TESIS
BUDAYA HUKUM DALAM KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA PADA PENGRAJIN PERAK DI BALI
KADEK JULIA MAHADEWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
BUDAYA HUKUM DALAM KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA PADA PENGRAJIN PERAK DI BALI
KADEK JULIA MAHADEWI NIM : 1390561030
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
BUDAYA HUKUM DALAM KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA PADA PENGRAJIN PERAK DI BALI
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
KADEK JULIA MAHADEWI NIM. 1390561030
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 2 JULI 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 1935/UN.14.4/HK/2015, Tanggal 1 Juli 2014
Ketua
: Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum.
Sekretaris
: Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H.
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S 2. Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum.
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur penulis panjatklan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Budaya Hukum Dalam Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak Di Bali” dan besar harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada hukum kekayaan intelektual. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I atas waktu, pikiran dan tenaganya dalam memberikan bimbingan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini. Terima kasih
sebesar-besarnya
juga
penulis sampaikan kepada Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H. selaku Pembimbing II atas waktu, pikiran dan tenaganya dalam memberikan bimbingan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan
kepada Rektor Universitas
Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD. KEMD, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vi
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wirocana, SH., M.H., atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister Ilmu Hukum. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM. Atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. Ucapan terima kasih kepada panitia penguji tesis, Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S., selaku Penguji I, Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H., Selaku penguji II dan Dr. Puti Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum., selaku penguji III, yang telah memberikan masukan saran dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti studi perkulihan. Ucapan terima kasih kepada para pegawai administrasi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada I Putu Surya Dharma, S.H., M.H., dan Dr. Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun S,Sn., S.H., M.Hum., yang telah menjadi informan dalam penulisan tesis ini, serta telah meluangkan waktunya untuk diwawancara. Ucapan terimakasih kepada para pengrajin perak di Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung
vii
yang telah bersedia menjadi responden dan meluangkan waktu untuk diwawancara yaitu: Wayan Sudani, Desak Nyoman Suarti, I Nyoman Patra, S.H., M.H., Wayan Putra, Wayan Sukadana,Wayan Nano, I Ketut Muja, I Nyoman Sugiartha dan Nyoman Jero Ucapan terimakasih rekan-rekan Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Angkatan 2013 yang telah memberikan semangat serta dorongan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih kepada Ayahanda, Bapak I Nyoman Mudita, Ibunda Dra. Ni Wayan Puspawati serta saudara tersayang Putu Mia Rahmawati, S.H., M.Kn, Komang Jaya Nugraha dan Ketut Purnama Sari atas dukungan moral serta doa dalam penulisan tesis ini. Serta Sahabat penulis Agus Efendi, Yayuk Trimasutami, Sang ayu Ditha Adipatni, S.H., Diah Fitriani S.H., Nonik Suharyanthi, S.H., Adi wirawan S.H., Ketut Purnaastha, S.H., Eka Wiranatha, S.H., Dessy Lina, S.H., dan Wilda Kharisma, S.H., atas dukungan dan motivasinya selama ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada rekan-rekan di konsentrasi Hukum dan Masyarakat Made Adnyana, S.H., Ngurah Budhi S.H., Yosefina, S.H., Adi Susila, S.H., dan Rudy Sembiring, S.H., atas dukungan yang diberikan dalam penyelesain tesis serta meluangkan waktu dalam diskusi mengenai tesis ini. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para viii
pembaca untuk kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum
kekayaan
intelektual serta berguna bagi
masyarakat. Denpasar 5 Juli 2015
Penulis
ix
ABSTRAK
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, berdasarkan pasal 38 mengatur tentang perlindungan karya cipta, salah satu bentuk karya cipta yang dilindungi adalah kerajinan perak. Perlindungan motif kerajinan perak Bali mulai mengalami permasalahan yuridis, hal ini disebabkan adanya gugatan pelanggaran hak cipta atas didaftarkan motif tradisional perak oleh perusahaan/orang asing. Hal tersebut tentu merugikan pengrajin perak Bali yang sesungguhnya kerajinan perak dapat dilindungi oleh hak cipta. Penegakan HKI dalam kerangka hak cipta apabila tidak ditangani akan secara khusus akan berdampak pada budaya hukum masyarakat. Berdasarkan permasalahan di atas dilakukan penelitian dengan judul “ Budaya Hukum Dalam Keberlakuan Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak Bali”. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini. Pertama, bagaimana bentuk perlindungan Negara terhadap motif-motif kerajinan perak Bali yang merupakan warisan tradisional? kedua, bagaimana budaya hukum pengrajin perak di Bali terbaik keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta? Jenis penelitian ini, penelitian hukum empiris. Hasil penelitian menunjukan, pertama, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara terhadap motif– motif tradisional adalah perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Kedua budaya hukum pengrajin perak di Bali memandang motif tradisional sebagai hakikat karya dengan orientasi karya untuk nafkah hidup. Sehingga sistem nilai yang dianut sebagai besar pengrajin di Bali tidak mendaftarkan karyanya ke dalam hak cipta. Katakunci: Budaya Hukum, Keberlakuan Undang-undang Hak Cipta, Pengrajin Perak Bali.
x
ABSTRACT
The Law No.28 year of 2014 regarding Copyright based on article 38 regulates about the protection of copyright, one form of copyright works which are being protected is silver handicrafts. The protection of the motif of Balinese silver handicrafts begins to suffer from juridical issue, this is due to the lawsuit of copyright violation registered for motif of traditional silver handicrafts by foreign company/individual. It is certainly harmful for Balinese silversmiths which actually silver handicrafts can be protected by copyright law. The enforcement of HKI in the copyright framework if not handled properly will definitely affect to the legal culture of the society. Based on the issue above the research was conducted with the title of: Legal Culture in the Enforce-ability of the Law No.28 year of 2014 Regarding Copyright on the Balinese Silversmiths. Meanwhile the problem formulations in this research are: 1. How is the protection from the state toward motifs of Balinese silver handicrafts which representing traditional legacies? 2. How is the legal culture of silversmiths in Bali concerning the enforceability of the Law No.28 year of 2014 regarding the copyright? The type of this research belonged to the study of empirical law. The result of research shows that, first, the type of law protection provided by the state towards traditional motifs is in the form of preventive and repressive law protection. Second, legal culture of silversmiths in Bali view traditional motifs as a work substance with work orientation is for a living so that value system being adopted by most silversmiths in Bali is not to register their works into the Copyright system.
Keywords: Legal Culture, the Enforceability of Copyright Law, Balinese Silversmiths.
xi
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai Budaya Hukum Dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak di Bali berdasarkan pasal 38. Bab I menguraikan latar belakang masalah yang berasal dari adanya pertentangan antara das sollen dan das sein. Hukum suatu negara atau masyarakat yang satu berbeda dengan hukum negara atau masyarakat yang lain, karena filsafat hidup bangsa yang tidak sama dengan bangsa yang lain. Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kreativitas atau kegiatan manusia. Secara normatif perlindungan terhadap ekspresi budaya diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta ayat (1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. Pada ayat (2) Negara wajib mengiventarisasi, menjaga dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Faktanya masih ada klaim budaya asing terhadap motif tradisional perak Bali. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian,manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir penelitian, dan metode penelitian. Dalam Bab II diuraikan sebagai penjabaran dari tinjauan umum yang membahas mengenai budaya hukum dalam keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tentang Hak Cipta Pada pengrajin perak Bali. Dalam Tinjauan Umum dibahas tiga sub bab. Sub bab pertama, tentang hak cipta meliputi pengertian dan dasar hukum hak cipta, ruang lingkup perlindungan hak cipta, dan mekanisme pendaftaran hak cipta. Dalam sub bab kedua, diuraikan budaya hukum meliputi pengertian dan konsep budaya hukum dalam konteks keindonesiaan. Sub bab ketiga, dibahas tentang motif tradisional yang meliputi pengertian dan konsep motif tradisional, perlindungan motif tradisional dan bentuk motif tradisional perak Bali. Bab III dan Bab IV adalah uraian tentang hasil penelitian dan pembahasan. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah pertama. Dalam bab ini diuraikan tiga sub bab, sub bab pertama bentuk pelanggaran hak cipta atas motif tradisional perak bali, sub bab kedua tentang pelaksanaan perlindungan hukum bagi motif tradisional perak di bali dan sub bab ketiga diuraikan aspek perdata dan pidana sebagai bentuk perlindungan negara. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan permasalahan kedua yang diuraikan dalam tiga sub bab, Sub bab pertama gambaran umum budaya hukum pengrajin perak Bali di Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung. Sub bab kedua, faktor faktor yang mempengaruhi nilai budaya hukum Pengrajin Perak Bali terhadap keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan sub bab ketiga Kontruksi Budaya Hukum yang ideal bagi pengrajin perak Bali Terhadap keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. xii
Bab V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun simpulan pembahasan di atas pertama, perlindungan negara terhadap motif-motif tadisonal kerajinan perak Bali yang merupakan warisan budaya tradisional adalah perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa, dilakukan dengan pendaftaraan hak cipta pada barang kerajinan, dan perlindungan hukum represif adalah upaya penyelesaian sengketa suatu sistem perlindungan hukum dilakukan dengan pemberian sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran. Kadua, budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah memandang motif tradisional sebagai hakikat karya dengan orientasi karya itu untuk nafkah hidup. Sehingga sistem nilai yang dianut sebagian besar pengrajin perak di Bali tidak mendaftarkan karyanya ke dalam hak cipta. Adapun saran yang dapat diberikan terhadap uraian pembahasan diatas sebagai berikut pertama, pemerintah khususnya pada Departemen Hukum dan HAM bertindak aktif dalam melakukan sosialisasi HKI dan kedua, kepada masyarakat dan Peran masyarakat di sini ditujukan kepada Asosiasi yang melibatkan komunitas pengrajin perak. Asosiasi disarankan untuk membuat klinik HKI yang menunjang kegiatan anggotanya. Klinik HKI diharapkan mampu memberikan edukasi kepada komunitas pengrajin perak.
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………..
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER…. ..............................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIAPENGUJI TESIS ……………………………………
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
x
ABSTRACT .....................................................................................................
xi
RINGKASAN .................................................................................................
xii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah ....................................................................
13
1.3.
Ruang Lingkup Masalah ..........................................................
13
1.4.
Tujuan Penelitian .....................................................................
14
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................
14
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................
14
1.5.
Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis ..............................................................
14
1.5.2 Manfaat Praktis ...............................................................
15
1.6.
Orisinlitas Penelitian ...............................................................
15
1.7
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.8
17.1 Landasan Teoritis .............................................................
19
1.7.2 Kerangka Berpikir ...........................................................
30
Metode Penelitian 1.8.1Jenis Penelitian .................................................................
32
1.8.2 Sifat Penelitian.................................................................
33
1.8.3 Data dan Sumber Data ....................................................
34
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data .............................................
35
xiv
BAB II
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ..............................
35
1.8.6 Pengolahan Dan Analisis Data .......................................
36
TINJAUAN UMUM HAK CIPTA, BUDAYA HUKUM DAN MOTIF TRADISIONAL
2.1
2.2
Tinjauan Umum Tentang Hak Cipta 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hak Cipta ......................
39
2.1.2 Ruang Lingkup Perlindungan Hak Cipta......................
41
2.1.3 Mekanisme Pendaftaraan Hak Cipta ...........................
55
Tinjauan Umum Tentang Budaya Hukum 2.2.1 Pengertian dan Konsep Budaya Hukum .......................
58
2.2.2 Ruang Lingkup Budaya Hukum Dalam Konteks Ke Indonesian .................................................................... 2.3
61
Tinjauan Umum Tentang Motif Tradisional 2.3.1 Pengertian dan Konsep Tradisional ..............................
64
2.3.2 Ruang Lingkup Perlindungan Motif Tradisional ..........
65
2.3.3 Bentuk Motif Tradisional Perak Bali ...........................
67
BAB III WUJUD PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP MOTIF– MOTIF TRADISIONAL PERAK BALI 3.1
Bentuk Pelanggaran Hak Cipta Atas Motif Tradisional Perak Bali .........................................................................................
3.2
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Motif Tradisional Perak Di Bali ..........................................................................
3.3
81
Aspek Perdata dan Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan Negara ...................................................................................
BAB IV
72
108
ASPEK BUDAYA HUKUM PENGRAJIN PERAK BALI TERHADAP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
4.1
Gambaran Umum Budaya Hukum Pengrajin Perak Bali Di Kota Denpasar Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung120 xv
4.2
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nilai Budaya Hukum Pengrajin Perak Bali Terhadap Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta ...............................
4.3
130
Konstruksi Budaya Hukum Yang Ideal Bagi Pengrajin Perak Bali Terhadap Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta ................................................
137
BAB V PENUTUP 5.1
Simpulan ...................................................................................
154
5.2
Saran ..........................................................................................
154
DAFTAR BACAAN ........................................................................................
156
DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Hukum ada dalam masyarakat. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan, dan sebagainya). Tidak satupun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari hukum. Corak dan warna hukum dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan di mana hukum itu berlaku. Hukum merupakan cerminan budaya masyarakat yang memilikinya. Selain hukum mempunyai sifat universal, juga mempunyai sifat nasional, di mana hukum suatu negara atau masyarakat yang satu berbeda dengan hukum negara atau masyarakat yang lain, karena filsafat hidup bangsa yang satu tidak sama dengan bangsa yang lain. Perbedaan filsafat hidup ini disebabkan oleh faktor geografis, kepribadian dan kebudayaan yang berbeda antara masyarakat satu masyarakat bangsa yang lain.1 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah istilah umum dari hak eksklusif yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kreativitas atau kegiatan manusia, sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis dan termasuk ke
1
Riduan Syahrani, 2011, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung, h.
28.
1
2
dalam hak tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis.2 Suatu karya intelektual yang mendapat perlindungan hak cipta adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya tersebut baru mendapat perlindungan hukum apabila telah diwujudkan sebagai ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi yang dapat dilihat, didengar dan dibaca. Hukum hak cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide semata. Secara mendalam tentang hukum hak cipta dapat ditelusuri melalui dasar hukum pengaturannya. Di Indonesia secara nasional hak cipta diatur dalam Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Hak Cipta). Secara Internasional pengaturan tentang hak cipta dapat diketahui melalui konvensi seperti: Berne Convention, Universal Copyright Convention serta TRIPs Agreement. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.3 Untuk mengetahui kriteria agar ciptaan dapat dilindungi hak cipta adalah : a. Harus orisinil yaitu hasil kerativitas pencipta sendiri bukan mengcopy. b. Ada bentuk nyata atau kongkrit misalnya diekspresikan ke dalam kertas, audio, video tape, CD, kanvas dan sebagainya.
2
Andy Noorsman Sommeng, 2007, Penengakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tanggerang, h.10. 3 Yusran Isnaini, 2010, Buku Pintar Haki Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, Ghalia Indonesi, Bogor, h. 1.
3
c. Harus terdapat beberapa kreativitas artinya harus dapat diproduksi dengan suatu alat oleh seseorang. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahun, seni dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ciptaan atau karya cipta di sini mendapat perlindungan apabila menunjukan keaslian sebagai ciptaan seseorang yang bersifat pribadi. Pada awal perkembangannya, sistem hukum HKI kurang mendapat perhatian di Indonesia, sering diabaikan dan banyak terjadi pelanggaran. Hal ini disebabkan karena sistem hukum HKI bukanlah asli berasal dari Indonesia yang memiliki konsep budaya komunal. Sistem hukum HKI adalah berasal dari masyarakat barat yang memiliki konsep hukum individual. Sistem hukum HKI yang berasal dari masyarakat barat yang dipelopori oleh Amerika. Oleh karena itu tidak mengherankan ketentuanketentuan pengaturan HKI terlebih dahulu lahir di negara barat. Pada awalnya perlindungan HKI diatur melalui Paris Convention (1883) yang lahir di Jenewa, kemudian diikuti oleh PBB dengan membentuk World Intellectual Property Organization (WIPO), dan yang terakhir adanya ketentuan TRIPS Agreement yang dituangkan pada ketentuan World Trade Organization (WTO). Karena Indonesia merupakan salah satu anggota WTO sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, maka sebagai konsekuensi yuridis, Indonesia wajib mengharmonisasikan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan standarstandar yang ada di WTO-TRIPs. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Indonesia telah
4
melakukan perubahan terhadap tiga paket undang-undang di bidang HKI. Perubahan tersebut mempunyai bertujuan menyempurnakan beberapa ketentuan yang dirasa kurang memberikan perlindungan hukum bagi pemilik hak tersebut. HKI pada dasarnya dibagi menjadi copyright dan industrial property right copyright meliputi hak cipta dan hak-hak yang terkait, serta di lain sisi hak milik industri yakni paten, merek dan sebagainya.4 Sebagai konsekuensi telah diratifikasinya hukum tentang HKI oleh Indonesia dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka harus disertai dengan sikap konsisten dari pemerintah untuk membantu memberikan perlindungan hukum terhadap karya-karya yang diwariskan oleh leluhur. Apabila ini tidak dilakukan akan menjadi kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak asing untuk mengeksploitasi nilai ekonomis dari karya-karya tersebut. Pada kenyataannya masyarakat Indonesia masih cenderung abai terhadap hak cipta yang seharusnya mereka pertahankan. Hal ini juga terjadi pada pengrajin di Bali. Dari beberapa kasus, terungkap pengrajin Bali sering lengah menyangkut perlindungan hukum khususnya berkaitan hak cipta. Hal ini terjadi berkaitan dengan perbedaan pola pikir masyarakat Indonesia dengan orang asing, mengenai suatu karya. Pengrajin di Bali memiliki kebanggaan apabila karyanya ditiru oleh orang lain dan dipakai untuk orang banyak tanpa mempedulikan bahwa ada nilai yang melekat pada suatu kerajinan. Salah satu nilai yang dimaksud dalam perwujudan kongkritnya saat ini apabila karya tersebut didaftarkan untuk mendapat perlindungan hak cipta maka akan memberikan keuntungan ekonomi bagi penciptanya. 4
Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi, Mandar Maju, Bandung, h. 3.
5
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekadar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana dalam berbagai aturan perundang-undangan tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat. Budaya hukum merupakan tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.5 Tanggapan yang sama dapat bersifat menerima atau bersifat menolak budaya hukum yang lain, begitu pula terhadap norma-norma hukum sendiri yang dikehendaki berlaku atau terhadap norma-norma hukum lain.6 Adanya budaya hukum inilah yang membuat perbedaan bekerjanya hukum dalam masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Masyarakat tidak memandang warisan budaya secara bersifat memiliki, sebaliknya masyarakat justru bersifat sangat terbuka. Mereka tidak keberatan jika ada orang luar yang bukan anggota kelompok ingin belajar tentang pengetahuan tradisional tertentu maupun seni tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Falsafah hidup dalam kebersamaan membuat tradisi berbagi menjadi sesuatu yang hidup. Kebudayaan berbagi menjadi salah satu ciri dari kehidupan sosial yang sangat menghargai keserasian dan keharmonisan kehidupan bersama. Dalam terminologi modern hasil kreativitas anggota masyarakat tidak dipandang sebagai kepemilikan individual sebagaimana pandangan masyarakat Barat. Hasil kreativitas individu akan ditempatkan sebagai wujud darma bakti anggota masyarakat tersebut dalam kelompoknya. Ketiadaan pemilik individual dari pengetahuan tradisional dan folklore Indonesia disebabkan karena masyarakat sendiri tidak memahami konsep bentuk 5
Esmi Warassih Pujirahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Tahafamedia,Yogyakarta,
h.56. 6
H.Hilman Hardikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, h. 51.
6
kepemilikan individual atas pengetahuan tradisional. Bagi masyarakat pengetahuan tradisonal adalah warisan budaya yang didapat dimanfaatkan oleh siapa saja, terutama anggota masyarakat yang bersangkutan. Salah satu contoh pada budaya masyarakat Bali yang bersifat komunal sangat sulit menerima konsep-konsep HKI yang menonjolkan hak-hak pribadi. Menurut masyarakat Bali jika ada seseorang meniru hasil karya mereka, baik di bidang seni maupun di bidang lainnya. Adapun pertanyaan bagi mereka, mengapa harus melarang pihak lain memanfaatkan karya mereka. Di dalam kehidupan masyarakat Bali berlaku prinsip catur purusha arta yaitu: dharma, artha, kama, dan moksa. Prinsip dharma melahirkan tata nilai atau norma yang mewajibkan seseorang untuk, melakukan tindakan yang berguna bagi orang lain.7 Dalam ilmu pengetahuan konsep adnyanayoga menjadi faktor pendorong seseorang untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain, agar orang lain mengetahui dan menjadi pandai. Peniruan adalah salah satu jalan untuk mendapatkan pengetahuan dari orang lain. Itulah sebabnya menjadi aneh bagi masyarakat Bali ketika konsep HKI diperkenalkan kepada mereka. Salah satu konsep HKI yang dominan adalah substansinya berupa monopoli atau lebih halusnya hak eksklusif dari pemegang hak.8 Dalam kajian hukum adat dikenal prinsip bahwa masyarakat komunal kedudukan individu tidak lebih tinggi dibandingkan masyarakat individu adalah bagian dari masyarakatnya. Memang individu menurut paham masyarakat tradisional bukanlah individu yang kehilangan hak-hak individualnya akan tetapi hak-hak 7
8
Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.105. Ibid. h. 106.
7
individualnya itu tidak terlalu ditonjolkan.9 Orientasinya adalah kedamaian dan kebahagian hidup bersama yang lebih bernilai sehingga klaim-klaim HKI menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat tradisional. Sedangkan pandangan yang berbeda dengan masyarakat barat yang menempatkan pengetahuan tradisional sebagai suatu kekayaan bernilai uang (intellectual property). Bagi orang barat, gagasan, perasaan dan bahkan emosi adalah kekayaan. Dengan demikian, mudah dipahami konsep perlindungan (intellectual property) muncul dan berkembang dari negara-negara barat. Prilaku dan sikap masyarakat semacam ini memang rentan untuk terjadinya (misappropriation) ini diartikan sebagai penggunaan oleh pihak asing dengan mengabaikan hak–hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati yang terkait menjadi hak milik masyarakat yang bersangkutan atas warisan budaya mereka yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya memandang keuntungan pribadi sebagai tujuan hidupnya. Di sinilah faktor hukum memainkan peran yang penting. Hukum memandang warisan budaya dari sisi hak, dalam arti siapa yang berhak. Oleh karena itu, hukum juga memandang warisan budaya dari aspek perlindungannya. Bagaimana memberikan perlindungan hukum yang benar dan tepat, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri. 10 Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi yaitu : (1) pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang (2)
10
Agus Sardjono, op.cit., h. 162.
8
penyelesaian sengketa; (3) menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadinya perubahan-perubahan.11 Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das sollen). Memahami hukum sebagai das sollen berarti memahami hukum merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang berfungsi sebagai pedoman. 12 Pada awalnya traditional knowledge adalah karya masyarakat tradisional adat yang bisa berupa adat budaya, karya seni dan teknologi yang telah turun- temurun digunakan nenek moyang. Dewasa ini pengetahuan tradisional dipilah menjadi dua bagian. Pengetahuan tradisional yang berbasis paten dinamakan traditional knowledge, sedangkan yang berbasis hak cipta disebut folklore. Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama masyarakat adat yang dijaga dan dilestarikan belum dilindungi secara tepat dalam hukum kekayaan intelektual.13 Salah satu hak kekayaan intelektual masyarakat Bali adalah motif ornamen yang dapat ditemukan pada bangunan dan hasil karya kerajinan. Motif ornamen Bali adalah motif hias yang telah diungkapkan, diukir, ditatah, digambar dan lain-lainya.14 Sebagai contoh hiasan pada bangunan, alat-alat/benda-benda upakara, perabot rumah tangga dan berbagai macam cindera mata yang dibuat oleh para pengrajin perak di Bali. Motif-motif tradisional tersebut mengandung peranan penting dalam perwujudan seni murni (fine art) maupun seni pakai (applied art) di Bali. Bentuk dan motif tradisional Bali yang diungkapkan sebagai hias dalam benda-benda seni 11
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h.111. 12 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 45. 13 Endang Purwaningsih, op.cit., h. 23. 14 Made Rinu, 2005, Ornamen Bali, Fakultas Seni Rupa dan Desaian ISI, Denpasar, h.17.
9
bangun maupun benda-benda kerajinan seperti motif kekatusan, pepatraan dan kekarangan. 15 Menimbang nilai penting motif tradisional dalam berbagai karya seni di Bali, maka perlu perlindungan secara hukum. Pentingnya perlindungan terhadap motif– motif kerajinan tradisional seperti kerajinan perak Bali, mengingat hak cipta pengrajin perak di Bali saat ini mulai mengalami masalah hukum seperti gugatan pelanggaran hak cipta akibat didaftarkanya motif tradisional perak Bali oleh perusahaan/orang asing. Apabila ditelusuri barang-barang kerajinan tersebut sebenarnya sudah ada dan dipakai oleh pengrajin di Bali secara turun-temurun. Bahkan banyak dari motif tersebut sudah tidak diketahui siapakah penciptanya sehingga desainnya dapat dikatakan telah menjadi milik masyarakat Bali (public domain). Perbuatan perusahaan atau orang asing yang mendaftarkan motif barang kerajinan khas Bali di luar negeri telah merugikan pengrajin perak Bali secara langsung. Kelemahan pengrajin perak Bali karena tidak waspada terhadap eksploitasi orang asing akan warisan budaya. Pentingnya perlindungan hukum terhadap motif tradisional Bali mempunyai nilai strategis. Dilihat dari segi budaya, dengan adanya perlindungan terhadap motif kerajinan perak bali maka pelestarian budaya bangsa akan tercapai. Dengan demikian tidak ada klaim budaya lagi, dan dari segi ekonomi apabila karya cipta tersebut dilindungi maka akan memberikan manfaat ekonomis bagi penciptanya.
15
Ibid. h. 18.
10
Dalam tataran normatif seperti diketahui perlindungan traditional knowledge baru diatur dalam ketentuan Pasal 38 UU Hak Cipta Adapun ketentuan Pasal 38 UUHC : (1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. (2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penulisan tesis ini, warisan budaya dilihat sebagai bentuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi kebudayaan tradisional (traditional cultural expression) dari masyarakat lokal Indonesia, baik dalam bentuk teknologi berbasis tradisi maupun ekspresi kebudayaan seperti seni musik, tari, seni lukis atau seni rupa lainnya, arsitektur, tenun, batik, cerita, legenda, dan sebagainya. Hukum juga memandang warisan budaya dari aspek perlindungannya. Bagaimana memberikan perlindungan hukum yang benar dan tepat, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri. 16 Pelaku seni dan Indonesia juga pernah mengalami persoalan yang berhubungan dengan klaim HKI atas warisan budaya setempat. Kasus terjadi ketika seorang pengrajin ukiran kayu tradisional Bali tidak boleh mengekspor langsung ke Amerika Serikat kecuali jika membayar royalti kepada orang Amerika. Hal ini dikarenakan desain atas ukiran itu sudah didaftarkan sebagai design patent di USPTO oleh orang Amerika.
16
Agus Sardjono, op.cit., h. 126.
