BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Petani Indonesia mayoritas termasuk dalam kategori peasant. Peasant diartikan oleh Eric R. Wolf sebagai petani pedesaan, sebagai orang desa yang bercocok tanam di pedesaan tidak didalam ruanganruangan tertutup (greenhouse) ditengah-tengah kota atau kotak-kotak aspidistra di atas ambang jendela, mereka bukanlah farmer, atau pengusaha pertanian (agricultural entrepeneur) seperti kita kenal di Amerika Serikat. 1 Kehidupan petani (peasant) pada masa lalu bercorak subsisten dengan prinsip “dahulukan selamat”(safety first). James C Scott mengemukakan bahwa perilaku ekonomis yang khas dari keluarga petani berorientasi subsistensi merupakan akibat dari kenyataan bahwa, berbeda dari satu perusahaan kapitalis, ia sekaligus merupakan satu unit konsumsi dan satu unit produksi.2 Unit produksi usaha tani rumah tangga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak untuk mencari keuntungan bisnis. Akan tetapi pola-pola kehidupan petani tersebut mengalami pergeseran sebagai akibat dari perkembangan industrialisme dan modernisasi. Perkembangan pesat Ilmu pengetahuan dan teknologi
1
Eric R. Wolf,Petani. Suatu Tinjauan Antropologis, CV Rajawali, Jakarta, 1983, halaman 2 James C. Scott, Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1981, halaman 19 2
1
mengabaikan pengetahuan/kearifan lokal serta merusak pola kehidupan masyarakat petani dan seringkali menempatkan petani hanya sebagai korban. Pola hubungan harmonis pada masa lalu antara petani dengan alam dan dengan sesama manusia berubah menjadi hubungan eksploitatif, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola kehidupan petani mandiri dengan mencukupi kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu (unit produksi) baru kemudian kelebihan produksi dijual, berubah menjadi sekedar unit konsumsi. Pergeseran pola kehidupan petani tersebut banyak ditemui di negara-negara berkembang tak terkecuali di negara Indonesia. Perubahan sistem sosial budaya serta struktur masyarakat petani di Indonesia berawal dari masuknya arus modernisasi ke Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada masa pemerintahan orde baru modernisasi diyakini sebagai strategi ampuh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Semua bidang pembangunan mengikuti teori modernisasi. Pertanian sebagai mata pencaharian pokok rakyat Indonesia tak pelak harus mengikuti arus modernisasi untuk meningkatkan perekonomian Indonesia pada waktu itu yang sedang mengalami krisis. Modernisasi dalam bidang pertanian diwujudkan melalui program pertanian yang kita kenal dengan istilah Revolusi Hijau. Tiga kebijakan penting dalam program revolusi Hijau
adalah (1) intensifikasi (2)
ekstensifikasi (3) diversifikasi yang secara spektakuler didukung oleh mampu meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian. Dalam konteks usaha tani, intensifikasi sering pula diterjemahkan penggunaan
2
teknologi biologi dan kimia (pupuk, benih unggul, pestisida, dan herbisida) dan teknologi mekanis (traktorisasi dan komniasi manajemen air irigasi dan drainase). Ekstensifikasi adalah perluasan area yang mengkonversi hutan tidak produktif menjadi areal persawahan dan pertanian lain. Diversifikasi pendapatan rumah tangga petani, usaha tani terpadu peternakan dan perikanan yang telah menjadi andalan masyarakat pada umumnya. Revolusi Hijau telah berjasa meningkatkan produktivitas pangan sampai 5,6 persen dan akhirnya mencapai
puncaknya pada
pencapaian swasembada pangan yang mengantar Presiden Soeharto ke meja kehormatan FAO pada konferensi pangan tingkat tinggi di Roma, Italia. 3 Keberhasilan program pertanian tersebut tidak sebanding dengan dampak-dampak yang ditimbulkan. Dampak-dampak tersebut tidak hanya sekedar argumen-argumen saja akan tetapi dalam bentuk analisa atau penelitian-penelitian oleh para ahli dibidang masing-masing. Secara umum dampak-dampak tersebut diantaranya kerusakan lingkungan, punahnya pengetahuan/kearifan lokal petani, kerusakan lahan pertanian, hilangnya kemandirian petani dan dampak-dampak lainnya. Program intensifikasi dengan teknologi biologi dan kimia serta teknologi mekanis merusak pola hubungan antara manusia dengan alam dan sesama manusia dimana petani pada masa lalu sangat menghormati alam dan selalu menjaga keseimbangan sekarang berubah menjadi eksploitatif. Dominasi ilmu 3
DR. Bustanul Arifin, ANALISIS EKONOMI PERTANIAN INDONESIA. KOMPAS JAKARTA 2004 halaman 6,7
3
pengetahuan dan teknologi dari dunia barat/negara-negara maju menjadi tak terelakkan. Petani Indonesia dianggap sebagai individu yang tidak memiliki kemampuan intelektual apapun, sehingga semua sarana produksi pertanian diserahkan kepada pihak pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu dari negara-negara maju. Padahal masyarakat petani di Indonesia memiliki banyak sekali kekayaan dan kearifan lokal di setiap daerah.4 Kemandirian petani dalam mengusahakan asupan produksi sendiri serta modal pengetahuan secara turun temurun terkikis habis dengan adanya program paket revolusi hijau. Perubahan sikap petani terhadap alam sebagai dampak modernisasi pertanian mengakibatkan usaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan segala cara tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan ekologis yang tak terkendali. Iming-iming bibit unggul tahan hama, waktu panen lebih cepat serta produktivitas tinggi membuat petani terjebak dalam budaya instan, praktis. Panen hasil pertanian berlipat ganda tanpa menghiraukan seberapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk mengganti biaya-biaya sarana produksi pertanian dan efek kerusakan alam. Dengan revolusi hijau para petani harus membayar semua asupan kecuali tenaga sendiri. Petani tidak lagi dapat memobilisasi asupan produksi sendiri. Asupan produksi berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida harus dibeli dari toko-toko yang merupakan outlet dari perusahaan besar. 4
Salah satu kearifan lokal yang tersisihkan adalah kalender pranatamangsa di Jawa yang ada sejak jaman dahulu berlaku turun temurun konon dibukukan oleh Sri Susuhunan Paku Buwana di Surakarta, pada tanggal 22 Juni 1855. Baca lebih lengkapnya di Majalah Basis, no.09-10, Tahun ke-57, September-Oktober 2008 halaman 36-46
4
Kredit usaha tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus dibayarkan kembali oleh para petani. Bahkan tanah harus disewa oleh petani, entah dengan sewa tahunan atau bagi hasil dari pemilik tanah. Di beberapa tempat penggunaan air irigasi harus mereka bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan selokan dan upah bagi tenaga pengatur irigasi). 5
Petani
dijauhkan dari ladangnya dan sekedar menjadi penonton yang kemudian segala tata cara teknis pertanian serta sarana prasarana produksi pertanian sangat bergantung kepada pemerintah. Kebiasaan petani untuk selalu mandiri bergeser menjadi sangat bergantung kepada pihak lain dan selain itu terjadi pergeseran pola konsumsi rumah tangga petani. Saat ini petani terbiasa membeli sesuatu barang/kebutuhan yang seharusnya bisa diusahakan sendiri terkait dengan mata pencahariannya sebagai petani, misalnya sayur-sayuran, buah dan hasil pertanian lainnya. Perkembangan teknologi media khususnya melalui televisi, majalah, surat kabar dan lain sebagainya membuat petani di pedesaan ikut terseret arus gaya hidup modern, sehingga secara otomatis meningkatkan anggaran pengeluaran. Konsumsi bukanlah sesuatu yang baru sama sekali dan juga bukan sesuatu yang khas kapitalisme, apalagi neoliberalisme. Konsumsi tak lain adalah pemenuhan kebutuhan manusia. Namun demikian konsumsi dan polanya sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang jauh dari bentuk awal dan primitifnya. Ia bukan lagi hanya salah satu sisi dari pasangan produksi konsumsi, melainkan lokomotif dari gerbong 5
