TESIS
ANALISIS DAMPAK DANA ALOKASI UMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2009
SOEKARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS DAMPAK DANA ALOKASI UMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2009 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Soekarno,SE NIM. H151090224
ii
ABSTRACT
SOEKARNO. Impact of General Allocation Fund on Income Inequality in Aceh 2004-2009, Under Direction of BAMBANG JUANDA and MUHAMMAD FIRDAUS The conventional approaches to fiscal decentralization suggest that decentralization lowers the power of redistribution among regions, recent theories argue that fiscal decentralization works as a commitment device. In this manner, where the budget in a given region is highly dependent on transfers from the central government, there is an incentive for effort following fiscal decentralization. The former effect is argued to increase regional inequality, while the latter suggests a decrease in regional inequality. However no known empirical work has directly examined the relationship between fiscal decentralization and regional inequality. In this research, cross-sectional data for Aceh, excluding the convergence of regional income, are used to derive the net relationship. It is also the case that the direction of this effect on regional inequality depends on how fiscal decentralization is promoted. While the former distribution effect directly depends on the central government’s share of power, the latter incentive effect depends on autonomy. Two measures that represent the power of the central government and autonomy are used to identify these effects. The results indicate that education ratio and interaction between west and east region with education ratio have a positive effect on income per capita, while the achievement of autonomy by fiscal decentralization and income per capita have improve income equality. This supports the theory that fiscal decentralization works as a commitment device. The results also show that how fiscal decentralization is promoted is important for how it impacts on income inequality Keywords
: General Allocation Fund, Inequality, fiscal decentralization
iii
RINGKASAN SOEKARNO. Analisis Dampak Dana Alokasi Umum terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Aceh Tahun 2004-2009. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan MUHAMMAD FIRDAUS Proses pembangunan jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam pembangunan (Nazara,2010). Ada empat proses perubahan struktur ekonomi dengan peningkatan pendapatan perkapita, salah satunya adalah masalah distribusi baik distribusi pendapatan maupun faktor produksi. Indonesia yang selama pemerintahan orde baru menggunakan sistem sentralistik menyebabkan ketidakmerataan, dimana hampir 60 persen perekonomian terjadi di Pulau Jawa. Hal ini juga terjadi di Provinsi Aceh dimana 80 persen kegiatan perekonomian dikuasai daerah yang berada di Pesisir Timur. Menyandari hal ini pemerintah pada tahun 1999 melakukan perubahan besar pada sistem pemerintahan dan keuangan dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Dana Perimbangan. Kebijakan ini lebih dikenal dengan desentralisasi. Salah satu tujuan desentralisasi adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan dan memberikan kewenangan yang lebih baik masalah pemerintah dan keuangan. Desentralisasi fiskal yang merupakan kebijakan pemberian kewengangan pengaturan keuangan oleh pemerintah daerah bertujuan untuk memperkecil kesenjangan fiskal masingmasing daerah. Untuk menunjang kebijakan desentralisasi adalah dengan memberikan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Salah satu dana transfer yang bersifat block grant atau dengan kata lain penggunaannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini diberikan untuk tujuan memperkecil kesenjangan fiskal daerah yang pada akhirnya akan memperkecil ketimpangan wilayah dan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita dan dana alokasi umum terhadap ketimpangan di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan data panel dinamis dengan periode tahun 2004-2009 dan sebanyak 20 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Hasil dari penelitian ini pada model menunjukkan bahwa rasio pengeluaran pendidikan memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Pada model kedua terlihat bahwa DAU/APBD memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan ketimpangan demikian halnya pendapatan perkapita. Selain itu juga terlihat bahwa daerah Pantai Barat memberikan dampak penurunan yang lebih besar terhadap ketimpangan pendapatan dibandingkan dengan Pantai Barat. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa perlu pengawasan dan penetapan standar penggunaan dana alokasi umum agar tepat pada tujuan dari desentralisasi yaitu memperkecil kesenjangan fiskal daerah yang pada akhirnya memperkecil ketimpangan pendapatan Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal , Dana Alokasi Umum, Ketimpangan Pendapatan
iv
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis apapun tanpa izin IPB.
v
ANALISIS DAMPAK DANA ALOKASI UMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2009
SOEKARNO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Mohammad Dokhi,Ph.D
vii
Judul Tesis
Nama NIM
: ANALISIS DAMPAK DANA ALOKASI UMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2009 : Soekarno : H151090224
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua
Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 30 Juni 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc,Agr.
Tanggal Lulus :
viii
ix
KATA PENGANTAR Segala Puji Bagi Allah Subhawata’alla atas segala rahmat, hidayah dan keberkahan-NYA yang telah diturunkan ke bumi kepada seluruh ummat manusia sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tersampaikan kepada Nabiyullah Muhammad Shallahu alaihi wasssalam atas segala pedoman dan teladan kejujuran dalam menulis karya ilmiah Karya tulis berjudul ANALSIS DAMPAK DANA ALOKASI UMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2009 dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir Tesis, sebagai syarat dalam memenuhi gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, Penulis juga berterima kasih kepada beberapa pihak yang berjasa selama proses penulisan tesis, yakni: 1. Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S., atas bimbingan, saran dan arahan selama proses pembuatan karya tulis ini. 2. Muhammad Firdaus, Ph.D, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak saran yang membangun sehingga penulisan tesis menjadi lebih baik. 3. Mohammad Dokhi, Ph.D, Sebagai Penguji Luar komisi yang juga telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan Tesis. 4. Dr. Sri Mulatsi selaku penguji dari Ilmu Ekonomi, terima kasih atas masukannya 5. Nunung Nuryartono, Ph.D yang selalu memberikan semangat juga Ibu Lukytawati, Ph.D 6. My Beloved Wife, Widiarti, makasih atas segala perhatian, pengertian, bantuan dan juga senyumannya, mas bisa menyelesaikan tesis ini 7. Anakku yang shaleh Yazid Al Wafiy dan Nada Sausan yang Shaleha. 8. Orang tuaku Farida Anom Rahimahallah semoga Allah meringankan dosa dan menerima amal beliau 9. Orang tuaku Rafai Hamid, Kakaku tersayang Mience, Abangku Benny, Ka Wati, Pa Mahpudi dan Long Atik yang telah membantu selama ini. Juga
x
Bapak dan Ibu Mertua, Mb Lina dan A’ Indra dan Mb Dian dan mas Woko yang membantu penulis selama di Jakarta. 10. Badan Pusat Statistik, terutama rekan-rekan di BPS Provinsi Aceh dan BPS Kabupaten Aceh Singkil terutama Bapak Ir. Hamdani dan Ibu, Bapak Ir. Syahril Efendi dan Ibu. 11. Ida Fariana, Mas Hadi, mas Irawan dari BPS serta mas Siregar dan Dani dari Kemenkeu yang telah membantu mengumpulkan data. 12. Mas Aji, Mb Atik, Mb Wita yang telah membantu mengolah data, Mb Ipeh dan Mb Lia yang selalu memberikan semangat dan masukan dan teman-teman batch 2. 13. Mb Dian di Pasca IE yang selalu membantu kami dalam menyelesaikan tesis ini. Penyusunan karya tulis ini diakui penulis masih terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan, substansi isi maupun etika tata bahasa. Akhirnya, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan peradaban dunia. Bogor, Juni 2011
Soekarno,SE
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pontianak, Kalimantan Barat tanggal 7 Nopember 1980 dari pasangan Rafai Hamid dan Farida Anom Rahimahallah. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara yaitu Mience dan Benny. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SDN 01 Mempawah pada tahun 1993. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 01 Mempawah, namun pada tahun 1994 penulis pindah ke SMPN 02 Mempawah dan tamat pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN 02 Mempawah dan lulus tahun 1999. Penulis selanjutnya diterima di Fakultas Teknik Universitas Tanjung Pura melalui jalur SMPTN. Namun pada tahun yang sama penulis juga di terima di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Penulis di STIS memilih Jurusan Statistik Ekonomi dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya penulis ditugaskan di daerah Kabupaten Aceh Singkil sebagai staf di BPS. Pada tahun 2008 penulis diangkat menjadi Kasie IPDS BPS Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 2009 penulis diterima di Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor dengan Mayor Ilmu Ekonomi. Penulis memiliki seorang istri yang shaleha bernama Widiarti Ariani. Penulis awalnya memiliki 3 orang anak, yang pertama Yazid Al Wafiy, dan kembar Nada Sausan dan Nida Tsabita. Namun tahun 2011 Nida Tsabita dipanggil yang mahakuasa. Semoga Allah memudahkan segala urusan kami.
xii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv DARTAR GAMBAR ................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xix
I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................
1 1 8 8 8 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...... 2.1. Kerangka Teori .......................................................................... 2.1.1. Konsep Otonomi ............................................................ 2.1.2. Desentralisasi Fiskal ...................................................... 2.1.3. Dana Alokasi Umum ..................................................... 2.1.4. Pengelolaan Keuangan Daerah ...................................... 2.1.5 Pengeluaran Pemerintah Daerah ................................... 2.1.6. Ketimpangan Pendapatan .............................................. 2.1.7 Anlisis Regresi Panel ................................................... 2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan. 2.3. Tinjauan Empiris .................................................................... 2.4. Kerangka Penelitian ................................................................. 2.5. Hipotesis ..................................................................................
11 11 11 12 18 21 25 29 32 44 45 47 47
III.
METODE PENELITIAN .............................................................. 3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 3.2. Identifikasi Variabel ................................................................. 3.3. Metode Analisis ........................................................................ 3.3.1. Analisis Deskriptif ........................................................ 3.3.2. Analisis Regresi Panel Model Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pendapatan Perkapita ................. 3.3.3 Analisis Regresi Panel Model Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan ............................................
49 49 51 51 51
KONDISI PEREKONOMIAN EKONOMI ACEH..................... 4.1 Gambaran Perekonomian Provinsi Aceh................................... 4.1.1 Penduduk ...................................................................... 4.1.2 Pendidikan .................................................................... 4.1.3 Kesehatan ..................................................................... 4.2 Infrasruktur ............................................................................... 4.3 Pertumbuhan Ekonomi ............................................................. 4.4 Ketimpangan Pendapatan ......................................................... 4.5 Pengentasan Kemiskinan ..........................................................
57 57 60 62 64 66 68 71 73
IV.
55 56
xiv
4.6 Dana Alokasi Umum ................................................................ 4.7 Pengangguran ........................................................................... 4.8 Indeks Pembangunan Manusia .................................................
76 80 81
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota ................ 5.1.1 Sisi Penerimaan Daerah ................................................ 5.1.2 Sisi Pengeluaran Daerah .............................................. 5.2 Dampak Pengeluaran Pemerintah Pendapatan Pendapatan Perkapita ................................................................................. 5.3 Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan ................ 5.4 Implikasi Kebijakan ...............................................................
87 87 87 91 96 100 106
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 6.2 Saran .........................................................................................
109 109 109
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
111
V.
VI.
xv
DAFTAR TABEL
Nomor 1
Teks
Halaman
Share PDRB kab/kota terhadap Provinsi Aceh menurut region Thun 1993-1998 (Persen) ......................................................................
2
2
PDRB perkapita kabupaten/kota tahun 1993-1998 (Rupiah) ................
3
3
Indeks Theil PDRB perkapita Provinsi Aceh tahun 1993-1998 ............
5
4
Dana Perimbangan Provinsi Aceh Tahun 2005-2009 (Juta Rp) ...........
7
5
Pemetaan format anggaran kabupaten/kota beberapa peraturan ...........
23
6
Nama dan keterangan variabel yang digunakan dalam penelitian ........
51
7
Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF) .................................
53
8
Skala interval indeks kemampuan rutin daerah (IKRD) .......................
55
9
Nama Ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Aceh .......
59
10
Jumlah penduduk di Provinsi Aceh tahun 2005- 2009 (Jiwa) ...............
60
11
Jumlah Penduduk di Provinsi Aceh menurut kelompok umur tahun 2006-2009 ....................................................................................
62
Persentase penduduk buta huruf menurut kelompok umur tahun 2008-2009 ...................................................................................
63
Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur di Provinsi Aceh tahun 2008-2009 ..........................................................................
64
Angka harapan hidup dan angka kematian bayi beberapa provinsi di Indonesia .............................................................................
65
Jumlah rumah sakit, puskesmas, dan puskesmas pembantu di Aceh menurut kabupaten/kota tahun 2006-2009 (Unit) ................................
66
Panjang jalan kabupaten/kota menurut kondisi jalan di Provinsi Aceh tahun 2008 (Km) .........................................................................
67
Pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha tahun 2005-2009 (Persentase) ................................................................
69
12
13
14
15
16
17
xvi
18
Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tanpa migas di Aceh tahun 2005-2009 (Persentase) ................................................................
70
19
Kontribusi dan pertumbuhan (dengan migas) beberapa kabupaten/kota tahun 2006- 2008 (Persentase) ............................................................... 71
20
Alokasi DAU kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (Juta Rupiah) ........................................................................
76
Angka harapan hidup (tahun) kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 ...................................................................................
82
Angka melek huruf kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (Persentase) ................................................................
83
Indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 ....................................................................................
84
24
Uji Hausman ...........................................................................................
97
25
Hasil estimasi dampak rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita ...............................................................
97
21
22
23
26
Hasil estimasi dampak DAU, pendapatan perkapita, populasi D0DAU terhadap gini ratio .................................................................. 101
27
Indeks theil PDRB perkapita Provinsi Aceh tahun 2004-2009 ............. 106
28
Hasil estimasi dampak DAU, pendapatan perkapita, populasi D0DAU terhadap gini ratio .................................................................. 107
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1
Teks
Halaman
Diagram dotplot PDRB perkapita kabupaten/kota periode 1993-1998 .................................................................................
4
2
Formulasi DAU tahun 2009 ..................................................................
20
3
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB .............................................
29
4
Kurva U terbalik kuznet (Inverted U Curve Hypothesis ) .....................
30
5
Kurva lorenz ..........................................................................................
31
6
Kerangka pemikiran penelitian .............................................................
47
7
Peta Provinsi Aceh menurut kabupaten/kota tahun 2010 ......................
57
8
Persentase kondisi jalan di Provinsi Aceh tahun 2008 ..........................
68
9
Indeks Gini kabupaten/kota Provinsi Aceh tahun 2005 ........................
72
10
Indeks Gini kabupaten/kota Provinsi Aceh tahun 2009 ........................
73
11
Persentase kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005 ............................................................................................
74
Persentase kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2009 ............................................................................................
75
Grafik penduduk miskin tahun 2005 dan DAU tahun 2007 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ..........................................................
77
Grafik penduduk miskin tahun 2007 dan DAU tahun 2009 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ...........................................................
78
Dana alokasi umum tahun 2007, PDRB perkapita tahun 2006 dan persentase kemiskinan tahun 2005kab/kota di Prov Aceh ...................
79
Dana alokasi umum tahun 2009, PDRB perkapita tahun 2007 dan persentase kemiskinan tahun 2007 kab/kota di Prov Aceh ...................
80
Kepadatan penduduk tahun 2009 dan jumlah pengangguran tahun 2008-2009 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ........................................
81
12
13
14
15
16
17
xviii
18
Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode 2004-2009 ...........
88
19
Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota periode 2004-2009 di Provinsi Aceh ...........................
89
Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat kabupaten/kota periode 2004-2009 .......................................................
91
21
Derajat belanja rutin kabupaten/kota periode 2004-2009 .....................
93
22
Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota periode 2004-2009.......
94
23
Derajat kemandirian kabupaten/kota periode 2004-2009 ......................
96
24
Persentase RT yang menerima pelayanan gratis tahun 2004-2009 ........
99
25
Rata-rata rasio DAU/APBD daerah Pantai Barat dan Pantai Timur tahun 2004-2009 .................................................................................... 103
26
Share PDRB wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terhadap Pembentukan PDRB Provinsi Aceh tahun 2004-2009(Persentase) ....... 103
27
Rata-rata pendapatan perkapita migas Pantai Barat dan Pantai Timur Tahun 2004-2009 (Juta Rupiah) ............................................................. 104
28
Diagram dotplot PDRB perkapita kabupaten/kota dengan migas di Provinsi Aceh tahun 2004-2009. ....................................................... 105
20
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 ................
116
2
Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp) .....
117
3
Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp)....
118
4
Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp) .............
119
5
Belanja Rutin Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Rp. 000) .................
120
6
Belanja Pembangunan Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Rp. 000) ...
121
7
Script Hasil Pengolahan Fixed Effect, Random Effect dan Ordinary Least Square Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan .......... 122
8
Script Hasil Uji Model Dampak Rasio Pendidikan, Rasio Infrastruktur dan Rasio Kesehatan terhadap Pendapatan Perkapita ............................ 124
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang akan membawa suatu perubahan mendasar pada struktur ekonomi (Nazara, 2010). Pemikiran Chenery et al (1975) dalam Nazara (2010) empat proses yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya pendapatan perkapita di suatu perekonomian, keempat proses tersebut adalah: (i) proses akumulasi yaitu proses yang memperbesar kue ekonomi melalui penggunaan sumber daya untuk peningkatan kapasitas produksi di perekonomian. (ii) proses alokasi yaitu menghasilkan perubahan sistematis dalam komposisi permintaan dan produksi domestik, serta perdagangan internasional. Ketika pendapatan perkapita meningkat, proporsi permintaan masyarakat mulai bergeser dari produk pangan ke non-pangan. (iii) transisi kependudukan. Peningkatan pendapatan perkapita juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur penduduk. (iv) proses distribusi. Distribusi terjadi antara kelompok masyarakat, diantara pemilik faktor produksi, dan juga terjadi antardaerah atau antarprovinsi. Distribusi antar daerah juga menjadi perhatian di Indonesia. Selama empat dekade hampir 60 persen distribusi kegiatan perekonomian terletak di Pulau Jawa Bali. Ketimpangan distribusi ekonomi ini bila terus dibiarkan akan menimbulkan dampak sosial, dan ekonomi. Ketimpangan antar daerah juga terjadi di Provinsi Aceh, dimana sejak tahun 1993 – 1998 kegiatan perekonomian 80 persen dihasilkan di daerah Selat Malaka atau Pantai Timur yang meliputi Banda Aceh, Sabang, Lhoksumawe, Langsa, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Tamiang, sedangkan daerah Lautan Hindia atau Pantai Barat yang terdiri dari Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simelue hanya 7 persen dan daerah Gayo Alas Singkil yang terdiri dari Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil sebesar 6 persen. Daerah yang tergabung di Selat Malaka pada tahun 1993 menguasai perekonomian Aceh sebesar 87.90 persen sedangkan daerah yang tergabung dalam Lautan Hindia dan Gayo Alas Singkil hanya menguasai masing-masing
2
6.60 persen dan 5.51 persen. Ketimpangan terus terjadi pada tahun 1998, dimana daerah Selat Malaka menguasai perekonomian Aceh sebesar 87.78 persen dan daerah Lautan Hindia atau Pantai Barat hanya 6.72 persen Tabel 1. Share PDRB kab/kota terhadap Provinsi Aceh menurut region tahun 1993-1998 (Persen) Kab/Kota
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Lautan Hindia 1. Aceh Jaya 2. Aceh Barat 3. Nagan Raya 4. Abdiya 5. Aceh Selatan 6. Simelue
0.78 1.67 1.09 1.14 1.46 0.46
0.93 1.98 1.37 1.28 1.75 0.53
0.99 2.09 1.48 1.34 1.94 0.57
1.00 2.06 1.48 1.35 1.92 0.57
0.94 1.97 1.36 1.26 1.84 0.54
0.82 1.59 1.23 1.00 1.63 0.46
Jumlah
6.60
7.85
8.41
8.38
7.91
6.72
Gayo Alas Singkil 7. Aceh Tengah 8. Gayo Lues 9. Aceh Tenggara 10. Aceh Singkil
3.14 0.66 0.80 0.90
3.61 0.75 0.92 1.06
3.78 0.78 0.96 1.11
3.88 0.84 1.04 1.08
3.60 0.84 1.04 1.01
3.04 0.72 0.90 0.84
Jumlah
5.51
6.34
6.64
6.85
6.50
5.49
Selat Malaka 11. Banda Aceh 12. Sabang 13. Lhoksumawe 14. Langsa 15. Aceh Besar 16. Pidie 17. Bireuen 18. Aceh Utara 19. Aceh Timur 20. Aceh Tamiang
3.16 0.37 22.45 1.89 3.06 4.16 4.33 40.70 3.45 4.33
3.49 0.41 22.06 2.26 3.41 4.79 4.84 35.69 4.20 4.66
3.47 0.43 20.44 2.43 3.79 5.12 4.73 35.26 4.40 4.89
3.52 0.45 21.12 2.60 3.99 5.04 4.77 33.53 4.65 5.11
3.35 0.43 23.71 2.55 3.85 4.70 4.57 33.28 4.73 4.43
2.44 0.34 18.81 1.83 3.39 4.19 4.06 44.90 3.97 3.86
Jumlah
87.90
85.81
84.96
84.77
85.59
87.78
Sumber : BPS Aceh (diolah)
Ketimpangan yang dilihat dari PDRB perkapita di Aceh juga masih terjadi ketimpangan antar daerah Barat dengan daerah Timur pada tahun 1993 rata-rata PDRB perkapita daerah Selat Malaka mencapai Rp. 4.65 juta sedangkan daerah Lautan Hindia hanya mencapai Rp. 1.04 juta. Tabel 2 yang menunjukkan PDRB perkapita di daerah Selat Malaka menunjukkan peningkatan yang cukup baik dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998. Daerah Lautan Hindia pada tahun 1993 yang memiliki PDRB perkapita yang terendah adalah Kabupaten Aceh Selatan
3
sebesar Rp 917,236,- sedangkan daerah Gayo Alas Singkil yang terendah yaitu wilayah Aceh Tenggara yang hanya mencapai Rp. 651,139.50,-. Daerah yang tergabung dengan Selat Malaka PDRB perkapita yang terendah hanya Rp. 1,036,868.95,-. Terlihat bahwa terdapat kesenjangan pendapatan perkapita dimana daerah selat malaka lebih baik dibanding dengan daerah lainnya. Tabel 2. PDRB perkapita kabupaten/kota tahun 1993-1998 (Rupiah) Kab/Kota
1993
1995
1997
1998
Lautan Hindia 1. Aceh Jaya
1,065,875.19
2,084,994.26
2,747,492.26
2,261,817.52
2. Aceh Barat
1,227,979.26
1,783,676.66
2,135,323.06
2,500,377.16
3. Nagan Raya
1,014,143.87
1,614,335.54
1,936,336.27
2,521,333.07
4. Abdiya
1,256,599.53
1,721,970.65
2,076,782.27
2,383,251.85
5. Aceh Selatan
917,236.88
1,413,259.91
1,727,651.24
2,205,887.99
6. Simelue
809,902.18
1,186,922.86
1,560,148.72
1,968,855.90
7. Aceh Tengah
1,869,390.63
2,482,898.35
2,893,748.61
3,414,316.51
8. Gayo Lues
1,244,328.11
1,739,787.15
2,410,627.12
2,912,522.51
9. Aceh Tenggara
651,139.50
913,200.82
1,265,012.33
1,531,576.13
10. Aceh Singkil
1,029,314.28
1,415,345.40
1,620,168.83
1,876,890.14
11. Banda Aceh
1,733,181.42
2,225,934.35
2,770,856.14
2,915,630.18
12. Sabang
1,658,593.70
2,290,974.19
3,251,663.83
3,921,604.24
13. Lhoksumawe
23,698,013.10
24,408,630.05
36,389,152.45
41,711,450.20
14. Langsa
1,990,457.20
2,901,324.82
3,915,607.88
4,658,404.13
15. Aceh Besar
1,329,868.95
1,913,011.98
2,459,052.66
3,457,164.38
16. Pidie
1,036,121.56
1,497,369.57
1,742,266.42
2,985,332.86
17. Bireuen
1,433,584.94
1,902,609.02
2,384,569.23
3,545,166.26
18. Aceh Utara
10,110,074.47
10,376,925.23
12,607,998.54
24,360,528.69
19. Aceh Timur
1,238,973.10
1,830,468.24
2,272,356.69
2,781,969.90
20. Aceh Tamiang
2,334,375.18
3,065,306.11
3,615,678.92
4,727,153.22
Gayo Alas Singkil
Selat Malaka
Sumber : BPS NAD (diolah)
Gambar 1 dibawah dengan menggunakan dotplot yang merupakan gabungan seluruh kabupaten/kota se Provinsi Aceh terlihat bahwa ada dua daerah yang memiliki PDRB perkapita yang tertinggi, yaitu Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhoksumawe. Diagram dotplot terlihat bahwa adanya perbedaan pendapatan
4
perkapita antara Pantai Barat yang berkumpul pada nilai dibawah Rp 6 juta, sementara daerah Pantai Timur lebih menyebar. Jika dilihat dari nilai standar deviasi pendapatan perkapita seluruh kabupaten/kota pada tahun 1993 sebesar 5.04 meningkat menjadi 9.29 pada tahun 1998. Perbedaan pendapatan perkapita antar daerah bisa disebabkan oleh perbedaan sumber daya manusia dan sumber daya alam pada masing-masing daerah. Selain itu perbedaan pendapatan perkapita bisa juga disebabkan oleh distribusi perekonomian yang belum merata antar daerah sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terpusat hanya pada daerah tertentu saja.