11
Dalam penulisan karya tulis ini, akan mengambil objek permasalahan motif tradisional perak Bali. Penelitian kasus antara John Hardy, Ltd. Yang merupakan sebuah perusahaan asing melawan I Ketut Deni Aryasa, pengrajin perak dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk membuat kerajinan perak di Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan Deni Aryasa yang sebelumnya pernah bekerja pada John Hardy, sekarang menjadi kepala pendesain dan pemilik modal dari perusahaan bernama Bali Jewel. Deni Aryasa ditahan di Bali dengan tuduhan menjiplak dua motif perhiasan milik John Hardy, yaitu batu kali dan Fleur (“Bunga”), pada perhiasan yang didesain oleh Deni Aryasa untuk Bali Jewel. PT Karya Tangan Indah memiliki gambar motif Bali yaitu motif batu kali yang diakui diciptakan oleh Guy Bedarida, yang berwarga Negara Perancis gambar ini diregister tanggal 19 April 2006 pada Direktorat Jendral HAKI Jakarta. Sedangkan Deni sudah membuat barang kerajinan perak Bali dengan motif tradisional Bali sejak tahun 2004. Deni selaku orang Bali didakwa melakukan pelanggaran hak cipta karena membuat motif batu kali. Menurut PT Karya Tangan Indah yang pemiliknya pihak asing, motif batu kali diciptakan oleh Guy Bedarida (berkebangsaan Perancis). Dengan demikian motif tersebut dimiliki oleh PT Karya Tangan Indah, sehingga pengrajin lain tidak boleh membuat motif batu kali. Deni dan sebagian besar masyarakat Bali memprotes klaim hak cipta John Hardy atas kedua motif tersebut karena kedua motif itu adalah motif tradisional Bali yang telah dipergunakan turun-temurun oleh masyarakat Bali. Walaupun belum pernah didokumentasikan atau dikompilasikan dalam database, kedua motif tersebut umum digunakan untuk dekorasi pura di Bali, pintu masuk bangunan di Bali, dan dalam berbagai karya seni Bali lainnya. Selama proses
12
pengadilan, hakim menemukan fakta bahwa John Hardy juga telah memiliki hak cipta atas kurang lebih 800 motif tradisional Indonesia lainnya, baik yang terdaftar di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan Deni Aryasa tidak bersalah dalam kasus ini dengan alasan karena motif yang dibuat Deni Aryasa berbeda bentuk dan teksturnya dari motif yang dimiliki John Hardy. Kasus semacam itu yang menjadi alasan mengapa perlindungan hukum menjadi penting sehubungan dengan timbulnya gagasan memanfaatkan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru. Pentingnya penelitian hukum ini dilakukan, melihat kasus hukum di atas berkaitan dangan penegakan HKI dalam kerangka hak cipta. Apabila hal ini tidak diperhatikan dan ditangani secara khsusus akan memberikan dampak negatif pada budaya hukum masyarakat mengenai aspek hukum dan aspek ekonomi, Budaya hukum merupakan komponen penting untuk memahami bekerjanya sistem hukum sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Tanpa didukung budaya hukum yang kondusif, suatu peraturan atau hukum tidak bisa direalisasikan sebagaimana diharapkan baik oleh pembuat hukum maupun masyarakat yang sebagai sasaran dari hukum. Dari segi hukum hendaknya para pelaku seni dalam menciptakan karya seni agar mendaftarkan karya hasil ciptanya, sehingga tidak memperoleh masalah dan tidak dituduh meniru hasil karya cipta orang lain. Dengan meniru karya cipta membuat seseorang berhadapan dengan hukum, terlebih apabila ada klaim dari pihak asing terhadap karya seni yang diciptakan. Dari segi ekonomi dengan tidak mendaftarkan karya cipta membuat kerugian pada pencipta sendiri atas memperbanyak hasil karya
13
cipta dan menggunakan hasil karya cipta dengan tidak mendapatkan royalti atas karya cipta yang didaftarkan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada kesempatan ini peneliti sangat berminat untuk mengetahui dan menganalisa budaya hukum pada pengrajin perak di Bali terhadap hukum hak cipta. Dengan mengetahui budaya hukum pengrajin perak di Bali kiranya akan diketahui bagaimana perlindungan hukum hak cipta terhadapkerajinan perak di Bali. Dengan demikian penelitian ini diberi judul “Budaya Hukum Dalam Keberlakuan Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak di Bali “.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk perlindungan negara terhadap motif-motif kerajinan perak Bali yang merupakan warisan tradisional? 2. Bagaimana budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Adapun ruang lingkup masalah dalam tesis adalah permasalahan mengenai
budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta dan perlindungan Negara terhadap motif- motif kerajinan perak Bali yang merupakan warisan tradisional.
14
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum hak kekayaan intelektual yaitu keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 20014 tentang Hak Cipta pada pengrajin perak di Bali. 1.4.2 Tujuan Khusus Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : 1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap motif-motif kerajinan perak Bali yang merupakan warisan tradisional. 2. Untuk mengetahui budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
1.5
Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitan ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.5.1
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum hak kekayaan intelektual terutama mengenai hak cipta.
15
1.5.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yaitu memberi
sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terkait dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada pengrajin perak di Bali. 1. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum hak kekayaan intelektual, serta dipakai sebagai acuan dalam perlindungan terhadap motif tradisional perak Bali. 2. Bagi pengrajin perak, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan evaluasi untuk memperjelas perlindungan yang didapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menggunakan motif-motif tradisional serta memperbaiki budaya hukum masyarakat yang bersifat komunal karena dalam hak cipta sifatnya individual.
1.6 Orisinalitas Penelitian Dalam pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Budaya Hukum dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak di Bali” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta sudah pernah diteliti oleh beberapa orang antara lain : 1. Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa (Studi Terhadap Karya Seni Batik Tradisional Kraton Surakarta), yang
16
ditulis
oleh
Fanny
Kusumaningtyas
S.H.,
B4A007100,
Program
Pascasarjana Magister Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2008. Dengan rumusan masalah : - Bagaimana eksistensi karya cipta seni batik tradisional khususnya motif batik Keraton Surakarta sebagai warisan budaya bangsa? - Apakah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta memadai dalam memberikan perlindungan atas motif batik sebagai warisan budaya khususnya sebagai batik tradisional?17. Dalam penulisan tesis yang ditulis oleh Fanny dengan penulis, perbedaan penulisan tesis Fanny objek kajiannya pada karya cipta seni Batik sedangkan penulis pada seni perak dan Fanny lebih memaparkan tentang seni batik yang merupakan warisan budaya dari tahun ke tahun sedangkan penulis membahas mengenai budaya hukum terhadap Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada pengrajin perak di Bali. Membahas mengenai budaya hukum dalam keberlakuan dalam Undang-undang Hak Cipta terhadap pengrajin perak Bali tentu membuat suatu ide baru di mana penulis menekankan bagaimana budaya hukum dalam masyarakat terhadap suatu peraturan hukum, penulis menggunakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
17
Fanny Kusumaningtyas, 2008, “ Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa ( Studi Terhadap Karya Seni Batik Tradisional Surakarta)” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014.
17
untuk
menjawab
permasalahan
hukum.
Persamaannya
sama-sama
membahas hak cipta. 2. Penerapan Hukum Hak Cipta Atas Seni Batik Pekalongan Sebagai Komoditas Internasional (Studi Upaya pemerintah kota Pekalongan sebagai Komoditas Internasional), yang ditulis oleh Nur Endang Trimargawati S.H., B4A006312, Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2008. Dengan rumusan masalah : - Bagaimana penerapan karya cipta pada seni batik kontemporer Pekalongan sebagai komoditas internasional? - Bagaimanakah upaya pemerintah kota Pekalongan menjadikan batik Pekalongan sebagai komoditas internasional?18. Dalam penulisan tesis Nur Endang dengan membandingkan tesis penulis terdapat perbedaan, dalam penulisan Nur Endang membahas penerapan karya cipta batik sedangkan penulis membahas bagaimana budaya hukum pengrajin perak di Bali dan Nur membahas bagaimana upaya Pemerintah terhadap seni Kontenporer sebagai Batik pekalongan sebagai komoditas Internasional sedangkan penulis membahas mengenai perlindungan yang diberikan pada negara terhadap motif tradisonal perak serta penulis menggunakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
18
Nur Endang Trimargawati, 2008, “ Penerapan Hukum Hak Cipta seni Batik pekalongan sebagai Komoditas Internasional (Studi Upaya Pemerintah kota Pekalongan sebagai Komoditas Internasional)” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014.
18
Hak Cipta untuk menjawab masalah hukum. Adapun persamaan membahas masalah hak cipta. 3. Implementasi
Undang-Undang Nomor
19
Tahun
2002
Terhadap
Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin Di bidang Kerajinan Perak di Daerah IstimewaYogyakarta, yang ditulis oleh Qurrotu Ani S.H. B4A006314,
Program
Pascasarjana
Megister
Hukum
Universitas
Diponegoro Semarang 2008. Dengan rumusan masalah : - Bagaimana implementasi UUHC 2002 di kalangan Pengrajin di bidang kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta? - Bagaiman Peran pemerintah daerah dalam mengimplementasi UUHC 2002 terhadap Perlindungan Hukum Pengrajin di bidang kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta?19. Perbedaan penulisan tesis penulis dengan Qurrotu adalah penulis menggunakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta untuk
mengkaji
permasalahan.
Sedangkan
Qurrotu
membahas
menggunakan Undang-undang yang lama dalam pengaturan hukum hak cipta dan penulis mendeskripsikan budaya hukum pengrajin perak di Bali dalam keberlakuannya Undang-undang Nomor 28 Tahun tentang Hak Cipta. 19
Qurrotu Ani, 2008, “ Impelementasi Undang- undang Nomor 19 tahun 2002 Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin di bidang kerajinan prak di Daerah Istimewa Yogyakarta” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014.
19
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah istilah umum dari hak ekslusif yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kreativitas atau kegiatan manusia, sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis dan termasuk ke dalam hak tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis.20 Membahas mengenai HKI, maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh suatu negara tertentu, tetapi juga pada norma-norma hukum Internasional. Oleh karena itu negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiaton, yang ditandatangani di Marakesh, pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.21
20
Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Paten, Jurnal Ilmiah Hukum Vol 6, No 1, Edisi 1 Januari 2012, Fakultas Hukum, Universitas wahid Hasyin, Semarang. 21 OK Saidin, op.cit., h.23.
20
Dalam UU Hak Cipta pada Pasal 1 angka (1) hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku Dalam ketentuan UUHC karya cipta yang dilindungi pada Pasal 40 : (1) Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra terdiri atas : a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Cermah, kuliah,pidato dan ciptaan sejenis lainnya; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu dan atau music dengan atau tanpa teks; e. Drama, drama musikal, tari , koreografi, pewayangan dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran kaligrafi, seni pahat, patungm atau kolase; g. Karya seni terapan h. Karya arsitektur i. Peta j. Karya seni batik atau motif lain; k. Karya fotografi; l. Potret m. Karya Sinematografi n. Terjemahan,tafsir, saduran bunga rampaim basisi data, adaptasi , aransemen, dan karya lain dari hasil transformasi; o. Terjemahan, adapatasi aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r. Permainan video dan; s. Program komputer. (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.
21
Perlindungan traditional knowledge melalui rezim HKI dimaksudkan untuk melindungi hak hasil penciptaan intelektual. Tujuan dari upaya ini adalah : 1. Mendorong penciptaan karya-karya intelektual baru. 2. Adanya keterbukaan karya-karya intelektual baru. 3. Memfasilitasi
ketertiban
pasar
melalui
penghapusan
kebingungan
(kebijakan yang didasarkan pada hukum merek dan indikasi geografis), dan tindakan unfair competition. 4. Melindungi ketertutupan informasi dari pengguna yang tidak baik. HKI menjadi penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang ada pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya perdagangan bebas, jika impor barang dan jasa dibiarkan bebas diduplikasi secara illegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan internasional.Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi, bahkan tergolong paling tinggi di dunia. Bukan itu saja Indonesia juga mempunyai beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari banyak aset dan kekayaan intelektual lokal telah terdaftar di luar negeri sebagai milik asing. 22 Teori hukum tentu berbeda dengan apa yang dipahami dengan hukum positif. Hal ini perlu dipahami guna menghindarkan kesalahpahaman, bahwa seolah-olah tidak dibedakan antara keduanya. Ada kajian filosofis di dalam teori hukum sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
22
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7.
22
tertinggi.23 Dalam menganalisa penulisan digunakan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Teori Sistem Hukum,
Prinsip-prinsip HKI dan Konsep
Budaya Hukum. 1.Teori Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Teori Perlindungan HKI digunakan dalam penulisan ini, sebagai pisau analisa untuk menjawab masalah pertama dari penulisan tesis ini. Terutama dalam rangka memberikan deskripsi dan jawaban atas perlindungan Negara terhadap motif-motif kerajinan perak yang merupakan warisan tradisional. Sebuah Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka hak cipta yang mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan hukum. Hak eksklusif dalam hak cipta menurut sifatnya diberikan kepada pencipta untuk mengeksplotasi haknya untuk mencegah pihak lain menggunakan tanpa ijin pemiliknya. Pemberian hak eksklusif pada pencipta tidak semua karya cipta dapat dapat diberikan perlindungan hak cipta ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, seseorang harus benar-benar berhasil menciptakan karya yang idenya orisinil asli dari pencipta sendiri tidak meniru karya cipta yang ada dalam bidang hak cipta, kedua karya cipta diberikan perlindungan apabila karya itu telah berwujud dapat dilihat secara nyata dan ketiga karya cipta itu dapat diproduksi. Salah satu yang dapat menopang pembangunan adalah hak kekayaan intelektual yang merupakan hak yang berasal dari kegiatan kemampuan berpikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, memiliki kemanfaatan serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga memiliki nilai ekonomi, maka kepada pemilik hak tersebut perlu diberikan 23
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 45.
23
penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan dalam melahirkan karya-karya yang inovatif. Untuk itu setiap hak kekayaan intelektual dalam kerangka hak cipta yang dihasilkan dari kreasi dan pemikiran rasio manusia patut diberikan perlindungan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa teori dasar Perlindungan HKI salah satunya dikemukan oleh Robert M. Sherwood. Adapun teori mengenai perlindungan hukum tersebut adalah : Reward Theory Teori ini menjelaskan pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut. Recovery Theory Teori ini menyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang dikeluarkannya tersebut. Incentive Theory Teori ini mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para penemu/pencipta atau pendesain tersebut. Risk Theory Teori ini menyatakan bahwa hak atas kekayaan intelektual merupakan suatu hasil karya yang mengandung risiko. Hak Atas Kekayaan Intelektual yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. Economic Growth Stimulus Theory Teori ini mengakui bahwa perlindungan atas HAKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi dan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sisten perlindungan atas HAKI yang efektif. 24
24
Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 45.
24
Secara sederhana perlindungan tersebut memiliki beberapa tujuan. Pertama, agar bentuk penggunaan komersial dari kekayaan intelektual dapat dilakukan langsung oleh pemilik kekayaan tersebut. Dengan demikian, pihak pemilik dapat secara langsung memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi yang menyangkut penggunaan kekayaan intelektual tersebut. Kedua, pemilik dapat menjual atau memperoleh kompensasi finansial dengan memperbolehkan penggunaa hak atas kekayaan tersebut kepada pihak lain. Ketiga, pemilik hak atas kekayaan tersebut dapat mencegah pihak lain memperoleh dan mempergunakaannya. Atas dasar konsepsi tersebut, maka terhadap setiap penemuan atau ciptaan sebagai hasil suatu karya cipta manusia baik di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan industri diperlukan suatu perlindungan agar pemilik HKI dapat memperoleh keuntungan dari ciptaannya tersebut. Berdasarkan prinsip ini terdapat sifat eksklusif bagi pencipta. Namun demikian tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh, dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmataan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara. Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI. Hak Kekayaan Intelektual ialah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya berupa benda immaterial.25 Prinsip utama pada HKI yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasikannya mendapatan kepemilikannya berupa 25
H. OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 11.
25
hak alamiah (natural). Begitulah sistem Hukum Romawi menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah berbentuk spesifikasi yaitu melalui penciptaan. Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Atas Kekayaan Intelektual berdasarkan pada prinsip : a. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice) Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi. Seperti: adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang disebut sebagai hak. Setiap hak menurut hukum mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu adalah penciptaan yang mendasarkan kemampuan intelektualnya. b. Prinsip Ekonomi (the economic argument) Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu suatu keharusan untuk menujang kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian hak atas kekayaan Intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya seseorang akan mendapat keuntungan misalnya suatu bentuk pembayaran royalti atau technical fee. c. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument) Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, dari hasil karya itu bertujuan pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem hak milik intelektual adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. d. Prinsip Sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur
26
kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain yang sama-sama terikat dalam suatu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau persekutuan atau kesatuan lain, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan perseorangan atau persekutuan atau kesatuan saja, tetapi pemberian hak kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi. Dari keseluruhan prinsip yang melekat pada hak atas kekayaan intelektual maka setiap negara berbeda penekanannya. Berbeda sistem hukumnya, sistem politiknya dan landasan filosofisnya maka berbeda pula pandangan terhadap prinsip tersebut. Sejarah kemerdekaan suatu negara juga mempengaruhi prinsip yang dianutnya. Negara berkembang dan negara bekas jajahan, dengan negara maju industrinya sangat berbeda pula cara memandang persoalan prinsip hak atas kekayaan intelektual. 26 2. Teori Sistem Hukum Teori Sistem Hukum digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai pisau analisa untuk menjawab permasalahan kedua dari penulisan tesis ini. Terutamanya dalam memberikan deskripsi dan jawaban mengenai budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Teori Sistem Hukum oleh Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur tersebut meliputi: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari :
26
Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 27
27
a. Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka periksa dan bagaimana) b. Cara naik banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lainnya c. Bagaimana legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan hukum. Di Indonesia, lembaga yang berwenang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pengertian substansi hukum meliputi: a. Aturan, norma dan prilaku nyata manusiayang berada dalam sistemhukum b. Produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi hukum berkaitan dengan isi hukum norma hukum ini ada yang dibuat oleh negara dan ada juga yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Budaya hukum dibedakan menjadi dua, kultur hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi umum. Kultur hukum internal adalah kultur hukum para anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi.27 Menurut Friedman, budaya hukum mengacu kepada bagian-bagian dari budaya pada umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berprilaku dan 27
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 306.
28
berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Budaya hukum merupakan salah satu komponen dari sistem hukum di samping komponen struktur dan substansi hukum. Komponen budaya hukum merupakan variabel penting dalam sistem hukum karena dapat menentukan bekerjanya sistem hukum. Budaya hukum merupakan sikap dan nilai-nilai dari individu-individu dan kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan (interest) yang kemudian diproses menjadi tuntutantuntutan (demands) berkaitan dengan hukum. Kepentingan dan tuntutan tersebut merupakan kekuatan sosial yang sangat menentukan berjalan atau tidaknya sistem hukum. 28 Budaya Hukum dari Lawrence M Friedman yaitu29: a. Budaya hukum itu mengacu pada bagian-bagian kebudayaan secara umum (kebiasaan pendapat, bertindak dan berpikir) yang dalam cara tertentu dapat menggerakkan kekuataan sosial mendekat atau menjauh dari hukum. b. Budaya hukum adalah sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum adalah sumber hukumnya. c. Budaya adalah jejaring nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan mengapa dan bagaimana masyarakat mematuhi atau menolak hukum menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan apa alasannya dan peraturan hukum apa yang dipilih untuk diterapkan dan dikesampingkan serta apa alasannya. Pentingnya budaya hukum dalam konstruksi hukum itu sejalan dengan pendapat Friedman, apabila ”sistem hukum” diibaratkan untuk memproduksi suatu barang kedudukan “subsatansi hukum” diibaratkan sebagai barang apa yang diproduksi suatu barang dan “struktur hukum” diibaratkan sebagai mesin-mesin pengelola barang. Sedangkan “budaya hukum” diibaratkan sebagai orang-orang yang
28 29
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, op.cit., h. 154. Esmi Warrasih Pujirahayu, op.cit., h. 50.
29
menjalankan mesin dan berkewajiban untuk menghidupkan, menjalankan dan mematikan mesin ini. Agar dapat menentukan baik buruknya hasil yang diproduksi. Budaya hukum dalam pembahasan bagian ini digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih meyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.30 3. Teori Keberlakuan Hukum Teori Keberlakuan Hukum digunakan dalam penulisan tesis ini untuk menjawab budaya hukum dalam keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Teori Keberlakuan menurut J.J.H. Bruggink dibagi atas tiga bagian yaitu : a. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum, b. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, dan c. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum.31 Keberlakuan
faktual
juga dapat
dikatakan sebagai efektifitas
hukum.
Untuk dapat mengukur keberlakuan ini digunakan dua kategori, yaitu pertama, manakala dalam suatu masyarakat yang pada umumnya warganya berprilaku dengan mengacu pada seluruh kaidah, hukum maka dapat dikatakan bahwa hukum itu berlaku secara faktul. Kedua, manakala secara umum oleh para pejabat hukum
30
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 156. 31 J.J.H Brugink,1999, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidartha, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.149
30
yang bewenang diterapkan dan ditegakkan. Kemudian keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lainnya. Kaidah hukum yang khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Sedangkan keberlakuan evaluatif, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dengan cara empiris, yaitu mengamati, apakah terdapat keberlakuan faktual kaidah hukum di masyarakat tentang budaya hukum masyarakat terhadap Undang Undang Hak Cipta pada pengrajin, dengan diteliti secara empiris dilihat adanya kepatuhan atau pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan tentang Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 1.7.2 Kerangka Berpikir Dalam pembahasan mengenai Budaya Hukum Dalam Keberlakuan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak Di Bali, Hak Atas Kekayaan Intelektual oleh Robert M Sherwood, dan Prinsip-prinsip Hak Atas Kekayaan Intelektual, Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman dan Teori Keberlakuan Hukum J.J.H Bruggink Kerangka berpikir yang digunakan dapat diuraikan ke dalam bagan sebagai berikut :
31
Budaya Hukum dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak cipta Pada Pengrajin Perak Di Bali
Ketentuan karya cipta mendapat perlindungan hukum secara otomatis tertuang dalam UU Hak Cipta Pasal 38 ayat 1 Negara memegang hak cipta atas ekspresi Arna Namun hukum Faktanya di budaya. lapangang banyak karya cipta a kerajinan perak dengan motif tradisional didaftarkan oleh pihak asing salah satu faktor penyebabnya para pencipta tidak mengetahui perlindungan hak cipta terhadap kerajinan perak.
Bagaimana perlindungan Negara terhadap motif-motif kerajinan perak Bali merupakan warisan budaya?
Dalam membuat karya cipta diperlukan pengorbanan pemikiran, waktu dan uang sehingga karya cipta yang dihasilkan perlu dilindungi. Teori Perlindungan HKI dipergunakan sebagai landasan untuk memberikan perlindungan terhadap motif-motif tradisional perak Bali sertaPrinsip-prinsip HKI sebagai penyeimbang kepentingan individual dan masyarakat
Indonesia meratifikasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 sebagai konsekuensinya Negara berkewajiban menyesuaikan semua keterketaitan peraturan perlindungan HKI dan menambah peraturan yang sudah ada dengan menyesuaikan dengan standar perlindungan HAKI dalam TRIPS. Sedangkan budaya hukum Indonesia yang bersifat komunal sedangkan perlindungan HAKI bersifat individual.
Bagaimana budaya hukum pengrajin perak Bali terkait keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ?
Teori Sistem Hukum dari Lawrence M.Friedman digunakan untuk menganalisa pola prilaku budaya hukum masyarakat pengrajin perak terkait keberlakuan UndangUndangNomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Unsur budaya hukum dipandang dapat menentukan bekerjanya sistem hukum. Teori Keberlakuan Hukum oleh J.J.H Bruggink
32
1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan yang diajukan, maka jenis penelitian karya
tulis ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Pangkal tolak penelitian hukum empiris adalah fenomena hukum masyarakat. Penelitian hukum empiris lebih menekankan pada segi observasinya. Pengamatannya terletak pada kenyataan atau fakta-fakta sosial yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai budaya hidup masyarakat.32 Kajian Hukum empiris memandang hukum sebagai kenyataan, sosial dan kultur. Kajian hukum empiris mengkaji law in action dengan demikian kajian empiris dunianya adalah das sein (apa kenyataan).33 Pemahaman penelitian hukum dapat dilihat dari pendapat Morris L. Choen dan Kent C. Olsen sebagai berikut : “Legal research is an essential component of legal pratctice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”.34 (Pada intinya penelitian hukum adalah komponen yang penting dari praktik hukum ini adalah proses menemukan hukum yang mengatur aktivitas dan bahan-bahan yang menjelaskan atau menganalisa hukum itu).
32
h. 125.
33
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Jambi,
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Mengkaji Kajian Empiris terhadap Hukum, Kencana, Jakarta, h. 2. 34 Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research in a Nutshell, west Group , Amerika, h. 1.
33
Adapun pendapat
lain mengenai penelitian hukum,
merunjuk pendapat
Terry Hutchinson dan Terri LeCelerq sebagai berikut : “The legal research banner is not one dimensional. It includes both doctrinal and non-doctrinal methodologies, and covers the varied prisms of legal activity not encompassed in practice-oriented research conducted within traditional frameworks by solicitors and barristers”.35 (Penelitian hukum tidaklah bersifat satu dimensi. Penelitian hukum termasuk juga metode doktrinal dan metode non doctrinal, dan mencakup juga bermacam-macam prisma dari kegiatan hukum yang tidak hanya meliputi penelitian dengan orientasi praktek yang diselenggarakan dalam kerangka tradisional oleh jaksa dan pengacara). “Because requires to recognize both side of any issue and simultaneously to be precise and concise”.
36
(Penulisan hukum adalah tuntutan bagi
mahasiswa untuk mendapatkan gelar, yang memungkin untuk diminta untuk mengakui kedua sisi dari beberapa isu dan sekaligus untuk menjadi tepat dan ringkas). 1.8.2
Sifat Penelitian Sifat penelitian tesis ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif
bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 37
35
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Australia, h. 7 Terri LeClerq, 2007, Guide to Legal Writing Style, Apen Publisher, New York, h. xii 37 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25. 36
34
1.8.3
Data dan Sumber Data Di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan dari bahan pustaka, yang pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data) dan yang kedua disebut data sekunder (secondary data).38 Jenis dan sumber data dalam tesis ini bersumber dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung di masyarakat.39 Data primer dalam penelitian ini di dapat dari hasil wawancara di lapangan dengan sampel yang telah ditentukan . Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. Data sekunder dalam tesis ini diperoleh dari buku– buku maupun literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder ini terdiri dari : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat.40 Bahan hukum primer yang digunakan adalah : - Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta - Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri b. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
38
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 12. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 156. 40 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 113. 39
35
adalah literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum maupun non hukum dan artikel yang diperoleh via internet. c. Bahan hukum tersier seperti kamus hukum. 1.8.4
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai
berikut: - Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah penelitian. - Teknik wawancara dilakukan dengan maksud melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.41 1.8.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Populasi yang diambil dalam tesis ini tersebar di tiga lokasi, yakni,di Kota
Madya Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung. Sampel yang diteliti dari populasi pengrajin perak di Bali dengan menggunakan teknik non probability atau non random sampling, dengan bentuk snowball sampling. Teknik non probability adalah suatu cara menentukan sampel di mana peneliti telah menentukan atau menunjuk
sendiri
sampel
dalam penelitiannya. Peneliti
menggunakan teknik non probability atau non random sampling karena ketiga tempat penelitian tersebut merupakan pusat kerajinan perak di Bali. Menggunakan
41
Burhan Ashofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 95.
36
snowball sampling, sampel responden atau informan dipilih berdasarkan penunjukan rekomendasi sebelumnya.42 Bentuk snowball sampling, sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh si peneliti yaitu dengan mencari key informan (informan kunci) atau responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh si peneliti. Dalam penarikan sampel yang menggunakan teknik non probability atau non random sampling dengan menggunakan snowball sampling, jumlah sampel yang akan diteliti tidak ditentukan secara pasti baik dalam bentuk sejumlah angka atau sejumlah persentase, melainkan besarnya jumlah sampel yang diteliti sesuai dengan “titik jenuh” . Dalam hal ini penelitian akan dihentikan dan dianggap telah mewakili keseluruhan objek penelitian jika data telah menunjukan titik jenuh. Data dianggap telah mencapai titik jenuh jika dari jawaban-jawaban responden dan informan telah ada kesamaan atau kemiripan jawaban. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan pengkajian atau telah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Analisis data dalam tesis ini menggunakan metode kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Makna kualitatif dari setiap data dapat diungkapkan pencarian dan pengejaran
42
Ibid. h. 85.
37
makna dari setiap upaya peneliti di lapangan adalah puncak prestasi dari peneliti.43 Oleh karena itu peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan dalam penelitian. Sehingga dalam analisis kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data artinya peneliti melakukan analisis terhadap data atau bahanbahan hukum yang berkualitas saja.44 Data yang telah ada dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakan disajikan dengan deskriptif artinya menganalisis objek permasalahan, peneliti memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan untuk dapat memperoleh simpulan yang tepat dan logis sesuai permasalahan yang dikaji. Mempergunakan metode kualitatif tidak semata-mata bertujuan, mengungkapkan kebenaran saja, tapi juga memahami kebenaran tersebut.
43 44
H.M Burhan Bungin, 2011, Penelitian Kualitatif, Kencana, Jakarta, h.105. Mukti Fajar, op.cit., h. 120.
38
BAB II TINJAUAN UMUM HAK CIPTA, BUDAYA HUKUM DAN MOTIF TRADISIONAL
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak cipta Hak Cipta (copyright) merupakan subsistem dari hak kekayaan intelektual (HKI) yang secara internasional disebut dengan intelectual property right. HKI dibagi menjadi atas dua kelompok besar, yakni hak milik perindustrian (industrial property right) dan hak cipta (copyright), yang termasuk kelompok hak milik perindustrian, antara lain paten (patents), merek dagang (trademarks). desain industri (industrial design), rahasia dagang (undisclosed information),indikasi geografis (geographical indication), model dan rancangan bangunan (utility models), dan persaingan curang (unfair competition), sedangkan yang termasuk kelompok hak cipta dibedakan antara hak cipta atas seni sastra dan ilmu pengetahuan dan hak- hak yang terkait dengan hak cipta (neighbouring rights). 45 Sesungguhnya hak cipta (auteursrecht) yang terdapat dalam Auteurswet 1912 telah berlaku sebelum perang dunia II di Indonesia (Hindia Belanda dahulu). “Auteurswet 1912” ini adalah suatu Undang-undang Belanda yang diberlakukan di Indonesia pada tahun 1912 berdasarkan asas konkordansi (St 1912 No 600 Undangundang 23 September 1912). Sehingga dari tahun 1912 sampai dengan 1982 Indonesia baru berhasil menciptakan Undang-undang tentang Hak Cipta yang
45
Otto Hasibuan, 2014, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights dan Collecting Society, PT Alumni, Bandung, h. 21.