F. Wahono, “Revolusi Hijau: Dari perangkap Involusi ke perangkap Globalisasi” dalam Neoliberalisme, I.Wibowo dan Francis Wahono (Ed.), Cindelaras, Yogyakarta, 2003, hal. 230
5
kapitalisme. Penekanan amat besar akan peran konsumsi- ketakutan kapitalisme akan underconsumption dan over production – pada sisi kultural dan sosial mendorong tumbuhnya apa yang disebut sebagai konsumerisme. Apa itu “konsumerisme”? secara singkat dapat dikatakan bahwa konsumerisme adalah suatu pola pikir dan tindakan dimana orang melakukan tindakan membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang itu melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan suatu kepuasan kepadanya. 6 Susan George
dalam bukunya juga
mengemukakan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, upaya pemenuhan kebutuhan sendiri cenderung menjadi hilang atau tidak berarti (Self Provosioning Intensity Tends to Zero). Pada masyarakat industri, secara praktis hampir-hampir tidak ada lagi petani yang membuat roti sendiri dari tepung yang diolah sendiri. Mereka lebih suka menjual gandum mereka lalu membeli roti dari toko. Begitu juga dengan hasil pertanian jenis lain. Dengan kata lain, para petani ini secara keseluruhan hidup di sebuah dunia “serba uang”, dimana segala sesuatunya diukur berdasarkan nilai tunai dan ditukarkan menggunakan perantara berupa uang. 7 Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat petani Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mayoritas penduduk desa Pagerharjo bermatapencaharian sebagai petani, dan hampir semua penduduk memiliki pekarangan maupun lahan 6
Robert H imam, “Neoliberalisme, era baru dan Peradaban Pasar” dalam Neoliberalisme, I. Wibowo, dan Francis Wahono (Ed.), CIndelaras, Yogyakarta, 2003, hal 308 7 Susan George, PANGAN:Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan, INSIST Press, Yogyakarta, 2007, halaman 81
6
pertanian. Sebagai petani kebutuhan bahan pangan seperti sayuran atau lauk pauk sebenarnya bisa diusahakan sendiri akan tetapi yang terjadi sebaliknya, mereka lebih suka membeli daripada menanam sendiri. Ironis lagi ketika ternyata tukang sayur keliling yang berjualan di desa Pagerharjo berasal dari luar daerah, pasokan sayur di pasar Plono, Desa Pagerharjo juga berasal dari luar daerah yaitu dari daerah Muntilan, Magelang. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Liberalisasi dalam bidang pertanian, cocok dengan berbagai kebijakan pemerintah selama ini yang justru lebih cenderung suka memanen pangan di pasar daripada memanen pangan di lahan sendiri. Dengan kata lain, kebijakan ketahanan pangan pemerintah lebih bertumpu pada pasar, bukan lahan domestik. 8 Pemerintah tidak memaksimalkan kemampuan bangsa sendiri sebagai negara pertanian yang seharusnya semua kebutuhan pangan masyarakat bisa tercukupi secara mandiri. Budaya instan yang merasuki jiwa masyarakat terasa sekali menggusur nilai-nilai luhur budaya nenek moyang seperti “nek arep ngundhuh, yo melu nandur” (bila ingin ikut memanen, ya ikutlah menanam). Masyarakat desa sudah terlalu jauh dibawa pada arus pasar bebas yang mematikan daya tawar masyarakat pada umumnya. Selain dampak-dampak diatas juga muncul permasalahan desa yang semakin sepi ditinggalkan oleh para generasi mudanya. Generasi muda lebih banyak meninggalkan desanya untuk merantau pergi ke kota 8
Djoko Suseno, Hempri Suyatna, Quo Vadis Petani Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa dari Sektor Pertanian, Aditya Media. 2006 Yogyakarta halaman 51
7
sebagai
konsekuensi
dari
meningkatnya
keinginan
petani
untuk
menyekolahkan anaknya sampai tingkat tinggi dan tidak ingin anaknya bekerja di sektor pertanian. Padahal pekerjaan di luar sektor pertanian belum tentu menjamin masa depan mereka. Pada masa revolusi hijau selain soal asupan produksi yang harus dibayar oleh petani, petani juga didera
oleh
pengeluaran-pengeluaran
masyarakat
modern
seperti
pengeluaran pendidikan dan pemeliharaan kesehatan yang semakin melambung. Desakan pengeluaran pendidikan itu semakin berat menekan manakala keluarga petani dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, dengan meningkatkan investasi untuk pendidikan anak, petani justru ikut mempercepat terdorongnya anak keluar dari pertanian menjadi lautan tenaga murah yang siap direkrut (kalau mujur) atau ditolak (kalau buntung) sektor kota. Disisi lain apabila petani memperkecil atau membatasi investasi untuk pendidikan anak, memang petani akan dapat mengerem anak untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah pertanian, akan tetapi petani telah memasukkan anaknya pada situasi kemiskinan:lahan langka, ongkos produksi mahal dan akhirnya kecukupan hidup dijauhkan. 9 Kondisi semakin kompleks ketika image sebagai seorang petani semakin rendah, anak-anak petani pun enggan untuk terjun dalam pertanian. Melalui acara serta iklan televisi gaya hidup yang dikonstruksikan pada masa sekarang ini adalah gaya hidup mewah, bersih, kaya, berdasi, bekerja di kantor dan lain sebagainya. Dalam media maupun dalam lembaga 9
F. Wahono, Op.Cit., hal. 230-231
8
pendidikan pun sangat jarang atau bahkan tidak ada penggambaran kehidupan petani sebagai sosok pahlawan serta mata pencaharian yang paling mulia dan apabila dilakukan secara sungguh-sungguh akan bisa berhasil. Hal ini mengakibatkan anak-anak masyarakat desa Pagerharjo “asing” dari pertanian walaupun orangtua mereka adalah petani. Keprihatinan-keprihatinan yang ditemui di desa Pagerharjo tersebut melatarbelakangi kemunculan sebuah komunitas petani muda yaitu Komunitas Petani Subur Nggabur. Komunitas Petani
Subur Nggabur
terdiri dari beberapa petani muda yang sebelumnya tidak berpengalaman sebagai petani, karena sebelumnya mereka bekerja merantau di kota. Komunitas Petani muda ini memilih pola pertanian organik sebagai teknik bertani dan filosofi gerakan. Komunitas Petani Subur Nggabur berusaha memberi contoh gerakan nyata bagaimana mewujudkan petani mandiri dengan memanfaatkan potensi-potensi di pedesaan. Gerakan mereka diawali dengan membuka lahan pertanian sayur-sayuran organik. Sayur organik dari hasil pertanian tersebut, mereka jual kepada masyarakat desa Pagerharjo. Tahun demi tahun permintaan akan sayuran organik semakin meningkat mereka tidak mampu memenuhi permintaan, bahkan karena takut tidak kebagian beberapa konsumen langganan langsung datang ke kebun sayur organik memetik sendiri. Keprihatinan terhadap pola hidup anak-anak generasi penerus desa yang tidak mau terjun dalam bidang pertanian membuat Komunitas Subur Nggabur juga tergerak untuk mengenalkan pertanian kepada anak-anak 9
usia dini dengan mendampingi kegiatan pertanian di SD PL Kalirejo. Dari kelas 1 sampai kelas 6 sudah diatur sedemikian rupa secara sistematis masuk dalam
program pengembangan kepribadian selama dua jam
pelajaran setiap minggunya. Gerakan pertanian organik Komunitas Subur Nggabur sangat menarik untuk diteliti. Komunitas Subur Nggabur melakukan sebuah gerakan pertanian organik berangkat dari niat mereka sendiri untuk melakukan sebuah gerakan perubahan. Kecenderungan yang terjadi adalah kelompok-kelompok tani organik biasanya muncul dan bertahan karena adanya pendampingan dari individu/kelompok atau LSM. Gerakan pertanian organik di Pagerharjo disini bukan sebagai reaksi atas kerusakan lahan pertanian akibat revolusi hijau tetapi lebih kepada mentalitas petani akibat adanya modernisasi pertanian.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan didepan. Maka dapat dibuat rumusan masalah, untuk melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan yaitu: Bagaimana strategi gerakan sosial Komunitas Petani Organik Subur Nggabur menghadapi ketidakmandirian petani serta sektor pertanian yang semakin ditinggalkan oleh anak-anak dan generasi muda?
