PENDAHULUAN Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998 berdampak pula di Indonesia yang ditandai dengan nilai tukar yang semakin melemah, laju inflasi yang tidak terkendali serta pertumbuhan ekonomi yang semakin melemah serta banyaknya perusahaan yang gulung tikar sehingga berakibat pada tingginya tingkat pengangguran. Buruknya tata kelola perusahaan merupakan salah faktor yang dianggap berperan besar terhadap timbulnya krisis. Penelitian yang dilakukan Asian Development Bank membuktikan lemahnya pengawasan dewan komisaris serta komite audit perusahaan yang tidak berfungsi secara efektif sehingga pemegang saham
mayoritas memiliki
kebebasan untuk kepentingan sendiri (Sulistyanto dan Haris, 2003). Johnson et al. (2000) menjelaskan minimnya aturan hukum yang melindungi para pemegang saham minoritas dan kreditur juga berakibat pada besarnya pengendalian perusahaan oleh pemegang saham mayoritas sebagai pengendali yang kuat diperusahaan yang dapat memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan tindakan yang menguntungkan secara pribadi tanpa terdeteksi oleh hukum. Secara singkat masalah ke-agenan (agency problem) di negara berkembang termasuk Indonesia adalah konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Salah satu kebijakan yang dapat disalah gunakan oleh pemegang saham mayoritas adalah penahanan dividen yang seharusnya diberikan kepada pemegang saham minoritas dengan dalih bahwa penahanan tersebut digunakan sebagai cadangan dimasa yang akan datang. Dengan memberi harapan atas hak – hak yang akan diperoleh, maka secara tidak langsung akan menarik minat pemegang saham minoritas untuk menanamkan modalnya. Dividen yang seharusnya diberikan kepada seluruh pemegang saham perusahaan dapat disalah gunakan oleh pemegang saham mayoritas yang menyebabkan kerugian pemegang saham minoritas (La Porta et al. ,2000).
La Porta et al. (2000) memaparkan kebijakan dividen adalah hasil dari suatu sistem yang efektif dari perlindungan hukum pemegang saham. Dalam suatu sistem yang efektif, pemegang saham minoritas menggunakan kekuatan hukum untuk memaksa perusahaan supaya mengeluarkan kas, hal ini dilakukan sebagai antisipasi untuk menghalangi orang dalam (pemegang saham mayoritas dan menejemen)
dari
penggunaan dana yang terlalu tinggi. Untuk
kasus
di
Indonesia
Kian
Gie
(1993:33)
berpendapat
untuk
mempertahankan kepemilikan atas perusahaan pemegang saham mayoritas salah satunya menggunakan trik “saham bonus” yang dibagikan kepada pemegang saham minoritas sebagai pengganti uang tunai atas hak dividen yang seharusnya mereka terima setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga laba yang telah diperoleh dapat terkumpul dalam perusahaan, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas. Kian Gie (1993:34) menjelaskan secara langsung pembagian dividen melalui saham bonus ini menguntungkan bagi pemegang saham minoritas karena dapat meraih laba dengan menjual sahamnya pada Bursa Efek, namun apabila dilihat lebih mendalam tindakan ini sangat merugikan, karena pemberian saham ini merupakan trik cerdik pemilik perusahaan untuk memperoleh keuntungan dalam waktu yang singkat. Berdasarkan argumentasi tersebut bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia (termasuk Indonesia) yang diakibatkan oleh gagalnya penerarapan tata kelola perusahaan, Organization for Economic Coperation and Development (OECD), World Bank dan Asian Development Bank bekerja sama untuk memberikan pedoman tata kelola yang baik dan mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi tata kelola dengan tujuan untuk membangun perekonomian kembali yang sempat terpuruk akibat krisis yang melanda dunia pada tahun 1998.
Sebagai bagian dari reformasi tata kelola yang diamanatkan oleh IMF maka pada tanggal 9 Agustus 1999 Indonesia membentuk National Committee for Corporate Governance (NCCG). Hal pertama yang dilakukan NCCG adalah mengeluarkan Indonesian Code of Corporate Governance yang diadopsi dari prinsip – prinsip tata kelola perusahaan yang dikeluarkan OECD. Langkah-langkah reformasi tata kelola yang dilakukan meliputi peningkatan kualitas informasi menejemen yang diperlukan oleh para pemegang saham dan masyarakat umum, meningkatkan partisipasi para pemegang saham minoritas dalam membuat keputusan perusahaan, meningkatkan tingkat keefektifan kerja para petinggi perusahaan untuk mengurangi tingkat kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait yang dapat merugikan para pemegang saham minoritas. Reformasi ini ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas. Untuk mengetahui apakah reformasi ini berhasil atau tidak maka perlu dibuktikan dengan penelitian empiris. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti pengaruh tata kelola perusahaan terhadap kebijakan dividen sebelum dan setelah reformasi kebijakan tata kelola di Indonesia. Penelitian ini terutama difokuskan terhadap pengaruh tata kelola perusahaan yang disebut-sebut memfasilitasi pemegang saham mayoritas dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan pribadi atas biaya yang ditanggung oleh pemegang saham minoritas yaitu family control, business group, political connection dan divergence between cash flow and control right. Apabila reformasi tata kelola berhasil diterapkan seharusnya keempat mekanisme perusahaan tersebut tidak dapat digunakan kembali oleh pemegang saham mayoritas untuk menggunakan kebijakan dividen yang merugikan pemegang saham minoritas.