Kab/Kota Barat Timur
1993
1995
1998
0
Rata-Rata Std Dev
6
1993 2.87 5.04
12
18 24 30 PDRB Perkapita (juta rupiah)
1994 3.01 4.77
1995 3.43 5.06
1996 3.88 5.73
36
42
1997 4.58 7.48
1998 5.46 9.29
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 1 Digram dotplot PDRB perkapita kabupaten/kota tahun 1993-1998. Mengukur ketimpangan antar daerah antara lain dapat menggunakan indeks williamson, indeks theil, kriteria bank dunia, indeks gini. Ketimpangan yang diukur dengan Indeks Wiliamson dan Indeks Theil dapat menggunakan data PDRB perkapita. Penelitian ini menggunakan Indeks Theil untuk mengukur
5
ketimpangan antara wilayah
dan Indeks Gini untuk mengukur ketimpangan
pendapatan di kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh. Tabel 3 dengan Indeks Theil PDRB perkapita di Aceh juga mengalami perubahan setiap tahunnya. Pada tahun 1993 indeks theil Aceh mencapai 0.773 dan terus menurun hingga menjadi 0.567 pada tahun 1996. Nilai indeks theil meningkat kembali pada tahun 1997 dan 1998 masing-masing 0.660 dan 0.695. Hal ini bisa disebabkan oleh kriris ekonomi yang melanda Indonesia. Nilai Indeks Theil apabila semakin kecil menunjukan ketimpangan di daerah tersebut juga semakin rendah demikian sebaliknya. Tabel 3 Indeks Theil PDRB perkapita Provinsi Aceh tahun 1993 - 1998 No
Tahun
1 2 3 4 5 6
1993 1994 1995 1996 1997 1998
Nilai 0.773 0.641 0.572 0.567 0.660 0.695
Sumber : BPS (diolah)
Ketika proses pembangunan yang dilaksanakan masa pemerintahan orde baru dengan sistem sentralistik menghasilkan ketidakmerataan antardaerah, maka hal ini dapat dipahami oleh pemerintah pusat dan daerah. Pada Era reformasi, maka diterbitkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang otonomi dearah dan dana perimbangan keuangan atau lebih dikenal dengan desentralisasi. Tujuan dari desentralisasi yang dijalankan di Indonesia mempunyai alasan menurut Simanjuntak (2002) dalam Agustina (2010), antara lain: 1) untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara; 2) mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintah daerah; 3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah; 4) mengurangi ketimpangan daerah; 5) menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah; 6) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Beberapa
penelitian
menyatakan
bahwa
dengan
dilaksanakannya
desentralisasi akan mengurangi ketimpangan antar daerah walaupun ada
6
penelitian yang menyebutkan dengan desentralisasi justru meningkatkan kesenjangan daerah. Rodriguez et al (2009) jalur yang menyebabkan desentralisasi menyebabkan kesenjangan antar daerah dilihat dari dua sisi yaitu ekonomi dan politik. Jika dilihat dari sisi ekonomi, perbedaan sosial ekonomi yang dimiliki oleh daerah mungkin akan merusak potensi keuntungan dari kebijakan berdasarkan kebutuhan lokal yang tepat dan akan meningkatkan kompetisi antar daerah. Misalnya bagi daerah miskin dengan desentralisasi akan meningkatkan korupsi, rendahnya sumber pajak, rendahnya infrastruktur, pendidikan dan sumber teknologi, kapasitas fiskal yang rendah, investasi dari luar yang kecil untuk memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya akan memperkecil inovasi daerah. Dari sisi politik, desentralisasi akan memperkecil pengaruh daerah miskin dalam alokasi sumber daya dan transfer. Desentralisasi memerlukan kekuatan bagi daerah untuk menyuarakan kebijakan dan mengambil serta mengolah sumber daya alam yang dimiliki. Transfer dana dari pusat ke daerah sepertinya akan meningkatkan kesenjangan antara daerah yang kaya dan miskin apabila tanpa formula yang tepat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek, dengan pemberian kekuasaan pengumpulan pajak ke daerah, maka daerah yang banyak industri dan sumber ekonomi akan memiliki tingkat pajak yang tinggi. Jangka
menengah dan panjang, dengan kebijakan desentralisasi yang tidak
terarah akan menciptakan suasana politik yang dapat meningkatkan kesenjangan antar daerah. Penelitian yang menjelaskan bahwa dengan desentralisasi akan menurunkan ketimpangan didasarkan pada kenyataan bahwa transfer kewenangan dan keuangan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas bagi pemerintah daerah sehingga memperkecil perbedaan dalam penyediaan barang dan jasa antardaerah sesuai dengan arahan dari pemerintah pusat melalui standar pelayanan minimum. Selain itu, desentralisasi juga meningkatkan efisiensi promosi di segala bidang. Pemerintah daerah akan mengalokasikan secara efektif dan efisien sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tiebout (1956) dan Oates (1972) dalam Rodriguez et al (2009) desentralisasi fiskal dapat memberikan dampak yang positif bagi pemerintah di level bawah.
7
Pertama adalah dari sisi ekonomi, pemerintah daerah dapat menyesuaikan kemampuan keuangan yang dimiliki dengan preferensi yang bermacam-macam dari masyarakat yang berbeda di tiap daerah sehingga alokasi akan lebih efektif. Kedua adalah pemerintah daerah dapat memanfaatkan secara maksimal sumber daya yang belum dimanfaatkan dan meningkatkan kreatifitas pemerintah daerah untuk mencapai kebijakan yang lebih efektif. Memanfaatkan secara maksimal sumber daya yang dimiliki oleh daerah dan peningkatan kreatifitas pemerintah daerah akan menghasilkan barang publik dan jasa yang lebih efisien dan memperluas kebijakan yang inovatif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan ekonomi yang efisien (Oates,1996 dalam Rodgriguez et all 2009). Proses desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antardaerah yang selama orde baru masih cukup lebar. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan ketidakmerataan. Kapasitas daerah menjadi lebih penting. Selain itu kebijakan pembangunan dan politik daerah menjadi kunci keberhasilan dan penentu pembangunan. Pemerintah pusat dalam usaha memperkecil ketimpangan daerah dalam segi fiskal, maka mengeluarkan kebijakan berupa transfer dana kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum. Dana ini bersifat block grant artinya pemerintah daerah diberikan keleluasan untuk mengelolah dana tersebut untuk pembangunan daerahnya masing-masing. Tabel 4 Dana perimbangan Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (juta Rp.) 2005 2006 2007 2008 Dana Perimbangan
2009
Dana Alokasi Khusus
229,550
592,800
800,688
969,646
992,108
Dana Alokasi Umum
3,101,872
5,020,879
5,666,371
6,348,755
6,833,515
Dana Bagi Hasil
1,946,005
3,716,674
1,694,561
1,777,896
1,241,551
Sumber : Kemenkeu
Peningkatan dana perimbangan terutama DAU yang meningkat signifikan diharapkan dapat memacu daerah untuk menggali sumber daya, sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan memperkecil kesenjangan fiskal sehingga daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan di Aceh sehingga dimasa datang dapat lebih mandiri sesuai dengan tujuan dari desentralisasi fiskal
8
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dimana salah satu tujuan pemberian dana alokasi umum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperkecil kesenjangan pendapatan di Provinsi Aceh, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana dampak DAU untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh? 2. Bagaimana dampak pengeluran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita di Provinsi Aceh? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh DAU penurunan ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh 2. Menganalisis
seberapa
besar
pengaruh
pengeluaran
infrastrukur,
pendidikan dan kesehatan pemerintah daerah dalam mempengaruhi peningkatan pendapatan perkapita selanjutnya menurunkan ketimpangan pendapatan di Aceh
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai gambaran tentang dampak DAU terhadap ketimpangan pendapatan daerah yang memiliki IPM rendah dan IPM tinggi dan antara Pantai Barat dan Pantai Timur, sehingga dapat diketahui seberapa besar perbedaan pada katagori tersebut. Penelitian ini juga diharapkan memberikan informasi dampak pengeluaran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan provinsi daerah untuk mempengaruhi peningkatan nilai tambah ekonomi yang selanjutnya meningkatkan pendapatan perkapita di Provinsi Aceh. Penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan pusat dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
9
mengalokasikan dana-dana yang diterima dengan tepat dan efisien sehingga tujuan dari desentralisasi dapat terlaksana. 1.5. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini meliputi dua hal. Pertama, memberikan gambaran tentang dampak DAU terhadap ketimpangan pendapatan. Kedua, memberikan gambaran tentang seberapa besar dampak pengeluaran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan perkapita yang di Aceh Cakupan analisis penelitian ini adalah sebanyak 20 kabupaten/kota di Provinsi Aceh periode 2004-2009 dikarenakan 3 kabupaten yang baru merupakan daerah pemekaran. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data PDRB Provinsi Aceh, PDRB kabupaten/kota se Provinsi Aceh, data Kor survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS), data anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten/kota se Provinsi Aceh. Keterbatasan penelitian ini adalah periode penelitian dimulai tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh data series yang tersedia lengkap mulai tahun 2004
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definisi 2.1.1 Konsep Otonomi Otonomi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Desentralisasi memiliki makna yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi adaalah suatu instrumen yang telah lama di lakukan oleh negara-negara maju untuk mempermudah pengambilan keputusan publik secara cepat dan tepat dengan demokrasi. Efektifitas dan jangkauan bergantung pada tiga variabel : luas tanggung jawab yang dipikul oleh pemerintah wilayah, cukup tersedianya sumber-sumber buat mereka, dan derajat kebijakan (discretion) yang mereka nikmati dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber daya mereka (Davey dalam Lubekran, 2007). Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack, 1999, dalam Abimanyu et al,2009). a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. b. Desentralisasi
administrasi,
merupakan
pelimpahan
kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur otonomi daerah pada pasal 13 dijelaskan mengenai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi. Urusan tersebut adalah :
12
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. 4. Penyediaan dan sarana dan prasarana umum 5. Penanganan bidang kesehatan. 6. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. 7. Penanggulangan masalah sosial lalu lintas kabupaten/kota. 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota 9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah 10. Pengendalian lingkungan hidup 11. Pelayanan pertanahan 12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan 14. Pelayanan administrasi penanaman modal 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Selain masalah yang telah dijelaskan di atas, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk mengatur yang berpotensi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kekhasan yang dimiliki oleh daerah. 2.1.2 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 oleh pemerintah menitikberatkan kepada mekanisme
13
pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro, 2004). Sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen bagi pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kebijakan desentralisasi fiskal memperjelas tentang sumber penerimaan daerah, dengan dukungan fiskal maka fungsi pemerintah dapat dilaksanakan lebih maksimal, adapun fungsi pemerintah yaitu fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz,2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisisen, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakann barang yang bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik jika didukung oleh faktor-faktor pendukung, sebagai berikut Sidik (2002) dalam Agustina (2010) : Pertama, adanya peran pemerintah pusat yang intensif dalam melakukan pengawasan dan enforcement. Kedua, terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan, khususnya dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Ketiga, stabilitas politik yang kondusif. Keempat, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kelima, desain kebijakan dari keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusidan kapasitas manajerial yang
14
diinginkan sesuai dengan permintaan daerah. Keenam, kualitas sumber daya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran yang sebelumnya pemerintah pusat. Proses desentralisasi fiskal sesuai dalam Undang-undang No. 33 Tahun 1999 mempunyai tujuan pokok antara lain : 1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah 2. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti. 3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonomnya dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. 4. Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah. 5. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah. 6. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah. Pemberlakuan UU No. 25 Tahun 1999 diperbaharui oleh UU No. 33 Tahun 2004 membuat suatu konsekuensi adanya dana transfer dari pemerintah ke pemerintah daerah. Sebelum masa otonomi daerah transfer dari pemerintah pusat ke daerah di bagi menurut tiga jenis transfer, yaitu i) Subsidi Otonomi Daerah (SDO); ii) Dana Inpres; iii) Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah untuk menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintah. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah, sebagian kecil lainnya untuk keperluan selain subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikatagorikan sebagai transfer pusat bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki
15
kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan pemerintah pusat. Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan,
terutama
dalam
hal
kesempatan
kerja,
partisipasi
dalam
pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara itu Daftar Isian Proyek merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikatagorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah. Setelah terjadinya desentralisasi fiskal, ketiga jenis bantuan tersebut diganti, dimana pemerintah daerah lebih berperan dalam pembangunan daerahnya yang menjadi prioritas masing-masing dengan mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat selain dari pendapatan asli daerah. Alasan yang menjadikan perlunya transfer dari pemerintah pusat ke daerah adalah : 1. Untuk mengatasi ketimpangan vertikal Pemerintah pusat masih menguasai sebagai bersar dari penerimaan pajak yang potensial bagi daerah. Artinya pemerintah daerah hanya diizinkan memungut pajak lokal, yang mobilitasnya rendah 2. Mengatasi ketimpangan horizontal. Sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah berbeda-beda. Sehingga apabila transfer dari pemerintah pusat ditiadakan, maka kesenjangan antar daerah akan semakin lebar. Daerah yang miskin sumber daya tidak akan sanggup mengejar ketertinggalan dengan daerah kaya. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum. Peranan distribusi sektor publik akan relatif dan cocok dijalankan oleh pemerintah daerah. Daerah yang memiliki sedikit sumber daya akan sulit untuk mencapai standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah
16
pusat,maka
diperlukannya
transfer
dari
pemerintah
pusat
untuk
meningkatkan pelayanan tersebut. 4. Mengatasi masalah yang timbul akibat menyebarnya efek pelayanan publik. Beberapa jenis pelayanan publik di suatu daerah dapat menimbulkan efek pada daerah lain, sehingga apabila pemerintah pusat tidak berperan,maka daerah yang merasakan diuntungkan dengan adanya pelayanan publik yang disediakan oleh daerah lain cenderung untuk tidak mau berinvetasi atau menjaga pelayanan publik tersebut. Contonhnya jalan. 5. Stabilisasi Transfer dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjaga stabilisasi, jika terjadi gejolak perubahan yang mempengaruhi perekonomian daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara garis besar dibedakan atas bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grant). Dana grant dibagi lagi menjadi bantuan blok (block grant) dan bantuan spesifik (specific grant). Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa penerimaan daerah dalah Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khsusus. Desain sistem atau model suatu transfer tidak terlepas dari tujuan ekonomi yang hendak dicapai. Ada beberapa model transfer yang banyak dilaksanakan di negara, antara lain : a. Otonomi. Merupakan prinsip yang mendasari desentralisasi fiskal, apakah suatu negara itu berbentuk federal maupun kesatuan. Intinya adalah bahwa pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. b. Penerimaan yang memadai (revenue adequency). Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk di dalamnya transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban dan fungsi yang diembannya. c. Keadilan (equity).
Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah ini
seyogyanya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah, dan
17
sebaliknya, berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. d. Transparan dan stabil. Formula transfer harus diumumkan sehingga dapat di akses masyarakat. Formula tersebut juga seyogyanya dapat digunakan untuk jangka menengah (sekitar tiga sampai lima tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah. e. Sederhana
(simplicity).
Alokasi
dana
kepada
pemerintah
daerah
semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif, dimana unit-unit tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu, formula yang dipakai juga seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. f. Insentif. Desain transfer ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dan menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah. Hubungan antara desentralisasi fiskal dengan ketimpangan masih menjadi perdebatan. Desentraliasi fiskal yang memfokuskan terhadap keuntungan efisiensi memberikan
argumen
bahwa
desentralisasi
fiskal
akan
meningkatkan
ketimpangan karena sistem keuangan terpusat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur publik untuk semua wilayah dan mengurangi ketimpangan wilayah, terutama untuk wilayah yang baru berkembang (Prud’homme , 1995 dalam Akai, 2005). Sebaliknya teori terbaru menjelaskan ketimpangan wilayah terkait dengan efisiensi dari pelayanan publik, maka dengan dilakukannya desentralisasi fiskal akan tidak hanya meningkatkan efisiensi tapi juga mengurangi ketimpangan wilayah (McKinnon, 1995; Qian dan Weingast,1997 dalam Akai 2005). Pada sistem sentralistik dimana anggaran daerah diatur dari pusat sering tidak tepat sasaran karena informasi yang diterima pusat tidak menyeluruh sehingga dana yang disalurkan untuk suatu kegiatan menjadi tidak tepat sasaran. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk mengatur anggaran sendiri dengan standar tertentu dari pemerintah pusat diharapkan akan mengurangi ketimpangan wilayah.
18
2.1.3 Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU adalah transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintah daerah otonom dalam bentuk blok, artinya penggunaan dari DAU ditetapkan sendiri oleh daerah. Penggunaan DAU diutamakan untuk membiayai pelayanan dasar kepada masyarakat daerah. DAU ini dapat dianggap pengganti subsidi daerah otonom dan sebagian dana inpres di masa lalu (pada masa pemberlakuan UU No. 32/1956). Dalam UU No. 25 tahun 1999 tujuan alokasi DAU adalah menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sehingga daerah kurang mampu akan mendapat alokasi DAU yang relatif besar. Penetapan DAU menurut UU No. 33/2004 dialokasikan minimum sebesar 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya 10% dari dana tersebut akan diberikan kepada pemerintah propinsi dan 90% kepada pemerintah kabupaten dan kota. Perumusan besaran transfer dana DAU dilakukan oleh DPOD dan menteri keuangan. DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan formula dan perhitungan DAU kepada presiden sebelum penyampaian nota keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Menteri keuangan melakukan perumusan formula dan penghitungan alokasi DAU dengan memperhatikan pertimbangan DPOD. Menteri Keuangan menyampaikan formula dan perhitungan DAU sebagai bahan penyusunan RAPBN. Rumus DAU sebaiknya didasarkan atas formula sederhana, mudah dipahami dan dihitung oleh daerah bila data tersedia. Selain itu perhitungan yang dibuat juga harus logis, dalam pengertian memenuhi kaidah prinsip teori serta harus konsisten. Formula alokasi DAU harus memiliki variabel yang datanya terdapat di setiap daerah dan harus dapat dipertanggungjawabkan Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula, celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kondisi keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan kebutuhan fiskalnya dan kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi
19
dasar adalah kebutuhan dana daerah untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Secara umum formulasi dasar dari DAU ke suatu daerah adalah sebagai berikut 1:
DAU = CF + AD dimana, DAU = Dana Alokasi Umum CF = Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal AD = Alokasi Dasar Operasionalisasi perhitungan DAU, baik untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, didasarkan atas perumusan umum sebagai berikut:
DAU Prop( i )
CF Prop ( i )
DAU Kab/Kota ( i )
CF Prop
x Alokasi DAU Prop
CF Kab/Kota ( i ) CF Kab/Kota
x Alokasi DAU Kab/Kota
Sedangkan penetapan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah diperoleh melalui perumusan sebagai berikut:
á 1 Indeks jumlah penduduk á 2 Indeks luas wilayah Kebutuhan Fiskal = TBDR x
á 3 Indeks kemahalan konstruksi á 4 Indeks pembangunan manusia á 5 Indeks PDRB per kapita
dimana: TBDR = Total Belanja Daerah Rata-rata =
i
= Bobot masing-masing indeks yang didapat dari hasil uji ekonometrika
Indeks Jumlah Penduduk ( i )
1
B. Pegawai B.Barang B.Modal Jmlh Prop atau Kab/Kota
Jumlah penduduk daerah
(i)
Jumlah penduduk secara nasional
Machfud Sidik; B Raksaka Mahi; Robert Simanjuntak; Bambang Brojonegoro. (2002), Dana Alokasi
Umum, Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah , LPEM-UI, Jakarta.
20
Indeks Luas Wilayah ( i )
Luas wilayah daerah
(i)
Luas wilayah secara nasional
Indeks Kemahalan Konstruksi Wilayah( i )
Indeks Pembanguna n Manusia Wilayah ( i )
Indeks PDRB per kapita Wilayah( i )
Indeks kemahalan konstruksi daerah ( i )
Rata - rata indeks kemahalan secara nasional Indeks Pemb Manusia daerah
(i)
Rata - rata indeks Pemb Manusia nasional
PDRB per kapita daerah
(i)
Rata - rata PDRB per kapita nasional
Sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan fungsi penerimaan potensial daerah yang berasal dari sumber-sumber resmi yang telah ditetapkan oleh UU. Adapun perhitungan kapasitas fiskal daerah dapat dirumuskan sebagai berikut: Kapasitas Fiskal = PAD + Dana Bagi Hasil Formulasi dana alokasi umum 2009 di hitung dengan adalah sebagai berikut: DAU
=
ALOKASI DASAR
BELANJA PEGAWAI PNSD
+
KEBUTUHAN FISKAL
INDEKS PENDUDUK (30%) INDEKS LUAS WILAYAH (15%)*
CELAH FISKAL
-
KAPASITAS FISKAL
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (50%) DANA BAGI HASIL PAJAK (75%)
INDEKS K K (30%)
INDEKS P M (10%)
DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (50%)
INDEKS PDRB PER KAPITA (15%)
KbF = TBR(a 1 IP + a 2 LW + a 3 IKK + a 4 IPM + a 5 PDRB Per Kapita) Sumber : Kemenkeu (2011)
Gambar 2 Formulasi DAU tahun 2009.
21
Dana perimbangan lainnya adalah dana alokasi khusus yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang ditetapkan
dalam APBN. Daerah penerima dana alokasi khusus wajib
menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) yang dianggarkan dalam APBD. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah : 1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. Misalnya kebutuhan kawasan transmigrasi, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan drainase primer. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain proyek yang didanai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyekproyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. 2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah mengalami perubahan seiring dengan dilaksanakanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim 2007). Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik. Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek
22
analisis yang saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari: 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biayabiaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, menurut Mulyana (2006) sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan atau penyeimbangan) seluruh sumbersumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Secara struktural, penerimaan daerah meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan belanja daerah dibagi menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan (Mulyana 2006).
