PENGANTAR REDAKSI Mengawali edisi pertama tahun 2010, jurnal Kajian akan menampilkan tujuh tulisan yang secara substansial mewakili beberapa bidang kajian yang berbeda-beda, yakni politik dalam negeri dan hubungan internasional, ekonomi kebijakan publik, dan kesejahteraan sosial. Dari keseluruhan tulisan edisi kali ini, enam di antaranya merupakan hasil penelitian lapangan yang terkait dengan beberapa isu yang sekarang menjadi perhatian publik dan DPRRI. Tulisan pertama dari Prayudi yang berjudul, ”Akses Politik Publik dan Rahasia Negara, di Era Otonomi Daerah” erat kaitannya dengan RUU tentang Intelijen. Tulisan ini mengulas tentang korelasi positif antara terpenuhinya akses politik publik dalam pemerintahan dengan penegakkan akuntabilitas publik aparat dan penguatan partisipasi masyarakat dalam era otonomi daerah. Namun demikian, kentalnya paradigma keamanan negara dan konteks dinamika sosial politik lokal menjadikan akses tersebut lemah dalam pelaksanaannya. Tulisan kedua terkait dengan RUU tentang Pemberdayaan Masyarakat berjudul, ”Pengaruh Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Mimika Provinsi Papua: Studi pada Suku Kamoro di Kabupaten Mimika”. Dari hasil penelitiannya, Mohamad Mulyadi mendapati adanya hubungan yang kuat antara program-pogram pemberdayaan masyarakat dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Hubungan itu diyakini akan semakin kuat jika partisipasi masyarakat dimulai dari tahapan perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat sekaligus sebagai prasyarat menuju masyarakat yang mandiri dan aspiratif. Tulisan ketiga berjudul, “Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia pada Badan Usaha Milik Daerah: Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan”. Tulisan yang merupakan hasil penelitian Asep Ahmad Saefuloh ini memfokuskan pada kebijakan pengelolaan SDM dalam BUMD. Penulis menemukan fakta bahwa dari sisi SDM, pengelolaan BUMD yang sehat dan menguntungkan masih terkendala oleh sejumlah persoalan klasik seperti kualitas pengelola, lemahnya kerangka legal, dan masih kuatnya campur tangan pemerintah daerah seperti terlihat pada keterlibatan pegawai pemerintah dalam jajaran manajemen. Isu perdagangan dan penyelundupan orang tidak habishabisnya menjadi fokus perhatian dalam konteks hubungan bilateral dan multilateral. Dalam kaitan itulah, dua tulisan terkait akan disajikan berikutnya. Pertama, tulisan Humphrey Wangke, yang berjudul, ”Sekuritisasi Kejahatan Transnasional: Perdagangan dan Penyelundupan Orang dalam Hubungan Indonesia-Malaysia”, menguatkan kebenaran umum bahwa isu perdagangan dan
1
penyelundupan orang dari Indonesia ke Malaysia sebenarnya sudah masuk pada kategori masalah keamanan terutama jika dilihat dari sisi dampaknya bagi Indonesia. Namun demikian, masih kuatnya pendekatan peaceful coexistence menjadikan isu tersebut masih ditangani secara normatif. Tulisan berikutnya berjudul “Imigran Gelap di Indonesia: Masalah dan Penanganannya”. Tulisan Poltak Partogi Nainggolan ini mendiskusikan tentang semakin kuatnya fenomena kejahatan transnasional sebagai sebuah ancaman baru bagi keamanan nasional. Penulis mendapati temuan bahwa pemahaman secara menyeluruh terhadap latar belakang dan motivasi para imigran gelap menjadi kebutuhan yang mendesak dalam rangka penanganan masalah ini. Dua tulisan terakhir terkait dengan rezim pemilu di Indonesia. Pertama, tulisan yang diulas oleh Sali Susiana dan Dian Cahyaningrum berjudul, “Implementasi Pasal tentang Affirmative Action dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD: Studi di Provinsi Maluku Utara”. Dari penelitian di Maluku Utara, kedua penulis mendapatkan temuan bahwa sebagian partai politik telah memenuhi keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan partai. Tiga parpol yang diteliti juga telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam penyusunan daftar bakal calon dan penerapan zipper system. Dalam analisisnya, penulis menyimpulkan bahwa kekhawatirkan tentang menurunnya efektivitas affirmative action tidak sepenuhnya terbukti pasca-Putusan MK. Tulisan berikutnya berjudul, “Efektifitas Strategi Pencitraan Partai Golkar, PDIP dan PKS pada Pemilu 2009” oleh Aryojati Ardipandanto. Penulis menyoroti efektifitas strategi pencitraan yang dilakukan Partai Golkar, PDIP dan PKS. Menurut penulis, masih ada beberapa faktor yang membuat strategi pencitraan ketiga partai tersebut belum efektif. Oleh karena itu, sebagai salah satu academic menu for choice, penulis merekomendasikan beberapa hal terkait dengan upaya menaikan citra-partai politik secara praktis. Redaksi menaruh harapan yang kuat bahwa tulisan-tulisan dalam edisi kali ini bisa memberikan referensi tambahan atau pembanding bagi para anggota DPR dalam melaksanakan tugastugas konstitusionalnya dalam bidang legislasi, pengawasan dan anggaran. Harapan yang sama, tulisan-tulisan tersebut juga dapat menambah khasanah pengembangan kajian yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara umum. Terima kasih Jakarta, Maret 2010-03-04
2
Redaksi Jurnal Kajian
3
Akses Politik Publik dan Rahasia Negara di Era Otonomi Daerah Prayudi
*)
Abstract This research report below discusses people access to public information and state secrecy in provinces after regional autonomy given. The researcher argues that guaranteeing the access is part of respecting people participation in politics and necessary to control the performance of state apparatus. The finding says that the dynamic of local politics which influenced security has resulted in the returning of restriction to people access to public information and state secrecy. Authorities in the regions still control what can be accessed by public and what they have categorized on state secrecy. Kata Kunci: Akses Politik Publik, Rahasia Negara, Pemerintahan Daerah, Keamanan Negara, Otonomi Daerah. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Pihak eksekutif dan DPR periode 2004-2009 sempat membahas 1 RUU tentang Rahasia Negara yang pada akhirnya gagal untuk diselesaikan, setelah resistensi dari beberapa kalangan masyarakat, terutama di pihak lembaga swadaya masyarakat (LSM). Alasan resistensi adalah karena RUU tersebut merupakan ancaman bagi demokrasi dan lahirnya peluang korupsi. Kegagalan ini ternyata tidak berdampak pada selesainya perdebatan tentang penyalahgunaan atas kepentingan rahasia negara di satu sisi dan anggapan pentingnya batasan yang mengikat negara terhadap ketentuan yang sudah seharusnya dirahasiakan di sisi lain. Perdebatan yang tidak tuntas ini berpotensi untuk tetap kembali tampil, ketika kecenderungan posisional pemerintah pada jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pasca pemilu 2009, belum terlepas dari arus pemikiran utama terkait program kerjanya yang antara lain masih mengacu pada kemasan stabilitas politik. Ruang perdebatan tidak saja berlangsung dalam konteks substansi rahasia negara yang dapat bertentangan dengan nilai-nilai *)
Penulis adalah Peneliti Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat Email:
[email protected]. 1 Draft RUU Negara versi akhir yang kemudian gagal disepakati adalah berdasarkan keputusan Raker Komisi I DPR dengan pemerintah, 27 April 2009.
1
demokrasi, tetapi juga terkait dengan masalah teknis kemampuan sipil yang dinilai belum memadai memahami reformasi keamanan nasional secara menyeluruh. Ruang tidak memadainya hubungan antar-berbagai muatan konteks tersebut mendorong sebuah kebutuhan terkait pemahaman terhadap posisi akses publik terhadap pemerintahan, terutama terkait dengan kebijakan pembangunan di wilayahnya. Dengan luasnya kewenangan lokal di era otonomi daerah, baik disaat berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 maupun setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka arti penting akses publik ini seringkali diartikan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Pasal 20 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, secara normatif menyebutkan beberapa muatan 2 terkait pemerintahan yang baik. Dalam penjabaran asas pemerintahan tersebut, tampak di antaranya adalah pada konteks tugas, wewenang, kewajiban, larangan yang terkait dengan posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah, Rangkaian ketentuan itu berada dalam tataran proses dan sekaligus sebagai tujuan membentuk penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka, partisipatif, memiliki akuntabilitas, serta menjauhkan pada kegiatan yang melanggar kepatutan secara sosial dan 3 apa yang dilarang dalam hukum. Konteks keterbukaan dan akuntabilitas publik pemerintahan, termasuk di tingkat daerah, semakin diperkuat ketika posisi pelayanan publik dituangkan dalam Undang-Undang No. 25 4 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dengan gaya pemerintahan di setiap strata yang masih diwarnai oleh unsur personal untuk proses penempatan di setiap jabatannya, terutama di tataran hubungan antar aparat dan pilihan penyelesaian yang dilakukan, maka posisi birokrasi merupakan institusi yang penting terhadap pasang surut kualitas pelayanan publik.. Di daerah, kemampuan dan gaya patron client pemerintahan setempat dituntut untuk bersikap terbuka terhadap perencanaan mendatang dan langkah5 langkah yang sudah dilakukan. Persepsi ketidaksiapan birokrasi 2
Beberapa hal itu, meliputi asas kepastian hukum, tertib administrasi, kepentingan umum, profesionalitas, dan sebagainya. Demikian halnya, penjelasan pasal 20 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, sangat mencerminkan muatan substansi normatif pemerintahan tersebut. 3 Lihat ketentuan yang tertuang dalam pasal 22, pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4 Ini sangat ditegaskan dalam keseluruhan Undang-undang Pelayanan Publik, yaitu terkait pasal-pasalnya, terutama di pasal 13 tentang Kerjasama Penyelenggara dengan Pihak Lain, pasal 14 tentang Hak dan Kewajiban Penyelenggara, pasal 16 tentang Kewajiban dan larangan bagi Pelaksana, dan pasal 18 tentang Hak dan Kewajiban bagi Masyarakat. 5 Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) misalnya, menilai pertanggungjawaban pemda atas pengelolaan anggaran di 41 kabupaten/kota masih kurang transparan, jika dibandingkan dengan tahapan perencanaan, pembahasan, dan pelaksanaan. Pemda cenderung menutup informasi yang terkait dengan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Ruang masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi
2
pemerintahan dalam menanggapi keterbukaan berbanding positif dengan kepentingan kekuasaan untuk menerapkan aturan rahasia negara. Dengan kultur politik masyarakat yang mencoba untuk lugas dalam berekspresi berhadapan dengan persepsi aparat yang masih konservatif, jelas akan menghasilkan benturan dan tidak produktifnya mesin birokrasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Latar belakang konflik yang pernah terjadi dalam sejarah relasi sosial antarsegmen lokal dan kurun waktu reformasi yang masih relatif belum terlampau lama, menghasilkan alasan bahwa partisipasi masyarakat belum saatnya dibuka aksesnya seluas mungkin. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Reformasi pemerintahan daerah ternyata masih diwarnai keraguan atas kemampuan kelembagaan demokrasi untuk memberikan kesejahteraan rakyat dan perkuatan ikatan persatuan bangsa. Kerauguan ini semakin mendorong pemikiran unsur-unsur tertentu pemerintahan memperoleh momentum untuk menginisiasi ketentuan regulasi tentang rahasia negara. Kontroversi rahasia negara terhadap akses publik dalam pemerintahan di era otonomi daerah menjadi catatan tersendiri, ketika unsur keseragaman aturan main berhadapan dengan kondisi keberagaman di setiap daerah. Dengan kondisi persoalan sosial, ekonomi, dan politik, termasuk menyangkut kasus-kasus hukum yang seringkali dijumpai di daerah di era otonomi, maka menjadi penting untuk mengangkat reaksi-reaksi lokal yang muncul, tidak saja dari masyarakatnya, tetapi juga keseriusan untuk melihat fenomena politik dari aparat pemerintah daerah. Dalam konteks penelitian, pertanyaannya adalah: Bagaimana akses publik terhadap pemerintahan di era otonomi daerah terkait dengan keinginan untuk menerapkan kebijakan rahasia negara yang diberlakukan secara nasional? Pertanyaan penelitian di atas, dapat dijabarkan lebih lanjut dalam rumusan masing-masing muatan substansinya adalah mengenai: (1) Bagaimana birokrasi daerah dalam mengelola pemerintahan selama ini, terutama menyangkut apa yang digolongkan sebagai rahasia negara dan kebebasan informasi bagi publik? Ini terkait dengan persoalan, apakah pandangan pemerintah daerah terhadap akses publik untuk mengetahui dan menanggapi agenda terkait kebijakan pemerintahan daerah? pelaksanaan pembangunan menjadi lebih sempit dengan tidak dibukanya akses dan ketersediaan dokumen anggaran. Kinerja transparansi pemda mengacu pada dua indikator, yaitu ketersediaan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta akses terhadap dokumen. Selain transparansi, ukuran kinerja juga dilihat pada aspek partisipasi, akuntabilitas, dan kesetaraan. Sorotan pengelolaan anggaran pemda menjadi crusial, karena temuan KPK ternyata menunjukkan adanya aliran dana tertentu bagi para pejabat daerah dalam kasus kick back penempatan rekening APBD di BPD. Lihat “Penggunaan Dana Pemda belum Transparan”, Media Indonesia, 2 Februari 2010.
3
(2) Bagaimana sikap masyarakat dalam menanggapi pemberlakuan pembatasan akses publik terkait pemerintahan daerah melalui ketentuan yang dirumuskan sebagai rahasia negara? (3) Faktor-faktor apa yang mendasari pandangan pemerintah daerah terhadap akses publik dalam konteks otonomi daerah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui sikap politik masyarakat terhadap masalah akses publik terkait dengan pemerintahan daerah, terutama mengenai rencana kebijakan yang dibahas dan isu-isu terkait pemerintahan pada umumnya; (2) memperoleh data-data awal terkait dengan peranan birokrasi pemerintahan daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam ruang lingkup otonomi daaerah; (3) mengungkap persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pemerintahan daerah terkait dengan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan sebaliknya usaha meningkatkan profesionalisme kerjanya terhadap usaha peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah; (4) menggambarkan kasus-kasus yang dianggap sensitif di daerah dalam konteks penilaian aparat dan masyarakat ketika diberlakukan terbuka bagi akses publik sebagai bentuk keterbukaan informasi di satu pihak atau justru terbatas dan bahkan tertutup sama sekali bagi akses publik di pihak lain; (5) mengetahui faktor-faktor yang mendasari pembentukan pandangan pemerintah daerah untuk memberlakukan ketentuan tertentu berupa kerahasiaan atau sebaliknya mampu bersikap terbuka dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakannya. D. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah harus terbuka informasinya bagi akses politik publik, dan pengecualian yang dilakukannya dengan alasan tertentu adalah tidak boleh 6 bertentangan dengan kepentingan pelayanan publik (public services). 6
Administrasi pemerintahan adalah lebih berkenaan dengan kemampuan pelayanan publiknya sebagai hal yang utama, dan di negara-negara maju tidak lagi mendasarkan pada ketentuan sanksi pidana bagi pelanggarnya. Di samping itu, penegasan tersebut juga bermanfaat untuk menjelaskan perlunya posisi keterlibatan publik dalam pemerintahan, dan sebaliknya kecenderungan terbentuknya sikap yang lebih senang dikembangkan di kalangan aparat bahwa sebaiknya informasi pemerintahan adalah bersifat tertutup bagi akses publik. Eko Prasojo, ”Pemerintahan Daerah, Partisipasi Masyarakat, dan Akuntabilitas Publik”, makalah disampaikan dalam Diskusi Internal Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 6 Oktober 2009.
4
Tanpa komitmen dan kemampuan penerapan sikap semacam itu, maka prinsip kerahasiaan pemerintahan akan melahirkan godaan 7 penyalahgunaan kekuasaan di tangan aparat yang berwenang. Otonomi daerah memberikan jaminan yang lebih besar bagi terciptanya administrasi pemerintahan yang lebih efisien dan kreatif. Terdapat tiga alasan yang memberikan landasan bagi otonomi daerah terhadap peningkatan kualitas pemerintahan, yaitu disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan pejabat publik terhadap kondisi lokal, semakin mudahnya tercipta kesesuaian antara kebijakan dengan selera dan kebutuhan lokal, dan karena faktor semakin meningkatnya 8 akuntabilitas para pejabat daerah. Ketiga alasan yang mendasari optimisme otonomi daerah yang akan mendorong kualitas pelayanan publik pemerintahan lokal, tidak terlepas dari kemampuan personil dan berbagai sumber daya yang dimiliki di wilayah setempat agar dapat menerjemahkan secara tepat terhadap apa yang menjadi komitmen politik otonomi itu sendiri. Tanpa kemampuan ini, kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan kewenangan urusan tertentu sebagai bagian dari otonomi, justru menjadi kontraproduktif bagi daya guna efektivitas pelayanan publiknya. Sehingga, akses publik terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintahan dan keterbukaan yang dibangun, adalah menjadi prasyarat penting terhadap peranan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akses publik terhadap pemerintahan di era otonomi daerah juga bermakna penting bagi pengukuhan fundamental persatuan nasional dan sekaligus menjawab keraguan atau bahkan ketidakpuasan lokal terhadap pusat. Ini didasarkan pada alasan bahwa inisiatif lokal itu sendiri yang memegang peranan penting dalam menggerakkan segenap potensi yang dimilikinya, sementara pusat hanya berperan sebagai fasilitator. Bahkan, 7
Di AS, yang menerapkan ketentuan Freedom of Information (FOI), yang berawal dari berlakunya Public Information Act, sejak 4 Juli 1967, yang kemudian diamandemen di tahun 1974, terdapat beberapa kategori informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik, yang antara lain tentang kewenangan tertentu pihak eksekutif (executive order) terkait pertahanan negara, kebijakan politik luar negeri dan aturan internal agensi pribadi. Sebagai negara federal, di samping executive privilege, pemerintah federal dan negara bagian juga menerapkan aturan keterbukaan dan rahasia masing-masing bagi publik, dengan membuat 3 kategori informasi: top secret, secret, and confidential. Masing-masing ketentuan dan persyaratan terhadap setiap hal yang dapat dibuka atau sebaliknya tertutup bagi akses publik, dapat saling terdapat kesamaan atau justru berbeda antar negara bagian. Setiap variasi dan kesamaan antar unsur-unsur yang terdapat di setiap negara bagian, mengacu pada tiga kategori informasi dimaksud. Perkembangan ini semakin diperkuat, karena amandemen ketentuan kerahasiaan dan keterbukaan informasi publik telah terjadi di beberapa negara bagian, misalnya antara lain di negara bagian California, yaitu saat pemberlakuan The Ralph M. Brown Meeting Law (The Brown Act), 1 Januari 1976, yaitu tentang larangan publikasi sesi eksekutif untuk menyewa atau memecat pekerja setempat. Kemudian, Undang-Undang ini kembali diamandemen pada tahun 1986. Lihat William E. Francois, Mass Media Law and Regulation, Iowa State University, Mac Millan Publishing, fifth edition, 1990, h. 318-319, dan juga, h. 338-339. 8 Treisman, (2002) sebagaimana dikutip, M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press, Malang, 2008, h. 10.
5
studi menunjukkan sifat geografis, seperti halnya negara kepulauan, justru sangat membutuhkan politik otonomi daerah di tengah kerangka 9 persatuan nasional. Menurut Jurgen Habermas, akses publik, sebagai pengejawantahan konsep ”the public sphere” adalah: ”we mean first of all a realm of social life in which something approaching public opinion can be form. Access is guaranteed to all citizens. A portion of public sphere comes into being in every conversation in which private individuals 10 assemble to form a public body.”. Selanjutnya, disebutkan: ”Citizens behave as public body when they confer in an unrestricted fashion-that is, with the guarantee of freedom of assembly and association and the freedom to express and publish their opinion-about matters of general interest. In a large public body, this kind of communication requires specific means for transmitting information and influencing those whose 11 receive it.” Penghormatan akses publik sebagai bagian dari ”public sphere”, adalah merupakan fundamental utama bagi sistem politik demokratis. Tetapi, pada beberapa negara yang masih bersifat transisional demokrasi pasca tumbangnya autoritarianisme, penguasa dapat melakukan pengecualian dengan alasan tertentu. Terdapat dua sisi dari analisis pengecualian keterbukaan sebagai wujud kebijakan rahasia 12 negara dapat diberlakukan di dalam suasana otonomi daerah. Pertama, adalah faktor keamanan negara di wilayah setempat, melalui alasan keselamatan khlayak luas, untuk mewujudkan keteraturan, atau 13 mencegah situasi chaos yang berada di luar kendali. Ini berbeda dengan perspektif keamanan nasional yang lebih luas daripada sekedar ketertiban, karena menyangkut keterlibatan berbagai kalangan dan aspek 9
Mark Turner dan Podger (2003) sebagaimana dikutip, ibid., h. 80. Jurgen Habermas, “The Public Sphere” dalam Stephen Ericbroner (Editor), Twentieth Century Political Theory: A Reader, Routledge, New York and London, 1997, h. 21. 11 Ibid. .12Mas’ud, op.cit., h. 11. Sebenarnya, ini juga dicatat oleh Jurgen Habermas mengenai pembatasan akses publik yang menjadi pemikiran liberalisme, yaitu dinegara-negara menganut welfare state, di mana campur tangan negara, khususnya bagi pertumbuhan industri dan lapangan kerja sangat dibutuhkan. Uraian lebih lanjut, baca Jurgen Habermas, “The Public Sphere” dalam Stephen Ericbroner (Editor), dikutip dalam ibid., h. 25-26. 13 Dari sudut pandang kaum liberal, munculnya pertimbangan keamanan dalam supremasi hukum dianggap tidak mengabaikan nilai inti dari demokrasi. Nilai dimaksud mengandung gagasan tentang konstitusionalisme dan pemerintahan terbatas sebagai cermin negara modern. Meskipun dapat terjadi pengekangan kebebasan individu sampai batas tertentu, pertimbangan faktor keamanan dalam supremasi hukum bukan berarti menuju otoriterianisme, Sebaliknya, supremasi hukum justru menegaskan ”government of laws, and not of men.” lihat Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, Palgrave, New York, second edition, 1999, h.154-155. Pada konteks rahasia negara, menurut Kusnanto Anggoro, kesediaan masyarakat demokratis untuk membatasi keingintahuan tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan negara untuk memendam kerahasiaannya. Terlalu sulit untuk menggunakan pembatasan informasi sebagai instrumen untuk memelihara keamanan nasional (national security) tanpa harus membentur keamanan insani (human security). Lihat Kusnanto Anggoro, ”Kajian Kritis Terhadap RUU Tentang Rahasia Negara” dalam T. Hari Prihatono (Editor), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, Propatria Institute, Jakarta, 2006, h. 117. 10
6
yang harus diperhitungkan, termasuk di sini adalah tentang keberadaan 14 manusia (human security). Perspektif human security menekankan bahwa masalah keamanan tidak dapat dilepaskan dari hubunganhubungan kekuasaan dalam sistem politik dan kemampuan negara untuk 15 memenuhi kepentingan ekonomi, sosial, politik masyarakat. Faktor keamanan negara dapat mengesampingkan perwujudan hak rakyat atas partisipasinya dalam pemerintahan dan pembangunan. Pada titik ini, paradoks faktor keamanan dapat terjadi, karena mustahil dapat terwujud partisipasi rakyat ketika negara terlampau campur tangan terhadap tataran kehidupan publik. Bentuk campur tangan ini tidak saja secara fisik pada perlakuan yang dijalankannya, tetapi juga penerapan batasan ketentuan pada hal-hal yang bersifat non-fisik, seperti halnya pengecualian informasi tertentu dari hak informasi publik. Padahal, hak memperoleh informasi, sebagai bagian hak setiap individu, tidak saja berkenaan dengan kepuasan dari si pemilik hak itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan perannya terhadap legitimasi penguasa. Meskipun peranan negara minimalis, sebagai ide awal ajaran liberal masih mengalami perdebatan, tetapi yang jelas adalah legitimasi penguasa akan semakin kuat fundamentalnya dengan jaminan akses publik bagi pemerintahan, sebagai cermin dari keberadaan hak rakyat dalam 16 demokrasi. Kedua, adalah faktor kurang kondusifnya kondisi sosial politik setempat yang mengitari kebijakan otonomi daerah. Lemahnya fundamental masyarakat sipil akan menyebabkan otonomi daerah tidak berbanding lurus dengan posisi strategis akses politik publik. Akses politik publik terhadap pemerintahan daerah mempersyaratkan kemampuan dan sekaligus kematangan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Tanpa kepemilikan sumber-sumber 14
Propatria, “Keamanan Nasional”, Monograph No. 2, 16 Februari 2004, h.8. Ibid., h. 10. 16 Meskipun dalam konteks berbeda sebelum sampai pada konsep negara Leviathan, sebenarnya bagi Thomas Hobbes, dengan beranjak dari kerangka pemikiran klasiknya tentang manusia dan kondisi alamiah (state of nature), bahwa kepemilikan hak rakyat yang esensial ini dianggap mempunyai arti secara moral bagi individu yang bersangkutan dan terhadap keberadaan penguasa. Sedangkan, John Locke, menganggap hak rakyat yang dilindungi keberadaannya oleh negara, sebagai hal yang tidak dapat ditawar lagi untuk dikurangi atau apalagi kalau dihapus. Hak rakyat ini pula yang mendasari munculnya kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa, yang sewaktu-waktu dapat dicabut, kalau penguasa melakukan penyimpangan atas kekuasaan yang diberikan pada dirinya. Kepemilikan hak-hak rakyat tersebut tidak akan dapat dijalankan, ketika penguasa secara ketat terlampau campur tangan terhadap hal-hal yang justru menjadi dasar kebutuhan rakyatnya sebagai insan manusia. Lihat, Ian Shapiro, Evolusi Hak Dalam Teori Liberal, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Freedom Institute, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2006, h. 165. Sebagai perbandingan dengan tradisi pemikiran liberal mengenai hak tersebut di masa Modern, yaitu pasca pertengahan abad ke 17, dengan berakar pada masa sebelumnya dari filsafat politik Eropa zaman Renaisans, dan abad pertengahan atau hukum Romawi, tampaknya fokus substansinya tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun variasi kepemilikan hak yang disebutkan semakin tinggi dan lebih memiliki nilai sekuler atau bahkan sempat mengesampingkan dogma agama. 15
7
pendukung semacam itu, pengawasan pemerintahan menjadi lemah dan perencanaan pembangunan dari bawah hanya sekedar formalitas kelembagaan. Padahal, sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, rakyatlah yang sesungguhnya memiliki negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaannya, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Rakyat berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan, 17 serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Ini berbeda, dengan konsep negara kuat, sebagaimana dicerminkan oleh penerapan kebijakan rahasia negara yang dilakukan secara tidak terkendali. Konsep ini sejalan dengan teori negara organis, yaitu sebagai entitas yang aktif mencampuri urusan masyarakat, dengan alasan menciptakan keadaan 18 lebih baik. Untuk dapat benar-benar menjalankan kedaulatannya, rakyat harus mengetahui segala hal tentang penyelenggaraan negara yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga-lembaga penyelenggara negara kepada publik yang telah memberikan kekuasaan dan kewenangan melalui konstitusi kepada organ-organ negara. Jika publik tidak mengetahui segala sesuatu tentang penyelenggaraan negara, maka dengan 19 sendirinya tidak dapat menjalankan fungsi kedaulatannya . Beragam cara terkait dengan keterlibatan warga negara dalam politik, seperti halnya melalui kelompok kepentingan, diskusi publik, kontak dengan anggota parlemen secara personal, dan sejenisnya. Pilihan cara yang 17
Di tengah semakin kuatnya pendifinisian negara untuk mengelola kehidupan rakyatnya, dengan alasan pencapaian tujuan tertentu atau kebaikan bersama, bukan berarti mengabaikan konstruksi nilai-nilai kedaulatan rakyat yang dianut sejak lama. Bahkan, pengaturan negara dalam mencegah perbuatan individu agar tidak berperilaku sesuka hati atas hak yang dimilikinya, sama sekali tidak meniadakan pembelaan secara radikal bagi kepemilikan hak individu bersangkutan. Lihat, Ibid., h. 296-297. Dapat ditarik benang merahnya, bahwa hak individu yang kemudian diterjemahkan sebagai hak rakyat, yang sudah pasti antara lain terkait informasi dan kegiatan pemerintahan, adalah hal yang sangat prinsipil dan tidak dapat dicabut oleh negara. 18 Konsep negara organis merupakan lembaga yang mempunyai kemauan sendiri secara mandiri. Dirinya bukan sekedar alat dari sekelompok orang di masyarakat, atau gabungan dari keinginan-keinginan kelompok yang ada di masyarakat. Lihat konsep ini lebih lanjut, dalam Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h. 17. Ini berbeda dengan pandangan Lenin, “State and Revolution”, yang menyimpulkan dari teori negara yang sebelumnya dijelaskan oleh Karl Marx and Engles. Disebutkan antara lain, bahwa: ”the state is the product and the manifestation of the irreconcilability of class antagonisms”. Konsep Negara Organis juga berbeda dengan perspektif pluralis, bahwa: “the state is a political marketplace through which filter the demands and interests of competing groups and individual”. Di satu sisi, negara bersifat netral yang menjadi penengah konflik di antara partai dan kelompok yang berkompetisi. Di sisi lain peranan agensi dari negara berbasiskan pada kekuasaan politik, mendorong kompetisi yang terjadi membiayai determinasi hubungannya dengan partai dan kelompok kepentingan.” Lihat Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado, 1981, h. 192, 194-196 19 Roberto Mangabeira Unger, Law In Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory, New York: The Free Press, 1976, hal. 58.
8
berkembang luas di sistem politik demokratis semacam ini, berbeda dengan penerapan akses publik yang diatur secara ketat dengan alasan tertentu, seperti halnya alasan keamanan dan termasuk kategori rahasia 20 negara, pada sistem politik autoritarian. Kebebasan yang dianut adalah merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia, pada proses pelaksanaannya dapat memperoleh batasan. Perlakuan batasan biasanya dengan alasan tertentu dalam rangka kepentingan yang lebih luas, misalnya melalui kepentingan masyarakat luas, negara, atau dibahasakan sebagai stabilitas. Sehingga, kebebasan sebagai sesuatu yang melekat dianggap berbeda dengan lisensi terkait dengan kemungkinan terjadi pelanggaran dalam penggunaan hak-hak itu sendiri. Lisensi adalah merupakah suatu istilah yang menggambarkan kebebasan yang berlebihan dan dapat 21 memancing penyalahgunaan atau melanggar kebebasan orang lain. Kebebasan sebagai landasan filosofis dalam menjangkau berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam memperoleh informasi, adalah bentuk ekspresi yang memang wajar dan diperkenankan atau bahkan dibutuhkan dalam negara demokrasi. Tetapi, pada prakteknya, ketika kebebasan dianggap mulai mengarah pada unsur lisensi dalam berbuat sesuatu yang dianggap membahayakan kepentingan lebih luas, misalnya dengan alasan ancaman terhadap kedaulatan negara, maka pembatasan kebebasan dapat dilakukan. Prinsip penggunaan batasan ini, sangat tampak ketika pemerintah mencoba menuangkannya dalam regulasi terkait rahasia negara. II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di kota Mataram, sebagai Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilakukan sejak tanggal 21 sampai dengan 26 November 2009. B. Metode Analisis Data Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini dipilih, karena terkait dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan beberapa informan, teknik observasi yang dibutuhkan, serta analisis substansi dari data-data sumber sekunder yang mendukungnya. Langkah-langkah semacam ini sejalan
20
Gabriel A. Almond and Bingham Powell, Jr, Comparative Politics Today: A World View,, Harper Collins College Publisher, 1996, 6th edition, h. 49. 21 Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, Palgrave, New York, 1999, h. 256257.
9
dengan sifat penelitian kualitatif yang bertujuan mempertahankan bentuk 22 dan isi perilaku manusia dan menganalisa kualitas-kualitasnya. C. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data berpedoman pada fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan dan data sekunder pendukung terkait fenomena politik akses politik publik terhadap pemerintahan daerah yang berhadapan dengan keinginan menerapkan 23 kebijakan rahasia negara. Melalui pemahaman tujuan penelitian kualitatif demikian, maka analisis yang dilakukan diharapkan tidak saja dapat berlangsung secara mendalam, tetapi juga bersifat obyektif apa adanya. Wawancara dengan informan dalam menjawab permasalahan penelitian dilakukan tidak saja terbatas dari satu pihak, seperti halnya kalangan aparat, tetapi juga yang berada di lingkungan perguruan tinggi, dan juga dari pihak media masa. Wawancara yang dilakukan adalah jenis semiterstruktur (semistructure interview). Tujuan wawancara ini, agar menemukan permasalahan secara lebih terbuka, yaitu pihak yang diwawancara diminta pendapat atau gagasan-gagasan yang 24 dimilikinya. Dari data-data atau fakta yang terkumpul dari wawancara tersebut, diharapkan dapat diperoleh makna tertentu yang sangat penting bagi proses analisis lebih lanjut. Di samping wawancara, juga dilakukan observasi terhadap lingkungan yang berada di sekitar lokasi penelitian. Meskipun diakui sangat terbatas, observasi yang dilakukan adalah bersifat deskriptif, yaitu tetap bermanfaat pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Deskripsi Provinsi NTB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki sumber daya yang cukup berlimpah, meskipun angka kemiskinannya masih tergolong 25 tinggi. Dari tahun ke tahun, angka kemiskinan di NTB disumbangkan oleh Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur, masing-masing sebesar 231.110 jiwa, 216.655 jiwa, dan 269.585 jiwa pada tahun 2007. Untuk skala nasional, kalau NTB dan NTT dihitung secara digabung, 22
Deddy Mulyana Kusuma, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya Bandung, Bandung, 2001, h. 150. 23 Ini sejalan dengan ungkapan, the main strength of this technic is in hyphothesis generation and not testing”, (David Kline, 1985) dikutip Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung, 2005, h. 3. 24 Ibid. h. 73-74. Dalam wawancara tersebut, peneliti harus mendengar secara ekstra cermat dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. 25 “Gubernur NTB Terima Penghargaan Presiden”, Koran Maratam, 18 Juni 2009.
10
Nusa Tenggara dapat digolongkan sebagai salah satu daerah kantong 26 kemiskinan. Dengan masih tingginya angka kemiskinan, maka kekhawatiran atas mudahnya masyarakat terhadap provokasi isu seolah-olah memperoleh pijakannya. Ini jelas menjadi menguntungkan bagi aparat yang berhadapan dengan lemahnya pengawasan publik terhadap kinerja birokrasi setempat. Sebaliknya, muncul ketergantungan masyarakat terhadap negara yang cenderung tinggi, karena lemahnya resources yang dimilikinya. Ketergantungan ini terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat itu sendiri, misalnya terkait sandang dan pangan. Provinsi NTB mengalami kontroversi sehubungan kontrak pengelolaan sumber daya tambang miliknya, oleh investor asing, yaitu PT Newmont Nusa Tenggara. Keberadaan perusahaan asing tersebut sejak tahun 1986, melakukan eksploitasi bahan galian tambang batu 27 hijau Kabupaten Sumbawa Barat, berdasarkan kontrak karya. Pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya menjadi sumber PAD potensial bagi daerah. Namun, kerusakan sumber daya alam yang terjadi terkadang tidak diperhitungkan. Pemilihan lokasi penelitian ini, juga karena dinamika pemerintahan yang terjadi di provinsi setempat. NTB juga adalah provinsi yang strategis letak geografisnya dalam lalu lintas pelayaran internasional, sebagai bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kepemilikan potensi sosial ekonominya, khususnya di bidang pertanian, tambang, dan pariwisata. Kasus penyalahgunaan wewenang aparat, seperti halnya korupsi, bahkan pernah melibatkan pihak yang pernah menjabat Gubernur nya saat dijabat oleh Lalu 28 Serinata. . NTB juga pernah mengalami konflik bersifat komunal di segmen masyarakatnya yang sudah tentu memiliki perspektif tertentu dari segi 29 keamanan wilayah dan pelaksanaan otonomi daerah. Saat konflik Ambon di tahun 2000, sempat menyebar dan mendorong terjadinya pengungsian, ketegangan dan bahkan konflik dengan masyarakat sekitar pinggiran kota Mataram dan kawasan partai tertentu di wilayah NTB.
26
Program Samanta 2008-2009, ”Program Tata Kelola Kehutanan, Kemiskinan, dan Perubahan Iklim di Nusa Tenggara”, http://samantafoundation.org. Dikutip 22 Desember 2009. 27 Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, op.cit., h. 35. 28 Ibid. 29 Studi United Nations Support Facility For Indonesia Recovery (Unsfir, 2004) yang mengacu pada pemberitaan harian lokal maupun nasional serta data sekunder lainnya, bahwa 2003-2004, di Provinsi NTB, tercatat sebagai akibat kekerasan kelompok setempat, antara 1999 hingga 2003, mengakibatkan 109 orang tewas, mencapai 1 % dari aksi kekerasan komunal secara nasional, tergolong peringkat nomor 11 di antara total 14 propinsi di Indonesia yang mengalaminya saat itu , mengalami insiden sebanyak 198 kali. Unsfir (2004) dikutip Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001): Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009, h. 9.
11
B. Hubungan Media Massa, Birokrasi, dan Kondisi Pemerintahan Terdapat kesangsian dari aparat terhadap kemampuan publik untuk mengelola akses informasi yang terbuka terhadap pemerintahan, dengan alasan tertentu. Kecenderungan yang menyangsikan sepihak itu semakin kuat, ketika kondisi sosial ekonomi masyarakat dan pandangan kultural hirarki di tingkat lokal terhadap sosok aparat mempunyai peranan signifikan dalam fenomena sehari-hari. Bagi aparat, demokrasi bukan berarti semua harus dibuka semuanya kepada publik. Pemerintah daerah beranggapan pemberlakuan kebijakan rahasia negara adalah sebagai hal penting. Meskipun disisi lain, Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)-pun harus dipatuhi, termasuk batasan dari kebebasan 30 informasi itu. Melalui hubungan negara terhadap masyarakat sipil yang belum seimbang, aparat cenderung lebih mudah mengendalikan pemberitaan atau bahkan terhadap opini yang potensi untuk dikembangkan oleh media massa. Tidak saja secara kelembagaan pemerintahan, kendali ini dilakukan, tetapi juga melalui figur personal pejabat publik yang dapat mempunyai pengaruh tertentu bagi emosional para awak media dalam menyiarkan program-program acaranya. Fenomena birokrasi dan media tersebut, berlangsung tidak saja melalui forum resmi yang digelar terkait informasi atau kebijakan tertentu yang diambil aparat, tetapi juga menyangkut angle dan cara media dalam menyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Pada konteks demikian, perspektif tentang rahasia negara dapat berjalan dalam suasana yang cenderung mengarah pada kondusif bagi stabilitas sistem politik. Kemasan atas tampilan peristiwa, atau kegiatan tertentu dan bahkan berita yang disajikan dapat berjalan tanpa hambatan untuk mengalihkan suatu hal yang dianggap mencemaskan mudah terjadi ledakan, apabila kesemuanya berada di luar lingkup yang dirahasiakan. Jalinan kepentingan media terhadap bisnis usahanya dan kemampuan aparat dalam menangkap peluang pesan-pesan komunikasi yang disampaikannya pada publik, seharusnya mendorong terjadinya sikap yang kurang memerlukan kemasan rahasia negara dalam produk setingkat undang-undang. Pemerintah mengalami kesan untuk bersikap dualistik terkait rahasia negara, yaitu kurang percaya diri untuk memberlakukannya di tingkat nasional, tetapi sebaliknya sangat percaya diri terkait perkembangan sosial ekonomi di daerah. Konstruksi DPRD yang cenderung masih melekat atau menjadi bagian dari pemerintahan daerah dibandingkan posisi perwakilan politiknya, mendorong aparat sangat percaya diri untuk melaksanakan berbagai agenda pemerintahan di daerah. Birokrasi pemerintah daerah bersama pihak aparat yang bertanggung jawab di bidang keamanan setempat, menjadi sentral dalam menggulirkan pesan dan program-program pembangunan. Hubungan 30
Wawancara Ridwan Hidayat, Kesbangpol Linmas, Pemda NTB, Mataram, 24 November 2009.
12
antarunsur birokrasi tersebut mendorong berulangnya gaya lama kehidupan pers masa Orde Baru, yaitu pada konteks ideologi peranan media dalam pembangunan. Peranan media sebagai bagian civil society yang masih lemah mendorong penggunaan kewenangan diskresi aparat, dan fenomena ini berpotensi melanggar aturan main yang sudah disepakati. Padahal hubungan media massa dan birokrasi yang tidak seimbang ini menciptakan peluang penyalahgunaan wewenang bagi aparat yang luput atau kurang mampu secara vokal dikritisi oleh publik. Kekuasaan dan diskresi yang luas dituduh sebagai penyebab terjadinya korupsi, jika 31 tidak diimbangi oleh akuntabilitas publik. Fenomena ini dipercaya akan berjalan positif hanya sebatas melalui peranan pemerintah daerah, khususnya dari pihak humasnya, dalam menjelaskan berbagai hal tentang wilayahnya kepada masyarakat. Melalui press release, pemerintah daerah melaksanakan koordinasi pemantauan dan pelayanan informasi di bidang teknologi, komunikasi, serta melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah, 32 swasta, dan masyarakat. Dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi), setiap Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) melakukan jumpa pers secara bergilir, khusus untuk informasi-informasi tergolong strategis. Begitu pula, SKPD ingin melakukan jumpa pers sendiri, dapat saja dijalankan, tetapi tetap harus dikoordinasikan dengan humas pemda. Pemda memfasilitasi publikasi terkait proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh Gubernur. Bahasa yang disampaikan biasanya hanya formalitas, dalam penyampaian informasi publik. Ada hal-hal tertentu, yang dianggap belum saatnya untuk dibuka. Antisipasi terhadap isu-isu strategis, seperti halnya kasus Newmont, misalnya, humas pemda melakukan persiapan, seperti kliping berita, dan koordinasi dengan pihak 33 terkait. Semua informasi, pada dasarnya dibuka, tetapi memang ada tahapan yang harus dilalui. Termasuk, koordinasi dengan pimpinan daerah, apalagi bagi isu yang strategis. Dilakukan evaluasi atas segala informasi yang berkembang, dan sekaligus membuat kategori rahasia, terbuka, atau bersifat parsial. Kriteria rahasia atau tidaknya informasi, bagi humas pemda, sebagai hal bersifat strategis dan mempunyai kemungkinan ekses kepada sosial politik masyarakat. Dalam komunikasi publik pula, pihak pemda melakukan kerjasama tertentu dengan pihak provider. Sehingga, Humas Pemda mempunyai hotline tertentu semacam SMS center, untuk menjawab masalah, pertanyaan, keluhan, dan sebagainya yang disampaikan oleh masyarakat. SMS ini masuk dalam 31
Lihat uraian tentang diskresi birokrasi pemerintah, dalam Miftah Thoha, “Reformasi Birokrasi Yang Tidak Utuh”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 29 Tahun 2009, Peberbit MIPI, terutama h. 60-62. 32 Tupoksi Bagian Humas dan Protokol Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi NTB, (tanpa penerbit dan tahun). 33 Wawancara dengan Yus Harudian Putra, Kasubag Dokumentasi dan Distribusi, Pemda Provinsi NTB, Mataram, 23 November 2009.