TINJAUAN TEORITIS 1.1
Kebijakan Dividen Dalam melakukan investasi para investor memerlukan beberapa informasi mengenai kebijakan dividen pada sebuah perusahaan untuk mengambil keputusan diperusahaan manakah yang akan dijadikan tempat untuk menanamkan modal. Informasi tersebut didapat dari laporan keuangan perusahaan karena dari laporan tersebut akan tercermin segala kinerja perusahaan yang dapat meyakinkan investor. Kebijakan dividen merupakan suatu penentuan besaran keuntungan yang akan dibagikan kepada seluruh pemegang saham (Hatta, 2002). Menurut Sutoyo et al. (2011) faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen diantaranya adalah profitability, likuidity, growth dan frim size. Menurut Suharli (2007) yang dikutip oleh Sulistyowati et al. (2010) menyatakan bahwa pihak manajemen akan membayarkan dividen sebagai tanda mengenai keberhasilan perusahaan dalam bentuk profit. Pembayaran tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan perusahaan merupakan fungsi dari keuntungan. Perusahaan yang memperoleh keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungannya lebih besar sebagai dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Dengan demikian profitability diperlukan untuk perusahaan apabila hendak membayar dividen. Tingkat pertumbuhan perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Semakin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, maka semakin besar kebutuhan dana yang diperlukan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan. Sejalan dengan kebutuhan dana perusahaan untuk waktu yang akan datang maka perusahaan lebih senang untuk menahan
labanya dari pada membayarkannya sebagai dividen kepada pemegang saham (Sulistyowati et al .,2010). Titman dan Wessel (1988) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penerbitan saham atau ekuitas pada perusahaan kecil lebih banyak mengeluarkan biaya dari pada perusahaan besar. Dengan demikian maka dapat disimpulkan, semakin besar ukuran perusahaan, biaya penerbitan saham atau ekuitas menjadi lebih rendah. Penerbitan saham lebih tinggi dapat menambah pendapatan perusahaan. Sehingga perusahaan dapat membayarkan dividen sesuai dengan proporsi yang ditanamkan oleh pemegang saham. Likuidity perusahaan menunjukan kemampuan perusahaan untuk mendanai kegiatan operasional perusahaan dan melunasi kewajiban jangka pendek. Apabila perusahaan mampu mendanai dan melunasi kewajiban jangka pendek, maka perusahaan dipastikan dapat membayarkan membayarkan dividen sesuai dengan proporsi yang ditanamkan oleh pemegang saham (Sutoyo et al., 2010). Tidak hanya itu saja yang memaparkan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Sehingga dalam penelitian ini penulis menggunakan profitability, likuidity , growth, dan size sebagai variabel kontrol.
1.2
Permasalahan Tata Kelola Perusahaan di Indonesia OECD (2004) dan FCGI (2001) mendefinisikan tata kelola perusahaan sebagai suatu mekanisme dan kebijakan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban para pihak kepentingan (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/peranakuntansi-dalam-corporate.html). Tata kelola perusahaan sampai saat ini merupakan
isu hangat yang selalu diperbincangkan oleh berbagai pemangku kepentingan perusahaan, dikarenakan cermin atas keberhasilan perusahaan dapat dilihat dari penerapan itu sendiri. Namun dengan terjadinya krisis yang melanda pada tahun 1998 banyak perusahaan yang runtuh akibat dari kegagalan penerapan strategi maupun praktek kecurangan yang dilakukan oleh menejemen puncak yang berlangsung cukup lama dan tanpa deteksi karena lemahnya pengawasan (Kaihatu, 2006). Berbeda di negara maju dimana permasalahan tata kelola perusahaan yang dominan adalah konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajemen, permasalahan tata kelola di negara yang sedang berkembang lebih cenderung pada konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Hal ini dikarenakan masih dominannya family control, tetapi tidak diikuti dengan perlindungan hukum yang kuat terhadap kepentingan pemegang saham minoritas. La Porta et al. (2000) menerangkan praktek kecurangan di negara berkembang yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas misalnya dengan gaji berlebihan, penjualan aset dengan harga yang menguntungkan, atau transfer harga dengan berbagai entitas tanpa terlepas dari kontrol mereka, serta pengunaan aset perusahaan untuk mengejar strategi investasi yang mengahasilkan manfaat pribadi tanpa memperdulikan para pemegang saham minoritas. Hal ini juga didukung karena dalam kepengurusan perusahaan masih terdapat hubungan keluarga, sehingga memudahkan praktek – praktek kecurangan tersebut (Johnson et al.,2000). Semua dapat terlaksana karena perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas yang kurang baik terutama di negara-negara berkembang. Kian Gie (1993) memberi beberapa contoh kasus riil di Indonesia tentang pemegang saham mayoritas bertindak demi kepentingan pribadinya diantaranya :
1. Overpricing atau mark-up harga bahan baku perusahaan. 2. Memaksa pihak bank untuk memberikan kredit pada perusahaan dalam jumlah yang lebih besar dengan ancaman apabila tidak diberikan dana pinjaman, maka perusahaan akan bangkrut sehingga tidak dapat mengembalikan hutangnya kepada pihak bank atau dengan alasan pinjaman telah digunakan untuk perluasan usaha. 3. Meng-go public kan perusahaan dengan meminta agio yang sangat tinggi. 4. Menjual saham perusahaan dengan harga yang diturunkan namun pada dasarnya tetap bertahan tinggi. Terdapat empat mekanisme tata kelola perusahaan yang memfasilitasi pemegang saham mayoritas untuk melakukan kecurangan terhadap pemegang saham minoritas di Indonesia. Pertama, sebagian besar perusahaan berbasis keluarga telah memegang posisi dominan di Indonesia. Family control dapat meningkatkan kinerja perusahaan karena mereka memiliki perspektif jangka panjang dan investasi mereka terikat dalam perusahaan (Anderson dan Reeb, 2004). Namun, perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga akan cenderung mengurangi efektivitas mekanisme perlindungan terhadap pemegang saham minoritas karena kurangnya transparansi dan pengungkapan terhadap kejadian penting yang ada di perusahaan tersebut. Kedua, banyak perusahaan Indonesia milik business group yang dikenal sebagai konglomerat. Melalui keuangan internal, para anggota business group dapat mengalokasikan modal di antara perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang kemudian dapat mengakibatkan manfaat ekonomi, terutama ketika terjadi pembiayaan yang berasal dari luar perusahaan terhenti (Khanna dan Palepu, 1997). Sisi negatif, dari struktur business group dapat memfasilitasi pemegang saham