10
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk melihat konteks kelahiran Komunitas Subur Nggabur yang melatarbelakangi kelahiran gerakan ini. 2. Untuk melihat strategi Komunitas Subur Nggabur dalam upaya mewujudkan kemandirian petani dan ditinggalkannya sektor pertanian oleh anak-anak maupun generasi muda.
D. KERANGKA TEORI 1. Gerakan Petani Mengutip pendapat Wahyudi 10 bahwa gerakan petani merupakan salah satu jenis dari Gerakan Sosial, artinya gerakan petani itu adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan sosial – termasuk didalamnya gerakan petani – merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, kontinyu dan atau sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu, dimana mereka memiliki kepentingan
di dalamnya,
baik secara individu,
kelompok, komunitas, atau level yang lebih luas lagi. Giddens mengartikan gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui 10
Dr. Wahyudi, FORMASI DAN STRUKTUR GERAKAN SOSIAL PETANI:Studi Kasus Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang Selatan, UMM Press, Malang, 2005, halaman 6
11
tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembagalembaga
yang
mapan. 11.
Sedangkan
Nancy
Langton
mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang dilakukan oleh kelompok non kelembagaan, diorientasikan untuk mencapai tujuan, khususnya untuk menyarikan atau melawan perubahan sosial.12 Menurut argumen Tilly, gerakan sosial adalah sesuatu yang terorganisasi (organized), berkelanjutan (sustained), menolak (self conscius challenge), dan didalamnya terdapat kesamaan identitas (shared identity) diantara mereka yang terlibat didalamnya. 13 Tilly melihat peran penting yang dilakukan oleh organisasi atau jaringan informal gerakan sosial dalam melakukan aksi kolektif atau rekruitmen. Tilly meletakan dasar argumennya dengan mendokumentasikan peran kritis dari setting kelompok akar rumput seperti lingkungan pekerjaan atau lingkungan rumah tangga dalam
memfasilitasi
tindakan
kolektif.
Penelitian
Tilly
sebagaimana telah dijelaskan, menunjukkan bahwa anggota gerakan kebanyakan berasal dari kekerabatan informal (keluarga, persahabatan, gereja). Turner&Killian (1972:246) mengartikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau
11
Anthony Giddens dalam Dr.Soeharko, Gerakan Sosial. Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, Averroes Press, halaman 1 12 Nancy Langton, Niche Theory and Social Movement dalam thesis ambar sari devi 13 Charles Tilly. Social Movement and National Politics dalam C. Bright dan Sandra Harding. Statemaking and Social Movement: essays in History and Theory, Ann-Arbor, Michigan: University of Michigan, hal 306
12
dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu. Rober Lauer (1976:xiv) mengartikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah perubahan. Herbert Blumer, gerakan sosial adalah sebuah keberanian kolektif untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan baru. 14 Sidney Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif (terhadap kelompok elite, kelompok lain, atau kode kultural) oleh orang-orang yang mempunyai tujuan umum, solidaritas dan identitas kolektif, serta politik penuh makna dalam sebuah interaksi terus menerus dengan para elite, lawan dan penguasa. 15 Dari beragam pengertian para ahli mengenai gerakan sosial di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah gerakan sosial memiliki beberapa macam unsur pokok diantaranya adalah gerakan dilakukan secara bersama-sama lebih dari satu orang baik itu komunitas/kelompok/kolektif diluar lembaga yang mapan dan didalamnya terdapat kesamaan identitas (shared identity) diantara mereka yang terlibat didalamnya. Komunitas atau kelompok tersebut terorganisasi dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk melawan atau melakukan sebuah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka. Dalam mengkaji gerakan sosial 14
Herbert Blumer, “Collective Behaviour”, dalam Principle Sociology, A.M. Lee (editor), (New York:Barnes and Noble, 1966), hlaman 167 15 Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics, (Cambridge:Cambridge University Press, 1998), halman 2-7
13
secara umum ada empat perspektif penting Yang pertama dan paling
banyak
dirujuk
adalah
perspektif
“perilaku
kolektif”(collective behavior);kedua “teori mobilisasi sumber” (resource mobilization theory); ketiga perspektif “proses politik”; dan terakhir pendekatan “gerakan-gerakan sosial baru” (new social movement). Rasa senasib sepenanggungan, kuatnya ikatan sosial paguyuban di kalangan petani menjadi modal kuat untuk berkumpul menjadi satu kekuatan tindakan kolektif untuk melawan ketidakadilan terhadap kehidupan mereka. Studi-studi mengenai Gerakan Petani menunjukkan bagaimana petani sebagai kelas tertindas berusaha menuntut haknya sebagai petani, berjuang untuk hidup lebih baik, mencari jalan keluar dari kompleksitas permasalahan pertanian yang menjerat mereka. Kasus-kasus reklaiming tanah, penjarahan, konflik petani dengan pengusaha swasta ataupun pemerintah dan kasus-kasus pertanahan lainnya di negeri ini berkaitan dengan hak ekonomi, hak sebagai petani warga negara Indonesia atas tanah sebagai sumber penghidupan. Gerakan Petani tersebut diwarnai dengan perjuangan kelas sebagai ciri-ciri gerakan sosial lama. Perjuangan kelas melawan kelas-kelas pemilik tanah atau terhadap penguasa dimana ketika negara melakukan represi terhadap petani, melakukan perampasan-perampasan tanah dengan dalih kepentingan umum
menggunakan birokrasi
14
pemerintah dengan pengawalan ketat militer. Seperti diulas dalam studi –studi oleh Prasetyohadi; Heilo Maria Pinto Soares; Danang Widoyoko, dkk
16
tentang perlawanan rakyat Kedung Ombo,
Bachriadi dan Lucas 17tentang kasus Tapos dan Cimacan yang disebabkan oleh adanya sistem pengelolaan tanah di masa Orba yang hanya menguntungkan penguasa dan kroninya. Petani kehilangan hak dan akes tanahnya, Jos Hafid 18 tentang kasus Jenggawah yang disebabkan karena akumulasi kekecewaan, ketertindasan, serta keterpurukan tenaga dan harga diri petani, serta dalam Majalah Dinamika Petani 19 mengangkat kasus di 11 wilayah Indonesia disimpulkan bahwa akar masalah gerakan petani adalah pola penggusuran tanah yang tidak terlalu tepat. Gerakan-gerakan petani dalam penelitian-penelitian tersebut tepat dianalisis menggunakan perspektif-perspektif gerakan sosial lama seperti teori-teori tindakan kolektif, mobilisasi sumber daya, teori proses politik. Gerakan sosial lama adalah sebuah gerakan dengan menggunakan dasar-dasar teori-teori Marxis Ortodoks bahwa isu perlawanan kelas dan faktor ekonomi menjadi penyebab utama sebuah gerakan sosial.