13
data base di bagian tertentu dan disampaikan kepada Humas. Dalam menjawab pertanyaan SMS, humas selalu berkoordinasi dengan SKPD. SMS, yang masuk antara lain juga dapat memasuki ranah yang sensitif, misalnya terkait korupsi APBD. Sedangkan, program-program SKPD sendiri biasanya terbuka bagi akses publik. Sorotan kritis publik terkait pemerintahan, biasanya mengenai persoalan belanja aparat dan dana pendidikan yang dianggap kurang memadai sesuai kebutuhan. Bahkan 34 frekuensi kritis semacam itu, tanggapannya selalu terjadi. Pihak aparat menilai, LSM dan tokoh masyarakat adalah pihak yang aktif berpartisipasi memberikan masukan, pertanyaan, dan kritik terhadap keuangan daerah. Ini semakin terbuka bagi akses publik 35 setelah keberadaan SMS langsung ke pemda dan sampai ke gubernur. Sebaliknya, bagi kalangan media, untuk membuka hal sebagai tergolong 36 bukan rahasia atau justru termasuk rahasia negara, memang sulit. Contoh kasus, ketika anak pejabat terlibat kasus tertentu, misalnya pidana korupsi atau susila. Muncul kesan arogansi pejabat untuk melakukan usaha agar media tidak memberitakan masalah diri atau keluarganya. Tetapi meskipun suatu kasus dirahasiakan pada gilirannya dapat bocor ke masyarakat, dan pers biasanya memperoleh hal itu dari alternatif sumber berita di luar pemerintah, yaitu LSM. Pengalaman tahun 2000, saat kasus kerusuhan Ambon sempat berimbas di NTB, terjadi orasi-orasi menyulut informasi tertentu. Tetapi semua dilakukan terbuka, karena semua orang sudah mengetahui kasus yang terjadi. Masyarakat sadar bahwa konflik itu tidak menguntungkan bagi dirinya. Pers membuat penyadaran agar konflik tidak terjadi dan dapat dipadamkan segera, dengan pemberitaan apa adanya. Pers mengenal yang disebut jurnalisme damai, pemberitaan tentang konflik dilakukan untuk ke arah perdamaian, bukan sebaliknya. Sehingga, mencoba untuk inisiatif dalam pemberitaan yang berperan dalam memberikan alternatif penyelesaian dan gambaran dampaknya secara lebih fokus, Agar pihak berkonflik sadar bahwa konflik hanya merugikan 37 dirinya. Terkait aspek keamanan negara pula, potensi gangguan yang terjadi masih dinilai terkendali. Termasuk soal terorisme, seperti halnya saudara kandung Abu Jibril yang ada di daerah Korleko, NTB, dan keberadan laskar jihad Abu Gerabah, mereka dapat diketahui aktivitasnya walaupun sangat tertutup lingkungannya. Pihak pemda 38 mencoba masuk untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas laskar itu. Pemda, dengan teknis intelijen dengan melepas atribut pemda, justru berusaha masuk dan mempunyai akses ke komunitas yang memang 34
Ibid. Wawancara kepala Bagian Keuangan Pemda NTB, Mataram 23 November 2009. 36 Wawancara Pemimpin Redaksi, Media Lombok Post, Mataram, 24 November 2009. 37 Ibid. 38 Wawancara Bp. Ridwan Hidayat, Kesbangpol Linmas,, Pemda NTB, Ampenan, 24 November 2009. 35
14
perlu diamati. Misalnya juga terhadap isu nabi palsu atau aliran yang dianggap menyimpang dan memiliki jemaat tergolong besar. Masalah lain, adalah isu Negara Islam Indonesia, (NII) pernah berkembang di sekitar wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat. Soal orang asing dan kelompok tertentu, tidak ada pengawasan khusus, bahkan penanganan kasus pengungsi dari Afghanistan, dilakukan penanganan secara terbuka antar pihak pemda dan aparat 39 TNI. Pihak aparat TNI menilai, masalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), yang krusial sempat terjadi pada tahun 2002, sebagai imbas dari konflik Poso dan di tahun 2000, saat terjadi konflik Ambon. Sumber daya Manusia (SDM) di NTB yang rendah sangat cepat dikipas-kipas untuk kerusuhan. Pihak TNI menilai, kejadian ini sebagai akibat bukan lemahnya intelijen, tetapi lebih pada perkembangan yang mengharuskan TNI tidak dapat bergerak begitu saja seperti saat Orde Baru dalam penanganan keamanan. Payung hukum tidak ada bagi TNI 40 sehingga harus lebih hati-hati dan takut pelanggaran HAM. Cara pandang aparat yang masih bertolak pada konteks keamanan secara tradisional, menyebabkan sikap curiga masih kuat terhadap para penggiat kemanusiaan dan yang bergerak pada tataran massa lokal. Bahkan, tidak mungkin, kecurigaan ini memberikan label tertentu bagi kalangan yang dianggap terlampau kritis pada pemerintah, seperti halnya label sebagai pengkhianat negara, antek asing, dan sebagainya. C. Sikap Masyarakat Bagi kalangan masyarakat, kejelasan mengenai batasan rahasia negara agar tidak disalahgunakan dalam penerapannya adalah sangat diperlukan. Kontroversi memang dapat berkembang negatif terhadap suatu isu yang dianggap rawan. Tetapi dalam hal-hal yang lain, penuangan rahasia negara secara lebih terbatas justru dapat menjadi positif bagi pemerintahan. Di masa mendatang, adalah penting ditegaskan terkait proses penyadaran rahasia negara dalam kepentingan apa. Mekanismenya tertentu nantinya harus dibentuk dalam menentukan sesuatu sebagai sesuatu baik yang bersifat terbuka, dilakukan pembatasan tertentu untuk diketahui oleh publik, maupun memang harus 41 ditutup rapat-rapat dengan alasan sangat rahasia. Kriteria ini harus jelas dan nantinya sangat berguna untuk menciptakan tingkat kepercayaan tertentu dari publik bagi pejabat yang mengemban tanggungjawab dan kewenangannya. Bagi masyarakat, peristiwa dibukanya persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan terobosan hukum terkait rahasia negara. Sekaligus, peristiwa ini untuk menilai tingkatan potensinya apakah dapat menyeret atau tidak 39
Ibid. Wawancara dengan Pasi Intel, Korem. Mataram, 24 November 2009. 41 Wawancara Prof Dr. Galang Asmara, SH, Dekan FH Universitas Mataram, Mataram, 24 November 2009. 40
15
masyarakat dalam konflik yang terjadi. Meskipun akses publik terhadap pemerintahan sangat penting, tetapi pihak pemegang otoritas terlebih dahulu yang harus menentukan secara jelas, apakah ini sebagai sesuatu yang bersifat rahasia atau tidak. Di NTB, ketergantungan sosial ekonomi media kepada kebijakan 42 pemerintah, tergolong masih tinggi. Tetapi ini jangan sampai merugikan satu pihak dan diharapkan dapat tetap saling menguntungkan. Ketergantungan dalam konteks hidup mandiri pers yang belum tercapai, misalnya terkait iklan, pemasaran, advertorial (iklan berita), yang kondisinya masih terbatas. Di tengah segala keterbatasan yang ada, media mencoba membuat terobosan untuk survive. Bahkan, terobosan ini antara lain melalui kerjasama dengan pemerintah. Pihak media beranggapan, kerjasama semacam itu tidak mempengaruhi independensi pemberitaan, karena pemerintah juga membutuhkan untuk 43 programnya, misalnya ”SMS center”, ”NTB Bersaing”, dan sebagainya. Ini dinilai sebagai salah satu bentuk keterbukaan informasi publik. Masyarakat memandang, bahwa pemerintah daerah NTB selama ini sudah melakukan berbagai macam cara bagi penjaringan akses publik, termasuk melalui media internet, pertemuan tatap muka, dan sebagainya. Keseluruhan forum yang dibangun ini, dinilai sudah baik keberadaannya, dan bahkan masyarakat kadang-kadang tidak seluruh 44 kesempatan menjalankannya. Beban pemberatan hukuman bisa saja dilakukan dalam hal khusus, misalnya terkait aparat yang melanggar rahasia, lebih tinggi sanksinya dibandingkan kalau masyakarat biasa yang melanggar. Kalau pers yang melanggar sebaiknya gunakan undang-undang pers, misalnya terkait dugaan pencemaran nama baik 45 terkait suatu pemberitaan. Melalui pandangan beban tanggungjawab bagi aparat mengenai rahasia negara, diharapkan bahwa birokrasi menjalankan tata nilai good governance. Kalangan media, cenderung bersikap hati-hati dalam melakukan proses pemberitaan dan opini. Ini tidak saja terkait dengan kondisi keterbatasan sumber daya yang dimiliki, tetapi juga kemungkinan munculnya reaksi balik dari masyarakat, sulitnya medan lapangan dan sikap aparat yang dihadapi. Tindakan represif dapat menimpa dirinya, ketika pers tidak mampu menjalankan peranannya dalam format yang sejalan dengan lingkungan sekitar. Tindakan represif tidak saja dapat datang dari aparat berwenang, pejabat birokrasi yang berkuasa, tetapi juga dari elemen masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers. Pers melakukan semacam kebijakan redaksi secara internal, sebagaimana layaknya kalangan pers pada umumnya. Pihak Lombok TV misalnya melakukan kebijakan internal semacam itu, yaitu terhadap hal-hal yang cenderung dinilai sensitif bagi publik. Ini juga dilakukan 42
Wawancara Pemimpin Redaksi, Media Lombok Post, 24 November 2009. Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid. 43
16
seleksi pemberitaan, apakah layak untuk dimuat atau tidak. Di NTB, seperti halnya isu SARA dianggap sebagai hal sensitif akan diseleksi 46 ketat apakah memang layak atau tidak diberitakan ke publik. Di sini selalu dilakukan konfirmasi ke pejabat berwenang, misalnya Walikota Mataram, terkait peristiwa setempat yang terjadi, misalnya kerusuhan antar kampung. Karena, pada peristiwa semacam itu, di masyarakat sendiri, narasumber para informan di kampung yang bertikai menutup diri 47 terhadap pertanyaan pers terkait peristiwa sebenarnya yang terjadi. Meskipun, di sisi lain kalangan media juga memandang bahwa ketentuan yang jelas terkait batasan dan apa-apa saja yang tergolong rahasia negara atau bukan, utamanya menyangkut pemberitaan, adalah sangat diperlukan keberadaannya. Sehingga, pers dalam menjalankan peranan komunikasi publik mempunyai rambu-rambu yang jelas dari pihak pemerintah. Ketika terjadi pertikaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri di tingkat nasional yang bermuatan isu kasus kontroversi alasan aparat terhadap penahanan Pimpinan KPK, yaitu Candra Hamzah dan Bibit Samat Rianto, di tahun 2009, dengan alasan tertentu, justru semakin menguatkan anggapan perilaku ketergantungan media pada aparat di daerah. Dengan konstruksi birokrasi yang masih timpang terhadap fundamental good governance, maka ruang penyalahgunaan alasan-alasan tertentu sebagai domain ketentuan rahasia negara akan terbuka. Alasan kategori domain rahasia negara dinilai akan memukul balik arus demokratisasi yang sedang bergulir, termasuk terkait dengan perluasan kebebasan informasi dan penegakan akuntabilitas publik 48 pemerintahan. D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pandangan Pemerintah Daerah 1. Faktor Keamanan Negara Faktor keamanan negara tampaknya merupakan pertimbangan mendasar atas pandangan pemerintah daerah terhadap pentingnya ketentuan rahasia negara diberlakukan. Dengan letak geografis, hubungan antar komunitas lokal, dan sejarah konflik yang pernah dihadapi dan terjadi di NTB, dianggap menjadi pertimbangan agar rahasia negara diberlakukan dalam konteks tertentu. Ini menjadi kecenderungan yang mengakar pada saat masyarakat masih sangat tergantung pada sumber daya dan kemampuan negara dalam menjalankan peranan publiknya. Dengan konstruksi demikian, maka 46
Wawancara Pimpinan Redaksi Lombok TV, Mataram, 25 November 2009. Ibid. 48 Wawancara Prof Dr. Galang Asmara, SH, Dekan FH Universitas Mataram, Mataram, 24 November 2009. Contoh yang aktual yang dikemukakan, adalah pada saat Mahkamah Konstitusi memperdengarkan beberapa pembicaraan sadapan telepon antara aparat yang sedang berada di lingkaran kasus Candra Hamzah-Bibit Samat Rianto. 47
17
diharapkan berbagai program pembangunan dan stabilitas politik dapat dicapai sekaligus, tanpa harus mengalami berbagai gangguan menyebarnya berbagai isu tanpa terkendali. Jalan tengah untuk pemberlakuan semacam ini secara kontekstual, tampaknya berkaitan dengan nilai-nilai lokal yang dapat diakomodasi terhadap ruang keterbukaan pada kasus atau informasi tertentu. Dibutuhkan sebuah kecermatan dalam mengakomodasikan nilai-nilai itu dengan memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTB yang hingga kini masih berada dalam situasi kemiskinan. Sehingga, wajar saat pembahasan RAPBD menjadi APBD dilakukan secara terbuka dan komunikasi pemda, melalui para SKPD yang terlibat, dijalankan dengan keikutsertaan berbagai kelompok swadaya masyarakat yang memberikan masukan secara kritis. Kebutuhan sinergi antar langkah-langkah ke arah kesejahteraan masyarakat, menyebabkan diperlukan adanya ruang kebebasan tertentu bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau aspirasinya, tanpa harus dibebani rasa takut tindakan aparat dengan alasan keamanan. Sehingga, faktor keamanan yang diberlakukan pada konteks pentingnya rahasia negara sampai batas tertentu menjadi bersifat relatif. Walaupun di tahap lanjutan, sampai pada tingkat yang membahayakan, dapat saja diberlakukan secara represif dan menutup segala akses publik bagi sumber-sumber informasi atau peristiwa yang dianggap rawan. Bagi pihak Pemda, antisipasi terhadap hal-hal tertentu sebagai rahasia atau bukan, memang harus diberikan upaya-upaya pemahaman. Pemahaman secara ekstra hati-hati dari aparat berdasarkan anggapan bahwa keterbukaan informasi tanpa batas dapat mendorong gangguan atau merusak kondisi yang ada. Ini dinilai aparat sebagai dampak reformasi yang kebablasan, padahal pola keterbukaan tanpa batas akan mengganggu stabilitas dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Artinya, keterbukaan informasi harus dibatasi. Dalam rangka menciptakan pemahaman terhadap keterbukaan informasi, pemda melakukan berbagai upaya sosialisasinya, misalnya melalui media, lokakarya, dan sebagainya. Pada saat sosialisasi keterbukaan itu juga Pemda menitipkan pesan bahwa melalui pemberlakuan kebijakan rahasia negara, maka stabilitas politik dan keterbukaan yang proporsional mendorong kenyamanan publik untuk beraktivitas. Artinya, segala bentuk kegiatan, peristiwa, dan informasi bukan semua harus diumbar untuk 49 dibuka kepada publik. Sebaliknya, deteksi dini dan pengelolaan informasi memerlukan kemampuan tersendiri bagi aparat dalam menjalankan tugas dan wewenang yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing. Alasan pemerintah daerah dalam memberlakukan rahasia negara, tampaknya kurang memperoleh tekanan publik untuk membuka 49
Wawancara Kepala Bagian Bantuan Hukum, Pemda NTB, Mataram, 23 Nov 2009
18
aksesnya secara kritis. Sehingga, aparat berperan sangat menentukan secara subyektif terhadap ketentuan mana sebagai masuk klasifikasi rahasia negara dan mana yang tergolong sebagai terbuka bagi publik. Padahal, pentingnya tekanan sikap kritis publik terhadap rahasia negara, adalah untuk menjaga konteks dan pelaksanaan kebijakan rahasia negara benar-benar demi keamanan wilayah setempat atau kepentingan lebih besar. Lemahnya tekanan kritis publik semacam itu, meneguhkan sikap aparat yang memang pada dasarnya tidak suka dikontrol oleh masyarakat. Pembatasan akses publik terhadap pemerintahan dengan alasan rahasia negara, juga menyebabkan kebijakan yang diambil dan realitas di lapangan mengalami kesenjangan. Pemberlakuan rahasia negara yang sejalan dengan kondisi darurat terjadi di tengah realitas kondisi normal aktivitas publik berlangsung. Kejelasan kriteria di atas dianggap bermanfaat agar rahasia negara tidak disalahgunakan hanya untuk menutupi kejadian sebenarnya atau kepentingan segelintir pihak atau justru individu tertentu. Termasuk juga dalam persoalan ini, adalah ketentuan rahasia negara yang memberikan beban hukuman lebih berat bagi aparat yang seharusnya bertanggungjawab, namun kemudian membocorkannya kepada publik, dibandingkan sanksi yang diterima khalayak pada umumnya. Alasan keamanan secara tradisional, yaitu pada konteks mencegah konflik antar segmen masyarakat dan penyusupan pihak asing untuk mengacau, yang selalu dihembuskan aparat, dapat mengalihkan alasan yang berkembang terkait kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan, bukan tidak mungkin elemen masyarakat yang mencoba kritis pada aparat, justru diberikan label negatif tertentu atau sekedar sebagai mewakili kepentingan pihak asing. Ketentuan pendefinisian dan kriteria rahasia negara dapat terjebak pada pemahaman yang tidak proporsional, karena karakter aparat itu sendiri yang pada dasarnya tidak senang untuk dikontrol oleh publik. Jebakan improporsionalitas terhadap penerapan rahasia negara, sangat mendorong terjadinya penggunaan diskresi pejabat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Padahal, penggunaan diskresi tanpa kontrol publik, sangat mudah menimbulkan pelanggaran, penyelahgunaan wewenang, dan bahkan peluang terjadinya korupsi. Alasan untuk menjaga ketenangan para investor, wisatawan, dan bergeraknya ekonomi masyarakat, semakin memperkuat faktor keamanan negara dalam memilah setiap informasi atau kegiatan apapun yang termasuk kategori rahasia negara atau bukan. Bagi aparat yang terpenting adalah, wilayah NTB dan sekitarnya, termasuk seluruh lapisan masyarakat dalam beraktivitas tidak diganggu oleh isu-isu atau informasi kontroversial. Mereka menilai selama ini, berbagai isu atau kasus yang muncul masih berada dalam kendali aparat agar tidak berkembang luas. Bahkan, pers sendiri diarahkan pada apa yang disebut sebagai jurnalisme damai dengan lebih memprioritaskan pemberitaan atau opini yang sejalan dengan keinginan penciptaan ketertiban di tengah
19
masyarakat. Faktor keamanan negara yang mempengaruhi pandangan pemerintah daerah, menyebabkan pendekatan yang dilakukan terkait kebijakan rahasia negara, menjadi sangat terpusat pada kepentingan negara itu sendiri (state center interest). 2. Faktor Sosial Politik Otonomi Daerah Pola pendekatan keamanan dalam pembenaran ketentuan rahasia negara, tampaknya juga diperkuat oleh faktor sosial politik otonomi daerah. Dengan konstruksi media dan masyarakat yang masih lemah terhadap sumber daya negara, maka arus balik keterbukaan yang dibangun reformasi belum tentu sepadan dengan dinamika lokal. Gejala perdebatan ketentuan rahasia negara tampaknya sejalan dengan logika ketidakseimbangan hubungan dimaksud di Provinsi NTB. Perdebatan antara rahasia dan keterbukaan sudah berlangsung lama dalam sejarah politik di wilayah tersebut Bahkan, saat Orde Baru, di NTB, sebagaimana wilayah lain di Indonesia, perdebatan itu kental dengan bungkus ideologi atas nama Pancasila yang dimanipulasi pada konteks kepentingan 50 kekuasaan elit. Efektifitas kendali pusat terhadap tataran lokal, melalui kelembagaan Musyawarah Pimpinan Daerah, justru mendorong pola 51 birokrasi yang cenderung tertutup dan rawan terjadi korupsi. Pengalaman demikian mendorong resistensi publik terhadap kepentingan rezim yang mencoba menghidupkan kembali rencana penerapan ketentuan rahasia negara sebagai produk undang-undang tersendiri. Gaya pengambil kebijakan yang konsenvatif terkesan masih kuat mencengkeram pemerintahan daerah dalam menjalankan peranan pelayanan publiknya. Ini adalah tidak saja hasil dari kombinasi kalangan sipil-militer yang masih digunakan dalam kelembagaan pemerintahan secara personal di posisi-posisi birokrasi yang dianggap strategis. Tetapi, juga diwarnai oleh sikap ragu-ragu sebagian pihak terhadap manfaat keterbukaan yang dibangun oleh sistem politik ketika memasuki era reformasi. Apalagi, dengan jargon kedaulatan negara dan alasan kesiapan infrastruktur politik terhadap tuntutan keterbukaan, maka 50
Pertimbangan stabilitas pemerintahan dan kemungkinan mencari keseimbangan antar berbagai dukungan masyarakat, terutama di kalangan Islam, tentara dan kaum nasionalis sekuler, sangat dianut oleh Soeharto dalam mengendalikan sistem politik otoriternya. Perspektif keseimbangan dukungan tersebut mendorong juga antara lain membuat klasifikasi atas informasi dapat diberlakukan secara khusus sebagai bersifat rahasia dengan alasan sensitivitasnya terhadap isu bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Pembahasan ini misalnya di lihat pada Douglas Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2002, h. 333-368. 51 Terdapat dana koordinasi bagi semua anggota Muspida, yang sudah tidak diperbolehkan lagi keberadaannya, sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang tidak memungkinkan adanya dana rutin bagi Muspida. Lihat Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Fokusi Media, Bandung. 2009, h. 20.
20
pertimbangan atas pola konservatifisme itu semakin memiliki alasan untuk digunakan. Faktor transisional sosial politik otonomi daerah menyebabkan argumentasi keperluan diterapkannya regulasi terkait rahasia negara selalu ditampilkan ke permukaan. Kasus-kasus korupsi di daerah yang berkembang disaat otonomi, tampaknya tidak dijadikan alasan bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan ketentuan rahasia negara di tengah berbagai penyimpangan kewenangan dan pelanggaraan administratif pemerintahan. Ini menyebabkan akses publik terhadap pemerintahan juga berhadapan dengan kapasitas secara kelembagaan, tidak saja di tingkat aparat itu sendiri, tetapi juga menyangkut fundamental politik masyarakat sipil. Fundamental tersebut menentukan orientasi dari peranan publik terhadap kebijakan pemerintahan. Dengan ketergantungan struktural dan kepemilikan sumber daya yang sangat minim, maka dukungan otonomi daerah bagi kesejahteraan rakyat juga menjadi lemah kontribusinya. Ini semakin menegaskan fenomena otonomi daerah yang ternyata tidak berdampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat di daerah. Transformasi kepercayaan rakyat bagi pemerintahan dalam rangka pertanggungjawaban kewenangan otonomi daerah, menghadapi dilema untuk menjawabnya pada konteks peningkatan kesejahteraan rakyat. Di satu sisi, kepercayaan dimaksud disadari sebagai sebuah tuntutan dalam rangka mencegah dan memberikan sanksi terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang aparat. Tetapi di sisi lain, fundamental politik sipil yang lemah untuk menjalankan peranan demokrasi, menyebabkan faktor kepercayaan rakyat sangat bergantung pada mekanisme internal pemerintahan untuk mengawasi aparatnya itu sendiri. Dilema pertanggungjawaban birokrasi dalam kewenangan otonomi tersebut, mendorong munculnya wilayah abu-abu antara pertimbangan kepentingan masyarakat dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang bersifat pribadi dari aparat yang melanggar. . IV. Penutup A. Kesimpulan Akses politik publik terhadap pemerintahan di era otonomi daerah telah mengalami masalah. Masalah ini berupa munculnya fenomena persaingan untuk menerapkan kebijakan rahasia negara di satu sisi dan keterbukaan informasi di sisi lain. Persaingan ini tidak saja dari segi proses pembuatan legislasi, tetapi juga pandangan-pandangan tertentu yang berkembang di tingkat daerah terhadap masalah akses politik publik. Pentingnya akses politik publik dalam mendorong akuntabilitas pemerintahan, belum berkembang secara maksimal. Padahal, sikap masyarakat terhadap keinginan pemerintah untuk
21
memberlakukan kebijakan rahasia negara, yaitu dalam bentuk undangundang, dituntut untuk diformulasikan secara ekstra hari-hati. Terdapat dua faktor yang mendasari aparat di daerah dalam mengecualikan pemerintahan yang dapat diakses oleh publik secara terbuka, atau dinilai sebagai tergolong rahasia negara. Pertama, adalah faktor keamanan negara yang biasanya dikemas sebagai hal-hal bersifat sensitif bagi masyarakat setempat. Sejarah konflik antar komunitas masyarakat, atau disebut SARA, dan peluang intervensi asing bagi kemungkinan kisruh tertentu di daerah bersangkutan, menjadi alasan aparat untuk menentukan hal-hal tertentu dari urusan pemerintahan dan otonomi daerah sebagai bersifat rahasia untuk disampaikan ke publik. Prioritas keamanan negara sebagai faktor pandangan aparat terhadap kewenangan otonomi daerah, menyebabkan pemahaman stabilitas pemerintahan menjadi sempit. Kedua, adalah faktor sosial politik otonomi daerah yang masih berada dalam suasana transisional selama ini. Meskipun kewenangan otonomi daerah sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, ternyata otonomi daerah seakan masih sebatas pada kewenangan pemerintahan semata, atau belum menjangkau pemahaman dalam arti luas terkait keberadaan masyarakat itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat oleh sifat ketergantungan masyarakat yang masih tinggi kepada aparat dalam proses penyelesaian masalah dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Belum kuatnya benang merah otonomi terhadap kesejahteraan rakyat, mendorong pandangan aparat yang semakin kuat untuk menentukan secara subyektif terkait batasan dan kriteria informasi atau kegiatan tertentu sebagai bersifat rahasia atau bukan rahasia negara. B. Rekomendasi Keterbatasan ruang lingkup akses masyarakat terhadap pemerintahan di era otonomi daerah menjadi ironi tersendiri, karena partisipasi masyarakat adalah kunci dari keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan kecenderungan aparat yang masih kuat menentukan hal-hal terkait rahasia negara, beberapa rekomendasi dapat disampaikan sebagai berikut: Pertama, adalah akuntabilitas pemerintahan daerah terkait kebijakan yang dilakukannya sejauh mungkin harus disampaikan secara terbuka dan dijauhkan dari sekedar formalitas kelembagaan semata. Artinya, kegiatan dan isu-isu yang muncul dalam kebijakan yang diambil, mampu ditampilkan secara kreatif melalui publik, kalau memang perlu melalui cara perdebatan, atau tidak hanya sekedar menjalankannya melalui pihak humas setempat dalam melakukan press realease, dan kerjasama dengan provider penyedia layanan SMS untuk menampung berbagai masukan dari masyarakat.
22
Kedua, keinginan masyarakat untuk memformulasikan unsur kerahaasian secara ekstra hati-hati, sebaiknya ditanggapi sebagai bentuk tuntutan pula untuk lebih memperioritaskan kebijakan keterbukaan informasi publik secara relatif tepat. Sehingga, seharusnya keterbukaan itulah yang justru menjadi inti dari pemerintahan, dan setiap unsur-unsur kerahasiaan justru dapat dicakup dalam kebijakan keterbukaan informasi publik dan dianggap sebagai hal-hak yang dikecualikan bagi akses publik. Ketiga, perspektif keamanan negara yang menjadi dasar cara pandang aparat terkait pemerintahan, harus ditransformasikan pada perspektif keamanan nasional. Perspektif semacam ini akan mendorong akuntabilitas dari aparat yang lebih tinggi daripada sekedar prinsipprinsip hirarki organisasi. Keempat, akses politik publik terhadap pemerintahan sangat ditentukan oleh kepemilikan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Kepemilikan sumber daya ini, tidak saja bermanfaat bagi posisi tawar terhadap aparat, tetapi juga untuk proses akomodasi kepentingan yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Kebijakan pemerintahan tertentu, seperti halnya terkait rahasia negara, sampai batas tertentu harus melihat keragaman yang ada di setiap daerah sesuai potensi sosial ekonomi masing-masing. Artinya, faktor sosial politik otonomi daerah sejauh mungkin tidak sekedar berjalan di lingkungan kewenangan pemerintahan, tetapi juga terkait dengan peranan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
23
Daftar Pustaka Buku Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, Palgrave, New York, second edition, 1999. Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Deddy Mulyana Kusuma, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya Bandung, Bandung, 2001. Douglas Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Mata Bangsa, Yogykarta, 2002. Gabriel A. Almond, and Powell, Bingham, Jr, Comparative Politics Today: th A World View, Harper Collins College Publisher, 6 edition ,1996. Gema Pembangunan 2008, Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2008 Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001): Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009. Ian Shapiro, Evolusi Hak Dalam Teori Liberal, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Freedom Institute, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat, 2006. M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press, Malang, 2008. Roberto Mangabeira Unger, Law In Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory, New York: The Free Press, 1976. Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado, 1981. Stephen Ericbroner (Editor), Twentieth Century Political Theory: A Reader, Routledge, New York and London, 1997 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung, 2005. T. Hari Prihatono,(Editor), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, Propatria Institute, Jakarta, 2006. Wasistiono, Sadu dan Wiyoso, Yonatan, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Fokusi Media, Bandung. 2009. William E. Francois, Mass Media Law and Regulation, Iowa State University, Mac Millan Publishing, fifth edition, 1990, Dokumen Tupoksi Bagian Humas dan Protokol Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi NTB. Propatria, “Keamanan Nasional”, Monograph No. 2, 16 Februari 2004.
24
Makalah Eko Prasojo, ”Pemerintahan Daerah, Partisipasi Masyarakat, dan Akuntabilitas Publik” makalah disampaikan dalam Diskusi Internal Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 6 Oktober 2009. Media Massa Koran Maratam, 18 Juni 2009 Media Indonesia, 2 Februari 2010. Jurnal Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 29 Tahun 2009. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Draft RUU Tentang Rahasia Negara, 27 April 2009. Situs Internet http://samantafoundation.org, dikutip 22 Desember 2009 http;//infokorupsi, dikutip 28 Januari 2009. Informan Kasubag Dokumentasi dan Distribusi, Pemda Provinsi NTB, Mataram, 23 November 2009. Kepala Bagian Keuangan Pemda NTB, Mataram 23 November 2009. Kesbangpol Linmas,, Pemda NTB, Ampenan, 24 Nov 2009. Pasi Intel, Korem. Mataram, 24 November 2009. Pemimpin Redaksi, Media Lombok Post, 24 Nov 2009. Pimpinan Redaksi Lombok TV, Mataram, 25 November 2009. Prof Dr. Galang Asmara, SH, Dekan Universitas Mataram, Mataram, 24 November 2009 Kepala Bagian Bantuan Hukum, Pemda NTB, Mataram, 23 Nov 2009
25
PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN MIMIKA PROVINSI PAPUA 1 (Studi pada Suku Kamoro di Kabupaten Mimika) Mohammad Mulyadi
2
Abstract The subject of this research is poverty alleviation in Mimika regency in Papua Province. The researcher attempted to examine how far empowerment program introduced by the central government could be successful in improving people’s welfare. Data was collected by conducting survey, and quantitative method was used as a tool of analysis. The research focused on empowerment program offered to Kamoro tribe. Kata Kunci: Pemberdayaan Masyarakat, Penanggulangan Kemiskinan, Suku Kamoro I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Penanggulangan kemiskinan telah menjadi perhatian banyak pihak untuk sekian lama, tetapi masih menjadi masalah di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pertengahan 1997 telah mempengaruhi sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat luas. Krisis ini telah mengakibatkan berbagai dampak sosial pada semua strata masyarakat, seperti terjadinya kesenjangan yang semakin tajam antara kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok dengan daya beli masyarakat, kesenjangan antar-golongan yang melebar dan semakin meningkatnya tingkat kriminalitas, gangguan keamanan serta pengangguran. Selain itu musibah yang seolah tidak pernah berhenti, seperti bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, semburan lumpur panas), berbagai kecelakaan di bidang transportasi yang telah menyita biaya sosial tinggi, ternyata secara langsung maupun tidak langsung telah ikut menambah angka kemiskinan. Akumulasi dari berbagai bentuk krisis membuat masyarakat frustasi dan kepercayaan kepada pemerintah semakin merosot, sedangkan ketidakpastian mengenai kapan semua ini akan berakhir juga terus menghantui masyarakat. 1
Tulisan ini adalah hasil penelitian pada tahun 2008 Penulis adalah Peneliti Bidang Kesejahtreaan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Setjen DPR RI. Alamat e-mail :
[email protected] 2
1
2 Strategi pembangunan di Indonesia terfokus pada industrialisasi yang padat modal, sedangkan sektor pertanian dan pedesaan terlupakan, sehingga mengakibatkan berkurangnya persediaan beras dalam negeri, yang kemudian diikuti oleh kebijakan yang kontroversial yaitu impor beras. Kebijakan menggalakkan investasi yang diharapkan akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja tidak diimbangi dengan iklim investasi yang memadai berakibat pada tingginya tingkat pengangguran yang pada akhirnya akan menambah angka kemiskinan. Demikian pula kebijakan perbankan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, merupakan hambatan dalam memacu kesempatan berusaha bagi kelompok ekonomi lemah, tetapi lebih cenderung berpihak pada konglomerat. Di sinilah peran pemerintah amat diperlukan, sehingga solusi yang yang harus dijalankan, setidak-tidaknya ada dua yaitu, pertama memperbaiki kinerja aparatnya serta memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme ditubuh birokrasi. Seringkali macetnya program penanggulangan kemiskinan disebabkan karena tidak responsifnya aparat dalam menangani rintangan di lapangan. Terhambatnya program pemberdayaan juga kerap disebabkan oleh birokrasi yang korup sehingga menciptakan ekonomi biaya tinggi yang tidak akan mampu dipenuhi oleh para pengusaha miskin yang sedang merintis usahanya. Kedua, menjalankan program penanggulangan kemiskinan dengan paradigma menjadikan orang miskin sebagai mitra. Program ini mencakup pelibatan masyarakat miskin dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang cara pandang dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Perubahan dalam cara pandang ini diharapkan tidak saja akan membuat pemerintah mengkaji pendekatan dalam mengatasi kemiskinan, namun juga mengubah paradigma dalam melibatkan mereka yang tertinggal dalam pembangunan. Salah satu masalah pemberdayaan masyarakat yang selama ini terjadi di Mimika adalah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tidak melibatkan masyarakat. Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada para pelaku nonpemerintah untuk terlibat. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dimaksudkan hanya untuk mendistribusikan kebijakan, program maupun pelayanan yang berasal dari pemerintah saja dan tidak diupayakan untuk memobilisasi potensi-potensi yang ada di masyarakat. Monopoli pemerintah dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat menjadi alat untuk memperluas cakupan dominasinya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Di Kabupaten Mimika terdapat dua suku besar yang menjadi penduduk asli Mimika, yaitu Amungme dan Kamoro ditambah lima suku kekerabatan yang lain yaitu Dani, Damal, Moni, Ekari, dan Nduga. Penelitian ini mengangkat persoalan penanggulangan kemiskinan di Suku Kamoro saja, karena Suku Kamoro yang banyak mendiami wilayah
3 Timika, yaitu wilayah ibukota Kabupaten Mimika. Dari studi pendahuluan yang dilakukan, diketahui prioritas pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di Suku Kamoro tidak mencakup rencana pemberdayaan masyarakat yang berasal dari aspirasi masyarakat, tetapi berdasarkan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Distrik, Kepala kampung dan Kepala Suku. Proses perencanaan yang dilaksanakan secara tertutup, dimana masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk terlibat di dalamnya menyebabkan perencanaan menjadi alat untuk mengimplementasikan agenda-agenda elite pemerintah atau suku. Pengambilan keputusan dalam proses perencanaan sangat diwarnai oleh kultur paternalistik, dimana Kepala Distrik, Kepala kampung dan Kepala Suku adalah penentu segalanya. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yang tidak melibatkan masyarakat itu belum sepenuhnya memahami arti penting dari keterlibatan masyarakat. Dominasi campur tangan ’kekuasaan’ yang selama ini dirasakan oleh masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat masih menjiwai sikap dan perilaku masyarakat untuk tidak ikut serta dalam setiap tahap kegiatan pemberdayaan masyarakat. Masalah kemiskinan ini semakin menarik untuk diteliti secara ilmiah, karena angka kemiskinan merupakan suatu indikator keberhasilan atau kegagalan suatu sistem pemerintahan dalam usaha mensejahterakan rakyat. Sehingga setiap kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam kaitannya dengan usaha penanggulangan kemiskinan, sangat memerlukan analisis perencanaan dan pelaksanaan yang tepat. Berkaitan dengan hal itu Pemerintah Kabupaten Mimika sebagai wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar, terutama sumber daya finansial yang diperoleh dari bagi hasil tambang emas PT. Freeport, tentu akan sangat memberi peluang bagi tercapainya pengentasan kemiskinan secara bertahap dan berkesinambungan terutama bagi suku Kamoro sebagai suku asli di Mimika. Melalui UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, terkait dengan bagi hasil. Pemerintah Provinsi Papua ditegaskan mendapatkan bagian sebesar 80 persen dari hasil pendapatan yang 3 diserahkan kepada negara dari PT. Freeport. Dari jumlah ini tersebut, akan dibagikan kepada Pemerintah Provinsi sebesar 16 persen, 32 persen untuk daerah penghasil yaitu Kabupaten Mimika dan 32 persen sisanya akan dibagikan secara merata bagi seluruh kabupaten di Papua. Dengan demikian, peluang terhadap penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan program pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat berhasil, karena Pemerintah Kabupaten Mimika mendapatkan support dana dari bagi hasil pertambangan, khususnya pertambangan yang dikelola oleh PT. Freeport. 3
Pasal 14 UU. No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, diketahui bahwa efektivitas implementasi suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan akan sangat bergantung pada sejauh mana program pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Karena itu masalah penelitian ini dirumuskan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : “Seberapa besar pengaruh kebijakan pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan Suku Kamoro di Kabupaten Mimika ?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan pemerintah. Terdapat anggapan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan selama ini, masih belum memperlihatkan hasil yang nyata, karena masih ditemukan banyak masyarakat yang berada digaris kemiskinan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan besarnya pengaruh program pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan pada Suku Kamoro di Kabupaten Mimika. D. Kerangka Pemikiran 1. Konsep Program Pemberdayaan Masyarakat Program pemberdayaan masyarakat, merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang menekankan pada pemberdayaan dengan menciptakan kemandirian masyarakat. Istilah pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata empowerment yang berarti penguatan, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Pengertian pemberdayaan identik dengan melakukan pengembangan sumber daya manusia, yang tidak sekedar membentuk manusia profesional dan terampil sesuai dengan kebutuhan sistem untuk dapat memberikan kontribusinya di dalam proses pembangunan, tetapi menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala pontensinya 4 sebagai manusia. Pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka atau proses dan hasil pembangunan. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan, mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk 4
Moeljarto Tjokrowinoto, Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep Arah dan Strategi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993, hal. 29.
5 meraih keberdayaannya, dengan demikian pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan. Berbagai definisi pemberdayaan di atas menunjuk pada kemampuan orang khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan. Adapun kekuatan atau 5 kemampuan yang dimaksud meliputi: a. memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan. b. menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan. c. berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusankeputusan yang mempengaruhi mereka. Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pemberdayaan merupakan sebuah kegiatan aktif untuk mengubah seseorang, sekelompok orang, organisasi atau komunitas yang kurang beruntung atau kurang berdaya menjadi lebih baik sehingga mereka memiliki daya atau kekuatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, memperoleh barang dan jasa yang diperlukan dan berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhinya. Sejalan dengan strategi penanggulangan kemiskinan, maka proses permberdayaan terhadap masyarakat miskin dilakukan secara komprehensif, karena pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan akan 6 dapat diwujudkan dengan cara memberdayakan komunitas itu sendiri. Adapun yang dimaksud dengan pemberdayaan secara komprehensif adalah pemberdayaan yang mencakup bidang politik, ekonomi maupun 7 sosial. Karena itu untuk memberdayakan masyarakat miskin harus mencakup berbagai kegiatan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik agar mereka dapat meningkatkan kekuatan, kemandirian dan peranan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan menuju kehidupan yang cerdas, maju adil, sejahtera dan aman. Upaya memberdayakan masyarakat miskin dilakukan dengan memperkuat potensi akses atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sarana ekonomi kerakyatan, baik fisik maupun sosial, yang dapat diakses oleh atau yang sangat akrab dengan 5
Ibid. hal. 58. Sriharini, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin, PT. LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007, hal. 121. 7 Suparjan dan Hempri Suyatno, Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan, Aditya Media, Yogyakarta, 2003, hal. 187. 6
6 masyarakat lapisan bawah. Dalam upaya memberdayakan masyarakat, strategi yang dilakukan adalah mendorong proses pembangunan di segala bidang melalui pemberdayaan lembaga-lembaga masyarakat dan mengupayakan arah pembangunan yang partisipatif. Dengan strategi ini diharapkan masyarakat dapat mandiri dalam proses pembangunan sosisal-ekonomi, demi terciptanya ketahanan masyarakat, meminimalkan potensi konflik dan degradasi moral, serta mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender. Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Dikatakan sebagai proses karena pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Karena itu pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka. Maka pendekatan yang diharapkan adalah yang dapat memposisikan individu sebagai subjek bukan sebagai objek. Dikatakan sebagai tujuan karena pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat terutama yang pada saat sekarang sedang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, yang berarti memberdayakan adalah membantu seseorang/masyarakat menemukan kemampuan menuju kemandirian. Sehingga kemandirian di sini merupakan suatu kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. 2. Konsep Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan merupakan permasalahan yang sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun. Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum, bukan bersifat khusus pada masyarakat yang berlatar belakang, suku bangsa dan agama. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang terwujud sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Kemiskinan suatu negara atau daerah tidak hanya dipengaruhi oleh agama, kepercayaan, sikap hidup dan adat istiadat, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Kedua pendapat ini jelas memberikan gambaran bahwa kemiskinan ditimbulkan oleh berbagai faktor. Akar penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan faktor alam, sumber-sumber daya yang langka dan akibat perkembangan teknologi yang rendah. Ini mempunyai pengertian faktor-faktor yang
7 dapat menyebabkan kemiskinan dalam sebuah masyarakat secara alami memang ada, tetapi dalam kategori kemiskinan yang seperti ini pada umumnya tidak mempunyai kesenjangan yang terlalu tinggi. Kedua, kemiskinan struktural atau kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan suatu sistem supra-struktur atau politik. Kebijakan telah membuat sekelompok masyarakat mendominasi penguasaan sarana ekonomi, sementara kelompok masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan. Pada kategori ini, kesenjangan ekonomi masyarakat sangat tinggi antara yang miskin dan yang kaya. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural atau buatan, karena secara alamiah Indonesia mempunyai cukup potensi dan sumber daya untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari supra-struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta dipinggirkannya peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap pelaksanaan pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat keswadayaan masyarakat. Kemiskinan, pada kenyataannya, lebih dilihat dari sudut ekonomi semata. Batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu. Tingkatan kemiskinan dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan sebelumnya, seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan yang sangat ekonomistik dan sempit akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih merupakan 'bantuan' ekonomi saja. Pemahaman kemiskinan dalam arti yang lebih luas, atau sering didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk, adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Adapun tingkat kemiskinan dibedakan dalam dua kategori yaitu kemiskinan absolut dan relatif. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antar kelompok masyarakat yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari pada garis kemiskinan dan kelompok masyarakat yang miskin karena mempunyai tingkat pendapatan relatif 8 lebih rendah dari pada garis kemiskinan. Kemiskinan adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam bentuk kelemahan 8
Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 188.
8 biologis, psikologis maupun kultural yang menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Selain itu, faktor struktural merupakan penyebab orang menjadi miskin. Seseorang yang berada di lingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik antara lain: distribusi penguasaan resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi. Berkaitan dengan fenomena kemiskinan di Indonesia, umumnya mereka yang tergolong miskin adalah kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah dan hidup di daerah pinggiran (periphery), sehingga sangat sulit bagi mereka untuk memperoleh pendidikan layak. Kedua aspek itu melingkar-lingkar terus dan jarang bisa ditemukan titik pemberhentiannya, maka antara kemiskinan dan kualitas pendidikan yang rendah merupakan faktor yang saling terkait yang bisa menjadi sebab dan akibat dari rendahnya produktivitas ekonomi. Keseluruhan konsep kemiskinan yang bersifat multidimensional 9 menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu : 1. ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). 2. ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. ketiadaan jaminan masa depan (karena tidanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal. 5. rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. ketidakmampuan dan ketidak beruntungan sosial (anal terlantar, wanita korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Problem kemiskinan di Indonesia merupakan masalah sosial yang relevan untuk dikaji terus-menerus dan dicarikan solusinya. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan menjadi persoalan masyarakat, akan tetapi juga karena gejala kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan terjadinya krisis multidimensional yang dihadapi oleh Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar dan terapkan oleh pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini, sehingga 9
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 7-8.
9 tidak sedikit jumlah dana yang telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya: mengapa kemiskinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini?. Upaya penurunan derajat kemiskinan telah dilakukan selama tiga dekade di Indonesia, ternyata masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi, politik, sosial dan bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelemahan 10 mendasar dari penanggulangan kemiskinan, antara lain: 1. masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, 2. kebijakan yang terpusat, 3. lebih bersifat karikatif, 4. memposisikan masyarakat sebagai obyek, 5. cara pandang tentang kemiskinan, 6. asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang dianggap sama. Dalam rangkaian program pembangunan di dalam menanggulangi masyarakat yang mengalami masalah sosial tersebut perlu dipahami berbagai hal yang berkaitan dengan seluk beluk permasalahannya. Bagi masalah kemiskinan yang akan ditampilkan dalam penelitian ini, semestinya perlu dipahami paling tidak kondisi, instensitas dan komplikasi yang terjadi di samping tentu saja faktor-faktor yang melatarbelakangi masalah kemiskinan tersebut. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan masyarakat miskin yang dibutuhkan bukan sekedar program yang sifatnya parsial, namun langkah-langkah yang terpadu dan benar-benar fungsional dalam mendukung upaya pemberdayaan penduduk miskin itu sendiri, khususnya di kalangan keluarga yang secara sosial rentan, dari segi kesehatan rapuh, dan yang memiliki akses teramat kecil di bidang pendidikan. Karakteristik utama dan penyebab utama kemiskinan pada 11 wilayah miskin mencakup: (1) sumber daya alam, (2) teknologi dan unsur pendukungnya, (3) sumber daya manusia, dan (4) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan. Adapun sasaran langkah-langkah penanggulangan kemiskinan adalah bagaimana meningkatkan kapasitas dari sumber-sumber penggeraknya melalui peningkatan mutu sumber daya, perbaikan teknologi, maupun efektivitas koordinasi dari faktorfaktor tersebut melalui penyempurnaan kelembagaan/organisasi sosial ekonomi di masing-masing wilayah. Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan secara singkat dan sekaligus karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi 10
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Buku Panduan “Kebijakan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan”, Jakarta, 2005, hal. 1-2. 11 Soetatwo Hadiwiguno dan Agus Pakpahan, Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia, Prisma, Jakarta, 1993, hal 27.
10 masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar. Oleh sebab itu rencana aksi penanggulangan kemiskinan dipusatkan pada prioritas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, lingkungan hidup dan sumberdaya alam, rasa aman, dan berpartisipasi dengan memperhitungkan kemajuan secara 12 bertahap. Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi ukuran penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan hak-hak dasar adalah sebagai berikut : 1. hak atas pangan. 2. hak atas layanan kesehatan. 3. hak atas layanan pendidikan. 4. hak atas pekerjaan dan berusaha. 5. hak atas perumahan. 6. hak atas air bersih dan sanitasi yang baik. 7. hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 8. hak atas rasa aman. 9. hak untuk berpartisipasi. Dengan demikian, dalam menjalankan rencana aksi penanggulangan kemiskinan, pemerintah berkewajiban untuk mengelola anggaran, menerbitkan peraturan dan melakukan tindakan (obligation to conduct) yang didasarkan pada hukum yang berlaku sehingga menjamin pemenuhan hak dasar, tidak menciptakan hambatan dan beban bagi masyarakat miskin, dan tidak mematikan inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak E.
Hipotesis
Dengan pertanyaan penelitian yang tersusun, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “program pemberdayaan masyarakat Suku Kamoro berpengaruh signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Mimika”. II. Metode Penelitian A. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah explanatory survey sebagai upaya mengumpulkan informasi dari responden dengan menggunakan angket. Penelitian ini bertujuan menguji hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antar-variabel. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Sedangkan tujuan dari
12
Sumedi Andono Mulyo, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas, Jakarta, 2005, hal. 4.
11 metode survai adalah untuk menguji berbagai hipotesa tertentu dengan maksud membenarkan atau memperkuat hipotesa tersebut. B. Operasionalisasi Variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel pokok yaitu program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Secara operasional variabel perlu didefinisikan yang bertujuan untuk menjelaskan makna variabel penelitian. Variabel dalam penelitian yang dimaksud adalah satu variabel bebas yaitu program pemberdayaan masyarakat dan satu variabel terikat penanggulangan kemiskinan Untuk mempermudah penganalisaannya, masing-masing variabel didefinisikan secara operasional sebagai berikut: a. Program Pemberdayaan Masyarakat (X) Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial: yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai kekuasaan. Adapun dimensi dan indikatornya adalah sebagai berikut: 1) Dimensi proses kegiatan untuk memperkuat keberdayaan masyarakat, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Kemampuan masyarakat mengidentifikasi masalah (2) Kesiapan organisasi pelaksana program di lapangan (3) Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung (4) Jumlah warga yang menjadi sasaran sosialisasi program (5) Jadwal waktu kegiatan pelaksanaan (6) Berfungsinya pendampingan yang dilakukan oleh LSM/Perguruan Tinggi (7) Tingkat pengembalian dana bergulir 2) Dimensi tujuan/hasil yang ingin dicapai dari keberdayaan masyarakat, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Jumlah usulan yang dibiayai. (2) Jumlah tenaga kerja penganggur yang dapat diserap. (3) Meningkatnya aset usaha kecil. (4) Persentase penyelesaian pekerjaan. (5) Adanya peningkatan jumlah omset yang berputar. (6) Peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah sasaran. (7) Peningkatan kepedulian dan partisipasi masyarakat. (8) Peningkatan prosentase sarana dan prasarana yang dibangun. b. Penanggulangan Kemiskinan (Y) Penanggulangan kemiskinan adalah upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang dipusatkan pada prioritas
12 penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, lingkungan hidup dan sumberdaya alam, rasa aman, dan berpartisipasi dengan memperhitungkan kemajuan secara bertahap. Adapun dimensidimensi dan indikator indikatornya adalah sebagai berikut : 1) Pemenuhan hak atas pangan, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Menurunnya jumlah penduduk yang berada dalam kondisi tidak cukup untuk makan. (2) Menurunnya jumlah balita kekurangan gizi. (3) Meningkatnya ketahanan pangan. 2) Pemenuhan hak atas layanan kesehatan, dengan indikatorindikator sebagai berikut : (1) Tingkat kematian bayi dan balita. (2) Tingkat kematian ibu melahirkan. (3) Meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. 3) Pemenuhan hak atas layanan pendidikan, dengan indikatorindikator sebagai berikut: (1) Angka buta huruf pada penduduk miskin. (2) Jumlah keluarga miskin yang mengikuti kursus keterampilan. (3) Jumlah lembaga yang menyelenggarakan kursus keterampilan bagi orang miskin. 4) Pemenuhan hak atas pekerjaan dan berusaha, dengan indikatorindikator sebagai berikut : (1) Berkurangnya angka pengangguran terbuka. (2) Berkembangnya usaha Mikro, Kecil dan Koperasi. 5) Pemenuhan hak atas perumahan, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Dihormatinya hak-hak masyarakat miskin untuk mengusahakan tempat tinggal yang layak. (2) Berkembangnya sistem penyediaan perumahan yang layak dan sehat bagi masyarakat miskin. 6) Pemenuhan hak atas air bersih dan sanitasi yang baik, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Meningkatnya jumlah keluarga miskin yang memiliki akses terhadap air bersih dan aman. (2) Menurunnya jumlah penduduk tanpa akses terhadap lingkungan yang sehat. 7) Pemenuhan hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Terwujudnya kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. (2) Meningkatnya kemampuan masyarakat miskin sekitar lokasi sumberdaya alam dalam memanfaatkan SDA dan LH secara lestari.
13 (3) Meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. 8) Pemenuhan hak atas rasa aman, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Berkurangnya konflik yang bersifat komunal, kekerasan yang bernuansa separatis, dan kekerasan Negara. (2) Menurunnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. (3) Berkurang jumlah anak jalanan. (4) Berkurangnya perdagangan anak dan perempuan. 9) Pemenuhan hak untuk berpartisipasi, dengan indikator-indikator sebagai berikut : (1) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan. (2) Terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat dalam berbagai perumusan kebijakan dan tahapan pembangunan. (3) Tersedianya informasi mengenai rencana pembangunan, pelayanan publik, anggaran, dan perkembangan program pembangunan yang mudah diakses. C. Metode Penentuan Ukuran Populasi dan Sampel Untuk menetapkan populasi dan ukuran sampel, maka terlebih dahulu perlu diketahui unit analisis dalam penelitian ini. Yang dimaksud dengan unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah masyarakat suku Kamoro yang memperoleh program tersebut. Karena pada subyek inilah akan dilakukan pengukuran tentang program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk menentukan jumlah populasi yang akan dijadikan sampel, 13 digunakan rumus dari Machine dan Campbell : 2
1 1 Z Z 2 2 n 3 u2
Berdasarkan rumus, maka ukuran sampel yang digunakan sebagai responden sebanyak 212 penduduk suku Kamoro Kabupaten Mimika. D. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi 13
Harun Al Rasyid, Statistik Sosial, Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial, Institut Ilmu Pemerintahan, Bandung, 1994, hal. 15.
14 Observasi adalah kunjungan lapangan yang dilakukan dalam rangka memahami situasi dan mengamati situasi subyek dan obyek penelitian serta mengumpulkan data sekunder dari sumber yang diperlukan untuk pembahasan. 2. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah cara pengumpulan data sekunder yang dilakukan dengan mengadakan tinjauan dan kajian atas sejumlah buku, dokumen serta berbagai materi rujukan yang relevan dengan kebutuhan analisis. 3. Teknik Kuesioner Teknik kuesioner (penyebaran angket) ini adalah suatu cara pengajuan pernyataan/pertanyaan tertulis serta pilihan jawabannya kepada para responden yang menjadi sampel penelitian. Kuesioner penelitian ini berfungsi sebagai instrumen pengumpulan data primer (data yang langsung dari sumbernya). Penyusunan kuesioner penelitian dilakukan dengan menggunakan Teknik Rating Scale. E. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan terlebih dulu menguji validitas instrumen penelitian. Validitas menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang diukur. Sehubungan dengan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner, maka kuesioner yang disusun tersebut harus dapat teruji validitasnya. Selanjutnya melakukan uji reliabilitas instrumen penelitian. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Untuk membahas data yang diperoleh melalui proses kegiatan penelitian, penulis menggunakan Metoda Analisis Deskriptif Kuantitatif adalah interprestasi dan pengukuran atas data-data hasil penelitian yang berwujud angka-angka atau bilangan tertentu. F. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi aktivitas observasi dan penyebaran angket (kuesioner) ini dilakukan di Kabupaten Mimika Propinsi Papua pada bulan Maret-Mei 2008. III. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Suku Kamoro Kabupaten Mimika
15 Sebagian besar Suku Kamoro tinggal di pinggir-pinggir pantai yang terdapat di pesisir selatan Kota Timika, Papua, seperti di Pulau Karaka. Kepiting bakau dan sagu merupakan penganan mereka seharihari. Pantai dan hutan bakau adalah kehidupan pesisir di Papua. Karena itu, pedalaman di wilayah Mimika Timur merupakan surga bagi ekosistem hutan bakau. Area ini digenangi oleh air pasang yang berasal dari Laut Arafuru. Tidak jauh dari tepian pantai terdapat permukiman Suku Kamoro, salah satu penduduk asli Kabupaten Mimika. Kebanyakan masyarakat Suku Kamoro tinggal di rumah kayu nonpermanen. Kondisi ini cukup menggambarkan bahwa kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Namun saat ini ada beberapa Suku Kamoro bermukim di rumah permanen pemberian dari perusahaan tambang internasional yang beroperasi di Timika. Walau terseret arus modernisasi, tetapi dalam kehidupan sehari-hari suku ini tetap menjalankan warisan tradisi seni ukir. Dari tradisi seni ukir ini mereka dapat mengenal perjalanan hidup nenek moyang Suku Kamoro hingga akhirnya tinggal di Pesisir Selatan Kota Timika. Dari kisah tersebut mereka juga dapat mengetahui asal kata Kamoro yang memiliki arti manusia yang hidup. Sebagai sumber penghidupan, Suku Kamoro mengandalkan hasil laut. Kaum laki-laki bertugas membuat perahu guna mencari ikan. Sementara perempuan membikin sagu sebagai penganan mereka sehari-hari. Ini karena tidak mampu membeli beras. Apalagi mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Rata-rata Suku Kamoro hanya lulusan sekolah dasar dan tidak mampu bersekolah tinggi. Bagi Suku Kamoro, para wanitalah biasanya mencari makan untuk keluarga di tengah hutan. Sementara anak serta menantu pria lebih berperan mengendarai dan menjaga perahu. Mereka harus mencari karaka sebelum matahari terbenam. Sebab pada malam hari akan sulit mencari binatang di hutan bakau. Kaum perempuan Suku Kamoro sangat piawai untuk mengetahui jejak persembunyian karaka. Di tengah pencarian karaka, Suku Kamoro gemar mengudap ulat pohon bakau atau disebut tambelo. Mereka kerap mencari di pohon bakau yang sudah tumbang dan melapuk. Bagi Suku Kamoro, tambelo merupakan sumber protein dan dapat menjaga tubuh mereka dari serangan nyamuk malaria. Tambelo yang layak untuk dimakan adalah berwarna putih bening serta tak terdapat kotoran kulit 14 kayu di dalamnya. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Mimika terhadap Suku Kamoro adalah untuk peningkatan pendapatan penduduk miskin. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain: (1) Bimbingan teknis usaha kecil dan menengah; (2) Bimbingan konsultasi usaha kecil dan menengah; (3) pembuatan depo/warung produk usaha kecil dan menengah; (4) Pembuatan desain 14
Bappeda Kabupaten Mimika. Profil Kabupaten Mimika. 2006, hal 2-3.
16 dan pengadaan produk usaha kecil dan menengah souvenir khas Mimika; (5) Diklat kewirausahaan dan manajemen bagi kelompok usaha kecil dan menengah; (6) pembinan teknis Usaha Skala Mikro; (7) Pasar 15 Rakyat; dan (8) Pembentukan Usaha Kecil sejenis. 2. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian Hal penting dalam melakukan penelitian masalah sosial adalah cara mendapatkan data informasi yang akurat dan objektif karena kesimpulan penelitian hanya akan dipercaya apabila didasarkan pada informasi yang juga dapat dipercaya. Untuk itu setiap item pertanyaan dari variable yang ingin diteliti harus diukur agar mampu memberikan informasi yang valid. Butir instrumen yang mempunyai korelasi positif dengan skor total serta korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa butir instrumen tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,3. jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir instrumen tersebut tidak valid. Berdasarkan uji validitas yang dilakukan dengan menggunakan SPSS 14.0, maka untuk variable pemberdayaan masyarakat diperoleh hasil uji sebagai berikut: Tabel 2.1 Hasil Uji Validitas Variabel Pemberdayaan masyarakat (X) No Item Valid 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Koefisien Korelasi
t hitung
t tabel
Keputusan
0.727 0.566 0.498 0.683 0.710 0.506 0.480 0.448 0.704 0.757 0.761 0.697 0.721 0.779 0.644
15.34322 9.949135 8.322067 13.5506 14.6107 8.501278 7.928999 7.261625 14.36487 16.78868 16.9987 14.08576 15.0783 18.00375 12.19887
1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semua item pertanyaan valid untuk variable pemberdayaan masyarakat , karena nilai r 15
Laporan Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Suku Kamoro dan Amungme. PMD Kabupaten Mimika, 2007.