38
39
bersifat Nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak cipta, Lembaran Negara RI Tahun 1982b Nomor 15. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3217.46 Hak cipta melindungi ekspresi ide atau gagasan bukan ide itu sendiri. Hak cipta dapat diterapkan pada bentuk khusus dan sebuah ekspersi bukan ide/konsep atau kenyataan realita dan ekspresi. Karya desain dapat mempunyai status hukum yang berbeda didasarkan pada (WIPO) (Gaid to the Berne Convention) yang isinya menyatakan apabila sebuah negara tidak mempunyai ketentuan khusus yang melindungi desain model, maka harus selalu melindungi karya terapan sebagai karya seni dengan kata lain dilindungi dengan Undang-Undang Hak Cipta.47 Beberapa kriteria agar ciptaan dapat dilindungi hak cipta adalah48 : a.
Harus orisinil yaitu hasil kreativitas pencipta sendiri bukan mengcopy;
b.
Ada bentuk nyata atau kongkrit misalnya diekspresikan dalam kertas,audio, ukir, video tipe, kanvas dan lain-lain;
c.
Harus terdapat beberapa kreativitas artinya harus dapat diproduksi dengan suatu alat oleh seseorang.
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hak Cipta Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
46
Sophar Maru Hutagalung , 2014, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya Di dalam Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 1. 47 Budi Santoso, 2005, Butir-butir yang Berserakan, Mandar Maju, Bandung, h.70. 48 Ibid. h.154.
40
antara lain dapat terdiri dari buku, program kumputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak.49 Pengertian hak cipta berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta: “Hak Cipta adalah hak ekskusif pencipta yang timbul berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Pertama kali peraturan hak cipta yang berlaku ketika Indonesia merdeka adalah Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912, peraturan tersebut merupakan peraturan peninggalan zaman penjajahan Belanda dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, bahwa sebelum dibentuk peraturan baru maka peraturan-peraturan yang lama masih tetap diberlakukan. Auteurswet 1912 pada pokoknya mengatur perlindungan hak cipta terhadap ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Negara Indonesia baru mempunyai peraturan hak cipta nasional setelah 37 Tahun Merdeka yaitu dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak cipta. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 maka Auterswet 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi.50 Setelah lima tahun berjalan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan
49
Tim Lindsey et.al. , 2006, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT Alumni , Bandung, h.6. 50 Gatot Supromo, 2010 , Hak Cipta dan Aspek - Aspek Hukumnya , Rineka Cipta , Jakarta, h.5.
41
menghancurkan kreativitas masyarakat. Kemudian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Perkembangan di bidang perdagangan dan industri telah berubah sedemikian pesatnnya sehingga diperlukan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait, maka untuk menjawab perkembangan tersebut diperlukan perubahan kembali Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.51 Dua belas tahun kemudian dilakukan perubahan untuk penyempurnaan tentang perlindungan hak cipta dengan memasukan ketentuan perlindungan ekspresi budaya tradisional sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang dipakai saat ini. 2.1.2 Ruang Lingkup Perlindungan Hak cipta Lahirnya Hak cipta pada sekitar abad ke 6 sampai ke 5 sebelum Masehi, Penemuan Pehriad yang nampak bersahaja ini ternyata dalam perkembangan ilmu pengetahuan mempunyai nilai dan makna yang penting sekali. Setelah Pehriad meninggal dunia putranya, Apullus sebagai pewaris penemuan itu hijrah dari Yunani kemudian bermukim di Roma. Di negeri itu ternyata ia memperoleh pengakuan perlindungan dan jaminan dari pemerintah Roma atas hasil karya dan cipta ayahnya itu, untuk setiap penggunaan, penggadaan dan pengumuman dari penemuan Pehriad itu, Apulus memperoleh penghargaan dan jaminan sebagai cerminan dari pengakuan hak tersebut. Honorarium dari penggunaan dan pemakaian titik dipakainya untuk kepentingan pribadinya sebagai ahli waris Pehriad, sedangkan imbalan jasa bagi
51
Djamal, 2009, Hukum Acara Rema Cipta, Jakarta, h. 6.
Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Pustaka
42
penggunaan koma diserahkan kembali kepada Pemerintahan Roma pengakuan terhadap hak cipta.52 Keaslian suatu karya baik berupa karangan atau ciptaan merupakan suatu esensial dalam perlindungan hukum melalui hak cipta. Istilah hak cipta sebenarnya berasal dari beberapa negara yang menganut common law, yakni copyright, sedangkan di Eropa, seperti Prancis dikenal droit d’ aueteur dan di Jerman sebagai Urherberecht. Di Inggris, penggunaan istilah copyright dikembangkan untuk melindungi penerbit bukan untuk melindungi si pencipta. Namun seiring dengan perkembangan hukum dan teknologi maka perlindungan diberikan kepada pencipta serta cakupan hak cipta diperluas, tidak hanya mencakup bidang buku tetapi drama, musik, artistic work, dan fotografi.53 Perkembangan pengaturan hukum hak cipta sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dewasa ini, bahkan perkembangan perdagangan internasional, artinya bahwa konsep hak cipta telah sesuai dengan kepentingan masyarakat untuk mmelindungi hak-hak si pencipta berkenaan dengan ciptaannya, bukan kepada penerbit lagi. Di sisi lain, demi kepentingan perdagangan, pengaturan hak cipta telah menjadi materi penting dalam TRIPs agreement yang menyatu dalam GATT/WTO. Selain itu konsep hak cipta berkembang menjadi keseimbangan antara kepemilikan pribadi (natural justice) dan kepentingan masyarakat/sosial. Konvensi Berne 1886 tentang International Convention the Protection of Literary and Artistic Work yang telah direvisi beberapa kali merupakan basis perlindungan hak cipta secara
52
Ramdlon Naning, 1982, Perihal Hak Cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.5. Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intelectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Bogor, h.1. 53
43
International. Selanjutnya timbul gagasan untuk menciptakan hukum secara universal yang dikenal dengan Universal Copyright Convention. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Berne pada tahun 1977. Konvensi Berne pada hakikatnya mensyaratkan negara anggotanya untuk melindungi karya-karya yang diantaranya sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Karya tertulis, seperti halnya buku dan laporan Musik Karya drama dan Koreografi Karya arsitektur Karya sinematografi dan video Karya adaptasi, seperti terjemahan dan aransemen musik Koleksi/kumpulan seperti ensiklopedi
Demikian juga terdapat konvensi yang hanya mengatur satu aspek saja misalnya mengenai hal berikut : 1.
Perjanjian mengenai perlindungan penyiaran televisi tahun 1960, yakni European Agreement on the Protection Television Broadcast.
2.
Konvensi Roma mengenai bidang rekaman tahun 1961, yakni Convention for the Protection of Phonograms Against Unauthorized Duplication of Their Phonograms.
3.
Konvensi Roma mengenai hak salinan (neighbouring right) tahun 1961 yakni International Convention Protection for Performers, Producers of Phonograms and Broadecasting Organizations.
4.
Agreement for the Protection of Type Faces and Their Internasional Deposit Wina Tahun 1973
5.
Agreement Relating to the Distribution of Progeamme Carryin Signal Transmitted by Satellite di Brussel tahun 1974.
Dengan selesainya Putaran Uruguay, Indonesia juga telah meratifikasi TRIPs tahun 1997, yang mengatur perlindungan karya melalui hak cipta adalah sebagai berikut :54 1. Semua karya yang dilindungi berdasar Konvensi Berne 54
Ibid, h.3.
44
2. 3. 4. 5. 6.
Program komputer Database Pertunjukan baik langsung maupun rekaman Rekaman suara Siaran-siaran.
Seperti halnya jenis-jenis hak yang lainnya dalam lingkungan Hak Kekayaan Intelektual, Hak cipta dianggap sebagai hak kebendaan yang tidak berwujud yang dapat dialihkan kepada orang lain, baik melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun perjanjian yang terakhir ini dapat berlangsung dalam bentuk jual beli atau lisensi.55 Benda menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik (Pasal 499 KUH Perdata). Sementara itu, kebendaan bergerak menurut sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan. Sebaliknya adalah benda tak bergerak/benda tetap. Hak cipta mengandung pengertian ide dan konsepsi hak milik. Apabila dibandingkan dengan “hak milik” maka hak cipta hanya berlaku selama hidup si pencipta dan 70 (tujuh puluh) tahun sesudah ia meninggal dunia (Pasal 58 ayat 2). Hak cipta adalah hak khusus (esklusif) bagi pencipta, ia dilindungi dalam haknya terhadap siapa saja yang merupakan hak absolut (Pasal 4). Ancaman pidana dalam Pasal 112 pertanda adanya adanya absolut dalam hak cipta. Hak Cipta dapat disimpulkan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut 56 : 1.
Hak Cipta adalah Hak Khusus Dari definisi hak cipta dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan bahwa hak cipta adalah hak khusus diartikan sebagai hak khusus karena hak cipta hanya diberikan kepada pencipta atau pemilik/ pemegang hak dan orang lain dilarang menggunakan kecuali atas izin pencipta selaku pemilik hak, atau orang yang menerima hak dari
55
Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Rajawali Pers, Jakarta, h.51. Suyud Margono dan Angkasa Amir, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Gramedia, Jakarta, h.19. 56
45
pencipta tersebut (pemegang hak) dan bahwa orang lain tersebut dikecualikan dari penggunaan hak tersebut. 2.
Hak Cipta Berkaitan dengan Kepentingan Umum Seperti telah dijelaskan bahwa hak cipta merupakan hak khusus yang istimewa. Tetapi ada batasan-batasan tertentu bahwa hak cipta juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang. Secara umum hak cipta atas suatu ciptaan tertentu yang dinilai penting demi kepentingan umum dibatasi penggunaannya sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Contoh seorang mahasiswa boleh memfotokopi sebagaian halaman dari sebuah buku tanpa seizin pengarangnya selama perbuatan tersebut untuk kegiatan belajar/pendidikan yang bersangkutan dan tidak untuk dikomersialkan.
3.
Hak Cipta dapat Beralih Maupun Dialihkan Seperti halnya bentuk-bentuk benda bergerak lainnya hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik sebagian maupun keseluruhan. (Pasal 16 UUHC) Pengalihan dalam hak cipta ini dikenal dengan dua macam cara, yaitu : a. Transfer/assignment : merupakan pengalihan hak cipta yang berupa pelepasan hak kepada pihak/orang lain, misalnya karena pewarisan, hibah, wasiat, dan perjanjian jual beli. b. License : merupakan pengalihan hak cipta dari suatu pihak kepada pihak lain berupa pemberian izin/persetujuan untuk pemanfaatan hak cipta dalam jangka waktu tertentu, misalnya perjanjian lisensi.
4.
Hak Cipta Dapat Dibagi atau Diperinci Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan hak cipta dan juga norma principle of specification dalam hak cipta, maka hak cipta dibatasi oleh: a. Waktu : misalnya lama produksi suatu barang ; b. Jumlah : jumlah produksi barang pertahunnya ; c. Geografis, contohnya sampul bertuliskan “for sale in Indonesia Only”.
Dalam hak cipta berisikan hak ekonomi (economi right) dan hak moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk Hak terkait. Sedangkan hak moral adalah hak yang melekat
46
pada pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun. Walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Dari pengertian tersebut jelas bahwa hak ekonomi dari hak cipta dapat beralih atau dialihkan kepada orang lain oleh pencipta. Sedangkan hak moral tidak demikian, hak moral ini tetap mengikuti dan melekat pada diri pencipta walaupun hak ekonomi dari hak cipta tersebut telah beralih atau dialihkan kepada orang lain. Dengan demikian yang dapat beralih atau dialihkan itu hanyalah hak ekonomi saja dari hak cipta, sementara hak moralnya tidak dapat dipisahkan dari penciptanya.57 Hak ekonomi dalam suatu karya cipta adalah berbagai bentuk hak yang dapat dieksploitasi secara ekonomi dan secara gambalang dapat dikatakan bahwa hak ekonomi merupakan hak yang dapat dipisahkan dari penciptanya, sedangkan hak moral berbeda dengan hak ekonomi, yakni merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dan terus melekat secara substansial kepada penciptanya. Hak moral ini tetap berlaku sekalipun hak ekonomi atas suatu karya cipta sudah dialihkan oleh penciptanya kepada pihak lain. Sesuai dengan sifat manunggal hak cipta dengan penciptanya, dari segi morality seseorang atau badan hukum tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu hasil karya cipta, baik itu mengenai judul, isi, hal demikian dapat dilakukan apabila mendapat izin dari pencipta atau ahli warisnya jika meninggal dunia. Dengan demikian, pencipta atau ahli warisnya saja yang mempunyai hak untuk mengadakan hak untuk mengadakan perubahan pada ciptaannya untuk disesuaikan dengan perkembangan. Namun jika pencipta tidak 57
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Jakarta, h.112.
47
dapat melaksanakan sendiri penyesuaian karya ciptanya dengan perkembangan, hal itu dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penciptanya untuk melaksanankan pengerjaannya. Dalam kaitannya dengan hak moral ini. Pasal 5 UUHC menyatakan : (1) Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk : a. Tetap mencatumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. Mengubah Ciptannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi disortasi Ciptaan, mutilasi Ciptaan,modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. (2)
Hak moral sebagaiman dimaksud ayat 1 tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meniggal dunia.
(3)
Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.
Penjelasan : Yang dimaksud dengan “distorsi Ciptaan” adalah tindakan pemutarbalikan suatu fakta atau identitas Ciptaan. Yang dimaksud dengan “mutilasi Ciptaan“ adalah proses atau tindakan menghilangkan sebagai Ciptaan. Yang dimaksud dengan “modifikasi Ciptaan” adalah pengubahan atas Ciptaan. Pembatasan terhadap hak cipta berdasarkan Pasal 43 sampai Pasal 51 UU Hak Cipta. Fungsi sosial hak cipta secara efektif akan lebih mudah dilaksanakan melalui mekanisme pelinsensian wajib, daripada mekanisme sebelumnya. Hal itu tidak dilakukan sendiri oleh Negara melainkan untuk perseorangan. Dengan
48
perlisensian wajib tersebut tidak memberi kesan bahwa Negara memberikan kesempatan kepada warganya untuk melakukan kegiatan yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak cipta. Dalam Pasal 43 UUHC dinyatakan : Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi : a. b.
c.
d.
e.
Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi dan atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi dan atau Penggadaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama Pemerintahan, Kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyatan pada Ciptaan tersebut atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi dan penggadaan; Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap ; atau Pembuatan dan penyebarluasan konten Hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pemabuatan dan penyebarluasan tersebut; Penggandaan, Pengumuman, dan/atau Pendistribusian Potret presiden, Wakil Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, pimpinan lembaga Negara, Pimpinan kementrian/lembaga pemerintah non kementrian,dan atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 44 (1) Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan atau pengubah suatu ciptaan dan atau produk Hak Terkait secara keseluruhan atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan : a. Pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan merugikan kepentingan yang wajar dan Pencipta atau Pemegang Hak cipta;
49
b.
Keamanan serta penyelenggaran, pemerintah, legislatif, dan peradilan; c. Ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan atau; d. Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dan Pencipta. (2) Fasilitasi akses atau suatu Ciptaan atau peyandangan tuna netra, Penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca dan atas penggunaan huruf braile, bukan audio atau saran lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial. (3) Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas akses terahadap Ciptaan bagi penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan dan keterbatasan dalam membaca dan menggunakan huruf Braille, buku audio atau saran lainnya sebagaimana buku audio, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai subjek hak cipta, bisa manusia dan badan hukum. Inilah yang oleh UUHC dinamakan dengan pencipta. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUHC : “Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendirisendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 yang dinamakan ciptaan UU Hak Cipta : “Ciptaan adalah setiap hasil karya di bidang ilmu pengetahuan seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata”.
Pasal 1 angka 4 UUHC 2014 menyatakan :
50
“Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta”. Berdasarkan penjelasan di atas, pencipta hak cipta otomatis menjadi pemegang hak cipta yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta tidak harus pencipta tetapi bisa juga pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari pencipta atau pemegang hak cipta yang bersangkutan. UUHC membedakan penggolonggan pencipta hak cipta dalam beberapa kualifikasi, sebagai berikut58 : 1.
Seseorang yakni : a. b. c. d.
Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jendral HAKI; Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta; Seseorang yang berceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya ; Seseorang yang membuat ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan.
Pasal 31 UUHC : Kecuali tanpa terbukti sebaliknya yang dianggap sebagai Pencipta, yaitu orang yang namanya : a. b. c. d.
58
disebut dalam Ciptaan; dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan; disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan dan atau tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta
Rahmadi Usman, op.cit., h.114.
51
Pasal 32 UUHC menyatakan : “Kecuali tebukti sebaliknya, Orang yang melakukan ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Pencipta ceramah tersebut dianggap sebagai Pencipta”. 2.
Dua orang atau lebih Jika suatu ciptaan diciptakan oleh beberapa orang, maka yang dianggap sebagai penciptanya : a.
Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yang bersangkutan atau penghimpunannya;
b. Perancang ciptaan yang bersangkutan. Pasal 33 UUHC 2014 menyatakan : (1) Dalam hak ini Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh atau lebih yang dianggap sebagai Pencipta yaitu Orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan. (2) Dalam hal Orang yang memimpinnya dan mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu Orang yang menghimpun Ciptaan dengan tidak mengurangi Hak Cipta masng-masing atas bagian Ciptaannya. Pasal 34 UUHC menyatakan : Dalam hal ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan pengawasan orang yang merancang Ciptaan. 3.
Lembaga atau Instansi Pemerintah; Pasal 35 UUHC menyatakan : (1) Kecuali diperjanjikan lain Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat oleh Pencipta dalam hubungan dinas, dianggap sebagai Pencipta yaitu instansi pemerintah.
52
(2) Dalam hal Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan secara komersial, Pencipta dan Pemegang Hak Terkait mendapatkan imbalan dalam bentuk Royalti. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Royalti untuk penggunaan secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36 UUHC 2014 menyatakan : “Kecuali diperjanjikan lain, pencipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan yaitu pihak yang membuat Ciptaan”. 4.
Badan Hukum Pasal 37 UUHC 2014 menyatakan : “Kecuali terbukti sebaliknya, dalam hal badan hukum melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Ciptaan yang berasal dari badan hukum tersebut, dengan tanpa menyebut seseorang sebagai Pencipta, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu badan hukum”.
Menurut L.J Taylor dalam bukunya Copyright For Librarians menyatakan bahwa yang dilindungi hak cipta adalah ekspresinya dari sebuah ide, jadi bukan bukan melindungi idenya itu sendiri. Artinya, yang dilindungi hak cipta sudah dalam bentuk nyata sebagai ciptaan, bukan masih merupakan gagasan59. Objek dalam hak cipta merupakan ciptaan yang dilindungi dalam hak cipta berdasarkan Pasal 40 UU Hak Cipta : (1) Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra terdiri atas :
59
Rahmadi Usman, loc.cit., h.121.
53
a.
Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Cermah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu dan atau music dengan atau tanpa teks; e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan , gambar, ukiran kaligrafi, seni pahat, patungm atau kolase; g. Karya seni terapan h. Karya arsitektur i. Peta j. Karya seni batik atau motif lain; k. Karya fotografi; l. Potret m. Karya sinemotografi n. Terjemahan, adapatasi aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional o. Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya; p. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r. Permainan video dan; s. Program komputer.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta ada beberapa pertimbangan digantinya Undang-Undang 19 Tahun 2002 menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang kini berlaku sebagai berikut : -
Indonesia memiliki keanekaragaman etnis/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembanganpengembangannya yang memerlukan perlindungan hak cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir keanekaragaman tersebut.
-
Indonesia
telah
menjadi
anggota
berbagai
konvensi/perjanjian
Internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan hak cipta pada khususnya yang memerlukan sistem hukum nasionalnya.
54
-
Perkembangan di dunia perdagangan, industri dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta menurut UU Hak Cipta selain bersifat administratif juga bersifat perdata dan pidana. Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan secara khusus, gugatan semacam itu dapat diajukan ke pengadilan negeri dengan menggunakan alasan Pasal 1365 BW. Namun karena kini telah ditentukan secara khusus maka sengketa perdata mengenai hak cipta berdasarkan hukum hak cipta berdasarkan hukum hak cipta menjadi kewenangan pengadilan niaga semata.60 Adapun hasil karya cipta yang tidak dilindungi oleh hak cipta berdasarkan Pasal 41 UU Hak Cipta : Hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta melindungi : a. b.
c.
60
Hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; Setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan , digambarkan, dijelaskan atau digabungkan dalam sebuh ciptaan dan; Alat , benda atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau bentuknya hanya ditunjukkan untuk kebutuhan fungsional.
Adami Chazaawi, 2007, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektualitas, Bayumedia, Malang, h. 14.
55
Pasal 42 UU HC 2014 : Tidak ada Hak Cipta atas hasil karya berupa : a. Hasil rapat terbuka lembaga negara; b. Peraturan perundang-undangan; c. Pidato kenegaraan atau pidato penjabatan pemerintah; d. Putusan pengadilan atau penetapan hakim, dan e. Kitab suci atau symbol keagamaan 2.1.3 Mekanisme Pendaftaran Hak cipta Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasandari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Data dari Ditjen HKI pada tahun 2007 hingga bulan Mei menunjukkan bahwa pendaftaran ciptaan yang paling banyak adalah di bidang seni yang mencapai 88% lainnya di bidang ilmu pengetahuan (7.8%), sastra (0.6%) dan program komputer 3.6%. Hak cipta merupakan rezim HKI yang sangat penting bagi litbag dan perguraan tinggi yang menghasilkan karya tulis ilmiah maupun perangkat lunak. Permohonan Pendaftaran Direktorat Jenderal HAKI menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan mencatatnya dalam daftar umum ciptaan. Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan yang didaftar. Permohonan diajukan kepada Direktorat Jendral dengan surat rangkap dua yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh ciptaan.61 Pendaftaran ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya permohonan oleh Direktorat Jenderal HAKI dengan lengkap. Pemindahan hak atas 61
Muhamad Firmansyah, 2008, Tata Cara mengurus Haki,Visimedia, Jakarta, h. 18.
56
pendaftaran ciptaan, yang terdaftar dalam satu nomor hanya diperkenankan jika seluruh ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.62 a.
Syarat-syarat Permohonan Pendaftaran Ciptaan
1.
Mengisi formulir pendaftaaran ciptan rangkap dua (formulir dapat diminta secara cuma-cuma di kantor DJHKI), lembar pertama dari fomulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp 6.000
2.
Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencatumkan hal-hal berikut: -
Nama, kewarganegaraan,dan alamat pencipta. o
Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta ( nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa), jenis dan judul ciptaan.
o
Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali.
o
Uraian ciptaan rangkap tiga.
3.
Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan.
4.
Melampirkan bukti kewarganegaran pencipta dan pemegang hak cipta berupa foto kopi KTP atau paspor.
5.
Jika pemohon badan hukum, di surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut.
6.
Melampirkan surat kuasa, jika permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa beserta bukti kewarganegaraan kuasa tersebut.
7.
Jika permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah RI.
62
Ibid. h.19.
57
8.
Jika permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau suatu badan hukum hukum, nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan menetapkan satu alamat pemohon.
9.
Melampirkan bukti pemindahan hak jika ciptaan tersebut telah dipindahkan.
10. Melampirkan
contoh
ciptaan
yang
dimohonkan
pendaftarannya
atau
penggantinya. 11. Membayarkan biaya permohonan pendaftaran ciptaan sebesar Rp 75.000, dan khusus untuk permohonan pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp 150.000 2.2 Tinjauan Umum Tentang Budaya Hukum Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai–nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice).63 Hukum adalah budaya dan budaya adalah hukum. Gagasan bahwa hukum adalah budaya yang berasal dari materi dan kehidupan spiritual masyarakat yang sama dengan hukum itu sendiri . Berdasarkan pandangan Savigny memandang hukum itu bukanlah dibuat, tetapi sudah ada dan tumbuh/berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan hukum itu lenyap apabila bangsa itu hilang. Hukum yang tumbuh dan berkembang itu sesuai dengan kesadaran atau jiwa masyarakatnya (volksgeist).64
63
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progrsif, Sinar Grafika, Jakarta, h.4. 64 Stefanus Laksanto Utomo, 2013, Budaya Hukum Masyarakat Samin, PT Alumni, Bandung, h. 92.
58
Menurut Savigny bahwa ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih baik dari pembuatan undang-undang dan kesadaran umum adalah sumber semua hukum. Dengan sendirinya kesadaran umum jelas tidak terlepas dari budaya hukum masyarakat. Oleh karena itu budaya hukum selaku bagian dari sistem hukum tidak akan berdaya tanpa digerakkan oleh budaya hukum itu sendiri, artinya yang membuat hukum bergerak dan bernafas (legal culture is what makes the system move and breath) adalah budaya hukum dan semua fakta hukum pada akhirnya ditentukan oleh fakta-fakta sosial (all legal facts are ultimately by social facts), dan titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan, jika tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan bidang hukum, tetapi dalam masyarakat itu sendiri sehingga budaya hukum sangat menentukan.65 2.2.1 Pengertian dan Konsep Budaya Hukum Konsep kebudayaan dikaitkan dengan hukum maka hukum pada hakikatnya merupakan ekspresi dari suatu kebudayaan. Tertib hukum itu merupakan secara fungsional dari sistem kebudayaan menurut Adam Podgorecki, menggunakan istilah “subbudaya hukum” untuk menunjukkan relevansi antara hukum dan kebudayaan. Istilah tersebut digunakan semenjak tahun 1996 sebagai suatu variabel bebas ada berfungsinya hukum secara aktual bersama dengan variabel-variabel lainnya, yakni sistem sosial, ekonomi dan kepribadian. Gagasan tentang Subbudaya hukum tersebut dimulai dari pembahasan tentang kebudayaan yang berlaku yang berlaku secara
65
Ibid.
59
umum dalam suatu masyarakat. Kebudayaan dirumuskan sebagai seperangkat nilainilai sosial umum.66 Hubungan hukum dan kebudayaan tersebut tergambarkan dalam sistem tata kelakuan manusia yang berupa norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus, semua berpedoman kepada sistem nilai budaya masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang dalam alam pikiran sebagian besar menyatakan mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Hukum merupakan konkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat. Konkretisasi nilai-nilai tersebut dapat berwujud gagasan atau cita-cita tentang keadilan persamaan. Pola prilaku ajeg dan lembaga hukum, oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada di setiap masyarakat. Dalam perkembangan lebih lanjut studi hukum dan kebudayaan lahir istilah atau konsep “budaya hukum” sebagai persenyawaan antara variabel budaya dan hukum. Budaya hukum untuk pertamakali diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman pada tahun 70 untuk menjelaskan bekerjanya sistem hukum di masyarakat. Friedman menelaah budaya hukum dari berbagai persepektif. Ia menganalisis budaya hukum hukum nasional dibedakan dari subbudaya hukum yang berpengaruh secara positif atau negatif terhadap hukum nasional, ia juga membedakan budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa dan hakim dan menjalankan tugasnya, sedangkan budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya. 66
M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Jakarta, h. 30.
60
Menurut Soekanto, budaya hukum merupakan budaya nonmaterial atau spiritual. Adapun inti budaya hukum sebagai budaya nonmaterial atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang baik dan buruk), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia.67 Menurut Darmodiharjo dan Shidarta, Budaya hukum sebenarnya identik dengan pengertian kesadaran hukum, Penilaian masyarakat yang timbul secara spontan merupakan perasaan hukum, sedangkan kesadaran hukum adalah abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu objek hukum.68 Masaji Chiba mengatakan bahwa budaya hukum tidak hanya keyakinan dan nilai-nilai empiris yang dinyatakan secara tidak jelas mengenai hukum sebagaimana sering digunakan dalam budaya politik secara khusus berkaitan dengan hukum, antara lain tampak dalam praktik-praktik di bidang hukum, tradisi-tradisi dalil-dalil hukum kompone–komponen hukum, budaya hukum yang nyata, simbol-simbol hukum dalam arti yang lebih luas. Bahwa hukum merupakan bagian dari kebudayaan sehingga hukum tidaklah dapat dipisahkan dari jiwa serta cara berpikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut.69 Menurut Donald Black budaya hukum adalah merupakan simbol dari aspek kehidupan sosial yang membahas tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan.70
67
Ibid. h. 31. Ibid. h. 32. 69 Stefanus Laksanto, op. cit., h. 75. 70 Ibid. h. 77. 68
61
Daniel S.Lev dalam tulisannya yang berjudul Judicial Institutions and Legal Culture Indonesia, Lev menerapkan konsep budaya hukum untuk menganalisis polapola perubahan sistem hukum Indonesia semenjak revolusi dengan tujuan untuk mencari penjelasan mengapa dan bagaimana fungsi hukum di wilayah jajahan dilayani oleh lembaga-lembaga yang berbeda dengan hukum di negara yang merdeka. Konsep budaya hukum diartikan sebagai nilai-nilai terkait dengan hukum dan proses hukum. Budaya hukum mencakup dua komponen pokok yang saling berkaitan, yakni nilai-nilai hukum substanstif dan nilai-nilai hukum keacaraan. Nilainilai hukum substantif berisi asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber daya di dalam masyarakat, apa yang secara sosial dianggap benar atau salah dan seterusnya. Nilai-nilai hukum keacaraan mencakup sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.71 Dari uraian tentang konsep budaya hukum di atas dapat diartikan budaya hukum yaitu seperangkat pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut kelompok orang yang dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan/prilaku yang terkait dengan hukum. Pengetahuan dan nilai-nilai itu merupakan pemadu dan pengarah hidup kelompok orang dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok. 2.2.2 Ruang Lingkup Budaya Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi patokan dalam mempraktikkan hukumnya dan untuk bangsa Indonesia nilai tertentu
71
M. Syamsudin, op.cit.,h.31.
62
tersebut adalah Pancasila.72 Oleh Friedman budaya hukum dirumuskan sebagai berikut 73: “Sikap-sikap dan nilai yang berhubungan dengan hukum bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif ”. Friedman menjelaskan budaya hukum sangat penting karena merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara sistem hukum yang satu dengan yang lain. Di sini unsur budaya hukum itu sebagai seperangkat nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta mentukan tempat sistem hukum di tengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan. Dengan adanya budaya hukum ini maka nilai-nilai dan sikap-sikap sosial yang mengisi kekurangan– kekurangan yang dibutuhkan untuk menjelaskan penggunaan proses hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan hukum sebagai penentu antara masyarakat dengan hukum dan masyarakat dengan pemerintah. Setiap bangsa di dunia hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senantiasa memiliki keperibadiannya sendiri agar tidak terombang-ambing dalam kancah pergaulan masyarakat Internasional setiap bangsa memiliki ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain.74 Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar sumber hukum dengan menggambarkan gagasan Hans Kelsen tentang grundnorm atau norma dasar sebagai sumber dari 72
Esmi Warassih, op.cit., h. 69. Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung , (Selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II), h. 83. 74 Kabul Budiyono, 2009, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung, h. 3. 73
63
segala sumber hukum Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai pancasila bahkan ditempatkan sebagai paradigma budaya hukum. Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang bersifat universal dan tetap. Nilai- nilai itu tersusun secara hierarkis dan piramidal mengandung kenyataan konkret dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks budaya hukum pancasila dapat dilihat pada urgensi sebagai dasar hukum dan sumber hukum nasional terlihat dalam berbagai seminar dan konvensi nasional, antara lain75: a.
b.
c.
d.
e.
