PENGANTAR REDAKSI Sebagai sebuah jurnal yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat, Kajian senantiasa berupaya menyuguhkan tulisan-tulisan yang aktual dan berkualitas, yang dapat memberi inspirasi dan sumbangan pikiran bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan. Pada edisi kali ini, Jurnal Kajian menampilkan beberapa tulisan, baik yang merupakan hasil penelitian maupun kajian atas sejumlah topik yang menarik dan relevan dengan kebutuhan Dewan. Tulisan pertama berjudul “Pembentukan dan Pengelolaan BUMD/Perusahaan Daerah (Di Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan)”, mengemukakan tentang kebijakan otonomi daerah yang memberi peluang bagi daerah untuk memiliki usaha dalam rangka meningkatkan PAD. Hasil penelitian menunjukkan, permasalahan utama yang muncul adalah, daerah tidak menelaah secara mendalam atas sektor usaha yang akan digarap. Implikasinya, banyak BUMD yang bermasalah dalam pengelolaan, walau ada juga BUMD yang cukup baik, tapi hal ini lebih karena didukung oleh adanya peraturan yang jelas. Tulisan kedua berjudul “Penegakan Hukum terhadap UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, merupakan hasil penelitian di Provinsi Bali, yaitu tentang penggunaan teknologi informasi yang mempunyai manfaat di satu sisi, dan mempunyai dampak negatif di sisi lain. Teknologi informasi dapat disalahgunakan, sehingga muncul apa yang disebut „cyber crime, atau „kejahatan dunia maya‟. Dari kasus-kasus cyber crime yang terdeteksi di dunia, paling banyak terjadi di Indonesia. Tulisan ini mengkaji bagaimana pemanfaatan teknoligi informasi dan bagaimana penegakan hukumnya. Tulisan ketiga berjudul “Aspek Hukum dan Sistem Pembiayaan dalam Pembangunan Rumah Susun di Indonesia”, merupakan sebuah kajian tentang rumah susun di Indonesia. Kajian ini mencakup masalah pertanahan, stakeholder, dan sistem pembiayaannya. Banyak hal penting terkait rumah susun yang dikemukakan dalam tulisan ini seperti masalah kelemahan-kelemahan akses, hak-hak managemen, pengembang, sanksi, kepemilikan oleh orang asing, dan lain-lain. Tulisan ini relevan dengan rencana Dewan untuk membuat Undang-Undang tentang Rumah Susun. Tulisan keempat berjudul “Urgensi Pembentukan UndangUndang tentang Transfer Dana dalam Perspetif Perlindungan Kepentingan Nasabah”, merupakan sebuah kajian tentang pentingnya melindungi nasabah dalam melakukan transfer dana. Alasannya, transfer dana merupakan salah stau bentuk transaksi penting, sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif dalam bentuk undang-undang, untuk menjamin kelancaran transfer dana dan melindungi nasabah. Tulisan kelima berjudul “Peran Tokoh Agama dalam Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat”, merupakan
1
tulisan hasil penelitian yang mengemukakan bagaimana para tokoh agama mempunyai peran penting dalam upaya menangani konflik yang terjadi di antara etnis Melayu dan Madura. Memang para tokoh agama tak serta merta menghentikan konflik, namun pada masa pasca konflik, mereka sangat aktif melakukan berbagai upaya perdamaian, di antaranya melalui dialog antar kedua etnis. Tulisan keenam berjudul “Pengelolaan Informasi Rahasia Terbatas pada Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat”, merupakan hasil penelitian yang ngemuakan tentang sulitnya Pemda Nusa Tenggara Barat untuk mengidentifikasi informasi dan pelaksaan tupoksi, apakah termasuk informasi publik atau informasi rahasia terbatas. Pengelolaan informasi rahasia terbatas terkait dengan perlindungan hak dan kebebasan orang lain, atau melindungi keamanan, persaingan tidak sehat, moral masyarakat di daerah, atau data pribadi dan kesehatan individu. Hal-hal ini perlu diatur dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tulisan ketujuh berjudul “Harapan atas Peran ASEAN InterParliamentary Assembly (AIPA) dalam Mendorong Berkembangnya Demokratisasi di Myanmar”, merupakan sebuah kajian tentang perlunya parlemen ASEAN mendorong demokratisasi di Myanmar yang berpuluh tahun tak kunjung damai. Tulisan ini mengemukakan tentang pentingnya diplomasi parlemen ASEAN dalam menciptakan perdamaian di Myanmar, serta bagaimana dan mengapa parlemen ASEAN perlu memainkan peranannya. Redaksi berharap, tulisan-tulian pada Jurnal Kajian edisi kali ini dapat memberi inspirasi serta menambah khasanah pengetahuan para anggota Dewan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Harapan lainnya adalah, agar tulisan-tulisan tersebut dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, serta memberi inspirasi dan referensi bagi penelitian dan kajian-kajian lebih lanjut.
Terima kasih Jakarta, Juni 2010
Redaksi Jurnal Kajian
2
PENGELOLAAN BUMD/PERUSAHAAN DAERAH DI PROVINSI SUMATERA BARAT, NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN Mandala Harefa
*)
Abstract Regional autonomy gives opportunity for provincial governments to create and own regional corporations (BUMD). The existence of the regional corporations can intentionally raise the original income (PAD) of the provincial governments. To meet this target, there is a crucial problem that must be immediately overcome in relation with business management of BUMD. Researches in three different provinces of West Sumatera, South Kalimantan and Nusa Tenggara Barat found that the source of the problem is lack of feasibility study on field of business of BUMD which have been chosen by the provincial governments. Kata kunci: BUMD, BPD, PDAM, Pengelolaan, Pemerintah Daerah I. Pendahuluan A.Latar Belakang Semenjak dilaksanakannya otonomi daerah, banyak daerah berkeinginan mendirikan BUMD. Tujuannya, agar BUMD menjadi lokomotif pembangunan di daerah. Peran BUMD demikian diharapkan guna mengelola berbagai potensi strategis yang ada di daerah, seperti. bidang pertambangan, kelautan, perikanan, kehutanan, agroindustri, perdagangan, dan sebagainya. BUMD tumbuh dengan cepat mengingat hal ini dimungkinkan dalam Undang-Undang. Hingga 2004, tercatat ada 1.174 BUMD dan perkirakan hingga kini mencapai 3 ribuan BUMD. Dengan semakin banyaknya BUMD itu, kalangan Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) pun demikian aktif memperjuangkan payung hukum BUMD, sehingga ada persamaan 1 pengaturan BUMD di seluruh Indonesia . RUU BUMD itu kini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2010. Berdasarkan laporan hasil studi Biro Analisa Keuangan Kementerian Keuangan tahun 1997 pada masa sebelum adanya otonomi daerah perkembangan BUMD secara kuantitatif tidak begitu pesat, yaitu *)
Penulis adalah Peneliti Bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Email:
[email protected]. 1 Lihat, http://www.usdrp-indonesia.org .
1
dari sejumlah 122 buah pada awal Pelita I hingga mencapai 651 buah pada tahun 1996. Menurut data BPS pada tahun 1996 terdapat sebanyak 611 buah BUMD. Namun saat ini jumlah BUMD yang ada di Indonesia, mencapai 3000an. Tetapi berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dari 1.174 BUMD yang terdaftar, yang kinerjanya sedikit baik tidak lebih dari 50 BUMD, itu pun lebih kepada Bank Pembangunan 2 Daerah (BPD) . Namun peningkatan jumlah BUMD ini kurang disertai dengan peningkatan pada sisi kualitasnya, yang antara lain dapat dilihat dari kemampuan BUMD dalam memobilisasi dan menghasilkan pendapatannya. Bila dlihat sumbangan Perusda atau BUMD, dampaknya belum menunjukkan hasil yang maksimal. Kondisi ini dapat dilihat dari kontribusi BUMD terhadap PAD per provinsi, yang terbesar adalah Sulawesi Tenggara (14,14%), kemudian menyusul berturut-turut Kalimantan Selatan (8,43%), Sulawesi Utara (5,15%), Bengkulu (4,93%), Nusa Tenggara Barat (4,25%), Sumatera Barat 2,81% dan seterusnya hingga 3 yang terkecil Jawa Timur (0,07%) . Pengelolaan BUMD atau Perusda memang masih dianggap salah satu bagian pendukung hanya untuk pelayanan, sehingga dalam mengelolanya tidak diurus secara profesional seperti layaknya sebuah perusahaan. Dalam era otonomi daerah, banyak provinsi dan kabupaten terutama yang baru dimekarkan yang membentuk perusahaan daerah, sebagai alasan untuk pelayanan masyarakat. Semua ketentuan tersebut tertuang dalam Undang–Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi menjadi Undang–Undang Nomor 12 tahun 2008 jelas tentang Perubahan Kedua tentang Pemerintahan Daerah mengharuskan pembentukan BUMD ditetapkan dengan sebuah perda. Lebih rinci, hal itu diatur secara tegas dalam pasal 177 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hal itu tentunya tidak dapat dihindari, namun seharusnya ada syarat yang harus dipenuhi, apakah benar pembentukan BUMD tersebut bagi kepentingan publik dan sekaligus dapat menjadi sumber pendapatan daerah? Perlu dipahami bahwa BUMD yang memiliki karakteristik yang berbeda juga harus mampu menerapkan manajemen profesional dengan pengembangan kultur yang sehat serta menghindari intervensi luar dari birokrasi atau campur tangan politisi. Dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa berdasarkan kategori sasarannya BUMD dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum dan perusahaan 2
“Pelaku BUMD Menanti UU BUMD” dalam http://www.businessreview.co.id/. Sumber data Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 1999/2000, dengan catatan pada Nota Keuangan tahun-tahun berikutnya tidak ada pos tentang penerimaan Bagian laba Perusahaan daerah secara tersendiri. 3
2
daerah untuk tujuan peningkatan penerimaan daerah dalam PAD. BUMD itu bergerak dalam berbagai bidang usaha, yaitu jasa keuangan dan perbankan (BPD dan Bank Pasar), pengangkutan penumpang dan berbagai jasa dan usaha produktif lainnya pada industri, perdagangan dan perhotelan, pertanian-perkebunan, perparkiran, percetakan, dan lainlain. Sedangkan BUMD atau sering disebut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) jasa air bersih (PDAM) atau Rumah Sakit Umum Daerah yang melayani kesehatan bagi masyarakat, merupakan cotoh BUMD yang fungsi utamanya melayani kepentingan umum.BUMD jenis yang berfungsi sebagai layanan publik, maka keuntungan bukan tujuan utama badan usaha ini didirikan, karena ada regulasi yang mengatur produk yang mereka jual tidak boleh melebihi kemampuan masyarakat. Sebenarnya harapan pemerintah daerah selain sebagai badan pelayanan publik, BUMD dimungkinkan pula sebagai sumber PAD. Namun, meski memiliki aset besar, pendapatan yang disetor ke kas daerah oleh BUMD ternyata masih kecil dan tidak sesuai harapan. Tuntutan kinerja tersebut menjadi keharusan karena selain dapat meningkatkan PAD, juga disebabkan tuntutan masyarakat terhadap tranparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik pada perusahaan daerah tersebut. Mengingat pentingnya peran BUMD khususnya sebagai pelayanan publik dan salah satu sumber PAD di Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya telah banyak dilakukan, namun karena berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya, khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Semenjak adanya kebebasan daerah dalam membentuk BUMD, ternyata menimbulkan permasalahan yang rumit. Beberapa BUMD yang dibentuk oleh daerah dalam beberapa tahun terakhir, semakin tidak jelas alasan pembentukan dan pengelolaannya. Beberapa BUMD belum berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan, bahkan sebagian kegiatan usaha utamanya (core business) belum jelas, apalagi untuk menyumbangkan peranannya dalam dalam memperoleh pendapatan. Pengelolaan BUMD menghadapi banyak kendala masalah modal, payung hukum, perizinan, sumber daya manusia, dan sebagainya. Banyak BUMD kondisinya diambang ketidakpastian terutama BUMD yang berkaitan untuk pelayanan publik. Melihat kondisi tersebut, beberapa pemerintah daerah seharusnya melakukan pembenahan dan evaluasi terhadap prusahaan daerah. Untuk melakukan evaluasi melibatkan konsultan guna melihat berbagai permasalahan dalam pengelolaan BUMD.Upaya pembenahan BUMD tidak terlepas dari desakan, untuk melakukan evaluasi terhadap BUMD 3
yang dinilai tidak produktif, pemborosan anggaran dan tidak layak. Hal ini tentunya dapat dilihat bagaimana kinerja BUMD yang harapan seperti pelayanan air minum, jasa keuangan serta memberikan sumbangan PAD dan terhadap perekonomian daerah. Hal ini bisa jadi BUMD yang didirikan tahun-tahun terakhir, hingga kini semakin tidak jelas keberadaannya. Bahkan sebagian kegiatan usahanya belum jelas. Kondisi ini terjadi karena regulasi dan dasar hukum yang tidak jelas, sehingga banyak BUMD yang dibentuk oleh pemda juga tidak memiliki tujuan yang jelas. Banyak BUMD yang bertujuan sebagai pelayanan publik kurang memberi manfaat bagi masyarakat di daerah. Kinerjanya tidak memadai, mengingat sejak awal pembentukannya tidak jelas dan tidak melalui analisa dari sisi: solvabilitas yakni, seberapa jauh kemampuan Perusda/BUMD menutup kewajiban jangka panjang. Kemudian rentabilitas yaitu untuk mengetahui sampai berapa besar kemampuan dalam memperoleh laba dan likuiditas yakni kemampuan Perusda/BUMD 4 dalam menutup atau memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek Dengan gambaran tersebut perlu dilakukan evaluasi kinerja terhadap BUMD agar pembentukan BUMD sesuai dengan tujuannya. Dalam evaluasi tersebut dilakukan pengkajian mengingat setiap BUMD memiliki karakteristik apakah jasa atau produknya merupakan kebutuhan publik atau privat. Mengingat masih banyaknya BUMD yang merugi dan tidak produktif maka perlu diambil langkah apakah perlu ditutup, dipertahankan atau diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Dengan melihat latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti di Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan adalah ; 1. Bagaimana kondisi BUMD yang telah dibentuk oleh pemerintah daerah pada Provinsi Sumbar, NTB dan Kalimantan Selatan, hambatan-hambatan apa yang dialami oleh pemerintah daerah dalam memajukannya? 2. Bagaimana pengelolaan dan pengembangan BUMD/ Perusda, apakah ada implikasi positif terhadap pelayanan masyarakat dan perekonomian di daerah ? 3. Bagaimana upaya pemerintah daerah terhadap BUMD tersebut dalam pengelolaan dan pengembangannya? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini ditujukan untuk: 1. Memperoleh informasi terakhir mengenai kondisi BUMD dan kinerja dalam pelayanan publik serta peranannya.
4
Peranan BUMD dalam Perekonomian Daerah, DR Made Suwandi MSoc.SC, Direktur Urusan Pemerintahan Daerah- Ditjen Otda-Depdagri, 6 Maret 2009
4
2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi pengelolaan sebagai upaya mengoptimalkan peran BUMD bagi perekonomian daerah dan pelayanan publik. 3. Mengetahui dan menganalisa kendal-kendala apa dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan BUMD di daerah di Provinsi Sumatera barat, NTB, dan Kalimantan Selatan. Temuan-temuan studi ini diharapkan dapat memberikan kebijakan alternatif bagi DPR RI dalam memecahkan permasalahan yang ada dalam proses pembuatan kebijakan atau regulasi yang berkaitan dengan pembentukan dan pengelolaan BUMD. D. Kerangka Pemikiran Bila membahas perusahaan daerah atau BUMD dengan dasar Undang–Undang Nomor 32 Tahun tentang Pemerintahan Daerah Pasal 177, pemerintah Daerah dapat memiliki BUMD dalam pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan. Pembentukan dan pendirian BUMD yang bergerak dalam berbagai bidang usaha, sesuai dengan kewenangan daerah, diharapkan mampu mendorong perekonomian daerah serta memberikan kontribusi terhadap PAD. Dasar hukum pembentukan BUMD yang rinci tidak dapat mengakomodasi kondisi sekarang, berdasarkan UU No 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang Undang ini kemudian diperkuat oleh UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Tujuan dibentuknya BUMD adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggara kemanfaatan umum, dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Berdasarkan kategori sasarannya secara lebih rinci, BUMD dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum yang bergerak di bidang jasa dan bidang usaha. Tetapi, jelas dari kedua sasaran tersebut tujuan pendirian BUMD adalah untuk meningkatkan PAD. Namun tetap harus memperhatikan karakteristik dan pemberdayaan potensi daerah dalam penyediaan lapangan kerja yang ada pada tiap daerah. Alasan yang sering dikemukakan dalam pembentukan badan usaha milik pemerintah adalah keberadaan sektor-sektor penting dalam perekonomian yang dinilai 5 strategis merupakan kepentingan bagi rakyat banyak . Kaitan yang diciptakan dalam sektor ini sangat berarti dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu, dalam upaya menjamin terlaksananya tanggung jawab sosial, maka pemerintah pada tingkat pusat dan daerah harus memiliki kendali, tidak mungkin memberikan pada pihak swasta baik nasional maupun asing. Selain itu, masih ada 5
”Peran dan Kinerja BUMD”, dalam www.hukumonline.com, 09 December 2009.
5
jenis usaha atau jasa yang memiliki karakteristik economies of scale yang besar sehingga kegiatannya harus dimonopoli. Terlebih bila jenis natural monopolies yang lazim di bidang public utilities, pemerintah biasanya mengelola langsung dari pada menyerahkan ke pihak swasta. Diharapkan pula keuntungan yang diperoleh akan dapat masuk sebagai 6 pendapatan ke kas pemerintah. Secara konseptual, BUMD didirikan atas dasar dualisme fungsi dan peranan, yang keduanya sangat sulit, jika tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dipadukan. Seperti BUMN, BUMD berperan dalam mengembangkan perekonomian daerah melalui peranannya sebagai institusi public service. Namun pada saat yang sama, BUMD juga diharapkan mampu menghasilkan laba dari usahanya selaku pelayan masyarakat. Secara implisit, BUMD dijadikan sumber dana APBD. Dalam ketentuan, BUMD diwajibkan menyetorkan bagian labanya sebagai dana pembangunan daerah dari laba bersih tahunan. PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan sekaligus 7 sumber dana pembangunan daerah. Demikian pula dalam kenyataanya, perbedaan antara barang publik dan privat tidak terlalu jelas, terutama ada dampak externalitas artinya konsumsi seseorang dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan untuk orang lain atau publik, hal ini terdapat pula dalam pelayanan kesehatan mengandung manfaat secara pribadi atau manfaat bagi publik 8 Sebuah konsep ekonomi dijelaskan , bahwa tarif atau harga barang atau layanan yang disediakan pemerintah hendaknya didasarkan pada biaya tambahan (marginal cost), yakni biaya untuk melayani pelanggan. Tarif atau harga yang tercipta dalam pasar persaingan, sebagian besar layanan pemerintah dari kedudukan monopoli, maka manfaat ekonomi untuk masyarakat atau publik akan paling tinggi jika pemerintah daerah menetapkan harga layanan bersangkutan seolah-olah ada pasar bersaing, dan memproduksi jasa itu di titik tempat biaya tambahan sama dengan penerimaan tambahaan (marginal revenue). Harga atau tarif tersebut akan menentukan tingkat permintaan sehingga sesuai dengan penawaran, serta menetapkan syarat dan sumberdaya yang diperlukan untuk memungkinkan penawaran dinaikkan sesuai permintaan. Namun pendekatan seperti itu bisa membuat permasalahan, yakni pertama, pemerintah daerah yang membentuk BUMD atau Perusda mungkin tidak mengetahui secara rinci biaya layanan bersangkutan untuk menghitung berapa biaya tambahan bagi layanan tersebut. Kedua, ada masalah apakah biaya tambahan dapat diukur dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang. Hal ini mengingat investasi kebutuhan pada 6
Jusmaliani,”Privatisasi: Antara Target dan Kesiapan”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP) XI (1) 2003, LIPI, hal 82-83. 7 http://ekojulianto.tripod.com/articles/bumd.htm “BUMD Potret Buram perusahaan Daerah”. 8 Nick Devas dan rekan-rekan, “Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, Bab III, hal 95 penerbit Universitas Indonesia, 1989.
6
sektor publik atau masyarakat baru akan dapat menghasilkan arus uang dalam jangka panjang, seperti perusahaan air minum, rumah sakit dan sebagainya. Ketiga, upaya menutup biaya melalui pungutan tersebut akan berdampak kenaikan harga atau tarif. Keempat, layanan yang disediakan pemerintah banyak yang bersifat campuran antara manfaat bagi publik atau masyarakat dan manfaat untuk kepentingan pribadi, seperti pelayanan kesehatan. Namun pada akhirnya adalah masalah pemerataan dan keadilan. Dari sudut pemerataan, umumnya orang kaya dianggap pantas membayar lebih besar dari pada orang miskin. Namun dari sudut keadilan, banyak pendapat yang mengatakan hanya mereka yang mendapat manfaat dari layanan bersangkutan yang seharusnya 9 ditarik bayaran dan membayar penuh. Bisa saja cara yang paling aman untuk menciptakan pendapatan daerah adalah dengan langsung memungut atau membebani mereka yang memanfaatkan pelayanan pemerintah seperti pelayanan air bersih, fasilitas parkir, taman rekreasi, kesehatan dan kegiatan lainnya. Publik sebenarnya menyukai pendekatan ini. Namun hal ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah memang lebih adil suatu sistim yang membebankan biaya pelayanan bagi mereka yang sanggup membayarnya? Sedangkan mereka yang tidak memanfaatkan tidak harus membayar? Biaya atau pungutan kepada pemakai tentu saja tidak selalu tepat. Biaya atau tarif akan dapat berlaku dalam kondisi, yakni jika pelayanan tersebut merupakan barang privat atau pribadi yang hanya menguntungkan bagi penggunannya10. Membahas kinerja BUMD pada tingkat Provinsi sebenarnya tidak berbeda dengan membahas BUMN pada tingkat pemerintahan pusat. Tujuan dari kedua bentuk usaha tersebut adalah selain untuk memperoleh sumber-sumber dana, juga sekaligus memberi pelayanan bagi masyarakat. Namun dalam pengelolaannya pencapaian target dan tujuan yang telah direncanakan sering terganggu oleh faktor eksternal dan internal. Dari segi faktor internal, seperti layaknya pengelolaan usaha dalam bentuk perum maupun persero tergantung dari aspek manajemen pada bidang keuangan, sumber daya manusia, manajemen, distribusi serta produksi, pengelolaan sarana dan prasarana dan unsurunsur lain yg ada di BUMD dalam mencapai tujuan. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana analisa pasar atau kebutuhan masyarakat terhadap suatu produk barang atau jasa, kompetisi atau persaingan yang ada, kemungkinan kemitraan atau kerja sama dalam upaya meningkatkan efisensi dan tentunya misi yang dibebankan oleh perusahaan. Yang membedakan BUMN dan BUMD adalah skala dari kegiatan usaha dan jangkauan pelayanan barang dan jasa bagi masyarakatnya. Persyaratan untuk sebuah perusahaan daerah
9
Ibid, hal 97. David Osborne dan Ted Gaebler,”Mewirausahakan Birokrasi : mentrasformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik”, Penerbit PPM, cetakan ke VIII Tahun 2005, hal.232 . 10
7
juga dikemukakan oleh Roy Bahl.11 Dalam pembentukan perusahaan daerah harus melalui berbagai pertimbangan agar dapat menentukan bidang atau sektor sesuai kebutuhan. Namun apapun bentuknya tentunya badan usaha yang dikelola pemerintah tersebut harus memiliki ukuran dalam pembentukannya dan menentukan kinerja dan tingkat keberhasilannya. Karena dalam mencapai kinerja dan tujuan yang diharapkan tentunya konsep suatu badan usaha yang dijalankan harus sesuai dengan ukuran-ukuran yang berlaku, seperti rentabilitasnya, solvabiltas dan likuiditas. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, kegiatan pelayanan atau penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat tetap akan mencampuradukkan antara kepentingan ekonomi dan sosial yang selama ini dibebankan kepada 12 perusahan pemerintah . Namun hal ini mengalami berbagai kendala dalam rangka mengkaji pembentukan BUMD, hal ini disebabkan antara lain: kurangnya keberanian para birokrat, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan BUMD untuk melaksanakan pengelolaan secara sungguhsungguh, hal ini disebabkan mereka selama ini memperoleh keuntungan dari BUMD tersebut ; Pembentukann BUMD cenderung dilakukan tidak transparan dan terbuka, akan tetapi pelaksanaanya banyak diwarnai dengan praktek KKN, sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu tanpa memperdulikan tujuan BUMD itu sendiri. Diagram: Konsep Pembentukan dan Pengelolaan BUMD Ekternalitas Tinggi Pembagian/jual Saham
Rendah Tingkat Efisiensi
Rendah Likuidasi
Tinggi Korporatisasi Rekayasa Ulang Penggabungan Dipertahankan/dikem bangkan
Sumber : Iman Rozani, 1997
Dengan demikian pembentukan dan pengelolaan BUMD harus melihat dua pegangan utama, yaitu aspek eksternalitas dan efisiensi. Eksternalitas yang dimaksud adalah manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh BUMD yang akan dinikmati oleh masyarakat luas atau publik. Sedangkan masalah efisiensi lebih menitikberatkan pada efisiensi teknis dalam lingkup internal perusahan pemerintah tersebut. Dengan berpedoman kepada kedua indikator tersebut kita akan dapat melihat karakteristik dari BUMD yang dibentuk. Implikasi dari karakteristik BUMD 11
Roy Bahl dan Barbara Miller (eds), “Local Government Finance in Third World: a case Study of The Philippines, New York Praeger 1979, hal 141. 12 DR. Made Suwandi, Msoc.SC, makalah “Peranan BUMD dalam Perekonomian Daerah” Dit-Jend Otda-Depdagri, April 2009.
8
tersebut akan berimplikasi pula pada bagaimana mengelola BUMD tesebut (Lihat tabel diagram) II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian lapangan adalah sebagai berikut: penelitian lapangan di Provinsi Sumatera Barat dilaksanakan pada tanggal 27 April sampai dengan 3 Mei 2009; penelitian lapangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dilaksanakan pada tanggal 10 sampai 17 Juli 2009; dan, penelitian lapangan di Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan pada tanggal 2 sampai dengan 9 Oktober 2009. Pemilihan ketiga provinsi tersebut untuk menggambarkan studi kasus yang dilihat dengan dasar perbedaan karakteristik dari sisi kemampuan perekonomian yang mewakili keterwakilan daerah di kawasan Indonesia barat, tengah dan timur. Berdasarkan data-data yang dipublikasikan akan menganalisis berbagai permasalahan dalam pembentukan dan pengelolaan BUMD. Pengumpulan data penelitian telah dilakukan ke sejumlah BUMD yang ada di provinsi Sumatera Barat, Provinsi NTB, dan Provinsi Kalimantan Selatan seperti, 1) Bank Pembangunan Daerah, 2) Perusahaan Daerah Air Minum, 3) Perusahaan Daerah dan BUMD lainnya yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Selain itu juga dilakukan wawancara ke lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam membentuk dan mengawasi BUMD yakni pemerintahan daerah, seperti Dispenda, Bappeda, Dinas Perekonomian dan DPRD. B. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini metodologi yang digunakan meliputi pengumpulan data sebagai bahan analisis terlebih dahulu dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku, jurnal penelitian yang sesuai topik peneltian, karangan ilmiah serta dokumen yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Selain itu dilakukan focuss group discussion (FGD) bersama peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri dalam membahas perkembangan dan permasalahan topik penelitian mengenai pengelolaan Perusahaan Daerah dan BUMD dengan terlebih dahulu menelaah hasil-hasil penelitian dan kajian yang telah dilakukan serta menggali informasi baik dari koran pusat dan daerah. C. Metode Analisis
9
Selain menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif, penelitian ini didukung pula dengan analisis terhadap data-data yang diolah yang diperoleh dari lembaga-lembaga terkait. Selanjutnya, hasil wawancara yang mendalam dan data-data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif, yakni menjelaskan hasil temuan-temuan dan menganalisis dengan menggunakan teori-teori dan metode analisa yang telah dikemukakan. Data primer diperoleh melalui dengan wawancara terhadap para informan. Informan yang dimaksud adalah pejabat di instansi terkait dan jajaran dari BUMD. Instansi yang dimaksud adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Biro Perekonomian, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Biro Pusat Statistik (BPS), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Perusahaan Daerah atau BUMD dan Perusahaan Terbatas (Perseroan). Sedangkan data sekunder berasal dari literatur dan sumber lainnya seperti surat kabar, majalah dan internet. Selain itu juga dilakukan studi literatur yang dipergunakan untuk memperluas pemahaman serta mendukung analisis. III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan A. Gambaran Umum 1. Provinsi Sumatera Barat Studi yang dilakukan di Provinsi Sumatera Barat mengkaji BUMD atau Perusda yang berada kota Padang dan Bukittinggi Ada beberapa BUMD yang dimiliki oleh Pemprov dan Pemkot antara lain BUMD di bawah Pemprov Sumbar adalah PT Bank Nagari (Bank Pembangunan Daerah/BPD Sumbar), PT Dinamika, PT Grafika dibawah naungan PT Andalas Tuah Sakato, dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Penelitian ini tidak mengungkapkan secara rinci berapa sumbangan BUMD-BUMD itu terhadap pendapatan daerah Sumbar. PT Grafika Jaya Sumbar yang merupakan BUMD yang didirikan oleh pemerintah Provinsi Sumbar, dasar pembentukannya adalah Peraturan Daerah Sumatera barat tanggal 8 Oktober 2007 (Perda No. 14 Tahun 2007 dengan bidang usaha yaitu percetakan, supplier dan leveransir peralatan kantor dan perdagangan umum Modal PT Grafika Jaya Sumbar berasal dari aset Divisi Grafika, setoran modal dari pemerintah daerah provinsi Sumatera Barat serta setoran dari koperasi karyawan Grafika Padang (eks. Divisi Grafika PT Andalas Tuah Sakato). Kegiatan PT tersebut memperoleh proyek percetakan sekitar 90% dari Pemda. Dan para pengelola pada tingkat Direksi banyak yang berasal 13 dari pejabat pemda Artinya kegiatan bisnis yang dijalankan tidak terlalu 13
Hasil wawancara dengan Drs H. Moechlis Avis Diretur Utama PT Grafika Jaya Sumbar,
10
mengalami kesulitan dalam menjalankan perusahaan selama kegiatan ada anggaran pemda dalam kegiatan tersebut, walaupun ada upaya dari PT tersebut untuk memperluas kegiatan dengan mengikuti tender dalam proyek percetakan di luar Sumatera barat. Namun yang menarik adalah pembentukan BUMD pengelola Gedung Mess Sumbar yang berlokasi Jakarta. Pembahasan rancangan Perda pembentukan BUMD pengelola mess Sumbar di DPRD telah memasuki tahap ke 3. Dalam rancangan Perda itu disepakati nama BUMD yang akan dibentuk adalah PT Balaurung Citra Jaya Sumatra 14 Barat. Pembangunan gedung mess berlantai 13 pada areal seluas 1.708 meter persegi itu membutuhkan dana mencapai Rp151,65 miliar. Dana berasal dari patungan antara Pemerintah Provinsi bersama pemerintah daerah 19 Kabupaten/Kota di Sumbar yang dianggarkan dengan alokasi APBD masing-masing melalui kontrak tahun jamak (2007 dan 2009). Selain itu, dana pembangunan sebesar Rp151,67 miliar itu dicatat sebagai modal disetor dari Pemerintah Provinsi bersama 15 pemerintah daerah 19 Kabupaten/Kota di Sumbar Salah satu BUMD yang memiliki karakteristik berbeda adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), karena memiliki kewajiban untuk publik dan disisi lain harus memberikan kontribusi bagi pemda. Secara umum ada beberapa permasalahan yang dihadapi PDAM wilayah Sumbar, yaitu masih rendahnya capaian kinerja, tingginya tingkat kebocoran, terbelit hutang/pinjaman jangka panjang yang membebani beban operasional PDAM, rendahnya tarif, rendahnya perhatian Pemda kepada PDAM serta sulitnya mencari dana investasi untuk penyehatan PDAM. Kondisi tersebut tidak terlepas dari lemahnya pengelolaan PDAM baik dari sisi manejerial, sumber daya dan finansial, serta belum optimalnya kemauan politik Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). PDAM Kota Padang yang dibentuk sejak tahun 1974, yang didirikan berdasarkan perda Kotamadya Padang Nomor 05/P.D/ 1974. Tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum Tingkat II Padang. Pasal 5 Perda nomor 05 Tahun 1974 Kotamadya Padang. Kendala utama yang harus dihadapi PDAM Kota Padang terutama upaya memperbarui infrastuktur pipa yang membutuhkan investasi yang besar. Akibatnya tingkat kebocoran penyaluran air semakin meningkat, sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak maksimal. Menaikkan tarif untuk menutup biaya opersional membutuhkan prosedur birokrasi dan 16 politik melalui DPRD.
29 April 2009 Hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Barat. DR. Bambang Istijono, ME Tanggal 28 April 2009. 15 Hasil wawancara dengan Pejabat dari Biro Perekonomian Provinsi Sumbar Tanggal 28 April 2009. 16 Hasil wawancara dengan Direktur UMUM PDAM Kota Padang pada tanggal 30 April 2009 Kota Padang 14
11
PDAM Kota Bukittinggi yang dibentuk memiliki tugas yang sama untuk sosial sekaligus pendapatan. Masalah yang dihadapi selain kekurangan sumber air seperti yang terjadi di Kota Padang juga ketidakmampuan penyediaan air oleh PDAM. Kurangnya modal untuk meningkatkan kapasitas mesin penyedot air disebut-sebut menjadi satu kendala dalam pelayanan. Permasalahan non teknis yang menjadi permasalahan pada era otonomi daerah, antara lain, timbulnya konflik dengan Kabupaten Agam perihal penggunaan air untuk keperluan PAM. Kabupaten Agam, mengancam menghentikan aliran air untuk keperluan PAM kota Bukittinggi kalau tidak memberikan retribusi/sumbangan kepada mereka. Kondisi pipa atau infrastruktur jaringan pasokan air bersih PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di Bukittinggi hanya sekitar 48 persen dari yang ideal. Ini menyebabkan pelayanan PDAM Bukittinggi kepada masyarakat menurun dari 39 persen menjadi 29 17 persen . Pengelolaan BUMD yang cukup baik adalah PT Bank Nagari yang merupakan salah satu perusahaan daerah yang sukses, walaupun masih menghadapi berbagai tantangan. Para pengelola PT Bank Nagari yang didominasi oleh para bankir yang berkarir pada bank tersebut tanggap menghadapi perubahan. Dalam rangka mengantisipasi era globalisasi dan perdagangan bebas, Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat sebagai alat otonomi daerah dirasa perlu meningkatkan kemampuan berkompetitif antara sesama Bank Devisa dengan cara memperluas daerah operasi ke luar daerah Sumatera Barat. Dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 2 Tahun 1996 yang isinya antara lain tentang perubahan penyebutan/nama Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat diubah menjadi Bank Nagari. Selain itu juga dilakukan peningkatan modal dasar dari Rp 50 miliar menjadi Rp 150 miliar. Bahkan Bank Nagari telah memiliki beberapa cabang di luar Sumatera Barat bahkan Jakarta dan telah mendapat penilaian bank yang memiliki predikat sangat bagus dalam sepuluh 18 tahun terakhir. Walaupun telah mengikuti regulasi dan pengelolaan yang profesional ternyata tidak dapat lepas secara total dari campur tangan intervensi karena saham mayoritas dikuasai oleh pemda. 2. Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meliputi satu Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi, dua Pemda Kota, dan tujuh Pemda Kabupaten. Di wilayah Provinsi NTB terdapat 56 BUMD, yaitu satu PT Bank NTB, enam PDAM, dan 49 Perusahaan Daerah (PD). Selain itu ada lagi perusda yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi NTB, yakni 17
Hasil wawancara dengan Direktur UMUM PDAM Kota Bukittinggi pada tanggal 29 April 2009 Hasil Wawancara dengan Direktur Perencanaan PT Bank Nagari pada tanggal 30 April 2009. 18
12
Perusahaan Daerah Wisaya Yasa sebagai badan hukum publik yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 18 Tahun 1994. Namun karena berbagai faktor dan kendala yang dihadapi baik secara internal maupun eksternal PD. Wisaya Yasa, tidak dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan dimaksud sebagaimana mestinya sehingga menjadi beban dan tanggungan daerah. Berdasarkan. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No 2 Tahun 2006 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum dan nama PD Wisaya Yasa menjadi Perseroan Terbatas (PT) Gerbang Emas. Dalam perkembangan terakhir Pemda NTB juga akan membentuk PT Daerah Maju Bersaing (DMB) guna mengakuisisi sebagian saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ada tiga pemerintah daerah di NTB yang menjadi pemegang saham yakni Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemerintah Kabupaten Sumbawa, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa 19 Barat. Namun dari informasi yang diperoleh pemerintah provinsi tidak ikut mengelola, tapi hanya memiliki saham. Sementara itu, Provinsi NTB memiliki tujuh PDAM yang tergabung dalam DPD Perpamsi NTB. Namun dewasa ini baru memiliki sekitar 90.000 sambungan rumah. Untuk penduduk sebanyak 3 juta di Provinsi NTB cakupan pelayanan PDAM masih tergolong rendah. Untuk PDAM Menang Mataram juga mengalami konflik setelah adanya pemekaran wilayah. Akibatnya terjadi perebutan aset antara pemerintah kota dan Kabupaten. Namun konflik tersebut dapat diselesaikan melalui kespakatan bersama melalu pengelolaan bersama PDAM tersebut. Namun konsekuensinya organisasi PDAM menjadi lebih besar, karena dari jajaran kepengurusan ada perwakilan masing-masing tingkat 20 pemerintahan. Dalam penetapan tariff sama halnya dengan PDAM lainnya, dimana PDAM memiliki dua fungsi yakni ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tarifnya pun harus mempertimbangkan aspek pelayanan sosial. Sebagai misal, biaya produksi dari PDAM adalah Rp. 800 rupiah/m3, namun harga jualnya hanya Rp. 600/m3, sehingga PDAM masih merugi dalam penentuan harganya. BUMD lain yang dimiliki penda NTB adalah Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat (BPD NTB), yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat No.6 Tahun 1963 tentang Pendirian Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat No.6 Tahun 1963 tentang Pendirian Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat beserta beberapa perubahannya, disempurnakan dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat No.8 Tahun 1984 tentang Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat. Terakhir diubah dengan Peraturan Daerah No.1 tahun 1993 tentang Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat. 19
Hasil wawancara dengan Pejabat Bappeda dan Dinas Pertambangan Provinsi NTB, 14 Juli 2009 20 Hasil wawancara dengan jajaran Direksi PDAM Menang Mataram, 16 Juli 2009
13
Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat No.7 Tahun 1999 tentang Perubahan Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat tanggal 19 Maret 1999 dan telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat No.5 tanggal 21 April 1999. Dalam pengelolaan kini telah mengalami perubahan melakukan perbaikan budaya kerja perusahaan dengan membangun pelayanan prima, mempertajam implementasi budaya perusahaan yang diharapkan akan meningkatkan berbagai budaya `sales and risk` serta meningkatkan disiplin dan etos kerja pegawai. Ada tantangan dari para politisi DPRD agar jajaran direksi merupakan putra daerah. Namun Gubernur NTB menginginkan merekrut jajaran direksi 21 dari bankir profesional. Hal ini tentu situasi yang menarik dan kondusif dalam pengelolaan BUMD bila pimpinan daerah memiliki visi yang baik dalam implementasi `Good Coorporate Governance` (GCG). 3. Provinsi Kalimantan Selatan Studi kasus BUMD di Provinsi Kalimantan Selatan, dilakukan terhadap BUMD yang ada di Kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memiliki tiga BUMD yang berstatus perusahaan daerah, yakni PD Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan, PD Bangun Banua dan PDAM Kota Banjarmasin dan Barito Kuala. Melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk Perusahaan Daerah Bangun Banua (PDBB). Diharapkan Perusda ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan di daerah dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Penyertaan modal Pemprov Kalsel cukup besar, yakni mencapai Rp 8 miliar, Namun yang pasti setoran PD BB yang dimintakan Rp1 miliar pada tahun 2008, tidak melebihi target. PD Bangun Banua merupakan perusahaan yang bergerak dalam bisnis konsultan, jasa penjualan tanah dan pengerukan sungai serta Hotel Batung Batulis, baik yang beroperasi di Banjarmasin maupun yang di Banjarbaru. Kondisi yang kurang sehat di PD Bangun Banua ini mencerminkan kondisi internal di perusahaan tersebut, seperti aset-aset, banyak yang tidak terdata secara baik sebagaimana layaknya 22 perusahaan. Pada sektor jasa keuangan Provinsi Kalsel memiliki Bank BPD Kalsel yang didirikan pada tanggal 25 Maret tahun 1964,. Adapun dasar pendiriannya adalah Peraturan Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor 4 tahun 1964, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 21 22
Hasil wawancara dengan Dewan Komisaris PT Bank NTB, Tanggal 13 Juli 2009. Hasil wawancara dengan Direksi PD Bangun Banua, tanggal 6 Oktober 2009.
14
tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Dalam perkembangannya telah terjadi beberapa kali penyesuaian terhadap Peraturan Daerah yang digunakan untuk menyikapi beberapa perubahan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan. Saat ini, landasan hukum pendirian Bank BPD Kalsel adalah Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan Nomor 11 Tahun 2008. Bank BPD Kalsel dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan dan seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Propinsi Kalimantan 23 Selatan . PD BPD Kalsel termasuk salah satu Bank Pembangunan Daerah yang belum berbentuk PT, sehingga BPD tersebut belum dapat disebut sebagi bank devisa dan belum dapat melakukan transaksi tranfer dana valuta asing antar bank. Peraturan Daerah (Perda) Kalsel Nomor 16 Tahun 2003 tentang BPD Kalsel tidak sesuai lagi dengan kondisi perkembangan perekonomian Kalsel yang terjadi belakangan ini. Apalagi dikaitkan dengan Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance . PDAM Bandarmasin sebagai BUMD untuk sektor pelayanan publik dibentuk Berdasarkan Peraturan Daerah TK. II Banjarmasin No. 12 tahun 1976, Perusahaan Daerah Air Minum Kotamadya Banjarmasin berubah menjadi Perusahaan Daerah Air Minum Bandarmasin Kotamadya Dati II Banjarmasin. Kemampuan PDAM Kota Banjarmasin untuk melakukan pengembangan wilayah pelayanan dalam 5 tahun ke depan masih berpotensi cukup besar dari ketersediaan fasilitas sistem produksi dan distribusi yang dimiliki. Hanya saja untuk percepatan pembangunan masih memerlukan dukungan berbagai pihak, salah satunya dukungan terhadap program penyesuaian tarif yang sudah berlangsung selama 4 tahun. Namun demikian tingginya beban biaya operasional perusahaan mengakibatkan pengembalian hutang jangka panjang tidak dapat berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan, walaupun dari segi keuangan sudah baik. Jumlah utang dua perusahaan daerah air minum (PDAM) di Kalimantan Selatan (Kalsel) kepada pemerintah sebesar Rp142 miliar.Kedua perusahaan yang utang sebesar itu adalah PDAM Bandarmasin di Kota Banjarmasin dan PDAM Intan di kabupaten Banjar. Hingga kini kedua perusahaan masih menunggu realisasi 24 penghapusan atau pemutihan utang dari pemerintah. Namun permasalahan utama PDAM baik yang ada di Kota Banjarmasin maupun di Kabupaten Barito Kuala adalah sangat buruknya sumber air. Kondisi tersebut mengakibatkan semakin besarnya biaya proses air yang berasal dari Sungai Barito untuk layak digunakan oleh masyarakat umum. Terlebih pada saat kemarau yang menyebabkan terjadinya intrusi air laut pada air sungai yang merupakan sumber air baku PDAM di wilayah Kalimantan Selatan. Dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Barito Kuala, hingga saat ini baru 8 kecamatan yang bisa 23 24
Laporan Tahunan PD Bank Kalsel Tahun 2008. Hasil wawancara dengan Direktur PDAM Bandarmasih, Kalsel, tanggal 5 Oktober 2009.
15
dilayani jaringan air bersih yang diproduksi PDAM Barito Kuala (Batola). Sedangkan 9 kecamatan lainnya, masih belum bisa menikmati layanan air bersih tersebut. Masih terbatasnya layanan air bersih tersebut, karena tingginya biaya, rendahnya kualitas air baku menurunnya kemampuan sistem yang ada, terbatasnya sarana dan prasarana, serta sulitnya pendanaan investasi, pengembangan jaringan distribusinya, karena jarak instalasi pengolahan air PDAM dengan rumah konsumen sangat jauh sehingga semakin besar biaya penyaluran air 25. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa BUMD yang berbentuk Perusahaan daerah dan PT memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini tergantung dari kondisi daerah dan pimpinan daerah dan pimpinan BUMD yang mengelola. Terlebih PDAM yang memiliki karakteristik sebagai pelayanan masyarakat untuk kebutuhan utama akan sangat sulit pengelolaannya, karena berbagai permasalahan yang dihadapi masing-masing PDAM. B. Analisis Bentuk Dan Penegelolaan BUMD Secara umum bila dibuat pembandingan pengelolaan atau manajemen antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di antara keduanya. Pertama, masalah pengelolaan yang tidak efisien. Dari jenis dan karakteristik BUMD pada tiga provinsi tersebut ditemukan bahwa pada umumnya berada dalam kondisi yang sangat tidak sehat, dengan segala permasalahan dan kendalanya. Terjadi pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian yang cukup. Seringkali keputusan-keputusan manajerial yang berkaitan dengan investasi baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidak profesionalan para pengelola BUMD tersebut. Disamping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan jaman. Kebanyakan BUMD beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya sampai saat ini sudah puluhan tahun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari mesin tua tersebut. Selain itu, pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di beberapa daerah juga dirasakan belum optimal dan efisien, sehingga banyak BUMD yang belum dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan bahkan membebani APBD. Hal itu terbukti ketika alokasi dana APBD untuk pengelolaan BUMD jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari BUMD. Keberadaan 26 BUMD juga belum dipayungi dengan dasar hukum yang kuat . BUMD 25
Hasil wawancara dengan Direksi PDAM Barito Kuala Kalsel 6 Oktober 2009. www.bappenas.go.id” Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah” Bab 13 hal 5 26
16
tersebut adalah sektor perbankan seperti BPD Bank Nagari yang dapat bersaing dan berkembang dengan memiliki beberapa cabang di luar Sumatera Barat mengingat operasional kegiatan tersebut harus mematuhi regulasi bidang perbankan dan perseroan terbatas. Hal ini tentunya memaksa pengelolaan BUMD tersebut harus mematuhi ketentuan yang berlaku. Kedua, masalah intervensi birokrasi dan politisi yang ada di DPRD. Bila saat ini banyak BUMD yang sulit berkembang dan akhirnya tutup, salah satu penyebabnya adalah pembentukan yang tidak didahului studi kelayakan dan terencana, karena besarnya campur tangan dalam pengelolaan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah dan DPRD. Kendalanya, respon pemerintah seringkali, bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi. Pemerintah akan selalu "mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan keputusan "ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian. Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMDBUMD di wilayahnya. Pemerintah daerah biasanya membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang bisnis sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya perusahaan daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendirisendiri. Hal ini termasuk juga peranan DPRD sebagai perangkat pemerintahan daerah yang ikut pula menjadi pengawas dan bahkan menentukan masalah-masalah teknis yang tentunya mengganggu pengelolaan BUMD. 1. Pengelolaan BPD Secara spesifik hasil analisa temuan dari 3 Provinsi Sumbar, NTB dan Kalsel dapat dilihat dari pembentukan dan pengelolaan dari contoh model usaha yang dilakukan oleh pemda terkait Yakni BPD, PDAM dan Perusahaan yang bergerak di sektor perdagangan, percetakan atau konsultan. Berkaitan dengan BUMD, Dinas pengelolaan keuangan daerah masih menghadapi kendala dalam rangka penambahan modal bagi BUMD atau Perusda. Tidak ada regulasi secara 17
tegas dalam peraturan daerah (Perda) mengenai jumlah anggaran yang diberikan untuk penyertaan modal. Misalkan adanya penyertaan modal 100 miliar sesuai ketentuan UU Perseroan terbatas, ada ketentuan setoran awal diserahkan 25% setelah dipenuhi, namun penambahan selanjutnya harus dikeluarkan juga melalui peraturan daerah. Atau sebaliknya usulan diajukan terlebih dahulu ke DPRD, baru kemudian dibuat Perdanya, hal mana tentu akan menjadi masalah lagi. BUMD ada yang berbentuk perusahaan daerah dan Perseroan Terbatas (PT). Dalam aturannya bila perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas BUMD dibentuk melalui perda. Kendalanya adalah ada pembentukan perusahaan daerah tidak merujuk peraturan tertentu, misalkan BPD di Provinsi Sumbar dan NTB telah berbentuk PT, sehingga aturan mainnya harus mengikuti UU perseroan Terbatas dan tentunya undang-undang tentang perbankan dalam pengelolaannya, sehingga mau tidak mau manajemennya harus mengikuti pola pengelolaan perbankan atau perusahaan pada umumnya. Sebuah perkecualian adalah BPD Sumbar yang lebih dikenal dengan Bank Nagari. Walaupun tugas utamanya masih merupakan tempat atau kasir keuangan pemda, namun telah mampu mendirikan cabang-cabang di luar Provinsi Sumbar, bahkan sampai di Jakarta Demikian pula BPD NTT sangat maju dalam hal pemilihan para direktur utamanya, dengan merekrut dari bankir yang telah berpengalaman. Namun demikian, permasalahan umum yang dialami oleh BPD, juga dialami oleh BUMD dalam pengelolaan, banyak terganggu oleh kepentingan pemda dan tentunya DPRD setempat yang sangat keberatan dengan pengangkatan Direksi yang bukan berasal dari NTB, padahal yang diangkat adalah bankir yang memiliki pengalaman dan tentunya profesional dalam pengelolaan perbankan. Hal ini juga ditegaskan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), TGH M Zainul Majdi mengatakan, selaku pemegang saham mayoritas pihaknya tidak akan mengintervensi hal-hal yang menyangkut kebijakan operasioanal PT Bank NTB, kecuali hal-hal yang terkait dengan peran bank tersebut 27 dalam mendukung pembangunan di daerah ini. Namun berbeda dengan BPD Kalsel ternyata dari seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dikelola Pemprov di Indonesia, hanya tinggal 2 BPD salah satunya BPD Kalsel yang belum mengubah statusnya, dari Perusda ke Perseroan Terbatas (PT). Kondisi ini dapat dilihat kualitas profesionalisme para karyawan BPD kalsel yang tidak terbuka dan sangat sulit dimintai informasi menganai kinerja BPD kalsel. Selain itu dalam masalah pembagian divisi tugas dalam BPD kalsel tidak jelas pembagian tugasnya. Hal ini disebabkan, BPD kalsel belum merubah status dari bentuk perusahaan daerah (PD) menjadi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Padahal dengan dengan perubahan status dari PD menjadi PT, selain terkesan lebih profesioanl juga bisa lebih bebas 27
http://beritadaerah.com/news “Gubernur Tidak Akan Intervensi Bank NTB” Sabtu, 7 November 2009.