17 korelasinya lebih besar dari nilai r kritis = 0.3. karena setiap nilai t hitungnya melebihi 1.96, maka semua item adalah valid. Selanjutnya berdasarkan uji validitas yang dilakukan dengan menggunakan SPSS 14.0, maka untuk variable Penanggulangan Kemiskinan (Y) diperoleh hasil uji sebagai berikut: Tabel 2.2 Hasil Uji Validitas Variabel Penanggulangan Kemiskinan (Y) No Item Valid 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Koefisien Korelasi
t hitung
t tabel
Keputusan
0.697 0.657 0.661 0.745 0.382 0.530 0.652 0.651 0.618 0.676 0.584 0.455 0.380 0.689 0.659 0.582 0.679 0.689 0.743 0.671 0.782 0.566 0.342 0.501 0.412
14.08576 12.62893 12.76517 16.18446 5.989971 9.057136 12.46128 12.42809 11.3914 13.29373 10.42553 7.404424 5.953301 13.77634 12.69681 10.37149 13.40299 13.77634 16.0873 13.11433 18.18169 9.949135 5.274078 8.388934 6.552407
1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semua item pertanyaan valid untuk variable penanggulangan kemiskinan, karena nilai r korelasinya lebih besar dari nilai r kritis = 0.3. karena setiap nilai t hitungnya melebihi 1.96, maka semua item adalah valid. 3. Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Reliabilitas adalah tingkat kepercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliable). Walaupun secara teoritis besarnya koefisien reliabilitas sekitar 0,00 s/d 1,00 akan tetapi pada kenyataannya koefisien sebesar 1,00 tidak pernah tercapai dalam pengukuran, karena manusia sebagai subjek penelitian
18 merupakan sumber error yang potensial. Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa : Berdasarkan uji Reliabilitas yang dilakukan dengan menggunakan SPSS 14.0, maka untuk variable Pemberdayaan masyarakat diperoleh hasil uji reliabilitas sebesar 0.789. Hasil uji reliabilitas variable-variabel tersebut menunjukkan reliabilitas hasil ukur yang tinggi. Hal ini berarti instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur dapat dipercaya. Selanjutnya untuk variable Penanggulangan Kemiskinan diperoleh hasil uji reliabilitas sebesar 0.762. Hasil uji reliabilitas variable-variabel tersebut menunjukkan reliabilitas hasil ukur yang tinggi. Hal ini berarti instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur dapat dipercaya. 4. Uji Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian dengan perhitungan statistik menunjukkan bahwa koefisien jalur antara pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan dijelaskan sebagai berikut : - Ho : Tidak ada hubungan linier antara pemberdayaan masyarakat dengan penanggulangan kemiskinan; - Hı : Ada hubungan linier antara pemberdayaan masyarakat dengan penanggulangan kemiskinan. Dengan kriteria uji hipotesis sebagai berikut : - Jika t penelitian > t tabel, maka Ho ditolak dan Hı diterima - Jika t penelitian < t tabel, maka Ho diterima dan Hı ditolak Atau membandingkan besarnya angka signifikansi (sig) penelitian dengan taraf signifikansi sebesar 0,05, dengan kriteria sebagai berikut : - Jika sig penelitian < 0,05, maka Ho ditolak dan Hı diterima - Jika sig penelitian > 0,05, maka Ho diterima dan Hı ditolak Setelah ditentukan hipotesis dan kriteria uji hipotesis, kemudian melihat besarnya angka t penelitian dari hasil penghitungan SPSS 14.0 sebesar 41,923 > t tabel sebesar 1,96. Selain itu dengan membandingkan angka signifikansi penelitian 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan Hı diterima. Artinya ada hubungan linier antara pemberdayaan masyarakat dengan penanggulangan kemiskinan. Besarnya koefisien korelasi antara pemberdayaan masyarakat dengan penanggulangan kemiskinan adalah 0,945. Adapun besarnya koefisien jalur adalah 0,945 atau 94,5 %. Berikut disajikan rekapitulasi hasil perhitungan statistik pengaruh pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan. Tabel 2.5 Koefisien Korelasi, Jalur dan Determinasi antara Pemberdayaan masyarakat terhadap Penanggulangan Kemiskinan
19 No
Koefisien
Notasi
1
Koefisien Korelasi X dengan Y
Ryx
Besar Koefisien 0,945
2
Koefisien Jalur X terhadap Y
Pyx
0,945
3
Koefisien Determinasi X terhadap Y
R
4
Koefisien Determinasi Variabel lain terhadap Y
R2
y 1
0,107
5
Koefisien Jalur Variabel lain terhadap Y
Py1
0,327
2
yx
0,893
Tabel di atas menunjukkan koefisien korelasi antara pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan sebesar 0,945. Hasil uji keberartian terhadap koefisen korelasi diperoleh nilai t hitung = 41.923 > t tabel = 1,96. sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap penanggulangan kemiskinan. Besar koefisien jalur Pyx = 0,945. Hal ini berarti pengaruh pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan adalah sangat kuat (antara 0,90-1.00). Sedangkan koefisien 2
determinasinya R yx = 0,893. pengaruh faktor lain diluar pemberdayaan masyarakat adalah sebesar 10,7 % (nilai kuadrat dari P x ε 1 = 0,327), sedangkan koefisien jalur variabel lain diluar pemberdayaan masyarakat adalah 0,327. IV. Pembahasan Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS.14.0, maka diperoleh hasil bahwa pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan. Ini berarti bahwa semakin baik pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, maka akan semakin membuat penanggulangan kemiskinan berhasil. Begitupun sebaliknya semakin buruk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat , maka akan semakin membuat penanggulangan kemiskinan tidak berhasil. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sumodiningrat bahwa penyebab kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat, sehingga pemerintah perlu melakukan pemberdayaan masyarakat miskin. Secara umum, masyarakat miskin ditandai oleh ketidakberdayaan dalam hal: (1) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar; (2) melakukan kegiatan usaha produktif; (3) menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi; (4) menentukan nasibnya sendiri dan senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik; dan (5) membebaskan diri dari mental
20 dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai martabat dan harga diri 16 yang rendah. Banyak program pembangunan tidak mampu meningkatkan akses masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan dan 17 keterbelakangan dan bahkan gagal dalam mencapai program tersebut. Hal tersebut berarti bahwa banyak kebijakan pemerintah yang dihasilkan untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi sangat jarang yang dapat menyentuh substansi persoalan, khususnya kemiskinan yang terdapat di masyarakat. Bertitik tolak dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan ekonomi, pada akhirnya muncul strategi pembangunan kualitas manusia atau strategy of human approach, strategi ini juga sering dikatakan people centered development (pembangunan yang berpusat pada manusia atau kualitas manusia). Belum teratasinya masalah kemiskinan mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi baru penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh akar permasalahan kemiskinan. Pandangan konvensional menyebutkan kemiskinan sebagai masalah kekurangan modal dan menganggap masyarakat miskin sebagai obyek yang tidak berdaya sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak dari pandangan ini adalah pemerintah kemudian membuat program yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat agar dapat memberi kontribusi dalam kapasitasnya sebagai subyek pembangunan. Dengan keberdayaan yang dimiliki masyarakat, maka diharapkan akan membuat masyarakat tersebut mampu merubah kondisi kehidupannya dari ketertinggalan ekonomi menuju peningkatan kesejahteraan mereka. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya program yang diberikan oleh pemerintah, menyebabkan masyarakat tidak dapat mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Dalam berbagai kasus, terkooptasinya masyarakat miskin dari kehidupan sosial, membuat mereka semakin tidak berdaya untuk menyampaikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dan mengabaikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu penyebab kegagalan kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan di Mimika adalah lemahnya partisipasi masyarakat miskin (ketidakberdayaan) untuk dapat menyampaikan kebutuhan-kebutuhan dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi kebijakan dan program 16
Gunawan Sumodiningrat, Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia Agenda Kini Dan Ke Depan, Bappenas, Jakarta, 2003, hal 2. 17 David C. Korten, Menuju Abad Ke-21: Tindakan Sukarela Dan Agenda Global. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2001, hal 176.
21 pembangunan. Berbagai item program pemberdayaan masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin di Suku Kamoro. Pengambilan suatu keputusan erat kaitannya dengan kemampuan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat miskin, untuk berpartisipasi dalam proses tersebut. Dengan tersedianya ruang partisipasi dan kemampuan menyampaikan aspirasi berarti masyarakat berdaya dan akan dapat mempengaruhi keputusan yang diambil agar sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk itu diperlukan perilaku birokrat yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Supriatna bahwa penanggulangan masyarakat miskin sangat ditentukan oleh kualitas perilaku birokrat yang responsive dalam 18 membuat keputusan dan membina kelompok sasaran penduduk miskin. Selain itu kebiasaan masyarakat Suku Kamoro dalam menjalani kehidupan apa adanya membuat program pemberdayaan ini harus lebih didorong lagi, karena mereka umumnya apatis dalam merespon program yang ditawarkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator jumlah warga yang menjadi sasaran sosialisasi program sangat sedikit, padahal program pemberdayaan ini sudah seringkali disampaikan oleh Kepala Suku dan Kepala Kampung. Sosialisasi program ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat agar dapat mengatasi setiap permasalahan yang menjadi kendala dirinya untuk bangkit melawan ketertinggalan. Program ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap masyarakat Suku Kamoro. Upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat memberikan peluang kepada masyarakat untuk berperan sebagai subyek dan aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Akan tetapi jika sebaliknya, upaya pengentasan kemiskinan hanya melibatkan masyarakat sebagai objek saja maka akan sulit menyentuh akar permasalahannya. Belum teratasinya masalah kemiskinan mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi baru penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh akar permasalahan kemiskinan. Pandangan konvensional menyebutkan kemiskinan sebagai masalah kekurangan modal dan menganggap masyarakat miskin sebagai obyek yang tidak memiliki informasi dan pilihan sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Implikasi dari pandangan ini adalah pemerintah mempunyai peran dominan untuk menyediakan modal dan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Pendekatan ini terbukti kurang optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan karena tidak menyentuh akar masalah kemiskinan, tetapi juga tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin. 18
Tjahya Supriatna. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung : Humaniora Utama Press. 2000, hal 182
22 Pendekatan hak-hak dasar relevan dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi di Indonesia. Proses demokratisasi yang berlangsung selama ini telah membawa perubahan di berbagai bidang. Perubahan itu diharapkan mendorong terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat sehingga pendekatan hak dasar akan sangat penting sebagai indikator dalam mengukur proses dan kinerja politik yang sedang berlangsung. Selain itu, dampak krisis ekonomi dan beban pembayaran utang telah mengurangi kemampuan anggaran negara. Pengakuan terhadap hak-hak dasar memberikan penegasan pentingnya investasi yang mendukung pemenuhan hak-hak dasar, dan mempertajam prioritas alokasi anggaran negara bagi pembangunan manusia.Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri dan adanya perilaku birokrat yang menghormati dan memberi perlindungan serta pemenuhan terhadap hak19 hak dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pendekatan berbasis hak (right based approach) berimplikasi pada perubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat khususnya masyarakat miskin. Pendekatan berbasis hak dalam penanggulangan kemiskinan mengatur kewajiban aparatur birokrat, artinya bahwa aparatur birokrat berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap dan progresif. Menghormati bermakna bahwa negara akan meratifikasi konvensi tentang hak-hak dasar dan menyusun peraturan perundangan yang mendukung perlindungan dan pemenuhan hak dasar, melakukan berbagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terlindungi dan terpenuhinya hak-hak dasar, merumuskan kebijakan yang tidak melanggar hak-hak dasar, dan tidak turut serta dalam pelanggaran hak-hak dasar tersebut. Melindungi bermakna bahwa negara akan melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak-hak dasar dari pelanggaran yang mungkin terjadi atau dilakukan oleh pihak ketiga. Memenuhi berarti bahwa negara akan menggunakan sumberdaya dan sumberdana yang tersedia untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, termasuk menggerakkan secara aktif sumberdaya dari masyarakat, swasta dan berbagai pihak. Pemerintah melalui institusi terkait diharapkan mampu membentuk sistem yang dapat membantu orang-orang miskin dalam kehidupannya. Perilaku birokrat yang responsif terhadap permasalahan orang-orang miskin akan memudahkan dibuatnya kebijakan yang dapat mengatasi persoalan kemiskinan. Perilaku birokrat yang responsif dapat memberi dorongan kepada masyarakat agar mempunyai kepedulian terhadap sesamanya. Kondisi utama bagi terciptanya iklim yang mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat maupun kelembagaan pada kelompok masyarakat miskin adalah perilaku birokrat. Bagaimana suatu birokrat 19
Sumedi Andono Mulyo, op.cit, hal. 3
23 memandang kemiskinan dan cara mengatasi kemiskinan tersebut sangat menentukan tindakan-tindakan yang diambil dalam penanganan suatu program penanggulangan kemiskinan. Dengan kondisi administrasi birokrat yang lebih berorientasi pada kelompok sasaran ini, maka organisasi pembangunan akan lebih mampu menciptakan akses yang terbuka dan sama bagi setiap kelompok masyarakat miskin. Sosok birokrat yang tepat bagi pembangunan msyarakat miskin adalah birokrat harus dapat melaksanakan fungsi empowering, menciptakan iklim agar anggota-anggota masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensinya, baik potensi sosial, intelektual, mental, spiritual, maupun fisiknya secara optimal; dan fungsi integrasi, agar proliferasi kelembagaan, diferensiasi struktural dan fungsional, tekanan penduduk 20 terhadap sumber dan sebagainya tidak mempunyai efek disintegratif. Dengan demikian perilaku birokrat yang demikian harus mampu menumbuhkan self sustaining capacity dan menghilangkan dependency creating masyarakat, dengan secara terencana dan bertahap menyerahkan tanggung jawab dan kewenangan pembangunan kepada masyarakat untuk mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Birokrat tidak lagi sebagai governing dalam rangka merealisasikan rencana pembangunan yang dirumuskan secara sentralistis, akan tetapi bertindak sebagai facilitating, yaitu menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan aspirasi masyarakat tumbuh dan berkembang. Program pemberdayaan masyarakat miskin harus memperhatikan inisiatif dan partisipasi masyarakat, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat akan lebih berhasil jika dirumuskan dan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan bottom up. Untuk dapat melaksanakan pendekatan bottom up tersebut, maka perlu tersedia ruang publik yang dapat dijadikan arena 21 partisipasi masyarakat. Ruang publik dapat dimaknai sebuah arena dimana masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dapat secara mandiri berpartisipasi dalam proses pengelolaan tata pemerintahan, baik pembuatan kebijakan maupun proses pemerintahan sehari-hari. Ruang publik seringkali dikaitkan dengan arena pembuatan kebijakan yang transparan, dimana masyarakat dapat hadir dan menggunakan hak bicara serta hak suara dalam proses tersebut. Pemaknaan atas ruang publik ini tidak hanya terbatas pada makna spasial (berkenaan dengan tempat), tetapi dapat juga berupa forum, pertemuan, maupun media lain yang memberikan peluang bagi publik (masyarakat) untuk mengakses secara terbuka dan adil. Jadi pemberdayaan tidak dimulai dari proses 20
Tjahya Supriatna, op. cit, hal 208 Rr.Suhartini, A. Halim, Imam Khambali, Abd. Basyid. Model-Model Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pesantren. 2005, hal. 12 21
24 pelaksanaannya saja, tapi pemberdayaan dimulai dengan menyusun program bersama-sama masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam kehidupannya. G. Penutup A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data pengaruh pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kebijakan pemberdayaan masyarakat terhadap penanggulangan kemiskinan. Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan tidak cukup hanya memberikan bantuan yang sifatnya charity, ataupun memberi modal. Kemiskinan tidaklah sesederhana itu sehingga dibutuhkan suatu kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang melibatkan seluruh unsur bangsa dengan strategi pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat miskin menjadi subyek untuk menentukan nasibnya sendiri, atau dengan kata lain konsep utamanya adalah memandang inisiatif kreatif rakyat sebagai sumber daya, sementara pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, pendamping, dan stimulator sehingga mereka mampu berkembang. Pemberdayaan masyarakat dengan dimensi proses kegiatan untuk memperkuat keberdayaan masyarakat dan tujuan/hasil yang ingin dicapai dari keberdayaan masyarakat berpengaruh positif dan sangat kuat terhadap penanggulangan kemiskinan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat sangat menentukan penanggulangan kemiskinan. Artinya, semakin baik pemberdayaan masyarakat maka akan diikuti dengan semakin baiknya penanggulangan kemiskinan. Begitupun sebaliknya, semakin buruk pemberdayaan masyarakat, maka akan diikuti dengan semakin buruknya penanggulangan kemiskinan. Konsep baru yang dapat diangkat dan dikembangkan dalam melengkapi dimensi-dimensi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dapat berhasil apabila didukung dengan pendekatan bottom up dengan memperhatikan inisiatif dan aspirasi dari masyarakat. Jadi pemberdayaan masyarakat tidak dimulai pada tahap proses pelaksanaannya saja, tetapi juga dimulai pada tahap perencanaan program. Paradigma inilah yang disebut pemberdayaan masyarakat menjadi masyarakat yang mandiri dan aspiratif. Artinya, masyarakatlah yang merencanakan, melaksanakan dan mengawasi jalannya sebuah program pemerintah untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan. B. Rekomendasi Penelitian ini mengakui adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan
25 kemiskinan. oleh sebab itu penelitian menyarankan perlunya dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, agar di masa yang akan datang dapat terwujud pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan yang lebih baik. Dalam pelaksanaannya pemerintah perlu memperhatikan aspirasi yang berkembang dari bawah (masyarakat), melalui kebijakan memandirikan masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat dapat menentukan sendiri kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya. Selain itu pemerintah perlu melakukan pelatihan terhadap masyarakat penerima manfaat dari program pemberdayaan masyarakat, guna mendorong dan meningkatkan aktivitas, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
26 DAFTAR PUSTAKA Buku David C. Korten, Menuju Abad Ke-21: Tindakan Sukarela Dan Agenda Global, Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, 2001. Dokumen Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural. Bappenas, Jakarta, 2000. Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, 2005, Refika Aditama, Bandung. Gunawan Sumodiningrat, Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia Agenda Kini Dan Ke Depan, Bappenas, 2003, Jakarta. Harun Al Rasyid, Statistik Sosial, Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Pada Institut llmu Pemerintahan, Bandung 2004. Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Buku panduan “Kebijakan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan”. Jakarta, 2005. Laporan Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Suku Kamoro dan Amungme, PMD Kabupaten Mimika, 2007. Moelyarto Tjokrowinoto, Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep Arah dan Strategi, PT. Tiara Wacana, 1993, Yogyakarta : Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Erlangga, Jakarta, 2000. Profil Kabupaten Mimika, Bappeda Kabupaten Mimika, 2007. Rr Suhartini, A. Halim, Imam Khambali, Abd. Basyid, Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pesantren 2005, Yogyakarta Sriharini. 2007. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin, PT. LkiS Pelangi Aksara, 2007, Yogyakarta. Sumedi Andono Mulyo, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas, Jakarta, 2005. Suparjan dan Hempri Suyatno, Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan, 2003, Aditya Media, Yogyakarta. Soetatwo Hadiwiguno dan Agus Pakpahan. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia, Prisma, Jakarta, 2005. Tjahya Supriatna, Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, 2000, Humaniora Utama Press, Bandung. Undang-undang Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
27 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH: STUDI KASUS DI PROVINSI SUMATERA BARAT, *) NUSA TENGGARA BARAT DAN KALIMANTAN SELATAN Asep Ahmad Saefuloh
**)
Abstract This study discussed the policy of human resources management at local state enterprises (BUMD). Researches were conducted in provinces of West Sumatra, South Kalimantan and West Nusa Tenggara. The researcher tried to see the relevance of the policy and the creation of good corporate governance in BUMD. Three main problems confronted by some BUMD disclosed in his finding are poor quality of human resources in general, involvement of regional officials in the management, and lack of implementing provisions. Kata kunci: Birokrasi, Good Corporate Governance, PDAM, Pemangku Kepentingan, Perda. I.
Pendahuluan
A. Latar Belakang Secara umum kondisi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi kinerja yang rendah, menderita kerugian dan tidak efisien. Sebagai contoh, BUMD-BUMD yang dimiliki pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta hanya sedikit yang memberikan kontribusi cukup baik ke kas pemda sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi tersebut terlihat pada tahun 2008 yang hanya menyumbang 0,98 persen 1 terhadap PAD , bahkan target pemasukan PAD tidak pernah tercapai. Potret baik yang diperlihatkan oleh BUMD yang dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta adalah PT Pembangunan Jaya di mana BUMD tersebut telah mampu membentuk holding menjadi BUMD Jaya Group dan sanggup mengelola puluhan anak usaha dengan aset mencapai puluhan triliun *)
Makalah ini merupakan ringkasan dari laporan penelitian tentang “Kebijakan Pengelolaan SDM dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah: Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan” yang dilakukan oleh Penulis tahun 2009. **) Penulis adalah Peneliti Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Penulis dapat dihubungi melalui
[email protected]. 1 “Arah Kebijakan Pendapatan Daerah,” 7 August 2009 (http://www.jakarta.go.id/v70/index. php/en/arah-kebijakan/775-arah-kebijakan-pendapatan-daerah, diakses 9 Desember 2009).
1
dan sebagian diantaranya telah mampu go public, serta telah merambah berbagai jenis usaha. Bahkan BUMD tersebut dalam beberapa hal telah melebihi pencapaian yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara 2 (BUMN). Begitu juga BUMD milik Pemda Sumatera Utara yaitu Bank Sumut yang telah mampu memberikan manfaat yang terbaik bagi 3 pemerintah daerah dan masyarakat luas. Namun demikian di sisi lain, lebih banyak lagi BUMD yang berkinerja buruk dan tidak mampu meraih laba. Sebagai contoh BUMD di Jawa Barat, berdasarkan hasil evaluasi kinerja BUMD tahun 2008 secara agregat kinerja yang dihasilkan kurang menggembirakan. Dari tujuh BUMD, hanya satu yang memberikan kontribusi signifikan pada APBD, 4 yaitu Bank Jabar Banten. Begitu juga di Provinsi Jawa Timur 10 dari 11 BUMD memiliki kontribusi terhadap PAD yang sangat memprihatinkan. Ke-10 BUMD yaitu PT BPR Jatim, PT SIER, PT ASKRIDA, PT PWU Jatim, PT Jatim Krida Utama, PT Jatim Investment Management, PT Jatim Marga Utama, PT Jatim Graha Utama, PT Petrogas Jatim Utama dan PD Air Bersih Provinsi Jatim hanya menyumbang PAD di bawah Rp 5 5 miliar pada tahun 2008. Buruknya kinerja BUMD ini tidak terlepas dari salah urus dalam pengelolaannya atau didirikan tanpa perencanaan yang matang. Padahal sebagai badan usaha milik pemerintah, keberadaannya dibentuk untuk menjadi penggerak bagi dunia usaha sehingga dapat menggali potensi ekonomi daerah dan memanfaatkan sumber daya daerah. Salah urus tersebut, sumber utamanya berawal dari pengelolaan SDM-nya termasuk kompetensi jajaran direksinya. Jika direksinya saja tidak profesional sudah barang tentu pengelolaan perusahaan menjadi tidak baik. Selain masalah SDM-nya, salah urus juga muncul karena pengaturan tentang 6 BUMD belum jelas tidak seperti BUMN. Namun demikian, secara umum salah urus tersebut memperlihatkan masih lemahnya praktik good 7 corporate governance (GCG) di BUMD. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa BUMD masih mengalami ketertinggalan sehingga Presiden dan DPR akan membuat 2
“Membedah Kinerja BUMD DKI Jakarta Ada yang Mulai Sehat, tetapi Lebih Banyak yang Rugi,” 15 Maret 2003 (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/15/eko02.html, diakses 19 Januari 2009). 3 Chaidir Ritonga,”Tantangan Mengelola BUMD,” 5 Desember 2007, WASPADA Online, ( http://www. waspada.co.id/ index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=7910, diakses 15 Januari 2009). 4 Tendi Haruman, “Profesionalisme Pengelola BUMD,” Pikiran Rakyat Online, Kamis, 05 November 2009 (http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail &id=70762, diakses 5 November 2009). 5 “Kontribusi PAD 10 BUMD Memprihatinkan,” 23 November 2009 (http://www. pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=2973, diakses 12 Januari 2010)Desember 2009). 6 “Tirmidzi Taridi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG,” 23 Juli 2008, Bisnis Indonesia, (http://www.madan i-ri. com/2008/07/23/menyehatkan-bumd-dengan-gcg/, diakses 16 Januari 2009). 7 Ibid.
2
aturan tentang BUMD. Hal ini penting karena UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah sudah tidak sesuai untuk menjadi dasar regulasi dalam penyelenggaraan BUMD saat ini karena sudah dinyatakan tidak berlaku. Begitu juga salah satu ketentuan UU No. 5 Tahun 1962 yang perlu diatur lebih baik dalam aturan tentang BUMD adalah masalah kepegawaian. Masalah kepegawaian atau sumber daya manusia (SDM) ini menjadi penting karena kunci maju mundurnya 8 BUMD tergantung pada bagaimana mengelola SDM-nya. Agar dapat memberikan gambaran tentang bagaimana pengelolaan SDM seharusnya dilakukan pada BUMD yang nantinya akan dikaitkan dengan pengaturan BUMD dalam suatu undang-undang, maka menarik untuk melakukan penelitian terhadap BUMD terutama dilihat dari perspektif SDM. B. Permasalahan Buruknya kinerja BUMD yang dikaitkan dengan SDM dapat dilihat pada beberapa aspek, yaitu: pertama, orang-orang yang berada di jajaran direksi berasal dari mantan pejabat yang tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan bisnis; kedua, posisi puncak BUMD sebagai bagian dari posisi balas budi politik sehingga BUMD tidak diisi dengan manajemen dan SDM profesional; ketiga, jajaran direksi tidak 9 mampu membuat kondisi keuangan BUMD menjadi sehat, padahal tanpa memiliki modal pun seharusnya BUMD bisa tetap bekerja dengan 10 baik jika dikelola oleh SDM profesional. Latar belakang direksi ini menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut karena akan mengambarkan bagaimana keberhasilan dalam mengelola suatu perusahaan. Buruknya kinerja BUMD juga disebabkan oleh paradigma 11 pengelolaan BUMD dengan pendekatan birokratik, padahal saat ini perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta dituntut menerapkan paradigma baru yaitu mempraktekkan GCG, suatu pendekatan holistik yang menyentuh semua pemangku kepentingan. Namun saat ini BUMD lebih berfokus kepada direksi dan komisaris, tetapi pemangku 12 kepentingan lainnya belum diperhatikan secara maksimal. Dengan 8
“BUMD Bisa Berdayakan SDM Sipil di Luar Pemerintah,” 30/11/07 (http://www. kapanlagi.com/h/0000202280.html, diakses 15 Januari 2009) 9 “Politik Balas Jasa di Balik Kerugian BUMD,”10 September 2008 (http://www.indonesiamonitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=272&Itemid=39, diakses 19 Januari 2009). 10 “Lowongan Direktur BUMD Dibuka,” Jumat, 03 Agustus 2007 (http://sijorimandiri. net/jl/index.php?option=com _content&task=view&id=13519&Itemid=87, diakses 19 Januari 2009). 11 Ngadi dan Aliansyah Abdurahman, ”Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah: Perspektif Sumber Daya Manusia”, disampaikan dalam acara diskusi tentang Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekreariat Jenderal DPR RI pada 12 November 2009. 12 Taridi, op.cit.
3
pendekatan GCG dalam pengelolaan SDM, para pengelola akan menghitung secara cermat berapa sebenarnya kebutuhan tenaga kerja 13 sehingga tercipta efektivitas. Karena itu persoalan GCG menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut karena akan mengambarkan bagaimana keberhasilan dalam mengelola suatu perusahaan. Hal lain yang dapat menyebabkan pelaksanaan GCG relatif lemah di BUMD adalah dasar hukum pembentukan BUMD berdasarkan peraturan daerah (perda) yang masih belum menyesuaikan dengan 14 perkembangan prinsip pengelolaan perusahaan modern. Karena itu persoalan dasar hukum ini menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut guna mengetahui keberhasilan dalam mengelola suatu perusahaan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah utama yaitu bagaimana kebijakan pengelolaan SDM pada BUMD? Permasalahan tersebut dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang direksi di BUMD? 2. Bagaimana pengelolaan SDM dilakukan? 3. Bagaimana regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan SDM pada BUMD? C. Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian terhadap kebijakan pengelolaan SDM pada BUMD adalah untuk mendapatkan pemahaman bagaimana kebijakan pengelolaan SDM dilakukan selama ini terutama dikaitkan dengan penerapan GCG dan bagaimana pengelolaan SDM harus dilakukan ke depannya, terutama dikaitkan dengan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang BUMD. D. Kerangka Pemikiran Paradigma GCG menjadi isu global sejak tahun 1980-an, tetapi di Asia, termasuk Indonesia, paradigma ini baru dibicarakan setelah krisis moneter tahun 1997-1998. Munculnya isu paradigma GCG karena berbagai perusahaan kolaps sebagai dampak dari praktik bisnis tidak sehat, seperti manipulasi informasi keuangan, pengelembungan laba perusahaan dan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan manajemen, serta lemahnya peran dewan komisaris. Buruknya praktek pengelolaan perusahaan telah merugikan pemilik saham minoritas dan 15 para pemangku kepentingan lainnya. 13
“BUMN dan BUMD, Sama Saja,” 25 Maret 2006,(http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia - BUMN-dan-BUMD-Sama-Saja, diakses 16 Januari 2009). 14 Tidak seperti perusahaan terbatas yang sudah mengacu pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Melalui UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan terbatas sudah mengadopsi pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan modern tetapi dasar pembentukan suatu BUMD. 15 Iriyadi,”Indofarma Ready For GCG,” Oasis, Edisi Maret-April 2007, hal.5
4
Definisi GCG menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemangku kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain GCG adalah suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Adapun tujuan diterapkannya GCG adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi 16 semua pihak yang berkepentingan. Secara konseptual GCG nantinya dapat meningkatkan secara signifikan baik nilai di internal perusahaan maupun level makro yang akan berpengaruh pada nilai pasar perusahaan. Untuk mengembangkan GCG terdapat tiga elemen pokok yang berkaitan erat dengan membangun intangible value korporasi. Pertama, board governance yaitu mengatur di tingkat dewan komisaris dan direksi, meliputi keanggotaan, nominasi dan pengangkatan, independensi, keahlian dan pengalaman, serta kinerja berikut monitor dan evaluasinya. Kedua, business governance yang meliputi perencanaan strategi bisnis berikut implementasinya, manajemen resiko, informasi dan pelaporan, konsultasi bisnis dan komunitasnya. Ketiga, employee governance yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan pegawai dan code of conduct yaitu 17 pedoman berperilaku dari organ utama sampai organ pendukung. Pegawai atau SDM menjadi penting dalam GCG karena pada dasarnya SDM merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan organisasi. Karena itu pengelolaan SDM ditujukan untuk mengatur dan mengurus SDM berdasarkan visi dan strategi perusahaan agar tujuan perusahaan/organisasi dapat dicapai secara optimal. Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Para manajer harus mengaitkan pelaksanaan manajemen SDM dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi 18 dan fleksibilitas. Hal tersebut memperlihatkan bahwa SDM bersifat strategis karena memberikan nilai tambah (added value) dan menjadi 19 tolok ukur keberhasilan bisnis. Perlunya pendekatan baru dalam pengelolaan SDM dikarenakan menurut Drucker sekarang ini tenaga kerja cenderung tidak dapat diatur seperti generasi yang lalu. Pola yang berubah ini menuntut pengetahuan baru dan cara manajemen yang baru, yaitu mengacu kepada 20 pengetahuan, pendidikan, pelatihan, dan keahlian tenaga kerja. 16
Ibid, p.6. Alman Faluti,”Inside GCG Tingkatkan Nilai Perusahaan,” Oasis , Edisi Maret-April 2007, hal.8. 18 John M. Ivancevich, Human Resources Management. New York: McGraw, Hill, International Edition, 2007, hal.31-33. 19 Angela Baron dan Michael Armstrong, Human Capital Management, Achieving Added Value Through People, Kogan Page, London and Philadelphia 2007, hal 62. 20 Peter Drucker, “The Coming of the New Organization,” Harvard Business Review. JanFeb 1988, hal.1-19. 17
5
Penanganan SDM dikatakan berhasil jika manajemen SDM sudah merencanakan penerapan dan integrasi pertumbuhan pegawai secara penuh, mencakup program pelatihan, alur pengembangan karier, penilaian/proses kesadaran pribadi, kompensasi, pemberian wewenang, dan hasil terukur, serta setiap unit kerja sudah menguasai pegawainya melalui kelompok fungsional dan pembagian informasi yang sesuai 21 dengan fungsi masing-masing. Pengelolaan SDM lebih lanjut di perusahaan diterjemahkan sebagai suatu rencana menyeluruh dan secara penuh terhadap pengembangan SDM dengan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap penigkatan kualitas secara penuh. Setiap pegawai mendapatkan reward untuk setiap prestasi. Untuk mencapai penanganan SDM dapat dinilai dari komponen-komponen perencanaan dan pengelolaan SDM, peningkatan pegawai, pendidikan dan pelatihan, 22 kinerja pegawai dan pengakuan, serta kepuasan pegawai. Penanganan SDM dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi menunjukkan bahwa hasil dari investasi non-fisik jauh lebih tinggi 23 dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik. Berkaitan dengan elemen board governance yaitu mengatur di tingkat dewan komisaris dan direksi, dan elemen business governance yang meliputi pengelolaan perusahaan sangat terkait dengan regulasi bentuk perusahaan tersebut. Jika berbentuk perusahaan terbatas maka mengacu pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Melalui UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan terbatas sudah mengadopsi prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan modern. Bahkan secara tegas dalam penjelasan undangundang tersebut dinyatakan mengunakan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (GCG). Lebih lanjut masalah GCG pada BUMN diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara. Khusus untuk BUMD, sebelumnya pembentukan BUMD didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, tetapi undang-undang tersebut sudah dicabut. Tetapi bila dilihat substansinya undang-undang tersebut juga masih belum sesuai dengan perkembangan prinsip pengelolaan perusahaan modern. Saat ini dasar hukum pembentukan BUMD adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Daerah. Umumnya pengaturan tentang SDM, khusus 21
Jon Ingham, Strategic Human Capital Management, Creating Value through People, Butterworth-Heinemann, 2007, hal.207-232. 22 William P. Anthony, Pamela L. Perrewe dan K. Michelle Kacmar, Human Resource Management, A Strategic Approach. Thrid Edition. Orlando, Florida: The Dryden, Harcourt Barke College Publisher, 1996, hal.48-52. 23 Ingham,op.cit, hal.234-235.
6
untuk perusahaan daerah masih mengacu kepada Permendagri dan departemen teknis terkait. Dan secara khusus, status perusahaan daerah yang memiliki peraturan yang jelas untuk pengelolaan SDM adalah untuk Perusahaan Daerah Air Minum, yaitu Permendagri No.2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. II. Metodologi A. Metode Analisis data Analisis yang digunakan untuk melihat kebijakan pengelolaan SDM pada BUMD adalah analisis deskriptif yaitu analisis dengan mendasarkan pada data primer dan sekunder, yang kemudian dari hasil pembahasan diambil kesimpulan dan rekomendasi. Untuk keperluan analisis dilakukan studi literatur dan penelitian lapangan. Studi literatur dipergunakan untuk memperluas pemahaman serta mendukung analisis. B. Waktu dan Tempat Penelitian lapangan dilakukan di tiga provinsi, yaitu: Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan tiga provinsi tersebut untuk menggambarkan studi kasus yang dilihat dengan dasar perbedaan karakteristik letak geografis, yaitu barat, tengah, dan timur. Adapun waktu penelitian lapangan adalah sebagai berikut: penelitian lapangan di Provinsi Sumatera Barat dilakukan pada tanggal 27 April sampai 3 Mei 2009; penelitian lapangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dilakukan pada tanggal 10 sampai 17 Juli 2009; dan, penelitian lapangan di Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan pada tanggal 2 sampai 9 Oktober 2009. C. Cara Pengumpulan Data Adapun data yang digunakan bersumber dari data primer dan sekunder. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan wawancara terhadap informan. Informan yang dimaksud adalah pejabat di instansi terkait dan jajaran dari BUMD. Instansi yang dimaksud adalah Dinas Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Biro Pusat Statistik, Badan Pengelola Keuangan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Terbatas (Perseroan). Sedangkan untuk data sekunder berasal dari literatur dan sumber lainnya seperti surat kabar, majalah, dan internet. III. Hasil Penelitian 1. Studi Kasus di Provinsi Sumatera Barat
7
Berdasarkan studi kasus terhadap BUMD yang ada di Provinsi Sumatera Barat, pembahasan difokuskan pada BUMD yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memiliki empat BUMD yang berstatus perseroan terbatas. Adapun BUMD yang dimaksud adalah PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, PT Andalas Tuah Sakato, PT Dinamika Jaya Sumatera Barat dan PT Grafika Jaya Sumatera Barat. Sedangkan Kota Padang hanya memiliki satu BUMD yaitu PD PAM Kota Padang. Begitu juga Kota Bukittinggi hanya memiliki satu BUMD yang berstatus sebagai perusahaan Daerah, yaitu PD PAM Kota Bukittinggi. BUMD yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat umumnya memiliki direksi yang berasal dari profesional dan ada juga yang berasal dari birokrat yang sudah pensiun. Hal ini sangat berbeda dengan BUMD yang dimiliki oleh Kota Bukittinggi, dimana direksinya berasal dari kalangan birokrasi. Hal ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai perusahaan daerah dimana terdapat regulasi yang 24 memungkinkan adanya intervensi Kepala Daerah yaitu Permendagri No.2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Namun itu bukan keharusan yang bersifat mutlak, karena pada PD PAM Kota Padang direksinya berasal dari profesional di luar perusahaan. Adapun persyaratannya adalah batas usia direksi yang berasal dari luar PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 50 (lima puluh) tahun sedangkan batas usia direksi yang berasal dari PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun. Jabatan direksi berakhir pada saat yang bersangkutan berumur paling tinggi 60 (enam puluh) tahun. Adapun pengaturan pengangkatan direksi ditetapkan dengan keputusan kepala daerah serta pengangkatan anggota direksi dan dewan pengawas ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Dalam hal pengelolaan SDM, dibedakan antara jabatan struktural perusahaan dan bukan. Untuk jabatan struktural perusahaan umumnya diatur dalam peraturan daerah tentang pembentukan BUMD yang bersangkutan. Untuk perseroan terbatas mengacu kepada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana perusahaan dipimpin oleh direksi yang terdiri atas seorang direktur utama dan sebanyakbanyak tiga orang direktur sesaui dengan tuntutan dan perkembangan perusahaan. Prakteknya di PT BPD Sumatera Barat (Nagari), pengangkatan direksi berasal dari pejabat karir, dimana persyaratan untuk menjadi direksi selain diatur dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga harus memiliki kemampuan manajemen resiko 25 level 5. Tentu saja kemampuan tersebut hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang berlatar belakang perbankan (bankir). Adapun untuk BUMD yang ada di Kota Padang yaitu PD PAM Kota Padang dan Kota 24
Wawancara dengan Pejabat Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, pada 28 April 2009. Wawancara dengan salah satu kepala Divisi PT BPD Sumatera Barat (Nagari), pada 30 April 2009. 25
8
Bukittinggi yaitu PD PAM Kota Bukittinggi, karena berstatus perusahaan daerah pengangkatan direksi masih mendapatkan intervensi dari kepala daerah, dalam hal ini harus mendapatkan persetujuan kepala daerah. Untuk PD PAM Kota Padang terdapat dua PNS yang memegang jabatan struktural dan begitu juga di PD PAM Kota Bukittinggi masih terdapat 26 seorang PNS yang menjabat direktur. Perencanaan SDM pada perusahaan merupakan persoalan internal perusahaan daerah baik yang berstatus perseroan terbatas maupun perusahaan daerah. Secara khusus untuk perusahaan daerah, pengangkatan dan pemberhentian pegawai diatur dalam peraturan daerah dan untuk perusahaan air minum diatur oleh Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Dari dua PD PAM tersebut, kebutuhan jumlah pegawai ditentukan oleh perencanaan internal perusahaan. Namun ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan nasional, misalnya dalam perusahaan PDAM atau PD PAM, sesuai dengan tuntutan Millenium Development Goals (MDGs) diusahakan pelanggan air bersih sekurang-kurangnya mencapai 80 persen dari rumah tangga yang ada. Untuk itu perencanaan SDM menyesuaikan terhadap itu. Dari dua kasus perusahaan daerah tersebut belum menunjukan salah satu indikator GCG, karena kebutuhan SDM 27 belum disesuaikan dengan pelanggan dan masyarakat secara luas sehingga berdampak pada buruknya layanan yang diberikan. Namun agak berbeda dengan kasus PT BPD Nagari yang sudah mengarah kepada GCG. Hal ini terlihat dari berbagai program pengembangan SDM 28 yang dimiliki serta dengan baiknya kinerja perusahaan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas SDM sangat dirasakan oleh BUMD-BUMD yang dimiliki Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Secara khusus misalnya PT Grafika merasakan sekali kurangnya kompetensi SDM yang dimiliki. Ini muncul karena dulunya perusahaan ini adalah perusahaan daerah yang menangani percetakan buku. Tetapi dengan semakin berkembangnya perusahaan yang merambah pada percetakan maka perusahaan mengalami kekurangan SDM di bidang itu. Karena itu untuk pengembangan SDM ke depan akan dititikberatkan pada rekrutmen sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan yaitu desain grafis dan akuntansi. Disamping itu perusahaan giat memberikan berbagai pendidikan tambahan kepada 29 para pegawainya termasuk pengembangan motivasi kerja. Begitu juga perusahaan daerah air minum mengalami kekurangan kompetensi SDM terutama kemampuan SDM dalam mendeteksi kebocoran atau 26
Wawancara dengan Direksi PD PAM Kota Bukittinggi pada 29 April 2009 dan Direksi PD PAM Kota Padang pada 30 April 2009 . 27 Wawancara dengan Direksi PD PAM Kota Bukittinggi pada 29 April 2009 dan Direksi PD PAM Kota Padang pada 30 April 2009 . 28 Terbukti dengan beberapa penghargaan yang diterima oleh PT Bank Nagari. Tak kalah penting PT Bank Nagari merupakan pelopor BPR yang memiliki cabang di luar daerah. Wawancara dengan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, pada 28 April 2009. 29 Wawancara dengan Direksi PT Grafika, pada 30 April 2009.
9
30
penguasaan teknologi pencarían sumber air. Karena itu berbagai pelatihan teknis diberikan untuk karyawannya. Berkaitan dengan regulasi, pengelolaan SDM di BUMD tidak diatur secara khusus dalam suatu perda. Adapun perda-perda umumnya hanya mengatur tentang pengurus, yaitu pengaturan tentang komposisi, pengangkatan dan persyaratan direksi dan komisaris. Secara khusus untuk PDAM mengacu kepada Permendagri No.2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. 2. Studi Kasus Di Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan studi kasus terhadap BUMD yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pembahasan ditujukan pada BUMD yang dimiliki oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki empat BUMD yang berstatus perseroan terbatas. Adapun BUMD yang dimaksud adalah PT Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat, PT Gerbang Nusa Tenggara Barat Emas, PT Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Nusa Tenggara Barat dan PT Daerah Maju Bersaing. Sedangkan Kotamadya Mataram dan Kabupaten Lombok Barat memiliki BUMD bersama yaitu PD PAM Menang Mataram. Dari BUMD yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki direksi yang berasal dari profesional, juga mantan pejabat dan pejabat aktif. Begitu juga BUMD yang berbentuk PD PAM dan dimiliki bersama oleh Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, direksinya berasal dari kalangan profesional. Hal inilah yang membedakan dengan PDAM di Provinsi Sumatera Barat. Dalam hal pengelolaan SDM, untuk jabatan struktural perusahaan umumnya diatur dalam peraturan daerah tentang pembentukan BUMD yang bersangkutan. Untuk perseroan terbatas dipimpin oleh direksi yang terdiri atas seorang direktur utama dan sebanyak-banyak tiga orang direktur dengan tuntutan dan perkembangan perseroan dan diangkat oleh RUPS. Adapun BUMD yang berstatus perusahaan daerah pengangkatan direksi sangat memungkinkan mendapatkan intervensi dari kepala daerah, dalam hal ini harus mendapatkan persetujuan kepala daerah. Namun demikian untuk PD PAM Menang Mataram tidak terdapat PNS yang memegang jabatan 31 struktural. Sama halnya dengan studi kasus di Sumatera Barat, pengangkatan direksi pengaturannya didasarkan pada Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Dalam hal pengelolaan SDM seperti pengangkatan dan pemberhentian pegawai dalam perseroan terbatas diatur dalam 30
Wawancara dengan Direksi PD PAM Bukit Tinggi, pada 28 April 2009 dan Direksi PD Kota Bukittinggi, pada 30 April 2009. 31 Wawancara dengan Direksi PDAM Menang Mataram, 16 Juli 2009.
10
peraturan internal perusahaan, dan khusus PD PAM Menang Mataram mengacu pada Permendagri No.2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Dalam melihat praktek perencanaan SDM, untuk kasus PD PAM Menang Mataram belum memenuhi salah satu indikator GCG, karena kebutuhan SDM belum 32 disesuaikan dengan pelanggan dan masyarakat secara luas. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas SDM sangat dirasakan oleh BUMD-BUMD yang dimiliki Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Secara khusus PD PAM Menang Mataram memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan 33 kompetensi pegawainya. Sama halnya dengan di Provinsi Sumatera Barat, berkaitan dengan regulasi, pengelolaan SDM pada BUMD tidak diatur secara khusus dalam suatu perda. Adapun perda-perda umumnya hanya mengatur tentang pengurus, yaitu pengaturan tentang komposisi, pengangkatan dan persyaratan direksi dan komisaris. Untuk PDAM secara khusus mengacu kepada Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. 3. Studi Kasus Di Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan studi kasus terhadap BUMD yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, pembahasan difokuskan pada BUMD yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Barito Kuala. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memiliki tiga BUMD yang berstatus perusahaan daerah. Adapun BUMD yang dimaksud adalah PD Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan, PD Bangun Banua dan PDAM Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan Kabupaten Barito Kuala memiliki PD PAM Barito Kuala. BUMD yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan umumnya memiliki direksi yang berasal dari profesional, kecuali PD PAM direktur utamanya berasal dari PNS. Begitu juga BUMD yang dimiliki oleh Kabupaten Barito Kuala dimana direksinya berasal dari kalangan profesional. Namun adanya juga yang berasal dari PNS terutama sifat perbantuan karena kekurangan SDM yang menanganinya. Sebagai contoh di PDAM Barito Kuala, untuk kepala bagian teknis 34 diambil dari Dinas Pekerjaan Umum. Dan komposisi pegawai selain direksi, semua perusahaan daerah memiliki karyawan yang berstatus pegawai perusahaan daerah atau tidak ada lagi yang berstatus sebagai PNS. Untuk BUMD yang berstatus perusahaan daerah pengangkatan direksi sangat memungkinkan mendapatkan intervensi dari kepala daerah, dalam hal ini harus mendapatkan persetujuan kepala daerah. Hal 32
Wawancara dengan Direksi PD PAM Kota Padang pada 30 April 2009. Wawancara dengan Direksi PD PAM Kota Padang pada 30 April 2009. 34 Wawancara dengan Direksi PDAM Barito Kuala 6 Oktober 2009. 33
11
35
ini terlihat dari adanya PNS yang memegang jabatan struktural pada PDAM. Sama halnya dengan studi kasus di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, pengangkatan direksi pengaturannya didasarkan pada Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Dalam hal pengelolaan SDM, seperti pengangkatan dan pemberhentian pegawai dalam perusahaan daerah umumnya mengacu kepada peraturan internal perusahaan. Khusus untuk PDAM mengacu kepada Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dan peraturan departemen teknis. Kasus perusahaan daerah tersebut PDAM Provinsi Kalimantan Selatan sudah menunjukkan GCG karena kebutuhan SDM sudah 36 disesuaikan dengan pelanggan dan masyarakat sehingga berdampak pada semakin baiknya layanan yang diberikan. Tetapi kondisi ini tidak terjadi pada PD PAM Barito Kuala. Keberhasilan pengelolaan SDM di PDAM Provinsi Kalimantan Selatan tidak terlepas dari keberadaan direktur utama-nya yang memiliki kemampuan profesionalitas yang tinggi meskipun dia seorang birokrat. Latarbelakang birokrasi tidak menjadikan gaya pengelolaan perusahaan mengikuti pola birokrasi, tetapi menerapkan gaya pengelolaan seorang profesional termasuk bagaimana menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan modern, misalnya bagaimana dia menerapkan strategic management dalam pengelolaan perusahaan. Karena profil direktur utamanya memiliki kemampuan profesionalitas yang tinggi mampu memperbaiki perusahaan yang tidak sehat menjadi sehat dan menguntungkan. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas SDM sangat dirasakan oleh BUMD-BUMD yang dimiliki Provinsi Kalimantan Selatan. Di samping itu, perusahaan giat memberikan berbagai pendidikan tambahan kepada para pegawainya yang umumnya dibutuhkan untuk standar kompetensi, misalnya pada PD BPD Kalimantan Selatan pelatihan yang diberikan adalah Manajemen, ALMA-Syariah, Pelatihan Pemimpinan, Workshop 37 Budgeting and Monitoring dan sebagainya. Sementara itu PDAM memberikan pendidikan yang sesuai dengan bidangnya yang pengembangan pendidikannya dilakukan melalui Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) misalnya pendidikan untuk 38 menunjang terhadap sertifikasi bagi kepala bagian dan direktur. Sama halnya dengan dua provinsi sebelumnya, berkaitan dengan regulasi, pengelolaan SDM BUMD tidak diatur secara khusus dalam suatu perda. Adapun perda-perda umumnya hanya mengatur 35
Wawancara dengan Direksi PDAM Povinsi Kalimantan Selatan, 5 Oktober 2009, dan Direksi PDAM Barito Kuala 6 Oktober 2009. 36 Wawancara dengan Direksi PDAM Povinsi Kalimantan Selatan, 5 Oktober 2009. 37 Laporan Tahunan Bank BPD Kalimantan Selatan, 2006 dan 2007. 38 Wawancara dengan Direksi PDAM Barito Kuala 6 Oktober 2009.
