahan sehingga dengan metode dan metodelogi yang jelas dalam domain kajian budaya. Dalam era globalisasi ini untuk penggunaan sarana/prasarana
40
upacara hendaknya disertai dengan peningkatan pemahaman akan makna rerajahan didalam melakukan suatu upacara/yadnya.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian Penelitian komodifikasi rerajahan dalam konteks penggunaan teknologi desain grafis merupakan penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan kajian budaya (cultural studies). Kajian budaya (Lubis, 2006 : 145-152) menaruh perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang muncul dari informasi media massa. Selain itu, cultural studies juga mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Dengan demikian, cultural studies adalah kajian yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Lubis (2006, 145-146) menguraikan beberapa karakteristik cultural studies yaitu (1) cultural studies bertujuan mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya
yang
berkaitan
dengan
kekuasaan,
(2)
cultural
studies
tidak
membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik, akan tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik, (3) dalam cultural studies budaya dikaji dari aspek objek dalam tradisi kritis, (4) cultural studies berupaya mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional, serta berupaya mendamaikan pengetahuan yang obyektif, dan (5) cultural studies melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan demikian, cultural studies tidak hanya bertujuan memahami realitas masyarakat atau budaya, tetapi merubah
41
42
struktur dominasi, struktur sosial budaya yang menindas, khususnya dalam masyarakat kapitalis industrial (Sardar & Van Loon, 1997 : 9). Cultural
studies
mencoba
mendekonstruksi
pandangan
lama
dan
mengangkat budaya yang terpinggirkan itu pada tingkat yang wajar. Bertitik tolak dari penjelasan tersebut dan mengingat budaya populer merupakan narasi kajian budaya, maka teori komodifikasi, teori hegemoni, teori praktik, dan teori dekonstruksi digunakan untuk menganalisis data. Penggunaan teori tersebut dipandang relevan untuk memahami komodifikasi rerajahan dengan fenomena yang sangat kompleks. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kajian budaya (cultural studies), maka penelitian ini mengintegrasikan disiplin-disiplin lain. Hal ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya, seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial. Di samping itu, kajian ini bersifat multidisiplinner dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya, seperti teknologi, politik historis, sosial budaya, lingkungan, arkeologi, dan sebagainya. Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri dominan penelitian kualitatif menurut Bungin (2007 : 62-64) adalah (1) sumber datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan pada makna proses daripada hasil, (4) analisis datanya bersifat induktif, dan (5) makna merupakan perhatian utama
43
dalam pendekatan penelitian. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain. Kajian budaya menggunakan metode yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah sosial dan kehidupan sehari-hari. Ciri kualitatif sesungguhnya sudah terlihat dalam setiap penelitian kajian budaya, karena penelitian kualitatif merupakan paradigma penelitian yang berkepentingan dengan makna dan penafsiran.
3.2. Lokasi Penelitian Ada beberapa alasan pemilihan Kecamatan Tabanan sebagai tempat penelitian ini didasarkan pada pertimbangan : (1) Di Kecamatan Tabanan banyak terjadi komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis (aspek produksi), (2) Rerajahan hasil komodifikasi banyak dijual di Kecamatan Tabanan (aspek konsumsi), (3) Di Kecamatan Tabanan banyak sulinggih yang memberikan sisyanya rerajahan hasil komodifikasi (aspek distribusi), dan (4) Aksesibilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik dan tidak terlalu jauh dengan tempat peneliti, sehingga efektif dalam melakukan penelitian serta efisien sesuai dengan ketersediaan dana dan alokasi waktu penelitian.
3.3.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan
data kuantitatif (yang sifatnya menunjang data kualitatif). Data kualitatif adalah data dalam bentuk uraian kata-kata, kalimat atau narasi, dan ungkapan yang
44
berkaitan dengan keberadaan komodifikasi rerajahan dalam konteks era globalisasi. Data kuantitatif sebagai data penunjang terutama yang terkait dengan jumlah dan informasi yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka, seperti jumlah penduduk, jumlah kunjungan wisata, dan lain-lain. Data kualitatif penulis peroleh dari hasil observasi lapangan, dan rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka. Sementara data kuantitatif diperoleh melalui dokumen-dokumen, buku, majalah, jurnal, dan transkrip lainnya. Sementara itu, sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah obyek yang diobservasi langsung di lapangan dan para informan yang diwawancarai. Dengan kata lain, data primer adalah data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian, melalui proses wawancara dengan para informan, seperti tokoh adat dan agama, aparat pemerintah, pemuka masyarakat, masyarakat pemanfaat pura, pedagang, perajin, pelaku pariwisata, pecalang, dan lain-lain. Data ini juga dilengkapi dengan data foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data primer. Sumber data sekunder adalah berupa dokumen atau sumber-sumber tertulis pada umumnya, seperti monografi desa, statistik penduduk, brosur/iklan. Data sekunder diperoleh dari sejumlah tempat, kantor dan lembaga. Data sekunder ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.
45
3.4. Teknik Penentuan Informan Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang data yang diperlukan. Dalam penentuan informan teknik yang digunakan adalah purposif, yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti (Endraswara, 2006:115). Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan penentuan informan kunci. Apabila informan ini memahami benar masalah yang akan dikaji dan dapat memberikan informasi data yang dibutuhkan, maka dapat saja peneliti menetapkannya sebagai informan kunci. Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001 : 91). Berdasarkan uraian di atas, informan kunci yang dipilih peneliti adalah seorang desainer grafis dan tukang sablon yang sering menerima order pembuatan rerajahan dari para sulinggih/pemangku di wilayah Kecamatan Tabanan. Selanjutnya dari keterangan yang diberikan informan kunci, peneliti kemudian menginventarisasi informan-informan lain (teknik snow ball) yang dapat memberikan keterangan terhadap masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Apabila data yang telah diperoleh sudah dianggap cukup dan telah memenuhi tujuan yang diinginkan, maka pengumpulan data dihentikan. Dengan kata lain, pencarian informan akan dihentikan ketika data yang diperlukan dianggap telah cukup sesuai dengan kebutuhan.
46
3.5. Instrumen Penelitian Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan sebagai instrumen utama dalam penelitian. Hal ini terkait dengan penggunaan cara pengamatan dan pengamatan terlibat dalam penelitian. Sementara itu, untuk teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih spesifik. Demikian pula untuk melakukan perekaman dengan mencatat segala kejadian yang ada sekaligus, baik melalui alat perekam maupun catatan-catatan singkat. Instrumen ini disiapkan untuk kepentingan menggali informasi dari informan. Posisi peneliti, menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan peristiwa, dan berusaha menjalani hubungan yang wajar, penuh keakraban dengan informan.
3.6. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini dikumpulkan melalui tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan studi dokumen.
3.6.1. Observasi Observasi adalah cara memperoleh data melalui pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah. Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatanpencatatan
47
rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam observasi adalah membuat dokumentasi berupa foto. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang dapat dijadikan data penelitian ini.
3.6.2. Wawancara Wawancara adalah sebuah percakapan dengan tujuan-tujuan tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Adapun maksud mengadakan wawancara adalah
mengkonstruksi
mengenai
orang, kejadian,
organisasi,
motivasi,
kepedulian, memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti (Moleong, 1999 : 86). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan penelitian lapangan, wawancara mutlak dilakukan untuk menjaring data melalui para informan. Adapun jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu teknik wawancara berdasarkan daftar pertanyaan berupa pedoman wawancara yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya (Koentjaraningrat, 1983 : 174-175).
48
Kepada para informan yang diwawancarai diajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan. Informan diberikan keleluasaan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan tujuan agar peneliti secara langsung dapat mengetahui situasi dan kondisi hal-hal yang diteliti, sehingga lebih mudah melakukan analisis dan menyimpulkannya. Untuk memperoleh data yang memadai digunakan teknik wawancara pembicaraan informal, yaitu hubungan antara peneliti dan para informan disituasikan sedapat mungkin berada dalam suasana santai, bersahabat, akrab, seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Catatan-catatan dan pertanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman wawancara sesuai dengan situasi selama melakukan wawancara menuju pada kedalaman percakapan. Titik berat perhatian diusahakan pada pandangan emik, yaitu peneliti menaruh perhatian penuh pada masalah penelitian melalui keterangan data yang diberikan informan sebagai pemilik budaya, sebaliknya tidak berdasarkan pandangan etik, yaitu dari pandangan dan pemahaman peneliti.
3.6.3. Studi Dokumen Di samping wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan studi dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang sukar ditangkap dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan komodifikasi rerajahan. Dokumen yang
49
digunakan adalah buku-buku, laporan penelitian, foto, kliping media massa, majalah, dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data sekunder yang relevan dengan permasalahan penelitian.
3.7. Teknik Analisis Data Sebelum dilakukan analisis, semua data yang telah terkumpul, baik data primer maupun data sekunder diidentifikasi dan diklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Selanjutnya data diklasifikasi, dianalisis dengan mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Analisis seperti ini merupakan bagian dari prosedur penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada upaya memahami makna atau menafsirkan realitas empirik dari obyek penelitian (Singarimbun, 1995 : 143). Proses analisis kualitatif meliputi tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah merangkai dan menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penyederhanaan informasi yang kompleks, selektif, dan mudah difahami. Penyajian data menggunakan bentuk teks naratif yang dilengkapi dengan jaringan kerja, sehingga semua informasi yang disusun mudah dilihat dan dimengerti. Menarik simpulan adalah suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau
50
tinjauan ulang terhadap catatan-catatan di lapangan, yakni dengan maksud menguji kebenaran, kecocokan, dan validitas makna-makna yang muncul di lokasi penelitian (Sudikan, 2001 : 99).
3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil penelitian dalam wujud tulisan secara urut dan integral. Dalam konteks ini penyajian hasil penelitian dilakukan secara informal, yaitu penyajian hasil penelitian dilakukan menggunakan deskripsi kata-kata dengan bahasa ragam ilmiah ditunjang dengan teknik penyajian formal berupa tabel, bagan, dan gambar atau foto. Penyajian dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena real budaya masyarakat yang diteliti. Bentuk penyajian hasil penelitian baik formal maupun informal tersebut selanjutnya akan dituangkan dalam 5 bab dengan 3 bagian utama yakni bagian awal, tengah dan penutup. Bagian awal dari penyajian hasil penelitian berisikan gambaran umum lokasi penelitian dengan segala aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian, yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam bab 4. Bagian tengah penyajian hasil penelitian akan dituangkan ke dalam bab-bab analisis data sesuai dengan pengelompokan rumusan masalah yang selanjutnya akan disajikan dalam bab 5, 6 dan bab 7. Sementara bab penutup dari tesis ini akan memuat simpulan dan saran.Bagian penutup dari penyajian hasil penelitian secara keseluruhan akan dituangkan ke dalam bab tersendiri sebagai bab penutup yang berisikan simpulan dan saran.
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
4.1 Kecamatan Tabanan 4.1.1
Sejarah Kecamatan Tabanan Pada awalnya semua kerajaan di Bali bernaung di bawah dinasti Gelgel
yang memegang tampuk kekuasaan. Selain Gelgel, Kerajaan Tabanan merupakan pemegang kekuasaan kedua di Bali. Dimana Arya Damar (Arya Kenceng) berperan sebagai menteri utama dalam struktur Raja Bali, memiliki kewenangan untuk mengatur tinggi rendah derajat kebangsawanan (catur jadma), menjatuhkan hukuman atau denda yang berat dan ringan. Selain itu Arya Kenceng juga berhak untuk mengatur seluruh para arya, sedangkan para arya itu dilarang membantah Arya Kenceng (Babad Arya Tabanan, terjemahan Ida I Dewa Gde Catra). Kewenangan ini diberikan karena kesetiaan Arya Kenceng terhadap Dalem Sri Kepakisan. Kerajaan Tabanan merupakan salah satu kerajaan yang menyatakan diri berdaulat penuh yang berada di daerah Bali selatan dan yang masih merdeka sampai tahun 1906. Bahkan Geertz mengatakan bahwa Kerajaan Tabanan pada masa prakolonial adalah salah satu kerajaan di Bali yang paling maju, dimana kekuatannya dapat dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan tidak pernah dijajah. Awal kehancuran Kerajaan Tabanan dimulai pada tahun 1903 dimana pada saat itu Belanda melarang diadakannya mesatia pada saat palebon Arya Ngurah Tabanan. Pemerintah Belanda telah mengirimkan peringatan dimana akan 51
52
menyerang Kerajaan Tabanan apabila mesatia tetap dilaksanakan. Kenyataannya, mesatia tetap dilaksanakan dan Belanda tidak menyerang Kerajaan Tabanan pada saat itu karena Tabanan punya hubungan baik dengan Kerajaan Badung. Hal ini dikarenakan ada ketakutan dari pihak Belanda pada saat itu, apabila menyerang Kerajaan Tabanan maka Kerajaan Badung akan ikut campur membantu Kerajaan Tabanan. Sedangkan pada saat itu Belanda masih sibuk dengan pertempuranpertempuran lain. Setelah Kerajaan Badung runtuh tahun 1906, maka tinggal menunggu waktu saja bagi Kerajaan Tabanan. Alasan Belanda ialah karena Kerajaan Tabanan membantu Kerajaan Badung pada saat perang melawan Belanda. Setelah wilayah Kerajaan Tabanan seluruhnya jatuh ke tangan pemerintah Belanda, struktur pemerintahan kolonial Belanda di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, dalam melaksanakan pemerintahan di daerahdaerah. Hal ini dikarenakan untuk mencegah perlawanan penduduk yang tentunya lebih segan kepada rajanya daripada pemerintah Belanda. Karena itulah, kemudian belanda memutuskan untuk memulangkan keluarga Puri Gede (Puri Agung) ke Tabanan dan mengembalikan status raja kepada Puri Gede. Akan tetapi, kedudukan raja adalah merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Dalam bidang pertanggung jawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan raja-rajanya bertanggung jawab kepada asisten residen yang berkedudukan di Denpasar.
53
Dalam struktur pemerintahan tradisional raja membawahi seorang patih dan secara hierarki dibawahnya adalah punggawa, perbekel dan yang paling bawah adalah klian. Controleur sebagai pegawai pemerintah Belanda hanaya dibantu oleh seorang juru tulis atau (schryver). Hal ini masih tetap dipertahankan sampai era penjajahan Belanda dan Jepang, hanya berganti istilah saja (sumber : dok. Kantor Camat Tabanan) . Dalam jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, beliau memerintah berdasarkan Staadblaad 1938 nomor 539 merupakan salah satu dari delapan kerajaan yang diakui sebagai landschap (daerah swapraja) oleh pemerintah Hindia Belanda. Bersama-sama Badung, setelah di abhiseka Beliau bergelar Cokorda Tabanan yang sering juga disebut dengan Ida Tuanku Cokorda Sebagai pimpinan swapraja diberikan wewenang mengurus rumah tangga sendiri (otonom) yang terbatas. Di samping berkewajiban menjalankan tugastugas untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Bersama raja-raja lainnya di Bali tergabung dalam Paruman Agung yang bertugas membuat peraturan bersama bagi kedelapan kerajaan di Bali. Pada saat raja terakhir (I Gusti Ngurah Gede) yang diangkat Belanda meninggal, terjadi kekosongan kekuasaan yang sangat lama di Tabanan. Hal ini dikarenakan putra raja merasa belum siap menjadi Cokorda. Hal ini berlangsung bertahun-tahun sampai kemudian diadakannya paruman agung. Berdasarkan peraturan nomor : 1 tahun 1947 yang dibuat oleh Paruman Agung dalam sidangnya tanggal 26 Februari 1947 dengan nama Undang-undang Pembentukan Gabungan Kerajaan di Bali. Undang-undang tersebut mengatur bahwa kerajaan
54
membentuk Paruman Negara yang bertugas membantu raja di Bali melaksanakan pemerintahan. Menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka tanggal 17 Agustus 1950 Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan Undang-undang nomor : 44/1950 pada 15 Juni 1950 dalam rangka perubahan ketatanegaraan di Indonesia Timur. Setelah adanya NKRI, pimpinan daerah tidak lagi seorang raja, melainkan dijabat oleh pejabat publik dengan sistem pemilihan langsung dari pusat. Demikian pula dengan sistem pemerintahan yang ada di Tabanan tidak lagi dijabat oleh seorang raja, melainkan dijabat oleh seorang bupati. Karena daerahnya sangat luas, maka pada tahun itu pula pemerintahan di Tabanan dibagi lagi menjadi beberapa kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat untuk membantu atau mendudukung kegiatan pemerintahannya, dimana salah satunya adalah Kecamatan Tabanan (sumber : Arsip Kantor Camat Tabanan).
4.1.2
Letak Geografis dan Batas Wilayah Kecamatan Tabanan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tabanan,
Bali, Indonesia. Secara administratif Kecamatan Tabanan berbatasan dengan: di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Penebel, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Kediri, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Kerambitan dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Wilayah Kecamatan Tabanan memiliki ketinggian berkisar antara 500 sampai 700 meter di
55
atas permukaan laut, dengan pembagian wilayah sebagaian besar berupa daratan dan 5 Desa
(Dauh Peken, Delod Peken, Dajan Peken, Subamia dan Denbantas)
merupakan daerah penyangga perkotaan serta 6 Desa lainnya (Gubug, Bongan, Tunjuk, Buahan, Wanasari dan Sesandan) merupakan wilayah pedesaan dan 1 desa lainnya yakni desa Sudimara merupakan daerah pesisir.
Gambar. 4.1 Peta Kecamatan Tabanan (Dok. : BPS Kabupaten Tabanan 2013)
4.1.3
Penduduk dan Angka Demografis Kecamatan Tabanan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Tabanan yang merupakan pusat kota dan pusat pemerintahan Kabupaten Tabanan dengan luas wilayah 51,40 Km2 terletak di dataran rendah membentang dari utara ke selatan. Wilayah Kecamatan Tabanan memiliki ketinggian berkisar antara 500 sampai 700 m di atas permukaan laut.
56
Kecamatan Tabanan mempunyai 12 Desa, 82 Banjar Dinas dan 13 Desa Pakraman dengan jumlah penduduk 72.452 jiwa, dengan rincian laki-laki 36.214 jiwa dan perempuan sebanyak 36.238 jiwa (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kec. Tabanan Berdasarkan Jenis Kelamin Penduduk No
Desa
Jumlah Laki
Perempuan
1
Sudimara
3.203
3.116
6.319
2
Bongan
3.373
3.443
6.816
3
Gubug
2.751
2.703
5.418
4
Dauh Peken
6.426
6.305
12.731
5
Delod Peken
5.934
5.959
11.893
6
Dajan Peken
5.081
5.081
10.162
7
Subamia
1.103
1.118
2.221
8
Denbantas
2.823
2.839
5.662
9
Buahan
1.208
1.235
2.443
10
Tunjuk
2.161
2.180
4.341
11
Wanasari
1.173
1.190
2.363
12
Sesandan
1.014
1.069
2.083
36.214
36.238
72.452
Total
(Sumber : BPS Kab. Tabanan 2013)
4.1.4
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan Salah satu organisasi kemasyarakatan yang ada di Kecamatan Tabanan
disebut dengan “banjar”. Organisasi ini seperti sistem RT/RW pada masyarakat modern Indonesia. Menurut bidang geraknya banjar dapat dibagai 2 bagian, yaitu: banjar dinas, ketuanya disebut kelian dinas, fungsinya lebih ke urusan administrasi, seperti membuat KTP, kartu keluarga dan sebagainya. Banjar adat,
57
ketuanya disebut kelian adat. Urusan sosial seperti saat ada kematian, upacara perkawinan anggota banjar serta upacara-upacara keagamaan diatur disini. Kelian adat dan kelian dinas suatu banjar tidak selalu orang yang sama. Namun, walaupun misalnya punya dua orang kelian, dalam setiap sangkep (musyawarah, pertemuan) apapun, kedua kelian ini biasanya diwajibkan hadir. Organisasi kemasyarakatan yang lain yang ada di Kecamatan Tabanan yaitu “subak”. Awalnya subak itu merupakan organisasi yang hanya mengatur masalah-masalah di sawah (sebelum Belanda datang menjajah negeri ini) berhubung masyarakat Bali saat itu sebagian besar mata pencahariannya bertani. Dalam subak ini diatur masalah pengairan, sehingga tidak ada masalah rebutan sumber air. Juga masalah lain yang berkaitan dengan pertanian seperti misalnya penanggulangan hama, pengadaan upacara di pura subak, membantu anggota yang sawahnya panen dan sebagainya. Dengan berkembangnya jaman, subak juga mulai berubah, tepatnya bertambah fungsi. Kalau dulu hanya untuk kepentingan di sawah, namun sekarang subak juga mengurus masalah administrasi dari pemerintahan (Pemerintah Negara Republik Indonesia).
4.1.5
Struktur Pemerintahan Struktur pemerintahan di Kecamatan Tabanan sama dengan struktur
kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Tabanan, yaitu dikepalai oleh seorang camat yang dibantu oleh seorang sekretaris dan memiliki beberapa seksiseksi (Gambar. 4.2).
58
CAMAT SEKRETARIAT
BAG UMUM
SUB BAG
KEPEGAWAIAN
SEKSI
SEKSI
SEKSI
SEKSI
SEKSI
PEMERINTAHAN
KETENTRAMAN
PEMBERDAYAAN
KESEJAHTERAAN
PELAYANAN
Gambar 4.2 Struktur Pemerintahan Kecamatan Tabanan (Dok. : Arsip Kantor Camat Tabanan 2013)
4.1.6
Mata Pencaharian Penduduk Sebagaian besar sumber mata pencaharian penduduk di Kecamatan
Tabanan adalah dalam sektor pertanian sejumlah 12.880 orang, hal ini sesuai pula dengan peruntukan lahan terbesar di Kecamatan Tabanan yang merupakan lahan persawahan yakni sebesar 1.983 Ha dengan capaian hasil produksi padi pada tahun 2013 sebesar 25.526 ton. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian di Kecamatan Tabanan masih bercorak agraris yang dibuktikan dengan penggunaan lahan sawah secara optimal oleh masyarakat. Dengan mengetahui potensi ekonomi yang ada di wilayah kecamatan Tabanan, maka strategi pembangunan apa yang dapat dilaksanakan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan adalah optimalisasi pertanian yang berkesinambungan.
59
Disamping hal tersebut, mata pencaharian penduduk juga bergerak dibidang industri, dagang, buruh dan jasa. Dibidang industri, ada sekitar 892 tempat industri di Kecamatan Tabanan baik yang berskala besar sampai industri kerajinan rumah tangga (Tabel 4.2). Tabel 4.2 Jumlah Perusahaan Industri di Kec. Tabanan Kategori Industri No
Desa Besar
Sedang
Kecil
Kerajinan Rumah Tangga
1
Sudimara
-
1
8
103
2
Bongan
-
2
4
32
3
Gubug
2
1
8
155
4
Dauh Peken
1
4
32
147
5
Delod Peken
1
1
10
170
6
Dajan Peken
-
1
18
97
7
Subamia
-
-
3
21
8
Denbantas
-
-
5
38
9
Buahan
-
-
2
14
10
Tunjuk
-
-
4
69
11
Wanasari
-
-
3
27
12
Sesandan
-
-
1
19
Total
4
10
98
892
(Sumber : BPS Kab. Tabanan 2013)
Berkaitan dengan penelitian, keberadaan perusahaan industri sablon (desain grafis) di Kecamatan Tabanan tergolong industri kecil. Menurut Samsul (2006:84), industri kecil adalah kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
60
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, industri sablon yang ada di Kecamatan Tabanan, memang semuanya merupakan milik perorangan. Jumlah industri sablon di Kecamatan Tabanan sebanyak kurang lebih 26 usaha (Tabel 4.3)
Tabel 4.3 Jumlah Perusahaan Sablon di Kec. Tabanan
Industri Sablon (Desain Grafis) No
Desa Memproduksi Rerajahan
Tidak Memproduksi
Jumlah
1
Sudimara
1
1
2
2
Bongan
-
2
2
3
Gubug
1
1
2
4
Dauh Peken
1
2
3
5
Delod Peken
2
1
3
6
Dajan Peken
1
2
3
7
Subamia
-
1
1
8
Denbantas
1
2
3
9
Buahan
1
1
2
10
Tunjuk
1
1
2
11
Wanasari
-
2
2
12
Sesandan
-
1
1
Total
9
17
26
(Sumber : I Nyoman Sukaresi, wawancara 12 Mei 2014)
61
Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa tidak semua industri sablon yang ada di Kecamatan Tabanan tersebut memproduksi rerajahan. Menurut informan, hal ini disebabkan karena tidak semua tukang sablon menguasai pengetahuan tentang rerajahan. Sedangkan di bidang perdagangan, terutama yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu ada sekitar 28 kios/toko yang menjual sarana atau perlengkapan upacara umat Hindu, dengan rincian seperti pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Jumlah Kios/toko Sarana Upacara Umat Hindu
Kios/Toko Sarana Upacara Umat Hindu No
Desa Memnjual Rerajahan
Tidak Menjual
Jumlah
1
Sudimara
1
-
1
2
Bongan
2
1
3
3
Gubug
1
1
2
4
Dauh Peken
3
1
4
5
Delod Peken
4
1
5
6
Dajan Peken
3
-
3
7
Subamia
-
1
1
8
Denbantas
1
1
2
9
Buahan
-
1
1
10
Tunjuk
1
1
2
11
Wanasari
2
-
2
12
Sesandan
-
1
1
18
9
28
Total
(Sumber : Nyoman Sukaresi dan Nengah Sutariasih, wawancara 12 Mei 2014)
62
Dari tabel 4.4 juga menunjukkan bahwa tidak semua kios/toko sarana upacara umat Hindu di Kecamatan Tabanan menjual rerajahan hasil komodifikasi. Menurut informan, hal ini disebabkan karena tidak semua penjual tersebut mengetahui tentang keberadaan rerajahan hasil produksi melalui teknologi desain grafis tersebut.
4.1.7
Pola Pemukiman Pola pemukiman di Kecamatan Tabanan dapat dibedakan atas 2 (dua)
jenis, yaitu: pemukiman pola konsentris dan pemukiman pola menyebar. Pemukiman konsentris adalah pemukiman yang menjadikan desa adat sebagai titik sentral seperti di Bali pegunungan. Sedangkan pemukiman menyebar adalah pemukiman yang terdiri dari beberapa desa didalam satu kesatuan sosial yang lebih kecil atau di sebut juga banjar. Banjar disamping berfungsi secara religius, juga menangani fungsi-fungsi yang bersifat sosial, ekonomi dan kultural. Jumlah banjar di Kecamatan Tabanan saat ini berjumlah : 729 banjar. Bangunan pada pemukiman masyarakat di Kecamatan Tabanan menurut fungsinya dibedakan atas 3 ( tiga ) Jenis : -
Pura : Bangunan tempat pemujaan .
-
Umun : Balai Banjar (bangunan untuk kegiatan Adat dan Banjar)
-
Bangunan tempat tinggal .
Konsep pemukiman masyarakat di Kecamatan Tabanan berlandaskan pada konsep Tri Hita Karana dimana konsep tersebut mengintegrasikan secara selaras
63
tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang di yakini oleh orang Bali, yaitu : -
Parhyangan : Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.
-
Palemahan : Seluruh wilayah dari lembaga tersebut.
-
Pawongan : Sumber daya manusia yang terdiri dari semua warga dari lembaga yang bersangkutan .