pengendali atau pemegang saham mayoritas untuk mentransfer sumber daya dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam kelompok mereka untuk keuntungan sendiri. Contoh transaksi tersebut self-dealing yaitu termasuk pencurian atau penipuan, transfer harga yang menguntungkan untuk pemegang saham pengendali, kompensasi untuk eksekutif yang berlebihan, pinjaman yang menjamin dan pengambilan peluang perusahaan (Johnson et al., 2000). Ketiga, seperti yang ditunjukkan dalam Claessens et al.(2000), banyak pemegang saham pengendali perusahaan yang terdaftar di Indonesia memiliki voting right atas perusahaan yang melebihi cash flow right mereka. Perbedaan dalam cash flow right dan voting right dapat membuat agency problem antara pemegang saham mayoritas dan minoritas, karena dapat memberikan keleluasaan bagi para pemegang saham mayoritas atas keputusan-keputusan perusahaan dan sekaligus memungkinkan mereka untuk menghindari biaya tinggi. Hal ini merupakan masalah serius yang dibuat oleh pemilik perusahaan untuk mengendalikan aset perusahaan (Morck et al.,1988). Kepemilikan perusahaan dengan presentase yang besar dapat menyebabkan persekutuan antara menejer dengan pemegang saham mayoritas, sehingga aturan yang dibuat oleh pemerintah dan dewan direksi yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama menjadi tidak dihiraukan lagi. Dalam pemisahaan antara cash flow right dan voting right dapat memicu
masalah
yang
disebabkan
oleh
kepemilikan
perusahaan
yang
terkonsentrasi atau tepusat pada kalangan tertentu. Untuk menutupi kepemilikan dan kontrol yang berlebih maka para pemegang saham mayoritas menggunakan piramida kontrol saham yaitu dengan melakukan persilangan saham pada perusahaan yang berbeda namun masih dalam perusahan yang mereka miliki, kemudian menurunkan atau mengurangai dana investasi yang seharusnya diterima
oleh perusahaan yang sebelumnya. Seorang pemilik yang mengendalikan dalam situasi ini dapat mengambil hasil kekayaan dari perusahaan, penerimaan atas keuntungan yang ditanamakan oleh para pemegang saham mayoritas sangat tinggi namun tidak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan, mereka hanya menanggung sebagian kecil dari biaya yang seharusnya dibayarkan. Keempat, political connection mempunyai peran penting untuk mendorong kesalahan alokasi sumber daya. Fisman (2001) menerenangkan, political connection di Indonesia merupakan masalah yang fundamental. Untuk perusahaan yang bersih atau dengan kata lain tidak menggunakan fasilitas political connection tidak akan mendapatkan keuntungan dari hasil operasi perusahaan yang lebih besar, namun sangat banyak digunakan untuk menarik keuntungan dengan mencari dana sewa atau investasi untuk kegiatan operasi perusahaan.
1.3
Tata Kelola Perusahaan, Kebijakan Dividen dan Reformasi Tata Kelola di Indonesia Faccio et al. (2000) melakukan perbandingan pengaruh tata kelola perusahaan terhadap kebijakan dividen untuk perusahaan di Eropa dan perusahaan di Asia. Walaupun kedua daerah menunjukkan family control yang dominan, penelitiannya menujukkan hasil yang bertolak belakang, yaitu perusahaan di Eropa cenderung mempunyai dividend payout ratio dan dividend per share yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan di Asia. Perusahaan di Asia cenderung membayar
dividen yang lebih rendah untuk memfasilitasi kebijakan pemegang saham mayoritas yang dimaksudkan untuk merugikan pemegang saham minoritas. Walaupun kondisi di Eropa mirip dengan Asia (banyak perusahaan yang dikontrol keluarga dan tergabung dalam business group), pembayaran dividen tetap tinggi
karena adanya perlindungan hukum yang baik terhadap pemegang saham minoritas. Penelitian yang dilakukan oleh Faccio et al. (2000) dilakukan sebelum negara – negara di Asia termasuk Indonesia melakukan reformasi tata kelola perusahaan. Sebagaimana disebutkan pada bagian 1.2 diatas, terdapat empat permasalahan tata kelola perusahaan di Indonesia yaitu family control, business group, political connection dan divergence between control and cash flow right. Keempat mekanisme tata kelola ini dianggap memfasilitasi pemegang saham untuk mengambil tindakan yang menguntungkan untuk diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan pemilik saham minoritas.
Berdasarkan argumentasi dan hasil
penelitian dari Faccio et al.(2000) serta permasalahan utama tata kelola perusahaan ini dapat disimpulkan bahwa :
H1= Perusahaan yang dikontrol keluarga (Family control), tergabung dalam kelompok business group dan mempunyai political connection dengan pemerintah serta memiliki control right yang lebih tinggi dibandingkan cash flow right akan membayarkan dividen lebih rendah sebelum dilakukannya reformasi tata kelola perusahaan. Reformasi tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem untuk memperbaiki kinerja perusahaan terutama perlindungan pemegang saham minoritas yang diakibatkan oleh gagalnya penerapan tata kelola pada waktu krisis melanda tahun 1998. Di Indonesia, sebagai bagian dari reformasi tata pemerintahan yang diamanatkan oleh IMF, National Comite Corporate Governance (NCCG) telah mengeluarkan
Indonesian
Code
of
Corporate
Governance.
