Teropong Edisi 7: Membincang Sekolah Khusus Puteri di Inggris Raya Ditulis oleh AD. Kusumaningtyas Senin, 22 Juni 2009 08:26 -
"Thalabul 'ilmi fariidhatun 'ala kulli muslimin wa muslimatin " (Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan) (Al Hadits) Bicara soal sekolah khusus puteri sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing. Sebab, dalam sejarah pendidikan, sekolah semacam ini pernah diperkenalkan Kartini yang mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak perempuan di Jepara, atau Dewi Sartika yang menyelenggarakan Sekolah Isteri di tanah Pasundan, pun Rahmah El Junusiyah yang mengelola Diniyah Puteri di Padang Panjang. Bahkan sampai sekarangpun kita masih menemui sekolah khusus perempuan seperti Tarakanita, Santa Ursula, Stella Duce, Regina Pacis untuk anak perempuan, ataupun Colesse Canisius , Don Bosco, De Britto untuk anak laki-laki. Pertanyaannya mengapa harus ada sekolah khusus? Lalu jika ada sekolah khusus putrid, apakah benar sistem ini ditujukan untuk membebaskan perempuan dari belenggu patriarki yang begitu kuat ataukah justru melanggengkannya? Tulisan berikut mungkin tidak ditujukan untuk memberikan jawaban, akan tetapi sekedar mencoba memberi gambaran dari pengalaman orang lain tentang model sekolah khusus putri itu dan alasan yang melatarinya. Belajar dari Pengalaman Maria Hanifa Adalah Maria Hanifa, seorang warganegara Pakistan yang berimigrasi ke Inggris tahun 1967. Dia adalah muslimah yang kesehariannya di Inggris berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah ternama di Inggris. Pengalaman hidup Hanifa inilah yang oleh Kaye Haw, penulis buku Educating Moslem Girls coba diambil sebagai salah satu contoh. Haw mengajak Hanifa untuk mau mencurahkan sebagian pengalamannya menjadi sebuah tulisan. Maria Hanifa kemudian tercatat sebagai salah satu kontributor dalam tulisan Kaye Haw tersebut yang berhasil diterbitkan Open University Press Buckingham, Philadelphia. Pengalaman Hanifa dianggap menarik oleh Haw, sebab dalam kondisi ini Hanifa yang berkebangsaan Pakistan, mewakili pandangan seorang minoritas yang hidup di tengah kekuasaan dan kebudayaan bangsa Inggris. Pun pandangannya tentang pentingnya sekolah khusus puteri.
1/5
Teropong Edisi 7: Membincang Sekolah Khusus Puteri di Inggris Raya Ditulis oleh AD. Kusumaningtyas Senin, 22 Juni 2009 08:26 -
Bagi Hanifa yang ketika awal mula berada di Inggris harus berhadapan dengan realitas sebagai kelompok minoritas, pemerintah Inggris seharusnya dapat mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat. Setidaknya jangan terlalu kelihatan hanya memfasilitasi kaum mayoritas. Seharusnya pemerintah dapat melihat sisi keragaman masyarakat Inggris yang pluralis. Untuk masalah sekolah misalnya banyak siswi muslim yang masuk ke sekolah Katholik, untuk mendapatkan pendidikan formal. Masalah sesungguhnya menurut Hanifa bukan pada masalah sekolah khusus agama katolik atau Islam, akan tetapi pada budaya masyarakat setempat dan juga keyakinan sebagian muslim yang masih sangat memegang pendapat bahwa dalam hal menuntut ilmu, siswi putri sebaiknya dipisah dari siswa laki-laki. Dan di Inggris, kebetulan ada sekolah khusus siswi, yaitu sekolah khusus putri Katolik. Tetapi ketika siswi putri Katholik mendapatkan pendidikan yang menyeluruh berkaitan dengan keberadaan mereka di tengah komunitas agama Katholik, para orang tua muslim menyekolahkan anaknya ke tempat tersebut karena terpaksa dan merupakan satu-satunya pilihan bagi