Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
Anak sekolah bunuh diri menjadi berita hangat di media beberapa hari ini. Banyak orang terkejut dan bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi. Berbagai analisa dikemukakan untuk menjawab pertanyaan itu, ada yang menganggap masalah keluarga saja, ada yang menilai kondisi psikologis masyarakat kita memang sakit, ada pula yang menilai kejadian itu terjadi karena pemerintah tidak menyediakan dana yang memadai untuk pendidikan. Saya mencoba melihat dari sisi lain. Tentu saja tulisan saya ini bukanlah sebuah kesimpulan tetapi sebuah opini yang bisa saja keliru dan perlu disempurnakan lebih lanjut. @
Ada masa di mana manusia hidup secara subsisten. Artinya, kehidupan masyarakat bertani atau berburu yang hasilnya dikonsumsi sendiri atau dipertukarkan secara kecil-kecilan dengan konsumsi lain. Mereka membangun rumah untuk ditinggali sendiri. Pokoknya, bekerja untuk menghasilkan sesuatu bukan sebagai komoditas yang dijual di pasar, disetorkan kepada majikan, dipersembahkan kepada penjajah atau pemeras, kegiatan ekonomi subsisten bersifat mandiri tapi statis. Orang hanya berkarya, bekerja sebatas kebutuhan yang bersifat sesaat (Heryanto, Ariel, dalam Ecstasy gaya Hidup, Mizan, Bandung, 1977). Dalam kehidupan seperti ini berbagai kegiatan mulai dari seni, pendidikan, cinta, sex, agama, maupun kegiatan sehari-hari lainnya hanya dinikmati sendiri oleh kelompok yang bersangkutan. Pembagian kerja mulai ada tetapi tidak begitu rumit dan kompleks.
Dalam perkembangan berikutnya muncullah di dalam masyarakat pranata politik yang lebih kompleks bernama kerajaan. Pola kehidupan pun berubah. Pola produksi dan pola konsumsi masyarakat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang tadinya produksi dan konsumsi hanya untuk diri sendiri dalam zaman ini mulai dikenal perdagangan, upeti, dan profesionalitas. Orang mulai mengenal sistem pemerintahan, upeti, alat tukar barang, peraturan, dan waktu luang. Pada masa ini kehidupan menjadi lebih rumit dengan aturan-aturan dan juga sistem masyarakat yang bertingkat-tingkat. Yang menjadi acuan jelas kerajaan. Soal, seni, pendidikan, sex, agama, maupun kegiatan sehari-hari lainny a yang dianggap profesional, adiluhung dan baik adalah yang berasal dari kerajaan. Di dalam kerajaan segalanya terpenuhi dan mitos-mitos dibangun dan dikembangkan melalui agama serta seni yang katanya adiluhung untuk mepertahankan kekuasan dan kekuatan kerajaan. Pendek kata di dalam kerajaan berhasil diciptakan yang dinilai benar dan adiluhung karena basis materialnya memang memadai. Ada yang mendanai dan disubsidi penuh dari kerajaan.
1/6
Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
Lalu ada masa dalam perjalanan bangsa kita bernama “masa penjajahan”. Kolonialisme menghancurkan berbagai pranata kerajaan yang ada dan memunculkan pranata lain yang setipe tetapi dengan basis material dan produksi yang berbeda. Di sini mulai dikenal apa yang namanya modernitas dan kapitalisme. Kehidupan ekonomi bukan melulu hanya untuk diri sendiri atau dipersembahkan kepada raja tetapi mulai diperdagangkan dan mulai dikenal sistem perekonomian yang lebih kompleks. Tetapi masyarakat kita dalam beberapa hal masih dipertahankan dalam kondisi subsisten atau dalam kondisi seperti ketika berbagai kerajaan berjaya dengan segala macam mitosnya supaya pihak kolonial tetap berkuasa. Pengenalan berbagai macam ideologi dan pendidikan mulai ada di zaman kolonial ini. Pembagian tugas, pembedaan-pembedaan, pola hidup masyarakat, pola jaringan, pola interaksi jelas mengalami perkembangan dan menuju tingkatan yang lebih rumit. Pengenalan kepada teknologi dan berbagai keuntungan yang didapat dari teknologi makin meninggalkan pola hidup subsisten dan kerajaan. Tetapi perlu diingat juga bahwa ada banyak kelompok masyarakat yang dalam usahanya bertahan hidup justru kembali kepada pola hidup subsisten. Salah satu contohnya adalah pola pengerjaan sawah. Sebuah sawah yang luasnya tak seberapa dikeroyok begitu banyak orang yang mencari nafkah dan menggantungkan hidup dari sawah dan si empunya sawah. Tidak kurang tidak lebih.