Masyarakat di Kecamatan Tabanan juga mengenal konsep dualistis, yaitu konsepsi akan adanya 2 (dua) kategori dalam tata arah Kaja-Kelod (Utara-Selatan) yang berkaitan dengan Luan-Teben (Hulu-Hilir) dan Suci-Cemer (Sakral-Profan). Segala sesuatu yang bernilai suci atau sakral menempati letak di bagian luan (hulu) yaitu : pada arah gunung atau matahari terbit. Letak pura arah sembahyang bernilai suci dan terletak pada posisi luan (hulu). Segala sesuatu yang di kategorikan tidak suci atau profan menempati posisi di bagian teben (hilir), yaitu pada arah kelod, kelaut, seperti letak kuburan, letak kandang ternak, tempat kamar kecil, tempat pembuangan sampah.
4.1.8
Agama dan Kepercayaan Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Tabanan memeluk agama
Hindu, yaitu mencapai 95%, kemudian disusul dengan agama Islam sebanyak 2,2 %, Kristen 1,8 %, Budha 0,6 % dan lainnya sebanyak 0,4 % (Tabel 4.5). Namun demikian toleransi kehidupan beragama di Kecamatan Tabanan bisa dibilang sangat rukun, terbukti dengan tidak adanya masalah-masalah kekerasan dan sebagainya yang berbau agama .
64
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Agama No
Desa Hindu
Islam
Kristen
Katolik
Budha
Jumlah
1
Sudimara
6.590
39
39
12
5
6.657
2
Bongan
6.907
70
120
-
8
7.105
3
Gubug
4.441
120
2
-
-
4.563
4
Dauh Peken
6.276
3.051
28
49
154
9.558
5
Delod Peken
7.435
1.900
174
126
129
9.764
6
Dajan Peken
7.867
890
184
79
92
9.112
7
Subamia
2.344
28
-
-
-
2.372
8
Denbantas
5.374
216
-
-
-
5.590
9
Buahan
2.620
7
-
-
-
2.627
10
Tunjuk
4.720
22
-
-
-
4.742
11
Wanasari
2.346
25
-
-
-
2.371
12
Sesandan
2.369
12
4
-
-
2.385
Total
59.289
6.352
551
266
388
66.846
(Sumber : BPS Kab. Tabanan 2013)
Seperti data yang terdapat pada tabel 4.5, Agama Hindu merupakan agama mayoritas yang ada di seluruh desa yang ada di Kecamatan Tabanan. Di dalam melakukan ritual keagamaan, umat Hindu dipimpim oleh pemuka agama yang disebut dengan sulinggih dan atau pemangku. Dalam melakukan ritual, umat Hindu biasanya menggunakan sarana prasarana yang salah satunya disebut dengan rerajahan, dimana rerajahan tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis dan biasanya dibuat oleh sulinggih atau pemangku yang bersangkutan. Jumlah sulinggih dan pemangku yang ada di Kecamatan Tabanan kurang lebih berjumlah 181 orang, yang tersebar di 12 desa yang ada, seperti yang terlihat pada tabel 4.6.
65
Tabel 4.6 Jumlah Sulinggih/Pemangku di Kec. Tabanan
Pemuka Agama Hindu (Sulinggih dan Pemangku) No
Desa Ngerajah Sendiri
Membeli/memesan rerajahan
Jumlah
1
Sudimara
10
12
22
2
Bongan
9
11
20
3
Gubug
10
14
24
4
Dauh Peken
4
7
11
5
Delod Peken
5
10
15
6
Dajan Peken
2
5
7
7
Subamia
6
5
11
8
Denbantas
10
3
13
9
Buahan
5
6
11
10
Tunjuk
10
12
22
11
Wanasari
2
5
7
12
Sesandan
12
6
18
Total
85
96
181
(Sumber : BPS Kab. Tabanan 2013 dan wawancara informan 2 Mei 2014)
Dari data yang terdapat pada tabel 4.6, menunjukkan bahwa di Kecamatan Tabanan tidak semua sulinggih/pemangku tersebut membuat rerajahan sendiri. Sulinggih/pemangku yang tidak membuat rerajahan sendiri biasanya membeli atau memesannya ke pihak tukang sablon. Sulinggih/pemangku yang membuat rerajahan
sendiri
jumlahnya
lebih
sedikit
dibandingkan
dengan
yang
memesan/membeli rerajahan tersebut. Penyebab terjadinya hal tersebut akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
66
4.1.9
Bahasa dan Tradisi Budaya Karena sebagian besar penduduk di Kecamatan Tabanan merupakan orang
Bali, maka begitu pula dengan bahasa pergaulan sehari-hari yang digunakan masyarakat disana menggunakan bahasa Bali pula. Bahasa Bali digunakan diberbagai bidang kehidupan sosial, misalnya pada acara-acara keagamaan, rapat adat, dan juga dibidang ekonomi, misalnya di pasar. Sedangkan tradisi budaya yang terkenal di Kecamatan Tabanan adalah tradisi Mesuryak (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Tradisi Mesuryak (Dok. : Ketut Sutar 2013) Tradisi mesuryak sebuah tradisi unik yang masih dilaksanakan turun temurun di dusun Bongan Gede, Desa Bongan, Kecamatan Tabanan. Upacara ini digelar bertepatan pada hari raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) setiap 6 bulan sekali, dengan tujuan untuk memberikan persembahan ataupun bekal pada leluhurnya yang turun pada hari raya Galungan dan kembali ke nirwana pada hari raya Kuningan. Upacara ini mulai sekitar jam 09.00 pagi dan berakhir jam 12 siang, karena setelah lewat jam 12 siang, di yakini para leluhur telah kembali ke surga. Sebelum prosesi ini di mulai, para warga melakukan persembahyangan di pura keluarga dan di pura kahyangan tiga yang ada di desa adat
67
setempat. Berhubungan dengan topik penelitian, di dalam persembahyangan tersebut juga menggunakan sarana berupa rerajahan, yaitu rerajahan jenis “Ong kara” (Gambar 4.12) yang berfungsi untuk penyucian atau pembersian agar diberikan keselamatan dalam proses kegiatan tradisi tersebut.
Setelah melakukan persembahyangan, untuk mengawali tradisi mesuryak warga membawa sesajen ke depan pintu masuk rumah, kemudian dipimpin oleh pemangku (pemimpin upacara) atau yang dituakan melantunkan doa-doa setelah itu ditutup dengan mesuryak. Masing-masing anggota keluarga memberi bekal kepada leluhur sesuai dengan kemampuan, dari mulai uang logam recehan sampai dengan uang kertas nominal 100 ribuan. Semua melakukan dengan suka cita tanpa paksaan, untuk memberikan bekal pada leluhur mereka yang akan kembani ke alam-Nya. uang-uang tersebut dilemparkan ke udara dan disambut oleh warga lainnya yang berkumpul di sana. Tradisi mesuryak merupakan tradisi dan budaya unik, sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka ada, tanpa diketahui kapan dimulainya, sehingga sudah menjadi prosesi rutin dan mendarah daging sampai sekarang, tua muda, dewasa, anak-anak, laki dan perempuan bercampur baur, berdesak-desakan memperebutkan uang, mereka berteriak (mesuryak), bersuka cita, suasana riang gembira, walaupun mereka berebutan, sehingga terpancar keakraban antar warga. Pada masa sebelumnya tradisi ini menggunakan uang kepeng, seiring transisi jaman uang kepeng diganti dengan uang kertas dan logam. Sebagai daerah tujuan wisata, sudah tentu tradisi ini menjadi pusat perhatian wisatawan.
68
4.2 Rerajahan 4.2.1
Bentuk Rerajahan Rerajahan pada hakekatnya merupakan kebudayaan Bali Hindu sebagai
suatu produk lokal geneus dari umat Hindu suku Bali. Umat hindu di Bali sangat yakin bahwa rerajahan tersebut mengandung magis. Kekuatan magis yang dapat ditimbulkan oleh rerajahan tersebut ada yang digunakan untuk tujuan yang suci yaitu untuk hal-hal yang berhubungan agama Hindu yang disebut dengan “Panca Yadnya”, ada juga yang digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma, biasanya disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan ilmu ini biasanya dikalahkan oleh (penengen) ilmu aliran kanan (Karji, 2000; 9). Dalam sistem ritual Hindu banyak dikenal simbol-simbol yang disebut dengan yantra, dari yantra inilah menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius. Antara rerajahan, tantra dan mantra memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat. Rerajahan akan tidak ada artinya kalau tidak dipasupati dan digerakkan oleh tenaga dalam yang didorong oleh suatu keyakinan yang dalam pula, maka rerajahan tersebut akan menjadi gambar yang kosong dan hanya mengandung estetika saja. Rerajahan yang ada di Bali banyak sekali macam dan ragamnya, dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai pada bentuk-bentuk yang rumit. Kalau kita kaji secara lebih mendalam rerajahan yang berupa titik saja sudah mengandung makna atau fungsi yang cukup luas dan tidak lepas dari kekuatan atau kesaktian gaib. Pada jenis dan bentuk rerajahan yang ada, unsur-unsur seni rupa sangat memegang peranan yang sangat penting sebagai simbol-simbol seperti misalnya
69
garis, bentuk, warna dan komposisi. Tujuan Utama dari rerajahan adalah bukan sebagai penghias belaka melainkan untuk kepentingan religius magis dan spiritual (Jaman, 1999:20). 4.2.1.1 Bentuk Huruf/Aksara Pada abad ke IV Masehi aksara yang pertama masuk ke Indonesia adalah Aksara Palawa, dimana aksara tersebut mengalami suatu proses tahapan dari aksara Devanagari muncul aksara Kawi, kemudian disusul aksara Jawa Kuna dan Bali Kuna. Dari tahapan tersebut timbullah Aksara Bali yang dikenal dewasa ini yaitu : a. Aksara Wreastra : biasanya dipakai untuk menulis bahasa bali lumrah atau umum. b. Aksara Swalalita : digunakan untuk menulis bahasa Kawi dan bahasa Sansekerta. c. Aksara Sakral : yang dikenal dengan nama aksara Modre (rerajahan Modre), biasanya digunakan untuk menuliskan hal-hal yang bersifat magis seperti tentang kesaktian, kekebalan, dan japa mantra. Aksara Modre ada tiga macam yaitu; Lokanatha, Aksara Pati atau Paten dan Wijaksara. Aksara Sakral ini dalam penggunaannya sering dipadu dengan gambar-gambar sakral atau simbol-simbol sakral (rerajahan) seperti pada gambar 4.4.
70
Gambar 4.4 Contoh rerajahan bentuk aksara (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
4.2.1.2 Bentuk Senjata Terdiri dari sembilan bentuk senjata yang biasa disebut senjata Nawa Sanga yaitu: senjata Bajra, senjata Dupa. senjata Gada, senjata Moksala, senjata Nagapasa, senjata Angkus, senjata Cakra, senjata Tri Sula dan senjata Padma (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Contoh rerajahan bentuk senjata (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
71
4.2.1.3 Bentuk Dewa-dewa Rerajahan bentuk dewa-dewa terdiri dari sembilan dewa-dewa yang biasa disebut Dewata Nawa Sanga yaitu; Dewa Iswara, Dewa Mahesura, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa, Dewa Sang/tara, Dewa Wisnu, Dewa Samba dan Dewa Siwa (Gambar 4.6)
Gambar 4.6 Contoh rerajahan bentuk Dewa (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
Rerajahan bentuk dewa pada gambar 4.6 menggambarkan Dewa Siwa yang duduk diatas binatang sapi/lembu sebagai binatang tunggangan beliau. 4.2.1.4 Bentuk Binatang Terdiri dari sembilan bentuk binatang yang biasa disebut kendaraan atau tunggangan dari para dewa-dewa tersebut diatas yaitu: binatang gajah, singa, angsa, sapi, naga, macan, garuda/paksi dan lembu (Gambar 4.7)
72
Gambar 4.7 Contoh rerajahan bentuk binatang (Dok.: Ngurah T.Y 2002) Bentuk rerajahan pada gambar 4.7 adalah merupakan suatu kesatuan yang sangat erat, biasanya disebut binatang tunggangan pengideran Nawa Sanga dalam tata kehidupan masyarakat Hindu di Bali pada waktu mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Dewa-dewa sebagai manifestasinya.
4.2.1.5 Bentuk Warna Rerajahan ini terdiri dari sembilan Warna (Gambar 4.8) yaitu putih, merah muda (jambu), merah, jingga (oranye), kuning, hijau (wilis), hitam, biru dan warna-warni atau lima warna (berumbun).
73
Gambar 4.8 Contoh rerajahan bentuk warna (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
Rerajahan bentuk warna Pengideran Nawa Sanga dibuat adalah merupakan simbol penjaga seluruh penjuru mata angin seperti misalnya di timur dewanya Iswara, senjatanya Bajra, tunggangannya gajah, warnanya putih, uripnya lima dan aksaranya Sa. Di tenggara, dewanya Mahesora, senjatanya dupa, tunggangannya singa, warnanya merah muda uripnya delapan dan aksaranya Na. Di selatan dewanya Brahma, senjatanya Gada, tunggangannya angsa, warnanya merah, uripnya sembilan dan aksaranya Ba. Di barat daya dewanya Rudra, senjatanya Moksala, tunggangannya sapi, warnanya jingga (oranye), uripnya tiga dan aksaranya Ta. Di barat dewanya Mahadewa, senjatanya Nagapasa, tunggangannya naga, warnanya kuning, uripnya tujuh dan aksaranya Ta. Di barat laut dewanya Sangkara, senjatanya Angkus, tunggangannya macan, warnanya hijau (wilis), uripnya satu dan aksaranya Si. Di utara dewanya Wisnu, senjatanya Cakra, tunggangannya garuda, warnanya hitam, uripnya empat
74
dan aksaranya A. Di timur laut dewanya Sambhu, senjatanya Tri Sula, tunggangannya Paksi, warnanya biru, uripnya enam dan aksaranya Wa. Di tengah dewanya Siwa, senjatanya Padma, tunggangannya lembu, warnanya warna-warni (berumbun/manca warna), uripnya delapan dan aksaranya Ya. Sedangkan Sang Hyang Widhi sebagai simbol atau lambang kemahakuasaannya sebagai wujud dewa Tri Murti: yaitu Brahma sebagai simbol pencipta alam beserta isinya, Wisnu sebagai simbol pemelihara alam beserta isinya dan Siwa sebagai simbol pelebur alam beserta isinya. 4.2.1.6 Bentuk Manusia Terdiri dari bentuk manusia primitif, yaitu bentuk manusia yang sangat sederhana (Gambar 4.9). Bentuk rerajahan ini akan diuraikan pada sub bab rerajahan dalam upacara manusa yadnya.
Gambar 4.9 Contoh rerajahan bentuk manusia (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
75
4.2.1.7 Bentuk Raksasa Rerajahan bentuk raksasa (Gambar 4.10) biasanya dipakai sebagai penolak gering (sakit) atau berfungsi sebagai kekebalan.
Gambar 4.10 Contoh rerajahan bentuk Raksasa (Dok.: Ngurah T.Y 2002) Rerajahan bentuk ini digambarkan dengan raksasa yang membawa berbagai senjata yang melambamgkan kekuatan serta duduk di atas seekor naga.
4.2.1.8 Bentuk Kajang Rerajahan ini terdiri dari bermacam-macam bentuk rerajahan kajang yang biasa dipakai dalam upacara Pitra Yadnya (Gambar 4.11), seperti misalnya: Kajang Brahmana Pandita, Kajang Brahmana Walaka, Kajang Wesia Utama, Kajang Sudra, dan Kajang Bendesa Pasek (Racadana, 1998 ; 23).
76
Gambar 4.11 Contoh rerajahan bentuk kajang (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
Rerajahan bentuk kajang ini biasanya berisikan gambar manusia yang tidak menggunakan busana/pakaian dan dihiasi dengan berbagai huruf modre.
4.2.2 Jenis Rerajahan Menurut Racadana (1998 : 45), jenis-jenis rerajahan yang sering digunakan oleh masyarakat Hindu Bali didalam melaksanakan upacara keagamaan atau yang dikenal dengan istilah Panca Yadnya dibagi menjadi 5, yaitu: 4.2.2.1 Rerajahan dalam Upacara Dewa Yadnya Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewa-dewa.
77
Sebagai pelengkap upakaranya bentuk rerajahan yang sering digunakan atau digambarkan sehubungan dengan yadnya ini adalah rerajahan “Padma Asta Dala”. Rerajahan ini bentuknya menyerupai bunga (berdaun bunga berlancip delapan) dan untuk sarinya sering diganti dengan huruf gaib "Ongkara”. Rerajahan ini ditulis pada kain putih yang bentuknya segi empat. Penerapannya adalah dipasang diatas pintu masuk (ulap-ulap) sehubungan dengan upacara pemelaspasan sebuah bangunan tempat suci (pura). Adapun tujuan dan maksud rerajahan ini adalah sebagai pembersih atau penyucian, karena Padma Asta Dala ini melambangkan tempat kesucian atau lazim di Bali disebut pelinggih Sang Hyang Widhi (Gambar 4.12).
Gambar 4.12 Contoh rerajahan Padma Asta Dala dan Ong Kara (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
4.2.2.2 Rerajahan Dalam Upacara Resi Yadnya Upacara Resi Yadnya adalah merupakan suatu upacara yang langka atau jarang dilakukan. Akan tetapi kalau kita lihat sarana upacara yang dipakai dalam upacara pediksan seorang pendeta atau resi, ada bentuk rerajahan senjata Nawa Sanga yang digambarkan/dirajah pada kelapa gading sebagai tempat tirta yang
78
disebut dengan “Penawa Ratnan”. Rerajahan ini dianggap mempunyai kekuatan sakti atau pasupati yang diberikan oleh dewa-dewa (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 Contoh rerajahan senjata Nawa Sanga (Dok.: Ngurah T.Y 2002) Upacara Resi Yadnya pernah dilaksanakan di Karangasem (oleh Resi Bojana Karangasem). Dalam upacara tersebut dihadiri oleh semua pedanda yang ada di Bali. Sebagai puncak acaranya adalah masing-masing pedanda dipersilahkan untuk memuja/mepuja dan dipimpin oleh salah satu tokoh pendeta (ngastawa akan berdirinya/jenjang jalannya upacara tersebut). Sebagai akhir dan pada acara tersebut disertai pesta (makan-makan). Resi Yadnya sebenarnya adalah merupakan salah satu bagian dari pada upacara Manusa Yadnya sebab pada upacara ini tujuan pokoknya adalah untuk penyucian manusianya. 4.2.2.3 Rerajahan dalam Upacara Manusa Yadnya Manusa Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia, mulai dari terwujudnya janin (jasmani) di dalam kandungan sampai akhir hidup manusia itu. Sedangkan rerajahan yang sering dipakai didalam upacara manusa yadnya adalah pada
79
waktu manusia baru berumur 105 hari (tiga bulan bali) atau yang lazim disebut “nelu bulanin” atau “nigang sasihin”. Pada upacara “nelu bulanin” ada rerajahan yang dipergunakan yaitu rerajahan berbentuk manusia laki-laki/perempuan rerajahan ini disesuaikan dengan bayi yang akan diupacarai, kalau laki-laki maka rerajahannya yang dibuat adalah manusia laki-laki begitu juga sebaliknya kalau perempuan dibuatlah rerajahan berbentuk manusia perempuan. Rerajahan tersebut dibuat diatas sebuah pelepah kelapa dan bisa juga dirajah pada jantung pisang (pusuh) (Gambar 4.14).
Gambar 4.14 Contoh rerajahan Nelu Bulanin (Dok.: Ngurah T.Y 2002) Pada upacara manusa yadnya lainnya seperti upacara perkawinan selalu memakai rerajahan Sang Hyang Semara Ratih. Rerajahan dirajah pada tikar yang sama sekali belum pernah dipakai (sukla), maksudnya adalah agar yang diupacarai
80
dalam perkawinan tersebut mendapat kerukunan dan kebahagiaan seperti halnya kehidupan Sang Hyang Semara Ratih dalam hal menjalin cintanya (Gambar 4.15).
Gambar 4.15 Contoh rerajahan Sang Hyang Semara Ratih (Dok. : Ngurah T.Y 2002)
Dalam upacara potong gigi terdapat pula beberapa rerajahan yang merupakan salah satu sarana dan selalu dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat magis. Dalam hal ini rerajahan adalah sebagai lambang kekuatan sinar suci Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya, untuk memohon anugerah dan keselamatan lahir dan batin. Rerajahan yang dipergunakan diantara kedua kening dengan huruf (aksara modre), begitu pula pada lidah dan pada gigi yang akan dipotong (Gambar 4.16).
81
Gambar 4.16 Contoh rerajahan pada lidah dan gigi (Dok. : Ngurah T.Y 2002)
Rerajahan pada kain penutup gigi (Gambar 4.17) pada bantal dirajah Padma sebagai lambang perputaran yang sempurna, begitu pula pada kelapa gading juga dirajah Padma.
Gambar 4.17 Contoh rerajahan penutup gigi (Dok.: Ngurah T.Y 2002) Sedangkan pada tikar sebagai alas upacara potong gigi diisi rerajahan Semara Ratih dan dibawahnya diisi rerajahan Padma. Atau bisa juga dirajah dengan wayang laki perempuan misalnya Rama Sita, Arjuna Drupadi sebagai lambang Semara Ratih yang tak pernah tua (Gambar 4.18).
82
Gambar 4.18 Contoh rerajahan Rama Sita (Dok. : Ngurah T.Y 2002)
Berdasarkan beberapa mitologi yang terdapat pada lontar-lontar dan cerita-cerita dari para informan atau para cendikiawan, bahwa upacara potong gigi mempunyai tujuan sebagai berikut: kalau ditinjau secara rohaniah, upacara potong gigi secara adat dan agama bertujuan untuk membersihkan atau penyucian diri bagi orang yang sudah menginjak dewasa agar bisa menjadi manusia yang bersifat susila didalam melakukan pengabdian di masyarakat. Secara simbolik upacara potong gigi bertujuan agar manusia dapat menaklukkan musuh-musuh yang ada di dalam dirinya, seperti misalnya: sad ripu, sad atatayi dan sapta timira. Gigi manusia yang tajam sering dihubungkan dengan sifat-sifat butha kala yaitu yang dikaitkan dengan enam musuh utama dari kebaikan yang ditimbulkan oleh rajas tamas. Sedangkan untuk tujuan lahiriah, adalah untuk
83
menambah keayuan/kecantikan dan kebagusan manusia dalam arti yang lebih dalam yaitu cantik dan bagus dalam wajah, serta cantik dan bagus dalam tingkah laku. 4.2.2.4 Rerajahan Dalam Upacara Butha Yadnya Dalam upacara Butha Yadnya ada yang disebut Upacara Mecaru yaitu untuk tingkatan upacara yadnya dari nista sampai ke utama. Rerajahan yang dipakai dalam acara ini adalah rerajahan “Sang Hyang Yama” (Gambar 4.19), dirajah pada selembar kain putih dipakai bendera/kober. Tangkainya terbuat dari bambu gading (tiying gading), tempatnya diatas nasi pecaruan atau pada sanggah pesaksi.
Gambar 4.19 Contoh rerajahan Sang Hyang Yama (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
84
Khusus untuk Tawur Resi Gana menggunakan rerajahan Sang Hyang Resi Gana (Gambar 4.20) dengan memegang gada dan tangan yang satu lagi memegang bajra (Gina Pati). Rerajahan dibuat dua lembar dan tangkainya dibuat dari bambu kuning (tiying gading). Disamping itu juga terdapat rerajahan cakra diatas selembar daun beringin yang ditancapkan pada tanah.
Gambar 4.20 Contoh rerajahan Sang Hyang Resi Gana (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
4.2.2.5 Rerajahan Dalam Upacara Pitra Yadnya Upacara Pitra Yadnya adalah upacara korban setelah manusia meninggal dunia. Upacaranya lebih banyak tampak secara simbolis dan tujuan upacara ini adalah suatu usaha agar roh/jiwatman orang yang sudah meninggal dapat kembali kepada Paramatma. Jadi dalam hal ini upacara Pitra Yadnya lebih banyak mempergunakan semacam “Dewa Yadnya” (upakara bebantenan). Bentuk-
85
bentuk bebantenan dan sarana upakara yang berlaku dalam Pitra Yadnya merupakan wujud kesatuan yang harmonis dari berbagai unsur Hinduisme. Upacara Pitra Yadnya atau Atiwa-tiwa dalam agama Hindu terdapat beberapa proses, misalnya ada yang ditanam (dipendem) dan ada pula yang dibakar (digeseng) atau biasa disebut Upacara Ngaben. Upacara Ngaben biasa disebut upacara “Ngeseng Sawo" yaitu upacara pembakaran mayat. Dalam upacara ini banyak dijumpai jenis dan bentuk rerajahan, tetapi rerajahan yang paling terkenal dalam upacara ngaben itu disebut dengan “Kajang” (Gambar 4.21). Pembuatan kajang biasanya disesuaikan dengan kasta orang yang meninggal. Dalam kebudayaan Bali kasta atau Catur Wangsa tidak bisa lepas dengan adat dan agama, khususnya dalam agama Hindu.
Gambar 4.21 Contoh rerajahan Kajang (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
86
4.2.3 Fungsi Rerajahan 4.2.3.1 Rerajahan sebagai Sarana Penolak Bala Bentuk Relegi yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan yang menjadi sebab timbulnya gejala-gejala yang tak dapat dilakukan oleh manusia biasa (Kuntjaraningrat, 1980:60). Demikian juga halnya tentang keberadaan rerajahan dalam kebudayaan Bali yang dipergunakan sebagai penolak bala (Gambar 4.22). Pada kehidupan masyarakat Hindu Bali di jaman dulu, mereka sangat yakin dengan kekuatan gaib, seperti misalnya kepercayaan animisme (setiap benda yang ada di dunia ini dianggap mempunyai kekuatan atau mengandung unsur-unsur magis), oleh karena itu setiap melakukan aktivitas, masyarakat Hindu di Bali akan selalu disertai dengan rerajahan sebagai alat untuk keselamatan mereka. Menurut Jaman (1999:24-38), ada beberapa jenis rerajahan yang digunakan sebagai penolak bala antara lain: a. Rehing Pacul : Rerajahan jenis ini dirajah pada cangkul/tambah, tenggala dan lain-lainnya (semua alat-alat pertanian). Tujuan utama dari rerajahan tersebut adalah menolak panas angker di sawah dan tegalan. b. Rerajahan Siwa Mimi : Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai bermacam-macam penyakit hantu/desti (sarwa merana), umumnya di daerah pedesaan yang taraf pemikirannya masih terbelakang. Masih banyak dijumpai sifat rasa iri hati terhadap orang yang dianggap sudah mampu. Maka untuk menjalankan rasa irinya dipakailah ilmu hitam, supaya orang tersebut bisa sakit/supaya rumah tangganya kacau. Maka untuk menghindari hal tersebut
87
dipakailah rerajahan Siwa Mimi yang berkepala lima. Rerajahan tersebut dikelilingi dengan senjata seperti cakra, gada, naga pasa, dupa, keris, padma (catur dala), tri sula, dan binatang naga pasa. c. Rerajahan Kala Raja / Rajastra / Kala Mertiu : fungsinya adalah sebagai penolak gering dan butha kala, penolak dari segala sesuatu yang bersifat membahayakan (mayanin), penolak sarwa wesya dan sarwa baya (nyengkalen). Adapun sarana yang dipakai adalah kertas, setelah itu barulah dirajah dan aksaranya memakai aksara Dasa Bayu. d. Rerajahan Tumbal Tungguh : Fungsinya adalah sebagai penolak kalau ada orang mempunyai niat jahat/tidak baik. Dengan adanya rerajahan tumbal tangguh maka niat jahat bisa hilang. Sarana adalah kertas dan tempatnya diatas pintu masuk (ring luur kori). e. Rerajahan Butha Maya : fungsinya adalah sebagai penjaga rumah (pengijeng karang perumahan). Sarananya adalah tembaga. Rerajahan ini tempatnya pada sanggar beratap ijuk kemudian ditancapkan pada halaman rumah (natah). Sanggar yang berisi rerajahan tersebut perlu dibuatkan sesajen setiap hari. Sesajen yang dimaksud adalah nasi kepel, dagingnya bawang jahe dan garamnya garam hitam (tasik ireng). Fungsinya adalah sebagai penolak jika terjadi gering gerubug, tetempur leak wisesa, butha sakti, wisya mandi. f. Rerajahan Sang Hyang Gana Sari : fungsinya adalah sebagai pengasih sarwa tetempur dan gerubug seluiring durjana, muang butha dewa. Maksudnya adalah sebagai penolak dari semua jenis black magic (leak) dan kalau ada kematian berturut-turut tanpa diketahui penyebabnya juga bisa sebagai
88
penolak butha dewa. Sarananya adalah kain kasa putih. Pemakaiannya adalah seperti memasang bendera dengan memakai tiang yang agak panjang. g. Rerajahan Tumbal : fungsinya adalah sebagai penolak karang yang sangat angker. Sarananya adalah pelepah kelapa (papah nyuh). Tempatnya adalah ditancapkan dipekarangan yang angker tersebut.
