TERMS OF REFERENCE NGOPI (Ngobrol Pintar) #4 Kebijakan Pelarangan Sepeda Motor di Jalan Protokol Jakarta “Jakarta Punya Siape?”
LATAR BELAKANG Persoalan kemacetan lalu lintas di kota Jakarta tidak terlepas dari kondisi dan perkembangan tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta kota ini. Transportasi dan tata ruang merupakan dua aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, karena transportasi dalam hal ini lalu lintas atau traffic merupakan fungsi dari tata guna lahan. Tata guna lahan yang tidak dimaksimalkan dengan baik dan cermat tentunya akan menghasilkan kerugian, seperti kecelakaan dan kemacetan. Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, mencatat terjadi 5.472 kasus kecelakaan di Jakarta dan sekitarnya sepanjang tahun 2014. Sebanyak 578 orang meninggal dunia akibat kecelakaan itu. Berdasarkan laporan tersebut, tiap tahunnya, 45.000 pengendara motor meninggal karena kecelakaan di Jakarta dan tiap harinya terdapat dua sampai tiga orang meninggal karena kecelakaan motor dan rata-rata anak di bawah umur. Menurut laporan Update Indonesia pada September 2010 mengenai „Problem Kemacetan Jakarta‟, terdapat sejumlah analisis penyebab kemacetan Ibukota. Pertama, pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jalan.. Total pertumbuhan mobil sebesar 10 persen pertahun dan motor 15 persen pertahun. Bandingkan dengan panjang jalan yang 7.650 kilometer, atau 0,26 persen dari wilayah Jakarta yang seluas 662 kilometer persegi dan dengan pertumbuhan panjang jalan yang hanya 0,01 persen pertahun. Akibatnya, tapak jalan penuh dan pada suatu titik akan macet total.
Kedua, transportasi umum tidak berkembang. Selain tidak aman dan tidak nyaman, angkutan massal belum mampu menjawab kebutuhan transportasi warga. Jumlah kendaraan pribadi yang lebih banyak dibanding kendaraan umum memperparah keruwetan transportasi di Jakarta. Dari jumlah kendaraan roda dua dan empat di Jakarta yang sebanyak 6,7 juta unit, 98 persen diantaranya adalah kendaraan pribadi, sedangkan sisanya angkutan umum. Padahal jumlah orang yang diangkut kendaraan pribadi jauh lebih sedikit ketimbang penumpang yang dibawa angkutan umum.
Rencana penetapan kebijakan yang membatasi para pengguna sepeda motor melintas di beberapa kawasan jalan protokol ibu kota, yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (seperti tercantum pada Perda No. 5 Tahun 2014), bersama Dinas Perhubungan DKI dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat yang menggunakan sepeda motor sebagai transportasi utama sehari-hari. Pembatasan yang telah diberlakukan sejak pertengahan Desember 2014 lalu di sepanjang Jalan MH Thamrin menuju Jalan Merdeka Barat kemudian menghembuskan wacana yang terakhir beredar di masyarakat yakni, akan dilakukannya perluasan area pelarangan tersebut, antara lain di Jalan Industri, Jalan Angkasa, Jalan Garuda, Jalan Bungur Selatan, Jalan Otista, Jalan Minangkabau, Jalan Dr. Soepomo, dan Jalan Jenderal Sudirman.
Menurut Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta, ada beberapa kriteria dalam menentukan wilayah mana yang akan diterapkan pembatasan motor, yakni tersedianya layanan angkutan publik bagi warga, tersedianya lahan parkir, serta ada jalur alternatif di sisi kiri atau kanan bagi pengendara motor. Seperti yang dilansir melalui harian Kompas tertanggal 6 Januari 2015, Basuki mengakui bahwa kebijakan ini hanya dapat diterapkan di jalan-jalan protokol ibu kota, seperti Jalan Medan Merdeka, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, dan wilayah Kuningan Jakarta Selatan. Pelarangan motor itu akan dilakukan secara bertahap. Setelah bus tingkat milik Pemprov DKI mencukupi dan PT Transjakarta menambah ratusan bus tingkat gratis, kebijakan akan diperluas hingga Ratu Plaza, Jalan Sudirman.
Penggunaan sepeda motor di DKI Jakarta sudah menjadi moda angkutan utama masyarakat, khususnya anak muda dalam melakukan perjalanan. Hampir separuh dari seluruh perjalanan
mereka menggunakan kendaraan bermotor, yang berarti juga reaksi penolakan anak muda atas kebijakan ini akan tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu anak muda pengguna sepeda motor (dimuat di Harian Viva News tertanggal 12 November 2014), Aco yang mengatakan, “Pemerintah harus punya solusi lain untuk memenuhi kebetuhan warga yang mobilitasnya tinggi. Jangan hanya diskriminatif kepada pengguna sepeda motor saja.” Sekjen Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar dalam wawancaranya di BeritaSatu pada 9 Januari 2015 berpendapat bahwa akibat kebijakan seperti itu, maka, pertama, akses masyarakat ke ruang publik tertutup. Tentunya pelarangan ini merupakan bentuk diskriminasi nyata terhadap masyarakat, khususnya para pemuda yang berada dalam usia produktif yang memiliki mobilitas sosial yang tinggi. Filosofi free public sphere sebagai salah satu pilar pembangunan wilayah juga turut terciderai. Masyarakat sebagai tax payer tidak dapat menikmati free public sphere tersebut.