12
tentang pengurus, yaitu pengaturan tentang komposisi, pengangkatan dan persyaratan direksi dan komisaris. Sedangkan untuk Perusahaan Daerah mengacu kepada Permendagri No.3 Tahun 1998 tentang Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Daerah dan khusus PDAM mengacu kepada Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. IV. Analisis 1. Pengangkatan Direksi Berdasarkan studi kasus terhadap BUMD yang ada, diketahui bahwa berkaitan dengan latar belakang direksi umumnya perseroan terbatas memiliki jajaran direksi yang berasal dari kalangan profesional, namun sebagian ada yang berasal dari PNS. Pemilihan kalangan profesional ini sejalan dengan statusnya sebagai perseroan terbatas, dimana kepentingan ekonomi merupakan motif pendirian perusahaan. Untuk itu penyerahan kepada profesional menjadi penting agar perusahaan dapat menghasilkan laba yang signifikan. Namun demikian, kalangan profesional tersebut umumnya berasal dari kalangan internal sendiri. Sementara di perusahaan daerah jajaran direksi umumnya berasal dari birokrasi dan sebagian sudah mulai ada yang menyerahkannya kepada profesional. Direksi yang umumnya berasal dari birokrasi terdapat pada PDAM. Di perusahaan daerah tersebut untuk jajaran posisi manajerial juga terdapat posisi yang dijabat oleh PNS aktif. Keterlibatan PNS ini memiliki konsekuensi adanya intervensi dalam pengambilan keputusan terutama jika PNS tersebut memegang jabatan puncak. Masih adanya keterlibatan PNS dalam jajaran direksi ini dilakukan dengan alasan perusahaan daerah memadukan antara kepentingan ekonomi dan sosial. Keberadaan PNS dapat menjadi jembatan dalam pengelolaan tujuan sosialnya. Untuk BUMD yang berbentuk perseroan terbatas dalam hal pengangkatan direksi tunduk pada ketentuan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan peraturan tersebut maka direksi diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Adapun persyaratan untuk menjadi direksi adalah: warga negara yang berdomisili di Indonesia; bertaqwa kepada Tuhan YME; berkepribadian baik; sehat jasmani dan rohani; memiliki pengetahuan mengenai perusahaan dan dunia usaha; setia dan taat kepada negara; memiliki kemauan dan integritas yang tinggi; tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan; tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam kegiatan pengkhianatan negara atau melakukan kegiatan yang merugikan negara. Direksi sebelum diangkat membuat kontrak kerja dengan pemegang saham pada RUPS dengan mengajukan program kerja dan target yang harus dicapai. Adapun kinerja direksi dievaluasi setiap pelaksanaan RUPS dan bila direksi dianggap gagal dapat diganti
13
sebelum berakhir masa jabatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai direksi ditetapkan di dalam anggaran dasar. Dalam hal pengangkatan jabatan direktur yang menggunakan pendekatan GCG sudah terjadi pada BUMD yang berbentuk perseroan, yaitu di PT BPD Sumatera Barat (Nagari), dimana pengangkatan direksi harus memiliki kemampuan manajemen resiko level 5. Dalam kontek GCG apa yang dilakukan oleh PT BPD Sumatera Barat (Nagari) adalah menerapkan business governance yang baik. Dengan dimilikinya standar manajemen resiko bagi jajaran direksi, mekanisme ini akan menjamin kinerja keuangan perusahaan menjadi lebih baik karena mampu menghindari resiko dalam pengelolaan perusahaan. Bagi BUMD berbentuk perusahaan daerah hanya PDAM yang mempunyai pengaturan yang jelas, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum, direksi diangkat oleh kepala daerah atas usul dewan pengawas, di mana batas usia direksi yang berasal dari luar PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 50 (lima puluh) tahun sedangkan batas usia direksi yang berasal dari PDAM pada saat diangkat pertama kali berumur paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun. Jabatan direksi berakhir pada saat yang bersangkutan berumur paling tinggi 60 (enam puluh) tahun. Adapun persyaratan untuk menjadi direktur adalah: mempunyai pendidikan Sarjana Strata 1(S-1); mempunyai pengalaman kerja 10 tahun bagi yang berasal dari PDAM atau mempunyai pengalaman kerja minimal 15 tahun mengelola perusahaan bagi yang bukan berasal dari PDAM yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari perusahaan sebelumnya dengan penilaian baik; lulus pelatihan manajemen air minum di dalam atau di luar negeri yang telah terakreditasi dibuktikan dengan sertifikasi atau ijazah; membuat dan menyajikan proposal mengenal visi dan misi PDAM; bersedia bekerja penuh waktu; tidak terikat hubungan keluarga dengan kepala daerah/wakil kepala daerah atau dewan pengawas atau direksi lainnya sampai derajat ketiga menurut garis lurus atau ke samping termasuk menantu dan ipar; dan, lulus uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh tim ahli yang ditunjuk oleh kepala daerah. Selanjutnya pengaturan pengangkatan direksi ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Sedangkan persyaratan anggota dewan pengawas pada PDAM adalah harus memenuhi persyaratan: menguasai manajemen PDAM; menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; dan tidak terikat hubungan keluarga dengan kepala daerah/wakil kepala daerah atau; dewan pengawas yang lain atau direksi sampai derajat ketiga baik menurut garis; lurus atau ke samping termasuk menantu dan ipar. Sama halnya dengan pengangkatan anggota direksi, pengangkatan dewan pengawas ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Keberadaan PNS dalam perusahaan daerah memang telah menjadi bahan perdebatan ketika berbicara mengenai pengelolaan
14
perusahaan daerah. Kebanyakan analisis diarahkan pada kinerja perusahaan yang jelek karena pengelolaannya oleh PNS. Pada dasarnya keterlibatan PNS dalam jabatan struktural perusahaan tidak menjamin pengelolaan menjadi lebih buruk karena pada dasarnya kompetensi keprofesionalan seseorang yang lebih menentukan keberhasilan pengelolaan perusahaan. Hal ini jelas diperlihatkan oleh contoh berdasarkan survei pada perusahaan PDAM Provinsi Kalimantan Selatan. Namun yang menarik adalah pengisian PNS hanya terjadi pada direktur utamanya, sementara yang lainnya diisi oleh kalangan internal. Hal ini sejalan dengan penerapan GCG di mana ada pembatasan bagi jajaran direksi yang berasal dari luar kalangan internal. 2. Pengelolaan SDM Dalam hal pengelolaan SDM terdapat perbedaan mendasar antara perseroan terbatas dengan perusahaan daerah. Jika pada perseroan terbatas lebih bersandar pada anggaran dasar perusahaan dan pengaturan teknisnya diatur dalam peraturan perusahaan yang bersangkutan, begitu juga pada perusahaan daerah pengelolaan diatur dalam peraturan internal perusahaan, maka khusus perusahaan daerah berbentuk PDAM bersandar pada peraturan menteri dalam negeri. Selanjutnya pengelolaan SDM juga harus ditentukan berdasarkan bentuk perusahaan daerah sendiri. Kedua bentuk tersebut akan membedakan dalam cara pengelolaannya termasuk status kepegawaiannya. Sedikit sekali BUMD yang sudah mempraktekkan GCG. Hal ini terlihat dari pengisian kebutuhan SDM yang belum disesuaikan dengan pelanggan, dan masyarakat secara luas sehingga berdampak pada buruknya layanan yang diberikan oleh perusahaan daerah. Namun demikian perusahaan daerah yang sudah mempraktekan salah satu indikator GCG dalam perencanaan pegawainya adalah PDAM Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan mencocokkan kebutuhan pegawai dengan pelanggan menjadikan PDAM Provinsi Kalimantan Selatan sanggup memenuhi permintaan kebutuhan air di wilayah kerja perusahaan tersebut. Sedangkan dilihat dari pengembangan SDM yang sudah mempraktekkan salah satu indikator GCG adalah BUMD yang berstatus perseroan terbatas yaitu PT BPD Nagari. Hal tersebut terlihat dari berbagai program pengembangan SDM yang dimiliki yang disejalankan dengan tujuan peningkatan kinerja perusahaan. Hal ini menjadikan PT BPD Nagari mampu meluaskan jaringan kerjanya dan telah mampu membuka cabang di luar Provinsi Sumatera Barat. Sementara itu perseroan terbatas lainnya belum mempraktekkan GCG. Hal ini diperkuat oleh studi Taridi (2009) bahwa di luar Bank Pembangunan Daerah, BUMD-BUMD umumnya memiliki skor GCG yang masih lebih rendah dibandingkan dengan BUMN dan perusahaan swasta yang telah go public. Diantara BUMN dan BUMD, umumnya BUMN mempunyai GCG yang lebih baik. Jika dilihat lebih lanjut, kecenderungan
15
tersebut sangat terkait dengan adanya instansi yang mengatur, mengawasi dan membina kelompok perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan yang sudah go public umumnya mempunyai GCG yang baik karena ada standar dan peraturan yang ketat baik dari Bapepam-LK maupun otoritas bursa yang harus diikuti. Bank Pembangunan Daerah juga relatif sudah mulai menerapkan praktik GCG karena ada institusi Bank Indonesia yang secara rutin mengawasi pelaksanaan GCG di BPDBPD tersebut. Sebaliknya, yang menjadi permasalahan adalah BUMD yang bukan bank dan belum go public karena tidak ada instansi yang secara khusus dan ketat memberikan pedoman dan pengawasan atas 39 pelaksanaan GCG di BUMD tersebut. Untuk meningkatkan kinerjanya, perusahaan daerah sudah saatnya merubah paradigma pengelolaan dari pola birokratik menuju GCG. Penerapan GCG yang efektif di perusahaan diperlukan infrastructure dan soft-structure yang memadai. Umumnya infrastructure di perusahaan seperti adanya komite nominasi dan remunerasi, komite manajemen risiko, maupun komite GCG, selain komite audit, dan semua itu belum cukup terbentuk di BUMD. Demikian juga dengan soft-structure seperti GCG Code, board manual untuk dewan komisaris (pengawas) dan direksi, code of conduct, berbagai macam charter untuk berbagai macam organ pendukung GCG, dan standard operation procedures 40 (SOP) yang belum disusun secara komprehensif. Banyaknya BUMD yang belum menerapkan GCG ini disebabkan jajaran direksinya beranggapan sistem ini sulit diterapkan karena butuh 41 biaya besar dan dapat mempersempit peluang bisnis. Penerapan GCG memang tidak mudah tetapi bukan berarti menjadi tidak penting. Penerapan GCG bisa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi perusahaan. Karena pada dasarnya prinsip-prinsip dasarnya harus sudah mulai dilakukan. Prinsip-prinsip dasar yang dimaksudkan adalah transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Kemampuan SDM yang mengelola BUMD dianggap sebagai hal yang sangat penting, karena berangkat dari SDM yang ada akan muncul berbagai inisiatif dan inovasi. Karena itu perlu ada perubahan cara pandang SDM dalam perusahaan tidak dilihat dari tenaga kerja semata tetapi harus dipandang sebagai human capital karena keberadaannya akan menjadi aset perusahaan yang perlu dipelihara dan dikembangkan demi kemajuan perusahaan. Untuk itu dalam pengelolaan SDM harus dimulai dengan perencanaan yang benar sesuai dengan strategi perusahaan, yang didukung dengan peningkatan kinerjanya melalui
39
Taridi, op.cit. Ibid. “BUMD DKI Disarankan Terapkan Sistem GCG,” Friday, 14 August 2009 (http://www.jak arta.o.id/v70/index.php/en/component/content/article/1112-bumd-dki-disarankan-terapka nsistem-gcg , diakses 15 Febrauri 2010). 40 41
16
berbagai program pendidikan dan pelatihan serta menjaga retensi SDM, serta selalu melakukan evaluasi atas kinerjanya. 3. Regulasi Berdasarkan Permendagri No.3 Tahun 1998 tentang Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Daerah, disebutkan bahwa bentuk hukum BUMD dapat berupa perusahaan daerah (PD) atau perseroan terbatas (PT). Untuk BUMD yang bentuk hukumnya berupa perusahaan daerah tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur perusahaan daerah, sedangkan yang bentuk hukumnya berupa perseroan terbatas tunduk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Tetapi sehubungan dengan sudah diubahnya UU No.1 Tahun 1995 dengan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas seharusnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor Nomor 3 Tahun 1998 juga diganti. Berkaitan dengan regulasi, dari daerah yang menjadi tempat penelitian memperlihatkan bahwa perda-perda yang ada umumnya lebih mengatur pendirian BUMD yang bersangkutan, misalnya untuk kasus di Provinsi Sumatera Barat, perda-perda yang dimaksud adalah: 1. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT). 2. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2007 tentang Penataan Perseroan Terbatas (PT) Andalas Tuah Sakato. 3. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Dinamika Jaya Sumatera Barat. 4. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Grafika Jaya Sumatera Barat. Hal yang berbeda dengan daerah yang tidak menjadi penelitian, misalnya Kabupaten Sekadau memiliki Peraturan Daerah No.6 Tahun 42 2008 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Begitu juga Kota Cimahi yang telah memiliki perda yang mengatur tentang pendirian suatu BUMD, yaitu Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam peraturan tersebut diatur mengenai tujuan pembentukannya, permodalan, pengurus, pembinaan dan pengawasan. Namun persoalan pengelolaan SDM sendiri tidak diatur (terbatas hanya pengaturan direksi). Hal yang sama juga terjadi pada bentuk perseroan terbatas karena UU No.40 Tahun 2007 tentang
42
Lebih lanjut dapat dilihat pada Hermanus Hartono,” Gelar Sosialisasi Perda BUMD,” Borneo Tribune, Sekadau, Sunday, January 18, 2009 (http://borneotribune.net/2008/12/02/gelar-sosialisasi-perda-bumd/, diakses 17 Januari 2009).
17
Perseroan Terbatas juga tidak mengatur tentang pengelolaan SDM karena yang diatur terbatas hanya pengaturan direksi. Dalam hal pengaturan pengelolaan SDM, baik pada bentuk perseroan terbatas maupun perusahaan daerah pada umumnya mengacu pada peraturan internal perusahaan. Namun demikian BUMD yang berbentuk perusahaan daerah seperti PDAM secara khusus memiliki pengaturan yaitu mengacu kepada Permendagri No.2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Permendagri tersebut memuat aturan-aturan kepegawaian yang sangat rinci terhadap Perusahaan Daerah Air Minum. Hal-hal yang diatur misalnya pengangkatan, cuti, kewajiban membayar pesangon bagi pegawai yang pensiun dan lain-lain pengaturan kepegawaian. Dalam kaitannya dengan penerapan GCG pada pengelolaan SDM tidak dijumpai adanya aturan yang mengikatnya baik pada bentuk perseroan terbatas maupun perusahaan daerah. Meskipun sama- sama bentuk perseroan terbatas tetapi lain dengan perseroan terbatas yang ada pada BUMN karena mengacu kepada Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara. Khusus untuk BUMD dengan jenis usaha keuangan yaitu BPD, karena berperan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary) dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, maka dalam pengelolaanya juga harus tunduk pada regulasi dari Bank Indonesia. Karena itu dalam pelaksanaan GCG merujuk kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/14/PBI/2006 tentang perubahan PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Peraturan ini menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran. Salah satu pelaksanaan GCG tersebut, dalam BPD diperlukan keberadaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan para pemangku kepentingan khususnya pemilik dana dan pemegang 43 saham minoritas. V. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan
43
“Implementasi Good Corporate Governance pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Tenggara,” (http://syair79.wordpress.com/2009/06/10/implementasi-good-co r porate-governance-pada-bank-pembangunan-daerah-bpd-sulawesi-tenggara/, diakses 15 Februari 2010).
18
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: pertama, berkaitan dengan direksi pada BUMD baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun perusahaan daerah terdapat persamaan karena direksi dapat berasal dari PNS. Kedua, berkaitan tentang keterlibatan PNS dalam jabatan struktural perusahaan tidak menjamin pengelolaan menjadi lebih buruk karena pada dasarnya kompetensi profesional lebih menentukan keberhasilan pengelolaan perusahaan. Hal ini diperlihatkan dalam kasus PD PAM Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun direkturnya seorang birokrat tetapi berhasil mengelola perusahaan menjadi lebih baik. Ketiga, berkaitan dengan praktek GCG, sedikit sekali BUMD yang sudah melakukannya. BUMD yang sudah mempraktekkan GCG adalah yang berbentuk perusahaan perseroan terbatas maupun perusahaan daerah. Dalam rangka meningkatkan kinerjanya, sudah saatnya perusahaan daerah merubah paradigma pengelolaan dari birokratik menuju GCG. Begitu juga perlu ada perubahan cara pandang SDM dalam perusahaan tidak dilihat dari tenaga kerja semata tetapi harus dipandang sebagai human capital karena keberadaannya akan menjadi aset perusahaan yang perlu dipelihara dan dikembangkan demi kemajuan perusahaan. Keempat, berkaitan dengan pengaturan tentang pengelolaan SDM, baik pada perseroan terbatas maupun perusahaan daerah mengacu pada aturan internal perusahaan. Khusus untuk perusahaan daerah yang berbentuk PD PAM atau PDAM memiliki peraturan yang jelas, yaitu Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disampaikan rekomendasi terhadap pengelolaan BUMD, yaitu perlunya peningkatan kualitas SDM secara keseluruhan. Adapun rekomendasi sehubungan dengan penyusunan RUU tentang BUMD adalah: Pertama, perlunya pengaturan tentang direksi dan komisaris. Secara khusus juga perlu adanya pengaturan tentang jabatan direktur dan jabatan struktural organisasi yang berasal dari PNS aktif (dalam hal ini pembatasan). Pembatasan keterlibatan PNS dalam pengelolaan perusahaan tidak diartikan sebagai ketidakprofesionalan PNS karena terbukti ada PNS yang mampu mengelola perusahaan dengan baik, tetapi pembatasan dimaksudkan untuk menghindari intervensi dalam pengambilan kebijakan perusahaan serta pembatasan PNS ini merupakan bagian dari penerapan GCG. Kedua, perlunya memasukkan unsur GCG dengan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Ketiga, perlunya penegasan bahwa pengelolaan SDM pada BUMD harus ditentukan berdasarkan bentuknya, apakah itu berbentuk perusahaan terbatas atau perusahaan daerah. Kedua bentuk tersebut akan membedakan cara pengelolaan BUMD termasuk status
19
kepegawaiannya. Keempat, perlunya penegasan bahwa pengelolaan SDM tersebut bersifat teknis sehingga pengaturan lebih lanjut dapat dilakukan melalui peraturan pemerintah atau peraturan daerah.
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku Angela Baron dan Michael Amstrong, Human Capital Management, Achieving Added Value Through People, Kogan Page, London and Philadelphia 2007. John M. Ivancevich, Human Resources Management. New York: McGraw, Hill, International Edition, 2007. Jon Ingham, Strategic Human Capital Management, Creating Value through People, Butterworth-Heinemann, 2007. Peter Drucker, The Coming of the New Organization, Harvard Business Review. Jan-Feb 1988. William P. Anthony, Pamela L. Perrewe dan K. Michelle Kacmar, Human Resource Management, A Strategic Approach, Thrid Edition, Orlando, Florida: The Dryden, Harcourt Barke College Publisher, 1996. Majalah dan Surat Kabar Alman Faluti, ”Inside GCG Tingkatkan Nilai Perusahaan,” Oasis, Edisi Maret-April 2007. Iriyadi, ”Indorfarma Ready For GCG,” Oasis, Edisi Maret-April 2007 Makalah Ngadi dan Aliansyah Abdurahman, ”Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah: Perspektif Sumber Daya Manusia”, disampaikan dalam acara diskusi tentang Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI pada 12 November 2009. Dokumen Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dari Perusahaan Daerah (PD) menjadi Perseroan Terbatas (PT). Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2007 tentang Penataan Perseroaan Terbatas (PT) Andalas Tuah Sakato.
21
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Dinamika Jaya Sumatera Barat. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Grafika Jaya Sumatera Barat. Peraturan Daerah Kota Cimahi No. 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Daerah. Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Goverance pada Badan Usaha Milik Negara. Profil PDAM Menang Mataram 2004-2008. Laporan Tahunan Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2006. Laporan Tahunan Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2007. Internet (karya individual): Hartono, Hermanus, ”Gelar Sosialisasi Perda BUMD,” Borneo Tribune, Sekadau, 18 Januari 18, 2009 (http://borneo-tribune.net/2008 /12/02/gelar-sosialisasi-perda-bumd/, diakses 17 Januari 2009). Haruman, Tendi, “Profesionalisme Pengelola BUMD,” Pikiran Rakyat Online, Kamis, 05 November 2009 (http://newspaper.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=berita detail &id=70762, diakses 5 November 2009). Ritonga, Chaidir, ”Tantangan Mengelola BUMD,” 5 Desember 2007, WASPADA Online (http://wwwwaspada.co.id/index2.php?option =com_content&do. _pdf=1&id=79 10, diakses 15 Januari 2009). Taridi, Tirmidzi, “Menyehatkan BUMD dengan GCG,” 23 Juli 2008, Bisnis Indonesia, (http://www.madani-ri.com/2008/07/23/menyehatkanbumd-dengan-gcg/, diakses 16 Januari 2009). Internet (karya non individual): “Arah
Kebijakan Pendapatan Daerah,” 7 August 2009 (http://www.jakarta.go.id/v70/index. php/en/arah-kebijakan/775arah-kebijakan-pendapatan-daerah, diakses 9 Desember 2009). “BUMN dan BUMD, Sama Saja,” 25 Maret 2006 (http://www.freelists.org/ post/ppi/ppiindia-BUMN-dan-BUMD-Sama-Saja, diakses 16 Januari 2009).
22
“BUMD DKI Disarankan Terapkan Sistem GCG,” Friday, 14 August 2009 (http://www.jakarta.o.id/v70/index.php/en/component/conte nt/arti cle/1112-bumd-dki-disarankan-terapka n-sistem-gcg , diakses 15 Februari 2010). “Implementasi Good Corporate Governance pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Tenggara,” (http://syair79.wordpress.co m /2009/06/10/implementasi-good-corporate-governance- padaba nk-pembangunan-daerah-bpd-sulawesi-tenggara/, diakses 15 Februari 2010). “Lowongan Direktur BUMD Dibuka,” 3 Agustus 2007 (http://sijorimandiri. net/jlindex.php?option=com_content&task=view&id=13519&Itemi d=87, diakses 19 Januari 2009). “Kontribusi PAD 10 BUMD Memprihatinkan,” 23 November 2009 (http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita & id=2973, diakses 12 Januari 2010)Desember 2009). “Membedah Kinerja BUMD DKI Jakarta Ada yang Mulai Sehat, tetapi Lebih Banyak yang Rugi,” 15 Maret 2003 (http://www.sinar harapan.co.id/berita/0303/15/eko02.html, diakses 19 Januari 2009). “Politik Balas Jasa Dibalik Kerugian BUMD,” 10 September 2008 (http://www.indonesia+monitor.com/main/index.php?option=com _ content&task=view&id=272& Itemid =39, diakses 19 Januari 2009). Informan: 1. Pejabat Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Sumatera Barat. 2. Kepala Divisi PT BPD Sumatera Barat (Nagari). 3. Direksi PD PAM Kota Bukittinggi. 4. Direksi PD PAM Kota Padang. 5. Direksi PT Grafika Nusa Tenggara Barat. 6. Direksi PDAM Menang Mataram. 7. Direksi PDAM Povinsi Kalimantan Selatan. 8. Direksi PDAM Barito Kuala.
Provinsi
23
SEKURITISASI KEJAHATAN TRANSNASIONAL: PERDAGANGAN ORANG DAN PENYELUNDUPAN ORANG DALAM HUBUNGAN INDONESIA-MALAYSIA Humphrey Wangke Abstract This research argued that Illegal trafficking in persons increasingly flows from Indonesia to Malaysia today is not only an issue of crime but also security. The researcher underlined that the impacts of the illegal trafficking causes wider concern due to the facts that it also challenges dignity of Indonesian people.He further pointed out that the Indonesian government still views that the illegal trafficking is not an issue of security. Such view explains the Indonesian government’s normative approach in handling various cases of illegal trafficking in order not to damage its bilateral relations with the Malaysian government. Kata kunci: Perdagangan Orang, Penyelundupan Orang, Sekuritisasi, Indonesia-Malaysia. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Salah satu kejahatan transnasional yang kini menjadi perhatian masyarakat internasional adalah migrasi penduduk. Migrasi di satu sisi diakui telah memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap kemajuan ekonomi, baik negara pengirim maupun 1 penerima. Namun di sisi lain tidak sedikit persoalan yang muncul dari proses migrasi itu, yaitu migrasi ilegal dalam bentuk perdagangan orang (trafficking) dan penyelundupan orang (people smuggling). Perdagangan orang dan penyelundupan orang merupakan dua hal yang berbeda dari migrasi ilegal tetapi menjadi sebuah mata rantai ketika diketahui bahwa peluang untuk bermigrasi melalui jalur
Penulis adalah Peneliti BIdang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pelayan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPRRI. Alamat email
[email protected] 1 Aris Ananta and Evi Nurvidya Arifin, “Should Southeast Asian Borders be Opened”, dalam International Migration in South East Asia, Anis Ananta & Evi Nurvidya Arifin, eds., ISEAS, Singapura, 2004, hal. 2.
1
2
resmi sangat terbatas dan banyak migran yang pergi ke luar negeri bukan hanya untuk meningkatkan standar hidup tetapi juga untuk 3 mempertahankan hidup . Perdagangan orang merupakan migrasi penduduk dengan maksud untuk dieksploitasi sebagai tenaga kerja ilegal. Korban sering tidak sadar telah menjadi korban tindakan kriminal ini. Sedangkan penyelundupan orang terjadi karena adanya bantuan orang yang memang melakukan pekerjaan seperti itu. Korban umumnya telah mengetahui tentang tindakan itu. Di kawasan Asia Tenggara, perdagangan orang dan penyelundupan orang menjadi berbahaya karena umumnya terkait 4 dengan organisasi kejahatan transnasional. Jaringan kejahatan internasional yang terlibat dalam perdagangan orang dan penyelundupan orang hanya mengambil keuntungan finansial tanpa perduli terhadap keselamatan korban. Padahal, tidak jarang para korban itu merupakan anggota kelompok masyarakat yang di negara asalnya tengah menghadapi masalah keamanan, sosial dan ekonomi. Direktur Anak Bangsa Arsinah Sumetro mengatakan, sindikat perdagangan orang tak segan-segan untuk melukai dan membunuh 5 korban yang berontak. Kondisi seperti ini yang menjadikan para korban berada dalam kondisi defensif sehingga percaya kepada apapun yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Kedua bentuk kejahatan terbukti telah menjadi masalah serius terhadap keamanan 6 negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, perputaran uang dari bisnis migrasi ilegal ini diperkirakan mencapai 32 trilyun rupiah. Peredaran uang ini merupakan perputaran uang terbesar kedua dalam bisnis ilegal di 7 Indonesia setelah bisnis narkoba. Korban dari perdagangan orang dan penyelundupan orang ini adalah para pencari kerja. Maraknya perdagangan orang dan penyelundupan orang di Indonesia tergambar dari situasi di Malaysia. Membanjirnya jumlah tenaga kerja di Malaysia, terutama yang tidak mempunyai dokumen resmi, dirasakan 2
Jacqueline Bhabha, “Trafficking, Smuggling and Human Rights”, Migration Information Source, dalam www.migrationinformation.com, diakses 11 Februari 2009. 3 „The Migration-Trafficking Nexus”, dalam www.antislavery.com 4 Ralf Emmers, “The Threat of Transnational Crime in Southeast Asia: Drug Trafficking, Human Smuggling, and Trafficking, and Sea Piracy”, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, 2003, dalam http://www.ucm.es/info/unisci/revistas/Ralf.pdf. Diakses 3 Maret 2009. 5 “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, Kompas Online, 13 Februari 2009, diakses 3 Maret 2009 6 Untuk lengkapnya baca, Demetrios G. Papademetriou, “The Global Struggle with Illegal Migration: No End in Sight”, Migration Policy Institute, September 2005, dalam www.migrationinformation.com, diakses 4 Maret 2009. Analisis lainnya mengenai sekuritisasi terhadap migrasi ilegal dapat disimak dari tulisan Josy Joseph, “Securitization of Illegal Migration of Bangladeshis to India”, Working Papers No. 100, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, Januari 2006 7 “Perputaran Uang Trafficking Rp 32 Trilyun”, Media Indonesia, 14 Mei 2009, hal. 12.
2
8
telah sangat mengganggu keamanan domestik Malaysia. Malaysia merupakan tujuan utama tenaga kerja Indonesia (TKI) sehingga kini sedikitnya ada 2,2 juta orang di sana. Dari jumlah itu, hanya 1,2 juta 9 orang yang terdaftar secara resmi. Jumlah kasus perdagangan orang dan penyelundupan orang di Indonesia cukup tinggi. Meskipun belum ada angka-angka yang 10 pasti tentang jumlah korban sesungguhnya , namun laporan dari kepolisian dan beberapa lembaga yang menangani korban menunjukkan jumlah kasus yang didampingi cukup tinggi. Bareskrim Polri mencatat, dalam rentang waktu 2004-2008 jumlah kasus perdagangan orang terus meningkat. Pada tahun 2004 terjadi 76 kasus, tahun 2005 sebanyak 71 kasus, tahun 2006 tercatat 84 kasus, 11 tahun 2007 terdapat 177 kasus dan tahun 2008 tercatat 199 kasus. Sementara itu data dari International Organization for Migration (IOM) mengungkapkan, dari Maret 2005 sampai dengan Januari 2008 sebanyak 3.024 orang menjadi korban perdagangan orang dengan komposisi bayi 5 orang, anak perempuan 651 orang, anak laki-laki 134 orang, perempuan dewasa 2.048 orang dan laki-laki 12 dewasa 206 orang. Data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 20% pekerja luar negeri Indonesia merupakan 13 korban tindak perdagangan orang. Kendatipun data mengenai perdagangan orang dan penyelundupan orang telah banyak dikeluarkan oleh berbagai organisasi pemerintah maupun LSM akan tetapi penanganannya sangat tidak mudah mengingat karakter kejahatan ini yang bersifat tersembunyi, lintas-batas dan antarnegara. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
8
Lihat Joseph Liow, „Malaysia‟s Approach to Indonesian Migrant Labor‟, dalam Mely Caballero-Anthony, Ralf Emmers and Amitav Acharya (eds), Non-traditional Security in Asia: Dilemmas in Securitisation, Aldershot, UK, 2006, hal. pp. 40–65. 9 “RI Minta Malaysia Tetapkan Standar Gaji”, Kompas, 6 September 2009, hal. 18. 10 Menko Kesra Aburizal Bakrie mengatakan, data jumlah korban trafiking ibarat fenomena gunung es, sebab gambaran sebenarnya lebih besar daripada yang ditemukan. Lihat, “Perdagangan Orang Meningkat Gugus Tugas Dibentuk”, Media Indonesia, 28 Februari 2009, hal. 12. Kesulitan untuk mendapatkan data yang akurat tentang trafiking dan penyelundupan orang bukan hanya di Indonesia saja tetapi sudah menjadi masalah internasional karena juga terjadi di wilayah lainnya di dunia. Terbatasnya penelitian tentang trafiking menyebabkan data yang dibutuhkan untuk analisa perbandingan dan untuk mencari solusi atas masalah ini menjadi terbatas pula. Untuk lengkapnya, baca, “Data and Research on Human Trafficking: A Global Survey”, IOM, Genewa, Swiss, 2005. Baca juga, Sheldon X. Zhang, “Smuggling and Trafficking in Human Beings”, Praeger, Westport, 2007, terutama Bab I, hal. 1-22. 11 “Belum Ada Anggaran Untuk Trafiking”, Media Indonesia, 27 Februari 2009, hal. 12 12 Ibid 13 Ibid
3
Tapal batas Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Utara sangat panjang sementara jumlah petugas keamanan sangat terbatas, sehingga memberi peluang kepada siapa saja yang ingin mencari keuntungan dari bisnis perdagangan orang dan penyelundupan manusia ini. Tetapi sayangnya yang dikirim tidak memperoleh manfaat seperti yang dijanjikan sebelum pemberangkatan. Ada pihak yang diuntungkan tetapi ada pihak yang dirugikan serta tereksploitasi. Korban tidak mempunyai kepastian apapun tentang masa depannya. Mereka hanya menjadi korban eksploitasi yang harus bekerja tanpa ada jaminan berapa dan kapan gaji akan diterima, sebab ketika bekerja majikan harus membayar sejumlah uang kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (selanjutnya disingkat PPTKIS) setempat sebagai dana kompensasi dari pengiriman dan pembinaan. Dengan kondisi yang demikian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana sekuritisasi perdagangan orang dan penyelundupan orang di Indonesia. Dengan permasalahan yang demikian itu, pertanyaanpertanyaan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana partisipasi masyarakat dan pemerintah di daerah dalam merespon kedua isu tersebut? 2. Mengapa kawasan perbatasan masih menjadi lokasi yang rawan bagi praktek-praktek migrasi ilegal? 3. Apa yang harus dilakukan pemerintah agar implikasi penanganan dari kedua isu tersebut tidak mempengaruhi hubungan Indonesia dengan Malaysia? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sekuritisasi perdagangan orang dan penyelundupan orang di perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sumatera Utara, yaitu bagaimana respons yang diberikan oleh aktoraktor yang berkompeten di bidang ini seperti aparat pemerintah di pusat maupun daerah, LSM, dan kepolisian. Hasil penelitian ini akan merupakan masukan bagi Komisi I DPR RI, yang membidangi masalah-masalah keamanan dan luar negeri. D. Kerangka Pemikiran Di dalam ilmu hubungan internasional, teori sekuritisasi merupakan pendekatan konstruktif terhadap keamanan internasional. Teori ini atau securitization theory dikembangkan sebagai respon terhadap semakin meluasnya bentuk-bentuk maupun sasaran
4
14
ancaman keamanan terhadap suatu negara. Sekuritisasi berarti bahwa sebuah masalah telah menjadi ancaman terhadap keamanan negara sehingga memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya. Dalam proses sekuritisasi ini suatu hal dirancang sebagai masalah keamanan jika hal itu dianggap lebih penting dibandingkan dengan lainnya. Dengan menjadikan sebuah isu sebagai masalah keamanan, bahkan lebih penting dari sekedar masalah politik, maka sekuritisasi menjadi bentuk paling ekstrem dari politisasi sebuah masalah. Sebuah subyek menjadi masalah keamanan bukan karena adanya ancaman yang nyata tetapi lebih karena masalah yang muncul 15 dijadikan sebagai sebuah ancaman. Dengan demikian keamanan menjadi bersifat subyektif, sebab suatu masalah menjadi masalah keamanan jika memang dikehendaki seperti itu melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh aktor-aktor yang layak untuk itu. “Securitisation is concerned with how the idea of security is conceived and how it is “politicised” or assigned 16 within a specific “objectives” framework”. Dengan kata lain masalahmasalah yang sebenarnya bukan masalah keamanan dapat menjadi masalah keamanan jika terdapat unsur-unsur yang berkaitan dengan ancaman terhadap obyek-obyek tertentu. Dengan pemahaman semacam ini, dapat diketahui bagaimana suatu masalah termasuk dalam kategori keamanan atau tidak. Inti dari teori sekuritisasi ini, terletak pada perluasan pengertian tentang keamanan sambil tetap mempertahankan caracara menghadapi masalah keamanan ini yaitu bahwa negara mempunyai kekuatan untuk mengatasi ancaman yang dianggap dapat mempengaruhi kedaulatan ataupun integritas negara. Ancaman terhadap keamanan negara tidak hanya datang dari luar tetapi juga dari dalam negeri. Mengingat luasnya bentuk ancaman ini, maka negara mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatasi semua bentuk ancaman itu. Argumen bahwa negara menjadi acuan utama dalam pendekatan keamanan bukan berarti negara menjadi satu-satunya unit acuan dalam kajian keamanan, tetapi lebih berarti bahwa keamanan negara tetap menjadi tujuan utama. Dengan kata lain, meskipun konseptualisasi keamanan mengharuskan terjaminnya
14
Teori ini dikembangkan pertama kali oleh apa yang dikenal sebagai Copenhagen School yang dipelopori oleh Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, dalam buku Security: A New Framework for Analysis, Lynne Rienner Publishers, Boulder, 1998, terutama hal. 20-40 15 Untuk lengkapnya baca, Yannis A. Stivachtis, “International Migration, and the Politics of Identity and Security”, dalam Journal of Humanities and Social Sciences, Volume 2, Issue 1, 2008. 16 William T. Tow, “Alternative Security Models: Implications for ASEAN”, dalam Andrew T.H. Tan and J.D. Kenneth Boutin, Non Traditional Issues in Southeast Asia, Institute of Defence and Stategic Studies, Singapura, 2001, hal. 263
5
keamanan orang per orang, pada akhirnya keamanan negara tetap harus diutamakan. Para elite politik ini akan mendapatkan pengakuan atau legitimasi jika pernyataannya tentang ancaman tersebut memperoleh pengakuan dari masyarakat sehingga dapat merespons ancaman tersebut. Dengan demikian para elit politik mempunyai pertimbangan tertentu dalam menentukan mana yang masuk dalam masalah keamanan. Di samping itu, sekuritisasi sebuah masalah juga sangat bergantung dari bagaimana tanggapan masyarakat. Jika tidak ada tanda-tanda bahwa masyarakat menerima isu tersebut, maka itu 17 berarti tidak terjadi sekuritisasi. II. Metodologi Penelitian 1. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang perdagangan orang dan penyelundupan orang yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sumatera Utara melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. 2. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan pihak-pihak yang terkait. 3. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat sebab di daerah ini kasus-kasus perdagangan orang dan penyelundupan orang banyak terjadi. Perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong merupakan salah satu kawasan terdepan di Indonesia yang menjadi jalur paling sering terjadi kasus perdagangan orang dan 17
Buzan, et als, op cit, hal. 25
6
18
penyelundupan orang. Karena kasus-kasus seperti ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah mengundang Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, ke Markas Besar PBB di Jenewa, Swiss, untuk ikut 19 membahas masalah trafiking. Di Pontianak, penulis mewancarai pejabat pemda Provinsi Kalimanatan Barat, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, dan kantor Imigrasi. Penelitian di Kalimantan Barat ini diadakan dari tanggal 24 Mei sampai dengan 2 Juni 2009. Di samping Kalimantan Barat, penelitian lapangan juga dilakukan di Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 21 Juni-30 Juni 2009. Dipilihnya provinsi ini, karena Sumatera Utara termasuk daerah asal dan transit perdagangan orang dan penyelundupan orang. Kegiatan perdagangan orang dan penyelundupan orang di provinsi ini dilakukan melalui jalur laut. Di Medan, penulis mewawancarai pejabat dari Kantor Keimigrasian Dephukham Sumatera Utara, Polda Sumatera Utara, LBH APIK, Dinas Kesejahteraan dan Sosial. Di Jakarta, penulis mewawancarai pejabat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, dan Mabes Polri. Dengan dipilihnya ketiga provinsi ini diharapkan akan mendapat masukan yang signifikan mengenai mata rantai kejahatan perdagangan orang dan penyelundupan orang yang terjadi di Indonesia. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan yang berkedudukan di Jakarta, Pontianak dan Medan dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah Daerah terhadap Kedua Isu tersebut Tidak mudah membedakan antara perdagangan orang dengan penyelundupan orang meskipun hasil akhir dari dua kegiatan ini sama, yaitu sangat eksploitatif, mempunyai unsur kecurangan, 20 penipuan, atau pemaksaan. Kekerasan yang terjadi pada kasus 18
Mengutip data IOM yang dirilis April 2008, Organisasi ini telah memulangkan 3.127 korban perdagangan orang yang tersebar di lima lokasi besar yakni Kalimantan Barat (707 orang), Jawa Barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340), dan Nusa Tenggara Barat (217). Untuk lengkapnya lihat, “Perdagangan Orang Meningkat Gugus Tugas Dibentuk”, Media Indonesia, 28 Februari 2009, hal. 12. 19 “PBB Undang Gubernur Kalbar Terkait Human Trafficking”, Antara News, 5 Mei 2008 20 Semua informan di Pontianak menyebutkan hal yang sama: ketika berangkat korban telah memenuhi semua syarat dokumen yang dibutuhkan untuk ke luar negeri. Bahkan kantor imigrasi sekalipun tidak dapat menghalangi kepergian mereka meskipun yang diberangkatkan masih sangat belia.
7
perdagangan orang dan penyelundupan orang bukan hanya bersifat fisik dan mental saja tetapi juga memanfaatkan posisi korban yang 21 lemah karena kemiskinan, kelaparan dan pendidikan yang kurang. Kesulitan membedakan kedua kegiatan migrasi ilegal ini terletak pada modus operandi yang digunakan oleh para pedagang atau penyelundup. Ketika diberangkatkan, korban menggunakan paspor kunjungan biasa. Mereka diberangkatkan secara resmi dengan menggunakan paspor wisata yang berlaku selama 1 bulan melalui pelabuhan ataupun melalui perjalanan darat. Tetapi sesampainya di Malaysia mereka bekerja di tempat yang tidak diketahui sebelumnya atau tidak sesuai seperti yang dijanjikan oleh para calo. Calo disini bisa perorangan bisa pula berbentuk badan usaha atau yang lebih 22 dikenal dengan PPTKIS. Kantor imigrasi juga sulit membendung karena secara administrasi mereka mempunyai kelengkapan yang 23 cukup untuk berangkat ke Malaysia. Pemberangkatan seperti inilah yang cepat menjadi masalah karena meskipun sifatnya resmi akan tetapi pengiriman mereka hanya berdasarkan atas kesepakatan lisan antara pihak yang mengirim 24 dengan yang menerima. Bahkan ketika masa berlaku paspor selama 1 bulan telah berakhir, korban tetap tinggal di Malaysia. Majikan di Malaysia mempunyai hak untuk menahan paspor mereka selama tenaga mereka dibutuhkan. Dalam masa seperti inilah para korban mulai tersandera sebab mereka harus bekerja sesuai dengan 25 keinginan majikan. Jika melawan, majikan dengan mudah bisa memanggil polisi dengan menyatakan bahwa tenaga kerja ilegal karena paspor telah kadaluwarsa atau bekerja dengan menggunakan 26 paspor kunjungan wisata.
21
Wawancara dengan LBH APIK Medan, tanggal 4 Juni 2009. Pelaku yang terorganisir dengan melibatkan korporasi adalah agency luar negeri yang bekerja sama dengan para sponsor, petugas lapangan, dan atau kantor cabang PPTKIS, dimana perbuatan pelaku ini cenderung mengarah para permufakatan jahat (concursus idealis). Jawaban tertulis Direktoral Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Penjelasan yang sama juga diberikan oleh Saifuddin Setiabudi, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, tanggal 4 Mei 2009. 23 Wawancara dengan Kasianus Daud, Kepala Divisi Hukum Dephukham Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, 29 Mei 2009. 24 Wawancara dengan Asih Setyawati, Kepala Dinas Sosial Kalimantan Barat, Pontianak, 26 Mei 2009 25 Penyiksaan yang dialami oleh para korban trafiking, terutama kaum wanita. Bisa dibaca dalam, Kenji Kimura, “Human Traffickin in Indonesa: Rethingking the New Order‟s Impact on Exploitative Migration of Indonesia Woman”, tesis untuk memperoleh gelar Master pada Fakultas Pusat Studi Internasional, Universitas Ohio, Juni 2006 26 Wawancara dengan Jaguri Suni dari Dinas Tenaga Kerja Kalimantan Barat, Pontianak, 26 Mei 2009. 22
8
Modus Migrasi Ilegal
Lewat Perbatasan secara ilegal
Melintasi perbatasan yang nampaknya legal karena menggunakan dokumen legal, tetapi untuk tujuan ilegal
Tetap tinggal meskipun status legal telah habis
Perdagangan orang dan penyelundupan orang bukanlah ilegal masalah yang mudah diidentifikasi sebab merupakan kejahatan yang dimulai dari tingkat akar rumput, bahkan orang tua ikut berperan 27 dalam masalah ini. Karena dimulai dari tingkat akar rumput, masyarakat kemudian melihat pengiriman tenaga kerja sebagai suatu hal yang biasa dan sulit mengetahui apakah pengiriman TKI merupakan perdagangan orang atau bukan. Perdagangan orang baru diketahui jika telah muncul korban yang dipulangkan dari tempat ia bekerja. Dengan kondisi demikian, sulit diharapkan bahwa masyarakat luas akan terlibat dalam pemberantasan perdagangan orang. Ketidaktahuan masyarakat mengenai perdagangan orang ini justru dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang dan penyelundupan orang. Bila tidak segera dihentikan, dikuatirkan perdagangan orang dan penyelundupan orang berpotensi menjadi ancaman terhadap keamanan negara dan masyarakat karena berdampak pada aspek integritas dan identitas bangsa, yang pada gilirannya akan melemahkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan dan 28 kemasyarakatan. Oleh karena itu, berbagai informan yang ditemui penulis, sepakat bahwa perdagangan orang dan penyelundupan orang harus segera dihentikan mengingat korban pulang dengan membawa 29 penyakit fisik, mental dan sosial. Kegiatan perdagangan orang dan
27
Korban perdagangan orang umumnya berasal dari keluarga miskin, berpendidikan rendah, berasal dari pinggiran kota dan pedesaan walaupun ada juga dari keluarga ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Wawancara dengan Dra. Vita Lestari Nasution Msi, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan 22 Juni 2009 28 Jawab tertulis dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, dalam pertemuan di Pontianak tanggal 27 Mei 2009. 29 Di pusat-pusat rehabilitasi, para korban biasanya menyandang penyakit mulai dari cacat fisik karena penyiksaan atau gila dan ada pula yang pulang dengan membawa
9
penyelundupan orang bahkan dianggap lebih berbahaya dari penggunaan narkoba karena jumlah korban yang cenderung meningkat dan terus diperjualbelikan untuk mendapatkan margin keuntungan. Efek yang ditimbulkan dari penyakit sosial ini berpotensi mengganggu keamanan masyarakat. dan merusak masa depan bangsa sebab kondisi korban yang tidak kondusif lagi seperti gila atau menyandang penyakit menular seperti HIV/AIDS yang justru tidak 30 dapat diterima oleh masyarakat sekitar. LBH APIK di Medan juga melihat masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang telah sampai pada tingkat yang tidak dapat dibiarkan lagi. Namun untuk menghentikannya, instansi pemerintah yang berada di daerah harus lebih berani melakukan 31 terobosan-terobosan baru. Lembaga ini mengharapkan agar pihak pemerintah daerah dapat menciptakan lapangan pekerjaan, pihak keimigrasian lebih tanggap dan teliti dalam mengawasi warga negara Indonesia yang masuk maupun yang keluar negeri, dan yang terpenting pihak kepolisian lebih aktif di dalam menangani kasuskasus perdagangan orang. Pihak LBH APIK Medan sejauh ini turut membantu melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang masalah perdagangan orang dan melakukan pendampingan kepada korban sampai pada tingkat kekuatan hukum tetap. Pihak Kepolisian mengakui bahwa baik perdagangan orang maupun penyelundupan orang sudah sampai pada tingkat yang mencemaskan, namun hal itu terjadi lebih karena lemahnya koordinasi antar-instansi sehingga memudahkan terjadinya 32 pelanggaran-pelanggaran di perbatasan dan di berbagai sektor. Karena itu perlu koordinasi di antara pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah ini. Koordinasi di antara pemerintahan di tingkat desa, kabupaten dan kota dan instansi sektoral serta lembaga masyarakat harus lebih digalakkan mengingat sistem otonomi yang berlaku saat ini. Otonomi daerah ini harus lebih digalakkan agar daerah lebih terpanggil untuk mengatasi masalah trafiking dan penyelundupan orang. Penyelesaian masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang harus terintegrasi melibatkan lintas sektoral sebab permasalahan yang dihadapi sangat kompleks melibatkan masalah sosial, ekonomi dan politik. Meskipun telah mengetahui permasalahan perdagangan orang dan penyelundupan orang yang terjadi di daerahnya, akan tetapi pemerintah daerah menghadapi kesulitan untuk berpartisipasi penyakit menular yang membahayakan masyarakat seperti HIV/AIDS, dan penyakit seksual lainnya. Keterangan para informan di Medan dan Pontianak. 30 Jawaban tertulis Departemen Sosial, tanggal 6 Mei 2009 31 Jawaban tertulis LBH APIK Medan, tanggal 4 Juni 2009. 32 Penjelasan oleh Didik Tato Priyandono dalam wawancara di Mabes Polri, Jakarta tanggal 8 Mei 2009.
10
secara penuh dalam penanggulangannya. Pemerintah pusat yang justru diharapkan mengambil peran lebih besar dalam penanggulangan masalah migrasi ilegal ini sebab anggaran untuk itu 33 ada di pusat. Devisa dari para TKI juga mengalir ke pemerintah pusat. Masalah perbatasan juga merupakan tanggung jawab pemerintah pusat karena menyangkut SQCI (security, quarantine, custom, immigration). Kepolisian Daerah Sumatera Utara, misalnya, tidak mempunyai dana khusus untuk penanggulangan perdagangan orang sehingga untuk mengatasi keterbatasan dana ini mereka 34 memilih bekerja sama dengan LSM-LSM. Kendala lainnya yang dihadapi adalah peraturan yang ada belum cukup menjelaskan seberapa besar tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengatasi masalah perdagangan orang ini. Tidak jelasnya peraturan ini menyebabkan pemerintah daerah tidak dapat bertindak leluasa. Lalu lintas orang di perbatasan jelas menjadi tanggung jawab pemerintah pusat karena menyangkut hubungan dengan negara tetangga. Di samping itu peraturan hukum yang ada juga belum tegas mengatur siapa yang berhak memberangkatkan TKI 35 ke luar negeri. Jika ada PPTKIS yang memberangkatkan TKI tanpa disertai surat-surat yang jelas maka PPTKIS itu bukan saja harus dikenai sanksi penutupan usaha akan tetapi orang atau pejabat di PPTKIS itu juga harus dikenai sanksi hukum. Sedangkan praktek yang terjadi selama ini hanya perusahaannya saja yang ditutup sementara pemilik perusahaan tetap bebas dari hukuman. Lebih jauh lagi, untuk menghentikan perdagangan orang, Indonesia juga harus menyiapkan TKI secara lebih optimal. Penyiapan ini sangat penting sebab bukan hanya akan menentukan daya saing TKI itu sendiri tetapi yang terpenting menyangkut harga diri bangsa. Bangsa Indonesia menjadi dilecehkan karena terlalu banyak TKI yang tidak berkualitas dikirim ke Malaysia sehingga menjadi komoditas perdagangan. Memperdagangkan orang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat sehingga pencegahan dan
33
Wawancara dengan Maryadi, Asisten II Bidang Administrasi, Ekonomi dan Kesra Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. 34 Wawancara dengan Drs. Wawan Irawan, Direktur Reskrim Polda Sumatera Utara, Medan, 24 Juni 2009. 35 Perselisihan antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam hal pelayanan pengiriman TKI keluar negeri hingga saat ini masih berlangsung. Beberapa tugas BNP2TKI seperti pembekalan akhir penempatan (PAP) dan mengurus kartu tenaga kerja luar negeri (KTLN) sejak tahun 2008 telah diambil alih oleh Depnakertrans melalui Direktorat Pembinaan Pengawasan TKI. Untuk mengurus ini semua memakai uang negara sehingga calon TKI mendapatkannya secara gratis. Yang paling dirugikan dari perselisihan ini adalah calon TKI dan pengusaha jasa TKI karena terjadi dualisme pengurusan dokumen.
11
penanggulangannya harus dimulai dari pusat. Pemerintah daerah 36 tidak mempunyai anggaran untuk itu. Lebih dari itu, upaya penanggulangan perdagangan orang dan penyelundupan orang perlu kerjasama yang lebih konkrit dengan Malaysia sebagai negara penerima TKI. Prinsipnya pengiriman dan penempatan tenaga kerja di Malaysia harus dilakukan atas dasar Government to Government atau Business to Business, jangan antar individu. Kerjasama ini terutama menyangkut substansi pemahaman tentang aturan yang ada di Indonesia dan Malaysia. Menurut Vita 37 Lestari , Malaysia membutuhkan tenaga kerja kasar karena warga negaranya sudah tidak mau bekerja di sektor ini, tetapi Malaysia menginginkan tenaga kerja kasar dengan upah murah dan tanpa jaminan apapun, dan warga Malaysia tidak dihukum jika mempekerjakan tenaga kerja ilegal. Malaysia praktis tidak mempunyai tanggung jawab apapun terhadap TKI ilegal ini. Cara-cara yang ditempuh Malaysia ini telah turut memberi sumbangan terhadap rusaknya sistem rekrutmen dan pengiriman tenaga kerja ke Malaysia sebab banyak PPTKIS yang pada awalnya mengirim tenaga kerja secara resmi pada akhirnya terbawa arus 38 untuk mengirim TKI secara ilegal pula. Jika dikirim secara ilegal maka yang dirugikan hanya tenaga kerja saja sebab mereka tidak mempunyai kepastian tentang masa depan. Ketidakadilan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena pada akhirnya menyusahkan Indonesia juga.. Sejak tahun 1986 Dinas Tenaga Kerja Kalimantan Barat telah mengupayakan MOU tentang tenaga kerja dengan Malaysia tetapi Malaysia selalu menolak. MOU itu tujuannya untuk 39 mengatur pengiriman secara resmi dan terkendali. Melalui pengiriman secara resmi akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalah jika terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya karena akan lebih mudah ditelusuri siapa yang bertanggung jawab jika ada TKI yang mengalami perlakuan tidak wajar. Pemerintah daerah yang menjadi tempat transit juga akan lebih mudah mengatasi masalah jika kondisinya telah teratur sejak awal. Jika tidak ada pengaturan yang resmi pemerintah daerah akan sulit mengontrol perdagangan orang.