Gambar 4.22 Contoh rerajahan untuk penolak bala (Dok.: Ngurah T.Y 2002) 4.2.3.2 Rerajahan sebagai Sarana Kekebalan Rerajahan kekebalan sangat banyak terdapat di dalam lontar Nawa Kenda dan banyak pula diulas pada bukunya C. Hooykaas yang berjudul : “Tovenarij of Bali Magiche Tekeningen”. Berdasarkan kedua sumber tersebut, jenis-jenis rerajahan untuk sarana kekebalan yaitu : a. Rerajahan Sang Hyang Ganda Pati : Rerajahan ini fungsinya adalah sebagai penyelamat jiwa (pengemit jiwa/atma raksa). Sarananya adalah bebas (bisa
89
pada kain putih, emas, perak, selaka, tembaga dan lain-lainnya). Tempatnya diatas pintu, bisa diatas pintu masuk pekarangan bisa juga ditempatkan diatas pintu masuk kamar tidur (Gambar 4. 23). b. Rerajahan Sang Hyang Aji Kretek : Rerajahan ini fungsinya adalah untuk jimat (anggen jimat). Maksudnya adalah bisa dipakai sebagai alat kekebalan didalam peperangan, jadi wasiat dari rerajahan adalah kebal (teguh) terhadap segala macam senjata. Adapun sarana dari rerajahan tersebut adalah peripih selaka kemudian dibungkus dengan kain kasa putih dipakai sebagai ikat pinggang. c. Rerajahan Sang Hyang Raja Pemalah Maha Wisesa : Fungsinya adalah sebagai kekebalan (keteguhan). Pada waktu proses pembuatannya pertama kali dipakai kain sutra putih (sutra petak). Ukuran sutra yang dipakai lebarnya kurang lebih 27 cm (alengkat tigang nyari), sedangkan panjangnya 200 cm (duang depa agung). Cara penggunaannya untuk ikat pinggang atau sabuk. d. Rerajahan Sang Hyang Puja Musti : Fungsinya adalah sebagai pengemit jiwa. Sarananya dirajah pada emas, selaka dan tembaga. Cara penggunaanya dipakai sebagai ikat pinggang (sabuk). e. Rerajahan Sang Hyang Rama Wijaya : Fungsinya adalah untuk kekebalan dalam peperangan (tan kenen baya ring payudan), maksudnya adalah apabila rerajahan ini dipakai dalam peperangan maka segala bahaya akan dapat dihindari, sarananya bebas. f. Rerajahan Sang Hyang Mandi Raksa : Fungsinya adalah bahwasanya musuh kita yang curang ingin membahayakan di waktu tidur, jadi untuk mengatasi
90
masalah ini dipakailah rerajahan penjaga jiwa (pengemit jiwa) pada waktu tidur. g. Rerajahan Sang Hyang Wisnu Murti kalih Cakra Sudarsana : fungsinya adalah sebagai penjaga jiwa (pengemit jiwa/raga), maksudnya supaya tubuh tetap kebal. Sarananya bebas. h. Rerajahan Sang Hyang Ayu : fungsinya adalah untuk kekebalan (keteguhan) diwaktu perang. Jika memakai rerajahan ini bisa mengakibatkan musuh menjadi lemah dan kalah. Sarananya bebas. i. Rerajahan Sang Hyang Acintya : Funginya adalah supaya badan tetap selamat dan segala rintangan akan hilang (pengeraksa jiwa). Sarananya bebas. j. Rerajahan yang memakai sarana sedah temu rose (sirih yang seratnya sama): fungsinya adalah penjaga jiwa waktu malam hari dan waktu bepergian. Cara penggunaannya adalah sirih yang sudah dirajah dikunyah kemudian disemburkan.
Gambar 4.23 Contoh rerajahan untuk kekebalan (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
91
4.2.3.3 Rerajahan sebagai Sarana White Magic (Penengen) Yang dimaksud dengan rerajahan white magic adalah kekuatan gaib ilmu putih yang biasa disebut aliran kanan (penengen). Fungsinya adalah untuk kebaikan dan kebenaran. Jadi white magic adalah merupakan kebalikan dari black magic. Hal ini terbukti bahwa di dunia tidak terlepas dari rwa bineda (baik buruk, laki perempuan, siang malam dan kebaikan kejahatan akan selalu berdampingan). Dengan demikian kiranya pengiwa dan penengen tersebut selalu ada diseluruh pelosok penjuru dunia, yaitu dimanapun ada kehidupan serta manusia-manusia itu mengenal baik dan buruk, jahat dan tidak jahat (Kardji, 2000 : 37). Menurut Koentjaraningrat (1980 : 62-63), bahwa manusia primitive atau manusia jaman kuno itu pada umumnya yakin akan ada suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal didalam alam semesta ini. Zat halus yang disebut zielestof itu terutama ada dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kalau dikaitkan dengan keberadaan rerajahan dalam kehidupan masyarakat di Bali maka hal tersebut banyak kita jumpa pada jenis dan bentuk rerajahan yang dipakai sebagai sarana white magic seperti misalnya sebagai berikut : a. Rerajahan Sang Hyang Karana : fungsi dari rerajahan ini adalah sebagai penerang (mencegah agar hujan tidak turun). Penerangan dilakukan dengan jalan melakukan doa atau berdoa kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Penerangan ini sering dijumpai apabila ada orang melakukan upacaraupacara seperti misalnya: resepsi, ulang tahun dan pada waktu mengadakan
92
tontonan. Oleh karena setiap ada upacara tersebut hujan adalah sebagai penghambat jalannya upacara, maka sebelum turunnya hujan diadakan penerangan yang biasa disebut nerang. Sarananya adalah busung nyuh gading (janur kelapa kuning dan daun liligundi). b. Rerajahan Sang Hyang Resi Purwa Mandawa : fungsi dari rerajahan ini adalah pemunah dari guna-guna. Yang dimaksud dengan guna-guna adalah niat jahat/tidak baik terhadap orang lain, misalnya dari tidak suka menjadi suka, dari benci menjadi sayang dan yang lainnya. Maka untuk mengatasi halhal yang demikian dibuatlah penolak untuk mengalahkan guna-guna tersebut. Sarananya adalah bebas, sedangkan penempatannya dihulu tempat tidur (ring damping mesare). c. Rerajahan Sang Hyang Taya Suksma Maya : fungsinya dipergunakan untuk menolak atau menyembuhkan penyakit keras yang tak bisa disembuhkan dengan segala macam obat-obatan (penolak gering tan kenen tinamban). Biasanya penyakit semacam ini disebut penyakit tahunan (sakit gede) yang tidak bisa disembuhkan oleh obat dukun dan dokter. Sebagai sarana untuk rerajahan tersebut adalah peripih emas dan mirah kresnadana. Caranya memakai adalah dengan jalan mencelupkan sarana tadi ke dalam air, kemudian airnya dipakai untuk ngelukat orang yang sakit tahunan tersebut. d. Rerajahan Sang Hyang Meneng : dapat dipergunakan pada waktu menjalankan tugas perang. Fungsinya adalah supaya tidak dilihat oleh semua musuh (tan mawas dening satru kabeh). Sarananya adalah bebas.
93
e. Rerajahan Brare ini sejenis rerajahan yang biasa dipakai penjaga bumi (pengeraksa rat/jagat) dan bisa dipakai sebagai penolak mala, desti dan leak. Sarananya adalah buah bungsil merajah brare. Tempatnya ditanam di tanah, kalau dipakai penolak desti dan leak, ditanam di bawah tempat tidur orang yang sakit. Rerajahan ini perlu disiram dengan air setiap hari. f. Rerajahan Sang Hyang Uta Tuli : Fungsinya adalah untuk dipakai dalam peperangan terhadap orang-orang yang berniat jahat. Rerajahan ini menyebabkan musuh menjadi buta dan tuli. Oleh karena musuh dalam keadaan buta dan tuli maka niat jahat akan menjadi hilang dan musuh dengan mudah dapat dikalahkan. g. Rerajahan Tatulak Tangguh : Fungsinya adalah sebagai penolak tujuh teluh tranggana maksudnya adalah sebagai pemunah desti/leak yang amat sakti. Sarana yang dipakai untuk adalah peripih selaka (Gambar 4.24).
Gambar 4.24 Contoh rerajahan untuk sarana white magic (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
94
4.2.3.4 Rerajahan sebagai Sarana Black Magic (Pengiwa) Yang dimaksud dengan black magic adalah ilmu hitam yang mempunyai kekuatan gaib dan biasa disebut dengan aliran kiri atau kiwa. Kalau diterjemahkan secara harfiah kata “kiwa” (alus) kebot/kedel (kasar), berarti “kiri” dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi dalam hubungan kebudayaan dan kepercayaan orang Bali, mengandung makna yang sangat luas (Kardji, 2000.17). Fungsinya untuk kejahatan sebagai lawan dari kebaikan yang selalu bertentangan dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Meskipun demikian rerajahan ini masih banyak orang yang memaanfaatkarmya. Dalam buku “Ilmu Hitam dari Bali” (Kardji, 2000:58), menyatakan bahwa ilmu pengiwa terdiri dari berbagai sarana pengeleakan yaitu : a. Pengasren : adalah cabang ilmu pengiwa yang mampu membuat pemakainya lebih cantik. b. Pengeger : tujuannya agar pemakainya laris pada waktu berjualan atau melakukan kegiatan ekonomi. c. Pengasih-asih : tujuannya membuat orang yang diminati cepat jatuh cinta. Pengasih-asih dilakukan dengan sarana guna-guna. Orang Bali mengenal beberapa jenis guna-guna yaitu : guna lilit, guna tungtung tangis dan guna jaran guyang. d. Penangkep : tujuannya membuat orang tunduk. Disamping hal tersebut diatas masih banyak cabang ilmu pengiwa yang lain seperti : pengeleakan, pepasangan, sesawangan, cetik (Kardji, 2000, 60-68).
95
Menurut C. Hooykaas (1980 : 57-80), terdapat beberapa rerajahan yang dipakai sebagai sarana dalam black magic : a. Rerajahan Paingkup Agung : Rerajahan ini adalah sejenis pematuh yang dipakai sebagai pengasih-asih. Maksudnya adalah kalau ingin menghendaki sesuatu terhadap orang lain yang semestinya tidak dikasi, karena pengaruh magic dari rerajahan itu pasti akan diberikan. Jadi disini menyebabkan tingkah laku seseorang menjadi terbalik, dimana semula niatnya jahat menjadi baik, benci menjadi kasih/cinta dan senang jika memang itu yang dikehendaki. Rerajahan bisa juga dipakai untuk tujuan pengasih yang lain seperti misalnya : untuk pengasih dagang (dipakai untuk berdagang), supaya dagangannya menjadi laris dan disenangi oleh banyak orang. Sarana yang dipakai adalah peripih emas. Cara menggunakannya bisa dipakai kalung, ditaruh pada saku tetapi harus dibungkus dengan kain putih/kafan putih (Gambar 4.25). b. Rerajahan Sang Hyang Maya Tan Katon : fungsinya bisa digunakan untuk maya-maya (bisa tidak kelihatan dan bisa kelihatan). Rerajahan ini biasanya dipakai untuk melengkapi teluh/pedestrian/pengeleakan. Maksudnya supaya lebih sakti dan sulit dikalahkan dan tidak bisa dilihat oleh orang lain atau musuh. Sarana yang dipakai adalah peripih timah. c. Rerajahan Pasewakan : sarananya adalah sedah semu rose (daun sirih yang uratnya sama atau simetris dan ujungnya ketemu). Fungsinya adalah agar pembicaraan pada waktu upacara peminangan seorang gadis (ngeluku) bisa berjalan dengan lancar, baik dan dapat dikabulkan. Caranya sirih yang sudah
96
dirajah dikunyah atau dimakan (dikinang) didepan orang yang diajak berbicara atau didepan acara peminangan.
Gambar 4.25 Contoh rerajahan untuk sarana Black magic (Dok.: Ngurah T.Y 2002)
4.2.4 Alat dan Bahan Pembuatan Rerajahan Alat dan bahan dalam membuat rerajahan masih tradisional, misalnya pena terbuat dari lidi enau dimana ujungnya dibuat runcing dan dibelah dua sebagai saluran dari tinta, sedangkan tinta terbuat dari mangsi yang disebut dengan langes. Alat ini khusus dipakai untuk ngerajah kain yang berwarna putih. Sedangkan untuk membuat rerajahan pada benda-benda yang keras seperti daun lontar, peripihan (kepingan) emas, tembaga. perak dan peripihan besi dipakai pisau kecil (pengempuk/mutik). Menurut l Made Sukarwa (1983 ; 5 – 37), menyebutkan pada jenis rerajahan yang digunakan sebagai penolak dan kekebalan (Usada Tumbal), alat dan bahan yang digunakan adalah berupa kepingan perak, lempengan tanah
97
(menyerupai pecahan periuk), kayu yang disambar kilat/petir, kayu wareng, kayu cendana jenggi, lembaran timah, lembaran baja, lembaran tembaga, dan lembaran perunggu. Dalam Usada Tiwang (rerajahan yang dipergunakan untuk pengobatan alternatif), bahan yang dipergunakan adalah berupa dedaunan, rempah-rempah, umbi-umbian, kulit kayu dan air. Contoh: jika ada seorang penderita yang merasa sakit seperti gemetar pada hulu hati hingga kelambung, serta mendesak-desak (menunggek) ke bahu, sakitnya terasa hingga ke daging/otot, punggung seperti disentak dan kelihatannya gelisah, gejala ini disebut “Tiwang Gerapong”. Obat yang dapat dipergunakan adalah dalam bentuk : -
Jamu minum (loloh) : dibuat dari paya puwuh yang lengkap (dari akar batang dan daunnya), akar liligundi, lempuyang, kunir warangan, sintok dan cengkeh.
-
Sembur (simbuh) untuk perut dipakai bahan : jebugarum, air jeruk nipis serta garam.
-
Sembur (simbuh) untuk bagian badan yang terasa sakit, selain perut adalah daun kembang kuning, lengkuas kapur, ketumbar, musi dan kerawas.
-
Bedak parem (boreh) memakai bahan sebagai berikut : batang kulit kayu kowang, rumput lepas lengkap (akar, batang dan daun), ketumbar, musi dan ketan gajih dan terakhir baru dirajah. Jika penderita merasa panas dingin badannya, serta agak pilek (langu)
dan berdahak, itu adalah gejala penyakit yang disebut “Tiwang Genamong". Obatnya adalah Jamu Minum yang dibuat dari daun sembung rambat, bawang
98
dibakar (dalam abu panas). Ditambah sedikit unsur kapur sebesar biji kacang, benang biru sepanjang dua depa serta sejumput beras, dan diisi rerajahan. Disamping dua contoh di atas ada juga dalam yang digunakan sebagai pengasih dan penolak yaitu daun pinang ketemu urat (base temu rose) dan daun andong merah (endong bang) Khusus untuk rerajahan “Kajang" menggunakan kain putih dengan ukuran yang telah ditentukan.
BAB V BENTUK KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS Dimensi kehidupan yang dibawah oleh sistem informasi dan teknologi telah membawa berbagai implikasi dalam kehidupan masyarakat, terutama komunitas masyarakat yang masih berkembang. Melalui teknologi canggih gagasan-gagasan baru dari seluruh pelosok dunia, terutama yang berasal dari masyarakat atau negara maju datang menyerbu masyarakat dunia. Secara berangsur-angsur gagasan itu berhasil mengubah pola gagasan budaya masyarakat yang tersentuh serbuan tersebut (Sairin , 2001:50). Kenyataan seperti di atas, tampak dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena imbas dari teknologi mutakhir sejak era globalisasi melanda dunia. Fenomena ini tampak pula dalam masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan di dalam melakukan ritual keagamaan. Sarana upacara yang dulunya dibuat secara tradisional sekarang sudah mulai bergeser dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Salah satu sarana ritual tersebut adalah rerajahan, dimana dalam proses pembuatannya menggunakan teknologi desain grafis.
5.1 Komodifikasi Rerajahan Secara teoritis, komodifikasi dicetuskan oleh para pemikir neo-Marxisme khususnya George Lukas (1992) melalui bukunya berjudul “History and Class Conciousness” (Sutrisno, 2005: 28). Pengertian neo-Marxisme mengacu kepada para pemikir aliran Marxisme yang memiliki pandangan-pandangan baru (neo) sebagai bentuk kritik terhadap pandangan Marx (Marxisme ortodoks), tentang
99
100
berbagai masalah kehidupan manusia yang berkaitan dengan kebudayaan dan perubahannya. Secara garis besar pandangan Marx mengarah kepada esensi manusia sebagai kolektivitas sejati, yang berlandaskan pada produksi barang, ergo, konsep pekerjaan dan nilai, serta peranan kelas buruh sebagai penyebar perubahan (Machan, 1989: 29). Berkaitan dengan produksi barang, Marx
membangun
konsep hubungan dialektis tiga rangkap antara produksi dan konsumsi (Ritzer & Smart 2001) sebagai berikut: (1) Produksi selalu merupakan konsumsi, dan konsumsi selalu merupakan produksi. Dalam memproduksi obyek, selalu ada konsumsi tenaga bahan dan tenaga manusia. Sedangkan dalam mengkonsumsi obyek ada aspekaspek tertentu dari konsumen yang diproduksi. (2) Produksi
dan
konsumsi
selalu
bersifat
interdependen.
Produksi
menciptakan obyek yang diperlukan untuk konsumsi, dan konsumsi menciptakan motivasi untuk produksi. (3) Produksi dan konsumsi saling menciptakan. Produksi selesai melalui konsumsi, yang menciptakan kebutuhan kebutuhan akan produksi lebih lanjut. Sedangkan konsumsi hanya tercipta sebagai salah satu realitas materi melalui produksi, karena kebutuhan yang mendorong konsumsi hanya menjadi konkrit dalam hubungannnya dengan obyek-obyek tertentu yang telah diproduksi. Dari
konsep
dialektis
tiga
rangkap
tersebut,
kemudian
Marx
menyimpulkan bahwa komoditas bukan sekadar hal yang diharuskan para pakar
101
ekonomi untuk kita yakini. Komoditas bukan obyek alami yang mendapat nilai dari relasi pasarnya dengan obyek lain (misalnya dengan uang yang secara abstrak menggantikan obyek lain). Relasi pasar di antara obyek-obyek justru mengaburkan nilai komoditas yang sebenarnya, yang diperoleh dari kerja manusia. Sistem pasar kapitalis menjadikan relasi di antara obyek-obyek tampak lebih kuat dan nyata dari apada relasi actual orang-orang (manusia). Dengan kata lain, cara produksi kapitalis telah menceraikan kerja manusia dari obyek-obyek yang diproduksinya dan mengakibatkan eksploitasi, alienasi, dan reifikasi (Ritzer & Smart 2001: 819-822). Berkaitan dengan hal tersebut Gede Naba (45) menuturkan sebagai berikut: “Saya dapat memproduksi/mencetak rerajahan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan setiap harinya, tetapi saya juga harus memikirkan kemana hasil produksi tersebut disalurkan” (Wawancara tanggal; 25 Februari 2014). Dari penuturan informan di atas menggambarkan bahwa aspek komodifikasi bukan semata-mata hanya terletak pada aspek produksi saja, akan tetapi pendistribusian barang-barang hasil produksi tersebut juga sangat penting untuk kelangsungan proses produksinya. Penuturan tersebut di atas sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Turner (1992), bahwa komodifikasi adalah semangat menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya. Semangat tersebut telah merasuki semua aspek kehidupan manusia yang tidak saja menyangkut pengertian produksi komoditas dalam perekonomian yang berkaitan dengan barang-barang komoditas yang diperjualbelikan, tetapi juga menyangkut pendistribusian dan konsumsi barang-barang (Turner, 1992:115).
102
Hal serupa juga dituturkan oleh Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) sebagai berikut: “Rerajahan yang dibuat dengan cara disablon sesungguhnya kurang memiliki nilai kesakralan/magis dibandingkan dengan yang dibuat secara tradisional. Akan tetapi masyarakat pada umumnya tidak mengetahui atau tidak perduli dengan hal tersebut. Begitu pula halnya dengan tukang sablon, mereka tidak peduli apakah rerajahan hasil produksi mereka sakral apa tidak, yang penting bagi mereka adalah mampu menyelesaikan pesenan tepat pada waktunya dan mendapatkan imbalan berupa uang” (Wawancara tanggal; 12 Februari 2014). Dari penuturan informan di atas dapat dianalisis bahwa semangat kapitalisme (komodifikasi) bukan hanya merasuki salah satu aspek budaya masyarakat Hindu Bali pada permukaannya saja, tetapi lebih dari itu semangat kapitalisme (komodifikasi) telah masuk menelusuri semua sub-aspek yang membentuk rerajahan itu sendiri sebagai satu kesatuan tradisi budaya. Rerajahan yang pada awalnya memiliki nilai magis yang tinggi (sakral), akhirnya bergeser menjadi lebih propan/tidak sakral. Rerajahan yang secara konvensional merupakan budaya tradisional dan falsafah hidup masyarakat Hindu Bali, dalam perjalanannya mengalami proses pergeseran nilai karena desakan ekonomi pasar yang mengarah kepada prinsip-prinsip perubahan yang lebih besifat ekonomis. Penuturan Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) di atas identik dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Piliang (1999), bahwa asumsi dasar teori komodifikasi dari para neo-Marxist di atas, menekankan beberapa hal utama, yang bila dipilah secara bagian demi bagian akan nampak sebagai berikut (1) komodifikasi merupakan semangat kapitalisme dalam menciptakan keuntungan, dan telah merasuki semua aspek kehidupan manusia, (2) dari sudut pandang ekonomi, komodifikasi akan berkaitan langsung dengan barang-barang yang
103
diproduksi untuk diperjualbelikan, sistem distribusi serta konsumsi, (3) komodifikasi akan berdampak terhadap pemiskinan makna kehidupan manusia yang autentik, dan (4) komodifikasi akan berdampak terhadap keterkungkungan atau keterasingan hidup manusia (Piliang, 1999:89). Dalam kerangka pikir kapitalistik ini, kehidupan masyarakat tradisional akan mengalami kemajuan signifikan secara ekonomi bila masyarakat tersebut memiliki
kemampuan
serta
kemauan
untuk
merubah
atau
minimal
mengembangkan apa yang mereka miliki secara tradisional sejalan dengan tuntutan pasar. Arah perubahan tersebut sebagai masuknya produk-produk budaya ke dalam industri budaya yang tunduk kepada hukum ekonomi sehingga berubah menjadi budaya massa. Rerajahan yang pada awalnya lebih mementingkan nilai agama karena mengandung makna, isi, pesan, maupun falsafah bagi kehidupan masyarakat Hindu Bali, akhirnya dikonstruksi sesuai dengan dinamika kehidupan pasar dalam menjawab hasrat pemenuhan kebutuhan hidup. Walaupun hasrat tersebut disesuaikan dengan kehidupan pasar, namun orientasinya senantiasa mengarah kembali ke dalam diri seperti apa yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations disebut sebagai “kepentingan diri” (Suseno, 2006: 120). Selanjutnya oleh para Smithian Alfred Marshall, melihat “kepentingan diri” tersebut sebagai penciutan tajam dari konsepsi diri manusia ekonomi (homo economicus) yang senantiasa berorientasi kepada kecintaan akan uang. Konsepsi diri manusia sebagai homo economicus akhirnya menghasilkan “klaim hakikat” atas dirinya sebagai pelaku tindakan yang paling sahserta “preferensi”
104
(perhitungan untung-rugi) sebagai pintu masuk mengetahui kebutuhan atau kepentingan diri seseorang. Sedangkan perangkat terpenting yang harus ada dalam mewujudkan homo economicus adalah “kalkulasi rasional” (ratitional calculation) termasuk efisiensi. Kalkulasi rasional kepentingan diri tersebut nampaknya merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari, karena homo economicus senantiasa diperhadapkan dengan 4 masalah pokok kegiatan ekonomi yaitu; alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi (Suseno, 2006: 121-122). Alokasi berkaitan dengan “penjatahan” berbagai sumber daya baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya modal dalam kegiatan produksi barang dan atau jasa. Produksi terkait dengan transformasi input (faktorfaktor produksi) menjadi output berupa barang atau jasa yang digunakan untuk kebutuhan manusia. Distribusi terkait dengan aktivitas penyampaian barang atau jasa yang telah dihasilkan oleh produsen ke tangan konsumen. Sedangkan konsumsi berkaitan dengan upaya memilih alternative konsumsi barang dan jasa untuk kepuasan (Deliarnov, 2006: 3). Berkaitan dengan itu, maka pembahasan komodifikasi rerajahan akan difokuskan pada 4 aspek utama sebagaimana telah diungkapkan di atas yakni (1) alokasi sumber daya yang berkaitan dengan rerajahan, (2) produksi rerajahan, (3) distribusi rerajahan, dan (4) konsumsi rerajahan. 5.2 Komodifikasi Alokasi Sumber Daya Komodifikasi sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya yaitu sebagai proses perubahan atau pengubahan sesuatu menjadi barang dagangan atau komoditas. Proses perubahan tersebut bukan saja terjadi ketika
105
produk-produk rerajahan didistribusikan dan dikonsumsi oleh masyarakat, tetapi juga sudah terjadi sejak pada tahapan produksinya. Produksi rerajahan yang secara tradisional harus dilakukan oleh orangorang tertentu dan melalui beberapa tahapan, mulai dari persiapan bahan dan alat, mencari hari baik/dewasa ayu dan pasupati/menghidupkan rerajahan tersebut, kini telah mengalami perubahan sedemikian rupa seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi yang berhubungan dengan produksi rerajahan itu sendiri. Dengan menggunakan teknologi, di dalam proses produksi rerajahan sudah barang tentu ada beberapa sumber daya lama (tradisi) yang tidak dibutuhkan lagi dan begitu pula sebaliknya ada sumber daya baru yang digunakan, seperti misalnya : sumber daya manusia, alat, bahan, waktu dan sebagainya. 5.2.1 Sumber Daya Manusia Seiring dengan berkembangnya zaman dan peradaban dunia, maka manusia sebagai sumber daya insani dituntut untuk menjadi unggul dalam mengelola sumber daya-sumber daya lain yang menjadi sumber perekonomian di muka bumi ini. Salah satu perkembangan peradaban manusia yang paling menonjol sehingga menuntut manusia harus berubah adalah adanya teknologi. Kemajuan teknologi akan dapat mengubah mobilitas manusia, jangkauan, wawasan, cara berkomunikasi, memimpin, dan mengelola organisasi, perusahaan maupun institusi. Apabila teknologi tersebut bisa dikelola dengan baik maka akan memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi umat manusia, tetapi jika sebaliknya, apabila teknologi tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, maka bisa berubah menjadi ancaman yang menakutkan (Mangunwijaya, 1983 ; 28).