18
bergerak mengembangkan usaha untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dan pada gilirannya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Namun permasalahan profesioanal sangat sulit dilakukan perubahan, mengingat para direksi dan karyawan telah merasa nyaman dengan kondisi yang ada sekarang. 2. Pengelolaan PDAM Bila kita mengkaji permasalahan Perusahaan daerah Air Minum, hampir seluruh PDAM mengalami permasalahan yang serupa. Dari PDAM Kota Padang, dalam proses bila pemda hendak menambahkan penyertaan modal harus melalui mekanisme persetujuan DPRD. Demikian pula misalnya PDAM yang sejak pembentukannya telah ditetapkan berapa modal yang disetor. Namun kendala yang dihadapi adalah di daerah tidak memiliki modal yang sekaligus cukup pada awal pembentukan BUMD atau perusahaan daerah, terlebih yang berkaitan dengan masalah infrastukur PDAM yang menelan biaya yang cukup besar dalam memperluas pelayanan melalui pipanisasi. PDAM Bukittinggi, Sumbar dan Batola, Kalsel, misalnya, terkendala dalam pembangunan pipa guna menyedot air dari sumber yang cukup jauh dan menyalurkannya untuk menjangkau wilayah yang luas. Dapat dipahami kondisi seperti ini menyebabkan harga air PDAM menjadi mahal. Demikian pula dengan PDAM Banjarmasin, Kota Banjarmasin yang menghadapi kendala sumber air yang tidak memadai, dan harus mengambil sumber air dari kabupaten lain. Demikian pula adanya konflik antara Kota dan Kabupaten, dimana sumber air berasal dari daerah lain, sehingga PDAM bersangkutan harus mengeluarkan biaya tambahan seperti yang dialami PDAM Bukittinggi, PDAM Menang-Mataram dan Batola. Dari hasil temuan di lapangan permasalahan umum dalam pengelolaan PDAM adalah sebagai berikut: Cakupan Pelayanan rendah, tingkat kebocoran air tinggi, tingkat penagihan piutang rendah. Selain itu komponen biaya produksi tinggi, tarif yang belum menutupi biaya produksi, hutang yang sangat besar, inefisiensi tenaga kerja, kebijakan investasi untuk infrastuktur kurang terarah dan campur tangan Pemda & DPRD terlalu besar dalam pengambilan kebijakan. Selain itu permasalahan yang muncul setelah otonomi daerah adalah konflik antara pemkot dan kabupaten, terlebih setelah adanya pemekaran wilayah. Kondisi di atas menggambarkan bahwa sebagian besar permasalahan PDAM berasal dari masalah manajemen dan operasional, sedangkan hal lain yaitu mengenai hutang yang cukup besar. Usaha penyehatan PDAM yang bersifat menyeluruh harus dilakukan guna mendapatkan hasil yang optimal bagi PDAM, karena jika perbaikan dilakukan secara parsial akan memberikan dampak yang kurang signifikan pada tingkat kesehatan PDAM.
19
3. Pengelolaan BUMD /Perusda lainnya Dari hasil temuan BUMD atau Perusda yang ada pada tiga daerah tersebut pembentukannya nampaknya dari sektor usaha bergerak dalam bidang usaha perdagangan, percetakan atau sebagai broker kebutuhan pemda bersangkutan, Seperti PD Tuah Sakato bergerak dalam bidang percetakan yang memperoleh pelanggan utama percetakan dari Pemda Sumbar, sehingga usaha bisnis PT Tuah sakato selalu memperoleh order untuk memperoleh proyek dari pemda. Padahal dari sisi usaha, kegiatan ini tidaklah cocok dimiliki dan dikelola oleh pemda, mengingat kegiatan saha ini tidak terlalu penting atau eksternalitasnya rendah dalam kaitannya sebagai pelayanan publik. Usaha percetakan sebaiknya proyek dari pemda dapat ditawarkan kepada perusahaan percetakan swasta atau usaha kecil melalui tender, sehingga diperoleh harga pasar yang bersaing. Sedangkan perusda yang ada di NTB lebih banyak pada sektor alat-alat pertanian, namun demikian perusahaan tersebut ternyata sudah tidak berproduksi dalam membuat alat-alat pertanian. Hal ini disebabkan, mutu produksi alat-alat pertanian sangatlah rendah, sehingga perusda tersebut mengalami kerugian. Dalam perencanaan ke depan, menurut penjelasan Kepala Bappeda, Pemda NTB akan membentuk Perusda yang akan mengembangkan peternakan sapi. Namun proyek usaha ini belum berjalan, mengingat berbagai kendala dalam pembentukannya. Sama halnya dengan perusda yang ada di Kalsel PT Bangun Banua yang bergerak dalam bidang usaha pengerukan sungai. Namun dalam hal ini PT ini hanya merupakan broker kegiatan dari pemda untuk mencari perusahaan yang melakukan pengerukan sungai yang didatangkan dari Belanda. Peran dari PT ini hanya menghubungi dan mencari, dan bukan melakukan pekerjaan. Tidak ada kontrak kerja dengan perusahaan pengerukan dari luar negeri untuk melakukan transfer pengetahuan dan teknologi, ini jelas hanya memperpanjang birokrasi. Peninjauan ulang terhadap pembentukan BUMD pada dasarnya adalah kesepahaman BUMD untuk mencapai tujuannya seefisien mungkin dalam memaksimalkan kontribusinya terhadap pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Memanfaatkan BUMD untuk mencapai tujuan sosial seringkali mempunyai efek unintended preverse. Sebagai contoh, ketika BUMD harus menjual dengan harga yang lebih rendah akan menyebabkan defisit dan hutang, distorsi biaya dalam keputusan investasi, dan pemborosan sumberdaya langka. Terlebih jika pelanggan BUMD adalah pengguna industri yang besar atau kesejahteraan, manfaat subsidi mungkin tidak dapat mencapai keuntungan yang berarti. Jika biaya didapat dari pembayaran pajak dan sistem pajak adalah regresive, efeknya akan memperburuk ketidakadilan pendapatan. Reformasi yang penting adalah menciptakan tujuan sosial secara eksplisit, pembiayaan dan hubungannya dengan transparansi anggaran, 20
membandingkan biaya dengan benefit, membangun cara yang lebih efektif untuk mencapai. Upaya reformasi membantu pemerintah mencapai keseimbangan yang benar antara kemandirian dan pertanggungjawaban BUMD. Ini termasuk pengawasan yang ketat pada beberapa bagian (khususnya mengenai keuangan pemerintah dan jaminan hutang) dan desentralisasi pengambilan keputusan. Dalam merancang pengawasan, pertama harus dibuat pemisahan antara kemandirian BUMD secara finansial yang beroperasi di pasar kompetitif yang dapat mengoperasikan dengan bebas, dan di pasar monopoli dimana perusahaan membutuhkan anggaran pemerintah, yang membutuhkan pengawasan yang ketat. Reformasi kelembagaan BUMD spesifik harus dilakukan secara hati-hati. Untuk setiap pemerintah daerah yang makin besar peranannya, perlu diterapkan keahlian administrasi dan pertanggung-jawaban manajerial, mengembangkan potensi untuk meningkatkan kompetisi dan lebih percaya pada satu pihak, serta pengawasan yang berorientasi pasar. Semua itu membutuhkan regulasi yang memadai dan pelaksanaan oleh pimpinan daerah dalam pengelolaan potensi daerahnya. Namun demikian, betapapun baiknya konsep dan perbaikan dari sisi undang-undang jika tidak didukung pengelolaan atau manajemen yang kompeten dan profesional, hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu perlu dibangun komitmen bersama dalam pengelolaan BUMD yang profesional yang bebas dari berbagai intervensi, berdasarkan good corporate governance atau tata kelola pemerintahan yang baik dan tidak perlu membatasi pemilihan para manejer dan direksi berdasarkan asal 28 daerah. IV. Penutup A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan pengelolaan BUMD/Perusda hendaknya harus dilihat dari kepentingan dalam tujuannya yang benar-benar memiliki kepentingan bagi masyarakat umum agar penyertaan modal yang diberikan pemda tidak hanya untuk mencari keuntungan. Pembentukan dan pengelolaan BPD-BPD sudah sangat jelas aturan dan regulasinya. Pengelolaan BPD sangat terkait dengan UU Perbankan dan UU Perseroan Terbatas, sehingga BPD, harus mengikuti regulasi, dimana pengelolaannya harus profesional. Kegiatan usaha BPD memiliki eksternalitas rendah, namun bisa dilakukan rekstrukturisasi atau penjualan saham.
28
Focuss Group Discussion (FGD) oleh Prof.Riset Sukarna Wiranta dari LIPI, di R.Rapat Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 13 November 2009.
21
Pembentukan dan pengelolaan PDAM memilki karakteristik berbeda, mengingat air merupakan kebutuhan pokok masyarakat umum. Mau tidak mau pemerintah harus mengoperasikan perusahaan ini dengan memikirkan aspek sosialnya lebih dahulu. Namun hampir setiap PDAM memiliki kendala umum dan kendala khusus dalam pengelolaannya. Banyak kondisi PDAM yang tidak sehat, selain kendala geografis dan permasalahan manajemen BUMD atau Perusda dengan karakteristik ini dapat dikategorikan memiliki eksternalitas tinggi sehingga perlu merger antara PDAM agar mencapai skala ekonomi yang memadai. Sedangkan BUMD atau PT perusda yang bergerak dalam sektor jasa percetakan atau hanya perpanjangan birokrasi pemda sebaiknya tidak dikelola oleh pemda, kecuali bila usaha yang benar-benar merupakan kegiatan sektor utama masyarakat daerah, misalkan sektor pertanian atau perikanan di mana dibutuhkan perusahaan daerah yang membuat peralatan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi masyarakat umumnya. Namun hal ini terkendala lemahnya SDM dalam proses industri untuk memenuhi standar kualitas dari produksi yang terkait dengan skala ekonomi. B. Rekomendasi Untuk meletakkan peran BUMD seperti yang telah dikemukakan, diperlukan langkah strategis tertentu sejak pembentukannya. Ada langkah-langkah mungkin berbeda bagi beberapa BUMD yang memiliki karakteristik berbeda, karena masing-masing pemerintah daerah tentu memiliki kebijakan yang berbeda dalam pembentukan dan pengelolaannya. Seperti sektor jasa keuangan dan sektor perbankan, BPD mau tidak mau harus mengikuti aturan atau regulasi yang ada. Sementara itu untuk BUMD yang sektor kegiatannya merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pelayanan air minum seharusnya ada regulasi tersendiri dalam pembentukan dan pengelolaannya. Hal ini mengingat pembangunan infrastruktur dan pendistribusian membutuhkan investasi yang besar, sementara disisi lain tarif atau harga jual tidak bisa ditetapkan sesuai dengan harga bisnis dan perlu persetujuan DPRD karena di banyak daerah kondisi daya beli masyarakat masih lemah. Kondisi ini tentunya tidak menarik minat investor swasta untuk ikut serta dalam pengelolaannya. Namun demikian ada beberapa daerah yang telah mengikutsertakan investor dalm pengelolaan BUMD. Hal ini dimungkinkan pada daerah yang masyarakat perkotaan yang memiliki daya beli sesuai harga keekonomiannya. Dalam upaya mengatur secara tegas pendirian BUMD atau perusahaan daerah perlu disusun RUU BUMD sebagai revisi dari Undang-Undang BUMD tahun 1962 yang sudah tidak sesuai dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD. Kondisi ini membuka kesalahan pengelolaan dan penyimpangan dalam pembentukannya. 22
Untuk itu dalam regulasi tersebut perlu adanya aturan dasar, sektor/jenis dan tatacara pendirian BUMD yang akan didirikan, terutama tentunya di sektor yang bergerak untuk pelayanan publik dengan tetap diharapkan memperoleh profit sebagai biaya operasional yang efisien dan investasi agar dapat membangun atau memelihara infrastukturnya. Selain itu perlu diatur secara rinci bagaimana kerjasama dengan pihak ketiga, mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD yang tentunya tidak lepas dari pertanggungjawaban dan pengawasan BUMD yang mana diperlukan perencanaan jangka pendek dan panjang badan usaha.
23
DAFTAR PUSTAKA Buku Osborne dan Ted Gaebler,”Mewirausahakan Birokrasi : mentrasformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik”, Penerbit PPM, cetakan ke VIII Tahun 2005 Jusmaliani,”Privatisasi: Antara Target dan Kesiapan”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP) XI (1) 2003, LIPI. Nick Devas dan rekan-rekan, “Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, Bab III, penerbit Universitas Indonesia, 1989 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 1999/2000. Roy Bahl dan Barbara Miller (eds), “Local Government Finance in Third World: a case Study of The Philippines, New York Praeger 1979. David
Makalah : DR Made Suwandi MSoc.SC , Direktur Urusan Pemerintahan DaerahDitjen Otda-Depdagri Peranan BUMD dalam Perekonomian Daerah, ,6 Maret 2009 Prof. Riset Sukarna Wiranta Makalah Nara Sumber dalam Focuss Group Discussion (FGD) dari LIPI, di R. Rapat Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, Tannggal 13 November 2009 Internet : www.bappenas.go.id” Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah” Bab 13 hal 5 http://beritadaerah.com/news “Gubernur Tidak Akan Intervensi Bank NTB” Sabtu, 7 November 2009 http://WWWW.hukumonline.com, ”Peran dan Kinerja BUMD” 09 Desember 2009 http://www.usdrp-indonesia.org http://www.businessreview.co.id/ “Pelaku BUMD Menanti UU BUMD” http://ekojulianto.tripod.com/articles/bumd.htm “BUMD Potret Buram perusahaan Daerah” Informan: 1. 2. 3. 4. 5.
Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Biro Ekonomi Provinsi Sumatera Barat Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Sumatera Barat Kepala Divisi Perencanaan PT BPD Sumatera Barat (Nagari). Direksi Umum PD PAM Kota Bukittinggi. 24
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Direksi Umum PD PAM Kota Padang. Direksi PT Grafika Jaya Sumbar Biro Perekonomian Provinsi NTB Dinas Pendapatan Daerah Provinsi NTB Komisari PT Bank NTB Direksi PDAM Menang Mataram. Bappeda Provinsi Kalsel Direksi PDAM Bandarmasih Povinsi Kalimantan Selatan. Direksi PDAM Barito Kuala.
25
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 * TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK **
Puteri Hikmawati Abstract
Technology information can bring at the same time advantages and disadvantages for humankind. From negative perspective, technology information can be misused for organizing cyber crimes. In Indonesia, the number of cyber crimes cases is one of the highest in the world. To combat such sort of crimes, the country has passed Law No. 11/2008 on electronic information and transactions two years ago. In addition to this, the government and DPR have prioritized a new bill on cyber crime for their national legislation projects for 2009 and 2010, which if agreed, it would immediately replace the Law No. 11/2008. This essay analyzed how the practices of using and misusing technology information in Indonesian society and problems in law enforcement. Kata Kunci: Cyber Crime, UU ITE, teknologi informasi I. Pendahuluan A. Latar Belakang Arus bebas informasi sebagai konsekuensi dari globalisasi menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Peran komputer dan internet menjadi sangat strategis karena menghadirkan suatu dunia tanpa batas jarak, ruang, dan waktu. Selain itu, perkembangan teknologi telah menimbulkan dampak pada perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi. Ada kemajuan yang signifikan dalam perkembangan dan penerapan teknologi informasi dan alat-alat telekomunikasi, seperti komputer dan internet. Penggunaan komputer diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang pada akhirnya dapat meningkatkan
*
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Bali pada tanggal 30 November sampai dengan 6 Desember 2009. ** Peneliti Madya bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, email:
[email protected]
1
kesejahteraan. Namun, kemajuan teknologi juga menciptakan kemungkinan baru dalam melakukan tindak pidana. Komputer juga menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Penggunaan komputer dapat memberikan peluang kepada seseorang untuk melakukan kejahatan-kejahatan baru dalam bentuk kejahatan dunia maya (cyber crime) yang lebih canggih. Cyber crime adalah kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber atau dunia maya yaitu dengan 1 melalui internet. Hal ini tentunya akan berdampak negatif pada produktivitas dan efisiensi yang semula diharapkan. Kegiatan dunia maya adalah kegiatan virtual. Meskipun bersifat virtual tetapi kegiatan dunia maya dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Dengan demikian subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara 2 nyata, dengan alat bukti elektronik. Sehingga, secara yuridis, dalam dunia maya sudah tidak pada tempatnya untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang tetap ditempuh akan terlalu banyak tindak kejahatan dengan menggunakan teknologi informasi yang bisa lolos dari jerat hukum. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet tahun 2008 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia hanya 14,5 juta orang dari total penduduk yang mencapai 220 juta. Meskipun tidak mencapai 10 persennya, Indonesia pernah menduduki peringkat pertama dalam kejahatan dunia maya. Tahun 2007 posisi Indonesia sempat turun di posisi empat setelah Ukraina dan beberapa negara Eropa Timur yang 3 membukukan angka kejahatan dunia maya lebih banyak. Posisi Indonesia nomor satu di dunia dalam kasus cyber crime juga dikatakan oleh Brigjen Anton Tabah, staf ahli Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam acara peluncuran buku Panduan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) di Jakarta, 25 Maret 2009. Anton mengatakan, jumlah kasus cyber crime atau kejahatan di dunia maya yang terjadi di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Tingginya kasus cyber crime dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan 4 sejumlah bank. Kejahatan dunia maya telah mengalahkan penjualan obat-obatan terlarang sebagai penghasil uang kejahatan. Setiap 3 detik satu identitas
1
“Cyber Crime/Kejahatan Dunia Maya”, http://riya93.blogspot.com/2009/03/blog-spot_26.html, diakses tanggal 20 Oktober 2009. 2 Menuju Kepastian Hukum di Bidang: Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika, Tahun 2005, hal. 2. 3 “Cyber Crime/Kejahatan Dunia Maya”, http://riya93.blogspot.com/2009/03/blog-spot_26.html, op.cit. 4 “Cyber Crime”, Indonesia Tertinggi di Dunia”, http://nasional.kompas.com/read/ xml/2009/03/ 25/18505497/Cyber....., diakses tanggal 10 Agustus 2009.
2
tercuri. Kejahatan dunia maya saat ini lebih menghancurkan kehidupan 5 daripada menghancurkan komputer. Adapun jenis-jenis kejahatan dalam dunia maya (cyber crime), di antaranya adalah pelanggaran isi situs web (pornografi dan pelanggaran hak cipta), kejahatan dalam perdagangan elektronik (penipuan online dan kartu kredit), dan kejahatan lainnya, seperti hacker, piracy (pembajakan), dan fraud (penipuan). Bagi Indonesia, regulasi mengenai hukum dunia maya menjadi bagian penting dalam sistem hukum positif secara keseluruhan. Hukum pidana nasional (Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP) belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan dunia maya dengan tepat. Oleh karena itu, DPR RI dan Pemerintah membentuk sistem hukum mengenai cyber law, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE merupakan aturan hukum yang mengarahkan pada kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik kepada pemanfaatan yang baik, bertanggung jawab dan mempunyai nilai positif bagi masyarakat pada umumnya. UU ITE antara lain mengatur mengenai informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik; penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik; transaksi elektronik; perbuatan yang dilarang; penyelesaian sengketa; penyidikan; dan ketentuan pidana. UU juga mengatur peran Pemerintah dan masyarakat. Dengan dibentuknya UU ITE, segala aktivitas dalam dunia maya dan kaitannya dengan penggunaan teknologi informasi dalam transaksi bisnis memiliki rujukan. UU tersebut sekaligus mengisi kekosongan hukum terhadap pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang berlaku di pengadilan. Pemberlakuan UU ITE sempat menimbulkan kontroversi, yaitu dalam penanganan kasus Prita. Prita yang menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang melalui email kepada kalangan terbatas, dianggap telah mencemarkan nama Rumah Sakit tersebut. Kemudian, dia diajukan ke pengadilan dengan dakwaan Pasal 45 ayat (1) juncto 6 Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kontroversi timbul karena beberapa kalangan termasuk Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menyatakan UU 7 tersebut telah membatasi hak orang untuk menyampaikan pendapat. Sementara Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus Prita mendakwakan Prita dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3)
5
“Kejahatan Virtual Kian Mengganas”, Media Indonesia, 12 Oktober 2009. “Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni dan Internet Marketing”, http://www.baliorange. web.id/kasus-prita-mulyasari-vs-rs-omni-dan-internet-marketing/, diakses tanggal 1 Maret 2010. 7 “Jangan Atur Semua Informasi Internet, Cyber Crime Saja”, http://id.news.yahoo.com/dtik/20091222/tpl-jangan-atur-semua-info.., diakses tanggal 23 Desember 2009. 6
3
UU ITE karena Prita dianggap telah mencemarkan nama Rumah Sakit Omni Internasional dengan menyatakan rasa ketidakpuasannya terhadap pelayanan Rumah Sakit tersebut melalui email dan disebarkan melalui mailing list. Berita kecewa itu akhirnya menyebar dari satu email 8 ke email lainnya. B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Indonesia telah memiliki UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menangani cyber crime. Pemberlakuan UU tersebut belum berjalan dua tahun, namun dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terdapat RUU tentang Cyber Crime sebagai prioritas tahun 2009, kemudian RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai prioritas tahun 2010. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana penegakan hukum terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? Adapun yang menjadi pertanyaan penelitian adalah: 1. Bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dan penyalahgunaannya oleh masyarakat? 2. Bagaimana norma hukum yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? 3. Apa saja kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap UU No. 11 Tahun 2008? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji bagaimana penegakan hukum terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis memperkuat kasanah ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum pidana. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Anggota DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasi, yaitu dalam membahas RUU yang berkaitan dengan cyber crime dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2010. D. Kerangka Pemikiran
8
“Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni dan Internet Marketing”, http://www.baliorange. web.id/kasus-prita-mulyasari-vs-rs-omni-dan-internet-marketing/, op.cit.
4
Pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang menjadi tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu. Terdapat pendapat yang berbeda-beda dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum. Menurut teori etis (etische theorie), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Menurut teori utilities (utilities theorie), hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Teori selanjutnya yang merupakan campuran dari kedua teori tersebut, menegaskan bahwa isi hukum harus ditentukan 9 menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Hukum mengatur masyarakat dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan atau dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian, dapat ditarik garis antara apa yang dimaksud hukum dan apa yang dimaksud melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasinya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah adalah perbuatan yang melawan hukum. Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum. Terhadap 10 perbuatan yang melawan hukum dikenakan sanksi. Dilihat secara fungsional, sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan alat penegak hukum biasanya adalah “kepolisian dan kejaksaan”. Tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas pembentuk undang-undang, 11 hakim instansi pemerintah, dan aparat eksekusi pidana. Dalam menegakkan hukum ada tiga hal yang harus diperhatikan, 12 yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan 13 ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, tetapi penegakan hukum yang mengandung nilai-
9
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, Cetakan pertama, Juli 1991, hal. 23-24. 10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 111. 11 Ibid, hal. 112. 12 Sudikno Mertokusumo dalam “Mengenal Hukum” sebagaimana dikutip dalam Riduan Syahrani dalam “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum”, Pustaka Kartini, Juli 1991, hal. 161. 13 Satjipto Rahardjo dalam Masalah Penegakan Hukum sebagaimana dikutip dalam Riduan Syahrani, ibid.
5
nilai yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 14 Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: 1. Faktor hukumnya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materiel, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian, maka undang-undang dalam arti materiel mencakup: a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara. b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau 15 daerah saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung 16 dan tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan 17 yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. 18 Masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasanya yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor 19 kebudayaan sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum serta menjadi tolok ukur 20 efektivitas penegakan hukum. Berkaitan dengan penanganan cyber crime, maka faktor hukum yang dimaksud adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait termasuk peraturan pelaksanaannya. Faktor penegak hukum meliputi para pihak yang langsung atau tidak langsung berkecimpung dalam penegakan UU No. 11 Tahun 2008, yaitu kepolisian, kejaksaan,
14
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 7. 15 Ibid., hal. 11. 16 Ibid., hal 19. 17 Ibid., hal. 37. 18 Ibid., hal. 45. 19 Ibid., hal. 59. 20 Ibid., hal. 8-9.
6
pengadilan, dan instansi pemerintah yang menangani teknologi informasi. Sedangkan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum cyber crime antara lain organisasi dan cara kerja para penegak hukum, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. Adapun faktor masyarakat dan kebudayaan dalam penegakan hukum cyber crime adalah lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Dalam hal ini termasuk kebiasaan/budaya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Walaupun sudah ada norma hukum yang mempunyai sifat memaksa, namun belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata, hukuman administrasi, dan/atau hukuman pidana untuk norma-norma hukum yang bersangkutan. Pelaku (subyek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman hukuman (sanksi) disebut sebagai hukum materiil. Sedangkan untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil 21 yang disebut sebagai hukum formil. Norma hukum formil bukan mengatur tingkah laku yang terlarang/diharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acaranya. Pelaksanaan tugas badan-badan peradilan dilakukan oleh hakim, jaksa/penuntut umum dan penyidik/polisi. Hakim memeriksa dan mengadili perkara pidana maupun perdata yang diajukan kepadanya. Jaksa/penuntut umum melakukan penuntutan yang pelaksanaannya hanya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan penyidik melakukan penyidikan hanya dalam bidang hukum pidana.
II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tentang “Penegakan Hukum terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” ini merupakan suatu penelitian hukum yang melakukan analisis terhadap norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya, pendapat dan pengalaman aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan dunia maya, serta
21
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta 1989, hal. 10-11.
7
peran Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam mencegah dan memberantas kejahatan dunia maya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2009. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan pada tanggal 30 November sampai dengan 6 Desember 2009. Adapun daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Denpasar (Bali). Pemilihan daerah tersebut karena Bali merupakan daerah budaya, pariwisata, dan bisnis dimana komputer menjadi suatu kebutuhan yang digunakan sebagai prasarana. Di samping itu, menurut Kepala Unit IT dan Cyber Crime Bareskrim Polri Komisaris Besar Petrus R. Golose, dari hasil penelusuran Polri, Bali merupakan daerah yang rawan kejahatan seksual cyber. Untuk menangkal kejahatan yang menyalahgunakan teknologi di Indonesia, Polda Bali merupakan salah satu Polda yang dilengkapi dengan piranti lunak penangkal eksploitasi anak secara online lewat CETS (Child 22 Exploitation Tracking System). B. Bahan/Cara Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara secara mendalam dengan para pihak berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Adapun para pihak yang diwawancarai adalah Hakim Pengadilan Negeri, Polisi, dan Jaksa, serta pejabat Pemerintah/Pemerintah Daerah terkait di tempat penelitian. Sedangkan data sekunder mencakup dokumen resmi (peraturan perundang-undangan terkait), buku-buku dan hasil penelitian, kliping, dan berbagai data yang diakses dari internet. Pengumpulan data sekunder dalam bentuk dokumen atau bahan pustaka dilakukan sebelum dan setelah penelitian dilakukan.
C. Metode Analisis Data Data yang ada dianalisis dengan metode penelitian kualitatif, yaitu data yang terkumpul atau diperoleh, baik data sekunder maupun data primer disusun dan dianalisis dengan mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
22
“Bocah Bali dan Lombok Rawan Kejahatan Seksual Cyber”, http//www.detikinet.com/ read/2007/11/22/ 164308/856256/398/boc…, diakses tanggal 11 Agustus 2009.
8
A. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Penyalahgunaannya oleh Masyarakat Peningkatan kualitas hidup semakin menuntut manusia untuk melakukan berbagai aktivitas dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya. Untuk itu, penggunaan teknologi informasi dalam aktivitas manusia menjadi suatu keharusan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi seperti internet, sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat. Teknologi informasi (TI) dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang pendidikan, bisnis, pemerintahan, dan sosial. Dalam bidang pendidikan, manfaat TI antara lain berbagi hasil penelitian, konsultasi dengan pakar, perpustakaan online, diskusi online, dan kelas online. Pemanfaatan TI sangat 23 membantu kelancaran komunikasi dalam bisnis. Peranan TI dalam bidang pemerintahan untuk meningkatkan hubungan pemerintah, dalam hal ini lembaga pemerintah yang bersangkutan dengan pihak-pihak lain, seperti masyarakat dan kalangan pengusaha/dunia usaha, serta dengan lembaga pemerintah lainnya. Sedangkan untuk memantau kondisi sosial masyarakat, Pemerintah memanfaatkan TI dengan programnya yang disebut ICT4PR (information and communication technology for poverty reduction). ICT4PR membangun pusat-pusat TI yang disebut telecenter. Manfaat telecenter bagi masyarakat adalah sebagai sumber informasi dan sarana belajar, menumbuhkan jiwa kewirausahaan, meningkatkan informasi, 24 melihat peluang yang lebih luas, dan mengembangkan perdagangan. Di samping bermanfaat bagi kehidupan manusia, TI juga dapat disalahgunakan, yaitu dalam bentuk pelanggaran hak cipta, cyber cime, penyebaran virus komputer, pornografi, perjudian, dan penipuan. Adapun 25 karakteristik dari cyber crime adalah: a. kejahatan melintasi batas negara; b. sulit menentukan hukum yang berlaku karena melintasi batas negara; c. menggunakan peralatan-peralatan yang berhubungan dengan komputer dan internet; d. mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibanding kejahatan konvensional; dan e. pelaku memahami dengan baik internet, komputer, dan aplikasinya.
23
Karyadi S.Pd., “Peranan dan Dampak Penggunaan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi,” http://www.docstoc.com/docs/26072418/bab-3-PERANAN-DANDAMPAK-PENGGUNAAN-TEKNOLOGI-INFORMASI-DANTELEKOMUNIKASI, diakses tanggal 26 April 2010. 24 Ibid. 25 Ibid.
9
Menurut Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Bali, Bapak Mangku, dikelompokkan ke dalam cyber crime, penyalahgunaan TI melalui telepon selular merupakan kejahatan yang sering dilaporkan di Provinsi Bali. Modus yang digunakan biasanya melalui undian berhadiah, dimana pengguna telepon selular diinformasikan telah menjadi pemenang dan diharapkan segera mentransfer sejumlah dana. Tahun 2008, jumlah kerugian yang ditanggung dengan kejahatan SMS (short message service) ini mencapai 108 juta rupiah hanya dalam waktu lima 26 menit. Selain itu, menurut Didik B. Santoso (PT Telkom), dari berbagai jenis kejahatan cyber, seperti hacking, spamming, dan melalui e-mail, modus yang sering muncul adalah dalam bentuk undangan untuk berinvestasi kecil dengan hasil yang besar. Sedangkan cyber crime yang sering terjadi di Bali cenderung mengarah pada pornografi dan kejahatan 27 seksual online. Untuk mencegah terjadinya cyber crime, PT Telkom telah menerapkan beberapa kebijakan yang berlaku secara nasional. Pertama, adalah penggunaan sistem DNS (Domain Name Service) Nawala yang melakukan penyaringan terhadap domain-domain URL (The Universal Resource Locator) yang bermuatan pornografi. Kedua, terkait dengan masalah spamming dan phising, Telkom telah membuat account khusus bagi pelanggan yang membuat pengaduan penyalahgunaan alamat email atau black campaign. Mekanisme penggunaannya adalah mereka yang merasa mendapat serangan mengadukan kepada Telkom melalui
[email protected] akan adanya spamming atau penyampaian informasi yang tidak benar. Langkah berikutnya, ada penelusuran oleh Telkom sehingga diketahui siapa yang mengirim jika alamat yang 28 digunakan adalah alamat Telkom. Khusus untuk mencegah terjadinya cyber crime di Bali, pada bulan November 2009 PT Telkom telah meresmikan Pusat Teknologi Informasi di Kuta. Empat pintu masuk ke Bali sudah terpantau, termasuk beberapa titik di Kota Denpasar juga sudah terpantau dengan integrated system. PT Telkom daerah Bali telah sering bekerja sama dengan pihak Kepolisian dalam pengawasan information and communication technology (ICT). Selain itu, Telkom juga mendukung Kepolisian dalam 29 pemanfaatan dan pengamanan CCTV. Berdasarkan hal di atas, PT Telkom telah memberikan dukungan kepada aparat Kepolisian dalam melakukan pencegahan terjadinya cyber crime, baik dengan menerapkan berbagai kebijakan secara nasional maupun upaya khusus yang dilakukan di daerah tertentu, seperti Bali.
26
Disampaikan pada saat focuss group discussion tanggal 1 Desember 2009 di Kantor Pemerintah Provinsi Bali, Denpasar. 27 Disampaikan pada saat focuss group discussion tanggal 1 Desember 2009 di Kantor Pemerintah Provinsi Bali, Denpasar. 28 Ibid. 29 Ibid.
10
B. Pengaturan Cyber Crime dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mulai berlaku pada tanggal 21 April 2008 telah mengisi kekosongan aturan hukum di dunia maya, terutama masalah dokumen elektronik atau perilaku cyber crime seperti pemalsuan kartu kredit (carding), pornografi, perjudian internet, dan hacking. UU tersebut diharapkan dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyambut baik disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE menjadi undangundang. Pengurus YLKI, Sudaryatmo, mengatakan selama ini banyak konsumen yang terjebak iklan di internet. Ada 3 masalah yang sering muncul, pertama, produk yang dijual tidak sesuai dengan yang diterima; kedua, kepastian pengantaran produk; ketiga, masalah sengketa bila ada konsumen yang tidak puas. Dalam UU ITE hal ini sudah diatur dalam Pasal 9, yang menyebutkan, bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.” UU ITE mengatur pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum. Adapun yang dimaksud dengan teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan 30 informasi. Sedangkan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, 31 dan/atau media elektronik lainnya. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik dalam undang-undang diatur dalam bab tersendiri. Penyelenggara sertifikasi elektronik harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan 32 pasti kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi: a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan; b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat tanda tangan elektronik; dan c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik. UU ITE juga memuat ketentuan yang tegas mengenai perbuatan yang dilarang, yaitu dalam Pasal 27, sebagai berikut:
30 31 32
Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 14 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
11
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Selain perbuatan di atas, UU ITE juga melarang perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu 33 berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Disamping itu, setiap orang yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi juga dapat dikenakan sanksi pidana. UU ITE melindungi semua informasi dan transaksi elektronik, baik berupa email, nota elektronik, short message service (SMS), layanan mobile banking, layanan content provider, dan lain-lain. Sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dalam UU ITE sangat berat. Tindakan melawan hukum yang sanksi pidananya paling ringan adalah dengan sengaja dan melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam 34 ratus juta rupiah). Ancaman sanksi pidana terhadap orang yang mendistribusikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, seperti yang dituduhkan terhadap Prita, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda 35 paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Sedangkan
33
Pasal 28 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 35 Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 34
12
ancaman sanksi pidana yang paling berat dikenakan terhadap korporasi yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, dipidana 36 dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Dengan ancaman pidana yang berat, UU ITE sebagai peraturan yang baru dan perlu disosialisasikan. Telkom secara internal telah mengadakan sosialisasi sejak tahun 2008, sampai ke Nusa Tenggara. Sosialisasi eksternal sudah pernah dilaksanakan oleh Telkom di daerah Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara UU ITE masih disosialisasikan, dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas RUU yang akan dibahas dalam tahun 2010 terdapat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi. Sampai saat ini RUU yang rencananya diajukan oleh Pemerintah belum masuk ke DPR. Namun, penulis memperoleh draf RUU tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dari seorang staf di Departemen Komunikasi dan Informatika. Dalam RUU disebutkan bahwa “Teknologi Informasi adalah suatu teknik atau cara elektronik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, meng-umumkan, menganalisa, dan menyebarkan 37 informasi”. RUU memuat sejumlah pelanggaran pemanfaatan teknologi informasi dalam Pasal 8, berbunyi sebagai berikut: “Hal-hal yang merupakan pelanggaran dalam UndangUndang ini adalah memanfaatkan Teknologi Informasi dengan melawan hukum; melakukan intersepsi dengan melawan hukum; dengan sengaja dan melawan hukum merusak atau mengganggu data yang tersimpan dalam alat penyimpan data elektronik yang tersusun sebagai bagian dari sistem komputer; dengan sengaja menghilangkan bukti-bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti sah di pengadilan yang terdapat pada suatu sistem informasi atau sistem komputer; dengan sengaja merusak atau mengganggu sistem informasi, sistem komputer, jaringan komputer, dan Internet; memanfaatkan Teknologi Informasi untuk menipu, menghasut, memfitnah, menjatuhkan nama baik seseorang atau organisasi; memanfaatkan Teknologi Informasi untuk menyebarkan gambar, tulisan atau kombinasi dari keduanya yang mengandung sifat-sifat pornografi; memanfaatkan Teknologi Informasi untuk
36
Pasal 53 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 1 angka 7 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, disusun oleh Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Country Coordinator, Global Internet Policy Initiative- Indonesia, Jakarta, Juli, 2005. 37
13
membantu terjadinya percobaan, atau persekongkolan yang menjurus pada kejahatan.” Pelanggaran pemanfaatan teknologi informasi di atas dalam UU ITE sudah termasuk dalam perbuatan yang dilarang dan dikenakan ancaman sanksi pidana, kecuali “dengan sengaja menghilangkan buktibukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti sah di pengadilan yang terdapat pada suatu sistem informasi atau sistem komputer” dan “setiap badan hukum penyelenggara jasa akses internet atau penyelenggara layanan teknologi informasi, baik untuk keperluan komersial maupun keperluan internal perusahaan, dengan sengaja tidak menyimpan atau tidak dapat menyediakan catatan transaksi elektronik sedikitnya untuk jangka waktu dua tahun.” Pelanggaran “memanfaatkan teknologi informasi dengan melawan hukum” sifatnya sangat umum, sehingga setiap tindakan pelanggaran atau tindak pidana di bidang teknologi informasi dapat dikategorikan sebagai memanfaatkan Teknologi Informasi dengan melawan hukum. Disamping itu, apabila dicermati, pelanggaran pemanfaatan teknologi informasi dalam RUU merupakan delik hukum karena dalam KUHP sudah dinyatakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum atau peraturan tertulis, sehingga tidak tepat apabila dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran. Tindakan tersebut seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan. RUU tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi juga memuat sejumlah tindak pidana pemanfaatan teknologi informasi, yaitu Kejahatan terhadap nyawa dan keselamatan negara; Pencurian; Mengakses Tanpa Hak; Mengakses Tanpa Hak terhadap Sistem Informasi Strategis; Pemalsuan Identitas; Mengubah dan Memalsukan Data; Mengubah Data yang Merugikan Orang Lain; Perubahan Asusila; Pornografi Anak-anak; Bantuan Kejahatan; Mengakses Tanpa Hak terhadap Komputer yang Dilindungi; dan Teror. Disamping itu, RUU juga memuat tindak pidana yang berkaitan dengan Teknologi Informasi sebagai Sasarannya, yaitu Intersepsi; Merusak Situs Internet; Penyadapan terhadap Jaringan Komunikasi Data; Pemalsuan Nomor Internet Protocol; Merusak Database atau Enkripsi; Penggunaan Nama Domain Tidak Sah; Penyalahgunaan Surat Elektronik; Pelanggaran Hak Cipta; dan Pelanggaran Hak Privasi. Melihat rincian tindak pidana di atas, maka RUU memuat tindak pidana secara lebih rinci dibandingkan dengan UU ITE. RUU memuat tiga jenis pelanggaran/kejahatan pemanfaatan teknologi informasi, pertama, pelanggaran pemanfaatan teknologi informasi, kedua, tindak pidana pemanfaatan teknologi informasi, dan ketiga, tindak pidana yang berkaitan dengan teknologi informasi sebagai sasarannya.
14
Berdasarkan modus dan korban, cyber crime dikelompokkan 38 menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pertama, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk melakukan perbuatannya; dan kedua, kejahatan yang dilakukan dengan tujuan dan sasaran teknologi informasi dan telekomunikasi. RUU sudah membagi cyber crime seperti pengelompokan tersebut. Namun, jika RUU tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dibahas untuk menjadi UU maka akan terjadi tumpang tindih peraturan dengan UU ITE. Oleh karena itu, RUU tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi perlu ditinjau kembali. Alternatif lain, mengakomodasi substansi yang belum terdapat dalam UU ITE dalam revisi UU ITE. Di antara 12 RUU Tambahan dan Perubahan Penyiapan Penyusunan RUU dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2010, RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik termasuk yang ditetapkan untuk dibahas dalam 39 tahun 2010. C. Kendala dalam Penegakan Hukum terhadap UU No. 11 Tahun 2008 Cyber crime merupakan transnasional crime yang tidak menimbulkan “fear of crime” namun dampaknya sangat besar terhadap dunia teknologi informasi, perdagangan, perbankan, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang serius dari semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cyber crime memang diperlukan, tetapi undang-undang tidak ada artinya jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu. Penyidik pada Unit Transnational Crime Team Kepolisian Daerah (Polda) Bali, Komisaris Polisi Tri Kuncoro, ketika diwawancarai mengatakan bahwa dalam penyidikan kasus cyber crime, penyidik dihadapkan pada problematika yang rumit, terutama dalam mengumpulkan dan menyita alat bukti. Ada kendala dalam pengumpulan bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kodekode digital yang membutuhkan sumber daya manusia serta peralatan 40 komputer forensik yang baik.
38
“Penegakan Hukum Cyber Crime di Indonesia”, http://my.opera.com/sibbyan/ blog/show.dml/2844461, diakses tanggal 10 Agustus 2009. 39 Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 119/PIMP/II/2009-2010 tentang Penetapan 12 Rancangan Undang-Undang Tambahan dan Perubahan Penyiapan Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2010. 40 Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Desember 2009.
15
Kesulitan lain yang dihadapi penyidik adalah dalam upaya menangkap pelaku seringkali penyidik dihadapkan pada sulitnya menentukan secara pasti siapa pelaku cyber crime karena mereka melakukan tindak pidana cukup melalui komputer yang dapat dilakukan di mana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan An Internet Protocol (IP Address) dari pelaku dan komputer yang digunakan. Hal itu akan semakin sulit apabila menggunakan komputer di warnet sebab saat ini masih jarang sekali warnet yang melakukan registrasi terhadap pengguna jasa mereka sehingga kita tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat terjadi tindak pidana. Disamping itu, banyak tersangka maupun saksi yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, sehingga untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah 41 sulit. Disamping adanya kendala dalam proses penyidikan, kendala lain adalah belum adanya persamaan persepsi dalam penanganan kasus cyber crime antara penyidik dan penuntut umum, dimana terhadap kasus yang terkait cyber crime kepolisian sudah menggunakan UU ITE 42 sedangkan dalam tuntutannya kejaksaan menggunakan KUHP. Sebaliknya, kepolisian menggunakan KUHP, kejaksaan menambahkan dengan UU ITE, seperti dalam kasus Prita. Berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 UU ITE, bulan Mei 2009 timbul kasus yang menimbulkan kontroversi, dikenal dengan kasus Prita, di mana Prita Mulyasari diajukan ke persidangan karena dianggap telah mencemarkan nama Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang (RS Omni). Prita yang kecewa dengan pelayanan RS Omni menumpahkan rasa kecewanya itu melalui email dan disebarkan melalui mailing list. Berita kecewa itu akhirnya menyebar dari satu email ke email lainnya, sampai terbaca oleh pihak RS Omni. RS Omni memperkarakan Prita dan berujung pada penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang selama 20 hari sejak 43 tanggal 13 Mei 2009 dengan tuduhan pencemaran nama baik. Prita didakwa dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Sedangkan sanksinya tercantum dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
41
Ibid. Berdasarkan wawancara dengan Komisaris Polisi Tri Kuncoro, Unit Transnational Crime Team Polda Bali, tanggal 3 Desember 2009. 43 “Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni dan Internet Marketing”, http://www.baliorange. web.id/kasus-prita-mulyasari-vs-rs-omni-dan-internet-marketing/, op.cit. 42
16
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Penanganan kasus tersebut oleh aparat penegak hukum mendapat kecaman dari berbagai pihak, antara lain Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, yang menduga kuat terdapatnya unsur gratifikasi dari RS Omni kepada kejaksaan. Agar kejadian seperti itu tidak terjadi lagi di masa mendatang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terlibat secara tuntas dalam pengusutan dugaan itu, paling tidak dengan cara 44 melakukan pengawasan secara terus menerus terkait hal tersebut. Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan unjuk rasa di Kantor Departemen Kesehatan Jakarta, mengecam kasus yang dialami Prita Mulyasari. Ketua Umum SRMI Marlo Sitompul mengatakan, aksi yang melibatkan kaum ibu dan anak-anak tersebut dilakukan untuk menuntut dihentikannya liberalisasi sektor kesehatan. Mereka menuntut Prita Mulyasari dibebaskan dari segala tuduhan, cabut UU ITE dan segera 45 disahkan RUU tentang Rumah Sakit. Disamping itu, beberapa tokoh memberikan dukungan moril kepada Prita dengan mengunjunginya di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, antara lain, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati didampingi oleh anggota terpilih PDIP Rieke Dyah Pitaloka dan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara didampingi anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi beserta 46 rombongan. Akhirnya, Prita mendapat penangguhan penahanan menjadi tahanan kota dan hasil eksaminasi dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum menunjukkan adanya ketidakprofesionalan Jaksa yang menangani kasus tersebut. Ketidakprofesionalan tersebut bermula ketika Jaksa melihat ada kekurangan pasal dalam berkas acara yang diajukan Polisi ke Kejati Banten. Melihat hal itu, Jaksa meminta Polisi menambahkan Pasal 27 juncto Pasal 45 UU No. 11 Tahun 2008 mengenai ITE. Kemudian oleh Kepolisian pasal itu hanya ditaruh di atas berkas, tidak ditaruh dalam berita acara pendapat kepolisian. Kekeliruan terjadi karena Jaksa lalu menetapkan berkas sudah P-21 atau lengkap, 47 padahal penambahan pasal itu tidak dimasukkan dalam berita acara. Mendasarkan pada penanganan kasus Prita, aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cyber crime. Dengan
44
“ICW Menduga ada Gratifikasi di RS Omni Internasional”, http://www.jimmyzakaria. com/berita/icw-menduga-ada-gratifikasi-di-rs-omni-international, diakses tanggal 1 Maret 2010. 45 “SRMI Mengecam Kasus Prita Mulyasari”, http://www.jimmyzakaria.com/berita/srmimengecam-kasus-prita-mulyasari, diakses tanggal 1 Maret 2010. 46 “Prita Mulyasari akan Dikunjungi Dewan Pers”, http://www.jimmyzakaria. com/berita/pritamulyasari-akan-dikunjungi-dewan-pers, diakses tanggal 1 Maret 2010. 47 “Jaksa Kasus Prita tidak Profesional”, http://www.jimmyzakaria.com/berita/jaksa-kasusprita-tidak-profesional, diakses tanggal 1 Maret 2010.