Dalam dua abad ini, bersamaan dengan tata masyarakat kerajaan yang memudar serta kolonialisme yang berkembang dan kemudian kian makin habis memudar juga, muncullah tata kehidupan yang lebih berorientasi kepada kapitalisme. Sebuah pola kehidupan yang berorientasi kepada para pemilik modal. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangat individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan borjuis. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan nasionalisme. Segala hal diperjual belikan dengan uang, termasuk tenaga kerja, harga diri, kerja sama, kesetiaan, keadilan, kebenaran, etika dan seni (Her yanto, Ariel, dalam Ecstasy gaya Hidup, Mizan, Bandung, 1977). Dalam kondisi seperti ini jelas siapa yang empunya kapital dan menguasai basis material—yang tidak hanya uang yang lebih berkuasa dan menentukan banyak hal. Termasuk menentukan pilihan baju seperti apa yang kita pakai. Tetapi di bangsa kita keadaan itu bercampur baur pula dengan hegemoni kekuasaan politik berupa rezim yang menindas selama puluhan tahun di zaman Orde Baru, ketika semua menjadi diseragamkan dan bahkan juara membaca puisi serta puisi terbaik yang menurut saya karya seni paling subyektif pun ditentukan oleh negara atau aparatnya.
Sejarah sosial yang saya coba rangkum secara acak itu—jadi kalau keliru mohon dibetulkan—tentu saja meninggalkan dan menanamkan berbagai pola pikir dan pola hidup serta perubahan-perubahan. Di zaman ini ketika kapitalisme berkuasa hampir tidak mungkin hidup di
2/6
Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
kota besar hanya bermodal sepetak sawah untuk diri sendiri tanpa ada usaha kreatif untuk memperkaya nilai dan fungsi sawah tersebut sehingga menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan. Semuanya diukur dengan seberapa banyak kita memiliki modal dan seberapa kreatif kita menciptakan komoditas untuk dikonsumsi. Semuanya menjadi komoditas termasuk agama, sex, etika, dan kehidupan pribadi. Pada akhirnya harga diri dan siapa kita lebih banyak ditentukan oleh apa yang kita konsumsi karena konsumsi kita menentukan juga seberapa kapital yang kita miliki. Intinya kita mengalami perubahan yang begitu besar selama bertahun-tahun itu dan menuntut pula strategi yang lain dalam setiap zamannya.
@
Sekolah seharusnya juga mengalami berbagai macam perubahan itu. Ketika kehidupan subsisten berlangsung mungkin belum perlu ada sekolah. Semuanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Ketika pranata makin rumit sekolah dalam bentuknya yang sesuai zaman muncul dan diperlukan untuk belajar berbagai hal. Tetapi ketika kerajaan berkuasa maka mereka yang dekat kepada kekuasaan yang memperoleh akses itu untuk mendukung berdirinya kerajaan. Ketika kapital mulai berkuasa dan ideologi-ideologi mulai bermunculan dan sistem itu membutuhkan pekerja-pekerjanya sekolah semestinya juga muncul dengan mengikuti langgam ini. Saya tidak bilang sekolah dibentuk dan berkembang mengikuti perkembangan itu tanpa ada dialog dan tanpa ada sisi kemerdekaannya sama sekali. Hanya saja mau tidak mau memang berbagai perkembangan zaman itu mempengaruhi apa yang namanya sekolah. Hal ini tergantung dari mana pula kita melihat definisi sekolah tersebut. Saya lebih berbicara pada pengaruh perubahan zaman. Bukankah memang benar bahwa sekolah mau tidak mau pasti menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada? Di zaman kerajaan sekolah adalah milik mereka yang bangsawan saja, di zaman kolonial sekolah diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja administrasi pemerintahan kolonial. Memang pada zaman di mana modernitas muncul sekolah atau pendidikan menjadi hak tiap orang. Seharusnya siapa pun sekolah tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sekarang pun mereka yang bersekolah adalah mereka yang memiliki modal.
@
Uraian seorang teman guru di bawah ini mungkin bisa menggambarkan keadaan sekolah kita dari zaman ke zaman. Menurut dia, yang tinggal di Kulon Progo, umurnya sekitar 70 tahun, dulu ketika zaman penjajahan sekolah itu sulit dan hanya menjadi milik
3/6
Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
para bangsawan atau mereka yang menjadi pegawai pemerintahan. Nantinya kalau sekolah pasti menjadi pegawai pemerintah Belanda dan hidupnya lumayan terjamin. Menjadi priyayi. Trus ketika zaman kemerdekaan dan Orde Baru awal sekolah memang menjadi sarana juga untuk menjadi pegawai negeri atau pegawai di beberapa instansi yang dalam pandangan Guru tadi keren dan bonafid. Sekolah di masa itu katanya disubsidi terus oleh negara walau dikorupsi juga di sana-sini. Atau kalau tidak oleh negara disubsidi penuh dari lembaga donor asing. Guru-guru sebenarnya menurut dia tinggal mengerjakan tugas sesuai aturan dan nanti akan dengan otomatis naik pangkat dan gajinya makin besar. Jadi walaupun gajinya kecil guru-guru tersebut sebenarnya lumayan terjamin kehidupannya. Semua peralatan sekolah juga disubsidi oleh negara. Ketergantungan kepada negara dan donor asing dengan demikian menjadi besar sekali. Saya tidak tahu apakah ini pembodohan atau memang harus begitu kejadiannya karena hegemoni negara menjadi amat besar. Bahkan para mahasiswa harus dinormalkan kehidupan kampusnya supaya mereka belajar dengan baik dan benar. Sekarang kata Guru ini, sekolah mahal dan tidak menjamin dapat pekerjaan.