106
Kemampuan seseorang untuk bertahan hidup (survive) sangat ditentukan oleh kemampuan orang tersebut untuk berubah, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang dihadapi atau menyesuaikan diri dengan perubahan potensial yang akan terjadi di masa mendatang. Perubahan bertujuan agar seseorang tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman, terutama didalam menghadapi kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi memang sangat diperlukan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Teknologi akan memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktivitas manusia. Namun manusia tidak bisa menipu diri sendiri akan kenyataan bahwa teknologi juga mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Salah satu efek negatif tersebut yaitu akan termarginalnya sumber daya manusia lama (tradisi) dan digantikan oleh sumber daya manusia baru yang menguasai teknologi. Begitu pula dengan sumber daya manusia dalam proses produksi rerajahan melalui teknologi desain grafis. Secara tradisi, rerajahan biasanya dibuat oleh orang-orang tertentu saja dan memiliki pakem dan batasan-batasan tertentu. Orang yang berkompeten di dalam
membuat rerajahan yaitu: sulinggih, pemangku, sangging dan sebagainya, dan juga
biasanya memilih “dewasa ayu/hari baik”, apalagi rerajahan tersebut
digunakan untuk “jimat”. Setelah persiapan yang cukup, masih ada proses
107
lanjutan yaitu "pasupati/pengisian (penyucian)" agar rerajahan dapat memurti atau "hidup" dan bertuah (Watra, 2008:10). Namun, dengan memanfaatkan teknologi desain grafis, maka rerajahan bisa dibuat oleh siapa saja yang penting menguasai teknologi di bidang tersebut. Peran
sulinggih/pemangku/sangging
yang
merupakan
orang-orang
yang
berkompeten di dalam pembuatan rerajahan secara tradisional menjadi tidak penting lagi di dalam pembuatan/produksi rerajahan menggunakan teknologi tersebut. Peran dari sulinggih/pemangku/sangging
digantikan oleh seorang
desainer grafis selaku pembuat desain/gambar rerajahan, dan seorang tukang sablon selaku pencetak rerajahan, seperti yang dituturkan oleh Ida Pedanda Gde Mas Putraka Telaga (67) sebagai berikut: “Sekarang ini saya sudah jarang membuat atau menggambar rerajahan, karena apabila ada pesenan rerajahan dari sisya, saya akan meminta jasa tukang sablon untuk membuatkannya, apalagi dalam jumlah yang banyak. Saya hanya membuat rerajahan apabila jumlahnya sedikit dan waktunya mendesak ” (Wawancara tanggal; 12 Februari 2014). Penuturan informan di atas menggambarkan bawah peranan seorang sulinggih didalam membuat rerajahan tidak begitu signifikan lagi, karena bisa digantikan oleh orang lain yang secara tradisional tidak berkompeten di dalam membuat rerajahan tersebut. Dengan memanfaatkan teknologi desain grafis, proses pembuatan/produksi rerajahan dianggap lebih gampang dan lebih cepat, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak. Fenomena tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mangunwijaya (1983), yang menyebutkan bahwa teknologi terkait dengan semua aspek kehidupan dan yang paling berinteraksi dengan teknologi adalah sumber daya manusia. Sebagai pengguna teknologi maka
108
manusialah yang mengendalikan perkembangan teknologi. Manusia yang mengendalikan pemakaian dan pemanfaatan teknologi. Manusia tidak akan lepas dari teknologi. Teknologi ada sejak peradaban muncul, dan teknologi juga dipakai sejak ada peradaban dan berkembang sejalan dengan peradaban manusia. Perkembangan teknologi akan menggeser sumber daya manusia lama dan digantikan oleh sumber daya manusia baru (Mangunwijaya, 1983 ; 29). 5.2.2 Alat dan Bahan Dalam proses produksi rerajahan memerlukan sarana atau media tertentu, dimana media tersebut tergantung dari tujuan dan fungsi rerajahan yang dibuat. Secara tradisi, rerajahan dibuat dengan cara ditulis/digambar tangan dengan menggunakan tinta/mangsi/spidol pada media kertas, kain biasa/kafan, peripih (emas, tembaga, selaka, kuningan), daun lontar, benda-benda tertentu sesuai tujuannya; seperti: telebingkah, kertas, tiying empet (bambu tidak berongga), tiying gading (bambu kuning), bata, batu, paras, dan kayu. Di dalam proses produksi rerajahan dengan menggunakan teknologi desain grafis, teknik produksi/cetak yang biasa digunakan disebut dengan cetak sablon/saring. Adapun alat dan bahan yang diperlukan dalam teknik cetak sablon adalah berupa :
5.2.2.1 Alat Alat yang digunakan untuk cetak sablon meliputi : screen, rakel, meja sablon, kipas angin, dan handspray/penyemprot air. 1). Screen Screen adalah alat untuk mencetak gambar pada benda yang akan disablon. Kain ini berpori-pori sangat halus sehingga menyerupai kain sutra.
109
Lubang pori-pori pada kain ini berfungsi menyaring dan menentukan jumlah tinta yang keluar. Kerapatan lubang pori-pori kain ini di bagi tiga macam, yaitu screen kasar, cocok untuk media yang menyerap banyak air, seperti kaos. Nomor kerapatanya antara 48 T- 90T ( T = Thick , satuan kerapatan dan ketebalan benang-benang screen). Screen sedang, cocok untuk benda yang tidak menyerap banyak air seperti, kertas dan kulit imitasi, nomor kerapatannya antara 120 T – 150T. Screen halus, cocok untuk benda yang tidak menyerap air seperti plastik, kaca, mika dan barang pecah belah lainya (Gambar 5.1).
Gambar 5.1. Contoh Screen (Dok. : Ketut Sutar 2014) 2). Rakel Rakel merupakan alat bantu untuk menerapkan cat sablon yang digunakan pada screen. Rakel ini umumnya di buat dengan bahan sintetik seperti Polyrethane atau Polyviyl. Bahan ini cukup kuat dan tahan akan kelembaban udara sehingga akan lebih awet. Adapun jenis rakel sesuai fungsinya seperti rakel
110
lunak untuuk yang memerlukan banyak b tintaa, rakel keraas untuk hassil yang detiil dan halus. Benntuk ujung rakel pun ada beberapa jenis, seperti s rakeel tumpul, rakel lancip, rakkel lancip ujjung datar, rakel mirin ng dan rakell kotak (Gam mbar 5.2).
mbar 5.2. Co ontoh Rakel Gam (Dok. : Ketut Sutar S 2014)
3). Meja Sablon S Meeja sablon digunakan untuk meng g-afdruk sccreen dan juuga sebagai alas atau dasarr dari bendaa yang akan disablon atau dicetak (Gambar ( 5.33)
111
Gambar 5.3. Meja Sablon (Dok. : Ketut Sutar 2014)
4). Kipas angin Sebagai alat penunjang di perlukan untuk membantu mempercepat pengeringan lapisan afdruk pada proses pembuatan klise. Alat ini dapat digantikan dengan hairdryer, hairdryer akan membantu lebih cepat ketimbang kipas angin karena selain dengan angin, hairdryer juga memanaskan sehingga proses pengeringan akan lebih cepat. Jika kipas angin dan hairdryer tidak ada, proses pengeringan biasanya dilakukan di bawah sinar matahari, akan tetapi proses ini akan memakan waktu lebih lama lagi. 5). Handspray/Penyemprot air Alat ini diperlukan untuk membersihkan model gambar atau film pada screen yang telah di afdruk.
112
5.2.2.2 Bahan Bahan yang digunakan untuk keperluan sablon adalah zat kimia yang di gunakan untuk pembuatan film. Adapun bahan-bahan tersebut seperti : larutan afdruk, krim ditergen, kaporit, screen laquer, perekat sintetik/lakban, bahan cetak. 1). Larutan Afdruk Larutan ini merupakan cairan emulsi dan sintizer (bahan peka cahaya) perbandingan campuran kedua bahan ini adalah 9 : 1. Contoh beberapa produk bahan afdruk yang berada di pasaran antara lain Ulano, Photosol, Autosol, Cromalin dan Uno (Gambar 5.4).
Gambar 5.4. Contoh Larutan Afdruk (Dok. : Ketut Sutar 2014)
2). Krim Deterjen Digunakan sebagai bahan peluruh sisa-sisa cat dan tinta yang masih tertinggal pada screen . 3). Kaporit atau bahan pemutih Bahan ini digunakan untuk menghapus lapisan afdruk setelah screen rampung di gunakan.
113
4). Screen Laquer Cairan ini digunakan untuk mengkoreksi hasil afdruk film pada screen, jika ada bagian yang bocor digunakan cairan ini untuk menambal (Gambar 5.5).
Gambar 5.5. Screen Laquer (Dok. : Ketut Sutar 2014)
5). Perekat Sintetik/lakban Perekat lakban di gunakan utuk menutup daerah non image area, yang bocor pada screen. 6). Bahan Cetak Bahan cetak yang dimaksud disini adalah tinta sablon dan pengencer. Tinta sablon digunakan sebagai materi pokok pembentuk gambar pada sasaran atau media yang akan disablon. Pengencer digunakan untuk pencampur tinta agar kekentalan dapat disesuaikan (Gambar 5.6)
114
Gambar 5.6. Contoh Tinta Sablon (Dok. : Ketut Sutar 2014)
Jenis tinta berdasarkan ke gunaannya dapat dibagi menjadi dua yakni tinta tekstil dan non tekstil. Untuk tinta tekstil ini kembali dibagi menjadi beberapa bagian yakni tinta timbul dan tidak timbul, jika tinta timbul di gunakan pada hasil cetakannya akan terasa menonjol sedangkan untuk tinta tidak timbul akan terasa rata jika diraba. Sedangkan tinta non tekstil ada beberapa jenis seperti tinta kertas, tinta untuk plastik, tinta kulit, tinta kaca, tinta logam dan tinta kayu. Macam macam tinta non tekstil memiliki sifat yang berbeda sesuai fungsi benda yang menjadi media cetak sablon. 5.2.3 Alokasi Waktu Teknologi dewasa ini terus mengalami perkembangan pesat. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Teknologi berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Manusia diberikan kemudahan, kenyamanan, serta berbagai fasilitas yang memanjakan. Mulai dari teknologi mesin, komputer, satelit, media komunikasi, alat transportasi, alat pendukung perkembangbiakan makhluk hidup, hingga peralatan pengolah sumber daya.
115
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, secara tradisional pembuatan rerajahan biasanya memilih “dewasa ayu/hari baik” dan persiapan yang cukup dalam melakukan olah rerajahan, apalagi rerajahan tersebut digunakan untuk “Jimat”. Setelah persiapan cukup, masih ada proses lanjutan yaitu "pasupati/pengisian (penyucian)" agar rerajahan dapat memurti atau "hidup" dan bertuah (taksu) (Watra, 2008:11). Waktu yang digunakan untuk membuat rerajahan sangat bervariasi, tergantung dari jenis, ukuran dan banyaknya rerajahan tersebut. Satu buah rerajahan bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari dalam proses pembuatannya, misalnya dengan rerajahan jenis kajang (rerajahan untuk upacara Pitra yadnya), seperti yang dituturkan oleh Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) sebagai berikut: “Dulu sebelum adanya sablon, saya biasanya setiap hari biasa bergadang untuk merajah (menggambar rerajahan), apalagi rerajahan yang bentuknya rumit dan ukurannya besar seperti kajang. Tetapi setelah adanya teknik sablon untuk membuat rerajahan, saya memiliki banyak waktu luang untuk membuat sarana upakara yang lain, dengan kata lain saya tidak lagi terbebani dalam urusan pembuatan rerajahan tersebut ” (Wawancara tanggal; 12 Februari 2014).
Hal senada juga dituturkan oleh tukang sablon I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut: “Saya dapat memproduksi/mencetak rerajahan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan setiap harinya, tergantung pesanan. Dan didalam mencetak rerajahan tersebut saya tidak perlu mencari hari baik seperti yang dilakukan pada jaman dulu (tradisi) ” (Wawancara tanggal; 25 Februari 2014).
116
Dari kedua penuturan di atas menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan teknologi desain grafis/sablon, produksi atau pembuatan rerajahan tidak lagi memilih “dewasa ayu/hari baik”. Kapanpun rerajahan dapat diproduksi secara massal/banyak.
Dengan
memanfaatkan
teknologi
tersebut,
proses
pembuatan/produksi rerajahan dianggap lebih gampang dan lebih cepat, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak, atau dengan kata lain bisa menghemat alokasi waktu dibandingkan dibuat dengan cara tradisional. Fenomena ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan bahwa teknologi memberikan peranan besar dalam menciptakan masyarakat dunia yang semakin canggih dalam menjalani kehidupan yang serba instan. Teknologi mendukung proses produksi perusahaan yang banyak menggunakan mesin-mesin untuk menghasilkan produk secara cepat, sehingga mampu menghemat waktu (Mangunwijaya, 1983 ; 50). Dari penuturan dan teori tersebut dapat dianalisis bahwa aspek pembuatan rerajahan secara tradisional sudah mulai bergeser atau berubah dibandingkan pembuatan rerajahan dengan memanfaatkan teknologi cetak sablon, yaitu pada aspek alokasi waktu. Dimana
dalam pembuatan rerajahan secara tradisional
memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan menggunakan teknik sablon.
5.3 Komodifikasi Produksi Rerajahan Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa teknologi adalah suatu metode sains ataupun metode dalam melaksanakan kegiatan industri. Apabila kita melihat perkembangan di jaman sekarang ini, teknologi mengarahkan kegiatan
117
industri pada proses otomatisasi, sehingga penggunaan tenaga manusia dapat dibatasi dan lebih effisien. Salah satu bentuk teknologi yang menunjang bagi pengadaan barang dan kebutuhan hidup manusia adalah teknologi produksi. Teknologi produksi adalah kegiatan menghasilkan barang berlandaskan pengetahuan. Teknologi produksi sekarang sudah sangat berkembang pesat dibandingkan pada masa dahulu, pada masa dahulu teknologi bersifat sederhana dan tradisional. Cara yang digunakan untuk proses produksi pada masa sekarang dengan menggunakan mesin sedangkan pada masa dahulu menggunakan alat-alat tradisional. Perkembangan teknologi di bidang produksi sangat membantu manusia untuk dapat mempermudah pekerjaan dan mempercepat waktu pengerjaan. Proses mengolah bahan baku menjadi barang jadi disebut produksi. Kegiatan produksi yaitu kegiatan yang dilakukan untuk membuat barang-barang yang kita gunakan. Kegiatan produksi disebut juga proses produksi. Proses produksi diawali dengan menyiapkan bahan baku atau bahan pokok untuk membuat barang. Bahan baku yang digunakan merupakan hasil dari sumber daya alam. Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya.
118
Produksi merupakan segala perbuatan atau kegiatan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk menambah atau mempertinggi nilai dan guna suatu barang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Produksi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menghasilkan barang atau meningkatkan nilai guna suatu barang dan jasa (Steger, 1995 : 65). Hasil produksi pada masa lalu sangat terbatas dan hasil yang didapatpun sedikit dan waktu yang digunakan relatif lebih lama. Hasil produksi pada masa sekarang berbeda jauh dengan masa lalu, pada masa sekarang hasil produksi yang didapat sangat banyak dengan waktu yang lebih cepat, begitu pula halnya dengan produksi rerajahan. Secara konvensional, rerajahan dibuat secara tradisional dengan menggambar langsung pada media yang digunakan, seperti pada kain kafan dan sebagainya. Tetapi dengan adanya teknologi desain grafis, maka proses produksi rerajahan mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan-perubahan tersebut terutama terletak pada proses penggambaran/desain dan pencetakan rerajahan tersebut. Ada pun proses yang
harus dilalui dalam memproduksi rerajahan
melalui teknologi desain grafis yaitu : 1). Proses Desain Dalam proses ini, seorang desainer grafis merancang bentuk rerajahan yang akan dicetak atau diproduksi. Desain ini berupa gambar rerajahan yang menjadi pola cetak sablon. Desain cetak sablon ini dapat dibuat dengan manual ataupun digital. Untuk desain manual biasanya menggunakan tinta hitam pekat
119
digambar menggunkan tangan di atas kertas kalkir, ketentuan dalam desain adalah kepekatan tinta dalam gambar harus merata. Sedangkan jika menggunakan desain digital dapat dibuat di komputer dengan menggunakan software desain grafis seperti Photoshop, atau Corel Draw (Gambar 5.7).
Gambar 5.7. Proses desain digital (komputer) (Dok. : Ketut Sutar 2014)
Hasil olahan gambar ini kemudian di-print di atas kertas kalkir dengan warna hitam putih (Gambar 5.8). Adapun alternatif lain untuk mengganti kertas kalkir dengan memakai kertas HVS tetapi setelah gambar selesai harus di oleskan minyak kelapa, ini berfungsi memberikan agar sinar dapat masuk lewat kertas yang bening pada proses pengafdrukan.
120
Gambar 5.8. Desain rerajahan yang di-print/dibuat pada kertas kalkir (Dok. : Ketut Sutar 2014)
2). Proses afdruk Film ( Eksposing) Proses afdruk Film adalah proses pemindahan gambar model ke screen dengan menggunakan cahaya ultra violet. Bahan yang dipergunakan adalah larutan emulsi dan sensitizer. Proses afdruk dimulai dari melarutkan cairan emulsi dengan sensitizer dengan perbandingan 9:1 yang kemudian dioleskan secara merata pada kain screen. Kemudian kain screen di keringkan dengan memakai kipas angin atau hairdryer, pada proses ini dilakukan diruang gelap untuk menghindari sinar UV membakar lapisan afdruk, karena jikan kena sinar UV dapat diyakinkan proses ini akan gagal (Gambar 5.9).
121
Gam mbar 5.9. Pro oses Afdrukk (Sumberr : Dok : Keetut Sutar 20014)
Setelah prosess pengeringgan awal inii selesai di lanjutkan l prroses penyin naran dengan meenutup denggan film ataau desain yaang telah kiita buat dengan kertas kalkir k tadi. Diattas film diisi d dengann kaca ag gar film tiddak bergesser pada waktu w penyinarann, dan padaa bagian belakang screeen diisi denggan spon daan kain berw warna gelap untuuk menguraangi atau meredam m sinar UV. Seetelah + 1 menit screeen di basahi denngan air, paada proses ini i disebut dengan prooses pengem mbangan, seetelah dibasahi dengan d air dan larutann kimianya telah bersihh dibiarkann sesaat seb belum dibersihkaan dengan mengunakkan hairsp pray. Hairsspray ini berguna untuk u membersihhkan screenn dari sisa-ssisa larutan afdruk padaa bagian Image area. Prooses selanjutnya adallah mengko oreksi gam mbar dengann screen la aquer untuk mennutup Imagee area yangg tidak diing ginkan menjjadi non Image area. Proses P terakhir daalam mengaafdruk filam m adalah peenyinaran akkhir untuk ffinishing, seetelah film selesaai di afdrukk dan di koreeksi dibiark kan kering seebelum diguunakan.
122
3). Proses Cetak/Sablon Persiapan dalam proses penyablonan adalah pemasangan screen diatas media yang digunakan, misalnya kain putih/kafan. Setelah screen terpasang dengan tepat barulah mulai dengan proses pemulasan cat. Dalam proses pewarnaan diusahakan untuk mendahulukan warna terang yang berlanjut ke warna gelap, setelah cat dipulaskan secara merata dengan rakel, screen kemudian diangkat dan hasilnya dikeringkan atau dijemur sebelum melanjutkan kewarna lainnya. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah rerajahan yang diinginkan selesai (Gambar 5.10).
Gambar 5.10. Proses Nyablon (Dok. : Ketut Sutar 2014) 5.4 Komodifikasi Distribusi Rerajahan Distribusi artinya proses yang menunjukkan penyaluran barang dari produsen sampai ke tangan masyarakat konsumen. Produsen artinya orang yang melakukan kegiatan produksi. Konsumen artinya orang yang menggunakan atau memakai barang/jasa dan orang yang melakukan kegiatan distribusi disebut distributor. Distribusi merupakan kegiatan ekonomi yang menjembatani kegiatan
123
produksi dan konsumsi. Berkat distribusi barang dan jasa dapat sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian kegunaan dari barang dan jasa akan lebih meningkat setelah dapat dikonsumsi (Griffin, 2006: 250). Ada berbagai metode dalam distribusi produk yang disebut sebagai metode bauran distribusi, yakni penggunaan berbagai saluran (channel) berbeda untuk membawa produk dari produsen kepada pelanggan/konsumen ataupun yang dikenal sebagai pengguna akhir dari suatu produk. Metode bauran tersebut adalah (1) perantara; individual atau perusahaan yang membantu mendistribusikan produk, (2) pedagang grosir; perantara yang menjual produk kepada perusahaan lain, untuk dijual kembali kepada konsumen akhir, (3) pengecer; perantara yang menjual produk langsung kepada konsumen, (4) saluran distribusi; jaringan antar perusahaan yang dilalui oleh produk dari produsen kepada pengguna akhir, dan (5) saluran langsung; saluran distribusi yang digunakan oleh produk dari produsen kepada konsumen tanpa adanya perantara (Griffin, 2006: 336). Teori yang diungkapkan Griffin ini identik dengan penuturan Gede Naba (45) sebagai berikut: “Rerajahan yang saya produksi dengan teknik cetak sablon biasanya distribusikan kepada sulinggih/pemangku sebagai perantara, pedagang sebagai penjual langsung, dan ada pula yang datang langsung ke tempat saya untuk membeli/memesan rerajahan tersebut” (Wawancara tanggal; 25 Februari 2014). Penuturan diatas menggambarkan bahwa proses distribusi rerajahan telah mengarah dan atau menyentuh sistem distribusi produk sebagaimana terjadi dalam strategi pamasaran pada umumnya. Penuturan tersebut juga sesuai dengan yang diungkapkan Griffin (2006), yang menyebutkan bahwa distribusi memiliki
124
pengertian menempatkan produk ke outlet yang sesuai atau cara menyampaikan produk dari produsen kepada konsumen, termasuk keputusan mengenai pergudangan dan pengendalian persediaan serta keputusan mengenai saluran (channel) yang akan digunakan dalam mendistribusikan produk-produk (Griffin, 2006: 281). Kendatipun belum semua aspek dari metode bauran distribusi diterapkan dalam realitas distribusi produk-produk rerajahan, namun beberapa di antaranya merupakan suatu perbandingan lurus. Bentuk distribusi rerajahan yang paling nampak secara kasat mata adalah distribusi saluran langsung dimana hasil produksi rerajahan dijual secara langsung kepada konsumen melalui di toko-toko atau kios-kios yang menjual perlengkapan upacara (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Distribusi saluran langsung (Dok. : Ketut Sutar 2014) . Gambar 5.11 menunjukkan bahwa rerajahan dipajang di outlet/toko yang digunakan sebagai tempat distribusi rerajahan hasil komodifikasi. Di Kecamatan Tabanan terdapat banyak kios-kios yang menjual hasil produksi rerajahan
125
tersebut, terutama kios-kios yang menjual perlengkapan sarana untuk upacara umat Hindu seperti yang terdapat pada tabel 4.3. Dalam rangka ekspansi pasar distribusi rerajahan, beberapa tukang sablon menjalin kerja sama mutualisme dengan beberapa sulinggih yang ada di wilayah Kecamatan Tabanan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa beberapa sulinggih memiliki banyak pengikut/sisya yang sering menggunakan rerajahan untuk perlengkapan upacara mereka. Dalam pemahaman metode distribusi bauran Griffin, distribusi rerajahan di Kecamatan Tabanan dibagi ke dalam beberapa kelompok yang berperan dalam proses distribusinya. Pertama, para desainer grafis / tukang sablon yang memproduksi rerajahan menjualnya secara langsung ke kios-kios perlengkapan upacara yang ada di Kecamatan Tabanan, bahkan ada yang sampai menjualnya keluar Kecamatan Tabanan. Kedua, peran seorang sulinggih yang berusaha memasarkan rerajahan hasil sablon ke para pengikutnya (sisya) merupakan perwujudan perannya sebagai “pedagang” yakni menjual rerajahan tersebut kepada pengikutnya/sisyanya selaku konsumen. Dan apabila sulinggih tersebut tidak menjualnya secara langsung kepada sisyanya/konsumen, tetapi didistribusikan lagi kepada sulinggih yang lain untuk selanjutnya baru dijual kepada konsumen, maka peran sulinggih tersebut sebagai “pedagang” berubah menjadi bagian dari “perantara” yang menjual produk rerajahan kepada para sisya sulinggih yang lain (konsumen). Ketiga, peran kelompok pedagang sarana upacara/upakara dalam proses distribusi produk-produk rerajahan dilakukan dengan menjual hasil-hasil produk
126
tersebut dan disalurkan melalui kios-kios atau toko-toko yang mereka miliki untuk dijadikan bahan dagangan. Peran kelompok pedagang sarana upakara dalam hal ini adalah menjadi perantara, yakni peran individual atau usaha yang membantu mendistribusikan produk secara langsung ke pembeli/konsumen.
5.5 Komodifikasi Konsumsi Rerajahan Konsumsi merupakan proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam sebuah obyek, dan karena itu dipandang sebagai proses obyektifikasi yaitu proses dimana orang melakukan eksternalisasi dan internalisasi dengan menggunakan obyek sebagai medianya. Ekternalisasi nilai melalui proses obyektifikasi berarti menciptakan nilai-nilai pada obyek tertentu, sedangkan internalisasi nilai berarti memberikan pengakuan serta menerima nilai-nilai tersebut ke dalam dirinya (Pilliang, 2010: 146). Berkaitan dengan itu, terdapat 4 topik utama pembahasan yang berkaitan dengan konsumsi yakni: subyek konsumsi, obyek konsumsi, lingkungan konsumsi, dan proses konsumsi (Ritzer & Smart, 2001: 831). Keempat topik yang berkaitan dengan konsumsi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1). Subyek Konsumsi. Subyek konsumsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah orang yang ikut secara langsung mengkonsumsi atau menggunakan produk rerajahan hasil komodifikasi melalui teknologi desain grafis untuk keperluan upacara yadnya yang mereka lakukan. Berkaitan dengan konsumsi rerajahan di
127
Kecamatan Tabanan, dapat diamati bahwa subyek konsumen rerajahan terdiri dari beberapa kelompok sesuai dengan tempat rerajahan tersebut didistribusikan. Secara umum subyek konsumsi rerajahan dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu: pembeli langsung dan sisya dari para sulinggih. Pembeli langsung yang dimaksudkan disini yaitu konsumen yang datang langsung ke kioskios atau toko-toko yang menjual rerajahan hasil komodifikasi untuk membeli dan menggunakan produk tersebut untuk kebutuhan upacara keagamaan mereka (Gambar 5.12).