Seminar Hukum Nasional ke II menyatakan bahwa pelaksanaan UUD 1945 yang berlawanan dengan semangat jiwa Pancasila berarti menipulasi konsititusi dan penghianatan terhadap pancasila. Seminar Hukum Nasional ke IV menyatakan bahwa Pancasila merupakan nilai-nilai kejiwaan bangsa; dasar tertib hukum Indonesia; Pedoman dan penunjuk arah; dan batu ujian mengenai kepatutan dan perundang-undangan merupakan hakekat pembentukan sistem hukum Nasional. Seminar Hukum Nasional ke V tahun 1990 menyatakan bahwa pada akhir Replita VI sudah harus tersusun pola pikir dan kerangka sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Seminar Hukum Nasional ke VI tahun 1994 menyatakan sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila, harus merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila pancasila. Rekomendasi Konvensi Hukum Nasional tahun 2008 dinyatakan bahwa perlu disusun Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dengan landasan UUD 1945 sebagai konstitusional pancasila sebagai landasan filosofisnya.
Selain agar dapat membuktikan bahwa Pancasila sebagai landasan dalam budaya hukum nasional, maka sila-sila Pancasila harus dipandang sebagai suatu sistem nilai, sehingga pada hakikatnya Pancasila merupakan satu kesatuan.76 Berdasarkan penjelasan di atas pancasila menjadi landasan atas budaya Indonesia. Hukum harus berdasarkan Pancasila, produk hukum boleh dirubah sesuai dengan
75 76
Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 70. Ibid. h. 79-84
64
perkembangan zaman dan pergaulan masyarakat, tentunya pancasila harus menjadi kerangka berfikir. Pancasila dapat memandu budaya hukum nasional dalam berbagai bidang yaitu 77: a. b.
c.
d.
e.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan budaya hukum yang berbasis moral agama. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi landasan budaya hukum yang menghargai dan melindungi hak- hak manusia asasi manusia yang non diskrimatif . Sila Persatuan Indonesia menjadi landasan budaya hukum yang mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan berbagai ikatan primodialnya masing-masing. Sila Kerakyataan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menjadi landasan budaya hukumyang meletakkan kekuasaan di bahwa kekuasaan rakyat (demokratis) Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi landasan budaya hukum dalam hidup bermasyarakat yang berkeadilan sosial bagi sehingga meraka yang lemah sosial dan ekonomis tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Motif Tradisional 2.3.1 Pengertian Dan Konsep Motif Tradisional Motif tradisional Bali adalah motif hias yang telah diungkapkan, diukir, ditatah digambarkan dan lain-lainnya. Diungkapkan pada perhiasan bangunan, alatalat, benda-benda upakara, prabot-prabot rumah tangga dan juga pada bermacammacam benda souvenir yang dibuat oleh para seniman pengrajin di Bali. Motif-motif yang digunakan mengandung ada peranan penting dalam perwujudan seni murni (fine art) maupun seni pakai (applied Art) di Bali. Motif tradisional di Bali pada umumnya berupa bentuk garis-garis geometris yaitu berupa garis-garis lingkaran, garis lurus, lengkung, segitiga dan lain-lainnya yang disusun berulang-ulang secara ritmik. Perkembangan selanjutnya diungkapkan dalam bentuk stilisasi (penggayaan) 77
Esmi Warassih, op.cit , h.74.
65
dari bentuk alam terutama dari dunia flora seperti daun-daun, bunga-bungaan dan tangkai. Dari dunia fauna berupa bentuk binatang hewan seperti ular, naga, burung, ikan, gajah dan penyu. Pada umumnya motif-motif ornamen Bali yang kuno distilisasi secara ikoplastis, sedangkan motif-motif hias yang lebih muda distilisasikan secara fisioplastis yang lebih mendekati wujud naturalis.78
2.3.2 Perlindungan Motif Tradisional Ekspresi budaya tradisional di Indonesia dilindungi oleh bebarapa ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Beberapa ketentuan tersebut adalah79 : 1.
UUHC 2014 Dalam UUHC perlindungan terhadap ekspresi budaya diatur dalam Pasal 38 :
(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. (2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Penjelasannnya dalam Pengaturan UUHC pada Pasal 38, 39 dan 40 bahwa hak cipta atas ekspresi budaya dipegang oleh Negara berkenaan dengan motif sesuai dengan Pasal 40 angka 1 huruf j objek dari perlindungan hak cipta karya seni atau seni motif lain ini merupakan ciptaan yang dilindungi yang dimaksud dengan seni 78
Ni Made Rinu, op.cit., h.17-18. Miranda Risang et.al., 2014, Hukum Sumber Daya Genetik , Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Di Indonesia, Alumni , Bandung, h.89. 79
66
motif lain adalah motif yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah sehingga keberadan motif tradisional merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi. 1. Konvensi Berne Konvensi Berne untuk perlindungan karya sastra dan karya seni atau Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Work telah menjadi hukum nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997. Selain isinya yang melindungi berbagai jenis karya sastra dan seni umum, hal yang penting untuk dicatat dalam konvensi ini adalah Pasal 6 Ayat (1), (2),dan (3) tentang Hak Moral. Berdasarkan Pasal 6 konvensi berne.80 (1) Di samping hak-hak ekonomi Pencipta, dan sekalipun hak-hak ekonomi telah dialihkan, pencipta tetap memiliki hak untuk menuntut agar ia disebut sebagai pencipta atas karyanya dan untuk menangkal segala bentuk distorsi, mutilasi dan modifikasi atau tindakan–tindakan penghapusan yang terkait dengan karyanya yang dapat melanggar kehormatan atau repotasinya. (2) Hak-hak yang diberikan kepada pencipta dalam paragraph sebelum ini, setelah kematian pencipta, harus minimal sampai batas waktu pemberlakuan hak-hak ekonominya dan harus dapat dilaksanakan oleh orang-orang atau badan hukum yang memiliki kekuasaan hukum untuk itu dalam negara tempat perlindungan itu berlaku. Meskipun demikian negara-negara yang pada saat ratifikasi atau akses konvensi itu tidak memiliki peraturan yang melindungi hak setelah meninggalnya Pencipta ini, dapat menentukan bahwa setelah pencipta itu meninggal, hak-hak tersebut pun akan berhenti. (3) Upaya-upaya hukum pemulihan untuk mengamankan hak-hak yang diberikan oleh Pasal ini harus didasarkan kepada peraturan Negara tempat perlindungan ini diberlakukan.
80
Ibid. h. 92.
67
2.3.3 Bentuk Motif Tradisional Perak Bali Bentuk dan motif ornamen Bali yang diungkapkan sebagai hias dalam bendabenda seni bangunan, sarana upacara, benda-benda kerajinan sebagai berikut :
1.
Bentuk/motif keketusan Keketusan berasal dari kata ketus yang artinya mencabut atau memetik,
mendapat awalan ke yang menunjukan sifat kebendaan dan akhiran an yang menunjukkan lebih dari satu. Kekatusan artinya hiasan yang diambil atau dipetik dari bagian-bagian tertentu baik tumbuh-tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya yang jumlahnya lebih dari satu. Motif-motif kekatusan sebagai berikut81 : a.
b.
c.
d.
e.
f.
81
Kakul-kakulan Kakul-kakulan merupakan petikan dari stilisasi dari bentuk binatang siput (kakul)bentuknya bulat (pula lingkaran) dibuat berulang-ulang dan diberikan garis melingkar seperti bentuk bagian belakag siput. Batuan Timun Motif batuan timun merupakan petikan dan stilisasi dari bentuk bijibijian buah mentimun dan disela-selanya diberikan stilasi daun dan bungan serta garisnya. Tiap ujung batuan timun dirangkaikan dengan ujung bijian yang satu dengan ujung biji yang lain sedemikian rupa dan sangat ritmis. Mas-masan Motif mas-masan merupakan motif petikan dan stilisasi dari bentuk bunga dengan garisnya. Bibih Ingka Bibih ingka merupakan petikan dan stilisasi dari bentuk ingka (tempat makan) yang dibuat dari rajutan lidi daun kelapa yang bentuknya sangat artistik. Rerantaian Rerantaian adalah petikan dan stilisasi dari bentuk rantai yang merupakan jalinan dari hubungan-hubungan mata rantai satu dengan bagaian lainnnya yang sangat ritmis. Bebatuan (batu-batuan) Motif bebatuan merupakan stilisasi dari bentuk batu kali yang digayakan ke dalam motif hiasan yang artistik motif ini dibuat
Ni Made Rinu, loc.cit.
68
g.
h.
i.
j.
k.
2.
bervariasi ada yang lebih besar, kecil dan dua sisi batu yang dapat dikombinasikan dengan motif daun-daunnan dan bunga-bungaan lainnya sehingga harmonis. Ganggong-gangggongan Motif ganggong-ganggongan merupakan petikan dan stilisasi dari bentuk tumbuhan ganggong atau sejenis daun-daunan dalam air yang diulang-ulang dan memanjang. Kuta Mesir Kuta mesir merupakan petikan stilisasi yang rangkaian memanjang dari bentuk patah-patahan garis geometris yang menyerupai bentuk huruf T yang diulang-ulang. Tali Ikut Motif tali ikut merupakan petikan dan stilisasi dari bentuk dua tiga jalinan tali (ulat tali) yang dibelit-belitkan satu lainnya pada hiasan yang sangat ritmis. Pidpid-pidpidan Motif pidpid-pidpidan merupakan petikakn dan setilisasi dari bentuk tumbuh-tumbuhan (daun pakis) yang diolah oleh seniman secara kreatif sehingga menjadi suatu motif yang sangat menarik. Sulur Picung Motif sulur picung merupakan petikkan dan stilisasi dari tumbuhtumbuhan picung (sejenis tumbuh-umbuhan merambat).
Pepatran Di Bali hiasan yang terdiri dari daun-daunnan yang telah digubah diberi nama
“patra“ atau “pepatraan” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “daun” atau “surat” mendapat awalan pe yang menunjukkan jumlah yang lebih dari satu dan akhiran an yang menunjukkan sifat kebendaannya sehingga arti pepatraan di sini adalah suatu benda merupakan hasil stilisasi atau gubahan dari tumbuh-tumbuhan rambut (menjalar) dan jumlahnya lebih dari satu. Pada umumnya seniman dangan inspirasinya menjelmakan kreasi, seni dengan bermacam variasi ornamentik yang disusun secara harmonis dan estetis sesuai dengan bidang yang akan dihias. Mereka mengatur dengan baik komposisi antara bidang yang dihias dengan tidak dihias, sehingga dengan demikian lahirlah bermacam-macam nama patra antara lain : a.
Patra Punggel
69
Patra punggel (punggalan) adalah gabungan dari beberapa unsur-unsur tumbuh-tumbuhan dan binatang yang disusun menjadi satu motif baru. Dengan kata lain, bila dilihat dari pengertiannya, akan berarti pucuk daun baru tumbuh dari bekas tunas yang baru dipotong, kemudian dipergunakan sebagai hiasan dengan peletakan dibolak-balik menurut kesenangan senimannya. Motif patra punggel ini dapat ditempatkan di segala bidang, misalnya pakaian tari-tarian, ukiran logam, kadangkadang dicampur dengan patra sari. Motif patra punggel ini tidak mempunyai makna simbolis, tetapi hanya sebagai motif pada pola-pola tertentu dengan fungsi menghias. b.
Patra Sari Patra Sari adalah motif perkembangan dari patra punggel. Patra sari merupakan stilisasi dari bunga. Dalam penyestilisasian itu diambil dari daun-daun bunga yang sedang berkembang, di mana diutamakan adalah sari bunganya yang lain daunnya berguna untuk menambahkan keindahan komposisinya saja. Dengan demikian dapat disusun sebagai rangkaian patra yang dibentuk secara simetris dan merupakan profil sebuah bunga dan tiap-tiap bunga disambung dengan garis-garis selung sebagai batang dan tangkai bunga.
c.
Patra Cina Patra Cina adalah merupakan stiliran dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga dan tiga sehelai daun, dengan kata lain motif patra
70
Cina ini terdiri dari bunga-bungaan dan daun-dauaan tumbuh sangat jarang. d.
Patra Olanda Patra Olanda merupakan stilisasi (gubahan) dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar, diselingi dengan motif–motif daun anggur. Ciri utama dari patra olanda ini antra lain : daun-daunnya yang besar dan bergeraji, batang bergelombang, pada tiap-tiap lekikan tubuh setangkai bunga, berbuah dan pada ujung daun terdapat sari bunga.
e.
Patra Samblung Patra Samblung adalah gubahan sejenis pohon rimba yang terdiri dari unsur batang dan daun yang masih kuncup atau dengan kata lain adalah stilisasi dari daun samblung yang biasanya tumbuhan berliku-liku pada pohon enau di Bali.
f.
Patra Bun-bunan Dengan bervariasi dalam berbagai jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-tumbuhan yang berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan dirangkai batang jalar. Dapat juga divariasikan dengan julurjulur dari batang jalar.
g.
Patra Kuwung Patra Kuwung adalah merupakan stilisasi dari tumbuh-tumbuhan yang diungkapkan satu tangkai agak melingkar ke kanan .
h.
Patra Banci Patra Banci adalah merupakan gabungan dari dua buah patra atau lebih, sehingga bentuknya menjadi satu kesatuan yang harmonis.
i.
Patra Bali
71
Patra Bali merupakan stilisasi dari bunga-bungaan yang tidak mempunyai kepala putik. j.
Patra Gemulung Patra Gemulung adalah merupakan stilisasi dari tumbuh-tumbuhan yang diungkapkan dalam bentuk setangkai bunga dilengkapi dengan daun patra punggel sebagai variasianya.
3.
Kekarangan Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan
yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan. Adapun berbagai macam motif kekarangan adalah sebagai berikut 82 : a.
b.
c.
82
Karang Simbar Motif karang simbar merupakan stilisasi dari bentuk tumbuh-tumbuhan (simbar menjangan) yaitu tumbuh-tumbuhan yang hidupnya menempel pada tumbuh-tumbuhan lainnya yang bentuknya terurai ke bawah. Karang bunga Motif karang bunga merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk bunga dan bisanya bentuk bunga yang diambil adalah sejenis bunga yang tumbuhnya tunggal seperti bunga, bunga matahari, bunga mawar, dam lain sebainya. Karang suring Motif karang suring merupakan suatu hiasan yang menyerupai serumpun peru dalam bentuk kubus.
I Nyoman Gelebet, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Pendidikan dan Kebudayaan, Bali, h. 332.
72
BAB III WUJUD PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP MOTIF-MOTIF TRADISIONAL PERAK BALI
3.1Bentuk Pelanggaran Hak Cipta Atas Motif Tradisional Perak Bali Pada dasarnya hak cipta dilanggar jika materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dari pencipta yang mempunyai hak eksklusif atas ciptaannya. Terjadinya pelanggaran harus ada kesamaan antara dua ciptaan yang ada. Namun, pencipta harus dapat membuktikan bahwa karyanya telah dijiplak, atau karya lain berasal dari hasil karyanya.83 Hak cipta juga dilanggar bila seluruh atau bagian substansial dari ciptaan yang telah dilindungi hak cipta telah diperbanyak, pengadilan akan menentukan apakah merupakan bagian substansial dengan meneliti unsur pembeda atau hal yang mudah dikenali pengadilanlah menilai dan meneliti apakah bagian yang digunakan tersebut penting, memiliki unsur orisinal yang beda atau yang mudah dikenali substansi yang dimaksud sebagai bagian yang penting bukan dalam jumlah yang besar sehingga dapat dipertimbangkan kepentingan antara pemilik dengan masyarakat.84 Bentuk pelanggaran terhadap hak cipta ada dua hal pokok85 : 1.
Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu.
2.
Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum sesuatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
83 84 85
Tim Lindsey, op.cit., h. 122. Endang Purwaningsih, op.cit., h.42. Muhamad Djumhana dan R Djubaedillah, op.cit ., h. 94.
72
73
Cara lain yang dianggap sebagai pelanggaran oleh seseorang terhadap suatu hak cipta adalah saat seseorang terhadap suatu hak cipta : a.
Memberi wewenang (berupa persetujuan atau dukungan kepada pihak lain untuk melanggar hak cipta);
b.
Memiliki hubungan dagang/komersial dengan barang bajakan ciptaanciptaan yang dilindungi hak cipta;
c.
Mengimpor barang-barang bajakan ciptaan yang dilindungi hak cipta untuk dijual eceran atau didestribusikan;
d.
Memperoleh suatu tempat umum untuk memamerkan hasil karya yang melanggar hak cipta.
Pelanggaran-pelanggaran demikian dapat dikenakan denda atau sanksi sesuai dengan UU Hak Cipta. Kegiatan-kegiatan di bawah ini yang tidak termasuk dalam pelanggaran hak cipta : a.
Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
b.
Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan pembedaan di dalam atau di luar pengadilan;
c.
Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan;
74
d.
Perbanyakan suatu ciptaan di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluaan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
e.
Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumnetasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f.
Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur seperti ciptaan bangunan;
g.
Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Menurut UU Hak Cipta pelanggaran bersifat pidana adalah pelanggaran yang secara sengaja dilakukan menduplikasi dan memproduksi materi hak cipta sedangkan pelanggaran yang bersifat perdata adalah pelanggaran yang mengakibatkan kerugian pada pencipta sehingga meminta pemberian uang ganti rugi. Contoh kasus pelanggaran hak cipta atas motif tradisional perak Bali, penulis mengambil dua contoh kasus yang menimpa pengrajin Bali yaitu yang pertama Desak Nyoman Suarti. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 9 April 2015 dengan Ibu Desak Nyoman Suarti merupakan seorang maestro perak sehingga karya-karya tidak asing lagi di dunia Internasional dan Nasional adapun kasus hukum yang pernah dialami
75
beliau selama menggeluti bisnis perak, pada tahun 1985 Desak Nyoman Suarti seorang pengusaha perak yang tinggal di desa Pengosekan Ubud Bali dan tinggal di Amerika digugat oleh pengusaha asing yang bernama Lois Hill di Pengadilan Negeri Amerika, dengan objek gugatan desain motif “anyaman”. Lois Hill merupakan pengusaha asal Amerika, oleh pengusaha asing ini secara diam-diam konsep motif anyaman ini didaftarkan di Amerika dan mendapat hak cipta atas nama pengusaha asing tersebut. Desain kerajinan perak dengan motif anyaman itu pun telah menjadi milik warga asing dengan dilindungi serifikat HAKI. Di wilayah Negara Amerika Suarti masih kental dengan budaya Bali dengan motif tradisional Bali Suarti menjual kerajinan peraknya, kepada pengusaha asing dan konsumen asing dalam pameran yang diikuti di Amerika. Dari pameran ini mulailah terjadi permasalahan yang dihadapi Suarti dengan Lois Hill sebagai pemilik sah atas sertifikat hak cipta motif “ anyaman” , di mana saat transaksi jual beli perhiasan perak hasil karyanya, Suarti dikejar oleh pihak keamanan di Amerika adanya laporan melanggar hak cipta terhadap motif anyaman yang dimiliki oleh Lois Hill. Desak Nyoman Suarti pada saat itu berada di Amerika segara di bawa ke kantor polisi untuk diminta keterangan atas laporan telah melakukan pelanggaran hak cipta.Suarti segera dilakukan proses hukum diadili dengan kasus pelanggaran hak cipta di sidang pengadilan. Suarti digugat oleh pengusaha asing dengan kasus pelanggaran Hak cipta dengan menjiplak konsep anyaman yang di mana pengusaha asing tersebut telah memiliki sertifikat hak cipta atas motif anyaman. Hal tersebut tentu membuat Desak Nyoman Suarti tidak menerima tuduhan yang dilakukan pengusaha asing kepadanya menjiplak konsep motif anyaman pada kerajinan perak
76
pendapat Suarti, motif anyaman merupakan bentuk motif tradisional masyarakat Bali yang biasa dipakai dalam membuat perhiasan perak. Merasa sama-sama memiliki hak atas konsep desain anyaman terjadilah perselisihan Suarti yang merupakan pengusaha lokal dengan oknum pengusaha asing yang telah memiliki sertifikat hak cipta atas motif “anyaman”. Desak Nyoman Suarti paham bahwa konsep anyaman itu adalah milik leluhur masyarakat Bali dan siapapun berhak memakainya. Perkara yang dituduhkan kepadanya tentang pelanggaran terhadap hak cipta atas motif anyaman tidaklah tepat. Perkara hak cipta ini menjadi istimewa dan menjadi isu dunia Internasional karena seorang perempuan desa dari Bali yang berprofesi pengrajin digugat di Pengadilan Amerika, Suarti merasa yakin bahwa karya desain peraknya adalah murni kreasi kreativitasnya
sendiri.
Dengan
keyakinan
bahwa
motif
anyaman
yang
dipermasalahkan adalah nilai-nilai budaya tradisional sebagai warisan nenek moyang orang Bali dan bisa dimanfaatkan oleh siapapun dan tidak boleh dimiliki atau diklaim sebagai milik pribadi/kelompok. Pada saat itu Suarti tidak mengetahui mengenai hak cipta hanya bermodalkan pengetahuan yang dia dapat tentang motif tradisional Bali dan memberi penjelasan mengenai desain anyaman yang digunakan dalam membuat perhiasan perak. Suarti melakukan perlawanan terhadap Lois Hill yang merupakan pengusaha asing yang dirasa telah merampas nilai-nilai tradisional Bali. Di Pengadilan Amerika dimenangkan oleh Suarti, dalam sidang pengadilan di Amerika memutusakan bahwa desain anyaman sepenuhnya milik masyarakat Bali dan tidak bisa diklaim sebagai milik individu/kelompok. Sertifikat HAKI atas nama
77
pengusaha asing tersebut dibatalkan demi hukum, dan Desak Nyoman Suarti yang merupakan pengusaha perak dari Bali dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Kasus yang kedua, pelanggaran hak cipta terhadap motif tradisional penulis menggunakan contoh Kasus Deni Aryasa, yang merupakan pengrajin dari Bali yang dituduh menjiplak motif perusahan perak milik John Hardy pengusaha asing yang nama usahanya PT Karya Tangan Indah. Kasus ini bermula dari tanggal 2 Februari 2007, bertempat di Jalan Kajanti 18 Denpasar lebih dari 10 orang yang mengaku PPNS dan Mabes Polri Jakarta datang dan mengobra-ngabrik rumah Ketut Deni Aryasa. Untuk mencari barang bukti berupa perhiasan perak dengan motif Bali dan motif Crocodile atas nama Dewa Nyoman. Penyerangan itu tanpa membawa ijin, surat laporan ketua RT dan identitas apapun, mereka salah tangkap karena sebenarnya mereka cari Dewa Nyoman tetapi yang mereka gledah adalah rumah Ketut Deni Aryasa. Setelah menyita beberapa barang bukti meraka pun pergi. Satu bulan selanjutnya barulah mereka mengirimkan surat ijin ke rumah Deni. Bahwa pada tanggal 11 Mei 2007 Ketut Deni Aryasa ditahan oleh Polda dengan tuduhan Penjiplakan motif Fleur, motif batu kali dan motif buaya yang dilakuakan kepada PT Karya Tangan Indah. Bahwa pada tahun 2000-2003 Ketut Deni Aryasa yang pernah berkerja di PT Karya Tangan Indah yang berlamat di Banjar Batuning Nomor 1 Mambal Badung, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi perak dan emas dan untuk setiap karya cipta ataupun desain industri yang dibuat oleh PT Karya Tangan Indah telah didaftarkan pada Direktorat Jendral HKI sebanyak 843 desain telah memperoleh sertifikat sejumlah kurang lebih 500 desain diantaranya : seni motif kali didaftarakan hak cipta dengan nomor 030383 pada tanggal 19 tahun
78
2006, seni motif Fleur 1 nomor 030376 tanggal 19 April 2006, seni motif judul “Batu Kali Kombinasi“ nomor 030378 tanggal 19 April 2006 dan seni motif judul Kali 2 nomor 030387 tanggal 19 April 2006 pada Direktorat Hak Cipta. Semua motif tersebut atas nama pencipta Guy Rainer Gabriel Bedarida, sedangkan pemegang hak ciptanya adalah PT Karya Tangan Indah. Semenjak tahun 2006 Deni membuka usaha sendiri dengan mendirikan CV Bali Jewel bergerak di bidang yang sama dengan PT Karya Tangan Indah yaitu memproduksi dan membuat desain perhiasan perak diantaranya membuat motif kulit buaya, motif bunga dan pada umumnya motif ukuran bali dan perhiasan peraknya diberi kode SEG001Am, SEGO13, SBGO12, SBGO26 dan SEOO5Pect. Perhiasan yang diproduksi CV Bali Jewel menggunakan desain yang sama dengan motif yang digunakan oleh PT Karya Tangan Indah hal ini dapat dilihat dari lima perhiasan perak produksi CV Bali Jewelery yang diberi kode : SEG001Am, SEGO13, SBGO12, SBGO26 dan SEOO5Pect. Dalam pemasarannya Deni memasarkan desain produksinya
menggunakan
website
www.Balijewel.com
dan
mekanisme
pemasarannya dengan mengakses website Balijewel konsumen bisa melihat produk Deni, apabila konsumen ingin membeli produk barang yang ditawarkan dapat mengirim email ke Balijewel dan menstransfer sejumlah dana yang sesuai dengan harga barang yang tercantum, serta mentransver jumlah yang ditentukan ke account Bank yang dicantumkan di webiste Bali Jewel, dan pengiriman barang dilakukan dengan jasa pengiriman setelah ada konfirmasi pembayaran. Ketut Deni Aryasa pengrajin perak Bali yang dituduh menjiplak lima motif perusahaan perak milik asing PT Karya Tangan Indah melakukan perlawanan dengan
79
menyatakan motif yang digunakan ini adalah motif milik kolektif masyarakat yang sudah ada sejak dahulu bukan milik perseorangan tapi mengapa bisa dimiliki oleh orang asing. Deni dalam contoh motif fleur (bunga) yang dituding menyebar luaskan motif bunga padahal motif ini adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif seperti ini dapat dietemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah dapat ditemui dalam tempat persembahyangan Umat Hindu di Bali seperti pura, sangat disayangkan motif tradisional ini dimiliki oleh orang asing di Direktorat Jendral HAKI Republik Indonesia pada tahun 2006 dipegang dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen HAKI, tetulis motif fleur adalah Guy Rainer Gabriel Bedarida, warga Perancis yang tinggal di Bali sedangkan Pemegang Hak Ciptanya oleh PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy. Dengan tudingan melanggar hak cipta, Deni Aryasa dituntut dua tahun penjara. Pada tanggal 3 April 2008 Deni dihubungi ada pelimpahan berkas di kantor Kejaksaan, ternyata setelah sampai di sana langsung ditahan dan dititipkan di LP Kerobokan selama 40 hari sebagai tahanan Jaksa selanjutnya sebagai tahanan rumah sambil menjalani proses pengadilan. Hasil wawancara yang didapat dengan Suarti tentang pelanggaran hak cipta, Suarti menyatakan kasus yang menimpa rekan pengrajin perak Ketut Deni Aryasa sebagai terdakwa dalam kasus pelanggaran hak cipta membuat rekan-rekan sesama desainer merasa prihatin. Suarti menyatakan teman-teman pengrajin sekarang menjadi merasa ketakutan. Mungkin saja pada suatu saat pengrajin lain juga akan terjerat dengan perangkap undang-undang hak cipta yang pada kenyataan undangundang tersebut diterapkan agar Indonesia di terima dalam pergaulan antarnegara
80
tanpa memperhatikan kesiapan infrastruktur yang ada. Dalam Undang-undang Hak Cipta sangat terasa sekali semangat memperjuangkan hak-hak individu. Dalam dunia penciptaan seperti seni mempergunakan sebuah tema yang berangkat dari nilai-nilai yang sifatnya tradisi adalah suatu yang jamak dilakukan oleh seorang kreator (seniman/desain). Nilai tradisi tersebut hadir dalam berbagai ragam hias, motif, ornamen tertentu yang memiliki dasar filosofis tertentu. Ragam hias benda masyarakat timur (Indonesia) kekayaan ragam hias ornamen motif diwariskan secara pola turun-temurun. Pewarisan dengan pola turun-temurun yang berlangsung secarara ratusan tahun dan akhirnya berhasil membentuk sebuah keterikatan emasional, sehingga keberlangsungannya tetap ingin dipertahankan. Suarti mengatakan terasa sulit bagi pengrajin perak selaku desainer/pencipta tidak boleh menggunakan motif/ornamen lokal yang sebenarnya di warisi oleh nenek moyang kami secara turun-temurun. Rasanya sedih jika warisan nenek moyang harus dimiliki oleh sekelompok atau individu yang mangatas namakan hak cipta padahal sebelum undang-undang hak cipta muncul sudah merupakan warisan dari leluhur kita. Coba perhatikan beberapa banyak inspirasi yang ada di barat berasal dari Timur dalam hal desain, arsitektur dan hal-hal spritual. Apakah kita menutut mereka karena mereka ingin belajar? rasanya tidak bangsa kita terkadang selalu baik dan terlalu ramah karena nenek moyang kita mengajarkan yaitu ikhlas dan tanpa syarat. Keramahan bangsa ini terkadang menjadi sasaran empuk bagi para tamu-tamu asing yang memiliki modal. Awalnya mereka begitu bersahabat memposisikan sebagai mitra sejawat, tetapi semakin lama posisinya menjadi seperti majikan dan pekerja. Hal ini terjadi karena bangsa kami tidak berdaya secara ekonomi, sedikit-dikit
81
mereka mimiliki kekayaan/aset kita jika kita mereka mendaftarkan kepemilikannya melalui hak cipta tentu membuat kita sebagai pencipta waspada akan adanya klaim budaya asing akan hasil karya cipta negeri kita sendiri hanya karena kita tidak sadar bagaimana cara melindungi hasil cipta kita sendiri yang merugikan masyarakat pengrajin sendiri. 3.2 Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Motif Tradisional Perak Bali Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mempersyaratkan adanya perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap produknya baik menggunakan berupa barang maupun jasa melalui transaksi perdagangan Internasional ataupun investasi langsung terhadap negara tujuan mitra usaha. Dalam pembentukan sistem perlindungan hak kekayaan intelektual Indonesia tidak terlepas dari pengaruh konvensi maupun tekanan Internasional, sebagai konsekuensi Indonesia anggota peserta dalam tata pergaulan Internasional, baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh dan tekanan Internasional terhadap Indonesia dalam bidang hak kekayaan intelektual dapat berupa pengaruh internasional melalui ratifikasi perjanjian Internasional baik bilateral, multilateral, maupun regional.86 “It is important, but difficult, to measure the strength of intellectual property rights (IPRs) in different countries. It is important because the protection of IPRs can contribute significantly to a country’s economic performance. It can affect the country’s productivity, ability to attract inward foreign direct investment, incentive and innovative, consumer prices and aggregate economic growth. A country’s protection of IPRs can also contribute to the 86
h.263.