16
Arief Budiman dan Tornquist, Olle, Aktor Demokrasi, catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 2001, hal 1-50 17 Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton, Perlawanan Petani dalam Kasus Tapos dan Cimacan, 2001, Jakarta:Gramedia 18 Jos Hafid, Perlawanan Petani, Kasus Tani Jenggawah, LSPP Latin, Jakarta, 2001 19 Baca Gerakan Petani dan Tumbuhnya Organisasi Tani di Indonesia (Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an), Majalah Dinamika Petani No 35 Tahun X Edisi Juli-Agustus)
15
Proses demokratisasi dunia dibarengi dengan perkembangan ekspansi globalisasi, kolaborasi negara dengan pasar atau menguatnya kekuasaan pasar daripada kekuasaan negara tidak bisa dilawan dengan menggunakan cara-cara atau strategi gerakan sosial lama. Sehingga muncul perspektif gerakan sosial baru sebagai sebuah strategi dan teori baru. Gerakan sosial adalah gerakan dari sekelompok orang yang disatukan oleh keyakinan (termasuk ideologi) yang sama, dengan agenda untuk menyediakan dan mempraktekkan tatanan tandingan terhadap sistem yang menjajah rakyat jelata, melalui cara-cara yang bersifat alternative terhadap cara-cara yang dilembagakan oleh pemegang kekuasaan saat ini”. sementara tambahan “baru” dimengerti sebagai “gerakan sosial” yang keluar dari jebakan konflik kelas.20 Bagi melucci, gerakangerakan sosial tidak dapat disamakan begitu saja dengan konflikkonflik politik yang “kasat mata”, karena dalam faktanya aksi publik hanyalah satu bagian dari pengalaman-pengalaman gerakan sosial. Sekalipun tidak terlibat dalam kampanye-kampanye dan mobilisasi, gerakan sosial mungkin akan tetap aktif melakukan produksi di wilayah kebudayaan. Sejumlah gerakan yang berorientasi cultural mungkin bisa melakukan mobilisasi pada halhal tertentu dalam arena politik. Aktivitasnya secara luas dibangun dalam “wilayah gerakan”, yakni “jaringan kerja kelompok20
Francis Wahono dkk, MANAJEMEN DAN PRAKTEK GERAKAN SOSIAL BARU: Sepenggal Kisah Cindelaras Paritrana: Berpikir dengan Dunia, Berjalan Bersama Rakyat Jelata, Yogyakarta, cindebooks, 27 oktober 2012 halaman vii
16
kelompok dan individu-individu yang memiliki kesamaan dalam konfliktual secara cultural dan identitas kolektif”. 21 Berdasarkan kajian teoritik diatas mengenai ciri-ciri gerakan sosial dan perspektif-perspektif teori gerakan sosial dapat diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh Komunitas Subur Nggabur adalah sebuah gerakan sosial. Komunitas Subur Nggabur terdiri dari beberapa orang, bersama-sama diluar lembaga mapan ingin melakukan sebuah perubahan, terorganisir dan berkelanjutan. Komunitas Subur Nggabur melakukan sebuah gerakan alternatif untuk melawan perubahan-perubahan dalam perspektif gerakan sosial baru. 2. Pertanian Organik Sebagai Gerakan Sosial Baru Menurut Chantal Mouffe “Gerakan Sosial Baru” (new social movement)—sebenarnya Mouffe lebih suka menyebutnya sebagai
”perjuangan
demokratik
baru”
(new
democratic
struggle)—haruslah dipahami sebagai bentuk-bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam masyarakat kapitalisme tahap lanjut (advanced).
22
Gerakan Sosial
Baru (GSB) sebagai sebuah gerakan berskala luas di seputar isu yang berwatak humanis, kultural dan non materialistik. Bersifat plural, terentang mulai anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, 21
Daniel Hutagalung, MA dalam BASIS Nomor 01-02, Tahun Ke-55, Januari-Februari 2006 halaman 43 22 Ibid 43
17
feminisme,
environmentalism,
regionalisme
dan
etnisitas,
kebebasan sipil sampai ke isu-isu kebebasan personal dan perdamaian. GSB pada kenyataannya menolak inti gagasan pertumbuhan dan pembangunan, yakni roda ideologis yang menggulirkan kapitalisme, materialism dan modernitas seperti yang ada dalam semangat gerakan pertanian organik. Semangat gerakan pertanian organik (sebagai salah satu terminologi dari sistem pertanian
berkelanjutan)
tidak
sekadar
bertani
dengan
mengutamakan penggunaan asupan-asupan pertanian non pabrikan atau buatan semata dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksinya. Dibalik itu terkandung sebuah semangat perlawanan atas kebijakan yang sebenarnya tidak menguntungkan petani. 23 Kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan pasar dan pemilik modal. Secara teknis, sistem pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati menjadi faktor penting dalam proses produksi usaha tani tanaman, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Penggunaan pupuk organik (alami atau buatan) dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit dan gulma secara biologis adalah contoh-contoh aplikasi sistem
23
Francis Wahono,Op.cit. halaman 50
18
pertanian organik. 24 Pertanian organik muncul sebagai kegamangan dampak green revolution yang antara lain ditengarai oleh semakin merosotnya produktivitas pertanian (levelling of). Green Revolution memang sukses dengan produktivitas hasil panen biji-bijian yang menakjubkan (miracle seeds), namun ternyata juga memiliki sisi buruk atau eksternalitas negatif, misalnya erosi tanah yang berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian, dan lain-lain. Kriteria sistem pertanian organik yang diberikan oleh IFOAM (International
Federation
of
Organik
Agriculture
Movement)
setidaknya harus memenuhi enam prinsip standar (Seymour, 1997) 1. Lokalita (lokalism). Pertanian organik berupaya mendayagunakan potensi lokalita yang ada sebagai suatu agrosistem yang tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input sekitarnya. 2. Perbaikan tanah (soil improvement). Pertanian organik berupaya menjaga, merawat, dan memperbaiki kualitas kesuburan tanah melalui tindakan pemupukan organik, pergiliran tanaman, konservasi lahan,dan sebagainya. 3. meredam polusi (pollution abatement). Pertanian organik dapat meredam terjadinya polusi air dan udara dengan menghindari pembuangan limbah dan pembakaran sisa-sisa tanaman secara
24
Ibid, halaman 54
19
sembarangan serta menghindari penggunaan bahan sintetik yang dapat menjadikan sumber polusi. 4. Kualitas Produk (quality of product). Pertanian organik menghasilkan produk-produk pertanian berkualitas yang memenuhi standar mutu gizi dan aman bagi lingkungan serta kesehatan. 5. Pemanfaatan energi (energy use). Pengelolaan pertanian organik menghindari sejauh mungkin penggunaan energi dari luar yang berasal dari bahan bakar fosil yang berupa pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar minyak(solar, bensin, dan sebagainya). 6. Kesempatan kerja (employment). Dalam mengelola usaha tani organiknya, para petani organik memperoleh kepuasan dan mampu menghargai pekerja lainnya dengan upah yang layak. 25 Gerakan pertanian organik mulai muncul dalam skala global dan kelembagaan dimulai pada 16 Juni 1972 PBB mengadakan KTT Bumi atau Earth Summit atau United Nation Conference on Environment and development (UNCED) di Stockholm, Swedia. Konferensi ini dipertegas lagi dengan diadakannya “Deklarasi Rio de Janeiro, Brazil tentang Lingkungan dan Pembangunan” yang bersidang pada 3-14 Juni 1992. Konferensi tersebut dihadiri oleh para pembuat kebijakan, diplomat, ilmuwan, media massa, LSM yang berasal dari 179 negara, badan-badan di bawah PBB, lembaga keuangan internasional, dan pihak lain yang mempunyai kepedulian lingkungan.
25
Karwan A. Salikin, Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta, 2003, halaman 55
20
Konferensi ini juga menghasilkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan menekankan keterkaitan kuat antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup. 26 Pada masa ini pembangunan hampir di seluruh Negara terutama Negara berkembang
semua
berkiblat
kepada
modernisasi,
mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, hewan maupun kerusakan ekologis. Kesadaran yang muncul dari berbagai pihak memunculkan gerakan bersama sebagai counter hegemoni perusahaan kapitalis asing untuk menyelamatkan bumi ini. FAO sebagai salah satu badan pangan dunia PBB juga mendeklarasikan
Hari
Pangan
Sedunia
(HPS).