Gambar 5.12. Subyek konsumsi langsung (Dok. : Ketut Sutar 2014) Gambar 5.12. menunjukkan seorang konsumen datang langsung ke tempat kios/toko perlengkapan upacara umat Hindu untuk membeli rerajahan hasil komodifikasi. Dalam hal ini konsumen tersebut didifinisikan sebagai subyek konsumsi langsung. Menurut penuturan informan, konsumen langsung ini datang dari berbagai desa di Kecamatan Tabanan, bahkan tidak sedikit dari luar Kecamatan Tabanan. Selanjutnya dilihat dari kasta atau status sosial tradisionalnya, konsumen jenis ini berasal dari berbagai kasta dan klan/soroh.
128
Secara tradisional masyarakat Bali pada umumnya mengenal status atau kedudukan sosial yang terbelah ke dalam sistem kasta dan wangsa. Sistem kasta yaitu penggolongan masyarakat Bali berdasarkan keturunan yang ditandai dengan perbedaan nama kasta yang terpresentasikan ke dalam berbagai atribut yang menyertainya, seperti misalnya : Anak Agung, Ida Bagus, Gusti, Wayan dan sebagainya.
Sedangkan
sistem
klan/soroh
adalah
penggolongan
atau
pengelompokkan masyarakat bali berdasarkan kekerabatan atau keturunan dari seorang nenek moyang yang diperhitungkan dari keturunan sejenis (patrilineal) yang sering juga disebut dengan dadia. Beda dengan kasta, soroh ini biasanya jarang dipakai atau melekat pada atribut atau nama yang dipakai oleh pemiliknya, seperti misalnya : soroh Pande, Arya, Pasek, Alangkajeng, dan yang lainnya (Bagus, 1985 : 128). Subyek konsumsi yang berikutnya yaitu sisya. Menurut Rica (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Perubahan Pola Hubungan Pasisyan pada Masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok”, mengatakan dalam analisisnya bahwa pola hubungan pasisyan dikaitkan dengan landasan sastra seharusnya simbolik antara siwa (sulinggih) sebagai perwujudan Tuhan dengan para sisya sebagai daksita, kenyataannya hubungan pasisyan terjadi perubahan. Terjadinya perubahan struktur dipihak siwa/sulinggih dan sisya, setidaknya akan berpengaruh terhadap perubahan fungsinya masing-masing dan korelasi fungsional. Mencermati perubahan hubungan simbolik merupakan suatu kebutuhan dalam usaha mempertahankan nilai-nilai spiritual pemaknaan terhadap simbol-simbol, bersifat vertikal dan horizontal seharusnya bersifat sakral sehingga
129
fungsi tiap-tiap siwa maupun sisya dan beberapa hal perlu diketahui arah perubahannya. Fungsi-fungsi yang diperankan siwa dan sisya ini antara lain: pertama siwa berfungsi memberikan perlindungan spiritual, pengetahuan, dan jasa keagamaan serta dalam kasus tertentu memberikan perlindungan instrumental, bentuk hubungan pasisyan menguatkan pemahaman dengan perlindungan spiritual dibuktikan dengan adanya keterikatan sisya untuk memohon restu dalam bentuk simbolik berupa tirtha dan jatu kepada siwa. Terarahnya pola hubungan mewujudkan perlindungan instrumen dapat dipahami adanya konsep panjak yang berarti pekerja. Perlindungan spiritual, pengetahuan keagamaan, dan praktik hidup beragama telah membentuk hubungan ketidaksamaan antara siwa dan sisya. Kedua, pengaruh pertukaran hubungan siwa sisya secara simbolik dengan beberapa faktor dalam perubahan pola hubungan pasisyan menjadi terwujud pola hubungan yang baru. Dari struktural dan kultural menimbulkan perkembangan berarti pada fungsi struktur dan fungsi pasisyan di antaranya sebagian tugas siwa mulai dilaksanakan oleh para walaka yang telah mawinten. Ketiga, terarahnya pola hubungan pasisyan sebagai fungsi membentuk struktur baru yaitu primus inter pares yang dimiliki oleh seorang sulinggih kemudian ditularkan kepada para walaka sehingga dalam memerankan fungsi siwa, walaka diperlakukan berbeda dengan kedudukan anggota masyarakat biasa, dalam rangkaian proses adaptasi kultural dengan terakomodasinya perubahan fungsi siwa kepada walaka tanpa harus menurunkan makna ideal siwa itu sendiri.
130
Penelitian Rica di Lombok itu tidak jauh berbeda dengan hubungan siwasisya yang ada di Bali. Pada dasarnya konsep hubungan siwa dengan sisyanya dilandasi oleh bhisama para leluhur mereka untuk menempatkan siwa selaku dewa pada siwa di dunia ini. Peran siwa adalah sebagai pengayom bagi sisya yang dilandasi rasa bhakti. Akan tetapi pada saat sekarang ini, terjadi perubahan hubungan antara siwa dengan sisyanya. Hubungan tersebut bukan hanya sebatas pengayom atau pelindung semata, tetapi sudah terjadi hubungan secara ekonomi. Hubungan
ekonomi
yang
dimaksud
yaitu
sekarang
siwa
menyiapkan
perlengkapan sarana upakara sesuai permintaan sisya dan sebagai pengganti atau sebagai alat tukar adalah sisya membayar dengan harga tertentu sarana upakara yang dibeli pada siwanya. Begitu pula halnya dengan sarana upakara rerajahan, sisya dapat memesannya pada siwa/sulinggih mereka masing-masing dengan imbalan berupa uang (Rica, 2005:45). Dari rangkaian penjelasan diatas menunjukkan bahwa rerajahan hasil komodifikasi dapat dikonsumsi oleh berbagai kelompok konsumen baik masyarakat umum maupun masyarakat yang merupakan sisya dari salah satu siwa/sulinggih. 2). Obyek Konsumsi. Obyek konsumsi dipahami sebagai barang (bersifat fisik) dan jasa (bersifat non-fisik) yang turut berpengaruh terhadap kesejateraan hidup manusia. Dalam sudut pandang ekonomi, barang yang dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup manusia disebut sebagai barang-barang ekonomis baik yang bersifat barang konsumsi (consumption goods) yaitu barang yang dapat memberikan kepuasan
131
secara langsung kepada manusia (konsumen) maupun barang investasi atau barang modal (investment goods atau capital goods) yaitu barang-barang yang dapat digunakan untuk dapat mengahasilkan produksi lebih lanjut. (Shadily, 1973: 132). Berhubungan dengan obyek konsumsi rerajahan hasil komodifikasi, Ida Pedanda Gde Mas Putraka Telaga (67) menuturkan sebagai berikut: “Pada saat ini masyarakat lebih senang mengkonsumsi rerajahan yang didapat dengan cara membeli pada kios-kios terdekat, tanpa memikirkan makna/tujuan yang terkandung dari rerajahan tersebut. Rerajahan yang mereka beli dan digunakanan untuk keperluan upacara hanya sebagai pelengkap semata (simbolik/estetika) tanpa memiliki makna religiusnya (sakral). (Wawancara tanggal; 25 Februari 2014). Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa berbagai produk-produk rerajahan telah berubah menjadi obyek konsumsi atau obyek komoditas dalam proses komodifikasi. Perubahan atau pergeseran dalam berbagai bentuk ini telah berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap produk rerajahan tersebut dari ikatan-ikatan makna religius, makna sosial kulturalnya baik tempat, fungsi maupun makna simbolisnya bagi masyarakat di Kecamatan Tabanan khusunya serta masyarakat Hindu Bali pada umumnya. Walaupun dari sudut pandang siklus produksi obyek konsumsi rerajahan masih memiliki keterikatan, dalam pengertian masih diproduksi di dan oleh masyarakat Hindu Bali, namun pemanfaatannya telah melampaui batas-batas pakem yang ada. Penuturan di atas identik dengan ungkapan Ritzer & Smart (2001) yang mengatakan bahwa perubahan suatu obyek menjadi obyek konsumsi akan terjadi bila keberadaannya tidak lagi ditentukan atau terikat oleh (1) tempat obyek di dalam siklus produksi, (2) kegunaan fungsional obyek, dan (3) makna simbolis
132
obyek yang bersangkutan. Dengan kata lain, perubahan obyek menjadi obyek konsumsi berarti membebaskan obyek tersebut dari ikatan-ikatan makna sosial kulturalnya, dan mengarah kepada makna baru yaitu makna-makna iklan (imingiming) untuk menarik lebih banyak obyek ke dalam sistem fashion. Konsekuensinya
adalah semakin berkuasanya tontonan obyek konsumsi atau
monopolisasi di wilayah penampilan, sehingga penampilan menjadi bagian terpenting dari obyek konsumen itu dari pada nilai guna yang terkandung secara intrinsik dalam obyek ataupun nilai tukar yang mungkin tersembunyi (Ritzer & Smart, 2001: 833). Berdasarkan pengamatan peneliti dan wawancara dengan beberapa informan, obyek konsumsi rerajahan hasil komodifikasi melalui teknologi desain grafis yang banyak diproduksi dan dikonsumsi oleh umat Hindu di Kecamatan Tabanan dapat dilihat pada tabel 5.1 dan tabel 5.2 .
Tabel 5.1 Jumlah rerajahan yang dicetak (Januari-Mei, 2014)
No
Jenis Rerajahan
Bulan Jan
Feb
Maret
April
Mei
250
200
150
150
500
1.
Dewa Yadnya
2.
Rsi Yadnya
-
-
-
-
-
3.
Manusa Yadnya
-
-
-
-
-
4.
Pitra Yadnya
5
5
5
10
5
5.
Bhuta Yadnya
200
200
450
50
300
(Sumber : I Nyoman Sukaresi)
133
Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa rerajahan yang banyak dicetak dan dipesan pada salah satu industri sablon di Kecamatan Tabanan adalah rerajahan untuk upacara Dewa Yadnya dan rerajahan untuk upacara Butha Yadnya. Sedangkan rerajahan untuk upacara Manusa Yadnya dan Rsi Yadnya tidak pernah dicetak atau disablon karena tidak ada pesanan. Disamping itu juga rerajahan yang digunakan pada upacara Manusa Yadnya dan Rsi Yadnya biasanya menggunakan media-media yang sulit untuk di sablon, seperti : daun, logam, gerabah/telebingkah, atau pada badan manusianya sendiri.
Tabel 5.2 Jumlah rerajahan yang terjual (Januari-Mei, 2014) No
Jenis Rerajahan
Bulan Jan
Feb
Maret
April
Mei
114
146
95
120
368
1.
Dewa Yadnya
2.
Rsi Yadnya
-
-
-
-
-
3.
Manusa Yadnya
-
-
-
-
-
4.
Pitra Yadnya
-
-
-
-
-
5.
Bhuta Yadnya
128
87
352
35
242
(Sumber : Ni Nengah Sutariasih) Dari data yang tertera pada tabel 5.2, menunjukkan bahwa jumlah rerajahan yang diproduksi jumlahnya identik dengan rerajahan yang terjual pada kios/toko sarana upacara yang ada di Kecamatan Tabanan. Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa rerajahan yang banyak terjual dalam kurun waktu 5 bulan (Januari – Mei, 2014) pada salah satu kios/toko di Kecamatan Tabanan adalah rerajahan untuk upacara Dewa Yadnya dan rerajahan untuk upacara Butha Yadnya. Sedangkan rerajahan untuk upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan
134
Rsi Yadnya tidak ada yang terjual. Menurut informan, hal tersebut terjadi karena memang ketiga rerajahan tersebut tidak dijual di kios mereka akibat tidak adanya suplai dari tukang sablon dan juga tidak adanya permintaan dari konsumen. Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewa-dewa. Sebagai pelengkap upakaranya bentuk rerajahan yang sering digunakan sehubungan dengan yadnya ini adalah rerajahan "Ulap-ulap” (Gambar 5.13).
Gambar 5.13. Contoh rerajahan untuk upacara Dewa yadnya (Dok. : Ketut Sutar 2014)
Rerajahan pada gambar 5.13, digambarkan dengan Sang Hyang Ghana diapit oleh Sang Hyang Acintya dan dikelilingi dengan huruf Modre. Rerajahan ini dicetak pada kain putih yang bentuknya segi empat. Penerapannya adalah
135
dipasang pada bangunan sehubungan dengan upacara pemelaspasan sebuah bangunan tempat suci (pura) atau rumah tinggal baru. Butha Yadnya atau disebut juga dengan Upacara Mecaru yaitu suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu yang ditujukan kepada Butha Kala atau makhluk halus agar tidak mengganggu ketentraman kehidupan manusia di dunia. Rerajahan yang dipakai dalam upacara ini adalah rerajahan “Sang Hyang Yama”(Gambar 5.14).
Gambar 5.14. Contoh rerajahan untuk upacara Butha Yadnya (Dok. : Ngurah T.Y 2002)
Rerajahan ini menggambarkan Sang Hyang Yama yang berwujud raksasa dan membawa berbagai bentuk senjata. Dalam kepercayaan Hindu, Sang
136
Hyang Yama disebut juga sebagai dewa kematian. Beliau membasmi perbuatan jelek dan jahat tanpa pandang bulu. Rerajahan ini dibuat pada selembar kain putih dipakai bendera/kober. Tangkainya terbuat dari bambu gading (tiing gading), tempatnya diatas nasi pecaruan atau pada sanggah pesaksi. Khusus untuk Tawur Resi Gana menggunakan rerajahan Sang Hyang Resi Gana (Gambar 5.15).
Gambar 5.15. Rerajahan Sang Hyang Resi Gana (Dok. : Ngurah T.Y 2002) Rerajahan ini digambarkan dalam bentuk Sang Hyang Rsi Gana dengan memegang gada dan tangan yang satu lagi memegang bajra (Gina Pati). Rerajahan dibuat dua lembar dan tangkainya dibuat dari bambu kuning (tiing gading). Berkaitan dengan obyek konsumsi rerajahan Dewa Yadnya dan Butha Yadnya, Gede Naba (45) menuturkan sebagai berikut: “Penyebab rerajahan jenis Dewa Yadnya dan Butha Yadnya banyak diproduksi dan dijual karena kedua rerajahan tersebut sering dibeli dan dipesan oleh konsumen. Menurut pengamatan saya, upacara Dewa Yadnya
137
dan Bhuta Yadnya sering dilaksanakan oleh umat Hindu di Kecamatan Tabanan, jadi dalam melaksanakan upacara tersebut pastilah mereka menggunakan rerajahan sebagai pelengkap upakaranya. Disamping itu pula kedua rerajahan tersebut mudah disablon karena kebanyakan menggunakan kain” (Wawancara tanggal; 27 Maret 2014). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa penyebab rerajahan untuk upacara Dewa Yadnya dan Butha Yadnya banyak diproduksi dan dijual yaitu: mudah dicetak/sablon dan pesanan/permintaannya banyak. 3). Tempat Konsumsi. Dalam usahanya menyoroti masalah yang memiliki keterkaitan erat dengan konsumsi dan konsumen, Ritzer & Smart (2001) menaruh perhatian besar terhadap tempat-tempat konsumsi seperti deretan pertokoan dan ruang galeri atau pameran karya-karya seni lukis yang digambarkannya sebagai “tempat ziarah bagi pemujaan komoditas”. Menurutnya perubahan pengetahuan dan atau teknologi (seperti halnya penataan etalase toko dan pameran seni) akan menghasilkan tempat-tempat baru konsumsi (temasuk barang-barang yang ditawarkan) dan juga menciptakan tempat-tempat tersebut menjadi lebih fantastis yang disebut phantasmagoria (Ritzer & Smart, 2001: 841). Esensi phantasmogaria adalah seni yang digabungkan dengan tekonologi untuk memproduksi lingkungan konsumsi yang semakin fantastik yakni semacam dunia impian dengan tujuan lebih menarik bagi konsumen dalam meningkatkan konsumsi. Dalam konteks itu, barang-barang cendramata kemudian dipajang dengan sangat mencolok dan dikemas dalam aura hiburan, sehingga mengarah kepada munculnya hiburan dan konsumsi secara bersamaan. Ketika sampai pada
138
tahap ini, maka antara hiburan dan konsumsi menjadi sulit untuk dibedakan (Ritzer & Smart, 2001: 840-844). Dalam kaitannya dengan pandangan tersebut, produk rerajahan yang merupakan hasil dari komodifikasi melalui teknologi desain grafis telah berpengaruh secara langsung terhadap proses penciptaan tempat atau lingkungan konsumsi dari rerajahan itu sendiri. Penciptaan tempat konsumsi ini terjadi baik menyangkut kegiatan produksi maupun model distribusi langsung yang dilakukan oleh para pedagang sarana upakara. Dari segi kegiatan produksi, tempat konsumsi rerajahan tercipta melalui kegiatan produksi yang dilakukan para tukang sablon ditempat yang lebih modern, seperti misalnya studio desain. Pergeseran lingkungan konsumsi rerajahan dari yang bersifat individu ke yang bersifat umum dan lebih modern tersebut merupakan proses penciptaan ruang baru atau tempat konsumsi baru bagi rerajahan. Penciptaan ruang baru konsumsi tersebut dengan sendirinya akan berdampak pada munculnya berbagai elemen konsumen baru baik dari masyarakat Kecamatan Tabanan maupun masyarakat dari luar Kecamatan Tabanan. Di samping itu, penciptaan tempat atau ruang baru konsumsi dapat juga diamati dari hasil-hasil produksi rerajahan yang langsung dipajang pada tempat-tempat penjualan sarana upakara umat Hindu di Kecamatan Tabanan (Gambar 5.16).
139
Gambar 5.16. Kios/toko perlengkapan sarana upacara (Dok. : Ketut Sutar 2014) Gambar 5.16 menunjukkan bahwa pemajangan rerajahan di kios-kios merupakan penerapan model distribusi langsung yang dilakukan oleh para pedagang sarana upakara sebagai bentuk strategi di dalam menciptakan tempat konsumsi. 4). Proses Konsumsi Daniel Miller seorang etnografi berkebangsaan Inggris pernah meneliti tentang proses konsumsi. Miller mengungkapkan bahwa sebenarnya ada tiga tahap menuju konsumsi yakni (1) real shopping atau power shopping, (2) shopping strategy, dan (3) very gendered consummers. Real shopping atau power shopping adalah sebuah pengalaman belanja murni sebagai visi yang berada pada tingkat wacana dan bukan dalam praktek shopping, namun memiliki kekuatan untuk menggerakan sang subyek konsumsi/konsumen lewat imajiner pengalaman
140
shopping yang dapat saja menyapu segala yang dilaluinya. Oleh karena itu, the real shopping lebih banyak mengandung unsur-unsur hedonistis. Tahapan konsumsi yang kedua yakni shopping strategy merupakan suatu bentuk negosiasi dari real shopping (belanja murni). Walaupun tahapan ini masih mengandung unsur hedonistis seperti pada tahapan konsumsi imajiner misalnya menonjolkan barang-barang konsumsi dengan harga mahal atau dalam bentuk pengeluaran yang berlebihan, namun konsumen sudah mulai menerapkan strategi dan
ketrampilan
penghematan
terhadap
modal
ataupun
uang
untuk
membelanjakan barang-barang konsumsi dalam bentuk sikap tawar menawar. Tahapan ketiga dalam proses konsumsi yakni very gendered consumers merupakan bentuk konsumsi yang berhubungan dengan kehidupan sosial nyata dan ideal yang membentuk dunia konsumen atau pembelanja. Konsumen yang muncul dalam tahapan konsumsi ini umumnya adalah konsumen tipikal yang mengarahkan perhatiannya kepada gender-gender produk atau obyek konsumsi tertentu, yang dapat berdampak secara kualitas terhadap dirinya sebagai individu (Ritzer & Smart, 2001: 845-848). Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang proses konsumsi rerajahan, maka pembuatan tempat-tempat baru (kios/toko) konsumsi melalui kegiatan penjualan dan pemajangan hasil-hasil produksi rerajahan pada wilayah yang terbuka (opened space) merupakan salah satu bentuk penjualan hasil produk guna menarik minat konsumen dalam mengkonsumsi rerajahan. Konsumsi tersebut tentunya tidak terjadi secara otomatis, tetapi melalui proses pengamatan terhadap
141
berbagai produk yang ada yang berdampak pada dorongan untuk membelinya (real shopping) dan dikonsumsi untuk berbagai kepentingan upacara. Hasil pengamatan konsumen yang dilakukan secara sepintas dan menyeluruh terhadap produk-produk rerajahan baik langsung maupun tidak langsung, biasanya akan diinternalisasikan kembali ke dalam diri konsumen tersebut yang dikaitkan dengan fungsi dan manfaat yang diperoleh serta kesanggupan finansial untuk membeli produk rerajahan yang bersangkutan. Proses pengamatan langsung terjadi ketika konsumen dengan kesadarannya sendiri melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek konsumsi rerajahan pada kios-kios atau toko-toko penjualan sarana upakara, sedangkan pengamatan tidak langsung terjadi karena konsumen secara tidak langsung melihat obyek rerajahan tersebut ditempat sulinggih/siwanya masing-masing.
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS DI KECAMATAN TABANAN
Kemajuan jaman yang ditandai dengan era globalisasi telah menghadirkan realitas kehidupan masyarakat negara-negara berkembang khususnya masyarakat tradisional akan adanya kecendrungan berdampingnya dua budaya berbeda (yang tampak secara kontradiktif) yaitu antara budaya global dengan budaya lokal. Kontradiksi ini terjadi karena sebelum globalisasi melanda komunitas-komunitas lokal, masyarakat sesungguhnya telah memiliki budaya lokal (tradisi) sebagai produk unggulan dalam meng-counter budaya global (Steger, 1995: 112). Budaya global dalam kaitannya dengan budaya lokal adalah globalisasi budaya modernitas yang dengan sengaja dibedakan dari globalisasi dalam arti luas (makro) yakni globalisasi ekonomi dan globalisasi politik. Globalisasi ekonomi dan politik biasanya mengacu kepada sistem korporasi ekonomi dan politik modern dalam berbagai perusahaan multi dan atau transnasional sertapengaruh kapitalis transnasional terhadap sistem ekonomi polititk
negara-negara
berkembang. Sedangkan globalisasi budaya modernitas merupakan globalisasi yang mengacu pada prinsip-prinsip hidup modern sebagaimana tercermin dalam idiologi kultural konsumerisme (Steger, 1995: 115). Ketika diperhadapkan dengan dua bentuk realitas kehidupan (budaya global dan budaya lokal) tersebut, masyarakat tradisional umumnya akan cendrung memilih atau lebih tepat dikatakan terdesak untuk memilih budaya global dengan segala kekhasannya yang dianggap lebih mudah dan praktis dalam
142
143
usaha memenuhi tuntutan-tuntutan kebutuhan hidup masyarakatlokal.Kehidupan akan bergerak maju dengan sebuah dorongan untuk menjadi modern, dimana modernisasi menjadi proyek normatif sekaligus tujuan yang ingin diraih, sebagai wujud dari keadaan masyarakat yang semakin rasional dalam arti menuju modernitas (Hardiman, 2003: 10). Kecendrungan sebagaimana digambarkan di atas, juga sangat dipengaruhi oleh adanya kebijakan pembangunan khususnya pada masa pemerintahan orde baru yang menekankan pertumbuhan dengan ukuran-ukuran kuantitatif. Dengan demikian maka kebijakan pembangunan akhirnya terarah kepada sistem pembangunanisme yakni pembangunan yang mengedepankan konsep-konsep imajiner kehidupan manusia seperti modern, maju, makmur dan sejahtera. Dengan kata lain, kecendrungan tersebut telah melahirkan proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalistik atau membela kepentingan pemodal dapat menyebabkan komodifikasi, Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar (Barker, 2005 : 517). Dalam kaitannya dengan pembahasan ini maka obyek, kualitas dan tanda yang dirubah menjadi komoditas melalui proses komodifikasi adalah rerajahan Secara obyektif rerajahan adalah tradisi warisan leluhur masyarakat Hindu di Bali yang dikerjakan secara tradisional mulai dari tahapan praproduksi, produksi maupun pascaproduksi. Pengetahuan serta ketrampilan “merajah” diwariskan turun temurun pada kelompok masyarakat tertentu (sulinggih, pemangku,
144
sangging, dan yang lainnya) yang berkompeten membuat rerajahan secara tradisional. Rerajahan yang merupakan sarana pelengkap upacara masyarakat Hindu Bali yang pada umumnya diyakini memiliki nilai sakralitas, magis, serta religius, dalam perjalanannya harus berhadapan atau berinteraksi dengan budaya global yang ditumpangi oleh kapitalis. Interaksi antara budaya global dan budaya lokal tersebut tidak serta merta menghasilkan komodifikasi rerajahan secara langsung, namun setidaknya telah menjadi penyebab utama yang akan berpengaruh terhadap penyebab lainnya yang lebih berdampak secara langsung terhadap komodifikasi rerajahan. Selain hal tersebut, faktor-faktor penyebab terjadinya komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan adalah faktor internal yang datang dari dalam lingkungan masyarakat Kecamatan Tabanan sendiri dan berbagai faktor eksternal yang datang dari luar masyarakat dan tradisi Agama Hindu di Kecamatan Tabanan.
6.1 Faktor-faktor Internal Proses komodifikasi rerajahan yang dipahami sebagai perubahan budaya tidak dapat dilepaskan dari latar belakangnya sebagai bagian dari kompleksitas kebudayaan Agama Hindu yang memiliki teritorial kulturalnya sendiri. Keberadaan rerajahan yang sudah ada sejak lama dalam tatanan kehidupan masyarakat Hindu Bali telah berdampak secara signifikan dalam mengkonstruksi kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali khususnya di Kecamatan Tabanan. Terjadinya komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan tidak saja disebabkan oleh faktor secara eksternal, tetapi terjadinya komodifikasi rerajahan tersebut juga disebabkan oleh faktor internal seperti : faktor keterbatasan
145
pengetahuan dan keterampilan, faktor pewarisan budaya dan faktor ekonomi. Ketiga faktor internal yang menyebabkan terjadinya komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan ini akan diuraikan di bawah ini. 6.1.1
Faktor Keterbatasan Pengetahuan dan Keterampilan Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di dalam proses
pembuatan rerajahan secara tradisional, memerlukan sarana atau media tertentu, dimana media tersebut tergantung dari tujuan dan fungsi rerajahan yang dibuat. Biasanya rerajahan dibuat dengan cara ditulis/digambar tangan pada media kertas, kain kafan, peripih (emas, tembaga, selaka, kuningan), daun lontar, bendabenda tertentu sesuai tujuannya ; seperti. telebingkah, kertas, tiying empet (bambu tidak berongga), tiying gading (bambu kuning), bata, batu, paras, dan kayu. Rerajahan biasanya dibuat oleh orang-orang tertentu saja, seperti misalnya: sulinggih, pemangku, sangging dan sebagainya, dan juga biasanya memilih “dewasa ayu/hari baik” dan persiapan dalam melakukan olah rerajahan, apalagi rerajahan tersebut digunakan untuk “jimat”. Setelah persiapan cukup, masih ada proses lanjutan yaitu "pasupati/pengisian (penyucian)" agar rerajahan dapat memurti atau "hidup" dan bertuah (Watra, 2008:10). Keberadaan rerajahan pada dasarnya sangat berkaitan erat dengan segala pengetahuan tradisional pembuatnya, yakni sulinggih, pemangku, sangging dan yang lainnya. Semua tahapan dalam rangkaian produksi rerajahan (praproduksi, produksi dan pascaproduksi), dilakukan dengan berpedoman pada sistem pengetahuan dan keterampilan secara tradisional.