23
Tabel 5 Pemetaan format anggaran kabupaten/kota beberapa peraturan Jenis Pengeluaran Rutin
Rutin
MAKUDA 1981 Pengeluaran Staff
Kepmendagri No. 29/2002 Aparatur-Adm Umum Aparatur-Adm umum
Pengeluaran Staff Pengeluaran Staff
Belanja Tidak Langsung
Pembayaran Hutang dan Bunga Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya
Rutin
Rutin
Pembayaran Hutang Subsidi
Hibah Bantuan Sosial
Pensiun dan Santunan Subsidi/Bantuan
Rutin
Keuangan untuk pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Pengeluaran tak terduga Barang dan Jasa Operasional
Rutin Rutin
Pemeliharaan Biaya perjalanan dinas Belanja pembangunan
Belanja Pembangunan
Belanja pembangunan
Permendagri No. 13/2006 Pengeluaran Staff
Dana Hasil
Bagi
Bantuan Keuangan
Aparatur operasional dan perawatan Publikoperasional dan perawatan Aparaturoperasional dan perawatan
Publikoperasional dan perawatan
Aparatur publik
Pengeluaran tak terduga Pengeluaran staff
Belanja Langsung
Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Bantuan Keuangan untuk pemerintahan daerah atau desa Pengeluaran tak terduga Belanja Barang dan Jasa
Pengeluran staff Barang jasa
dan
Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan lainnya Barang dan jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan lainnya Belanja modal
Belanja Modal
Sumber : Mulayana (2006)
Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset,
24
baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format yang berbasis MAKUDA 1981 (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002. Perundangan Kemendagri
Nomor
29/2002
tersebut
tentang
Pedoman
Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002). Perbedaan disebabkan karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumbersumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana 2006). Struktur belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi merupakan satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Pengelompokan
25
belanja berdasarkan fungsinya misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Pengelompokan jenis belanja terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. Pembiayaan
dirinci
menurut
sumber
pembiayaan.
Sumber-sumber
pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana 2006). Kepmendagri Nomor 29/2002 selanjutnya direvisi kembali dengan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri Nomor 29/2002. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri Nomor 13/2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. 2.1.5 Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkaitan dengan fungsi stabilisasi, pemerintah pusat dan daerah melakukan kegiatan pengeluaran dana untuk menjalankan segala aktivitas operasional pemerintah. Pengeluaran pemerintah sebagai kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian dengan menjadi bagian dari permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa output dari perekonomian. Permintaan agregat terdiri dari konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto. Pengeluaran pemerintah memiliki fungsi multiplier effect atau angka pengganda. Angka
26
pengganda menunjukkan rasio antara perubahan tingkat output dan perubahan pengeluaran pemerintah. Semakin besar angka pengganda maka semakin besar dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat output. Pengeluaran pemerintah pada sisi penawaran agregat ikut mendorong ketersediaan faktor produksi. Selain melakukan pembelian barang dan jasa, pemerintah menyediakan barang modal dan jasa tenaga kerja. Pemerintah mendorong penciptaan output yang berarti juga mendorong pertumbuhan. Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 2008) yaitu : 1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan
27
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila
keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain.
28
Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. 4. Kurva Scully. Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully (Mangkosoebroto 1997),
yang menerangkan hubungan antara
peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, rasio pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih
29
rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
g
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
0
t
Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Mangkosoebroto (1997)
Gambar 3
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB.
2.1.6 Ketimpangan Pendapatan Kuznets pada tahun 1955, memperkenalkan suatu pemikiran hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan distribusi pendapatan, yang dikenal dengan hipotesis “kurva U terbalik” (inverted U shaped pattern) artinya distribusi pendapatan cenderung timpang pada awal pembangunan dan kemudian cenderung lebih merata pada tahap selanjutnya, sejalan dengan perbaikan tingkat pertumbuhan eknonomi. Kuznets juga menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar yang terjadi pada negara-negara yang belum berkembang (under-developed countries) berkaitan dengan rata-rata pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kuznets mengasumsikan bahwa ketimpangan pendapatan ada bersama (presumably coexisted) dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang rendah. Kuznets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin meningkat, maka terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan jasa. Dalam transisi ekonomi ini, produktivitas tenaga kerja pada sektor modern lebih tinggi daripada produktivitas sektor pertanian
30
sehingga pendapatan per kapita pada sektor modern juga akan lebih tinggi. Hasilnya, ketimpangan antara kedua sektor itu semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada tahap selanjutnya.
Sumber : Setianegara (2003)
Gambar 4 Kurva U Terbalik Kuznets (Inverted U Curve Hypothesis). Ketimpangan pendapatan merupakan suatu fenomena yang masih dihadapi oleh
negara-negara
berkembang.
Ketimpangan
distribusi
pendapatan
mencerminkan bahwa pembagian hasil pembangunan tidak merata dirasakan oleh masyarakat. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser, dalam Ajiji, 2010). Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menyebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi ekonomi. 2. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas 3. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim umumnya dianggap tidak adil.
31
Para ekonom dalam mengukur ketimpangan membedakan menjadi dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yaitu : distribusi pendapatan perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi. Penelitian ini menggunakan Indeks Gini yang merupakan bagian dari pengukuran melalui distribusi pendapatan perseorangan . Indeks Gini adalah berasal dari kurva Lorenz, yaitu mengukur luas daerah A yang dibentuk oleh kurva Lorenz dan garis pemerataan. Gini ratio adalah ukuran ketimpangan atau ketidakmerataan agregat (secara keseluruhan) atau rasio daerah A dengan segitiga BCD yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. semakin kecil nilai gini ratio maka ketimpangan semakin rendah. Angka 0 adalah sempurna. Nilai antara 0,50-0,70 mengalami ketidakmerataan tinggi, nilai 0,360,49 mengalami ketidakmerataan sedang dan nilai 0,20 – 0,35 mengalami ketidakmerataan rendah. Kurva lorennz merupakan titik-titik yang menghubungkan sumbur horizontal adalah persentase kumulatif dan sumbu vertikal adalah persentase pendapatan. Apabila kurva lorenz mendekati garis diagonal yang memotong persegi empat, maka dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki ketimpangan yang kecil.
Sumber : Setianegara (2003)
Gambar 5 Kurva Lorenz.
32
Indeks Gini =
Luas bidang A Luas bidang BCD
Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):
Gini
2Cov ( y , F ) y
y = pendapatan individu atau rumahtangga F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan (nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya)
y = pendapatan rata-rata Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4 x Rp 1 juta). Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata). 2.1.7 Analisis Regresi Panel Pendekatan cross section yang memiliki kelemahan telah memotivasi penggunaan model time series, akan tetapi melalui pendekatan time series juga memiliki kelemahan, sehingga muncul perhatian dalam penggunaan data panel, yaitu menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series). Menurut (Verbeek, 2004 dalam Firdaus 2009) dengan menggunakan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut: 1. Kombinasi data cross section dan time series dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. 2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
33
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Secara umum dengan menggunakan data panel akan menghasilkan intesep dan slope koefisien yang berbeda pada setiap obervasi dan setiap periode waktu, sehingga dalam mengestimasi akan muncul beberapa kemungkinan tentang asumsi intesep dan slope koefisien, yaitu :
34
1.
Diasumsikan intersep dan slope adalah tetap sepanjang waktu dan individu dan perbedaan intersep dan slope dijelaskan oleh variabel gangguan.
2.
Diasumsikan slope adalah tetap tetapi intersep berbeda antar individu.
3.
Diasumsi slope tetap tetapi intersep berbeda baik antar waktu maupun antar individu.
4.
Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu
5.
Diasumsikan intersep dan slope berbeda antara waktu dan antar individu.
Analisis Panel Statis Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu
Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: y it
ai
X it
it
……… (2.1)
dimana: y it : nilai dependent variable untuk setiap unit individu i pada periode t dimana i = 1, …, n dan t = 1, …, T ai : unobserved heterogenity X it : nilai independent variable yang terdiri dari sejumlah K variabel. Struktur datanya sebagai berikut.
35
periode 1 periode 2 periode T
X it
x111 x112 ... x11T x121
x211 x212 ... x21T x221
... ... ... ... ...
x K 11 xK 12 ... x K 1T xK 21
x122 ... x12T ... ... x1N 1 x1N 2 ...
x222 ... x22T ... ... x2 N 1 x2 N 2 ...
... xK 22 ... ... ... xK 2T ... ... ... ... ... xKN 1 ... x KN 2 ... ...
x1NT
x2 NT
... xKNT
individu ke-1
individu ke-2
individu ke-N
Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: it
dimana:
i
i
uit
……. (2.2)
: efek individu (time invariant)
u it : disturbance yang besifat acak ( u it ~ N (0,
2 u
))
Untuk two way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: it
dimana:
i
t
u it
t
…….. (2.3)
: efek waktu (individual invariant)
Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( efek dari waktu (
t
i
). Pada two way telah memasukkan
) ke dalam komponen error, u it diasumsikan tidak berkorelasi
dangan X it . Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara
i
dan
t
dengan X it .
Fixed Effect Model (FEM) FEM muncul ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept.
36
Untuk one way komponen error: y it
ai
i
X it
…… (2.4)
u it
Sedangkan untuk two way komponen error: yit
ai
i
X it
t
u it
….. (2.5)
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model.
Random Effect Model (REM) REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way komponen error: y it
ai
X it
u it
……. (2.6)
i
Untuk two way komponen error: y it
ai
X it
u it
i
……. (2.7)
t
Asumsi yang digunakan dalam REM adalah E u it |
i
E u it2 |
i
E
i
E
2 i
E u it
i
2 u
| x it
0 untuk semua i dan t
| x it
2
j
E u it u js E
0
j
Dimana untuk: One way error component:
i
i
Two way error component:
i
i
untuk semua i dan t
0 untuk semua i, t, dan j 0 untuk i 0 untuk i
j dan t j
s
t
37
Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E
i
| x it
0.
Pengujian asumsi ini menggunakan HAUSMAN test. Uji hipotesis yang digunakan adalah: H0 : E
i
| x it
Tidak ada korelasi antara komponen error dengan
0
peubah bebas H1 : E
H
i
ˆ
| x it
REM
Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas
0
ˆ
' FEM
M FEM
M REM
1
ˆ
REM
ˆ
FEM
~
2
k
.…. (2.8)
dimana M : matriks kovarians untuk parameter k : derajat bebas Jika H >
2 tabel
maka komponen error mempunyai korelasi dengan peubah bebas
dan artinya model yang valid digunakan adalah REM. Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS). Pemilihan untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect
menggunakan uji Haussman. Hausman test dilakukan dengan
hipotesis sebagai berikut: H0: E(t i | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1: E(t i | xit) ? 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman
dan
membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai ?2 statistik hasil pengujian lebih besar dari ?2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya. Regresi Panel Dinamis Baltagi (2005) menyatakan bahwa hubungan di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dinamis dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis yang melibatkan
38
variabel lag dependen sebagai variabel regresor di dalam model. Keuntungan penggunaan panel data dinamis adalah bahwa panel data dinamis dapat mengkaji mengenai analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut:
yit = d yi,t-1 + uit ; i=1,….,N; t=1…..,T
……...(2.9)
dengan d menyatakan suatu skalar, x’it menyatakan matriks berukuran 1xK dan ß matriks berukuran Kx1. Pada model ini, uit diasumsikan mengikuti model oneway error component sebagai berikut:
uit =µi + vit dengan uit ~ IID(0,
……(2.10)
) menyatakan pengaruh individu dan vit ~ IID(0,
)
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena fungsi dari
maka
juga merupakan fungsi dari
fungsi dari
maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor
. Dalam merupakan
. Karena
adalah dengan
. Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila
tidak
berkorelasi serial sekalipun. Pendekatan method of moments dapat digunakan untuk mengatasi masalah bias dan inkonsistensi. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Beberapa kelemahan metode GMM, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
39
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM) First-differences GMM (AB-GMM) Untuk mendapatkan estimasi tertentu,
akan
dilakukan
yang konsisten di mana
first-difference
mengeliminasi pengaruh individual
pada
dengan T
Persamaan
(2.9)
untuk
sebagai berikut: ...............(2.11)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga inkonsisten karena
dan
yang
berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, digunakan sebagai instrumen. Di sini, tetapi tidak berkorelasi dengan penduga variabel instrumen bagi
, dan
akan
berkorelasi dengan tidak berkorelasi serial. Di sini,
disajikan sebagai ..........(2.12)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah ............(2.13) Penduga (3.38) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi
disajikan
sebagai ..........(2.14) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah ...........(2.15)
40
Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
………..(2.16) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
……….(2.17) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh untuk t=2 , untuk t=3
, untuk t = 4 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan .............(2.18) sebagai vektor tranformasi error, dan
41
.............(2.19)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks
berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai .............(2.20) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, Persamaan (3.46) dituliskan sebagai ...............(2.21) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui,
akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni .. (2.22) dengan
adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan Persamaan (2.22) terhadap
akan diperoleh penduga
GMM sebagai ................(2.23) Sifat dari penduga GMM (2.23) bergantung pada pemilihan selama
definit positif, sebagai contoh
yang konsisten
yang merupakan matriks
identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi
. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi ...............(2.24) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian
, matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
42
consistent estimator bagi
dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel, yakni (two step estimator) ................(2.25) Dengan
menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa
pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
autokorelasi pada
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
Dengan catatan di bawah restriksi ..................(2.26) matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator) ................(2.27) Sebagai catatan bahwa (3.53) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error
diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
Persamaan (3.40) dapat dituliskan kembali menjadi ................(2.28) Parameter persamaan (3.45) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap
, sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila
strictly exogenous dalam artian bahwa error
tidak berkorelasi dengan sembarang
, akan diperoleh ; untuk setiap s dan t
...............(2.29)
43
sehingga
dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada
menjadi
besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen ; untuk setiap t
...............(2.30)
Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
...........(2.31)
Bila variabel di mana diperoleh
tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus dan lag
tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan , untuk s = t. Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai …............(2.32) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks
kemudian dapat
disesuaikan. System GMM (SYS-GMM) Pendekatan system GMM berkembang berdasarkan pemikiran Blundell dan Bond. Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
yit = d yi,t-1 + µi + v
…………..(2.33)
dengan E(µi) = 0, E(vit) = 0 dan E(µi vit) = 0 untuk i =1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal sedemikian sehingga d tepat teridentifikasi (just identified). Pada System GMM, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya
44
presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi t. 2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Penelitian
tentang
ketimpangan
wilayah
telah
banyak
dilakukan.
Ketimpangan yang paling umum adalah menurut definisi kuznet yang menjelaskan bahwa pada masa-masa awal pembangunan akan cenderung meningkatkan pendapatan per kapita yang diikuti dengan ketimpangan wilayah, akan tetapi semakin berkembangan daerah peningkatan pendapatan perkapita akan menurunkan ketimpangan. Desentralisasi fiskal yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan horizontal diharapkan akan menurunkan ketimpangan wilayah, karena dengan semakin baik pemanfaatan kewenangan fiskal daerah sesuai dengan standar pemerintah pusat akan memperkecil ketimpangan wilayah Dana Alokasi Umum Dana alokasi umum merupakan salah satu bantuan pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat block grant artinya pemanfaatan dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menurukan kesenjangan fiskal daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Akai N at al, 2005 di US State menunjukkan bahwa peningkatan rasio transfer pusat terhadap pendapatan daerah akan menurunkan ketimpangan wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang X, 2006 di Cina menunjukan bahwa transfer pusat memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini disebabkan oleh birokrasi yang rumit sehingga menghambat perekonomian. Pengeluaran Pemerintah Fan (2004) membuktikan bahwa pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur dan jasa di daerah pedesaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar terjadinya kemiskinan di Negara berkembang. Selain itu pengeluaran pembangunan untuk teknologi dan modal
45
manusia juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan di Negara Berkembang, khususnya negara-negara di Afrika. Pengeluaran pembangunan baik untuk infrastruktur, jasa, teknologi dan modal manusia terangkum sebagai pengeluaran investasi publik. Suparno (2010) juga menuliskan pengeluaran APBD sebagai proksi pengeluaran pemerintah untuk sektor publik berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk mempunyai pengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin besar jumlah penduduk, maka kemungkinan jumlah penduduk miskin juga akan semakin besar. Akai N (2005) juga memasukkan variabel populasi dalam penelitiannya dengan asumsi peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Pendapatan Perkapita Hipotesis Kuznet tentang kurva U terbalik pada awal-awal pembangunan peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan ketimpangan dan akan stabil pada jangka panjang dimana akan menurukan ketimpangan. Penelitian oleh (Amos 1988 dalam Akai 2005) menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan perkapita pada jangka panjang yang menurunkan ketimpangan terjadi apabila wilayah tersebut dalam kondisi stabil selamanya, artinya tidak terjadi gejolak ekonomi, perang dan lainnya. Akan tetapi apabila pembangunan yang telah dicapai dalam jangka panjang terjadi gangguan ekonomi, maka pendapatan per kapita akan menurukan meningkatkan ketimpangan. Oleh karena itu dalam dalam penelitian ini tanda dari pendapatan per kapita belum jelas bisa negatif atau positif terhadap ketimpangan wilayah. 2.3
Tinjauan Empiris Studi empiris untuk mengetahui faktor-faktor penentu atau faktor yang
dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan, telah banyak yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara maupun di Indonesia. Studi empiris yang pernah dilakukan para ahli di berbagai negara, antara lain:
46
Pertama, Skira (2006) meneliti tentang Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan di 165 Negara dengan interval 5 tahunan data yang digunakan dari 1965-2000. Hasilnya, Ada hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dengan pengurangan jumlah kemiskinan dan perbaikan pendidikan Kedua, Lessmann (2006) meneliti tentang dampak Desentralisasi fiskal dan disparitas pada negara OECD. Data yang digunakan 1980-2001. Hasilnya, Desentralisasi fiskal memberikan dampak yang buruk pada negara miskin. Pada negara makmur dentralisasi fiskal mengurangi kesenjangan. Ketiga, studi yang dilakukan oleh Rodriguez at al (2009) meneliti dampak desentralisasi terhadap ketimpangan regional dengan menggunakan data 26 negara dari tahun 1990 – 2005. Hasilnya menunjukan bahwa pengurangan ketimpangan terlihat pada negara yang kaya akan tetapi pada negara yang miskin tidak terlihat pengurangan ketimpangan. Keempat, Akai et al (2005), meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan yang menggunakan data US State dari tahun 1993-2000 memberikan hasil bahwa share pendapatan atau pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap ketimpangan. Hasil ini juga menjelaskan keberhasilan desentralisasi fiskal tergantung dari komitmen pemerintah. Di Indonesia, penelitian yang pernah dilakukan antara lain: Pertama, Nuringsih (2006), meneliti tentang dampak penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di NAD. Hasilnya, (1) adanya perbedaan yang cukup signifikan penerimaan pajak sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. (2) Objek pajak meningkat setelah desentralisasi fiskal. Kedua, Haryanto (2006), meneliti tentang desentralisasi fiskal dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, Studi kasus; kabupaten/kota di Indonesia. Hasilnya, (1) variabel pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, (2) variabel pengangguran memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, (3) belanja daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, (4) variabel PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
47
2.4
Kerangka Penelitian Berdasarkan uraian diatas, secara sederhana dalam penelitian ini bertujuan
untuk melihat dana transfer yang diterima oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dari tahun 2004 – 2009 dalam bentuk dana alokasi umum. Sementara itu untuk melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pendapatan perkapita, maka digunakan variabel pengeluaran pemerintah daerah di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan. Ketimpangan Antar Daerah
Desentralisasi Politik
Desentralisasi Administrasi
Partisipasi Masyarakat
Alokasi Belanja Publik (Berkualitas)
Akuntabilitas
Alokasi DAU
Desentralisasi Keuangan
Alokasi Belanja Publik (Berkualitas)
Peningkatan Sarana dan Prasarana Perekonomian
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Penurunan Ketimpangan Pendapatan
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian. 2.5
Hipotesis Dari penjelasan diatas, maka tujuan pemberian dana alokasi umum untuk
memperkecil kesenjangan horizontal antar daerah sehingga daerah yang miskin sumber daya dapat mengejarkan ketertinggalan dengan daerah yang lebih kaya sehingga
dapat
menurunkan
ketimpangan
pendapatan
masyarakatnya.
48
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Akai N (2005), Lessmann C (2006) yang meneliti dampak desentralisasi fiskal, maka dalam penelitian ini membuat suatu hipotesis, yaitu : a. Pemberian dana alokasi umum diduga akan menurunkan ketimpangan pendapatan b. Kenaikan pengeluaran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan pemerintah daerah akan meningkatkan pendapatan perkapita daerah
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Data yang digunakan antara lain PDRB Provinsi Aceh, PDRB kabupaten/kota se Provinsi Aceh, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Indeks Gini, dan angka kemiskinan. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) didapat dari Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Periode yang diteliti mulai tahun 2004 sampai dengan 2009. Data PDRB yang digunakan berdasarkan hasil perhitungan BPS dan telah diterbitkan tiap tahun dalam berbagai publikasi. Nilai PDRB yang ditampilkan meliputi PDRB dengan memasukkan unsur minyak dan gas bumi (migas) dan tanpa memasukkan unsur migas. PDRB juga ditampilkan dengan membedakan menjadi PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Data konsumsi rumahtangga dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS. Pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga menggunakan nilai besarnya pengeluaran. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini. 3.2 Identifikasi Variabel Merujuk pada latar belakang, permasalahan, tujuan serta hipotesis yang ada dan didukung dengan tinjauan pustaka dari berbagai hal, maka ada beberapa variabel yang relevan digunakan dalam penelitian. Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan adalah: 1.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN sebesar 26% dari Pendapatan Domestik Neto yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
50
2.
Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah seluruh penerimaan suatu daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, baik itu yang berasal dari PAD, dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah.
3.
Total Pengeluaran Daerah (TKD) adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah, baik untuk belanja rutin maupun untuk belanja pembangunan.
4.
Belanja Rutin (BR) adalah belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain.
5.
Belanja Pembangunan (BP) adalah belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu.
6.
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 (PDRB) Perkapita adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun.
7.
Pengeluaran Infrastruktur adalah besaran dana pengeluaran pemerintah daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah di bidang penataan ruang, bidang pemukiman, bidang pekerjaan umum, bidang perhubungan bidang lingkungan hidup
8.
Pengeluaran Kesehatan adalah pengeluaran pemerintah kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang/fungsi kesehatan.
9.
Pengeluaran Pendidikan adalah pengeluaran pemerintah kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah di bidang pendidikan/fungsi pendidikan
10.
Populasi adalah jumlah penduduk yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tersedia dalam publikasi PDRB kabupaten/kota BPS.
11.
Gini rasio (GINI) merupakan ukuran ketimpangan pendapatan dari sisi pengeluaran per kapita. Angka Gini rasio diperoleh dari perhitungan penulis dengan menggunakan data SUSENAS kor Tahun 2004-2009.