Deklarasi
ini
dilatarbelakangi kesadaran akan arti pentingnya ketersediaan pangan yang cukup bagi umat manusia. Karena itu, kelestarian pertanian dan sikap arif terhadap makanan perlu ditingkatkan. HPS dideklarasikan pada 16 Oktober 1979 saat sidang umum Organisasi Pangan dan Pertanian se-Dunia ke – 20 di Roma. Delegasi Hongaria Menteri Pertanian dan Pangan, Dr. Paul Romany berperan penting pada konferensi tersebut dan mengusulkan ide perayaan Hari Pangan Sedunia. Sejak tahun 1981, HPS mengadopsi berbagai tema untuk perayaan tiap tahunnya dengan tujuan menekankan pada bagian penting dari dunia pangan yang memerlukan perhatian khusus. Namun 26
Achmad Suyana, “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional”. Makalah, disampaikan pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk mendukung pembangunan nasional pada 15 Februari 2005 di UNS Surakarta.
21
ketahanan pangan (food security) paling sering menjadi tema dalam perayaan HPS. Hal ini penting karena ketahanan pangan merefleksikan kemampuan rata-rata individu untuk mendapatkan makanan dan ketersediaannya. Gerakan pertanian organik di Indonesia dimulai pada 1984, yaitu dengan didirikannya Yayasan “Bina Sarana Bakti” sebagai pusat pengembangan pertanian organik pertama di Indonesia yang telah melatih lebih dari 10.000 petani dan organisasi petani seluruh negeri. 27 Mengacu pada Hari Pangan Sedunia dan Deklarasi KTT Bumi dari PBB pada 1 januari 1990 Sri Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan “Surat Gembala”, yang isinya: “Kita tidak menolak IPTEK modern, tetapi IPTEK modern yang merusak lingkungan hidup harus ditolak. Karena merusak lingkungan hidup adalah melanggar moral (tubuh manusia juga termasuk lingkungan hidup), sedangkan melestarikan lingkungan hidup merupakan kewajiban moral”.28 Di Indonesia, HPS dan Surat Gembala dari Sri Paus Yohanes II tersebut merupakan di antara dasar dicetuskannya “Deklarasi Ganjuran”
27
Siti Jahroh, “Organic Farming Development in Indonesia: Lesson Learned from Organic Farming in West Java and North Sumatra” in Innovation and Sustainable Development in Agriculture and Food, Montpellier-France, 28 Juny-1 July 2010, halaman 1 28 Romo Gregorius Utomo, Pr., “Deklarasi Ganjuran, Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari”(Bahan materi Seminar Hari Pangan Sedunia 2009 di Gereja Katholik Sragen, pada 21 Oktober 2009)
22
Sejarah Gerakan Pertanian Organik di DIY Di Daerah Istimewa Yogyakarta momentum pertanian organik sebagai sebuah gerakan tidak bisa dilepaskan dari Deklarasi Ganjuran pada tahun 1990 yang kemudian terbentuk Paguyuban
Tani Hari Pangan Sedunia selanjutnya menjadi
Paguyuban Tani-Nelayan Hari Pangan Se-Dunia. Deklarasi Ganjuran muncul pada acara Seminar Aksi Sosial se- Asia ke V— Asian Institute for Social Action (AISA V)—yang disponsori oleh FABC (Federasi Uskup se-Asia) bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 1990. Seminar tersebut terselenggara dan dihadiri oleh berbagai perwakilan/utusan petani se-Asia, dari kalangan intelektual, pakar sosiologi pedesaan dari UGM Dr. Loekman Soetrisno dan pihak-pihak yang tentunya menaruh perhatian pada gerakan pertanian organik. Deklarasi Ganjuran menyuarakan pelaksanaan dan penyebarluasan Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Yang Lestari yaitu berwawasan lingkungan (ecological sound), murah secara ekonomis sehingga tergapai (economically feasible), sesuai dengan kebudayaan setempat (culturally adapted), dan berkeadilan sosial (socisl just), pengakuan hak dan kebebasan kaum tani untuk membentuk organisasi atau paguyubannya
menurut
kebutuhan
dan
aspirasinya.
Misi
mengamankan pangan (kuantitatif dan kualitatif) dengan cara/pola Produksi Lestari, pengembangan pola konsumsi lestari. Siapa yang
23
menguasai benih ia akan menguasai kehidupan. 29 Tindak lanjut nyata dari Deklarasi Ganjuran tersebut adalah terbentuknya sebuah lembaga non profit yaitu Sekretariat Pelayanan Tani Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN HPS) dan selain itu dalam masing-masing paroki (tingkat terbawah wilayah hierarki lembaga gereja) dibentuk kelompok tani lestari. Kelompok-kelompok tani lestari tersebut di dampingi oleh SPTN HPS. Dalam hal ini gerakan pertanian organik memang dinisiasi oleh gereja. Yayasan Bina Sarana Bhakti sebagai lembaga pertanian organik pertama di Indonesia juga dibentuk oleh seorang pastor
yaitu
Pastur
Agatho. Penelitian
mengenai
kelompok-kelompok tani lestari di Bantul pernah dilakukan oleh Bambang Hendarta SP (1998) dalam sebuah tesis dimana penelitian tersebut menyimpulkan bahwa gerakan pertanian organik oleh kelompok tani lestari tersebut kurang efektif karena terkesan ekslusif, hanya untuk kalangan umat kristiani saja. Sedangkan penelitian ini akan berfokus pada sebuah komunitas di luar sistem kelompok tani lestari yang dibentuk oleh lembaga gereja, karena Komunitas Subur Nggabur
terbentuk dari bawah. Walaupun
memang anggota komunitas tersebut menganut agama Kristiani. Memang secara semangat, dasar-dasar filosofi yang dipakai tidak berbeda yaitu berdasar akan ajaran agama bahwa hidup adalah
29
G. Utomo, Pr. Pengembangan Pola Produksi dan Pola Konsumsi Lestari dalam rangka membangun Pertanian dan Pedesaan Lestari. IMAN, PERTANIAN DAN PEDESAAN. SPTNHPS.Yogyakarta. 1995 halaman 24-25
24
pelayanan, menghormati kehidupan, menjaga alam dan sesama manusia dan lain sebagainya. Pada tahun-tahun berikutnya pertanian organik di Indonesia terus mengalami perkembangan tanpa mengenal perbedaan golongan suku, agama dan ras. Semangat/ roh gerakan pertanian organik menyebar ke seluruh daerah di Indonesia. Meskipun dalam pelaksanaannya gerakan pertanian organik penuh dengan tantangan salah satunya adalah Doktrin revolusi hijau yang serba instan telah menjebak pola pikir petani. Mereka sangat berat mengubah kebiasaan
cepat
memperoleh
hasil.