146
Pada tahapan praproduksi, sulinggih/pemangku/sangging harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memulai pembuatan rerajahan. Berbagai pengetahuan yang perlu dikuasai dalam kaitannya dengan itu yakni : penentuan hari baik/dewasa ayu, pemilihan media/bahan, serta yang paling penting pengetahuan tentang jenis-jenis rerajahan yang akan dibuat. Pengetahuan dan teknik pembuatan rerajahan secara tradisional pelan namun pasti mulai mengalami pergeseran dan bahkan dikhawatirkan hilang bersamaan dengan perubahan pola kebiasaan masyarakat khususnya di Kecamatan Tabanan. Kebiasaan membuat rerajahan dengan menggunakan teknik tradisional mulai beralih dengan menggunakan teknologi komputer dan sablon yang dianggap lebih gampang dan lebih efisien. Pergeseran pengetahuan dan teknik produksi rerajahan sebagaimana digambarkan di atas, telah berdampak secara langsung terhadap mulai hilangnya pengetahuan tentang cara-cara pembuatan rerajahan. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya minat para sulinggih/mangku/sangging untuk membuat rerajahan secara manual/tradisional. Mereka biasanya lebih memilih memesan atau menggunakan rerajahan hasil komodifikasi melalui teknologi desain grafis dari tukang sablon. Hal tersebut identik dengan penuturan Gede Naba (45) sebagai berikut: “Pada saat sekarang, banyak sulinggih/pemangku khususnya di Kecamatan Tabanan yang enggan membuat rerajahan sendiri secara tradisional/manual. Mereka lebih memilih memesan/menggunakan rerajahan hasil sablonan saya. Setelah saya menanyakan kepada beberapa sulinggih/pemangku, mereka rata-rata beralasan lebih efektif dan efisien. Yang mengejutkan saya, ada beberapa sulinggih/pemangku yang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan
147
tentang membuat rerajahan secara tradisional.” (Wawancara tanggal; 27 Maret 2014). Dari penuturan di atas menggambarkan bahwa selain faktor waktu, alasan sulinggih/pemangku lebih senang menggunakan rerajahan hasil sablon adalah karena tidak semua sulinggih/pemangku di Kecamatan Tabanan memiliki pengetahuan dan keterampilan di dalam membuat rerajahan secara tradisional. Fenomena di atas kontradiktif dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Sastra (2005), bahwa calon sulinggih/pemangku tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghapalkan Puja Stawa (mantram) untuk mengantarkan umat sembahyang atau melakukan upacara yadnya, tetapi calon pemangku/sulinggih hendaknya menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang menyangkut persoalan hidup dan kehidupan umat manusia sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama Hindu dalam kitab sucinya (Sastra, 2005 : 15). Dari penuturan dan teori di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran nilai di dalam mengangkat seorang sulinggih/pemangku pada masa sekarang. Hal tersebut disebabkan karena ada sulinggih/pemangku yang tidak belajar keterampilan dan pengetahuan tentang ritual keagamaan sebelum mereka diangkat atau mengemban tugas tersebut, termasuk pengetahuan dan keterampilan ngerajah. 6.1.2
Faktor Pewarisan Budaya Perubahan dapat didefinisikan secara konseptual sebagai perkembangan,
pergeseran, penggantian (subtitusi) komponen atau subsistem kebudayaan tertentu pada masa perkembangan tertentu dan terjadi di lingkungan sosial tertentu pula.
148
Penyusutan fungsi sebuah komponen budaya merupakan ciri dinamika kebudayaan (Koentjaraningrat, 1980:191). Pemindahan khazanah budaya dari generasi satu ke generasi yang lainnya (dari generasi tua ke generasi muda) dilakukan secara lisan dan tulisan. Pemindahan nilai-nilai budaya umumnya secara lisan, dituturkan dengan ceritacerita pada waktu menjelang tidur oleh ibu atau bapak kepada anak-anaknya kakek atau nenek kepada cucu-cucunya. Saat ini pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah jarang atau tidak lagi dilakukan oleh orang tua kepada anakanaknya. Orang tua seakan-akan tidak lagi perduli dengan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Orang tua sudah tidak mewariskan tradisi budayanya kepada anak-anak sebagai generasi penerus tradisi itu dengan menggunakan cerita-cerita pada saat menjelang tidur. Kondisi inipun terjadi dalam masyarakat Hindu di Bali, khususnya di Kecamatan selaku lokasi penelitian. Generasi muda di Kecamatan Tabanan tidak lagi mengetahui apa dan seperti apa tradisi kebiasaan nenek moyangnya. Hal ini disebabkan karena sudah tidak adanya pewarisan tradisi dari orang tua (generasi tua) kepada anak-anaknya (generasi muda) sebagai generasi yang bertanggung jawab untuk melestarikan tradisi tersebut, termasuk tradisi di dalam membuat rerajahan. Generasi tua yang berkompeten
membuat
rerajahan
(sulinggih/pemangku/sangging)
sekedar
melaksanakan untuk mempertahankan tradisi yang diperolehnya dari generasi sebelum dia tanpa ada usaha atau upaya dalam bentuk konkret untuk melestarikan tradisi tersebut.
149
Jumlah sulinggih/pemangku/sangging yang masih sering membuat rerajahan dalam era modern sekarang ini semakin hari semakin sedikit. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Hindu Bali di Kecamatan Tabanan. Sulinggih/pemangku atau generasi yang masih membuat rerajahan hanyalah dari kalangan tertentu saja (orang tua). Anak muda tidak memiliki ketertarikan untuk ikut belajar pengetahuan dan keterampilan membuat rerajahan secara tradisional sebagai bentuk partisipasi untuk melestarikan warisan budaya. Tidak adanya ketertarikan ini diakibatkan karena para generasi muda tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang rerajahan. Generasi muda dianggap orang yang tidak berkompeten di dalam membuat sarana upacara tersebut. Hal tersebut disebabkan karena ada anggapan atau kepercayaan masyarakat Hindu Bali bahwa rerajahan tidak boleh dipelajari oleh sembarangan orang, termasuk anak muda yang belum cukup umur atau sering disebut dengan istilah “ajawera”. Hal tersebut diperkuat oleh penuturan Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) sebagai berikut: “Saya tidak berani mengajarkan cara membuat rerajahan kepada anak atau penerus saya saat ini. Mereka belum cukup umur dan belum melakukan pewintenan sebagai syarat untuk boleh belajar ngerajah. Saya takut akan terjadi kenapa-kenapa dengan mereka.” (Wawancara tanggal; 2 April 2014).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan tentang rerajahan yang menjadi identitas lokal sekaligus menjadi tradisi masyarakat Hindu di Bali sedang mengalamai tantangan. Tantangan itu adalah datangnya dari generasi muda dan generasi tua, sehingga tidak tertutup kemungkinan pengetahuan dan keterampilan merajah secara tradisional akan
150
mengalami kepunahan. Dari generasi tua, tidak adanya sosialisasi untuk mewariskan keahlian merajah kepada generasi muda karena dianggap tabu, sehingga generasi muda tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang rerajahan. Penuturan tersebut juga identik dengan ungkapan yang mengatakan ajawera
dapat
diartikan
sebagai
sesuatu
yang
dilarang
atau
tabu
untuk
dipelajari/diketahui/dibaca karena kalau salah bisa menyebabkan kegilaan atau kesengsaraan (Karji, 2000 : 76). Implikasi dari ajawera ini membuat generasi tua takut atau tidak berani mengajari pengetahuan dan keterampilan merajah kepada generasi muda/generasi penerusnya, apalagi rerajahan untuk keperluan yang mistis, seperti misalnya untuk kekebalan, pengobatan, dan yang sejenisnya.
6.1.3
Faktor Ekonomi Mengikuti gagasan Marx, perluasan ekonomi kapitalis pada masyarakat
Hindu di Bali secara meluas mempengaruhi struktur ideologi termasuk di dalamnya adalah sistem beragama. Di dalam melakukan ritual keagamaan, masyarakat Hindu di Bali khususnya di Kecamatan Tabanan juga sudah dirasuki oleh ideologi ekonomi. Segala alat dan perlengkapan ritual keagamaan secara sengaja digagas, diproduksi, dan dikemas untuk ditawarkan kepada masyarakat dengan tujuan mencari keuntungan berupa uang. Faktor ekonomi merupakan salah satu sifat dasar manusia yang senantiasa berusaha untuk hidup lebih baik. Seorang filsuf dan ekonom klasik Adam Smith seperti dikutip Deliarnov dalam bukunya “Politik Ekonomi” mengemukakan bahwa manusia memiliki hasrat untuk kondisi yang lebih baik, karena hasrat
151
tersebut sudah terbentuk sejak manusia masih berada dalam rahim ibu dan tidak pernah akan meninggalkan manusia hingga ajal menjemput. Selain hasrat, manusia juga adalah mahluk rasional yang senantiasa mempertimbangkan untuk memilih alternatif terbaik bagi kehidupannya dari berbagai pilihan yang tersedia. Prinsip ekonomi dari sudut pandang produsen yakni bahwa perilaku produsen didasarkan pada keuntungan optimum, dengan mempertimbangkan cara terbaik dalam memproduksi barang dengan biaya sekecil-kecilnya. Berbagai sumber bahan baku produksi akan diusahakan sedekat mungkin dengan kegiatan produksi sehingga dapat menekan biaya transportasi serta berbagai penghematan lainnya untuk memperoleh hasil maksimal dengan sumber daya yang sangat terbatas (Arifin, 2007: 33). Kendatipun justifikasi tindakan komodifikasi rerajahan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali adalah melestarikan warisan budaya, namun fenomena umum menunjukan bahwa tindakan-tindakan modifikatif tersebut lebih mengarah kepada orientasi ekonomi dan kesejahteraan hidup yang tidak jauh bahkan bersentuhan secara langsung dengan prinsip-prinsip ekonomi. Secara garis besar, prinsip ekonomi berkaitan dengan penggunaan berbagai sumber daya pemenuhan kebutuhan dengan tujuan menghasilkan kepuasan maksimal bagi manusia baik sebagai produsen maupun konsumen. Berkaitan dengan itu, maka orientasi peningkatan ekonomi (keuntungan maksimal) dalam komodifikasi rerajahan dapat dilihat dalam berbagai tahapan produksi baik praproduksi, produksi maupun pascaproduksi. Hal tersebut sesuai dengan penuturan oleh I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut:
152
“.... sekarang banyak sulinggih memesan rerajahan kepada saya. Dengan banyaknya pesenan tersebut, keuntungan yang saya dapatkan dari menyablon rerajahan tersebut juga semakin bertambah, dan cukup untuk menghidupi keluarga saya ” (Wawancara tanggal; 25 maret 2014). Penuturan I Nyoman Sukaresi di atas diperkuat juga oleh penuturan Ni Nengah Sutariasih (46) selaku penjual rerajahan hasil komodifikasi, sebagai berikut: “...dengan banyaknya masyarakat di Kecamatan Tabanan membeli rerajahan di toko saya, secara tidak langsung merupakan tambahan keuntungan bagi usaha dagang saya, apalagi menjelang hari raya Galungan” (Wawancara tanggal; 28 april 2014). Dari penuturan kedua informan di atas menunjukkan bahwa komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku-pelakunya, walaupun keuntungan yang didapatkan tidak tentu, tetapi dapat menjadi penopang hidup keluarga yang bersangkutan. Kedua penuturan di atas juga sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Deliarnov (2006), bahwa manusia sebagai produsen dalam sirkulasi ekonomi
akan berusaha untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (profit maximizers). Oleh karena itu, maka manusia adalah homo economicus yakni manusia ekonomi yang senantiasa berusaha dengan rasionalitasnya untuk memperoleh hasil sebesarbesarnya dari berbagai kemungkinan pilihan yang dihadapi (Deliarnov, 2006:26). Mereka yang terlibat dalam hubungan-hubungan produksi di atas selalu berorientasi keuntungan. Sebagai ciri masyarakat kapitalis, setiap gerak dan waktunya sangatlah berharga, selalu dihitung berdasarkan efisiensi dan efektifitas dan diukur dengan nilai uang. Oleh karena itu, sistem ekonomi telah merasuk dalam ranah agama dan budaya. Sistem ekonomi dalam hal ini dimaksudkan
153
sebagai sistem ekonomi yang didominasi oleh kekuatan pasar. Artinya, rerajahan sengaja diproduksi dijadikan komoditas dan dijual, dicarikan pembeli atau dipasarkan, dan nilai suatu komoditas ditentukan oleh uang. Penuturan kedua informan dan teori di atas diperkuat dengan data seperti yang tertera pada tabel 6.1. dan tabel 6.2. Tabel 6.1 Keuntungan memproduksi rerajahan (Januari-Mei, 2014) Keuntungan Bulanan (Rp) No
Jenis Rerajahan Jan
Feb
Maret
April
Mei
1.
Dewa Yadnya
500.000
400.000
300.000
300.000
1.000.000
2.
Rsi Yadnya
0
0
0
0
0
3.
Manusa Yadnya
0
0
0
0
0
4.
Pitra Yadnya
250.000
250.000
250.000
500.000
250.000
5.
Bhuta Yadnya
400.000
400.000
950.000
100.000
600.000
1.150.000
1.050.000
1.500.000
900.000
1.850.000
Total
(Sumber : I Nyoman Sukaresi)
Dari data yang terdapat pada tabel di atas menunjukkan bahwa dengan memproduksi rerajahan melalui teknologi desain grafis/cetak sablon, tukang sablon mendapatkan keuntungan tambahan dalam memproduksi rerajahan tersebut. Hal serupa juga terlihat pada tabel 6.2 yang berhubungan dengan aspek konsumsi langsung rerajahan hasil komodifikasi tersebut.
154
Tabel 6.2 Keuntungan penjualan rerajahan (Januari-Mei, 2014)
No
Jenis Rerajahan
1.
Keuntungan Bulanan Rerajahan (Rp) Jan
Feb
Maret
April
Mei
Dewa Yadnya
250.000
200.000
150.000
150.000
500.000
2.
Rsi Yadnya
0
0
0
0
0
3.
Manusa Yadnya
0
0
0
0
0
4.
Pitra Yadnya
0
0
0
0
0
5.
Bhuta Yadnya
200.000
200.000
475.000
100.000
300.000
Total
450.000
400.000
625.000
250.000
800.000
(Sumber : Ni Nengah Sutariasih) Data yang tertera pada tabel 6.2 identik dengan keuntungan yang didapatkan oleh tukang cetak/sablon yang terdapat pada tabel 6.1. Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan dapat memberi keuntungan ekonomi bagi orang-orang yang terlibat didalamnya, baik dalam proses produksi maupun dalam proses konsumsinya.
6.2 Faktor-faktor Eksternal Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan adalah faktor dari luar atau eksternal. Artinya, perubahan itu terjadi dalam masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan, akan tetapi hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak berasal dari dalam masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan. Faktor-faktor itu antara lain globalisasi dan teknologi, faktor pendidikan, dan faktor ekonomi.
155
6.2.1
Faktor Globalisasi dan Teknologi Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang
maknanya ialah universal. Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak maupun elektronik. Ada pula yang mengatakan globalisasi yaitu hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu tatanan kehidupan masyarakat termasuk masyarakat Hindu di Bali. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dampakdampak pengaruh globalisasi tersebut kita kembalikan kepada diri kita sendiri agar tetap menjaga etika dan budaya yang kita miliki. Untuk
memahami
bagaimana
globalisasi
berpengaruh
terhadap
komodifikasi rerajahan sebagai warisan budaya, maka perlu dikemukakan lagi di sini pengertian serta cakupan globalisasi. Alam (1988 : 26) memberikan batasan globalisasi sebagai interelasi kuat antar negara, pasar dan teknologi yang memungkinkan baik perorangan, perusahaan maupun negara untuk bergerak menjangkau penjuru dunia dengan lebih cepat, lebih dalam dan lebih luas dari yang sebelumnya. Dalam konteks interelasi yang kuat serta realitas kehidupan yang berbeda antara negara yang satu dengan lainnya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa semua negara yang ada dalam keterkaitan itu akan sama-sama terseret ke dalam arus kuat persaingan global. Era persaingan dewasa ini globalisasi memang
156
berdampak terhadap eksistensi negara. Dalam menghadapi arus globalisasi, negara-negara baik yang sudah maju maupun yang sedang berkembang akan berusaha sekuat tenaga menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi aktoraktor globalisasi (Alam, 1988 : 37). Fenomena penyusunan strategi sebagaimna disinggung di atas pertamatama tidak dimaksudkan untuk membangun benteng pertahanan eksklusivitas suatu bangsa atau komunitas masyarakat dalam menghadapi serangan globalisasi, tetapi lebih merupakan strategi adaptatif untuk diselaraskan dengan gerakan arus globalisasi. Berbagai kebijakan, strategi maupun kegiatan pembangunan pada umumnya terarah kepada pemanfaatan peluang yang timbul sebagai dampak kehadiran globalisasi. Hal tersebut terjadi karena globalisasi merupakan realitas kehidupan yang penuh dengan daya dan kekuatan “memaksa” serta tak terhindarkan. Untuk memenangkan persaingan dalam arena globalisasi dewasa ini khususnya bagi negara-negara berkembang memang dirasakan amat sangat sulit. Namun setidaknya persaingan tersebut akan menjadi inspirasi serta motivasi untuk terus
bergerak
maju
dan
memperkecil
rentang
ruang
ketertinggalan.
Pengembangan kualitas dengan memunculkan unggulan-unggulan lokal dapat menjadi suatu strategi bagi negara-negara berkembang serta masyarakatnya untuk dapat melihat celah atau dimensi globalisasi, sehingga dapat masuk dan berkecimpung dalam persaingan global itu. Berkaitan dengan komodifikasi rerajahan, entah secara sadar ataupun tidak berbagai dimensi-dimensi globalisasi tersebut telah turut berperan dan
157
dijadikan dasar pengembangan teknologi dan idiologi ekonomi pada tataran kebijakan pembangunan maupun inovasi dan kreativitas masyarakat. Dalam konteks pemahaman ini, berbagai dimensi globalisasi kemudian dilihat sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan untuk menampilkan keberadaan rerajahan sebagai produk komoditas. Meningkatnya hubungan lintas batas baik barang, jasa, modal maupun manusia (internationalization) telah berdampak secara langsung terhadap keberadaan rerajahan dimana barang, jasa maupun modal menjadi pendukung kegiatan produksi rerajahan, sedangkan masyarakat dapat berpeluang menjadi pemakai (konsumen) ataupun sebagai penyalur produk-produknya. Sudah tentu semuanya itu hanya dapat terjadi karena adanya liberalisasi (liberalization) perekonomian global yang sepenuhnya dikendalikan oleh pasar. Dimensi berikutnya dari globalisasi yang berperan dalam komodifikasi rerajahan
adalah
westernisasi.
Westernisasi
adalah
proses
pembaratan,
pengambilalihan atau peniruan budaya barat. Berkaitan dengan komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan, maka dimensi westernisasi dari globalisasi tersebut lebih merupakan prinsip-prinsip kewirausahaan yang diterapkan tukang sablon dalam usaha memodifikasi rerajahan melalui teknologi secara rasional, produktif dan efisien untuk dapat dijadikan komoditas masyarakat. Komoditas itu sendiri adalah barang dagangan atau bahan yang memiliki nilai ekonomis yang ditawarkan atau disediakan oleh produsen untuk memenuhi permintaan konsumen. Permintaan konsumen diwujudkan dalam kegiatan pembelian, sedangkan penawaran produsen diwujudkan dalam bentuk penjualan,
158
yang berlangsung di suatu tempat yang lazim disebut pasar. Ada kalanya muncul peran-peran lain yaitu pedagang perantara yang turut serta mempelancar proses jual beli yang dilakukan oleh produsen dan konsumen (Steger, 1995: 10). Dimensi yang lain dari globalisasi yang berperan dalam komodifikasi rerajahan adalah teknologi. Perkembangan teknologi di bidang produksi sangat membantu manusia untuk dapat mempermudah pekerjaan dan mempercepat waktu pengerjaan. Proses mengolah bahan baku menjadi barang jadi disebut produksi. Kegiatan produksi yaitu kegiatan yang dilakukan untuk membuat barang-barang yang kita gunakan. Kegiatan produksi disebut juga proses produksi. Proses produksi diawali dengan menyiapkan bahan baku atau bahan pokok untuk membuat barang. Bahan baku yang digunakan merupakan hasil dari sumber daya alam. Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya. Hasil produksi pada masa lalu sangat terbatas dan hasil yang didapatpun sedikit dan waktu yang digunakan relatif lebih lama. Hasil produksi pada masa sekarang berbeda jauh dengan masa lalu, pada masa sekarang hasil produksi yang didapat sangat banyak dengan waktu yang lebih cepat, begitu pula halnya dengan produksi rerajahan, seperti yang terlihat pada table 6.3.
159
Tabel 6.3 Perbandingan Rerajahan Tradisional dengan Komodifikasi
No
Jenis Rerajahan
Rerajahan Tradisional
Rerajahan Komodifikasi
Waktu
Jumlah
Waktu
Jumlah
1.
Dewa Yadnya
1 hari
50
1 hari
2000
2.
Rsi Yadnya
1 hari
10
-
-
3.
Manusa Yadnya
1 hari
20
-
-
4.
Pitra Yadnya
1 hari
5
1 hari
250
5.
Bhuta Yadnya
1 hari
25
1 hari
1000
(Sumber : Wawancara dari berbagai sumber) Tabel di atas menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan teknologi (cetak sablon), rerajahan yang diproduksi lebih banyak dan waktu yang diperlukan lebih sedikit, dibandingkan dengan rerajahan yang dibuat secara tradisional. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan teknologi di dalam memproduksi rerajahan sangat besar, terutama
dalam produksi yang jumlahnya banyak. Namun
disamping itu, tidak semua jenis rerajahan bisa diproduksi dengan teknologi cetak sablon. Hal tersebut biasanya disebabkan karena media yang dirajah sulit untuk disablon, seperti misalnya pada upacara Manusa Yadnya. Pada upacara ini kebanyakan rerajahan yang digunakan dibuat pada benda-benda atau bagianbagian yang sulit untuk disablon, seperti misalnya : tubuh manusia, logam, gerabah, daun, dan yang lainnya.
6.2.2
Faktor Budaya Konsumtif Perkembangan teknologi industri yang sudah modern dan semakin pesat
membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu
160
masyarakat mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada, sesuai dengan kebutuhan masing – masing. Budaya konsumtif adalah budaya atau gaya hidup dimana seseorang suka membelanjakan uangnya untuk mengkonsumsi dari pada memilih untuk memproduksi atau membuat sendiri. Pola konsumtif adalah suatu sifat yang sangat mendasar pada kehidupan setiap orang. Konsumtif dapat dikatakan sebagai perbuatan yang ingin menggunakan setiap barang-barang yang ada, terutama barang-barang yang berhubungan dengan teknologi. Bukan hanya barang teknologi melainkan setiap barang yang hanya ingin dipakai atau dapat dikatakan tidak ingin menciptakan suatu barang dapat disebut tindakan konsumtif (Faruk, 1994 : 12). Dengan mengkonsumsi atau menggunakan barang-barang berteknologi canggih kebanyakan orang-orang pada saat ini ingin hidup individualisme, mereka merasa tidak membutuhkan orang lain lagi dalam melaksanakan tugas mereka. Sehingga kadang mereka lupa bahwa mereka merupakan makhluk sosial yang seharusnya hidup bersama-sama. Berkaitan dengan komodifikasi rerajahan, pola hidup masyarakat di Kecamatan Tabanan selaku tempat penelitian menjadi lebih konsumtif dalam mendapatkan alat-alat atau sarana upacara, termasuk rerajahan. Mereka dengan mudah dapat membeli rerajahan hasil komodifikasi tanpa memperhitungkan nilai fungsi dan makna dari rerajahan tersebut. Hal ini diperkuat dengan penuturan I Nyoman Subrata (45), sebagai berikut: “Untuk keperluan perlengkapan ritual keagamaan, saya biasanya membeli rerajahan pada toko-toko atau kios-kios yang menjual sarana perlengkapan
161
upacara. Hal tersebut saya lakukan karena lebih gampang dan lebih murah dibandingkan menyuruh dibuatkan oleh sulinggih/pemangku yang memakan proses cukup lama dan terkesan ribet.” (Wawancara tanggal; 28 april 2014).
Dari penuturan di atas menunjukkan bahwa gaya hidup masyarakat di Kecamatan Tabanan sudah berubah karena terpengaruh dengan budaya hidup konsumtif. Budaya hidup konsumtif sudah merasuk ke ranah-ranah paling dalam masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan, termasuk ke ranah ritual keagamaan. Nilai fungsi dan makna bukan lagi yang utama bagi mereka, yang penting pemenuhan akan kebutuhan semata. Fenomena ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan Faruk (1994), yang mengatakan bahwa konsumtif adalah keinginan mengkonsumsi barang-barang yang didapat secara mudah dan berlebihan untuk mencapai kebutuhan/kepuasan yang maksimal. Sadar atau tidak akan prilaku hidup konsumtif, tapi memang sedang terjadi di masyarakat sekitar kita bahkan diri sendiri (Faruk, 1994 : 10).
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RERAJAHAN MELALUI TEKNOLOGI DESAIN GRAFIS DI KECAMATAN TABANAN Menurut Poerwadarminta (2001 : 234), dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik akibat positif maupun negatif. Sementara komodifikasi sebagaimana telah dijelaskan di dalam kerangka konseptual tesis ini, merupakan suatu proses pengubahan suatu yang semula bukan merupakan barang dagangan karena umumnya hanya memiliki nilai guna, menjadi barang dagangan atau komoditas. Dengan demikian maka yang dimaksudkan dengan dampak komodifikasi rerajahan adalah berbagai dampak yang dihasilkan dari keseluruhan kegiatan memodifikasi dan mengkomodifikasi rerajahan, atau akibat-akibat yang terjadi dari keseluruhan proses komodifikasi baik positif maupun negatif. Sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa proses atau kegiatan komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan terjadi mulai dari tahapan praproduksi, produksi dan pasca produksi, maka
pembahasan
ini
akan
memberikan
perhatian
terhadap
berbagai
kemungkinan dampak yang timbul dari semua tahapan tersebut dengan tetap menjaga netralitas sorotan baik dampak positif maupun dampak negatif.
7.1 Dampak Positif Menurut ungkapan Besari (2008:23) teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah “teknologi belum digunakan. Istilah “teknologi” 162
163
berasal dari “techne “ atau cara dan “logos” atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan akal dan alat, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra dan otak manusia. Sedangkan menurut Jaques Ellul (1998: xxv) memberi arti teknologi sebagai” keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia”. Pengertian teknologi secara umum adalah: proses yang meningkatkan nilai tambah produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja. Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan Sedangkan dampak adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu. Jadi dampak teknologi adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu teknologi, bisa akibat baik bisa juga akibat buruk dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat atau dampak positif yang dibawa oleh inovasiinovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini., begitu pula dengan kemajuan teknologi di bidang desain grafis.