36
Wawancara dengan Maryadi, Asisten II Bidang Administrasi, Ekonomi dan Kesra Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Drs. Wawan Irawan, Direktur Reskrim Polda Sumatera Utara, Medan, 24 Juni 2009. 37 Wawancara dengan Dra. Vita Lestari Nasution MSi, Kepala Biro Perlindungan Perempuan Pemda Sumut, Medan, 22 Juni 2009. 38 Penjelasan Syarif Yusuf, Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kalimanatan Barat, tanggal 26 Mei 2009. 39 Wawancara dengan WP Nababan, Kabag Dokumentasi dan Informasi Hukum Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, 25 Mei 2009.
12
B. Perbatasan: Lokasi Rawan Praktek-praktek Migrasi Ilegal. Batas negara tidak hanya berperan penting dalam menentukan kedaulatan dan keamanan nasional suatu negara tetapi juga mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Keterbatasan kemampuan negara dalam mengelola dan mengawasi semua wilayah perbatasan dan teritorialnya akan berdampak secara signifikan baik secara internal 40 maupun eksternal. Persoalan ini yang tengah dihadapi pemerintah Indonesia. Penanganan kawasan perbatasan di Indonesia kini dihadapkan pada dilema antara masalah keamanan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Selama ini pemerintah lebih memberikan perhatian pada masalah keamanan sementara kesejahteraan rakyat setempat terabaikan akibatnya kejahatan lintas batas menjadi subur di perbatasan. Di tengah kondisi yang serba terbatas di perbatasan, karakter masyarakat di perbatasan cenderung tidak peduli dengan orang asing atau pendatang yang ada di daerah mereka. Di tengah keterbatasan itu, masyarakat setempat lebih mementingkan manfaat ekonomi untuk mendukung kehidupan mereka. Masyarakat di perbatasan dapat dikatakan tidak mempunyai kepentingan dengan masalah keamanan. Tidak kurang dari Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Malaysia Da‟i Bachtiar mengingatkan, pembangunan infrastruktur dan fasilitas sistem pengamanan di kawasan perbatasan sudah sangat mendesak, mengingat tren kejahatan makin berkarakter lintas negara. Namun, dukungan pengamanan itu juga harus paralel dengan peningkatan kesejahteraan rakyat setempat. Tanpa keduanya dilakukan paralel, kondisi kawasan perbatasan yang serba minim akan selamanya 41 terbelenggu dalam dilema. Artinya pemerintah perlu melakukan pendekatan kesejahteraan di samping tetap mempertahankan pendekatan keamanan. Ke depan kondisi perbatasan akan sangat rawan jika pemerintah tidak cepat mengubah pola hidup masyarakat yang masih di bawah kemiskinan. Masih kurang efektifnya sistem pengamanan di perbatasan memberi peluang bagi sindikat kejahatan untuk mencari keuntungan. Menteri Negara Urusan Daerah Tertinggal Lukman Edy juga sangat mengkhawatirkan hal itu sebab kemiskinan yang ada di perbatasan dapat mendorong orang untuk melakukan kegiatan ilegal 42 dan dapat menurunkan rasa kebangsaan mereka. Kondisi 40
Anak Agung Banyu Perwita, “Isu Perbatasan dan Keamanan Nasional”, dalam Kompas, 26 Agustus 2009, hal. 7. 41 “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, Kompas, 13 Februari 2009. 42 “Most people along border areas live in poverty” Jakarta Post, 17 Februari 2009.
13
kesejahteraan masyarakat sangat timpang jika dibandingkan dengan negara tetangga di perbatasan. Sarana atau fasilitas pendukung kehidupan masyarakat nyaris tidak terpenuhi dari negeri sendiri. Saat ini saja kebutuhan listrik masyarakat di perbatasan dipasok dari Malaysia. Di perbatasan juga banyak anggota masyarakat kita yang memiliki kartu identitas ganda yaitu sebagai WNI dan warga Malaysia. Hal ini terjadi karena jaminan sosial, layanan kesehatan, dan fasilitas sekolah di Malaysia jauh lebih baik. Banyak juga anggota masyarakat di pedesaan yang mencari kerja di Malaysia, tetapi ketika pensiun mereka kembali lagi menjadi warga negara Indonesia. Usmandi dari Dinas Kesatuan Bangsa, Provinsi Kalimantan Barat, bahkan berani memastikan bahwa sehebat apapun membangun ketahanan bangsa jika tidak diimbangi dengan pembangunan kesejahteraan masyarakat 43 semuanya akan sia-sia. Jika pembangunan ekonomi di perbatasan bisa berhasil maka perdagangan orang perdagangan orang dan penyelundupan orang akan teratasi dengan sendirinya. Bahkan masyarakat perbatasan bisa menjadi ujung tombak mengawasi perdagangan orang dan penyelundupan orang. Karena itu pendekatan keamanan akan sulit menyelesaikan permasalahan di perbatasan jika kesejahteraan belum terpenuhi. Pendekatan ekonomi sudah waktunya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kejahatan lintas batas, sebab perdagangan orang dan penyelundupan orang terjadi karena kemiskinan. Jika pemerintah ingin menjadikan perbatasan sebagai beranda depan maka sudah saatnya bagi pemerintah untuk mengucurkan anggaran pembangunan ke perbatasan. Seandainya perbatasan dibangun maka dengan sendirinya permasalahan kejahatan transnasional akan 44 berkurang. Migrasi ilegal yang melalui jalur resmi sudah sangat berbahaya apalagi jika dihitung dengan yang melalui jalan-jalan 45 tikus. Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat 52 titik jalan tikus yang sangat rawan menjadi jalur lintas aktivitas kejahatan. Jalur lintas resmi hanya satu yaitu Entikong. Selain itu, dari 5874 patok tapal batas di Kalimantan Barat, hanya 3.087 yang sudah dipatroli. Sebanyak 408 patok lainnya hilang, rusak, patah atau tertimbun. Panjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan yang 1.020 km hanya mempunyai 32 pos pengamanan. Dengan kondisi perbatasan yang demikian itu, kegiatan perdagangan orang dan penyelundupan orang menjadi mudah untuk dilakukan. Menurut Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat, salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah 43
Wawancara di Pontianak, 27 Mei 2009. Wawancara dengan Usmandi dari Dinas Kesatuan Bangsa, Pontianak, 27 Mei 2009 45 Lihat, “Perbatasan tak Terurus”, Kompas, 12 Februari 2009, hal. 1. 44
14
adalah dengan memperbaiki sarana transportasi di perbatasan. Buruknya kualitas transportasi di perbatasan telah turut menyumbang 46 terhadap buruknya kondisi perekonomian rakyat di perbatasan. Karena buruknya transportasi, rakyat di perbatasan lebih banyak menjual produk pertaniannya ke Malaysia daripada ke Pontianak. Padahal perbatasan darat tidak boleh dijadikan jalur perdagangan dengan negara tetangga. Ini berarti bahwa peningkatan perekonomian masyarakat di perbatasan setempat banyak ditopang oleh perdagangan dengan Malaysia yang dilakukan secara ilegal. Karena itu jika transportasi di perbatasan baik bukan hanya perdagangan orang dan penyelundupan orang yang bisa dicegah tetapi juga akan memajukan pendidikan dan kesehatan. Selama ini penduduk di perbatasan banyak berobat dan bersekolah di Malaysia, bahkan bekerja juga di Malaysia. Indonesia telah menjadikan perbatasan sebagai beranda depan karenanya kondisi sosial ekonomi masyarakat di perbatasan tidak boleh terus menerus sangat terbelakang. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah mengusulkan agar perbatasan sebaiknya dijadikan sebagai kawasan perdagangan agar transaksi perdagangan di perbatasan bisa dilakukan secara legal tapi pemerintah pusat masih belum meresponnya sehingga yang terjadi adalah perdagangan gelap. Di Malaysia, perbatasan benarbenar merupakan beranda depan sebab kondisi perbatasan jauh lebih baik daripada daerah pedalaman. Sebaliknya Indonesia belum membangun perbatasan meskipun niat untuk itu sudah ada. C. Revisi MoU dan Memperbaiki Mekanisme Pengiriman TKI Meskipun perdagangan orang dan penyelundupan orang secara nyata dianggap berbahaya karena dampak yang ditimbulkannya, akan tetapi pemerintah masih belum menganggap hal 47 itu sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Sama seperti kebanyakan negara-negara ASEAN lainnya, pemerintah Indonesia masih tetap menganggap masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang sebagai kejahatan kriminal daripada sebagai masalah keamanan yang memerlukan sarana ekstra untuk 48 mengatasinya.
46
Wawancara dengan Martin, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kalimantan Barat, Pontianak, 27 Mei 2009 47 Wawancara dengan Drs. Wawan Irawan, Direktur Reskrim Polda Sumatera Utara, Medan, 24 Juni 2009 dan Brigjen Bachtiar H. Tambunan dan Reskrim Polri, Jakarta, 8 Mei 2009. 48 Rizal Sukma, “The Securitization of Human Trafficking in Indonesia”, Working Paper, No. 162, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, 3 Juli 2008, hal. 2.
15
Kendati demikian, untuk mencegah terus berlanjutnya perdagangan orang ataupun penyelundupan orang, pemerintah tetap memperhatikan keinginan-keinginan masyarakat agar pengiriman tenaga kerja keluar negeri dilakukan secara resmi, dimulai dari penyiapan, pembekalan sampai dengan pengiriman. Pemerintah telah mengambil serangkaian langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah migrasi secara efektif pada tingkat nasional dan bilateral. Langkah ini diambil agar hubungan kedua negara tidak terganggu sebab baik Indonesia maupun Malaysia tetap menghendaki agar kerjasama di bidang ketenagakerjaan ini tetap 49 berlangsung. Salah satu langkah penting yang diambil pemerintah adalah menghentikan sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 mengingat semakin meningkatnya permasalahan yang dihadapi oleh para TKI yang berangkat secara ilegal ke Malaysia. Moratorium ini diperlukan agar pemerintah dapat menata ulang penempatan dan perlindungan TKI untuk mengurangi terjadinya masalah di negara penempatan. Penghentian itu didasari oleh pemikiran bahwa yang dikejar pemerintah saat ini bukan lagi devisa tetapi perlindungan TKI. Moratorium ini dilakukan bersamaan waktunya dengan tuntutan Indonesia untuk melakukan pembahasan ulang nota kesepahaman (MOU) Indonesia-Malaysia. Meskipun tidak terkait secara langsung, akan tetapi keputusan moratorium ini dikeluarkan tidak lama setelah Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan laporan yang memasukkan Malaysia sebagai salah 50 satu dari 173 negara yang membiarkan praktek perdagangan orang. Langkah penghentian pengiriman TKI ini mendapat dukungan dari para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mendukung agar Indonesia menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia, paling tidak sampai Indonesia dan Malaysia memperbaiki nota kesepahaman tahun 51 2006. Menteri Tenaga kerja dan Kepala BNP2TKI juga sepakat untuk menghentikan sementara atau moratorium penempatan tenaga kerja Indonesia, khususnya penata laksana, ke Malaysia. Menakertrans menjelaskan bahwa keputusan pemerintah menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia didasari
49
Penjelasan Widya dari bagian Hukum dan HAM, Deplu. Wawancara tanggal 27 April 2009 50 “Perdagangan Manusia: Malaysia Masuk Daftar Hitam AS”, Suara Pembaruan, 17 Juni 2009, hal. 9 51 “Meutia Hatta: Jangan Kirim TKI ke Malaysia”, Suara Pembaruan, 11 Juni 2009, hal. 19.
16
pertimbangan banyaknya penyiksaan dan penganiayaan yang dialami 52 TKI di Malaysia. Kalangan LSM pun sepakat bahwa pengiriman TKI ke Malaysia harus segera dihentikan karena alasan yang sama., Direktur Eksekutif Migran Research International (MRI) Tri Sakti, misalnya, mengusulkan agar nota kesepahaman antara Indonesia-Malaysia tentang buruh migran harus segera diamandemen untuk mengeliminasi kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKI. Menurut Tri Sakti, nota kesepahaman tahun 2006 yang dibuat di Bali itu isinya lebih banyak menguntungkan Malaysia daripada Indonesia. Dalam kesepahaman itu, lebih banyak dibahas tentang penempatan TKI di Malaysia daripada tentang perlindungan TKI. Karena itu, menurutnya, pemerintah harus bersikap tegas dengan mengamandemen nota kesepahaman itu jika tidak ingin kasus-kasus penyiksaan itu terulang 53 kembali. Penghentian sementara pengiriman TKI ke Malaysia ini mulai memperlihatkan hasilnya. Sedikitnya 50 agen tenaga kerja di Malaysia terpaksa menutup usaha karena sudah tidak mendapat permintaan 54 penyaluran TKI lagi. Ke-50 agen itu merupakan bagian dari 300 agen yang mempunyai kerja sama dengan PPTKIS. Efektifitas kebijakan moratorium ini juga terlihat ketika warga Malaysia mulai resah karena kesulitan mendapat pembantu sebab mereka sudah membayar 6000 ringgit (18 juta rupiah) ke agen pemasok untuk 55 mendapatkan seorang pembantu. Kondisi ini segera mendorong Pemerintah Malaysia untuk membujuk Indonesia agar segera mencabut moratorium TKI. Dampak lainnya yang dirasakan Indonesia adalah adanya janji dari pemerintah Malaysia untuk memberikan perlindungan terhadap TKI terutama yang masuk sesuai prosedur agar hak mereka lebih mudah dijamin bila di kemudian hari dieksploitasi oleh majikannya. PM Malaysia Najib Tun Razak mengungkapkan hal itu ketika bertemu Presiden Yudhoyono di Kuala Lumpur. Presiden Yudhoyono sangat mengapresiasi respon pemerintah dan rakyat Malaysia yang semakin baik dalam melindungi TKI. Presiden Yudhoyono mengatakan akan terus memperbaiki sistem penempatan TKI, khususnya ke Malaysia, termasuk soal 56 perlindungan, hak dan bantuan hukum yang mesti diberikan. Sementara di Indonesia, pemerintah telah mencabut ijin 128 PPTKIS yang melanggar aturan. 52
Balanta Budi Prima, “Pengiriman PLRT ke Malaysia Sementara Dihentikan”, dalam http://balanta.wordpress.com/2009/06/26, diakses 25 September 2009 53 “MoU Indonesia-Malaysia Harus Segera Diamandemen”, dalam http://id.news.yahoo.com/antr/20090622 54 “Banyak Agensi di Malaysia Tutup”, Koran Tempo, 29 Oktober 2009, hal. A4 55 “Tak Ada Kesepakatan”, Kompas, 8 Juli 2009, hal. 17 56 “Malaysia Siap Lindungi TKI”, Kompas, 13 Oktober 2009, hal. 15.
17
Lebih jauh Pemerintah kini tengah mengupayakan agar pengiriman TKI keluar negeri dilakukan secara resmi sehingga akan terhindar dari praktek-praktek perdagangan atau penyelundupan orang. Pengaturan secara resmi ini diperlukan agar pemerintah dapat memaksa negara penerima untuk memberikan hak-hak para TKI termasuk gaji, ganti rugi sampai sampai klaim asuransi. Untuk itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah memperingatkan pengusaha pelatihan dan penempatan tenaga kerja Indonesia agar jangan sekedar memikirkan keuntungan finansial 57 hingga mengorbankan kualitas. Ia menduga masih terjadi manipulasi data dan sertifikat pelatihan serta masalah penampungan yang kurang layak dan tidak dikelola sepatutnya. Pemerintah kini mewajibkan calon tenaga kerja untuk mengikuti pelatihan minimal 200 jam atau 100 jam bagi yang sudah berpengalaman. Mereka yang akan bekerja di luar negeri diharapkan agar lebih kritis sehingga terhindar menjadi ilegal. Mereka harus memahami bahwa untuk menjadi TKI harus melalui prosedur resmi. Di samping itu pemerintah juga akan meningkatkan diplomasi tingkat menteri ke negara-negara penempatan TKI untuk mempermudah pemulangan TKI bermasalah. Diplomasi semacam ini bukanlah hal baru dalam hubungan internasional sejak diketahui bahwa migrasi tenaga kerja ini dapat saling menguntungkan baik 58 untuk negara pengirim maupun penerima. Indonesia sebenarnya dapat meniru Philipina yang menempatkan masalah tenaga kerja di luar negeri dalam daftar tertinggi prioritas para diplomatnya. Di hampir setiap kesempatan dalam pertemuan internasional, Philipina 59 selalu membicarakan masalah perlindungan migran. Diplomasi semacam ini tidak selalu harus dilakukan oleh para diplomat, tempat para tenaga kerja menyampaikan keluhannya. Pemerintah dapat melibatkan kalangan LSM yang mempunyai perhatian yang sama dalam perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Terkait dengan moratorium ini, pemerintah Indonesia dan Malaysia kini tengah merundingkan kembali Nota Kesepahaman tahun 2006. Saat ini masih ada dua masalah yang sedang dalam pembicaraan serius kedua belah pihak, yaitu standar gaji dan 57
“Pengusaha Dingatkan”, Kompas, 17 November 2009, hal. 18. Pendekatan diplomasi semacam ini penting karena keputusan yang diambil menyangkut kepentingan dua negara. Lihat, Joseph Liow, “Malaysia‟s Illegal Indonesian Migrant Labour Problem: In Search of Solutions”, dalam Contemporary Southeast Asia Journal, Vol. 25, No. 1, April 2003, hal. 58-60. 59 Perekonomian Philipina sangat bergantung pada remitan yang berjumlah miliaran dolar AS yang didapat dari para tenaga kerja migrannya sehingga setiap kali ada masalah, pemerintah Philipina segera mengambil tindakan perlindungan. Lihat, Jose N. Franco, Jr., “Securitizing/Desecuritizing the Filipinos‟ „Outward Migration Issue‟ in the Philippines Relations with Other Asian Governments”, Working Paper No. 99, IDSS, Singapura, hal. 5. 58
18
larangan menerima pekerja ilegal. Standar gaji masih menjadi perdebatan apakah ditentukan oleh pemerintah atau pasar. Terhadap majikan yang menerima pekerja ilegal, pemerintah Indonesia mengharapkan agar pemerintah Malaysia lebih ketat mengawasi warga negaranya. MOU yang ditandatangani oleh Indonesia dan Malaysia pada bulan Mei 2006 belum memberikan perlindungan yang memadai bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia seperti belum ada kontrak yang bersifat standar dan perlindungan terhadap pemotongan gaji tenaga kerja oleh majikan, hak-hak tenaga kerja migrant yang belum terjamin, majika yang masih boleh memegang passport tenaga kerja, para tenaga kerja Indonesia dilarang menikah dengan penduduk setempat, belum ada standar gaji minimum dan hari libur dalam seminggu, serta tidak ada mekanisme 60 pemantauan terhadap agen-agen tenaga kerja. Melalui perundingan ulang nota kesepahaman ini pemerintah Indonesia mengharapkan masalah-masalah hubungan kedua negara yang terkait dengan trafiking dan penyelundupan orang akan terselesaikan dengan secepatnya. Sebab yang harus dilakukan pemerintah sebenarnya bukan hanya menyelesaikan masalah kejahatan transnasional itu tetapi juga menyediakan lapangan pekerjaan. Pemerintah menghindari kebijakan yang bersifat reaktif ataupun retorik yang bersifat sementara sebab masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang mempunyai potensi besar untuk selalu terjadi mengingat kondisi-kondisi yang ada di masyarakat sangat memungkinkan untuk melakukan hal itu. Pemerintah memang belum melakukan langkah-langkah sekuritisasi terhadap masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang yang terjadi di perbatasan. Akan tetapi jalan menuju kesana sebenarnya sudah terbuka luas ketika para pihak di daerah yang terkait dengan masalah itu telah menyuarakan perlunya tindakan konkrit dari pemerintah. Para pihak, baik di Kalimantan Barat maupun Sumatera Utara telah sepakat bahwa masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang telah memasuki ranah keamanan nasional karena dampak sosial yang ditimbulkannya. III. Penutup A. Kesimpulan Kegiatan perdagangan orang dan penyelundupan orang dari tingkat RT/RW melalui pemalsuan identitas korban, bahkan orang tua 60
Mely Caballero-Anthony, “Reflections on Managing Migration in Southeast Asia: Mitigating the Unintend Consequences of Securitization”, dalam Melissa G. Curley, et al, (ed), Security and Migration in Asia: The Dynamics of Securitization, Routledge, London, 2008, hal. 169
19
ikut terlibat didalamnya. Dengan kondisi demikian, sulit diharapkan bahwa masyarakat luas akan terlibat dalam pemberantasan perdagangan orang. Kemiskinan dan ketidaktahuan masyarakat mengenai perdagangan orang telah dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang dan penyelundupan orang untuk mencari keuntungan finansial. Sementara, kalangan pemerintahan juga sulit untuk terlibat secara aktif dalam pemberantasan kedua kejahatan transnasional ini karena menganggap hal itu sebagai tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintahan di daerah bahkan tidak mempunyai anggaran yang cukup dalam kegiatan pemberantasan migrasi ilegal ini. Untuk mengamankan kawasan perbatasan dari tindak kejahatan perdagangan orang dan penyelundupan orang, pemerintah tidak dapat lagi hanya mengandalkan pada pendekatan keamanan saja. Ke depan, pendekatan keamanan harus berjalan beriringan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat setempat. Tanpa keduanya dilakukan secara paralel, kondisi kawasan perbatasan yang serba terbatas akan memberi peluang bagi masyarakat di perbatasan untuk mencari keuntungan finansial dari kegiatan perdagangan orang dan penyelundupan orang. Untuk mencegah terus berlangsungnya perdagangan orang dan penyelundupan orang, pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah tanpa harus mengorbankan hubungan baik kedua negara. Untuk sementara ini, langkah yang diambil pemerintah untuk melindungi para TKI yang berada di luar negeri adalah (1) memperbaiki nota kesepahaman (MoU) dengan negara penempatan, (2) menghentikan sementara (moratorium) pengiriman TKI ke negara penempatan yang bermasalah, serta (3) meningkatkan pelatihan dan pembekalan TKI di dalam negeri. Melalui ketiga langkah ini pemerintah mengharapkan agar proses migrasi terhindar dari penyimpangan-penyimpangan mulai dari rekrutmen, penempatan, maupun pelanggaran terhadap hak-hak para tenaga kerja migran. Kerjasama bilateral semacam ini terutama berguna dalam situasi di mana jumlah tenaga kerja yang berasal dari negara asal sangat besar. B. Rekomendasi Penanggulangan perdagangan orang dan penyelundupan orang harus dimulai dari Indonesia sebab Indonesia mengirim tenaga kerja yang tidak siap pakai dan tidak disertai dengan dokumen yang lengkap. Karena itu perlu beberapa langkah terobosan yang dapat mencegah secara berkesinambungan terjadinya perdagangan orang dan penyelundupan orang.
20
Pemberantasan perdagangan orang dan penyelundupan orang harus menjadi gerakan nasional mengingat besarnya dampak yang ditimbulkannya. Menjadi gerakan nasional berarti ada kegiatan berkesinambungan sehingga pemberantasannya akan lebih tuntas. Di samping gerakan nasional, pemberantasan perdagangan orang dan penyelundupan orang dapat dilakukan dengan melakukan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara resmi. Jika ada pengaturan resmi, maka selanjutnya pemerintah daerah harus mempunyai satu divisi khusus yang menangani masalah perdagangan orang dan penyelundupan orang. Divisi ini harus ada terutama di provinsi transit dan provinsi pengirim. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu bekerja sama mengelola kawasan perbatasan agar tidak lagi menjadi lokasi yang rawan bagi praktek-praktek perdagangan orang dan penyelundupan orang, Selama ini Indonesia lebih mengedepankan pendekatan keamanan dalam memelihara dan menjaga kedaulatan wilayah RI di perbatasan. Mengingat kasus perdagangan orang dan penyelundupan orang lebih banyak disebabkan karena faktor ekonomi, maka ke depan pemerintah harus melakukan pendekatan kesejahteraan di samping pendekatan keamanan. Pemerintah Indonesia juga harus senantiasa melakukan komunikasi dengan Malaysia untuk membahas warga negara Indonesia yang berada di negara itu, seperti perlindungan warga negara pada umumnya dan khususnya mengenai kejahatan perdagangan orang dan penyelundupan orang sebab besar kemungkinan ada pihak-pihak yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan para korban untuk memperoleh keuntungan dalam bisinisnya.
21
DAFTAR PUSTAKA Buku Aris Ananta and Evi Nurvidya Arifin, “Should Southeast Asian Borders be Opened”, dalam International Migration in South East Asia, Anis Ananta & Evi Nurvidya Arifin, eds., ISEAS, Singapura, 2004. Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis, Lynne Rienner Publishers, Boulder, 1998. “Data and Research on Human Trafficking: A Global Survey”, IOM, Genewa, Swiss, 2005. Joseph Liow, „Malaysia‟s Approach to Indonesian Migrant Labor‟, dalam Mely Caballero-Anthony, Ralf Emmers and Amitav Acharya (eds), Non-traditional Security in Asia: Dilemmas in Securitisation, Aldershot, UK, 2006. Kenji Kimura, “Human Traffickin in Indonesa: Rethingking the New Order‟s Impact on Exploitative Migration of Indonesia Woman, tesis untuk memperoleh gelar Master pada Fakultas Pusat Studi Internasional, Universitas Ohio, Juni 2006 Mely Caballero-Anthony, “Reflections on Managing Migration in Southeast Asia: Mitigating the Unintend Consequences of Securitization”, dalam Melissa G. Curley, et al, (ed), Security and Migration in Asia: The Dynamics of Securitization, Routledge, London, 2008 Sheldon X. Zhang, “Smuggling and Trafficking in Human Beings”, Praeger, Westport, 2007. William T. Tow, “Alternative Security Models: Implications for ASEAN”, dalam Andrew T.H. Tan and J.D. Kenneth Boutin, Non Traditional Issues in Southeast Asia, Institute of Defence and Stategic Studies, Singapura, 2001. Jurnal Fiona B. Adamson, “Crossing Borders: International Migration and National Security”, International Security, Vol. 31, No. 1, Summer 2006. John McFarlane dan Karen McLellan, “Transnational Crime: The New Security Paradigm”, Working Paper No. 294, Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University, Canberra, 1996. Jose N. Franco, “Securitizing/Deseciritizing the Filipinos‟ „Outward Migration Issu‟ in the Philippines‟ Relations with Other Asian
22
Governments”, Working Paper, IDSS, Singapura, Januari 2006. Joseph Liow, “Malaysia‟s Illegal Indonesian Migrant Labour Problem”, dalam Contemporary Southeast Asia Journal, Vol. 25, No. 1, April 2003. Josy Joseph, “Securitization of Illegal Migration of Bangladeshis to India”, Working Papers No. 100, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, Januari 2006. Ralf Emmers, “The Securitization of Transnational Crime in ASEAN”, Working Papers No. 39, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, November 2002. Rizal Sukma, “The Securitization of Human Traffiking in Indonesia”, Working Paper, No. 162, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, 3 Juli 2008. Samuel M. Makinda, “Security and Sovereignty”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 23, No. 3, Desember 2001. Yannis A. Stivachtis, “International Migration, and the Politics of Identity and Security”, dalam Journal of Humanities and Social Sciences, Volume 2, Issue 1, 2008. Suratkabar: Anak Agung Banyu Perwita, “Isu Perbatasan dan Keamanan Nasional”, dalam Kompas, 26 Agustus 2009. “Banyak Agensi di Malaysia Tutup”, Koran Tempo, 29 Oktober 2009. “Belum Ada Anggaran Untuk Trafiking”, Media Indonesia, 27 Februari 2009. “Malaysia Jarang Memeriksa WNI”, Kompas, 30 April 2009. “Malaysia Siap Lindungi TKI”, Kompas, 13 Oktober 2009. “Meutia Hatta: Jangan Kirim TKI ke Malaysia”, Suara Pembaruan, 11 Juni 2009. “Most people along border areas live in poverty” Jakarta Post, 17 Februari 2009. “PBB Undang Gubernur Kalbar Terkait Human Trafficking”, Antara News, 5 Mei 2008 “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, Kompas, 13 Februari 2009. “Pengusaha Dingatkan”, Kompas, 17 November 2009. “Perbatasan tak Terurus”, Kompas, 12 Februari 2009. “Perdagangan Orang Meningkat Gugus Tugas Dibentuk”, Media Indonesia, 28 Februari 2009. “Perputaran Uang Trafiking Rp 32 Trilyun”, Media Indonesia, 14 Mei 2009. “Perdagangan Manusia: Malaysia Masuk Daftar Hitam AS”, Suara Pembaruan, 17 Juni 2009
23
Internet (Produk Individual) Balanta Budi Prima, “Pengiriman PLRT ke Malaysia Sementara Dihentikan”, dalam http://balanta.wordpress.com/2009/06/26, diakses 25 September 2009 Demetrios G. Papademetriou, “The Global Struggle with Illegal Migration: No End in Sight”, Migration Policy Institute, September 2005, dalam www.migrationinformation.com, diakses 4 Maret 2009. Jacqueline Bhabha, “Trafficking, Smuggling and Human Rights”, Migration Information Source, dalam www.migrationinformation.com, diakses 11 Februari 2009. Natalis Pigay, “Migrasi Dan Penyelundupan Manusia”, dalam http://www.stoptrafiking.or.id, diakses 9 April 2009. Ralf Emmers, “The Threat of Transnational Crime in Southeast Asia: Drug Trafficking, Human Smuggling, and Trafficking, and Sea Piracy”, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, 2003, dalam http://www.ucm.es/info/unisci/revistas/Ralf.pdf. Diakses 3 Maret 2009. Internet (Produk Non-Individual) http//:www.kaltimprov.go.id, diakses tanggal 20 Mei 2009. “MoU Indonesia-Malaysia Harus Segera Diamandemen”, dalam http://id.news.yahoo.com/antr/20090622 “Pengamanan Kawasan Perbatasan Terbelenggu”, Kompas Online, 13 Februari 2009, diakses 3 Maret 2009. Informan: Kasianus Daud, Kepala Divisi Hukum Dephukham Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak Asih Setyawati, Kepala Dinas Sosial Kalimantan Barat, Pontianak Bachtiar H. Tambunan dan Reskrim Polri, Jakarta Jaguri Suni dari Dinas Tenaga Kerja Kalimantan Barat, Pontianak. Dra. Vita Lestari Nasution Msi, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara Didik Tato Priyandono, Reskrim Mabes Polri. Maryadi, Asisten II Bidang Administrasi, Ekonomi dan Kesra Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Drs. Wawan Irawan, Direktur Reskrim Polda Sumatera Utara Bachtiar H. Tambunan dan Reskrim Mabes Polri.
24
WP Nababan, Kabag Dokumentasi dan Informasi Hukum Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Usmandi dari Dinas Kesatuan Bangsa, Pontianak. Martin, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kalimantan Barat.
25
Imigran Gelap di Indonesia: Masalah dan Penanganan Poltak Partogi Nainggolan
1
Abstract The end of containment policy and the Cold War changes global security situation, in which transnational crimes emerge as a new security threat. The rising flow of a large number of illegal immigrants who attempted to use Indonesia either as a transit or a destination country has drawn the attention of the government and the parliament of the country to properly respond it, thus, the new threat will not damage its national security. This research reveals different cases of people smuggling using Indonesia’s territory. The writer discloses the background and the motivation of the actors as well as the politics of the government in coping with the cases. Kata Kunci: Imigran Gelap, People Smuggling, Ilegal Trafficking in Persons, Transnational Organized Crimes. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah imigran gelap sebagai salah satu bentuk kejahatan lintas-negara (transnasional) memperoleh perhatian serius DPR sebagai pusat legislasi nasional. Ini dapat dilihat dari disusun dan dibahasnya sejak tahun 2008 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keimigrasian dan RUU tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah dan Menghukum Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak (Suplemen Konvensi PBB Melawan Transnational Organized Crimes). Selain itu, DPR telah mensahkan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara dan UU No. 35/2009 tentang Narkotika yang terkait kepentingan mencegah kejahatan transnasional lebih banyak lagi, yang implementasinya harus diawasi DPR. Di fora internasional, PBB telah mengeluarkan konvensi terkait masalah imigran gelap, yakni UN Convention Against Transnational 2 Organized Crime. Di samping itu, terdapat dua protokol tambahannya, yakni the Protocols Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and
1
Penulis adalah Peneliti Utama Masalah-masalah Hubungan Internasio-nal di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPRRI. 2 Marsha Mildon, “New UN protocols against organized crime and illegal immigrants”, LawNow, http:// www.highbeam.com/doc/1G1.30066003.ht-ml:1, 1 Pebruari 2001: 1.
1
Air dan the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in 3 Persons, Especially Women and Children. Protokol pertama khusus dirancang memotong pergerakan orang secara illegal melalui berbagai perbatasan internasional. Protokol itu akan memantapkan berbagai persetujuan internasional untuk kerja sama penegakan hukum mencegah penyelundupan manusia. Ia juga berperan 4 dalam melindungi hak kaum migran yang diselundupkan. Ruang lingkup protokol meliputi upaya penyelidikan dan penuntutan tindak pidana yang bersifat transnasional dan melibatkan kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi. Secara khusus, Pasal 5 protokol melindungi mereka yang menjadi korban karena mereka tidak bisa dikenai tanggung jawab tuntutan pidana karena mereka obyek dari tindak pidana yang ditetapkan protokol tersebut. Di berbagai negara kasus imigran gelap terus terjadi, mulai dari Angola, China, dan India hingga Rusia, Inggris dan AS, dengan angka dan alasan yang beragam. Di Angola, pada tahun 2007 terdapat 400 ribu 5 imigran gelap asal Kongo, yang semuanya sudah dipulangkan. Di Cina, sekalipun tidak diperoleh jumlah yang pasti, para imigran gelap asal Korea Utara dan Mongolia terus mengalir. Hal serupa terjadi di India, yang terus terancam imigran gelap asal Bangladesh akibat garis perbatasannya yang panjang. Sementara, di Rusia, angka imigran gelap begitu mencengangkan, mencapai 10-12 juta orang, dengan jumlah 200 6 ribu orang yang masuk setiap tahunnya dari bekas bagian propinsinya. Di Inggris, yang jauh lebih maju secara ekonomi dan stabil secara politik, 7 ada sekitar 500 sampai 700 ribu imigran illegal. Di AS, negeri yang termaju, terdapat antara 12 hingga 20 juta imigran gelap, yang mayoritas 8 berasal dari Amerika Latin. B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Dalam beberapa tahun ini arus imigran gelap menimbulkan keprihatinan global. Negara maju melalui lembaga internasional telah mengampanyekan perlunya pengesahan protokol untuk menghukum mereka yang terlibat, termasuk yang berdampak pada penyelundupan manusia terutama kelompok perempuan dan anak. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sangat rawan terhadap berbagai bentuk tindak kejahatan imigran gelap. Posisi Indonesia dengan daratan yang luas dan garis pantai yang panjang menyebabkan wilayahnya sulit diawasi dari masuknya imigran gelap asal berbagai negara, terutama dari laut. Para imigran gelap ini bisa masuk 3
Ibid. “Dewan Setujui Protokol Menentang Penyelundupan,” Kompas, 18 Pebruari 2009: 2. 5 Lihat, “Illegal Immigrants by Region”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/ wiki/Illegal_ immigrants, 13 Pebruari 2009: 7. 6 Ibid: 9-10. 7 Ibid: 10-11. 8 Ibid: 11. 4
2
melalui wilayah-wilayah perbatasan, baik pintu imigrasi atau akses resmi dan apa yang disebut sebagai “jalan-jalan tikus” yang tidak terkontrol, yang begitu banyak terdapat di sepanjang perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Krisis ekonomi, merosotnya tingkat kesejahteraan dan keamanan di banyak negara, dan bertambahnya angka kemiskinan serta globalisasi dan akses informasi yang memudahkan berlangsungnya kasus-kasus imigran gelap. Terbatasnya pengamanan perbatasan laut Indonesia memudahkan masuknya imigran gelap ke negara kepulauan yang luas ini. Karena itu, masuknya imigran gelap akan menjadi persoalan esensial di Indonesia, bukan saja bagi negara-negara maju, karena beban ekonomi dan dampak keamanan yang diakibatkannya. Sebagai konsekuensinya, perlu diketahui melalui penelitian karakteristik masalah dan penanganan kasus-kasus imigran gelap di Indonesia. Dengan demikian, dapat diketahui dengan jelas motif imigran gelap ke negeri ini dan menjadikannya sebagai negara tujuan (country of destination) ataupun sekedar tempat transit. Melalui penelitian juga akan diketahui country of origin atau dari negara mana saja para imigran gelap itu berasal dan mengapa mereka harus melakukan kegiatan yang beresiko tinggi ini. Sehingga diharapkan, Indonesia yang menjadi sasaran berbagai kegiatan imigran gelap dapat secara efektif meresponsnya, dan arus imigran gelap di masa depan dapat dikurangi, dan, bahkan, dihentikan. Beberapa pertanyaan utama yang diturunkan dari permasalahan di atas untuk penelitian ini adalah: 1. Dari dan ke negara mana saja para imigran gelap berasal dan pergi, dan pihak yang terlibat dalam pengiriman mereka ke negara transit dan tujuan? 2. Apa motivasi atau berbagai faktor yang menyebabkan mereka melakukan kegiatan tersebut? 3. Bagaimana respons dan solusi yang dilakukan pemerintah di negara transit dan tujuan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan memberikan masukan bagi Komisi 1 untuk rapat-rapat kerja pengawasan pelaksanaan berbagai UU terkait yang baru saja disahkan DPR. Yang lebih penting, hasil penelitian akan dikontribusikan bagi pembahasan RUU ratifikasi konvensi PBB mengenai mengenai kejahatan transnasional terorganisasi, seperti penyelundupan manusia (people smuggling) dan perdagangan manusia (illegal human trafficking in persons), yang merupakan suplemen konvensi PBB melawan kejahatan transnasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang berarti, baik dalam bentuk data maupun argumentasi,
3
untuk pembuatan RUU mengenai kelautan, yang termasuk prioritas dalam Prolegnas 2009. D. Kerangka Pemikiran Dalam studi hubungan internasional, masalah imigran gelap dan juga penyelundupan manusia dikategorikan sebagai isu-isu lunak (soft issues). Ini membedakannya dari isu-isu keras (hard issues) seperti masalah perang antar-negara, peningkatan anggaran pertahanan, perlombaan senjata dan pengembangan senjata nuklir. Walaupun demikian, bukan berarti masalah imigran gelap dan penyelundupan manusia merupakan hal yang tidak serius dihadapi banyak negara, apalagi negara maju, dan tidak merupakan ancaman bagi keamanan nasional mereka. Sebab, di pintu masuk berbagai negara, seperti bandara dan pelabuhan laut, pihak imigrasi memasang peringatan ancaman kegiatan tersebut dan besarnya dampak yang ditimbulkan bagi korban, dan mereka yang terlibat, maupun negara transit dan tujuan. Dari perspektif keamanan, analis keamanan mengantisipasi dampak besar yang dapat ditimbulkan kegiatan imigran gelap karena hubungannya dengan kecenderungan peningkatan terorisme internasional yang dilakukan para aktor non-negara (non-state actors) di berbagai belahan dunia. Para aktor non-negara ini dapat memanfaatkan jalur resmi maupun tidak resmi untuk masuk ke suatu negara dengan memanipulasi identitas mereka. Sebagai alternatif, jika gagal dengan modus operandi ini, mereka memanfaatkan akses pengungsi dan calon peminta suaka, yang jika di negara transit dan tujuan tidak terdapat prosedur pemeriksaan yang ketat, akan mendukung tingkat keberhasilan mereka. Selanjutnya, jika mereka lolos pemeriksaan petugas imigrasi dan keamanan, serta tidak diawasi lebih lanjut, dapat membaur dengan masyarakat untuk kemudian melanjutkan kegiatan mereka dan mencapai sasaran yang sebenarnya. Sehingga, jalur imigran gelap dan penyelundupan manusia secara tidak langsung dapat menimbulkan ancaman keamanan nasional bagi suatu negara. Dari perspektif lain, sejalan dengan semakin beragam dan canggihnya ancaman keamanan jenis baru dan majunya analisis studi hubungan internasional dan studi keamanan dan pertahanan, para analis melihat dampaknya lebih jauh terhadap keamanan ekonomi yang dihadapi negara yang menanggung resikonya, sebagai negara transit maupun tujuan. Secara lebih jelas, para analis telah mengkaji relevansinya dengan semakin berat beban ekonomi dan keuangan yang harus ditanggung pemerintah negara transit dan tujuan untuk menangani para imigran gelap tersebut. Hal ini mencakup penyediaan makanan dan akomodasi sehari-hari mereka setelah tertangkap dan menjadi tahanan karantina. Dengan pintu masuk yang banyak, apalagi untuk sebuah negara kepulauan yang luas, resiko ekonominya jauh lebih berat, termasuk untuk memulangkan kembali mereka melalui prosedur
4
deportasi maupun untuk mempersiapkan keberangkatan dan mengirim mereka ke negara tujuan. Inilah yang disebut dengan ancaman ekonomi yang dihasilkan kegiatan imigran gelap. Bersama-sama dengan kemiskinan, keterbatasan akses pada pangan, degradasi lingkungan hidup, dan penyakit menular, imigran gelap dan penyelundupan manusia menciptakan ancaman ekonomi dan 9 sosial, yang disebut sebagai ancaman non-tradisional. Dikaitkan dengan cenderung meningkatnya terorisme internasional di kawasan, yakni kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah Indonesia, yang ditengarai sebagai tempat berkembang biak (safe haven) kejahatan kemanusiaan transnasional tersebut, masalah imigran gelap dan penyelundupan manusia menjadi kian diperhatikan perkembangannya oleh pemerintah atau aparat keamanan negara-negara di kawasan. Sedangkan ancaman oleh organisasi kejahatan transnasional dalam bidang narkotika dan illegal human trafficking atau illicit trafficking in persons itu sendiri belakangan meningkat di beberapa negara anggota ASEAN. Selanjutnya, sebagai salah satu bentuk ancaman nontradisional, imigran gelap dan penyelundupan manusia tidak mengenal lagi batas-batas negara, memiliki keterkaitan antara aspek militer dan non-militer, dan harus 10 diatasi secara simultan dalam lingkup nasional, regional, dan global. Secara spesifik, antara terminologi imigran gelap dan penyelundupan manusia ada sedikit perbedaan, walaupun keduanya sama-sama merupakan bentuk kejahatan transnasional masuknya orang ke suatu negara dari lain negara secara ilegal. Perbedaannya, dalam kasus imigran gelap, pelaku dan kegiatannya lebih terbatas, serta inisiatifnya datang dari mereka yang menjadi imigran gelap (pihak pertama) dan motifnya cenderung (tidak aman secara) politik. Sementara, dalam kasus penyelundupan manusia, pelaku dan kegiatannya lebih luas atau kompleks, serta inisiatifnya berasal dari pihak ketiga yang secara sengaja mencari keuntungan finansial, dan motifnya cenderung (tidak aman secara) ekonomi. Penyebab kegiatan imigrasi gelap adalah perang atau konflik bersenjata berkepanjangan di negara asal, yang menimbulkan kekuatiran 11 atas nasib dan masa depan pelakunya. Kebanyakan mereka melarikan diri dari represi dan berbagai kebijakan melanggar hak asasi manusia (HAM) rejim yang berkuasa. Hal ini menjadi motif politik mereka yang melakukannya di banyak negara terbelakang. Selanjutnya, masalah utama orang melakukan kegiatan imigrasi gelap adalah kemiskinan yang 12 mereka hadapi di negara asal. Mereka masuk secara ilegal ke negara lain yang jauh lebih baik kondisinya untuk mencari penghidupan atau pekerjaan yang lebih layak. Para imigran gelap masuk ke negeri lain
9
Anak Agung Banyu Perwita, “Keamanan Nontradisional”, Kompas, 13 Pebruari 2009: 7. Ibid. 11 Lihat kembali, “Illegal Immigrants by Region”, Wikipedia,13 Pebruari 2009 ibid: 2 . 12 Ibid: 3. 10
5
karena jumlah penduduk meningkat pesat di negeri asal, sehingga kian 13 terbatas sumber daya alam dan ekonomi yang dapat dinikmati. 14 Modus operandi para imigran gelap beragam. Pertama, masuk melalui pintu resmi dan tidak resmi di perbatasan dan menggunakan negara transit (negara ketiga). Ada pula yang memanfaatkan berakhirnnya visa dan paspor mereka dan mencari pihak ketiga yang dapat membantu pembuatan secara ilegal untuk mendapatkan visa dan paspor baru dalam waktu tidak lama. Sebagai kejahatan, kegiatan imigran gelap sering kali dilakukan secara terorganisasi sehingga membutuhkan pendekatan komprehensif melalui kerja sama antarnegara melalui pertukaran informasi dan upaya lain di tingkat internasional. Di tingkat nasional dibutuhkan Undangundang di setiap negara yang telah meratifikasi protokol dan konvensi PBB. Di Indonesia, penyampaian RUU terkait menunjukkan komitmen Indonesia atas pemberantasan penyelundupan manusia, dalam upaya 15 meningkatkan citra di mata internasional. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yang berupaya memaparkan dan menganalisis permasalahan, penyebab, motivasi, dan solusi yang diambil pemerintah berbagai negara dalam menangani masalah imigran gelap. Analisis dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber data yang beragam, baik yang bersifat primer maupun sekunder Penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengandalkan pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Selanjutnya, upaya memperoleh data secara detil dilakukan melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview). B. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengamatan dan wawancara secara mendalam untuk pengumpulan data dilakukan di tempat-tempat penampungan imigran gelap di Propinsi Jakarta dan Jawa Barat. Sebelum melakukan penelitian lapangan, kegiatan pengumpulan data dan wawancara secara mendalam juga dilakukan di wilayah Jakarta Pusat dan sekitarnya dengan beberapa narasumber, yakni para ahli masalah imigran gelap, dari dalam dan luar negeri. Narasumber dari dalam negeri adalah para pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang kegiatannya berfokus pada 13
Ibid: 3-4. Mildon, 2001, loc. cit: 4-7. 15 “Dewan Setujui Protokol Menentang Penyelundupan,” Kompas, 18 Pebruari 2009, loc.cit. 14
6
masalah imigran gelap. Sedangkan narasumber dari luar negeri adalah para pekerja LSM asing terkait, seperti IOM dan UNHCR, dan staf Kedutaan Besar negara sahabat, seperti Australia yang meng-handle langsung dampak kegiatan imigran gelap. Kegiatan pengumpulan data tingkat awal dilakukan dengan studi kepustakaan. C. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada Juli-Oktober 2009. Dalam bulan-bulan itu tersedia waktu yang cukup banyak bagi peneliti untuk mengamati kegiatan para imigran gelap di lokasi penampungannya masing-masing. Juga tersedia kesempatan yang luas bagi peneliti untuk melakukan kegiatan wawancara secara mendalam terhadap berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Penelitian lapangan dilakukan di Propinsi Jakarta dan Jawa Barat. Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan pusat transit para imigran gelap sebelum mereka melanjutkan perjalanan secara langsung menuju negara tujuan ataupun melalui propinsi lain Indonesia. Di kedua propinsi tersebut terdapat tempat pemrosesan para imigran gelap sebelum mereka diproses akhir untuk dideportasi ke negara asal atau dikirim ke negara tujuan dengan status pengungsi bagi yang memenuhi persyaratan. III. Hasil Penelitian A. Karakteristik Aktor Orang yang hendak berimigrasi secara ilegal terdiri dari mereka yang tidak memiliki modal sama sekali, dan mereka yang masih memiliki modal atau uang. Kelompok terakhir ini terpaksa harus melakukan imigrasi secara ilegal karena tidak dapat atau gagal memenuhi persyaratan untuk melakukannya secara legal atau tidak dapat mengurus dokumen perjalanan yang sah yang diperlukan sebagaimana lajimnya, selain juga karena alasan politis yang dihadapi di negara asalnya dan ketidakbersediaan negara tujuan menerima aplikasi mereka untuk dapat diterima menjadi imigran resmi. Mereka yang bertujuan melakukan imigrasi secara legal ini pada umumnya laki-laki dewasa, walaupun ada pula kaum perempuan yang merupakan isteri mereka, dan anak-anak, yang merupakan bagian dari 16 keluarga mereka. Kelompok perempuan, anak-anak, dan orang tua dewasa jarang sekali ditemui, terutama untuk perjalanan imigrasi secara gelap ke negara tujuan yang jauh sekali, yang harus melakukan beberapa kali transit di negara lain. Keterbatasan atau kelemahan fisik menjadi hambatan utama mereka untuk bisa sampai dengan selamat di 16
Lihat, “Polri Tangkap 40 Warga Irak Tanpa Dokumen,” Kompas-Online, 11 April 2009 dan “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009.
7
negara transit dan tujuan, mengingat mereka harus melakukan perjalanan darat yang panjang dan perjalanan laut yang berbahaya, yang seringkali berujung maut dan gagal sampai ke negara tujuan. Para calo, perantara, pengirim imigran gelap, atau perencana perjalanan adalah mereka yang bekerja dengan jaringan dan telah berpengalaman mengetahui seluk-beluk rute perjalanan dan kelemahan penjagaannya, baik di negara transit maupun tujuan. Mereka juga mengetahui hukum nasional yang berlaku dan segala sanksinya, berikut kelemahan-kelemahannya (loopholes) yang bisa dimanfaatkan untuk disalahgunakan. Sementara, para sopir pengangkut para imigan gelap itu di darat dan awak dan pemilik kapal ataupun para nelayan tradisional merupakan operator lapangan yang bekerja lintas pulau, lautan, dan negara, dengan resiko lebih berbahaya yang mereka hadapi di 17 lapangan. Juga, masih ada pelaku lain yang tidak kecil perannya, yakni, penyedia tempat penampungan dan jasa pengangkutan para imigran 18 gelap. Adapun aparat negara di tempat asal, transit, dan tujuan yang meloloskan mereka adalah pihak yang memberikan perlakuan istimewa dan bisa diajak „bekerja sama‟ atau kolusi akibat mental mereka yang korup dan lemahnya kontrol dan penegakan hukum di setiap negara 19 tersebut. Mencari uang adalah motivasi utama mereka terlibat dalam berbagai kegiatan imigran ilegal, yang berbeda dengan tujuan para imigran gelap untuk mencari negara baru yang dapat memberikan mereka rasa aman dan masa depan. B. Negara Asal Aktor Data yang dieproleh selama ini memperlihatkan orang-orang dari negara Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Afghanistan, Pakistan, Irak, Iran, serta Cina (RRC), merupakan langganan pelaku kegiatan imigran gelap, sementara, orang-orang di Indonesia lebih banyak terlibat sebagai perantara atau pihak yang mengirimkan ke negara ketiga untuk tujuan 20 memperoleh uang. Memang ada juga ditemukan orang-orang asal Indonesia sebagai imigran yang masuk secara ilegal ke Malaysia, AS, dan Australia. Namun, lebih banyak imigran gelap berasal dari negaranegara di atas, yang menggunakan wilayah Indonesia sebagai daerah 21 transit sebelum menuju negara tujuan akhir.