mereka. Karena tidak ada sekolah lain yang khusus puteri untuk masyarakat muslim. Dan yang terpenting dicatat adalah pilihan untuk menyekolahkan perempuan pada sekolah khusus adalah pilihan bagi keberlangsungan budaya masyarakat muslim. Dan sayangnya apa yang sudah tersedia belum menjawab kebutuhan untuk mendidik anak-anak mereka dalam berbagai nuansa keislaman. Tahun 1994-1995 ada perdebatan mengenai apakah 5 sekolah di tengah kota akan dijadikan sekolah Islam atau tidak. Pada awalnya masyarakat tidak peduli dan Badan Pemerintah punya kekuasaan yang cukup besar untuk mengambil alih sekolah. Keberadaan sekolah khusus puteri di kalangan muslim adalah jawaban untuk menepis masalah yang disebut di atas. Dan untuk itu, dibutuhkan guru yang baik, siswa yang baik, dan lingkungan yang kondusif. Ketika sebuah sekolah berdiri, orang tua dapat menanyakan kualifikasi dari staf pengajar dan latar belakang mereka. Pada awalnya mereka menghendaki guru-guru non muslim, karena dalam pandangan mereka seorang guru non muslim berkulit putih lebih baik dibandingkan guru-guru muslim. Namun, kondisi dengan pandangan yang masih sangat rasis ini kemudian dapat sedikit demi sedikit di kikis habis. Lagi-lagi dengan merujuk kembali kepada ajaran masing-masing agama yang dianut sebagian masyarakat, bahwa kualitas seseorang tidak dapat diukur dari kulit maupun agama, tetapi dari kesempatan mereka memperoleh pengetahuan. Dan, untuk meningkatkan kualitas guru yang
2/5
Teropong Edisi 7: Membincang Sekolah Khusus Puteri di Inggris Raya Ditulis oleh AD. Kusumaningtyas Senin, 22 Juni 2009 08:26 -
muslim juga harus dibuka kesempatan untuk mereka. Kini, pandangan itu tak terjadi lagi dan telah banyak orang tua yang mempercayakan pendidikan anak-anaknya di tangan guru muslim sendiri karena mereka memiliki kualifikasi untuk itu.Ibu-ibu mulai berani datang dan berkonsultasi perihal pendidikan puteri mereka. Namun sayang, belum semua keinginan mendidik perempuan meresap dalam hati para orang tua muslim, karena kebanyakan mereka masih menginginkan anaknya berada di sekolah hingga usia 16 tahun. Perlu diperhatikan bahwa perlu kerja keras untuk menanamkan kesadaran bahwa memberikan pendidikan bagi anak perempuan termasuk dalam status 'jihad', dan harus dibicarakan oleh para imam di masjid-masjid. Sekolah khusus puteri merupakan kebutuhan mendasar bagi perempuan muslim, karena hal ini dianggap untuk mempersiapkan tegaknya semangat ke-Islaman bila mereka mendapatkan pendidikan yang baik secara benar. Sekolah-sekolah ini seharusnya menyesuaikan dengan standar pendidikan, dimana kaum muslim dan non muslim dapat merasa cukup puas terhadap infrastruktur sekolah muslim sehingga memungkinkan mereka untuk memberi yang terbaik bagi siswanya. Maria Hanifa berpendapat bahwa hendaknya orang tua menyadari tanggungjawab memberi pendidikan bukan hanya karena Undang-undang Negara Inggris, tetapi juga karena Islam itu sendiri sesuai Sabda Nabi Muhammad Saw, Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dan muslim di sini mengacu pada lelaki dan perempuan. Mereka sangat membutuhkan dedikasi dan ketetapan hati. Tanpa adanya komitmen sangat sulit untuk mendapatkan fasilitas kelas utama, sehingga dibutuhkan kerja keras menghadapi masa depan bangsa yang dititipkan pada anak-anak kita. Lembaga pendidikan untuk kaum perempuan muslim mendorong mereka untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan mereka dan bagaimana menjadikan mereka contoh yang baik. Dengan harapan, ketika meninggalkan bangku sekolah mereka telah dapat memutuskan mana yang benar dan yang salah, tidak hanya pada sisi permukaan tetapi juga apresiasi yang cukup dalam mengenai kehidupan dan tujuannya. Dalam sekolah muslim ada sebuah lingkungan dimana keluasan pengetahuan membuat mereka sadar dan menghayati akan keberadaan Allah. Bagi sebagian muslim, anggapan bahwa pemisahan sekolah merupakan 3/5