164
Berdasarkan gambaran di atas, maka pembahasan pada bagian ini akan difokuskan pada usaha untuk memahami berbagai dampak positif yang terjadi dari adanya kegiatan komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis. 7.1.1
Peningkatan Pengetahuan Pengetahuan, teknologi serta barang-barang lain yag diciptakan sebagai
dampak ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, dan merupakan hasil kreativitas dan inovasi dari orang-orang atau kelompok masyarakat tertentu, akan dengan mudah mengalir kemana-mana, seperti pergerakan air pada suatu bidang datar. Dalam era global ini hampir sulit ditemukan daerah, kelompok masyarakat atau budaya yang sangat tradisional sekalipun yang tidak tersentuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, walaupun dengan skala yang berbeda. Hal inilah yang memicu terjadinya komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan. Rerajahan yang pada awalnya dikerjakan oleh sulinggih/mangku/sangging dengan cara yang sangat tradisional, kini mulai tersentuh dengan unsur-unsur pengetahuan dan tekonogi modern. Peningkatan pengetahuan tentang teknik cetak mendorong produksi rerajahan beralih kepada sistem yang lebih modern yang mengedepankan produktifitas dan efisiensi kerja. Berkaitan dengan itu, I Nyoman Sukaresi (47) mengungkapkan sebagai berikut: “Dulu sebelum saya mengenal teknologi cetak, saya biasanya membuat rerajahan secara tradisional, dan tentu saja memakan waktu yang cukup lama. Setelah saya mengenal dan mempelajari teknologi cetak sablon, saya merasa membuat rerajahan terasa semakin mudah dan gampang, waktu bukan lagi hambatan bagi pekerjaan saya” (Wawancara tanggal 20 Maret 2014). Dari ungkapan tersebut, tergambar bagaimana seorang tukang sablon merasa lebih gampang dan mudah di dalam memproduksi rerajahan karena
165
mereka dituntut untuk belajar dan memahami teknologi agar dapat memproduksi produk lebih banyak dan waktu yang relatif singkat. Fenomena ini identik dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Jaques Ellul (1998), yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi telah membuka babak baru bagi masyarakat untuk memperoleh informasi secara otonom. Sekat-sekat informasi dengan sendirinya menghilang oleh inisiatif kuat individu yang ingin mengetahui dan mempelajari lebih jauh apa yang terjadi sekitarnya. Setiap orang memiliki akses terhadap teknologi
dimanapun
di
dunia
ini
demi
kemapanan
hidup
mereka.
Konsekuensinya, masyarakat menjadi kritis dan tanggap terhadap perkembangperkembangan yang terjadi (Jaques Ellul, 1998 : 34). Dari penuturan dan ungkapan di atas dapat dianalisis bahwa kemajuan teknologi akan meningkatkan kemampuan produktivitas dunia industri baik dari aspek SDM, alokasi waktu maupun pada aspek jenis produksi. Investasi dan reinvestasi yang berlangsung akan semakin meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting dalam meningkatkan taraf hiduf pelakunya. Bukan hanya itu, teknologi juga memiliki andil yang besar dalam hal sarana pembelajaran. Karena seperti yang kita ketahui bahwa teknologi kini telah merasuk ke dalam kurikulum dunia pendidikan. Suatu hal yang tentunya menjadi gebrakan di dunia pendidikan dalam ajang peningkatan potensi pelajar. Selain itu gelombang kemajuan dan perkembangan teknologi dalam bidang pendidikan telah membawa perubahan pada kehidupan dan gaya hidup masyarakat yang lebih
166
dinamis. Dengan adanya hal tersebut, maka masyarakat senantiasa menghidupkan dan menyalurkan semangat untuk mengeksplorasi ilmu yang belum diketahui. Persaingan dalam dunia kerja sehingga menuntut pekerja untuk selalu menambah skill dan pengetahuan yang dimiliki. Kecenderungan perkembangan teknologi akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan. Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan akan mengalami perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut. Maka dari itu mau tidak mau desainer grafis/tukang sablon harus meningkatkan kemampuannya di dalam memproduksi produk-produknya guna menghadapi era globalisasi agar tidak kalah dalam ketatnya persaingan. 7.1.2
Peningkatan Kesejahteraan dan Peluang Kerja Perkembangan dunia teknologi yang demikian pesatnya telah membawa
manfaat luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Kegiatan produksi yang sebelumnya menuntut peralatan yang begitu rumit, kini relatif sudah digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Sistem kerja alat teknologi telah mengalihfungsikan tenaga manusia dengan pembesaran dan percepatan yang menakjubkan. Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi baru aneka kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Kemajuan teknologi dan komunikasi yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui
167
dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia (Mangunwijaya, 1983 ; 45). Bagi masyarakat sekarang, teknologi merupakan suatu religion, dimana pengembangannya dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan memuja hal tersebut sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Selain itu, hal tersebut juga diyakini akan memberi umat manusia kebahagiaan dan immortalitas. Sumbangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Seperti yang kita ketahui bahwa di era serba modern seperti saat ini, peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari tentunya sangat berpengaruh. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas kita yang kerap kali ditunjang dengan teknologi itu sendiri yang mampu menjawab tuntutan pekerjaan yang lebih cepat, mudah, murah dan menghemat waktu. Harus diakui bahwa proses kegiatan komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis telah turut mendongkrak kehidupan ekonomi masyarakat di Kecamatan Tabanan. Dengan kata lain, bahwa komodifikasi tersebut telah berdampak secara ekonomis baik kepada masyarakat di Kecamatan Tabanan selaku konsumen, maupun kepada sulinggih, penjual, maupun tukang sablon selaku produsen. Hal tersebut sesuai dengan penuturan I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut: “…semenjak saya menggunakan teknik sablon dalam memproduksi rerajahan, makin banyak orang memesannya pada saya. Hal tersebut menyebabkan saya harus melibatkan orang lain untuk membantu pekerjaan saya. Dengan demikian secara tidak langsung saya telah membuka peluang kerja dan membantu kesejahteraan anak buah saya tersebut ” (Wawancara tanggal 20 Maret 2014).
168
Penuturan di atas menunjukkan bahwa kemajuan teknologi memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan orang-orang yang terlibat dalam proses komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Mangunwijaya (1983), yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi yang sering diartikan sebagai modernisasi, menjanjikan kemampuan manusia untuk mengendalikan alam melalui ilmu pengetahuan, meningkatkan kesejahteraan material melalui teknologi dan serta penciptaan lapangan kerja yang baru (Mangunwijaya, 1983 ; 59). Dari penuturan dan ungkapan teori di atas menunjukkan bahwa komodifikasi rerajahan berdampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Tabanan khususnya. Meningkatnya produksi rerajahan melalui teknologi desain grafis memicu peningkatan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga pendapatan mereka juga dapat meningkat. Masyarakat dapat memperbaiki keadaan ekonominya dengan bekerja atau dapat menciptakan lapangan kerja sendiri yang berkaitan langsung dengan proses produksi, distribusi serta proses konsumsi rerajahan tersebut. 7.1.3
Produktivitas, Efektivitas dan Efisiensi Gaspersz (2007 : 303) mendefenisikan pengertian produktivtas, efektivitas
dan efisiensi secara intergrasi sebagai berikut (1) produktivitas merupakan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya (input) dalam menghasilkan barang dan/atau jasa (output) atau pengkombinasian antara efektivitas dengan efisiensi, (2) efektivitas adalah cara yang digunakan dalam pencapaian tujuan, sedangkan
169
(3) efisiensi berkaitan dengan bagaimana sumber-sumber daya (input) digunakan untuk mencapai hasil atau output. Produktivitas selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam suatu usaha dengan cara mengubah masukan (input) menjadi hasil yang dinginkan (output) dengan biaya yang ditekan serendah mungkin. Sebuah usaha atau perusahaan dikatakan dikatakan efektif ketika berhasil mencapai hasil penjualan atau target pangsa pasarnya, dengan menggunakan cara yang efisien. Ukuran efisiensinya terletak pada keefisieannya dalam memperoleh laba atas investasi yang dilakukan (Pearson, Robin & Timothy A. Judge, 2008: 36). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa laba menjadi pendorong utama dalam berbagai kegiatan yang harus dilakukan secara efektif dan efisien unrtuk memperoleh keuntungan ekonomi. Rerajahan yang pada dasarnya merupakan warisan budaya masyarakat Hindu Bali sekarang telah menjadi barang dagangan yang setiap saat dapat dipasarkan untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat. Hal ini dilakukan melalui menjadikan rerajahan sebagai barang komoditas, dengan menjadikan prinsipprinsip efektivitas dan efisiensi sebagai semangat dasar dalam mencapai produktivitas kerja yakni keuntungan ekonomi. Karena idealisme inilah, maka semua sistem kerja komodifikasi rerajahan dilakukan atau dikerjakan dengan cara yang dianggap paling tepat (efektif), serta masukan yang sedapat mungkin ditekan (efisien) melalui berbagai penghematan baik pada tahapan produksi maupun distribusi.
170
Demi keuntungan ekonomi, produksi rerajahan harus dilakukan dengan perhitungan matang, dengan idiom-idiom
efisiensi
yang
menunjukan
perhitungan untung-rugi misalnya; lebih cepat, lebih murah, lebih praktis, lebih untung, lebih hemat dan seterusnya. Dengan kata lain demi keuntungan ekonomi, maka prinsip-prinsip kerja yang efektif dan efisien mutlak diterapkan dalam menjadikan rerajahan sebagai komoditas dalam sistem komodifikasi. Berkaitan dengan itu, I Nyoman Sukaresi (47) menuturkan sebagai berikut: “Sekarang ini ada kemudahan dan rasanya lebih untung bagi kami jika membuat rerajahan dengan cara di sablon. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain: jumlah rerajahan yang dicetak lebih banyak, waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan biaya produksinya lebih murah” (Wawancara tanggal; 26 Maret 2014).
Penjelasan nara sumber tersebut di atas menunjukan bahwa demi keuntungan ekonominya tukang sablon menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dengan memanfaatkan berbagai kemudahan dengan menggunakan teknologi desain grafis. Hal ini dilakukan karena dapat menekan biaya maupun waktu produksi, sehingga keuntungan yang didapat lebih besar. Selain itu, cara distribusi yang dipilih dengan cara distribusi langsung merupakan bentuk nyata dari efisiensi, dengan tujuan memperpendek jarak serta menekan biaya. Penuturan informan di atas juga sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Ibrahim (1997 : 130), semangat efektivitas hanya bisa terwujud bila ada kontinyuitas serta penggandaan produk-produk yang diproduksi dan didistribusikakan secara efisien agar dapat mendatangkan keuntungan. Efisiensi kerja
ini
mencakup
beberapa
hala
antara
lain;
(1) termudah
dalam
171
melaksanakannya, (2) termurah dalam biayanya, (3) tersingkat dalam waktunya, (4) teringan dalam bebannya, serta (5) terendah dalam jaraknya. Dari semua penjelasan tersebut di atas, maka dapat dianalisis bahwa komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan yang bertujuan memperoleh keuntungan secara ekonomi mengandung dampak efektivitas dan efisiensi.
7.2 Dampak Negatif 7.2.1
Degradasi Nilai Budaya Kebudayaan tidak pernah terelakkan dari lingkup kehidupan manusia,
karena dalam kebudayaanlah manusia memanifestasikan pikiran dan perasaan, sikap dan kehendaknya. Jadi, kebudayaan ini selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman serta manusianya dalam suatu masyarakat tertentu. Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski terkait tentang masalah kebudayaan dan masyarakat mereka mengatakan bahwa keduanya merupakan Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu (Sutrisno, 2005:115). Kemudian, Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Sutrisno, 2005:150).
172
Dengan demikian, perubahan kebudayaan yang ada di dalam suatu masyarakat sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial dalam masyarakat itu sendiri, secara otomatis jika keadaan sosial dari suatu masyarakat itu mengalami perubahan maka kebudayaan yang ada di dalamnya juga mengalami perubahan baik mengalami perubahan yang positif maupun negatif. Semuanya itu terjadi karena kebudayaan merupakan sebuah hasil dari karya, rasa, dan cipta masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok sosial. Budaya merupakan nilai luhur yang didalamnya terdapat suatu tatanan dalam berkehidupan. Karena budaya mempengaruhi perilaku masyarakat dalam bertindak dalam bentuk adat istiadat. Sebuah hukum yang tak jelas perumusannya dan kapan di rumuskannya tetapi di sepakati bersama sebagai alat pengontrol dalam bertindak. Di sinilah gambaran sedikit tentang peranan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, bila lebih luas kita jabarkan tentang budaya kaitanya dengan negara tentu saja budaya mempunyai peranan penting akan hal ini, yaitu sebagai pembentuk mental dan karakteristik suatu negara (Piliang, 1999 : 87). Globalisasi di ranah ide, gagasan, ilmu pengetahuan yang diiringi dengan teknologi berkembang amat pesat. Lebih cepat dari kemampuan manusia untuk merenungkan apa hakikat semuanya untuk kemanfaatan hidup. Orang tidak lagi disibukkan dengan pertanyaan untuk apa kita memiliki ilmu, pengetahuan dan teknologi. Namun lebih menekankan pada fungsi-fungsi kemanfaatan atau pragmatisnya semata. Semua pada akhirnya mengikuti arus globalisasi secara latah dan masa bodoh dengan hakikat progress/kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa hakikat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
173
penyempurnaan proses hidup manusia menuju kesatuan dan keserasian lahir batin, jiwa dan raga (Piliang, 1999 : 87). Budaya lokal secara substansial tidak mengalami kemajuan yang berarti kecuali hanya untuk sarana komoditas ekonomi dan turisme saja. Budaya yang merupakan hasil manusia untuk mengolah daya cipta, rasa dan karsa berdasarkan atas kehendak dan keinginan masing-masing individu dalam sebuah wilayah tidak mampu lagi dianggap sebagai sebuah kearifan. Individu yang berada di ruangruang budaya pun menjadi tumpul oleh arus pragmatis budaya global yang mungkin dipandang lebih menarik, mudah, cepat dan efisien. Para pengambil kebijakan tidak lagi memiliki semangat yang menyala untuk mempertahankan kebudayaan lokalnya. Ini adalah situasi di mana kita mengalami sebuah degradasi budaya bahkan kehancuran sistematis budaya lokal, begitu pula halnya dengan rerajahan yang merupakan salah satu bentuk budaya lokal. Di dalam pembuatan rerajahan melalui teknologi desain grafis nilai-nilai budaya tidak menjadi begitu penting, yang terpenting adalah bagaimana bisa memproduksi rerajahan dalam jumlah yang besar dan habis dikonsumsi oleh masyarakat. Proses pembuatan rerajahan tidak lagi menggunakan cara tradisional seperti misalnya mencari hari baik, pasupati dan yang lainnya. Disini akan terjadi degradasi nilai budaya yang terkandung dalam rerajahan tersebut, seperti yang dituturkan oleh Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) sebagai berikut: “Rerajahan yang dibuat dengan cara disablon biasanya nilai magis dan sugestinya kurang, apalagi rerajahan tersebut langsung dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat tanpa ada tahapan pasupati terlebih dulu. Beberapa orang yang memegang teguh budaya lokal tidak akan mau menggunakan rerajahan tersebut, karena dianggap kurang bertuah dan
174
hanya sebagai simbolis atau hiasan belaka.” (Wawancara tanggal; 12 Februari 2014). Penuturan di atas relevan dengan pandangan Bakri dkk (2004) yang mengatakan bahwa perkembangan teknologi sangat mempengaruhi dalam keterancaman warisan budaya yang mengatur kehidupan di masyarakat. Teknologi juga memiliki peranan penting di dalam proses akulturasi, asimilasi, sampai homogenisasi atau penyeragaman budaya. Di samping itu, neoliberalisasi yang merasuk semua ranah kehidupan, termasuk pendidikan, nilai-nilai budaya asli yang sebelumnya sakral dan menjadi bagian dari jati diri masyarakat mengalami penurunan dan tidak bermakna lagi (Bakri, 2004: 23). Kedua ungkapan di atas menunjukkan bahwa teknologi juga memiliki dampak yang negatif terhadap kelangsungan budaya lokal, dimana teknologi akan menyebabkan terjadinya penyeragaman budaya. Nilai magis/religius yang dulu dijunjung tinggi masyarakat setempat kini mulai memudar. Masyarakat lebih mementingkan nilai ekonomi dan estetika dibandingkan nilai kereligiusan/magis rerajahan tersebut.
7.2.2
Keterancaman Warisan Budaya Soemarjan (1995: 64) mengatakan perubahan sosial sebagai perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat tradisional yang mempengaruhi sistem sosialnya. Sementara oknum mengemukakan bahwa perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material maupun inmaterial, terutama yang menekankan pengaruh yang datang dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap kebudayaan inmaterial.
175
Perubahan budaya berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sistem stratifikasi sosial, sistem nilai dan norma sosial, proses sosial, struktur sosial, pola sikap dan tindakan sosial dalam keberadaan masyarakat, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan sosial berproses di dalam masyarakat dan mengubah masyarakat secara keseluruhan secara bertahapan. Perubahan terjadi akibat adanya faktor yang datang dari internal dan faktor eksternal terutama teknologi dan pendidikan. Perkembangan teknologi sangat mempengaruhi dalam keterancaman warisan budaya yang mengatur kehidupan di masyarakat. Teknologi juga memiliki peranan penting di dalam proses akulturasi, asimilasi, sampai degradasi nilai budaya. Begitupula dengan teknologi dalam memproduksi rerajahan berdampak terhadap hilangnya pengetahuan tentang aturan-aturan dan cara-cara dalam pembuatan rerajahan secara tradisional, seperti yang dituturkan oleh I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut: “Sekarang ini banyak sulinggih/pemangku yang enggan membuat rerajahan (ngerajah). Mereka berpendapat bahwa membuat rerajahan secara tradisional banyak menghabiskan waktu dan tenaga, mereka lebih memilih dibuatkan oleh tukang sablon daripada membuat sendiri ” (Wawancara tanggal; 26 Maret 2014). Penuturan diatas menunjukkan bahwa keengganan orang-orang yang berkompeten dalam membuat rerajahan disebabkan oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi. Masyarakat kita sangat tergantung kepada
teknologi,
tanpa
peduli
dengan
dampak-dampak
negatif
yang
ditimbulkannya, termasuk dampak musnahnya budaya lokal. Penuturan tersebut
176
identik
dengan
ungkapan
Piliang
yang
mengatakan
bahwa
globalisasi
menyebabkan para pengambil kebijakan tidak lagi memiliki semangat yang menyala untuk mempertahankan kebudayaan lokalnya. Ini adalah situasi di mana kita mengalami sebuah degradasi budaya bahkan kehancuran sistematis budaya lokal (Piliang, 1999 : 90). Penuturan dan ungkapan Piliang di atas menunjukkan bahwa lambat-laun orang yang bisa dan berkompeten membuat rerajahan secara tradisional akan mulai berkurang, bahkan bisa dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat yang berkompeten tidak bersemangat lagi untuk mempertahankan kebudayaan lokalnya akibat pengaruh globalisasi serta kemajuan teknologi.
7.3 Makna Komodifikasi Rerajahan Pengertian makna secara leksikon adalah arti, maksud atau juga pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna memiliki dua pengertian yakni makna denotasi dan makna konotasi. Secara denotatif, makna mengacu kepada kata atau kelompok kata yang didasarkan pada hubungan lugas antara satuan bahasa dan suatu wujud yang ada di luar bahasa seperti orang, benda, tempat, sifat, proses ataupun kegiatan tertentu. Sedangkan secara konotatif, makna mengacu pada nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman (KBBI, 2001: 703). Dari gambaran tersebut, maka secara denotatif komodifikasi rerajahan memiliki makna sebagai proses perubahan rerajahan itu sendiri yang semula
177
bukan komoditas menjadi barang-barang komoditas. Sedangkan secara konotatif, komodifikasi rerajahan adalah nilai rasa atau arti yang ada dalam proses komodifikasi rerajahan yang mendukung terlaksananya atau terciptanya komodifikasi. 7.3.1
Makna Desakralisasi Budaya Istilah desakralisasi sepadan dengan beberapa istilah lain yakni
demitologisasi atau sekularisasi. Bakri dkk (2004:23) menjelaskan arti dari ketiga istilah tersebut sebagai suatu bentuk radikal terhadap obyek-obyek mitologi, atau diturunkannya nilai-nilai sakral suatu obyek menjadi obyek yang hanya mengandung kegunaan praktis sehari-hari saja. Lebih lanjut dikatakan bahwa desakralisasi, demitologisasi atu sekularisasi sangat berkaitan dengan gagasan-gagasan modernisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi sebagai cara berpikir ilmiah hanya dapat dimungkinkan jika dunia (baik material maupun sosial) sebagai obyek pemikiran ilmiah tersebut dibebaskan dari mitos-mitos yang mensakralkannya, sehingga ia dapat ditundukkan sekaligus direkayasa bagi kepentingan manusia (Bakri dkk, 2004: 107). Dalam konteks pemahaman tersebut maka desakralisasi, demitologisasi atau sekularisasi pada tataran sosiokultural memiliki makna sebagai pembebasan obyek-obyek dari berbagai keterikatannya dengan ideologi, kepercayaan, budaya dan bahkan agama. Rerajahan sebagai bagian dari budaya tradisi memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan ideologi dan kepercayaan masyarakat Hindu Bali. Ideologi dan kepercayaan tersebut dipresentasikan dalam berbagai bentuk rerajahan yang
178
digunakan untuk perlengkapan upacara yadnya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa rerajahan digunakan untuk perlengkapan upacara Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Butha yadnya. Perkembangan globalisasi dengan segala kekuatannya telah mendorong berbagai bentuk kebebasan manusia untuk berproduksi, distribusi dan konsumsi terhadap segala hal termasuk rerajahan. Kegiatan produksi, distribusi dan yang paling utama konsumsi rerajahan yang awalnya memiliki otonomi teritorial tersendiri, akhirnya bergeser menjadi lebih terbuka dan bahkan kehilangan batasbatas teritorialnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Piliang mengatakan bahwa salah satu perubahan
sosial
yang
menyertai
kemajuan
ekonomi
adalah
berbagai
perkambangan gaya hidup, sebagai fungsi diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Konsumsi tidak sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia, tetapi lebih berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Karena itu yang dikonsumsi tidak lagi terbatas pada obyek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi dibalik obyek itu. (Piliang, 2011: 145). Dalam pandangan Piliang tersebut, komodifikasi rerajahan dalam segala aspeknya (produksi, distribusi dan konsumsi) tidak hanya dipahami sebagai komodifikasi bentuk-bentuk fisik (obyek) produk rerajahan saja, tetapi juga komodifikasi makna-makna yang terkandung dalam produk-produk tersebut. Fungsi utilitas rerajahan dalam memenuhi kebutuhan relegi masyarakat Hindu
179
Bali (ideologi, kepercayaan dan budaya), dengan demikian berubah menjadi fungsi komodifikatif (ekonomi) yang mengedepankan keuntungan ekonomis. Eksistensi suatu perubahan selalu berkaitan dengan sesuatu yang menjadi penyebab atau pendorong terjadinya perubahan itu sendiri. Max Weber mengemukakan bahwa gagasan selalu melatarbelakangi suatu perubahan dan memiliki kekuatan otonom yang besar terhadap berbagai bidang kehidupan termasuk dunia ekonomi. Lebih lanjut dikatakan bahwa sisten gagasan, sistem pengetahuan termasuk kepercayaan justru menjadi sebab perubahan, dan memilki pengaruh yang kuat terhadap kemunculan sistem gagasan lain khususnya semangat kapitalisme. Dan sistem kapitalisme inilah yang akhirnya menghasilkan sistem ekonomi kapitalis (Ritzer, 2003: 35). Rerajahan sebagai perwujudan gagasan “lama” yang bermuatan ideologi, kepercayaan dan budaya masyarakat Hindu Bali secara pelan namun pasti akhirnya harus mengalami perubahan mendasar, ketika diperhadapkan dengan sistem gagasan dan kepercayaan “baru” yakni semangat kapitalisme (ekonomi kapitalis) melalui proses komodifikasinya. Dalam semangat kapitalisme tersebut individu atau masyarakat akan memaksimalkan berbagai gagasan baru dengan daya kreativitas, produktivitas dan inovasi untuk mengubah dunia dan melibas segala aturan yang ada. (Piliang, 1999 : 82). Hal tersebut identik dengan penuturan I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut: “....dalam memproduksi rerajahan menggunakan teknik sablon, saya tidak menggunakan aturan-aturan khusus seperti yang ada pada pembuatan rerajahan tradisional. Yang penting bagi saya adalah kuantitas, masalah sakral atau tidak itu bukan tanggung jawab saya lagi. Itu tergantung keyakinan orang yang menggunakan rerajahan hasil cetakan saya” (Wawancara tanggal; 26 Maret 2014).
180
Penuturan di atas sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Piliang (1999), bahwa pengubahan dan pelibasan dunia dengan segala aturannya dalam konteks komodifikasi adalah mengubah fungsi utilitas sekaligus mengabaikan nilai-nilai (aturan) yang melekat dengannya karena semangat kapitalis (Piliang, 1999:93). Dari penuturan dan ungkapan di atas dapat diartikan bahwa komodifikasi produk budaya berdampak negatif terhadap kelangsungan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam budaya tersebut. Rerajahan yang dulu dianggap sakral, sekarang menjadi tidak sakral lagi (profan) karena kehilangan nilai-nilai religiusnya. 7.3.2
Makna Kreativitas dan Inovasi Kreativitas dan inovasi merupakan satu kesatuan yang memiliki kelekatan
hubungan satu sama lainnya. Kreativitas menghasilkan inovasi, sementara inovasi senantiasa bertolak dari kreativitas atau dengan kata lain kreativitas menyangkut ide-ide inspiratif, sedangkan ivonasi merupakan perwujudan nyata dari ide-ide inspiratif
tersebut.
Wiyatno
(2009)
menggambarkan
kreativitas
sebagai
kemampuan mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk melihat masalah dan kesempatan. Dan melalui kreativitas, seorang entrepreneur mampu menampilkan inovasi yakni suatu kemampuan untuk mengaplikasikan solusi kreatif terhadap masalah dan peluang untuk meningkatkan dan mengembangkan kehidupan (Wiyatno, 2009: 44). Searah dengan pengertian di atas, Sumartono (2006) mengatakan bahwa kreativitas merupakan usaha manusia yang menyatukan
pengetahuan dari
berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide-ide baru
181
yang lebih baik. Sementara inovasi merupakan pengenalan cara-cara baru, dan merupakan usaha yang sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari berbagai perubahan baru tersebut. Inovasi tidak mengisyaratkan hal yang baru secara absolut. Perubahan sebagai inovasi, jika perubahan tersebut bersifat baru bagi
seseorang,
kelompok
ataupu
organisasi
yang
memperkenalkannya
(Sumartono, 2006: 10). Gambaran di atas menunjukan bahwa ide-ide inspiratif (kreativitas) dan usaha mewujudkannya (inovasi) senantiasa dikaitkan dengan masalah yang dihadapi serta adanya kesempatan atau peluang yang harus dimanfaatkan sebagai suatu bentuk solusi terhadap masalah yang dihadapi. Berkaitan dengan rerajahan, berbagai masalah yang dihadapi sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya adalah (1) terbatasnya alokasi waktu yang tersedia didalam membuat rerajahan secara tradisional (2) semakin hilangnya pengetahuan dan teknologi tradisional yang dapat mengganggu keberlanjutan produksi rerajahan secara tradisional, dan (3) terbatasnya kemampuan sumber daya produksi tradisional yang dapat menyebabkan matinya kegiatan produksi rerajahan. Perkembangan
globalisasi
yang
didukung
oleh
kemajuan
ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perluasan akses pasar bebas telah mendorong terjadinya minimalisasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Hindu Bali di Kecamatan Tabanan dalam mengembangkan budaya mereka khususnya rerajahan. Tersedianya berbagai sumber daya produksi, baik berupa bahan, alat dan SDM merupakan peluang untuk mengekspresikan kebebasan kreativitas dan
182
inovasi dalam mengkomodifikasikan produk-produk rerajahan. Hal tersebut diperkuat dengan penuturan I Nyoman Sukaresi (47) sebagai berikut: “....dulu sebenarnya saya hanya pintar menggambar, dan membuat rerajahan dengan menggunakan cara tradisional yaitu menggambar langsung pada kain yang digunakan. Membuat satu rerajahan bisa memakan waktu yang lama. Maka dengan alasan tersebut kemudian saya berinovasi untuk memproduksi rerajahan dengan cara disablon. Dengan cetak sablon ternyata sangat membantu dan mempermudah pekerjaan, saya pun mendapat keuntungan yang lebih banyak” (Wawancara tanggal; 26 Maret 2014).