17
Lihat, “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008. 18 Lihat, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009. 19 Lihat, sebagai pembanding, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009 dan lihat pula informasi pembaca dalam, “Polri Tangkap 40 Warga Irak Tanpa Dokumen,” Kompas-Online, 11 April 2009. 20 “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008. 21 Lihat, “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008.
8
Pada kejadian pada 2 Nopember 2008, misalnya, terdapat 12 warga negara Afghanistan dan 8 warga negara Pakistan tertangkap di pelabuhan kecil kawasan Bojonegara, Serang, Banten. Sebanyak 20 orang warga negara asing ini tertangkap aparat keamanan saat akan menyeberang secara ilegal ke Australia lewat Pulau Christmas. Selain menangkap 20 WNA yang hendak menyeberang ke Australia secara ilegal itu, polisi juga telah menangkap 2 orang pemilik kapal dan 8 anak 22 buah kapal (ABK). Juga, dari sebanyak 18 imigran gelap yang telah ditangkap aparat keamanan dan ditahan di Rumah Tahanan (Detensi) Kupang, Nusa Tenggara Timur, karena tidak memiliki dokumen keimigrasian, termasuk paspor saat hendak menyeberang secara ilegal ke Australia, dengan alasan mencari kerja, melalui Rote Ndao dan Bandar Udara El Tari, 13 dari 18 imigran gelap itu berasal dari Afghanistan, 23 sedangkan 5 lainnya dari Myanmar. Kasus imigran ilegal yang masuk ke wilayah Indonesia cukup banyak, secara kuantitas, dan sering terjadi belakangan, yang sejak tahun 2008 memiliki kecenderungan peningkatan. Seperti diungkapkan oleh Dirjen Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Basyir Ahmad 24 Barmawi, di Jakarta, baru-baru ini juga tertangkap 19 imigran gelap. Dalam kasus penangkapan di Pelabuhan Bakauheni Lampung pada 24 April 2009, dari 47 imigran gelap yang tertangkap, diketahui mereka semua berasal dari Afghanistan, Pakistan, dan Sri Lanka. Berdasarkan data KP3 Bakauheni, diperoleh informasi, mereka terdiri atas 30 laki-laki 25 dewasa, 10 perempuan dewasa, dan 7 anak-anak. Sementara itu, kalangan perantara kegiatan atau pengirim imigran gelap yang berasal dari Indonesia ada yang tertangkap aparat keamanan laut Australia di perairan Pulau Ashmore, pada 1 April 2008, setelah kedapatan membawa 59 orang imigran ilegal. Pelaku berkewarganegaraan Indonesia tersebut juga merupakan kru kapal penyelundup manusia ke pesisir utara Australia yang terjadi secara terpisah pada awal bulan April 2009. Dalam kasus lain, kapal yang ia kendalikan membawa 38 penumpang dan berhasil berlabuh di Pulau Christmas pada 8 April 2009. Secara mengejutkan, sebuah kapal yang pada pertengahan April 2009 yang membawa 49 orang pencari suaka dari perairan Indonesia menuju Australia telah meledak dan mengakibatkan 5 orang tewas dan belasan lainnya terluka serius dan menjalani pengobatan di rumah sakit 26 terdekat. Dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk di antara 22
“Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008. 23 Penjelasan Kepala Bina Operasional Satuan Resor Kriminal Kepolisian Resor Kota (Polresta) Kupang Iptu Dedy Iskandar, di Kupang, lihat, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan,” Kompas-Online, 15 Januari 2009. 24 “Indonesia Rawan Imigran Gelap,” Kompas-Online, 9 April 2009. 25 “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009. 26 “Dua WNI Dijerat Penyelundupan Manusia di Australia,” Republika –Online, 23 April 2009.
9
31 orang yang menderita luka bakar serius akibat "ledakan" di atas kapal kayu pengangkut pencari suaka di perairan Australia pada 16 April 2009 itu. Berdasarkan informasi yang diperoleh Konsulat RI Darwin, kedua WNI itu masing-masing asal Bone (Sulawesi Selatan) dan Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur). Adapun 2 orang WNI itu diinformasikan berperan sebagai awak kapal yang mengangkut 47 imigran ilegal asal 27 berbagai negara. Dalam banyak kasus kedatangan perahu-perahu penyelundup manusia ke Australia sejak 29 September 2008 sampai 24 April 2009, sudah 23 warga Indonesia yang ditahan di Penjara Hakea Perth, 28 Australia Barat. Dua orang awak kapal Indonesia, yaitu, Muasi dan Hasanusi, telah dikenai tuduhan oleh Polisi Federal Australia (AFP) menyelundupkan 38 dan 59 orang lagi pencari suaka ilegal dengan perahu-perahu mereka ke Australia awal April 2009. Sedangkan pada 22 April lalu, sebanyak 14 orang warga Indonesia telah menjalani proses persidangan kasus yang sama di Pengadilan Magistrat Perth. Kasuskasus penyelundupan ratusan orang pencari suaka asing ke Australia, dalam kenyataannya, telah melibatkan belasan nakhoda perahu asal Indonesia. Tercatat, selama tahun 2008, ada 7 perahu asal Indonesia yang menyelundupkan imigran gelap ke Australia. Namun, kasus-kasus yang melibatkan pelaku orang Indonesia sebagai perantara dan pengirim imigran gelap, tidak hanya pernah tertangkap di wilayah negara tujuan, namun juga ketika masih berada atau transit di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, dalam kasus yang terjadi pada 11 April 2009. Asal kewarganegaraannya pun berbeda dari kebanyakan yang terungkap sebelumnya, bukan lagi dari Asia Selatan, namun Timur Tengah. Badan Reserse Kriminal Polri telah menangkap 40 warga negara Irak yang tidak memiliki dokumen keimigrasian, diduga akan masuk secara ilegal ke Australia, melalui Pulau Christmas, di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mereka yang ditangkap itu terdiri dari 17 laki-laki dewasa, 11 wanita dewasa, 8 anak perempuan dan 4 29 30 anak laki-laki. Semuanya diketahui berkewarganegaraan Irak. Di luar Irak, imigran gelap juga ada yang berasal dari Iran, yang ditengarai sering menggunakan jalur masuk ke Australia melalui Bali, menggunakan jaringan orang Iran yang sudah ada di sana, dan oknum aparat terkait 31 asal Indonesia. C. Negara Transit dan Tujuan
27
“Meledak, Kapal Kayu Milik WNI, Yang Mengangkut Pencari Suaka,” Republika-Online, 17 April 2009. 28 Penjelasan Konsul Fungsi Pensosbud Konsulat RI di Perth, Ricky Suhendar, lihat, “Australia Rawat Intensif WNI Korban „Ledakan‟”, ANTARA, 27 April, 2009. 29 Penjelasan, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira, di Jakarta, dalam “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008. 30 “Polri Tangkap 40 Warga Irak Tanpa Dokumen,” Kompas-Online, 11 April 2009. 31 Lihat informasi pembaca, ibid.
10
1. Negara Transit Indonesia Indonesia, sebagai negara kepulauan yang letaknya strategis di antara 2 benua dan lautan, dengan batas geografi dan jalur pantai yang 32 panjang dan sulit dikontrol oleh aparat dengan peralatan yang terbatas, menjadi jalur transit yang sering digunakan para imigran gelap untuk masuk ke Australia, yang mapan dan maju sistem politik dan ekonominya. Posisi pulau-pulau yang tersebar dan terentang luas dari satu sudut ke sudut lainnya, dan jumlah aparat keamanan laut dan fasilitas mereka yang amat terbatas untuk melakukan kontrol setiap saat, telah membuat wilayah Indonesia sebagai wilayah yang ideal untuk dilalui sebagai wilayah tempat persinggahan sementara, sebelum para imigran gelap dapat melanjutkan perjalanannya menuju negara tujuan akhir, Australia. Tidak tegasnya penegakan hukum, atau mudah diajak „kerja sama‟-nya aparat, termasuk di tingkat yang terendah, seperti lingkungan RT, menyebabkan mereka mudah memperoleh akses masuk untuk menetap sementara. Yang lebih buruk lagi, perilaku aparat keamanan yang bekerja di garis depan terkait dengan pencegahan dan penanganan imigran ilegal ini, mudah disuap dan mau melepas begitu saja mereka 33 untuk masuk dan keluar melanjutkan perjalanan. Tersedianya banyak perantara atau calo yang bersedia mencari pengirim dan juga mereka yang bersedia menjadi pengangkut dengan kapal, telah mendorong lebih banyak lagi mengalirnya imigran gelap dari berbagai negara masuk ke Indonesia untuk beberapa waktu lamanya, sebelum mereka dapat 34 melanjutkan kembali perjalanan. Kemudian, terbukanya pilihan untuk bisa melanjutkan perjalanan dengan transportasi darat, laut, dan udara menuju negara tujuan akhir, Australia, memberi nilai tambah Indonesia 35 sebagai negara transit. Daerah-daerah terpencil di Indonesia menjadi sasaran pertama para imigran gelap untuk sampai ke wilayah kepulauan ini secara ilegal. Pelabuhan laut menjadi tempat yang mayoritas harus mereka lalui dalam perjalanan transitnya menuju negara tujuan akhir. Dalam kasus 24 April, 47 imigran gelap asal Afghanistan, Pakistan, dan Srilanka tertangkap aparat Kesatuan Polisi Pengaman Pelabuhan (Sea Port Interdiction) di 36 Bakauheni, Bandar Lampung. Mereka dilaporkan menggunakan bus dari Jambi menuju Jakarta dengan melintasi Pelabuhan Merak, setelah melalui Pelabuhan Bakauheni.
32
Lihat, “Indonesia Rawan Imigran Gelap,” Kompas-Online, 9 April 2009. Lihat lagi, sebagai pembanding, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009 dan lihat pula informasi pembaca dalam, “Polri Tangkap 40 Warga Irak Tanpa Dokumen,” Kompas-Online, 11 April 2009. 34 Lihat kembali, “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008. 35 Lihat kembali, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009. 36 “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009. 33
11
Sumatera yang dekat dengan Malaysia, menjadi target utama transit para imigran gelap, karena mudah dicapai. Sebelum bisa sampai ke negeri tujuan akhir yang menjadi incaran para imigran gelap selama 37 ini, yakni Australia, tentu saja mereka harus melalui wilayah Indonesia. Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia, terutama di bagian yang menjorok keluar, menyediakan pilihan yang banyak bagi pendaratan para imigran gelap. Jajaran kepulauan Riau merupakan salah satunya. Tidak heran wilayah kepulauan Riau adalah batu pijakan pertama para imigran gelap sebelum mereka masuk ke bagian lain Indonesia Untuk tujuan yang sama, sebanyak 18 imigran gelap asal Afghanistan dan Myanmar juga telah ditangkap saat hendak menyeberang secara ilegal ke Australia, dengan tujuan mencari kerja, melalui Rote Ndao (Nusa Tenggara Timur) atau Bandar Udara El Tari (Ku38 pang). Di Kecamatan Rote Timur, Nusa Tenggara Timur, wilayah di sebelah selatan Desa Oelaba, sering dijadikan tempat pemberangkatan 39 imigran gelap pada malam hari. Tidak hanya pulau-pulau terpencil dan yang berada di wilayah terluar Indonesia, Jakarta pun, yang terletak di jantung Indonesia turut menjadi sasaran untuk transit para imigran gelap. Ini cukup beralasan, karena di ibukota Indonesia ini terletak kantor UNHCR, sehingga para imigran gelap bisa meminta dan mengurus kartu pengungsi untuk bias disalurkan dan diterima secara legal di negara tujuan. Dalam kasus yang terjadi pada awal April 2009, sebanyak 19 40 imigran gelap ditangkap karena tidak memiliki dokumen perjalanan. 2. Negara Tujuan Australia Australia adalah benua, yang sekaligus negara makmur, tetangga Asia, yang letaknya tidak berjauhan. Komposisi penduduk negara tersebut sejak beberapa tahun belakangan diketahui lebih didominasi kelompok lanjut usia (manula atau lansia). Tingkat partumbuhan penduduknya pun rendah sekali, sehingga secara logis, Australia jumlah penduduknya masih sedikit, sangat kontras dengan daratannya yang begitu luas yang merupakan sebuah benua tersendiri. Karena kondisi yang demikian, orang luar memperkirakan negeri itu butuh penduduk banyak, yang bisa dipenuhi dari kalangan pendatang, jika tingkat partumbuhan penduduk dalam negeri tetap rendah. Tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa tentu saja negara besar dan maju di kawasan Pasifik seperti Australia, seperti halnya negara besar dan maju lainnya, sekalipun membutuhkan penduduk pendatang atau imigran, yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki kualitas atau kemampuan tertentu. Dengan kata lain, proses rekruitmen 37
Lihat kembali, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009. “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009. “Meledak, Kapal Kayu Milik WNI, Yang Mengangkut Pencari Suaka,” Republika-Online, 17 April 2009. 40 “Indonesia Rawan Imigran Gelap,” Kompas-Online, 9 April 2009. 38 39
12
akan dilakukan secara selektif, dengan menilai latar belakang, kapasitas pendidikan, dan keahlian yang mereka miliki. Jadi, pada prinsipnya, pemerintah Australia tidak akan menerima begitu saja para imigran asing tanpa melihat kapasitas atau kapabilitas mereka, apakah sesuai atau dapat memenuhi kebutuhan yang selama ini masih tidak dapat dipenuhi penduduk negerinya sendiri. Dan, inipun harus disadari, sifatnya terbatas, tidak permanen, mengingat bisa saja suatu saat di masa depan, tingkat pertumbuhan penduduk domestik berubah meningkat jika terjadi perubahan nilai dan persepsi di kalangan penduduk domestik. Para imigran gelap hanya berpikir sederhana bahwa benua Australia lebih mudah dicapai, dan besar harapan atau peluang keberhasilan yang disediakan disana dibandingkan dengan Eropa dan Amerika. Akses ke Eropa dan AS lebih jauh dan lebih sulit, baik melalui darat maupun laut. Belum lagi ketentuan hukum yang akan menghalangi mereka di berbagai negara yang akan dilalui, begitu ketat atau konsisten, karena di Eropa telah ada kesepakatan regional melalui Uni Eropa yang menutup pintu terhadap pengungsi yang bermotif ekonomi, apalagi imigran gelap. Terdapat paling sedikit 160 ribu imigran gelap yang telah mencoba masuk ke Australia, dengan sekitar 13 ribu yang memiliki 41 alasan kemanusiaan. D. Motivasi Aktor Buruknya kehidupan dan suramnya masa depan di negara asal adalah alasan umum dan pemicu terbesar kasus-kasus mengalirnya imigran gelap ke negara lain. Perubahan nasib dan keadaan, serta kehidupan yang lebih baik di negeri baru, merupakan harapan para imigran gelap untuk lari dari negeri mereka. Dengan keluar dari negara asal mereka, paling tidak mereka memiliki harapan baru, dengan peluang hidup dan masa depan yang berbeda jika telah berada di negara transit, apalagi tujuan. Jika di kalangan imigran gelap yang akan ke Amerika ada yang disebut sebagai American dream, maka di kalangan imigran gelap yang menuju ke Australia, terdapat pula impian seperti itu, yang bisa dikatakan sebagai Australian dream. Dilihat secara detil, motivasi para imigran gelap bisa saja sedikit berbeda. Tetapi, pada umumnya, motivasi yang menyebabkan mereka melakukan imigrasi secara ilegal adalah adanya permasalahan krusial yang mereka hadapi di negara asal masing-masing, yang dapat dilihat dari perspektif politik, keamanan, ekonomi, maupun pandangan individual. Tanpa permasalahan-permasalahan dasar ini, tidak mungkin mereka mau melakukan kegiatan yang sangat berisiko, yang membutuhkan biaya material dan manusiawi yang tinggi, yang pada akhirnya naywa mereka sendiri menjadi taruhan di perjalanan, terutama di laut lepas, baik akibat tantangan alam, maupun kebijakan keras aparat 41
Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta.
13
kaemanan di negara transit dan tujuan. Jadi, bagaimanapun, ada penyebab jelas mengalirnya imigran gelap dari suatu negara ke negara lainnya. 1. Politik Apakah persoalan mendasar dalam negeri yang menyebabkan banyak penduduk Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar ingin keluar dari negerinya, melarikan diri ke negeri lain, termasuk dengan cara ilegal menjadi imigran gelap? Sikap pemerintah yang berkuasa yang tidak dapat diterima, yang tidak mempunyai empati, dan konflik politik domestik yang berkepanjangan telah mengakibatkan munculnya ketidakstabilan politik yang akut di ketiga negeri itu. Di Pakistan dan Bangladesh, dua negara yang bertetangga, dan juga bersaudara, karena dulunya memang satu negara, pilihan atas demokrasi telah membawa kisruh politik dalam negeri yang tidak kunjung selesai, dan bukan segera menjadi panacea untuk memperbaiki kisruh politik sebelumnya akibat penjajahan Barat, konflik agama, dan otoriterisme pemerintahan militer. Sebaliknya, di Myanmar, demokrasi yang menjadi harapan kelompok-kelompok anti-rejim otoriter militer yang telah berkuasa selama beberapa tahun belakangan, tidak kunjung dating, dan telah menyebabkan banyak penduduk yang tertindas, terutama kelompok minoritas, seperti etnis Muslim Rohingya, yang berseberangan dengan kelompok etnis militer yang tengah berkuasa, terpaksa melarikan diri dan masuk secara ilegal ke negeri lain, termasuk ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia, untuk bisa diterima tinggal di negeri-negeri baru ini. Konflik demokrasi secara realistis telah menyebabkan eskalasi kekerasan dalam jangka panjang, terutama setelah terimbas munculnya kelompok-kelompok ekstrim keagamaan. Perkembangan politik yang buruk di Afghanistan setelah jatuhnya rejim konservatif Taliban, dan perang melawan terorisme yang dilancarkan Barat yang belum selesai di sana, berdampak buruk pada kondisi dalam negeri Pakistan pascaMusharraf. Tidak heran, penduduk kedua negeri Muslim di jazirah Asia Selatan itu mencari negeri-negeri yang lebih moderat dan lebih baik kondisinya, yang kehidupan sehari-hari penduduk dan masa depannya tidak terganggu. Di kawasan Timur-Tengah pun demikian, terjadi pengaliran penduduk keluar baik secara legal maupun ilegal keluar Irak dan Iran. Dari Irak, yang mengalir jauh lebih banyak, karena ia telah menjadi sebuah negara gagal (failed state), setelah jatuhnya Saddam Hussein, yang diindikasikan dengan maraknya konflik sektarian antar-pengikut aliran agama, serta juga aksi-aksi terorisme sebagai perlawanan terhadap rejim baru ciptaan-Barat di satu pihak, dan perang melawan 42 terorisme yang terus dilancarkan Barat, di pihak lain, terutama AS. 42
Lihat, misalnya, “Polri Tangkap 40 Warga Irak Tanpa Dokumen,” Kompas-Online, 11 April 2009.
14
Tidak berhentinya hingga dewasa ini serangan bom bunuh diri yang selalu menyebabkan juga jatuhnya korban sipil membuat Irak sebagai kawasan tidak aman, yang tidak hanya membuat penduduk setenpat ingin keluar dari Irak, melainkan juga militer asing yang ditugaskan di sana. Eskalasi kekerasan di Irak meningkat pesat setelah jatuhnya pemerintahan konservatif Taliban di Afghanistan akibat invasi militer AS ke Timur-Tengah. Walaupun rejim sipil pengganti yang tidak otoriter telah berhasil dibentuk dengan bantuan Barat, namun tertib sipil dan keamanan domestik tetap belum berhasil diwujudkan. Para aktor nonnegara di Afghanistan di bawah kendali Taliban yang terpojok meningkatkan perjuangannya melawan ofensi militer Barat dengan memanfaatkan wilayah-wilayah di Pakistan yang banyak didiami kelompok-kelompok konservatif pro-Taliban. Akibatnya, Pakistan, setelah Afghanistan dan Irak, kini menjadi wilayah paling berbahaya baru di dunia. Tidak mengejutkan, penduduk ketiga negeri itu banyak yang lari menyelamatkan diri ke luar negara mereka dengan berbagai macam 43 cara. Mereka yang memilki modal atau uang, jelas mempunyai kesempatan lebih luas untuk menjadi imigran, sekalipun secara ilegal, jika ditentang kepergian mereka dari negeri asal mereka dan kedatangan mereka.di negeri baru. Iran, tetangga Irak, kondisi politik dan keamanan domestiknya memang berbeda, karena terkontrol dengan baik oleh pemerintahan Ahmadinejab. Tetapi, tidak semua menyukai rejim konservatif Ahmadinejab yang telah berkuasa selama 2 peiode ini. Sehingga, mereka yang melakukan kegiatan imigrasi secara ilegal menggunakan alasan ini untuk keluar dari Iran dan mencari negeri baru. Mereka yang tertangkap di Indonesia, dan mereka yang akan melanjutkan perjalanan ilegalnya ke Australia, dapat diidentifikasi sebagai mereka yang tidak dapat menerima situasi politik dalam negeri Iran pasca- pemerintahan moderat Khatami. Sikap Presiden Ahmadinejab yang keras terus menentang Barat dengan propaganda pengembangan kekuatan nuklirnya, yang berimplikasi luas meningkatkan ketegangan di Iran dan kawasan, menciptakan keadaan tidak nyaman penduduknya, terutama mereka yang berpikir moderat dan pragmatis, apalagi pro-Barat. 2. Keamanan Myanmar, yang belakangan ini merupakan sumber asal pengungsi dalam jumlah besar dan beberapa gelombang kedatangan, sejak lama berada di bawah cengkeraman kekuasaan rejim militer yang otoriter dan represif, khususnya terhadap kelompok pro-demokrasi dan minoritas etnik. Demokrasi yang menjadi kunci ke arah kehidupan politik yang demokratis, tanpa diskriminasi, tidak kunjung tiba, melainkan hanya merupakan janji-janji palsu rejim militer. Sejak ditangkapnya tokoh utama 43
Lihat, misalnya, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009 dan “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008.
15
gerakan pro-demokrasi, Aung San Syu kyi, oleh rejim militer yang telah membatalkan kemenangan pemilu kelompok tersebut, perilaku rejim militer semakin otoriter dan represif terhadap penduduknya, tidak terkecuali kelompok etnik minoritas yang memang berbeda latar belakang etnik dengan rejim militer yang berkuasa. Karena tidak tahan bertahun-tahun diperlakukan secara represif oleh pemerintah yang berkuasa, mereka kemudian melarikan diri melalui laut dengan perahu-perahu tradisional mereka keluar negeri itu, dan tiba atau pun terdampar antara lain di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Begitu pula, di Srilanka, sejak lama konflik berkecamuk antara kelompok etnik Sinhala yang mayoritas dengan kelompok etnis Tamil yang minoritas. Gencatan senjata yang telah berhasil dicapai setelah konflik hebat dan bnayak menelan korban jiwa selama bertahun-tahun, dalam kenyataannya, tidak berlangsung lama, karena kemudian perang berkecamuk kembali. Tidak adanya solusi permanen atas masalah yang dihadapi kedua belah pihak, menyebabkan perang dan aksi-aksi kekerasan berlangsung lagi. Kelompok minoritas Tamil pun kembali mengangkat senjata dan memperjuangkan aspirasi separatisme mereka membentuk negara sendiri. Namun, di luar kelompok perjuangan bersenjata Tamil Elam (Macam Tamil), penduduk sipil banyak menjadi korban, sehingga untuk menghindari gelombang kekerasan akibat perang fase baru itu, mereka melarikan diri ke negara lain dengan menggunakan perahu-perahu. Jumlah mereka yang keluar dari negerinya dengan perahu-perahu semakin banyak belakangan ini setelah pemerintah Srilanka melakukan ofensif militer besar-besaran ke sarang gerilyawan Macan Tamil. Keadaan terpaksa menghindari ofensif militer pemerintah Sinhala menyebabkan banyak penduduk Tamil menjadi imigran ilegal karena mereka berusaha masuk ke berbagai negara tanpa 44 dilengkapi dokumen perjalanan yang sah. Kekuatiran terhadap perang yang berkecamuk dan tidak berkesudahan juga dihadapi penduduk sipil di Afghanistan dan Irak. Eskalasi konflik yang meningkat dan mengancam nyawa dan kehidupan keluarga, dan kegagalan badan dunia PBB dan dunia internasional untuk mencegah dan mengatasinya, menyebabkan banyan penduduk sipil mencari wilayah aman baru di berbagai negara. Rasa aman juga dicari penduduk sipil Iran yang berseberangan secara ideologis dengan pemerintah konservatif yang tengah berkuasa di sana. 3. Ekonomi Myanmar, Bangladesh, Srilanka, Afghanistan, Pakistan, dan Irak, negeri-negeri asal imigran gelap tersebut, menghadapi kemiskinan dan keterpurukan ekonomi yang hebat, akibat pemerintahan yang otoriter, sistem politik yang korup ataupun konflik politik dan perang saudara yang berkepanjangan. Ketidakstabilan politik dalam negeri yang lama telah 44
Lihat, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009.
16
membawa dampak sangat buruk pada perekonomian masing-masing negara. Stagnasi ekonomi, tidak adanya peluang usaha, tidak tersedianya lapangan kerja dan meningkatnya pengangguran, serta merosot dan buruknya kesejahteraan dan kualitas kehidupan penduduk mendorong mereka mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain. Buat para perantara atau calo dan mereka yang terlibat menyalurkan imigran gelap di negara asal, transit, maupun tujuan, uang adalah tujuan kegiatan mereka. Di Indonesia, mereka yang melakuan ini pada umumnya dimotivasi oleh kepentingan ekonomi yang mendesak. Tidak heran, mereka orang-orang kecil yang terlibat, seperti sopir dan nelayan-nelayan tradisional mau melakukannya atas suruhan orang lain (perantara atau calo) walaupun harus menghadapi resiko ancaman hukuman berat di negara tujuan dan terancamnya jiwa mereka akibat 45 beratnya perjalanan dan ganasnya gelombang lautan. Sekalipun ada akibat (korban) perkembangan situasi politik dalam negeri, namun, selalu saja terdapat kepentingan ekonomi para imigran gelap. Keinginan untuk memperoleh kesejahteraan hidup dan menggapai masa depan yang lebih baik memberikan motivasi yang lebih besar daripada tinggal selamanya tanpa harapan, hidup dalam kesusahan atau keterbelakangan di negara asal. Jelasnya, tujuan para imigran gelap pada akhirnya adalah memiliki harapan dan masa depan baru yang lebih baik di negeri tujuan yang makmur kondisi ekonominya dan juga menyediakan peluang untuk maju secara luas, walaupun di luar itu, ada juga yang lebih dipicu oleh alasan politis. Tetapi, jika semua alasan lengkap ada di sana dan menjadi motivasi mengapa orang melakukan kegiatan imigran secara ilegal, maka dapat dikatakan sudah tercipta situasi yang complex emergencies. Contoh untuk kasus ini adalah para imigran gelap asal Afghanistan dan Irak. E. Kebijakan Penanganan Terhadap para imigran gelap, selama ini terdapat respons, kebijakan, dan perlakuan yang berbeda-beda, tergantung pada temuan atas motivasi yang sebenarnya mengapa mereka melakukan kegiatan itu. Semua respons pemerintah Indonesia dilakukan secara bertahap, namun dapat dikatakan, tidak ada yang sifatnya tegas dan berupa sanksi atau hukuman yang keras. Pada tahap pertama, imigran gelap ditangkap, lalu ditahan. Kalau tuduhannya pidana, bisa disidangkan dan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di wilayah Indonesia. Jika tidak ada tuduhan pidana, para imigran gelap langsung dipulangkan atau dilakukan deportasi ke negara asal. Dalam menunggu proses, mereka ditahan sementara, namun bisa juga lama, jika tidak baik
45
Lihat, misalnya, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009; “Tergiur Rp 90-an Juta, Kapal Kecil Nekat ke Australia,” Kompas-Online, 3 Nopember 2008, dan “Dua WNI Dijerat Penyelundupan Manusia di Australia,” Republika –Online, 23 April 2009.
17
46
komunikasi dengan negara asal dan jelas penyelesaiannya. Jika jelas dan benar status mereka sebagai pengungsi, dan negara ketiga mau menerima, mereka bisa segera dikirim ke negara ketiga. Di luar itu, mulai digarap kerja sama bilateral dan multilateral untuk mengatasi mengalirnya para imigran gelap, di luar solusi unilateral yang keras yang diterapkan Australia di atas. 1. Penangkapan dan Penahanan Sementara Langkah penangkapan adalah upaya pertama yang dilakukan aparat keamanan Indonesia terhadap para imigran gelap yang tertangkap oleh mereka selama melakukan kontrol di lapangan, terutama di wilayah perairan (laut). Namun, ada juga yang tertangkap dalam perjalanan transit di darat. Laporan yang diterima atau masuk dari masyarakat sangat memegang peran penting dalam proses penangkapan mereka yang sedang sembunyi di wilayah transit, atau sedang menunggu pengangkutan selanjutnya ke wilayah lain dan negara 47 tujuan. Selanjutnya, jika mereka ditengarai tidak steril atau membawa wabah penyakit yang bisa mengakibatkan penyebaran penyakit tertentu, mereka ditahan dalam tahanan karantina pihak imigrasi. Jika mereka memang bersih dari wabah penyakit, mereka bisa dimasukkan dalam tahanan sementara pihak imigrasi (detensi), yang terdapat tidak hanya di ibukota dan kota-kota besar Indonesia, tetapi juga daerah-daerah yang dekat dengan pelabuhan udara, laut, atau juga perbatasan darat. Para imigran gelap yang tertangkap di perjalanan bisa dikirim langsung ke tahanan imigrasi pusat di Jakarta, yang memang dikhususkan untuk 48 imigran bermasalah. Penahanan bersifat sementara, sambil mereka diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Para imigran gelap itu kemudian diselidiki motifnya, apakah memang sesuai dengan keterangan ketika tertangkap di lapangan oleh aparat imigrasi atau kepolisian, dan sesuai pula dengan asal-usul mereka dan situasi yang berkembang di negara asal. Aparat yang berwenang juga menyelidiki apakah ditemukan ada pelanggaran pidana bersama-sama dengan kegiatan imigrasi gelap mereka, seperti penyelundupan narkoba, senjata api, pemalsuan paspor dan visa, pembunuhan, terorisme, dan seterusnya. Jika ditemukan, mereka akan diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman, untuk kemudian dikenakan hukuman penjara yang berkuatan hukum tetap, dan tidak bersifat sementara lagi. 2. Pemulangan Paksa (Deportasi) Dalam hal para imigran gelap berdasarkan penyelidikan aparat yang berwenang tidak ditemukan terlibat atau berbuat pelanggaran 46
Lihat, misalnya, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009. Lihat kasus “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009. 48 Lihat, “47 Warga Asing Ditangkap,” Kompas-Online, 26 April 2009. 47
18
pidana di wilayah hukum Indonesia, mereka bisa segera dilepaskan dan dikembalikan segera ke negara asal. Dalam tahapan ini, penyelidikan tentang latar belakang dan situasi di negara asal telah dilakukan dengan cermat, demikian pula negosiasi untuk penyelesaian masalah mereka dengan baik. Seperti hanya proses penahanan sementara, proses pemulangan (deportasi) ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara penangkap imigran gelap tersebut dan yang memulangkannya, kecuali ada kesepakatan khusus antara negara asal dan yang akan melakukan deportasi, bisa saja biaya pemulangan dan fasilitasinya ditanggung negara asal, seperti dalam kasus penyelesaian imigran asal 49 Bangladesh. Semua masalah teknis pemulangan biasanya diatur sepenuhnya pihak pemerintah negara yang memulangkan. Kebijakan ini bisa dilakukan secara massal, yang dapat dilakukan baik melalui jalur darat, laut, maupun udara, sesuai dengan kondisi di lapangan. Di luar itu, deportasi ada yang dilakukan secara sukarela oleh para imigran yang lama dan tidak sabar tidak memperoleh kepastian resettlement dari negara ketiga. Dalam kasus ini bisa saja biaya ditanggung si imigran itu sendiri, mengingat mereka memiliki kemampuan finansial pribadi maupun 50 memperoleh dukungan dari keluarga. Namun, di Indonesia, dengan disiplin aparat yang rendah, dan hukum tidak diimplementasikan dengan tegas, walaupun telah diketahui para imigran gelap itu tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi, atau negara ketiga tidak mau menerima mereka sebagai imigran, tindakan tegas tidak segera dilakukan dengan mendeportasi mereka. Sehingga, hal ini menyebabkan tejadinya proses penampungan yang lama, yang mudah terjadi penyelewengan dan berbagai dampak 51 sampingan. 3. Penampungan dan Penahanan Lama Kebijakan penampungan dan penahanan para imigran gelap dalam tempo lebih panjang dilakukan jika terdapat penyelidikan mendalam atas latar belakang dan motivasi mereka. Hal ini terutama jika ada di antara mereka yang ditengarai terlibat dalam jaringan penyelundup narkoba dan terorisme internasional. Proses penyelidikan yang lambat dan kebijakan yang tidak tegas, apakah mereka perlu diperiksa lebih lanjut oleh aparat yang berwenang dan diserahkan ke pengadilan, ataukah segera dinyatakan statusnya sudah jelas sebagai imigran gelap, membuat mereka ditampung lama di karantina atau tempat penahanan imigrasi di berbagai daerah di Indonesia. 49
Lihat, “UNHCR Verifikasi Muslim Rohingya,” Republika-Online, 17 April 2009. Wawancara dengan Lukman, Operational Officer di CWS (Church World Services), Implementing Agency of UNHCR, di Cipayung, Jawa Barat pada 1 Oktober 2009; Wawancara dengan Lukman, Operational Officer di CWS (Church World Services), Implementing Agency of UNHCR, di Jakarta pada 2 Oktober 2009. 51 Lihat, “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan”, Kompas-Online, 14 Januari 2009. 50
19
Dengan lemahnya disiplin kerja aparat negara yang berwenang dan penegakan hukum, banyak implikasi negatif yang bisa terjadi. Para imigran gelap dapat mencoba mempengaruhi aparat dengan mencoba menyuap mereka dengan menjanjikan atau memberikan secara langsung uang yang mereka bawa dalam perjalanan, untuk bisa dilepas dan melarikan diri melanjutkan perjalanan ilegal mereka ke negara tujuan akhir. Mereka bisa juga memberikan uang secara tidak langsung melalui perantara (agen) mereka di luar penjara, baik yang berlatarbelakang kewarganegaraan yang sama dengan mereka, yang sudah tinggal di negara transit Indonesia, maupun asal penduduk setempat. Mereka bisa juga melarikan diri sewaktu-waktu, karena banyak tersedia kesempatan untuk itu, mengingat mereka diperlakukan secara 52 istimewa seperti tamu resmi, dan bukan tahanan kriminal, termasuk dengan memperdaya aparat negara yang tengah bertugas dan 53 menggunakan cara kekerasan terhadap mereka. Sebaliknya, aparat yang berdisiplin kerja rendah akibat lemahnya kontrol dan penegakan hukum secara nasional, bisa berdalih mereka „ditipu‟ dan „dikerjai‟ untuk menutupi kelemahan mereka. Sikap tanpa keputusan terhadap para imigran gelap yang telah tertangkap dan ada dalam tahanan, yang selain disebabkan oleh lambatnya penyelidikan atas status mereka, juga dipengaruhi oleh lambatnya proses pengadilan dilakukan, walaupun mereka telah ditengarai kuat melakukan pelanggaran pidana di wilayah Indonesia, mengakibatkan mereka lama ditahan di tempat penampungan. Selanjutnya, hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan setempat yang membuktikan pelanggaran mereka, membuat mereka semakin lama berada di tahanan, tidak lagi di karantina, tempat penahanan sementara pihak imigrasi (detensi), tetapi penjara umum. 4. Penyaluran ke Negara Ketiga Alternatif kebijakan terakhir yang dibuat pemerintah Indonesia terhadap para imigran gelap adalah menyalurkan mereka ke negara tujuan akhir. Hal ini baru segera diproses, jika telah ada kesepakatan menerima mereka, tanpa keberatan apapun, setelah melalui proses negosiasi dan penyelidikan yang cermat, dan biasanya memakan waktu cukup lama. Selain memberikan perlakuan jauh lebih baik terhadap mereka yang sudah maupun belum berstatus pengungsi, karena belum terbukti melalui verfikasi, terutama lewat UNHCR, pemerintah Indonesia memper52
Secara realistis, mereka boleh hidup membaur dengan penduduk lokal, walaupun statusnya belum jelas sebagai pengungsi. Yang sudah berstatus pengungsi, namun masih menunggu resettlement, ada yang sudah menikah dengan penduduk lokal, dan bekerja, misalnya berjualan, namun teteap menerima tunjangan bulanan yang cukup di atas UMR dari UNHCR. Kebanyakan pengungsi bahkan telah menggunakan alat transportasi pribadi sendiri, seperti motor, dan bebas berkeliaran, sebagaimana penduduk lokal, tanpa dibatasi mobilitasnya. Wawancara dengan pengungsi Tamil (Srilanka) dan Somalia, yang dilakukan masing-masing di Cipayung dan Jakarta pada 1 dan 2Oktober 2009. 53 Lihat kasus “18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan” Kompas-Online, 14 Januari 2009.
20
lihatkan empati yang tinggi untuk mengurus mereka yang minta dikirim ke 54 negara ketiga dengan status pengungsi. Proses pengurusan status dan penyaluran mereka membutuhkan waktu dan sekaligus biaya, yang sudah pasti merepotkan negara transit dan negara ketiga yang mau menampung mereka. Dalam beberapa kasus, terdapat pengungsi yang sudah melakukan aplikasi sebagai pengungsi dan tinggal selama 3 sampai 6 tahun di Indonesia masih belum memperoleh negara tempat 55 pemukiman kembali mereka. Karena itulah, isu pengungsi dan imigran gelap sebenarnya tidak disukai di negara transit dan tujuan akhir. 5. Respons Internasional Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan kepada aparat untuk memberi bantuan kemanusiaan sebaik-baiknya 56 kepada imigran gelap. dan ingin memperhatikan masalah tersebut dengan sungguh-sungguh. Namun, menurut pihak di negara tujuan dan organisasi internasional, hal itu belum cukup, sebab Indonesia belum 57 meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pengungsi tahun 1951, sehingga ia tidak dapat dikenakan sanksi internasional jika tidak dapat memenuhi seluruh kewajibannya. Amandemen UU Imigrasi No. 12/2006 tidak cukup untuk memerangi kasus penyelundupan manusia. Yang keras dalam merespons dan menangani kasus masuknya imigran gelap selama ini adalah Australia. Tidak heran, kapal-kapal motor nelayan ataupun perahu-perahu tradisional yang mengangkut para 58 imigran gelap itu kemudian terbakar, meledak, mengalami penembakan, atau insiden lainnya ketika telah berada di wilayah perairan Australia. Sementara, ketika berada di lautan lepas yang ganas justru tidak menghadapi berbagai macam insiden. Pemerintah Australia menolak mengatakan bersikap keras, 59 melainkan tegas, dalam merespons masuknya imigran gelap, karena jika ditoleransi dapat membawa implikasi atas keamanan domestik. Pemerintah Australia tampaknya mau menerapkan kebijakan 54
Lihat, antara lain, “UNHCR Verifikasi Muslim Rohingya,” Republika-Online, 17 April 2009. Wawancara dengan Lukman, Operational Officer di CWS (Church World Services), Implementing Agency of UNHCR, di Cipayung dan Jakarta pada 1 dan 2 Oktober 2009; Wawancara dengan pengungsi Afghanistan dan Tamil (Srilanka) di Educational Center for Refugees di Cipayung, Jawa Barat pada 1 Oktober 2009; Wawancara dengan pengungsi Myanmar, Somalia, dan Afghanistan di Councelling Center for Refugees di Jakarta pada 1 Oktober 2009. 56 “Indonesia-Australia Kerja Sama Tangani Pendatang Ilegal,” Republika-Online, 19 April 2009. 57 Wawancara dengan Steve Hamilton, Programme Coordinator, dan Ronnie Bala, National Operations Officer, pada International Organization for Migration –IOM), pada 26 Agustus 2009 di Jakarta; Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta.. 58 Lihat, antara lain, “Meledak, Kapal Kayu Milik WNI, Yang Mengangkut Pencari Suaka,” Republika-Online, 17 April 2009. Di sumber ini dijelaskan, dari sebanyak 47 penumpang kapal pencari suaka dan awaknya, 31 menderita luka bakar serius, 3 tewas, dan 2 hilang. 59 Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta. 55
21
penangkalan (deterrent) dan “pre-emptive” untuk mencegah para imigran gelap masuk ke wilayahnya sedini mungkin, walaupun bagi pemerintah Australia penggunaan istilah itu dinilai tidak tepat, karena tujuannya juga 60 untuk mencegah dan melindungi Indonesia dari imigran gelap. Bagi pemerintah negeri itu, lebih baik repot menerapkan kebijakan pencegahan di negara asal dan transit sejak awal daripada harus menghadapi dan menyelesaikan, apalagi menerima mereka, di wilayahnya. Pemerintah Australia hanya mau peduli melakukan negosiasi jika para calon imigran gelap masih berada di wilayah negara mereka sendiri dan negara transit. Sementara, jika sudah sampai di wilayah kedaulatan Australia, yang ada hanyalah tindakan keras dan pengenaan sanksi hukum negeri itu. Dalam rangka kebijakan penangkalan dan “pre-emptive” ini, diketahui pemerintah Australia bersedia mengeluarkan biaya besar untuk mendidik aparat, seperti kepolisian, angkatan laut, Dephan, Depkumham, dan imigrasi, di Indonesia, dalam menangani kasus-kasus imigran gelap dan mengirim mereka ke Australia untuk mengikuti pelatihan atau 61 pendidikan singkat. Pendirian pusat-pusat pelatihan untuk itu di Indonesia dengan bantuan pemerintah Australia, termasuk di Akademi Kepolisian di Semarang, terutama dalam pembiayaannya, sejalan dengan kebijakan negeri itu dalam mengatasi ancaman terorisme internasional, mengingat mengalirnya imigran gelap mengandung unsur kejahatan transnasional terorganisasi. Melalui jalur bilateral dengan Indonesia, kerja sama semakin kuat 62 dan gencar dilakukan belakangan ini. Dalam berbagai pertemuan di tingkat menteri dan kepala pemerintahan, secara formal maupun informal, penanganan imigran gelap telah banyak dibicarakan. Presiden Yudhoyono telah menerima telpon dari PM Kevin Ruud terkait peningkatan pendatang ilegal yang signifikan di tahun 2009, untuk kerja 63 sama mencari solusi terbaik. Kerja sama juga dilakukan masing-masing negara dengan badan 64 internasional yang mengurusi pengungsi dan imigran, seperti UNHCR dan IOM. Pemerintah Australia telah memberikan dukungan signifikan melalui pembangunan 15 detention centres di berbagai daerah di 65 Indonesia, dengan yang terbesar di Tanjung Pinang, Riau. IOM dalam
60
Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta. 61 Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta. 62 Wawancara dengan Steven Yates, Third Secretary, untuk bidang Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26 Agustus 2009 di Jakarta. 63 Indonesia-Australia Kerja Sama Tangani Pendatang Ilegal,” Republika-Online, 19 April 2009. 64 Lihat, antara lain, “UNHCR Verifikasi Muslim Rohingya,” Republika-Online, 17 April 2009. 65 Wawancara dengan Michael Bliss, Minister Counsellor untuk Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Indonesia, pada 26Agustus 2009 di Jakarta.
22
kerja samanya sejak 2007 telah memberikan pelatihan pada sebanyak 66 33 aparat negara dari berbagai instansi. Kerja sama yang lebih maju tampak dalam kesepakatan UNHCR dan pemerintah Myanmar di Konferensi Bali untuk melakukan pembangunan ekonomi di wilayah Arakan, Myanmar untuk mencegah imigran ilegal. Pemerintah Australia telah menyatakan kesediannya 67 berkontribusi dalam program tersebut sebesar 3.2 juta dolar Australia, sehingga lebih maju lagi dari hanya membangun pusat atau membiayai pelatihan penanggulangan imigran gelap seperti dalam kerja samanya 68 selama ini dengan Indonesia. IV. Kesimpulan dan Saran I. Kesimpulan Permasalahan domestik yang dihadapi negara-negara yang dilanda konflik dan menghadapi keterbelakangn ekonomi telah mendorong penduduknya melakukan eksodus secara berkelompok sebagai imigran ilegal ke negara yang stabil secara politik dan mapan secara ekonomi. Indonesia merupakan negara tujuan transit yang ideal karena kebijakan pemerintahnya yang dinilai lembek, tidak konsisten, dan kondusif dengan kebutuhan para imigran gelap. Sedangkan Australia merupakan negara tujuan akhir yang banyak menjadi sasaran mereka. Alasan yang diberikan para imigran gelap dalam melakukan kegiatannya pada umumnya sama. Mereka berpendapat adanya ancaman keamanan di negeri asal mereka akibat konflik atau perang saudara yang berkepanjangan dan perbedaan pendapat dengan kelompok yang berkuasa. Tetapi, dalam banyak kasus, mereka yang ditemukan sebagai imigran gelap tidak berlatar belakang sebagai orang yang terancam hidupnya oleh bahaya perang dan kelompok yang berkuasa di negerinya, melainkan lebih tepat sebagai orang yang berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di negara maju. Modus operandi yang dilakukan para imigran gelap dalam menjalankan kegiatannya pada umumnya sama. Tidak sedikit mereka yang memakai tiga jenis jasa transportasi, baik udara, laut, maupun darat menuju negara transit, sebelum melanjutkan dengan jalur transportasi laut dengan kapal-kapal kecil untuk masuk ke negara tujuan akhir. Selanjutnya terdapat beberapa jenis kebijakan penanganan yang dilakukan pemerintah negara tempat transit dan tujuan, baik yang dilakukan secara sendii-sendiri (unilateral) maupun dengan bekerja sama 66
Wawancara dengan Steve Hamilton, Programme Coordinator dan Ronnie Bala, National Operations Officer, pada International Organization for Migration –IOM), pada 26 Agustus 2009 di Jakarta. 67 “UNHCR Verifikasi Muslim Rohingya,” Republika-Online, 17 April 2009. 68 Wawancara dengan Robert Ashe, Regional Representatives, UNHCR di Jakarta pada 26 Agustus 2009 di Jakarta.
23
(bilateral) dan yang menjadi konsekuensi dari kesepakatan multilateral yang telah disetujui dan diratifikasi parlemen nasional. Kebijakan penanganan imigran gelap membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi dalam jangka panjang. Walaupun kerja sama bilateral maupun multilateral dapat meringankan beban negara transit dan tujuan, dari perspektif ekonomi, politik dan keamanan, namun pemerintah Indonesia belum memperlihatkan keinginan mendukung parlemen untuk meratifikasi perjanjian internasional terkait ini, karena kuatir dengan beban pembiayaan besar yang harus ditanggungnya sendiri di kemudian hari, sebagai konsekuensi logis dari ratifikasi tersebut. II. Saran Dari hasil penelitian perlu disarankan agar sikap pemerintah dalam menangani masalah imigran gelap harus tegas. Sikap yang selama ini yang tampak lunak dan seperti memberikan kenyamanan bagi para pelakunya harus segera diakhiri untuk menekan laju imigran gelap secara deras di masa depan. Sedangkan terhadap usulan ratifikasi konvensi internasional terkait oleh komisi DPR terkiat, Komisi I terutama, perlu dipikirkan secara mendalam tingkat kesiapan dan segala konsekuensi yang akan dihadapi pemerintah Indonesia.
24
Daftar Kepustakaan Buku: Dowell Myers. Immigrants and Boomers: Forging A New Social Contracts for the Future of America, Russell Sage Foundation, 2007. Laham Nicholas. Ronald Reagan and the Politics of Immigration Reform. Praeger Publishers,2000. Lisa Magana. Straddling the Border: Immigration Policy and the INS, 2003. Mae M Ngai. Impossible Subjects: Illegal Aliens and the Making of Modern America, 2004. Vanessa B Beasley (Ed). Who Belongs in America?: Presidents, Rhetoric, and Immigration, 2006. Tranaes T and Zimmermann, KF (Eds.), Migrants, Work, and the Welfare State, Odense, University Press of Southern Denmark, 2004. Zimmermann, KF (ed), European Migration: What Do We Know, Oxford University Press, 2005.
Surat Kabar: Anak Agung Banyu Perwita, “Keamanan Nontradisional”, Kompas, 13 Pebruari 2009 “Australia Rawat Intensif WNI Korban „Ledakan‟”, ANTARA, 27 April, 2009. “Dewan Setujui Protokol Menentang Penyelundupan,” Kompas, 18 Februari 2009. Jurnal GJ, Borjas. “The Economics of Immigration,” Journal of Economic Literature, Volume 32, 1994.
Internet Marsha Mildon. “New UN protocols (against organized crime and Illegal immigrants”, LawNow, http:// www.highbeam.com/doc/1G1.30066003.html:1, 1 Pebruari 2001. “Dua WNI Dijerat Penyelundupan Manusia di Australia,” RepublikaOnline, 23 April 2009. “47 Warga Asing Ditangkap,” 26 April 2009, Kompas-Online.
25
“18 Imigran Gelap Kabur dari Rutan,” Kompas-Online, 15 Januari 2009. “Illegal Immigrants by Region”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Illegal_immigrants, 13 Pebruari 2009: 7.“ Indonesia Rawan Imigran Gelap,” Kompas-Online, 9 April 2009. “Meledak, Kapal Kayu Milik WNI, Yang Mengangkut Pencari Suaka,” Republika-Online, 17 April 2009.
26
IMPLEMENTASI PASAL TENTANG AFFIRMATIVE ACTION DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD (Studi di Provinsi Maluku Utara) Sali Susiana dan Dian Cahyaningrum Abstract Law No. 10/2008 on legislative election requires 30% quota for women members. The report of the research which has been conducted in North Maluku province proved that majority of political parties supported the requirement for the affirmative action by placing at least 30% women in their parties’ chairpersonship. More specifically, three main parties have given 30% quota for women candidates and applied zipper system in the 2009 legislative election. This research finding also showed that although women candidates did not put at the top priorities of the election list, they in fact had greater chance to win. This means that Constitutional Court’s decision to justify free election was not counter-productive with affirmative action. Kata Kunci: Affirmative Action, Kepengurusan Parpol, Zipper System. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Sistem pemilu merupakan salah satu faktor utama yang signifikan dalam menentukan tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) sebagai salah satu dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2009 telah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Selain terdapat dalam UU Pemilu, keterwakilan 30% untuk perempuan sebelumnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, jumlah pasal dan luas cakupan materi yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk
Sali Susiana, peneliti madya Bidang Studi Kemasyarakatan, Studi Khusus Gender, alamat e-mail:
[email protected]. Dian Cahyaningrum, peneliti muda Bidang Hukum, alamat e-mail:
[email protected]. Kedua penulis adalah peneliti pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Pelayanan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.