51
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6 Nama dan keterangan variabel yang digunakan dalam penelitian Nama Variabel
Keterangan
Satuan
DAU
Rasio Dana Alokasi Umum
Rasio
TPD
Total penerimaan daerah
Juta Rupiah
TKD
Total pengeluaran daerah
Juta Rupiah
BR
Belanja rutin daerah
Juta Rupiah
BP
Belanja pembangunan daerah
Juta Rupiah
BHPBP
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
Juta Rupiah
SB
Transfer pusat yang bersifat bantuan
Juta Rupiah
INF
Rasio Pengeluaran Infrastruktur
Rasio
KES
Rasio Pengeluaran Kesehatan
Rasio
PDD
Rasio Pengeluaran Pendidikan
Rasio
PDRBP
Pendapatan Perkapita
Juta Rupiah
Gini
Gini Ratio
Rasio
POP
Jumlah Penduduk
Jiwa
3.3 Metode Analisis 3.3.1 Analisis Deskriftif Analisis deskriftif digunakan untuk mempermudah mendeskripsikan dan menafsirkan tabel dan grafik. Analisis ini melihat pertumbuhan ekonomi, persebaran perekonomian dan ketimpangan antar daerah di provinsi aceh. Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis Kinerja Keuangan Daerah Keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijakan penyelenggaraan yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Sumbersumber pengeluaran daerah terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan. Perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja
52
keuangan pemerintah daerah, yang disajikan dengan menggunakan bantuan grafik dan tabel. Tujuannya untuk menelusuri dan mengungkapkan struktur serta pola data tanpa mengaitkan secara kaku asumsi-asumsi tertentu. Untuk keperluan analisis ini dipergunakan data APBD dari setiap kabupaten/kota di Aceh. Kinerja keuangan daerah dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu melalui sisi penerimaan (fiscal availability) dan sisi pengeluaran (fiscal needs). Sisi Penerimaan (Fiscal Availability) Ketersediaan fiskal (Fiscal Availability) ditinjau dari tiga sumber yaitu: (1). Kemampuan keuangan yang tersedia murni berasal dari daerah yaitu PAD. Rasio PAD terhadap total penerimaan daerah menunjukkan kemandirian fiskal dari suatu daerah, yang dapat diformulasikan :
* 100 %
…..………………………….… (3.1)
Keterangan : DDF = Derajat desentralisasi fiskal (Persen) PAD
= Penerimaan Asli Daerah (Juta Rupiah)
SB
= DAU + DAK
TPD
= Total Penerimaan Daerah (Juta Rupiah) = PAD + BHPBP + SB + Lain-lain pendapatan daerah yang sah
(2). Kemampuan keuangan yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah berupa dana bagi hasil. Dana bagi hasil ini terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. Rasio dana bagi hasil terhadap total penerimaan daerah menunjukkan besarnya potensi daerah terhadap sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Hubungan ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
* 100% ……………………………….(3.2) Keterangan : DPS
= Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia (Persen) BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah)
53
(3). Kemampuan keuangan yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah yang bersifat bantuan (grant). Rasio transfer dari pusat
terhadap total
penerimaan daerah menunjukkan besarnya kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan atau besarnya ketergantungan daerah terhadap pusat. Hubungan ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
* 100% ………………………………….. (3.3) Keterangan : DKP = Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat (Persen) Semakin tinggi kemampuan keuangan daerah yang tersedia murni berasal dari PAD, maka semakin baik kinerja keuangan daerah tersebut, dengan kata lain derajat desentralisasi fiskalnya besar (mandiri). Kinerja keuangan, yang dilihat dari sisi penerimaan khususnya derajat desentralisasi fiskal dapat dikategorikan dalam skala interval. Pengkategorian hasil skala interval menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 7. Tabel 7
Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF)
DDF (dalam %)
Kemampuan Keuangan Daerah
00 - 10.00 10.01 - 20.00 20.00 - 30.00 30.01 - 40.00 40.01 - 50.00 > 50.00
Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik
Sumber: Tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan, 2005.
Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs) Kebutuhan
fiskal
(fiscal
needs)
daerah
merupakan
konsep
yang
menunjukkan jumlah anggaran yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan, baik untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Total pengeluaran daerah ini tertuang dalam APBD. Dengan perhitungan sebagai berikut:
54
(1). Pengeluaran rutin. Rasio pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran daerah.
* 100%
…..…………..…………….… (3.4)
Keterangan : DKR = Derajat belanja rutin daerah (Persen) BR
= Belanja Rutin (Juta Rupiah)
TKD
= Total Pengeluaran Daerah (Juta Rupiah) = BR + BP
(2). Pengeluaran Pembangunan. Rasio pengeluaran pembangunan terhadap total pengeluaran daerah. Semakin besar kontribusi rasio pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan pengeluaran rutin menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif, artinya pemerintah daerah lebih konsentrasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
* 100%
……………………………….… (3.5)
Keterangan : DKP
= Derajat belanja pembangunan daerah (Persen)
BP
= Belanja Pembangunan (Juta Rupiah)
Selain itu, perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat ditinjau dari derajat
kemandirian daerah, yang mengukur seberapa jauh penerimaan yang
berasal dari dalam daerah sendiri mampu membiayai kebutuhan daerah (Halim, 2007). Ada 4 formula yang dapat digunakan dalam mengukur derajat kemandirian daerah, yaitu : ………………………..………..………………….… (3.6) …………………………………..…………………...(3.7) ….....……………………………………..(3.8)
55
………………………….. ………………(3.9) Keterangan: DK
= Derajat Kemandirian Daerah (Persen)
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah)
BHPBP
= Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah)
TKD
= Total Pengeluaran Daerah (Juta Rupiah)
BR
= Pengeluaran Rutin (Juta Rupiah)
Dalam menilai derajat kemandirian daerah, digunakan skala menurut Tumilar dalam Tangkilisan (2005) terdapat skala interval yang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Skala interval indeks kemampuan rutin daerah (IKRD) Kemampuan Keuangan Daerah
IKRD (dalam %) 00 - 10.00 10.01 - 20.00 20.00 - 30.00 30.01 - 40.00 40.01 - 50.00 > 50.00
Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat Baik
Sumber : Tumilar dalam Tangkilisan, 2005.
3.3.2 Analisis Regresi Panel Model Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pendapatan Perkapita Analisis mengenai pengaruh pengeluaran pendidikan, infrastruktur dan kesehatan terhadap pendapatan perkapita menggunakan model ekonometrik panel statis. Model data statis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat secara sederhana pengaruh pengeluaran publik terhadap pendapatan perkapita, tanpa melihat pengaruh waktu (time lag) dalam permodelan. Model dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB perkapita mengacu pada penelitian Yuda (2011) setelah dilakukan modifikasi LnPDRBP i , t
0
1
LnINF i , t
2
LnKES i , t
3
LnPDD i , t
4
DLnPDD i , t
Keterangan : LnPDRBP : PDRB Perkapita Kab/Kota ke i tahun ke t (Juta Rupiah)
i,t
..(3.10)
56
LnINF : Rasio Pengeluaran Infrastruktur terhadap APBD Kab/Kota ke i tahun ke t LnKES : Rasio Pengeluaran Kesehatan terhadap APBD Kab/Kota ke i tahun ke t LnPDD : Rasio Pengeluaran Pendidikan terhadap APBD Kab/Kota ke i tahun ke t D
: Dummy Pantai Barat = 0 dan Pantai Timur = 1
DLnPDD : Interaksi antara Dummy dengan Rasio Pendidikan 3.3.3
Analisis Regresi Panel Model Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan Analisis mengenai pengaruh dana alokasi umum dan pendapatan perkapita
terhadap ketimpangan pendapatan dalam penelitian ini menggunakan analisis ekonometrik panel data dinamik dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM). Persamaan dalam penelitian ini mengacu pada model yang dibuat oleh Akai et al (2005) setelah dilakukan modifikasi untuk daerah Pantai Barat dan Pantai Timur : LnGini
i,t
0 3
0
LnGini i , t
LnPOPi , t
4
1
1
LnDAU i , t
D0 LnDAU
2
LnPDRBP i , t
i,t
……………….. (3.11)
Keterangan : LnGini
: Nilai Gini Rasio Kab/Kota ke i tahun ke t
LnGini(L1) : Lag Gini (t-1) LnDAU
: Rasio DAU terhadap APBD Kab/Kota ke i tahun ke t
LnPDRBP : PDRB Perkapita Kab/Kota ke i tahun ke t LnPOP
: Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun Kab/Kota ke i tahun ke t (Jiwa)
D0
: Dummy Daerah ke : 1 untuk Pantai Timur 0 untuk Pantai Barat
D0 LnDAU : Interaksi antara DAU dengan Pantai Barat dan Pantai Timur
BAB IV. KONDISI PEREKONOMIAN EKONOMI ACEH 4.1. Gambaran Perekonomian Aceh Provinsi Aceh terletak di ujung barat laut Pulau Sumatera dengan posisi 20 – 60 Lintang Utara dan 950 – 980 Bujur Timur dengan ibukota Banda Aceh dan memiliki luas 57,956.00 km2. Provinsi Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan kawasan hutan lindung dengan luas 24,440.81 km2 dan hutan budidaya 30,924.76 km2 (BPS Aceh, 2009).
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 7 Peta Provinsi Aceh menurut kabupaten/kota tahun 2010. Provinsi Aceh pada saat ini memiliki status otonomi khusus bersama dengan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sesuai dengan perkembangan, maka
58
Provinsi Aceh dengan ibukota Banda Aceh terus mengalami perkembangan dari segi pemerintahan, dari 10 kabupaten/kota tahun 2000 terus berkembang menjadi 20 kabupaten/kota pada tahun 2003 dan pada tahun 2007 bertambah kembali menjadi 23 kabupaten/kota. Adapun batas-batas Provinsi Aceh adalah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Selat Malaka
Sebelah Selatan
: Provinsi Sumatera Utara
Sebelah Timur
: Selat Malaka
Sebelah Barat
: Samudra Hindia
Provinsi Aceh saat ini terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, luas wilayah masing-masing kabupaten/kota terlihat pada Tabel 9. Kabupaten Simelue dan Kota Sabang adalah daerah yang terletak di pulau tersendiri masing-masing di Samudra Hindia dan Selat Malaka. Pada tahun 2010 terdapat empat wilayah kota yang memiliki persentase wilayah dibawah 1 persen yaitu Kota Banda Aceh dengan luas 61.36 km2 (sekitar 0.11 persen), Kota Sabang memiliki luas wilayah 153.00 km2 (0.26 persen dari luas total), Kota Langsa dengan ibukota Langsa hanya memiliki luas 262.42 km2 (sekitar 0.45 persen) dan Kota Lhoksumawe dengan luas 181.06 km2 (0.31 persen). Sementara itu Kota Subulussalam yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2007 memiliki wilayah sangat luas untuk katagori perkotaan yang mencapai 1,391.00 km2 (sekitar 2.40 persen). Pada tahun 2010 wilayah yang memiliki luas terbesar adalah Kabupaten Aceh Timur yang terletak di bagian Selat Malaka dengan luas mencapai 6,286.01 km2 (sekitar 10.85 persen) kemudian diikuti oleh Kabupaten Gayo Lues yang berada di dataran tinggi Gayo 5,719.58 km2 ( 9.87 persen). Kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki luas terkecil adalah Kabupaten Pidie Jaya yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Pidie pada tahun 2007 dengan luas wilayah hanya 1,073.60 km2 (sekitar 1.85 persen dari total luas wilayah Aceh). Kabupaten Bener Meriah yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2003 memiliki luas kabupaten terkecil kedua yaitu hanya mencapai 1,454.09 km2 (sekitar 2.51 persen). Pada Tabel 9 dijelaskan
59
nama kabupaten/kota berserta nama ibukota kabupaten/kota dan luas wilayah kondisi tahun 2009. Tabel 9 Nama ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Aceh Kabupaten / Kota
Ibukota
Luas Wilayah
Sinabang
(Km2) 2,051.48
(%) 3.54
2. Aceh Singkil
Singkil
2,185.00
3.77
3. Aceh Selatan
Tapaktuan
3,841.60
6.63
4. Aceh Tenggara
Kutacane
4,231.43
7.30
5. Aceh Timur
Idi
6,286.01
10.85
6. Aceh Tengah
Takengon
4,318.39
7.45
7. Aceh Barat
Meulaboh
2,927.95
5.05
8. Aceh Besar
Jantho
2,969.00
5.12
Sigli
3,086.95
5.33
Bireuen
1,901.20
3.28
11. Aceh Utara
Lhoksukon
3,236.86
5.59
12. Aceh Barat Daya
Blangpidie
1,490.60
2.57
Blangkejeren
5,719.58
9.87
Kuala Simpang
1,956.72
3.38
15. Nagan Raya
Jeuram
3,363.72
5.80
16. Aceh Jaya
Calang
3,812.99
6.58
Sp. Tiga Redelong
1,454.09
2.51
Meuredue
1,073.60
1.85
Banda Aceh
61.36
0.11
20. Sabang
Sabang
153.00
0.26
21. Langsa
Langsa
262.41
0.45
22. Lhokseumawe
Lhoksumawe
181.06
0.31
23. Subulussalam
Subulussalam
1,391.00
2.40
Banda Aceh
57,956,00
100.00
1. Simeulue
9. Pi d i e 10. Bireuen
13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang
17. Bener Meriah 18. Pidie Jaya 19. Banda Aceh
Provinsi Aceh Sumber: BPS Provinsi Aceh (data diolah)
60
4.1.1. Penduduk Penduduk adalah salah satu syarat untuk membentuk suatu daerah. Daerah akan maju apabila dapat memanfaatkan penduduknya dengan benar. Kondisi ini bisa terbalik apabila jumlah penduduk yang banyak tidak maksimal dalam proses pembangunan. Penduduk dapat berperan dalam pembangunan jika masing-masing individu
penduduk
mempunyai
keahlian
untuk
memperlancar
proses
pembangunan di daerah. Tabel 10 Jumlah penduduk di Provinsi Aceh tahun 2005 – 2009 (Jiwa) Kabupaten/ Kota
1. Simeulue 2. Aceh Singkil 3. Aceh Selatan 4. Aceh Tenggara 5. Aceh Timur 6. Aceh Tengah 7. Aceh Barat 8. Aceh Besar 9. Pi d i e 10. Bireuen 11. Aceh Utara 12. Aceh Barat Daya 13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang 15. Nagan Raya 16. Aceh Jaya 17. Bener Meriah 18. Pidie Jaya 19. Banda Aceh 20. Sabang 21. Langsa 22. Lhokseumawe 23. Subulussalam Prov Aceh
2005
2006
2007
2008
2009
78,389 148,277 191,539 169,053 304,643 160,549 150,450 296,541 474,359 351,835 493,670 115,676 72,045 235,314 123,743 60,660 106,148 177,881 28,597 137,586 154,634 -
80,380 92,605 202,080 173,056 311,413 166,895 151,552 304,303 365,813 354,027 506,002 119,397 73,752 239,260 123,984 65,996 109,429 125,892 199,241 29,098 139,893 157,635 61,870
81,127 94,961 209,853 174,371 313,333 170,766 152,557 307,362 373,234 355,989 510,494 121,302 74,312 239,451 124,141 70,673 111,040 128,446 219,659 29,144 140,005 158,169 63,444
81,790 100,265 210,111 175,501 332,915 182,533 153,398 310,107 380,382 357,564 517,741 123,101 74,794 239,899 124,340 75,597 112,549 130,906 217,918 29,221 140,267 158,760 64,256
82,344 102,505 215,315 177,024 340,728 189,298 158,499 312,762 386,053 359,032 532,537 124,813 75,165 241,734 125,425 82,904 114,464 135,345 212,241 29,184 140,415 159,239 66,451
4,031,589
4,153,573
4,223,883
4,293,915
4,363,477
Sumber : BPS Provinsi Aceh (data diolah)
61
Upaya daerah untuk meningkatkan keterlibatan penduduknya dapat dilakukan dengan memberikan kursus, pendidikan yang berkualitas dan sebagainya. Penduduk juga merupakan suatu pasar yang potensial jika di manfaatkan dengan baik. Daerah yang memiliki jumlah penduduk yang besar perekonomian akan lebih maju karena transaksi ekonomi akan semakin banyak. Penduduk Aceh setelah tsunami pada tahun 2004, hanya bertambah kurang lebih 300 ribu jiwa. Pada tahun 2005 keadaan penduduk aceh mencapai 4,08 juta jiwa dan pada tahun 2009 hanya naik menjadi 4.34 juta jiwa. Peningkatan penduduk yang cukup signifikan selama 5 tahun disebabkan banyaknya pendatang dari luar Aceh yang mencari pekerjaan di Aceh pasca tsunami dan didukung dengan keadaan keamanan kondusif. Kota sudah mulai kondusif, sehingga para transmigran yang dulunya mengungsi pada masa referendum sudah mulai kembali, walau tidak semua. Pendatang baru umumnya bekerja di sektor tersier seperti pedagangan, jasa pemerintahan dan swasta dan angkutan. Masalah kependudukan selalu berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Salah satu contoh adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan berpengaruh juga pada tingginya penyediaan tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja yang tinggi tanpa diikuti penyediaan kesempatan kerja yang cukup dan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang ada justru akan menimbulkan pengangguran di Provinsi Aceh. Penduduk Provinsi Aceh pada tahun 2006 untuk kelompok usia 0-14 tahun sebanyak 31.84 persen dan menurun menjadi 30.57 persen pada tahun 2009. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kelahiran Aceh sedikit melambat. Sementara itu kelompok usia produktif 15 – 60 tahun pada tahun 2006 mencapai 61.82 persen dan meningkat menjadi 62.82 persen pada tahun 2009. Meningkatnya penduduk usia produktif bisa menjadi keuntungan atau kerugian bagi provinsi ini. Apabila tersedia lapangan kerja yang cukup, maka kelompok usia ini dapat dimanfaatkan dengan baik dan mengurangi dampak kriminal demikian juga sebaliknya. Kelompok usia 60 tahun keatas pada tahun 2006 hanya sebesar 6.34 persen dan meningkat menjadi 6.61 persen. Peningkatan ini memberikan indikasi bahwa taraf hidup masyarakat Aceh semakin baik, karena penduduk usia lanjut semakin banyak.
62
Penduduk Aceh yang semakin meningkat menggambarkan bahwa kondisi perekonomian dan keamanan yang semakin baik. Perekonomian Aceh juga sudah mulai menyebar ke daerah Pantai Barat terlihat dari semakin tingginya peran daerah di Pantai Barat dalam pembentukan nilai tambah bruto dari 16.82 persen tahun 2004 meningkat menjadi 26.32 persen tahun 2009. Tabel 11 Jumlah penduduk di Provinsi Aceh menurut kelompok umur tahun 2006 – 2009 (000) Kelompok Umur 2006 2007 2008 2009 0–4
433.6
444.0
453.4
461.8
5–9
430.0
427.7
427.3
425.9
10 – 14
459.1
451.8
448.8
446.1
15 – 19
469.3
468.0
462.1
456.2
20 – 24
416.2
429.3
442.7
457.3
25 – 29
364.3
374.2
381.9
389.7
30 – 34
320.8
328.6
337.4
345.3
35 – 39
280.2
286.1
293.0
299.0
40 – 44
247.8
253.6
258.6
263.5
45 – 49
196.1
206.0
216.1
225.9
50 – 54
150.6
157.5
163.2
170.8
55 – 59
122.3
125.2
129.4
133.4
60 – 64
96.9
100.7
104.3
65 +
166.4
98.8 173,4
179.3
184.3
Prov Aceh
4,153.6
4,223.8
4,293.9
4,363.5
Sumber : BPS Provinsi Aceh (data diolah)
4.1.2. Pendidikan Pendidikan merupakan salah indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah/negara. Daerah yang memiliki banyak jumlah penduduk berpendidikan tinggi akan memiliki modal yang besar untuk melaksanakan pembangunan dengan maksimal karena semakin tinggi pendidikan masyarakat ketelibatannya dalam proses pembangunan semakin terarah. Keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti: persentase penduduk yang buta huruf dan angka partisipasi sekolah penduduk. Keberhasilan ini turut
63
ditentukan juga dengan jumlah anggaran bidang pendidikan yang disediakan, jumlah sekolah dan jumlah guru. Persentase penduduk yang buta huruf di Provinsi Aceh terus mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Pada tahun 2008, persentase penduduk usia 10-14 tahun di perkotaan yang buta huruf mencapai 0.56 persen kemudian menurun hingga menjadi 0.12 persen pada tahun 2009. Sedang penduduk yang tinggal di perdesaan dari tahun 2008 jumlah yang buta huruf penduduk usia 10-14 tahun mencapai 0.96 persen menurun menjadi 0.21 persen pada tahun 2009. Walaupun secara umum penduduk yang buta huruf menurun akan tetapi untuk kelompok usia 55-59 tahun meningkat dari 3.58 persen pada tahun 2008 menjadi 4.36 persen pada tahun 2009 untuk daerah perkotaan. Sedangkan untuk kelompok usia yang sama di pedesaan justru mengalami penurunan dari tahun 2008 mencapai 13.59 persen menjadi 11.92 persen pada tahun 2009 (lihat Tabel 12). Tabel 12 Persentase penduduk buta huruf menurut kelompok umur tahun 2008 – 2009 Perkotaan
Pedesaan
Total
Kelompok Umur (Tahun)
2008
2009
2008
2009
2008
2009
10 – 14
0.56
0.12
0.96
0.21
1.52
0.19
15 – 19
0.52
0.00
0.24
0.00
0.76
0.00
20 – 24
0.22
0.02
0.41
0.30
0.63
0.21
25 – 29
0.45
0.09
1.05
0.99
1.5
0.71
30 – 34
0.55
0.22
1.18
1.62
1.73
1.21
35 – 39
0.77
0.43
1.86
1.88
2.63
1.46
40 – 44
1.15
0.43
6.05
3.74
7.2
2.68
45 – 49
1.38
1.29
3.18
7.44
4.56
5.41
50 – 54
3.9
1.94
6.2
9.60
10.1
7.27
55 – 59
3.58
4.36
13.59
11.92
17.17
9.66
60 – 64
4.62
6.57
17.35
14.14
21.97
12.10
65 +
12.52
6.62
30.4
26.20
42.92
21.67
Sumber : BPS Aceh
Angka partisipasi sekolah menunjukkan persentase penduduk yang bersekolah pada setiap tingkatan sekolah. Semakin tinggi angka ini berarti
64
semakin besar proporsi penduduk yang bersekolah pada masing-masing tingkatan. Angka partisipasi sekolah penduduk yang berusia 7-24 tahun di Provinsi Aceh secara umum mengalami peningkatan dan angka putus sekolah juga menurun walau tidak terlalu signifikan. Pada saat ini pemerintah aceh sedang menggancarkan program sekolah gratis dan pemberian beasiswa gratis kepada masyarakat untuk melanjutkan studi di dalam dan luar negeri. Tabel 13 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur Provinsi Aceh tahun 2008 – 2009 (Persentase) Jenis Kelamin & Kelompok Umur (Tahun)
2008
2009
Tidak/ Belum Sekolah
Masih Sekolah
Tidak Sekolah lagi
Tidak/ Belum Sekolah
Masih Sekolah
Tidak Sekolah lagi
7-12
0.58
99.08
0.34
0.33
98.83
0.84
13-15
0.03
93.70
6.27
0.43
93.15
6.42
16-18
0.32
71.50
28.18
0.62
70.49
28.89
19-24
0.77
19.69
79.54
0.76
19.95
79.29
7-12
0.48
99.05
0.47
0.39
99.35
0.26
13-15
0.35
94.57
5.08
0.52
95.57
3.91
16-18
0.76
73.13
26.11
0.42
74.92
24.65
19-24
0.71
24.02
75.26
0.67
25.46
73.88
7-12
0.53
99.06
0.41
0.36
99.07
0.57
13-15
0.18
94.12
5.70
0.47
94.31
5.22
16-18
0.54
72.32
27.13
0.52
72.72
26.76
19-24
0.74
21.95
77.31
0.71
22.78
76.50
Laki – laki
Perempuan
Lakilaki+Perempuan
Sumber : BPS Aceh
4.1.3. Kesehatan Masalah kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan masnusia. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, kuat dan dengan kemampuan yang dimilikinya bisa berperan aktif dalam pembangunan. Pembangunan kesehatan juga merupakan salah satu upaya
65
pemerintah untuk meningkatkan modal manusia (human capital). Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti: angka harapan hidup, angka kematian bayi, dan juga penolong kelahiran. Angka harapan hidup penduduk Aceh sebesar 69.20 tahun. Jika dibandingkan dengan daerah penghasil migas seperti Riau dan Kalimantan Timur. Sementara itu angka kematian bayi terus mengalami penurunan dari tahun 2005 sebesar 33.4 jiwa/1000 kelahiran menurun menjadi 31.7 jiwa/1000 kelahiran. Angka kematian bayi di daerah lain seperi Riau dan Kalimantan Timur memiliki angka kematian bayi rendah. Pada tahun 2005 angka kematian bayi di Kalimantan Timur sebesar 22.9 jiwa menjadi 17.8 jiwa pada tahun 2009. lihat Tabel 14. Tabel 14 Angka harapan hidup dan angka kematian bayi beberapa provinsi di Indonesia Angka Harapan Angka Kematian Bayi (Persentase) Provinsi Hidup 2009 2005 2007 2009 (Tahun) 1. Banten
69.5
33.3
32.0
30.7
2. Kalimantan Timur
73.0
22.9
20.2
17.8
3. Aceh
69.2
33.4
32.6
31.7
4. Papua
69.8
33.9
31.7
29.7
5. Riau
72.1
33.9
31.7
29.7
Sumber : BPS
Salah satu indikator kesehatan yang penting adalah angka kematian bayi. Efektifitas tenaga kesehatan dalam menolong kelahiran sangat dibutuhkan, sehingga tenaga dokter/bidan yang terampil dan bersedia ditempatkan di daerah terpencil sangat dibutuhkan untuk menekan jumlah kematian bayi dan ibu melahirkan. Pada tahun 2009 jumlah dokter umum di Provinsi Aceh mencapai 575 orang dan dokter spesialis hanya 123 orang. Jika dilihat jumlah dokter spesialis yang sangat minim di daerah lautan hindia, maka pemerintah Aceh maupun pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas dokter umum yang ada untuk melanjutkan spesialis dengan komitmen untuk mengabdi ke daerah asal. Sementara itu jumlah tenaga bidan mencapai 2.341 orang yang menyebar merata di seluruh kabupaten/kota. Sarana kesehatan yang tersedia dan terjangkau juga turut menentukan keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Sarana kesehatan dibutuh apabila
66
memang dimanfaatkan dengan maksimal. Jumlah rumah sakit di Aceh mencapai 47 unit, sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 307 unit, puskesmas pembantu 931 unit dan puskesmas keliling 339 unit. Tabel 15 Jumlah rumah sakit, puskesmas, dan puskesmas pembantu di Aceh menurut kabupaten/kota tahun 2006-2009 (Unit) Kabupaten/Kota 1. Simeulue 2. Aceh Singkil 3. Aceh Selatan 4. Aceh Tenggara 5. Aceh Timur 6. Aceh Tengah 7. Aceh Barat 8. Aceh Besar 9. Pi d i e 10. Bireuen 11. Aceh Utara 12. Aceh Barat Daya 13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang 15. Nagan Raya 16. Aceh Jaya 17. Bener Meriah 18. Pidie Jaya 19. Banda Aceh 20. Sabang 21. Langsa 22. Lhokseumawe 23. Subulussalam Jumlah 2009 2008 2007
Rumah Sakit 1 1 1 1 2 2 1 1 1 3 1 1 1 2 1 0 0 0 11 2 5 8 0 47
Puskesmas 8 10 21 16 23 14 13 25 26 17 26 13 12 14 11 8 10 9 11 6 4 5 5 307 292 284
PKM Pembantu 6 29 26 39 52 50 46 73 70 172 88 28 35 32 32 28 35 26 24 11 7 22 0 931 903 896
PKM. Keliling 15 14 22 18 16 14 20 35 32 6 52 15 11 0 12 0 10 9 18 10 5 2 3 339 292 353
Sumber : BPS (2010)
4.2. Infrastruktur Infrastruktur merupakan salah satu sarana yang dapat menentukan pembangunan di daerah. Jika daerah memiliki sarana dan prasarana infrastruktur yang baik, maka perekonomian akan semakin maju. Pajang jalan kabupaten/kota di Provinsi Aceh pada tahun 2008 mencapai 13.581,59 km dengan kondisi yang baik hanya 17,73 persen, kondisi jalan sedang 51,86 persen dan kondisi jalan yang rusak mencapai 30,41 persen (lihat Tabel 16)
67
Tabel 16 Panjang jalan kabupaten/kota menurut kondisi jalan di Provinsi Aceh tahun 2008 (Km) Kabupaten/Kota Baik Sedang Rusak Jumlah 1. Simeulue
17.50
136.41
228.24
382.15
2. Aceh Singkil
30.00
151.60
218.70
400.30
3. Aceh Selatan
148.00
560.05
215.65
923.70
4. Aceh Tenggara
140.55
352.30
218.30
711.15
5. Aceh Timur
24.10
599.01
83.30
706.91
6. Aceh Tengah
247.78
141.83
384.86
774.47
7. Aceh Barat
66.55
229.60
364.30
660.45
8. Aceh Besar
205.90
973.10
144.50
1,323.50
9. Pi d i e
444.52
248.45
344.32
1,037.29
64.80
491.65
231.20
787.65
11. Aceh Utara
366.92
1,440.66
484.95
2,292.53
12. Aceh Barat Daya
113.45
178.31
226.94
518.70
64.00
193.95
266.75
524.70
147.85
608.99
11.40
768.24
15. Nagan Raya
-
8.00
102.20
110.20
16. Aceh Jaya
-
26.80
333.20
360.00
17. Bener Meriah
174.35
61.11
119.87
355.33
18. Banda Aceh
30.73
244.70
55.94
331.37
19. Sabang
25.45
101.52
9.43
135.92
20. Langsa
29.97
140.52
82.66
253.15
21. Lhokseumawe
66.18
155.20
2.50
223.88
2,408.60
7,043.28
10. Bireuen
13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang
Jumlah
4,129.71
13,581.59
Sumber : BPS (2010)
Panjang jalan yang baik merupakan indikator kemajuan bagi suatu daerah. Panjang jalan negara di Provinsi Aceh adalah 1,782.78 km sedangkan panjang jalan provinsi 1,681.82 km dan panjang jalan kabupaten 13,581.59 km. Panjang jalan kabupaten yang rusak mencapai 30.40 persen, sedangkan dalam kondisi baik mencapai 17.73 persen. Sementara itu panjang jalan provinsi yang rusak mencapai 36.78 persen pada tahun 2008 dan dalam kondisi baik hanya 26.31 persen
68
Gambar 8 menunjukan kondisi jalan menurut jenis di Provinsi Aceh 100% 17.59 80%
30.41
36.76 17.16
60% 36.93
40%
51.86
65.25 20% 26.31
17.73
0% Negara
Provinsi Baik
Sedang
Kabupaten Rusak
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 8 Kondisi jalan di Provinsi Aceh tahun 2008 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh cenderung negatif dari tahun 2005 2009. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan negatif karena jumlah produksi minyak dan gas alam di aceh semakin menurun. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Aceh yaitu -10.12 persen dan cenderung membaik walaupun masih tetapi negatif. Pada tahun 2005 dimana awal-awal gempa dan tsunami di Aceh, hampir semua sektor mengalami pertumbuhan negatif yang paling terimbas oleh peristiwa tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan dimana pertumbuhan masing-masing adalah -22.62 persen dan -22.30 persen. Pada tahun tersebut hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa yang mencapai pertumbuhan positif. Semakin banyaknya bantuan yang datang dalam upaya proses rekontruksi dan rehabiltasi gempa dan tsunami memberikan dampak yang positif pada pertumbuhan beberapa sektor terutama sektor pengangkutan dan komunikasi yang pada tahun 2009 mencapai 4,86 persen. Selain itu sektor yang cukup berperan dan semakin banyak berkembang di Provinsi Aceh adalah perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 3,28 persen.