O.C Kaligis, 2012, Teori Praktik Merek dan Hak Cipta, PT Alumni, Bandung,
82
economic performance of its trading partners”.
87
(Ini adalah sesuatu yang
penting, tetapi juga sulit, untuk menilai kekuatan dari hak kekayaan intelektual di beberapa negara. Ini adalah hal yang penting karena perlindungan HKI dapat mempunyai kontribusi yang signifikan untuk menunjukkan kekuatan ekonomi sebuah negara. Ini dapat mempengaruhi produktivitas negara tersebut, kemampuan untuk menarik investasi langsung maupun investasi tidak langsung, mendorong dan memberikan inovasi, harga-harga konsumen dan element dari pertumbuhan ekonomi. Sebuah perlindungan HKI dari suatu negara juga memberikan kontribusi ekonomi dari persekutuan perdagangan). Tekanan internasional yang diterima Indonesia dapat berupa intervensi asing di Indonesia baik langsung maupun tidak langsung, melalui investasi dalam segala bentuknya ataupun transaksi perdagangan internasional, senantiasa menuntut dan dikaitkan dengan adanya sistem penghargaan dan perlindungan hak kekayaan intelektual yang memadai.88 Pengaturan perlindungan hak kekayaan berdasarkan traktat dan perjanjian internasional sebagai berikut : 1.
World Intellectual Property Organization (WIPO) WIPO adalah lembaga internasional yang bertanggung jawab dalam kerangka
mengadministrasi dan aktivitas-aktivitas yang beraitan dengan revisi beberapa traktat
87
David Riker, 2015, Intellectual Property Rights and International Receipts of Royalties and Licensing Fees, Lexington, USA, h. 1. 88 Ibid.
83
Internasional bidang hak kekayaan intelektual. Tugas WIPO dalam kerangka perlindungan hak cipta dan hak terkait termasuk di antaranya sebagai berikut89 : a.
b. c.
d.
e.
2.
Konvensi Berne (1886) tentang perlindungan karya seni dan karya sastra Berne Convention for the Protection of Literary and Artict Work (1886) Konvensi Hak cipta Universal (1953); Universal Copyright Convention. Konvensi Roma tentang Perlindungan pelaku, Pelaku Produser Rekaman: International Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonogram and Broadcasting Organization (Roma Convention 1961) Konvensi Jenewa (1971) tentang Perlindungan Produser Rekaman Suara dan perbanyakan Tidak sah Rekaman Suara; Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonogram Againts Unnauthorized Dupliccation of Their Phonograms(Geneva Convention) 1971. Persetujuan tentang Aspek Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) 1994
Konvensi Berne 1886 tentang Perlindungan Karya Sastra dan Seni Konvensi Berne 1986 adalah negara-negara yang pesertanya memiliki tujuan
memberikan hak khusus kepada pencipta dan hak untuk menikmati keuntungan materiil dari ciptaan serta melarang orang-orang lain memanfaatkan suatu ciptaan tanpa izin dari penciptanya. Atas dasar pemikiran tersebut, Konvensi Berne sebagai sautu dasar konvensi di bidang hak cipta yang paling tua di dunia, semenjak dilahirkan hingga 1 Januari 1886 telah banyak negara yang menjadi anggotanya keseluruhan tercatat 117 negara meratifikasi. Belanda pada 1 November 1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada konvensi Bern, selanjutnya menerapkan pelaksanaan Konvensi Berne di Indonesia (Hindia-Belanda). Revisi dilakukan pada 13 November 1908 di Berlin dialami oleh beberapa negara bekas jajahan atau di bawah administrasi pemerintah Inggris yang mendandatangani Konvensi Berne pada 89
Suyud Margono, 2010, Hukum Hak Cipta Indonesia Teori dan Analisis Harmonisasi Ketetuan World Trade Organization/ WTO-Trips Agreement, Ghalia Indonesia, Bogor , h.39.
84
5 Desember 1887. Negara-negara dimaksud adalah Australia. India, New Zeland dan Afrika Selatan. Karya-karya yang dilindungi hak cipta tidak terbatas pada apa yang ditentukan pada dasarnya terdiri atas karya asli dan karya turunannya dan bidangbidang karya sastra ilmu pengetahuan dan karya seni apa pun media ekspresi yang digunakan. Namun negara juga diberikan kebebasaan untuk menentukan di dalam peraturan perundang-undangan bahwa karya-karya secara umum atau dengan kategori tertentu tidak diberikan perindungan sampai karya tersebut diwujudkan dalam bentuk material. Negara juga diberikan kebebasan untuk memperluas penerapan perlindungan bagi karya seni terapan, desain dan model, paling tidak dilindungi sebagai karya-karya artistik.90 Konvensi
Berne
merupakan
sebagai
law
making
treaty,
dengan
memberlakukan secara terbuka bagi semua negara yang belum menjadi anggota Keikutsertaan sebagai negara anggota baru dilakukan dengan cara meratifikasinya dan menyerahkan naskah ratifikasi kepada Direktur Jendral WIPO Konvensi Berne 1886 pada garis besarnya memuat prinsip dasar menegenai sekumpulan ketentuan yang mengatur standar minimum perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta dan sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara-ngara berkembang.91
90 91
Rahmi Jened , 2014, Hukum Hak Cipta, PT citra Aditya Bakti, Bandung, h. 59. Suyud Margono, op.cit., h. 33.
85
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota konvensi berne memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta yaitu sebagai berikut 92 : a.
b.
c.
Prinsip National treatment Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptaan seorang warga negara dari negara peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cita yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri. Prinsip Automatix Protection Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun. Prinsip Independence of Protecticion Bentuk Perlindungan hukum hak cipta diberikan tanpa harus bergantung kepada pengatur perlindungan hukum asal pencipta
Terhadap standar-standar minimum perlindungan hukum hak ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan yang diberikan dengan pengaturannya adalah sebagai berikut : a.
Ciptaan yang dilindungi, yaitu semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apapun perwujudannya.
b.
Kecuali jika ditentukan degan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak eksklusif : 1) Hak untuk menerjemahkan, 2) Hak mempertunjukkan di muka umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, 3) Hak untuk mendeklamasikan di muka umum suatu ciptaan sastra, 4) Hak penyiaran
92
Suyud Margono, lo.cit.
86
5) Hak untuk membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun 6) Hak untuk menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan audiovisual 7) Hak untuk menyusun dan adapsi dari suatu ciptaan Di samping ketentuaan hak-hak eksklusif ini. Konvensi Berne mengatur sekumpulan hak yang dikenal dengan hak-hak moral yang dimaksudkan sebagai hak pencipta untuk mengklaim suatu ciptaan dan hak ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi atau menambah keaslian atau menambah keaslian yang dapat merusak reputasi pencipta. 3.
Konvensi Hak Cita Universal 1955 Konvensi hak cipta universal 1955 atau Universal Copyright Convention,
yang akan diuraikan secara khusus ini merupakan suatu hasil kerja PPB melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasi dua aliran paham filosofi berkenaan dengan hak cipta yang berlaku di kalangan masyarakat internasional. Sebagai kelompok masyarakat Internasional yang menganut Civil law system, berkelompok keanggotannya pada konvensi Berne dan di kelompok ada sebagaian anggota masyarakat internasional manganut Common law system, berkelompok pada konvensi-konvensi hak cipta regional yang terutama di Negara Amerika Latin dan Amerika Serikat. Pada Sekitar tahun 1880 yang mulainya diberlakukannya konvensi berne dan mulai berlakunya Undang-undang Hak cipta pertama di Amerika Serikat, di antaranya negara-negara Amerika Latin dan Amerika Serikat, mulai berlaku
87
konvensi-konvensi hak cipta yang ruang lingkup berlakunya hanya di kawasan dunia tersebut. 6 September 1952, untuk memenuhi kebutuhan adanya kesepakatan, lahirlah universal Copyright Convention (UCC) yang ditandatangani di Geneva dan kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955. Secara ringkas, garis-garis besar ketentuan-ketentuan paling signifikasi yang ditetapkan dalam konvensi ini adalah sebagai berikut : a.
b.
c.
d.
e.
f.
Adequate and Effective Protection Berdasarkan Pasal 1 Konvensi, setiap negara peserta perjanjian berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta. National Treatment Pasal II menetapkan bahwa ciptaan-ciptaan yang diterbitkan oleh warga negara dari salah satu negara peserta perjanjian dan ciptaan-ciptaan yang diterbitkan pertama kali di salah satu negara peserta perjanjian akan memperoleh perlakuan perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diberikan kepada warga negaranya sendiri yang menerbitkan untuk pertama kali di negara tempat dia menjadi warga negara. Formalities Pasal III merupakan manifestasi kompromistis dari UCC terhadap dua aliran paham yang ada, menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya, syarat-syarat tertentu sebagai formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti wajib simpan, pendaftaran, akta notaris atau bukti pembayaraan royalti dari penerbit akan dianggap merupakan bukti timbulnya hak cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan tanda © dan di belakangnya tercantum nama pemegang hak cipta. Duration of Protection Kesepakatan atas jangka waktu perlindungan yang ditetapkan pada Pasal IV Konvensi ini. Jangka waktu minimum sebagai ketentuan untuk perlindungan hukum sebelum pencipta ditambah paling sedikit 25 tahun setelah kematian. Translations Right Menurut ketentuan Pasal V konvensi, kesepakatan mencakup juga hak ekselusif pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan dari ciptaanya. Jurisdiction of International Court of Justice Berdasarkan Pasal XV suatu sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara anggota konvensi yang tidak dapat diselesaikan dengan
88
musyawarah mufakat dapat diajukan kemuka Mahkamah Internasional untuk dimintakan penyelesaian sengketa.
TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement merupakan dokumen yang mengikat Indoenesia yang telah meratifikasi persetujuan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Berdasarkan hukum internasional, persetujuan internasional yang telah di ratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara itu sendiri. Hakikatnya TRIPs mengandung empat kelompok pengaturan. Pertama dengan konsep perdagangan internasional. Kedua, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mematuhi Paris Convention dan Berne Convention. Ketiga menetapkan aturan atau ketentuan sendiri. Keempat yang merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum termasuk upaya upaya penegakan hukum yang terdapat dalam legalisasi negara-negara anggota. Prinsipprinsip dasar TRIPs dalam kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut 93: a.
b.
c.
d.
93
Standar Minimum TRIPs hanya memuat ketentuan-ketentuan minimum yang wajib diikuti oleh para negara anggotanya artinya, mereka dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang lebih luas. National Treatment Inti national treatment adalah pemberian perlakuan yang sama dalam kaitan dengan perlindungan kekayaan intelektual antara yang diberikan kepada warga negara sendiri dan warga lain. Most Favoured Nation Treatment Prinsip ini yang juga sudah dikenal dalam WTO Agreement berintikan pengertian bahwa pemberian sesuatu kemanfaatan , keberpihakan, hak istimewa atau kekebalan yang suatu negara anggota kepada warga dari suatu negara anggota lain harus diberikan juga kepada warga negaranegara anggota yang lain. Teritorialitas Walaupun national treatment dan MFN merupakan 2 Prinsip pokok titik tolak pelaksaan sistem hak kekayaan intelektual bernaung dalam
Achmad Zen Purba, 2011, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT alumni, Bandung, h.10.
89
e.
kedaulatan dan yurisdiksi masing-masing negara. Hak kekayaan Intelektual diberikan oleh negara atau sub divisi dalam suatu negara tidak oleh non negara. Kesehatan masyarakat dan Kepentiongan Publik Negara-negara anggota dalam menyesuaikan legislasi mereka berdasarkan TRIPs diberikan kebebasan untuk mengadopsi langkahlangkah penting perlindungan kesahatan.
“At mulitilareral level, the successful conclusion of the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) as a founding component of the World Trade Organization (WTO) elevates recognition and enforcement of IPRs to the level of inviolable international commitment. International efforts are also under way to enlarge intellectual property protection for critical new technologies, such as electronic commerce”.94 (Pada tataran multilateral, kesimpulan yang sukses dari TRIPs sebagai sebuah komponen pendiri dari WTO adalah sebagai pengakuan yang mengangkat dan menegakkan dari Hukum Hak Kekayaan Intelektual dari tataran persetujan internasional yang tidak dapat diganggu gugat. Upaya-upaya internasional juga sedang berlangsung untuk memperluas perlindungan kekayaan intelektual untuk pembahasan perkembangan teknologi baru, seperti transaksi elektronik). Perlindungan HKI didasarkan kepada beberapa alasan pembenaran. Beberapa alasan pembenar terhadap perlunya perlindungan terhadap HKI di antaranya kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, atau pun penemu di bidang teknologi baru baik harus diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan hukum hukum atas keberhasilan upaya dalam melahirkan karya baru. 94
Keith E.Maskus, 2000, Intellectual Property Rights In The Global Economy, Institute for International Economics, Washington DC, h. 1.
90
Maka atas usaha penemu yang telah mengeluarkan tenaga pikiran, waktu dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, kepadanya layak diberikan hak-hak eksklusif untuk mengeksplotasi HAKI dalam rangka memperoleh keuntungan ciptannya karyakaryanya ekonomis atas jerih payah telah dikeluarkannya. Insentistif diberikan untuk merangsang kreativitas dalam upaya menciptakan karya-karya baru di bidang teknologi seni dan ilmu pengetahuan, karena tanpa insentif kreativitas akan terhambat.95 Di bidang ciptaan diperlukan campur tangan negara dengan tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dengan kepentingan masyarakat dan juga kepentingan negara itu sendiri, untuk kepentingan tersebut dipergunakan cara membentuk undang-undang yang mengatur bidang ciptaan yang merupakan perjanjian antara rakyat dengan pemerintah sehingga pemerintahan termasuk kepada para pejabatnya, sehingga siapapun yang melanggar undang-undang wajib dilakukan penindakan. Hal ini sejalan dengan negara kita menganut paham negara hukum, bahwa semua tingkah laku warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di negara Indonesia sejak tahun 1982 telah mempunyai Undang-undang Hak Cipta yang bersifat nasional dan sekarang telah disesuaikan dengan ketentuan TRIPs, karena Indonesia ikut menandatangani perjanjian Putaran Urugay dalam rangka pembentukan WTO dan telah pula meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishiong The World Trade Organization. Setelah mengalami perubahan beberapa kali, Undang-undang Nomor 95
Budi Agus Riswadi & Siti Sumartiah, 2006, Masalah-masalah HAKI Kontemporer, Gita Negeri, Yogyakarta, h.4.
91
19 Tahun 2002 tentang Hak cipta dan sekarang Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.96 Dasar perlindungan motif tradisional diatur dalam beberapa aturan Hukum yaitu: 1.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 28 I (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal ini menegaskan bahwa ekspresi budaya tradisional dapat dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual masa depan yang terdapat dalam negosisasi berbasis teks di WIPO adalah keharusan bahwa objek itu merupakan salah satu unsur pemebentukan identitas budaya kelompok masyarakat. Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945: “Negara
menjamin
kebebasan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Pasal ini amat penting dalam merumuskan pengertian pemangku kepemilikan atas ekspresi Budaya tradisional yang berasal dari Indonesia karena dalam Pasal ini dinyatakan adanya kebudayaan Nasional Indonesia Hal ini memungkinkan berlakunya konsep komunitas Ekspresi Budaya Tradisional.
96
Gatot Supramono, op.cit., h.3.
92
2.
Undang-undang 28 tahun 2014 tentang Hak cipta pada Pasal 38UUHC:
(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. (2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya diatur dalam Pasal 39 UUHC : (1) Dalam hal Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut belum dilakukan Pengumuman Hak cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh Negara untuk kepentingan Pencipta. (2) Dalam hal Ciptaan telah dilakukan Pengumuman tetapi tidak diketahui Penciptanya, atau hanya tertera nama aliasnya atau samaran Penciptanya Hak cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh pihak yang melakukan Pengumuman untuk kepentingan Pencipta. (3) Dalam hal ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Pencipta dan pihak yang melakukan Pengumuman, Hak cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh Negara untuk kepentingan Pencipta. (4) Ketentuan Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku jika Pencipta dan/ atau pihak yang melakukan Pengumuman dapat membuktikan kepemilikan atas Ciptaan tersebut. (5) Kepentingan Pencipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri.
Objek dalam hak cipta merupakan ciptaan yang dilindungi dalam hak Cipta berdasarkan Pasal 40 UU Hak Cipta di atas. Melihat potensi hasil kerajinan di Indonesia sesungguhnya sangat menakjubkan, perkembangan kerajinan demikian pesat tentu saja hal ini tidak terlepas dari kemampuan kreasi intelektual para pengrajin yang mampu menuangkan idenya dengan kreatif dan inovatiaf. Akan tetapi
93
kemajuan dalam menghasilkan sebuah karya ternyata tidak diimbangi dengan pemahaman pengrajin atas aspek-aspek yang terdapat di dalam kerajinan tersebut.97 Berbicara kerajinan, penting kiranya diketahui bahwa kerajinan merupakan hasil karya dari pengrajin. Pengrajin pada dasarnya merupakan pelaku yang menuangkan
ide
dan
gagasan
sehingga
dapat
menghasilkan
sebuah
kerajinan.Pengrajin adalah subjek yang terdiri dari satu orang saja, sedangkan kalau subjeknya terdiri dari beberapa orang maka dinamakan para pengrajin. Karya yang dihasilkan oleh pengrajin di antaranya adalah berupa karya seni atau berupa desaindesain yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi produk kerajinan. Apabila merunjuk pada aturan bidang HKI , maka karya yang berupa seni lazimnya diatur dalam berdasrkan ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sedangkan untuk desain lazimnya diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Di dalam Undang-undang hak cipta tidak ada kata pengrajin namun istilah yang ditemukan dan sejalan dengan kata pengrajin ini dinamakan pencipta. Pengertian Pencipta sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UUHC “ Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan ciptaan berdasarkan kemampuan fikir, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk khas dan bersifat pribadi.98 Permasalahan yang mendasar Indonesia terdiri dari beratus-ratus pulau dan berjuta–juta kebudayaan belum mempunyai satu sistem pencatatan yang jelas terkait dengan kebudayaan asli Indonesia adanya klaim dari pihak asing atas membuat 97
Budi Agus Riswandi dan Shabhi Mahamashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, h. 23. 98 Ibid. h. 24.
94
Indonesia harus mengkaji lagi sistem hukum yang ada untuk dapat melindungi kebudayaan Indonesia. Salah contoh kasus pelanggaran hak cipta terhadap motif tradisional perak bali adalah ketika pengrajin perak dari Bali yang bernama I Ketut Deni Aryasa, seorang pengrajin perak Bali yang dianggap melakukan penjiplakan sebuah motif perak Bali yang dianggap melakukan penjiplakan sebuah motif tradisional yang telah ada selama beratus tahun, yang hak ciptanya dimiliki oleh seorang warga negara Kanada melalui perusahaannya di Indonesia yaitu PT Karya Tangan Indah. Padahal motif yang dibuatnya tersebut adalah motif batu kali dan motif bunga yang sering digunakan dan sudah dimiliki beratus-ratus tahun oleh masyarakat Bali ironisnya pendaftaran Hak cipta oleh PT Karya Tangan Indah tersebut melalui Dirjen HKI Republik Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara pengertian motif tradisional oleh beberapa pengrajin dan penggiat seni adalah sebagai berikut : Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dr.Tjorkorda Udiana Nindhia Pemayun, S.Sn, S.H, M.Hum ( Dosen Fakultas Seni Rupa Desain ISI) bertempat di Jalan Nusa Indah, Denpasar pada tanggal 16 April 2015, pengertian motif tradisional adalah gambaran dari beberapa bentuk yang distrilisasi atau digayakan oleh seniman menjadi sebuah bentuk. Ada juga motif merupakan gambaran awal yang ada pada benak seniman untuk mewujudkan suatu karya. Menurut beliau terdapat perbedaan konsep antara motif dan desain. Motif sudah tergambarkan dalam dua dimensi artinya motif tersebut sudah dituangkan dalam sebuah wujud. Sedangkan desain mewujudkan rancangan ide-ide dan gagasan yang masih bersifat abstrak yang kemudian diaplikasikan menjadi suatu perwujudan. Sedangkan kata tradisional
95
merujuk pada pengertian tradisi sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang atau berulang kali sampai finish. Motif tradisional sendiri dibagi menjadi berbagai jenis yaitu kekarangan , bebatuan, dan bunga. Dari Jenis kekarangan ini dibagi menjadi beberapa varian yaitu : karang asti, karang tapel, karang guak dan karang bentulu. Varian merupakan turunan dari jenis motif tersebut. (hasil wawancara tanggal 16 April 2015). Desak Nyoman Suarti (Ketua Forum Peduli Budaya Bangsa) bertempat di Jalan Raya Celuk No 100 Gianyar Bali. Suarti menyatakan, pengertian motif tradisional perak bali adalah gambaran yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan ditemui pada arsitektur bali. Motif tradisional perak bali bentuk atau ragam hias tradisional yang memiliki simbol ekspresi dan konstruktif tidak lepas dari filosofis spiritual agama Hindu sebagai narasi besar, unsur-unsur tersebut lebih menambahkan keyakinan yang mendalam pada perwujudannya. Karya seni memliki fungsi religius dan fungsi sosial terjaga dan tetap berkembang bersama dengan keberadaan agama Hindu, elemen estetika pada media ritual agama Hindu, sebagai simbol ekspresif individu dan simbolis ekspresif konstitutif, bermakna sakral dan dijadikan objek kreasi kreatif oleh pengrajin atau perkerja seni lainnya. Demikian halnya dengan mengolah bahan perak sesuai dengan pengalaman pengetahuan dan keterampilan sehingga mampu menciptakan desain perak. Dengan gambaran seperti di atas desain kerajinan perak yang diciptakan nasih tetap memiliki nilai trasidional. Dalam penciptannya tergantung dalam kemampuan daya kepekaan individu, sehingga perwujudannya menjadi variatif, pada hakikatnya motif ragam hias dijadikan
96
elemen-elemen estetika pada desain kerajinan perak di Desa Celuk sifatnya sakral.(hasil wawancara 9 April 2015). Untuk memahami pengertian motif tradisional, Nyoman Patra S.H., M.H., Ketua Asosiasi Perak Bali menyatakan terlebih dahulu harus ditentukan periode pemunculannya. Seperti batasan motif tradisional ini harus dibuat waktu dulu dari zaman prasejarah, yang secara sederhana dimulai dari zaman batu, zaman logam baru ke zaman perkembangan. Dengan demikian motif tradisional bisa juga merupakan hasil modifikasi dari zaman ke zaman, yang didapat dari pergaulan antar daerah antarnegara yang akan dimodifikasi oleh pengrajin. Dinyatakan, seni itu hasil kreativitas tidak bisa dikekang, yang nantinya mampu menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Demikian pula berbicara masalah kerajinan perak, motif kerajinan sebagai local genius tidak bisa diklaim 100 persen sebagai milik sendiri. Pada zaman kerajaan perak sangat bernilai tinggi karena perak digunakan sebagai perhiasan raja dapat dilihat dengan alat-alat persembahyang digunakan dengan material perak serta uang perak zaman dahulu disebut dengan uang slaka di sini perak sangat bernilai tinggi. Perkembangan di Bali mengenai kerajinan perak memiliki corak yang tersendiri di beberapa wilayah karena dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri contoh di wilayah Celuk dalam pengerjaannya kerajinan peraknya lebih menggunakan untuk aksesoris sehingga motif tradisional yang dipergunakan bertema kembali ke alam seperti motif flora dan fauna yang pengerjaannya menggunakan motif jawan, motif bun, motif kekarangan dan motif patra sehingga perkembangan perak di Gianyar lebih maju di banding daerah lain. Di Klungkung pengrajin perak
97
lebih mempruntukan hasil kerajinannya berupa perlengkapan sembahnyang seperti bokoran, tempat tirta, bunga-bunga untuk dipakai dalam upacara sehingga dalam penggunaan motif yang dipakai lebih menggunakan epic-epic pewayangan dan cerita kepahlawanan sehingga dalam menciptakan suatu kerajinan berupa tatahan yang berisi cerita-cerita pewayangan selain menyisipakan unsur pengetahuan juga menjaga warisan budaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketut Muja (Pengrajin Perak di Klungkung) bertempat di Banjar Pegal Tepan Desa Gelgel di Klungkung Bali pada tanggal 11 Maret 2015, Ketut
Muja
mengatakan, pengertian motif tradisional
berupa gambaran yang didapat secara turun-temurun yang dari leluhur. Di Klungklung di daerah Kamasan merupakan sentra kerajinan perak, pada zaman dahulu wilayah kamasan merupakan tempat belajar perak bagi yang ingin menekuninya. Di banjar Kamasan dibuat satu perkumpulan yang bertugas untuk mengajarkan bagaimana cara mengolah bahan perak ini menjadi suatu karya seni. Ketut Muja menceritakan bahwa dalam membuat kerajinan perak dahulu ayah dan pengrajin lain diajarkan oleh para senior tentang pengerjaan perak. Dalam mengerjakan barang kerajinan perak dapat dilakukan dengan diukir atau ditatah. Pengguna motif tradisional perak diperoleh dari pertukaran pengetahuan dari pengrajin satu dengan yang lain dan adanya perkawinan antara daerah yang satu dengan
yang lain membawa penambahan pengetahuan motif tradisional.