Jika dihubungkan dengan perkembangan tata kehidupan masyarakat dan perkembangan kapitalisme yang menuntut persaingan, modal, dan kreatifitas—membangun komoditas. Sekolah sepertinya malah dibangun untuk menjadi kebalikkannya. Tidak didukung untuk berkembang menjadi sekolah yang mandiri tetapi dihegemoni—kalau salah bahasanya dibenarkan ya—sedemikian rupa sehingga menjadi seragam dan tidak kreatif sama sekali. Kasus begitu banyak sekolah swasta hancur ketika donasi dari negara yang lebih maju berhenti adalah salah satu kasusnya. Sekolah tidak mempunyai kemampuan bersaing untuk mencari dana sendiri dan meningkatkan profesionalitasnya. Bagi saya sekolah di banyak tempat di Indonesia masih hidup dalam era subsisten hanya untuk menghidupi diri sendiri. Tidak kurang tidak lebih dan statis. Hegemoni dan subsidi yang berlebihan tanpa disertai kreatifitas mematikan nalar-nalar kreatifitas dan ide untuk membuka jalan bagi berkembangnya sekolah-sekolah yang sekarang banyak yang kolaps dan runtuh gedung-gedungnya. Semuanya mengeluh tidak ada biaya untuk memperbaiki.
Di lain pihak para pemegang kapital yang memiliki pabrik yang sebenarnya konsumen terbesar dari produk sekolah—maaf jadi ekonomi banget—tidak ikut serta mendukung secara penuh institusi sekolah ini. Mereka berjalan sendiri dan gembira menikmati produk dari sekolahan ini sambil terus berkoar-koar bahwa mutu pendidikan makin jelek dan mereka menerima masukan dari pendidikan yang kurang berkualitas. Setahu saya dalam dunia kapitalisme ada moral dan etika untuk mengembalikan berbagai keuntungan kepada masyarakat dan itu nantinya akan kembali lagi kepada mereka dalam bentuk yang lain lagi berupa tenaga trampil atau dukungan bagi setiap usaha mereka sehingga sistem ini berjalan. Tapi sepertinya para pemilik kapital itu lebih suka mencari keuntungan sendiri dengan resiko sekecil mungkin sehingga
4/6
Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
melengganglah mereka sendiri sendiri seolah tidak
berhubungan sama sekali.
Permasalahannya adalah, negera terlalu berkuasa, negara miskin, sekolah menjadi subsisten sampai ke elemen-elemennya yang paling dasar. Di sebuah kabupaten saya menjumpai semua guru memfotokopi rencana mengajar yang disusun oleh kelompok mereka sehingga semuanya seragam tanpa kreatifitas sama sekali. Sudah hanya berhenti di situ. Permasalahan lain, para pemilik kapital tidak begitu konsen dengan dunia yang sebenarnya menghidupi mereka itu. Di sini saya melihat kalau semua perkembangan tata masyarakat itu tidak berjalan beriringan tapi menuju ke arah yang berlawanan satu dengan yang lainnya. Dunia makin maju eh sekolah malah tetep bertahan dengan pola subsisten. Jadi kalau gedung runtuh ya sudah tidak ada usaha untuk mencari dana atau mengusahakan dana. Ya sudah nanti nunggu bantuan dari pemerintah. Sekolah swasta lebih parah lagi karena bisa jadi mereka tidak dapat bantuan sama sekali. Di sisi lain kehidupan para guru juga subisten sekali. Saya menjumpai guru-guru yang mengajar disebuah sekolah swasta yang tidak digaji selama hampir tiga bulan, mereka memang mengeluh tapi jawabannya ketika ditanya kenapa tidak berusaha? Ya sudah itu sudah nasib toh di rumah untuk makan masih ada dan masih bisa. Yang penting dapur tetap ngebul dan status guru tetap terjaga. Bukankah ini sebuah gaya hidup subsisten dan gaya hidup priyayi yang memuja status? Pihak Yayasan yang mengelola sekolah itu sama saja, tidak ada ide sama sekali untuk menggali dana atau alternatif pendidikan lain. Lebih baik memikirkan diri sendiri untuk hidup. Tapi dengan cara subsisten tadi. Apa adanya sajalah. Bukankah ini tidak sejalan dengan kehidupan kapitalisme yang menguasai kita sekarang ini?