69
Sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan juga terus mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini terlihat semakin banyaknya jasa keuangan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah daerah maupun lembaga asing untuk membantu perekonomian masyarakat. Pada tahun 2009 mencapai pertumbuhan 9.61 persen bertolak belakang pada awal-awal gempa yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar 9.53 persen. Tabel 17 Pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha tahun 2005-2009 (Persentase) Pertumbuhan LAPANGAN USAHA 2005 2006 2007 2008 2009 1. Pertanian 2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas dan air bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, sewa dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa
PDRB Migas
-3.89 -22.62 -22.30 -1.95 -16.14
1.52 -2.58 -13.80 12.06 48.41
3.62 -21.10 -10.10 23.70 13.93
0.81 -27.31 -7.73 12.73 -0.85
3.09 -49.24 -6.06 27.07 3.16
6.64
7.41
1.70
4.59
3.28
14.39
10.99
10.95
1.38
4.86
-9.53
11.77
6.02
5.16
9.61
9.65
4.41
14.30
1.21
4.68
-10.12
1.56
-2,36
-5.27
-5.58
Sumber : BPS Provinsi Aceh 2009
Jika dilihat pertumbuhan per kabupaten/kota, pertumbuhan ekonomi cukup bervariasi. Daerah yang terkena langsung dampak tsunami tahun 2004 pertumbuhan ekonominya pada tahun 2005 bernilai negatif. Hal ini disebabkan rusaknya perekonomian daerah tersebut. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi tanpa migas kabupaten/kota mulai mengalami perbaikan, akan tetapi pertumbuhan ekonomi dengan migas mengalami pertumbuhan negatif. Pada tahun 2007 dimana semakin banyak kegiatan proses rekontruksi dan rehabilitasi di beberapa kabupaten/kota memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terdapat di Kota Banda Aceh yang mencapai 19.00 persen, kemudian disusul oleh Kota Lhoksumawe dengan 18.33 persen tanpa migas. Seiring dengan berakhirnya masa proses rekontruksi dan rehabilitasi pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah mengalami kontraksi seperti Kota Banda Aceh yang hanya mencapai 6.24
70
persen, Kota Lhoksumawe turun menjadi 13.28 persen dan Kabupaten Simelue yang tahun 2007 mencapai 11.59 persen turun menjadi 4.68 persen pada tahun 2009. Daerah yang tidak terimbas oleh gempa dan tsunami Aceh mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, walaupun masih dalam katagori rendah. Kabupaten Aceh Tenggara yang berada di dataran tinggi Gayo mencapai pertumbuhan 5.34 persen pada tahun 2009 demikian halnya dengan Kabupaten Aceh Tengah dengan pertumbuhan 5.57 persen. Tabel 18 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tanpa migas di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (Persentase) Kabupaten / Kota 2005 2006 2007 2008 2009 1. Kabupaten Simeulue 2. Kabupaten Aceh Singkil
-1.40
1.86
11.59
4.83
4.68
2.30
3.80
4.92
4.23
5.27
3. Kabupaten Aceh Selatan
3.83
3.50
6.14
5.34
5.85
4. Kabupaten Aceh Tenggara
6.36
7.46
6.99
5.67
5.34
5. Kabupaten Aceh Timur
4.62
5.32
5.76
5.34
5.57
6. Kabupaten Aceh Tengah
8.76
7.42
5.93
5.57
5.57
7. Kabupaten Barat
-13.93
10.59
11.95
5.91
5.46
8. Kabupaten Besar
1.55
4.27
13.87
5.77
6.50
9. Kabupaten Pidie
3.32
4.65
4.23
5.57
6.42
10. Kabupaten Bireuen
2.66
4.45
2.29
5.77
6.39
11. Kabupaten Aceh Utara
-5.94
2.98
3.99
3.59
4.21
12. Kabupaten Aceh Barat Daya
2.59
4.16
4.57
4.52
4.44
13. Kabupaten Gayo Lues
4.30
5.56
4.08
4.96
5.01
14. Kabupaten Aceh Tamiang
4.21
4.87
5.32
5.12
5.64
15. Kabupaten Nagan Raya
-4.11
8.16
5.49
4.04
3.65
16. Kabupaten Aceh Jaya
-32.72
2.62
2.95
3.73
5.14
17. Kabupaten Bener Meriah
2.92
4.39
2.57
4.44
5.61
18. Kabupaten Pidie Jaya
2.53
3.36
5.06
5.32
6.51
19. Kota Banda Aceh
3.35
5.25
19.00
5.77
6.24
20. Kota Sabang
24.00
4.30
5.33
3.81
4.84
21. Kota Langsa
3.82
3.65
4.06
5.78
5.98
22. Kota Lhokseumawe 23. Kota Subulussalam
12.21 3.15
13.67 3.86
18.33 4.94
13.10 4.20
13.28 4.93
Provinsi Aceh
1.22
7.70
7.23
1.88
3.92
Sumber : BPS Provinsi Aceh
71
Perbedaan yang mencolok antara pertumbuhan ekonomi dengan memasukkan unsur migas terjadi pada daerah penghasil migas, seperti: Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang yang mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini disebabkan produksi migas yang semakin berkurang sedangkan kontribusi dalam pembentukan nilai tambah pada daerah tersebut sangat besar. Tabel 19 Kontribusi dan pertumbuhan (dengan migas) beberapa kabupaten/kota tahun 2006– 2009 (Persentase) Kabupaten/kota 1. Aceh Utara Kontribusi Migas Pertumbuhan Migas Pertumbuhan Total 2. Aceh Timur Kontribusi Migas Pertumbuhan Migas Pertumbuhan Total 3. Aceh Tamiang Kontribusi Migas Pertumbuhan Migas Pertumbuhan Total Provinsi Aceh Kontribusi Migas Pertumbuhan Migas Pertumbuhan Total
2006
2007
2008
2009
68.05 -7.30 -4.24
55.88 -38.40 -24.99
49.75 -19.13 -9.16
35.86 -41.27 -18.53
66.18 3.52 3.43
39.45 -65.36 -41.88
35.55 -13.01 -2.92
32.55 -8.18 -0.29
13.29 -11.76 5.14
10.86 -18.61 -0.41
10.45 -2.93 0.92
8.20 -21.50 1.06
24.15 -4.27 1.56
19.15 -22.56 -2.36
14.39 -28.85 -5.27
7.11 -53.35 -5.58
Sumber : BPS Provinsi Aceh (data diolah)
4.4 Ketimpangan Pendapatan Data Indeks Gini tahun 2005–2009 terlihat bahwa secara umum di Provinsi Aceh mengalami penurunan dari 0.32 menjadi 0.31. Namun jika dilihat dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan, dimana dari tahun 2005–2007 mengalami penurunan ketimpangan pendapatan. Pada tahun 2008–2009 Indeks Gini mengalami peningkatan dari 0.30 pada tahun 2008 menjadi 0.31 untuk tahun 2009.
72
Pada tahun 2005 Indeks Gini tertinggi terdapat di Kota Lhoksumawe dengan nilai 0.38 sedangkan ketimpangan pendapatan terendah di Kabupaten Bener Meriah dengan nilai Indeks Gini 0.22. Ketimpangan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Simelue yang mencapai 0.30 sedangkan ketimpangan terendah terdapat di Kabupaten Bener Meriah dengan Indeks Gini 0.20.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 9 Indeks Gini kabupaten/kota Provinsi Aceh tahun 2005. Perubahan indeks gini yang terjadi hampir di semua kabupaten/kota Provinsi Aceh menunjukkan bahwa adanya pergeseran distribusi pendapatan antar penduduk. Apabila nilai Indeks Gini semakin tinggi akan menyebabkan masalah sosial dan
73
masalah ekonomi lainnya. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah yang efektif dan tepat untuk memperkecil kesejangan antar penduduk dengan menciptakan lapangan kerja. Peningkatan Indeks Gini di Provinsi Aceh juga disebabkan oleh mulai berakhirnya masa rekonstruski dan rehabilitasi sehingga pendapatan masyarakat menurun.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 10 Indeks gini kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2009. 4.5 Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan adalah salah satu faktor yang dapat menghambat proses pembangunan. Daerah yang memiliki penduduk miskin yang besar, maka alokasi dana akan lebih banyak untuk mengatasi kemiskinan tersebut sehingga proses
74
pembangunan akan berjalan lambat. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi keamanan yang kurang kondusif selama tiga dekade sehingga proses pembangunan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 11 Persentase kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005. Pada tahun 2005 persentase penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 28.69 persen. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Kabupaten Nagan Raya yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang mencapai 35.44 persen. Kabupaten Naga Raya daerah yang memiliki basis perkebunan yang terutama adalah perkebunan kelapa sawit. Sedangkan persentase penduduk miskin
75
terkecil terdapat di Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota provinsi Aceh hanya 8.20 persen. Secara umum Provinsi Aceh berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari tahun 2005 mencapai 28.69 persen menjadi 21.61 persen. Pada tahun 2005 persentase penduduk miskin Kabupaten Pidie yaitu 36.01 persen dan yang terendah di Kota Banda Aceh sebesar 8.37 persen. Sementara itu pada tahun 2009 persentase penduduk miskin yang tertinggi di Kabupaten Aceh Barat 27.09 persen sedangkan yang terendah masih berada di Kota Banda Aceh yaitu 8.64 persen.
Sumber: BPS (data diolah)
Gambar 12 Persentase kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2009.
76
4.6 Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk memperkecil kesenjangan keuangan antara daerah. Dana ini bersifat blok grant artinya penggunaan dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian DAU setiap tahunnya berdasarkan formula celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan pengurangan dari kebutuhan fiskal terhadap kapasitas fiskal. Tabel 20 Alokasi DAU kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (Juta Rupiah) Kabupaten/ Kota
1. Simeulue 2. Aceh Singkil 3. Aceh Selatan 4. Aceh Tenggara 5. Aceh Timur 6. Aceh Tengah 7. Aceh Barat 8. Aceh Besar 9. Pi d i e 10. Bireuen 11. Aceh Utara 12. Aceh Barat Daya 13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang 15. Nagan Raya 16. Aceh Jaya 17. Bener Meriah 19. Banda Aceh 20. Sabang 21. Langsa 22. Lhokseumawe
2005
2006
2007
2008
2009
105,355 117,849 145,661 149,207 159,002 120,251 139,496 192,200 242,139 183,713 159,002 103,201 112,152 120,685 116,281 100,016 57,692 160,363 92,661 104,780 108,124
149,309 174,747 244,851 215,362 244,423 239,193 229,450 322,660 391,468 308,062 244,423 171,540 179,312 188,709 189,358 157,363 184,958 266,705 149,841 184,322 168,470
184,733 206,859 277,663 252,480 285,679 274,186 267,201 335,436 431,940 345,885 285,679 200,729 200,632 213,428 221,841 191,893 198,360 308,839 171,896 193,579 211,310
205,554 161,828 315,844 278,292 321,110 300,340 303,464 407,952 355,255 381,777 321,110 226,924 226,716 237,708 272,685 194,370 223,797 307,002 184,666 215,309 233.315
209,831 209,184 326,501 284,719 358,657 317,753 315,650 398,139 417,380 391,967 358,657 231,877 252,889 259,602 324,215 218,522 227,320 313,126 182,458 228,877 248.528
Sumber : Kemenkeu (2010)
Penerimaan dana alokasi umum Provinsi Aceh dari tahun 2005 – 2009 mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2005 sebesar 3.1 triliun menjadi 6.8 triliun pada tahun 2009. Secara umum dari tahun 2005-2007 dana alokasi umum
77
yang diterima
kabupaten/kota selalu mengalami peningkatan, sedangkan mulai
tahun 2008-2009 ada kabupaten yang mengalami penurunan penerimaan dana alokasi umum seperti Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Besar, sementara itu untuk kabupaten/kota lainnya cenderung mengalami peningkatan penerimaan DAU. Sebagaimana salah satu tujuan pemberian DAU adalah untuk memperkecil kesenjangan keuangan antar daerah, diharapkan dengan adanya dana tersebut daerah yang miskin dapat mengejar ketertinggalan dengan daerah kaya. Pengalokasian DAU ada hubungannya dengan persentase kemiskinan suatu daerah. Apabila daerah tersebut memiliki jumlah penduduk miskin lebih besar, maka akan mendapatkan DAU yang besar pula.
Sumber : Kemenkeu dan BPS (data diolah)
Gambar 13. Grafik penduduk miskin tahun 2005 dan DAU tahun 2007 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Dari Gambar 13 terlihat bahwa secara umum daerah memiliki persentase penduduk miskin yang besar juga mendapatkan DAU yang besar, jika dilihat dari korelasinya yang sebesar 0.756. Hasil ini menjelaskan bahwa pemberian DAU
78
untuk kabupaten/kota pada tahun 2007 sudah sesuai dengan formulasi DAU yang memasukan indikator jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2009 dimana formula DAU sudah mengalami perubahan dari tahun sebelumnya dengan artinya bahwa DAU yang diterima oleh daerah tidak harus lebih besar dari tahun sebelumnya. Terlihat pada Gambar 14 bahwa ada korelasi antara jumlah penduduk miskin dengan DAU yang diterima oleh kabupaten/kota. Nilai koefisien korelasi mencapai 0.777.
Sumber : Kemenkeu dan BPS (data diolah)
Gambar 14 Grafik penduduk miskin tahun 2007 dan DAU tahun 2009 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sementara itu jika kita melihat hubungan antara persentase kemiskinan, PDRB perkapita dan dana alokasi umum yang diterima oleh masing-masing daerah berbeda-beda. Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2006 nilai PDRB perkapita nya mencapai Rp. 28.07 juta dengan persentase penduduk miskin pada tahun 2005 sebesar 35.14 persen dan aana alokasi umum yang diterima pada tahun 2007 sebesar Rp. 285.679 milyar.
79
Sementara itu jika dilihat pada tahun 2005 persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Kabupaten Pidie yaitu 35.27 persen, dimana daerah ini merupakan salah satu daerah konflik bersenjata pada masa pergerakan Gerakan Aceh Mardeka. Jika dilihat PDRB perkapita Kabupaten Pidie hanya mencapai Rp. 6.00 jutaan dan menerima dana alokasi umum paling besar pada tahun 2007 sebesar Rp. 431.940 milyar.
Pidie 35,27
Aceh Utara
35,14
Sumber : BPS dan Kemenkeu (data diolah)
Gambar 15 Dana alokasi umum Tahun 2007, PDRB perkapita tahun 2006 dan persentase kemiskinan tahun 2005 kabupaten/kota di Prov. Aceh. (Catatan : besarnya lingkaran menunjukan persentase penduduk miskin) Kabupaten Aceh Utara dimana jumlah penduduk miskin yang mencapai 35.14 persen menerima dana alokasi umum lebih kecil dari Kabupaten Pidie. Hal ini disebabkan oleh Kabupaten Aceh Utara menerima dana bagi hasil yang besar dari pemerintah pusat. Pada saat ini masih beroperasi PT. Arun LNG dan PT. Pupuk Iskandar Muda yang memberikan kontribusi besar terhadap pajak walaupun jumlah produksi yang terus menurun. Sementara itu dana alokasi umum yang diberikan pada tahun 2009 juga terlihat bahwa Kabupaten Pidie masih mendapatkan dana yang terbesar, yaitu Rp. 417.380 milyar atau turun dari tahun 2007 sebesar 3.37 persen. Ini menunjukkan bahwa kebijakan hold harmless sudah tidak berlaku di Provinsi Aceh. Kabupaten
80
Pidie masih memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi mencapai 33.16 persen pada tahun 2007 dengan PDRB per kapita tahun 2007,yaitu Rp. 4.06 juta. Persentase penduduk miskin tahun 2007 terkecil terdapat di ibukota provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh 6.61 persen dengan PDRB perkapita tahun 2007 sebesar Rp. 8.31 juta. Jumlah penduduk miskin Provinsi Aceh pada tahun 2007 mencapai 1,083,700 jiwa atau 26.65 persen.