17
perkataan lain, kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dalam penyidikan cyber crime, kepolisian telah mengikutsertakan penyidik dan penyidik pembantu untuk mengikuti pelatihan maupun seminar untuk mengikuti kursus Cyberlaw (Hukum Telematika) maupun seminar di bidang 48 Information Technology. Salah satu hal menarik dalam dinamika perkembangan organisasi Kepolisian Daerah Bali, sebagaimana dikatakan Komisaris Besar Polisi Made Sudarsana yang mengepalai Bidang Telekomunikasi dan Informatika di Kepolisian Daerah Bali, adalah keberadaan Bali Security Council. Lembaga ini digagas oleh Kapolda Bali pada saat itu, Inspektur Jenderal Polisi Drs. Made Mangkupastike yang sekarang menjabat Gubernur Bali. Pasca Bom Bali I. Pemerintah Pusat memberikan atensi yang cukup besar (bantuan dana 16 miliar rupiah) terhadap lembaga ini dengan membentuk call centre berteknologi tinggi dan salah satunya diharapkan dapat menanggulangi masalah cyber 49 crime. Selain itu, Kepolisian Indonesia juga telah melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam berbagai bentuk. Akademi Kepolisian di Semarang merupakan salah satu institusi kepolisian yang sudah lama menjalin kerjasama dengan negara lain. Sedangkan Polda Bali bekerjasama dengan pemerintah Australia dalam pendirian Transnational Crime Unit Bali. Bantuan disampaikan oleh pemerintah Australia dan Australian Federal Police (AFP). Kerjasama dengan Australia dalam menangani kasus kejahatan transnasional termasuk salah satunya kejahatan yang terkait dengan cyber crime dimana perjanjian tersebut dilakukan dalam bentuk Memorandum of 50 Understanding (MoU). Timbulnya kasus Prita ternyata berdampak pada penanganan cyber crime. Dari hasil penelitian di Bali, terungkap bahwa aparat penegak hukum menjadi “takut” menerapkan UU ITE. Gede Edy Bujanayasa, jaksa pada Kejaksaan Negeri Denpasar, mengatakan, bahwa “belajar dari kasus Prita yang mengenakan UU ITE dalam kasus pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional melalui internet, 51 kejaksaan sangat berhati-hati dalam menggunakan UU tersebut”. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa untuk kejahatan cyber di daerah Bali hanya terdapat dua kasus yang sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan 52 dasarnya masih menggunakan KUHP. Keberadaan UU ITE ternyata
48
Ibid. Disampaikan pada saat focuss group discussion tanggal 1 Desember 2009 di Kantor Pemerintah Provinsi Bali, Denpasar. 50 Ibid. 51 Wawancara dilakukan pada tanggal 2 Desember 2009. 52 Ibid. 49
18
belum dapat menjamin cyber crime dapat tertangani dengan baik, dibutuhkan keberanian dan kecermatan aparat penegak hukum dalam menerapkan UU ITE. IV. Penutup A. Kesimpulan Pemanfaatan teknologi informasi seperti komputer dan internet dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam bidang pendidikan, bisnis, pemerintahan, dan sosial. Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disamping bermanfaat dalam kehidupan manusia, teknologi informasi juga dapat disalahgunakan dan menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum dalam bentuk cyber crime (kejahatan dunia maya). Cyber crime merupakan kejahatan transnasional dan mempunyai karakteristik tertentu, antara lain menggunakan sarana komputer dan internet dalam melakukan kejahatan. Untuk menangani kejahatan dunia maya, DPR RI dan Pemerintah telah membentuk UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE mengatur pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dan ketentuan pidana. UU diharapkan dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dalam melakukan transaksi secara elektronik. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan UU ITE terhadap cyber crime masih menimbulkan persoalan. Aparat penegak hukum belum mempunyai persamaan persepsi terhadap ketentuan yang diatur dalam UU ITE terutama mengenai perbuatan yang dilarang, seperti dalam kasus Prita. Sementara itu, dalam Program Legislasi Nasional prioritas RUU yang akan dibahas dalam tahun 2010 terdapat RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi dan RUU tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Substansi RUU tentang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi terdapat tumpang tindih peraturan dengan UU ITE. Berkaitan dengan penegakan hukum cyber crime terdapat kendala dalam proses penyidikan. Penyidik kesulitan dalam mengumpulkan dan menyita barang bukti, menentukan secara pasti siapa pelaku cyber crime, dan menyamakan persepsi dengan penuntut umum. Kasus Prita juga berdampak pada penerapan hukum terhadap cyber crime. Aparat penegak hukum menjadi “takut” menerapkan UU ITE. Sementara itu, terhadap penyalahgunaan teknologi di bidang informasi, PT Telkom telah menerapkan beberapa kebijakan secara internal, yaitu penggunaan sistem domain name service dan membuat account khusus bagi pelanggan yang membuat pengaduan penyalahgunaan alamat email atau black campaign.
19
B. Rekomendasi Agar penerapan UU No. 11 Tahun 2008 terhadap cyber crime dilakukan dengan tepat dan ada persamaan persepsi di antara aparat penegak hukum, maka perlu sosialisasi UU No. 11 Tahun 2008. terhadap aparat penegak hukum. Disamping itu, aparat penegak hukum perlu meningkatkan kualitas dan kemampuannya dalam kaitannya dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik, mengingat cyber crime dilakukan dengan peralatan yang canggih. Pemerintah perlu meninjau kembali apabila ingin mengajukan RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi ke DPR agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan dengan UU ITE. Alternatif lain, RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 dapat mengakomodasi substansi yang terdapat dalam RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi yang belum diatur.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, Cetakan pertama, Oktober 2004. Departemen Komunikasi dan Informatika, Menuju Kepastian Hukum di Bidang: Informasi dan Transaksi Elektronik, Tahun 2005. Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan kedua, Desember 2004.
20
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, Cetakan pertama, Juli 1991. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. Sri Setianingsi Suwardi, Masalah-masalah Hukum Perjanjian Pin-jaman Internasional, Makalah pada Fakultas Pasca Sarjana Bidang Hukum Internasional UNPAD, 1990. S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta 1989. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986. Sudikno Mertokusumo dalam “Mengenal Hukum” sebagaimana dikutip oleh Riduan Syahrani dalam “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum”, Pustaka Kartini, Juli 1991. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, disusun oleh Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Country Coordinator, Global Internet Policy Initiative- Indonesia, Jakarta, Juli, 2005. Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 119/PIMP/II/2009-2010 tentang Penetapan 12 Rancangan Undang-Undang Tambahan dan Perubahan Penyiapan Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2010. Surat Kabar: “Kejahatan Virtual Kian Mengganas”, Media Indonesia, 12 Oktober 2009. Internet: “Cyber
Crime”, Indonesia Tertinggi di Dunia”, http://nasional. kompas.com/read/xml/2009/03/25/18505497/Cyber....., diak-ses tanggal 10 Agustus 2009. “Penegakan Hukum Cyber Crime di Indonesia”, http://my.opera.com/ sibbyan/blog/show.dml/2844461, diakses tanggal 10 Agustus 2009. “Bocah Bali dan Lombok Rawan Kejahatan Seksual Cyber”, http//www.detikinet.com/read/2007/11/22/164308/856256/398/bo c…, diakses tanggal 11 Agustus 2009.
21
“Cyber
Crime/Kejahatan Dunia Maya”, http://riya93.blogspot.com/ 2009/03/blog-spot_26.html, diakses tanggal 20 Oktober 2009. “Jangan Atur Semua Informasi Internet, Cyber Crime Saja”, http://id.news.yahoo.com/dtik/20091222/tpl-jangan-atur-semuainfo..., diakses tanggal 23 Desember 2009. “Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni dan Internet Marketing”, http://www.baliorange.web.id/kasus-prita-mulyasari-vs-rs-omnidan-internet-marketing/, diakses tanggal 1 Maret 2010. “ICW Menduga ada Gratifikasi di RS Omni Internasional”, http://www.jimmyzakaria.com/berita/icw-menduga-ada-gratifikasidi-rs-omni-international, diakses tanggal 1 Maret 2010. “SRMI Mengecam Kasus Prita Mulyasari”, http://www.jimmyzakaria. com/berita/srmi-mengecam-kasus-prita-mulyasari, diakses tanggal 1 Maret 2010. “Prita Mulyasari akan Dikunjungi Dewan Pers”, http://www.jimmyzakaria.com/berita/prita-mulyasari-akan-dikunjungi-dewan-pers, diakses tanggal 1 Maret 2010. “Jaksa Kasus Prita tidak Profesional”, http://www.jimmyzakaria. com/berita/jaksa-kasus-prita-tidak-profesional, diakses tang-gal 1 Maret 2010. Karyadi S.Pd., “Peranan dan Dampak Penggunaan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi,” http://www.docstoc.com/ docs/26072418/bab-3-PERANAN-DAN-DAMPAK-PENGGUNAAN-TEKNOLOGI-INFORMASI-DANTELEKOMUNI-KASI, diakses tanggal 26 April 2010. Informan Utama: 1. Didik B. Santoso (PT Telekomunikasi wilayah Provinsi Bali, Denpasar). 2. Mangku (Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Bali). 3. Agus Budiana (Biro Organisasi Pemerintah Provinsi Bali). 4. Krisdiyanto (Dinas Perhubungan Provinsi Bali). 5. Wayan (KPID). 6. Komisaris Polisi Tri Kuncoro (Unit Transnational Crime Team Polda Bali). 7. Komisaris Besar Polisi Made Sudarsana (Kepala Bidang Telekomunikasi dan Informatika Polda Bali). 8. Gede Edy Bujanayasa (jaksa tindak pidana umum pada Kejaksaan Negeri Denpasar, Bali).
22
23
ASPEK HUKUM DAN SISTEM PEMBIAYAAN DALAM PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DI INDONESIA Luthvi Febryka Nola, dkk. Abstract This essay has been prepared by a group of law researchers who studied legal aspects of apartment development and its financing in Indonesia. The results of this study will contributed for the amendments of Law No. 16/1985, both for its academic draft and its substantive regulations. Important issues of land, building, stakeholders and financing system have been deeply discussed here, and its findings disclosed that there are some weaknesses regarding the rights of the developer, the building management, and the residents (flat owners), in particular dealing with foreign ownership. It is recommended therefore, law on secondary financing system is needed to help finance public housing, private apartments or flats. Kata Kunci: Rumah Susun, Pembiayaan, Stakeholders I. Pendahuluan A. Latar Belakang Rumah susun (untuk selanjutnya disebut rusun) dibangun sebagai upaya pemerintah guna memenuhi masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain itu, rusun juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan lahan yang sangat sulit didapat di wilayah-wilayah kota-kota besar di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi. Kondisi seperti ini misalnya terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Medan. Pembangunan rusun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan permukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat. Pembangunan rusun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat
Para penulis adalah Calon Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, yaitu Denico Doly, Harris Yonatan Parmahan Sibuea, Shanti Dwi Kartika, dengan e-mail:
[email protected], nico_tobing@yahoo. com,
[email protected],
[email protected].
1
ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh. Pembangunan rusun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, dengan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan hanya memiliki luas tanah yang terbatas. Dalam pembangunannya diperhatikan antara lain kepastian hukum dalam penguasaan dan keamanan dalam pemanfaatannya, kelestarian sumber daya alam yang bersangkutan serta penciptaan lingkungan pemukiman yang nyaman, lengkap, serasi 1 dan seimbang. Untuk menciptakan kepastian hukum tentang rusun di Indonesia maka pada tanggal 31 Desember 1985 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UURS). UURS menyatakan bahwa rusun hanya dapat dibangun di atas tanah dengan hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah 2 negara dan hak pengelolaan. Hak pengelolaan akan terus melekat kepada tanah meski tanah telah dialihkan. Sesuai dengan ketentuan UURS sebelum rusun dialihkan, penyelenggara pembangunan harus mengurus hak guna bangunan untuk ditempatkan di atas tanah berstatus 3 hak pengelolaan. Baik hak guna bangunan maupun hak pengelolaan memiliki jangka waktu tersendiri dan apabila jangka waktu masingmasing hak berakhir harus dilakukan perpanjangan oleh pemilik rusun. Semenjak UURS diberlakukan, istilah rusun terus mengalami perkembangan, ada yang menyamakan dengan apartemen, kondominium, flat dan lain-lain. Namun apapun istilah yang digunakan, menurut UURS yang dimaksud rusun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama 4 dan tanah bersama. Sehubungan dengan dimasukkannya tanah bersama sebagai komponen rusun, maka tanah dan bangunan rumah susun menjadi satu bagian kepemilikan yang tidak dapat dipisahkan. Akibatnya, berdasarkan UURS tidak dimungkinkan kepemilikan rusun hanya sebatas bangunan saja. Pembangunan rusun di atas tanah bersama tersebut dilakukan oleh penyelenggara pembangunan yang bentuknya dapat berupa Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta 1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 355. 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 7 ayat (1). 3 Ibid., Pasal 7 ayat (2). 4 Ibid., Pasal 1 angka (1).
2
5
dan Swadaya Masyarakat. Perkembangannya saat ini, penyelenggara rusun memberikan pekerjaan pembangunan kepada perusahaan lain. Pembangunan rusun juga tidak dapat terlepas dari siapa yang memiliki dan siapa yang mengelola. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini kepemilikan atas rusun hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), sedangkan bagi Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) untuk kepemilikan haknya hanya sampai pada hak pakai. Sedangkan untuk pengelolaan rusun menurut UURS dilakukan oleh perhimpunan penghuni dan dapat 6 menunjuk badan pengelola. Namun UURS dan peraturan pelaksananya tidak mengatur kapan perhimpunan penghuni dibentuk. Rusun dewasa ini dapat dimiliki dengan cara tunai maupun cicilan. Pembelian tunai dapat dilakukan meskipun rusun belum selesai dibangun dengan menggunakan Perjanjian Perikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB). Mahalnya harga rumah dan terbatasnya kemampuan keuangan masyarakat Indonesia membuat kebanyakan rumah dibeli secara kredit atau melalui perjanjian sewa beli. PPJB dan perjanjian sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam perkembangan yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Untuk melindungi kepentingan konsumen sehubungan dengan PPJB, maka Menteri Perumahan Rakyat mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rusun (selanjutnya disebut Kepmenpera). Pembelian secara kredit tentu membutuhkan jaminan. Adapun jaminan yang dapat dibebankan kepada rusun menurut UURS adalah hipotik dan fidusia. Ketentuan hipotik telah berubah dengan hak tanggungan setelah berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT). Sementara untuk fidusia telah ada pengaturan khusus berupa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat UUJF). Pemerintah mengeluarkan berbagai program untuk mengembangkan pembangunan dan pemilikan rusun, salah satunya adalah dengan memberikan subsidi kredit. Supaya subsidi dapat lebih efektif maka diperlukan instrumen keuangan lain yang dapat membantu meningkatkan pembangunan rusun. Belajar dari pengalaman di beberapa negara mereka membentuk suatu lembaga pembiayaan sekunder atau Secondary Mortgage Facility (selanjutnya disebut SMF). Dengan adanya lembaga ini diharapkan bank akan lebih mudah dan cepat dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat. SMF telah digunakan di beberapa negara di dunia seperti: Singapura, Malaysia, 5 6
Ibid., Pasal 5 ayat (2). Ibid., Pasal 19 ayat (4).
3
Hongkong dan Korea Selatan. Berbagai permasalahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan di atas membuat para penulis tertarik untuk membuat kajian ini dan diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan rancangan undang-undang tentang rusun yang baru. B. Pokok Permasalahan Mengingat UURS sudah tidak sesuai dengan perkembangan dewasa ini, jika ditinjau dari asas-asas yang menghubungkan antara tanah dan bangunan berikut sistem pembiayaan dalam penyelenggaraan rusun. UURS juga belum tepat sasaran dalam arti belum adanya landasan hukum yang jelas mengenai tujuan pengadaan rusun tersebut. Dikatakan demikian karena UURS belum memenuhi ketentuan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD Tahun 1945), yang berbunyi : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan 7 kesehatan”. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1. Bagaimanakah hubungan antara tanah, bangunan dan stakeholders dalam pembangunan rusun? 2. Bagaimanakah implementasi sistem pembiayaan dalam pembangunan rusun? C. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pengkajian tentang perkembangan hukum rusun di Indonesia, khususnya untuk: 1. Mengetahui dan memahami hubungan antara tanah, bangunan dan stakeholders dalam pembangunan rusun. 2. Mengetahui dan memahami implementasi sistem pembiayaan yang dapat digunakan dalam pembangunan rusun. II. Kerangka Pemikiran A. Pengertian Rusun UURS menyebutkan bahwa yang diartikan dengan rusun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan 7
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 19 ayat (4)
4
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, 8 benda-bersama dan tanah bersama. Sementara itu, pengertian hak milik satuan rumah susun (selanjutnya disebut HMSRS) adalah hak milik atas satuan rumah susun yang bersifat perorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas satuan rumah susun (selanjutnya disingkat SRS), HMSRS yang bersangkutan juga meliputi hak pemilikan bersama atas apa yang disebut “bagian bersama” yaitu “tanah bersama” dan benda bersama”, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemilikan SRS 9 bersangkutan Rusun di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) kategori sebagai 10 berikut : (a) rumah susun sederhana (rusuna) yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu yang biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN), misalnya Rusuna Klender dan Rusuna Sewa di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta; (b) rumah susun menengah (apartemen) yang biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas/pengembang swasta kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah, misalnya Apartemen Taman Rasuna Said, Jakarta Selatan; (c) rumah susun mewah (apartemen/condominium), selain dijual kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh pengembang swasta. Misalnya Apartemen Casablanca, Jakarta. B. Hukum Tanah dan Bangunan Adapun tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di atasnya dengan 11 pembatasan yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang bersangkutan boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan
8
Ibid., Pasal 1 angka (1). Ibid., Pasal 8 ayat (2) jo. (3). 10 Muhyanto dkk., Analisis dan Evaluasi hukum Tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat Pemilikan Rumah Susun. Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional BPHN, 1993/1994, hal.12. 11 Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Pasal 4. 9
5
teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang 12 haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 13 Menurut Djuhaendah Hasan , salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Dengan demikian, kepastian hukum akan kedudukan HMSRS sangat penting dalam kerangka hukum tanah. Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah dimana dapat disusun dalam jenjang tata 14 susunan atau hierarki sebagai berikut: 1. Hak bangsa Indonesia Hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, yaitu: hak menguasai negara dan hak-hak perorangan atas tanah. Hak Bangsa Indonesia beraspek perdata dimana tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia dan bersifat abadi. Hak Bangsa Indonesia juga beraspek publik dimana negara berwenang mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan hak menguasai negara. 2. Hak menguasai dari negara Hak Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah bersama, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bagian-bagian tanah bersama, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai tanah. 3. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat Wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. 4. Hak-hak individual: a. hak-hak atas tanah: - Hak-hak atas tanah primer (1) Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah; (2) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara 12
Boedi Harsono, op.cit., hal. 232. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda lain Yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 65. 14 Boedi Harsono, op.cit., hal. 234. 13
6
guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan; (3) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri (tanah negara atau hak milik); (4) Hak pakai adalah hak yang memberi wewenang memakai tanah kepunyaan pihak lain (tanah negara atau hak milik) selama digunakan untuk keperluan tertentu. - Hak-hak atas tanah sekunder: (1) Hak sewa atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang menggunakan tanah milik pihak lain dan penyewa wajib membayar sewa (uang sewa) kepada pemilik tanah, pembayaran sewanya dapat dilakukan pada waktu tertentu atau dibayar di muka (yang disebut kontrak); (2) Hak gadai atas tanah adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah milik orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya; (3) Hak usaha bagi hasil adalah hak atas tanah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah miliknya yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang disetujui sebelumnya; (4) Hak menumpang adalah hak yang diatur oleh hukum adat setempat (yang tidak tertulis), yang memberi wewenang kepada seseorang (numpang atau magersari) untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah perkarangan orang lain (dunung). b. hak atas tanah wakaf Hak penguasaan atas satu bidang tanah tertentu (semula hak milik telah diubah statusnya menjadi tanah wakaf), yang oleh pemiliknya telah dipisahkan dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya (seperti pesantren atau sekolah berdasarkan agama dan makam) sesuai dengan ajaran hukum agama Islam. c. hak jaminan atas tanah (hak tanggungan) Hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah tertentu untuk menjamin pelunasan hutang tertentu kepada kreditur tertentu yang kedudukannya diutamakan dalam memperoleh pelunasan atas piutangnya daripada kreditor lainnya. Adapun HMSRS dalam UURS merupakan suatu lembaga 15 pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan sebagai berikut: (a) HMSRS adalah hak milik yang bersifat perorangan dan terpisah; (b) HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan dan tidak 15
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 8.
7
terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan; (c) hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai SRS yang bersangkutan pada waktu SRS diperoleh 16 pemiliknya yang pertama. HMSRS bukan hak penguasaan atas tanah, melainkan hak atas satuan rumah susun tertentu, yang menurut UURS meliputi juga satu bagian tertentu sebesar nilai perbandingan proporsionalnya dari hak atas 17 tanah bersama di atas mana rusun yang bersangkutan berdiri. Adapun hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (pemerintah daerah, badan-badan otorita, perusahaanperusahaan negara dan perusahaan-perusahaan daerah) dengan penguasaan tanah-tanah tertentu. Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak18 hak atas tanah. Selain tanah, bangunan juga sangat penting bagi kehidupan manusia. Pentingnya bangunan membuat manusia membangun berbagai macam bangunan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan teknologi konstruksi dan rancang bangun membuat manusia dapat membangun bangunan sesuai dengan keinginannya, baik secara horizontal, vertikal, maupun di dalam tanah. Berbeda dengan tanah yang sulit untuk dinyatakan bentuknya, bangunan dapat dengan mudah dikenali dari bentuk bangunan yang ada. Bangunan merupakan suatu benda yang memiliki ukuran tiga dimensi, yaitu panjang, lebar dan tinggi. Selain itu, bangunan memiliki berbagai ruangan yang dapat difungsikan sesuai dengan keinginan pemilik atau pengguna bangunan. Bangunan menjadi benda tidak bergerak karena disatukan dengan tanah tempat bangunan tersebut didirikan. Karena umumnya bangunan menyatu dengan tanah, bangunan sebagai benda yang penting bagi kehidupan manusia selalu dikaitkan dengan tanah. Hal ini juga tampak dalam hal 19 kepemilikan bangunan yang secara umum dikaitkan dengan tanah. Menurut Djuhaendah Hasan, salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan 20 hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.
16
M. Rizal Alif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di Dalam Kerangka Hukum Benda. Bandung: CV Nuansa Aulia, 2009, hal. 135. 17 Boedi Harsono, op.cit., hal. 234. 18 Ibid., hal. 245. 19 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan: Teori dan Praktik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 29. 20 Djuhaendah Hasan, op.cit., hal. 35.
8
Asas perlekatan vertikal atau asas accessie atau asas natrekking adalah perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada di atas maupun di dalam tanah dengan tanah sebagai benda 21 pokoknya. Hak milik atas sebidang tanah mengandung arti di dalamnya kepemilikan segala apa yang ada di atas dan di dalam tanah. Dengan kata lain asas perlekatan vertikal diartikan bahwa pemilikan atas tanah berarti juga memiliki bangunan atau rumah dan segala sesuatu yang melekat pada tanah itu serta yang ada di dalam tanah tersebut. Sedangkan asas pemisahan horizontal atau horizontal scheiding adalah asas yang dianut dalam hukum adat yang merupakan dasar dari UUPA dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang 22 berada di atas tanah itu adalah terpisah. C. Stakeholders Rumah Susun Pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan rusun meliputi a) penghuni atau pemilik SRS, b) perhimpunan penghuni, c) badan pengelola, d) penyelenggara pembangunan rusun atau developer. Pihakpihak tersebut mempunyai hubungan terkait yang sistematis. Pemilik SRS atau penghuni rusun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, oleh karena itu mereka membentuk perhimpunan penghuni untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama para penghuni rusun, serta untuk menjamin ketertiban, kegotongroyongan dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Indonesia dalam mengelola bagian bersama, benda bersama dan tanah 23 bersama , sedangkan pelaksanaan tugas pengelolaan diserahkan kepada badan pengelola yang dibentuk atau ditunjuk oleh perhimpunan penghuni. Sementara itu penyelenggara pembangunan rusun mempunyai peranan sebagai pengelola sementara selama belum dan setelah terbentuk perhimpunan penghuni. Pembangunan rusun diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha milik Daerah, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan Swadaya Masyarakat. Badan Usaha Milik Swasta harus merupakan badan hukum Indonesia, yang bermodal murni nasional atau merupakan usaha patungan dengan modal asing, sesuai ketentuan mengenai penanaman modal asing. Penyelenggara pembangunan rusun harus memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah, di atas mana rusun yang bersangkutan dibangun, karena selain akan menjadi pemilik bangunan gedung yang dibangunnya, ia sejak sebelum rusun tersebut 21 22 23
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 571. M. Rizal Alif, op.cit., hal. 63. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Penjelasan Pasal 19.
9
dibangun harus sudah menjadi pemegang hak atas tanah yang 24 bersangkutan. Adapun pengertian antara “pemilik” dan “penghuni” rusun 25 mempunyai definisi yang berbeda. Pemilik adalah perseorangan atau badan hukum yang memiliki SRS yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Sedangkan penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam SRS. Membeli SRS berarti menjadi pemegang HMSRS. Selain meliputi pemilikan secara individual SRS yang dibelinya, HMSRS meliputi juga hak bersama atas tanah bersama yang bersangkutan. Maka dengan sendirinya pembeli SRS harus memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah bersama tersebut. Jika tanah bersama yang bersangkutan berstatus hak milik, yang boleh membelinya terbatas pada perorangan warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum tertentu yang dimungkinkan menguasai tanah dengan hak milik. Sedangkan jika berstatus hak guna bangunan, selain para warganegara Indonesia, terbuka juga bagi badan hukum Indonesia, yaitu yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, untuk membeli dan memilikinya. Bagi orang asing yang berkedudukan, dalam arti bertempat tinggal di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, terbuka kemungkinan untuk membeli dan menjadi pemilik SRS, jika tanah yang bersangkutan berstatus hak pakai. Jika tanah bersamanya berstatus hak milik atau hak guna bangunan, mereka hanya mungkin menggunakan suatu SRS atas dasar sewa dari penyelenggara pembangunan rusun yang masih menjadi 26 pemegang HMSRS atau pihak lain pemilik SRS yang bersangkutan. Adapun perhimpunan penghuni adalah perhimpunan yang anggotanya terdiri dari para penghuni yang mempunyai tugas dan wewenang pengelolaan yang meliputi penggunaan, pemeliharaan dan perbaikan terhadap bangunan, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Perhimpunan penghuni mempunyai fungsi yaitu a) membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat, tertib dan aman; b) mengatur dan membina kepentingan penghuni; c) mengelola rusun dan lingkungannya. Kewajiban perhimpunan penghuni mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan 27 pemilikan, penghuninya dan mengelolanya. Dalam rangka mengatur pengelolaan dan penghunian, kegiatannya perlu disesuaikan, diserasikan dengan kegiatan dan penghunian, kelembagaan RT dan RW yang bergerak di bidang kemasyarakatan. 24
Boedi Harsono, op.cit., hal. 321. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka (9) jo. angka (10). 26 Ibid., hal. 325. 27 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 19 ayat (3) jo. ayat (4). 25
10
Anggota perhimpunan penghuni adalah mereka yang memiliki atau memiliki atau menyewa atau menyewa beli (dalam sewa beli) atau yang memanfaatkan satuan rusun dan berkedudukan sebagai penghuni berdasarkan suatu hubungan hukum tertentu. Pembentukan perhimpunan penghuni dilaksanakan dengan akta yang disyahkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kotamadya, yaitu Bupati atau 28 Walikota dan untuk DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta. Pasal 54 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP Rusun) menentukan kewenangan perhimpunan penghuni adalah dapat mewakili para penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik ke dalam maupun ke luar pengadilan. Pengertian dapat mewakili berarti bahwa dalam hal mengurus kepentingan bersama untuk melakukan perbuatan hukum perhimpunan penghuni harus mendapat persetujuan para penghuni. Adapun mengenai badan pengelola rusun adalah badan yang 29 bertugas untuk mengelola rusun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dan 30 pemeliharaan serta perbaikannya. Ketentuan mengenai badan pengelola ini diatur dalam peraturan pemerintah. Dana yang dipergunakan untuk membiayai pengelolaan dan pemeliharaan rusun, 31 diperoleh dari pemungutan iuran dari para penghuninya. Badan pengelola ini bertanggung jawab kepada perhimpunan penghuni. Ini berarti bahwa badan pengelola menurut UURS bertugas untuk mengelola rusun dan dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut badan pengelola berkewajiban untuk: (a) menyelenggarakan rusun; (b) melaksanakan fungsi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama; (c) melakukan pemeliharaan dan perbaikan terhadap penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama. D. Lembaga Pembiayaan Rumah Susun Pemilikan terhadap rusun dapat diperoleh dengan cara tunai, cicilan dan sewa beli. Pembelian secara tunai dengan cara jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orangorang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum
28
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Pasal 54 ayat (2). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka (12). Ibid., Pasal 19 ayat (4). 31 Ibid., Penjelasan umum 29 30
11
32
dibayar. Namun karena rusun merupakan benda tidak bergerak maka penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan 33 pengumuman akta yang bersangkutan. Sesudah penyerahan dilakukan 34 barulah hak milik atas benda tidak bergerak berpindah. Pembelian dengan cara cicilan adalah bentuk dari perjanjian pinjam meminjam yang awalnya diatur berdasarkan Pasal 1754 KUHPerdata. Kemudian berkembang menjadi perjanjian kredit dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu 35 dengan pemberian bunga. Adapun lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau 36 barang modal. Lembaga pembiayaan memberikan peran dalam proses 37 pembangunan nasional yang dibagi sebagai berikut: 1. Perusahaan Pembiayaan: (a).sewa guna usaha; (b). anjak piutang; (c). usaha kartu kredit; dan/atau (d). pembiayaan konsumen. 2. Perusahaan Modal Ventura: (a). penyertaan saham (equity participation); (b). penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity partcipation); (c). pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing) 3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur: (a). pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur; (b). refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau; (c). pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur; III. Pembahasan A. Analisis Terhadap Hubungan antara Tanah, Bangunan dan Stakeholders dalam Pembangunan Rusun Pembahasan mengenai hubungan antara tanah, bangunan dan stakeholder rusun harus dimulai dengan pembahasan berkaitan dengan 32
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1458. Ibid., Pasal 616. Ibid., Pasal 1459. 35 Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka (11). 36 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Pasal 1 ayat (1). 37 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Pasal 2 jis. Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5. 33 34
12
tanah, karena konsep pemilikan rusun di Indonesia amat bergantung kepada status tanah tempat rusun tersebut dibangun. Kejelasan status tanah tempat rusun yang akan didirikan merupakan salah satu syarat administratif yang harus dimiliki oleh penyelenggara pembangunan untuk mendirikan bagunan. Menurut UURS, rusun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara 38 atau hak pengelolaan. Selanjutnya UURS mengatur pula bagi rusun yang didirikan di atas tanah pengelolaan sebelum diserahkan kepada konsumen, pengembang harus menyelesaikan status tanah tersebut menjadi hak 39 guna bangunan. Meski begitu hak pengelolaan tidak otomatis berganti menjadi hak guna bangunan akan tetapi diatas hak pengelolaan tersebut dipasang Hak guna bangunan. Hal ini dikarenakan hak pengelolaan merupakan “gempilan” hak menguasai negara sehingga tidak dapat 40 dipindahtangankan. Meskipun begitu terhadap hak pengelolaan tetap dapat dibebani dengan hak guna usaha dan hak guna bangunan yang prosedurnya tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), yaitu melalui surat akta pejabat dengan tetap mempergunakan formulir Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang resmi menurut Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) Nomor 640.3752 tanggal 20-9-1989 dan 41 Peraturan Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1989, yang dibuat oleh PPAT. Hak pengelolaan hanya dapat diberikan kepada lembagalembaga pemerintah, baik yang berada di pusat, yaitu kantor-kantor departemen dan pemerintah daerah khusus ibu kota, dan di daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota termasuk di dalamnya kantor-kantor yang terdapat di daerah tersebut serta otorita Batam dan Perum 42 Pelabuhan. Dengan demikian ketika pemegang hak guna bangun atau hak guna usaha diatas tanah hak pengelolaan tersebut akan melakukan perpanjangan atau pembaharuan hak, harus meminta izin terhadap pemegang hak pengelolaan tersebut. Pada saat membeli rusun seringkali konsumen tidak memahami mengenai adanya hak guna bangunan yang berdiri diatas tanah pengelolaan, sehingga ketika akan memperpanjang hak guna bangunan konsumen baru memahami bahwa selain berkewajiban melakukan perpanjangan terhadap hak guna bangun juga harus melakukan perpanjangan hak pengelolaan.
38
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 7 ayat (1) Ibid., Pasal 7 ayat (2) Boedi Harsono, op. cit., hal. 247. 41 Ibid. 42 Ibid., hal. 150. 39 40
13
Permasalahannya adalah penguasaan terhadap hak pengelolaan tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara, hanya mengatur bahwa pemegang hak pengelolaan berwenang untuk: (a) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut; (b) menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; (c) menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan menerima 43 uang pemasukan/ganti kerugian dan atau uang wajib tahunan. Namun tidak diatur secara jelas batasan terhadap kewenangan tersebut, misalnya tidak ada aturan yang jelas terkait dengan besarnya jumlah uang pemasukan, lamanya jangka waktu pemberian hak dan peruntukan. Akibatnya membuka kesempatan bagi pemegang hak pengelolaan untuk melakukan tidakan yang dapat merugikan konsumen misalnya dengan cara mempersulit syarat-syarat perpanjangan hak atau menetapkan uang perpanjangan yang begitu tinggi. Setelah menyelesaikan pengurusan hak atas tanah, maka penyelenggara pembangunan memulai aktifitas pembangunan rusun. Pembangunan rusun meliputi pembangunan satuan rusun beserta bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Satuan rusun adalah bagian dari rusun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai sarana ke jalan 44 umum. Bagian bersama adalah bagian rusun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan fungsi dengan satuan rusun. Bagian bersama ini merupakan struktur bangunan dari rusun yang terdiri atas: pondasi; kolom-kolom; sloof; balok-balok luar; penunjang; dinding-dinding struktur utama; atap; ruang masuk; koridor; selasar; tangga; pintu-pintu dan tangga darurat; jalan masuk dan jalan keluar dari rusun; jaringan-jaringan listrik, gas dan telekomunikasi; ruang untuk umum. Bagian-bagian bersama ini tidak dapat dimiliki atau dimanfaatkan sendiri-sendiri oleh pemilik satuan rusun tetapi merupakan hak bersama yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satuan 45 rusun yang bersangkutan. Adapun benda bersama adalah benda-benda yang bukan merupakan bagian rusun tetapi dimiliki bersama serta tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda bersama yang melengkapi rusun agar berfungsi sebagaimana mestinya terdiri atas: jaringan air bersih; jaringan listrik; jaringan gas (untuk hunian); saluran pembuangan air hujan; saluran pembuangan air limbah; saluran dan atau pembuangan sampah; 43
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara, Pasal 6. 44 Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2002, hal. 14. 45 Ibid., hal. 17.
14
tempat kemungkinan pemasangan jaringan telepon/alat komunikasi lain; alat transportasi yang berupa lift atau eskalator sesuai tingkat kebutuhannya; alat pemadam kebakaran; alat/sistem alarm; generator listrik (untuk yang menggunakan lift); pertamanan yang ada di atas tanah bersama; pelataran parkir; penangkal petir; fasilitas olahraga dan 46 rekreasi di atas tanah bersama. Penggunaan atas benda bersama ini dilakukan secara bersama dan juga untuk kepentingan bersama penghuni dan pengelola rusun. Sedangkan tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah, yang di atasnya berdiri rusun dan ditetapkan batasnya dengan 47 persyaratan izin bangunan. Penyelenggaran pembangunan rusun yang meliputi pembangunan satuan rusun, bagian, benda dan tanah bersama penting dilakukan oleh penyelenggara pembangunan karena penguasaan terhadap rusun ini didasarkan kepada HMSRS. Berdasarkan UURS, HMSRS tidak hanya meliputi satuan rusun tapi juga bagian, benda dan 48 tanah bersama. Sehingga terlihat adanya konsep pemilikan bersama atas rusun yang membuat seseorang tidak dapat hanya memiliki bagian gedung rusun yang berfungsi sebagai hunian saja. Berarti UURS menggunakan azas perlekatan vertikal atau accessie yang tidak memungkinkan kepemilikan hanya terbatas pada tanah atau bangunan daja. Penggunaan asas ini dalam prakteknya dapat menghambat proses pembangunan rusun karena penyelenggara pembangunan terlebih dahulu harus mengurus status tanah tempat rusun akan dibangun. Selain itu untuk rusun yang didirikan diatas tanah hak guna bangun dan hak pakai, pemilik rusun berkewajiban untuk memperpanjang atau memperbaharui hak atas tanah saat jangka waktu hak atas tanah tersebut berakhir. Permasalahan lainnya yang mungkin timbul adalah sulitnya melakukan penjaminan hanya terhadap bangunan rusun saja. Meskipun UUJF membuka kesempatan bagi pemilik rusun untuk menjaminkan gedungnya saja. Jika menggunakan asas pemisahan horizontal pendirian rusun di atas tanah orang lain dapat dilakukan cukup berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah. Sehingga pemilik rusun tidak perlu dipusingkan lagi dengan masalah pengurusan tanah misalnya sehubungan dengan perpanjangan hak. Penjaminanpun lebih mudah dilakukan karena adanya konsep pemisahan tersebut. Pembangunan rusun menimbulkan hak dan kewajiban terhadap beberapa pihak berkepentingan yang lazim disebut stakeholders. Stakeholders rusun terdiri dari penyelenggara pembangunan, pemilik rusun, perhimpunan penghuni dan badan pengelola. Penyelenggara pembangunan berperan dalam pembangunan fisik rusun. Menurut UURS 46
Ibid., hal. 18. Ibid., hal. 16. 48 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 8 ayat (3) 47
15
penyelenggara pembangunan tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta yang 49 bergerak dalam bidang itu, serta Swadaya Masyarakat. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut dengan UUJK) maka ruang lingkup penyelenggara pembangunan menjadi lebih luas karena berdasarkan UUJK tersebut dinyatakan bahwa pihak yang terlibat dalam jasa konstruksi adalah 50 pengguna dan penyedia jasa konstruksi. Pengguna jasa konstruksi adalah orang perorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi sedangkan penyedia jasa konstruksi adalah orang perorangan atau badan yang 51 kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Berarti penyelenggara pembangunan tidak hanya badan sebagaimana dinyatakan dalam UURS namun termasuk juga orang perorang. Setelah proses pembangunan selesai maka penyelenggara pembangunan akan menyerahkan rusun kepada pemilik rusun. Biasanya pemilik rusun telah membeli rusun sebelum rusun selesai dibangun dengan menggunakan PPJB. Aturan PPJB saat ini baru terdapat dalam Kepmenpera. Kepmenpera tersebut tidak memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar. Jika terjadi sengketa, biasanya dasar hukum yang digunakan oleh pemilik rusun sebagai konsumen adalah UndangUndang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) atau ketentuan perbuatan melawan hukum menurut KUH Perdata. Saat ini telah banyak konsumen yang dirugikan karena pelanggaran aturan PPJB, sehingga hendaknya aturan PPJB dapat diatur dalam UURS terutama terkait dengan sanksi. Sanksi harus diberikan seberat mungkin agar tidak diabaikan oleh penyelenggara pembangunan. Dalam mengikatkan diri dengan konsumen yang akan membeli rusun, penyelenggara pembangunan harus memperhatikan kondisi konsumen tersebut karena harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah menurut UUPA. Melihat ketentuan dalam UUPA, khususnya yang mengatur tentang subyek hukum yang dapat memiliki tanah hak milik, yaitu hanya WNI dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah; sedangkan untuk tanah hak guna bangunan dapat dipunyai oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; untuk tanah hak pakai juga dapat dimiliki oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan 52 badan-badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 49
Ibid., Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 14. Ibid., Pasal 1 angka (3) jo. angka (4). 52 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 21 jis. Pasal 36, Pasal 42. 50 51
16
Untuk memperoleh rumah, orang asing dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagai berikut: (a) membeli hak pakai atas tanah Negara atau hak pakai atas tanah hak milik dari pemegang hak pakai yang bersangkutan beserta rumah yang ada di atasnya atau membeli hak pakai atas tanah negara atau tanah hak milik dan kemudian membangun rumah diatasnya; (b) memperoleh hak pakai atas tanah hak milik atau tanah sewa untuk bangunan atau persetujuan penggunaan tanah dalam bentuk lain dari pemegang Hak milik; (c) dalam hal rumah hunian atau tempat tinggal yang akan dipunyai oleh orang asing berbentuk satuan rusun, maka orang asing yang bersangkutan harus membeli hak milik atas satuan rusun yang dibangun diatas hak pakai 53 atas tanah Negara. Saat ini aturan kepemilikan properti oleh orang asing secara detail diatur dengan Peraturan Pemerintah, jika ditujukan untuk hunian digunakan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disingkat PP orang asing). Sedangkan kepemilikan properti untuk tujuan lainnya dapat menggunakan ketentuan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun dan Hak Pakai atas Tanah. Pemerintah bermaksud merevisi PP orang asing tersebut terutama berkaitan penambahan jangka waktu hak pakai. Namun pemilikan properti oleh WNA perlu dibatasi. Tujuan pembatasan ini adalah untuk menjaga kesempatan pemilikan tersebut tidak menyimpang dari tujuannya, yaitu sekedar memberikan dukungan yang wajar bagi penyelenggaraan usaha orang asing tersebut di 54 Indonesia. Tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing yaitu terbatas pada rumah yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana. Menurut Arie S. Hutagalung, pembatasan pemilikan rumah/satuan rusun oleh orang asing dapat berupa: (a) rumah/satuan rusun harus dihuni sendiri; (b) harus dihuni selama sekurang-kurangnya 30 hari secara kumulatif dalam satu tahun kalender; (c) rumah dapat disewakan melalui perusahaan Indonesia berdasarkan perjanjian antara orang asing sebagai pemilik rumah 55 dengan perusahaan tersebut. Pemilik belum tentu penghuni rusun karena pemilik dapat mengizinkan atau membuat perjanjian dengan pihak ketiga untuk mendiami rusun yang dimilikinya baik dengan cara sewa ataupun bukan 56 sewa menyewa. Perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan 53
Arie S. Hutagalung,op.cit., hal. 102.. Ibid., hal. 111. Ibid. 56 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik, Pasal 2 ayat (2). 54 55
17
57
rusunlah yang disebut penghuni. Berdasarkan UURS, penghuni rusun 58 berkewajiban membentuk perhimpunan penghuni. Salah satu kewajiban dari perhimpunan penghuni adalah mengurus masalah kepemilikan dan penghunian termasuk pengelolaan. Sebelum perhimpunan penghuni terbentuk, penyelenggara pembangunan yang membangun rusun berkewajiban untuk mengelola rusun dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga bulan dan paling lama satu tahun sejak terbentuknya perhimpunan penghuni atas biaya penyelenggara 59 pembangunan. Namun tidak dijelaskan kapan perhimpunan penghuni wajib dibentuk dan selama perhimpunan penghuni belum dibentuk siapa yang akan membiayai penyelenggaraan pembangunan. Ketentuan ini sangat penting karena menyangkut masalah finansial. Sehubungan dengan pengelolaan rusun perhimpunan penghuni dapat membentuk badan pengelola apabila jumlah satuan rusun masih dalam batas dapat ditangani sendiri, atau menunjuk badan pengelola 60 yang profesional sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Adanya badan pengelola ini akan mempermudah pemilik satuan rusun untuk melaksanakan hak dan kewajibannya baik terhadap milik perorangan 61 maupun milik bersama. Hak dan kewajiban badan pengelola memang telah diatur dalam UURS dan PP Rusun. Menurut PP Rusun, badan pengelola harus 62 mempunyai status badan hukum dan profesional. Namun bagaimana dengan rusun yang tidak terlalu besar, yang hanya membutuhkan satu atau beberapa orang saja untuk mengurus rusun tersebut. Selain itu apakah bentuk dari badan pengelola tersebut apakah harus berbadan hukum. Selain itu perlu diatur juga mengenai pembentukan dana serta penggunaannya, kemungkinan campur tangan pemerintah apabila badan pengelola tidak dapat berfungsi baik. B. Analisis terhadap Sistem Pembiayaan Rusun Rusun dibangun untuk kepentingan masyarakat, rusun ini digunakan oleh masyarakat karena pembangunan infrastruktur atas perumahan di Indonesia memerlukan bidang tanah yang cukup besar. Oleh karena itu, pembangunan rusun dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan atas tempat tinggal bagi masyarakat. Pembelian atas SRS di Indonesia banyak dilakukan oleh masyarakat, baik itu masyarakat menengah kebawah atau masyarakat 57
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 1 angka (10). Ibid., Pasal 19. 59 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Pasal 67. 60 Ibid., Pasal 19 ayat (4). 61 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 134. 62 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Pasal 66. 58
18
menengah keatas. Pembelian atas SRS ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cash atau tunai dan juga ada yang dilakukan dengan bertahap atau credit (kredit). Pembelian secara tunai diatur di dalam KUHPerdata di dalam Pasal 1458, sendangkan untuk pembelian secara kredit, sebelumnya diatur di dalam Pasal 1754 yang Kemudian berkembang menjadi perjanjian kredit dan diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan telah dirubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Rusun termasuk benda tidak bergerak maka perpindahan hak miliknya diatur berdasarkan pasal 1459 dan 616 KUHPerdata dimana hak milik atas benda tidak bergerak baru berpindah setelah dilakukannya penyerahan dan penyerahan tersebut harus diumumkan dengan suatu akta (sertifikat). Rusun dapat dimiliki dengan cara tunai, cicilan dan sewa beli. Pembelian secara tunai telah mengalami perkembangan dimana 63 saat ini kita mengenal istilah hard cash. Hard cash merupakan jual beli tunai yang dilakukan pada saat rusun belum selesai dibangun. Jual beli seperti ini dimungkinkan dengan dibuat PPJB terlebih dahulu dan setelah rusun selesai baru dibuat Akta Jual Beli. Pembelian secara cicilan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Cash Bertahap (installment) yaitu dengan cicilan dimana biasanya pengembang memberikan jangka waktu pembayaran yang bervariasi, 64 mulai dari 12 bulan hingga 60 bulan tanpa bunga. 2. Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) adalah suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah. KPR ada dua jenis yaitu (a) KPR bersubsidi yang ditujukan kepada masyarakat berpendapatan menengah kebawah dengan cara memberikan keringanan kredit dan subsidi untuk menambah dana. Untuk mendapatkan KPR bersubsidi ini pemohon harus memenuhi syarat penghasilan dan batas kredit yang telah ditentukan oleh pemerintah; (b) KPR Non Subsidi, yaitu suatu KPR yang diperuntukan bagi seluruh masyarakat. Ketentuan KPR ditetapkan oleh bank, sehingga penentuan besarnya kredit maupun suku bunga dilakukan sesuai 65 kebijakan bank yang bersangkutan. Seiring dengan berkembangnya istilah rusun menjadi apartemen maka dalam hal pengkreditan dikenal pula Kredit Pemilikan Apartemen (selanjutnya disebut KPA), pada dasarnya hampir sama dengan KPR. Untuk KPA bersubsidi adalah kredit yang diberikan kepada apartemen 63
Anjar Fahmiarto,” Pilih Cash Keras atau Cash Bertahap", Republika, 12 Maret 2010 Ibid. Memiliki Rumah Sendiri dengan KPR, (http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/48E94639-BE6B4AE5-87BD-6E796F847705/1479/MemilikiRumahSendiridenganKPR.pdf, diakses 12 Maret 2010) 64 65
19
yang mendapatkan subsidi dari pemerintah, dimana pembeli bisa mendapatkan subsidi suku bunga dan juga subsidi Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN) 10%, dimana PPN ditanggung 66 pemerintah. KPA bersubsidi ini dapat memperingan pembelian atas SRS, sehingga masyarakat yang berekonomi menengah kebawah dapat memiliki atas SRS. Pembelian secara kredit ini merupakan pembelian dengan melakukan suatu perjanjian yang mengikat antara pembeli dengan penjual. Pembelian secara kredit tidak terlepas dari adanya jaminan yang diberikan oleh pembeli kepada penjual. Jaminan diatur di dalam KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk 67 segala perikatannya. Berdasarkan pasal ini, berarti semua kekayaan yang dimiliki seseorang secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian hutang atau perjanjian lainnya dengan orang lain. Pembangunan rusun yang merupakan salah satu moda kehidupan bagi masyarakat. Pembagunan rusun dilalui melalui berbagai macam tahap, dari perencanaan, pembangunan hingga sampai dengan tahap penjualan SRS. Penyelenggaraan rusun ini tidak terlepas dari adanya biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara rusun. Biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara rusun ini harus dibebankan kepada penyelenggara rusun, oleh karena itu demi terwujudnya dan juga terselenggaranya rusun ini, dapat diperingan dengan adanya bantuan pembiayaan atas pembangunan rusun. Bantuan pembiayaan atas penyelenggaraan ini dapat diperoleh dengan melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan yang ada. Lembaga pembiayaan yang ada di Indonesia diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Peraturan ini mengatur mengenai bentuk dan tata cara lembaga pembiayaan yang ada di Indonesia, peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Pembangunan rusun yang cukup besar menyebabkan adanya dana yang tidak tertanggulangi oleh penyelenggara rusun, oleh karena itu diperlukan adanya lembaga pembiayaan yang dapat menanggani kebutuhan dana tersebut, adanya Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, terdapat lembaga yang dapat
66
Andy Rachmat, 7 Mei 2009, Subsidi di Apartemen Subsidi, (http://apartemensubsidi.com/ home/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=4&Itemid=40, diakses 12 Maret 2010) 67 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1131.
20
dipergunakan untuk membangun infrastruktur rusun. Lembaga yang ada di dalam peraturan presiden tersebut antara lain: 1. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur; 2. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau; 3. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur. Pembangunan rusun tidak terlepas dari adanya dana yang didapat dari investasi baik dari perorangan maupun dari badan hukum. Investor memberikan bantuan dana dalam pembangunan rusun, akan tetapi ada kepentingan di dalam investasi yang ditanamkan oleh para investor yakni akan adanya pembagian keuntungan yang diperoleh penyelenggara rusun. Adanya pembagian keuntungan ini berasal dari adanya pembelian SRS dan juga atas pemeliharan dan pengelolaan atas rusun. Pembagian keuntungan tersebut harus didasari oleh perjanjian antara kedua belah pihak antara investor dengan penyelenggara rusun. Kemajuan zaman yang sangat pesat, mempengaruhi dari perkembangan terhadap pembangunan infrastruktur. Perusahaan pembiayaan infrastruktur belum memberikan kemudahan untuk memperoleh biaya atau dana untuk penyelenggaraan pembangunan rusun. Salah satu cara untuk mengatasi masalah pendanaan adalah dengan sistem pembiayaan Secondary Mortage Facility (selanjutnya disebut dengan SMF). SMF adalah suatu perusahaan yang dibentuk untuk membeli suatu KPR dari bank kreditur yang kemudian tagihan ini dikemas dalam suatu efek hutang yang kemudian dijual kepada investor misalnya perusahaan asuransi, dana pensiun atapun investor perorangan. SMF dilakukan dengan menggunakan suatu perusahaan khusus yaitu suatu perseroan terbatas yang ditunjuk oleh lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan SMF yang khusus didirikan untuk membeli aset keuangan dan sekaligus menerbitkan Efek Beragun 68 Aset (untuk selanjutnya disebut EBA). Bagi pengembang, untuk membantu pendanaan pembangunan rusun biasanya mengajukan kredit dengan jaminan tanah beserta bangunan rusun yang akan ada kepada bank. Permasalahannya adalah sebagian dana yang disalurkan oleh bank kepada pengembang berasal dari dana yang bersumber dari pendanaan pinjaman jangka pendek yaitu dana simpanan dari masyarakat. Untuk KPR pun bank menggunakan dana yang bersumber dari pendanaan pinjaman jangka pendek, padahal pengembalian KPR butuh waktu yang sangat panjang. Akibatnya apabila terjadi krisis sulit menanggulanginya, oleh sebab itu muncul usulan untuk mengadakan sebuah lembaga keuangan sekunder atau SMF. 68
Pembiayaan Sekunder Perumahan, (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembiayaan_sekunder_ perumahan, diakses 11 Maret 2010).