BAPEPAM
mengeluarkan SK (surat keputusan) nomor 03/2000 dan Jakarta Stock Exchange (JSX) mengeluarkan SK nomor 315/2000 pada tahun 2000 juga telah mengeluarkan berbagai aturan yang terkait dengan independensi komisaris, peraturan dan rekomendasi sebagai bagian dari reformasi tata kelola perusahaan di Indonesia. Penunjukan komisaris independen dalam perusahaan mereupakan kunci dari refomasi yang diharapkan dapat memperkuat kinerja perusahaa menjadi lebih efektif serta perlindungan bagi pemegang saham, terutama pada pemegang saham minoritas. Proporsi komisaris independen harus sejalan dengan proporsi saham yang dimilki. Jumlah komisaris independen tidak boleh kurang dari 30 persen dari seluruh anggota dewan komisaris. Aturan BEJ menerangkan, komisaris sebagai anggota dewan yang tidak memihak kepada pemegang saham pengendali atau pemegang saham mayoritas, direksi dan tidak merangkap sebagai jabatan di perusahaan tersebut salah satunya adalah direktur, selain itu pengangkatan dilakukan dalam rapat umum pemegang saham. Langkah-langkah reformasi ini termasuk meningkatkan kualitas informasi manajemen yang diperlukan untuk memberikan kepada pemegang saham dan masyarakat umum, meningkatkan partisipasi pemegang saham minoritas diperusahaan, membuat fungsi direktur menjadi lebih efektif dan lebih independen serta mengurangi kemungkinan transaksi pihak terkait yang akan merugikan pemegang saham minoritas. Sebagian besar dari reformasi pemerintahan ini diadopsi dari negara-negara barat, terutama dari Amerika Serikat. Banyak orang yang meragukan dari efektivitas reformasi tata kelola perusahaan dengan berbagai alasan. Diantaranya yaitu pertama, perusahaan pemerintahan reformasi yang diadopsi oleh Indonesia berkembang berawal dari Amerika Serikat. Kedua, implementasi tata kelola perusahaan yang diadopsi dari
budaya asing tidak akan mencapai sukses karena mekanisme pemerintahan ini telah dibangun dalam budaya yang berbeda (Daniel, 2003). Tata kelola perusahaan asing bekerja dengan baik di negara-negara Barat karena mereka memiliki perlindungan hukum yang kuat bagi para investor dan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan bagian dari budaya hukum. Sebaliknya, Indonesia memiliki perlindungan hukum yang lemah bagi investor (La Porta et al., 2000). Kualitas perlindungan hukum menentukan dampak mekanisme pada perusahaan (Morck dan Yeung, 2004). Ketiga, Indonesia telah memperkenalkan banyak reformasi tata kelola perusahaan sebagai syarat untuk bantuan keuangan dari International Monetary Found (IMF). Namun banyak perusahaan enggan untuk melakukan reformasi. Oleh karena itu, reformasi tata kelola yang dilakukan hanya sebagai syarat saja namun pada kenyataanya tidak dijalankan dengan baik, yaitu dengan perbaikan kualitas hukum perlindungan yang baik pula (Alijoyo et al., 2004). Apabila reformasi tata kelola perusahaan di Indonesia tidak efektif, family control, business group, political connection dan divergence between control and cash flow right akan tetap berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen di Indonesia walaupun setelah dilakukannya reformasi tata kelola perusahaan. Akan tetapi, berbeda dengan argumentasi ahli hukum di atas, hasil penelitian Harijono dan Tanewski (2010) justru menunjukkan efektifitas dari reformasi tata kelola perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut : H2= Perusahaan yang dikontrol keluarga (Family control), tergabung dalam kelompok business group dan mempunyai political connection dengan pemerintah serta memiliki control right yang lebih tinggi dibandingkan cash
flow right akan membayarkan dividen lebih tinggi setelah dilakukannya reformasi tata kelola perusahaan.
METODE PENELITIAN 1. Populasi, Sampel dan Data Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Jakarta Stock Exchange (JSX) yang datanya tersedia dengan lengkap. Data awal yang dipakai adalah database yang dipakai oleh Harijono dan Tanewski (2010). Database tersebut berisi data family control, keanggotaan dalam business group, political connection, divergence between control and cash flow right ,serta beberapa data keuangan sejak tahun 1995 sampai tahun 2009. Data yang perlu dilengkapi adalah data terkait proxy kebijakan dividen yang akan dikumpulkan dari ICMD (Indonesian Capital Market Directory). 2. Teknik Analisis Data Oleh karena data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data panel, maka teknik analisis yang akan dipakai adalah panel data regression. Hsiao (1986), mencatat bahwa penggunaan panel data dalam penelitian ekonomi memiliki beberapa keuntungan utama dibanding data dengan jenis cross section maupun time series, yaitu : 1. Dapat memberikan peneliti jumlah pengamatan yang besar, meningkatkan degree of freedom (derajat kebebasan), data memiliki variabilitas yang besar dan mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, dimana dapat menghasilkan estimasi ekonomitri yang efisien.
2. Panel data dapat memberikan informasi lebih banyak yang tidak dapat diberikan hanya oleh data cross section dan time series saja. 3. Panel data dapat memberikan penyelesaian yang lebih baik dalam inferensi perubahan dinamis dibandingkan data cross section. Adapun model persamaan yang digunakan dan akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Y = 0 + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 X4 + 5 X5t + 6 X6t + 7 X7t + 8 X8t + 9X9t it
Keterangan : Y
= Kebijakan dividen
β
= Konstanta
β1, β2 = Koefisien masing – masing variabel X1
= Business Group
X2
= Familly Control
X3
= Political Conection
X4
= Cash flow Right and Control Right
X5
= Profitability
X6
= Likuidity
X7
= Growth
X8
= Firm Size
X9
= Industry Dummy
t
= Year
e
= Error
2.1 Pengukuran Variabel
2.1.1
Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kebijakan dividen yang di ukur menggunakan dividen per sahare yang dihitung berdasarkan total didiven yang dibagikan dengan jumlah lembar saham yang dibagikan menurut Susan Irawati (2006:64) :
DPS =
Total dividen yang dibagikan Jumlah lembar saham yang dibagikan
2.1.2 Variabel Independen Tata kelola perusahaan dengan indeks CGPI dari hasil survey oleh IICG. IICG mengadakan survey tentang penerapan tata kelola pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan hasil survey, maka diperoleh Corporate Governance Perception Index (CGPI). Selain tata kelola perusahaan terdapat empat variabel lain yang dapat dijadikan sebagai variabel independen, yaitu :
2.1.2.1 Business Group Keanggotaan kelompok di identifikasi dengan menggunakan konglomerasi Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Data Bisnis Indonesia. Daftar ini menyediakan 300 daftar kelompok bisnis terkemuka di Indonesia. Para anggota kelompok bisnis tidak hanya perusahaan yang terdaftar tetapi juga perusahaan swasta di Indonesia. Variabel kelompok bisnis dinilai 1 jika satu perusahaan tertentu dimiliki suatu kelompok dan dinilai 0 jika sebaliknya. Data
business group di dapatkan dari Pusat Data Business Indonesia yang dapat
dilihat
pada
bagian
shareholders
yang
menunjukan
keanggotaan dalam business group, serta ICMD.