Sungguh saya tidak ingin mengajak sekolah hanya melulu memikirkan uang. Tetapi kalau sekolah tetap subsisten seperti itu dan tidak ada kreatifitas sama sekali kita akan terlindas persaingan. Dengan Vietnam saja kita kalah sekarang ini. Sialnya saat ini masih ada saja mereka yang terbuai romantisme kalau segala sesuatu lebih baik di zaman dahulu. Semua terpenuhi dan semua berjalan dengan normal. Normal yang bagaimana wong pembodohan kok. Bagi saya mungkin sebuah dosa ketika sekolah justru tidak berhasil mengantisipasi kemajuan zaman karena hanya akan menghasilkan siswa yang juga tidak akan bisa hidup dan tersingkir dilindas zaman dan akhirnya bunuh diri. Sungguh tragis lagi bahwa semua itu masih ditambah kebiasaan korupsi untuk memenuhi gaya hidup subsisten itu tadi. Kita perlu meningkatkan mutu pendidikan dan itu sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh berbagai pihak secara bersinergi.
@
5/6
Bunuh Diri dan Sekolah yang Subsisten Ditulis oleh Wiji Suprayogi Senin, 01 Juni 2009 17:46
Lalu apa hubungannya dengan bunuh diri? Bukankah jelas bahwa kita semua sedang melaksanakan bunuh diri masal jika semua berjalan sendiri sendiri bertolak belakang dan tidak saling mendukung. Kita sebentar lagi hanya akan menjadi penonton dan konsumen tak berdaya dan terjajah lagi dan sialnya bisa jadi identitas bangsa kita tidak ada lagi. Bagaimana mau menciptakan identitas bila sisetm pendidikan kacau dan masayarakatnya justru tidak menjadi makin pandai? Bagaimana pabrik-pabrik dapat berjalan dengan baik jika masukan dari dunia pendidikan pensuplai tenaga kerja terbesar berkualitas kampungan, bodoh—termasuk saya ini, dan tidak trendy sama sekali? Kalau sudah begitu dari mana kita hidup? Bukankah itu juga berpengaruh pada pemasukan negara? Sementara negara juga tidak memiliki tenaga yang baik dan profesional karena menerima pewagai yang kurang baik dari sekolahan.
Nah kalau dihubungkan dengan bunuh diri anak-anak sekolah belakangan ini. Bagi saya semuanya jadi kelihatan wajar. Dalam sekolah yang subsisten apa yang bisa diharapkan selain siswa yang tidak dapat berpikir kreatif dan mudah putus asa? Ya sudah semuanya jadi kelihatan buntu. Melihat anak tidak bisa membayar sekolah guru pun biasanya marah-marah karena kepepet tidak punya uang. Tidak ada usaha untuk mencari celah-celah pendanaan yang lain. Masyarakat menuntut juga kalau sekolah harus menghasilkan siswa yang pandai dan mereka stress karena harus membayar tinggi. Seperti saya bilang dunia usaha ongkang–ongkang menerima masukan dari dunia pendidikan tanpa memikirkan sekolah megap-megap bertahan hidup. Bukankah ini stress tingkat tinggi. Bagi anak yang terbiasa dikondisikan dalam suasana subsisten sementara di rumah mereka stress karena keluarga yang kurang dan di luar dunia kapitalisme menuntut mereka trendy dan wangi serta bisa mengkonsumsi banyak hal, pasti ada anak yang tidak tahan dan akhirnya bunuh diri. Malu Bo! Cuman tragisnya bukan malu karena tidak mampu otaknya tapi bener-bener malu kepepet dan tidak tahu jalan keluar. Adakah ini juga bagian dari budaya kemiskinan? Mungkin bunuh diri itu walaupun anaknya tidak sadar memang bagian dari pilihan untuk melawan subsistensi itu sendiri.
Perlu revolusi besar-besaran dan juga sinergi banyak pihak untuk memperbaiki semua ini. Bagi saya ini adalah panggilan untuk melayani agar bunuh diri masal tidak berlangsung terus menerus. Bagaimana pun sekolah adalah tanggung jawab semua elemen masyarakat yang menjadi salah satu penyangga berdirinya negara kita ini. Mari kita mengerjakan semuanya seperti kita mengerjakannya untuk Tuhan. Anda merasa ini panggilan atau tidak? Selamat berjuang Tuhan memberkati.
6/6