21
Sejak sepuluh tahun lalu, dasar hukum SMF di Indonesia sudah ada yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 132/KMK.014/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan (selanjutnya disebut Kepmenkeu). Kepmenkeu ini memberikan kewenangan kepada SMF untuk memberikan pinjaman kepada bank pemberi KPR (tidak diperkenankan kepada lembaga non bank) dan menerbitkan surat berharga yang mekanismenya menggunakan mekasnisme pasar modal. Banknya juga harus memenuhi kriteria tertentu dan menerapkan standarisasi perjanjian antara bank dan nasabah. Dalam menjalankan tugasnya SMF perlu dibantu oleh beberapa lembaga penunjang dan perangkat hukum yang mengaturnya. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan dari sisi undang-undang perpajakan, pertanahan dan lainnya. Menyadari pentingnya SMF, presiden mengundangkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut didirikan PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero) yang anggaran dasar perseroannya telah mendapatkan pengesahan Menteri Hukum dan HAM dengan keputusan Nomor C-20694 HT.Ol.0l.TH.2005 tanggal 26 Juli 2005. Bentuk pembiayaan dan jaminan yang dapat digunakan dalam pembangunan rusun telah mengalami perkembangan. Pembangunan rusun pada saat ini membutuhkan dana yang cukup besar, salah satu cara untuk mengatasi masalah pendanaan adalah dengan cara pendirian SMF. Belajar dari pengalaman negara lain SMF memang diperlukan untuk membiayai pembangunan perumahan termasuk rusun. Akan tetapi karena melibatkan banyak aspek seperti masalah perbankan, pasar modal, hak tanggungan dan perjanjian maka perlu aturan sendiri mengenai SMF. Selain itu ketentuan jaminan dalam UURS harus diubah karena telah lahir lembaga jaminan hak tanggungan sebagai pengganti hipotik atas tanah dan jika yang dijaminkan hanya gedung maka dimungkinkan dengan fidusia. Penjelasan Umum UURS menyatakan, bahwa untuk menggalakkan usaha pembangunan rusun dan memudahkan pihakpihak yang ingin memiliki satuan rusun, UURS mengatur kemungkinan untuk memperoleh kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah dengan menggunakan lembaga hipotik atau fidusia. Hipotik digunakan jika tanah tempat rusun tersebut berdiri adalah tanah hak milik dan hak guna bangunan sedangkan fidusia digunakan untuk tanah dengan hak pakai 69 atas tanah negara. Berdasarkan UURS ada 2 macam jaminan yang dapat dibebankan terkait rusun, yaitu (a) hipotik dan (b) fidusia. Namun ketentuan tentang hipotik berubah semenjak diundangkannya UUHT 69
Undang Undang Nomor: 5 tahun 1986 tentang Rumah Susun, Pasal 12.
22
yang dalam penjelasan umumnya dengan tegas menyatakan hak tanggungan sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah. Sehingga semua tanah terkait dengan rusun dijaminkan dengan hak tanggungan. Sedangkan untuk bangunan rusun dapat dijaminkan dengan fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUJF. Ketentuan tentang jaminan ini kemudian berubah setelah keluarnya UUHT dan UUJF, dimana UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Jadi, hak pakai atas tanah negara yang berdasarkan UURS dikenakan fidusia, berdasarkan UUHT dikenakan hak tanggungan. Namun bukan berarti fidusia tidak dapat digunakan karena berdasarkan UUJF, fidusia dapat dikenakan terhadap benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan UUHT. IV. Penutup A.
Kesimpulan
Rusun dibangun diatas tanah yang memiliki alas hak berupa hak milik, hak pakai, hak guna bangunan dan hak pengelolaan. Sehubungan dengan pemilikan rusun maka tidak semua subjek hukum dapat memiliki rusun. Pembatasan tersebut muncul karena pemilikan rusun meliputi pula tanah dibawahnya. Menurut UUPA tidak semua subjek hukum dapat memiliki hak kepemilikan atas SRS. Stakeholder rusun tidak hanya pemilik rusun akan tetapi termasuk pula penyelenggara pembangunan, perhimpunan penghuni dan badan pengelola. Pembangunan rusun menimbulkan hak dan kewajiban terhadap stakeholders. Dalam pembahasan berkenaan dengan hubungan antara tanah, bangunan dan stakeholders terdapat beberapa kelemahan dalam UURS. Kelemahan tersebut adalah ketidakjelasan aturan tentang hak pengelolaan, perhimpunan penghuni, penggunaan asas accessie. Sehingga mengakibatkan pengurusan tanahnya menyulitkan konsumen dan ketentuan sanksi yang terlalu lunak sehingga konsumen cenderung menggunakan ketentuan dalam UUPK dibanding UURS. Pembangunan rusun dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembelian dan pembangunan rusun dapat dilakukan dengan cash atau dengan melalui lembaga pembiayaan. Dalam penyelenggaraan pembangunan rusun salah satu hal yang paling penting adalah pembiayaan pembangunan rusun dan untuk kepemilikan SRS. Sistem pembiayaan yang dapat digunakan dalam pembangunan rusun dan kepemilikan SRS telah mengalami perkembangan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah pendanaan adalah dengan sistem pembiayaan SMF yang digunakan untuk jangka panjang dalam pembiayaan
23
penyelenggaraan rusun. Belajar dari pengalaman negara lain, SMF memang diperlukan untuk membiayai pembangunan perumahan termasuk rusun. B.
Saran
Rusun harus didirikan diatas tanah yang jelas alas haknya. Penyelenggara pembangunan dan pemilik rusun harus memenuhi syarat kepemilikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. UURS hendaknya konsistensi terhadap asas yang digunakan dalam UUPA yaitu asas pemisahan horizontal dan tidak lagi menggunakan asas accessie, ketentuan tentang hak pengelolan juga harus diperbaiki dan memasukkan orang perorang sebagai penyelenggara pembangunan. Selain itu pengaturan pembentukan perhimpunan penghuni dan kepemilikan asing harus jelas demi terciptanya kepastian hukum. Perlunya sanksi yang tegas dalam UURS. Untuk memudahkan pihak kreditur/bank di dalam memberikan agunan kredit (KPR/KPA) dengan menggunakan konsep strata title (kepemilikan bangunan), diperlukan adanya kebijakan dari pihak pemerintah dan DPR, untuk segera mungkin mengeluarkan produk hukum yang mengatur masalah agunan kredit tersebut yang merupakan dana bersifat jangka pendek bagi pembangunan perumahan di Indonesia. Misalnya Menteri Perumahan Rakyat segera mengeluarkan Kepmen/Permen tentang Agunan Strata Title atau kepemilikan bangunan gedung. Pembangunan rusun juga dipertegas peruntukkan dan juga kegunaannya. Selain itu, tentunya diperlukan dukungan pengaturan hukum yang lebih lengkap dan terpadu atas Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan atau SMF dengan meningkatkan dasar hukum SMF ke peraturan yang lebih tinggi. Selain itu ketentuan jaminan dalam UURS harus diubah karena telah lahir lembaga jaminan hak tanggungan sebagai pengganti hipotik atas tanah dan jika yang dijaminkan hanya gedung maka dimungkinkan dengan fidusia. Kepemilikan atas SRS yang dianggap juga membutuhkan dana yang cukup besar, membutuhkan lembaga pembiayaan seperti KPR atau KPA. Akan tetapi karena melibatkan banyak aspek seperti masalah perbankan, pasar modal, hak tanggungan dan perjanjian maka perlu peraturan yang lebih tinggi mengenai SMF.
24
Daftar Pustaka
Buku: Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2002. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1997. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda lain Yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan: Teori dan Praktik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. M. Rizal Alif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung: CV Nuansa Aulia, 2009. Muhyanto dkk., Analisis dan Evaluasi hukum Tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat Pemilikan Rumah Susun, Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional BPHN, 1993/1994. Surat Kabar: Anjar Fahmiarto, “Pilih Cash Keras atau Cash Bertahap”, Republika, 12 Maret 2010. Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1985. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318. Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Lembaran Negara Nomor 54 Tahun 1999. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3833. Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Nomor 168 Tahun 1999. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889.
25
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790. Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Lembaran Negara Nomor 168 Tahun 1999. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889. Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2002. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247. Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun. Lembaran Negara Nomor 7 Tahun 1988. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3372. Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik. Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Internet: Andy
Rachmat, 7 Mei 2009, Subsidi di Apartemen Subsidi, http://apartemensubsidi.com/home/index.php?option=com_content &t ask= blogsection&id=4&Itemid=40, diakses 12 Maret 2010. Jenis-Jenis Pembiayaan Selain Kredit, http://www.bantuanhukum.info/ ?page=detail&cat=B07&sub=B0704&t=2, diakses 11 Maret 2010. Memiliki Rumah Sendiri dengan KPR, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/ 48E94639-BE6B-4AE5-87BD-6E796F847705/1479/Memiliki RumahSendiridenganKPR.pdf, diakses 12 Maret 2010. Pembiayaan Sekunder Perumahan, http://id.wikipedia.org/wiki/ Pembiayaan_sekunder_perumahan, diakses 11 Maret 2010.
26
URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG–UNDANG TENTANG TRANSFER DANA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KEPENTINGAN NASABAH Trias Palupi Kurnianingrum Abstract Money transfer is a process of transferring money from a banking consumer to another which can be convention or electronically conducted. This is currently known as a product of banking services which plays important role in economic activities. The amount of transactions resulted from money transfer have significantly increased, thus, comprehensive regulations of such transaction in form of law is needed to guarantee its security and continuity. This law is also needed to give certainty for people who are involved in the transactions or transfer, in particular for protecting banking consumers. This essay discusses the urgency for creating law on money transfer which based on the interests of the banking consumers. Kata kunci: Perbankan, Transfer Dana, Perlindungan Nasabah. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi dewasa ini perkembangan ilmu dan teknologi secara tidak langsung telah menyebabkan negara mengalami kemajuan dengan pesat. Hal ini juga terjadi di dalam segala aspek kegiatan atau kepentingan yang sangat memerlukan jasa perbankan, khususnya yang terkait dengan dana, baik itu uang tunai maupun uang yang tersimpan dalam rekening pada suatu bank. Oleh karena itu kegiatan transfer dana (pemindahan, pengiriman, pembayaran uang) merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan modern saat ini. Di dalam bidang ekonomi, globalisasi dipandang sebagai motor penggerak aktivitas perdagangan internasional yang mempermudah para pelaku ekonomi dalam mengakses berbagai macam transaksi. Perbankan merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting di berbagai bidang, antara lain dalam kegiatan masyarakat
Penulis adalah Calon Peneliti Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Setjen DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]
1
khususnya di bidang finansial serta kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seseorang. Fungsi bank secara umum adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary atau lembaga 1 keuangan, sehingga bank dalam melakukan usahanya selalu berpedoman pada prinsip kehati–hatian, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan pengelolaan bank secara sehat, sehingga mampu menjaga kepercayaan masyarakat serta menjalankan fungsinya sebagai lembaga 2 intermediasi dan pelayanan sistem pembayaran bagi perekonomian. Bank selalu dituntut untuk bersikap profesional agar dapat berfungsi secara efisien, sehat serta dapat menghadapi persaingan global. Akibatnya perbankan diharuskan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi untuk melayani nasabahnya dengan baik. Jasajasa yang dilakukan oleh pihak bank menurut ketentuan Undang–Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan harus sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu berdasarkan pada jenis banknya. Adapun jasa–jasa perbankan tersebut meliputi: inkaso, bank garansi, letter of credit, waliamanat, kliring dan transfer dana. Salah satu jasa yang dilakukan oleh pihak bank adalah transfer dana atau pemindahan uang. Transfer dana adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang 3 yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Pemilihan sarana yang akan digunakan dalam jasa transfer ini tergantung kemauan nasabah apakah secara konvensial ataupun elektronik. Kegiatan transfer dana dari tahun ke tahun telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, hal ini dapat dilihat dari volume dan nominal perpindahan dana dalam rata-rata perhari dari perputaran kliring dan proses Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) yang 4 mencapai Rp. 3.577,2 triliun dengan 717,6 ribu transaksi. Hal ini belum mencakup data perputaran dana antar nasabah yang terjadi di dalam bank sendiri (intra bank) dan transfer dana di pihak bukan bank yang tidak terdata di Bank Indonesia yang diperkirakan mencapai nilai yang cukup besar. Namun perkembangan tersebut diikuti pula dengan berbagai macam permasalahan. Dengan banyaknya pihak yang terkait dalam proses transfer dana, apabila jika terjadi kegagalan atau keterlambatan penyampaian transfer dana yang disebabkan karena 1
Sri Susilo dan Tim, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hal.4. 2 Perry Warjiyo, Bank Indonesia Sebagai Sebuah Pengantar, Jakarta: PPSK BI, 2004, hal.145. 3 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal.383. 4 Bank Indonesia, Urgensi Penerbitan Undang–Undang tentang Transfer Dana, 2010,hal.4.
2
ketidakmampuan bank atau lembaga penyelenggara transfer dana dalam menyelesaikan transfer dana dapat menyebabkan salah satu atau lebih pihak mengalami kerugian, terutama bagi nasabah pengguna jasa transfer dana. Hal inilah yang menjadi perhatian dari pihak Pemerintah. Melalui Prolegnas tahun 2010 Pemerintah telah mempersiapkan RUU tentang Transfer Dana. Pengaturan yang komprehensif diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelancaran proses transaksi transfer dana serta perlindungan hukum para pihak yang terlibat khususnya bagi nasabah. Hal inilah yang mendasari urgensi pembentukan undangundang tentang transfer dana dalam prespektif perlindungan kepentingan nasabah. B. Permasalahan Transfer dana dapat dilakukan tergantung pada pemilihan sarana yang akan digunakan baik secara konvensional maupun elektronik. Kegiatan ini dapat memberikan banyak kemudahan dalam bertransaksi, namun tanpa disadari proses dari transaksi tersebut justru dapat menimbulkan berbagai macam permasalahan, mengingat banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya. Melalui tulisan ini akan dikaji permasalahan, bagaimana pelaksanaan sistem transfer dana dalam dunia perbankan serta bagaimana perlindungan hukum nasabah pengguna jasa transfer dana. Masalah ini sangat penting untuk dikaji mengingat Indonesia sendiri belum memiliki peraturan yang komprehensif yang mengatur tentang transfer dana. Tanpa adanya payung hukum yang jelas, maka Bank Indonesia akan kesulitan melakukan tindakan ataupun mediasi jika terjadi sengketa dalam transfer. Hal inilah yang mendasari urgensi pembentukan undang-undang tentang transfer dana dalam perspektif perlindungan kepentingan nasabah. C. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pengkajian tentang urgensi pembentukan undang-undang tentang transfer dana dalam prespektif perlindungan kepentingan nasabah, khususnya: 1. Mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan sistem transfer dana dalam dunia perbankan. 2. Mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum nasabah pengguna jasa transfer dana. D. Kerangka Pemikiran 1. Transfer Dana
3
Uang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari–hari. Dengan adanya uang maka kita dapat melakukan berbagai macam transaksi. Adapun transaksi pertama kali yang digunakan adalah sistem barter. Transaksi dengan menggunakan sistem barter sudah ada sejak jaman dahulu, karena model transaksi dalam bentuk inilah yang paling 5 sederhana untuk dilakukan. Seiring dengan perkembangan jaman, kemudian manusia mengenal alat pembayaran dalam bentuk uang (baik itu uang giral maupun uang kartal) sehingga mulailah berkembang transaksi jual beli. Namun uang sebagai alat bayarpun ternyata tidak cukup untuk memberikan rasa aman bagi pemegangnya. Hal ini dikarenakan selain tidak praktis juga tidak memberikan rasa kenyamanan karena adanya resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi maka berkembanglah bentuk–bentuk alat 6 pembayaran lain, salah satunya adalah sistem transfer dana. Tidak dapat dipungkiri, dalam setiap bidang termasuk perbankan penerapan teknologi bertujuan selain untuk memudahkan operasional internal perusahaan, juga bertujuan untuk semakin memudahkan pelayanan terhadap customers. Apalagi untuk saat ini, khususnya dalam dunia perbankan hampir semua produk yang ditawarkan kepada customers serupa, sehingga persaingan yang terjadi dalam dunia perbankan adalah bagaimana memberikan produk yang serba mudah dan serba cepat. Bank memanfaatkan peluang tersebut dengan memunculkan suatu sistem transaksi yang menggunakan media elektronik, salah satunya transfer dana. Dalam pengertian sederhana, transfer dana diartikan sebagai perpindahan dana antara pengirim dan penerima dalam bentuk transfer kredit ataupun transfer debet yang dilakukan baik secara konvensional maupun secara elektronik. Jika transfer dana diberikan oleh pihak yang melakukan pembayaran, maka kegiatan transfer dana tersebut dikenal dengan transfer kredit, sedangkan jika diberikan oleh pihak yang menerima pembayaran maka dikenal dengan transfer debit. 7 Penjelasan tersebut dilakukan supaya tidak menimbulkan perbedaan tafsiran diantara keduanya. Definisi transfer dana menurut kamus perbankan adalah perpindahan dana antar-rekening yang berhubungan atau kepada 8 rekening pihak ketiga. Sedangkan pengertian transfer dana (pengiriman uang) melalui bank adalah pengiriman uang atas permintaan pihak pengirim dengan menggunakan bank sebagai perantara. Bank tersebut memberikan instruksi bayar kepada bank lain di tempat keberadaan 5
Muhammad Djumhana, op.cit., hal.3 Rina Purwariska, Perlindungan Nasabah Pengguna Jasa Electronic Funds Transfer, Tesis tidak diterbitkan, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2005. 7 Bank Indonesia, op.cit., hal. 5. 8 Hendi Weblog, kamus perbankan, (http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/kamus-perban kan_ 18.html, diakses 26 April 2010) 6
4
pihak penerima kiriman atau kepada bank yang diinginkan oleh pihak penerima kiriman uang tersebut agar uang tersebut dibayarkan kepada 9 pihak yang dituju. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi 10 transfer dana (pengiriman uang), adalah sebagai berikut: a. pihak pengirim uang, adalah pihak yang meminta atau memberi instruksi kepada bank untuk mengirimkan uang kepada penerima kiriman tersebut. b. pihak bank pengirim, merupakan bank yang berada di tempat pihak pengirim yang telah diinstruksikan oleh pihak pengirim untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening yang telah ditentukan. c. pihak penerima, adalah pihak yang telah menerima kiriman uang dari pihak pengirim. d. pihak bank pembayar, adalah bank yang akan membayar (di kota lain atau ditempat rekening pihak penerima). Transaksi transfer dana dapat dilakukan baik secara konvensional maupun secara elektronik. Saat ini perbankan telah mengembangkan suatu sistem dengan menggunakan kecanggihan teknologi, kegiatan tersebut dikenal dengan electronic funds transfer (EFT). Definisi EFT menurut kamus komputer dan teknologi informasi adalah sistem pengiriman uang antar rekening pada sistem perbankan dengan 11 menggunakan perangkat elektronik atau komputer. 12 Beberapa ciri dari transfer dana elektronik adalah : a. pemakaian sistem elektronik yang canggih Salah satu ciri dari transfer dana adalah pemanfaatan sistem elektronik yang canggih dalam proses transfer tersebut. Berbagai tahap transfer yang dulu menggunakan warkat dan dikirim melalui surat sekarang digantikan dengan sistem elektronik. b. batch transmission Transmisi ramai-ramai (batch transmission) adalah beberapa transfer yang diakumulasikan menjadi satu dan dilakukan sekali transfer untuk keseluruhan transfer tersebut. Batch transmission sering diberikan atau dipertukarkan antar satu bank ke bank lain (interbank) tetapi tidak menutup kemungkinan dibuat dan diberikan kepada nasabah (pengirim dana). c. transfer yang lebih mengaktifkan nasabah
9
Pengertian Transfer (http://docstoc.asterpix.com/cy/2422251/?q=Pengertian+Transfer, diakses 26 April 2010) 10 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kedua, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001,hal. 84. 11 Kamus komputer dan Teknologi Informasi, Pengertian Electronic Funds Transfer (http://www.total.or.id/info.php?kk=Electronic% 20Funds%20Transfer, diakses 27 April 2010) 12 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasar Undang-Undang 1998 Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal.123.
5
Pada sistem konvensional yang hampir seluruh proses dan administrasi pengiriman uang dilakukan oleh pegawai bank, sekarang telah berganti dengan suatu sistem dimana pihak nasabah lebih berperan dan mengambil beberapa porsi dari kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh pegawai bank tersebut. Bahkan dapat pula dilakukan transfer uang dimana hanya nasabah pengirim uanglah yang melakukan dengan memasukkan data ke dalam sistem perbankan dan diproses langsung oleh sistem komputer perbankan tanpa ada campur tangan dari pihak pegawai bank yang bersangkutan. Dalam hal ini penggunaan kode-kode rahasia seperti personal indentification number (PIN) sangat penting sehingga transaksi tersebut aman dari campur tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Beberapa perangkat yang digunakan dalam sistem transaksi yang mengaktifkan nasabah antara lain: cash dispenser, mesin ATM, home banking terminal, nomor PIN, on-line computer terminal dan juga kartu plastik dengan stipe magnet. Perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan kebutuhan akan penggunaan sistem transfer dana semakin dibutuhkan. Masyarakat semakin menginginkan sistem pelayanan yang lebih efisien dan dapat memberikan kemudahan– kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan, antara lain untuk melakukan pemindahan, pengiriman, pembayaran uang dan lainnya. Namun perkembangan globalisasi ternyata justru memunculkan banyak persoalan di dalam sistem transfer dana itu sendiri. Perlindungan hukum bagi nasabah transfer dana merupakan salah satu masalah yang patut mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Bank selaku pelaku usaha wajib memberikan perlindungan hukum terhadap nasabahnya, dikarenakan nasabah memiliki arti yang penting bagi kelangsungan dan perkembangan suatu bank. 2. Perlindungan Kepentingan Nasabah a. Undang–Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Perlindungan bank terhadap nasabah sangat penting untuk dilakukan mengingat nasabah merupakan mitra terpenting bagi kelangsungan bank. Perlindungan biasanya diberikan untuk menyingkapi permasalahan yang terjadi. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan), perlindungan yang dimaksud diberikan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yaitu badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, 13 atau skim lainnya. 13
Pasal 1 butir 24 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
6
Dengan dibentuknya LPS, secara tidak langsung telah memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan, hal ini sesuai dengan Pasal 37 B ayat (1) UU Perbankan. Selain itu untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, hal ini sesuai dengan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk mendapatkan informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Pasal 29 ayat (3) mengatur perlindungan bagi nasabah debitur berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada pihak bank. Di tingkat teknis, payung hukum yang melindungi kepentingan bagi nasabah perbankan khususnya apabila terjadi sengketa antara pihak nasabah dengan bank dilihat dari pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. b. Undang-Undang Konsumen
No.
8
Tahun
1999 tentang
Perlindungan
Semakin berkembangnya proses kegiatan transfer dana dalam dunia perbankan telah menempatkan konsumen dalam posisi tawar yang lemah dan sering dirugikan, sehingga dalam pemakaian jasa transfer dana saat ini, posisi dan kepentingan nasabah belum terlindungi dengan baik, di lain pihak posisi bank sangatlah dominan yang tentunya akan mengutamakan kepentingan bank itu sendiri. Hal ini jelas terlihat dalam perjanjian antara bank dan nasabah ataupun ketentuan tentang pemakaian jasa atau produk bank yang ditetapkan secara sepihak oleh bank, sehingga dalam kondisi demikian jika timbul suatu permasalahan nantinya maka tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat dengan tanggungjawab yang jelas. Hal inilah yang mendasari diperlukannya perlindungan hukum bagi pihak nasabah selaku konsumen, perlindungan yang dimaksud mengacu pada ketentuan Undang–Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Menurut UUPK Pasal 1 butir 1, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen menurut UUPK dapat dilakukan menjadi 14 tiga tahap, yaitu :
14
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1999, hal.3.
7
a) tahap pra transaksi, adalah tahap yang dilakukan sebelum adanya transaksi atau perjanjian dengan pihak nasabah selaku konsumen. Pada tahap ini pemberian infromasi yang jelas sangat diperlukan, hal ini sesuai dengan Pasal 7 huruf b UUPK, yaitu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan / atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Sementara hak konsumen, salah satunya meliputi: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, mendapatkan informasi yang jelas mengenai kondisi barang atau jasa tersebut, serta mendapatkan ganti kerugian, hal ini sesuai dalam Pasal 4 huruf a, c dan h UUPK. b) tahap transaksi, adalah tahap yang terjadi karena adanya kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah. Pada tahap transaksi penyerahan barang atau jasa baru dapat dilakukan apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, kesepakatan tersebut tertuang di dalam bentuk perjanjian. Perjanjian yang dimaksud didasarkan pada klausula baku, hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir10 UUPK. c) tahap setelah transaksi, adalah tahap penyelesaian masalah antara pihak bank dengan nasabah apabila terjadi pengaduan, sengketa atau masalah. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan mengacu pada Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan 47 UUPK. II. Pembahasan A. Pelaksanaan Sistem Transfer Dana dalam Dunia Perbankan Dalam era perdagangan bebas dewasa ini yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk perbankan. Jika ditelusuri lewat sejarah, peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu, saat ini dan di masa yang akan datang setiap negara dan individu tidak akan dapat lepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalankan aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, baik sosial atau perusahaan. Artinya, keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakat. Pengertian bank pada awalnya diartikan sebagai meja tempat menukar uang, yang kemudian berkembang menjadi tempat penyimpan uang dan seterusnya. Pengertian ini tidaklah salah, namun semakin modernnya perkembangan dunia perbankan, maka pengertian bank juga berubah pula. Pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun
8
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 15 Bank senantiasa berusaha melakukan yang terbaik untuk memuaskan nasabahnya, hal ini dikarenakan bank ingin memberikan excellent services terhadap para nasabah yang memang sudah memberikan kepercayaannya kepada bank tersebut, sehingga sudah sewajarnya kalau ada hubungan timbal–balik yang diberikan bank terhadap nasabah. Adapun layanan jasa–jasa perbankan yang diberikan kepada nasabah, salah satunya adalah pengiriman uang (transfer). Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan transfer setidaknya harus mempunyai rekening bank terlebih dahulu, dalam hal ini harus menjadi pihak nasabah. Dalam praktik perbankan nasabah 16 dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Kegiatan transfer dana yang bersifat kredit maupun debit dapat dilakukan tergantung pada pemilihan sarananya secara konvensional maupun elektronik, baik secara vertikal ataupun horizontal. Kegiatan transfer dana secara horizontal dapat dilakukan apabila melibatkan satu bank saja, dalam artian pihak pengirim atau penerima mempunyai rekening pada bank yang sama, sehingga secara tidak langsung bank mempunyai dua macam fungsi yaitu sebagai fungsi pendebit juga fungsi pengkredit. Sedangkan transfer dana secara vertikal melibatkan dua bank yang berbeda. Transfer dana secara konvensional biasanya menggunakan warkat (paper based) yang berupa suatu proses pengiriman perintah transfer dana dari nasabah atau pengirim asal kepada bank (walk in customers) dengan pengisian secara tertulis suatu perintah transfer dana dan berhubungan langsung dengan petugas bank.Namun terkadang hal ini dirasakan kurang efektif oleh nasabah, dikarenakan proses tersebut memakan waktu yang lama. Sedangkan transfer dana secara elektronik menawarkan berbagai macam kemudahan, sebagai contoh kita tidak perlu mengantri berlamalama di depan teller untuk mengambil uang namun kita cukup 15 16
Lihat Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Khotibul Umam, Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen di Bidang Perbankan,(file:///H:/BAHAN%20TRANSFER%20DANA-TRIAS/perlindungan-hukum-bagi -nasabah-bank-OK.htm, diakses Jumat 11 Juni 2010)
9
memanfaatkan fasilitas fitur yang ditawarkan oleh pihak bank. Kegiatan transfer dana tidak hanya terbatas pada transfer kredit baik yang dilakukan secara manual dengan menggunakan nota kredit bank, data kliring elektronik, transfer melalui ATM dan lainnya, namun juga meliputi 17 transfer debit yang menggunakan cek, bilyet giro, warkat dan lainnya. Transfer dana sebenarnya sudah dikenal secara luas dan dipraktekkan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang lama, sebagai bagian dalam kegiatan perekonomian masyarakat. Pelaksanaan transfer dana melibatkan banyak pihak mulai dari pihak pengirim, bank pelaksana transfer sampai dengan penerima. Bank pelaksana sendiri terdiri dari bank pengirim, bank penerus dan bank penerima akhir. Penyelenggaraan transfer dana dapat dilakukan pula oleh lembaga selain perbankan, seperti perusahaan yang berkaitan dengan jasa pos dan badan usaha pengiriman dana lainnya sehingga dengan demikian ketentuan tentang transfer dana diberlakukan pula bagi lembaga penyelenggara transfer dana manapun, sepanjang lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan transfer 18 dana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun kegiatan transfer dana selama ini banyak dilakukan oleh lembaga bukan bank, seperti PT. Pos Indonesia dan sejumlah perusahaan jasa pengiriman (uang dan barang) yang telah mengantongi izin atas usaha jasa layanan yang diberikan oleh Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi, namun tidak seluruh perusahaan jasa pengiriman tersebut melakukan jasa pengiriman uang. Oleh karena itu dalam rancangan undang-undang tentang transfer dana telah diatur adanya batasan kriteria yang jelas tentang perusahaan19 perusahaan jasa pengiriman. Batasan ini dinilai sangat penting, sehingga perusahaan-perusahaan jasa pengiriman uang tersebut nantinya adalah perusahaan yang telah memperoleh izin dari instansi berwenang dan telah melakukan pencatatan pembukuannya dengan baik serta tidak melakukan pengiriman uang secara fisik. Hal ini dilakukan karena dalam kegiatan transfer dana tersebut biasanya memerluan koordinasi yang baik dengan instansi terkait, termasuk pula untuk pengawasan kepada sejumlah perusahaan yang menyelenggarakan jasa pengiriman barang dan atau uang. Selain itu penyelenggaraan transfer dana telah bersifat lintasnegara (cross border) yang melibatkan berbagai mata uang dalam jumlah nominal dan volume yang besar serta bersifat kompleks. Rancangan undang-undang tentang transfer dana telah mengatur seluruh transfer dana baik dalam mata uang rupiah maupun dalam valuta
17 18 19
Bank Indonesia, op.cit., hal. 21. Naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana, hal.28. Lihat Pasal 69 Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana.
10
asing yang dilakukan oleh baik intra atau antar bank atau pihak bukan 20 bank yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia. Hal ini berarti seluruh mata uang diperkenankan sebagai dana transfer sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku, seperti batasan transfer dana dalam mata uang rupiah ke luar negeri dan kepada non residen di dalam negeri, serta tersedianya mata uang tertentu pada saat pencairan atau pengambilan tunai di perbankan Indonesia. Apabila transfer dana dilakukan untuk penerima di luar negeri, kecuali dalam mata uang rupiah maka pilihan mata uang tertentu dalam transfer dana tersebut diserahkan sepenuhnya kepada bank pengirim di dalam negeri yang akan berkorespondensi dengan bank penerima di luar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan informasi telah membawa dampak yang cukup besar dalam dunia perbankan. Sistem transfer dana telah mengantarkan kita kepada kebebasan dan kemudahan untuk melakukan berbagai macam transaksi melalui media elektronik. Perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi menyebabkan kebutuhan akan penggunaan sistem transfer dana semakin dibutuhkan. Masyarakat semakin menginginkan sistem pelayanan yang lebih efisien yang dapat memberikan kemudahan–kemudahan dalam melakukan transaksi perbankan tanpa perlu harus datang dan antri di kantor atau bank pemberi jasa, melainkan cukup datang di outlet yang tersebar hampir di tempat–tempat yang cukup strategis sehingga sangat memudahkan bagi para nasabah untuk menggunakan fitur yang ditawarkan oleh bank sebagai pemberi jasa, antara lain untuk melakukan penarikan uang tunai, pembayaran tagihan kartu kredit, dan pembayaran tagihan pulsa. Namun harus disadari bahwa dengan sifatnya yang unik tersebut perlindungan terhadap nasabah dapat menjadi tidak jelas, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan permasalahan yang timbul dari transaksi tersebut. Dalam transfer dana nasabah sering menjadi pihak yang dirugikan, sebagai contoh lamanya proses pengembalian dana hasil transfer dan tidak adanya kepastian pengembalian dana hasil transfer tersebut. Nasabah maksimal hanya bisa mengajukan klaim pada pihak bank. Di dalam rancangan undang-undang tentang transfer dana telah diatur mengenai hal keterlambatan dana dan juga kekeliruan transfer 21 dana .Dalam kaitan tersebut jika setiap bank yang karena kekeliruannya mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan perintah transfer dana maka harus bertanggungjawab atas keterlambatan tersebut dengan membayar bunga keterlambatan, dan yang berhak menerima bunga adalah pihak yang dirugikan dari keterlambatan penerimaan dana yaitu penerima. 20
21
Lihat Pasal 2 huruf a Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana. Lihat Pasal 53 dan Pasal 55 Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana.
11
Selain itu, bank yang melakukan kekeliruan wajib memperbaiki kekeliruan tersebut segera setelah diketahui terjadinya kekeliruan. Sementara itu masalah pembuktian yang telah diupayakan oleh pihak nasabahpun sering kali masih dianggap kurang memadai sehingga menyebabkan disputes berkepanjangan yang tidak jelas penyelesaiannya, sebagai contoh pembuktian receipt ATM di Pengadilan yang masih sangat sulit untuk dilakukan. Pengakuan atas dokumendokumen elektronik dalam transaksi perbankan merupakan faktor penting dalam transfer dana, oleh karena itu perlu adanya penegasan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah untuk menambah jenis alat bukti yang ditetapkan dalam undang-undang. Sebenarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UU Dokumen Perusahaan) telah membuka hal baru dalam hukum di Indonesia khususnya mengenai pembuktian, dimana dalam undang-undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik yang berupa dokumen perusahaan yang tidak berbentuk kertas namun microfilm dan media lainnya atau hasil cetaknya untuk dapat digunakan sebagai alat 22 bukti yang sah. Selanjutnya undang-undang ini telah memberikan kesempatan bagi hakim untuk memeriksa keabsahan terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya. Namun kelemahan dari UU Dokumen Perusahaan hanya mengatur mengenai peralihan dari data tertulis ke bentuk data elektronik, akan tetapi sebaliknya data elektronik ke bentuk tertulis belum diatur. Dengan demikian, penggunaan hasil cetak dari data elektronik masih dipertanyakan kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti, termasuk juga penggunaan balance statement atau receipt paper dari ATM serta hasil cetak data rekening nasabah maupun jurnal roll ATM yang merupakan hasil cetak dari data bank yang dibuat secara elektronik. Selain itu juga belum terdapat ketentuan yang tegas mengenai penyelesaian dana hasil transfer termasuk apabila lembaga penyelenggara transfer dana dibekukan kegiatan usahanya, dicabut izin usahanya, dilikuidasi atau dinyatakan pailit, seperti yang terjadi pada kasus Bank Century baru-baru ini. Sistem transfer dana pada hakikatnya merupakan suatu kepentingan hukum yang harus mendapatkan perlindungan dan juga pengamanan. Perlindungan ini dimaksudkan untuk menjaga integritas sistem, keseimbangan perlindungan kepada para pihak dalam hal ini pihak bank dan juga nasabah pengguna jasa transfer dana serta untuk mencegah dan mengurangi tindak pidana yang timbul dari sistem transfer dana itu sendiri. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa undang-undang tentang transfer dana sangat penting, mengingat di Indonesia belum memiliki ketentuan transfer dana yang komprehensif dan berlaku untuk 22
Lihat Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
12
setiap sistem transfer dana, sehingga jika terjadi suatu sengketa maka hal tersebut dapat diselesaikan oleh para pihak secara internal ataupun melalui lembaga penyelesaian sengketa baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Penulis ingin menekankan bahwa undang–undang tentang transfer dana nantinya, secara tidak langsung dapat berperan sebagai payung hukum pelaksanaan kegiatan money remittances, mengingat transaksi transfer dana tidak hanya dilakukan secara elektronik saja namun juga secara konvensional (paper based) yang melibatkan lembaga bukan keuangan, seperti perusahaan yang berkaitan dengan kantor pos ataupun badan usaha pengiriman dana lainnya. Saat ini pengaturan transfer dana tidak dilakukan secara spesifik dalam suatu ketentuan, meskipun untuk sistem transfer dana tertentu seperti kliring dan RTGS telah diatur dalam PBI namun pelaksanaan dari transfer dana itu sendiri dirasakan tidak seragam dari praktik masingmasing lembaga penyelenggara baik bank ataupun pihak bukan bank. Kondisi seperti ini sering menimbulkan permasalahan, hal inilah yang menurut penulis belum mampu memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait dalam proses transfer dana jika terjadi perselisihan pidana maupun perdata. B. Perlindungan Hukum Nasabah Pengguna Jasa Transfer Dana 1. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi elektronik, ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang mengikuti percepatan kemajuan teknologi tersebut. Sistem transfer dana baik secara elektronik maupun konvensional sebenarnya dapat memberikan banyak kemudahan. Namun harus disadari bahwa sistem tersebut seringkali membuat perlindungan terhadap nasabah menjadi tidak jelas. Bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat, dalam melaksanakan aktivitasnya bank harus melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan bank, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle). Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Dalam tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.
13
Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan) telah mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang 23 bersangkutan . Amanat dari UU Perbankan tersebut telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah 24 dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Perlindungan kerahasian bank sangat penting, namun hal ini dapat di blow-up kepada publik apabila dalam keadaan atau peristiwa yang mengharuskan pihak bank untuk membukanya, sebagai contoh transaksi yang mencurigakan, pengelapan pajak kasus Gayus ataupun untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah perbankan diberikan apabila terjadi suatu terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini telah diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Dalam Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, pengaduan didefinisikan sebagai ungkapan ketidakpuasan nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank, sebagai contoh dalam proses transfer dana dimungkinkan terjadinya kekeliruan pelaksanaan transfer dana oleh pihak bank seperti terjadinya duplikasi, ketidaksesuaian nilai yang ditransfer dengan nilai dana dalam perintah transfer dana, kesalahan penyebutan penerima sehingga masuk kepada penerima yang tidak berhak. Hal-hal seperti itulah yang sering terjadi dalam kegiatan transfer dana sehingga secara tidak langsung dapat merugikan pihak nasabah. Maka sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, 25 antara lain sebagai berikut: 23
Lihat Pasal 37 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 24 Lihat Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 25 Khotibul Umam, op.cit,.
14
a) kewajiban bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut. b) setiap nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan. c) pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan nasabah yang bertindak untuk dan atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah. Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tertanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani maka dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, oleh karena itu dibentuklah lembaga mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan. Mediasi perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Proses beracara dalam mediasi perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 26 1 Juni 2006. Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian mediasi yang telah ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. 2. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah seringkali nasabah berada dalam pihak yang lemah. Nasabah sering dijadikan obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, misalnya melalui promosi atau iklan baik media cetak ataupun elektronik, cara penjualan dan penerapan perjanjian standar atau baku (standar contract) yang merugikan hak–hak dan kepentingan nasabah. Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu peraturan yang dapat melindungi kepentingan nasabah sebagai konsumen, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Keberadaan UUPK ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian dan kemampuan konsumen untuk melindungi dirinya dan dapat mengembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Menurut penjelasan umum angka 1 UUPK 26
ibid
15
diperlukan adanya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang–undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara terintegrasi dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di dalam masyarakat, karena tidak mudah mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha. Perlindungan nasabah pengguna jasa transfer dana menurut UUPK, dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu : Pertama, tahap pra transaksi adalah suatu tahap yang dilakukan sebelum adanya transaksi atau perjanjian dengan konsumen, yaitu keadaan atau peristiwa yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan memakai produk yang diedarkan kepada konsumen. Pada tahap ini pihak bank selaku pelaku usaha melakukan pengenalan dan penawaran produk perbankan secara langsung kepada kepada calon nasabah melalui berbagai cara, diantaranya adalah melalui pemberian informasi yang dilakukan melalui penyebaran booklet maupun pemberitaan pada iklan di media cetak atau elektronik yang memberikan berbagai macam fasilitas kepada nasabah, dengan tujuan untuk menarik minat nasabah. Dalam upaya pengenalan produk tersebut, bank selaku pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu 27 barang dan/atau jasa secara tidak benar. Pada tahap pra transaksi, sesuai dengan haknya sebagai konsumen, calon nasabah mencoba untuk mencari informasi mengenai produk yang diinginkannya dan kewajiban dari bank selaku pelaku usaha adalah memberikan informasi yang dibutuhkan oleh nasabah tersebut. Bank harus memberikan informasi yang jelas, benar dan jujur mengenai kondisi suatu produk atau jasa-jasa perbankan sebelum nasabah memilih dan menentukan untuk 28 menggunakan suatu produk atau jasa-jasa perbankan. Hak konsumen dan kewajiban bagi pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, sejalan dengan kewajiban bank sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan, yaitu untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan resiko kerugian 29 sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Informasi yang dimaksud adalah informasi tentang produk. Hak atas informasi ini sangat penting, karena hak ini menjadi dasar bagi pelaksanaan hak-hak lainnya, seperti hak untuk memilih produk yang kemudian dilanjutkan dengan hak atas fair 30 aggrement. Tanpa adanya perlindungan atas hak informasi maka
27
Lihat Pasal 9 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lihat Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 29 Lihat Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 30 Inosentius Samsul, ”Pengembangan Model Penyelesaian Sengketa Perbankan Dalam Prespektif Perlindungan Kepentingan Konsumen”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 7, Nomor 1, Januari 2009, hal. 22. 28
16
konsumen akan menghadapi kesulitan dalam menentukan hak-hak lainnya. Kedua, tahap transaksi terjadi setelah calon nasabah memperoleh informasi yang cukup jelas mengenai produk yang ditawarkan oleh pihak bank, maka calon nasabah dapat menggunakan haknya untuk mengambil keputusan, yaitu memilih (menentukan pilihan). Apabila calon nasabah sudah menyatakan persetujuannya, maka pada saat itu lahirlah suatu kesepakatan. Tahap transaksi ini terjadi karena adanya kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah, melalui ditandatanganinya formulir atau aplikasi pembukaan rekening tabungan oleh nasabah. Pada prinsipnya formulir pembukaan rekening tabungan pada seluruh bank adalah sama dan dengan tujuan sama. Dalam formulir tersebut memuat nama nasabah, nomor rekening, jumlah setoran dan keterangan. Nasabah hanya mengikuti ketentuan dari pihak bank, sehingga secara tidak langsung hal ini menunjukkan adanya pembatasan kewajiban dan hak salah satu pihak, sebab nasabah sama sekali tidak ikut serta di dalam menentukan isi perjanjian dalam format aplikasi tersebut. Di satu sisi adanya dorongan kebutuhan sehingga membuat nasabah terpaksa harus menerima isi format tersebut. Aplikasi ini biasanya telah dipersiapkan secara sepihak oleh pihak bank. Pada tahap transaksi terdapat adanya tanggung jawab pelaku usaha, karena tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Tanggungjawab yang dimaksud adalah bentuk tanggung jawab kontraktual (contractual liability). Tanggungjawab kontraktual adalah tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa) atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan 31 atau memanfaatkan jasa yang diberikan. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen tetapi hal itu baru dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal–hal di luar yang telah disepakati. Bank dapat melindungi nasabah apabila nasabah tersebut sudah melakukan perjanjian dengan pihak bank. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian baku atau standar, karena dasar dari hubungan hukum tersebut adalah perjanjian. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau 32 lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya menurut Pasal 1320 KUHPerdata, dirumuskan bahwa untuk sahnya suatu persetujuan diperlukan syarat: kesepakatan mereka yang
31
32
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, Bandung: Penerbit Nusa Media 2010, hal. 53. Lihat Pasal 1313 KUHPerdata.
17
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu 33 hal yang tertentu dan suatu sebab yang halal Dari kedua pasal tersebut mengandung makna bahwa perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak. Kebebasan disini memiliki arti bahwa semua pihak yang mengadakan perjanjian bebas menentukan apa dan dengan siapa perjanjian tersebut dibuat. Pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan undang–undang. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas penting dalam hukum perjanjian, namun asas tersebut belum dapat diterapkan sepenuhnya di dalam perjanjian antara nasabah dengan pihak bank, sebab perjanjian yang digunakan oleh bank adalah merupakan perjanjian baku. Perjanjian atau klausa baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UUPK adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Selama ini, di dalam perjanjian atau aplikasi perbankan lazimnya tercantum adanya klausula baku mengenai ketentuan yang berlaku di bank, namun nasabah umumnya tidak punya kesempatan untuk menegosiasikan klausula tersebut, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan nasabah tunduk pada ketentuan tersebut, baik yang berlaku sekarang maupun yang ditetapkan kemudian oleh bank. Di dalam kontrak baku, tidak jarang pelaku usaha mengalihkan kewajibannya kepada konsumen. Kondisi ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dengan konsumen dalam kontrak itulah yang diatur dalam Pasal 18. Pada dasarnya pasal tersebut melarang pencantuman exoneration clauses yang berbentuk 34 klausula baku dalam perjanjian standar. Menurut penjelasan Pasal 18 UUPK larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Ketiga, tahap sesudah transaksi merupakan tahap penyelesaian masalah antara pihak bank dengan nasabah apabila terjadi pengaduan, sengketa atau masalah. Penyelesaian pengaduan nasabah merupakan salah satu bentuk peningkatan terhadap perlindungan nasabah dalam rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud adalah pengembalian dana milik nasabah akibat adanya duplikasi atau ketidaksesuaian nilai yang ditransfer dengan nilai dana dalam perintah transfer dana, kesalahan penyebutan penerima sehingga masuk kepada penerima yang tidak berhak. Pasal 4 butir d menyatakan bahwa konsumen berhak untuk 33
34
Lihat Pasal 1320 KUHPerdata. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 114.
18
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang 35 digunakan , sehingga nasabah transfer dana tidak perlu takut untuk bertanya ataupun komplain kepada pihak bank ketika mengalami kejadian tersebut karena nasabah mempunyai hak atas fasilitas bank tersebut. Setiap nasabah yang dirugikan dapat menggugat bank, dimana proses penggugatan tersebut dapat melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum ataupun penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan 36 dengan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa . Selain itu dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai adalah bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa 37 melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen . Perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah pengguna jasa transfer dana menurut ketentuan UUPK dan juga Undang-Undang Perbankan telah berjalan sebagaimana mestinya, namun hal tersebut kurang dapat mem-back-up permasalahan yang terjadi terkait kegiatan transfer dana, sebagai contoh penyelesaian mengenai kejelasan status dana transfer apabila lembaga penyelenggara transfer dana dinyatakan pailit, dicabut izin usahanya, dilikuidasi ataupun dibekukan kegiatan usahanya. Hal inilah yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian khususnya bagi nasabah pengguna jasa transfer dana. Dalam rancangan undang-undang tentang transfer dana, apabila suatu bank dicabut izin usahanya, badan hukum dari bank tersebut masih ada namun bank dimaksud tidak dapat lagi melakukan kegiatan usahanya. Kegiatan penyelesaian hak dan kewajiban para pihak ditangani oleh tim pengelola sementara yang ditunjuk oleh institusi yang berwenang. Sesuai ketentuan yang mengatur mengenai likuidasi, pencabutan izin usaha akan diikuti dengan proses likuidasi yang kemudian dibentuk tim likuidasi untuk melakukan pemberesan dan 38 menyelesaikan hak dan kewajiban para nasabah. Keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi bank diberikan oleh Bank Indonesia, sementara itu, penetapan kepailitan merupakan kewenangan pengadilan. Dalam keputusan pengadilan tersebut umumnya disertai dengan penunjukan kurator untuk menyelesaikan hak dan kewajiban pihak nasabah. Tim pengelola sementara, tim likuidasi, atau kurator berkewajiban menyelesaikan hak dan kewajiban pihak nasabah dengan tata cara sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 35
Lihat Pasal 4 butir d Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 36 Lihat Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK. 37 Lihat penjelasan Pasal Pasal 45 ayat 2 UUPK. 38 Lihat Pasal 49 Rancangan Undang-Undang tentang Transfer Dana.