2.1.2.2 Family Control Perusahaan berbasis keluarga memegang dan telah memegang posisi dominan di Indonesia. Kontrol keluarga dapat meningkatkan kinerja perusahaan karena mereka mempunyai pandangan untuk jangka panjang dan investasi yang signifikan mereka dalam perusahaan (Anderson dan Reeb, 2004). Kendali keluarga adalah juga sebuah variabel dummy dengan nilai 1 jika perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga dan 0 jika tidak. Data family control didapatkan dari ICMD dan Pusat Data Business Indonesia, untuk mengetahui bahwa perusahaan tersebut dibawah kontrol keluarga maka dapat dilihat pada kepemilikan saham yang mempunyai nama sama.
2.1.2.3 Political Connection Data pada koneksi politik yang dapat diperoleh dari Fisman (2001).
Dalam ukuran political connection, ia menggunakan
Soeharto Dependency Index (1995) dikembangkan oleh Castle Group, sebuah perusahaan konsultan ekonomi terkemuka di Jakarta.
2.1.2.4 Cash Flow Right dan Control Right
Metode untuk menghitung cash flow right and control right dijelaskan dalam Claessens et al. (2000). Mereka memberikan contoh dimana sebuah keluarga memiliki 11% dari saham publik Perusahaan A, yang pada gilirannya memiliki 21% dari saham Kantor B. Asumsikan bahwa tidak ada penyimpangan dari satu berbagi satu-suara atau lintas kepemilikan antara perusahaan A dan B. Dalam kasus ini, keluarga memiliki sekitar 2% dari arus kas hak Perusahaan B, atau produk dari dua kepemilikan saham sepanjang rantai. Perbedaan antara arus kas dan hak kontrol adalah variabel dummy dengan nilai 1 jika melebihi hak hak kontrol arus kas dan 0 sebaliknya. Data di Cash Flow Right dan Control Right dapatkan dari Pusat Data Business Indonesia yang dapat dilihat pada bagian shareholders yang menunjukan besarnya saham yang ditanamkan pada setiap perusahaan, serta ICMD.
2.1.3 Variabel Kontrol Variabel control dalam penelitian ini antara lain : 2.1.3.1 Profitabilitas (Profitability) Profitabilitas diukur menggunakan return on asset (ROA) yang diwakili dengan tingkat keuntungan setelah pajak yang dibagikan dengan total assets (Chang dn Rhee, 1990) dan Chhim(1990) dalam Sutoyo et al. (2010) : Earning after tax ROA= Total assets
2.1.3.2 Likuiditas (Likuidity) Likuiditas perusahaan menunjukan kemampuan perusahaan yang menandai operasional perusahaan dan melunasi kewajiban jangka pendek. Likuiditas di ukur degan mengunakan current ratio (CR) (Suharli dan Oktarina ,2005) dalam Sutoyo et al. (2010) :
CR = Aktiva lancar Utang lancar
3.1.3.5 Pertumbuhan Perusahaan (Growth) Pertumbuhan perusahaan merupakan gambaran atas kinerja operasional yang baik. Semakin besar tingkat pertumbuhnnya maka biaya yang dibutuhkan untuk seluruh kegiatan operasionalnya juga akan semakin tinggi pula, maka akan semakin tinggi pula menahan pendapatannya. Dengan begitu digunakan perhitungan dengan indikator tingkat pertumbuhan campuran yang di atur tiap tahun dalam total aset (Chang dan Rhee, 1990) dan Chim (1990) dalam Sutoyo et al (2010) : TAt – TA t-1 Growth = TA t-1
Keterangan : TAt
=
Total aset pada tahun ke t
TA t-1
=
Total aset pada tahun ke t-1
3.1.3.6 Ukuran Perusahaan ( Firm Size) Ukuran perusahaan sangat mempengaruhi dalam akses keluar dan masuk ke dalam pasar modal. Karena dengan kemudahan akses tersebut maka perusahaan akan memeperoleh kemudahan dalam mendapatkan dana yang digunakan sebagai modal. Bila perusahaan tersebut mampu mendanai dirinya sendiri, maka akan mudah pula bagi perusahaan untuk membayarkan dividen kepada para investornya. Dengan begitu ukuran perusahaan diwakili dengan logaritma nutural dari total assets tiap tahun (Rosel,2005) dalam Sutoyo et al. (2010).
Firm Size = Log Total Assets
3.1.3.7 Industry Dummy Industry dummy merupakan varibel ynag digunakan untuk dapat mengetahui kelompok indusri manakah yang berpengaruh terhadap kebjkan dividen. Data industry dummy didapat dari ICMD. Untuk memudahkan penelitian maka dibagi menjadi tujuh bagian. Variabel industry dummy dinilai 1 jika suatu perusahaan bergerak dibidang tertentu dan dinilai 0 jika sebaliknya.
HASIL PENELITIAN Statistik Deskriptif Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah 15 tahun pelitian. Kerangka sampel terdiri populasi perusahaan. Populasi tersebut terdiri dari 265 perusahaan yang
telah terdaftar di Jakarta Stock Exchange (JSX) pada tahun 2000. Tujuh puluh (70) dari populasi tersebut adalah perusahaan keuangan. Karena penelitian ini berfokus pada masalah reformasi tata kelola perusahaan dan implikasinya, maka dalam peneitian ini terdapat pengecualian, diantaranya 5 perusahaan yang hanya tercatat selama periode prareformasi (1993-1999) dan 10 perusahaan yang hanya tercatat pada tahun 2000, membawa sampel akhir ke 180 perusahaan.
Tabel 1 Descriptive Statistics variabel
Obs
mean
std.dev
min
max
div. per share
2656
81,39724
527,7338
0
15000
business gruop
2983
0,7308079 0,4436143
0
1
family control
2983
0,7499162 0,4331337
0
1
politic conection
2983
0,2457258 0,4305889
0
1
2983
0,4884345
0,49995
0
1
Profitability
2983
0,0147299
0,128206
-0,6753877
0,3748968
Likuidity
2656
3,469045
20,20958
-42,43176
557,6177
Growth
2935
0,1414332
0,441764
-6,069752
2,272817
firm size
2983
12,88781
1,682274
4,396915
18,06662
cash flow right & control right
Data olah 2012
Tabel diatas menyajikan laporan tentang data yang akan digunakan pada penelitian ini. Pada jumlah observasi untuk setiap variabel mengalami perbedaan, karena pada laporan yang digunakan untuk setiap perusahaan ada beberapa yang tidak mencantumkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Proxy kebijakan dividen yang dipakai adalah dividen per share (DPS) adapun governance variabel yang diteliti meliputi business group, family control, political connection,cash flow & control right ,likuidity, growth dan firm size. Untuk dividen per share mempunyai nilai maximal sebesar 15000, artinya besarnya pembagian untuk setiap lembar saham ke setiap pemilik saham sebesar 15000. Hampir semua variabel memiliki nilai rata – rata yang hampir sama, berbeda dengan variabel likuidty yang memiliki nilai rata- rata tinggi yaitu sebesar (20,20958) yang sangat jauh dengan nilai minimun (-42,43176) dan maximum (557,6177).