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta kerap kali bersifat ad hoc serta tidak melibatkan peran masyarakat. Latar belakang diberlakukannya kebijakan pelarangan sepeda motor untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta pun tumpang tindih dengan rencana pemerintahan Jokowi-JK yang ingin melanjutkan program mobil murah atau Low Cost Green Car (LCGC). Menurut data dari ASEAN Automotive Federation (AFF), Indonesia menempati urutan pertama penjualan mobil di tahun 2014. Dari 2.380.683 unit yang terjual, 923.943 unit diantaranya masuk ke Indonesia. Alih-alih ingin mengurangi kemacetan, Pemprov DKI Jakarta justru dihadapkan oleh pemerintah pusat yang membuka lebar masuknya kendaraan bermotor di Indonesia. Menjadi tidak tepat bila kebijakan pelarangan itu dilakukan dengan alasan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Sebab, penyebab utama membeludaknya jumlah sepeda motor di Jakarta adalah akibat mudahnya masyarakat memperoleh kendaraan roda dua itu. Infrastruktur transportasi umum yang belum memadai juga menjadi faktor berkembang pesatnya penjualan kendaraan bermotor di Indonesia khususnya DKI Jakarta. Keberadaan Transjakarta dan rencana penambahan ratusan bus gratis untuk pengendara sepeda motor tentu membutuhkan biaya yang besar. Pengadaan bus gratis yang melibatkan banyak pihak tentu membutuhkan pengawasan yang ketat untuk menghindari potensi korupsi. Kurangnya transparansi dan kurangnya pelibatan publik dalam kebijakan tersebut juga menjadi salah satu aspek yang perlu dikritisi. Kemacetan di Jakarta seakan menjadi polemik tata kota yang tak kunjung usai dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut bagaimana kebijakan politik tata kota
yang diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Berbagai pertanyaan pun muncul dikalangan para pemuda, bagaimanakah sikap anak muda dalam menanggapi kebijakan politik tata kota oleh Pemprov DKI Jakarta berkaitan dengan kebijakan pelarangan sepeda motor serta berperan aktif untuk mengawasi kebijakan tersebut? Langkah apakah yang dilakukan pemerintah guna memastikan bahwa kebijakan tersebut representatif dan juga bersih dari korupsi? Oleh karena itu berangkat dari masalah tersebut, Youth Department Transparency International Indonesia berinisiatif untuk mengadakan kegiatan Ngobrol Pintar (NGOPI), sebuah diskusi dwi mingguan yang akan membahas isu antikorupsi dari berbagai macam perspektif: politik, sosial, budaya, HAM, ekonomi, lingkungan, dan perspektif lainnya. Diskusi ini bersifat sersan (serius namun santai), dengan melibatkan sejumlah narasumber yang nantinya akan berperan sebagai pemateri dan pembicara, serta melibatkan partisipasi peserta dari berbagai latar belakang sosial.
TUJUAN o Meningkatkan antusiasme kaum muda dan masyarakat dalam menyampaikan pandangan atau pendapat mereka terhadap kebijakan yang baru saja ditetapkan terkait pelarangan penggunaan sepeda motor di beberapa jalan protokol Jakarta. o Mendorong peran serta pemuda dalam mengawasi kebijakan pemerintah. o Menciptakan suasana diskusi yang santai namun tetap serius, dimana narasumber dan peserta acara dapat menyuarakan pendapat mereka secara bebas dan aktif.
CAPAIAN o Peserta diharapkan kedepannya lebih kritis dan tanggap terhadap topik atau isu-isu aktual yang diperbincangkan di lingkungan publik o Peserta mendapat kesempatan untuk bertukar pikiran atau gagasan dengan narasumber serta peserta lainnya terkait putusan pelarangan penggunaan sepeda motor di beberapa jalan protokol Jakarta.
NARASUMBER Moderator
: Maria Resti (Volunteer Youth Proactive Batch II)
Pemateri
: Yudi Adiyatna (Volunteer Youth Proactive Batch II)
Pembahas (Penanggap): 1. Pheni Chalid, Ph. D (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 2. Marco Kusumawijaya (Founder and Director of RUJAK Center for Urban Studies) 3. Ardi Yunanto, Ruangrupa, Karbonjournal.org
TARGET PESERTA o Organisasi & komunitas anak muda o Relawan Youth Proactive o Pelajar & Mahasiswa o Media o LSM o Akademisi & peneliti o Aktivis o Masyarakat umum
WAKTU DAN TEMPAT Hari/tanggal
:
Jum‟at / 23 Januari 2015
Waktu
:
Pukul 17.30-20.30 WIB
Tempat
:
Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya no. 17, Jakarta Pusat (tentative)
AGENDA Waktu
Kegiatan
17.30-18.30
Registrasi & Makan Malam
18.30-18.45
Pembukaan
18.45-19.15
Pemaparan dari Pemateri
19.15-19.45
Pemaparan dari Penanggap
19.45-20.15
Sesi Diskusi dan Tanya Jawab
20.15-20.30
Kesimpulan dan Penutup