19
Dalam kaitan tersebut diharapkan terdapat kejelasan dan ketegasan status kepemilikan dana transfer dan pengembaliannya dalam ketentuan yang dijadikan referensi para pengelola dalam penyelesaian hak dan kewajiban pihak nasabah. Oleh karena itu undang-undang tentang transfer dana jelas sangat dibutuhkan, dalam rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan melalui sarana elektronik, serta memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. III. Penutup A. Kesimpulan Kegiatan transfer dana yang bersifat kredit maupun debit dapat dilakukan tergantung pada pemilihan sarananya secara konvensional maupun elektronik, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sistem transfer dana merupakan suatu kepentingan yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, perlindungan yang diberikan oleh pihak bank terlihat dengan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi nasabah penyimpan selain itu bank juga wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Sementara payung hukum yang melindungi kepentingan bagi nasabah perbankan khususnya apabila terjadi sengketa antara pihak nasabah dengan bank mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI). Sedangkan menurut ketentuan UUPK perlindungan dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu: pra transaksi, transaksi dan setelah transaksi. Perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah pengguna jasa transfer dana menurut ketentuan UUPK dan Undang-Undang Perbankan telah berjalan sebagaimana mestinya, namun hal tersebut kurang dapat mem-back-up permasalahan yang terjadi terkait kegiatan transfer dana,sehingga diperlukan adanya peraturan tersendiri mengenai transfer dana untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya serta memberikan perlindungan bagi nasabah pengguna jasa transfer dana, mengingat nasabah memiliki arti yang penting bagi kelangsungan dan perkembangan suatu bank. B. Saran Berdasarkan pada kesimpulan yang telah dikemukakan, dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, kegiatan transfer dana merupakan suatu mekanisme yang melibatkan banyak pihak di dalamnya, khususnya pihak penyelenggara. Oleh karena itu, kegiatan transfer dana yang dilakukan oleh lembaga bukan bank wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari
20
Bank Indonesia selaku bank sentral, mengingat proses kegiatan transfer dana tidak hanya dilakukan oleh pihak bank saja. Hal ini penting untuk dilakukan supaya undang-undang tentang transfer dana nantinya dapat berfungsi sebagai payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan money remittances. Kedua, perlu adanya pengelompokan proses transfer dana secara elektronik maupun konvensional dalam undang-undang tentang transfer dana nantinya. Pengelompokan tersebut sangat penting terutama dalam proses identifikasi kapan saat terjadinya pengaksepan serta pengaturan pembuktian dan alat buktinya, mengingat selama ini belum ada kejelasan ketentuan yang memberikan batasan definisi tentangnya. Ketiga, adanya kejelasan alat bukti elektronik untuk dapat dipersamakan di pengadilan. Kejelasan alat bukti elektronik sangat diperlukan mengingat proses transaksi transfer dana secara elektronik lebih banyak menggunakan sistem terpadu untuk memproses perintah transfer dana yang menggunakan sarana elektronik . Kejelasan alat bukti elektronik baik itu meliputi informasi, dokumen elektronik serta hasil cetaknya yang terkait proses kegiatan transfer dana dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah selain alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara. Keempat, sebaiknya perlu adanya sosialisasi terkait rancangan undang-undang tentang transfer dana, mengingat mekanisme sistem transfer dana yang cukup rumit dan melibatkan banyak pihak di dalamnya.
21
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010. Ahmadi Miru dan Sutarrman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1999. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006. Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasar Undang-Undang 1998 Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kedua, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001. Perry Warjiyo,Bank Indonesia Sebagai Sebuah Pengantar, Jakarta: PPSK BI, 2004. Sanusi Dahlan, Pokok – Pokok Hukum Ekonomi dan Binsnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Sri Susilo dan Tim, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Tesis: Rina Purwariska, Perlindungan Nasabah Pengguna Jasa Electronic Funds Transfer, Tesis tidak diterbitkan, Semarang: Program Pascasarjana, Fakultas Magister Hukum, Universitas Diponegoro, 2005. Majalah: Inosentius Samsul, Pengembangan Model Penyelesaian Sengketa Perbankan Dalam Prespektif Perlindungan Kepentingan Konsumen: Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 7, Nomor 1, Januari 2009. Makalah: Bank Indonesia, Urgensi Penerbitan Undang – Undang tentang Transfer Dana, makalah disajikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, DPR RI, Maret 2010.
22
Peraturan perundang-undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara No. 3674. Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 182 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara No. 3790. Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara No. 3821. Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4357. Dokumen: Dokumen RUU tentang Transfer Dana, Bagian Arsip dan Dokumentasi Setjen DPR RI. Internet : Hendi Weblog, kamus perbankan, http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/ kamus-perbankan_18.html, diakses 26 April 2010. http://docstoc.asterpix.com/cy/2422251/?q=Pengertian+Transfer,diakses 26 April 2010. Kamus komputer dan Teknologi Informasi, http://www.total.or.id/info.php ?kk=Electronic%20Funds%20Transfer,diakses 27 April 2010. Arsitektur Perbankan Indonesia, Program Implimentasi API Dilakukan Secara Bertahap, www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2502404A-6622-46A 4 ../tahap.pdf , diakses Selasa 1 Juni 2010. Bank Indonesia, Enam Pilar API, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/250 2404A-6622-46A4-9030-00CF3FC86A7A/1378/enam_pilar.pdf, diakses Selasa 1 Juni 2010. Khotibul Umam, Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen di Bidang Perbankan, file:///H:/BAHAN%20TRANSFE R%20DANA-TRIAS/perlindungan-hukum-bagi-nasabah-bank-OKh tm, diakses Jumat 11 Juni 2010.
23
PERAN TOKOH AGAMA DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DI KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT A. Muchaddam Fahham Abstract This study examines the role of religious leaders in handling social conflict in Sambas, West Kalimantan. The results of the study reveal that the religious leaders were not directly involved to stop the conflict and its spread to neighboring areas. Different from this, in post-conflict phase, they play an active role in rebuilding social interaction by, for instance, holding regularly forum for dialogues between conflicting parties. Field research was conducted in August 2009 in several areas where the social conflict has taken place a few years ago.
Kata Kunci: Pendekatan Kultural, Pendekatan Keamanan, Tahapan Konflik, Akar Masalah, Kronologi Konflik. I. Pendahuluan A. Latar Belakang 1
Berbagai konflik dengan beragam akar penyebabnya yang pernah terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa negeri ini memiliki
Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat pada tanggal 7 sampai dengan 13 Agustus 2009. Penulis adalah Peneliti Muda Bidang Agama dan Masyarakat pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail:
[email protected]. 1 Lambang Trijono ketika menelaah konflik Ambon berkesimpulan bahwa konflik Ambon Maluku sejatinya merupakan akumulasi tiga macam konflik: Pertama, Konflik politik yang bersumber dari soal pembagian kekuasaan politik lokal yang dinilai tidak adil oleh masingmasing komunitas akibat sentralisasi politik Indonesia tahun 1990-an. Kedua, konflik sosialekonomi yang bersumber dari pergeseran kekuasaan adat, politik komunitas, penguasaan sumber daya ekonomi terutama hak tanah adat sebagai akibat dari birokratisasi dan kapitalisasi pembangunan atau modernisasi pembangunan selama ini. Ketiga, konflik identitas kolektif antarkomunitas agama yang bersumber dari sikap saling curiga, prasangka, kurang komunikasi, akibat dari separasi komunitas Kristen dan Muslim di Maluku yang sudah berlangsung cukup lama sebagai warisan historis. Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku: Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja untuk Perdamaian Maluku (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 179.
1
2
potensi bagi lahirnya konflik di masa depan. Karena itu, dibutuhkan penanganan konflik yang koprehensif dan tidak ad hoc. Salah satu hal yang perlu dicermati dalam konteks penanganan konflik adalah bagaimana konflik itu didekati tidak semata-mata berdasar security approach dan political approach tapi juga cultural approach. Sebab pendekatan keamanan dan politik bukan satu-satunya cara dalam penanganan konflik. Apalagi penanganan konflik tidak lagi sebatas ketika konflik terjadi, tetapi juga harus dilakukan pada saat sebelum dan sesudah konflik itu reda. Dalam kondisi demikian, pendekatan kultural dengan melibatkan tokoh agama untuk penanganan konflik menjadi 3 niscaya untuk dilakukan. Pelibatan tokoh agama dalam pendekatan kultural untuk menangani konflik bukan tanpa alasan yang kuat. Pertama, konflik pada umumnya tidak terjadi tanpa dukungan konteks interrelasi sosial yang mengitarinya. Dalam konteks seperti itu, tokoh agama umumnya merupakan aktor sosial yang menduduki posisi strategis yang dapat memobilisasi pihak-pihak yang berkonflik untuk bersama-sama menciptakan ruang damai sesuai dengan logika mereka sendiri atau 4 bahkan mengobarkan konflik. Kedua, pendekatan keamanan dan politik yang melibatkan polisimiliter dan negara dalam penanganan konflik sejatinya diperlukan untuk menghentikan konflik agar tidak memakan korban jiwa dan kerugian material yang besar. Pendekatan penanganan konflik ini hanya mampu menghentikan potensi konflik terutama ketika konflik tersebut berada dalam kendali aparatur keamaman dan negara, tetapi ketika kendali itu tidak ada, maka konflik mudah muncul kembali. Karena itu, penanganan konflik mesti melibatkan partisipasi masyarakat yang berkonflik agar mereka tidak selalu bergantung pada kondisi aman dan damai yang diciptakan oleh keamanan dan negara. Kondisi aman dan damai harus diciptakan oleh masyarakat dengan nalarnya sendiri. Dalam situasi itulah tokoh agama menemukan peran besarnya.
2
Secara detail majalah mingguan Tempo mendeskripsikan wilayah-wilayah konflik di Indonesia yang terbentang dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua dengan pemicu konflik yang beragam. Konflik Nanggroe Aceh Darussalam misalnya dipicu oleh Ketidakpercayaan pada pemerintah, perampokan sumber daya alam, identitas Ke-Aceh-an, dan trauma kekerasan militer. Sementara di Sumatera Utara konflik dipicu oleh etnik, agama, pengungsi, dan akses terhadap sumber daya alam. Tempo, Edisi 14-20 Agustus 2006, h. 34-35. 3 Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Galtung bahwa strategi untuk mencapai perdamaian bukan merupakan tanggungjawab Negara, tapi merupakan tanggungjawab setiap orang. Lihat Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization, (Oslo: International Peace Research Institute, 1996), h. 7. 4 Penelitian Sri Yanuarti dkk, memasukkan tokoh agama sebagai salah unsur civil society organization (CSO) yang memainkan peran yang sangat besar dalam mempertahankan maupun memadamkan konflik di Maluku. Sri Yanuarti dkk, Capacity Building Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat di Tingkat Lokal dalam Pengelolaan Konflik di Maluku (Jakarta: LIPI Press, 2007), h. 134.
2
Ketiga, pendekatan keamanan dan negara dalam penanganan konflik mendapat banyak kritik karena cenderung gagal memahami kompleksitas konflik. Bahkan dalam kondisi tertentu, penggunaan pendekatan keamanan dan negara dalam penanganan konflik justru seringkali menjadikan konflik tambah semakin parah. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Seperti telah disebutkan, penanganan konflik tidak bisa hanya didasarkan pada pendekatan keamanan dan negara tetapi juga perlu didasarkan pada pendekatan kultural. Konflik sosial yang terjadi Sambas Kalimantan Barat merupakan konflik etnik yang berakar pada perbedaan latar budaya, sehingga penanganannya juga harus berdasar pendekatan budaya. Dalam penanganan konflik sosial yang didasarkan atas pendekatan kultural, pelibatan unsur yang memiliki otoritas dalam masyarakat menjadi suatu keniscayaan yang harus dilakukan, dan salah satu unsur masyarakat yang memiliki otoritas itu adalah tokoh agama. Persoalannya adalah bagaimana posisi tokoh agama dalam penanganan konflik sosial di Sambas. Berdasar masalah utama ini dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana peran tokoh agama dalam mengakhiri konflik?; (2) Bagaimana peran tokoh agama dalam membangun kembali interaksi sosial setelah konflik? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini berupaya mendeskripsikan dan memahami peran tokoh agama dalam penanganan konflik sosial di Sambas Kalimantan Barat, terutama peran mereka dalam mengakhiri konflik, dan membangun kembali interaksi sosial pasca konflik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) penanganan konflik sosial. D. Kerangka Pemikiran Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai, adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan tujuan (incompatibility of goals) pada para pihak yang terlibat dalam konflik, dan masing-masing pihak 5 berusaha untuk mencapai tujuan dimaksud, namun kadang disertai 5
Konflik sebagai benturan antara gagasan-gagasan yang berbeda, antara sikap-sikap yang berbeda serta tindakan-tindakan yang berbeda tujuan dan kepentingan merupakan suatu hal yang lumrah terjadi dalam konteks kehidupan bersama manusia, bahkan konflik-konflik demikian justru agar kehidupan sosial berjalan dinamis. Yang tidak lumrah kemudian adalah ketiga benturan gagasan, sikap, dan kepntingan itu pecah menjadi konflik kekerasan fisikal (violent conflict). Lihat Tamrin Amal Tamagola, “Anatomi Konflik Kamunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso, dan Kalimantan 1998-2002,” Makalah Seminar Nasional
3
dengan upaya pihak yang satu untuk menyingkirkan pihak yang lain yang 6 dianggap menjadi penghambat baginya dalam mencapai tujuan. Di sisi lain, konflik juga dapat diartikan sebagai sebuah situasi di mana dua orang atau lebih menginginkan sebuah atau sejumlah sasaran atau obyek atau kepentingan, dan bahwa sasaran itu hanya bisa didapatkan oleh salah satu dari mereka, dan tidak oleh keduanya sekaligus. Ada juga yang mengartikan konflik sebagai situasi di mana dua pihak atau lebih berpendapat bahwa masing-masing memiliki kepentingan yang saling bertentangan (incompatible goals). Karena itu dalam konflik, terdapat: (a) ada dua pihak yang bersaing; (b) masingmasing pihak memobilisasi energi untuk mendapatkan sasaran (goals) tersebut; dan bahwa (c) masing-masing pihak menganggap pihak yang lain merupakan hambatan permanen (barrier) atau ancaman serius untuk mencapai sasaran yang hendak diperoleh sehingga perlu disingkirkan. Dilihat dari sisi meningkatnya eskalasi konflik, Johan Galtung menyatakan bahwa konflik yang telah terjadi dapat meningkat eskalasinya karena adanya tiga hal yang saling terkait, yaitu attitude, behavior, dan contradiction. Attitude merupakan perbuatan yang menimbulkan kecurigaan dalam masing-masing pihak berkonflik. Selanjutnya, adanya perilaku saling curiga itu menimbulkan, behaviour, yakni perbuatan baru yang dapat meningkatkan kualitas konflik. Kondisi itu, kemudian memunculkan rumor seputar konflik, rumor tersebut akan melahirkan apa yang disebut dengan kontradiksi, yakni pertentanganpertentangan, jika pertentangan ini semakin melebar maka akan mematikan ruang kepercayaan satu sama lain. Jika hal itu terjadi, maka 7 konflik yang terjadi akan sulit untuk di akhiri. Terlepas dari pengertian konflik di atas, masalah pokok yang perlu diketahui dalam konflik adalah bagaimana konflik itu diakhiri atau diselesaikan, di samping upaya pemahaman seputar akar penyebab 8 konflik yang terjadi. Pertanyaan yang mengemuka dalam konteks penyelesaian konflik itu adalah bagaimana penanganan konflik itu didekati dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Resolusi konflik merupakan terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatui proses terbuka dan Sejarah: Struktur dan Agensi dalam Sejarah. Diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI di Depok, tanggal 08 Mei 2003. 6 Robert W. Baowollo, “Manajemen Konflik Berbasis Warga,” Makalah disampaikan sebagai pengantar diskusi Model-Model Resolusi Konflik Berbasis Karakter Lokalitas yang diselenggarakan oleh Syarikat Indonesia di Pendopo Syarikat Indonesia, Yogyakarta pada tanggal 20 Januari 2009. 7 Suwandono, “Konflik Poso dan Publik Trust,” dalam Republika Online, 24 Januari 2007. www.republika.co.id. 8 Sudah banyak penelitian yang berupaya menjelaskan akar penyebab konflik di berbagai wilayah di Indonesia, Penelitian tentang akar permasalahan konflik sosial horizantal yang terjadi di Maluku menyimpulkan empat akar permasalahan konflik: Pertama, persoalan “perebutan kekuasaan” dan “perebutan aset-aset lokal” yang memunculkan isu “persoalan diskriminasi etnis dan agama” khususnya dalam perekrutan kerja di birokrasi pemerintahan
4
membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Ada empat hal yang perlu diperhatikan ketika konflik dikendalikan lewat resolusi konflik. Pertama, terjadinya suatu konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Penanganan konflik atau conflict resolution lazimnya dibedakan dari pengelolaan dan penyelesaian konflik. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linier. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Keempat, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian 9 yang langgeng. Di sisi lain, ada juga yang berupaya membedakan antara manajemen, penyelesaian konflik dengan resolusi konflik. Manajemen konflik adalah kecapakan dalam mengelola sehingga konflik dapat ditampung dan dibatasi. Sedangkan penyelesaian adalah wewenang yang dimiliki untuk memaksa sebuah konflik untuk selesai. Baik mengelola maupun menyelesaikan konflik, pendekatan yang biasanya digunakan adalah struktural, sementara pihak yang terlibat dalam proses itu biasanya aktor-aktor yang terbatas hanya pada pemerintah dan aparat keamanan. Resolusi konflik adalah upaya penghentian konflik secara analitis dan menyentuh dasar permasalahan dalam konflik. Pada konsepnya yang demikian, resolusi konflik, menurut Galtung, tidak berhenti pada upaya penanganan ketika konflik terjadi saja, atau ketika konflik telah 10 selesai, tapi juga pada tahap sebelum konflik itu terjadi. Dengan kata lain, resolusi konflik adalah upaya penanganan konflik secara menyeluruh tidak terpisah-pisah. Ada tiga tahap resolusi konflik, pertama adalah tahap pra konflik, yakni bagaimana pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menciptakan kondisi yang memungkinkan kehidupan sosial yang aman dan damai, kedua, tahap konflik, yakni bagaimana pemerintah, sektor swasta, masyarakat terlibat dalam penghentian dan penanganan konflik, sementara tahap ketiga adalah, bagaimana ketiga aktor terlibat dalam penanganan pasca konflik: rekonsiliasi dan recovery.
9
Syamsul Hadi dkk, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional (Jakarta: CireS FISIP UI-Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 24-27. 10 Suwandono,”Konflik Poso dan Publik Trust,” dalam Republika Online, 24 Januari 2007. www.republika.co.id.
5
Menurut Kriesberg proses resolusi konflik dapat dibagi menjadi empat tahapan yang meliputi: (1) tahap deeskalasi konflik; (2) tahap negosiasi; (3) tahap problem solving approach; (4) tahap peace 11 building. Tahap pertama, de-eskalasi konflik, pada tahap ini konflik yang terjadi masih diwarnai dengan pertikaian bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksi harus begandengan tangan dengan orientasiorientasi militer. Proses resolusi konflik dalam tahap ini dapat dimulai jika didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Kajian tentang de-eskalasi konflik menurut Yanuarti masih didominasi oleh pendapat Zartman tentang kondisi hurting stalemate. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai akan lebih terbuka kepada opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat dan untuk menghindari kehancuran total. Tahap kedua, yakni negosiasi hanya dapat dilakukan ketika tahap de-eskalasi konflik sudah terjadi atau bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban pnderitaan korban-korban konflik, untuk membuka peluang diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik antar aktor yang berkonflik. Tahap ketiga, yakni problem solving approach, diarahkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi. Transformasi konflik dapat disebut berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeksplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masingmasing komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Dengan mengutip pendapat Burton, Yanuarti menyatakan bahwa sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh. Dengan demikian, proses resolusi konflik harus berhadapan dengan suatu realitas sosial yang kompleks dan tidak hanya melakukan usaha-usaha ad-hoc untuk mengendalikan suatu dimensi interaksi sosial spesifik yang menyukai kekerasan. Tahap keempat, (peace building) meliputi tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahapan ini merupakan tahapn terberat dan memakan waktu yang lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Pada tahap transisi ini governance-based approach merupakan suatu pendekatan yang dominan digunakan selama ini. Pendekatan ini 11
Sri Yanuarti, ”Penanganan Konflik Sosial di Indonesia,” Artikel diskusi bersama Tim Peneliti Kesejahteraan Sosial P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 13 Mei 2009.
6
sangat menekankan tentang pemulihan norma-norma liberal untuk memulihkan civil society, sembari menempatkan pembentukan institusi demokrasi dan pelaksanaan HAM sebagai prioritas utama. Tahap pertama dari peace building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang dialami suatu komunitas telah menimbulkan kerapuhan kohesi asal masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam sejarah komunitas tersebut. Rekonsiliasi sendiri, dapat didefinisikan sebagai pemulihan kembali kesucian masyarakat yang telah ternoda oleh tindakan-tindakan kekerasan. Rekonsiliasi bisa juga didefinisikan sebagai suatu proses untuk menempatkan pihak-pihak yang bertikai dengan jalan menghilangkan penghalang antara kedua pihak untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama tentang masa depan mereka. Dari definisi itu diketahui bahwa proses rekonsiliasi baru bisa dilakukan jika sudah ada proses de-eskalasi konflik. Tahap penting dari proses rekonsiliasi adalah perwujudan rasa keadilan dalam masyarakat. Namun harus kembali ditekankan bahwa rekonsiliasi bertujuan untuk mencatat sejarah hitam suatu bangsa/masyarakat dan kemudian menjadikannya sebagai kekuatan baru untuk membentuk masa depan bersama. Dengan demikian, perwujudan rasa keadilan ditujukan untuk meberikan jaminan hukum terutama untuk mencegah terulangnya pemakaian kembali tindak kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan antar kelompok. Proses rekonsiliasi ini dapat dikatakan berhasil jika pihak-pihak yang bertikai secara sama-sama memandang penderitaan yang selama ini dialami oleh masing-masing kelompok sebagai pengorbanan yang memang diperlukan untuk memperkuat sendi-sendi bangsa. Dengan kata lain, kedua kelompok berhasil merubah destructive conflict yang terjadi selama ini menjadi contructive conflict yang tidak akan lagi menjadikan kekerasan sebagai sarananya. Tahap berikutnya dari proses peace building adalah tahap konsolidasi perdamaian. Upaya ini dapat dilakukan dengan merumuskan hubungan antara masyarakat dengan negara dimana terbuka kesempatan bagi pihak yang semula bertikai untuk menyelesaikan konflik. Untuk itu, perlu diberdayakan lembaga-lembaga administrasi negara, penegak hukum dan jasa sosial. Erat kaitannya dengan dimensi politik-kekuasaan adalah kebijakan keamaman, konkretnya adalah demiliterisasi konflik lewat pendidikan, pengawasan, persenjataan, dan penataan ulang hubungan sipil-militer. Namun demikian dalam praktek dan implementasi upaya konsolidasi perdamaian mencatat banyak permasalahan dan kekurangan. Pertama, sifat politis proses konsolidasi perdamaian sering dilupakan atau dianggap enteng. Padahal tidak ada satupun pelaksanaan kegiatan bersifat netral dalam dampaknya. Karena itu, harus diperhatikan pendekatan birokratis teknokratis yang mengandung dampak kontra produktif terhadap tujuan konsolidasi perdamaian.
7
Sebaliknya, bila diperlukan harus ada pressure dari pihak-pihak yang bertikai dalam mediasi. Kedua, kenyataan di lapangan, kebanyakan kebijakan perdamaian biasanya dikeluarkan oleh penguasa. Selama ini, proses perdamaian yang dilakukan penguasa memakai pendekatan topdown yang melibatkan politisi, panglima, tokoh perang, tokoh agama dan suku dalam bingkai konferensi diplomasi perdamaian yang sifatnya seremonial. Upaya diam-diam dan bottom-up yang dilakukan LSM, misalnya sering kurang diperhatikan. Dalam banyak kasus penguasa bahkan terpaksa bekerja sama dengan tokoh, kelompok atau institusi yang bisa dikategorikan ”penjahat perang atau pembatai massal”. Meski menurut pertimbangan riil politik, hal ini bisa menjamin keamanan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akan berdampak kontra produktif bagi proses perdamaian. Ketiga, sulitnya memenuhi kebutuhan pendanaan pasca kerusuhan, serta adanya beberapa aspek yang harus dipertimbangkan matang, misalnya apakah hasil dari ”investasi” (waktu, dana, SDM) yang selama ini ditanam dalam proses perdamaian? Upaya apa yang harus dilakukan dan mana saja yang telah berlangsung secara optimal? Apa saja harga (finansial dan politik) dari berbagai kegiatan itu? Keempat, proses konsolidasi perdamaian bukan sesuatu proses perbaikan yang berlangsung sekejap (quick fix), tetapi memerlukan nafas panjang, apalagi yang berkaitan dengan rekontruksi dan pembaharuan masyarakat atau bahkan pembaharuan negara pasca konflik yang destruktif. Namun demikian, kelemahan-kelemhanan tersebut dapat diminimalisir apabila kedua komunitas yang bertikai mampu merancang dua kegiatan. Pertama adalah mengoperasikan indikator sistem peringatan dini (early warning system). Indikator tersebut harus terkait dengan variasi sumber konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konlik. Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor non-militer di berbagai tingkat eskalasi konflik. Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat berupa non-governmental organization (NGO), mediator lokal, nasional dan 12 internasional atau institusi keagamaan. II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 7 sampai 13 Agustus 2009. Alasan 12
Sri Yanuarti, Konflik Maluku Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004), h. 17
8
utama mengapa Kabupaten Sambas dipilih sebagai lokasi penelitian karena di kabupaten inilah konflik antara etnis Melayu dengan etnis Madura pernah terjadi. B. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini didapatkan melalui: (1) studi dokumentasi, dan (2) wawancara mendalam. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara membaca dan memahami berbagai literatur yang berkaitan dengan penanganan konflik, hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil kajian tentang konflik. Sementara wawancara mendalam dilakukan dengan informan penelitian, yang meliputi pakar di bidang konflik, tokoh agama yang mengetahui dan ikut terlibat aktif dalam penanganan konflik Sambas, tokoh agama tersebut bisa berasal dari lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama. Tokoh agama Bisa juga berasal dari lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat ketika konflik berlangsung maupun ketika konflik telah berakhir. Lembaga-lembaga itu antara lain, Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM), Ikatan Generasi Muda Islam (IGMI). C. Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan wawancara mendalam diklasifikasikan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Sementara analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang diberikan Miles & Huberman yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. 13 Aktifitas dalam analisis data, meliputi data reduction, data 14 15 display dan conclusion.
13
Mereduksi data dalam konteks penelitian yang dimaksud adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting , membuat katagori. Dengan demikian data yang telah direduksiakan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpuklan data selanjutnya. Lihat dalam Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), h. 16. 14 Ibid., h. 7. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data atau menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network dan chart. Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut sudah menjadi pola yang baku yang selanjutnya akan didisplaykan pada laporan akhir penelitian.
9
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sebelum mendeskripsikan peran tokoh agama dalam penanganan konflik sosial, terlebih dahulu penulis menguraikan secara umum tentang konflik sosial di Sambas yang meliputi gambaran umum konflik, akar masalah konflik, dan kronologi konflik yang terjadi pada tahun 1999 itu. A. Gambaran Umum Konflik di Sambas Kalimantan Barat Kalimantan Barat memiliki sejarah panjang tentang konflik 16 etnik. Menurut Henny Warsilah dan Dede Wardiat, sejak tahun 1950-an hingga tahun 2000-an telah terjadi sekitar 12 kali konflik kekerasan antar etnis. Dalam perjalanan sejarah konflik itu selalu dipicu oleh peristiwa sepele seperti perkelahian antar pemuda, antar warga, masalah tanah, senggolan antara bus dengan motor, tersenggol pada saat menonton hiburan rakyat, dengan mudah meledak menjadi konflik kekerasan yang kemudian menyulut konflik yang lebih luas. Kerusuhan sosial seringkali diawali dari suatu tindakan kriminal murni, terjadinya pelanggaran nilai17 nilai atau norma-norma adar istiadat/kebiasaan dari suatu etnis. Beberapa kerusuhan sosial di wilayah Kalimantan Barat, konflik sosial antara etnis Melayu dan Madura pada tahun 1999, merupakan konflik yang hingga penelitian ini dilakukan masih menyisakan masalah yang cukup serius. Konflik yang terkenal dengan Tragedi Parit Setia ini meskipun telah selesai tapi interaksi antara kedua etnis yang terlibat konflik belum juga terbangun secara harmonis. Etnis Melayu masih belum bisa menerima kehadiran kembali etnis Madura di 18 Sambas. Dan konflik ini memakan korban yang tidak sedikit. Secara kronologis, kerusuhan antara suku Melayu dengan suku Madura pada tahun 1999, terjadi dalam tiga fase. Fase pertama, dipicu oleh usaha pencurian oleh seorang warga Madura sehingga mendorong kelompok Madura melakukan penyerangan dan pembunuhan pada hari Idul Fitri 1419 H. Fase Kedua dipicu oleh penusukan yang dilakukan oleh warga Madura terhadap warga Melayu di Semparuk sehingga menyebabkan pembakaran rumah di Kecamatan Jiwai dan Pemangkat. Fase ketiga, dipicu oleh kematian orang Dayak yang dilakukan oleh oknum Madura sehingga menyebabkan konflik 15
Ibid., h. 19. Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan verivikasi. 16 Heru Cahyono, Resolusi Konflik Etnis di Sambas, (Jakarta: LIPI, 2006), h. 81 17 Henny Warsilah dan Dede Wardiat, “Akar Permasalahan dan Strategi Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, “dalam Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from LIPI-CNRS Conflict Studies Program. (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi ilmiah LIPI, 2006), h. 1-75 18 Heru Cahyono, Resolusi Konflik Etnis di Sambas, h. 88
10
kekerasan yang menyebar 19 Kalimantan Barat.
dan
meluas
di
Kabupaten
Sambas
B. Akar Masalah Faktor pemicu pertikaian antar etnis di Kalimantan Barat menurut Henny Warsilah dan dan Dede Wardiat, hampir seluruhnya disebabkan oleh tindakan kriminal. Kasus Sanggau Ledo tahun 1997 dipicu oleh perkelahian antara warga Madura dengan warga Dayak. Kasus Parit Setia dipicu oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga Madura terhadap Melayu. Faktor pemicu lainnya yang mengakibatkan meluasnya kerusuhan Sambas 1999, antara lain: (1) adanya provokasi dari pihak Madura yang menyatakan Melayu Panakut dan Melayu Kerupuk; (2) Pengiriman bagian-bagian tubuh manusia oleh sebagian pelaku di wilayah Pemangkat dan Tebas kepada sesama Melayu pada konflik fase kedua ke wilayah Sambas; (3) pernyataanpernyataan dari tokoh informal kedua belah pihak yang saling menyalahkan satu sama lain sehingga memotivasi kedua pihak untuk melakukan tidak kekerasan; (4) koersivitas atau tekanan dari aparat keamanan dalam menangani massa yang sedang marah dan dirasakan tidak adil bagi pihak-pihak yang bertikai seperti melucuti senjata api milik kelompok etnis Melayu di Sengkawang atau penembakan para 20 demonstran oleh pasukan PPRM/PPH. Akar masalah terjadinya kerusuhan antar etnis yang terjadi di 21 Kalimantan Barat dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Perbedaan Budaya Kemajemukan dan heterogenitas budaya masyarakat di Kalimantan Barat merupakan faktor yang berperan cukup besar dalam terjadinya pertikaian antar etnis di wilayah ini. Karena kemajemukan dan heterogenitas itu, maka tidak ada budaya dominan sebagai wadah pembauran dari masing-masing etnis yang ada. Hampir seluruh pertikaian antar etnis, khususnya antara Dayak dengan Madura, Melayu dengan Madura disebabkan oleh adanya faktor perbedaan budaya antara pendatang baru Madura di satu pihak dengan Dayak dan Melayu di pihak lain. Masih kuatnya kebiasaan di daerah asal Madura dapat menimbulkan kerisauan pada masyarakat setempat. Perbedaan pandangan dari segi budaya semacam ini tampak menjadi benih ketidaksesuaian dalam hubungan sosial antara mereka dengan 19
Henny Warsilah dan Dede Wardiat, “Akar Permasalahan dan Strategi Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, “ Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from LIPI-CNRS Conflict Studies Program. (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi ilmiah LIPI, 2006), h. 1-75. 20 Ibid., h. 1-75. 21 Ibid., h. 1-75.
11
penduduk setempat. Perbedaan tersebut juga diperuncing dengan pola 22 hubungan etnis yang mengarah pada stereotip antar etnis. Lemahnya adaptasi nilai-nilai budaya setempat ditambah lagi dengan pola-pola permukiman yang mengelompok oleh suku Madura dianggap telah memperuncing perbedaaan yang ada di antara suku-suku asli. Sebagai migran, etnis Madura dianggap gagal melaksanakan proses adaptasi terhadap lingkungan setempat. mereka praktis telah melanggar norma umum bahwa sebagai pendatang hatus menghayati dan menghormati adat-istiadat setempat, sebab tanpa ini mustahil 23 memunculkan rasa senasib antara penduduk asli dan kaum pendatang. Jika diperhatikan secara cermat, faktor sosial budaya dianggap sebagai faktor utama terjadinya konflik sosial di Kabupaten Sambas. Perbedaan kultur etnis Madura dan Melayu secara persis diuraikan sebagai berikut: Agama Meskipun sama-sama memeluk agama Islam terdapat perbedaan kedua etnis itu dalam menjalankan ajaran Islam. Etnis Madura, dalam menjalankan ajaran agama cenderung tertutup: membangun sarana ibadah di lingkungan permukiman etnis Madura sendiri, hal ini menyulitkan terciptanya komunikasi antar etnis. Sementara etnis Melayu dalam menjalankan ajaran agamanya bersifat terbuka, sehingga terjadi interaksi sosial dengan etnis lain yang samasama pemeluk agama Islam sehingga etnis Melayu tidak pernah mengalami konflik sosial dengan etnis lain yang sama-sama pemeluk agama Islam. Adat Bila terjadi perselisihan antara etnis Madura dengan etnis Melayu selalu diakhiri dengan kekerasan, baik dalam bentuk penganiayaan maupun pembunuhan yang dilakukan secara berkelompok. Sebaliknya, untuk menyelesaikan perselisihan, etnis Melayu melakukannya secara jantan apabila sudah terdesak atau melalui proses hukum formal di pengadilan. Etnis Madura selalu membawa senjata tajam (clurit) bila bepergian, dan dijadikan senjata pembunuh bila terjadi perselisihan atau 22
Benturan budaya sebagai akar masalah dalam konflik etnis di Kab. Sambas juga dikemukakan oleh beberapa informan penelitian ini dalam wawancara yang dilakukan dengan MUI Kab. Sambas dan Dinas Kesehatan Kab. Sambas pada tanggal 09 Agustus 2009. 23 Henny Warsilah dan Dede Wardiat, “Akar Permasalahan dan Strategi Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, “ Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from LIPI-CNRS Conflict Studies Program. (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi ilmiah LIPI, 2006), h. 1-75.
12
perkelahian. Sementara etnis melayu tidak membawa senjata tajam bila bepergian ke mana-mana, sehingga jarang etnis melayu melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata tajam. Pola Permukiman Di Kabupaten Sambas, etnis Madura membentuk pola permukiman sendiri, cenderung eksklusif, tidak berbaur dengan etnis lain, dan cenderung hidup mengelompok dengan sesama Madura. Dalam pola permukiman yang seperti itu, etnis Madura mendirikan Masjid, mushalla, sekolah, serta pesantren yang diperuntukkan bagi kelompok mereka sendiri. Guru yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan itu mereka mendatangkan guru dari Madura. Berbeda dengan etnik Madura, pola permukiman etnis Melalyu bertolak belakang dengan pemukiman etnis Madura: inklusif, membaur dan terbuka dengan etnis 24 lainnya. Pendidikan Harus dikatakan bahwa pendidikan etnis Madura yang ada di Kabupaten Sambas relatif buruk, etnis ini tampaknya lebih mengutamakan bekerja dan enggan bersekolah. Jika ada yang bersekolah lebih banyak dilakukan pada sekolah-sekolah agama yang didirikan oleh kelompok-kelompok Madura seperti pesantren. Sementara bagi etnis Melalyu, pendidikan jauh lebih baik di mana tingkat pendidikan anak-anak mereka sampai pada tingkat SMU dan bahkan banyak di antara orang tua menyekolahkan anaknya sampai ke universitas. 2. Kriminalitas dan Penyerobotan Tanah Tindakan kriminal dan kekerasan, baik dalam bentuk penganiyaan atau pembunuhan merupakan sebagian besar faktor pemicu pertikaian antar etnis dalam sejarah konflik di Kalimantan Barat. Tindak kekerasan biasanya dilakukan oleh dan terhadap suku-suku yang berlainan, sehingga ini dipersepsikan sebagai pembunuhan kelompok yang satu terhadap yang lainnya, meskipun disinyalir kemungkinan adanya provokator yang turut menyulut dan memperluas skala konflik. Sebagai penduduk migran, etnis Madura di bidang ekonomi dikenal sebagai aggressor yang pandai mencaplok hak-hak ekonomi rakyat setempat. Masyarakat Madura Sambas dengan agresivitasnya dalam persaingan ekonomi tidak jarang menggunakan cara-cara tidak 24
Parsudi Suparlan dalam wawancara dengan majalah mingguan D&R tanggal 3-8 Mei 1999. Benturan budaya sebagai salah satu faktor penyebab kerusuhan juga disampaikan oleh perwakilan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) Kab. Sambas, dalam wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 10 Agustus 2009.
13
jujur, pemaksaan dengan tekanan dan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Termasuk penyerobotan tanah-tanah pertanian dan 25 perkebunan milik penduduk setempat. C. Kronologi Konflik Pada tanggal 17 Januari 1999 (tiga hari menjelang hari Raya Idul Fitri) terjadi penangkapan dan pengeroyokan terhadap Hasan (27 26 tahun) warga Madura dari desa Sari Makmur. Oleh warga desa Hasan tertangkap tangan saat hendak melakukan pencurian di rumah Achmad 27 di Dusun Setia Dharma, Desa Parit Setia. Kejadian malam itu, meskipun telah melalui berbagai upaya perdamaian, akhirnya berlanjut menjadi sebuah kerusuhan yang berkepanjangan. Walaupun pada awalnya percikan api ini masih dapat diatasi dan diredam karena ada beberapa tindakan yang dilakukan, seperti misalnya warga yang bertikai menyerahkan persoalan melalui upaya ”hukum” dengan cara menyerahkan persoalan itu untuk diselesaikan secara hukum yaitu melalui aparat kepolisian agar menangkap mereka yang terlibat. Upaya pertama ini tampaknya kurang membuahkan hasil yang optimal terbukti 28 dari beberapa situasi dan kejadian lanjutan sebagai berikut: Keadaan semakin meruncing setelah keesokan harinya Hasan diserahkan ke Polsek Jawai untuk diproses sesuai prosedur hukum. Pihak Madura tidak dapat menerima kondisi main hakim sendiri yang dilakukan warga desa Parit Setia (tiga pemuda yang mewakili warga desa Hasan mendatangi Polsek Jiwai, dan mereka protes bahkan mengancam akan balas dendam, dan Kepala desa Parit Setia diancam akan dibunuh). Hasan dinyatakan tidak bersalah karena tidak ada bukti material yang cukup untuk proses penyidikan, dan dia diperbolehkan pulang (setelah dirawat di Puskesmas Sentebang selama dua hari). Pihak keluarga marah melihat kondisi fisik Hasan, akhirnya sekitar 200 orang warga Madura dari desa Sari Makmur melakukan penyerangan terhadap warga Melayu di desa Parit Setia. Akibat penyerangan yang membabi buta, dua orang Melayu dan seorang suku Dayak (yang sudah 25
Wawancara dengan Dinas Kesehatan Kab. Sambas, tanggal 10 Agustus 2009. Wawancara dengan MUI Kabupaten Sambas, tanggal 9 Agustus 2009. Menurut Henny Warsilah dan Dede Wardiat ada dua versi cerita tentang penangkapan warga Madura yang dilakukan oleh warga dusun Setia Dharma Desa Parit Setia. Pertama, versi Madura yang menjadi tersangka mengatakan bahwa warganya itu bukan bermaksud untuk mencuri, tetapi karena pulang kemalaman dari habis main dan minum-minum di pub (kondisi setengah mabuk) dia mencari tempat istirahat dan rebahan di teras rumah orang yang kebetulan orang Melayu. Kedua, versi Melayu mengatakan warga Madura hendak melakukan pencurian di rumah Ahmad. Lihat Henny Warsilah dan Dede Wardiat, ”Akar Permasalahan dan Strategi Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah,” Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from LIPI-CNRS Conflict Studies Program. (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi ilmiah LIPI, 2006), h. 46. 28 Ibid., h. 46 26 27
14
masuk Islam) meninggal, dan dua orang anak korban kena luka bacok 29 yang cukup parah. Atas kebijaksanaan Kepala Desa Parit Setia (Sardjono Djuin) maka warga diminta untuk menyelesaikan pemakaman para korban dan masalah itu agar diserahkan pada pihak berwajib. Warga Melayu menuntut agar polisi mengusut tuntas pelaku kasus itu. Namun tanggapan yang diberikan oleh aparat kepolisian Polsek Jawai sangat ”lamban” oleh karena itu warga melanjutkan perkara tersebut ke Kapolres dan Kapolda Kalbar. Karena desakan penduduk dan juga untuk meredakan situasi yang semakin memanas, akhirnya aparat keamanan melakukan penangkapan terhadap tujuh orang pelaku pengeroyokan di desa Parit Setia dan beberapa hari kemudian menangkap lagi empat orang pelaku. Tindakan ini untuk sementara cukup meredam ketidakpuasan masyarakat yang bertikai. Kerusuhan memuncak kembali dan memunculkan kemarahan 30 dari warga Melayu, karena ulah seorang bernama Kacong. Kronologi 31 Kejadiannya sebagai berikut: Pada tanggal 21 Februari, Rodi alias Kacong (Madura) naik kendaraan umum bu Triono dari Desa Sempadung menuju Tebas, dan sewaktu turun pergi begitu saja tidak mebayar ongkosnya, dan dia ditegur dan dipelototi oleh Bujang (Melayu) yang merupakan kernet dari mobil tersebut. Kacong merasa tersinggung dan sakit hati. Rodi pulang mengambil senjata tajam clurit dan kembali ke jalan menunggu kendaraan Bujang lewat. Pada saat kendaraan dihentikan oleh Kacong, Bujang datang menghampiri dan tidak disangka Rodi mengibaskan cluritnya hingga mengenai bagian celah ibu jari kanan dan lutut Bujang Lebik dan dilarikan ke rumah sakit Pemangkat. Isupun berkembang bahwa bujang mati dianiaya oleh Rodi yang Madura. Keadaan ini menyentak perasaan sedih dan emosi warga Pemangkat yang mayoritas warga Melayu. Pada tanggal 22 Februari 1999 sekitar jam 01.30 WIB, sekitar 300 orang Melayu mengepung rumah Rodi dan menyuruhnya 32 untuk menyerahkan diri ke Polsek Tebas. Tetapi ternyata mendapat perlawanan, kedatangan warga Melayu ini disambut dengan tembakan senapan lantak (senapan rakitan), dan mengenai pelipis Hamsiar (Melayu). Berita ini penembakan ini cepat menyebar di kalangan warga masyarakat Melayu di Kecamatan Pemangkat, khususnya di Desa Semparuk. Stereotip etnik yang 29
Ibid., h. 46 Henny Warsilah dan Dede Wardiat, ”Akar Permasalahan dan Strategi Penanganan Konflik, h. 47. hal yang sama juga disampaikan oleh Muhanni Abdur dalam Wawancara tanggal 09 Agustus 2009. 31 Nyayu Fatima, ”Konflik di Kalimantan: Arogansi Etnik atau Identitas Etnik yang Terusik?,” dalam Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from LIPI-CNRS Conflict Studies Program. (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi ilmiah LIPI, 2006), h. 77-99. 32 Ibid., h. 84. 30
15
biasanya merupakan bahan ”guyonan antar dua etnis yang berbeda” pada waktu itu berubah menjadi bahan ledekan dengan nada-nada melecehkan seperti ”Melayu terkuyung, Melayu kerupuk” yang artinya Melayu penakut, pada saat kejadian malah memperbesar api kemarahan dari warga Melayu. Tak dapat dielakkan lagi api permusuhan pun mulai 33 berkobar dan merembet tanpa ada batas waktu. Akibatnya maka terjadilah pembakaran terhadap rumah-rumah orang Madura (17 rumah habis terbakar) dan harta milik Madura seperti mobil, dan sapi habis dibakar. Selain itu, pembunuhan pun terjadi terhadap beberapa warga Madura sampai tanggal 24 Februari 1999, tercatat 30 rumah milik Madura habis terbakar. Kejadian serupa berlangsung secara sporadis di berbagai wilayah kecamatan di Kabupaten Sambas, yang diiringi dengan yel-yel ”Melayu bukan penakut, Melayu bukan kerupuk, Melayu bukan Tengkuyung.” Kejadian tersebut terus berlangsung sampai sekitar bulan 34 April 1999. D. Peran Tokoh Agama dalam Proses Perdamaian di Sambas Keterlibatan tokoh agama dalam proses perdamaian dalam konflik etnis di Sambas tampak dari berbagai aktivitas yang mereka lakukan dalam lembaga maupun pertemuan-pertemuan yang digagas untuk menghentikan konflik yang sedang terjadi dan membangun kembali interaksi sosial pasca-konflik di Sambas seperti terlihat berikut: 1. Peran dalam Mengakhiri Konflik Konflik Sambas bukan konflik yang disebabkan oleh agama, 35 konflik Sambas lebih merupakan konflik etnis. Karena itu, peran tokoh agama dalam proses mengakhiri konflik sosial di Sambas tidak terlihat menonjol. Tokoh agama dari kedua pihak berkonflik melebur ke dalam lembaga-lembaga lokal yang dibentuk masyarakat ketika konflik sedang terjadi. Jadi keterlibatan mereka dalam mengakhiri konflik tidak terlihat sebagai tokoh agama tapi lebih terlihat sebagai tokoh masyarakat. Menurut Heru Cahyono tokoh agama memiliki peran kecil tokoh dalam mengakhiri konflik. Bahkan ketika konflik terjadi tokoh agama tidak 36 turun untuk mengakhiri konflik. Hal demikian bisa jadi diakibatkan oleh pandangan kedua etnis terhadap posisi tokoh agama. Bagi orang 33
Pelabelan (stereotype), ini menurut wakil dari Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM), menjadi semacam hinaan terhadap etnik Melayu, karena itu mereka kemudian bangkit dan menyerang. 34 Nyayu Fatima, ”Konflik di Kalimantan: Arogansi Etnik atau Identitas Etnik yang Terusik?,” dalam Glen Smith & Helena Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan, h. 77-99. 35 Wawancara dengan H. Darwis Muhtar, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu, 9 Agustus, 2009. 36 Heru Cahyono, Resolusi Konflik Etnis di Sambas, h. 117
16
Madura, tokoh agama adalah mereka memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam, dan bagi etnis madura ulama demikian berasal dari kampung mereka di Pulau Madura. Sementara bagi orang Melayu, tokoh 37 agama, tidak memiliki posisi yang signifikan. Bagi orang Melayu di Sambas, yang memiliki otoritas adalah pihak kerajaan Sambas dan tokoh adat. Karena itulah, dalam konflik Sambas peran tokoh agama tidak menonjol, meskipun tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki peran dalam membangun kembali interaksi sosial antara warga Melayu dan warga Madura pasca konflik. Konflik yang sedang terjadi, dalam pandangan mereka juga harus diselesaikan secara informal dan alamiah. Campur tangan Negara, baik melalui aparat keamanan maupun melalui aparatur Pemerintah Daerah, dalam upaya mengakhiri konflik kerapkali dipandang formalitas belaka dan tidak punya efek dalam penghentian konflik. 2. Peran dalam Membangun Kembali Interaksi Sosial Pascakonflik Keterlibatan tokoh agama dalam membangun kembali interaksi sosial pasca konflik tergambar dalam beberapa hal berikut: a. Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan Pertemuan yang diinisiasi oleh Pemerintah ini dilaksanakan pada 38 tanggal 22 Maret 2001. Dihadiri oleh beberapa tokoh agama dan masyarakat Kalimantan, diantaranya H. A. Fauzi Z. Bakhsin Kalimantan Tengah, Lewis KDR Kalimantan Tengah, H. Ridhoi Kalimantan Barat, A. Syaikun Riady Kalimantan Barat, H. Mansyah Addrian Kalimantan Selatan, Prof. KH. Aswadi Syukur Lc Kalimantan Selatan, Martinus F. Tennes Kalimantan Timur, Sudjarwo Kalimantan Timur, KH Bisri Abdul Jalil Jawa Timur, dan R.P. Moh. Noer Jawa Timur. Hasil dari pertemuan ini adalah deklarasi yang disebut dengan ”Tekad Damai Anak Bangsa Di Bumi Kalimantan” yang isinya sebagai berikut: (1) Musyawarah Damai sepakat bertekad secara bulat dan utuh untuk menyelesaikan masalah di Bumi Kalimantan secara konseptual, komprehensif, integral, dengan dilandasi semangat i’tikad baik, bijaksana dan saling menghormati; (2) Musyawarah Damai menjadi tekad sebagai entitas awal untuk menciptakan dan melaksanakan perdamaian di bumi Kalimantan; (3) Musyawarah Damai telah mengindikasikan akar masalah yang mendasar yang perlu ditangani dengan perencanaan yang baik, pengorganisasian yang baik serta pelaksanaan yang baik, bukan sekedar reaksi terhadap suatu kasus yang hanya berakibat lebih buruk dan kontroversial, tetapi harus yang bersifat responsif yang harus dilaksanakan secara konsisten dan sungguh-sungguh ikhlas secara lahir batin. Adapun akar masalah 37 38
Ibid., h. 117 Wawancara, Muhanni Abdur (tokoh agama), 9 Agustus 2009.