Teropong Edisi 7: Membincang Sekolah Khusus Puteri di Inggris Raya Ditulis oleh AD. Kusumaningtyas Senin, 22 Juni 2009 08:26 -
sebuah hal sangat penting dan tidak sekedar perintah agama terhadap anak-anak mereka, tetapi secara lebih dalam adalah untuk keberlangsungan budaya.Pandangan Soal Single Sex School (Sekolah Khusus) Pembicaraan soal sekolah khusus akan sangat berkait dengan beragamnya pandangan untuk menjawab soal kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Beberapa pandangan yang berkembang tentang hal ini, adalah : 1. Segregasi/ pemisahan lelaki-perempuan di segala umur itu tidak bersifat alami. 2. Sekolah yang bercampur antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dianggap akan menciptakan sebuah perilaku yang lebih sehat dalam memandang jenis kelamin dan pola relasi diantara kedua jenis tersebut. 3. Kebanyakan siswa memilih sekolah yang bercampur laki-laki dan perempuan dan juga mata pelajaran yang diberikan pada mereka, karena pelajaran akan terasa lebih menarik. 4. Kebanyakan guru lebih menyukai sekolah untuk umum karena kehadiran murid-murid perempuan membuat akibat pada murid laki-laki sehingga lebih pendiam dalam berperilaku sehingga berdampak jauh pada munculnya perilaku positif untuk pembelajaran. 5. Sekolah yang bercampur antara murid lelaki dan perempuan melibatkan sebuah komitmen akan keadilan bagi kedua jenis kelamin secara prinsipil dan memberikan fasilitas yang sama bagi kedua jenis kelamin di dalam praktik kehidupan. Kaum muslim lebih cenderung pada isu sekolah khusus untuk satu jenis kelamin, karena hal itu dianggap berakar dari nilai keagamaan/budaya mereka. Dalam hal ini mungkin ada perbandingan tentang pendidikan dalam konteks feminis dan muslim. Kaum feminis liberal mendukung prinsip-prinsip kesamaaan kesempatan di semua bidang dan bergeser dari pengelompokan sekolah satu khusus untuk satu jenis kelamin pada sekolah ko-edukasi. Tetapi pendekatan-pendekatan liberal untuk sekolah khusus perempuan ditolak oleh kaum muslim. Bagi kaum liberal, kesetaraan didasarkan pada prinsip-prinsip melalui perlakuan yang identik untuk lelaki dan perempuan. Sedangkan di sisi lain, kaum muslim percaya bahwa kesetaraan didapatkan dengan cara menghargai perbedaan, dan pembeda-bedaan peran bukanlah merupakan contoh dari kesetaraan. Tampaknya kaum muslim di Inggris mencoba melakukan pembelaan 4/5
Teropong Edisi 7: Membincang Sekolah Khusus Puteri di Inggris Raya Ditulis oleh AD. Kusumaningtyas Senin, 22 Juni 2009 08:26 -
terhadap bentuk pendidikan dengan cara yang berbeda yaitu dengan menekankan agar perempuan mempergunakan kesempatan belajar satu sama lain, dan mereka sama-sama merasakan secara kuat adanya tindak kekerasan seksual pada siswi perempuan di sekolah campuran lelaki dan perempuan.
Ditulis oleh : AD. Kusumaningtyas(Disarikan dari Schooling for Moslem Students in Contemporary Britain, tulisan Kaye Haw dan kontribusi dari Maria Hanifa dan Gender, Islam, and single-sex schooling dari tulisan Kaye Haw dalam Educating Muslim Girls terbitan Open University Press Buckingham, Philadelphia)
5/5