Sehingga apa yang diperoleh tentang motif tradisional perak dapat diwariskan secara turun-temurun pada anak cucu. Ketut Muja menyatakan dalam membuat
98
kerajinan perak menggunakan motif tradisional berupa cerita pewayangan serta motif flora dan fauna. Philipus M Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya menyelesaikan sengketa seperti penyelesaian sengketa di pengadilan hak cipta sebagai suatu sistem perlindungan hukum juga mempunyai jenis perlindungan sebagaimana pada diungkap oleh Hadjon. Dalam hak cipta mengenal adanya pendaftaran yang cendrung kepada perlindungan hukum secara preventif dan sistem hukum pidana untuk perlindungan secara represif, mengingat pidana merupakan suatu tindakan yang terakhir untuk menegakkan hukum.99 Perlindungan hukum terhadap motif tradisional sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta pada Pasal 38 : (1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. (2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
99
Budi Agus Riswadi, op.cit., h.12.
99
apabila ciptaan tidak diketahui sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 “Dalam hal ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut belum dilakukan Pengumuman, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh Negara untuk kepentingan Pencipta”. Negara adalah pemegang hak cipta atas ekspresi budaya yang menjadi milik bersama, maka siapa pun dapat meniru atau memperbanyak ciptaan tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu dari negara sebagai pemegang hak cipta asalkan yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia karena ikut dalam memiliki hak ciptanya. Dalam rangka melindungi hasil kebudayaan rakyat pemerintah dapat mencegah adanya monopoli dan komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa izin negara RI sebagai pemegang hak cipta. Untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Lain halnya apabila hendak memperbanyak hasil kebudayaan rakyat tersebut adalah warga negara asing karena yang bersangkutan bukan orang Indonesia sehingga tidak ikut memiliki hak cipta, maka wajib meminta izin terlebih dahulu dari negara sebagai pemegang hak cipta. Hal ini permohonan izinnya diajukan ke Menteri sebagai Negara Kebudayan dan Pariwisata, karena sebagai pihak yang mengurus kebudayaan di Indonesia.100 Suatu karya cipta dilindungi hak cipta pada saat ciptaan tersebut selesai dibuat dalam bentuk yang dapat dilihat, ada bentuk nyata. Beberapa kriteria agar ciptaan dapat dilindungi hak cipta :
100
Gatot Supramono, op.cit., h.16.
100
a.
Harus orisinil yaitu keasilan dari pencipta itu sendiri tidak mengcopy karya orang lain.
b.
Ada bentuk nyata atau kongkrit.
c.
Harus terdapat beberapa kreativitas dapat diperoduksi.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk membuktikan bila ada sengketa di Pengadilan : a.
Penempatan catatan Memberikan atau menempatkan catatan tanda peringatan pada ciptaan yang
dipublikasikan yang dikenal dengan “copyrightbug” ©. Dengan menempatkan tanda itu pada pada ciptaan yang dipublikasi tanpa pembatasan maka ciptaan dapat mencegah pihak lain dari pengcopyan ciptaan tanpa persetujuan serta tidak ada alasan bahwa ia tidak mengetahui bahwa ciptaan itu dilindungi hak cipta. Hal ini menjadi amat penting jika pencipta akan mencegah pelanggaran itu ke pengadilan. Akibat lainnya akan mudah mendapat ganti rugi. b.
Mendaftarkan ciptaan Pendaftaran ciptaan menjadikan semakin mudah bila ingin mengajukan
perkara kepengadilan dan mendapatkan biaya ganti kerugian dari pelanggar. Maksud dari pendaftaran ciptaan diatur dalam Undang-undang Hak cipta dimaksudkan menciptakan ketertiban dan keteraturan masyarakat di bidang hak cipta terutama dari segi administrasi. Tujuan pendaftaran hak cipta dari segi pemerintah sebenarnya untuk memberikan dokumen atau surat-surat yang menyangkut pendaftaran tersebut bentuknya bukan sertifikat melainkan surat tanda penerimaan pendaftaran dan petikan daftar umum ciptaan. Dengan pendaftaran itu memberikan akibat kepada
101
orang yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai penciptanya. Dari segi pihak yang mendaftar tujuannya adalah untuk kepentingan pembuktikan apabila di kemudian hari terjadi sengketa hak cipta atas ciptaan. Pencipta yang ciptaannya terdaftar cendrung lebih mudah untuk membuktikan hak ciptanya daripada ciptaan yang tidak terdaftar. Surat-surat yang berkaitan dengan pendaftaran ciptaan dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti yaitu berupa bukti tulisan di persidangan pengadilan. Alat bukti tulisan merupakan bukti yang diutamakan dalam perkara perdata dibandingkan alat-alat bukti lainnya. Pada prinsipnya sebuah surat sengaja dibuat untuk kepentingan pembuktian sebuah peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Setiap bentuk kekayaan intelektual termasuk hak cipta didalamnya masyarakat tradisional patut diberikan perlindungan adupun alasan mengapa hak cipta perlu dilindungi berdasarkan pendapat Mieke Komar dan Ahmad M Ramli mengemukakan tiga alasan101 : 1.
2.
101
Bahwa hak yang diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra, iventor di bidang teknologi baru yang mengadung langkah inventif merupakan wujud dari pemberian penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan konsekuensi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu atau pencipta dan kepada mereka yang melakukan krativitas dengan mengerahkan segala kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk mengeksploitasi hak cipta tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya; Terdapatnya sistem perlindungan hak kekayaan intelektual yang dengan mudah dapat Di akses seperti contohnya pendaftaran hak cipta yang terbuka.Penemu berkewajiban untuk menguraikan cara pendaftaran yang terperinci yang memungkinkan orang lain dapat mengerti dan memahaminya.
Afrillyana Purba, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Ekonomi Indonesia, Alumni, Bandung, h. 36.
102
3.
Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan yang bersifat rintisan dapat membuka kemungkinan pihak lain untuk mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu.
Berdasarkan pendapat Achmad Zen Umar Purba mengemukakan alasan perlunya HKI dilindungi oleh hukum adalah alasannya yang bersifat non ekonomis, menyatakan bahwa perlindungan hukum akan memacu mereka yang mengahasilkan karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreatifitas intelektual. Hal ini akan meningkatkan self actualization pada diri manusia. Masyarakat hal ini akan berguna untuk meningkatan perkembangan hidup mereka.102 Dari sisi Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual setiap hasil karya cipta yang bersifat orginal, berwujud dan dapat diproduksi harus diberikan perlindungan hukum sebagai penghargaan terhadap pencipta atas karya yang diciptakan. Faktanya di masyarakat pengrajian perak di Bali belum optimalnya perlindungan didapat oleh pengrajin dalam berkarya adanya klaim kepemilikan motif tradisional oleh pihak asing yang merugikan pengrajin. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta berdasarkan 38 ayat 1 “ Hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara”. Faktanya adanya bukti kepemilikan motif tradisional Bali seperti motif batu kali dan bunga yang didaftarkan oleh Pihak John Hardy dalam bentuk hak cipta membuat masyarakat Indonesia kecolongan akan lolosnya surat kepemilikan yang diterbitkan oleh Dirjen HAKI tanpa melihat nilainilai kebudayaan yang ada di masyarakat. Teori Perlindungan HKI sebagai pisau analisa dalam penulisan tesis ini yang oleh Robert M Sherwood memberikan pemamparan akan teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
102
Achmad Zen Umar Purba, op.cit., h.7.
103
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat teori dasar perlindungan hak kekayaan intelektual oleh Robert M. Sherwood, yaitu103 : 1. Reward Theory, yang memiliki makna sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektualitas yang telah dihasilkan oleh seorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut. 2. Recovery Theory yang menyatakan bahwa penemuan pencipta/ pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut. 3. Incentive Theory, yang mengkaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para penemu/pencipta atau pendesain tersebut. Berdasarkan teori insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan penelitian yang berguna. 4. Risk Theory, yang menyatakan bahwa suatu karya mengadung resiko. HKI yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengadung resiko yang dapat memungkinkan orang lain terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan demikian orang yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengadung resiko tersebut. 5. Economic Growth Stimulis Theory, yang mengakui bahwa perlindungan atas HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi dan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan atau HKI yang efektif.
Maka pada dasarnya dalam membuat suatu karya cipta perlu pengorbanan seperti pemikiran, ide tenaga waktu dan uang dalam mewujudkannya sehingga sepantasnya karya cipta yang dihasilkan memperoleh perlindungan. Cara untuk mendapatkan perlindungan mendaftarkan hasil karya cipta ke Jendral HAKI/melalui konsultan HAKI/melalui Departemen Hukum dan HAM. Agar memperoleh perlindungan hukum tujuannya agar apabila terjadi gugatan pelanggaran hak cipta
103
Eva Damayanti, 2012, Hukum Merek Tanda Produk Industri Budaya Dikembangkan dari Ekspresi Budaya Tradisional, Alumni, Bandung, h.61.
104
memiliki bukti dengan melampirkan bukti kepemilikan atas motif yang diciptakan. Oleh karena itu
perlindungan hak cipta penting dilakukan, agar pencipta
memperoleh perlindungan hukum
sehingga
adanya surat bukti kepemilikan,
pencipta memiliki hak eksklusif terhadap suatu karya artinya pencipta bebas mengumumkan/memperbanyak karya ciptanya, serta pencipta memiliki hak melarang orang lain dalam menggunakan karya ciptanya yang telah terdaftar. Dikeluarkan surat kepemilikan terhadap hak cipta suatu karya merupakan penghargaan yang diberikan oleh negara terhadap pencipta atas pengorbanan yang dirasakan selama membuat karya cipta, dengan telah memiliki surat kepemilikan terhadap karya cipta memiliki manfaat bahwa apabila ada gugatan dapat menunjukan surat kepemilikan atas karya cipta sebagai pembuktian, dari segi eknomi adanya perlindungan hak cipta mendapat royalti apabila ada yang memperbanyak karya cipta tersebut selain memperoleh manfaat atas hasil penjualan karya cipta memperoleh juga keuntungan dari kepemilikan hak cipta terhadap suatu karya cipta yang telah didaftar. Serta adanya jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta selama 70 tahun sehingga pencipta memiliki rasa aman dalam berkarya. Dengan demikian betapa pentingnya teori Perlindungan HKI dalam suatu karya cipta. Pengrajin perak untuk mendapatkan perlindungan hukum harus mendaftarkan hasil karya ciptanya bisa di Direktorat Jendral HAKI atau Departemen Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia di Provinsi. Berdasarkan wawancara pada tanggal 8 April 2015 dengan Surya Dharma (selaku penyidik PPNS masalah HAKI) di Kantor Kementrian hukum dan HAM Provinsi Bali menyatakan, dalam pengurusan
105
pendaftaran hak cipta pengrajin belum ada yang mendaftarkan karya cipta, di sini paling banyak yang mendaftarkan Desain Industri, Paten dan Merek. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pengrajin adapun alasan yang diberikan oleh para responden dapat diketahui dari keterangan-keterangan sebagai berikut : Ketut Muja, pengrajin emas dan Perak Banjar Pegan Tepan desa Gelgel di Klungkung, mengatakan tidak mendaftarkan hasil karya ciptanya pada dasarnya kerajinan yang dibuat, dalam proses pembuatan kerajinan perak memakai motif tradisional yang didapat secara turun-temurun yang diubah beberapa bagian saja. Hal ini tentu tidak mungkin untuk didaftarkan kerajinannya. Serta dalam pengerjaanya, sering berinteraksi dengan pengrajin di daerah Klungkung untuk membagi informasi motif yang bagus digunakan pada pengerjaan barang serta saling bertukar pandangan mengenai tentang barang yang
dikerjakan. Sehingga Ketut
Muja menyatakan tidak melakukan pendaftaran hak cipta apabila melakukan pendaftaran kerajinan tentu teman-teman pengrajin merasa marah dan kecewa padanya mengakui kepemilikan motif secara sepihak, padahal
didapat secara
bersama-sama dari warisan leluhur sehingga adanya rasa takut akan terjadi perselisihan dan dikucilkan. I Nyoman Sugiarta, pengrajin perak dan emas banjar Pande emas Klungkung menyatakan pendapatnya sebagai berikut, Suagiartha sebenarya ingin mendaftarkan hasil karya kerajinan perak yang dia buat di dalam pengerjaan kerajinan perak yang ia buat merupakan hasil kreasinya sendiri tetapi terbenturnya susahnya mendaftarkan karya cipta pada pemerintah memerlukan waktu lama mengerjakannya serta syarat
106
kelengkapan pendaftarannya sangat rumit membuat Sugiartha malas untuk mengurus pendaftarannya. Hasil wawancara dengan Bapak Nyoman Jero, pengrajin emas perak di Banjar Tabanan Kamasan Klungkung, menyatakan sebagai berikut : Tidak mendaftarkan kerajinan yang ia buat karena pemerintah belum mensosialisasikan proses pendaftaran karya cipta sehingga kurangnya pengetahuan akan pentingnya hak cipta akan suatu karya kerajinan yang ia buat. Dalam hal tersebut membuatnya tidak mengetahui cara mendaftarkan karya cipta seperti apa. Hasil wawancara dengan Bapak Wayan Putra, Pengrajin perak di Banjar apuan Singapadu. Putra menyatakan tidak mendaftarkan hak cipta karena apabila mendaftarkan karya cipta dianggap saklek, serta dengan melakukan pendaftaran karya cipta tidak enak dengan pengrajin lain, karena pengrajin biasa hidup berbagi satu sama lain pola hidup kebersamaan mengajarkannya untuk sering mengisi satu dengan yang lain sehingga sehingga kalau ada pendaftaran hak cipta akan ada gejolak pada pengrajin yang berujung permusuhan. Hasil wawancara dengan Wayan Sukadana, Banjar Tegal Singapadu. Menyatakan bahwa dalam membuat kerajinan perak sudah lama ditekuninya dari SMP, bahkan sering mengajarkan anak-anak di desa tempat ia tinggal untuk membuat kerajinan perak ketika murid yang ia ajarkan membuat kerajinan perak lebih bagus dari padanya, timbul perasaan bangga bisa menciptakan generasi baru sehingga kerajinan perak tidak terhenti. Sukadana tidak berniat mendaftarkan hasil kerajinan perak yang ia buat, karena merasa senang apabila kerajinanya dipergunakan oleh teman pengrajin dan muridnya. Hal tersebut memiliki anggapan
107
bahwa kerajinan perak yang
dibuatnya
layak untuk dipasarkan sehigga dapat
membantu pengrajin lain untuk penghasilan serta memotivasi untuk mengerjakan perak yang lebih baik. Wayan Nano, Pengrajin dari banjar Kebon, Singapadu. Menyatakan, tidak mendaftarkan karya ciptanya karena
terbiasa berbagi dengan pengrajin, malah
dengan senang hati mengajarkan orang yang ingin belajar perak dengan pengetahuan dan pengalaman yang ia punya. Mengajarkan pada masyarakat bahwa dalam berkarya tidak sendiri sehingga tidak ada salahnya berbagi dengan orang lain selain mendapat pahala ada rasa senang membantu orang lain. I Nyoman Patra perak dari Celuk, menyatakan
pandangan
terhadap
pendaftaran hak cipta, bagus kalau mau mendaftarkan kerajinan perak tetapi ada 2 faktor yang membuatnya tidak mendaftarkan karya saya, pertama birokrasi yang tidak cepat, tidak transparan membuat pengrajin malas melakukan pendaftaran relatif waktu melakukan pendaftaran yang lama dalam pengurusan pendaftrannnya membuat kita harus bolak-balik untuk mengerjakannya serta tidak sistematisnya pelayaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pendaftaran pengcekan berkas satu-satu diberi kekurangan untuk di lengkapi tentu ini mengorbankan waktu bagi pengrajin untuk mengurusinya karena belum mempersiapkan diri untuk pameran, kerjaan adat, pengurusan pemesanan perak pelanggan dan penciptaan kerajinan perak yang lain. Hal seperti ini yang membuatnya enggan mengurusinya. Faktor yang kedua kalau daftarkan hasil karya cipta secara individu membuat para pengrajin lain merasa tersaingi sehingga timbulah perselisihan merasa hasil karyanya dirampas sehingga timbul persaingan tidak sehat sehingga pendaftaran hak cipta ini
108
merupakan keuntungan atau kutukan. Di mana keuntungan kita mendaftarkan karya cipta ini kalau kita mendaftarkan hak cipta dan memperolah sertifikat hak cipta apabila ada yang meniru karya cipta kita, bisa di lakukan gugatan dan meminta ganti rugi dan adanya royalti, dan sebagai kutukan kita harus bertengkar dengan rekan pengrajin kita sendiri untuk sebuah pengakuan karya cipta. 3.3 Aspek Perdata dan Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan Negara Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak cipta ada dua model perlindungan yang diberikan, yakni : pertama perlindungan preventif yang bersifat pencegahan dan perlindungan represif berupa tindakan hukum. Model perlindungan hukum represif ini berupa gugatan ke Pengadilan Niaga atau alternatif penyelesaian sengketa untuk perkara perdata sedangkan tuntutan ke Pengadilan Negeri dengan melibatkan aparat penegak penegak hukum seperti polisi dan jaksa untuk sengketa pidananya. Perlindungan hukum yang bersifat perdata dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta yang dapat dimintakan dalam gugatan merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan secara khusus, gugatan semacam ini dapat dilakukan ke Pengadilan Negeri dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Namun karena kini telah ditentukan secara khusus maka sengketa perdata mengenai hak cipta berdasarkan hukum hak cipta menjadi kewenangan Pengadilan Niaga semata. Penggunaan hak cipta tanpa hak dapat digugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) sebagai pihak penggugat harus
109
membuktikan bahwa tergugat melanggar hukum dan penggugat mengalami kerugian. Pemilik mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang melanggar haknya, berupa pebuatan permintaan ganti rugi dengan penghentian perbuatan pelanggar tersebut. Sebelum si pelanggar harus diberi teguran terlebih dahulu artinya diberi tahu bahwa ia telah melanggar hak orang lain. Gugatan ganti rugi ini dapat pula dilakukan oleh penerima lisensi, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan lisensor yang bersangkutan. Hak mengajukan gugatan ini tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan tindak pidana asalkan adanya pengaduan dari penggugat karena merasa dirugikan berdasarkan peraturan Undang-undang Hak Cipta yang terbaru tindak pidana di bidang hak cipta merupakan delik aduan. Hakim dalam pemeriksaan gugatan mengenai hak cipta, seperti biasanya juga dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan perdagangan barang atau jasa yang menggunakan hak cipta orang secara tanpa hak tersebut atas permintaan pihak penggugat. Permintaan ini dikenal sebagai tuntutan provisi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata. Dalam hal tergugat dituntut pula menyerahkan barang yang menggunakan hak cipta secara tanpa hak hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang, atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum. Tuntutan di atas berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak seseorang yang lebih banyak bersifat dalam hubungannya dengan perbuatan atau pemakaian hak cipta, selaian itu pula ada tuntutan gugatan yang berkaitan dengan pendaftaran hak.Tuntutan ini seperti gugatan pembatalan pendaftaran. Di Indonesia gugatan
110
pembatalan pendaftaran sesuatu hak cipta diajukan oleh yang berkepentingan ke Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar Pengadilan. Tindak pidana terhadap hak atas kekayaan intelektual telah berubah tidak hanya melindungi pribadi tetapi juga melihat kepentinga negara dan masyarakat. Penonjolan adanya perlindungan untuk kepentingan masyarakat melengkapi dampak yang diberikan terhadap perlindungan yang sifatnya individual. Hal ini terlihat dari salah satu pertimbangan Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yaitu pelanggaran hak cipta telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan perekonomian masyarakat pada umumnya, serta merugikan pencipta atau pemegang hak cipta pada khususnya. Tipeologi tindak pidana terhadap hak atas kekayaan intelektual yang berupa hak cipta yang di kelompokan ke dalam satu jenis kejahatan ekonomi yaitu berupa property crimes maksudnya perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan harta benda/kekayaan intelektual paling tidak mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a.
Perbuatan dilakukan kerangka kegiatan ekonomi.
b.
Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan negara atau masyarakat secara umum tidak hanya kepentingan individu saja.
c.
Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang merugikan perusahaan lain atau individu lain.
d.
Perbuatan
bisa
dilakukan
seseorang
atau
korporasi
didalam
pekerjaannya yang sah atau dalam usahanya di bidang industri lain.
111
Perlindungan mengenai hak cipta sangat diperlukan dalam penggunaan hukum pidana dalam hak cipta tujuannya mengenai anacaman sanksinya sangat lama tujuannya menimbulkan efek jera agar tidak melakukan pelanggaran. Dalam UUHC dimuat pula dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Tindak pidana hak cipta yang ditempatkan dalam Pasal 113 dan. Tindak pidana Hak Cipta dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum pencipta atas inspirasinya yang melahirkan hak cipta. Tindak Pidana Mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan orang lain Pasal 117 jo Pasal 1 angka 1 Pasal 1 angka 1 ditunjuk oleh Pasal 117 ayat 1 sebagai berikut : (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 117 ayat 1 yang menyatakan “ Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana Pasal 1 angka …….” digabungkan dengan rumusan Pasal 1 angka 1 dapat dirumuskan sebagai berikut : Barang siapa dengan sengaja melakukan dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi dipidana paling lama 1 (tahun) dan atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
112
Jika tindak pidana tersebut dirinci maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut : Unsur Subjektif 1. Kesalahan
: dengan sengaja
Unsur-unsur objektif 2. Melawan hukum : tanpa hak 3. Perbuatan
: (1) mengumumkan (2) memperbanyak
4. Objek
: ciptaan hak orang lain
1. Kesalahan : dengan sengaja Tindak pidana yang secara tegas mencatumkan unsur sengaja selalu mengadung arti bahwa si pembuat ingin mewujudkan perbuatan yang dilarang dalam rumusan dan mengetahui semua unsur yang letaknya di muka unsur sengaja. Berdasarkan Pasal 117 jo Pasal 1 angka 1 adalah pembuat hendak mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan hak orang lain. Pembuat mengerti bahwa objek apa yang diumumkan atau diperbanyaknya adalah ciptaan orang lain. 2. Melawan hukum tanpa hak Jika unsur melawan hukum tersebut dihubungkan dengan unsur kesalahan (sengaja) yang letaknya mendahului unsur melawan hukum maka sifat melawan hukum perbuatan juga menjadi tujuan kesengajaan. Dalam hal ini diperlukan kesadaran pembuat bahwa mengumumkan dan atau memperbanyak suatu ciptaan yang telah dilakukannya tersebut melawan hukum. Kesadaran seperti itu harus ada dan dibuktikan melalui fakta hukum bahwa ciptaan yang ada dan dibuktikan melalui
113
fakta hukum bahwa ciptaan yang diumumkan atau diperbanyak oleh pembuat terbukti sebagai ciptaan orang lain atau pemegang hak ciptanya. 3. Perbuatan : mengumukan dan memperbanyak Unsur perbuatan ada dua, yakni mengumumkan dan memperbanyak. Perbuatan mengumumkan sifatnya abstrak, terdiri atas berbagai wujud dan cara dengan menggunakan alat tertentu maupun tidak. Perbuatan memperbanyak adalah melakukan perbuatan dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa alat atau menggunakan alat terhadap suatu hasil ciptaan hak orang lain, baik sebagian atau keseluruhannya
dengan
menggunakan
bahan
sama
atau
tidak,
termasuk
mengalihwujudkan secara permanen. 4. Objek : hasil ciptaan hak orang lain Objek tindak pidana Pasal 117 ayat 1 jo 1 angka 1 ialah hasil ciptaan orang lain. Adapun hubungan antara si pencipta dengan hasil ciptaannya. Hubungan itu berupa hak cipta. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Arti hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin atau kehendak pemegang. Untuk membuktikan pemegang hak cipta tidak selalu dengan membuktikan telah terdaftarnya ciptaan di dalam Daftar Umum Ciptaan Dirjen HAKI. Berbeda dengan pembuktian Pemegang Hak Paten atau Hak Merek yang harus didaftar agar mendapat perlindungan hukum. Fakta telah terdaftarnya Paten atau Merek di Dirjen HAKI dan mendapatkan Sertifikat, satusatunya bukti terkuat yang membuktikan pemegang haknya. Karena hak cipta ini lahir secara otomatis . Pendaftaran hak cipta bersifat fasilitatif dan formalitas belaka;
114
berfungsi sebagai iventarisasi bagi negara. Akan tetapi jika telah dicatat dalam daftar umum ciptaan di Direktorat Jendral HAKI dapat digunakan oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan hak cipta atas ciptaan pencipta apabila terjadi sengketa hukum hak cipta. Sebagai acara menyeimbangkan kepentingan antara peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI berdasarkan pada prinsip : a.
Prinsip Keadilan Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari
kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun immateril seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya.Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang disebut dengan hak. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak tersebut pada pemiliknya. Menyangkut HKI maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu adalah penciptaan yang mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. b. Prinsip Ekonomi HKI itu merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang akan mendapatakan kehidupan manusia. Maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, HKI merupakan
115
suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti dan technical fee. c. Prinsip Kebudayaan Mengkonsepsikan bahwa karya manusia itu pada hakekatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup selanjutnya dari karya itu pula akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghsilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan dana perkembangan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan mertabat manusia. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HKI adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat uuntuk mendorong melahirkan ciptaan baru. d. Prinsip Sosial Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang terdiri dari sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam satu kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan itu,tetapi pemberian hak kepada perseorangan atas persekutuan itu diberikan dan diakui oleh hukum itu. Dari keseluruhan prinsip yang melekat pada hak kekayaan intelektual, di setiap negara penekanannya selalu berbeda-beda. Berbeda sistem hukumnya, sistem
116
politiknya dan landasan filosofinya, berbeda pula pandangan-pandangan terhadap prinsip tersebut. Perlindungan negara dalam masalah hak cipta dalam adapun faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum, menurut soerjono Soekanto ada yaitu: 1. Faktor Hukum Undang-undang Hak cipta sudah sangat bagus melakukan perlindungan hukum karya cipta tehadap kerajinan perak masalah yang ada adalah tidak semua ketentuan dalam aturan yang ada dalam Undang-Undang Hak Cipta bisa dipenuhi oleh pengrajin, karena hak cipta bukan berasal dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, tapi nilai-nilai dari barat yang menjelma dari sistem hukum keperdatanya sehingga penerapan hak tesebut dalam masyarakat menimbulkan pertentangan nilainilai budaya tradisional adanya pelanggaran menurut ketentuan undang-undang tapi dalam nilai-nilai budaya masyarakat tidak dianggap pelanggaran hak cipta. 2. Faktor Aparat Penegak Hukum Berdasarkan permasalahan berkaitan dengan faktor aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan Undang-undang Hak cipta berdasarkan hasil wawancara dengan Surya Dharma, selaku Penyidik dalam kasus HKI peran aparat penegak hukum sangat terbatas karena dalam Undang-undang hak cipta sangat terbatas dengan adanya delik aduan, di mana aparat harus menunggu dulu ada laporan dari pengrajin yang merasa dirugikan, aparatpenegak hukum baru melakukan proses penyidikan dengan tidak adanya laporan aparat tidak dapat aktif dalam melakukan perlindungan. Pada undang-undang sebelumnya, delik biasa sehingga aparat dapat aktif melakukan proses hukum apabila ada pelanggaran karena aparat sendiri yang mencari sendiri ke lapangan kasus apa yang menjadi pelanggaran tanpa perlu adanya laporan.
117
3. Faktor Sarana yang Tersedia. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperlengkap sarana penegak hukum dengan peralatan yang canggih untuk dapat mendeteksi pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Kenyataannya sarana untuk penegakkan hukum kita masih tergolong tidak memadai. Contoh dalam kasus Deni di atas adanya klaim kepemilikan motif fleur oleh pihak asing padahal itu merupakan motif tradisional perak Bali yang menjadi warisan budaya bisa dimiliki kepemilikannya oleh orang asing, dengan pihak asing mendahului mendaftarkan motif tradisional kita dia bisa mendaftarkan bukti kepemilikan tersebut tentu sangat disayangkan kinerja pemerintah dalam meloloskan kepemilikan motif fleur, pada orang asing padahal itu miliki budaya kita sendiri tentu kinerja pemerintah dipertanyakan dalam memberikan perlindungan hak cipta, tidak bisanya membedakan motif tradisional dengan motif yang baru. 4. Faktor Masyarakat Pengetahuan masyarakat dan kesadaran hukum masyarakat di bidang hak cipta dapat dikatakan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya masyarakat pencipta mendaftarkan karya ciptanya ke Direktorat Jendral HAKI untuk mendapat perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta. 5. Faktor Budaya Faktor budaya juga memegang peran di dalam penegakan hukum hak cipta. Hak cipta sebagai hak eksklusif (khusus) tidak mempunyai akar dalam kebudayaan Indonesia maupun dalam sistem hukum adat. Nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia mendasari pemilikian
118
individu terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam ilmu, maupun seni adalah nilai budaya barat yang masuk dalam sistem hukumnya. Budaya Hukum masyarakat Bali tidak sesuai dengan hukum yang bersumber dari peraturan Perundang-undang di bidang hak cipta, persoalan ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya masyarakat pendukungnya, masyarakat Bali bersifat religius komunal, sedangkan peraturan hak cipta mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu. Pandangan masyarakat yang berbeda yang muncul berkenaan dengan rezim HAKI di atas hakikatnya mencerminkan masyarakat barat melihat bahwa sumber daya yang terdapat dimuka bumi sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi. Sebaliknya masyarakat tradisional memandang bahwa manusia hanyalah bagian dari sumber daya yang terdapat di bumi ini. Di sini masyarakat modern kekayaan individu merupakan hasil kreasi dan penemuannya sendiri oleh masyarakat tradisional dianggap sebagai milik bersama karena diperoleh dan berasal dari lingkungan masyarakat.104 Harapan dari pengrajin terhadap perlindungan hak cipta berdasarkan wawancara sebagai berikut : 1. Ibu Desak Nyoman Suarti Pemerintah
agar
segera
turun
tangan
membantu
pengrajin
dalam
mendaftarkan karya cipta serta memfasilitasi pengrajin dalam mengurus karya kerajinannya dan membuat data base dengan menginvatarisasi kerajinan yang ada agar tidak ada lagi khusus seperti terdahulu lagi. Pengrajin harus segera daftarkan hasil kerajinannya karena masalah hak cipta merupakan isu internasional apabila 104
Agus Sardjono, 2010, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung , h.142.