17
dari seluruh konflik yang dapat diidentifikasi meliputi: (a) Kebijakan Pemerintah yang kurang tepat di masa lalu; (b) proses pembinaan dan pemberdayaan manusia yang kurang berhasil di masa lalu; (c) Benturan budaya; (d) rasa ketidakadilan; (e) kemiskinan; (f) keamanan yang tidak kondusif; (g) ketidakpastian dalam penegakan hukum untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut Musyawarah sepakat akan adanya kesamaan prinsip dasar yang digunakan yaitu: (a) menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) menghormati supremasi hukum dan hak asasi manusia; (c) menerapkan filsafat ”di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”; (d) menjunjung tinggi semangat saling menghormati, beri’tikad dan berprasangka baik; (e) pengakuan dan penerapan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia berhak tinggal di mana saja di seluruh wilayah republik Indonesia, termasuk Bumi Kalimantan; (f) para pengungsi yang ingin dan akan kembali ke Kalimantan diatur pelaksanaannya dengan seksama dan sebaik-baiknya melalui tahap persiapan, tahap sosialisasi, tahap pelaksanaan dan tahap rehabilitasi, sehingga baik pengungsi maupun warga di sekitar tempat kembali itu telah dapat dipersiapkan sebaikbaiknya oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, institusi sosial serta tokohtokoh masyarakat. 2. Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan Seperti halnya Tekad Damai Anak Bangsa, pertemuan yang disebut dengan Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan, diinisiasi oleh Pemerintah. Dilaksanakan pada tanggal 01-03 Februari 2002 di Batu Malang Jawa Timur. Dihadiri oleh tokoh-tokoh sentral masyarakat, pemuka agama, pemuka adat dan generasi muda, secara rinci peserta pertemuan itu adalah: (1) Kalimantan Tengah 35 orang; (2) Kalimantan Barat 35 orang; (3) Kalimantan Timur 15 orang; (4) Kalimantan Selatan 39 15 orang; (5) Jawa Timur 25 orang. Penyelenggaraan Musyawarah Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan ini mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut: Maksud: sebagai upaya final untuk menyamakan persepsi tentang arti pentingnya penyelesaian konflik melalui musyawarah dalam rangka memantapkan 40 persatuan dan kesatuan nasional. Tujuan: (1) untuk mewujdukan kerukunan dan kedamaian hidup bermasyarakat di Kalimantan dan merealisasikan adanya kebhinekaan masyarakat yang sepakat memperkokoh bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) merumuskan action plan yang mencakup: (i) deklarasi damai untuk Rakyat Kalimantan; (ii) berbagai prodk peraturan perundang-undangan atau kebijakan Pemerintah yang diperlukan untuk
39
40
Wawancara, Muhanni Abdur dan MUI Kab. Sambas, 9 Agustus 2009.
Wawancara, Muhanni Abdur dan MUI Kab. Sambas, 9 Agustus 2009.
18
mempercepat penyelesaian masalah; (iii) penanganan pengungsi, terutama jadwal tentatif pemulangan pengungsi. Salah satu hasil pertemuan Tekad Mufakad Masyarakat Kalimantan adalah rumusan-rumusan berikut: (1) menerima pemulihan sosial sebagai wujud pengakuan hak warga negara Indonesia dapat tinggal di seluruh wilayah Indonesia atas dasar pandangan ”di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung” dalam Sasanti Bhineka Tunggal Ika, yang prosesnya dinulai tahun 2002, disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing; (2) mengharap Pemerintah segera membentuk peraturan Daerah yang aspiratif dan berpihak pada masyarakat secara adil untuk mewujudkan kerukunan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat; (3) mengharap Pemerintah segera melaksanakan langkahlangkah dalam upaya pemberdayaan masyarakat Kalimantan dalam semua aspek kehidupan; (4) bersama seluruh komponen bangsa mewaspadai dan memerangi provokator dalam rangka penegakan hukum untuk mewujudkan harmoni sosial dan budaya; (5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dalam menciptakan harmoni sosial dan budaya antar pihak yang bermasalah, serta berperan sebagai fasiltator dalam melaksanakan penyelesaian masalah untuk pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan kebijakan Nasional; (6) diharapkan dapat membentuk lembaga kepolisian setingkat Polsek di tempat relokasi untuk menjamin keamanan dan ketertiban, disertai pengamanan swakarsa oleh masyarakat; (7) untuk merealisasikan butir-butir di atas direkomendasikan segera dibentuk POKJA lintas tokoh dan sektor, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung sejak tekad musyawarah Kalimantan tersebut ditanda tangani, untuk dilaksanakan secara bertahab sampai akar rumput yang berada di bawah SATKORLAK PBP dan SATLAK PBP, kegiatan Pokja didukung dengan anggaran yang dibebankan kepada APBD, APBN dan Sumber 41 lain yang sah dan tidak mengikat. Meskipun pertemuan ini telah menghasilkan ”kebulatan tekad” untuk mewujudkan perdamaian di Sambas. Beberapa kalangan menilai bahwa pertemuan ini gagal merealisasikan ”kebulatan tekad” tersebut pada tataran akar rumput. Sebab yang terlibat dalam pertemuan bukan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik. Dengan kata lain, pertemuan tersebut bersifat elitis sehingga gagal dipahami oleh 42 pihak-pihak berkonflik. 3. Dialog Antar Tokoh dalam Rangka Membangun Integrasi Bangsa Dialog ini diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradsional Pontianak, Dinas 41
Wawancara, Muhanni Abdur dan wakil dari Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) Kab Sambas, MUI Kab Sambas, 9 Agustus 2009. 42 Nyayu Fatimah, op.cit. h. 93-99.
19
Pariwisata Kebidayaan, Pemuda dan Olah Raga Kota Singkawang, di Hotel Mahkota Singkawang pada tanggalk 13 Juni 2002, dihadiri 75 orang peserta dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat, tokoh yang mewakili etnis, agama, birokrasi, generasi muda dan intelektual. Dialog tersebut menghasilkan butir-butir rumusan sebagai berikut: Pertama, tentang keindonesiaan: (1) Keindonesiaan adalah sebuah proses yang disumbang dari berbagai faktor yang dimunculkan dari kemajemukan suku bangsa dan budaya; (2) mewujudkan Indonesia yang merdeka ialah untuk meningkatkan kehidupan bersama dan kesejahteraan yang baik dan berkeadaban serta kehidupan bangsa dan individu yang cerdas dan tercerahkan; (3) ingatan kolektif atau sejarah memperlihatkan bahwa mobilitas penduduk dalam skala kecil dan besar adalah bagian dari dinamika sejarah masyarakat bangsa Indonesia, yang heterogen dalam proses akomodasi sehingga membentuk corak masyarakat baru. Kedua, permasalahan Makro: (1) selama 40 tahun Indonesia mengalami hegemoni negera dalam sistem politik dan sebagainya termasuk wacana dan “ingatan kolektif”. Sistem sentralistik mengakibatkan Pemerintah Daerah sangat tergantung pada pusat, ketika pemerintah pusat mengalami krisis pemerintah daerah tidak berdaya; (2) Mitos “persatuan dan kesatuan bangsa” dalam masa Orde Baru telah menyebabkan ketergantungan masyarakat yang berlebihan pada negara, dan pelemahan kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalahnya sendiri; (3) birokrasi kepemimpinan mengakibatkan melemahnya sistem kepemimpinan lokal dan menafikan demokrasi; (4) kekuasaan negara yang berlebihan juga berakibat living space menjadi sempit dan persaingan antar komunitas suku bangsa dengan mudah mengembangkan primordialisme yang mematahkan hubungan antar suku bangsa. Ketiga, permalasahan mikro: (1) persaingan untuk memperoleh sumber daya ekonomi, sosial, politik yang dilakukan secara tidak adil; (2) berkembang pemahaman dari stereotype dan prasangka sehingga tida ada saling percaya dalam hubungan sosial. Yang dipercaya adalah kerabat dan suku bangsanya sendiri.; (3) kemunculan konflik antar suku bangsa yang disebabkan oleh antara lain tidak diterapkannya hukum secara adil dan beradab. Dialog ini kemudian merekomendasikan dua belas hal: (1) memaknai kembali makna kemerdekaan dan keindonesiaan, sebagai orientasi bangsa kepada kepentingan masyarakat dan kesejahteraan bersama, untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Perlunya pemberdayaan masyarakat lokal sehingga melahirkan pemimpin lokal yang dapat menjembatani hubungan antara kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat lokal dan sebaliknya; (3) perlu dikembangkan pendidikan dan sikap multikultural, yang mengakui perbedaan dan menjunjung tinggi kesederajatan.; (4) konflik antaretnis, dapat dicegah apabila dikenali gejala-gejalanya sebelum terjadi. Perlu dikembangkan tanda sistem peringantan dini; (5) pemupukan kehidupan yang demokratis dan pemberdayaan masyarakat madani dapat
20
diwujudkan melalui upaya penciptaan sistem politik transisi dan pendidikan, sebagai prasyarat untuk menghindari konflik terbuka. Masyarakat madani memerlukan dukungan hukum, politik, pengadaan infrastruktur fisik dari pemerintah; (6) rujuk damai yang merupakan sarana untuk menghilangkan dendam dan sakit hati dapat diwujudkan dengan kemauan bersama dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk penataan pranata sosial. Dengan menerapkan hukum yang adil dan untuk itu diperlukan keterlibatan piha ketiga yang tidak memihak dan ada kepercayaan masing-masing pihak mendapat keuntungan sosial dan moral; (7) pemahaman mengenai kenyataan bahwa masyarakat Indonesia berciri majemuk (bhineka), yang berkehendak hidup bersatu dan saling bersikap terbuka perlu selalu dibina; (8) kekuatan-kekuatan politik dan pemerintah dianjurkan agar melakukan pendidikan politik yang meliputi keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap warga negara/bangsa dalam menegakkan kehidupan bersama; (9) perlu dibangun untuk saling memahami dan menghargai perbedaanperbedaan di antara suku bangsa dan kebudayaannya; (10) hukum posisitif negara akan lebih dirasakan sebagai landasan keadilan bila didampingi pula oleh pemahaman akan hukum adat; (11) perlu dibentuk forum antar etnis yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan kepentingan antar suku bangsa. Dan penyelesaian masalah yang timbul atas dasar kesadaran mereka sendiri; (12) perlu dibentuknya langkahlangkah yang secara khusus untuk menangani masalah konflik Sambas 43 dan dampak-dampaknya. 4. Forum Mediasi Melayu-Madura Forum mediasi Melayu-Madura adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat Kalimantan Barat untuk mewujudkan perdamaian antara etnis Melayu dan Madura yang sedang berkonflik di Sambas Kalimantan Barat. Forum ini dikoordinatori oleh Zulydar Zaidar Muchtar. Kegiatan utama forum ini adalah membangun kembali perdamaian antara etnik Melayu dan Madura melalui serangkaian pertemuanpertemuan antara kedua etnik, di samping itu, forum ini juga berupaya melakukan kerja-kerja sosial pasca konflik Sambas, seperti melakukan kerjasama dengan Badan kesbang Linmas Provinsi Kalimantan Barat 44 untuk membantu rehabilitasi korban konflik sosial. Ada dua pertemuan utama yang dilakukan Forum Mediasi Melayu-Madura untuk menginisiasi perdamaian pasca konflik Sambas, yaitu: Pertama, 03 Agustus 2002, Forum Mediasi Melayu-Madura, mengadakan Silaturrahmi etnis Melalyu dengan etnis Madura, pertemuan 43
Wawancara, Muhanni Abdur (tokoh agama) dan MUI Kab. Sambas, 10 Agustus 2009. Zulfydar Zaidar Muchtar, Mediasi Melayu-Madura: Menelusuri Jejak Perdamaian Sampai Temuan Media Tradisional. Pontianak: Romeo Mitra Grafika, 2009), h. 33. 44
21
yang dilakukan secara tertutup itu dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan adat Melayu dan Madura. Dari etnis Melayu diwakili oleh ketua IGMI Kab. Sambas, ketua PFKPM Kab. Sambas, ketua MABM Kab. Sambas, sementara dari etnis Madura diwakili oleh ketua Himma/Pemuda, Ketua YKKSS, dan IKBM Prop. Kalbar. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagai berikut: (1) Bahwa etnis Madura dan etnis Melayu Sambas sama-sama menyampaikan permohonan maaf terhadap kesalahan dan kejadian masa lalu yang tidak perlu terulang kembali dan menjadi suatu koreksi di masa datang; (2) Bahwa untuk sementara ini etnis Madura maupun etnis Madura keturunan yang ingin pulang ke Kabupaten Sambas dapat bersabar melakukan pembauran dengan proses alami; (3) Bahwa etnis Madura dan etnis Melayu Sambas sama-sama melakukan pola pembinaan dan sosialisasi jangka pendek dan jangka panjang dengan membentuk program ke- 2 (dua) wilayah etnis yang dijembatani oleh Pemerintah Daerah, Polda Kalbar, dan Forum Media; (4) Bahwa apakah msyarakat dapat menerima pertemuan bersifat terbuka yang akan diumumkan kepada masyarakat, media cetak, dan eletronik setelah penyampaian hasil ke -2 (dua) etnis dalam bentuk pertemuan atau evaluasi; (5) bahwa Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Barat dapat memfasilitasi silaturrahmi jangka pendek dan 45 silaturahmi jangka panjang menuju silaturahmi perdamaian. Kedua, lima tahun setelah penandatanganan kesepakatan antara etnis Melayu dan Madura, tepatnya, pada tanggal 03 Agustus 2002, Forum Mediasi kembali membangun komunikasi antar dua kelompok Melayu dan Madura. Dimulai dari pertemuan kecil etnik Melayu pada tanggal 09 Oktober 2007 di Istana Atzwakoebillah Sambas. Hadir dalam pertemuan ini adalah Pangeran Ratu H. Winata Kusuma, Pangeran Ratu Drs. Gusti Suryansyah M.Si, Kabag Linmas Provinsi Kalimantan Barat, Walikota Singkawang, Ketua Majelis Adat dan Budaya Melalyu, Ketua Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKM) Kalimantan Barat Kab. Sambas, pengurus Ikatan Generasi Muda Islam (IGMI) dan tokoh-tokoh masyarakat Sambas. Dari pertemuan kecil itu, kemudian dilakukan pertemuan besar antara perwakilan etnis Melayu dan Madura Kalimantan Barat, pertemuan itu rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 10 November 2007, dan dihadiri oleh pihak Melayu yang diwakili antara lain oleh: (1) Pangeran Ratu H. Winata Kusuma; (2) Majelis Adat Budaya Melalyu (MABM) kabupaten Sambas; (3) Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKM); (4) Ikatan Generasi Muda Islam (IGMI), sementara dari pihak Madura diwakili antara lain oleh: (1) Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM) kabupaten Sambas; (2) Yayasan Korban Kerusuhan Sosial Sambas (YKKSS) Provinsi Kalimantan Barat; (3) Pemuda Madura Provinsi Kalimantan Barat; dan (4) Himpunan Mahasiswa Madura (HIMMA).
45
Ibid., h.33.
22
Pihak-pihak yang hadir dalam pertemuan dengan tema ”Silaturrahmi dari hati ke hati” tersebut menyepakati hal-hal berikut: 1. para pihak bersepakat, memberikan kepercayaan yang sebesarbesarnya kepada Pemerintah, TNI-POLRI untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat dan menindak secara tegas para pelanggar hukum guna menegakkan supremasi hukum. 2. para pihak bersepakat, melakukan perdamaian untuk menghilangkan rasa permusuhan, dendam, dan praduga negatif yang dapat mengakibatkan merugikan para pihak, masyarakat daerah, Bangsa, dan Negara. 3. para pihak bersepakat, saling memaafkan terhadap kesalahan dan kejadian masa lalu yang tidak perlu terulang kembali dan menjadi koreksi bersama di masa yang akan datang. 4. para pihak bersepakat, memperlancar komunikasi dengan membentuk Lembaga komunikasi Antar Suku (LKAS). Lembaga dibentuk mempunyai batas waktu tertentu yang diwakili oleh para pihak, Pemerintah, TNI-POLRI, mediator. Lembaga Komunikasi Antar Suku akan membahas: a. memberikan solusi terhadap permasalahan harta benda pihak yang ditinggalkan di Sambas seperti tanah (bersertifikat) atau hal-hal yang dianggap perlu oleh para pihak. b. mempersiapkan dan mengatur masalah keinginan pihak Madura yang akan berziarah ke makam keluarga yang ditinggalkan di Kabupaten Sambas pada bulan ramadhan dan makam Kesultanan Sambas. c. masyarakat sambas dan Pengeran H. Winata Kusuma memberikan peluang kepada masyarakat Madura untuk datang ke Istana Aztwakoebillah pada hari Raya Idul Fitri dan atau hari-hari tertentu jika mendapat kepastian keamanan dari Pemerintah dan TINI-Polri. 5. apabila para pihak sudah menggap proses pembauran dengan alamiah sudah berjalan sesuai keinginan para pihak maka lembaga Komunikasi Antar Suku (LKAS) akan membahas pemulangan masyarakat Sambas yang berada di pengungsian dan di lokasi pengungsian secara bertahab sesuai pembicaraan para pihak dengan sistem kenal warga, sistem sisipan, terkontrol, sistem kelakuan baik dan sistem lain yang dianggap perlu, karena: (1) Keturunan Sambas; (2) karena perkawinan; dan (3) karena pegawai neeri sipil/TNI-Polri. 6. untuk menjembatani pencapaian silaturahmi Melayu Sambas dengan madura, pemerintah Kota Singkawang menyediakan lahan untuk Transmigrasi Nasional yang dipoeruntukkan warga madura keturunan Sambas yang berasak dari pengungsia, pegawai negri sipil (PNS), dan atau TNI-Polri. Lokasi yang
23
dimaksukan berada di perbatasan anatara Kabupaten Sambas dan Kota Singkawang. 7. pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dapat memfasilitasi komunikasi dalam bentuk pertemuanpertemuan kecil atau meluas yang telah disepakati oleh Lembaga Komunikasi Antar Suku (LKAS). 8. pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Pusat menyepakati melakukan program aksi dengan: (1) melakukan pemulihan adat dan budaya para pihak, dari asal adat, tempat kejadian dan atau tempat pengungsian; (2) melakukan pemulihan Mental dan Spiritual kedua belah pihak dari asal adat, tempat kejadian dan atau pengngsian; (3) Melakukan pemulihan pembangunan di lokasi kedua belah pihak dari asal adat tempat kejadian dan atau pengungsian; (4) peningkatan kualitas pendidikan dan pendapatan perekonomian kedua belah pihak; (5) Memperhatikan rumah-rumah di tempat kejadian dan rumah pengsian dengan peningkatan fasilitas 46 rumah ibadah, kesehatan dan fasilitas pendidikan. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa tokoh agama memiliki peran yang signifikan dalam penanganan konflik sosial di Kab. Sambas Kalimantan Barat, peran signifikan itu dibuktikan dengan keterlibatan mereka dalam berbagai forum dialog, pertemuan antar etnis baik yang digagas oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri melalui non-governmental organization (NGO). Meskipun demikian, keterlibatan tokoh agama dalam pengananan konflik itu masih sangat terbatas pada forum-forum dialog. Hal demikian terjadi akibat keterbasan pegetahuan dan pengalaman tokoh agama dalam penanganan konflik. Tokoh agama sesungguhnya bisa berperan lebih jauh jika mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang penanganan konflik. IV. Penutup A. Kesimpulan Ada dua bentuk keterlibatan tokoh agama dalam penanganan konflik sosial di Sambas. Pertama, keterlibatan tokoh agama dalam menghentikan atau mengakhiri konflik. Keterlibatan ini dibuktikan dengan keikutsertaan mereka dalam berbagai pertemuan maupun dialog baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh organisasi nonpemerintah. Meskipun demikian, keterlibatan tokoh agama pada tahap pertama ini tidak begitu memiliki kontribusi besar atau signifikan dalam mengakhiri konflik, sebab bagi masyarakat Melayu di Sambas, yang 46
Ibid., h. 148-150
24
memiliki otoritas adalah kerabat kerajaan Sambas dan tokoh adat. Kedua, keterlibatan tokoh agama dalam membangun interaksi sosial pascakonflik. Pada tahap kedua ini, peran tokoh agama mulai terlihat menonjol. Membangun kembali interaksi sosial pasca konflik sosial di Sambas bukanlah hal yang mudah, sebab etnis Melayu hingga kini masih sulit menerima dan berinteraksi dengan etnis Madura. Karena itu adalah penting kemudian mendorong kedua etnis untuk melakukan silaturahmi dan dialog. Akibat trauma yang sangat mendalam, sampai saat ini di kalangan etnik Melayu masih tabu untuk membincangkan kapan etnis Madura bisa kembali ke tanah Sambas. Meskipun meraka sepakat untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di Sambas, tapi mereka masih sangat sulit untuk menerima kembali etnis Madura di tanah Sambas. Bahkan dalam forum silatuhrahmi dan dialog antara etnis Melayu dan Madura, peserta silaturahmi dan Dialog harus menghindari pembicaraan tentang: (1) pulang ke Sambas; (2) harta-harta benda; (3) budaya; (4) relokasi pengungsi, persoalan dana dan masalahnya; (5) perhatian pemerintah; (6) politik, opini dan praduga-raduga lainnya; (7) hal-hal bersifat emosional. B. Rekomendasi Keterlibatan tokoh agama dalam membangun kembali interaksi sosial pasca konflik sosial antara etnik Melayu dan etnisk Madura harus terus ditingkatkan. Peningkatan peran itu terutama untuk membangun kesadaran dan saling pengertian kedua etnik untuk melakukan interaksi sosial berdasar pada prinsip-prinsip agama. Tokoh agama perlu berupaya keras untuk membangun kesadaran etnis Melayu di Sambas agar bisa menerima kembali etnis Madura di Sambas. Di sisi lain, etnis Madura juga perlu merubah sikap dan perilaku mereka jika hendak kembali ke Sambas. Pemerintah Kabupaten Sambas perlu memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh tokoh agama maupun tokoh masyarakat, dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya-upaya perdamaian itu. Misalnya menciptakan peacemaking-peacebuilding melalui intervensiintervensi edukatif dengan menyelenggarakan dialog dan pelatihan. Menata kembali sistem nilai budaya setempat sebagai social capital yang mampu menjadi instrumen untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.
25
Daftar Pustaka Buku Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. Glenn Smith & Helene Bouvier, Communal Conflict in Kalimantan: Perspectives from the LIPI-CNRS Conflict Studies Program. Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, 2006. Heru Cahyono, Resolusi Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, 2006. Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku: Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja untuk Perdamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sri Yanuarti dkk, Capacity Building Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat di Tingkat Lokal dalam Pengelolaan Konflik di Maluku Jakarta: LIPI Press, 2007. Syamsul Hadi dkk, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: CireS FISIP UI-Yayasan Obor Indonesia, 2007. Zulfydar Zaidar Muchtar, Mediasi Melayu-Madura: Menelusuri Jejak Perdamaian Sampai Temuan Media Tradisional. Pontianak: Romeo Mitra Grafika, 2009. Jurnal Agus Sriyanto, ”Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal,” dalam Jurnal Ibda’ Vol. 5 No. 2, Juli-Desember 2007, hal. 286-301. Dokumen Direktorat Jenderal Bisa Kesatuan bangsa Departemen Dalam Negeri, Buku Panduan Musyawarah Tekad Mufakat Rakyat Kalimantan, Batu 1 sampai 3 Pebruari 2002. Artikel Parsudi Suparlan, ”Konflik Antar Sukubangsa dan Upaya mengatasinya, Makalah Temu Tokoh Sejarah dengan Generasi Muda, diselenggarakan oleh Badan pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat, 12-14 Juni 2002. Tamrin Amal Tamagola, “Anatomi Konflik Kamunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso, dan Kalimantan 1998-2002,” Makalah Seminar Nasional Sejarah: Struktur dan Agensi dalam Sejarah. Diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI di Depok, tanggal 08 Mei 2003.
26
Robert W. Baowollo, “Manajemen Konflik Berbasis Warga,” Makalah disampaikan Disampaikan sebagai pengantar diskusi Model-Model Resolusi Konflik Berbasis Karakter Lokalitas yang diselenggarakan oleh Syarikat Indonesia di Pendopo Syarikat Indonesia, Yogyakarta pada tanggal 20 Januari 2009. Rusmin Tumanggor, dkk., ”Dinamika Konflik Etnis dan Agama di Lima Wilayah konflik Indonesia,” Sri Yanuarti, ”Penanganan Konflik Sosial di Indonesia,” Artikel diskusi bersama Tim Peneliti Kesejahteraan Sosial P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI pada tanggal 13 Mei 2009. Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 16. M. Munandar Sulaiman, “Penanganan Konflik di Indonesia: Masukan untuk Penyusunan Riset Disain, makalah diskusi disampaikan pada diskusi internal bidang kajian Kesejahteraan Sosial P3DI Setjen DPR RI, tanggal 15 Mei 2009. M. Fadhil Nurdin, “Penanganan Konflik di Indonesia,” tanpa keterangan terbitan Majalah/Surat Kabar Tempo, Edisi 14-20 Agustus 2006, h. 34-35. D&R, Edisi 3-8 Mei 1999, h. 32-37. Situs Internet Suwandono, “Konflik Poso dan Publik Trust,” dalam Republika Online, 24 Januari 2006. www.republika.co.id. Andi Widjajanto, ”Empat Tahap Resolusi Konflik,” dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,2004061704,id.html Informan 1. Amat Razia, Sekretaris FKPM Kab. Sambas 2. Muhanni Abdur, Tokoh Agama Kab. Sambas 3. H. Tabrani Idris, Tokoh Masyarakat Kab. Sambas 4. H. Darwis Mochtar, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Kab. Sambas
27
Pengelolaan Informasi Rahasia Terbatas Pada Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Ahmad Budiman
*)
Abstrak Blurred definitions of the so-called “limited confidential information” and “intelligence information” caused difficulties for the provincial government of Nusa Tenggara Barat to widely open information for public. The obligation of the provincial government to keep limited confidential information will end once when a new policy to use such kind of information is introduced. Meanwhile, for intelligence information, its secrecy will be maintained as long as it is still perceived part of the country’s strategic information which needed for the reason of protecting security and defense. This essay argued that the provincial government’s authority to classify and control limited confidential information and intelligence information should be improved so that the principle of good governance can be upheld. Kata kunci: Informasi Rahasia Terbatas, Pemerintah Daerah. I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rahasia Negara yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 2004-2009 bersama Pemerintah dihentikan pembahasannya menyusul penarikan RUU tersebut oleh pemerintah. Presiden menilai substansi, isi materi, dan tata bahasa RUU Rahasia Negara perlu dikonsolidasikan lagi agar dicapai keseimbangan antara prinsip keamanan pertahanan dan 1 hak kebebasan masyarakat. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sidharto Danusubroto, mengatakan bhawa fraksinya dapat menghargai sikap bijak pemerintah yang menangkap aspirasi dan kekhawatiran masyarakat. Bahkan Presiden sendiri mengakui perlu ada perbaikan. Penilaian berbeda disampaikan Slamet Effendi Yusuf dari Fraksi Partai Golkar. Pemerintah justru telah menyia-nyiakan pencapaian pembahasan dari *)
Penulis adalah Peneliti Komunikasi Politik P3DI Setjen DPR RI,
[email protected]. 1 “Dihentikan, Pembahasan RUU Rahasia Negara”, Kompas 17 September 2009.
1
e-mail:
rapat-rapat pembahasan RUU tentang Rahasia Negara, mulai di tingkat Rapat Kerja (Raker), Panitia Kerja (Panja), sampai Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Sebetulnya sudah banyak perbaikan bahkan sampai 70% lebih baik dari draf yang sebelumnya diajukan 2 pemerintah. Beberapa identifikasi substansi dari RUU tentang Rahasia Negara yang telah diputuskan di antaranya kategori rahasia terbatas, memiliki kecenderungan berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena jelas berpotensi menciptakan pemerintahan yang mengembangkan ketertutupan informasi. Pemerintahan yang buruk menurut peneliti LIPI, Syafuan Rozi, salah satu cirinya adalah pemerintahan yang ditandai dengan ketertutupan informasi, tidak terkontrol (tidak bersedia dikontrol) tidak accountable, senang bersikap elitis, cenderung kurang produktif, belum memiliki sistem yang jelas, terlalu birokratis, sentralistis (terpusat) serta 3 tidak efektif, boros dan tidak profesional. Sedangkan ciri Pemerintahan yang buruk di tingkat daerah, menurut Ketua Ombudsman RI, Antonius Sujata, yaitu hal yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat adalah soal kualitas pelayanan publik. Tidak ada kepastian informasi mengenai waktu proses layanan yang diberikan pemda, berapa biayanya, dan bagaimana menyampaikan 4 keluhan kepada pemda . Berbicara tentang rahasia negara dalam konteks otonomi daerah, maka kita harus melihatnya dari esensi dasar otonomi daerah sebagaimana dikemukakan Guru Besar Ilmu Administrasi UI, Eko Prasodjo, yaitu di antaranya otonomi daerah dimaksudnya menciptakan akuntabilitas di tingkat lokal. Semua bentuk jalannya pemerintahan bisa dipertanggungjawabkan, baik dalam konteks pelayanan publik atau penyusunan peraturan daerah, anggaran, rencana pembangunan dan sebagainya. Semuanya bisa dipertanggungjawabkan dan masyarakat bisa mengakses laporan pertanggungjawaban dari jalannya 5 pemerintahan.
2
Ibid. Syafuan Rozi, Masyarakat dan Hak Informasi Publik, http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/1 diakses tanggal 1 Desember 2009. 4 Pelayanan Pemerintah Daerah Paling Buruk http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/29200/Pelayanan-Pemerintah-Daerah-PalingBuruk, diakses tanggal 2 Februari 2010. 5 Eko Prasodjo, “Akses Politik Publik terhadap Kebijakan Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah Terkait Rencana Pemberlakuan Ketentuan Rahasia Negara”, Makalah tidak diteribitkan disampaikan pada diskusi terbatas mengenai Pengaturan Rahasia Negara dalam Perspektif Tata Pemerintahan Yang Baik", di P3DI Setjen DPR RI, 6 November 2009. 3
2
Kesalahan persepsi selama ini bahwa otonomi daerah hanya untuk otonomi pemerintah daerah. Padahal menurut Eko Prasodjo, 6 syarat dasar bagi otonomi daerah yang berbasis masyarakat, yaitu: 1. adanya hak masyarakat atas informasi; 2. akses dan prosedur partisipasi masyarakat dijamin; dan 3. mekanisme pengaduan masyarakat. Alasan pemerintah daerah untuk menjaga kerahasiaan informasi yaitu apabila informasi dibuka dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan, sebagaimana terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun demikian hal ini justru berpotensi menjadi penyebab timbulnya multitafsir tentang apa yang disebut dengan kerahasiaan serta terjadinya tindak penyalahgunaan kewenangan yang menjurus pada pelanggaran tindak pidana. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dipilih sebagai lokasi penelitian karena masih ditemukan multitafsir tentang apa yang disebut rahasia instansi dengan informasi publik, disamping tertutupnya akses informasi publik terhadap aktivitas pemerintah daerah. Kasus-kasus yang ditemukan terkait dengan perbedaan paham aparat pemerintah daerah tentang proses atau hasil kerja pemda yang dapat diklasifikasikan sebagai informasi publik dan mana yang masih termasuk rahasia institusi, seperti belum optimalnya penerapan prinsipprinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Selain itu keterbatasan akses bagi masyarakat untuk ikut serta mengawasi aktivitas Pemda telah menyebabkan terjadinya kasus korupsi APBD yang melibatkan Gubernur NTB. Hal yang lain terkait dengan masih belum meratanya pemahaman Pemda terhadap informasi mana yang perlu dirahasiakan dan mana yang bisa di sampaikan kepada publik, serta kriminalisasi media daerah yang menyajikan berita mengenai penyalahgunaan kewenangan kepala daerah. B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan deskripsi kasus-kasus yang terjadi di Provinsi NTB dapat kita pahami, bahwa dalam rangka pengembangan akuntabilitas dan partisipasi masyarakat di tingkat lokal diperlukan pengaturan tentang kerahasiaan informasi yang menjadi bagian dari keterbukaan informasi. Untuk itu permasalahan dalam penelitian ini, yaitu bagaimana mekanisme pengelolaan informasi rahasia terbatas pada Pemda Provinsi Nusa Tenggara Barat? Untuk itu pertanyaan yang diajukan pada penelitian ini yaitu: (1) informasi apa saja yang dapat dikategorikan sebagai informasi rahasia terbatas untuk setiap unit kerja pada Pemda NTB?
6
Ibid.
3
(2) bagaimana mekanisme pengelolaan informasi rahasia terbatas pada unit kerja di Pemda NTB? (3) bagaimana keterkaitan informasi rahasia terbatas dengan kebijakan yang dihasilkan Pemda NTB? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengelolaan informasi rahasia terbatas pada pemerintah daerah sebagai alternatif input kebijakan dalam rangka pembahasan RUU tentang Rahasia Negara. Kegunaan teoritis dari penelitian ini, yaitu memberikan arah implementasi dan pengembangan yang kondusif bagi ilmu komunikasi politik dalam kaitannya dengan interaksi komunikasi pada pelaksanaan fungsi legislasi yang terjadi di DPR. Sedangkan kegunaan praktis yaitu memberikan informasi tentang pengelolaan informasi rahasia terbatas yang dijalankan oleh pemda sebagai bahan masukan pembahasan RUU. D. Kerangka Pemikiran 1. Prinsip Good Governance Pemerintah sebagai sebuah organisasi tentunya memiliki misi yang hendak dicapai dalam setiap aktivitasnya. Misi organisasi pemerintah adalah melayani masyarakat. Pemerintah harus bekerja keras untuk kepentingan publik sehingga target dan ukuran keberhasilannya adalah terwujudnya kebijakan, pelayanan, serta sarana dan prasarana demi kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan 7 ketentraman masyarakat. Upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesungguhnya harus dibangun dalam kerangka kerja menuju terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance). Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya di antaranya partisipasi masyarakat, tegaknya 8 supremasi hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Pendekatan terbalik mengenai good governance, dilakukan oleh Kenneth Thompson. Sebagaimana dikutip Riswandha Imawan, lebih tepat jika menyebutkan ciri bad governance daripada menyebutkan ciri good governance. Kebalikan ciri bad governance seperti tersebut di 9 bawah inilah yang layak disebut sebagai good governance yaitu: 7
A. Qodri Azizy, Change Management dalam Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 76. 8 Nico Andriyanto, Good e-government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui eGovernment, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, hal. 24. 9 Riswandha Imawan, “Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance,” dalam Syamsuddin Haris (ed), Desentralisasi dan Otonomi Daerah
4
a. tidak adanya pemisahan yang jelas antara kekayaan dan sumbersumber milik rakyat dan milik pribadi b. tidak ada aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang tidak kondusif untuk pembangunan c. adanya regulasi yang berlebihan sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi d. prioritas pembangunan yang tidak konsisten e. tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan. Good Governance tidak hanya mengenai administrasi negara tetapi semua cabang pemerintahan. Bahkan bukan hanya cabangcabang pemerintahan sebagai suprastruktur tetapi juga unsur-unsur 10 infrastruktur. Untuk menjamin pemerintahan yang baik sebagai syarat terciptanya pemerintah yang bersih (clean government), maka hukum harus dilihat sebagai asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil kerja (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability), kewajiban keterbukaan 11 kepada masyarakat (responsibility). 2. Informasi Rahasia Terbatas Transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah bentuk representation in ideas yang tidak selalu inherent dalam representation in 12 presence. Pengaturan rahasia negara pada sistem demokrasi dihadapkan pada konsekuensi bahwa rakyat juga harus dilibatkan melalui mekanisme tertentu untuk menentukan informasi apa saja yang masuk kategori rahasia negara dan diberi hak untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan rahasia negara yang dibuat secara sepihak oleh negara. Mengingat pertimbangan tersebut, maka harus dianut prinsip maximum disclosure and limited exception. Pengecualian yang terbatas hanya dapat dilakukan dengan merinci ruang lingkup rahasia negara dan menetapkan prosedur yang dapat memastikan bahwa kewenangan yang diberikan untuk menentukan, mengelola dan menggunakan rahasia
Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005, hal. 46. 10 Bagir Manan dalam Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008, h. ix 11 Ibid., h. 92 12 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal. 87.
5
negara tidak akan disalahgunakan. Hal ini dilakukan dengan membuat 13 mekanisme pengawasan dan pengajuan keberatan (complaint). Kerahasiaan informasi pada Pemda adalah sama dengan kerahasiaan informasi dalam konteks nasional, karena Pemda adalah merupakan subsistem dalam pemerintahan secara nasional. Apa yang berlaku secara nasional sebagai rahasia, maka itu pun berlaku di daerah. Diskresi pejabat daerah dalam rahasia negara pada hakekatnya adalah wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang (UU) bagi penyelenggara negara untuk membuat putusan atau tindakan dan kebijakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya. Pada pejabat melekat wewenang yang diberikan suatu UU, jadi penggunaan diskresi itu sebenarnya tetap terbatas dan harus berdasarkan pada ketentuan UU. Namun demikian di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memang tidak diatur diskresi kepada kepala daerah maupun DPRD terkait dengan rahasia negara. Dalam Pasal 27 UU tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kepala daerah wajib menyampaikan laporan pemerintahan kepada masyarakat. Jadi rezim Pemda tidak mengatur bagaimana diskresi di dalam kerahasiaan negara ini. Informasi yang bersifat rahasia dan berpotensi menimbulkan konflik sosial memang seharusnya dapat dipertimbangkan menjadi salah satu informasi yang dikecualikan untuk diketahui oleh 14 masyarakat. Pengaturan tentang informasi yang dikecualikan dalam UU KIP menurut Galang Asmara, bisa saja menimbulkan permasalahan di lapangan karena pemda bisa membohongi rakyat dengan menyatakan bahwa informasi yang seharusnya dapat diketahui oleh rakyat adalah informasi yang dikecualikan. Sedangkan bagi rakyat masih belum memahami informasi apa saja yang harusnya diketahui. Untuk menghindari benturan, maka UU KIP dengan RUU Rahasia Negara harus 15 disinkronisasikan . Persoalan informasi rahasia terbatas memang terkait dengan persoalan kebijakan Pemda. Ada empat sudut pandang untuk menilai 16 sebuah kebijakan: a. filosofis: kebijakan merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. b. produk: kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. 13
Toby Mendel, Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A Comparative Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta: UNESCO, 2004, hal. 3. 14 Eko Prasodjo, loc.cit. 15 Galang Asmara, "Pengaturan Rahasia Negara dalam Perspektif Tata Pemerintahan Yang Baik", tulisan ini disampaikan pada acara Focus Group Discusion di Fakultas Hukum Universitas Mataram, 21 November 2009. 16 Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori, dan Isu, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2005, hal. 53.
6
c.
proses: kebijakan dipandang sebagai suatu cara di mana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkannya. d. kerangka kerja: kebijakan merupakan suatu tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya. Pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan memang dimaksudkan mengedepankan asas transparansi sejak kebijakan tersebut disusun. Namun demikian transparansi bukan berarti ketelanjangan, tetapi keterbukaan dalam arti yang sebenarnya, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai aktivitas Pemda yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat banyak. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pembebanan kepada masyarakat harus diinformasikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan, sehingga akan 17 membangun penilaian publik terhadap berbagai kebijakan tersebut. Pengelolaan informasi rahasia terbatas pada Pemda dalam interaksi dengan masyarakat, berdasarkan pendekatan ilmu komunikasi dapat dibahas melalui pendekatan teori komunikasi Stimulus-Respons (S-R) sebagaimana dikemukan oleh Charles Osgood. Individu merespon stimulus yang ada di lingkungan dan membentuk hubungan stimulusrespon. Ia yakin hubungan S-R yang sederhana ini bertanggung jawab terhadap munculnya makna yang merupakan respon internal terhadap sebuah stimulus. Teori Osgood terkait dengan cara di mana makna dipelajari dan bagaimana makna terkait dengan pemikiran dan tingkah 18 laku. Efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus 19 yang menerpa benar-benar melebihi semula. II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan tanggal 26 November 2009. Provinsi Nusa Tenggara Barat dipilih sebagai tempat penelitian dengan alasan beberapa kali diketemukan kasus-kasus yang terkait dengan perbedaan paham aparat pemerintah daerah tentang proses atau hasil kerja pemda yang dapat diklasifikasikan sebagai informasi publik dan mana yang masih termasuk rahasia 17
J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 175. 18 Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, University of New Mexico, 2004, hal 186. 19 Lusiana Andriani Lubis, Penerapan Komunikasi Lintas Budaya diantara Perbedaan Kebudayaan, http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana2.pdf, diakses tanggal 26-Juni 2009.
7
institusi. Namun di sisi yang lain media atau masyarakat merasakan informasi tersebut harus dapat diakses oleh publik sebagai bentuk pengembangan transparansi dan akuntabilitas publik. B. Teknik Pengumpulan Data Teknik utama yang digunakan dalam mengumpulkan data wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan penelitian berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Informan penelitian pada penelitian ini didapat dengan menggunakan teknik 20 purposive yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja. Informan penelitian yang dipergunakan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini terdiri dari Biro Keuangan dengan maksud mendapatkan informasi mengenai mekanisme penyiapan dan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) dan keuangan daerah. Bagian Humas untuk mengetahui mekanisme penyampaian informasi publik kepada media massa dan masyarakat. Bagian Bantuan Hukum untuk mengetahui mekanisme bantuan hukum di lingkungan Pemda. Badan Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) dimaksudkan untuk mengetahui mekanisme kerja intelijen daerah. Korem 162 Wira Yudha untuk mengetahui kebijakan intelijen militer dalam melakukan interaksi komunikasi yang masih bersifat rahasia terkait dalam hal pertahanan negara. Lombok TV dan Lombok Post dimaksudkan untuk mengetahui akvititas media dalam kaitannya dengan informasi publik dan rahasia negara. Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) dengan maksud mendapatkan informasi pembanding jawaban akademisi terhadap persoalan yang terkait dengan rahasia negara. C. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan 21 dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Obyek yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), pengelolaan informasi rahasia terbatas serta kebijakan yang dihasilkan Pemda yang menggunakan hasil dari pengelolaan rahasia terbatas. Data yang didapat 20
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit CV Alfabeta, 2005, hal. 62. 21 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004, hal. 6.
8
melalui hasil wawancara kemudian dideskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan teori yang relevan. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Informasi yang dimiliki Unit Kerja Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Biro Keuangan Pemda NTB memiliki kedudukan yang cukup strategis dalam kaitan dengan jalannya pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat di NTB. Tupoksi strategis yang dijalankan Biro Keuangan, yaitu menyusun konsep awal Rancangan Anggaran Pendapatan Daerah (RAPBD) NTB. Sejak awal konsep RAPBD disusun, konsep ini sudah mengikutsertakan dan harus diketahui oleh masyarakat. Artinya, dalam pelaksanaannya hampir tidak ada hal-hal yang perlu dirahasiakan. Tidak ada aturan yang merahasiakan pelaksanaan tupoksinya. Bahkan ketika masih dalam tahap perancangan sudah disosialisasikan untuk 22 mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Mekanisme penerimaan tanggapan atau saran dari masyarakat terhadap konsep RAPBD dilakukan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) NTB. Mengingat mekanisme penyusunan konsep RAPBD telah dilakukan secara terbuka, maka dokumen pembahasan konsep RAPBD berikut hasil akhirnya, hingga 23 saat ini dinyatakan sebagai dokumen yang tidak rahasia. Bagian Bantuan Hukum Pemda NTB memiliki tupoksi yang intinya yaitu memberikan bantuan hukum kepada Pemda apabila terjadi permasalahan hukum yang timbul dari setiap kebijakan yang telah dihasilkan Pemda. Informasi yang terkait dengan pelaksanaan tupoksi tidak dikategorikan sebagai rahasia. Namun bila bantuan hukum tersebut ditujukan kepada orang-perorangan, maka informasi yang dimilikinya 24 harus dirahasiakan. Misalnya, ketika terjadi sengketa di pengadilan berkaitan dengan perselisihan batas wilayah antara Kabupaten Sumbawa Barat dengan Kabupaten Sumbawa, Bupati Sumbawa mempermasalahkan kebijakan gubernur soal batas wilayah ke PTUN. Hasil di PTUN, gugatan bupati Sumbawa ditolak karena kebijakan gubernur sudah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2004 tentang Prosedur Penegasan Penetapan Batas
22
Hasil wawancara dengan Kepala Biro Keuangan Pemda NTB, Awaludin, tanggal 23 November 2009. 23 Ibid. 24 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Bantuan Hukum Pemda NTB, Lalu Angkasari, tanggal 23 November 2009.
9
Wilayah. Informasi yang disampaikan pada PTUN adalah informasi 25 bersifat terbuka. Tupoksi Badan Kesatuan Kebangsaan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Pemda NTB adalah melakukan pengembangan dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan, keamanan dan perlindungan masyarakat di NTB. Termasuk juga dalam tupoksi yang dijalankan Kesbanglinmas di antaranya mengembangkan kehidupan berdemokrasi 26 di NTB menuju arah yang lebih kondusif. Pengelolaan informasi yang tidak kondusif sangat disayangkan oleh Kesbanglinmas. Salah satu contoh, pulau Sophialuisa adalah pulau terluar Indonesia yang masuk dalam wilayah Provinsi NTB dan berbatasan dengan negara Australia. Hingga saat ini Pemda NTB maupun pemerintah pusat memang belum melakukan pengelolaan dan pengamanan terhadap wilayah di pulau ini. Informasi ini diketahui oleh pihak asing, sehingga sekarang mereka lah yang menguasai dan mengelola pulau tersebut untuk keperluan pariwisata. Informasi seperti ini seharusnya bersifat rahasia dan masyarakat termasuk pejabat pemda 27 harus merahasiakannya. Kesbanglinmas juga memiliki informasi rahasia yang merupakan hasil kerja dari Komunitas Intelijen Daerah (Kominda). Informasi hasil temuan di lapangan tidak bisa dibuka untuk publik, karena dimaksudkan sebagai data dalam pembuatan kebijakan yang bersifat khusus dan menyangkut permasalahan stabilitas keamanan. Informasi ini sampai kapan pun tidak akan dibuka karena bersifat rahasia, dan juga menjadi masukan bagi gubernur untuk membuat kebijakan. Namun demikian setelah menjadi kebijakan gubernur, maka kebijakan itu boleh dibuka 28 untuk umum. Informasi intelijen yang dimiliki Korem 162 Wira Bhakti NTB, khususnya dikelola oleh Seksi Intel Korem 162 Wira Bhakti. Hasil kerja intelijen adalah informasi awal yang menjadi dasar prediksi akan terjadinya aktivitas yang dapat meresahkan masyarakat. Misalnya informasi intelijen tentang adanya indikasi kegiatan terorisme dan jaringannya yang ada di Pondok Pesantren Darul Shifa Kecamatan Korleko Lombok Timur, milik keluarga Abu Jibril yang dikelola oleh Syafii (kakak Abu Jibril). Informasi berdasarkan pengamatan intelijen juga mengindikasikan adanya upaya konsolidasi dan rapat-rapat gelap di NTB 29 dari pihak-pihak yang ingin mengacaukan keamanan di daerah lain. Tupoksi humas justru menekankan pada menginformasikan seluruh hasil kerja kepada semua lapisan masyarakat. Berdasarkan 25
Ibid. Hasil wawancara dengan Kepala Bakesbanglinmas NTB, Ridwan Hidayat, tanggal 24 November 2009. 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Hasil wawancara dengan Kasintel Korem 162 Wira Bhakti Nusa Tenggara Barat, Binsar Pasaribu, tanggal 24 November 2009. 26
10
tupoksi yang berada di bagian humas memang tidak ada yang dapat diketegorikan sebagai rahasia. Namun demikian apabila ada informasi yang terkait dengan proses pembuatan kebijakan yang strategis, maka informasi itu belum bisa diakses kepada media massa. Apabila ada informasi yang masuk dalam kategori rahasia, humas bisa saja mempertemukan media massa dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) guna menjelaskan informasi yang dikategorikan rahasia 30 tersebut . 2. Mekanisme Pengelolaan Informasi Rahasia Terbatas Bagi Bagian Bantuan Hukum kekhususan pada permasalahan yang bersifat pribadi adalah informasi yang digolongkan sebagai informasi rahasia terbatas. Dalam menjalankan tupoksinya, pasti ada proses kerja yang memerlukan kerahasiaan. Misalnya masalah gugatan perceraian yang terjadi pada PNS yang menyebabkan keluarnya ijin gubernur bagi PNS untuk melakukan perceraian. Untuk kasus ini, maka kegiatan dilakukan secara rahasia. Jadi hal yang terkait ranah pribadi itu 31 rahasia. Mekanisme pengelolaan informasi rahasia terbatas dilakukan oleh bagian bantuan hukum dengan cara tidak membuka informasi tersebut selama belum menjadi kebijakan. Tidak membuka informasi ketika proses penyusunan kebijakan sedang berlangsung, sangat terkait dengan masalah rahasia jabatan. Jabatan yang melekat memang tidak memperbolehkan seorang pejabat membuka informasi yang masih dalam proses pembuatan kebijakan. Menjaga kerahasiaan ketika kebijakan sedang disusun adalah upaya untuk menjaga keutuhan kebijakan gubernur yang akan dihasilkan. Berapa lamanya informasi tersebut dirahasiakan sangat tergantung pada proses pembuatan kebijakan tersebut berlangsung, bagaimana sifat kebijakannya, dan bagaimana kondisinya. Namun demikian, seandainya pada saat proses pembuatan kebijakan sedang berlangsung informasi tersebut dibocorkan oleh pihak tertentu, maka informasi yang dirahasiakan tersebut dinyatakan telah 32 bocor karena proses pembuatan kebijakan masih berlangsung. Setiap SKPD perlu melakukan indentifikasi yang jelas, mana program atau kebijakan yang disahkan oleh gubernur untuk kepentingan publik, maka informasinya bisa dibuka. Namun bila proses yang harus dilalui dalam pembuatan kebijakan gubernur itu bersifat khusus, maka setiap SKPD pada saat proses penyusunan kebijakan sedang berlangsung tidak boleh dibuka karena belum menjadi sebuah 30
Hasil wawancara dengan Kepala Sub bagian Dokumentasi dan Perpustakaan Bagian Humas Pemda NTB, Yus Hasududin, Tanggal 24 November 2009. 31 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Bantuan Hukum Pemda NTB, Lalu Angkasari, tanggal 23 November 2009. 32 Ibid.