Dari penuturan tersebut dapat dilihat bahwa kreativitas dan inovasi merupakan bagian yang melekat dengan komodifikasi rerajahan untuk menghasilkan produk dalam skala besar dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada baik SDM, bahan dan alat. Dengan kata lain bahwa kreativitas dan inovasi merupakan semangat dasar dari wirausaha, dengan tujuan yang ingin dicapai adalah keuntungan ekonomis. Penuturan di atas sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan Zaharuddin (2006) yang mengatakan bahwa semangat wirausaha bukan sekedar membangun usaha, seperti: perdagangan, industri dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu semua bahwa wirausaha memiliki makna yang lebih mendalam, yaitu: bagaimana seseorang mampu menciptakan suatu produk, sistem kerja, dan pasar/usaha baru (kreatif), atau mengembangkan produk, sistem kerja dan pasar/usaha yang sudah ada (inovatif). Selanjutnya produk, sistem kerja, dan pasar/usaha tersebut harus mempunyai nilai ekonomis, agar dapat berkelanjutan (Zaharuddin, 2006: 1). Komodifikasi rerajahan merupakan daya atau usaha kreatif para desainer grafis/tukang sablon dalam memproduksi rerajahan dengan memanfaatkan
183
teknologi komputer dan cetak sablon. Dari kreatifitas tersebut, tukang sablon dapat membuat rerajahan dengan mudah dan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Kreativitas dan inovasi dalam rangkaian produksi rerajahan dengan demikian bukanlah merupakan fakta atau realitas yang menunjukan dirinya sendiri sebagai realitas ungkapan budaya, tetapi lebih merupakan media realitas yang menghadirkan realitas lain yang ada di baliknya yakni desakan ekonomi. Dalam pemahaman tersebut maka kreativitas, inovasi serta segala aktivitas lain yang terkait dengan itu menjadi semacam tanda yang menghadirkan sesuatu yang ada di baliknya yakni kepentingan ekonomi. Berkaitan dengan itu, Barthes melihat bahwa tanda-tanda dalam budaya bukanlah sesuatu yang polos murni (innocent), tetapi tanda-tanda budaya tersebut memiliki kaitan yang kompleks dengan reproduksi ideologi. Karena itu, menurut Barthes bahwa segala fenomena budaya harus diinterpretasikan agar dapat mengetahui lebih dalam tentang ideologi, kebenaran-kebenaran sejati dan bahkan mungkin pemujaan berhala komoditas atau commodity fetishism (Sutrisno, 2005: 118-119). Lebih lanjut Barthes berpendapat bahwa salah satu dunia pembentuk tanda adalah dunia budaya, yakni dunia relasi antar manusia yang diperantarai oleh benda, tanda dan makna. Dalam dunia budaya, tanda-tanda digunakan sebagai alat berbagai relasi kultural, dengan mengaitkan tanda-tanda dengan berbagai relasi ideologis (Pilliang, 2011: 48).
184
Sebagaimana dikatakan oleh Barthes bahwa tanda-tanda budaya memiliki kaitan yang kompleks dengan reproduksi ideologi, maka rerajahan sebagai tanda budaya dalam proses komodifikasinya senantiasa berkaitan erat dengan ideologi tertentu yakni ideologi kapitalis. Hal ini terjadi karena relasi antar manusia dalam konteks ini adalah relasi pasar atau relasi kapitalis, di mana produk rerajahan merupakan media sekaligus tanda yang membentuk relasi tersebut dalam relasi interaksi permintaan dan penawaran. Sebagai media dan juga tanda dalam membangun relasi antar manusia melalui aktivitas pasar, maka pengemasan media dan tanda tersebut (produk rerajahan) harus memenuhi syarat-syarat keunggulannya dalam memenangkan persaingan pasar. Untuk memenuhi “keharusan” ini, maka hal yang paling dasar dari pengemasan media dan tanda relasi pasar tersebut adalah kreativitas dan inovasi. Oleh karena itu, maka yang menjadi makna dasar dari proses atau kegiatan komodifikasi khususnya komodifikasi rerajahan adalah kreativitas dan inovasi. 7.3.3
Makna Estetik Di dalam agama Hindu terdapat banyak elemen estetis (seni) yang
berhubungan dengan kegiatan agama. Nilai-nilai estetis dalam ajaran agama Hindu tampak pada karya sastra kawi wiku Mpu Prapanca dalam kakawin Arjuna wiwaha. Dalam kakawin ini dinyatakan bahwa Yang Mutlak ada pada yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang buruk, yang nyata dan yang tidak nyata; Yang Mutlak menjadi penyebab kelahiran, kehidupan, dan kematian, serta menjadi asal dan tujuan manusia. Ungkapan ini diungkapkan lewat sembah sang Arjuna kepada
185
Hyang Siwa, yang merupakan tuangan pujaan. Di dalam ungkapan inilah sesungguhnya ditemukan filsafat kehindahan yang dianut Mpu Kanwa. (Kebayantini, 2013:199) Seni dalam agama Hindu di Bali terjalin dalam pengertian doa, persembahan, dan pertunjukan itu sendiri. Dalam agama Hindu yang berkembang di Bali terdapat tiga elemen pengungkapan ekspresif yang berhubungan sangat erat satu sama lain, yaitu gerak (bayu), suara atau kata-kata (sabda), dan pikiran (idep). Ungkapan itu dapat dipahami ketika seorang pendeta sedang berdoa atau memimpin ritual agama. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Ada tida konsep penting dalam estetika Hindu, yaitu konsep kesucian (shiwam), kebenaran (satyam), dan keseimbangan (sundharam) (Dibia, 2003: 96). Menurut Read (2006: 297), bahwa ketika agama berbicara tentang masalah unsur-unsur ritualnya, maka di situ tampak erat berkaitan dengan seni. Kehadiran seni dalam ritual agama tidak dapat dielakkan dan menjadi satu kesatuan yang akrab. Artinya seni dalam ritual agama akan mendorong kesadaran religiusitas. Sebaliknya, pengalaman ritual agama dapat membangkitkan pengalaman estetis yang akan menghasilkan karya-karya seni yang bersifat religius. Sebagai sarana perlengkapan ritual keagamaan, rerajahan merupakan salah satu pelengkap wajib atiwa-tiwa/upakara dalam adat istiadat agama Hindu di Bali. Rerajahan dibuat bukan bertujuan sekedar untuk kehindahan semata, tetapi lebih mengutamakan makna/nilai-nilai keagamaan/religius, filsafat dan gaib
186
(magic). Kalau kita lihat bentuk rerajahan secara umum adalah merupakan bentuk dewa-dewa, wong-wongan/wayang, raksasa, binatang, senjata, pepohonan dan aksara. Bentuk tersebut merupakan stilirisasi dari manusia berdasarkan imaginasi/kekuatan daya khayal yang merupakan bayang-bayang dalam hidupnya dikala mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Imaginasi tersebut kemudian di gambarkan kedalam bentuk-bentuk simbol yang memiliki nilai kehindahan/estestika. Hal tersebut diperkuat dari penuturan oleh Sri Mpu Putra Dukuh Sakti (53) sebagai berikut: “Rerajahan hasil sablon kebanyakan mengedepankan nilai keindahannya semata, apalagi rerajahan tersebut tidak melalui proses pasupati. Seperti misalnya pada menjelang hari raya Galungan, masyarakat di Kecamatan Tabanan banyak membeli rerajahan jenis “Ong Kara” untuk digantungkan di penjor tanpa melalui ritual pasupati. Dalam hal ini rerajahan tersebut dapat dikatakan hanya sebagai simbolis belaka untuk menambah keindahan dan kelengkapan penjor tersebut (Wawancara tanggal; 12 Februari 2014). Penuturan di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang dalam hal ini selaku subjek konsumsi hanya mengedepankan nilai estetik dalam mengkonsumsi rerajahan, tanpa memperhatikan nilai yang lainnya yang terkandung dari rerajahan tersebut. Hal ini identik dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Kebayantini (2013), bahwa seni (kehindahan) dan agama merupakan dua hal yang memiliki wilayah dan cara pemahaman yang berbeda adalah benar, artinya relevansi yang satu dengan yang lainnya tidak menjadi keharusan. Realitasnya tidak demikian dalam gejala kebudayaan, justru keduanya sering tampak berkaitan secara bersamaan terutama pada upacara keagamaan. Tidak ada ritual atau upacara keagamaan yang tidak dilaksanakan dalam bentuk simbol-simbol ekspresif kehindahan (Kebayantini, 2013:199).
187
Konsepsi ide bentuk rerajahan merupakan suatu gagasan pemikiran dalam merancang timbulnya bermacam-macam bentuk rerajahan yang nantinya dapat dipakai untuk kepentingan hidupnya baik jasmani maupun rohani. Gagasan pemikiran dalam bentuk rerajahan ini sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan beragama, khususnya Agama Hindu. Agama Hindu dan rerajahan mempunyai landasan yang sama yaitu sama- sama berlandaskan pada rasa. Oleh karena itu unsur rerajahan selalu larut dalam upakara keagamaan maka nilai estetis bentuk disini adalah sangat tinggi dan menciptakan simbol-simbol suci dalam setiap upacara yadnya.
7.4 Refleksi Komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai proses perubahan atau transformasi rerajahan sebagai ciptaan manusia masa lalu menjadi barang dagangan atau komoditas, yang sengaja dilakukan oleh manusia masa kini melalui bantuan teknologi desain grafis, baik di dalam merancang rerajahan tersebut, maupun di dalam pencetakkannya. Dengan demikian secara konseptual komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis dipahami sebagai proses perubahan di dalam pembuatan rerajahan, baik dari teknik pembuatan, media yang digunakan, durasi waktu yang dibutuhkan, maupun sumber daya manusianya. Terjadinya komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan diakibatkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal atau perubahan yang diakibatkan oleh faktor dari luar
188
masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan diakibatkan oleh globalisasi dan teknologi, serta faktor budaya konsumen. Berkaitan dengan komodifikasi rerajahan, entah secara sadar ataupun tidak berbagai dimensi-dimensi globalisasi tersebut telah turut berperan dan dijadikan dasar pengembangan teknologi dan idiologi ekonomi pada tataran kebijakan pembangunan maupun inovasi dan kreativitas masyarakat. Dalam konteks pemahaman ini, berbagai dimensi globalisasi kemudian dilihat sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan untuk menampilkan keberadaan rerajahan sebagai produk komoditas. Budaya konsumtif juga mempengaruhi komodifikasi rerajahan, pola hidup masyarakat di Kecamatan Tabanan selaku tempat penelitian menjadi lebih konsumtif didalam mendapatkan alat-alat atau sarana upacara, termasuk rerajahan. Mereka dengan mudah dapat membeli rerajahan hasil komodifikasi tanpa memperhitungkan nilai fungsi dan makna dari rerajahan tersebut. gaya hidup masyarakat di Kecamatan Tabanan sudah berubah karena terpengaruh dengan budaya hidup konsumtif. Budaya hidup konsumtif sudah merasuk ke ranah-ranah paling dalam masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan, termasuk ke ranah ritual keagamaan. Nilai fungsi dan makna bukan lagi yang utama bagi mereka, yang penting pemenuhan akan kebutuhan semata. Selain faktor eksternal diatas, ada beberapa faktor yang muncul dari masyarakat Hindu di Kecamatan Tabanan sendiri yang disebut dengan faktor internal. Faktor-faktor internal tersebut antara lain : faktor keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, faktor pewarisan budaya dan faktor ekonomi.
189
Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi akan meningkatnya praktek komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan. Pengaruh dari faktor internal menunjukkan bahwa faktor ekonomi, pengetahuan dan keterampilan serta pewarisan budaya dianggap juga faktor yang paling dominan di dalam menenggelamkan rerajahan yang dibuat secara tradisional di Kecamatan Tabanan. Pergeseran pengetahuan dan teknik produksi rerajahan sebagaimana digambarkan pada bab-bab sebelumnya, telah berdampak secara langsung terhadap mulai hilangnya pengetahuan tentang cara-cara pembuatan rerajahan secara tradisional. Hal ini juga dipengaruhi oleh kurang adanya sistem transmisi atau pewarisan budaya dari pihak yang lebih tua kepada pihak yang lebih muda. Adanya istilah “ajawera” memperburuk proses pewarisan tersebut. Tidak adanya sosialisasi untuk mewariskan keahlian merajah kepada generasi muda karena dianggap tabu/terlarang, sehingga generasi muda sebagai generasi penerus tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang rerajahan. Pada saat ini sistem pewarisan budaya terutama tentang berbagai ajaran ritual keagamaan hanya disampaikan secara “gugon tuwon”. Istilah ajawera yang dianggap tabu bagi generasi muda sudah saatnya diinterpretasi ulang, karena tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman globalisasi ini.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Teori yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Komodifikasi Rerajahan melalui teknologi Desain Grafis di Kecamatan Tabanan” ini adalah teori komodifikasi untuk menganalisis permasalahan pertama, kedua, dan ketiga, teori dekonstruksi dan teori praktik untuk menganalisis permasalahan ke dua, teori semiotika untuk menganalisis permasalahan ke tiga. Komodifikasi rerajahan telah menghasilkan bentuk-bentuk komodifikasi yang mencakup semua aspek rerajahan itu sendiri. Bentuk-bentuk komodifikasi tersebut adalah : komodifikasi alokasi sumber daya produksi rerajahan mengalami perubahan dari sumber daya produksi tradisional. Perubahan tersebut meliputi : sumber daya manusia, alat dan bahan, serta alokasi waktu. Proses produksi rerajahan secara tradisional digantikan oleh teknologi desain grafis yang meliputi: proses desain yang menggunakan teknologi komputer, dan proses cetak yang menggunakan teknik cetak sablon. Komodifikasi distribusi rerajahan meliputi model-model distribusi (saluran langsung dan perantara) yang digunakan dalam mendistribusikan hasil produksi dapat dimanfaatkan sebagai peluang berharga dalam memperoleh keuntungan ekonomis. Saluran langsung yang dimaksud yaitu rerajahan dijual di kios-kios/toko-toko perlengkapan sarana upacara, sedangkan melalui perantara yaitu rerajahan didistribusikan oleh sulinggih ke sisya mereka. Sedangkan
190
191
komodifikasi konsumsi rerajahan mencakup empat hal pokok yakni : subyek konsumsi, obyek konsumsi, lingkungan konsumsi dan proses konsumsi rerajahan. Komodifikasi rerajahan disebabkan oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut meliputi : faktor
keterbatasan
pengetahuan dan keterampilan, faktor pewarisan budaya, faktor ekonomi, faktor globalisasi dan teknologi, serta faktor budaya konsumtif Dampak dan makna komodifikasi rerajahan melalui teknologi desain grafis di Kecamatan Tabanan, telah berdampak secara langsung baik kepada masyarakat Hindu di Bali pada umumnya dan masyarakat di Kecamatan Tabanan khususnya, baik dampak posistif maupun dampak-dampak negatif. Secara positif, komodifikasi rerajahan telah berdampak terhadap peningkatan pengetahuan, peningkatan kesejahteraan dan peluang kerja, serta produktifitas, efektifitas dan efisiensi. Selain dampak positif diatas, komodifikasi rerajahan juga berdampak negatif antara lain; degradasi nilai budaya dan keterancaman warisan budaya. Sedangkan makna komodifikasi rerajahan adalah makna desakralisasi budaya, makna kreativitas dan inovasi, serta makna estetik.
8.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti menyarankan kepada pihakpihak terkait beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam bertindak :
192
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk penelitian lebih lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu sesuai dengan karakteristik kajian budaya yang multidisipliner. Modal budaya berupa ritual keagamaan dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar dapat memberikan
kontribusi
yang
signifikan
dalam
pembangunan
untuk
mensejahterakan masyarakat, dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai ciri khasnya. 2. Ditinjau dari segi nilai-nilai budaya, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai budaya lama dan baru bukanlah merupakan dua hal yang bersifat terpisah. Cukup banyak nilai budaya yang masih dianut dewasa ini pada hakikatnya merupakan produk masa lampau. Dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya lama dalam menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan menyeleksi agar didapat nilai-nilai yang betuk-betul bermanfaat bagi kehidupan. 3. Kepada para peneliti yang tertarik dengan permasalahan warisan budaya dalam kaitannya dengan teknologi atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik, dan terbuka untuk penelitian lanjutan, untuk dikaji secara mendalam agar mendapat pemahaman yang lebih kritis dan mendalam. 4. Penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, pimpinan organisasi
193
kelembagaan sosial budaya dengan memecahkan berbagai permasalahan untuk kesejahteraan bersama. 5. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan disiplin ilmu kajian budaya, di samping sebagai sumber rujukan dalam dinamika kreativitas kehidupan sosial budaya masyarakat. 6. Pewarisan ritual keagamaan yang dianggap terlarang/tabu (ajawera) bagi generasi muda sudah saatnya diinterpretasi atau dikaji ulang, karena dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman di era globalisasi ini.
194
DAFTAR PUSTAKA
Adityawan, Arief., & Tim Litbang Concept. 2010. Tinjauan Desain Grafis. Jakarta: Concept. Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis : Praktik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana. Alam, Bachtiar. 1988. “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Antropolgi dan Pembangunan” di Jakarta. Ardana, I Gst. Gde. Dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-aspek Nilai Budaya Bali. Denpasar. Pemda Provinsi Bali. Ardika, I Wayan. 1995. “Nilai dan Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Sumberdaya Budaya”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi IAAI Komda Bali. Arifin, Imamul. 2007.Membuka Cakrawala Ekonomi. Bandung: PT. Setia Purna Inves. Atmaja, Nengah Bawa. 2008. “Ideologi Tri Hita Karana – Noeliberalisme = Vilanisasi Radius Suci Pura (Perspektif Kajian Budaya”), dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Unud. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan.2013. Tabanan Dalam Angka 2013. Bagus, I Gusti Ngurah. 1985. “Kebudayaan Bali”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.. Jakarta : Penerbit Jambatan. Bakri, Syamsul, Mudhofir Abdullah. 2004. Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam pembaruan Islam di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Pustaka). Barthes, Roland. (1979), The Eiffel Tower and Other Mythologies atau Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika dan Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi, terj. Ikramullah Mahyuddin, Jalasutra, Yogyakarta. Baudrillard, Jean. 1972. For a Critique of the Political Economy of the Sign. New York: Telos Press.
195
Besari, M.Sahari. 2008. Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi. Jakarta: Salemba Teknika. Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Cambridge : Polity. Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Derrida, Jacques. 2005. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam. Yogyakarta : Jala Sutra. Dibia, I Wayan. 2006. Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali” dalam Estetika Hindu dalam Pembangunan. Denpasar : PT. Mabhakti. Ellul, Jacques. 1998. Religion, Technology, and Politics. New York : Scholars Press. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Fairclough, Norman. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______. 2008. Posmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
dan
Budaya
Konsumen
(terjemahan).
Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol : Apresiasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Juxtapose. Gaspersz, Vincent. 2007. Lean Six Sigma For Manufacturing and Service Industries. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya:Penerbit Paramita. Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity. Cambridge : Polity Press. Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Note Books. New York : International Publisher.
196
Griffin, Ricky W. and Ronald J. Ebert. 2006. Business, Eight Edition (Terj.Sita Wardhani). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Hardiman, F. Budi. 2003. Pustaka Filsafat Melampui Posotivisme dan Modernitas. Jogyakarta: Penerbit Kanisius. Hebermas, J. 2007. Teori Tindakan Komunikatif: Kritik Atas Rasio Fungsionalis (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana. Herskovits , Melville J. 1998. A Cross-cultural Analysis. New York : Northwestern University press Hoed, Benny H. 2011. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta : Pustaka jaya Hooykaas. C. Tovenarij of Bali Magische Tekeningen. Ibrahim, Idi Subandy. 1997. “Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”, dalam Ecstasi Gaya Hidup. Bandung : Mizan. Jaman, I Gede. 1999. Fungsi dan Manfaat Rerajahan dalam Kehidupan. Surabaya : Paramita. Karji, I Wayan. 2000. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar : Bali Madia Adhi Karsa. Kebayantini, Ni Luh Nyoman. 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali Surabaya, Paramita. Kerlinger, Fred N. 2004. Foundations of behavioral research. New York : Holt Rinehart. Koentjaraningrat. 1980. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: ANDI Lacan, Jacques. 2005. Ecrits: A Selection. New York : Norton & Company.
Lukas, George. 1992. History and Class Conciousness. New York : BlackWell. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern: dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu. Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
197
Macdonell, Diane. 2005. Teori-teori Diskursus: Kematian Strukturalisme dan Kelahiran Poststrukturalisme, dari Althusser Hingga Foucault (Terjemahan). Jakarta : Teraju – Mizan. Machan, Tibor R. 1989. Liberty and Culture: Essays on the Idea of a Free Society (Terj. Masri Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mangunwijaya, Y.B. 1983. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Jakarta : Logung Pustaka. Mariyah, Emiliana. 2006. “Kekinian Kajian Budaya di Bali”, dalam Jurnal Kajian Budaya. Hal. 1-18. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana. Martin. 2006. Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Bentang. Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mudana, I Gede. 2005. “Estetika Posmodern Dalam Pariwisata : Komodifikasi Kesenian Bali”. dalam Jurnal Seni Budaya. 12. p. 1. ISSN 0854-3461. Denpasar : Institut Seni Indonesia. Ngurah TY, A.A. Gde. 2002. “Transformasi Rerajahan dalam Seni Lukis Modern di Bali”, Tesis: Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Nusantara, Guntur. 2008. Panduan Praktis Cetak Sablon. Jakarta : Kawan Pustaka Pemayun, Tjokorda Udiana Nindhia. 2009. “Komodifikasi Patung Garuda Di Banjar Pakudui, Desa Kedisan: Sebuah Kajian Budaya”, Disertasi: Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper Realitas Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. _______. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. ______. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Kebudayaan. Bandung : Percetakan Jalasutra.
Melampaui
Batas-batas
Pitana, I Gede. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post. Poerwadarminta, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
198
Racadana, I Gede . 1998. Sarana Upakara Panca Yadnya. Surabaya : Paramita. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______, 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Read, George. 2001. Life and Correspondence. Washington : New Press
Rica. 2005. “Perubahan Pola Hubungan Pasisyan pada Masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok”, Tesis: Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ritzer, George & Barry Smart. 2001. Handbook Teori Sosial (Terj. Imam Mutiaqien, Derta Sri Wdyowatie dan Waluyati). Bandung: Penerbit Nusa Media. Sachari, Agus., & Sunarya, Yan yan. 2002. Sejarah Perkembangan Desain dan Dunia Kesenirupaan di Indonesia. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan sosial masyarakat Indonesia: perspektif antropologi. Jakarta ; Pustaka Pelajar. Sastra, Sara. 2005. Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih, Surabaya. Paramita. Samsul, Mohamad. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta: Erlangga. Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 1997. Cultural Studies for Beginners. Cambridge : Icon Book Ltd. Saussure, Ferdinand de. 1973. Semiotics and Social Dynamics of Culture. Cambridge : Polity Press. Shadily, Hasan. 1973. Ensiklopedi Umum. Jogyakarta: Penerbit Kanisius. Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Yogyakarta: Pustaka LP3ES Smith, David, and Evans, Phil. 2004. Das Kapital. Jakarta : Insist Press. Steger. Manfred. B. 2010. Globalization. New York : Sterling Publishing
199
_____.1995. Globalisme Bangkitnya Ideologi Prasetia).Yogyakarta : Lofadi Pustaka.
Pasar
(Penerjemah
Heru
Soemardjan. 1995. Sosiologi. Semarang: IKIP Semarang Press. Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual “Cultural Studies” (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Qalam. ______. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Paling Komprehensif Teori dan Metode (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya : Citra Wacana Sukarwa, I Made. 1983. Usada Tiwang. Dinas Kesehatan Provinsi Bali : Percetakan Bali. Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan. Jakarta : Alfabeta Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Jogyakarta: Kanisius. Suseno, Frans Magnis. 2006. Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Frans MagnisSuseno. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suweta, I Nengah. 2006. “Aksara pada Kajang dalam Upacara Ngaben Masyarakat Hindu di Bali: Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan”, Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Takwin, Bagus. 2013. Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta : Jala Sutra. Tim Penyusun Kamus, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra. Timothy, J.Dallen. 2011. Cultural Heritage and Tourism: An Introduction. UK: Channel View Publikations. Turner, Bryan S. 1992. The Social Theory. New York : Basil Blackwell. Watra, I Wayan. 2008. Ulap-ulap dan Rerajahan. Surabaya: Paramita.
200
Wiana, I Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar : Penerbit PT. Bali Post. Wijaya, I Wayan. 1991. “Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu Perilaku Keagamaan Umat Hindu Di Denpasar 1980-1990”, Tesis Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Wiyatno, Willy. 2002. Characterization of a Polypropylene Elastomer. Stanford : University Press
Zaharuddin, Harmaizar. 2006. Menggali Potensi Wira Usaha. Bekasi: Dian Anugerah Prakasa. Zimmer. E. 2009. The Rich World and the Impoverishment of Education: Diminishing Democracy. New York : Madison Ave.
203
Lampiran 2 PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara yang akan disusun agar selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk memperoleh data di lapangan akan dikelompokkan ke dalam empat kelompok tema wawancara, dengan masing-masing pokok pertanyaan sebagai berikut: A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1.
Bagaimana sejarah/latar Belakang kecamatan Tabanan?
2.
Bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dibidang sosial, budaya dan ekonomi di kecamatan Tabanan?
3.
Organisasi sosial kemasyarakatan apa saja yang ada di kecamatan Tabanan?
4.
Apakah tradisi budaya yang khas di Kecamatan Tabanan??
5.
Apa saja yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Tabanan?
6.
Apa saja yang menjadi mata pencaharian tambahan masyarakat di Kecamatan Tabanan?
B. Rerajahan Bali 1.
Apa yang dimaksud dengan rerajahan?
2.
Siapakah yang berkompeten membuat rerajahan tersebut?
3.
Berapa lama waktu normal yang dibutuhkan untuk membuat satu jenis rerajahan?
204
4.
Tahapan-tahapan apa saja yang harus dilalui dalam membuat rerajahan?
5.
Teknologi apa saja untuk sekarang ini yang bisa digunakan untuk membuat rerajahan?
6.
Apakah ada perbedaan antara rerajahan yang dibuat manual dengan yang dibuat menggunakan mesin atau teknologi?