Pidie Pidie 35,27 33,31
Aceh Timur
28,15 Aceh Tenggara
21,60
Sumber : BPS dan Kemenkeu (data diolah)
Gambar 16 Dana alokasi umum tahun 2009, PDRB perkapita tahun 2007 dan persentase kemiskinan tahun 2007 kabupaten/kota di Prov. Aceh. (Catatan : besarnya lingkaran menunjukan persentase penduduk miskin) 4.7
Pengangguran Pengangguran merupakan masalah yang selalu dihadapi dalam proses
pembangunan. Daerah yang tidak dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk menciptakan lapangan pekerjaan akan menyebabkan peningkatan pengangguran. Apabila jumlah pengangguran yang terus meningkat akan menyebabkan masalah sosial. Jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Aceh memang cukup tinggi yaitu 14.00 persen pada tahun 2005 dan turun menjadi 9.31
81
persen pada tahun 2009. Hasil pendataan SAKERNAS 2010 jumlah pengangguran terbuka penduduk usia 15 tahun keatas di Provinsi Aceh mencapai 8.60 persen atau sekitar 166,275 jiwa. Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km 2)
Jumlah Pengangguran (Persentase)
Sumber : BPS Aceh (data diolah)
Gambar 17 Kepadatan penduduk tahun 2009 dan jumlah pengangguran tahun 2008 -2009 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 4.8
Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah salah satu indikator kinerja
pemerintah dalam proses pembangunan. Nilai IPM yang terdiri atas 3 komponen yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan paritas daya beli memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan manusia di daerah. IPM merupakan salah satu indikator kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi proses pembangunan sumber daya manusia. Selain itu IPM juga
82
menjelaskan bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengaskses hasil dari proses pembangunan. Tabel 21 Angka harapan hidup (Tahun) kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 Tahun Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 (1)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Piddie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Subulussalam ACEH
62.50 63.20 65.70 68.90 69.10 69.10 68.90 70.00 68.40 72.20 69.10 65.40 66.20 67.80 69.10 67.00 66.40
62.70 64.00 66.50 69.10 69.30 69.20 69.60 70.30 68.70 72.20 69.30 66.00 66.60 68.00 69.20 67.80 67.20 68.80 69.60 69.70 69.70 69.20 65.20 68.30
62.75 64.27 66.61 69.11 69.41 69.31 69.69 70.42 68.94 72.22 69.41 66.30 66.73 68.09 69.31 67.84 67.31 68.91 69.99 70.10 69.96 69.70 65.40 68.40
62.84 64.46 66.71 69.16 69.52 69.42 69.78 70.52 69.11 72.28 69.52 66.49 66.84 68.18 69.42 67.91 67.41 69.02 70.24 70.36 70.14 70.00 65.54 68.50
62.91 64.69 66.82 69.19 69.63 69.53 69.87 70.64 69.32 72.32 69.63 66.74 66.96 68.27 69.53 67.97 67.52 69.13 70.56 70.69 70.36 70.41 65.71 68.60
68.70 69.60 68.90 68.40 68.00
Sumber : BPS
Nilai IPM dengan interval 0 – 100 dengan penjelasan bahwa semakin tinggi nilai IPM, maka proses pembangunan suatu daerah semakin baik. Jika dilihat hubungan dengan ketimpangan wilayah, maka dapat dijelaskan bahwa daerah yang memiliki IPM yang tinggi berarti memiliki sumber daya manusia yang baik sehingga kegiatan perekonomian yang ada memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga masyarakat miskin akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan pada akhirnya akan memperkecil ketimpangan wilayah karena keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan semakin
83
tinggi yang mengakibatkan akses terhadap sarana ekonomi, pendidikan dan sebagainya semakin baik. Tabel 22 Angka melek huruf kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 (Persentase) Tahun Kabupaten/Kota 2005 2006 2007
2008
2009
(1)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Piddie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Subulussalam ACEH
94.80 96.20 96.40 96.90 97.20 97.50 89.90 96.90 94.50 96.80 94.90 95.70 86.70 97.80 89.70 89.90 96.40
98.30 96.20 96.42 96.94 97.24 97.47 89.87 96.93 94.53 98.34 96.04 95.70 86.70 98.00 89.70 91.06 96.40 94.20 99.03 98.16 98.47 98.82 96.50 96.20
98.30 96.20 96.42 96.94 97.24 97.47 94.06 96.93 94.53 98.34 96.04 95.70 86.70 98.00 89.70 91.78 97.19 94.20 99.03 98.26 98.75 98.82 9650 96.20
98.30 96.20 96.42 96.94 97.35 98.08 94.06 96.93 95.51 98.34 96.04 96.22 86.70 98.00 89.70 93.73 97.19 94.20 99.03 98.78 98.75 98.82 96,50 96.20
98.58 96.22 96.47 97.10 97.51 98.13 94.08 96.95 95.56 98.37 96.42 96.25 86.97 98.25 89.78 93.78 97.45 94.23 99.10 98.81 99.10 99.22 96,53 96.39
99.00 98.20 97.00 98.60 96.40
Sumber : BPS
Sementara itu komponen IPM lainnya yaitu proporsi angka melek huruf untuk penduduk yang berusia 15 tahun keatas juga mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 96.40 persen meningkat menjadi 96.39 persen. Peningkatan ini memberikan informasi bahwa dana alokasi umum yang diterima oleh pemerintah daerah di Provinsi Aceh telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing daerah. Saat ini pemerintah daerah di Aceh
84
telah mengeluarkan dana pendidikan sebesar 20 persen dari total APBD sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Tabel 23 Indek pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2005-2009 Tahun Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 (1)
1. Simeulue 2. Aceh Singkil 3. Aceh Selatan 4. Aceh Tenggara 5. Aceh Timur 6. Aceh Tengah 7. Aceh Barat 8. Aceh Besar 9. Pi d i e 10. Bireuen 11. Aceh Utara 12. Aceh Barat Daya 13. Gayo Lues 14. Aceh Tamiang 15. Nagan Raya 16. Aceh Jaya 17. Bener Meriah 18. Pidie Jaya 19. Banda Aceh 20. Sabang 21. Langsa 22. Lhokseumawe 23. Subulussalam ACEH
2009
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
65.20 66.50 67.70 70.20 68.40 70.80 67.40 71.40 69.50 71.50 69.70 66.90 66.10 68.30 66.30 66.80 67.40
66.38 67.17 68.41 70.58 68.84 71.16 68.08 71.87 69.99 72.20 70.44 67.52 66.61 68.73 66.88 67.77 68.12 69.40 75.44 73.66 71.51 73.80 67.80 69.41
67.97 67.97 68.87 70.96 69.40 72.11 69.28 72.71 70.76 72.45 71.39 68.37 67.08 69.17 67.64 68.23 68.88 69.96 76.31 74.48 72.22 74.65 68.28 70.35
68.60 68.12 69.18 70.99 69.55 72.81 69.66 72.84 71.21 72.60 71.47 69.38 67.17 69.81 68.47 68.94 69.77 71.23 76.74 75.00 72.79 75.00 68.42 70.76
68.92 68.29 69.64 71.23 70.19 73.22 70.32 73.10 71.60 72.86 71.90 69.81 67.59 70.50 68.74 69.39 70.38 71.71 77.00 75.49 73.20 75.54 68.85 71.31
74.70 73.30 70.40 73.10 69.50
Sumber : BPS
Jika dilihat dari keseluruhan dari komponen yang membentuk IPM terlihat bahwa nilai IPM Provinsi Aceh mengalami perbaikan dari tahun 2005 sebesar 69.50 dengan peringkat nasional pada posisi 18 naik menjadi 71.31 pada tahun 2009 dengan di posisi 17 pada tingkat nasional. Perekonomian Aceh pasca perdamaian dan gempa terus mengalami perbaikan sehingga jumlah penduduk
85
miskin di Aceh mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 28.47 persen pada tahun 2004 menurun menjadi 21.61 persen. Penurunan persentase kemiskinan seharusnya diikuti oleh penurunan ketimpangan wilayah karena kesejateraan masyarakat semakin baik. Jika pengalokasi dana alokasi umum yang diterima oleh pemerintah daerah tepat sasaran, maka proses pembangunan ekonomi dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat sehingga memperkecil kesenjangan wilayah.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pada analisis ini hanya melihat dari sisi penerimaan kabupaten/kota di provinsi Aceh. Kinerja keuangaan dari sisi penerimaan dilihat dari tiga sisi yaitu melihat kemampuan keuangan daerah yang murni dari PAD, kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat dalam bentuk DBH, dan kemampuan keuangan daerah yang berasal dari transfer yang bersifat bantuan (grant). 5.1.1 Sisi Penerimaan Daerah Jika dilihat dari sisi derajat desentralisasi fiskal yang mengukur kemampuan pendapatan asli daerah untuk menunjang keuangan daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh sangat kurang. PAD sebagai salah satu indikator kemampuan daerah dalam menggali potensi sumber daya yang ada di daerah masing-masing. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah pada tahun 2004 – 2009 untuk pada kabupaten/kota di aceh semakin divergen, dengan ratarata yang semakin meningkat dari 3.40 pada tahun 2005 menjadi 5.09 terlihat bahwa kemampuan penggalian potensi daerah di masing-masing kabupaten/kota masih sangat rendah. Penerimaan PAD tidak sebanding dengan total pendapatan transfer dari pusat, walaupun menunjukan bahwa kemandirian fiskal mulai meningkat tapi sangat rendah. Pada tahun 2004 untuk daerah Pantai Barat, Kabupaten Simelue yang memiliki derajat desentralisasi tertinggi yaitu 10.03 persen sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Gayo Lues yaitu 0.93 persen. Sementara itu daerah Pantai Timur derajat desentralisasi tertinggi terdapat di Kota Lhoksumawe sebesar 5.03 persen. Pada tahun 2009 derajat desentralisasi fiskal tertinggi di Kabupaten Aceh Utara dengan nilai 10.81 persen. Daerah ini merupakan penghasil migas sehingga pajak daerah juga tinggi. Sementara itu derajat desentralisasi terendah pada daerah Pantai Barat tahun 2009 terletak di Kabupaten Aceh Tenggara yaitu 2.28 persen. Secara umum kemampuan daerah Pantai Timur lebih besar dalam mengumpulkan
88
pendapatan asli daerah dimana pada tahun 2004 secara rata-rata derajat desentralisasi sebesar 3.24 persen meningkat menjadi 6.13 persen pada tahun 2009, sedangkan daerah Pantai Barat hanya sebesar 3.62 pada tahun 2004 meningkat menjadi 4.06 persen pada tahun 2009. Hal ini dikarenakan karena masih banyaknya kegiatan ekonomi yang ada di Pantai Timur selain itu didukung dengan sarana dan prasana infrastruktur yang lebih memadai sehingga kegiatan perekonomian berjalan lebih baik. Hasil penelitian ini tidak selaras dengan hasil penelitian Agustina (2010) terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang menunjukkan penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah otonomi. Peningkatan kontribusi di PAD pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Aceh disebabkan adanya UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Aceh sehingga ada penganturan penerimaan daerah yang berbeda dengan Provinsi lainnya. Secara umum peningkatan kontribusi PAD cukup baik
Kab/ Kota Barat Timur
2004
2006
2009 1.4
Std Dev Rata-rata
2.8
2004 2.16 3.43
4.2
2005 1.27 2.59
5.6 7.0 Persentase
2006 1.28 2.64
8.4
2007 1.65 3.48
9.8
2008 2.41 4.28
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 18 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode 2004-2009.
2009 2.34 5.09
89
Sementara itu derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumber daya modal dan manusia juga semakin divergen, dimana pada tahun 2004 rata-rata derajat potensi sumber daya sebesar 13.95 persen meningkat menjadi 15.76 persen pada tahun 2009 dan tetap katagori kurang.
Kab/ Kota Barat Timur
2004 2006 2009 0
Std Dev Rata-rata
4
2004 6.06 13.95
8
12 16 Persentase
2005 8.55 13.73
2006 7.65 10.81
20
2007 5.17 16.49
24
28
2008 4.98 14.58
2009 5.51 15.76
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 19 Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota periode 2004-2009 di provinsi Aceh. Derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tahun 2004 tertinggi di Kabupaten Aceh Barat daya yaitu 25.38 persen untuk daerah Pantai Barat sedangkan daerah Pantai Timur yang tertinggi pada tahun 2004 terdapat di daerah Kabupaten Aceh Tamiang sebesar 21.91 persen. Kabupaten Aceh Barat memang memiliki pertambangan rakyat dan perkebunan kepala sawit sedangkan Kabupaten Aceh Tamiang selain perkebunan kelapa sawit juga terdapat pertambangan minyak. Semakin meningkatnya menggali potensi sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah juga meningkatkan dana bagi hasil yang
90
diterima. Pada tahun 2009 derajat potensi yang tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Utara yaitu 52.98 persen termasuk katagori sangat baik. Kabupaten ini merupakan salah satu daerah terkaya di provinsi Aceh dengan adanya PT. Pupuk Iskandar Muda dan Arun LNG yang memberikan kontribusi penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Secara umum hampir semua kabupaten/kota di Aceh mengalami peningkatan penerimaan dana bagi hasil dari pemerintah pusat. Secara rata-rata derajat potensi sumber daya yang dimiliki Pantai Barat dengan Pantai Timur tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena pendapatan pajak dan bukan pajak yang dimiliki masing-masing daerah tidak jauh berbeda. Pantai Timur yang didominasi pendapatan dari minyak dan gas bumi sedangkan Pantai Barat didominasi dari pertanian dan perkebunan serta sedikit pertambangan. Jika dilihat dari derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat kabupaten/kota periode 2004-2009 di Provinsi Aceh masih sangat tinggi dengan rata-rata 63.15 persen pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 75.83 persen. Derajat ketergantungan tertinggi tahun 2004 untuk daerah Pantai Barat terdapat di daerah Kabupaten Gayo Lues yaitu 71.53 persen. Daerah gayo merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara yang hanya mengandalkan hasil bumi seperti kopi, kakao sehingga belum cukup mampu mengisi keuangan daerah dari penerimaan pajak daerah. Sementara itu derajat ketergantungan tertinggi untuk daerah Pantai Timur terdapat di Kota Banda Aceh sedangkan yang terendah di Kabupaten Aceh Utara 32.56 persen, rendahnya derajat ketergantungan kabupaten Aceh Utara karena cukup besarnya dana bagi hasil sumber daya alam dan sumber daya manusia sedangkan Kota Banda Aceh yang menerima dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang besar dari pusat pemerintahan sehingga banyak kegiatan yang menjadi prioritas nasional dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Banda Aceh melalui dana alokasi khusus. Sementara itu derajat ketergantungan daerah tahun 2009 semakin tinggi. Untuk daerah Pantai Timur Kabupaten Pidie merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar dan merupakan daerah konflik sehingga banyak bangunan yang rusak akibat konflik tersebut sangat tinggi ketergantungan terhadap transfer dari pusat yaitu 85.90 persen sedangkan yang terendah masih terdapat di Kabupaten Aceh Utara yaitu 51.69 persen. Sedangkan daerah Pantai
91
Barat derajat ketergantungan tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Singkil sebesar 85.96 persen. Tingginya derajat ketergantungan pada Kabupaten Aceh Singkil dikarenakan kurangnya sumber daya alam di daerah ini sehingga penggalian potensi penerimaan daerah masing sangat rendah. Selain itu posisi daerah yang terpencil menyebabkan kegiatan ekonomi kurang berjalan maksimal. Secara ratarata derajat ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pusat lebih besar di daerah Pantai Barat yaitu 71.05 persen pada tahun 2009 sedangkan daerah Pantai Timur hanya 64.24 persen.
Kab/ Kota Barat Timur
2004 2006 2009 20
30
40
50
60
70
80
Persentase
Std Dev Rata-rata
2004 11.37 63.15
2005 12.25 66.41
2006 13.75 73.35
2007 15.05 73.94
2008 15.84 75.84
2009 13.40 75.83
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 20 Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat kabupaten/kota periode 2004-2009. 5.1.2 Sisi Pengeluaran Daerah Penerimaan daerah baik dari PAD maupun dana transfer dari pemerintah pusat
menjadi
sumber
pembiayaan
pelaksaan
pembangunan
daerah.
Pengalokasian anggaran yang tepat sasaran dan skala prioritas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Belanja pembangunan yang tinggi dari pada belanja aparatur lebih bermanfaat dalam memperbaiki sarana dan prasarana
92
pembangunan karena manfaatnya dirasakan oleh masyarakat banyak. Peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang baik dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut. Penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Pelaksanaan pembangunan tergantung pada kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah, yang diwujudkan dalam pengalokasian belanja daerah. Alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritasprioritas dan program-program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya (Priyarsono et al 2008). Perbedaan kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerah, disebabkan karena setiap daerah memiliki kebijakan masing-masing yang menjadi prioritas pembangunan daerahnya. Pada diagram dotplot terlihat bahwa belanja rutin cenderung meningkat dengan rata-rata pada tahun 2004 sebesar 33.77 persen. Pengeluaran rutin tertinggi untuk Pantai Timur terdapat di daerah Kota Banda Aceh dengan 68.15 persen. Tingginya belanja rutin di Kota Banda Aceh karena merupakan pusat pemerintahan Provinsi Aceh sehingga sarana dan prasarana telah lengkap. Daerah yang memiliki belanja rutin terendah di Kabupaten Aceh Timur yaitu 22.82 persen. Rendahnya belanja rutin di Kabupaten Aceh Timur karena daerah ini merupakan wilayah konflik yang banyak anggaran yang digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang rusak akibat konflik tersebut. Pada daerah Pantai Barat belanja rutin tertinggi pada tahun 2004 terdapat di Kabupaten Nagan Raya sebesar 42.15 persen. Belanja rutin pada tahun 2009 cenderung meningkat menjadi 52.62 persen. Daerah Pantai Timur yang tertinggi pengeluaran rutin yaitu Kabupaten Aceh Besar 69.59 persen. Kabupaten Aceh Besar walaupun merupakan salah satu daerah yang rusak parah akibat gempa dan tsunami, akan tetapi sarana dan prasarana yang rusak banyak dibangun kembali oleh pemerintah pusat dan bantuan luar negeri karena wialayah yang terkena becana terletak di dekat pusat
93
pemerintahan Provinsi Aceh sehingga belanja pembangunan yang menggunakan dana daerah tidak besar. Pada daerah Pantai Barat derajat pengeluaran rutin tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 67.98 persen. Sementara itu Kabupaten Aceh Jaya yang memiliki pengeluaran rutin terendah 37.26 persen. Kabupaten ini merupakan daerah terparah yang terkena gempa dan tsunami dan jauh dari pusat pemerintahan
sehingga
masih
mengandalkan
keuangan
daerah
untuk
membangunan. Selain itu daerah ini merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 2001 sehingga dana yang digunakan masih banyak digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pemerintahan dan ekonomi.
Kab/ Kota Barat Timur
2004
2006
2009 21
28
35
42
49
56
63
70
Persentase
Std Dev Rata-rata
2004 12.74 33.77
2005 14.04 37.44
2006 8.38 38.83
2007 10.61 43.32
2008 8.74 50.40
2009 9.94 52.62
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 21 Derajat belanja rutin kabupaten/kota periode 2004-2009. Secara rata-rata belanja rutin daerah Pantai Timur lebih tinggi dibanding dengan daerah Pantai Barat. Pada tahun 2004 rata-rata belanja rutin daerah Pantai Barat sebesar 28.86 persen jauh dibawah daerah Pantai Timur yang mencapai 38.69 persen. Pada tahun 2009 rata-rata belanja rutin Pantai Timur meningkat
94
menjadi 56.33 persen sedangkan daerah Pantai Barat sebesar 48.92 persen. Tingginya belanja rutin daerah Pantai Timur diduga karena sudah baiknya sarana dan prasarana perekonomian di daerah Pantai Timur umumnya sehingga belanja yang digunakan banyak diserap untuk kesejahteraan pegawai dibandingkan untuk pembangunan. Sementara itu jika dilihat dari sisi belanja pembangunan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh sejak tahun 2005 sebesar 66.22 persen dan cenderung menurun menjadi 47.37 persen tahun 2009. Semakin menurunnya belanja pembangunan akan memberikan dampak yang negatif pada tahun-tahun berikutnya karena menurunya dana untuk perbaikan sarana dan prasarana untuk menunjang proses kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Kab/ Kota Barat Timur
2004
2006
2009 35
42
49
56
63
70
77
Persentase
Std Dev Rata-rata
2004 12.74 66.22
2005 14.04 62.55
2006 8.38 61.16
2007 10.61 56.67
2008 8.74 49.59
2009 9.94 47.37
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 22 Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota periode 2004-2009. Pada tahun 2004 persentase pengeluaran pembangunan pada daerah Pantai Barat yang terbesar di Kabupaten Aceh Timur yaitu 77.18 persen. Sementara itu pada tahun yang sama pengeluaran pembangunan terkecil yaitu Kota Banda Aceh
95
sebesar 31.81 persen. Sementara itu pada tahun yang sama daerah Pantai Barat yang tertinggi belanja pembangunannya terdapat di Kabupaten Simelue yaitu sebesar 79.76 persen. Pada tahun 2009 belanja pembangunan tertinggi pada Kabupaten Aceh Jaya sebesar 62.74 persen dan terendah di Kabupaten Aceh Besar 30.41 persen. Tingginya belanja pembangunan pada Kabupaten Aceh Jaya pada tahun 2009 diduga karena banyaknya kerusakan sarana dan prasana perekonomian saat terjadi gempa dan tsunami yang melanda Provinsi Aceh, mengingat pusat gempa yang terjadi memang berada di Kabupaten Aceh Jaya, sehingga dana yang terserap banyak digunakan untuk perbaikan sarana tersebut. Sementara itu untuk melihat kemandirian fiskal suatu daerah dapat diukur dengan menggunakan rumus pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak ditambah bukan pajak terhadap total belanja daerah. Semakin besar nilai derajat kemandirian mengindikasikan bahwa daerah tersebut mampu menjalankan roda perekonomian dengan mengandalkan potensi daerah. Jika dilihat dari rata-rata derajat kemandirian fiskal adanya kecenderungan peningkatan dari tahun 2004 sebesar 0.0174 persen meningkat menjadi 0.0183 persen. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa adanya perbaikan penerimaan daerah untuk mendukung proses pembangunan. Untuk daerah Pantai Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2004 memiliki derajat kemandirian fiskal paling tinggi yaitu 0.029 persen. Kabupaten Simelue merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 1999 sehingga proses pembangunan pada awal-awal pemekaran masih mengandalkan keuangan daerah yang didapat dari pajak perikanan dan pertanian yang merupakan basis ekonomi daerah ini. Sementara itu Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2004 memiliki derajat kemandirian fiskal terendah yaitu 0.007 persen. Hal ini diduga karena potensi sumber penerimaan daerah daerah yang rendah dibandingkan dengan total belanja daerah. Sementara itu pada tahun 2004 daerah Timur yang memiliki derajat kemandirian tertinggi terdapat di Kota Sabang sebesar 0.024 persen. Pada tahun 2009 untuk daerah Pantai Barat Kabupaten Aceh Barat Daya masih memiliki derajat kemandirian tertinggi yaitu 0.025 persen sedangkan yang terendah masih di Kabupaten Aceh Singkil.
96
Pada tahun 2009 daerah Pantai Timur yang memiliki derajat kemandirian tertinggi terdapat Kabupaten Aceh Utara yaitu 0.037 persen. Hal ini diduga besarnya sumbangan pajak dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Secara rata-rata derajat kemandirian daerah Pantai Timur lebih tinggi dibandingkan
dengan
daerah
Pantai
Barat
seriring
berjalanya
proses
pembangunan. Pada tahun 2004 rata-rata derajat kemandirian Pantai Timur mencapai 0.017 persen sedangkan Pantai Barat sebesar 0.018 persen. Namun pada tahun 2009 derajat kemandirian Pantai Timur meningkat menjadi 0.020 persen sedangkan daerah Pantai Barat hanya 0.016 persen.
Kab/ Kota Barat Timur
2004 2006
2009 0.006
0.012
0.018
0.024
0.030
0.036
0.042
Persentase
Std Dev Rata-rata
2004 0.0068 0.0174
2005 0.0113 0.0172
2006 0.0118 0.0157
2007 0.0069 0.0191
2008 0.0069 0.0179
2009 0.0064 0.0183
Sumber : BPS (data diolah)
Gambar 23 Derajat kemandirian kabupaten/kota periode 2004-2009. 5.2
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pendapatan Perkapita Pengeluaran pemerintah daerah yang diterima berbagai sumber pendapatan
memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap pembentukan nilai tambah bruto. Pertumbuhan nilai tambah yang lebih besar terhadap pertumbuhan penduduk,
97
maka
akan
meningkatkan
pendapatan
perkapita.