11
keputusan. Namun dalam proses informasinya bocor, maka informasi tersebut sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai rahasia karena akan 33 mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan. Sementara itu informasi yang terkait dengan aktivitas Kominda, seperti analisa terhadap potensi konflik di dalam masyarakat, dilakukan secara tertutup dan menjadi dasar bagi gubernur dalam membuat kebijakan penanganan konflik. Analisa dilakukan secara mendalam berkaitan dengan sebab utama kejadian, penyebaran wilayah kejadian dan dampak terparah yang ditimbulkan konflik tersebut. Masa kerahasiaan informasi sangat situasional, tergantung kepada peristiwa 34 yang perlu dianalisis. Pada informasi RAPBD, pembatasan akses publik justru dilakukan saat RAPBD sedang dibahas di DPRD. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya perubahan besaran anggaran yang disetujui pada suatu mata anggaran kegiatan. Oleh sebab itu apabila masyarakat berkaitan dengan RAPBD yang sedang dibahas, Pemda tidak dapat memberikannya dengan alasan mencegah terjadinya salah informasi berupa ketidaksesuaian besaran anggaran yang nantinya akan 35 diputuskan. Mekanisme pengelolaan informasi intelijen disampaikan melalui hirarki kekuasaan hingga pada tahap Pimpinan Kodam. Mekanisme penyampaian informasi intelijen disampaikan melalui mekanisme yang tertutup dan rahasia. Informasi ini telah disampaikan secara terstruktur dari mulai pemegang kekuasaan terdekat (Pemda Provinsi dan Polda) hingga ke Pemerintah Pusat dan Polri. Untuk itu seluruh peserta rapat telah sepakat untuk tetap menjaga informasi intelijen yang dilaporkan tersebut. Sedangkan keakuratan informasi intelijen memang sangat tergantung kepada bagaimana pihak intelijen mampu menjangkau sumber informasi sehingga mendapatkan informasi dari tangan 36 pertama. 3. Keterkaitan dengan Kebijakan Tindaklanjut informasi intelijen dalam kaitannya dengan sebuah kebijakan, seringkali terhambat oleh jenjang birokrasi pelaporan informasi rahasia terbatas untuk sampai kepada Gubernur. Sedangkan permasalahan di lapangan seringkali sudah lebih cepat mengalami perubahan ke arah yang merugikan. Sebagaimana diungkapkan Kasintel Korem 162 Wira Bhakti, TNI mengalami kendala untuk mengawasi sepak 33
Hasil wawancara dengan Kepala Bakesbanglinmas NTB, Ridwan Hidayat, tanggal 24 November 2009. 34 Ibid. 35 Hasil wawancara dengan Kepala Biro Keuangan Pemda NTB, Awaludin, tanggal 23 November 2009. 36 Hasil wawancara dengan Kasintel Korem 162 Wira Bhakti Nusa Tenggara Barat, Binsar Pasaribu, tanggal 24 November 2009.
12
terjang pihak asing di suatu wilayah termasuk di NTB karena dibatasinya Batas Gerak Maju (BGM) TNI. TNI tidak berwenang untuk menindaklanjuti berbagai hasil temuan yang didapat di lapangan dan ini menyebabkan pelemahan kewenangan TNI. Pada masa sekarang ini 37 tugas untuk mengawasi pihak asing dilakukan oleh Polisi dan Pemda. Persoalan pendefinisian yang tegas tentang mana yang disebut rahasia terbatas dan mana yang bukan, sangat dirasakan urgensinya oleh Bagian Bantuan Hukum. Pendefinisian yang tegas menjadi dasar bagi setiap satuan kerja untuk menjalankan tupoksinya sebelum kegiatan tersebut dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Pedoman kerahasiaan ditentukan oleh sifat kegiatan yang akan dilakukan yaitu umum dan biasa itu boleh diketahui oleh masyarakat, namun bila sifat kegiatannya adalah rahasia dan sangat rahasia maka tidak dapat diketahui oleh masyarakat. Misalnya pembuatan soal ujian penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) itu tergolong sangat rahasia dan tidak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya. Jadi penentuan kerahasiaan sangat ditentukan oleh urgensi sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Bila 38 urgensinya sangat tinggi, maka kategorinya adalah sangat rahasia. Biro keuangan yang dalam pelaksanaan tupoksinya mengedepankan asas keterbukaan, justru menilai keterbukaan juga berlaku pada aktivitas biro keuangan dalam menindaklanjuti kebijakankebijakan yang dihasilkan oleh gubernur. Hal ini disebabkan seluruh kebijakan yang dihasilkan gubernur telah merujuk kepada peraturan daerah yang juga tidak menganjurkan untuk mengembangkan kerahasiaan. Itu artinya seluruh kebijakan gubernur dan tindaklanjutnya 39 adalah bersifat terbuka. Persoalan pengaturan rahasia terbatas terhadap jalannya aktivitas pemerintah daerah ditanggapi dengan kekhawatiran oleh pihak media massa. Pengaturan rahasia terbatas oleh Pemda dikhawatirkan dijadikan senjata oleh pemda untuk menolak memberikan informasi publik. Ketentuan mengenai rahasia negara dijadikan “tameng” untuk 40 pelaksanaan UU KIP. Media lebih memilih berhati-hati dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya terutama dalam mengungkap keadaan yang masuk dalam kategori informasi terbatas. Berbagai kejadian pernah dialami media seperti dialami Lombok TV saat meliput suatu keributan antar-kampung di Lombok Tengah. Pers lokal tidak sekedar berhadapan langsung dengan hukum, tapi juga berhadapan langsung dengan masyarakat. 37
Hasil wawancara dengan Kasintel Korem 162 Wira Bhakti Nusa Tenggara Barat, Binsar Pasaribu, tanggal 24 November 2009. 38 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Bantuan Hukum Pemda NTB, Lalu Angkasari, tanggal 23 November 2009. 39 Hasil wawancara dengan Kepala Biro Keuangan Pemda NTB, Awaludin, tanggal 23 November 2009. 40 Hasil wawancara dengan Pemimpin Perusahaan Lombok TV, tanggal 25 November 2009.
13
Untuk itu dalam memberitakan informasi-informasi sensitif termasuk di antaranya informasi rahasia terbatas, maka media senantiasa melakukan 41 konfirmasi informasi dan hati-hati dalam memberitakannya. Khawatiran ini, misalnya yang sama juga dirasakan oleh Lombok Post. Tidak ada UU yang mengatur Rahasia Negara sehingga media massa sering kali mengalami kesulitan terutama media massa yang berada di daerah. Ada hal-hal yang berkaitan dengan persoalanpersoalan yang menyangkut anak pejabat Beberapa kalangan beranggapan media massa harus dibatasi dalam menyebarkan informasi. Tetapi sering sekali yang dibatasi itu yang berkaitan dengan 42 kepentingan-kepentingan pribadi pejabat. B. Pembahasan 1. Informasi yang Dimiliki Unit Kerja Berdasarkan hasil Penelitian diketahui tidak semua tupoksi unit kerja di Pemda NTB memiliki informasi yang dapat dikategorikan sebagai informasi rahasia terbatas. Tupoksi dari Biro Keuangan dalam menyusun RAPBD, sudah sejak awal bersifat terbuka dan informasinya bisa diketahui oleh publik. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan memang sangat sesuai dengan prinsip-prinsip terwujudnya good governance yang di antaranya menghendaki adanya peran serta aktif masyarakat dalam pembuatan kebijakan, pengembangan transparansi dan akuntabilitas pemda terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep Thompson mengenai ciri besar good governance pada tataran nilai. Bahwa aktivitas Pemda dalam menghasilkan sebuah kebijakan menjadi lebih efektif dan efisien. Sebuah kebijakan menjadi sebuah hasil kerja yang efektif karena sudah sejak awal mengadopsi berbagai kepentingan yang berkembang di masyarakat. Sehingga kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat dan menjawab berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Efisien, karena kebijakan yang dihasilkan Pemda dapat dihasilkan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapinya. Upaya Pemda NTB untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat memberikan tanggapannya terhadap konsep RAPBD merupakan upaya mentransformasikan kekuasaan Pemda untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Peningkatan kualitas peran serta masyarakat yang dilakukan oleh Pemda, menjadi suatu metode yang tepat dalam rangka mempercepat tercapainya good governance. 41 42
Ibid. Hasil wawancara dengan Pemimpin Redaksi Lombok Post, tanggal 25 November 2009.
14
Seperti halnya informasi tentang konsep RAPBD, maka informasi tentang bantuan hukum di pengadilan yang melibatkan Pemda adalah jenis informasi yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai informasi rahasia terbatas. Pelaksanaan tupoksi bagian perbantuan hukum dalam mengatasi persoalan sengketa batas wilayah, seluruh tahapannya menghasilkan informasi yang dikategorikan informasi publik karena masyarakat di dua daerah yang bersengketa sudah dimintakan tanggapannya. Menutup informasi yang terkait dengan persoalan sengketa dua wilayah, lebih besar kerugiannya dibandingkan dengan upaya untuk membuka dan melibatkan masyarakat terhadap kebijakan yang dihasilkan. Menutup informasi pada jenis informasi seperti ini justru akan menghambat jalannya roda pemerintahan. Pemda perlu menginformasikan berbagai upaya yang akan dilakukan, sehingga akan membangun penilaian positif publik terhadap kebijakan yang dikeluarkan gubernur. Pelaksanaan tupoksi Bagian humas sebelum dan sesudah lahirnya suatu kebijakan, masuk dalam ranah informasi publik. Posisinya sebagai juru bicara pemda, menyebabkan humas senantiasa menyampaikan berbagai informasi yang telah ditetapkan gubernur menjadi kebijakan. Seandainya informasi tersebut adalah informasi dari sebuah kebijakan yang masih berproses, maka humas akan mendekatkan media atau publik kepada satuan kerja terkait. Hal ini sebagaimana dideskripsikan pada teori komunikasi stimulus respon. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat akan berdampak pada terciptanya respon positif masyarakat berupa kepercayaan kepada Pemda, karena selalu menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Berbeda dengan pelaksanaan tupoksi yang dilakukan Biro Keuangan dan Bagian Bantuan Hukum serta Bagian Humas yang menghasilkan informasi publik, maka informasi-informasi khusus yang dimiliki beberapa satuan kerja memang tergolong informasi rahasia terbatas. Dimilikinya hak pengelolaan pulau terluar di wilayah NTB oleh pihak asing adalah satu bukti bahwa informasi yang sesungguhnya bersifat rahasia justru bisa jatuh kepada pihak asing yang juga telah memiliki ijin pengelolaan yang sah. Upaya Kesbanglinmas untuk merahasiakan informasi mengenai kondisi pengelolaan pulau-pulau terluar di NTB, ternyata tidak berjalan sinergis dengan pelaksanaan tupoksi satuan kerja lain terutama dalam mengidentifikasi informasi yang tergolong rahasia terbatas. Hal ini menyebabkan satuan kerja yang lain berbeda penilaian terhadap informasi pulau-pulau terluar di NTB. Mereka menilai informasi tentang pulau terluar di NTB adalah informasi publik yang bisa diakses publik termasuk juga pihak asing. Tidak adanya aturan yang tegas menyatakan informasi rahasia terbatas, menyebabkan banyak pejabat yang salah mengartikan kewenangan yang dimilikinya untuk menyatakan suatu informasi itu
15
bersifat terbuka atau perlu dirahasiakan. Pada contoh ini informasi harus dikategorikan sebagai informasi rahasia terbatas. Artinya seorang pejabat di setiap satuan kerja perlu menyadari bahwa persoalan pulaupulau terluar sangat terkait dengan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun berdalih hanya diserahkan untuk dikelola karena selama ini Pemda belum mampu mengelolanya, namun informasi yang telah disebarkan ke luar termasuk kepada pihak asing sangat berpotensi untuk terjadinya pengambilalihan pulau-pulau terluar oleh pihak asing. Penyebarluasan informasi terbatas kepada publik termasuk pihak asing, justru bertentangan dengan pencapaian tata pemerintahan yang baik. Supremasi hukum sebagai syarat dari tercapainya good governance tidak akan terwujud karena pihak asing pasti menggunakan aturan tersendiri sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya. Pemahaman yang tidak sempurna terhadap jenis informasi yang seharusnya dirahasiakan, sangat berdampak pada melebarnya permasalahan tersebut menjadi permasalahan nasional. Informasi intelijen melalui Kominda memang perlu dirahasiakan sampai dengan lahirnya kebijakan gubernur. Informasi yang terkait dengan potensi konflik dan terorisme perlu dilindungi, selama kebijakan gubernur untuk mengatasi permasalahan tersebut belum dihasilkan. Setiap pejabat yang berada dalam Kominda memiliki kewenangan untuk tetap menjaga informasi awal yang dimilikinya. Kesepahaman pejabat di kominda untuk menjaga informasi justru akan mendukung terciptanya kondisi keamanan masyarakat yang kondusif. Masyarakat menjadi terbiasa untuk mempercayai informasi dari sumber informasi yang kredibel yaitu gubernur. Respon masyarakat terhadap informasi yang diterima dari sumber informasi yang kredibel menjadi lebih terukur dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Memperhatikan kondisi pendidikan masyarakat di NTB, memang sangat tepat untuk menjaga kredibilitas sumber informasi sebelum informasi tersebut sampai ke masyarakat. Masyarakat tidak dengan mudah terprovokasi oleh sumbersumber informasi yang tidak bertanggung jawab, sebaliknya pada diri mereka justru terbangun sensor diri untuk tidak mudah terprovakasi terhadap informasi yang berpotensi melahirkan konflik di masyarakat. Memberikan kepastian hukum sebagai asas prosedural dengan membuat peraturan tentang rahasia negara, sesungguhnya akan membantu setiap orang termasuk Pemda untuk mengartikan definisi rahasia terbatas. Produk perundang-undangan ini juga akan menjadi panduan bagi setiap unit kerja untuk melakukan kewajiban membuka setiap hasil kerja yang dilakukannya. Keterbukaan hasil kerja Pemda yang disampaikan kepada masyarakat adalah merupakan bentuk pertanggungjawaban publik. Tidak adanya UU yang mengatur rahasia negara menyebabkan banyak satuan kerja di Pemda mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan informasi dari pelaksanaan tupoksinya, apakah tergolong informasi publik atau informasi rahasia terbatas. Informasi yang
16
tergolong informasi rahasia terbatas, sesungguhnya merupakan pendalaman kondisi pada tiap-tiap daerah atas informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. Atas kondisi ini setiap pejabat diberikan kewenangan untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut, sebelum lahir menjadi sebuah kebijakan. Menutup informasi sampai dengan ditetapkannya sebuah kebijakan, jauh lebih bermanfaat dari pada membukanya kepada masyarakat sebelum kebijakan tersebut dihasilkan. Sebaliknya, jika informasi pada masing-masing satuan kerja tidak termasuk pendalaman dari informasi yang dikecualikan, maka harus sejak awal masyarakat perlu diinformasikan dan dilibatkan dalam pembentukan sebuah kebijakan. Inilah sebetulnya hakekat dari pengelolaan informasi menuju terciptanya good governance. 2. Mekanisme Pengelolaan Informasi Rahasia Terbatas Kebijakan pejabat Pemda untuk menentukan berapa lama suatu informasi dirahasiakan dialam proses pembuatan kebijakan, memang sangat rentan untuk disalahgunakan oleh pejabat yang bersangkutan. Perlu indikator-indikator yang jelas bagi seorang pejabat Pemda untuk menentukan hal ini. Kondisi inilah yang seringkali menjadi kendala bagi pejabat Pemda untuk melakukan pengelolaan rahasia terbatas, termasuk berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merahasiakan informasi tersebut. Penggunaan kewenangan oleh pejabat Pemda untuk menjaga informasi rahasia terbatas, senantiasa dihubungkan dengan dua dari empat sudut pandang suatu kebijakan seperti telah disebut di atas. Pejabat pemda memandang kebijakan sebagai suatu proses yaitu suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan dan memandang kebijakan sebagai suatu produk yaitu serangkaian kesimpulan dan rekomendasi. Itu sebabnya setiap satuan kerja perlu melakukan indentifikasi yang jelas, mengenai kebijakan apa saja yang akan dihasilkan gubernur sebagai kebijakan untuk kepentingan umum dan mana kebijakan gubernur yang bersifat khusus. Kebijakan mengatasi persoalan konflik warga dan terorisme adalah kebijakan khusus yang akan dihasilkan gubernur. Informasi yang mendukung lahirnya kebijakan tersebut memang perlu dirahasiakan. Meskipun demikian informasi intelijen yang menjadi dasar dari kebijakan gubernur ternyata masih perlu terus dirahasikan walaupun kebijakannya sudah dihasilkan. Apabila kondisi yang sebenarnya belum mengarah menjadi kondisi yang kondusif maka informasi intelijen itupun belum dapat diketahui oleh publik. Inilah yang menyebabkan sebuah informasi intelijen senantiasa dirahasiakan, walaupun kebijakannya telah dihasilkan. Informasi rahasia terbatas ini akan selalu disesuaikan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi objek pengamatannya.
17
Permasalahannya, bagaimana bila informasi rahasia terbatas tersebut dibocorkan atau tidak sengaja bocor atau perlu dibuka dalam sebuah persidangan di pengadilan? Hakekatnya informasi terbatas tersebut sudah bocor, sudah bisa diketahui publik dan bukan merupakan informasi rahasia terbatas lagi. Yang perlu dilakukan Pemda sebenarnya pada bagaimana informasi yang sudah bocor tersebut tetap dimaksimalkan dalam rangka menghasilkan kebijakan yang tetap berpihak kepada kepentingan rakyat. Pemda tetap dapat mengukur reaksi di masyarakat sebagai akibat dari informasi kebijakan pemda yang diterimanya. Lamanya pengelolaan informasi rahasia terbatas sebagai dasar dari kebijakan Pemda mengenai penanganan terorisme dan konflik antara warga, tidak berlaku pada pengelolaan informasi rahasia terbatas sebagai dasar kebijakan Pemda yang bersifat kasus per kasus. Misalnya pengelolaan informasi terbatas sebagai dasar kebijakan pemda untuk menyusun soal penerimaan CPNS atau bantuan hukum untuk kasus sengketa wilayah antara daerah. Untuk kondisi ini, tidak semua informasi yang terkait kasus ini perlu dirahasiakan. Informasi utama yang menjadi dasar argumentasi dari sebuah kebijakan yang perlu dirahasiakan sampai dengan kebijakan tersebut ditetapkan. Apabila kebijakannya telah dihasilkan, maka informasi tersebut sudah bukan merupakan informasi rahasia terbatas. Hal yang harus diperhatikan dalam mekanisme pengelolaan rahasia terbatas pada satuan kerja di Pemda yaitu rakyat tetap diberikan kesempatan untuk mengawasi setiap proses dan kebijakan yang dihasilkan Pemda. Rakyat juga harus dilibatkan melalui mekanisme tertentu untuk menentukan informasi apa saja yang masuk kategori rahasia terbatas dan diberi hak untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan yang dibuat secara sepihak oleh Pemda. Rakyat perlu mengetahui bahwa pengecualian yang terbatas hanya dapat dilakukan dengan merinci ruang lingkup rahasia terbatas dan menetapkan prosedur yang dapat memastikan bahwa kewenangan yang diberikan untuk menentukan, mengelola dan menggunakan rahasia terbatas tidak akan disalahgunakan oleh pejabat pemda yang bersangkutan. 3. Keterkaitan dengan Kebijakan Kebijakan gubernur untuk melakukan pencegahan dan sterilisasi wilayah dari ancaman dan pengaruh kelompok masyarakat yang hendak mendirikan NII adalah merupakan kebijakan yang dihasilkan dari masukan informasi intelijen. Namun demikian kebijakan ini harus senantiasa disesuaikan dengan dinamika persoalan ancaman keamanan yang dapat mengganggu masyarakat. Apabila tidak dilakukan, maka korbannya adalah masyarakat. Kelompok masyarakat yang bermaksud mengganggu keamanan akan selalu meningkatkan metode pendekatan
18
sekaligus ancaman yang membuat masyarakat menjadi takut. Karena itu informasi intelijen selalu diperlukan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Pengelolaan informasi intelijen sebagai informasi rahasia terbatas perlu terus ditingkatkan kualitas kerahasiaannya, sejalan dengan semakin meningkatnya acaman gangguan keamanan yang akan dialami masyarakat. Metode intelijen untuk mendapatkan informasi kredibel sampai kepada sumber informasi pertama, perlu ditingkatkan oleh seluruh jajaran Kominda. Kemampuan intelijen untuk mendapatkan informasi rahasia terbatas dari sumber pertama akan semakin membantu gubernur untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sesuai dengan dinamika masalah keamanan yang terjadi di masyarakat. Kebijakan yang tepat akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemda akan semakin meningkat. Hanya saja jenjang birokrasi pelaporan informasi rahasia terbatas terlalu panjang. Birokrasi pelaporan yang terlalu panjang, justru rentan terjadinya kebocoran kerahasiaan pada salah satu jenjang yang harus dilaluinya. Bocornya informasi intelijen juga menyebabkan kualitas kebijakan yang dihasilkan gubernur menjadi menurun. Penurunan kualitas ini terkait dengan sudah diketahuinya informasi intelijen oleh masyarakat. Reaksi masyarakat atas informasi yang bocor sudah lebih dahulu terjadi dan kondisinya sangat bervariasi. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit bagi gubernur untuk mengarahkan reaksi masyarakat sesuai dengan tujuan semula. Apabila kebijakan tersebut tetap dipaksakan dikeluarkan kepada masyarakat, maka hasilnya tidak akan efektif diterima oleh masyarakat. Lebih dari itu, gubernur perlu lebih dahulu menghasilkan kebijakan untuk meredam kecemasan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan Pemda apabila menginginkan adanya kesesuaian atau perubahan sikap masyarakat sesuai dengan maksud dari kebijakan tersebut. Pengelolaan rahasia terbatas pada informasi yang digunakan sebagai dasar bagi kebijakan Pemda yang diberlakukan per keadaan, memang perlu dilakukan dengan hati-hati. Tidak selamanya informasi sebagai dasar dari sebuah kebijakan yang sedang dalam proses perlu dirahasiakan. Informasi tentang pembuatan soal ujian peneriman CPNS dan informasi tentang sengketa wilayah adalah informasi yang perlu kejelasan, mana yang dapat dikategorikan sebagai informasi rahasia terbatas. Persoalan ini sesungguhnya tertuju kepada perlunya pendefinisian informasi rahasia terbatas secara lebih spesifik. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam menetapkan informasi rahasia terbatas adalah informasi tersebut dirahasiakan dengan pertimbangan melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan, ketertiban umum, persaingan tidak sehat, moral masyarakat di daerah atau data pribadi kepegawaian dan kesehatan individu. Oleh sebab itu informasi intelijen yang apabila dibuka dapat menyebabkan konflik dan keresahan atau gangguan keamanan masyarakat di suatu
19
daerah, perlu dirahasiakan. Masa retensinya efektif disesuaikan dengan kondisi keamanan di masyarakat. Informasi yang berisi tentang data pribadi pegawai atau riwayat kesehatan adalah informasi rahasia terbatas yang tetap perlu dirahasiakan, meskipun telah dihasilkan kebijakan atas informasi tersebut. Masa retensinya sangat terkait dengan masih atau sudah tidak bernilai informasi yang bersifat pribadi. Jika masih dinilai sebagai informasi yang bersifat pribadi, maka informasi tersebut harus tetap dirahasiakan. Sedangkan informasi yang terkait dengan timbulnya potensi persaingan tidak sehat seperti informasi tentang pembuatan ujian penerimaan CPNS, kerahasiaan informasinya dilakukan hanya sampai disusunnya suatu kebijakan. Masa retensinya berakhir, bila sudah ada kebijakan yang dihasilkan. Pengelolaan informasi rahasia terbatas oleh Pemda secara objektif sesungguhnya memberikan kemudahan bagi media massa lokal untuk menjalankan tugas jurnalistiknya. Definisi yang jelas tentang rahasia terbatas berikut masa retensi informasi terbatas sangat membantu media massa untuk mencari informasi dan menyajikannya menjadi sebuah berita. Media massa tidak perlu takut lagi akan ancaman massa pendukung organisasi atau ancaman pejabat dan keluarganya. Sebaliknya media massa, justru lebih berperan bagi penguatan sikap publik terhadap kebijakan yang dihasilkan pemda. IV. Penutup A. Kesimpulan Banyak satuan kerja Pemda mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan informasi dari pelaksanaan tupoksinya, apakah tergolong informasi publik atau informasi rahasia terbatas. Tupoksi dari Biro Keuangan dalam menyusun konsep RAPBD, sudah sejak awal bersifat terbuka dan informasinya bisa diketahui oleh publik. Masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap konsep kebijakan yang sedang dibuat. Pelaksanaan tupoksi Bagian Humas sebelum dan sesudah lahirnya suatu kebijakan termasuk dalam kategori indentifikasi informasi publik. Humas tidak memiliki informasi yang tergolong informasi rahasia terbatas. Pelaksanaan tupoksi Bagian Perbantuan Hukum untuk memberikan masukan bantuan hukum kepada gubernur dalam mengatasi masalah publik seperti persoalan sengketa batas wilayah, seluruh tahapannya menghasilkan informasi yang dikategorikan informasi publik. Sedangkan bantuan hukum yang terkait dengan masalah hak pribadi, maka informasinya dikategorikan rahasia terbatas. Informasi yang dimiliki Kesbanglinmas tergolong informasi rahasia terbatas sampai dengan ditetapkannya kebijakan gubernur yang terkait dengan informasi tersebut. Namun demikian, informasi yang
20
berada pada kominda tergolong dalam informasi rahasia terbatas yang masa retensinya sangat tergantung kepada situasi masyarakat sebagai dampak dari keluarnya kebijakan kepala daerah. Sedangkan informasi intelijen, masa retensinya tetap dipertahankan sebagai dasar bagi observasi intelijen berikutnya. Setiap satuan kerja perlu melakukan indentifikasi yang jelas mengenai kebijakan apa saja yang akan dihasilkan gubernur sebagai kebijakan untuk kepentingan umum dan mana kebijakan gubernur yang bersifat khusus. Pengelolaan informasi sebagai dasar kebijakan untuk kepentingan umum, maka informasinya tergolong informasi publik. Sejak awal kebijakan disusun, masyarakat sudah dapat mengakses dan memberikan masukan atau kritik terhadap proses tersebut. Sebaliknya kebijakan gubernur yang bersifat khusus seperti penanganan konflik antara warga, informasi yang mendukung lahirnya kebijakan tersebut memang perlu dirahasiakan. Masa retensi kerahasiaannya sampai dengan konflik tersebut bisa teratasi. Informasi rahasia terbatas ini akan selalu disesuaikan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi objek pengamatannya. Sedangkan informasi intelijen pengelolaan kerahasiaannya tetap harus dijaga karena akan dijadikan dasar bagi kegiatan intelijen berikut. Apabila kebijakan yang dihasilkan terkait dengan pertimbangan melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan, ketertiban umum, persaingan tidak sehat, moral masyarakat di daerah atau data pribadi kepegawaian dan kesehatan individu, maka informasi yang dipergunakan bisa dikategorikan sebagai informasi rahasia terbatas sampai dengan lahirnya kebijakan. Di luar pertimbangan tersebut, maka informasi yang dipergunakan sebagai dasar dari sebuah kebijakan adalah tergolong informasi publik yang bersifat terbuka. B. Saran Pemda perlu menentukan definisi yang spesifik tentang informasi rahasia terbatas yang berkaitan dengan pertimbangan melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan, ketertiban umum, persaingan tidak sehat, moral masyarakat di daerah atau data pribadi kepegawaian dan kesehatan individu. Untuk pertimbangan ini pejabat Pemda bisa diberikan kewenangan untuk menentukan masa retensi suatu informasi, hanya sampai dihasilkannya kebijakan terkait oleh kepala daerah. Khusus informasi intelijen, pejabat terkait perlu diberi kewenangan untuk memperpanjang masa retensi seandainya informasi awal yang diperoleh akan dijadikan data atau bahan masukan bagi kebijakan selanjutnya. Identifikasi informasi intelijen tetap perlu dimiliki oleh Pemda dalm rangka mengantisipasi persoalan gangguan keamanan di tingkat lokal serta potensi gangguan keamanan ke tingkat nasional. Namun demikian kewenangan yang diberikan kepada Pemda memang
21
perlu dibatasi sebuah UU, sehingga akuntabilitas publik tetap dapat dijunjung tinggi. Pengelolaan informasi rahasia terbatas oleh satuan kerja Pemda yang karena tupoksinya memiliki informasi rahasia terbatas, tetap harus memperhatikan dinamika permasalahan di masyarakat yang terkait dengan informasi tersebut. Pemenuhan hak memperoleh informasi publik dan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan tetap harus disediakan. Masa retensi hanya berlaku selama proses pembentukan kebijakan, karena setelah kebijakan dihasilkan masyarakat berhak untuk mengetahui informasi tersebut. Namun apabila informasi rahasia terbatas bocor saat berlangsungnya proses pembentukan kebijakan, maka pejabat yang bersangkutan tidak dapat lagi merahasiakan informasi tersebut. Mengingat peranannya yang cukup strategis dalam pembuatan kebijakan, maka jalur pelaporan informasi intelijen sebagai informasi rahasia terbatas perlu disederhanakan untuk langsung diterima oleh gubernur. Informasi intelijen yang berasal dari institusi terkait dapat langsung disampaikan kepada Kominda untuk dipelajari dan direkomendasikan kepada gubernur. Kebijakan kepala daerah yang terkait dengan perlindungan hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan, ketertiban umum, persaingan tidak sehat, moral masyarakat di daerah atau data pribadi kepegawaian dan kesehatan individu, perlu mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh informasi rahasia terbatas dari satuan kerja terkait. Setelah menjadi kebijakan, maka kepala daerah perlu menjelaskan kepada masyarakat mengenai informasi rahasia terbatas tersebut. Sedangkan kebijakan kepala daerah yang terkait dengan informasi intelijen, maka kepala daerah tetap harus menjaga informasi intelijen sampai dengan pemilik informasi menyatakan bahwa informasi tersebut bisa diketahui oleh masyarakat.
22
DAFTAR PUSTAKA Buku: A. Qodri Azizy, Change Management dalam Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Budi Setiyono, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, Semarang: Penerbit Kalam Nusantara, 2007. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004. Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008 Nico Andriyanto, Good e-government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui e-Government, Malang: Bayumedia Publishing, 2007. Riswandha Imawan, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam Syamsuddin Haris (ed), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005. Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, University of New Mexico, 2004. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit CV Alfabeta, 2005. Toby Mendel, Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A Comparative Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta: UNESCO, 2004. Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Adminstrasi Publik Konsep, Teori, dan Isu, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2005
Makalah Tidak Diterbitkan: Eko Prasodjo, “Akses Politik Publik terhadap Kebijakan Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah Terkait Rencana Pemberlakuan Ketentuan Rahasia Negara”, Makalah tidak diteribitkan disampaikan pada diskusi terbatas mengenai Pengaturan Rahasia Negara dalam Perspektif Tata Pemerintahan Yang Baik", di P3DI Setjen DPR RI, 6 November 2009
23
Galang Asmara, "Pengaturan Rahasia Negara dalam Perspektif Tata Pemerintahan Yang Baik", tulisan ini disampaikan pada acara Focus Group Discusion di Fakultas Hukum Universitas Mataram, 21 November 2009. Surat Kabar: “Dihentikan, Pembahasan RUU Rahasia Negara", KOMPAS Kamis, 17 September 2009 Situs Internet: Curigai
Hasil UN, Pemkot Akan Surati Mendiknas, http://www.mataramkota.go.id/main.php?pilih=news&mod=yes&a ksi=lihat&id=82 diakses tanggal 4 Januari 2010 Eksploitasi Dodo Rinti Sebaiknya dengan Kontrak Karya Baru, http://www.globalfmlombok.com/content/eksploitasi-dodo-rintisebaiknya-dengan-kontrak-karya-baru diakses tanggal 4 Januari 2010 Lusiana Andriani Lubis, Penerapan Komunikasi Lintas Budaya diantara Perbedaan Kebudayaan, http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana2.pdf diakses tanggal 26-Juni 2009 Mantan Gubernur NTB Didakwa Korupsi, http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=3088&jenis=plt diakses tanggal 4 Januari 2010 Pemprov NTB Targetkan Program Bumi Sejuta Sapi, http://web.pabindonesia.com/content/view/26391/9/ diakses tanggal 1 November 2009 Syafuan Rozi, Masyarakat dan Hak Informasi Publik, http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/1 diakses tanggal 1 Desember 2009 Syafuan Rozi, Masyarakat dan Hak Informasi Publik, http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/1 diakses tanggal 1 Desember 2009 Dokumen Lain: Sekretariat Komisi 1 DPR RI, Laporan Singkat Kunjungan Kerja Komisi 1 DPR RI tanggal 2- 5 April 2007 ke Provinsi NTB
24
HARAPAN ATAS PERAN ASEAN INTER-PARLIAMENTARY ASSEMBLY (AIPA) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA DEMOKRATISASI DI MYANMAR Simela Victor Muhamad
*)
Abstract Parliament is one of formal state actors which plays important role in international relations. Through the socalled “parliamentary diplomacy”, the parliament --whether it is reflected by its individual members or institution-- can take part in seeking peaceful solutions to regional and international conflicts. AIPA, as an inter-parliamentary forum for ASEAN member countries, for example, can help encourage Myanmar to introduce democratization, which since past few years has become an international issue. This article attempted to answer why and how the AIPA should take initiatives to push democratization in Maynmar. Kata kunci: AIPA, Diplomasi Parlemen, Myanmar, Junta Militer, Demokratisasi, Aung San Suu Kyi. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Salah satu isu hubungan internasional yang hingga kini masih menjadi perhatian masyarakat internasional adalah perkembangan politik yang terjadi di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, khususnya menyangkut isu demokratisasi di salah satu negara anggota ASEAN tersebut. Meskipun pengembangan demokrasi di suatu negara merupakan urusan dalam negeri negara yang bersangkutan, tetapi fenomena hubungan internasional di era globalisasi saat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di suatu negara, terlebih jika hal itu sudah menjadi bagian dari isu hubungan internasional, seperti isu 1 lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), dan demokratisasi, maka *)
Peneliti Madya Gol. IV/a, Bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional, pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. Email:
[email protected]. 1 Lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), dan demokratisasi, Juwono Sudarsono menyebutnya sebagai ―3 in 1‖, telah menjadi bagian dari isu-isu hubungan internasional setelah berakhirnya Perang Dingin. Juwono Sudarsono, ―State of the Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional‖, dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, PT Dunia Pustaka Jaya, 1996, hal. 14.
1
hal itu akan mendapat sorotan tajam masyarakat internasional. Masyarakat internasional beranggapan bahwa Myanmar saat ini tengah menghadapi persoalan serius dalam kehidupan politiknya, dimana prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi tidak mendapat pengakuan yang layak dari rezim yang berkuasa, seperti tercermin antara lain dalam pemilu 1990 dan juga kebijakan rezim militer lainnya belakangan ini terkait dengan rencana pelaksanaan pemilu 2010. Sebagaimana diketahui, rezim militer Myanmar yang berkuasa telah menolak kemenangan besar Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (the National League for Democracy/NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi pada Pemilu 1990 yang memenangi 80 persen suara. Rezim militer Myanmar, yang tidak menduga partai yang didukungnya akan kalah telak, tidak mengakui hasil pemilu tersebut, bahkan menangkap para anggota parlemen terpilih dan memenjarakan mereka dan mengisolasi Aung San Suu Kyi dalam tahanan rumah, serta memberangus semua gerakan pro-demokrasi baik di kampus maupun luar kampus. Kebebasan pers, berkumpul dan berpendapat juga dibatasi. Belakangan ini, melalui sejumlah peraturan yang dikeluarkan, yang dianggapnya sebagai bagian dari roadmap to democracy, rezim militer Myanmar kembali mencoba membuat ―hambatan‖ bagi pelaksanaan praktik demokrasi dengan membatasi keikutsertaan kelompok oposisi, terutama yang saat ini masih 2 menjadi tahanan politik, untuk berpartisipasi dalam pemilu 2010. Berbagai langkah rezim militer Myanmar di atas telah menimbulkan keprihatinan masyarakat internasional, termasuk negaranegara anggota ASEAN (di luar Myanmar), karena pemerintah Myanmar dianggap tidak berkeinginan untuk memajukan demokrasi, dan juga memajukan HAM, sebagai sebuah nilai universal yang sudah seharusnya dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa di dunia. Terlebih lagi, saat ini ASEAN telah memiliki Piagam, dimana melalui Piagam ASEAN (ASEAN Charter) tersebut perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara ini antara lain menekankan pentingnya penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ASEAN sendiri, sebagai sebuah perhimpunan bangsabangsa Asia Tenggara yang diwakili oleh pemerintah, sejauh ini telah berupaya mendorong Myanmar untuk mengembangkan demokrasi, namun tampaknya belum berhasil. Upaya mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, terutama oleh masyarakat di kawasan, perlu terus dilakukan, karena kemajuan demokrasi yang dicapai oleh Myanmar sesungguhnya juga akan berdampak positif tidak saja bagi kehidupan politik di dalam negeri Myanmar itu sendiri tetapi juga bagi stabilitas kawasan. Sepanjang caracara yang ditempuh oleh rezim militer Myanmar bersifat represif dan tidak demokratis dalam menangani berbagai persoalan politik di dalam negeri, 2
―New Burmese election law bars pro-democracy leader Suu Kyi from running‖, The Washington Post, 10 Maret 2010, http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2010/03/09/AR2010030903941.html - diakses 14 Maret 2010.
2
mulai dari persoalan aspirasi kelompok-kelompok etnik minoritas hingga persoalan perbedaan pandangan politik dalam kehidupan bernegara, maka situasi kehidupan di dalam negeri Myanmar sendiri ―bak api dalam sekam‖, yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menciptakan ketidakstabilan politik di dalam negeri. Ketidakstabilan politik yang terjadi di Myanmar tentu akan membawa implikasi bagi lingkungan di sekitarnya, yakni terganggunya stabilitas perdamaian dan keamanan di kawasan. Tidaklah berlebihan jika kemudian masyarakat internasional terus mengkritisi situasi yang berkembang di Myanmar, khususnya terkait dengan pengembangan demokrasi dalam kehidupan politik warga negaranya. ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), sebagai sebuah lembaga antar-parlemen negara-negara anggota ASEAN, yang juga kerap menyuarakan aspirasi rakyat negara-negara Asia Tenggara, seharusnya juga menaruh perhatian besar terhadap situasi yang terjadi di Myanmar tersebut. Terlebih hal ini juga menyangkut aspirasi rakyat, baik itu aspirasi atau adanya keinginan rakyat di kawasan yang ingin melihat proses demokratisasi di Myanmar dapat berjalan dengan baik maupun untuk memenuhi aspirasi sebagian besar rakyat Myanmar itu sendiri yang menginginkan adanya perubahan dalam kehidupan politik, ke arah yang lebih demokratis, seperti tercermin dari hasil pemilu 1990 yang tidak diakui oleh rezim militer. AIPA bukannya tidak menaruh perhatian terhadap isu demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM. Demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM sesungguhnya juga telah menjadi perhatian AIPA, seperti terlihat dalam Resolusi AIPA Nomor 29GA/2008/Pol/02, yakni ―Resolution on Strengthening Democracy, Promotion And Protection of Human Rights‖, yang dikeluarkan pada Sidang Umum ke-29 AIPA di Singapura pada Agustus 2008. Resolusi terkait dengan isu demokratisasi dan HAM tersebut dikeluarkan oleh AIPA dalam rangka mendukung terbentuknya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang memuat harapan agar penguatan demokrasi dan promosi HAM dapat berkembang dengan baik di negaranegara ASEAN. Sementara itu, AIPA sendiri belum pernah mengeluarkan resolusi atau statement politik terkait dengan isu demokratisasi di Myanmar dan juga belum berperan nyata dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di negara tersebut. Padahal, isu demokratisasi di Myanmar kini telah menjadi salah satu sorotan masyarakat internasional dan menjadi ―batu ganjalan‖ ASEAN dalam hubungan internasional. Dalam kaitan inilah AIPA harus berperan penting dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. B. Permasalahan AIPA, sebagai sebuah lembaga antar-parlemen negara-negara anggota ASEAN, belum terlalu berperan dalam memperjuangkan berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Upaya yang dilakukan oleh
3
AIPA (sebelumnya bernama ASEAN Inter-Parliamentary Organization/AIPO) masih sebatas penyampaian statement-statement politik dan itu pun dilakukan oleh anggota parlemen secara individual, bukan dilakukan oleh AIPA secara kelembagaan. AIPA, sebagai sebuah lembaga antar-parlemen dan yang lebih merepresentasikan kepentingan rakyat di kawasan, sudah seharusnya berperan penting dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Permasalahan dalam tulisan ini adalah, mengapa AIPA perlu berperan dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, dan bagaimana peran itu dilakukan? Tulisan ini mencoba membahasnya. Dalam pembahasan, terlebih dahulu akan dikemukakan sekilas tentang AIPA, dan juga diulas mengenai dinamika politik di Myanmar serta demokratisasi di Myanmar sebagai isu internasional. C. Tujuan Tujuan penulisan kajian ini adalah untuk mengetahui peran diplomasi parlemen, khususnya melalui forum antar-parlemen negaranegara anggota ASEAN, yakni AIPA, dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Tulisan ini juga ditujukan sebagai bahan masukan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), khususnya Anggota DPR RI yang aktif mengikuti sidang-sidang AIPA. D. Kerangka Pemikiran Sebuah proses hubungan internasional tidak dapat dilepaskan, antara lain, dari peran yang dilakukan oleh berbagai aktor untuk saling memengaruhi melalui kegiatan diplomasi. Secara sederhana, diplomasi dapat diartikan sebagai seni dan praktik negosiasi antara wakil-wakil dari 3 negara atau sekelompok negara. Istilah ini biasanya merujuk pada diplomasi internasional, di mana hubungan internasional melalui perantara diplomat profesional melakukan negosiasi terkait isu-isu perang dan damai, konflik antar-negara, perdagangan, ekonomi dan juga budaya. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat internasional, termasuk dengan munculnya isu-isu baru dalam hubungan internasional (lingkungan hidup, HAM, dan demokratisasi), aktor-aktor yang berperan dalam kegiatan diplomasi pun tidak lagi bergantung kepada diplomatdiplomat pemerintah tetapi peran diplomasi itu pun dapat dilakukan oleh aktor-aktor lain di luar pemerintah. Oleh karena itu, dalam studi hubungan internasional, dikenal juga konsep diplomasi multi-jalur (multi4 track diplomacy). Diplomasi multi-jalur mengidentifikasikan bahwa suatu 3
G.R.Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, New York: Palgrave, 2002, hal. 25. Louise Diamond, Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, Kumarian Press, Inc., 1996, hal. 11. 4
4
tujuan dapat dicapai selain melalui cara formal yang melibatkan aktoraktor pemerintah dalam aktivitas diplomasi, yang tidak boleh dikesampingkan juga adalah peran dari aktor-aktor bukan pemerintah. Studi diplomasi mengalami perkembangan pesat sejak berakhirnya Perang Dingin. Perkembangan ini terjadi disebabkan oleh meningkatnya peran aktor-aktor bukan negara/pemerintah pada era 1990-an, seperti media massa, non-governmental organization (NGO) internasional, kalangan profesional, perseorangan, dan lain-lain, sehingga menyebabkan negara/pemerintah bukan lagi sebagai aktor utama diplomasi. Oleh karena itu, sejak lebih dari satu dekade lalu mulai diperkenalkan konsep diplomasi multi-jalur (multi-track) yang melibatkan 5 9 elemen masyarakat, yaitu: 1) Jalur pertama yang meliputi para diplomat dari kementerian luar negeri, para pejabat pemerintah, dan anggota parlemen. Sebagai pembuat kebijakan, mereka membuka jalan bagi upaya-upaya perdamaian; 2) Kelompok NGO/kalangan profesional atau juru damai melalui resolusi konflik. Ini merupakan aksi profesional non-pemerintah yang bertujuan mengorganisir, mencegah, menyelesaikan, dan mengelola konflik-konflik internasional yang dilakukan oleh aktor-aktor bukan negara; 3) Kelompok bisnis atau juru damai melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan; 4) Warga negara biasa atau juru damai perorangan (citizen diplomacy), termasuk di dalamnya berbagai upaya masyarakat yang terlibat dalam aktivitas perdamaian maupun pembangunan, program pertukaran, organisasi swasta perorangan, organisasi bukan pemerintah dan kelompokkelompok kepentingan khusus; 5) Aktivitas penelitian, pelatihan, pendidikan atau pembelajaran secara lintas bangsa. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan bisa sangat beragam dengan jangkauan global atau lintas budaya, seperti studi tentang perdamaian dan tata dunia, manajemen dan resolusi konflik; 6) Aktivisme atau juru damai melalui advokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan khusus, misalnya advokasi mengenai masalah perlucutan senjata, penghormatan terhadap HAM, keadilan sosial dan ekonomi; 7) Kelompok agama, atau juru damai melalui penebalan keimanan. Termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan spiritual oleh komunitas-komunitas agama yang berasaskan ajaranajaran moral, perdamaian, pesantren, dan ajaran untuk tidak memakai kekerasan (non-violent) dalam menyelesaikan perbedaan; 8) Perdamaian melalui penyediaan dana. Kegiatan ini mengacu pada organisasiorganisasi keuangan berbentuk yayasan maupun sumbangan perorangan dalam menyediakan dana bagi program-program yang dilakukan jalur-jalur diplomasi lain; 9) Komunikasi dan media, atau perdamaian melalui penyediaan informasi. Kegiatan ini merupakan perwujudan dari suara rakyat; bagaimana opini publik dibentuk dan diekspresikan oleh media massa baik cetak maupun elektronik.
5
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 218-219.
5
Terlihat di sini bahwa sebagai bagian dari diplomasi multi-jalur, parlemen juga dapat memainkan peranannya dalam proses hubungan internasional, baik itu dalam konteks individual anggota parlemen maupun secara kelembagaan melalui sebuah organisasi antar-parlemen. Keterlibatan parlemen dalam dunia diplomasi, yang juga dikenal sebagai diplomasi parlemen (parliamentary diplomacy), bukan dimaksudkan untuk menyaingi kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh aktor pemerintah, tetapi dimaksudkan untuk mendukung atau memperkuat diplomasi pemerintah. Secara teoritik, diplomasi parlemen menjadi salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan suatu upaya diplomasi, mengingat proses diplomasi yang dilakukan parlemen umumnya lebih fleksibel dan terbuka, tanpa sekat-sekat birokrasi yang kaku, dan hal ini biasanya lebih memudahkan untuk mencapai atau mendekati sasaran diplomasi yang diinginkan. Ini berarti, parlemen, sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat suatu negara, dapat berperan sebagai salah satu unsur utama dalam struktur diplomasi lintas bangsa dan negara. Dalam kerangka itulah, parlemen dan juga berbagai forum antarparlemen dapat turut memberi kontribusi dalam mencari suatu solusi damai atas berbagai permasalahan internasioanal dan regional. Peran AIPA dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar dapat dipahami sebagai bagian dari pelaksanaan diplomasi parlemen. Demokratisasi di Myanmar yang telah menjadi isu internasional tidak saja menjadi urusan pemerintah negara-negara ASEAN tetapi juga harus direspons oleh AIPA. II. Sekilas tentang AIPA Sebagaimana diketahui, AIPA sendiri sebelumnya bernama AIPO (ASEAN Inter-Parliamentary Organization), yang digagas 6 pendiriannya oleh Indonesia pada tahun 1974. Gagasan berdirinya AIPO terwujud secara resmi melalui penandatanganan Statuta AIPO pada tanggal 2 September 1977 di Manila oleh para ketua delegasi dari parlemen-parlemen Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang menghadiri Konperensi ke-3 Antar-Parlemen ASEAN. Tujuan dari AIPO, sebagaimana disebutkan dalam Statuta, pada prinsipnya adalah untuk menggalang kerja sama dan hubungan antarparlemen yang lebih erat, serta mencapai saling pengertian di antara parlemen-parlemen anggota AIPO dan memfasilitasi hasil-hasil dari tujuan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi ASEAN yang 7 ditandatangani pada bulan Agustus 1967. Sidang Umum Pertama AIPO diselenggarakan di Singapura pada tahun 1978. Dengan semakin meningkatnya tantangan-tantangan 6
Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Diplomasi DPR: Dari Senayan ke Kancah Global, BKSAP-DPR RI, 2009, hal. 65. 7 ―ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)‖, http://www.aipasecretariat.org/site/ diakses 2 April 2010.