Pola
ini
pula
yang
menyebabkan pertanian organik sangat lambat diterapkan petani. Kejahatan revolusi hijau itu semakin menjebak petani ke dalam situasi serba sulit. 30 Aktor-aktor Gerakan Sosial Baru pada garis besarnya berasal dari basis sosial yang luas, tidak terbagi-bagi, melintasi kategori-kategori sosial ihwal gender, pendidikan, okupasi atau kelas. Para aktornya tidak terkotakkan pada pembagian tertentu seperti proletariat, kelas buruh, pekerja industri dan petani. Aktoraktor yang beroperasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas mereka; tetapi mereka berjuang demi kepentingan kemanusiaan. Sementara struktur GSB secara umum memintas batas-batas
30
Djoko Suseno, Hempri Suyatna. Quo Vadis Petani Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa dari Sektor Pertanian, Aditya Media. 2006 Yogyakarta halaman32
25
nasional, para aktor gerakan menyeberangi kotak-kotak kategori sosial dari kasta, kelas, suku, agama dan teritori politik.31 Pertanian organik sebagai sebuah gerakan sosial dilakukan oleh berbagai kalangan tidak melihat latar belakang mereka. Pertanian organik di Indonesia selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan, LSM, sekolah-sekolah, komunitas-komunitas petani. Pemerintah juga ikut “meramaikan” (terkesan setengah hati) pertanian organik dengan program Go Organik 2010. Pelaku-pelaku pertanian organik dari kalangan petani seperti mbah Gatot 32, mbah Suko 33, pak Hadi 34 dan petani-petani organik lainnya membuktikan bahwa masyarakat petani memiliki agensi atau pelaku-pelaku sejarah, yang punya kemampuan mengubah medan pergerakannya dan transformasinya. Pengertian ‘agensi’ merujuk ke rasa penemuan diri di kalangan manusia postmodern bahwa mereka tidak hanya duduk dan mengikuti arah penunjuk dari sejarah evolusioner nasib mereka; mereka bisa ‘mengarahkan’ panah penunjuk itu mengingat manusia adalah
31
Sing, ibid, halaman 24 A.B. Widyanta, S.Sos, G.S. Purwanto, Bermesra dengan Alam: MEMBANGUN KEMBALI KEARIFAN PETANI, Majalah BASIS, Nomor 05-06, Tahun ke-57, Mei-Juni 2008 halaman 17-20 33 Sebuah TESIS, REVOLUSI HIJAU DAN GERAKAN PETANI DI MAGELANG PADA MASA AKHIR ORDE BARU, TESIS, Nor Huda, Program Pasca sarjana Fakultas Ilmu Budaya, UGM. 2011 32
34
Muchammad Sugianto, PERLAWANAN PETANI ATAS STRUKTUR PENINDASAN:Studi Proses dan Strategi Organisasi Tani Lokal Kelompok Tani Organic “Nusa Indah” Kudus dalam Pengamanan Harga Gabah. Tesis Sosiologi Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial.UGM 2007
26
majikan dari nasibnya sendiri. 35 Komunitas Subur Nggabur melakukan gerakan pertanian organik untuk mewujudkan sebuah cita-cita kemandirian petani.
3. Komunitas dan Strategi Gerakan Merujuk Cohen, GSB membangkitkan isu-isu sehubungan demoralisasi stuktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif. 36 Gerakan-gerakan pertanian organik di Indonesia dilakukan dengan menghidupkan kembali bentuk-bentuk komunitas-komunitas kecil dalam masyarakat yang sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Komunitas diyakini sebagai sebuah sarana efektif pengembangan
gerakan.
Dalam
komunitas
untuk
bentuk-bentuk
komunikasi, pengakuan identitas, kesadaran bisa terwujud. Sebuah penelitian di Australia Barat pada tahun 1990 melaksanakan penyelidikan yang luas mengenai bagaimana warga Australia Barat memandang masyarakat mereka, apa yang menurut mereka hilang dan apa yang ingin mereka lihat pada masa depan. Salah satu temuan terkuat yang muncul dari penyelidikan adalah bahwa mereka sangat merasakan ‘hilangnya komunitas’ atau ‘hilangnya identitas’ dalam masyarakat modern, dan bahwa membangun kembali struktur komunitas adalah salah satu prioritas tertinggi 35 36
Rajendra singh, Op. Cit, halaman 18 Ibid,21
27
untuk masa depan. Hal ini dilihat sebagai sebuah solusi jangka panjang yang penting terhadap sejumlah masalah sosial yang lebih di depan mata. 37Tidak ada definisi maupun ukuran batasan baku yang menjelaskan mengenai komunitas. Komunitas berasal dari kata bahasa latin: communitas yang bisa diartikan sebagai “persekutuan”. Victor turner lebih suka menggunakan kata latin itu daripada community (masyarakat) dalam bahasa sehari-hari. Komunitas lebih dilihat sebagai cara relasi social antar pribadi yang konkret, yang langsung. Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang lain dengan hubungan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. 38 Secara umum, berbicara masalah strategi gerakan sosial sama sekali tidak dapat dibatasi oleh teori maupun konsep yang baku. Seringkali strategi gerakan sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu (space and time) yang mengiringi. Strategi gerakan sosial berkembang secara kreatif sesuai dengan kultur dan kondisi sosial politik yang muncul di suatu daerah.39 Satu hal pokok penting dalam perkembangan gerakan, yakni bahwa “gerakan umumnya lahir dari kesempatan-kesempatan lingkungan, namun nasibnya secara kuat dibentuk
37
Jim Ife, Frank Tesorio, COMMUNITY DEVELOPMENT; Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2006, halaman 33 38 Victor Turner, Masyarakat bebas struktur dan liminalitas Masyarakat Bebas Struktur:liminalitas dan komunitas menurut Victor Turner. Yogyakarta:Kanisius Halaman 46 39
Dr. Soeharko,GERAKAN SOSIAL: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, halaman11
28
oleh aksi-aksi mereka sendiri”(McAdam 2004) 40 menurut Bary
41
strategi
merupakan suatu rencana tentang apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapai keadaan yang diinginkan tersebut. Strategi juga merupakan seluruh keputusan kondisional yang menetapkan tindakan-tindakan yang akan dan harus dilakukan dan dijalankan guna menghadapi setiap keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Setidaknya terdapat 4 variasi strategi yang memuat garis besar pengertian dan kaidah umum strategi gerakan sosial yaitu Low profile strategy (strategi isolasi politik),Strategi pelapisan(layering), strategi advokasi, dan terakhir adalah strategi keterlibatan kritis. Strategi-strategi tersebut tidak ada yang sesuai bila digunakan untuk menganalisis mengenai strategi gerakan sosial Komunitas Subur Nggabur yang masuk dalam kategori Gerakan Sosial Baru. Kerangka teori mengenai strategi gerakan sosial dalam penelitian ini berangkat dari paradigma-paradigma Gerakan Sosial Baru. Dalam perspektif Gerakan Sosial Baru terdapat terdapat dua orientasi teoritis kontemporer GSB yang bersumber dari para akademisi Barat, yakni teori mobilisasi sumber daya dan teori berorientasi identitas. Teori Mobilisasi Sumber Daya; asumsi dasar paradigma mobilisasi sumber daya adalah bahwa gerakan kontemporer mensyaratkan sebentuk komunikasi dan organisasi yang canggih, ketimbang terompet dan tambur dari gerakan ‘lama’. GSB adalah sebuah sistem mobilisasi yang terorganisir secara rasional. Para actor dalam gerakan sosial 40 41
Ibid halaman 16 SP Siagian,Manajemen Stratejik, cetakan 8. Bumi aksara Jakarta 2008 halaman 19
29
kontemporer dianggap sebagai makhluk rasional yang mampu bernalar dan trampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Kerangka arahan dari rujukan ini secara garis besarnya adalah instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme merembesi karya-karya kebanyakan tokoh-tokoh utama teori mobilisasi sumber daya GSB. Konstruksi bersifat sukarela yang berlebihan (hyper-voluntaristic) teori mobilisasi sumber daya mengenalkan citra GSB sebagai sebuah korporasi industri multinasional yang dijalankan oleh struktur manajerial dengan kualifikasi tinggi berikut etos kental mencetak profit. Ia mensyaratkan
kemampuan
bernalar
dan
rasionalitas
bagi
para
partisipannya. Teori Berorientasi Identitas Dibandingkan dengan teori mobilisasi sumber daya yang memusatkan dan mementingkan rasionalisme dan materialism, teori berorientasi identitas bersifat non materialistik dan ekspresif. Ia mengurai pertanyaan seputar integrasi dan solidaritas kelompok yang terlibat aksi kolektif. Teori berorientasi identitas menolak upaya teori mobilisasi sumber daya yang menekankan model neo-utilitarian dan voluntaristic untuk menjelaskan gerakan sosial dan aksi kolektif. Gerakan tidak senantiasa ekspresi
‘kalkulasi
strategis’
terhadap
musuh-musuh:ia
menggerakkan sesuatu yang lain. Para anggotanya juga bisa dilihat sebagai makhluk subjektif. Sementara pendukung teori berorientasi identitas
30