Pengaruh
pengeluaran
pemerintah daerah di sektor infrastruktur, kesehatan dan pendidikan diestimasi dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan data panel. Metode penelitian ini menggunakan adalah metode random effect. Pemilihan model antara metode fixed effect dan random effect dilakukan dengan pengujian Hausman test. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada Tabel 24, yang menunjukkan bahwa untuk periode penelitian 2004-2009 nilai chi square lebih kecil daripada chi square tabel (
2
hitung
2 tabel
) sehingga tidak cukup bukti
menolak Ho. Dengan demikian estimasi menunjukkan bahwa pendekatan random effect lebih baik dibandingkan dengan pendekatan fixed effect. Tabel 24 Uji Hausman Hipotesis Penelitian Ho : random effect
4.71
14.58
Kesimpulan Terima Ho
Keterangan : signifikan pada a = 5%
Hasil estimasi yang dilakukan pada periode 2004-2009 menunjukkan variabel-variabel rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita. Hasil pengujian dengan metode random effect dirangkum dalam tabel 24. Tabel 25 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 24.56 persen. Koefisien ini menunjukkan bahwa 24.56 persen variasi pendapatan perkapita ditentukan oleh rasio pengeluaran infrastruktur, rasio pengeluaran kesehatan, dan rasio pendidikan, sedangkan selebihnya 75.44 persen ditentukan faktor lain. Hasil estimasi Tabel 25 menunjukan rasio pengeluaran infrastruktur dan rasio pengeluaran kesehatan tidak berpengaruh secara statistik terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Tabel 25 Hasil estimasi dampak rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita (LnPDRBP) t-Statistic P-value R square (R2) Variable Coefficient LnINF LnKES LnPDD DLnPDD C Sumber : data diolah
-0.0339 -0.0708 0.3048 -0.1847 1.8069
-0.87 -1.12 4.52 -3.65 12.11
0.386 0.263 0.000 0.000 0.000
0.2456
98
Hasil estimasi membuktikan bahwa rasio pengeluaran pendidikan tersebut berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Hubungan antara komponen rasio pengeluaran pemerintah dengan pendapatan perkapita dapat digambarkan dalam persamaan berikut : LnPDRBPit = ai + ß1 LnINFit + ß2LnKESit + ß3LnPDDit + ß4DLnPDDit + eit..(5.1) = ai *- 0.0339 LnINFit – 0.0708 LnKESit + 0.3048 LnPDDit - 0.1847DLnPDDit
…...….(5.2)
Penjelasan dari model diatas adalah : (1) setiap kenaikan 1 persen rasio pengeluaran pendidikan akan meningkatan pendapatan perkapita sebesar 0.3045 persen untuk daerah Pantai Barat ceteris paribus, (2) Hasil gabungan antara koefisien interaksi rasio pengeluaran pendidikan untuk Pantai Timur dengan koefisien rasio pendidikan dapat dijelaskan bahwa setiap kenaikan rasio pengeluaran pendidikan sebesar 1 persen
akan meningkatkan pendapatan
perkapita sebesar 0.1201 persen cetiris paribus pada daerah Pantai Timur. Hasil estimasi ini menunjukan bahwa pengeluaran pendidikan Pantai Barat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan perkapita dan mengindikasikan daerah Pantai Barat memerlukan peningkatan sumber daya. Hal ini disebabkan oleh sumber daya manusia yang dimiliki daerah Pantai Barat lebih rendah dibanding daerah Pantai Timur sehingga pengeluaran pendidikan lebih diperlukan pada daerah Pantai Barat. Hasil susenas tahun 2009 penduduk 15 tahun keatas yang memiliki ijazah tertinggi untuk tingkat SMA/Aliyah daerah Pantai Barat hanya 19.95 persen sedangkan daerah Pantai Timur sebesar 45.51 persen, untuk ijazah diploma 4 dan diatasnya Pantai Barat hanya 3.34 persen jauh dibawah daerah Pantai Timur sebesar 7.86 persen. Pemerintah Aceh secara umum mulai memprioritaskan sektor pendidikan sejak gempa dan tsumani aceh tahun 2004 dengan mengirimkan mahasiswa dari berbagai jenjang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di dalam dan luar negeri. Pendidikan menjadi perhatian lebih setelah didukung oleh UUPA no 16/2006 yang menjelaskan bahwa 30 persen dana pembagian hasil dari minyak dan gas bumi di alokasikan untuk sektor pendidikan. Jika dilihat dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang memiliki ijazah tertinggi ada kecenderungan peningkatan pada jenjang pendidikan diploma empat/strata satu keatas dimana
99
pada tahun 2004 mencapai 0.94 persen meningkat menjadi 3.58 persen diatas ratarata nasional yang hanya mencapai 3.45 persen pada tahun 2009. Model diatas menjelaskan bahwa semakin besar rasio pengeluaran pemerintah yang tujukan langsung kepada masyarakat akan meningkatkan pendapatan perkapita yang pada akhirnya mengurangi ketimpangan pendapatan. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Asri N (2008) yang menunjukkan pengeluaran pemerintah berkorelasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan pendapatan.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 24 Persentase RT yang menerima pelayanan gratis tahun 2004-2009(%). Jika dilihat pengeluaran kesehatan di Pemerintah Aceh semakin besar dengan memberikan pelayanan gratis kepada seluruh masyarakat yang memegang kartu penduduk Aceh yang dinamakan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Pemerintah daerah di Provinsi Aceh dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat cukup luas cakupannya. Pelayanan gratis kepada rumah tangga pada tahun 2005 mencapai 24.48 persen jauh diatas rata-rata cakupan nasional yang hanya 12.12 persen. Cakupan pelayanan kesehatan gratis terus meningkat menjadi 37.18 persen pada tahun 2009 sedangkan tingkat nasional hanya 16.68 persen (Gambar 24). Pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi di Aceh memang memberikan perhatian lebih terhadap pelayanan kesehatan
100
mengingat masih tingginya kematian bayi lahir yang mencapai 31.7 jiwa/1000 kelahiran pada tahun 2009. Implikasi lainnya adalah bahwa peningkatan rasio belanja pemerintah daerah efektif dalam menstimulus pendapatan perkapita, melalui peningkatan produk domestik regional bruto. Peningkatan rasio ini juga menjelaskan bahwa perbaikan kondisi sarana dan prasarana serta sosial ekonomi masyarakat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah daerah pada awal otonomi masih didominasi oleh pengeluaran rutin terutama belanja pegawai sebagai dampak dari pengalihan pegawai pusat ke pemerintah daerah, porsi pembangunan relatif lebih kecil. Pemerintah daerah di Aceh setelah terjadi gempa dan tsunami mendapatkan banyak bantuan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak, selain itu dana untuk pembedayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan juga banyak dari NGO, pemerintah asing, sehingga rasio pengeluaran pemerintah daerah ditambah dengan bantuan asing semakin menstimulus perekonomian Aceh. 5.3 Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan Sementara itu pengaruh transfer dana alokasi umum terhadap ketimpangan pendapatan daerah tergantung daripada rencana kegiatan yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Apabila porsi dana alokasi umum yang merupakan block grant lebih besar untuk belanja barang dan jasa daripada belanja pegawai maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan dan perbaikan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan ketimpangan pendapatan. Pemerintah pusat memberikan dana alokasi umum kepada pemerintah daerah bertujuan untuk memperkecil kesenjangan horizontal antar pemerintah daerah agar pelayanan publik tercapai dengan standar pelayanan minimum. Transfer dari pusat diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi lokal. Transfer dana alokasi umum yang diberikan kepada daerah menjadi insentif daerah untuk meningkat kemampuan fiskalnya, sehingga proses pembangunan dapat memberikan hasil terhadap kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan
pembentukan modal daerah akan berdampak terhadap kemampuan daerah untuk
101
menarik investasi. Investasi tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah maupun swasta. Metode
penelitian
dalam
mengestimasi
dampak
DAU
terhadap
ketimpangan pendapatan yang membedakan antara daerah Pantai Barat dan Pantai Timur menggunakan menggunakan adalah metode panel dinamis. Pengujian spesifikasi model panel data dinamis dalam penelitian ini menggunakan uji Sargan atau yang lebih dikenal dengan Sargan Test of Overidentifying Restriction. Uji Sargan ini digunakan untuk melihat validitas instrumen yang digunakan di dalam model. Hasil uji Sargan terhadap model persamaan panel data dinamis dapat disimpulkan bahwa instrumen/model yang digunakan adalah valid pada tingkat kepercayaan 10 persen. Kesimpulan tersebut didasarkan pada nilai p-value pada model persamaan yang digunakan. Nilai p-value pada model pengaruh dana alokasi umum terhadap ketimpangan adalah 0.1455. Hasil tersebut merujuk pada kesimpulan bahwa tidak cukup bukti secara statistik untuk menolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa instrumen/model valid secara statistik. Tabel 26 Hasil estimasi dampak DAU, pendapatan perkapita , populasi, dan D0DAU terhadap Gini Ratio dengan SYS-GMM Sargan P-Vaue Parameters Coefficient ABm1 ABm2 Test 0.4768 LnGinii,t-1 0.653242 0.000 0.1455 0.0072 LnDAU -0.068485 0.000 LnPDRBP -0.104207 0.000 LnPOP -0.067294 0.000 D0LnDAU 0.0459678 0.014 C 0.5056212 0.001 Implied ? 42.60 Sumber : data diolah
Model estimasi dampak dana alokasi umum antara daerah Pantai Barat dengan Pantai Timur terhadap ketimpangan pendapatan dapat digambarkan sebagai berikut : LnGinii,t = a i+ ß0LnGinii,t-1+ß1LnDAUi,t+ß2LnPDRBP i,t+ß3 LnPOPi,t +ß4D0LnDAUi,t+ eit
……….....(5.3)
LnGinii,t = a i* +0.653242LnGinii,t-1 – 0.068485LnPDRBPi,t –0.104207LnPOPi,t. +0.0459878D0LnDAUi,t
……………..(5.4)
102
Model SYS-GMM dengan koefisien lag yaitu 0.653242 berada diantara koefisien lag fixed effect yaitu 0.6464583 dengan koefisien lag oedinary least square (OLS) dengan nilai 0.8353062, maka model SYS-GMM ini tidak bias. Hasil lengkap di Lampiran 7. Interpretasi model diatas menyebutkan bahwa : (1) nila koefisien lag gini yang kurang dari 1 menunjukan adanya proses konvergensi, sedangkan yang lebih dari 1 menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan kabupaten/kota persisten. Model panel dinamis SYS-GMM menunjukan koefisien Ginit-1 adalah 0.653242 mengindikasikan adanya konvergensi ketimpangan pendapatan di antara kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dengan konvergensi sebesar 42.60 persen. (2) setiap kenaikan 1 persen pendapatan perkapita akan menurunkan ketimpangan sebesar 0.06848 persen. Jika dihubungkan dengan hipotesis kuznets yang menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan maka peningkatan pendapatan akan meningkatkan ketimpangan pendapatan, namum seiring dengan proses pembangunan maka peningkatan pendapatan perkapita menurunkan ketimpangan karena adanya spillover hasil pembangunan. Jika dilihat dari persamaan diatas, maka proses pembangunan di Provinsi Aceh sudah sampai tahap jangka panjang karena dengan peningkatan pendapatan perkapita menurunkan ketimpangan pendapatan. Variabel interaksi dummy daerah Pantai Barat dan Pantai Timur juga berpengaruh signifikan. Dampak rasio dana alokasi umum daerah Pantai Barat terhadap penurunan ketimpangan sebesar -0.104207 artinya setiap kenaikan 1 persen rasio DAU/APBD akan menurunkan ketimpangan sebesar 0.104207 persen, sedangkan daerah Pantai Timur dampak rasio DAU/APBD terhadap ketimpangan sebesar -0.02251 artinya setiap kenaikan 1 persen rasio DAU/APBD akan menurunkan ketimpangan sebesar 0.02251 persen ketimpangan. Penelitian ini menunjukan bahwa dampak dana alokasi umum terhadap penurunan ketimpangan lebih besar daerah Pantai Barat dibanding dengan Pantai Timur. Hal ini terjadi karena secara rata-rata porsi penerimaan dana alokasi umum terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah di Pantai Barat lebih besar, sehingga dapat menutupi celah fiskal daerahnya. Implikasi lainnya adalah dengan dengan penerimaan yang memadai terhadap belanja daerah, maka proses pembangunan dapat dijalankan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai
103
tambah ekonomi yang pada akhirnya menurunkan ketimpangan pendapatan. Ratarata rasio dana alokasi umum terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah Pantai Barat meningkat dari tahun 2004 sebesar 0.62 menjadi 0.67.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 25 Rata-rata rasio DAU/APBD daerah Pantai Barat dan Pantai Timur tahun 2004-2009 Sementara itu jika dilihat dari kegiatan perekonomian di Pantai Barat mulai semakin meningkat. Hal ini terlihat dari share PDRB daerah Pantai Barat yang menunjukan kemajuan terhadap pembentukan total PDRB Provinsi Aceh.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 26 Share PDRB wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terhadap pembentukan PDRB Provinsi Aceh tahun 2004-2009 (Persentase).
104
Pada Gambar 26 tahun 2004 kontribusi daerah Pantai Barat terhadap pembentukan nilai tambah Provinsi Aceh sebesar 16.82 persen meningkat menjadi 26.32 persen pada tahun 2009. Peningkatan kontribusi daerah Pantai Barat disebabkan mulai banyaknya perkebunan yang beroperasi kembali pasca perdamaian Helsinki. Selain itu pada saat ini semakin banyak pertambangan emas baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak swasta di daerah Pantai Barat. Selain itu perbaikan infrastrukstur pendukung proses perekonomian sudah mulai membaik. Hal ini tidak terlepas dari peran serta lembaga asing dalam memberikan bantuan dalam proses rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami. Perbaikan distribusi ekonomi juga diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita. Rata-rata pendapatan perkapita yang tergabung dengan Pantai Barat menunjukan peningkatan dan hampir menyamai dengan rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Timur. Rata-rata pendapatan perkapita tahun 2004 daerah Pantai Barat sebesar Rp 4.75 juta sedangkan daerah Pantai Timur sebesar Rp. 12.98 juta. Pada tahun 2009 rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Barat Rp. 5.38 juta sedangkan daerah Pantai Timur menurun menjadi Rp 9.51 juta (lihat Gambar 27).
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 27 Rata-rata pendapatan perkapita migas Pantai Barat dan Pantai Timur tahun 2004-2009 (Juta Rupiah) Penurunan rata-rata pendapatan perkapita daerah Pantai Timur disebabkan oleh menurunnya kontribusi nilai tambah sektor migas di Kabupaten Aceh Utara
105
dan industri pengolahan di Kota Lhoksumawe akibat semakin menipis cadangan minyak bumi dan gas pada daerah tersebut. Penurunan pendapatan perkapita tertinggi pada Kabupaten Aceh Utara dari tahun 2004 sebesar Rp. 29.85 juta menjadi Rp. 8.04 juta. Penurunan ini disebabkan oleh tidak beroperasi maksimal PT Pupuk Iskandar Muda karena pasokan gas yang tidak mencukupi dari PT Arun LNG karena cadangan yang semakin menipis. Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2004 mencapai Rp 12.05 milyar dan terus menurun menjadi Rp 1.56 milyar pada tahun 2009. Sementara itu sumbangan sektor industri pengolahan di Kota Lhoksumawe pada tahun 2004 sebesar Rp 6.11 milyar terus menurun menjadi Rp 2.46 milyar pada tahun 2009. Sementara itu jika pendapatan perkapita seluruh kabupaten/kota digabung, maka terlihat pada digram dotplot pendapatan perkapita dengan migas di Provinsi Aceh juga menunjukkan kearah pemerataan. Hal ini dapat dilihat dari nilai standar deviasi pendapatan perkapita kabupaten/kota pada tahun 2004 sebesar 11.56 menurun menjadi 5.23 pada tahun 2009. Ini mengindikasikan bahwa perbedaan pendapatan perkapita antar kabupaten/kota semakin rendah.
Kab / Ko ta Bar at Timu r
2004
2006
2009 7
14
21
28
35
42
49
PDRB Perkapita (Juta Rupiah)
Rata-rata Stad Dev
2004 8.87 11.56
2005 7.60 7.80
2006 7.65 6.83
2007 7.40 5.96
2008 7.47 5.84
Sumber : Data PDRB kabupaten/kota berbagai tahun (diolah)
Gambar 28 Diagram dotplot PDRB perkapita kabupaten/kota dengan migas di Provinsi Aceh tahun 2004-2009.
2009 7.44 5.23
106
Pertumbuhan ekonomi yang baik adalah apabila pertumbuhan tersebut dapat meningkatkan pendapatan perkapita masyarakatnya. Stimulus pengeluaran pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dengan memberikan porsi pengeluaran yang lebih besar terhadap sektor-sektor yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, seperti pengeluaran infrastruktur. Selain itu dalam menunjang perekonomian dibutuhkan tenaga sumber daya manusia yang handal, oleh karena itu pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan dan pendidikan perlu ditingkatkan terhadap total pengeluaran daerah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (lihat Gambar 28). Semakin meratanya distribusi ekonomi yang semakin baik antar daerah di Provinsi Aceh juga terlihat juga dari nilai indeks theil yang semakin rendah. Nilai Indeks Theil PDRB perkapita digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan wilayah, semakin rendah nilai indeks theil maka semakin rendah ketimpangan pendapatan di wilayah tersebut. Tabel 27 Indeks theil PDRB perkapita Provinsi Aceh tahun 2004-2009 Tahun Nilai 2004 0.49 2005 0.32 2006 0.27 2007 0.21 2008 0.19 2009 0.17 Sumber : PDRB kab/kota tahun 2004-2009 (diolah)
Pada tahun 2004 nilai indeks theil sebesar 0.49 kemudian terus menurun menjadi 0.17 pada tahun 2009. Nilai indeks theil yang semakin menurun selaras dengan peningkatan kontribusi pembentukan nilai tambah pada daerah Pantai Barat dan peningkatan pendapatan perkapita pada daerah tersebut. Sementara itu kontribusi nilai tambah daerah Pantai Timur yang semakin menurun yang diikuti dengan menurunya pendapatan perkapita pada daerah Pantai Timur. 5.4 Implikasi Kebijakan Ketimpangan pendapatan yang merupakan ekses dari ketimpangan pembangunan karena pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup baik dari sisi fiskal maupun sisi ketersediaan sumber ekonomi untuk mendorong
107
perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, apabila terus dibiarkan akan menimbulkan masalah sosial. Peranan pemerintah daerah sejak dilaksanakanya otonomi daerah semakin dominan, sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah, daerah dituntut untuk dapat mandiri melaksanakan pembangunan, baik sisi perencanaan maupun sisi pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Sejalan dengan esensi otonomi daerah,maka besarnya dana yang diterima daerah juga diikuti dengan deskresi yang luas untuk membelanjakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan pemerintah daerah dalam mensejahterakan masyarakat tergantung dari pengalokasian belanja daerah terutama pada program atau kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat mendorong perekonomian dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menurunkan penduduk miskin. Kebijakan yang lebih efektif yang sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan di aceh adalah : 1. Meningkatkan akses wilayah terhadap terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi dan kemajuan teknologi. Pembangunan infrastruktur yang merata akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan perekonomian. 2. Pemerintah kabupaten/kota harus melengkapi kerangka hukum untuk memastikan bahwa sumber daya mereka alokasikan secara strategis, bertanggung jawab dan transparan. Pemerintah kabupaten/kota harus menetapkan kerangka kerja peraturan dan mekanisme perencanaan partisipatif yang sesuai serta prosedur pembukuan dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu. Di samping itu, mereka harus mempersiapkan dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang independen dan transparan 3. Investasi untuk aparat administratif secara nyata harus menghasilkan peningkatan efisiensi yang selayaknya. Apabila peningkatan efisiensi
108
tidak mendukung untuk dilakukanya investasi, sumber daya harus dialihkan
kepada
menginvestasikan
layanan dana
publik
masyarakat. untuk
Keuntungan
meningkatkan
dari
layanan
masyarakat dampaknya lebih besar daripada pembangunan gedunggedung baru untuk administrasi umum. Pemberian dana alokasi umum sesuai dengan formulasinya yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan fiskal diharapkan kedepan semakin maksimal pemanfaatannya sesuai dengan konsep otonomi daerah tidak lagi dibebani dengan kepentingan dan tujuan lain yang besifat politik/teknis. Berdasarkan konsep grand design desentralisasi fiskal, maka formulasi dana alokasi umum perlu perbaikan, yaitu : 1. Menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk lembaga independen yang melakukan perhitungan DAU 2. Arah kedepan, penggunaan belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan 3. Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1 Kesimpulan 1.
Secara umum kinerja keuangan daerah masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat, kemampuan daerah untuk menggali sumber daya untuk mendukung keuangan daerah masih rendah. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya sumber daya yang ada baik SDA dan SDM
2.
Transfer dana alokasi umum memiliki pengaruh yang positif terhadap penurunan ketimpangan wilayah.
3.
Dampak DAU terhadap ketimpangan pendapatan antara daerah Pantai Barat dan Pantai Timur terdapat perbedaan. Dampak DAU terhadap ketimpangan pendapatan untuk daerah Pantai Barat lebih tinggi dibandingkan dengan Pantai Timur.
4.
DAU sangat berperan dalam menurunkan ketimpangan bagi daerah yang memiliki IPM rendah, karena daerah yang memiliki IPM rendah cenderung memiliki DAU yang besar untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain yang lebih maju
5.
Pengeluaran pemerintah secara umum dapat menurunkan ketimpangan wilayah apabila penyalurannya tepat sasaran. Dari hasil penelitian ini pengeluaran pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan perkapita terutama untuk daerah Pantai Barat.
6.2 Saran 1.
Pemerintah daerah harus mencari alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan daerah sehingga ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin rendah.
2. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum masih efektif untuk menurunkan ketimpangan wilayah. Perlu kajian yang lebih lanjut untuk melihat optimalisasi pemanfaatan DAU melalui pengeluaran semua sektor yang dapat menurunkan ketimpangan wilayah.
110
3. Perlu
pengawasan
dan
penekanan
pada
pemerintah
daerah
dalam
pemanfaatan DAU sehingga dapat mencapai keberhasilan desentralisasi fiskal.