6
baru di kawasan Asia Tenggara khususnya dan di dunia pada umumnya, muncul kesadaran untuk mentransformasi AIPO menjadi sebuah institusi yang lebih efektif dan integratif, terutama dalam kerangka merespons dan mengatasi permasalahan yang muncul di kawasan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Sidang Umum ke-27 AIPO yang diselenggarakan pada tanggal 10-15 September 2006 di Cebu City, Filipina, memutuskan untuk mengganti nama AIPO menjadi AIPA. Saat ini, anggota AIPA berjumlah 8 delegasi negara, yang terdiri dari parlemen-parlemen dari negara-negara Indonesia, Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Oleh karena Brunei Darussalam dan Myanmar tidak mempunyai parlemen, mereka masuk dalam kategori Peninjau Khusus (Special Observer) yang berpartisipasi secara penuh di forum ini. Pada setiap Sidang Umum AIPA, terdapat beberapa negara yang menjadi Dialog Partners, yaitu Australia, Kanada, China, Jepang, Republik Korea, Selandia Baru, Papua Nugini, Federasi 8 Rusia, dan Parlemen Eropa. Statuta AIPA menyebutkan bahwa Sidang Umum (General Assembly) adalah badan pembuat kebijakan AIPA dan bersidang satu kali dalam setahun di negara yang menjadi anggota AIPA secara rotasi berdasarkan abjad dari negara-negara anggota ASEAN. Presiden AIPA dijabat oleh Ketua Parlemen negara penyelenggara Sidang Umum selama setahun hingga pelaksanaan Sidang Umum AIPA berikutnya. Presiden AIPA juga menjabat sebagai Ketua Executive Committee, sebuah kelembagaan dalam AIPA yang beranggotakan tidak lebih dari 3 (tiga) anggota parlemen, salah satunya adalah Ketua Parlemen (Speaker of Parliament), dari setiap negara anggota AIPA. Presiden AIPA, sebagai Ketua Executive Committee, memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pertemuan di suatu tempat dan waktu tertentu untuk membahas sesuatu hal yang dianggap perlu. Sementara itu, Executive Committee sendiri memiliki kekuasaan yang sangat strategis, diantaranya adalah: mengembangkan inisiatif-inisiatif baru bagi kegiatankegiatan AIPA; memonitor penerapan resolusi-resolusi AIPA; menyiapkan agenda sidang dan mengajukan berbagai program yang diusulkan oleh Parlemen-parlemen Anggota AIPA untuk mendapatkan persetujuan dalam Sidang Umum; dan jika dianggap perlu dapat mengusulkan pembentukan standing committee, study committee, serta ad hoc committee atau sub-committee dari sebuah standing committee. Dalam kerangka membangun kemitraan dengan ASEAN, Statuta AIPA juga memberi ruang bagi terjalinnya komunikasi, interaksi dan konsultasi 9 antara AIPA dan ASEAN. Parlemen Indonesia telah berkiprah dan memberikan kontribusinya bagi kemajuan di kawasan melalui AIPA. Melalui kerangka 8
Ibid. ―The Statutes of ASEAN Inter-Parliamentary http://www.aipasecretariat.org/site/ - diakses 2 April 2010. 9
Assembly
(AIPA)‖,
7
AIPA, telah banyak dibahas isu-isu besar yang berkembang di kawasan, seperti isu food security and the right to food, integrasi ekonomi, memperendah kesenjangan ekonomi antar negara-negara ASEAN, keamanan energi (energy security), hak cipta intelektual, sistem informasi pemasaran agrikultural, energi alternatif, HIV/AIDS, isu perbatasan, terorisme, pengaturan Selat Malaka, kebakaran hutan, illegal logging, kemiskinan, pemberantasan narkoba, pembajakan di laut (sea piracy), tenaga migran, konservasi keragaman hayati, ekstradisi, keterbukaan dan demokrasi, penanggulangan bencana, pemberantasan korupsi, 10 money laundering, dan sebagainya. Diadopsinya Piagam ASEAN pada 2008 diharapkan dapat memberikan semangat baru bagi AIPA, karena Piagam yang disepakati sebagai dokumen konstitusi tersebut mengandung prinsip-prinsip, sasaran, tujuan dan struktur kerja sama ASEAN yang bersifat fundamental, yang diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat ASEAN di masa yang akan datang. III. Dinamika Politik di Myanmar Myanmar adalah sebuah negara kecil di kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah penduduk kurang lebih 50 juta orang. Sejak memperoleh kemerdekaannya pada 4 Januari 1948, Myanmar tidak pernah sepi dari pergolakan politik dan kudeta militer yang silih berganti. Ketika Myanmar merdeka pada tahun 1948 (waktu itu bernama Burma), di bawah pemerintahan sipil U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosial-politik yang rumit. Dengan strategi pembangunan pydawtha (negara yang makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Strategi tersebut pada akhirnya gagal mengatasi berbagai persoalan kompleks yang muncul, baik yang berkenaan dengan aspek perekonomian, pembelotan, 11 maupun pemberontakan. Keterlibatan militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan pemilu 1960. Pemerintahan militer, saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya, Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, 10
BKSAP, Op.Cit., hal. 57. ―History of Burma‖, http://www.cfob.org/HistoryofBurma/historyOfBurma.shtml - diakses 2 April 2010. 11
8
maka timbul ketidakpuasan di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta di bawah pimpinan 12 Jenderal Ne Win. Keberhasilan kudeta atas PM U Nu pada tahun 1962 itu bisa dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar. Selama masa pemerintahannya (1962-1988) Ne Win hanya mengakui satu partai politik, yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) yang dibentuknya sendiri. BSPP atau yang lebih dikenal dengan Partai Lenzin ini bisa dikatakan sebagai partai tunggal yang dibentuk untuk mendukung program sosialis dengan mayoritas anggota berasal dari golongan militer. Sejak berdiri tahun 1962, dan disahkan tahun 1964, keanggotaan partai ini didominasi oleh militer. Pada tahun 1972 militer menjadi pilar pokok dari partai. Kekuatan militer sebagai pilar politik terlihat nyata, antara lain, pada tahun 1988 ketika rezim yang berkuasa menghadapi gerakan pemberontakan rakyat. Pada tanggal 19 september 1988, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan nama pemberontakan 8888, dengan dipelopori oleh aktivis mahasiswa. Gerakan pemberontakan ini disokong oleh rakyat dan para biksu Budha, namun ditindas dengan 13 kekerasan militer oleh Jenderal Saw Maung. Pembantaian terhadap gerakan pemberontakan 1988 ini ternyata tidak menyurutkan perlawanan rakyat Myanmar terhadap rezim militer. Hal ini terbukti dengan kemenangan Aung San Suu Kyi, dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy/ NLD) dalam pemilu 1990. NLD memenangi 392 dari 485 kursi di parlemen, tetapi kemenangan itu tidak diakui rezim militer. Ketika itu Jenderal Saw Maung membatalkan hasil pemilu 27 Mei 1990 yang menempatkan NLD 14 pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai pemenang pemilu. Bahkan Aung San Suu Kyi ditahan oleh pemerintahan rezim militer hingga saat ini. Sampai saat ini, di bawah Jenderal Than Shwe, militer sangat kuat mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Begitu kuatnya peran militer sehingga David I. Steinberg menempatkan Myanmar sebagai ―The most monolithically military-controlled in the 15 world‖. Dalam berbagai studi, peranan militer sangat dominan dalam membentuk kehidupan politik otoriter. Setidaknya ada tiga alasan militer selalu berkehendak untuk tampil dalam kehidupan politik, yakni: (1) Kehendak terlibat dalam menguasai aset-aset ekonomi dan bisnis. Di banyak negara yang pernah di kuasai oleh rezim militer, aset-aset 12
San Oo Aung, ―19th Anniversary of Military Coup‖, Burma Digest, 14 September 2007, http://burmadigest.info/2007/09/14/19th-anniversay-of-military-coup/ - diakses 2 April 2010. 13 David I. Steinberg, Burma: The State of Myanmar, Georgetown University Press, Washington, D.C., 2001, hal. 1-17. 14 Derek Tonkin, ―The 1990 Elections in Myanmar: Broken Promises or a Failure of Communication?‖, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Volume 29, Number 1, April 2007, hal. 33-54. 15 Lihat Clarck D. Neher, Democracy and Development in Southeast Asia, Colorado: Westview Press, 1995, hal. 121.
9
ekonomi justru tersentralisasi ditangan junta dan kroni penguasa sekelilingnya. Terbukti bahwa rezim militer bisa merupakan rezim paling anti demokrasi sekaligus rezim paling korup, karena sangat agresif dalam mengakumulasi kekuasaan tetapi tidak terlibat dalam hubungan produksi ekonomi; (2) Kegagalan politisi sipil dalam mengembangkan kepemimpinan politik yang kuat dan stabil. Bagi pandangan politik militer, demokrasi bisa dikatakan berbahaya karena terlalu memberi ruang pergesekan dan merugikan rakyat; (3) Doktrin militer yang masih belum menghargai supremasi sipil. Ditarik dalam konteks Myanmar, sepertinya militer Myanmar adalah kekuatan politik yang selalu mendominasi dalam proses ekonomi-politik di negara tersebut pasca merdeka. Menurut Huntington, ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil maka kemudian pemerintah militer harus memilih antara mempertahankan kekuasaan atau mengembalikannya kepada politisi sipil; dan antara memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok 16 masyarakat atau membatasinya. Dengan demikian, pimpinan rezim militer dihadapkan pada 4 pilihan, yakni: mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi; mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi; mengembalikan kekuasaan dan membatasi partisipasi; dan mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi. Dalam kasus Myanmar, untuk melihat kebijakan mana yang diambil oleh rezim militer tidaklah sulit. Dengan melihat kebijakan yang diterapkan rezim militer pimpinan Jenderal Ne Win (1962-1988) dan rezim militer pimpinan Jenderal Saw Maung pasca 1988 kita dapat melihat dengan jelas bahwa rezim tersebut memilih kebijakan mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi. Pada masa Ne Win, misalnya, segera setelah ia melakukan kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu tahun 1962, ia mendirikan pemerintahan otoriter dan memerintah dengan gaya diktator. Rakyat tidak diperkenankan memilih pimpinannya sendiri, karena keputusan politik harus melalui pimpinan militer di Yangoon. Burmese Socialist Program Party (BSPP), pimpinan Jenderal Ne Win, menjadi satu-satunya partai resmi yang berdiri. Oposisi datang dari penjuru perkotaan dan pedalaman, tetapi selalu gagal karena pihak oposisi tidak memiliki pemimpin kharismatik dan lemahnya masyarakat sipil Myanmar. Ketika Myanmar di bawah pemerintahan Jenderal Saw Maung, yang mengambil alih kekuasaan pada 18 September 1988, watak otoriterisme pendahulunya diwarisi oleh pemerintahan ini. Kudeta tahun 1988 ini dalam kenyataannya tidak dapat diartikan sebagai adanya pergantian kekuasaan di Myanmar. Hal ini semata-mata pergantian pemerintahan militer yang ―lama‖ menjadi pemerintahan militer yang ―baru‖, dari BSPP menjadi The State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada dasarnya kekuasaan pemerintahan tetap berada di 16
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of CivilMilitary Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1981, hal. 80-98.
10
tangan militer. Sebagaimana pendahulunya, pemerintahan militer Jenderal Saw Maung juga memimpin negara dengan otoriter. Begitu juga dengan junta militer Myanmar saat ini, yang dikenal juga sebagai The State Peace Development Council (SPDC), pimpinan Jenderal Than Shwe, yang penuh intrik politik dan kesewenang-wenangan dalam 17 menjalankan pemerintahan di Myanmar. Eksistensi junta militer di Myanmar, bukannya tanpa tantangan dan perlawanan, setidaknya sejak kudeta tahun 1962, berbagai perlawanan muncul baik dipelopori oleh mahasiswa, aktivis partai, maupun kaum biksu Budha. Kekuatan-kekuatan politik dan oposisi yang potensial menumbangkan rezim militer di Myanmar dapat dipetakan 18 dalam beberapa kelompok, yakni: (1) Aktivis dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi (putri pejuang pembebasan nasional Myanmar Aung San). Hingga sekarang, boleh dikatakan NLD lah kekuatan oposisi-demokratik paling intens melakukan perlawanan terhadap pemerintahan junta militer; (2) Gerakan Mahasiswa yang tersebar di kampus-kampus besar di Myanmar. Eksistensi mereka pernah menggemparkan ketika mahasiswa melakukan pemberontakan 1988, dan ditumpas dengan kekerasan oleh militer. Dalam kerusuhan tersebut disebutkan bahwa sekitar 3000 aktivis mahasiswa dan anggota partai oposisi dikabarkan terbunuh oleh militer; (3) Biksu Budha, yang dalam waktu-waktu belakangan ini juga menjadi pelopor kebangkitan perlawanan kaum pro-demokrasi Myanmar. Pengaruh politik para biksu ini tidak bisa disepelekan, mengingat dari 50 juta rakyat Myanmar 85 persennya adalah pemeluk agama Budha; (4) Aktivis HAM dan NGO yang lebih banyak bekerja dalam kampanye dan menggalang solidaritas internasional untuk rakyat Myanmar. Negosiasi yang dilakukan aktivis HAM dengan melobi pemerintah negara-negara lain dan lembaga HAM internasional untuk memberikan sanksi atas junta militer di Myanmar. Di bawah kepemimpinan Jenderal Than Shwe, setelah mendapatkan kritik dan tekanan dari masyarakat internasional, Pemerintah Myanmar pada tahun 2003 mencanangkan apa yang mereka 19 sebut sebagai Roadmap to Democracy. Roadmap itu menjelaskan adanya dua tahapan yang harus dilakukan dalam waktu dekat. Pertama, pemerintah Myanmar menyelenggarakan referendum Konstitusi baru pada 10 Mei 2008. Kedua, merencanakan penyelenggaraan Pemilu Nasional pada tahun 2010 untuk memilih anggota Parlemen sesuai dengan Konstitusi Baru Myanmar. Pemilu multipartai yang rencananya 17
Salah satu bentuk kesewenang-wenangan rezim militer Myanmar adalah berulangkali memperpanjang masa tahanan rumah Aung San Suu Kyi. Suu Kyi telah menghabiskan waktu 14 tahun dari 20 tahun terakhir masa hidupnya dalam tahanan rumah sejak junta menolak kemenangan besar Partai NLD pada pemilu 1990. 18 AWSJ Staff Reporter, ―New Movement in Myanmar Looks to Election‖, The Wall Street Journal, 17 Maret 2010. 19 Ruukun Katanyuu, ―Beyond Non-Interference in ASEAN: The Association‘s Role in Myanmar‘s National Reconciliation and Democratization‖, Asian Survey, Vol. 46, No. 6, November/December 2006, hal. 825-845.
11
digelar pada tahun 2010 ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong tercapainya Myanmar menuju sebuah negara demokrasi dan rekonsiliasi nasional. Belum lagi pemilu 2010 ini digelar, junta militer Myanmar, awal bulan Maret 2010, menerbitkan undang-undang baru tentang pemilu. Memang, undang-undang menjelaskan, pemilu multipartai akan dilaksanakan tahun ini. Akan tetapi, undang-undang itu juga melarang para tokoh oposisi—termasuk Aung San Suu Kyi—ikut serta dalam pemilu. Yang juga dilarang ikut pemilu adalah para tokoh agama yang 20 dua tahun lalu terlibat dalam protes antipemerintah. Banyak kalangan menilai bahwa penerbitan undang-undang baru itu merupakan kemunduran; sebuah kemunduran dalam kebebasan berpolitik. Karena itu, utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thomas Ojea Quintana, waktu itu secara tegas menuduh Myanmar telah ―melanggar 21 hak asasi manusia secara sistematik dan besar-besaran‖. Masuk akal kalau kemudian tokoh oposisi dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, menentang partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mendaftarkan diri untuk ikut pemilu. Terkait dengan pemilu, junta militer Myanmar akan membentuk sebuah komisi pemilu dan akan memilih semua anggotanya. Pembentukan komisi pemilu itu merupakan aturan pertama dari lima aturan pemilu yang diumumkan junta menjelang pelaksanaan pemilu yang diperkirakan akan dilaksanakan pada akhir tahun 2010. Junta (SPDC) menyatakan akan menunjuk anggota komisi, yang setidaknya beranggotakan lima orang, termasuk ketua; semua anggota harus berusia di atas 50 tahun, sebagai orang terkemuka, memiliki integritas dan pengalaman, loyal terhadap negara dan rakyatnya, serta bukan anggota partai politik. Komisi pemilu akan bertanggung jawab merancang daerah pemilihan, menyusun daftar pemilih, dan mengawasi partai politik untuk bekerja sesuai hukum. Empat peraturan yang lain mengatur soal pemilu Pyithu Hluttaw atau DPR, Amyotha Hluttaw atau Dewan Nasional, parlemen wilayah dan negara bagian, serta pendaftaran partai politik. Dari 440 anggota Pyithu Hluttaw, 330 orang akan dipilih dari kalangan sipil dan 110 orang diambil dari wakil militer. Adapun dari 224 anggota Amyotha Hluttaw, 168 kursi akan diduduki kandidat terpilih dan 56 kursi diisi anggota militer. Undang-undang pemilu itu juga akan mengatur mekanisme serta aturan kampanye dan pemungutan suara, juga syaratsyarat bagi partai yang akan ambil bagian, namun detailnya akan dikeluarkan satu demi satu pada hari-hari mendatang melalui surat kabar milik junta. Tanggal pasti pelaksanaan pemungutan suara juga belum diumumkan. Para pengamat memperkirakan, pemungutan suara akan 22 dilaksanakan pada bulan Oktober atau November 2010. 20
―Myanmar provides details first election law‖, The Jakarta Post, 9 Maret 2010. ―Burma election laws a ‗setback‘ for dialogue, says US‖, BBC News, 12 Maret 2010, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8563870.stm - diakses 1 April 2010. 22 ―Junta Bentuk Komisi Pemilu‖, Kompas, 10 Maret 2010. 21
12
Perkembangan politik yang terjadi di Myanmar belakangan ini menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa, tampaknya, menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi politiknya. Bagaimana pemerintah merekayasa bagi berlanjutnya sebuah rezim dengan menghalangi kekuatan lain, kekuatan politik rakyat untuk ambil bagian dalam menentukan nasib dan masa depan bangsa dan negara. Padahal, pemerintahan yang baik, untuk yang pertama dan utama, menciptakan negara yang aman dan stabil, dan pada gilirannya keamanan dan kestabilan tersebut melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, keamanan dan kestabilan itu ditegakkan tidak dengan melanggar hak-hak asasi manusia, tetapi justru sebaliknya, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, kalau kemudian Suu Kyi meminta partainya tidak ikut pemilu, itu suatu hal yang wajar, karena politik tidak dijalankan sebagaimana mestinya, yakni untuk kepentingan umum, kepentingan bersama. IV. Demokratisasi di Myanmar sebagai Isu Internasional Perkembangan politik yang terjadi di Myanmar, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi di atas, telah menarik perhatian masyarakat internasional. Hal ini terlihat dalam berbagai pertemuan internasional, seperti dalam kerangka pertemuan Uni Eropa, APEC, ASEAN, Uni Eropa-ASEAN, ASEAN dengan mitra dialog, dan juga dalam kerangka sidang PBB, di mana persoalan yang terjadi di Myanmar tersebut kerap menjadi salah satu isu yang dibahas. Bahkan dalam pertemuan-pertemuan bilateral antarnegara, khususnya dalam pertemuan antara salah satu negara Barat (khususnya Amerika Serikat) dengan salah satu negara anggota ASEAN (di luar Myanmar), isu Myanmar kerap juga menjadi salah satu agenda penting yang dibahas. Dalam berbagai pertemuan tersebut, semua pihak berharap prinsipprinsip demokrasi dapat segera diterapkan di Myanmar. Prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri meliputi, antara lain, adanya pembagian kekuasaan, pemilu yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang konstitusional, pers yang bebas, beberapa partai politik, dan 23 perlindungan hak asasi manusia. Berbagai tindakan ataupun kebijakan junta militer yang selama ini dipandang tidak mendorong berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan politik warga harus segera dihentikan. Mereka berharap pemerintahan junta militer Myanmar tidak lagi menerapkan praktek-praktek politik kotor dalam mengelola sistem politik domestiknya. Sebagaimana diketahui, intrik kotor junta ini mengundang reaksi keras dunia, setidaknya Presiden AS Barack Obama meminta agar Suu 23
James W. Prothro dan Charles M. Grigg, ―Fundamental Principles of Democracy: Bases of Agreement and Disagreement‖, The Journal of Politics, 22, Cambridge University Press, 18 Desember 2009, hal. 276-294.
13
Kyi dibebaskan segera dan tanpa syarat. Pemerintah AS juga memperpanjang sanksi tegas terhadap Myanmar. Uni Eropa melarang perjalanan bagi pejabat tinggi Myanmar, menerapkan embargo senjata, membekukan aset Myanmar di Eropa, serta melarang ekspor kayu, logam, dan batu mulia ke Eropa. PBB meminta pemerintah Myanmar membebaskan semua tahanan politik dari penahanan dan memperbolehkan semua kelompok oposisi berpartisipasi dalam pemilu. Sebelumnya, Indonesia juga telah menyampaikan kekecewaannya kepada Myanmar. Jaminan junta militer Myanmar kepada ASEAN bahwa Suu Kyi akan dibebaskan setelah masa tahanan rumah habis pada 27 Mei 2009 juga hanya ―isapan jempol belaka‖. Alih-alih memberikan harapan kemakmuran kepada rakyatnya, junta malah memperlihatkan pada dunia intrik politik kotor mereka dengan menuduh Suu Kyi melanggar tahanan rumah, setelah seorang warga negara Amerika Serikat berenang menyeberangi danau ke rumahnya dan tinggal selama dua hari. Pengadilan militer saat itu bahkan menyatakan, jika terbukti bersalah, Suu Kyi akan dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan praktis 24 ia tidak bisa ikut dalam pemilu yang dijadwalkan tahun 2010. Berlanjutnya penahanan, isolasi, dan tuduhan mengada-ada terhadap Suu Kyi jelas menunjukkan bahwa rezim militer Myanmar tidak memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari komunitas internasional. Diyakini oleh banyak kalangan bahwa penahanan Suu Kyi sebagai alasan junta militer untuk mengurung tokoh demokrasi Myanmar tersebut 25 agar tidak ikut Pemilu 2010. Aspirasi politik dalam negeri yang digagas beberapa tahun lalu untuk roadmap to democracy seakan kehilangan makna. Di sisi lain, meski Suu Kyi mendapat dukungan dari AS, Uni Eropa, dan beberapa negara ASEAN, tetapi tidak memperbesar kekuatan politik dalam negeri dirinya dan NLD. Pada akhirnya negaranegara Barat itu mengakui bahwa pendekatan sanksi yang mereka lakukan terhadap Myanmar sama tidak efektifnya dengan pendekatan pelibatan konstruktif (constructive engagement) yang dilakukan ASEAN. 26 Kekurangberhasilan ASEAN, dan juga misi PBB beberapa waktu lalu, memperlihatkan bahwa junta militer tetap represif sehingga tidak membawa implikasi positif apa pun. Harapan masyarakat internasional tampaknya belum direspons secara positif oleh rezim yang berkuasa, 24
Pengadilan akhirnya memperpanjang masa tahanan rumah Suu Kyi 18 bulan hingga November 2010 karena dia dianggap melanggar tahanan rumah dengan melindungi seorang warga AS, John Yettaw, veteran perang Vietnam, yang berenang menyeberangi danau menuju rumahnya pada Mei 2009. Perpanjangan itu secara efektif menjauhkan Suu Kyi dari kegiatan politik menjelang pemilu 2010. ―Yettaw Dideportasi, Suu Kyi Tetap Ditahan‖, Kompas, 16 Agustus 2009. 25 Faustinus Andrea, ―Membebaskan Daw Aung San Suu Kyi‖, Kompas, 19 Juni 2009. 26 Dalam tiga tahun terakhir (2008-2010), utusan-utusan PBB, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon pada Juli 2009, telah mengunjungi Yangon dalam upaya mendorong Myanmar untuk bergerak maju dalam kehidupan politik yang demokratis, namun tampaknya belum berhasil. Bahkan junta militer Myanmar menolak permintaan Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk bertemu pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. ―Junta Tolak Permintaan Sekjen PBB‖, Kompas, 4 Juli 2009.
14
bahkan sebaliknya junta militer kembali mencoba ―menghambat‖ proses demokratisasi di Myanmar dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat restriktif terkait rencana pelaksanaan pemilu pada 2010 ini. V. Peran AIPA dalam Proses Demokratisasi di Myanmar Memerhatikan perkembangan politik yang terjadi di Myanmar di atas, AIPA, sebagai lembaga antar-parlemen negara-negara ASEAN, perlu mengambil peran dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Apa yang dilakukan oleh berbagai pihak di tingkat internasional, baik itu melalui organisasi regional, internasional maupun melalui aktor-aktor negara selama ini dalam upaya mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, perlu dilengkapi atau didukung oleh jalur diplomasi lain yang juga dapat memainkan peran penting, yakni diplomasi parlemen. Pola hubungan antarbangsa yang secara formal diwakili oleh para diplomat, yang hadir baik di kantorkantor perwakilan maupun di ajang pertemuan tingkat internasional mewakili kepentingan pemerintahnya, dapat lebih ditingkatkan dengan kehadiran unsur lain di luar sistem kepemerintahan. Parlemen, sebagaimana telah disinggung dalam bagian kerangka pemikiran di atas, dapat berperan sebagai salah satu unsur utama dalam struktur diplomasi lintas bangsa dan negara. Dengan fungsi konstitusionalnya dalam bidang legislasi, pengawasan dan anggaran, parlemen merupakan unsur penting yang dapat berperan dan berkontribusi secara nyata dalam upaya mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional agar dunia 27 menjadi tempat yang lebih baik bagi umat manusia. Dalam tatanan dunia yang semakin mengglobal, kecenderungan yang semakin berkembang adalah anggota parlemen juga mulai berperan dalam proses perwakilan, negosiasi, dan mediasi yang 28 umumnya dahulu menjadi dominasi pemerintah. Sejalan dengan tuntutan zaman yang semakin berkembang, tidak dimungkiri lagi bahwa diplomasi parlemen dapat menjadi pendukung bagi diplomasi pemerintah. Adanya beberapa privileges yang dimiliki anggota parlemen telah menjadi faktor penting yang memberikan alternatif baru dalam praktik diplomasi. Jeffrey Roberston mengidentifikasi keistimewaan tersebut sebagai ketersediaan akses, kemampuan untuk membangun kepercayaan, keleluasaan, dan kesempatan untuk mengeksplorasi suatu 29 isu dari berbagai sisi dan dimensi. Akses yang dimaksudkan di sini adalah dalam kaitan dengan posisi anggota parlemen yang memiliki
27
BKSAP, Op.Cit., hal. 4. Frans W. Weisglas dan Gonnie de Boer, ―Parliamentary Diplomacy‖, The Hague Journal of Diplomacy 2, 2007, hal. 93-99. 29 Jeffrey Roberston, ―North Korean Nuclear Issue and the Role of Parliamentary Diplomacy‖, Research Note No. 23, 2006-07, Department of Parliamentary Services, Parliament of Australia, 2007. 28
15
kemudahan untuk bertemu dengan para pengambil keputusan di negara yang mereka kunjungi. Selain itu, anggota parlemen mendapatkan kepercayaan yang tumbuh dari kenyataan bahwa anggota parlemen dipilih oleh rakyat untuk mewakili kepentingan mereka di parlemen. Hal ini dapat menjadi modal dasar untuk membawa misi-misi diplomatik yang berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kemajuan rakyat di suatu negara. Anggota parlemen juga memiliki keleluasaan (flexibility) dalam mencari kemungkinankemungkinan penyelesaian atas suatu masalah internasional dengan melibatkan elemen-elemen di masyarakat seperti lembaga nonpemerintah, masyarakat akar rumput (grass roots), akademisi, dan media massa. Hal ini berbeda dengan diplomasi yang dilakukan pemerintah di mana dalam hal pengambilan sikap dan keputusan terhadap suatu permasalahan internasional, diplomat dibatasi oleh aliran politik yang dianut oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Diplomasi parlemen mempunyai keleluasaan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan sangat efektif dalam menyikapi dan merespons masalah-masalah 30 regional maupun global. Ini berarti bahwa upaya diplomasi yang sulit ditembus oleh pemerintah akan menjadi lebih mudah untuk dicapai ketika parlemen juga turut memainkan peran diplomasinya pada tingkat tertentu. Di sinilah urgensi peran aktor non-pemerintah terutama parlemen untuk meningkatkan peranannya secara aktif dalam kegiatan diplomasi dalam kerangka multi-track diplomacy. Dalam konteks Myanmar, di sinilah sesungguhnya, mengapa AIPA menjadi penting untuk berperan dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar yang hingga kini masih menjadi isu internasional. Karena berbagai upaya diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah selama ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, antara lain terlihat dari sikap rezim militer Myanmar yang tidak terlalu responsif atas kritikan internasional, termasuk ASEAN, terutama terkait dengan status tahanan rumah Aung San Suu Kyi, tokoh pro-demokrasi dan pemimpin oposisi Myanmar, dan masih ―setengah hati‖nya junta militer untuk melaksanakan pemilu yang benar-benar demokratis. Artinya, berbagai langkah diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah, terutama dalam kerangka ASEAN, untuk mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, juga perlu didukung dan diperkuat oleh diplomasi parlemen sebagai bagian dari multi-track diplomacy. Dalam diplomasi parlemen itu sendiri, hal itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, secara one to one (dilakukan secara langsung di antara parlemen, atau anggota parlemen, dua negara); dan kedua, dalam konteks hubungan kerja sama multilateral melalui 31 organisasi atau asosiasi parlemen baik regional maupun internasional. Secara one to one, misalnya, DPR RI atau Anggota DPR RI menjalin dan 30 31
V. Likhachev, ―Parliamentary Diplomacy‖, International Affairs, No. 3, 2009, hal. 153-165. BKSAP, Op.Cit., hal. 17.
16
mengembangkan hubungan kerja sama dengan parlemen atau anggota parlemen negara sahabat. Dalam kerangka diplomasi parlemen secara one to one ini, di antara anggota parlemen tersebut dapat membangun kesamaan pandangan dan sikap, misalnya mereka bersepakat untuk mendesak pemerintah dari negara-negara di suatu kawasan untuk lebih serius lagi dalam turut mengatasi suatu persoalan regional atau internasional yang dianggap dapat mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan di kawasan itu. Hal itu, antara lain, pernah dilakukan oleh sejumlah Anggota Parlemen Indonesia, Suriah, dan Iran, di mana melalui misi diplomatik yang diembannya di daerah konflik di wilayah Timur Tengah, mereka mengajak negara-negara di kawasan tersebut untuk 32 melakukan dialog untuk menciptakan perdamaian. Dalam kerangka untuk mendukung pelaksanaan diplomasi parlemen secara one to one ini, DPR RI telah membentuk keanggotaan 59 Grup Kerja Sama Bilateral 33 (GKSB) dengan parlemen negara-negara sahabat. Sementara itu, dalam konteks hubungan kerja sama multilateral melalui organisasi atau asosiasi parlemen baik regional maupun internasional, diplomasi parlemen dapat dilakukan melalui sejumlah organisasi atau asosiasi antar-parlemen yang telah ada. Untuk tingkat global, kita mengenal Inter-Parliamentary Union (IPU). IPU adalah organisasi internasional parlemen dari negara-negara yang merdeka dan 34 berdaulat yang didirikan pada tahun 1889. Organisasi ini, kini beranggotakan 155 parlemen, telah berkembang menjadi wadah yang diperhitungkan bagi dialog antar-parlemen, perdamaian, dan kerja sama antar-parlemen dalam rangka terbentuknya iklim demokrasi yang kuat dan representatif. Dalam perjalanan sejarahnya, IPU memperjuangkan perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia anggota parlemen dalam rangka melindungi demokrasi perwakilan, agar anggota parlemen yang notabene wakil yang legitimate dari rakyat tersebut mendapatkan keamanan dan perlindungan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Terkait dengan situasi di Myanmar, IPU pun senantiasa aktif menaruh perhatian, antara lain dengan menjadikan isu demokratisasi di Myanmar sebagai salah satu agenda sidangnya, seperti yang terjadi pada Sidang Umum ke-117 IPU di Jenewa, Swiss, Oktober 2007. Pada Sidang Umum ke-117 IPU tersebut telah dihasilkan, antara lain, resolusi tentang “The urgent need to immediately stop the widespread human rights violations and to restore the democratic rights of the people of Myanmar”, sebagai salah satu bentuk keprihatinan parlemen-parlemen di dunia atas situasi yang terjadi di Myanmar, terutama berkaitan dengan belum dipulihkannya 35 hak-hak demokrasi rakyat Myanmar dalam berpolitik. Melalui resolusi 32
Ibid. Pidato Ketua DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI Pembukaan Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2009-2010, Jakarta, 5 April 2010. 34 ―What is the IPU?‖, http://www.ipu.org/english/whatipu.htm - diakses 1 April 2010. 35 Inter-Parliamentary Union (IPU), ―The Urgent Need To Immediately Stop The Widespread Human Rights Violations and To Restore The Democratic Rights of The People of Myanmar‖, IPU Resolution, Geneva, 10 Oktober 2007. 33
17
tersebut, IPU mengecam keras cara-cara yang ditempuh oleh junta militer Myanmar dalam mengatasi aksi-aksi gerakan pro-demokrasi, dan menaruh keprihatinan yang mendalam dengan ditahannya sejumlah anggota parlemen Myanmar terpilih (melalui pemilu 1990), termasuk Aung San Suu Kyi dan juga tahanan politik lainnya serta para biksu dan para pemimpin kelompok etnik yang selama ini berjuang mempromosikan demokrasi, reformasi politik dan penghormatan terhadap HAM di negara Myanmar. AIPA, sebagai salah satu organisasi antar-parlemen regional, tentu dapat berperan dalam mencari solusi damai atas berbagai persoalan regional dan juga internasional melalui pelaksanaan diplomasi parlemen. Sebagaimana telah disinggung di atas, terjadinya proses transformasi AIPO menjadi AIPA dimaksudkan agar lembaga antarparlemen negara-negara ASEAN ini dapat lebih efektif lagi kinerjanya, antara lain dalam merespons berbagai permasalahan yang berkembang di dunia internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Salah satu permasalahan yang harus direspons oleh AIPA adalah isu demokratisasi di Myanmar yang kini telah menjadi isu internasional. Persoalan yang terjadi di Myanmar tersebut tidak cukup hanya diserahkan kepada pelaksanaan diplomasi pemerintah negara-negara ASEAN, yang ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, junta militer Myanmar, pada awal Maret lalu, malah mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat restriktif terkait dengan rencana pelaksanaan pemilu 2010 yang belum diketahui tanggal pastinya. Dalam Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN di Hanoi, Vietnam, pada 8-9 April 2010, diplomasi yang dilakukan oleh para pemimpin ASEAN pun (di luar Myanmar) masih bersifat ―basabasi‖, hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan harapan agar pelaksanaan pemilu Myanmar dapat berjalan secara kredibel dan inklusif, melibatkan semua pihak, transparan serta harus sesuai dengan norma dan kaidah sebuah pemilu yang demokratis; padahal kenyataannya rezim yang berkuasa di Myanmar telah mengeluarkan berbagai peraturan pemilu yang bersifat restriktif. Tidaklah mengherankan jika kemudian ada yang menilai bahwa KTT ASEAN di Vietnam tersebut terlalu banyak katakata tetapi tidak ada rencana aksi nyata dari ASEAN untuk mengubah 36 situasi di Myanmar. Kekurangberhasilan ASEAN dalam mendorong berkembangya demokratisasi di Myanmar tampaknya bisa dimaklumi jika kita memahami bahwa selama ini ikatan ASEAN sebagai perhimpunan regional terlalu longgar, selalu disepakati secara konsensus dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada setiap negara anggota. Sebagai sebuah asosiasi yang relatif longgar, proses pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus kerap dirasakan menghambat gerak ASEAN 36
Saw Yan Naing, ―Asean Summit Long On Words, Not Actions on Burma‖, The Irrawaddy, 9 April 2010, http://www.irrawaddy.org/article.php?art_id=18250 – diakses 12 April 2010.
18
untuk maju lebih cepat, sekaligus kelemahan dalam menghadapi tantangan ke depan. Akibatnya, berbagai permasalahan di kawasan ASEAN sering diselesaikan dengan the ASEAN Way (cara ASEAN), suatu keputusan kompromistis yang paling bisa diterima semua negara anggota ASEAN. Hal ini didasarkan atas kebiasaan ASEAN yang menganut prinsip nonintervensi, ASEAN tidak bisa turut campur atas peristiwa politik di Myanmar, dan intervensi ASEAN berarti suatu 37 kontraproduktif yang hanya akan merugikan ASEAN. Ketidakefektifan ASEAN dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar inilah seharusnya menjadikan AIPA tergerak untuk berperan. Sebagai forum parlemen yang merepresentasikan kepentingan rakyat, sudah selayaknya AIPA menaruh perhatian terhadap persoalan politik yang kini tengah dihadapi oleh rakyat Myanmar. Keinginan sebagian besar rakyat Myanmar untuk bisa menikmati kehidupan politik yang demokratis (sebagaimana tercermin dari hasil pemilu 1990) harus direspons oleh AIPA; karena bagaimana pun demokratisasi kini tengah menjadi arus besar yang tidak bisa dicegah oleh siapa pun dan parlemen, termasuk berbagai forum antar-parlemen di dunia, memiliki peran penting untuk turut memperjuangkan berkembangnya demokratisasi di negara mana pun di dunia. Melalui penerapan prinsip-prinsip demokrasi yang benar, dan yang juga dilandasi oleh penghormatan terhadap HAM, kehidupan rakyat di banyak negara diharapkan dapat menjadi lebih baik, karena segala sesuatunya diatur secara transparan, sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang disepakati, 38 dan mengedepankan rasa keadilan masyarakat. Sejauh ini AIPA, sebagai sebuah lembaga antar-parlemen di kawasan Asia Tenggara, tampaknya belum terlalu berperan dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Setidaknya kita belum pernah mendengar adanya pernyataan dari AIPA, sebagai sebuah institusi antar-parlemen, yang secara khusus mengeluarkan pernyataan politik terkait dengan isu demokratisasi di Myanmar. Padahal, AIPA dapat memainkan peran penting dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar melalui diplomasi parlemen. Peran diplomasi parlemen AIPA dapat dilakukan melalui dua cara, yakni melalui pernyataan-pernyataan politik (antara lain dalam bentuk resolusi-resolusi) dan melalui langkah aksi nyata AIPA, misalnya dengan membentuk tim khusus yang terdiri dari beberapa anggota parlemen negara-negara ASEAN, yang mendapat mandat dari Sidang Umum AIPA, untuk terjun langsung mengawasi dan mengawal proses demokratisasi di Myanmar. Berkaitan dengan pernyataan politik AIPA, dari penelusuran dokumen-dokumen resolusi AIPA (dan juga AIPO sebelumnya), sejauh ini tidak dijumpai satu pun resolusi AIPA yang secara khusus 37
Faustinus Andrea, ―Myanmar: Agenda Sulit ASEAN‖, Kompas, 1 Oktober 2007. Lihat juga Edy Prasetyono, ―Myanmar: Tamparan bagi ASEAN‖, Kompas, 22 Oktober 2007. 38 David Beetham (ed.), Parliament and Democracy In The Twenty-First Century: A Guide To Good Practice, Inter-Parliamentary Union (IPU), 2006, hal. 155-156.
19
mengeluarkan pernyataan politik yang terkait langsung dengan situasi politik yang berkembang di Myanmar. Kalau pun ada pernyataanpernyataan politik menyangkut Myanmar, hal itu biasanya disampaikan oleh delegasi-delegasi tertentu, dan juga oleh beberapa anggota parlemen secara individu, yang memang menaruh keprihatinan atas 39 situasi di Myanmar. Sementara itu, AIPA sendiri secara kelembagaan tidak membuat statement khusus terhadap isu demokratisasi di Myanmar. Sejauh ini, AIPA memang pernah mengeluarkan resolusi terkait dengan isu demokratisasi dan HAM, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian latar belakang di atas, tetapi hal itu masih bersifat umum dan belum cukup kuat untuk mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Hal ini seakan memperlihatkan bahwa AIPA tidak memiliki keberanian untuk mengritik secara tegas dan terbuka terhadap cara-cara junta militer Myanmar yang menghambat berkembangya demokratisasi dalam kehidupan politik warga. Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan terus berlanjut mengingat AIPA, sebagai lembaga antar-parlemen negara-negara ASEAN, juga memiliki tanggung jawab moral untuk turut memajukan kehidupan demokrasi di salah satu negara anggotanya tersebut. AIPA tidak dapat membiarkan rakyat Myanmar hidup lebih lama lagi dalam tekanan politik junta militer. Melalui diplomasi parlemen, AIPA harus mengeluarkan statement politik yang tegas, antara lain dalam bentuk resolusi, yang menyatakan bahwa roadmap to democracy yang saat ini tengah diupayakan di Myanmar harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat, termasuk para tahanan politik dan pemimpin kelompok oposisi Aung San Suu Kyi yang saat ini masih ditahan, untuk dapat berpartisipasi dalam proses politik nasional yang dilaksanakan secara terbuka, jujur dan adil. Statement politik lain terkait dengan Myanmar dapat juga disampaikan oleh Presiden AIPA, baik itu disampaikan saat pelaksanaan Sidang Umum AIPA maupun dalam kesempatankesempatan tertentu, seperti dalam kerangka menghadiri KTT ASEAN. Masih dalam kerangka diplomasi parlemen dan agar peran AIPA terasa lebih konkret, perlu juga dipertimbangkan oleh AIPA untuk membentuk tim atau komisi khusus yang terdiri dari beberapa anggota parlemen negara-negara ASEAN yang memiliki misi utama memajukan proses demokratisasi di Myanmar. Presiden AIPA, yang menjabat sebagai Ketua Executive Committee, dan juga kelembagaan Executive Committee itu sendiri dapat menggunakan kewenangannya untuk mengusulkan hal itu sebagai salah satu inisiatif baru, agenda dan program dari kegiatan AIPA. Tim atau komisi khusus ini, atas nama AIPA, nantinya harus berupaya melakukan pendekatan dan membangun 39
Sejumlah anggota parlemen negara-negara ASEAN yang sangat kritis menyikapi situasi politik di Myanmar ini bergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC). Kaukus Myanmar ini di luar kerangka AIPA dan mereka senantiasa mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Myanmar.
20
dialog dengan rezim yang berkuasa di Myanmar dan menegaskan betapa pentingnya proses demokratisasi dalam kehidupan politik warga, dan kalau perlu tim ini, atas nama masyarakat ASEAN, juga turut mengawal proses demokratisasi di Myanmar tersebut. Sementara itu, untuk menunjang keberhasilan misi diplomasinya, anggota-anggota parlemen yang tergabung dalam tim atau komisi khusus ini perlu juga membangun jejaring dengan berbagai elemen masyarakat di Myanmar, seperti lembaga non-pemerintah, masyarakat akademisi, dan media massa. Di tingkat internasional sendiri, dalam kerangka Sidang Umum AIPA, AIPA dapat memanfaatkan forum dialog partners untuk meminta negara-negara mitra dialog, terutama China yang memiliki hubungan baik dengan Myanmar, untuk juga menekan junta militer agar secara sungguh-sungguh melaksanakan roadmap to democracy dengan melibatkan partisipasi rakyat secara luas dalam kehidupan politik. Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh anggota parlemen, terutama keleluasaan dalam bergerak dan bisa membangun hubungan dengan siapa pun, juga harus dimanfaatkan oleh AIPA untuk menunjang peran diplomasi AIPA dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. VI. Penutup A. Kesimpulan Perkembangan politik yang terjadi di Myanmar belakangan ini menunjukkan bahwa junta militer yang berkuasa tengah berusaha menempuh segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Berbagai langkah junta militer Myanmar tersebut telah menimbulkan keprihatinan masyarakat internasional, termasuk negara-negara anggota ASEAN (di luar Myanmar), karena pemerintah Myanmar dianggap tidak berkeinginan untuk memajukan demokrasi, dan juga memajukan hak asasi manusia, sebagai sebuah nilai universal yang sudah seharusnya dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa di dunia. AIPA, sebagai lembaga antar-parlemen di kawasan Asia Tenggara, belum berperan nyata dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Padahal isu demokratisasi di Myanmar itu sendiri telah menjadi hirauan masyarakat internasional. Sebagai lembaga yang juga merepresentasikan kepentingan rakyat di kawasan, seharusnya AIPA dapat memainkan peran penting untuk turut memajukan dan mengawal proses demokratisasi di salah satu negara ASEAN tersebut. Peran AIPA tersebut dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan diplomasi multi-jalur, yakni untuk memperkuat berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat internasional dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Berkembangnya demokratisasi di Myanmar tidak saja memiliki arti positif bagi negara yang bersangkutan tetapi juga bagi ASEAN. B. Rekomendasi
21
AIPA perlu mengambil langkah-langkah nyata dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, antara lain, sebagaimana telah disinggung di atas, dalam bentuk resolusi yang menyatakan secara tegas bahwa roadmap to democracy yang saat ini tengah diupayakan di Myanmar harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh, terutama melalui pelaksanaan pemilu 2010 yang terlaksana secara demokratis, jujur dan adil, yang dapat diikuti oleh seluruh rakyat, termasuk para aktivis prodemokrasi dan kelompok oposisi. Presiden AIPA juga perlu didorong untuk lebih aktif lagi membangun komunikasi dengan ASEAN guna membangun kesamaan langkah dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar. Agar proses demokratisasi di Myanmar dapat berjalan dengan baik, perlu dipertimbangkan juga oleh AIPA untuk membentuk tim guna mengawal proses demokratisasi di negara tersebut. Sementara itu DPR RI, sebagai salah satu anggota AIPA, perlu memelopori aksi nyata dalam mendorong berkembangnya demokratisasi di Myanmar, antara lain dengan mengusulkan kepada Executive Committee, untuk mengagendakan isu demokratisasi di Myanmar dan langkah-langkah nyata apa saja yang perlu diambil oleh AIPA untuk mengawal proses demokratisasi di negara tersebut dalam Sidang Umum AIPA berikutnya.
22
DAFTAR PUSTAKA Buku/Jurnal: Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Diplomasi DPR: Dari Senayan ke Kancah Global, BKSAP-DPR RI, 2009. Clarck D. Neher, Democracy and Development in Southeast Asia, Colorado: Westview Press, 1995. David Beetham (ed.), Parliament and Democracy In The Twenty-First Century: A Guide To Good Practice, Inter-Parliamentary Union (IPU), 2006, hal. 155-156. David I. Steinberg, Burma: The State of Myanmar, Georgetown University Press, Washington, D.C., 2001. Derek Tonkin, ―The 1990 Elections in Myanmar: Broken Promises or a Failure of Communication?‖, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Volume 29, Number 1, April 2007, hal. 33-54. Frans W. Weisglas dan Gonnie de Boer, ―Parliamentary Diplomacy‖, The Hague Journal of Diplomacy 2, 2007, hal. 93-99. G.R.Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, New York: Palgrave, 2002. James W. Prothro dan Charles M. Grigg, ―Fundamental Principles of Democracy: Bases of Agreement and Disagreement‖, The Journal of Politics, 22, Cambridge University Press, 18 Desember 2009, hal. 276-294. Jeffrey Roberston, ―North Korean Nuclear Issue and the Role of Parliamentary Diplomacy‖, Research Note No. 23, 2006-07, Department of Parliamentary Services, Parliament of Australia, 2007. Juwono Sudarsono, ―State of the Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional‖, dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, PT Dunia Pustaka Jaya, 1996, hal. 3-21. Louise Diamond, Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, Kumarian Press, Inc., 1996, hal. 11. Ruukun Katanyuu, ―Beyond Non-Interference in ASEAN: The Association‘s Role in Myanmar‘s National Reconciliation and Democratization‖, Asian Survey, Vol. 46, No. 6, November/December 2006, hal. 825-845. Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1981, hal. 80-98. Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
23
V. Likhachev, ―Parliamentary Diplomacy‖, International Affairs, No. 3, 2009, hal. 153-165. Dokumen: Inter-Parliamentary Union (IPU), ―The Urgent Need To Immediately Stop The Widespread Human Rights Violations and To Restore The Democratic Rights of The People of Myanmar‖, IPU Resolution, Geneva, 10 Oktober 2007. Pidato Ketua DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI Pembukaan Masa Persidangan III, Tahun Sidang 2009-2010, Jakarta, 5 April 2010. Artikel/Berita Surat Kabar: Edy Prasetyono, ―Myanmar: Tamparan bagi ASEAN‖, Kompas, 22 Oktober 2007. Faustinus Andrea, ―Myanmar: Agenda Sulit ASEAN‖, Kompas, 1 Oktober 2007. Faustinus Andrea, ―Membebaskan Daw Aung San Suu Kyi‖, Kompas, 19 Juni 2009. ―Junta Tolak Permintaan Sekjen PBB‖, Kompas, 4 Juli 2009. ―Junta Bentuk Komisi Pemilu‖, Kompas, 10 Maret 2010. ―Myanmar provides details first election law‖, The Jakarta Post, 9 Maret 2010. ―Yettaw Dideportasi, Suu Kyi Tetap Ditahan‖, Kompas, 16 Agustus 2009. Internet: ―ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)‖, http://www.aipasecretariat.org/site/ - diakses 2 April 2010. ―Burma election laws a ‗setback‘ for dialogue, says US‖, BBC News, 12 Maret 2010, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8563870.stm diakses 1 April 2010. ―History of Burma‖, http://www.cfob.org/historyOfBurma.shtml- diakses 2 April 2010. ―New Burmese election law bars pro-democracy leader Suu Kyi from running‖, The Washington Post, 10 Maret 2010, http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/ 2010/03/09 /AR2010030903941.html - diakses 14 Maret 2010. San Oo Aung, ―19th Anniversary of Military Coup‖, Burma Digest, 14 September 2007, http://burmadigest.info/2007/09/14/19thanniversay-of-military-coup/ - diakses 2 April 2010. Saw Yan Naing, ―Asean Summit Long On Words, Not Actions on Burma‖, The Irrawaddy, 9 April 2010, http://www.irrawaddy.org /article.php?art_id=18250 – diakses 12 April 2010.
24
―The
Statutes of ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)‖, http://www.aipasecretariat.org/site/ - diakses 2 April 2010. ―The Statutes of ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)‖, http://www.aipasecretariat.org/site/ - diakses 2 April 2010. ―What is the IPU?‖, http://www.ipu.org/english/whatipu.htm - diakses 1 April 2010.
25