Regresi Panel
Penelitian ini menganalisa hubungan antara reformasi tata kelola perusahaan di Indonesia dengan mengkaji beberapa variabel kunci (business group, family control, political connection, divergence between cash flow and control right ) yang disebut – sebut sebagai fasilitator bagi pemegang saham mayoritas untuk menguntungkan diri sendiri melalui kebijakan dividen. Adapun data sampel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tahun 1995 – 2009. Untuk memudahkan penelitian data tersebut dibagi menjadi 2 periode, yaitu masa sebelum reformasi (pre reform) (1995-1999) dan setelah reformasi (pasca reform) (2001-2009) . Tahun 2000 dalam penelitian ini akan digunakan sebagai tahun normal dimana tahun tersebut sebagai acuan untuk menilai kebijakan dividen saat peralihan dari sebelum reformasi ke setelah reformasi tata keloa perusahaan.
Tabel 2 Random Effects Regression Models
Panel A
business group profitability likuidity growth firm size
Sebelum
Setelah
Reformasi -77,09429*** -4,02 183,1537*** 4,60 0,0093403 0,02 0,0697696 0,01 10,73869 1,92
Reformasi -220,9841*** -3,07 378,9704* 2,28 -0,2864902 -0,36 -6,81986 -0,18 12,35129 0,76
industri dummies N
Yes 901
Yes 1573
Sebelum Reformasi
Setelah Reformasi
-33,24098* -1,98 185,8645*** 4,64 0,0706751 0,15 0,267520 0,02 7,689079 1,36 Yes 901
-67,02025 -1,07 382,0278* 2,30 -0,1803771 -0,23 -2,180036 -0,06 6,846267 0,42 Yes 1573
Sebelum Reformasi -12,21673 -0,61 187,1966*** 4,67 0,0590152 0,13 0,0908207 0,01 7,323453 1,24 Yes 901
Setelah Reformasi -20,23001 -0,27 391,549* 2,35 -0,1622334 -0,21 -2,105133 -0,06 6,421386 0,38 Yes 1573
Panel B
cash flow & control right profitability likuidity growth firm size industri dummies N
Panel C
political connection profitability likuidity growth firm size industri dummies N
Panel D
family control profitability likuidity growth firm size industri dummies N
Sebelum Reformasi -88,11942*** -4,74 181,8055*** 4,59 0,0420418 0,09 4,640183 0,36 7,266971 1,34 Yes 901
Setelah reformasi -274,9658*** -3,88 350,1151* 2,11 -0,1225347 -0,16 -0,3449731 -0,01 5,941916 0,37 Yes 1573
t stastistic *p<0.05, **p<0.01, ***p<0.001
Tabel 2 menunjukan hasil dari regresi panel yang meliputi periode sebelum dan setelah reformasi tata kelola. Sejalan dengan penelitian sebelumnya (Sulistyowati et al,2011 ; Titman dan Wessel,1998) , untuk variabel kontrol profitability dan firm size memiliki pengaruh yang positif dan konsisten untuk periode sebelum dan sesudah reformasi terhadap kebijakan dividen sehingga dapat meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen kepada para pemegang saham. Penelitian ini juga menambahkan variabel industry dummy. Secara umum kelompok perusahaan yang bergerak di bidang manufacturing cenderung membagikan dividen yang lebih tinggi. Pada tabel 2 kolom satu dapat dilihat, secara umum sebelum reformasi para pemegang saham mayoritas menggunakan beberapa variabel kunci sebagai fasilitas untuk melakukan tindakan yang dapat menguntungkan secara pribadi. Semua variabel tata kelola perusahaan, kecuali political connection, mempunyai koefisien regresi negatif. Untuk variabel political connection secara statistik dapat dijelaskan bahwa untuk variabel ini mempunyai nilai koefisien sebesar -12.21637 dan didukung dengan probabilitas sebesar 0,54. Hal ini menunjukkan bahwa political connection tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Hal ini disebabkan data yang digunakan adalah Soeharto Dependency Index tahun 1995. Pada tahun 1998 terjadi pergantian kepemimpinan sehingga menyebabkan perbedaan struktur kepemilikan pada industri yang terkait dengan political connection pada masa itu. Variabel business group mempunyai nilai koefisien regresi sebesar -77,09429 dengan nilai t-test -4,02 (p-value sebesar 0,000) sehingga koefisien ini signifikan pada level 0,1 persen. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan yang tergabung dalam business group di Indonesia cenderung membayar dividen lebih rendah dibanding perusahaan yang tidak tergabung dalam business group.