kelihatannya menerima beberapa elemen repertoire teoritis Marxis seperti pengertian ‘perjuangan’, ‘mobilisasi’, ‘kesadaran’, dan ‘solidaritas’. Ada kesepakatan umum bahwa gerakan berorientasi identitas dan aksi kolektif adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi dan pengakuan. 42 Kedua paradigma gerakan sosial tersebut menyadari adanya situasi sarat konflik dalam masyarakat. Orientasi teoritis keduanya menyarakan perspektif mereka dan menajamkan logika penjelasannya dengan sebuah asumsi bersama bahwa fenomena gerakan dan aksi kolektif melakukan hal itu dengan sadar, rasional, dan untuk tingkatan integrasi tertentu, merupakan anggota masyarakat yang terorganisir. Perbedaan besar antara mereka adalah paradigma mobilisasi sumber daya memusatkan tesisnya pada peran nalar dalam aksi kolektif;di sisi lain, paradigma berorientasi identitas menyandarkan tekanan pada refleksi (ketimbang nalar) dalam gerakan sosial. Paradigma pertama menyaring aksi kolektif menjadi kalkulasi kolektif utilitarian yang hedonistik, yang kedua melihat aktor sebagai keberadaan yang emotif. Paradigma mobilisasi sumber daya dan orientasi identitas, meskipun antar keduanya kelihatan saling meminggirkan poin-poin kuat milik lainnya, dapat diintegrasikan ke dalam sebuah paradigma gerakan sosial dan aksi kolektif yang relatif koheren dan sinkretik, sejajar dengan garis perumusan yang disiratkan Habermas. Penelitian mengenai Strategi 42
Singh..36
31
Gerakan Sosial yang dilakukan oleh Komunitas Petani Organik Subur Nggabur juga tidak akan menggunakan salah satu dari dua paradigma teori gerakan sosial baru tersebut akan tetapi mengintegrasikan ke dalam teoriteori tindakan komunikatif Jurgen Habermas. Prinsip-prinsip GSB serta gerakan pertanian organik dalam upaya mencapai identitas kolektif, pertahanan komunitas, perlawanan kultural simbolik memerlukan kunci refleksi, kesadaran, interaksi dan komunikasi. Habermas membagi-bagi konsep Marx tentang “aktivitas indrawi manusia” menjadi dua unsur, yang meski saling terkait dalam praktik kehidupan sosial, namun secara analitis dapat dibedakan dan secara mutual tidak dapat dilebur satu sama lain: kerja atau tindakan rasional bertujuan, dan interaki sosial atau tindakan komunikatif. 43 Yang saya maksud dengan “kerja” atau tindakan rasional bertujuan adalah tindakan instrumental atau pilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental dikendalikan oleh aturan-aturan teknis yang didasarkan atas pengetahuan empiris. Di setiap kasus aturan-aturan ini mengandaikan adanya prediksi empiris tentang peristiwa-peristiwa, gejala sosial maupun gejala fisik yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat terbukti benar atu tidak benar. Perilaku berdasarkan pilihan rasional dikendalikan oleh sejumlah strategi-strategi yang didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini mengandaikan adanya deduksi dari aturanaturan preferensi (sistem nilai) dan prosedur pengambilan keputusan;proposisi-proposisi ini bisa saja dideduksi (diturunkan) dengan cara benar atau salah. Tindakan rasional bertujuan merealisasikan tujuan-tujuan yang ditentukan oleh kondisi tertentu. Namun sementara tindakan instrumental menata sarana yang sesuai atau tidak sesuai dengan kriteria kontrol efektif atas realitas, tindakan strategis hanya bergantung kepada evaluasi dan pertimbangan yang tepat dari berbagai alternatif pilihan yang ada, 43
Thomas McCarthy, TEORI KRITIS JURGEN HABERMAS, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006 halaman 26
32
yakni alternatif-alternatif yang lahir dariperhitungan yang dibekali dengan sejumlah nilai dan aturan baku.
Adapun yang saya maksud dengan “interaksi” adalah tindakan komunikatif atau interaksi simbolik. Tindakan komunikatif ini diatur dengan norma-norma konsensual mengikat, yang menentukan berbagai harapan timbal balik menyangkut perilaku dan yang harus dipahami dan diakui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang sedang bertindak. Norma-norma sosial dibebankan melalui sanksi. Maknanya diobjektifkan dalam komunikasi bahasa biasa. Aturan-aturan tindakan rasional bertujuan yang dipelajari memberi kita keterampilan, yakni norma-norma yang terinternalisasi dengan struktur kepribadian. Keterampilan memungkinkan kita mengatasi masalah, motivasi memungkinkan kita mengikuti norma.44
Kunci untuk mengerti pemikiran Habermas adalah distingsinya antara dunia kehidupan dan sistem. Yang dimaksud dengan dunia kehidupan adalah “cakrawala kepercayaan-kepercayaan latar belakang intersubjektif di dalam setiap proses komunikasi selalu sudah tertanam”. Setiap orang berkomunikasi dan bertindak dalam sebuah “dunia kehidupan”, artinya ia hidup dalam sebuah alam bermakna yang dimiliki bersama dengan komunitasnya, yang terdiri atas pandangan dunia, keyakinan-keyakinan moral dan nilai-nilai bersama. Segenap komunikasi mengacu pada dunia kehidupan itu. Rasionalitas dunia kehidupan adalah rasionalitas komunikatif. Setiap orang menjadi dewasa dengan semakin terintegrasi ke dalam dunia kehidupan masyarakatnya. Habermas bicara tentang integrasi sosial.
44
Ibid, hal 27
33
Akan
tetapi
masyarakat
bukan
hanya
sebuah
komunitas
komunikatif, masyarakat juga merupakan “sistem”. Yang dimaksud dengan sistem adalah segala macam institusi dan peraturan yang menata kehidupan masyarakat. Tujuan sistemisasi adalah untuk meringankan beban komunikasi. Wilayah kehidupan yang ditata dalam sebuah sistem, tidak perlu didiskursuskan terus menerus. Rasionalitas sistem adalah rasionalitas sasaran. Menurut Habermas patologi modernitas terletak pada adanya dua subsistem yang semakin tidak terkuasai dan semakin mengkolonialisasikan dunia kehidupan: subsistem rasionalitas ekonomi pasar (uang) dan subsistem kekuasaan administratif (negara birokratis). Dua subsistem itu semakin merasuk ke dalam dunia kehidupan sehingga rasionalitas komunikatif diganti oleh rasionalitas sasaran. Secara sederhana: warga masyarakat modern semakin mengarahkan tindakannya pada pertimbangan ekonomis dan penyesuaian pragmatis dengan peraturan-peraturan birokrasi negara. Unsur khas modernitas kedua adalah bahwa sikap terhadap alam, moralitas (sikap terhadap manusia) dan seni tidak lagi menyatu melainkan menjadi wilayah-wilayah yang terpisah sama sekali satu dari yang lain, masing-masing dengan rasionalitasnya sendiri. 45
45
Prof. Dr. Franz Magnis- Suseno, Majalah BASIS, Nomor 11-12, tahun ke-53, NovemberDesember 2004 halaman 8-10
34
E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sebagaimana diartikan oleh Robert Bogdan dan Steven J. Taylor 46 adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan setting dan individu-individu
dalam
setting
itu
secara
keseluruhan;
subyek
penyelidikan, baik berupa organisasi ataupun individu, tidak dipersempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, melainkan dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Penelitian terhadap Komunitas Subur Nggabur dari proses terbentuknya dan kemudian strategi gerakan yang mereka lakukan tidak bisa dipisah-pisahkan. Semua terkait menjadi sebuah kesatuan. Motivasi–motivasi, harapan, refleksi, strategi masing individu anggota Komunitas Subur Nggabur lebih tepat diteliti menggunakan penelitian kualitatif. Robert Bogdan dan Steven J. Taylor mengatakan. “Jika subjek kita ubah menjadi angka-angka statistik, maka kita akan kehilangan sifat subyektif dari perilaku manusia. Melalui metode kualitatif kita dapat mengenal orang (subyek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia ini. Kita dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan dengan masyarakat mereka sehari-hari. Kita dapat mempelajari kelompok-kelompok dan pengalamanpengalaman yang mungkin belum kita ketahui sama sekali. Yang terakhir, metode kualitatif memungkinkan kita menyelidiki konsepkonsep yang, dalam pendekatan penelitian lainnya, intinya akan hilang. Konsep-konsep seperti keindahan, rasa sakit, keimanan, 46
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif;Suatu pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial.Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.1992 halaman 22
35
penderitaan, frustasi, harapan dan kasih sayang, dapat diselidiki sebagaimana orang-orang yang sesungguhnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.” Penelitian ini lebih spesifik menggunakan metode studi kasus sebagai strategi untuk menjawab perumusan masalah penelitian. Studi kasus dipilih sebagai strategi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa gerakan pertanian organik yang dilakukan oleh Subur Nggabur adalah fenomena yang unik dan kontemporer (masa kini) dan pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah How (bagaimana).