1
perempuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 lebih banyak. Namun demikian, efektivitasnya dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih perlu dipertanyakan, mengingat undangundang ini belum disertai dengan sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankan ketentuan tersebut. Peluang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dikhawatirkan semakin mengecil ketika keluar Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan MK yang secara implisit membatalkan Pasal 214 UU Pemilu tersebut telah berimplikasi sangat luas, karena mengubah sistem 1 pemilu yang ada dalam UU Pemilu secara keseluruhan. Berkaitan dengan upaya peningkatan keterwakilan perempuan, Putusan MK itu telah menghilangkan koherensi hulu-hilir tindakan 2 affirmative action dalam UU Pemilu. Sistem zipper yang merupakan tindakan afirmatif (affirmative action) bagi calon anggota legislatif (caleg) perempuan agar memiliki peluang lebih besar untuk terpilih seperti diatur dalam Pasal 55 UU Pemilu menjadi tidak ada artinya, karena penentuan caleg terpilih tidak lagi didasarkan pada sistem nomor urut. Meskipun demikian, hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Pemilu 2004. Perempuan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meningkat menjadi 106 orang dari 560 orang total Anggota DPR (18,9%) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdapat 36 orang perempuan dari 116 orang total Anggota DPD 3 (27,3%). Pada Pemilu 2004, perempuan yang terpilih untuk duduk di 4 DPR sebanyak 65 orang (11,82%) dan di DPD 29 orang (21,09%). Hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan, beberapa provinsi, yaitu Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Pemerintahan Aceh, tidak memiliki wakil 5 perempuan di DPR. Sebaliknya, 3 orang Anggota DPR yang berasal dari 6 Provinsi Maluku Utara semuanya perempuan. Di provinsi ini juga terdapat 12 orang perempuan Anggota DPRD, baik di tingkat provinsi 1
Disampaikan oleh Fajrul Fallah dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, Jakarta 2009. 2 Ani Soetjipto, disampaikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia PascaJudicial Review UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, Jakarta 2009. 3 Daftar Anggota DPR RI dan DPD RI Hasil Pemilu 2009, Komisi Pemilihan Umum, Republika, 29 Mei 2009 hal. 7. 4 Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Tahun 2006, hal. 5. 5 Daftar Anggota DPR RI dan DPD RI Hasil Pemilu 2009, Komisi Pemilihan Umum, Republika, op.cit. 6 Ibid.
2
maupun kabupaten/kota. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji, terlebih bila mengingat bahwa Maluku Utara merupakan sebuah provinsi yang relatif baru, sebagai hasil pemekaran wilayah dari Provinsi Maluku. Agar lebih fokus, penelitian dibatasi pada perempuan Anggota DPRD Provinsi Maluku. B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana implementasi pasal-pasal yang berkaitan dengan affirmative action dalam UU Pemilu di Provinsi Maluku Utara?” Permasalahan penelitian tersebut secara lebih rinci dijabarkan dalam pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana implementasi pasal yang berkaitan dengan kewajiban partai politik (parpol) untuk memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol? 2. Bagaimana keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) dan implementasi pasal tentang zipper system (sistem selang-seling)? 3. Bagaimana implikasi putusan MK No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 terhadap peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif? 4. Bagaimana aturan yang ideal mengenai affirmative action yang dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian dan wacana mengenai partisipasi politik perempuan, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Sedangkan tujuan praktis dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pasal-pasal yang berkaitan dengan affirmative action dalam UU Pemilu dalam meningkatkan keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif pascaPutusan MK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi DPR dalam merevisi UU Pemilu. D. Kerangka Pemikiran Indonesia telah meratifikasi dua konvensi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan, yaitu Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan/The Convention on Political Rights for Women (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
3
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Dengan meratifikasi kedua konvensi tersebut, berarti Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan setiap bagian dan pasal 7 dari dua konvensi itu secara maksimal, tidak terkecuali yang berkaitan dengan upaya meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Akan tetapi, realitas politik yang ada saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik perempuan di Indonesia masih relatif rendah sebagaimana telah disampaikan pada bagian sebelumnya. Realitas tersebut secara tidak langsung telah merugikan perempuan, mengingat sesungguhnya keterwakilan politik perempuan 8 sangat berarti karena beberapa argumen. Pertama, dari segi demokrasi, jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Jadi, merupakan bangunan teoretis yang wajar bila wakil rakyat merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, hal itu merupakan penggunaan kemampuan intelektual perempuan. Dan keempat, dari segi keterwakilan, banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Meskipun banyak argumen yang menerangkan pentingnya keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam politik, tetapi kondisi empiris juga menunjukkan banyaknya faktor yang menghambat partisipasi politik perempuan. Center for Asia-Pasific Women in Politics mencatat adanya dua faktor utama, yaitu: (1) pengaruh dari masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan; dan (2) kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial-politik, antara 9 lain tipe sistem pemilihan umum (pemilu). Pentingnya faktor sistem pemilu dalam keterwakilan perempuan juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian empiris. IFES menyatakan ada 7
Berdasarkan Pasal 1 UU No.7 Tahun 1984, Indonesia hanya melakukan reservasi terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi CEDAW. Ketentuan dalam Pasal 1ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara-negara anggota PBB yang meratifikasi Konvensi CEDAW tanpa melakukan reservasi secara substantif. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No.7 Tahun 1984, Konvensi CEDAW pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 8 lihat pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i. 9 Ibid., hal. 21-30.
4
tiga faktor utama yang berpengaruh paling signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga yang anggotanya 10 dipilih, yaitu: (1) sistem pemilu; (2) peran dan organisasi partai-partai politik; dan (3) penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung 11 (affirmative action/aksi afirmatif atau diskriminasi positif) yang bersifat wajib atau sukarela. Di antara ketiga faktor tersebut di atas, sistem pemilu merupakan faktor yang secara langsung paling berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penggunaan sistem pemilu tertentu akan menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. Akan tetapi, penggunaan sistem pemilu tertentu, yaitu berdasarkan representasi proporsional, dapat memfasilitasi penggunaan cara lain untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, seperti keharusan partai-partai politik untuk menetapkan suatu jumlah minimum kandidat perempuan yang harus ditempatkan partai pada kursi-kursi yang berpeluang untuk dimenangkan. Di sinilah kuota mengambil peran penting dalam meningkatkan keterwakilan perempuan. Ide inti di balik sistem kuota adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak 12 sekedar merupakan sedikit "tanda" dalam kehidupan politik. Kuota bagi perempuan merupakan suatu jumlah tertentu atau persentase dari anggota suatu badan, apakah itu suatu daftar caleg, majelis parlemen, suatu komite, atau suatu pemerintahan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa perempuan, paling tidak, merupakan satu "minoritas kritis" (critical minority) yang terdiri dari 30 atau 40 persen. Dan kuota ini diterapkan sebagai tindakan temporer (sementara), artinya diterapkan sampai hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam politik dapat disingkirkan. Logikanya, perempuan tertinggal jauh "start" nya ketika memasuki dunia politik dibanding dengan laki-laki. Oleh karena itu kuota tidak diperlukan lagi ketika keduanya sudah berada pada garis start yang sama. Angka 30% sebagai critical minority ini sesuai dengan Laporan Perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisa gender dan pembangunan di 174 negara yang menyatakan bahwa:
10
Ibid, hal. 7. Pengertian awal affirmative action (aksi afirmatif) adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan profesi. Pada perkembangan selanjutnya, istilah ini mengacu pada bermacam-macam aktivitas, seperti monitoring terhadap pembuatan keputusan di tingkat yang lebih rendah untuk memastikan keadilan dalam keputusankeputusan mempekerjakan dan mempromosikan pegawai dan menyebarkluaskan informasi mengenai peluang kerja atau kesempatan-kesempatan lain. Lihat Sandra Kartika (ed.) dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis. LSPP, Jakarta, 1999, hal. 4. 12 Lihat Drude Dahlerup: Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, IDEA, 2002, hal. 114. 11
5
"Meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk 13 memberikan pengaruh yang berarti dalam politik.” 14
Kuota sebenarnya bersifat gender neutral (netral gender), namun sebagian besar kuota yang diterapkan di beberapa negara bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan, karena masalah yang biasanya muncul adalah kurang terwakilinya perempuan. Oleh karena itu, terdapat pendapat yang pro dan kontra mengenai ide kuota ini. Di satu pihak, kuota dianggap dapat memberikan kompensasi atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dari keterlibatannya secara adil. Di sisi lain, kuota dianggap diskriminatif, tidak demokratis, dan menentang prinsip kesempatan kesetaraan bagi 15 semua. Ditinjau dari perspektif perempuan, pemberian kuota bagi perempuan tidak dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi. Apalagi, tindakan ini bersifat temporer dan akan dihentikan bila tujuan dari pemberian kuota telah tercapai. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 4 Konvensi CEDAW, yang menyatakan bahwa: “Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan dan 16 tindakan telah tercapai.”
Kuota bagi perempuan dapat bersifat wajib maupun sukarela. Beberapa kuota yang berhasil diperkenalkan di beberapa negara adalah kuota sukarela, yang diterapkan oleh partai politik untuk menunjukkan komitmennya terhadap keterwakilan perempuan. Misalnya, komitmen Partai ANC di Afrika Selatan untuk memberikan kuota 30% bagi kandidat perempuan. Di Australia, Partai ALP memberikan kandidat perempuan sepertiga daerah pemilihan yang dianggap dapat menang dalam pemilu untuk parlemen majelis rendah nasional. Di Inggris, Partai Buruh menggunakan seluruh daftar perempuan untuk pencalonan di distrikdistrik pinggiran pilihan pada Pemilu tahun 1997, yang telah 13
IFES, op.cit., hal. 1. Artinya kuota dapat juga diterapkan untuk laki-laki, misalnya untuk membantu laki-laki memasuki posisi-posisi dimana wakil perempuan lebih mendominasi, seperti di sektor sosial. Lihat Dahlerup, op. cit. 15 Pro kontra ini secara lebih lengkap dapat dibaca dalam Dahlerup, op.cit., hal. 115-116. 16 MB. Wijaksana (ed), Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Politik Perempuan dalam Politik, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: 2004, hal. 12. 14
6
menyumbangkan peningkatan dua kali jumlah perempuan di parlemen 17 Inggris antara tahun 1992 dan 1997. Sementara itu, ketentuan kuota yang bersifat wajib biasanya dituangkan dalam konstitusi atau undang-undang pemilu. Persentasenya pun sangat bervariasi, mulai dari 20% hingga 50%. Negara yang 18 berhasil menerapkan kuota wajib di antaranya adalah Argentina. Undang-Undang (UU) tahun 1991 di negara itu menetapkan bahwa 30% dari kandidat di setiap daftar kandidat parpol di setiap daerah pemilihan diisi oleh perempuan pada "nomor jadi." Saat ini, delapan negara Amerika Latin lainnya, yaitu Bolivia, Brasil, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Panama, Peru, dan Venezuela, meminta setiap parpolnya untuk menyediakan antara 20% sampai 40% dari posisi kandidatnya untuk perempuan. Sedangkan di Belgia sejak tahun 1994 ditetapkan ketentuan bahwa 25% dari kandidat partai adalah perempuan. Perancis bahkan memperkenalkan UU yang menetapkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen nasional dan daerah sebesar 50% 19 mulai tahun 2002. Pemberlakuan kuota dalam konstitusi maupun undang-undang memerlukan sanksi untuk menjamin kepatuhan. Misalnya hal ini dapat dijadikan alasan penolakan untuk menerima daftar partai peserta pemilu, kecuali partai itu memenuhi persyaratan kuota seperti yang diberlakukan di Argentina. Sanksi lain adalah sanksi keuangan, misalnya hilangnya hak atas dukungan dana kampanye dari negara yang dipraktekkan oleh 20 Perancis. II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian lapangan dilaksanakan pada tanggal 6 s.d. 11 Desember 2009 di Provinsi Maluku Utara. Pemilihan daerah ini didasarkan pada fakta bahwa di provinsi ini jumlah perempuan yang menjadi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota relatif cukup banyak, mencapai 21 orang. Di DPRD provinsi terdapat 4 orang perempuan, sedangkan jumlah perempuan di DPRD kabupaten/kota sebanyak 17 orang. Akan tetapi mengingat keterbatasan waktu yang tersedia, penelitian hanya dilakukan terhadap perempuan yang duduk di DPRD provinsi. B. Bahan/Cata Pengumpulan Data
17
IFES, op.cit., hal. 17-18. Dahlerup, op.cit., hal. 118; IFES, op. cit., hal. 18. 19 IFES, op.cit. 20 Ibid,. 18
7
Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh masukan sebanyakbanyaknya dari para informan yang menjadi subjek penelitian, sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh mengenai implementasi pasal-pasal tentang keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Pemilu di Provinsi Maluku Utara. Sesuai dengan pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara terbuka kepada subjek penelitian. Wawancara dilakukan terhadap 7 orang informan. Empat orang caleg perempuan yang terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara semuanya dijadikan sebagai informan. Empat orang Anggota DPRD tersebut berasal dari dua partai, yaitu Partai Golongan Karya dan Partai Hati Nurani Rakyat. Keempat orang tersebut adalah Farida Djama, Ratna Marsaoly, Ike Masita Tunas, dan Gamaria Iskandar Alam. Tiga orang informan lainnya adalah Jufri, A, M.Si (Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara), Isman Abas, M.Si (Kepala Bagian Persidangan Sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara, dan Nurdewa Jafar, seorang caleg perempuan yang tidak terpilih sekaligus tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan yang ada di Provinsi Maluku Utara. Selain teknik wawancara, penelitian ini juga dilengkapi dengan studi literatur terhadap dokumen yang relevan dengan topik penelitian. C. Metode Analisis Data Analisis data telah dilakukan bersamaan dengan pengumpulan dan interpretasi data serta penulisan naratif. Data yang telah berhasil diperoleh di lapangan kemudian diorganisasikan secara sistematis. Menurut Highlen dan Finley (1996) sebagaimana dikutip oleh Poerwandari, organisasi data yang sistematis ini memungkinkan peneliti untuk: (1) memperoleh kualitas data yang baik; (2) mendokumentasikan analisis yang dilakukan; dan (3) menyimpan data dan analisis yang 21 berkaitan dengan penyelesaian penelitian. Sesuai dengan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: (1) rekaman wawancara kepada subyek penelitian; dan (2) hasil studi dokumen yang relevan dengan topik penelitian. Untuk hasil rekaman wawancara, pertama-tama data ditranskrip sesuai dengan rekaman wawancara yang telah dilakukan (verbatim). Selanjutnya dilakukan analisis awal, dengan cara melakukan pemadatan fakta dan penyimpulan fakta konkret, sebelum akhirnya ditemukan tematema. Baru kemudian dilakukan analisis akhir dan interpretasi data. Sedangkan hasil studi literatur yang relevan dengan topik penelitian 21
Poerwandari, Penelitian Kualitatif dalam Perilaku Manusia, Universitas Indonesia, Jakarta: hal. 84.
8
digunakan sebagai bahan untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian sekaligus pelengkap dan bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian ini. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Hasil Pemilihan Umum di Provinsi Maluku Utara Provinsi Maluku Utara (Prov. Malut) terbentuk pada tahun 1999, sebagai hasil pemekaran wilayah Provinsi Maluku. Pembentukannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang disahkan pada tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi ini resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999. Ibukota Prov. Malut yang definitif adalah Sofifi. Namun mengingat berbagai aspek daya dukung prasarana dan sarana pemerintahan yang ada di Sofifi belum memadai untuk menjalankan pemerintahan, untuk sementara Kota Ternate difungsikan sebagai ibukota provinsi. Barulah pada awal tahun 2010, secara perlahan aktivitas pemerintahan mulai dilaksanakan di Sofifi. Secara administratif provinsi ini terbagi menjadi 6 wilayah kabupaten dan 2 wilayah kota, yaitu Kab. Halmahera Utara, Kab. Halmahera Timur, Kab. Halmahera Barat, Kab. Halmahera Selatan, Kab. Halmahera Tengah, Kab. Kepulauan Sula, Kota Ternate, dan Kota Tidore Kepulauan. Adapun penduduk Prov. Malut terdiri dari 8 sub-etnis yaitu, Ternate, Tidore, Makian, Galela, Tobelo, Sanana, Maba, dan Bacan, yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda serta memiliki 22 kekhasan masing – masing. Pemilihan umum (pemilu) legislatif di Prov. Malut pada tahun 2009 yang lalu diikuti oleh 36 partai politik (parpol). Terdapat dua parpol yang tidak mengikuti pemilu legislatif, yaitu Partai Persatuan Nahdatul Ummah dan Partai Sarikat Indonesia, karena kedua parpol ini tidak memiliki kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dari hasil pemilu legislatif tersebut, secara keseluruhan di Prov. Malut terdapat 21 orang perempuan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, meliputi 4 orang perempuan di DPRD provinsi (8,9% dari total 45 orang Anggota DPRD) dan 17 orang di DPRD kabupaten/kota. Empat orang perempuan Anggota DPRD tersebut berasal dari 2 partai. Dua orang dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan 2 orang lainnya berasal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Adapun di DPRD kabupaten/kota, 17 orang perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif tersebar di 2 kota dan 4 kabupaten 22
http://www.malutprov.go.id, diakses tanggal 18 Januari 2010.
9
yang ada di Prov. Malut. Terdapat 2 kabupaten yang tidak memiliki wakil perempuan dalam DPRD, yaitu Halmahera Timur dan Halmahera Selatan. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Komposisi Anggota DPRD Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Berdasarkan Jenis Kelamin Kab/Kota Kota Ternate Kota Tidore Kab. Halmahera Barat Kab. Halmahera Utara Kab. Halmahera Timur Kab.Halmahera Selatan Kab.Halmahera Tengah Kab. Kepulauan Sula
Perempuan (%) 4 orang (16) 2 orang (10,5) 3 orang (12) 4 orang (13) - (0) - (0) 3 orang (14,3) 1 orang (4)
Laki-laki (%) 21 orang (84) 17orang (89,5) 22 orang (88) 26 orang (87) 20 orang (100) 23 orang (100) 18 orang (85,7) 24 orang (96)
Jumlah 25 orang 19 orang 25 orang 30 orang 20 orang 23 orang 21 orang 25 orang
Sumber: Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Maluku Utara tahun 2009.
2. Implementasi Pasal-pasal tentang Affirmative Action dalam UU Pemilu a. Keterwakilan Perempuan dalam Kepengurusan Parpol Keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol diatur dalam UU Pemilu Pasal 8 ayat (1) huruf d, yang menyatakan bahwa salah satu syarat parpol agar dapat menjadi peserta pemilu adalah “menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.” Selain dalam UU Pemilu, keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol juga diatur dalam UU Parpol, yaitu pada Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik Pasal 2 ayat (2) dan Bab IX tentang Kepengurusan Pasal 20. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Parpol dinyatakan bahwa “pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan.” Sedangkan dalam Pasal 20 disebutkan bahwa kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART parpol masing-masing. Data dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Pemerintah Prov. Malut menunjukkan, sebanyak 26 orang perempuan menjadi pengurus di 23 parpol dari total 36 parpol yang ada di Prov. Malut. Sebagian besar perempuan memiliki posisi sebagai bendahara (21 orang), 4 orang sebagai sekretaris partai, dan 1 orang menjadi ketua partai. Komposisi perempuan dalam
10
kepengurusan partai di Prov. Malut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Posisi Perempuan dalam Kepengurusan Partai di Tingkat Provinsi (DPD I) Posisi Partai % Ketua Sekretaris Bendahara Partai Hati Nurani Rakyat v 33 Partai Karya Peduli Bangsa v 33 Partai Pengusaha dan Pekerja Ind. v 33 Partai Peduli Rakyat Nas. v 33 Partai Gerakan Ind.Raya v 33 Partai Barisan Nasional v 33 Partai Keadilan dan Persatuan Ind. 0 Partai Demokrasi Pembaruan 0 Partai Karya Perjuangan V v 67 Partai Matahari Bangsa 0 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 0 Partai Demokrasi Kebangsaan v 33 Partai Republika Nusantara v 33 Partai Pelopor v 33 Partai Golongan Karya v 33 Partai Keadilan Sejahtera 0 Partai Amanat Nasional 0 Partai Perjuangan Indonesia Baru V v 67 Partai Kedaulatan v 33 Partai Persatuan Daerah v 33 Partai Kebangkitan Bangsa 0 Partai Pemuda Indonesia v 33 Partai Nasional Ind. Marhaenisme 0 Partai Persatuan Pembangunan 0 Partai Damai Sejahtera v 33 Partai Nas.Benteng Kerakyatan Ind. v 33 Partai Bulan Bintang 0 Partai Demokrasi Ind. Perjuangan v 33 Partai Bintang Reformasi v 33 Partai Patriot 0 Partai Demokrat 0 Partai Kasih Demokrasi Indonesia V v 67 Partai Indonesia Sejahtera 0 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 0 Partai Merdeka v 33 Partai Buruh V v 67 Sumber: Daftar Partai Politik Provinsi Maluku Utara, Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Maluku Utara tahun 2009.
11
Berdasarkan wawancara dengan Ike Masita Tunas, ketua DPD I Partai Hanura, keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di partainya telah melebihi angka 30%. Hanura menurutnya sangat memperhatikan keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan, khususnya di Prov. Malut. Bahkan dia menyatakan bahwa Hanura di Prov. Malut identik dengan perempuan. Ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan sudah ada dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART) parpol. Sebagai Ketua DPD I, Ike Masita Tunas berusaha merekrut perempuan sebanyak-banyaknya untuk menjadi pengurus DPD II. Hasilnya, 53% pengurus partai adalah perempuan, yang tersebar di 8 kabupaten/kota, 2 orang di antaranya 23 menduduki jabatan sebagai ketua DPD II. Keterangan Ike Masita Tunas ini dibenarkan oleh Gamaria Iskandar Alam, caleg DPRD provinsi terpilih lainnya dari Partai Hanura yang juga merupakan pengurus partai. Pertama kali masuk ke partai ini, dia menduduki jabatan sebagai bendahara DPD II. Kemudian posisinya 24 naik menjadi wakil ketua DPD II. Sedangkan untuk Partai Golkar, posisi tertinggi perempuan dalam kepengurusan partai adalah bendahara, sebagaimana yang terjadi pada 20 partai lainnya yang ada di Prov. Malut. Meskipun demikian, seperti dinyatakan oleh Farida Djama yang merupakan bendahara DPD I Partai Golkar, kebijakan untuk menerapkan aturan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol saat ini telah mengalami kemajuan. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau pada tanggal 7 Oktober 2009 telah memutuskan kebijakan mengenai keterwakilan 30% untuk 25 perempuan dalam kepengurusan partai sampai pada tingkat desa. Disamping melakukan wawancara dengan para caleg perempuan yang berhasil terpilih menjadi Anggota DPRD Prov. Malut, wawancara juga dilakukan dengan caleg yang tidak terpilih yang berasal dari Partai Persatuan Daerah (PPD), yaitu Nurdewa Jafar. Sehari-hari, ia merupakan seorang aktivis Daurmala (Daulat Perempuan Maluku Utara), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang aktif memperjuangkan hak26 hak perempuan di Prov. Malut. Dari hasil wawancara dengan Nurdewa Jafar, diketahui bahwa dia tidak menduduki jabatan sebagai pengurus partai. Dewa bukan merupakan kader partai, karena baru direkrut oleh partai tidak lama menjelang diselenggarakannya pemilu legislatif. Namun dia menyatakan bahwa di partainya juga telah terdapat perempuan 23
Wawancara dengan Ike Masita Tunas, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 8 Desember 2009. 24 Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 25 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 26 Daurmala (Daulat Perempuan Maluku Utara) terbentuk pada tahun 2001, pasca-konfllik sosial yang terjadi di Maluku Utara, untuk merespons banyaknya kasus-kasus yang menimpa perempuan dan anak-anak, seperti pelecehan seksual dan perkosaan.
12
dalam kepengurusan parpol, bahkan ada yang sudah menduduki jabatan sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC), wakil ketua DPC, wakil 27 ketua, sekretaris, dan bendahara DPD I. b. Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Anggota Legislatif dan Implementasi Zipper System Dalam UU Pemilu, keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon diatur dalam Pasal 53 yang menyatakan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Selain itu ada ketentuan mengenai zipper system (sistem selang-seling), yang diatur dalam Pasal 55 ayat 2 UU Pemilu yang menyatakan bahwa ”dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Dari 5 orang caleg perempuan yang diwawancarai, diketahui bahwa keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) dan sistem selang-seling (zipper system) telah diterapkan di partai mereka masing-masing, yaitu Golkar, Hanura, dan DPD. Sebagai contoh, di Golkar nama Farida Djama ditempatkan pada nomor urut 2, sementara nomor urut 1 dan 3 ditempati oleh caleg lakilaki. Farida Djama menyatakan bahwa di Golkar seluruh pengurus diberi kesempatan untuk mengajukan diri sebagai caleg. Kader Golkar yang akan mencalonkan diri sebagai caleg harus mendapat dukungan dari DPD II (tingkat kabupaten). Farida Djama yang merupakan pengurus di DPD I (tingkat provinsi) mendapat dukungan dari Kab. Halmahera Barat (Halbar), sehingga dicalonkan oleh DPD II Kab. Halbar. Ia menjadi calon dari daerah pemilihan (dapil) I yang meliputi wilayah Kota Ternate dan Kab. Halbar. Sedangkan DPD II Kota Ternate mencalonkan caleg lain yang berjenis kelamin laki-laki. Karena tidak mungkin keduanya ditempatkan dalam nomor urut 1, maka dalam rapat diputuskan penempatan dilakukan secara berimbang, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Jadi, di dapil ini, laki-laki ditempatkan di nomor urut 1 di Kota Ternate, sedangkan Farida nomor urut 1 dari Kab. 28 Halbar. Ketika dibawa ke tingkat provinsi, akhirnya diputuskan bahwa penempatan caleg pada nomor urut didasarkan pada jumlah penduduk. Ia ditempatkan pada nomor urut 2 karena jumlah penduduk Kota Ternate lebih banyak daripada Kab. Halbar (100 ribu orang dibanding 70 ribu orang). Jadi penempatan caleg dilakukan secara zigzag, nomor urut 1 dari Kota Ternate, nomor urut 2 dari Kab. Halbar, nomor urut 3 dari Kota
27
Wawancara dengan Nurdewa Jafar, caleg yang tidak terpilih dari Partai Persatuan Daerah dan aktivis Daurmala, tanggal 9 Desember 2009. 28 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009.
13
Ternate, dan seterusnya. Mekanisme seperti ini juga diikuti DPD II 29 lainnya. Adapun Ratna Marsaoly, caleg terpilih lainnya dari Golkar, berada pada nomor urut 3. Hal ini berbeda dengan Pemilu 1999, ketika ia mencalonkan diri sebagai caleg untuk Kota Tidore, ia ditempatkan di nomor urut besar/bawah. Penempatan caleg perempuan pada nomor urut besar/bawah ini menurutnya sangat terkait dengan budaya patriarki, yang menganggap perempuan hanya sebagai ”pelengkap” di dunia politik. Selain itu, di Partai Golkar senioritas seorang kader juga sangat menentukan dalam penempatan caleg pada nomor urut. Kader yang senior lebih diprioritaskan untuk ditempatkan di nomor urut atas/nomor jadi. Pemilu 1999 menggunakan sistem nomor urut untuk menentukan caleg yang terpilih, sehingga pada akhirnya ia tidak terpilih, karena 30 berada pada nomor urut besar/bawah. Berbeda halnya dengan Partai Golkar, Hanura menggunakan sistem terbuka dalam menentukan nomor urut. Selain faktor senioritas, seorang kader juga dinilai berdasarkan kontribusinya ke parpol, latar belakang atau tingkat pendidikan, dan beberapa aspek lain dengan menggunakan sistem skoring. Kader yang memiliki poin tertinggi akan 31 ditempatkan pada nomor urut atas. Di Partai Persatuan Daerah (PPD), partai tempat Nurdewa Jafar mencalonkan diri sebagai caleg, keterwakilan 30% untuk perempuan juga sudah dilaksanakan. Zipper system juga sudah dijalankan oleh PPD, 32 meskipun akhirnya ia tidak terpilih sebagai caleg. Selain itu, posisi kader dalam kepengurusan partai, baik di Golkar maupun Hanura, merupakan faktor penting lainnya dalam penentuan nomor urut caleg. Di Prov. Malut, Ketua DPD I Partai Hanura adalah perempuan. Sedangkan di tingkat kabupaten, 53% pengurus partai di DPD II adalah perempuan, bahkan dua orang di antaranya menduduki jabatan sebagai ketua. Dengan demikian di partai ini perempuan memiliki kesempatan lebih banyak untuk dicalonkan dibandingkan perempuan yang ada di partai lainnya. Pengurus partai, terutama ketua, mendapat prioritas untuk mencalonkan diri sebagai caleg, sehingga banyak perempuan yang ditempatkan di nomor urut 1. Hasil pemilu legislatif menunjukkan, di tingkat provinsi terdapat 2 orang perempuan dari Partai Hanura. Demikian juga di kab/kota, 2 orang perempuan yang menduduki jabatan sebagai ketua partai terpilih menjadi
29
Ibid,. Wawancara dengan Ratna Marsaoly, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 10 Desember 2009. 31 Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 32 Wawancara dengan Nurdewa Jafar, caleg yang tidak terpilih dari Partai Persatuan Daerah dan aktivis Daurmala, tanggal 9 Desember 2009. 30
14
Anggota DPRD Kabupaten. Secara keseluruhan, dari 8 kab/kota, 33 terdapat 3 orang perempuan yang duduk di DPRD Kabupaten. Terkait dengan penempatan caleg perempuan dalam daftar bakal calon yang harus memenuhi ketentuan dari 3 orang calon, satu orang di antaranya harus calon perempuan (Pasal 55 ayat 2 UU Pemilu), baik Ike Masita Tunas maupun Gamaria Iskandar Alam dari Hanura menyatakan bahwa partai mereka sudah menjalankan ketentuan 34 tersebut. c. Implikasi Putusan MK No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 terhadap Keterwakilan Perempuan Hasil wawancara yang dilakukan dengan para narasumber menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang secara implisit membatalkan Pasal 214 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum turut mempengaruhi keberhasilan caleg perempuan di Prov. Malut. Farida Djama dari Golkar menyatakan bahwa ketika putusan MK keluar, secara pribadi dia menganggap hal itu tidak terlalu menjadi masalah. Dia meyakini hal ini karena pada Pemilu 2004 Farida Djama sebenarnya juga mendapatkan suara terbanyak. Akan tetapi mengingat pada waktu itu sistem penentuan caleg terpilih didasarkan pada nomor urut, maka dia tidak terpilih, karena dia berada pada nomor urut 3, sementara hanya ada 2 kursi. Jadi ketika putusan MK keluar dia mengaku tidak khawatir. Bahkan ternyata hasil pemilu menunjukkan, perolehan suara yang dia dapatkan justru lebih 35 banyak bila dibandingkan dengan Pemilu 2004. Ratna Marsaoly, caleg lainnya dari Golkar juga menyatakan bahwa sistem penentuan caleg terpilih dengan sistem suara terbanyak yang diterapkan setelah Putusan MK justru menguntungkan. Sebagai caleg dari Dapil III yang mencakup Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Tidore Kepulauan, ia mendapat dukungan yang cukup besar dan hasilnya cukup memuaskan, meskipun ia masih memiliki kekurangan suara sebanyak 5.000 suara. Pengalamannya pada saat Pemilu tahun 1999, yang menggunakan sistem nomor urut, ia tidak berhasil terpilih karena berada di nomor urut bawah. Dengan demikian, meskipun sebenarnya caleg perempuan cukup mendapat dukungan, mereka akhirnya tidak terpilih menjadi anggota legislatif karena sistem nomor urut 36 menempatkan caleg perempuan pada nomor urut bawah. 33
Wawancara dengan Ike Masita Tunas, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 8 Desember 2009. 34 Wawancara dengan Ike Masita Tunas, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 8 Desember 2009 dan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 35 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 36 Wawancara dengan Ratna Marsaoly, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 10 Desember 2009.
15
Di Partai Hanura, Ike Masita Tunas menyatakan bahwa setelah putusan MK yang secara implisit membatalkan sistem nomor urut keluar, di internal partai ada yang mencoba untuk melakukan cara-cara yang tidak sehat dalam bersaing. Dia menggambarkan hal itu dengan istilah “jeruk makan jeruk.” Meskipun begitu, dia juga menegaskan bahwa perempuan tidak kalah strategi, yang disebutnya sebagai “strategi 37 perempuan.” Dan dari perjuangan yang telah dilakukannya, terbukti 38 bahwa ia mampu mendapatkan suara terbanyak dari pemilih. d. Aturan yang Ideal Mengenai Affirmative Action dalam UU Pemilu Beberapa narasumber menilai bahwa aturan yang ada dalam UU Pemilu selama ini baru memihak perempuan sampai dengan tahap pencalonan saja, tetapi belum dapat menjamin caleg perempuan untuk terpilih menjadi anggota legislatif. Ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan antara lain diatur dalam UU Pemilu Bab VII tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Bagian Kedua mengenai Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pasal 53 dan Pasal 55 ayat (2). Dalam Pasal 53 UU Pemilu dinyatakan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Sedangkan Pasal 55 ayat (2) mengatur bahwa ”dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Farida Djama dari Golkar menyatakan, setelah pencalonan dia harus “berjuang” sendiri agar dapat terpilih. Oleh karena itu Farida Djama mengharapkan agar keberpihakan terhadap caleg perempuan yang selama ini sudah diatur dalam UU Pemilu berlanjut sampai pada tahap penetapan caleg terpilih, tidak hanya pada saat pencalonan saja. Jadi harus ada aturan yang benar-benar mampu mem-back up agar caleg 39 perempuan dapat terpilih. Ike Masita Tunas membenarkan apa yang diungkapkan oleh Farida Djama. Menurutnya, pada saat Pemilu 2009 yang lalu, agar dapat terpilih caleg perempuan harus berusaha sendiri 40 tanpa ada yang mem-back up. Untuk itu Farida Djama mengusulkan agar ke depan ketentuan dalam UU Pemilu lebih memihak pada caleg perempuan. Ketentuan tersebut misalnya dapat diterapkan dalam pengaturan tentang sisa suara, karena pengaturan mengenai sisa suara yang ada dalam UU Pemilu saat ini menurutnya tidak adil bagi partai besar. Kemudian dia 37
Strategi yang dimaksudkan oleh Ike Masita Tunas antara lain adalah melakukan pendekatan secara langsung kepada masyarakat di tingkat akar rumput. 38 Wawancara dengan Ike Masita Tunas, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 8 Desember 2009. 39 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 40 Wawancara dengan Ike Masita Tunas, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 8 Desember 2009.
16
mencontohkan, sebagai caleg dari Partai Golkar, dia mendapat 22.000 suara, sementara Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) di Dapil I (Kota 41 Ternate dan Kab. Halbar) hanya 11.000 suara. Ketentuan mengenai perolehan kursi parpol untuk anggota DPRD provinsi diatur dalam Pasal 211 UU Nomor 10 Tahun 2008. Pasal 211 ayat (3) undang-undang itu mengatur bahwa dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis. Di Prov. Malut, Golkar merupakan parpol yang mendapat suara terbanyak pada pemilu 2009. Pada saat penghitungan perolehan kursi tahap kedua dan seterusnya, akhirnya caleg-caleg yang mendapat suara kurang dari BPP juga terpilih menjadi anggota DPRD provinsi. Perolehan suara mereka bervariasi, antara 2.000 hingga 7.000 suara. Menurut Farida Djama, agar menguntungkan caleg perempuan, maka sisa kursi seharusnya diberikan kepada caleg perempuan yang ada di partai yang memperoleh sisa suara terbanyak. Dengan demikian, ada perlakuan khusus bagi caleg perempuan pada tahap penghitungan sisa kursi. Selain keberpihakan kepada caleg perempuan, Farida Djama juga mengusulkan agar zipper system (sistem selang-seling) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dapat direvisi. Dia mengusulkan agar aturan tersebut diubah. Jika semula aturan tersebut menyatakan bahwa dari setiap tiga calon terdapat satu calon perempuan, maka aturan itu diubah menjadi calon perempuan dan laki-laki diletakkan secara berselang-seling. Misalnya nomor urut 1 adalah caleg laki-laki, dan nomor urut 2 caleg perempuan. Bahkan bila memungkinkan, ada ketentuan yang mengatur bahwa calon perempuan diletakkan di nomor urut 1, sehingga peluang calon perempuan untuk terpilih lebih besar 42 lagi. Penempatan caleg perempuan pada nomor urut 1 ini juga didukung oleh Ratna Marsaoly, caleg terpilih dari Golkar lainnya. Ia berharap jika memang akan dilakukan revisi terhadap UU Pemilu, maka yang perlu diperhatikan tidak hanya keterwakilan 30% untuk perempuan saja, tetapi perempuan hendaknya juga ditempatkan pada nomor urut 1, 43 tidak hanya nomor 2 atau nomor 3. Berbeda dengan narasumber lainnya, Gamaria Iskandar Alam dari Hanura tidak setuju dengan penempatan caleg perempuan pada nomor urut 1. Menurutnya, jika
41
Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 42 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 43 Wawancara dengan Ratna Marsaoly, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 10 Desember 2009.
17
perempuan ditempatkan pada nomor urut 1, maka hal itu akan 44 menimbulkan masalah. Terkait dengan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar caleg (Pasal 53 UU Pemilu), Nurdewa Jafar dari PPD berpendapat bahwa aturan tersebut harus dipertahankan keberadaannya dalam UU Pemilu. Namun demikian ia memberi catatan, aturan tersebut harus disertai dengan adanya sanksi yang tegas bagi partai yang tidak menjalankan aturan itu. Nurdewa Jafar menyatakan kekecewaannya karena sanksi yang ada pada UU Nomor 10 Tahun 2008 masih sangat 45 lemah. Gamaria Iskandar Alam dari Hanura juga berharap agar UU dapat diimplementasikan dengan baik. Kuota 30% untuk perempuan harus benar-benar dilaksanakan secara konsisten. Jika memungkinkan, ia mengusulkan agar keterwakilan 30% untuk perempuan jumlahnya ditingkatkan, tidak hanya 30%, sehingga akan terdapat keseimbangan 46 antara laki-laki dan perempuan di dunia politik. Mengenai aturan yang memberikan wewenang kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU provinsi, dan KPU kabupaten /kota untuk melakukan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon yang diajukan oleh parpol peserta pemilu (Pasal 57 dan Pasal 58 ayat 2 UU Pemilu) Nurdewa Jafar menyatakan bahwa aturan ini tidak efektif. Selain itu ia berpendapat bahwa sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam bentuk pengumuman dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota pada media massa (Pasal 47 66 ayat (2) UU Pemilu) juga tidak efektif. Perlunya sanksi yang tegas bagi parpol yang tidak memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan ditegaskan oleh Farida Djama, Ike Masita Tunas, Gamaria Iskandar Alam, dan Nurdewa Jafar. Mereka mengusulkan agar parpol yang tidak memenuhi keterwakilan 30% untuk 48 perempuan dilarang mengikuti pemilu. Dengan demikian parpol mempunyai rasa tanggung jawab agar caleg perempuan terpilih. Selain itu, ia menekankan agar parpol tidak hanya berusaha memenuhi syarat secara administratif saja, melainkan juga ketika caleg perempuan di 49 lapangan, sehingga caleg perempuan dapat benar-benar terpilih. Menurut Nurdewa Jafar, revisi juga harus dilakukan pada sistem pemilu. Ia cenderung memilih menggunakan sistem suara terbanyak, 44
Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. Masalah yang dimaksud oleh Gamaria adalah ketidakrelaan laki-laki bila perempuan ditempatkan pada nomor urut 1. 45 Wawancara dengan Nurdewa Jafar, caleg yang tidak terpilih dari Partai Persatuan Daerah dan aktivis Daurmala, tanggal 9 Desember 2009. 46 Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 47 Ibid,. 48 Wawancara dengan Farida Djama dan Ike Masita Tunas, tanggal 8 Desember 2009, dengan Nurdewa Jafar, tanggal 9 Desember 2009, dan dengan Gamaria Iskandar Alam, tanggal 10 Desember 2009. 49 Ibid,.
18
sehingga caleg laki-laki dan perempuan dapat bertarung secara bebas. Nurdewa Jafar berpendapat, melalui sistem penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak, peluang bagi caleg perempuan untuk terpilih justru jauh lebih besar. Dia berargumentasi, bila menggunakan sistem nomor urut, maka peluang bagi caleg perempuan untuk terpilih lebih kecil dan kendala yang dihadapi caleg perempuan justru lebih besar dibanding bila menggunakan sistem suara terbanyak. Apalagi bagi caleg perempuan yang baru direkrut ketika sudah mendekati pemilu seperti dirinya. Nurdewa Jafar menambahkan, nomor urut kecil pasti akan diprioritaskan untuk kader partai yang sudah senior dan lama berkecimpung di partai tersebut, yang notabene laki-laki, karena banyak 50 caleg perempuan yang belum lama terjun ke dunia politik. Ratna Marsaoly dari Golkar juga sependapat dengan Nurdewa Jafar. Meskipun dengan sistem suara terbanyak caleg perempuan harus bekerja keras untuk memperoleh suara, namun peluang caleg perempuan untuk terpilih lebih besar. Dia bahkan menyatakan bahwa seandainya Pemilu 2009 yang lalu menggunakan sistem nomor urut, kemungkinan besar ia tidak terpilih, mengingat di dapilnya hanya tersedia dua kursi, sementara ia berada pada nomor urut 3. Selain itu menurut Ratna Marsaoly sistem suara terbanyak juga lebih adil untuk semua caleg. Apabila penentuan caleg terpilih menggunakan sistem nomor urut, maka yang harus bekerja keras mengumpulkan suara hanyalah caleg yang berada di nomor-nomor bawah, sementara caleg yang berada di nomor atas hanya ”terima hasil” (tidak perlu bekerja keras) bila partai 51 tersebut mendapatkan kursi. Gamaria Iskandar Alam sependapat dengan Nurdewa Jafar dan Ratna Marsaoly. Menurutnya, penentuan caleg terpilih sebaiknya menggunakan sistem suara terbanyak karena hal 52 itu lebih adil bagi semua caleg. Pendapat Nurdewa Jafar dan Ratna Marsaoly tersebut berbeda dengan Farida Djama dari Golkar, yang menyatakan bahwa meskipun secara pribadi dia tidak akan menghadapi masalah bila digunakan sistem suara terbanyak, tetapi untuk kepentingan perempuan yang lebih besar, sistem nomor urut tetap harus dipertahankan. Bahkan kalau memungkinkan dibuat sistem zigzag, satu perempuan satu laki-laki, dan perempuan diletakkan pada nomor urut 1. Menurut Farida Djama hal itu sangat diperlukan, mengingat saat ini Indonesia menganut sistem multipartai, sehingga suara pemilih pasti akan terpecah dan tersebar di berbagai partai peserta pemilu. Oleh karena itu keberpihakan kepada caleg perempuan harus ditingkatkan lagi, dengan cara menyusun aturan 53 pemilu yang lebih ramah bagi caleg perempuan. 50
Ibid,. Wawancara dengan Ratna Marsaoly, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 10 Desember 2009. 52 Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 53 Wawancara dengan Farida Djama, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Golkar tanggal 8 Desember 2009. 51
19
Selain harus diatur dalam UU Pemilu, Nurdewa Jafar dari PPD juga berpendapat agar aturan mengenai affirmative action juga dapat diakomodasikan dalam UU tentang Penyelenggara Pemilu. Penempatan perempuan di KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menurutnya sangat penting untuk mengawal kebijakan affirmative action, karena KPU 54 merupakan pelaksana teknis pemilu. Pentingnya pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu di lapangan juga ditekankan oleh Gamaria Iskandar Alam dari Hanura. Berdasarkan pengalamannya pada Pemilu 2009, cukup sulit bagi caleg untuk mengawal hasil pemilu sampai pada tingkat TPS (tempat pemungutan suara) karena sistem pengawasan masih kacau. Ada kemungkinan caleg yang sebenarnya memperoleh suara terbanyak dan seharusnya menang di suatu daerah namun ketika sampai pada tahap akhir penghitungan suara ternyata hasilnya berbeda. Oleh karena itu ia mengusulkan agar pada pemilu berikutnya digunakan penghitungan suara dengan sistem on-line, sehingga hasilnya transparan dan tidak perlu menunggu hasil rekapitulasi, karena ada kemungkinan pada saat 55 rekapitulasi perolehan suara dapat berubah. Hal lain yang perlu direvisi dalam UU Pemilu adalah kepengurusan parpol. Gamaria Iskandar Alam dari Hanura mengusulkan agar keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan partai tidak hanya diwajibkan dalam kepengurusan tingkat pusat melainkan juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian ia mengingatkan agar ke depan parpol konsisten dengan aturan dan sistem yang digunakan. Apabila memang ada pengurus yang tidak layak maka pengurus tersebut tidak ditempatkan pada nomor urut atas sehingga ada faktor jera dan kader yang lain tidak mengikutinya. Untuk itu, sistem penilaian kader melalui sistem skoring harus jelas dan transparan, 56 sehingga semua kader merasa puas dan tidak ada yang dirugikan. B. Pembahasan Dari hasil wawancara dengan informan dan data sekunder yang diperoleh, diketahui bahwa keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di Prov. Malut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 20 UU Parpol cukup tinggi. Hal ini terlihat dari komposisi perempuan dalam kepengurusan partai seperti yang terdapat pada Tabel 2. Dari total 36 parpol yang ada di Prov. Malut, 23 parpol di antaranya telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 20 UU Parpol. Hal ini berarti 63,9% parpol yang ada di Prov. Malut telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan 54
Ibid,. Wawancara dengan Gamaria Iskandar Alam, Anggota DPRD Prov. Malut dari Partai Hanura tanggal 10 Desember 2009. 56 Ibid,. 55
20
partai tingkat provinsi. Sementara keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di setiap partai mencapai 33%, bahkan ada yang 67%. Jumlah perempuan yang menjadi pengurus parpol adalah 26 orang perempuan, yang tersebar di 23 parpol. Dengan demikian, ada beberapa parpol yang memiliki lebih dari satu perempuan yang menduduki jabatan sebagai pengurus partai. Apabila melihat ketentuan yang terdapat dalam UU Pemilu Pasal 8 ayat (10 huruf d), sebenarnya keterwakilan 30% untuk perempuan hanya diwajibkan pada kepengurusan partai tingkat pusat. Sedangkan untuk kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, diserahkan kepada AD/ART masingmasing, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU Parpol. Namun dalam kenyataan di lapangan, 63,9% parpol yang ada di prov. Malut telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan. Dari sini terlihat bahwa komitmen parpol yang ada di provinsi ini untuk menempatkan perempuan pada kepengurusan partai cukup besar, karena sebenarnya hal tersebut tidak diwajibkan dalam UU Pemilu. Melihat komposisi kepengurusan partai, di provinsi ini terdapat 4 partai yang memiliki pengurus lebih dari 1 orang perempuan. Di empat partai ini, hanya ketua partainya saja yang laki-laki, sementara sekretaris dan bendaharanya semuanya perempuan. Uniknya, hal ini justru terjadi di partai-partai yang masih relatif baru, yaitu Partai Karya Perjuangan, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, dan Partai Buruh. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena dua sebab. Pertama, di partai-partai baru belum terdapat senioritas, sehingga persaingan antara kader laki-laki dan perempuan belum terlalu tajam. Oleh karena itu, faktor kualitas dan kompetensi kader dalam pemilihan pengurus lebih diperhitungkan dalam penentuan kepengurusan, tanpa melihat apakah kader tersebut laki-laki atau perempuan. Kedua, partai baru relatif lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan perubahan, sehingga penerapan ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan relatif lebih mudah diterima dan diterapkan. Namun demikian, secara umum bila melihat komposisi perempuan dalam kepengurusan partai terlihat bahwa posisi yang paling banyak diberikan kepada perempuan adalah sebagai bendahara, yaitu 21 orang dari 26 orang perempuan yang menjadi pengurus (80,8%). Sementara itu, hanya terdapat satu orang perempuan (3,8%) yang menduduki jabatan sebagai ketua partai, yaitu Ike Masita Tunas, yang merupakan ketua Partai Hanura. Ia juga merupakan salah satu di antara empat perempuan yang terpilih menjadi Anggota DPRD Prov. Malut. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun perempuan telah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan pengurus dalam partai, namun posisi yang diberikan tetap tidak jauh dari jabatan yang selama ini dianggap “dekat” dengan dunia perempuan, yaitu sebagai bendahara. Hal ini tidak terlepas dari stereotype/anggapan sebagian besar orang,
21
baik perempuan maupun laki-laki bahwa perempuan adalah makhluk yang rajin, teliti, dan mampu mengelola keuangan dengan baik. Data yang menunjukkan bahwa hanya ada satu orang perempuan yang menduduki jabatan sebagai ketua partai secara tidak langsung juga memperlihatkan bahwa untuk dapat menduduki jabatan sebagai ketua partai, perempuan harus memiliki sesuatu yang benarbenar dapat diandalkan. Dalam kasus di Hanura, Ike Masita Tunas terpilih menjadi ketua partai karena dia memiliki salah satu sumber daya yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup partai. Ike Masita Tunas berasal dari dunia bisnis sehingga dapat dianggap memiliki sumber daya finansial yang cukup yang sangat dibutuhkan oleh partai. Hal ini masih ditunjang kualitas dirinya yang memiliki latar belakang pendidikan studi politik, sehingga ia akhirnya terpilih menjadi ketua partai. Demikian pula dengan Gamaria Iskandar Alam, caleg terpilih lainnya dari Partai Hanura. Sebelum terjun ke dunia politik, ia merupakan seorang pengusaha. Di Partai Hanura, dia menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPD II. Dari wawancara dengan para caleg perempuan, diketahui bahwa beberapa partai yaitu Golkar, Hanura, dan PPD telah menerapkan ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon (Pasal 53 UU Pemilu) dan zipper system (Pasal 55 ayat 2 UU Pemilu). Dan dari 5 orang caleg yang diwawancarai, hanya 1 orang caleg yang tidak terpilih, yaitu Nurdewa Jafar dari PPD. Dengan demikian, meskipun secara tidak langsung dapat dikatakan ada kaitan yang signifikan antara penerapan ketentuan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon dan sistem selang-seling yang telah diberlakukan dengan keberhasilan caleg perempuan sehingga terpilih. Secara teoritis, tujuan utama diberlakukannya affirmative action menurut Dahlerup adalah meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, sehingga perempuan memiliki posisi yang kuat dalam kehidupan 57 politik. Hal ini dikuatkan oleh IFES, yang menunjukkan bahwa sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik; serta penerimaan kultural, termasuk affirmative action, memiliki pengaruh paling signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga yang 58 anggotanya dipilih, termasuk lembaga legislatif. UU Pemilu sebenarnya sudah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi pemberlakuan affirmative action, melalui beberapa pasal yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon, penempatan berselang-seling antara caleg perempuan dan laki-laki (zipper system), serta verifikasi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Namun demikian, dalam perjalanannya, affirmative action yang sudah diatur dalam UU Pemilu “dikacaukan” oleh Putusan 57 58
Drude Dahlerup, op.cit., hal. 114. IFES, op.cit., hal. 1.
22
MK No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang secara tidak langsung membatalkan sistem nomor urut yang terdapat dalam Pasal 214 UU Pemilu. Dalam kasus di Prov. Malut, beberapa caleg perempuan yang berhasil terpilih sebagian besar adalah mereka yang menjadi pengurus parpol, seperti Farida Djama (bendahara DPD I Partai Golkar), Ratna Marsaoly (wakil ketua DPD II Partai Golkar), Ike Masita Tunas (Ketua DPD I Partai Hanura), dan Gamaria Iskandar Alam (wakil ketua DPD II). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penentuan caleg terpilih berdasarkan sistem suara terbanyak telah memperkecil peluang untuk terpilih bagi caleg perempuan yang tidak memiliki posisi dalam kepengurusan partai dan memiliki sumber daya pendukung yang relatif terbatas, termasuk sumber daya manusia dan finansial. Kasus ini misalnya terjadi pada Nurdewa Jafar, yang meskipun relatif populer di masyarakat, mengingat dia adalah seorang aktivis perempuan, tetapi tidak terpilih menjadi caleg, karena anggota “tim sukses”nya hanya 5 orang dan memiliki dana kampanye yang terbatas. IV. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan Penelitian yang dilakukan di Provinsi Maluku Utara menunjukkan sebagian besar partai politik telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan partai. Penelitian terhadap tiga parpol yang diteliti, yaitu Golkar, Hanura, dan PPD juga menunjukkan bahwa tiga parpol tersebut telah mengimplementasikan ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon dan zipper system. Putusan MK No. 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang dikhawatirkan akan menurunkan efektivitas affiimative action yang terdapat dalam UU Pemilu ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Dalam kasus di Prov. Malut, justru kans perempuan untuk terpilih menjadi lebih besar setelah digunakan sistem suara terbanyak. Caleg perempuan yang pada pemilu sebelumnya tidak terpilih karena sistem penentuan caleg terpilih menggunakan nomor urut, pada Pemilu 2009 justru terpilih. Secara teoritis, affirmative action dalam bentuk kewajiban untuk menempatkan 1 caleg perempuan di antara tiap tiga calon dan zipper system bertujuan untuk meningkatkan peluang caleg perempuan agar terpilih. Dalam kasus di Prov. Malut, efektivitas affirmative action juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti posisi dalam kepengurusan partai dan tingkat popularitas. Caleg yang menduduki jabatan sebagai pengurus partai memiliki peluang lebih besar untuk terpilih dibandingkan dengan caleg yang tidak menjadi pengurus partai, meskipun caleg tersebut cukup populer.