Variabel family control
mempunyai koefisien regresi sebesar -88,11942 dengan nilai p-value sebesar 0,000 sedangkan divergence between cash flow and control right juga mempunyai koefisien regresi sebesar -33,24098 dengan nilai t-test -1,98. Maka berdasarkan hasil statistik diatas ketiga variabel tersebut berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Dengan melihat pengaruh dari ketiga variabel kunci diatas mengindikasikan bahwa pada periode sebelum dilakukannya reformasi tahun 2000 pemegang saham mayoritas menggunakan variabel kunci seperti yang disebutkan di atas untuk melakukan tindakan yang dapat menguntungkan secara pribadi melalui kebijakan dividen. Terdapat beberapa faktor pendorong bagi pemegang saham mayoritas untuk melakukan tindakan tersebut, salah satunya adalah rendahnya aturan hukum yang melindungi para pemegang saham minoritas yang berakibat pada besarnya pengendalian perusahaan oleh pemegang saham mayoritas tanpa terdeteksi oleh hukum (Johnson et al.,2000). Untuk negara berkembang tindakan yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas juga didukung dengan kepengurusan perusahaan yang masih terdapat hubungan keluarga serta keanggotaan dalam business group (Johnson et al.,2000). Keluarga beranggapan
bahwa
dengan
melibatkan
beberapa
anggota
keluarga
dalam
kepengurusan perusahaan akan mampu meningkatkan keefektifan kinerja perusahaan (Anderson dan Reeb, 2004). Selain itu pemegang saham pengendali yang memiliki control right atas perusahaan yang melebihi dari cash flow mereka menurut Claessens et al.(2000) juga mendukung dalam keanggotaan business group, pembayaran dividen yang lebih rendah dilakukan dengan alasan untuk menjaga laba perusahaan supaya tetap tinggi. Berdasarkan penjelasan diatas untuk periode sebelum reformasi yang tertulis pada tabel 2 kolom satu serta diperkuat dengan argumen Johnson et al (2000) dan Calessens et al (2000), maka dapat disimpulkan bahwa pada periode sebelum dilakukannya reformasi tahun 2000 banyak pemegang saham mayoritas menggunakan variabel kunci seperti yang disebutkan diatas untuk melakukan tindakan yang dapat menguntungkan secara pribadi. Untuk periode setelah reformasi secara keseluruhan seperti yang tertulis pada tabel 2 kolom dua menunjukan bahwa reformasi tata kelola perusahaan mempunyai pengaruh walaupun tidak terlalu kuat. Untuk variabel political connection menunjukan hasil yang tidak berbeda dengan periode sebelum dilakukannya reformasi yaitu tidak berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Pengaruh reformasi yang telah
dilakukan hanya terlihat pada variabel divergence between cash flow and control right. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2 menjelaskan, pada periode sebelum reformasi variabel ini berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Akan tetapi, pengaruh ini menjadi tidak muncul pada periode setelah reformasi. Hal ini terlihat dari tingkat koefisien sebesar -67,02025 didukung dengan probabilitas sebesar 0,286. Berbeda dengan kedua variabel diatas, variabel business group dan
family
control tidak mengalami perubahan walaupun telah dilakukan reformasi tata kelola perusahaan. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukan pengaruh
negatif terhadap kebijakan dividen. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang tergabung dalam business group dan berada dibawah family control masih melakukan tindakan yang dapat menguntungkan secara pribadi, terutama dalam pengambilan keputusan kebijakan dividen walaupun sudah dilakukan reformasi tata kelola perusahaan. Akan tetapi, ada juga kemungkinan kebijakan yang diambil oleh perusahaan yang tergabung dalam business group dan berada dibawah family control terkait kebijakan dividen yang diambil justru berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Khana dan Palepu (1997) menunjukkan bahwa pinjam meminjam antar perusahaan dalam satu group (i.e. internal capital market) dapat menimbulkan manfaat ekonomi ketika pembiayaan yang berasal dari luar terlalu mahal atau sulit. Apabila perusahaan yang tergabung dalam business group membayar dividen lebih rendah dan menggunakannya untuk investasi di perusahaan lain yang menguntungkan, tentu saja kebijakan ini dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kontrol keluarga juga dapat meningkatkan efektivitas kinerja perusahaan (Anderson dan Reeb, 2004). Keluarga lebih cenderung mempertahankan kontrol di perusahaan yang dimiliki. Apabila membutuhkan dana ekspansi, keluarga akan lebih cenderung memilih sumber dana yang tidak mengurangi kontrol keluarga, seperti hutang dan laba ditahan. Hal ini yang mungkin menyebabkan perusahaan yang dikontrol keluarga membayar dividen yang lebih rendah. Keinginan keluarga yang ingin mempertahankan kontrol lebih banyak didorong oleh private benefit of control. Menurut Holderness dan Sheehan (1988) private benefit of control dapat berdampak positif (ketika dipakai keluarga untuk mengontrol direksi supaya mengambil keputusan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan), tetapi juga dapat berdampak negatif (ketika kontrol dipakai untuk kepentingan keluarga atas biaya pemegang saham minoritas).
Dari hasil penelitian yang telah dijabarkan diatas maka dapat di simpulan bahwa, reformasi tata kelola perusahaan yang dilakukan pada tahun 2000 yang bertujuan untuk melindungi pemegang saham minoritas dan investor terutama terkait dengan kebijakan dividen yang diterapkan pada perusahaan mempunyai pengaruh walaupun indikasinya lemah. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harijono dan Tanewski (2010) serta Fitra (2012) yang menyatakan bahwa reformasi tata kelola perusahaan berhasil diterapkan pada operating performace dan kebijakan struktur modal. Namun untuk melihat apakah reformasi tata kelola perusahaan dapat diterapkan terhadap kebijakan dividen perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN Kesimpulan Sebelum dilakukannya reformasi, tiga variabel tata kelola kunci yaitu business group, family control, divergence between cash flow and control rights mempunyai pengaruh negatif yang terhadap kebijakan dividen. Pada periode ini pemegang saham mayoritas dapat menggunakan fasilitas tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat menguntungkan secara pribadi, yaitu dengan pembayaran dividen yang lebih rendah dari yang seharusnya diterima. Pada periode setelah reformasi, secara keseluruhan menunjukan bahwa reformasi yang dilakukan pada tahun 2000 mempunyai pengaruh walaupun indikasinya tidak terlalu kuat. Hanya pengaruh negatif divergence between cash flow and control right yang hilang setelah dilakukannya reformasi. Adapun pengaruh variabel business group
dan family control terhadap kebijakan dividen pada periode setelah reformasi tetap negatif.