Robert K. Yin
mengemukakan bahwa secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. 47
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu pada Komunitas Petani Organik Subur Nggabur yang melakukan kegiatan pertanian organik di Dusun Suren, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo. Komunitas Petani Organik Subur Nggabur dipilih dengan pertimbangan komunitas tersebut terbentuk pada akhir tahun 2008 kemudian mulai melaksanakan aktivitas pertanian organik awal tahun 2009 dan masih terus bertahan sampai sekarang. Hasil 47
Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 18
36
produksi pertanian yang mereka lakukan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan serta meluasnya jaringan-jaringan dengan pihak luar.
2. Unit Analisis Salah satu komponen dasar studi kasus merupakan unit analisis. Unit analisis berkaitan dengan masalah penentuan apa yang dimaksud dengan “kasus” dalam penelitian yang bersangkutan-suatu problem yang telah mengganggu banyak peneliti di awal studi kasusnya. Unit analisis penelitian ini adalah Komunitas Subur Nggabur, sebagai sebuah komunitas yang terbentuk dari dalam masyarakat itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak luar melakukan gerakan sosial. Gerakan ini dilakukan untuk
menghadapi ketidakmandirian petani serta sektor
pertanian yang semakin ditinggalkan oleh anak-anak dan generasi muda di Desa Pagerharjo.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam strategi penelitian studi kasus setidaknya menggunakan 3 metode yaitu wawancara mendalam, pengamatan dan dokumen. Penelitian ini diawali dengan observasi awal di desa Pagerharjo khususnya dusun Suren pada bulan Februari. Observasi dilakukan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian serta berkunjung ke kebun sayur organik milik Komunitas Subur Nggabur. Selanjutnya dilakukan
37
pengamatan, pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta. Pengamatan berperanserta dilakukan untuk ikut mengetahui dan merasakan bagaimana subjek penelitian melihat, merasakan dan memaknai ragam peristiwa social yang dihadapi. Peneliti berada di lokasi selama beberapa jam mengamati dan mencatat apa yang terjadi di kebun tersebut seperti aktivitas para anggota komunitas berkebun, obrolan-obrolan pembeli yang datang langsung ke kebun, atau kunjungan-kunjungan studi banding. Dari pengamatan tersebut peneliti mendapatkan gambaran mengenai kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Subur Nggabur. Selama bulan Februari sampai Juni peneliti selain melakukan pengamatan peneliti juga melakukan wawancara terhadap anggota Komunitas Subur Nggabur. Pengumpulan data dari informan diawali dengan pertemuan dan wawancara dengan Mas Handoko salah satu anggota Komunitas Subur Nggabur. Kemudian dari sinilah peneliti memulai mendapatkan beberapa calon informan yaitu anggota Komunitas Subur Nggabur. Selain anggota komunitas peneliti juga berkunjung ke kepala dukuh Suren untuk mendapatkan gambaran umum mengenai kondisi dusun tempat di mana Komunitas Subur Nggabur melakukan aktivitas pertanian organik. Para informan diberi kesempatan untuk menceritakan semua yang ia ketahui, apa yang ia ingat dan apa yang ada dalam pikiran. Pertanyaan diajukan secara langsung, atau lisan kepada informan secara orang ke orang (person to person), untuk mendapatkan data yang valid dan representatif sebagai jawaban, atas pertanyaan yang
38
diajukan oleh peneliti kepada informan. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur dan mendalam. Wawancara mendalam dilakukan dalam keadaan santai, tidak tergesa-gesa terhadap anggota komunitas petani Subur Nggabur. Wawancara dilakukan pada saat anggota sedang istirahat atau sudah luang dan wawancara dilakukan di kebun. Waktu menyesuaikan mereka. Hasil dari wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta tersebut didokumentasikan dalam catatan harian, rekaman audio dan rekaman audio visual sebagai data primer dalam penelitian ini. Selain dari hasil pengamatan dan wawancara data juga diperoleh dari buku-buku seperti buku tamu, data hasil panen dan copy paste dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Komunitas baik itu berupa data tulis atau foto-foto kegiatan. Kajian literature juga dilakukan untuk mendeskripsikan gambaran umum daerah penelitian yang berasal dari monografi desa. Serta kajian literature buku teks yang berisi rujukan teori dan hasil penelitian tentang sejarah petani, revolusi hijau, pertanian organik, gerakan sosial. Data- data ini sebagai data sekunder dalam penelitian ini 4.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang didapat dari lapangan, sangat perlu di–crosscheck dengan pengamatan langsung, guna menjaga tingkat obyektivitas penelitian. Misalkan peneliti harus membandingkan antara data hasil
39
pengamatan dengan data hasil wawancara, antara pendapat informan didepan umum atau anggota lain dengan pendapatnya secara pribadi, antara hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. Mempertimbangkan semua situasi, kondisi serta opini antar pribadi seperti yang disebutkan diatas sangat penting, karena dengan cara memperbandingkan inilah, benang merah persoalan akan mudah ditarik. Hingga membentuk opini obyektif yang sesuai dengan kenyataan sebenarnya, oleh karena itu peneliti juga akan melakukan perbandingan sebagaimana penjelasan tersebut diatas. Analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, terus menerus dan berulang-ulang sehingga dalam waktu yang bersamaan dengan proses pengumpulan data di lapangan, penulis juga menganalisis data tersebut. Penelitian bergerak diantara empat sumbu yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan atau verifikasi kesimpulan (Miles dan Haberman sebagaimana dikutip oleh Sitorus 1998) Reduksi data bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan akhir dapat diperoleh. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan meringkas data, menelusur tema dan membuat
pengelompokan
data.
Kegiatan
ini
berlangsung
sejak
pengumpulan data sampai penyusunan laporan dari bulan Februari sampai bulan Agustus 2013. Transkrip wawancara dan dokumen-dokumen Subur Nggabur dikumpulkan menjadi satu dan dipilih yang sesuai dengan 40
kerangka penelitian. Data-data yang diperoleh kemudian direduksi melalui proses pemilihan dan pengkategorian data-data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam tahapan penyajian data, informasi-informasi yang telah tersusun dari hasil pengumpulan data tadi. Kemudian disajikan dalam beberapa bagian sesuai dengan urutan, kronologis dan sistematika penulisan. Tahapan
pengambilan
kesimpulan
atau
verifikasi,
sebagai
penafsiran dengan menyatukan informasi yang sama kedalam suatu kategori baru. Misalkan data yang sudah disajikan pada sistematika penulisan tersebut, kemudian dikategorikan dan ditafsirkan dalam proses analisa, dengan memperhatiakan landasan teori sebagai pisau analisisnya. Namun dalam proses ini, teori tidak ditempatkan dalam khasanah baku yang harus diselaraskan dengan data. Sehingga data dari kategori yang baru menjadi jawaban dari penelitian ini.
41