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu A, Megantara A 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Jakarta : Kompas Akai N, Sakata M 2005 Decentralization, Commitment and Regional Inequality: Evience From State-level Cross-sectional Data for the US. CIRJE Ajiji A. 2010. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan dan Kemiskinan di Provinsi Riau [Tesis]. Bogor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Agustina N 2010, Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008 [Tesis]. Bogor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Andika, M Nova, 2004. Pengaruh anggaran belanja Pemerintah DKI Jakarta terhadap peningkatan kesejateraan masyarakat miskin Kota [Tesis]. Depok MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Asri N 2008 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan. (Kajian Antar Provinsi di Indonesia Periode 1994-2003) [Tesis]. Padang Program Pascasarjana Universitas Andalas Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd edition. West Sussex: John Wiley and Sons. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Aceh Dalam Angka 2009. Banda Aceh: BPS Provinsi NAD. Boadway R, Hobson 2007. Intergovernmental Fiscal Transfer : Principle and Practice. Washington DC. World Bank Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington: World Bank. Brojonegoro B, Sidik M 2003. Dana Alokasi Umum, Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah, LPEM- UI, Jakarta Devkota. K L. 2010. Impact of Fiscal Decentralization on Economic Growth of Nepal. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2004. Macroeconomics 8th Edition. New York: McGraw-Hill. [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI 1999a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI 1999b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Dana Perimbangan. Jakarta [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI 2001. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi DI. Aceh sebagai Provinsi NAD. Jakarta
112
[DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI 2004a. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI 2004b. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Dana Perimbangan. Jakarta Eko S 2008. Pro Poor Budgeting. Working Paper. Institute for Research Firdaus M, Irawan T 2009. Ekonometrika untuk Data Panel (Aplikasi Eviews dan Stata). Modul Workshop IRSA Institut. Bogor Firdaus M 2006, Impact of Investment Inflows on Regional Disparity in Indonesia [Thesis]. Universiti Putra Malaysia Gujarati DN 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGraw Hill. Haryanto J T 2006. Desentralisasi Fiskal dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi studi kasus : Kabupaten/Kota di Indonesia [Tesis]. Depok. Program pascasarjana fakultas ekonomi Universitas Indonesia Jutting J, Kauffman C, Mc Donnell 2004. Decentralization and poverty in developing countries : exploring the impact. Social Institutions and Dialogue. OECD Develoving Centre. [Kemenkeu] Kementrian Keuangan. Dana Alokasi Umum 2009. Jakarta Lessmann C. 2006. Fiscal decentralization and regional disparity.: a panel data approach OECD countries. Working Paper. Ifo Institute for Economic Reseach, Germany Lubekran, M I (2007). Analisa dampak transfer Dana Alokasi Umum terhadap perkembangan daerah di Indonesia periode 2001-2004. [Skripsi]. Depok Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mangkosoebroto G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE Mulyana B. 2006. Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia. http//www.bppk.depkeu.go.id. Nazara S. 2010. Pemerataan Antardaerah sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia Nuringsih M. 2006. Dampak penerimaan pajak sebelum dan sesudah desentralisasi fiscal di NAD [Tesis]. Depok Program pascasarjana fakultas ekonomi Universitas Indonesia Oyakale A, Adeoti A, Ogunnupe O.T . 2004. Sources of income inequality and poverty in rural and urban Nigeria. Department of Agricultural Economic. University of Ibadan Priyarsono DS, Widyastutik, Henny R. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: Universitas Terbuka. Rodriguez A, Ezcurra R 2009 Does Decentralization Matter for Regional Disparities? ESRC, Department for Business, Enterprise and Regulatory Reform
113
Rodriguez dan Kroijer R 2009. Fiscal Decentralization and economic growth in central dan eastern Europe. LSE’ Europe in Question’ Discussion Paper Series. The London School of Economic and Political Science Setianegara G. 2003 Ketimmpangan Distribusi Pendapatan, Krisis Ekonomi dan Kemiskinan. Semarang Politeknik Negeri Skira M. 2006 . Fiscal decentralization and poverty. Andrew Young School of Policy Studies. Georgia State University Stiglitz, J. 2000. Economic of Public Sector. Third Edition. New York. WW Norton Steiner. S 2005. Decentralization and Poverty Reduction: A Conceptual Framework for the Economic Impact. Working Paper Global and Area Studies. German Overseas Institute Tangkilisan HN. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Gramedia Widiasono. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L.). Jakarta: Erlangga. Walidi. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pendapatan Perkapita, Belanja Modal sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara). [Tesis]. Medan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Yuda Eka P 2011. Pelayanan Publik, Kualitas Sumberdaya Manusia dan Disparitas Pembangunan Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Lebak-Banten) [Tesis]. Bogor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
114
Halaman ini sengaja dikosongkan
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
116
Lampiran 1. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
15,535.40
1,197.52
4,506.46
4,028.00
7,879.63
20,000.00
Aceh Singkil
5,500.00
3,695.62
7,221.31
5,798.03
10,956.33
16,432.99
Aceh Selatan
3,680.00
5,021.95
4,550.56
10,285.00
11,678.69
19,298.00
Aceh Tenggara
4,366.31
5,793.68
5,610.76
9,121.00
6,655.15
11,013.00
Aceh Timur
9,856.07
5,804.27
7,157.36
8,014.00
14,311.04
20,000.00
Aceh Tengah
6,967.33
6,910.71
17,907.95
17,802.01
38,246.26
24,569.00
Aceh Barat
7,535.72
7,749.47
14,851.89
21,100.00
28,343.23
24,643.00
Aceh Besar
7,269.60
8,090.10
8,643.21
15,915.00
21,167.02
26,385.00
Pi d i e
8,629.57
6,310.02
9,418.90
13,397.19
14,288.55
18,604.03
Bireuen
4,226.10
7,677.00
13,425.64
15,100.00
50,126.55
37,097.00
29,728.19
29,626.57
39,232.21
72,510.00
79,720.90
85,520.00
Aceh Barat Daya
2,717.47
4,000.64
4,756.15
10,212.00
9,037.47
15,000.00
Gayo Lues
1,191.57
1,444.39
1,768.99
4,837.00
4,725.89
8,516.00
Aceh Tamiang
4,075.68
7,802.07
10,043.90
20,650.00
10,610.68
22,896.00
Nagan Raya
3,053.76
2,862.31
8,346.25
9,978.26
12,642.16
16,791.00
Aceh Jaya
9,559.15
2,274.34
6,056.05
8,466.00
8,683.31
19,830.00
Banda Aceh
9,457.20
5,143.50
9,065.07
31,531.00
45,222.40
50,000.00
Sabang
5,449.01
6,388.79
6,023.57
8,085.00
18,036.14
12,943.00
Langsa
2,395.89
4,626.85
7,692.71
15,243.00
17,134.70
24,442.00
Lhokseumawe 9,414.45 Sumber : BPS/Kemenkeu
9,711.92
15,429.69
20,356.00
20,604.69
25,010.00
Simeulue
Aceh Utara
117
Lampiran 2. Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Simeulue
90,043.00
105,355.00
149,309.00
184,733.00
205,554.00
209,831.00
Aceh Singkil
97,754.00
117,849.00
174,747.00
206,859.00
249,809.64
376,286.77
Aceh Selatan
128,694.26
145,661.00
244,851.00
277,663.00
315,844.00
326,501.00
Aceh Tenggara
122,468.00
149,207.00
215,362.00
252,480.00
278,292.00
284,719.00
Aceh Timur
143,900.00
159,002.00
244,423.00
285,679.00
321,110.00
358,657.00
Aceh Tengah
158,675.00
177,943.00
424,151.00
472,546.00
524,137.00
545,073.00
Aceh Barat
117,070.00
139,496.00
229,450.00
267,201.00
303,464.00
315,650.00
Aceh Besar
192,200.00
192,200.00
322,660.00
335,436.00
407,952.00
398,139.00
Pi d i e
233,016.00
242,139.00
391,468.00
431,940.00
479,818.26
541,943.26
Bireuen
159,955.54
183,713.00
308,062.00
345,885.00
381,777.00
391,967.00
Aceh Utara
199,896.00
159,002.00
244,423.00
285,679.00
321,110.00
358,657.00
Aceh Barat Daya
81,031.65
103,201.00
171,540.00
200,729.00
226,924.00
231,877.00
Gayo Lues
85,734.00
112,152.00
179,312.00
200,632.00
226,716.00
252,889.00
Aceh Tamiang
92,012.00
120,685.00
188,709.00
213,428.00
237,708.00
259,602.00
Nagan Raya
98,099.90
116,281.00
189,358.00
221,841.00
272,685.00
324,215.00
Aceh Jaya
77,699.00
100,016.00
157,363.00
191,893.00
194,370.00
218,522.00
146,816.57
160,363.00
266,705.00
308,839.00
307,002.00
313,126.00
Sabang
80,258.00
92,661.00
149,841.00
171,896.00
184,666.00
182,458.00
Langsa
85,993.21
104,780.00
184,322.00
193,579.00
215,309.00
228,877.00
Lhokseumawe 95,472.97 Sumber : BPS/Kemenkeu
108,124.00
168,470.00
211,310.00
233,315.00
248,528.00
Banda Aceh
118
Lampiran 3. Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
43,959.00
52,610.00
45,413.00
58,583.90
86,707.00
Simeulue
7,170.00
11,180.00
26,810.00
Aceh Singkil
7,932.25
11,190.00
26,820.00
Aceh Selatan
8,547.36
14,500.00
27,790.00
38,994.00
46,931.00
43,527.00
Aceh Tenggara
8,490.00
11,670.00
66,048.00
35,961.00
44,449.00
39,939.00
Aceh Timur
10,900.00
15,990.00
53,439.67
49,676.00
57,761.00
51,143.00
Aceh Tengah
8,360.00
15,800.00
54,100.00
79,581.00
90,508.00
79,999.00
Aceh Barat
9,765.08
13,140.00
26,680.00
40,158.00
46,819.00
45,466.00
Aceh Besar
11,350.00
11,350.00
32,510.00
43,994.00
52,984.00
48,972.00
Pi d i e
9,000.00
14,700.00
41,400.00
66,884.40
71,763.00
Bireuen
10,930.00
10,490.00
38,460.00
46,509.00
54,015.00
46,947.00
Aceh Utara
6,940.00
11,580.00
37,870.00
47,267.00
54,905.00
50,372.00
Aceh Barat Daya
5,500.00
12,210.00
26,870.00
34,038.00
40,199.00
38,035.00
Gayo Lues
5,500.00
10,360.00
21,553.67
26,679.00
31,888.00
36,215.00
Aceh Tamiang
5,500.00
19,830.00
27,090.00
34,261.00
42,823.00
38,263.00
Nagan Raya
5,500.00
11,710.00
25,760.00
43,198.00
40,538.00
Aceh Jaya
5,500.00
11,550.00
25,260.00
32,351.00
35,286.00
36,565.00
Banda Aceh
6,660.00
7,730.00
22,630.00
34,098.00
38,642.00
40,928.00
Sabang
5,500.00
7,650.00
27,490.00
31,220.00
39,542.00
43,004.00
Langsa
10,653.02
8,310.00
21,720.00
28,322.00
33,990.00
38,739.00
Lhokseumawe 9,499.97 Sumber : BPS/Kemenkeu
7,110.00
18,890.00
25,703.00
31,203.00
34,299.00
40,533.70
50,051.00
37,663.00
119
Lampiran 4. Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Juta Rp) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
16,287.50
47,156.98
52,826.51
32,288.00
28,814.00
43,744.00
Aceh Singkil
6,770.00
31,982.96
13,615.77
38,198.95
62,884.07
67,150.12
Aceh Selatan
34,509.14
9,531.70
10,360.77
68,459.00
45,979.00
41,076.00
Aceh Tenggara
31,767.39
4,826.04
7,718.17
84,442.00
78,922.00
96,809.00
Aceh Timur
39,032.12
19,974.83
125,091.71
131,520.00
91,496.00
104,095.00
Aceh Tengah
16,286.08
18,369.52
28,604.28
41,781.84
54,183.00
83,140.00
Aceh Barat
31,625.77
60,672.04
60,116.84
51,800.00
28,350.00
46,981.00
Aceh Besar
43,300.95
49,250.95
6,550.00
51,715.00
36,986.00
43,454.00
Pi d i e
15,504.99
46,974.14
18,058.30
37,827.90
56,561.39
84,242.03
Bireuen
35,392.93
19,160.78
24,389.85
73,938.00
70,105.00
55,498.00
153,605.54
34,569.47
74,421.29
244,030.00
406,019.00
419,201.00
Aceh Barat Daya
33,974.90
35,010.78
54,105.05
69,169.00
64,802.00
99,563.00
Gayo Lues
16,281.71
35,672.16
56,555.83
47,813.00
41,722.00
64,722.00
Aceh Tamiang
40,322.73
10,606.21
39,003.77
121,557.00
141,595.00
82,773.00
Nagan Raya
29,331.52
33,258.02
47,160.24
55,747.69
21,737.00
38,034.00
Aceh Jaya
16,282.71
60,456.05
58,036.43
59,583.00
37,840.00
24,652.00
0.00
12,216.24
11,845.07
30,080.00
54,963.00
64,163.00
Sabang
25,707.22
38,742.61
12,055.81
48,107.00
32,452.00
37,095.00
Langsa
16,468.68
6,515.97
10,626.75
37,290.00
38,237.00
46,726.00
Lhokseumawe 28,565.25 Sumber : BPS/Kemenkeu
18,890.14
22,630.52
74,198.00
69,625.00
95,656.00
Simeulue
Aceh Utara
Banda Aceh
120
Lampiran 5. Belanja Rutin Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Rp. 000) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Simeulue
31,208,969
80,331,000
66,019,037
91,692,249
126,496,373
128,095,000
Aceh Singkil
77,822,466
80,399,502
108,788,850
73,635,208
179,004,851
216,647,872
Aceh Selatan
59,665,482
60,335,229
88,940,571
231,605,266
231,893,695
318,202,962
Aceh Tenggara
49,166,372
57,298,968
134,429,321
166,683,770
190,671,018
246,741,275
Aceh Timur
58,273,191
90,960,802
135,364,069
204,773,248
287,747,737
323,857,748
Aceh Tengah
80,248,659
123,548,389
205,748,091
350,564,042
413,230,034
443,095,718
Aceh Barat
46,268,880
58,200,091
80,880,512
199,450,935
258,085,680
303,498,000
Aceh Besar
105,927,192
77,107,303
231,667,586
339,327,239
352,733,572
389,764,000
Pi d i e
119,564,187
108,714,136
135,707,219
356,221,314
407,742,099
446,540,821
Bireuen
70,134,259
73,350,812
194,551,554
272,321,245
315,123,433
374,766,000
272,214,728
239,804,681
218,016,716
421,673,205
635,755,147
689,509,000
Aceh Barat Daya
33,605,277
39,600,679
95,361,247
129,054,172
141,158,250
214,479,562
Gayo Lues
28,766,040
39,441,016
103,727,586
116,663,201
151,294,596
141,197,000
Aceh Tamiang
96,399,018
119,697,424
100,410,125
145,353,621
165,703,571
224,943,000
Nagan Raya
64,551,329
78,907,225
105,419,602
147,380,909
180,197,146
242,045,064
Aceh Jaya
28,341,583
57,767,787
46,991,125
82,794,389
117,612,875
161,778,033
150,176,774
189,861,637
193,671,661
225,610,448
277,230,644
342,589,479
Sabang
53,325,885
64,754,426
85,805,114
135,014,904
149,982,698
188,202,628
Langsa
36,306,368
49,270,601
120,508,816
118,698,437
168,522,344
185,257,090
78,442,712
87,478,877
143,104,360
174,960,191
216,226,494
250,254,665
Aceh Utara
Banda Aceh
Lhokseumawe Sumber : BPS
121
Lampiran 6. Belanja Pembangunan Kabupaten/Kota Tahun 2004-2009 (Rp. 000) Penduduk Kabupaten Kota
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Simeulue
122,979,129
59,536,487
110,407,719
169,812,918
164,253,036
196,644,000
Aceh Singkil
105,479,093
97,411,618
156,154,040
240,481,945
254,552,230
360,093,656
Aceh Selatan
153,420,638
152,591,371
189,235,791
221,971,410
221,682,981
149,863,800
Aceh Tenggara
133,315,778
190,240,212
175,197,381
141,289,529
180,931,988
240,476,289
Aceh Timur
197,062,269
178,537,744
241,037,206
235,266,294
244,119,247
329,873,692
Aceh Tengah
179,087,589
177,217,134
359,747,932
401,566,117
327,137,217
334,229,054
Aceh Barat
151,774,122
135,716,291
218,757,188
254,263,608
178,634,548
181,174,000
Aceh Besar
137,705,638
217,116,340
202,752,014
214,474,190
191,858,797
170,337,000
Pi d i e
253,331,014
235,582,564
426,450,971
236,554,550
241,100,050
276,259,867
Bireuen
198,643,361
208,995,957
257,237,296
268,552,801
279,854,988
239,599,000
Aceh Utara
788,362,013
685,095,945
660,246,304 1,077,595,478
712,962,633
662,725,000
Aceh Barat Daya
95,084,893
108,164,881
178,016,891
181,459,540
198,849,991
237,445,577
Gayo Lues
91,599,358
156,986,584
160,953,904
182,687,854
150,738,490
230,293,000
Aceh Tamiang
66,967,122
79,954,481
135,830,398
348,921,395
311,351,077
249,492,000
Nagan Raya
88,600,891
110,374,777
162,256,870
211,873,250
195,841,707
230,595,035
Aceh Jaya
87,308,042
86,891,644
95,858,347
211,156,461
262,892,631
272,451,863
Banda Aceh
70,192,373
61,028,680
180,864,912
263,006,317
200,978,412
184,678,047
Sabang
76,437,741
91,427,134
127,227,646
115,383,102
110,835,021
166,493,909
Langsa
97,628,802
107,036,842
151,887,539
177,663,633
154,591,261
177,538,299
111,151,674
115,020,246
126,646,953
200,569,941
204,555,252
214,024,942
Lhokseumawe Sumber : BPS
122
Lampiran 7. Script Hasil Pengolahan Fixed Effect, Random Effect dan Ordinary Least Square Dampak DAU terhadap Ketimpangan Pendapatan
. regress lngini(t) lngini(t -1) lnpdrb lndau lnpop ddau Source |
SS
df
MS
Model | 1.07334157 5 .214668314 Residual | .297780882 94 .003167882 -------------+-----------------------------Total | 1.37112245 99 .013849722
Number of obs = Prob > F R -squared Adj R-squared Root MSE
100
= 0.0000 = 0.7828 = 0.7713 = .05628
------------------------------------- ----------------------------------------lngini(t) | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lngini(t-1) | .8349189 .0520118 16.05 0.000 .7316481 .9381896 lnpdrb | .0069074 .0191129 0.36 0.719 -.0310417 .0448564 lndau | -.0158088 .0383733 -0.41 0.681 -.0919999 .0603823 lnpop | -.00961 .0139774 -0.69 0.493 -.0373625 .0181426 ddau | .0139815 .0321362 0.44 0.665 -.0498258 .0777888 _cons | -.1277908 .1525001 -0.84 0.404 -.4305833 .1750017 ------------------------------------------------------------------------------
. xtreg lngini(t) lngini(t -1) lnpdrb lndau lnpop ddau, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: kabkota
Number of obs Number of groups
= =
100 17
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
4 5.9 6
within = 0.5023 between = 0.0058 overall = 0.0469
corr(u_i, Xb)
= -0.6537
F(5,78) Prob > F
= =
15.74 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------lngini(t) | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lngini(t-1) | .6539725 .0793612 8.24 0.000 .4959765 .8119685 lnpdrb | -.0250232 .0454872 -0.55 0.584 -.1155811 .0655348 lndau | -.0168725 .1100966 -0.15 0.879 -.236058 .202313 lnpop | .1965719 .1337307 1.47 0.146 -.0696655 .4628093 ddau | .0081981 .1328551 0.06 0.951 -.256296 .2726922 _cons | -2.816825 1.643261 -1.71 0.090 -6.088307 .4546568 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .13940954 sigma_e | .05549485 rho | .86321479 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(16, 78) = 1.17 Prob > F = 0.3119 .
123
xtreg lngini(t) lngini(t -1) lnpdrb lndau lnpop ddau, re Random-effects GLS regression Group variable: kabkota
Number of obs Number of groups
= =
100 17
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
4 5.9 6
within = 0.4847 between = 0.9699 overall = 0.7828
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(5) Prob > chi2
= =
338.82 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------lngini(t) | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+----------------------------------------------------- ----------lngini(t-1) | .8349189 .0520118 16.05 0.000 .7329775 .9368602 lnpdrb | .0069074 .0191129 0.36 0.718 -.0305532 .0443679 lndau | -.0158088 .0383733 -0.41 0.680 -.0910191 .0594015 lnpop | -.00961 .0139774 -0.69 0.492 -.0370053 .0177853 ddau | .0139815 .0321362 0.44 0.664 -.0490044 .0769674 _cons | -.1277908 .1525001 -0.84 0.402 -.4266855 .1711039 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 0 sigma_e | .05549485 rho | 0 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------.
124
Lampiran 8. Script Hasil Uji Model Dampak Rasio Pendidikan, Rasio Infrastruktur dan Rasio Kesehatan terhadap Pendapatan Perkapita
Fixed-effects (within) regression Group variable: kabkota
Number of obs Number of groups
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
within = 0.0892 between = 0.0408 overall = 0.0446
corr(u_i, Xb)
= 0.0400
F(4,96) Prob > F
= =
= =
120 20 6 6.0 6 2.35 0.0595
-----------------------------------------------------------------------------lnpdrbp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lninf | -.1644086 .0566362 -2.90 0.005 -.2768306 -.0519867 lnkes | -.0036394 .079694 -0.05 0.964 -.1618306 .1545519 lnpdd | .1391993 .1131505 1.23 0.222 -.0854027 .3638013 d1pdd | -.0370216 .1528344 -0.24 0.809 -.3403954 .2663523 _cons | 1.686914 .183607 9.19 0.000 1.322456 2.051371 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .54397789 sigma_e | .18186116 rho | .89946825 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(19, 96) = 33.34 Prob > F = 0.0000 Random-effects GLS regression Group variable: kabkota
Number of obs Number of groups
= =
120 20
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
6 6.0 6
within = 0.0696 between = 0.2661 overall = 0.2456
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
14.58 0.0057
-----------------------------------------------------------------------------lnpdrbp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lninf | -.1415959 .0573502 -2.47 0.014 -.2540002 -.0291915 lnkes | -.0434218 .0825022 -0.53 0.599 -.2051231 .1182796 lnpdd | .2782802 .0952945 2.92 0.003 .0915064 .4650539 d1pdd | -.2552738 .1066094 -2.39 0.017 -.4642245 -.0463232 _cons | 1.691316 .2105244 8.03 0.000 1.278696 2.103936 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .39284342 sigma_e | .18186116 rho | .82351344 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. est sto random
125
. hausman random fixed ---- Coefficients ---| (b) (B) (b -B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | random fixed Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------lninf | -.1415959 -.1644086 .0228128 .0090215 lnkes | -.0434218 -.0036394 -.0397824 .0213422 lnpdd | .2782802 .1391993 .1390809 . d1pdd | -.2552738 -.0370216 -.2182523 . -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(4) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 4.71 Prob>chi2 = 0.3179 (V_b-V_B is not positive definite)
Fixed-effects (within) regression Group variable: kabkota
Number of obs Number of groups
= =
120 20
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
6 6.0 6
within = 0.0892 between = 0.0408 overall = 0.0446
corr(u_i, Xb)
= 0.0400
F(4,96) Prob > F
= =
2.35 0.0595
-----------------------------------------------------------------------------lnpdrbp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+--------------------------------------- ------------------------lninf | -.1644086 .0566362 -2.90 0.005 -.2768306 -.0519867 lnkes | -.0036394 .079694 -0.05 0.964 -.1618306 .1545519 lnpdd | .1391993 .1131505 1.23 0.222 -.0854027 .3638013 d1pdd | -.0370216 .1528344 -0.24 0.809 -.3403954 .2663523 _cons | 1.686914 .183607 9.19 0.000 1.322456 2.051371 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .54397789 sigma_e | .18186116 rho | .89946825 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(19, 96) = 33.34 Pro b > F = 0.0000 . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (20) = 1955.99 Prob>chi2 = 0.0000
126
Linear regression
Number of obs = F( 4, 19) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
100 1.69 0.1949 0.0416 .17312
(Std. Err. adjusted for 20 clusters in kabkota) -----------------------------------------------------------------------------| Robust D.lnpdrbp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lninf | D1. | -.0576948 .0601516 -0.96 0.350 -.1835936 .068204 lnkes | D1. | -.0576038 .0458338 -1.26 0.224 -.1535351 .0383275 lnpdd | D1. | .0730203 .0690462 1.06 0.304 -.0714949 .2175356 d1pdd | D1. | .0375047 .1028438 0.36 0.719 -.1777499 .2527592 -----------------------------------------------------------------------------Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 19) = 75.093 Prob > F = 0.0000
Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: Panels: Correlation:
generalized least squares heteroskedastic common AR(1) coefficient for all panels
Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
20 1 5
(0.6307)
Number of obs Number of groups Time periods Wald chi2(4) Prob > chi2
= = = = =
120 20 6 32.76 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------lnpdrbp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------lninf | -.0339497 .0391745 -0.87 0.386 -.1107303 .042831 lnkes | -.0708921 .0632821 -1.12 0.263 -.1949227 .0531385 lnpdd | .3048836 .0675197 4.52 0.000 .1725473 .4372199 d1pdd | -.1847541 .0506348 -3.65 0.000 -.2839965 -.0855117 _cons | 1.806956 .1492622 12.11 0.000 1.514408 2.09 9505 -----------------------------------------------------------------------------.