119
sampai hasil kerajinan negeri di klaim pihak asing barang yang dibuat akan di blacklist keberadaannya di luar negeri sehingga kita tidak bisa melakukan ekspor, Suarti berharap pengrajin yang lain mengikuti jejaknya yang sudah mendaftarkan 150 model barang yang saya ciptakan dalam pendaftaran hak cipta. 2. Nyoman Patra Harapan Nyoman Patra, kedepan agar pemerintah lebih jelas mendefinisikan hak cipta dengan pengklasifikasikan seni itu seperti apa. Pengurusan Hak cipta agar dipermudah dengan cara melakukan secara sistematis tidak bolak-balik, serta dalam pemerintah menerbitkan bukti kepemilikan hak cipta dalam pendaftarannya pemerintah harus mengirim petugasnya untuk mengecek keasliannya tidak serta merta menerbitkan saja surat bukti kepemilikan tidak melihat situasi di lapangan apakah orang tersebut memang benar pencipta jangan sampai karena dia punya modal lebih besar dan duluan mendaftarkan dia yang dapat padahal pencipta yang sebenarnya bukan orang tersebut. 3. Ibu Sudana Harapan Sudana, agar Pemerintah segera membuat anggaran melakukan sosialisi Hak cipta untuk membentuk suatu instansi pemerintah yang mengurus pengrajin untuk diberikan pengetahuan umum tentang hak cipta. Sehingga adanya komunikasi antara pemerintah dan pengrajin. Serta adanya interaksi sesama pengrajin untuk sama-sama mendaftarkan produk kerajinannya.
120
BAB IV ASPEK BUDAYA HUKUM PENGRAJIN PERAK BALI TERHADAP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
4.1 Gambaran Umum Budaya Hukum Pengrajin Perak Bali di Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung Komitmen nilai mencerminkan atau rangkuman keseluruhan nilai sosial budaya yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Lebih jauh hal ini ditemukan dalam wujud sikap, pandangan serta tujuan yang hendak dicapai yang mempengaruhi pelaksanaan hukum. Komitmen nilai bukanlah hasil dedukasi dari substansi dan struktur, maksudnya tidak dapat digali secara ideal dan rasional pada bangunan yuridis formal namun secara empiris dan bermakna dari falsafah, nilai dan pandangan suatu masyarakat. Secara kongkrit termasuk di dalamnya adalah rasa respect dan tidak respect terhadap kebijaksanaan atau keputusan normatif ditetapkan oleh Pemerintah. Demikian pula, kesediaan orang menggunakan memanfaatkan (atau sebaliknya menentang) prosedur serta keputusan yang ditetapkan birokrasi formal karena lebih suka memilih cara-cara informal pemenuhan hak. Pembahasan sistem budaya yakni keseluruhan faktor yang menentukan peraturan atau kebijakan memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat pada umumnya. Komitmen nilai budaya merupakan faktor
120
121
penggerak pelaksanaan hukum, nilai sosial budaya dalam masyarakat itulah yang dapat menjelaskan keberhasilan pelaksanaan hukum. Terbentuknya budaya hukum melalui suatu proses memerlukan waktu yang lama. Suatu budaya terbentuk melalui proses yang panjang bahkan bertahun-tahun. Menurut Koentjaraningrat, suatu budaya terbentuk melalui proses antara lain: Internalisasi, sosialisasi, dan ekulturasi. Internalisasi adalah proses penanaman nilainilai budaya dalam pribadi seseorang penanaman nilai-nilai budaya terhadap polapola tindakan dalam interaksi dengan masyarakat yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Ekulturasi adalah seseorang mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adatistiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan hukum yang hidup dalam kebudayaannya. Demikian halnya dengan pembentukan budaya hukum sebagai bagian norma hukum yang mengatur masyarakat tidak dapat lepas dari proses internalisasi, sosialisasi dan ekulturasi (pembudayaan) hukum terhadap masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.105 Dengan demikian sesungguhnya sistem budaya dapat diartikan sebagai sikap dan nilai yang memberikan pengaruh (positif ataupun negatif) kepada tingkah laku yang bertemali dengan hukum dan pranata-pranata hukum. Kajian ini memasuki segi esensi dalam sistem hukum. Telaahnya mengacu pada nilai, sikap, tanggapan, hingga makna dalam aksi sosial. Bukan berarti keluar dari kajian hukum, di sini hukum tidak dipersepsi sebagai satu sistem aturan dan pola penerapan secara formal, melainkan mengenai akar yang lebih dalam dari suatu kehidupan berhukum. Karena upaya
105
Budi Agus Riswandi, op.cit., h. 180.
122
itulah yang lebih mendekatkan pemahaman mengenai kualitas hidup berhukum warga masyarakat. Masyarakat patuh kepada hukum bukan sekedar takut atau harus patuh secara normatif, melainkan menyadarinya sebagai bagian dari martabat dan kehormatan pribadi. Guna lebih memahami akar budaya masyarakat yang mencerminkan komitmen nilai budaya.106 Dari kerangka fungsional fungsi sistem kebudayaan dalam pelaksanaan hukum, antara lain : 1.
Mengakui hak masyarakat dan sekaligus membina komitmen umum warga masyarakat.
2.
Menentukan arah yang dijadikan dasar bagi aparat pelaksana dalam penegakan hukum.
3.
Menetapkan pedoman dan landasan bagi perumusan dan pelaksnaan hukum.107
Menurut Darmodihardjo dan Shidarta, budaya hukum sebenarnya identik dengan pengertian kesadaran hukum, yaitu kesadaran hukum dari subjek hukum secara keseluruhan. Mengutip pendapat Hartono yang diambil dari pendapat ahli hukum Belanda Scmid, mereka membedakan antara perasaan hukum (rechtsgevoel) dan keasadaran hukum (rechtsbewutzjin). Penilaian masyarakat yang timbul secara spontan merupakan perasaan hukum, sedangkan kesadaran hukum adalah abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu subjek hukum. Subjek hukum tersebut dapat
106
Anang Husni, 2009,
h.206-208. 107
Ibid. h. 211.
Hukum, Birokrasi dan Budaya, Genta Publishing, Yogyakarta,
123
berupa individu, sekelompok individu (masyarakat) dan juga badan hukum tertentu.108 Inti dari konsep dari gambaran budaya hukum yaitu seperangkat pengetahuan dan nilai-nilai (values) yang dianut kelompok orang yang dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan/prilaku yang terkait dengan hukum. Dalam uraian konsep budaya hukum dapat dibedakan menjadi budaya hukum internal dan eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti : polisi, jaksa, advokat dan hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya menangani perkara hukum. Budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya, yakni sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan yang diberlakukan terhadap mereka pada umumnya.109 Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat dikonstruksikan budaya hukum pengrajin perak yaitu seperangkat pengetahuan, nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh komunitas pengrajin perak untuk pedoman dalam mentaati peraturan hukum. Budaya hukum dari pengrajin merupakan mesin yang dapat menggerakkan pengrajin untuk bertindak sebagai pihak dalam mendaftarkan karyanya ke dalam sistem perlindungan HKI. Hukum sebagai bagian dari kaidah sosial tidak lepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tidak lepas dari sikap-sikap dan sifat-sifat orang yang menjadi anggota masyarakat. Sehingga 108 109
M. Syamsuddin, op.cit., h. 32. M. Syamsuddin, op.cit., h. 34.
124
merujuk pada uraian di atas, pembahasan nilai akan erat kaitannya dengan hukum yang menjadi inti konsep budaya hukum. Andreas Dananjaya berpendapat bahwa nilai adalah pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai sesuatu yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Nilai dibedakan menjadi nilai subjektif dan nilai objektif. Nilai subjektif adalah sesuatu yang oleh seseorang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya pada suatu waktu, dan oleh karena itu seseorang itu berkepentingan di atasnya. Nilai objektif dapat dikonstruksikan berdasar kategori nilai-nilai tertentu yaitu : 1.
Hal yang dipentingkan, pilihan didasarkan pada pertimbangan kebutuhan
2.
Hal yang baik, pilihan berdasarkan pertimbangan moral atau kesadaran etika
3.
Hal yang benar, pilihan berdasarkan perimbangan logika. Sistem nilai objektif ini dijadikan dasar bagi penyusunan sistem nilai normatif. 110
Nilai juga memiliki daya pendorong dan pengarah bagi pembentukan diri manusia melalui tindakan-tindakannya prilaku. Manusia sebagai person berkembang dan berubah terus-menerus di dalam dan melalui tindakan-tindakannya. Nilai yang diikuti dan dihayati oleh seseorang akan mengejawantahkan dalam sikap dan secara lebih nyata lagi terwujud pada tindakan atau prilaku. Jadi sikap dan prilaku merupakan bentuk kongkret dari nilai-nilai seseorang yang sifatnya masih abstrak .
110
M. Syamsuddin, op.cit., h. 38.
125
Kluckhon mengemukakan bahwa sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia sebenarnya berkaitan dengan orientasi nilai budaya terhadap lima masalah pokok dalam kehidupan manusia (orientasi nilai budaya). Kelima masalah dasar dalam hidup berkaitan dengan orientasi nilai budaya, digambarkan sebagai berikut :
Masalah Dasar dalam Hidup Hakikat Hidup
Hakikat Karya
Persepsi manusia tentang watak Pandangan manusia tentang alam Hakikat hubungan antara manusia dan sesame
Orientasi nilai budaya Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Karya itu untuk Karya itu untuk nafkah hidup kedudukan, kehormatan dan sebagainya Orientasi ke Orientasi ke masa masa depan lalu Manusia tunduk Manusia berusaha pada alam yang menjaga dasyat keselarasan dengan alam Orientasi Orientasi vertical, kolateral rasa (horizontal), rasa ketergantungan ketergantungan pada tokoh atasan pada sesamanya dan berpangkat (berjiwa gotong royong)
Hidup itu buruk, tetapi manusia itu wajib berikhtiar agar hidup itu menjadi baik Karya itu untuk menambah karya
Orientasi ke masa depan Manusia berhasrat menguasai alam
Individualism menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
126
Dalam kerangka Kluckhon tersebut, fokus penelitian ini adalah hakikat karya. Karya yang dipersepsikan di sini adalah motif tradisional perak. Orientasi nilai budaya yang muncul dalam komunitas pengrajin perak hanya melingkupi kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung. Pilihan pengrajin dalam mendaftarkan karyanya atau tidak, akan tergantung dan mengikuti oleh suatu sistem budaya yang dianut. Sistem nilai budaya akan menjadi pedoman yang menunjukkan suatu arah maupun orientasi pada kehidupan dirinya di lingkungan budayanya. Sistem budaya itu berisi tentang ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan yang hidup dalam persepsi di dalam komunitas pengrajin perak sendiri. Sistem budaya berada di wilayah emosional dari alam kejiwaan dari pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Sistem budaya pada hakikatnya merupakan sistem-sistem nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Sranger menggolongkan sistem nilai tersebut menjadi enam lapangan nilai. Keenam nilai tersebut meliputi : nilai pengetahuan (teori), nilai ekonomi, nilai seni, nilai agama, nilai sosial, dan nilai politik. Sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai budaya yang dominan yaitu nilai budaya yang dipandang sebagai nilai yang tertinggi (yang paling bernilai). Ia akan memandang segala sesuatu dengan persepsi nilai yang dihargainya paling tinggi. Enam nilai pokok tersebut mempengaruhi pembentukan sikap manusia, sehingga terdapat pula enam sikap dasar manusia berdasarkan enam nilai dasar tersebut. Sistem nilai budaya akan menentukan orientasi nilai budaya seseorang dalam memandang sesuatu. Orientasi nilai budaya itu berfungsi untuk : 1.
Merepresentasikan dunia angan yang ingin dicapai
127
2.
Mengarahkan yang bersangkutan melakukan sesuatu sebatas yang diinginkan
3.
Memantapkan perasaan bahwa diri yang bersangkutan telah berbuat sesuai yang diangankan.
Gambaran umum yang diperoleh mengenai budaya hukum di daerah tersebut adalah karya itu untuk nafkah hidup. Wawancara terhadap Bapak I Nyoman Patra selaku Ketua Asosiasi Perak Bali menyatakan pengrajin selama ini belum banyak mengerti mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Pengrajin hanya berfokus pada pengerjaan proses produksi. Namun sejak ada kasus pelanggaran HKI yang dialami Ketut Deni Ariyasa, maka pengrajin perak mulai memahami pentingnya HKI. Bapak Cokorda Udiana Nindia Pemayun selaku saksi ahli dalam perkara HKI juga menyatakan sebagian besar pengrajin perak belum mencapai tataran untuk mengetahuiHKI maupun pentingnya HKI. Seringkali pengrajin tidak mencamtumkan bagaimana asal usul penciptaan suatu motif yang pengrajin kreasikan. Tahapantahapan dalam proses penciptaan suatu karya kerajinan perak yang memuat suatu motif seringkali tidak dapat dibahasakan secara tertulis oleh pengrajin. Mereka mendapatkan suatu inspirasi tanpa mampu menuangkannya dalam suatu tahapan substansif suatu karya. Sehingga pengrajin perak selaku pencipta belum tentu menjadi pemegang hak cipta dari motif karyanya. Menurut I Nyoman Patra, orientasi nilai budaya pengrajin perak khususnya di daerah Gianyar selama ini memandang karya itu untuk hidup. Mereka dalam bekerja mengedepankan asas gotong royong dan kebersamaan, bahkan memang cenderung komunal. Sifat individualistis akan menjadikan pribadi minoritas di kalangan
128
rekanannya. Sehingga pemahaman yang terjadi dalam tataran empiris adalah penggunaan motif secara bersama-sama. Hal yang sama pula dikemukan oleh I Ketut Muja selaku pengrajin perak di Klungkung dalam kalangan pengrajin di Klungkung, hal yang sangat lumrah dalam bekerja menggunakan asas kebersamaan. Bukan menjadi suatu pakem untuk bersifat tertutup dan kaku terhadap suatu motif. Bersama-sama dengan sesama pengrajin perak di daerah Klungkung, mereka menggunakan motif-motif yang sama untuk kerajinan perak bokor, tempat tirta, maupun peralatan untuk sarana upacara keagaamaan Hindhu. Konsep perlindungan HKI yang individualistik jika diterapkan di Indonesia dianggap kurang tepat karena bertentangan dengan filosifi (nilai-nilai, paham) yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang bersandar pada paham komunal(kebersamaan maupun kelompok). Kepentingan umum atau kelompok berada di atas kepentingan individu dan hak-hak individu memiliki fungsi sosial. 111 Pemberlakuan suatu undang-undang secara nyata dalam kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis masyarakat. Secara sosologis suatu undang-undang dirancang, dibentuk dan diberlakukan tidak bisa lepas dari gejala sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan hal-hal tersebut akan dianggap hukum asing masyarakat, karena tidak berakar dari realitas sosial. Akibatnya kepatuhan hukum yang diharapkan tidak terjadi dan undang-undang yang
111
h. 186
Candra Irawan, Politik Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, Mandar Maju, Jakarta,
129
bersangkutan tidak memberikan dampak sebagaimana yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang. Keberlakuan kaidah hukum dapat ditinjau dari aspek empiris, normatif dan evaluatif. Keberlakuan empiris kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut berlaku secara nyata (efektif) dan ditaati oleh masyarakat. Masyarakat secara umum berprilaku mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum. Keberlakuan normatif kaidah hukum apabila kaidah hukum khusus dalam undang-undang bertumpu pada kaidah hukum umum, di mana kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi. Keberlakuan evaluatif merupakan penilaian terhadap keberlakuan empiris dan normatif melalui pendekatan filsafat. Jika masyarakat mematuhi kaidah hukum berdasarkan kesadaran akan pentingnya nilai dari kaidah hukum tersebut dan setiap orang merasa berkewajiban untuk mematuhinya dan dibutuhkan bagi pengaturan prilaku sosial. Inilah yang disebut kekuatan mengikat hukum dan hukum memiliki karakter mewajibkan. Mengutip Eugen Ehrlich, hukum itu berasal dari ide masyarakat dan lahirnya norma-norma hukum sesungguhnya berasal dari kenyataan hidup khususnya hasil dari pergaulan sosial dan ekonomi sehingga manusia timbul kesadaran hukum yang kemudian hidup, terpelihara dan efektif sebagai kaidah hidup bersama. Mengacu pada pandangan demikian, hukum postif akan memiliki daya berlaku efektif apabila dalam proses pembentukannya memperhatikan realitas sosial masyarakat. Konsep HKI merupakan hukum asing karena dibangun berdasarkan konsep hak milik masyarakat yang individualistik. Landasan sosiologis HKI di Indonesia benar-benar harus digali dari realitas sosiologis masyarakat Indonesia. Realitas sosiologis berkaitan dengan
130
tata kehidupan sosial komunalistik, konsep hak milik berfungsi sosial, kondisi sosial ekonomi masyarakat.112 4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Budaya Hukum Pengrajin Perak Bali Terhadap Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Menurut Gustav Radbruch, terdapat tiga elemen nilai-nilai hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum sebagai konsep cultural yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai-nilai (hukum), yang sesuai dengan maksudnya, hukum merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan citacita hukum. Cita-cita hukum dapat ditemukan dalam keadilan, Namun dalam kenyataannya sulit untuk mencari pedoman yang digunakan untuk menentukan isi keadilan tersebut, maka di dalam keadilan itu ditambahkan element kedua, yaitu kemanfaatan atau kesesuaian dengan tujuan. Permasalahan tujuan dan kemanfaatan tidak dapat dijawab secara tegas, tetapi hanya bersifat relatif. Hukum sebagai suatu tatanan kehidupan bersama, tidak dapat didasarkan pada perbedaan-perbedaan pandangan individu (yang relatif), tetapi harus merupakan tatanan yang disepakati bersama. Oleh karena itu perlunya element ketiga, yaitu kepastian hukum. Kepastian hukum mensyaratkan hukum harus bersifat positif dan positivitas hukum menjadi prasyarat suatu kebenaran.113 Gustav Radbruch berpendapat di antara ketiga nilai hukum tersebut, yaitu nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, terjadi ketegangan atau ketidakserasian karena masing-masing mempunyai tujuan sendiri yang berbeda-beda. 112 113
Candra Irawan, op.cit., h.238-239 M.Syamsudin, op.cit., h. 46.
131
Tuntutan bagi nilai kepastian hukum yang utama adalah peraturan hukum. Apakah peraturan hukum itu adil atau tidak dan mempunyai kemanfaatan atau tidak adalah di luar nilai kepastian hukum. 114 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa adanya pertentangan atau ketidakserasian nilai-nilai hukum tersebut karena masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda-beda, sehingga penilaian masyarakat tentang hukum pun bermacam-macam. Apa yang sudah dinilai sah menurut persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, dapat dinilai tidak sah dari segi kemanfaaatan dan rasa keadilan dari masyarakat. 115 Hak cipta merupakan bagian dari sekumpulan hak yang terdapat ilmu hukum yang dinamakan HAKI. Hukum HAKI meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil oleh pikir manusia berkaitan dengan kepentingan- kepentingan yang besifat eknomi dan moral. Hak cipta mencegah seseorang melakukan penjiplakan terhadap karya orang lain dengan mengambil keuntungan dari ciptaan-ciptaan yang merupakan kekayaan intelektual seseorang hak cipta menetapkan kaidah–kaidah hukum yang mengatur ganti rugi yang harus dipikul oleh orang yang melanggarnya dengan melukan tindakan penjiplakan. Meskipun sudah menjadi isu-isu global terutama setelah persetujuan TRIPs di mana Indnesia menjadi salah satu negara yang mendatangi persetujuan masalah hak cipta di Indonesia masih terjadi. Nilai-nilai falsafah yang mendasari kepemilikan terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam bidang ilmu, sastra dan seni adalah 114
M. Syamsudin, op.cit., h. 47.
132
nilai budaya barat yang menjelma dalam sistem hukumnya. Hak cipta tersebut bukan berasal dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, namun berasal dari nilai-nilai barat yang menjelma dalam sistem hukum keperdataannya sehingga kadangkala pemberlakuan hak tersebut dalam kehidupan masyarakat menimbulkan pertentangan dengan kehidupan masyarakat dengan nilai budaya tradisional. Adapun standar yang dapat dinilai sebagai hak cipta atas karya seni dan sastra yaitu : (1) Perwujudan yaitu suatu karya diwujudkan dalam satu media ekspresi yang berwujud. (2) keaslian yaitu pencipta menciptakan suatu karya cipta berdasarkan ide/pemikiran sendiri. (3) Kreativitas yaitu karya cipta tersebut membutuhkan penilaian kreatif mandiri dari pencipta dalam karyanya, yaitu menunjukkan keaslian Dalam komponen yang terdapat dalam sistem hukum, komponen budaya hukum itu justru yang sangat menentukan bekerjanya sistem hukum. Sebagai contoh, dalam beberapa kebudayaan, niat untuk berperkara di muka pengadilan diseyogyakan sebagai upaya terakhir, sedangkan di tengah kebudayaan yang lain, hal demikian justru merupakan upaya dan kerja yang biasa dikerjakan dari hari ke hari. Budaya hukum adalah ibarat bahan bakar yang menggerakkan peradilan. Nilai-nilai dalam masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan atau tidak menggunakan atau menyalahgunakan proses hukum atau sistem hukum. Kesukaan atau ketidaksukaan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum.116 Titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekadar rumusan hitam putih, yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum
116
H. Riduan Syahrani,op.cit., h. 29.
133
selayaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku masyarakat. Adapun Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Budaya Hukum Pengrajin Perak Bali Terhadap Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 1. Adanya Pengetahuan tentang Hukum Dalam tataran pengetahuan hukum yang dimiliki oleh pengrajin perak Bali, sebagian besar memiliki pengetahuan hukum yang terkait Hak Kekayaan Intelektual. Wawancara yang dilakukan terhadap Ibu Desak Nyoman Suarti selaku seorang maestro di bidang perak, memahami secara garis besar pemaknaan Hak Kekayaan Intelektual. Suarti mencoba untuk belajar Hak Kekayaan Intelektual dan kerap mendiskusikan HKI sebagai isu hukum dalam grup-grup diskusi bersama rekanrekannya. Beliau aktif dalam forum peduli Budaya Bali. Pengetahuan hukum yang beliau peroleh dilatari dengan semangat untuk menyelamatkan roh etnik dari kerajinan perak Bali. Wawancara yang dilakukan selanjutnya kepada I Nyoman Patra selaku Ketua Asosiasi Perak Bali. Patra mengatakan, pemahaman terhadap Hak Kekayaan Intelektual sekarang jauh lebih berkembang dan pengrajin sudah memiliki pengetahuan tentang hak kekayaan intelektual. Latar belakangnya adalah melihat peristiwa hukum klaim pelanggaran hak cipta oleh Deni Ariyasa versus John Hardy. Dengan adanya kasus hukum seperti itu, para pengrajin perak mengalami suatu momentum untuk belajar dan mengetahui hak kekayaan intelektual. Pengetahuan hukum yang dimiliki pengrajin perak secara garis besar hanya mengetahui bahwa
134
perlunya bagi pengrajin perak untuk mendaftarkan hasil karyanya. Sementara tantangan yang dihadapi pengrajin perak adalah biaya untuk mendaftarkan. Bagi sebagian pengrajin timbul suatu sifat enggan untuk mendaftarkan karena penghitungan biaya mendaftarkan, ongkos produksi dan hasil yang didapat. 2.
Adanya Penghayatan Fungsi Hukum Fungsi atau peranan hukum terhadap segi-segi kehidupan masyarakat
mengalami perkembangan dan perubahan. Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum terdapat dua paham yang berbeda. Paham pertama mengatakan bahwa fungsi hukum hanyalah mengikuti perubahan-perubahan itu dan sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat ini dipelopori oleh mazhab sejarah dan kebudayaan yang diajarkan oleh Friedrich Carl von Savigny. 117 Paham kedua menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham kedua ini dipelopori oleh Jeremy Bentham, seorang ahli hukum dari Inggris. Kemudian dikembangkan oleh Roscoe Pound di Amerika dari aliran “sociological jurisprudence” yang dikenal dengan konsepsinya, bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat. 118 Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendali sosial, terlihat hukum sebagai menjalankan tugas untuk mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Hukum di sini hanya sekadar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagai yang telah ditentukan. Sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk 117 118
H. Riduan Syahrani, op.cit., h. 29. Riduan Syahrani, loc.cit.
135
melakukan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Jadi, hukum tidak hanya sekadar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam masyarakat, tapi ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan yang baru. Dalam kaitannya dengan pembangunan, Sunaryati Hartono menyebut ada empat fungsi hukum dalam pembangunan, yaitu : a.
hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan ;
b.
hukum sebagai sarana pembangunan;
c.
hukum sebagai sarana penegak keadilan; dan
d.
hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat. 119
Masih dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia, Seminar Hukum Nasional IV merumuskan adanya 6 (enam) fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat. Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang lemah. Penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. Pengaruh masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan. Faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat. Faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa.120
Penghayatan fungsi hukum oleh pengrajin perak belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hukum hak kekayaan intelektual berperan dalam mengatur dan melindungi suatu karya intelektual yang sudah diwujudkan belum diterima secara sepenuhnya dalam komunitas pengrajin. Hukum itu baru terwujud pada saat terjadi
120
H Riduan syahrani,op.cit., h. 32.
136
pelanggaran di bidang HKI. Pada saat proses penciptaan karya suatu kerajinan, sebagian besar pngerajin tidak mendaftarkan karyanya. Mereka melihat dari aegi ekonomis suatu karya, bagaimana suatu karya bisa menembus pasar tanpa melindunginya dengan aspek hukum. 3.
Ketaatan Terhadap Hukum Baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis mempunyai fungsi
antara lain : 1.
sebagai standard of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain.
2.
Sebagai as a tool of social engineering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat.
3.
Sebagai as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila.
4.
Sebagai as a facility on of human interaction, yakni hukum berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat. 121
121
H. Abdul Manan, 2005, op.cit., h. 3.
137
Taat terhadap hukum tidak sama dengan menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan dengan kecerdasan spiritual, yaitu : pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum. Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum, apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin dan lainnya. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidakmenganut prinsip logika saja tetapi dengan perasaan, kepedulian dan semangat keterlibatan kepada bangsa, khusunya bangsa Indonesia yaitu berdasarkan Pancasila. 4.3 Konstruksi Budaya Hukum Yang Ideal Bagi Pengrajin Perak Bali Terhadap Keberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pancasila merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka Pancasila diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Dasar negara ini jelas dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia, karena Pancasila telah tertanam dalam rakyat, oleh karena itu Pancasila merupakan dasar negara yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Maka Pancasila yang digali dari bumi Indonesia merupakan : 1.
Dasar Negara Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
2.
Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan bangsa, serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin dalam masyarakat.
138
3.
Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada Bangsa Indonesia dan tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain.
4.
Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
5.
Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa. 122
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila tidak mempunyai arti bangsa ini. Cita hukum bangsa Indonesia berakar dari Pancasila. Cita hukum dimaknai sebagai suatu cita mulia yang ingin dicapai oleh 122
Padmo Wahjono, 1993, Bahan-Bahan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, h. 6-7.
139
suatu masyarakat atau bangsa yang menjadi pedoman pembangunan hukum. Cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai peraturan, aturan, prilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum. Cita hukum berisi nilai-nilai filosofis yang mendasari semua hukum yang akan dibentuk dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. 123 Pancasila sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut selanjutnya melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum, dalam pengertian bahwa : a.
b. c. d.
Hukum yang dibuat di Indonesia haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa Indonesia baik secara teritori maupun secara ideologi. Hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi sekaligus. Hukum yang dibuat di Indonesia harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban yakni hukum yang tidak mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemeluk agama.124
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus selalu melandasi setiap prilaku bangsa Indonesia.
123 124
Candra Irawan, op.cit., h. 208. Candra Irawan, op.cit., h. 211.
140
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut : a.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai bahwa segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral dan beragama serta adil dalam hubungan diri sendiri, sesama dan lingkungannya.
c.