Implikasi Teori Penelitian ini terutama difokuskan pada pengaruh reformasi tata kelola perusahaan yang disebut – sebut memfasilitasi pemegang saham mayoritas dalam mengambil keputusan terutama kebijakan dividen untuk kepetingan pribadi atas biaya yang ditanggungkan kepada pemegang saham minoritas. Beberapa variabel kunci (business group, family control, political conection, divergence between cash flow and control rights ) yang disebut - sebut sebagai fasilitator bagi pemegang saham mayoritas dalam melakukan kecurangan. Hasil penelitian pada periode sebelum reformasi sejalan pendapat Facio et al.(2000), La Porta et al.(2000) serta Johnson et al.(2000) bahwa reformasi yang dilakukan dinegara berkembang
tidak akan mencapai kesuksesan
karena hal ini di dorong dengan kepengurusan keluarga dalam perusahaan serta keanggotaan business group. Untuk periode setelah reformasi, sebagian hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harijono dan Tanewski (2010) serta Fitra (2012) yang menyatakan bahwa reformasi tata kelola perusahaan berhasil diterapkan pada operating performance dan kebijakan struktur modal.
Implikasi Terapan Walaupun hasil penelitian ini memberi indikasi adanya pengaruh reformasi tata kelola perusahaan, pengaruh pembayaran dividen yang lebih rendah untuk perusahaan yang berada dibawah family control dan termasuk dalam business group terhadap nilai perusahaan tidak dapat dipastikan. Ada argumentasi yang menyatakan bahwa kebijakan
ini berpengaruh negatif, tetapi ada yang juga berpendapat bahwa hal ini akan berpengaruh negatif. Untuk itu penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengambil kesimpulan akhir.
Keterbatasan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian untuk pengukuran variabel political connection masih menggunakan Soeharto Dependency Index tahun 1995, data ini masih kurang relevan karena pada tahun 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Untuk variabel family control dan business group masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di karena penelitian yang dihasilkan belum begitu kuat.
Saran Penelitian Mendatang Karena pada penelitian ini belum mendapatkan jawaban atas pengaruh reformasi tata kelola terhadap kebijakan dividen maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan kebijakan dividen. Selain itu sebaiknya untuk pengukuran variabel pada political connection sebaiknya menggunakan data Leuz yang dapat mengahasilkan data yang lebih relevan. Penambahan rentang waktu populasi lebih diperluas kembali sampai dengan tahun 2011 guna mendapatkan data yang lebih efektif bagi penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka Alijoyo, A., Bouma, E., Sutawinangun, M.N., and Kusadrianto, M.D., 2004. ‘Corporate governance in Indonesia’. Asian Development Bank Working Paper Series. Anderson, R.C. and D.M. Reeb .,2004, Board composition: Balancing family influence in S&P 500 firms, Administrative Science Quarterly, Vol. 49, No.2, pp.209-237. Capulong, M., Edward, D., Webb, D., and Zhuang, J. (eds), 2000. Corporate governance and finance in East Asia: A study of Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, Philippines and Thailand . Asian Development Bank: Manila. Claessens, S., S. Djankov, J.P.H., Fan and Lang, L.H.P.,2000, East Asian Corporation Heroes or Villains,World Bank Discussion Paper ;409 Claessens, S., S. Djankov, J.P.H., Fan and Lang, L.H.P., 2002. ‘Disentangling the incentive and entrenchment effects of large shareholdings’, Journal of Finance, Vol. 57, No. 6, pp. 2741-2771 Daniel, W.E., 2003. ‘Corporate governance in Indonesian listed companies – a legal transplantation problem’. Bond Law Review, 15, 344-375. Faccio Mara, Lang, L.H.P, Youg Leslie .,2000, Dividends and Exprorations, Forthcoming American Riview Fisman, D., 2001. ‘Estimating the value of political connection’. Economics Review, 91, 1095-1102.
37
American
Gie, Kian Kwik ,1993, Saya Bermimpi Jadi Konglomerat ,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta Harijono , Tanewski George, 2010, Legal Transplantation Work? The Case
of
Indonesia
Corporate
Governance
Reform
(tidak
dipublikasikan) Hatta, Jauhari Atika,2002, Faktor – Faktor yang Menpengaruhi kebijakan Dividen : Ivestigasi Pengaruh Teori Stakeholder, Jurnal Akuntansi dan Auditing (JAAI) volume 6 no.2 Desember 2002 Holderness, Clifford G., dan Dennis P. Sheehan. 1988. The Role ofMajority Shareholders in Publicly Held Corporations.Journal of Financial Economics 20: 317-46. Hsiao Cheng ,1986 , Analysis Panel Data Second Edition, The Press Syndicate of The University of Cambridge. Johnson,S.et al ,2000, Tunneling , The American Economic Review Vol. 90, No. 2, Papers and Proceedings of the One Hundred Twelfth Annual Meeting of the American Economic Association (May,2000), pp. 22- 27, American Economic Association Stable Kaihatu,Thomas.S,2006, Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia, Jurnal Menejemen dan Kewirausahaan vol.8 no.1 Maret 2006 :1-9 Khana ,T., Palepu K,1997, Is Group Affiliation Profitable in Emerging Markets? An Analysis of Diversified Indian Business Groups, Journal of finance, 55(2) ,867-891
38
La porta et.al, 2000, Agency Problems and Dividend Policies around the World , The Journal Of Finance• Vol. LV, No. 1 • February 2000 Morck, R. and Yeung, B., 2004. Family control and the rent-seeking society. Entrepreneurship Theory and Practice, 28(4), 293-315. Morck, R., Shleifer, A. and Vishny, R., 1988.
Management ownership and
market valuation: An empirical analysis . Journal of Financial Economics, 20, 293-315. Sulistyanto.S.H & Wibisono Haris, 2003, GOOD CORPORATE GOVERNANCE: Berhasilkah Diterapkan di Indonesia? , Jurnal Widya Warta, No.2 Tahun XXVI/Juli 2003. Sulistiyowati Indah, Anggraini Ratna, Utaminingtyas H T. ,2010, Pengaruh Profitabilitas, Leverage, dan Growth Terhadap Kebijakan Dividen dengan Good Corporate Governance sebagai Variabel Intervening, Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto 2010 Susan Irawati,2006, Menejemen Keuangan, Pustaka ,Bandung Sutoyo, Prasetio Eko Januar , Kusumaningrum Dian,2010, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Jasa Keuangan, Jurnal Keuangan dan Perbankan volume 15,No.1 Januari 2011 Titman, S. & R Wessel, 1988, The Determinants of Capital Structure Choice, Journal of Finance. Vol. 43
39
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/peran-akuntansi-dalam-corporate.html 10 september 2011
40