Sila Persatuan dan Kesatuan mengandung nilai bahwa negara Indonesia merupakan persekutuan diantara keberagaman yang dilukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika. Nilai-nilai nasionalisme harus tercermin dalam segala aspek penyelenggara negara.
d.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan/Perwakilan mengandung nilai bahwa negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat.
e.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan bersama. Nilai keadilan harus terwujud dalam kehidupan bersama (keadilan sosial) yang bertujuan untuk kesejahteraan seluruh warga negara.
Pancasila menjadi landasan atas budaya hukum bangsa Indonesia. Hukum harus berdasarkan pada Pancasila, produk hukum boleh dirubah sesuai dengan
141
perkembangan zaman dan pergaulan masyarakat, tentunya Pancasila harus menjadi kerangka berfikir. Pancasila dapat memandu budaya hukum nasional dalam berbagai bidang yaitu : a.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan budaya hukum yang berbasis moral agama.
b.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab menjadi landasan budaya hukum yang menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang non diskriminatif.
c.
Sila Persatuan Indonesia menjadi landasan budaya hukum yang mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan berbagai ikatan primorsialnya masing-masing.
d.
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan menjadi landasan budaya hukum yang meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat (demokratis).
e.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi landasan budaya hukum dalam hidup bermasyarakat dan berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang.
Pancasila tidak anti hak-hak individu, tidak mengagungkan hak individu dan juga tidak sewenang-wenang membolehkan dicabutnya hak-hak individu demi alasan kepentingan umum. Pancasila menginginkan suatu keselarasan , keserasian dan keseimbangan (keadilan) antara kepentingan individu dan kepentingan bersama. Konsep perlindungan HKI yang berasal dari filosofi barat diterapkan di Indonesia,
142
namun sebelum diadopsi dalam undang-undang dan diterapkan terlebih dahulu harus diuji dengan Pancasila. 125 Relasi antara budaya hukum dan Pancasila bisa mengacu pada sila demi sila Pancasila : a.
Dimensi Religious dalam Budaya Hukum Religi
menjadi
panduan
penting
dalam
memandu
budaya
hukum
melaksanakan hukum, oleh karena itu religus meletakkan makna dasar berupa harmonisasi kehidupan duniawi dan non duniawi. Dalam tataran pengaturan HKI di Indonesia dimensi religious terdapat kaitan prinsip kemaslahatan manusia atau kemanusiaan. Prinsip ini memperbolehkan pemilik HKI mendapat manfaat baik secara ekonomi maupun moral sepanjang tidak menjadikan HKI yang dimiliki terebut sebagai alat untuk mengambil keuntungan secara berlebihan (eksploitatif), sehingga masyarakat mendapat kebaikan dan manfaat dari HKI yang dimilikinya, maka akan semakin mulia pemilik HKI di hadapan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. b.
Memperkuat Budaya Hukum Dengan Jiwa Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Kemanusiaan menjadi jiwa dalam menuntun bangsa Indonesia melaksanakan
hukum sehingga membentuk budaya hukum yang bisa menghargai kemerdekaan individu sehingga segala upaya penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan. Merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo di atas orang hendaknya mengharapkan bahwa orang lain akan memperlakukannya sebagai individu secara penuh, bisa
125
Candra Irawan, op.cit., h. 190.
143
diartikan perbuatan manusia yang satu tidak diperkenankan merugikan manusia yang lain. Sehingga penjabaran ini sesuai dengan konteks prinsip keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Hak individu tetap diakui, namun dalam pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat hak tersebut tidak berlaku mutlak sebab dibatasi oleh kepentingan masyarakat luas (public interest). Sesuai dengan Pancasila, implementasi hak individu harus diserasikan dengan hak yang dimiliki oleh masyarakat. HKI memang bersumber dari hak individu, karena individu maupun kelompok maupun badan hukum yang menhasilkan karya HKI, sehingga beralasan apabila negara memberikan hak eksklusif kepadanya. hak eksklusif tersebut tidak berlaku mutlak dan tanpa batas. Di samping dibatasi keberlakuannya oleh
undang-undang,
hak
tersebut
juga
dibatasi
kepentingan
masyarakat
(kepentingan umum). Sehingga tidak tepat apabila pengaturan HKI di Indonesia cenderung individualisme dan melupakan komunalisme. Namun tidak tepat juga apabila komunalisme dikedepankan sementara individual dikesampingkan. Cara untuk menyeimbangkan kepentingan tersebut maka pengaturan HKI harus didukung dengan empat prinsip lain: 1.
Prinsip keadilan, di mana pengaturan HKI harus mampu melindungi kepentingan pencipta atau inventor, namun disisi lain jangan sampai kepentingan penciptasampai merugikan masyarakat luas.
2.
Prinsip ekonomi, bahwa lahirnya karya intelektual membutuhkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, fasilitas, waktu dan biaya yang tidak sedikit, maka karya intelektual memiliki nilai ekonomis dan penciptawajar memperoleh keuntungan ekonomi berupa royalti.
144
3.
Prinsip kebudayaan, bahwa intelektual adalah produk kebudayaan manusia yang secara hakekat merupakan dasar untuk lahirnya karya selanjutnya.
4.
Prinsip sosial, bahwa pengaturan HKI tidak hanya mengatur kepentingan individu semata, tetapi mengatur kepentingan masyarakat.
c.
Basis budaya hukum demi Persatuan Indonesia Budaya hukum yang berorientasi kebangsaan dan keharusan menjaga
persatuan. Wawasan kebangsaan yang melekat pada sila ketiga mengikat secara moral tindakan untuk menjaga kepentingan yang lebih luas. Nilai nasionalisme Indonesia adalah religious dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya itu sebagai suatu wahyu dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti, nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya member tempat pada lain bangsa. Prinsip nasionalisme Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa : 1.
Menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan.
2.
Berani menolak intervensi asing yang bertentangan dengan kepentingan nasional.
3.
Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.
4.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan sejajar dengan bangsa lain di dunia.
145
5.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa.
6.
Menumbuhkan sikap saling mencitai sesama manusia
7.
Mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah bagian dari bangsa di dunia dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati dan saling bekerja sama demi kepentingan bersama.
Pada konteks pengaturan HKI prinsip nasionalisme berkaitan erat dengan perlindungan kepentingan HKI Indonesia dalam undang-undang. Setelah diketahui bahwa sistem perlindungan HKI di dunia ini berasal dari barat yang menganut filosofi bangsa barat dan disosialisasikan oleh negara-negara barat, maka sudah selayaknya Indonesia lebih berhati-hati mengadopsinya ke dalam hukum nasional. Jangan sampai kepentingan nasional tidak terlindungi, hanya karena tekanan dan ketidakmengertian bangsa Indonesia tentang arti pentingnya HKI bagi kemajuan dan kemandirian bangsa. Atas nama kepentingan nasional yang dapat dijelaskan secara argumentatif, faktual dan keberanian politik dari negara Indonesia, Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual tidak boleh keluar dari prinsip nasionalisme d.
Budaya
Hukum
Yang
Meneguhkan
Semangat
Kerakyatan
Penuh
Kebijaksanaan Negara adalah dari,
oleh dan untuk rakyat, maka pembentukan budaya
hukum dalam penegakan didasarkan kekuasaan yang ada pada rakyat bukan segolongan orang.
146
e.
Budaya Hukum Yang Memantapkan Semangat Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memandu budaya hukum
bangsa, sehingga penegakan hukum tetap menjunjung keadilan sosial yang melekat kepentingan orang banyak. Tujuan keadilan sosial adalah tersususunnya suatu masyarakat yang berkeadilan, tertib dan teratur di mana setiap orang mendapatkan kesempatan membangun kehidupan yang layak sehingga tercipta kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum berarti bahwa diakui dan dihormatinya hak asasi manusia setiap warga negara. Dari uraian pembahasan pada sub bab terdahulu, dapat dimunculkan dua hal dalam budaya hukum yaitu : ketentuan hukum yang ada dan bentuk penegakan hukum yang dijalankan. Untuk menciptakan budaya hukum yang positif dan dapat mendukung tata kehidupan masyarakat, kedua komponen tersebut diperlukan. Apabila pemerintah dapat meyakinkan kepada masyarakat bahwa hukum yang dibentuk itu adalah berorientasi pada rakyat dan berkeadilan sosial, para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya bersifat non diskriminatif, tentu saja masyarakat akan member dukungan dan sekaligus akan mengikuti pola tersebut. Agar hal ini dapat berjalan baik maka pemerintah harus menciptakan masyarakat yang terdidik supaya masyarakat dapat memahami dengan baik dan melaksanakan aturan hukum yang telah dibuatnya. Sehingga berbicara budaya hukum juga berbicara kesadaran hukum masyarakat. Untuk mengkonstruksi budaya hukum yang ideal bagi masyarakat tidak cukup hanya mempergunakan secara konvensional ilmu hukum
147
saja, tetapi perlu mempergunakan berbagai faktor yang berkembang saat ini, terutama hal-hal yang menyangkut pemikiran kembali apa yang menjadi tujuan hukum dan redefinisi tentang fungsi hukum dan peranan hukum dalam masyarakat. Dengan demikian budaya hukum maupun kesadaran hukum masyarakat merupakan dua hal yang dapat dikembangkan secara terpadu, sehingga pembaharuan hukum yang dapat dilaksanakan itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku yang harus dituruti. Bila dicermati permasalahan penegakan Hukum di Indonesia dapat dibagi dalam tiga komponen bagian permasalahan mendasar dikaitkan dengan Teori Sistem Hukum oleh Lawrence M Friedman yang merupakan berjalannya Sistem Hukum di suatu Negara, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat sebagai berikut 126 : a. Struktur Hukum Sturktur hukum berkaitan dengan lembaga yang berwenang melakukan penegakan hukum. Masalah hak cipta aparat penegak hukumnya penyidik PPNS, polisi, jaksa dan hakim Penegakan hukum di Indonesia, aparat hukum yang menguasai dan mengerti hak kekayaan Intelektual dan hak cipta masih belum memadai seperti perubahan Undang-Undang Hak cipta dahulunya menggunakan delik biasa sekarang menggunakan delik aduan membuat kuantitas kerja aparat bertambah sedangkan tingkat pengetahuan hukum aparat masih belum paham betul dengan perubahan delik biasa menjadi delik aduan serta penggantian Undang-undang
126
Saifulah, 2011, Refleksi Sosiologi Hukum, Reflika Aditama, Bandung, h. 26.
148
Hak Cipta membuat aparat penegakan hukum belum mendapat pemahaman secara merata. Kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum berkaitan dengan penyidikan hak cipta ini juga masih patut dipertanyakan mengingat sulit dideteksinya pembedaan karya cipta yang asli dengan yang tiruan kurangnya database mengenai hasil kebudyaan masyarakat sehingga tidak dapat mengenali mana yang menciptakan mana yang meniru. Serta kurangnya saksi ahli dalam perkara kasus hak cipta. 2. Substansi Hukum Substansi hukum berkaitan dengan isi hukum, norma hukum yang dibuat Negara, dilihat dalam konteks substasi hukum hak cipta dilihat dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kalau dilihat kebelakang Undang-Undang Hak Cipta mengalami lima kali perubahan Undnag-undang Nomor 6 Tahun 1982, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dan yang sekarang Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 penyebab utamnya adalah tuntutan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi serta keikutsertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi Internasional sehingga dilakukan perubahan yang aturan perundang-undangan yang sesuai dengan isi konvensi. Sedangakan beberapa ketentuan konvensi Internasional tidak sesuai dengan filosofi Negara Indonesia. 3. Budaya Hukum Budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungannya dengan hukum dam sistem hukum. Seperti yang kita ketahui masyarakat tradisional pada umumnya enggan untuk melakukan proses hukum dalam konteks pelanggaran
149
karya cipta. Konsep perlindungan hak cipta yang berbeda konsep masyarakat barat bersandar kepentingan individu daripada kepantingan bersama. Semua hal dapat dimiliki dan dikuasai oleh individu. Konsep subjektif merupakan kepemilikan individu terhadap kekayaan yang di hak ciptakan dan bebas sesuai dengan keinginannya berbeda dengan filosofi kehidupan masyarakat timur yang bersandar pada penggunaan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Akibatnya perlindungan HAKI yang individualistik jika diterapkan di Indonesia dianggap kurang tepat karena bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang bersandar komunisme. Teori Sistem Hukum Lawrence M Friedman ini sebagai pisau analisa masalah kedua budaya hukum dalam keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta pengrajin perak Bali, kaitannya dengan kajian dalam tesis ini budaya hukum. Dari sisi teori sistem hukum, budaya hukum dalam keberlakunnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta. Pada pengrajin menggunakan budaya hukum Individual berdasarkan Teori Sistem hukum sebagai pisau analisa dalam penulisan tesis ini, yang oleh Lawrence M Friedman memberikan pandang budaya hukum itu sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum adalah sumbernya di sini menekan pada pola-pola sikap prilaku masyarakat terhadap sistem hukum, Kemudian konsep budaya hukum diungkapkan oleh Daniel Lev yang karya tulisannya berjudul Judical Institution and Legal Culture oleh Satjipto Rahardjo menerapkan konsep budaya hukum untuk menganalisis pola perubahan sistem hukum Indonesia semenjak revolusi. Menurut Lev, konsep budaya hukum diartikan sebagai nilai-nilai yang terkait dengan hukum (substantif) dan proses
150
hukum (hukum ajektif). Budaya hukum mencakup dua komponen pokok yang saling berkaitan yakni nilai-nilai hukum substansif dan ajektif (prosedur). Nilai-nilai hukum substantif berisikan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang secara sosial dianggap benar atau salah dan seterusnya. Nilai-nilai hukum ajektif mencakup sarana-sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Budaya hukum masyarakat sangat memegang peranan penting dari pembuatan hukum, masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan dan apratur hukum yang penerapan saksi hukum positif tersebut karena budaya hukum inilah yang membungkus hukum yang mengadung moral dan akhirnya menentukan bentuknya. Hak cipta bersifat hak khusus, diartikan sebagai hak khusus karena hak ciptannya diberikan kepada pencipta bebas memberikan meperbanyak ciptaanya kepada yang dia beri izin, sehingga sifat individual sangat ditonjolkan berbeda dengan kehidupan Bangsa Indonesia menganut kebersamaan membuat prinsip-prinsip hak cipta tidak diterapkan didalam masyarakat dan pengrajin perak di Bali. Budaya
hukum
masyarakat pengrajin perak bali terhadap keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta sikap
pengrajin perak bali menolak
keberdaan undang-undang tersebut, hal ini di dasarkan dengan sikap pengrajin yang tidak mendaftarkan hasil karyanya ke Dirjen Haki adapun alasan yang di dapat : pertama, Pemahaman mengenai hukum hak cipta pengrajin perak masih belum paham betul pengertian hak cipta, bentuk hukum hak cipta dan peraturan hukum mengenai hak cipta hal demikian tentu membuat pengrajin acuh akan keberadaan hak cipta padahal Negara Indonesia telah meratifikasi perjanjian Internasional masalah hak cipta melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 sehingga Indonesia harus segera harus menyesuaikan kembali peraturan yang
151
berkaitan dengan hak cipta mengikuti segala ketentuan perjanjian Internasional tentang hak cipta padahal ada beberapa aturan tidak sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia. Kedua, fungsi perlindungan hak cipta, pengrajin belum bisa menunjukan fungsi hukum perlindungan hak cipta karena pengrajin perak belum mengetahui manfaat dari hak cipta dengan adanya pengajuan pendaftaraan hak cipta dan memperoleh bukti kepemilikan terhadap suatu motif kerajinan dapat dirasaakan perlindungan hak cipta, pencipta dapat memiliki hak ekslusif atas ciptaannya sedangakan
pengrajin perak
hanya
beberapa orang
yang
telah
mememiilikinya. Ketiga, ketaatan terhadap hukum hak cipta belum ada pada pengrajin perak, orientasi pengrajin hanya hakikat karya untuk hidup di sini lebih menekankan karya untuk sebagai nafkah hidup tidak pada perlindungan yang diperoleh dari karya yang diciptakan. Pengrajin belum mau mendaftarkan karyanya adanya pemikiran bahwa hasil karya yang dibuat merupakan hasil modifikasi yang di dapat dari motif-motif yang sudah ada sehingga pengrajin enggan untuk mendaftarkan, serta pola hidup bersama membuat pengrajin tidak mendaftarkan karyanya
dalam
pembuatan
karyanya
pengrajin
perak
Bali
memperoleh pengetahuan secara bersama-sama dengan pengrajin lain dalam belajar
membuat motif tradisional sehingga
tidak
memungkinkan
untuk
menonjolkan nilai-nilai individu. Analisis yang dilakukan berdasarkan teori keberlakuan hukum oleh J.J.H Burggink yang dibagi atas tiga bagian, yaitu : a. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum, b. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum. Dan
152
c. Keberlakuan evalutif kaidah hukum.127 Keberlakuan faktual juga dikatakan efektifitas hukum. Untuk dapat mengukur keberlakuan digunakan
yang pertama, dalam masyarakat pada
umumnya warganya berprilaku dengan mengacu keseluruhan hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum itu berlaku secara faktual. Kedua, manakala secara umum oleh pejabat hukum diterapkan dan ditegakkan. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan bagian dari sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lainnya. Sedangkan keberlakuan evaluatif, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Berdasarkan pada pendapat di atas, dari keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum atau berlaku secara sosiologis
dapat
diketahui
efektifitas
berlakunya
kebijakan tersebut
di
masyarakat. Dalam arti dapat diterima dan diakui sebagai norma yang sesuai dengan
nilai-nilai
yang
hidup
dalam
masyarakat
baik
sebagai
individu
sedangkan dalam budaya hukum dalam keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih belum berlaku secara efektif, masih belum ada pemahaman hak cipta pada pengrajin dapat dilihat dari gambaran umum pengrajin di
Kota Denpasar,
Kabupaten
Gianyar
dan
Kabupaten
Klungkung belum mendaftarakan hasil kerajinan peraknya dalam kerangka hak cipta sikap pehaman tentang hukum hak cipta di kalangan pengrajin perak di bali masih belum optimal, pengrajin belum mengetahui perlindungan hak cipta,
127
J.J.H Brugink, loc.cit.
153
manfaat hak cipta serta Undang-undang Hak Cipta tentu membuat keberadaan hak cipta di masyarakat terasa asing di tengah era globalisasi ini. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum atau berlaku secara yuridis, dapat diketahui apakah kebijakan tersebut merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tentang peruntukan dan yang dimaksud oleh pasal 38 ayat 1 Undang-undang Hak Cipta sehingga mempunyai landasan hukum sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undnagan dan dibuat oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu. Sedangkan dari keberlakuan evaluatif kaidah atau berlaku secara filosofi dapat diketahui apakah kebijakan tersebut berdasarkan isinya dipandang bernilai sesuai denga panangan hidup atau falsafah bangsa, yaitu Pancasila. Sehingga kebijakan tersebut sesuai dengan cita hukum yang mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat. Keberlakuan hukum dilihat secara filosofi, dpat diketahui kebijakan berdasarkan isinya dipandang bernilai sesuai dengan pandnagan hidup bangsa, Undang-undang Hak Cipta yang bersifat individual lebih menonjolkan kepentingan individu tidak sesuai dengan filosofi Bangsa Indonesia yang mengajarkan pola hidup bersama sehingga hukum hak cipta terasa asing dan susah diterapkan di Indonesia dengan pola hidup bersama. Kemudian nilai kegunaan atau kemanfaatan dapat dilihat dari keberlakuan faktual atau berlaku secara sosiologis. Sebab dalam keberlakuan secara sosiologis dapat diketahui kebijakan tersebut diterima dan diakui oleh masyarakat sedangkan keberadaan hukum hak cipta masih asing di pengrajin perak di Bali hal disebabkan hukum hak cipta tersebut menganut paham barat tidak berasal dari hukum masyarakat yang ada di dalamnya.
154
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Adapun simpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan di atas adalah : 1.
Bentuk perlindungan negara terhadap motif-motif tradisional kerajinan perak Bali yang merupakan warisan budaya tradisional adalah perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
2.
Budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undangundang Nomor 28 Tahun 2014 adalah memandang motif tradisional sebagai hakikat karya dengan orientasi karya itu untuk nafkah hidup. Sistem nilai yang ada di dalam masyarakat
yang dianut sebagian
besar pengrajin perak di Bali tidak mendaftarkan karyanya ke dalam hak cipta dengan menonjolkan kepemilikan secara kelompok tidak individual . 5.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan terhadap uraian pembahasan di atas sebagai berikut : 1.
Pemerintah Pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM supaya bertindak aktif dalam melakukan sosialisasi HKI kepada masyarakat dan pengrajin perak pentingnya perlindungan hak cipta .
2.
Masyarakat Peran masyarakat di sini ditujukan kepada Asosiasi perak yang melibatkan komunitas pengrajin perak. Asosiasi perak
disarankan
untuk membuat klinik HKI yang menunjang kegiatan anggotanya. 154
155
Klinik HKI diharapkan mampu memberikan edukasi kepada komunitas pengrajin perak.
156
DAFTAR BACAAN BUKU Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, 2013, Mengkaji Kajian Empiris terhadap Hukum, Kencana, Jakarta. Ashofa, Burhan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Agus, Riswadi dan Shabi Mahamashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogkarta Amiruddin dan H.Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ahkam, Subroto, Muhamad dan Suprapedi ,2008, Pengenalan HKI Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, Indeks, Jakarta. Agus, Budi Riswadi dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-masalah HAKI Kontenporer, Gita Negeri, Yogyakarta. Burhan, HM Bungin, 2011, Penelitian Kualitatif, Kencana, Jakarta. Budiyono, Kabul, 2009, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung Brugink, J.J.H, 1999, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidartha, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Chazaawi, Adami, 2007, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektualitas, Bayumedia, Malang. Cohen, Moris L and Kent C Olson, 2000, Legal Research in a Nutshell, west Group, Amerika. Damayanti, Eva, 2012, Hukum Merek Tanda Produk Industri Budaya Dikembangkan dari Ekspresi Budaya Tradisional, Alumni, Bandung, Djamal, 2009, Hukum Acara Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Pustaka Rema Cipta, Jakarta. Djumhana, Muhamad dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
157
E.Maskus,Keith, 2000, Intellectual Property Rights In The Global Economy, Institute for International Economics, Washington DC. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Firmansyah, Muhamad,2008, Tata Cara mengurus Haki,Visimedia, Jakarta. Gelebet, I Nyoman 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Pendidikan dan Kebudayaan, Bali. Hasibuan, Otto, 2014, Hak cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak cipta Lagu, Neighbouring Rights dan Collecting Society, PT Alumni, Bandung. Hutchinson,Terry, 2011,Politik Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, Mandar Maju, Jakarta. Husni, Anang, 2009, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Genta Publishing, Yogyakarta. Hilman Hardikusuma, H 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung. Isnaini, Yusran, 2010, Buku Pintar Haki Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, Ghalia Indoneeisa, Bogor. Jened, Rahmi, 2014, Hukum Hak Cipta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Johan Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Jambi. Kaligis, O.C, 2012, Teori Praktek Merek dan Hak Cipta, PT Alumni, Bandung. Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. Laksanto Utomo, Stefanus, 2013, Budaya Hukum Masyarakat Samin, PT Alumni, Bandung. LeClerq, Terri, 2007, Guide to Legal Writing Style, Apen Publisher, New York. Margono, Suyud, 2011, Hukum Hak cipta Indonesia Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan World Trafe Organization/WTO-TRIPs Agreement, Ghalia Indonesia, Bogor. Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Grup, Jakarta.
158
Mayana, Ranti Fauza, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Margono, Suyud dan Angkasa Amir, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Gramedia, Jakarta. Noorsman Sommeng, Andy, 2007, Penegakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tanggerang. Naning,Ramdlon, 1982, Perihal Hak cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Purwangsih Endang, 2012 Hak Kekayaan Intelektual dan Lesensi, Mandar Maju, Bandung. Purba, Afrillyana, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Ekonomi Indonesia, Alumni, Bandung. Purwaningsih, Endang, 2005, Perkembangan Hukum Intelectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Bogor. Riker, David, 2015, Intellectual Property Rights and International Receipts of Royalties and Licensing Fees, Lexington, USA. Risang, Miranda et.al., 2014, Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Di Indonesia, Alumni, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Rasjidi, Lili dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung. Rahardjo,Soekanto, 1984, Hukum Dan Masyarakat, (Selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II).
Angkasa,
Bandung,
Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. Rinu, Made, 2005, Ornamen Bali, Fakultas Seni Rupa dan Desaian, ISI, Denpasar.
159
Salim HS, H dan Erlies Septiana Nurbaini, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta. Syamsudin, M, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Jakarta. Saifulah, 2011, Refleksi Sosiologi Hukum, Reflika Aditama, Bandung. Syahrani, Riduan, 2011, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung. Soelistyo, Henry, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Rajawali Pers, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Syahrani, Riduan,2011, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung. Sardjono, Agus, 2010, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Alumni, Bandung ________, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung. Supromo, Gatot , 2010 , Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, Rineka Cipta, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta. Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta. Saidin, H. OK, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Santoso, Budi 2005, Butir-butir yang Berserakan, Mandar Maju, Bandung. Tim Lindsey et.al. , 2006, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung. Usman,Rachmadi, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Jakarta.
160
Warassih Pujirahayu, Esmi, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafamedia, Yogyakarta. Wahjono,Padmo, 1993, Bahan-Bahan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta. Zen, Achamd Purba, 2011, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT Alumni, Bandung.
JURNAL Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Paten, Jurnal Ilmiiah Hukum Vol 6, No 1, Edisi 1 Januari 2012, Fakultas Hukum, Universitas Wahid Semarang. http// portal garuda artcle/PHP article=13451 & Val 5636. Di akses 27 April 2015. KARYA ILMIAH Ani, Qurrotu, 2008, “ Impelementasi Undang- undang Nomor 19 tahun 2002 Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin di bidang kerajinan prak di Daerah Istimewa Yogyakarta” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014. Endang Trimargawati,Nur, 2008, “ Penerapan Hukum Hak Cipta Seni Batik Pekalongan sebagai Komoditas Internasional (Studi Upaya Pemerintah kota Pekalongan sebagai Komoditas Internasional)” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014. Kusumaningtyas, Fanny, 2008, “ Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa ( Studi Terhadap Karya Seni Batik Tradisional Surakarta)” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014.
161
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4045)
DAFTAR INFORMAN
1.
2.
Nama
:I Putu Surya Dharma, S.H., M.H
TTL
:Tengenan 10 April 1975
Umur
:40 Tahun
Pendidikan
:S2
Pekerjaan
:PPNS HKI
Alamat
:Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali
Nama
:Dr. Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun S,Sn.,S.H.,M.Hum
TTL
: Denpasar 26 Februari 1973
Umur
:42 Tahun
Pendidikan
:S3
Pekerjaan
:Dosen Fakultas Seni Rupa Desain ISI Denpasar Pengacara Konsultan HKI
Alamat
:Jalan Nusa Indah Denpasar
DAFTAR RESPONDEN 1.
2.
Nama
: Wayan Sudani
TTL
: Gianyar , 24 April 1 1960
Umur
: 55 Tahun
Pendidikan
:SMA
Pekerjaan
:Pengrajin Perak dan Emas
Alamat
:Jalan WR Supratman
Nama
: Desak Nyoman Suarti
TTL
: Pengosekan 25 Mei 1958
Umur
: 58 Tahun
Pendidikan
:SMP
Pekerjaan
:Pengrajin Perak
Jabatan
: Ketua Forum Penduli Budaya Bali Pemilik Suarti Collection
3.
Alamat
:Jalan Raya Celuk No 100X Gianyar
Nama
: Nyoman Patra S.H., M.H
TTL
: Gianyar, 27 Juni 1962
Umur
: 53 Tahun
Pendidikan
: S2
Pekerjaan
:Pengrajin Perak dan Emas
Jabatan
: Ketua Asosiasi Perak Bali Pemilik Patra’s collection
Alamat
:Jalan Batuyang Bataubulan
4.
5.
6.
7.
Nama
:Wayan Putra
Umur
: 57 Tahun
Pendidikan
:SD
Pekerjaan
:Pengrajin Perak
Alamat
:Banjar Apun Singapadu
Nama
:Wayan Sukdana
Umur
: 45 Tahun
Pendidikan
:SMP
Pekerjaan
:Pengrajin Emas dan Perak
Alamat
:Banjar Tegal Singapadu
.Nama
:Wayan Nano
TTL
: Gianyar , 15 Oktober 1984
Umur
: 31 Tahun
Pendidikan
:SMP
Pekerjaan
:Pengerajin Perak dan Emas
Alamat
:Banjar Kebon Singapadu
Nama
:I Ketut Muja
Umur
: 55 Tahun
Pendidikan
:SMP
Pekerjaan
:Pengrajin perak
Alamat
:Banjar Pagal Tegal Tepan desa Gelgel Klungkung.
8.
9.
Nama
:I Nyoman Sugiartha
Umur
: 52 Tahun
Pendidikan
:SMP
Pekerjaan
: Pengrajin Emas dan Perak
Alamat
:Banjar Pande Emas Kamasan Klungkung
Nama
:Nyoman Jero
Umur
: 43 Tahun
Pendidikan
:SD
Pekerjaan
:Pengrajin Perak
Alamat
: Banjar Tabanan Kamasan Klungkung
LAMPIRAN -LAMPIRAN
Foto Kerajinan Perak dengan Motif Tradisional