23
Affirmative action yang terdapat dalam UU Pemilu saat ini belum dapat menjamin caleg perempuan untuk terpilih. Aturan tersebut masih perli dilengkapi dengan aturan-aturan lain yang dapat menjamin agar caleg perempuan terpilih, sehingga dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. B. Rekomendasi Ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol harus tetap ada dalam UU Pemilu. Ketentuan ini harus menjadi syarat mutlak bagi parpol yang akan mengikuti pemilu. Untuk menjamin efektivitasnya, ketentuan tersebut harus disertai dengan sanksi yang tegas. Parpol yang kepengurusannya tidak memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dilarang ikut menjadi peserta pemilu. Demikian pula dengan ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar bakal calon dan zipper system, harus tetap dipertahankan keberadaannya dalam UU Pemilu. Akan lebih efektif lagi bila ketentuan ini diikuti dengan adanya sanksi bagi parpol yang tidak menjalankannya. KPU harus mengembalikan daftar calon yang tidak memenuhi ketentuan ini kepada parpol peserta pemilu, sehingga ada jaminan bahwa setiap parpol akan mentaati ketentuan ini. Mengingat affirmative action yang diterapkan pada saat penyusunan daftar bakal calon belum dapat menjamin caleg perempuan untuk terpilih, maka diperlukan komitmen parpol untuk menempatkan caleg perempuan pada daerah pemilihan yang potensial untuk dimenangkan partai tersebut. Akan lebih efektif lagi bila parpol peserta pemilu bersedia memberikan persentase tertentu dari kursi yang diperolehnya kepada caleg perempuan, sehingga ada jaminan bahwa caleg perempuan benar-benar terpilih, sebagaimana yang telah diterapkan di beberapa negara Amerika Latin seperti Argentina, Bolivia, Brasil, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Panama, Peru, dan Venezuela.
24
DAFTAR PUSTAKA Buku: Achie Sudiarti Luhulima, Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia, dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Sulistiowati Irianto (ed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Drude Dahlerup, Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, IDEA, 2002. Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, 2006. Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun. Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum: Bagaimana Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Politik, Proseding Seminar Internasional, Perpustakaan CETRO, bekerja sama dengan National Democratic Institute (NDI) dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: 2002. MB. Wijaksana (ed), Modul Perempuan untuk Politik: Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004. Nur Iman Subono, Perempuan dan Partisipasi Politik: Panduan untuk Jurnalis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, 2003. Sandra Kartika (ed.) dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis. LSPP, Jakarta, 1999.
Dokumen Resmi: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Daftar Partai Politik Provinsi Maluku Utara, Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
25
Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Maluku Utara Hasil Pemilu 2009, Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Komposisi Alat Kelengkapan DPRD Provinsi Maluku Utara Masa Bakti 2009-2014, Sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara.
Suratkabar: Daftar Anggota DPR RI dan DPD RI Hasil Pemilu 2009, Komisi Pemilihan Umum, Republika, 29 Mei 2009. Internet: http://www.malutprov.go.id, diakses tanggal 18 Januari 2010.
26
EFEKTIFITAS STRATEGI PENCITRAAN PARTAI GOLKAR, PDIP DAN PKS PADA PEMILU 2009 Aryojati Ardipandanto)
Abstract To respond Constitutional Court‟s decision which justifies majority vote in the 2009 legislative election, political parties have changed their marketing strategy often called “strategi pencitraan.” This essay discussed the effectiveness of the marketing strategy used by three main parties, namely, Golkar, PDIP and PKS in the last election. The writer was of the opinion that Golkar still stuck on glorifying its past success during 2004-2009, while PDIP and PKS tried to draw people attentions by respectively introducing what it was said as “political contract.” and “downearthed interaction.” The study stresses that to the some extent the political marketing strategy could meet its relevance although it could not wholly bury current bad images of the parties. Kata Kunci: Strategi Pencitraan, Partai Golkar, PDIP, PKS, Pemilu 2009 I. Pendahuluan A. Latar Belakang Sejak era reformasi tahun 1998, Indonesia telah menyelenggarakan 3 kali Pemilu Legislatif, yaitu pada tahun 1999, 2004 dan 2009. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik dengan perolehan suara partai, yaitu: PDIP 35.689.073 suara, diikuti Partai Golkar sebanyak 23.741.749 suara, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11.329.905 suara, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 13.336.982 suara, Partai Amanat Nasional (PAN) 7.528.956 suara, Partai Bulan Bintang (PBB) 2.049.708 suara, dan 1 Partai Keadilan 1.436.565 suara. Selanjutnya, pemilu 2004 diikuti 24 partai politik, dengan perolehan suara partai, yaitu: Partai Golkar 24.480.757 suara, diikuti PDIP 21.026.629 suara, PKB 11.989.564, PPP 9.248.764 suara, Partai
) Penulis adalah Peneliti Bidang Kepakaran Ilmu Politik Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail:
[email protected] 1 http://www.calegindonesia.com/content/history.asp diakses tanggal 20 Januari 2009.
Demokrat 8.455.225 suara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8.325.020 suara, PAN 7.303.324 suara, PBB 2.907.487 suara, Partai Bintang Reformasi (PBR) 2.764.998 suara, dan Partai Damai Sejahtera (PDS) 2 2.414.254 suara . Pemilu selanjutnya, yaitu Pemilu Legislatif 2009 menggunakan sistem proporsional terbuka, sesuai UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan 3 Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 5 ayat 1. Aturan itu diikuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/ PUUVI/2008 yang membatalkan ketentuan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 terkait penentuan calon legislatif (caleg) terpilih. Berdasarkan Putusan MK tersebut, penetapan caleg terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak. Reaksi yang berbeda-beda terhadap Putusan MK tentang sistem suara terbanyak ditunjukkan Partai Golkar, PDIP dan PKS. Partai Golkar menyatakan kesiapannya dan bahkan menyatakan bahwa sistem suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih sudah dipersiapkan 4 sebelumnya. PDIP menyesalkan dikeluarkannya Putusan MK tersebut karena dinilai mencederai prinsip independensi partai politik dalam menentukan 5 sistem partai secara internal untuk mengajukan caleg terpilih. Diakui bahwa dengan sistem suara terbanyak, PDIP yang sebelumnya 6 menggunakan sistem nomor urut ini akan memperbarui strateginya. Tidak jauh berbeda dengan PDIP, PKS mengakui ada beberapa strategi politik yang harus ditata ulang terkait dikeluarkannya Putusan MK 7 tentang sistem suara terbanyak. Berdasarkan hasil perhitungan suara Pemilu Legislatif 2009, Partai Golkar memperoleh 15.037.757 suara (14,45%) dan PDIP 14.600.091 8 suara (14,03%) . Dibandingkan dengan Pemilu 2004, Partai Golkar mengalami penurunan perolehan suara sebanyak 9.443.000 (38,6%). Sedangkan PDIP mengalami penurunan sebanyak 6.426.538 suara 9 (30,6%). Adapun PKS meraih perolehan 8.206.955 suara (7,88%) .
2
Ibid. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 5 Ayat 1. 4 Pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar Agung Laksono (http://www.uncunatsir.com/page_info.php?id_brt=103&id diakses tanggal 24 Juli 2009). 5 Pernyataan Ketua Fraksi PDIP DPR RI 2004-2009 Tjahjo Kumolo, (http://www.beritaindonesia.co.id/politik/adil-bagi-semua.html diakses tanggal 24 Juli 2009). 6 Pernyataan Ketua DPD PDIP Jawa Barat Rudi Harsa Tanaya (Dikutip dalam Ibid. diakses tanggal 24 Juli 2009). 7 http://www.inilah.com/berita/politik/2008/12/24/70997/ diakses tanggal 24 Juli 2009 8 http://muhshodiq.wordpress.com/2009 diakses tanggal 9 Juni 2009. 9 Ibid. 3
Dibandingkan dengan hasil Pemilu Legislatif 2004, perolehan suara PKS turun 118.065 suara (1,4%). Penurunan perolehan suara Partai Golkar, PDIP dan PKS pada Pemilu Legislatif 2009 menjadi tinjauan penting terkait strategi pencitraan yang dilakukannya. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengkaji tentang efektifitas strategi pencitraan partai politik pada Pemilu Legislatif 2009. Partai yang dipilih dalam kajian ini adalah Partai Golkar dan PDIP yang mewakili partai nasionalis serta PKS yang mewakili Partai Islam. B. Perumusan Masalah Pemilu legislatif 2009 yang didasarkan peraturan yang baru, khususnya terkait Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, menuntut partai politik untuk mengubah strategi pencitraannya dengan efektif. Partai politik yang dipilih untuk dikaji dalam tulisan ini adalah partai Golkar, PDIP dan PKS. Partai Golkar dan PDIP dipilih dengan pertimbangan fakta bahwa hasil pemilu sejak 1999 hingga 2004 menunjukkan bahwa kedua partai nasionalis tersebut bergantian menempati urutan pertama dan kedua dalam perolehan suara, sementara PKS menarik untuk dikaji karena merupakan partai politik berbasis massa Islam yang antara Pemilu 1999-2004 mengalami kenaikan perolehan suara sebanyak 6.888.455 atau sekitar enam kali lipat. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan dalam kajian ini adalah bagaimana efektifitas strategi pencitraan Partai Golkar, PDIP dan PKS pada Pemilu 2009. C. Tujuan Penulisan Dari kajian ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan mengenai efektifitas strategi pencitraan Partai Golkar, PDIP dan PKS pada Pemilu 2009, sehingga dapat menjadi bahan telaah bagi penerapan strategi pencitraan partai-partai politik pada pemilu legislatif selanjutnya secara lebih efektif. D. Kerangka Pemikiran 1. Partai Politik Partai politik adalah kelompok orang-orang yang berpandangan sama, yang berjuang memperoleh kekuasaan dan pengaruh dalam pemerintahan, untuk dapat mempengaruhi opini publik dan mewujudkan 10 pandangan politik mereka. Max weber mendefinisikan partai politik
10
Peter Schroder. 2008. Strategi Politik ; Edisi Revisi untuk Pemilu 2009. Penterjemah : Denise Joyce Matindas dan Irina Dayasih. Jakarta. Friederich-Naumann-Stiftung fuer die Freiheit. Hal.300
sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pedukungnya (politisi) untuk 11 mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Dalam negara demokratis, partai-partai politik bersaing satu sama lain untuk memperoleh kekuasaan politik. Dalam sistem demokrasi yang ideal, yang paling penting adalah sejauh mana partai politik peserta pemilu dapat 12 “merebut hati” rakyat melalui program kerja yang ditawarkan. Setidak-tidaknya ada tiga fungsi partai politik. Pertama, sarana komunikasi politik. Partai politik berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (interest aggregation) dan sarana perumusan kepentingan (interest articulation). Kedua, sarana sosialisasi politik, yaitu sarana bagi proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik dan untuk menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ketiga, sarana rekrutmen politik. Ini terkait seleksi kepemimpinan baik internal maupun nasional. Partai membutuhkan kader-kader yang berkualitas sehingga berkesempatan 13 lebih besar untuk mengembangkan diri. 2. Strategi Pencitraan Strategi pencitraan menjadi sangat penting bagi sebuah partai politik untuk memenangkan persaingan politik. Schroeder menyebut strategi pencitraan sebagai strategi target image (citra yang diinginkan). Setiap organisasi, setiap partai dan setiap kandidat memiliki citra tersendiri di lingkungan di mana ia bergerak. Citra tersebut merupakan gambaran yang ada dalam bayangan masyarakat atau para pemilih tentang organisasi, partai atau kandidat pada periode waktu tertentu. Terkadang gambaran ini masih kosong. Itu artinya bahwa masyarakat atau pemilih belum mengenal organisasi atau kandidat tersebut, sehingga mereka tidak bisa membuat gambaran tentang organisasi atau kandidat yang 14 bersangkutan. Untuk itu, partai politik perlu menyampaikan pesan-pesan politik yang menggambarkan citra (image) dominan partai. Di sini perlu diciptakan kondisi yang menimbulkan dominasi image kandidat atau partai politik, sehingga image-nya lebih besar dan dominan dibandingkan 15 dengan image pesaing. Unsur-unsur dalam strategi pencitraan partai politik menurut Schroder (2008) adalah : pertama, strategi melebarkan posisi partai atau
11
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. hl.66 12 Bonar Simangunsong dan Daulat Sinuraya. 2004. Negara, Demokrasi dan Berpolitik yang Profesional. Jakarta. Kharisma Virgo Print. hl.320 13 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 405-408. 14 Schroder. op.cit. h.161 15 Firmanzah. 2008. op.cit. h.241-242
kandidat, dimana partai politik perlu mengidentifikasikan nilai-nilai yang dimilikinya secara jelas. Kedua, visi yang dibawa partai politik harus mencerminkan pandangan ke depan, menggambarkan kondisi yang ingin dicapai dan harus mendukung keputusan untuk mengambil tindakan politik tertentu. Ketiga, strategi pencitraan partai politik ini juga harus diusahakan memberikan efek terbangunnya kepercayaan diri para caleg/kader partai, di mana penggambaran atas partai politiknya menstimulasi timbulnya keyakinan diri para caleg akan kompetensi yang 16 dimiliki. Mengingat usaha membangun pencitraan diri merupakan proses yang panjang, setidak-tidaknya ada empat faktor yang perlu diperhatikan , pertama, pemanfaatan ruang publik di media massa (public exposure). Kedua, menyusun isu-isu strategis sebagai materi kampanye. Ketiga, memberikan advokasi terhadap persoalan publik. Keempat, melakukan 17 anjangsana atau silaturahmi politik . Penyampaian pesan-pesan politik yang menggambarkan citra partai dilakukan melalui kegiatan kampanye. Menurut Perloff dalam Antar Venus (2007), setiap tindakan kampanye dimensi informatif selalu menyatu dengan persuasif, sementara dimensi interaktif telah menjadi kebutuhan suatu kegiatan kampanye untuk mencapai keberhasilan yang optimal. Atas dasar ini maka konsep kampanye harus dipahami sebagai tindakan komunikasi dua arah yang didasarkan pada pendekatan 18 persuasif . Salah satu definisi persuasif yang dikemukakan adalah : “usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan, atau prilaku orang 19 melalui transmisi pesan”. Persuasi adalah suatu proses timbal balik yang di dalamnya komunikator, dengan sengaja atau tidak, menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Dengan sadar atau tidak, orang yang turut serta dalam politik bertujuan membuat orang lain bertindak dengan cara yang mungkin tidak akan dilakukannya jika tidak ada persuasi – mengubah persepsi, pikiran, perasaan, dan pengharapan 20 nya . Ada 2 model dalam kampanye yang akan dijadikan bahan acuan 21 dalam kajian ini, yaitu, pertama, Model kampanye komponensial . Model ini menggunakan pendekatan transmisi (transmission approach) ketimbang interaction approach. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang direncanakan,
16
Schroder. op.cit. h.162 Sidarta GM. 2008. Strategi Pemenangan dalam Pemilihan Langsung. Jakarta. Kalam Pustaka.h.112. 18 Antar Venus. 2007. Manajemen Kampanye ; Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. h. 28-29 19 Dan Nimmo.2000. Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. h.119 20 Ibid. h.120 21 Antar Venus. op.cit. h. 13-14 17
bersifat purposif dan sedikit membuka peluang untuk saling bertukar informasi dengan khalayak. Kampanye merupakan kegiatan yang bersifat persuasif di mana sumber (campaigner) secara aktif berupaya mempengaruhi penerima (campaignee) yang berada dalam posisi pasif. Model ini dipilih sebagai acuan karena dapat dipahami dari lima unsur komunikasi yang penting dan diperlukan dalam memahami proses penyampaian pesan politik yaitu sumber kampanye (komunikator), pesan politik, penerima kampanye (komunikan), efek yang dihasilkan, dan saluran atau media yang digunakan. 22 Kedua, Model kampanye ostergaard. Model ini menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh sumber kampanye (campaign makers atau decision Maker), yaitu pertama, mengidentifikasikan masalah faktual yang dirasakan. Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini diperlukan pengidentifikasian karakteristik khalayak sasaran untuk dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran hingga teknis pelaksanaan kampanye yang sesuai. Seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan mempengaruhi aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan khalayak sasaran. Perubahan dalam ketiga hal tersebut akan memberi pengaruh pada perubahan prilaku. Model ini dipilih sebagai acuan karena menggambarkan secara komprehensif proses kampanye sejak perencanaan (perumusan masalah) hingga evaluasi. 3. Efektifitas Strategi Pencitraan Efektifitas dalam implementasi strategi pencitraan partai politik yang disalurkan melalui kampanye perlu mendapatkan perhatian. Robbins dalam Tika (2008) mendefinisikan efektifitas sebagai tingkat pencapaian 23 organisasi jangka pendek dan jangka panjang. Schein dalam bukunya Organizational Psychology mengemukakan bahwa efektifitas organisasi adalah kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri, memelihara diri 24 dan tumbuh, lepas dari fungsi tertentu yang dimilikinya. Etzioni dalam Usmara (2003) merumuskan efektifitas sebagai tingkat tujuan yang 25 diwujudkan suatu organisasi. Perspektif keefektifan diidentifikasikan melalui : (1) keefektifan Individual, mencakup : kemampuan, keahlian, pengetahuan, sikap dan motivasi (2) keefektifan kelompok, mencakup : kepaduan, kepemimpinan, struktur, status, peranan dan norma-norma (3) keefektifan organisasi,
22
Ibid. Hal. 14-16 Pabundu Tika. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta. Bumi Aksara. h. 129. 24 Ibid. h.129 25 A. Usmara (Ed). 2003. Implementasi Manajemen Stratejik : Kebijakan dan Proses. Yogyakarta. Penerbit Amara Books. h. 270. 23
mencakup : lingkungan, teknologi, pilihan strategis, struktur, proses dan 26 kebudayaan. Menurut Shimp dan Delozier serta Johston dalam Antar Venus (2007), setidak-tidaknya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan terkait keberhasilan kampanye, yaitu isi pesan dan struktur pesan. Isi pesan mensyaratkan disertakannya visualisasi mengenai dampak positif atas respon tertentu yang diharapkan muncul dari khalayak sasaran. Adapun struktur pesan mengandung aspek sisi pesan (message sidedness). Bila pelaku kampanye (secara sepihak) hanya menyajikan pesan-pesan yang mendukung posisinya, maka ia menggunakan pola pesan satu sisi (one sided fashion). Kelemahan posisi pelaku kampanye atau kekuatan posisi pihak lawan tidak dinyatakan secara eksplisit. Bila pelaku kampanye juga menyajikan sebagian dari kelemahan posisinya atau sebagian kelebihan dari posisi pihak lain, maka ia menggunakan 27 pola pesan dua sisi (two sided message). II. Pembahasan A. Strategi Pencitraan Partai Politik pada Pemilu 2009 1. Strategi Pencitraan Partai Golkar Pasca Keputusan MK tentang penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak pada Pemilu 2009, strategi-strategi pencitraan yang telah dirumuskan Partai Golkar banyak terkait dengan proses penyeleksian caleg termasuk mengakomodasi kader-kader muda. Partai Golkar aktif mensosialisasikan sistem pengetatan seleksi para bakal caleg. Selain menerapkan sistem penugasan kepada kader-kader fungsional untuk menangani seleksi tersebut, penentuan bakal caleg masih harus lolos seleksi Tim Tujuh DPP partai. Partai juga mengajukan caleg eksternal yang merupakan terobosan baru Partai Golkar. Strategi ini diterapkan agar masyarakat pemilih semakin yakin bahwa Partai Golkar semakin objektif dan profesional dalam menetapkan para caleg, 28 sehingga citra partai akan semakin positif. Dalam perencanaan kampanye, Partai Golkar menganggap strategi pengerahan massa tidak lagi merupakan bentuk acara utama. Strategi baru yang diterapkan Partai Golkar adalah mengaktifkan bakti sosial dan kegiatan lain yang memungkinkan partai bisa bersentuhan langsung
26
Herman Sofyandi dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasi. Yogyakarta. Graha Ilmu. Hal. 34-36. 27 Antar Venus. log.cit. Hal. 71-75 28 http://usmanyatim.wordpress.com/2009/01/09/partai-golkar-memasuki-pemilu-2009/ diakses tanggal 11 Januari 2010
dengan rakyat. Cara ini dianggap efektif menarik dukungan simpatisan 29 yang akan berpengaruh pada perolehan suara pada Pemilu 2009. Setidak-tidaknya ada tiga inti kebijakan Partai Golkar dalam melakukan strategi pencitraannya dalam menghadapi Pemilu 2009. Pertama, membatasi iklan di media massa. Kedua, membekali calegcalegnya dengan pengetahuan-pengetahuan, arahan-arahan, dan dorongan-dorongan untuk meningkatkan kualitas diri dengan tetap berprinsip bahwa penyampaian visi-misi Partai secara global dapat efektif tersampaikan kepada masyarakat di tangan mereka. Ketiga, membatasi dana kampanye, dengan alasan mengantisipasi krisis ekonomi yang 30 terjadi di Indonesia. Terkait dengan dikeluarkannya putusan MK tentang suara terbanyak, caleg dibekali materi ekonomi, hukum, politik, kesejahteraan sampai program kerja partai. Para caleg harus mampu menjelaskan kenapa Partai Golkar harus dicintai dan dipilih. Selama masa penggemblengan, para caleg dituntut untuk mampu menguasai teknik berdebat dan berdiskusi. Partai juga melarang keras caleg berkampanye dengan menjelek-jelekkan lawan politik. Selain itu, mereka diberikan pemahaman tentang prinsip suara terbanyak. Partai juga mengingatkan caleg bahwa Partai Golkar kini tidak lagi mengandalkan simbol-simbol melainkan pendalaman materi kampanye. Dengan demikian, Partai Golkar mengembangkan prinsip menerapkan proses komunikasi di ruang 31 publik sehingga rakyat tahu persis atas pilihannya. Contoh-contoh implementasi persiapan dan strategi pencitraan Partai Golkar pada Pemilu 2009 adalah : Di wilayah DKI Jakarta, Partai Golkar mengadakan sistem pengolahan air bersih dan pinjaman kredit usaha rakyat, serta bimbingan belajar (Bimbel) dan Kursus Bahasa Inggris-Komputer secara gratis. Program-program ini merupakan inisiatif 32 kader-kader muda Partai Golkar. Partai Golkar mengadakan pembekalan bagi 1000 Caleg Partai Golkar se-Sumatera Barat dan bagi semua Juru Kampanye Partai Golkar oleh Ketua Umum Partai Golkar M. Jusuf Kalla pada Januari 2009. Pembekalan itu dinilai penting mengingat Pemilu 2009 diberlakukan sistem suara terbanyak untuk menetapkan caleg terpilih. Dalam pembekalan ini, ditekankan bahwa pelaksanaan sistem Pemilu harus dilaksanakan dalam konteks menciptakan kondisi hubungan yang kondusif antar caleg baik sesama Partai Golkar maupun dengan caleg partai-partai lain. Para caleg diingatkan pula untuk mengutamakan
29
Penjelasan Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Uu Rukmana pada acara Pelantikan Kader Badan Pengendali Pemenangan Pemilu 2009 tanggal 12 Agustus 2008. (http://pksmaluk.multiply.com/journal/item/34/Golkar diakses tanggal 11 Januari 2010). 30 http://politik.vivanews.com/news/read/12447 diakses tanggal 10 Agustus 2009 31 Keterangan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar. Ibid. diakses tanggal 10 Agustus 2009 32 http://hariansib.com/?p=37564 diakses tanggal 12 Januari 2010).
kepentingan partai meskipun setiap caleg Partai Golkar akan saling bersaing. Caleg ditekankan harus mempertahankan penampilan dan citra sebagai kader Partai yang santun, di mana hal ini akan memberikan citra 33 positif dan simpati masyarakat dalam Pemilu 2009. Kampanye besar-besaran dilakukan dalam waktu berdekatan dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Kampanye itu dilaksanakan terutama dalam bulan Mei 2009 dengan alasan bila kampanye besar dilakukan jauh sebelum Pemilu 2009, maka materi kampanye bisa dilupakan jutaan calon pemilih. Pola kampanye yang digunakan adalah dalam bentuk kampanye mikro (berbeda dengan cara Partai Golkar sebelumnya yang menggunakan metode kampanye makro) terutama yang dilakukan 34 kelompok-kelompok kecil. Partai Golkar juga memasang iklan Pemilu pada Yahoo Messenger yang dinilai merupakan suatu hal yang baru dalam dunia kampanye 35 politik di Indonesia. Selain itu, Partai Golkar menjalankan model kampanye door to door sebagaimana yang selama ini diterapkan PKS. Alasannya, model kampanye ini dinilai lebih efektif untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan hak 36 politik bagi kemajuan bangsa. Materi-materi kampanye yang diangkat adalah keberhasilankeberhasilan yang telah dicapai dalam perannya sebagai partai “Pemerintah” selama periode 2004-2009. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hal-hal baik yang berhasil dicapai Pemerintah selama periode tersebut tidak hanya dari pihak Partai Demokrat saja, namun juga terdapat kontribusi yang tidak sedikit dari Partai Golkar. Hal ini memang 37 dikemukakan sebagai bagian dari strategi pencitraan Partai Golkar. Partai Golkar melaksanakan aksi kebersihan kota secara massal, contohnya di Bandar Lampung. Partai Golkar juga memberikan alat-alat kebersihan seperti mesin potong rumput, alat fogging focus, sapu lidi, serok dan tong sampah. Partai juga menyerahkan bantuan sosial dan 38 pengobatan massal. Sistem kampanye dengan cara memberikan barang kepada masyarakat masih dilakukan Partai Golkar. Salah satunya adalah di Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk mengajak massa mendekat ke panggung, Panitia Kampanye Partai Golkar di Lapangan Karebosi Makassar pada hari Sabtu tanggal 21 Maret 2009 memberikan beberapa
33
http://www.inilah.com/berita/pemilu-2009/2009/01 diakses tanggal 19 Agustus 2009. http://inilah.com/berita/politik/2009/01/02/72949 diakses tanggal 19 Agustus 2009. 35 http://gugus.web.id/golkar-pasang-iklan-kampanye-pemilu-didiakses tanggal 10 Agustus 2009. 36 http://smsplus.blogspot.com/2008/07/golkar-contek-kampanye-ala-pks.html diakses tanggal 10 Agustus 2009. 37 Pernyataan Ketua DPP Partai Golkar Theo L. Sambuaga pada bulan Februari 2009. (http://inilah.com/berita/politik/2009/01/02/72785/golkar-akan-klaimdiakses tanggal 19 Agustus 2009). 38 http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php? diakses tanggal 10 Agustus 2009. 34
cindera mata, diantaranya ponsel yang masih di dalam kotaknya dan gantungan kunci dengan cara dilemparkan dari atas panggung ke arah 39 kerumunan massa. 2. Strategi Pencitraan PDIP Menghadapi Pemilu 2009, PDIP mengimplementasikan strategi pencitraan dalam hal komitmen politik. Partai ini mencitrakan diri sebagai Partai yang siap berkoalisi dengan pihak yang memang memiliki arah dan komitmen perjuangan yang sejalan. Pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla tanggal 12 Maret 2009 melahirkan „Kesepakatan Dua Tokoh‟ dalam 40 membangun bangsa. Isi kesepakatan tersebut adalah , pertama, membangun pemerintahan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Kedua, memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan amanat UUD 1945 yang memiliki basis dukungan yang kokoh di DPR RI. Ketiga, memperkuat sistem ekonomi untuk melaksanakan program ekonomi yang berdaulat mandiri dan berorientasi kepada kepentingan rakyat. Keempat, mempererat komunikasi politik PDIP dan Partai Golkar sebagai perwujudan tanggung jawab dua partai politik terbesar Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 dan kelima, menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009 secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia serta aman dan bermartabat. Selanjutnya PDIP menerapkan program kontrak politik untuk perubahan. Isi kontrak politik itu adalah tiga program bagi kemaslahatan masyarakat. Pertama, memperjuangkan sembako murah. Kedua, menciptakan jutaan lapangan kerja. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketiga program itu akan dilakukan dengan cara memperjuangkan agar kebutuhan sandang, pangan dan papan lebih tercukupi, ekonomi pedesaan lebih diberdayakan, prosentase kemiskinan dan ketimpangan pendapatan dikurangi. Kepada masyarakat PDIP menerangkan bahwa kontrak politik ini dapat dilakukan bila PDIP mengontrol pemerintahan 41 dalam arti menduduki setidaknya 30% kursi DPR RI. Sosialisasi pencitraan PDIP kepada masyarakat ditingkatkan dengan didirikannya Koran Mingguan PDIP “Pejuang”. Dalam koran mingguan tersebut ditampilkan berita-berita yang menunjukkan masalahmasalah kemasyarakatan, bangsa dan negara sebagai landasan program-program yang ditawarkan partai kepada masyarakat, dan juga sebagai sarana pengingat bagi kader-kader partai, khususnya yang menjadi caleg pada Pemilu 2009 dalam membawa nama baik Partai di mata masyarakat. Dengan demikian, para caleg akan mengarahkan
39 40 41
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1551762 diakses tanggal 10 Agustus 2009. Koran Mingguan PDIP “Pejuang” Edisi 16-22 Maret 2009. h.7-8 Ibid. h. 9
aktivitas kampanyenya dengan mengacu pada isu-isu yang diangkat di 42 dalam koran mingguan tersebut. Strategi pencitraan PDIP juga diterapkan pada penguatan kelembagaan Partai dengan membentuk organisasi sayap bernafaskan Islam yang dinamakan Baitul Muslimin Indonesia dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pembinanya. Strategi pencitraan ini dilakukan untuk menetralisasi pandangan beberapa kalangan bahwa PDIP adalah Partai tempat berkumpulnya kaum abangan, kaum sekuler 43 atau bahkan tempat basis kaum berhaluan kiri. Contoh-contoh perencanaan dan implementasi strategi pencitraan PDIP pada Pemilu 2009 adalah : Pada tanggal 28 Desember 2008, bertepatan dengan 1 Syuro penanggalan Jawa, PDIP menggelar kampanye khusus dengan sosialisasi nomor urut Partai pada Pemilu 2009. Sosialisasi itu diisi dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di areal parkir timur DPP PDIP di Jakarta. Pemilihan momen ini dinilai sangat tepat mengingat angka 28 juga merupakan nomor urut tanda gambar PDIP. Acara ini diselenggarakan sebagai wujud rasa terima kasih PDIP terhadap seni tradisional pewayangan, apalagi seni wayang memiliki banyak penggemar terutama dari kalangan wong cilik 44 yang merupakan basis konstituen PDIP. Pada tanggal 18 Maret 2009, PDIP menyelenggarakan kampanye terbuka di Lapangan Lampe Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima, 45 Sumbawa. Kampanye tersebut juga diikuti oleh anak-anak yang mengenakan atribut PDIP. Para juru kampanye tidak terlalu banyak menyampaikan program Partai. Disampaikan bahwa PDIP akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kader PDIP di DPRD yang tidak bisa memperjuangkan kesejahteraan rakyat 46 akan dicopot. Disampaikan pula bahwa masyarakat saat ini banyak kecewa dengan pemerintah dan mengingatkan bahwa PDIP adalah bagian dari wong cilik. Untuk itu salah satu yang akan diperjuangkan adalah menolak beras impor agar harga beras petani meningkat dan 47 tidak dirugikan. Di Kota Solo, PDIP menyelenggarakan kampanye rapat umum di Lapangan Barat pada bulan Maret 2009 yang ditandai dengan acara bakti sosial seperti pengobatan gratis, donor darah dan simulasi
42
Ibid. h. 10-11 Ibid. h. 14-15 http://pemilu.inilah.com/berita/2008/12/27/71722 diakses tanggal 19 Agustus 2009. 45 Fenomena yang menarik pada kampanye ini adalah bahwa ajakan terhadap masyarakat yang hadir – sekitar 200 orang – untuk memilih PDIP. Oleh Ketua DPC PDIP Kota Bima H. Mustamin, dinyatakan dengan istilah “mencoblos”, padahal cara memberikan suara pada Pemilu 2009 dilaksanakan dengan cara “mencontreng”. 46 Pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kota Bima H. Mustamin. Sumber : http://www.sumbawanews.com/berita/daerah/anak-anak diakses tanggal 19 Agustus 2009. 47 Pernyataan Caleg DPR RI PDIP dari NTB Nuraini. Ibid. Diakses tanggal 19 Agustus 2009. 43 44
pencentangan pada kertas pemilihan. Namun sebagian besar Kader 48 PDIP lebih memilih berkonvoi dengan kendaraan bermotor. Fenomena menarik terjadi pada sikap politik PDIP terhadap kebijakan Pemerintah. Pada mulanya PDIP menyuarakan tema kritik terhadap kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan Pemerintah. Alasannya adalah BLT dipandang sebagai kebijakan yang kurang memperhatikan harga diri manusia. Namun, pada akhir-akhir masa kampanye, PDIP justru memasang iklan tentang BLT di mana visualisasi iklan tersebut digambarkan bahwa rakyat berterima kasih kepada PDIP atas program BLT. PDIP menggambarkan dirinya berperan 49 besar dalam menyukseskan penyaluran BLT kepada masyarakat. Selanjutnya, pada praktek kampanye, sebagaimana yang dilakukan PKS dan Partai Golkar, PDIP menekankan pengadopsian metode door to 50 door pada kampanye menghadapi Pemilu 2009. Pada salah satu momen kampanye, hal yang menarik dapat dilihat ketika walaupun ada kesempatan untuk kampanye terbuka tanggal 23 Maret 2009, di Kota Cimahi PDIP tidak mengerahkan massa, tetapi kader-kader PDIP lebih memilih melakukan gerakan kebersihan di lingkungan RT/RW. Alasan yang dikemukakan Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Djumena Wargasutisna adalah bahwa PDIP Kota Cimahi ingin mengubah image bahwa selama ini kampanye PDIP hanya dilakukan 51 dengan konvoi di jalan raya. 3. Strategi Pencitraan PKS Dalam menghadapi Pemilu 2009, PKS mengemas pencitraannya dengan menyuarakan visi-misi dan program partai yang bersifat praktis, yaitu bahwa masyarakat Indonesia jangan sampai ada yang bodoh dan tingkat kesehatannya tidak terperhatikan. Setelah itu baru PKS masuk ke program-program dalam sektor ekonomi. PKS melakukan ini dengan landasan penelaahan terhadap kondisi psikologis masyarakat tentang perubahan prilaku para pemilih. PKS ingin menyampaikan programprogram yang well informed, well educated, kritis dan menginginkan 52 perubahan. PKS juga mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa proses 53 rekrutmen caleg adalah berdasarkan aspirasi dari bawah. Caleg-caleg
48
http://beritasore.com/2009/03/23/mega-optimis diakses tanggal 21 Agustus 2009. http://noriyu.wordpress.com/2009/04/07/catatan-akhir diakses tanggal 21 Agustus 2009. 50 Media Indonesia, Selasa, 9 Desember 2008. h.1 51 Galamedia, Selasa 24 Maret 2009. h.1 52 http://prayramelan.blogspot.com/ diakses tanggal 25 Februari 2009. 53 Sebagai perbandingan, pada Partai Golkar dan PDIP, indikasi yang dilihat berbagai kalangan adalah bahwa kedua Partai tersebut masih menggunakan sistem kepemimpinan Oligarki yang kental baik ditingkat pusat maupun di daerah, sehingga proses rekrutmen calegnya lebih dipengaruhi intervensi elit (Non Merit System) dibandingkan dengan aspirasi 49
diperkenalkan secara door to door, di samping dengan cara-cara umum seperti melalui baliho, kampanye rapat terbuka, dan lain-lain. Para caleg diusung berdasarkan prinsip bahwa masyarakat Indonesia kini cenderung ingin melihat figur-figur baru yang dinilai masih bersih, tidak dengan klasifikasi tertentu, misalnya artis, pengusaha atau politisi, tetapi siapa pun yang dinilai memenuhi calon alternatifnya, dengan kriteria kualitas moral atau akhlak dan keahlian dengan berprinsip pada hadits Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan bahwa serahkanlah segala sesuatu pada ahlinya. Hal ini berbanding lurus dengan kecenderungan PKS untuk lebih intens menyuarakan dirinya sebagai 54 partai yang bersih dan berjuang dengan, untuk dan atas nama rakyat. Manuver PKS selanjutnya adalah mengadakan rekonsiliasi simbolik dengan keluarga pahlawan nasional. Figur-figur pahlawan nasional itu diusung untuk iklan politik PKS di media massa, khususnya televisi. Kemudian, PKS juga mengumpulkan para tokoh muda masa depan untuk program pemberian penghargaan kepada 106 pemimpin muda 55 Indonesia. Beberapa contoh persiapan dan strategi pencitraan PKS pada Pemilu 2009 adalah bahwa selain sistem door to door, PKS juga menerapkan strategi pencitraan yang dinamakan “Serangan Udara”, yaitu mengefektifkan pencitraan PKS di media massa. Strategi ini dilandasi oleh pelatihan-pelatihan Media Kru Liputan Informasi Kegiatan 56 PKS, salah satunya yang diadakan di Makassar pada Februari 2009. Dalam setiap penyampaian pesan-pesan politiknya kepada masyarakat, PKS menekankan pencitraan sebagai partai yang sangat intensif melakukan berbagai aktivitas unjuk rasa, bakti sosial, hingga 57 membuka komunikasi politik dengan partai lain yang berbeda ideologi. PKS juga menunjukkan strategi pencitraannya dengan menampilkan isu keterwakilan perempuan. PKS menyuarakan diri sebagai partai yang sangat concern terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen. PKS memandang bahwa caleg perempuan adalah insan-insan yang santun, 58 lembut dan anti korupsi. Hal yang menarik adalah bahwa PKS mencitrakan diri sebagai partai yang memperhatikan kebersihan lingkungan. Hal ini dibuktikan pada kampanye terbuka di Pekanbaru pada Maret 2009. Penyelenggaraan kampanye berjalan tertib dan seluruh peserta kampanye menjaga kebersihan tempat acara dilangsungkan, sehingga setelah acara selesai, 59 tidak ada sampah berserakan.
dari bawah. Sumber : Benni Inayatullah. “PKS, Golkar, PDIP ke 2009” http://www.sinarharapan.co.id/ diakses tanggal 25 Februari 2009. 54 http://prayramelan.blogspot.com/ diakses tanggal 25 Februari 2009. 55 http://pemilu09.blogdetik.com/tag/soeharto/ diakses tanggal 10 Agustus 2009. 56 http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php/%3 diakses tanggal 27 Agustus 2009. 57 Ibid. Diakses tanggal 27 Agustus 2009. 58 Ibid. Diakses tanggal 27 Agustus 2009. 59 http://smsplus.blogspot.com/2008/12/caleg-pks- diakses tanggal 28 Agustus 2009.
.
PKS juga Menggelar Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW di depan Kantor DPW PKS Provinsi Kalimantan Selatan, di Kota Banjarmasin pada Maret 2009. Acara ini dihadiri sekitar 3000 jamaah. Alasan diadakannya Maulidan itu antara lain karena selama ini banyak pandangan yang menyatakan bahwa PKS anti Maulidan. Selain itu, PKS ingin menunjukkan komitmennya sebagai “Partai Dakwah” yang sangat menganjurkan umat Islam meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam 60 segala aspeknya. Selanjutnya, untuk menyamakan misi dan platform Partai, PKS memberikan pembekalan pula bagi caleg-calegnya di Hotel Bidakara Jakarta pada Maret 2009, Dalam acara ini, para Caleg membacakan Bai‟at Amal atau bersumpah untuk sungguh-sungguh berdedikasi kepada Partai, memperjuangkan aspirasi rakyat serta amanah, patuh kepada hukum, beretika dan menjaga integrasi moral, tidak melakukan korupsi, tidak melakukan kegiatan yang merugikan rakyat dan bersedia 61 melaksanakan pola hidup sederhana. Disamping hal-hal tersebut, ada satu model kampanye PKS yang cukup kontroversial, yaitu penyertaan pernyataan dukungan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk maju pada Pemilihan Presiden 2009-2014 yang disampaikan baik pada kampanye melalui media massa 62 maupun melalui kampanye terbuka. III. Efektifitas Strategi Pencitraan Partai Politik Pada Pemilu 2009 1. Efektifitas Strategi Pencitraan Partai Golkar Dari sisi kejelasan penawaran program-program untuk masa depan, Partai Golkar ternyata belum bisa menampilkan image dominan yang merupakan syarat strategi pencitraan. Padahal, sebagaimana dikatakan Schroder (2008), strategi pencitraan tidak lengkap bila tidak mengandung muatan visi yang mencerminkan pandangan ke depan, menggambarkan kondisi yang ingin dicapai dan lebih jauh lagi, harus mendukung keputusan untuk mengambil tindakan politik tertentu. Materi-materi yang disampaikan pada kampanye lebih ditekankan pada sifat mengingatkan pada keberhasilan-keberhasilan Partai Golkar sebagai Partai Pemerintah, berdampingan dengan Partai Demokrat dalam periode 2004-2009.
60
Ibid. Diakses tanggal 28 Agustus 2009. http://kompas.com/read/xml/2008/09/03 diakses tanggal 28 Agustus 2009. Menurut Juru Bicara PKS Mabruri, pihak PKS merasa sah-sah saja mengusung nama SBY dalam sesi kampanye mereka sebab itu merupakan aspirasi kader PKS di lapangan, yaitu mendukung berlanjutnya koalisi dengan Partai Demokrat dalam Pemerintahan SBY 2009-2014. Namun ternyata pihak Partai Demokrat sendiri, khususnya DPP-nya keberatan atas penyebutan nama SBY dalam kampanye parpol lain termasuk PKS sebelum ada keputusan berkoalisi. (http://www.detiknews.com/read/2009 diakses 12 Februari 2010) 61 62
Terkait perekrutan dan pendidikan bagi caleg, Partai senantiasa mengingatkan pentingnya persaingan yang sehat antar-sesama caleg, juga mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa caleg-caleg Partai telah dibekali dengan pengetahuan dan segala macam metode untuk menghadapi Pemilu 2009 dikaitkan dengan diimplementasikannya sistem suara terbanyak berdasarkan Putusan MK. Strategi pencitraan dengan mensosialisasikan bahwa Partai Golkar juga merekrut caleg secara eksternal, sebetulnya merupakan langkah yang tampak riskan. Meskipun demikian, partai tampaknya mengimbangi potensi rawan tersebut dengan berpegang pada prinsip perekrutan caleg yang ketat, sehingga yang diperoleh adalah caleg yang memiliki intelektualitas, integritas dan komitmen politik yang tinggi. Tampak jelas bahwa Partai Golkar menerapkan pencitraan ini dengan tujuan agar calon pemilih semakin yakin terhadap objektifitas dan profesionalisme dalam menetapkan caleg. Dalam hal pengaktifan generasi muda partai, terlihat bahwa Partai Golkar mengedepankan isu keterwakilan kaum muda yang akhir-akhir ini cukup mengemuka di Indonesia. Sayangnya, isu tentang keterwakilan perempuan (masalah affirmative action) tidak terlalu ditonjolkan. Dari sisi transmisi pesan politik, secara tidak sadar Partai Golkar mempraktekkan pola pesan dua sisi (two sided message) yang justru membantu meningkatkan popularitas partai lain. Sikap partai yang menunjukkan keberhasilan-keberhasilannya selama menjadi partai Pemerintah periode 2004-2009 secara tidak langsung merupakan pengakuan keberhasilan Partai Demokrat. Karena Partai Golkar tidak mengimbanginya dengan kejelasan program-program visionernya, maka Partai Demokrat-lah yang diuntungkan. Selanjutnya, terdapat beberapa kontroversi antara perencanaan dengan implementasi kampanye ditunjukkan Partai Golkar. Kontroversi pertama, dalam perencanaan strategi pencitraannya, telah ditetapkan bahwa Partai akan lebih menekankan pada pola pendekatan langsung dan tidak berfokus pada pola menarik simpati massa dengan cara membagi-bagikan barang terutama pada acara-acara yang bersifat panggung hiburan. Namun pada acara kampanye terbuka di Makassar, pola ini masih dilakukan dengan membagi-bagikan ponsel kepada kerumunan massa. Kampanye semacam ini di berbagai tempat tidak dimanfaatkan Partai Golkar untuk menyampaikan program-program visioner partai. Strategi pencitraan dengan sistem pendekatan langsung juga dilakukan dengan cara door to door ala-PKS. Sayangnya, berpegang pada prinsip bahwa pencitraan itu seharusnya dilakukan dalam waktu yang cukup lama, Partai Golkar tampaknya terlambat dalam mengadopsi metode ini. Pengadopsian metode door to door sudah jelas mendadak dilakukan dalam rangka menghadapi sistem suara terbanyak. Namun di sisi lain, strategi pendekatan langsung yang pernah dilakukan di Jakarta seperti sistem pengolahan air bersih dan pinjaman kredit usaha rakyat bagi masyarakat setempat setidaknya menunjukkan
bahwa Partai Golkar sudah cukup memahami salah satu permasalahan mendasar yang ada. Program-program kegiatan simpatik yang dilakukan di Jakarta tampaknya telah disinkronkan dengan program-program Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Jakarta. Sesuai dengan model kampanye Ostergaard, terlihat bahwa Partai Golkar telah melakukan tahapan-tahapan pra-kampanye, yang meliputi pengidentifikasian masalah faktual yang ada di masyarakat dan merumuskan program kampanye berdasarkan hasil pengidentifikasian masalah itu. Selanjutnya, kontroversi kedua adalah terkait strategi pencitraan melalui pengiklanan. Kebijakan partai yang menetapkan pembatasan menggunakan iklan di media massa dengan alasan bahwa Partai Golkar sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat, ternyata diimbangi dengan strategi pencitraan Partai yang disampaikan melalui Yahoo Messenger. Ini menunjukkan bahwa Partai tetap memperhatikan faktor pencapaian sasaran khalayak yang besar sebagaimana disyaratkan sebuah kampanye yang efektif. Ini membuktikan bahwa Partai Golkar berusaha menanamkan citra partai yang tidak menghambur-hamburkan terlalu banyak uang negara untuk kepentingan kampanyenya. Tetapi sebetulnya, dengan mengabaikan fokus penggunaan media massa, Partai Golkar mengurangi sendiri potensi jumlah calon pemilihnya, mengingat masyarakat Indonesia pada umumnya lebih familiar dengan media-media massa seperti televisi dan radio. Penyampaian pesan lewat media massa adalah yang paling efektif berdasarkan intensitas pengaksesan masyarakat pada media massa itu sendiri. Partai Golkar terlihat lengah dalam memanfaatkan ruang publik di media massa (public exposure). Dalam menghadapi Pemilu 2009, Partai Golkar menargetkan perolehan suara 30% kursi DPR RI namun realisasinya 14,45%. Beberapa kelemahan dalam penyampaian visi partai, kontroversikontroversi antara perencanaan dan implementasi strategi pencitraan Partai, dan masalah citra yang melemahkan soliditasi Partai sebagai akibat adanya konflik internal partai menjelang Pemilu 2009 sebagaimana yang telah diuraikan di atas menyebabkan strategi pencitraan Partai Golkar belum efektif secara maksimal. Akibatnya adalah penurunan perolehan suara pada Pemilu 2009 dibandingkan dengan Pemilu 2004. 2. Efektifitas Strategi Pencitraan PDIP Dalam menghadapi Pemilu 2009, PDIP menerapkan beberapa aspek penting dalam strategi pencitraan, yaitu pertama, melaksanakan program-program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, dimana PDIP aktif dalam kegiatan-kegiatan bakti sosial. Kedua, yaitu pencitraan dalam hal kaderisasi, dimana tampaknya PDIP berangkat dari kenyataan atas adanya beberapa pandangan yang menyebutkan bahwa
penurunan perolehan suara PDIP pada Pemilu 2004 adalah karena hilangnya ruh PDIP sebagai Partai Wong Cilik. Maka, PDIP tentunya mengedepankan strategi pencitraan yang menunjukkan bahwa partai benar-benar mendidik kader-kadernya, terutama para calegnya dengan materi-materi yang dapat mengembalikan citra partai sebagai partai Wong Cilik itu. Ketiga, PDIP tampaknya juga berusaha untuk melebarkan sayap partai untuk dapat menjangkau potensi suara dari kalangan kaum muda dan masyarakat muslim Indonesia. Terlihat bahwa PDIP memperhatikan wacana perpolitikan yang sedang berkembang ketika itu, yaitu bahwa partai politik yang ingin sukses meraih suara terbanyak harus bisa menyandingkan kelompok status quo dengan kaum muda. Strategi pencitraan dengan pelebaran sayap partai melalui Baitul Muslimin Indonesia pada dasarnya memang cukup ideal, namun demikian, pengimplementasian yang terlalu berdekatan dengan pelaksanaan Pemilu 2009 menyebabkan kesan yang ditimbulkan pada masyarakat calon pemilih adalah bahwa PDIP menjalankan semua itu secara oportunis. Selanjutnya, beberapa sisi lemah strategi pencitraan yang dilakukan PDIP cukup jelas terlihat. Kejadian di NTB, di mana seorang caleg menyandingkan dirinya dengan salah satu tokoh ulama besar pendiri Nahdatul Wathan NTB di baliho, namun pada akhirnya digugat warga Nahdatul Wathan itu sendiri membuktikan bahwa pembekalan partai kepada sebagian caleg-calegnya belum menyentuh pengetahuan mengenai hal-hal dalam political marketing yang harus dihindari. Dalam kasus di atas, sekilas memang terlihat bahwa Caleg tersebut memenuhi kriteria competence dan sociability source dalam posisinya sebagai komunikator politik, namun dia terjebak dalam kesalahan audience targeting. Berdasarkan model kampanye Ostergaard, terlihat bahwa pada tahap pra-kampanye, khususnya dalam mengantisipasi efek yang muncul dari masyarakat dengan memperhatikan hubungan sebab-akibat (cause and effect relationship) belum efektif dilakukan. Peristiwa tersebut juga menunjukkan masih ada strategi pencitraan yang kurang efektif bila dilihat dari perspektif keefektifan, yaitu dalam hal keefektifan individual. Walaupun partai mengklaim telah membekali para caleg dengan berbagai pengetahuan strategi pencitraan partai, ternyata hal ini belum terbukti. Fakta ini diperkuat dengan masih adanya Pengurus DPC Partai yang mensosialisasikan cara memberi suara dengan istilah „mencoblos‟, bukan „mencontreng‟ atau „mencentang‟. Kelemahan selanjutnya adalah terkait inkonsistensi transmisi pesan politik. Sikap PDIP yang pada awalnya mengkritik kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) lalu secara mendadak berbalik arah mendukungnya, menimbulkan kebingungan masyarakat calon pemilih. Pesan-pesan visioner Partai yang sebetulnya sudah cukup terarah menjadi ternodai oleh sikap inkonsistensi tersebut.
Dalam menghadapi Pemilu 2009, PDIP menargetkan 30% perolehan suara, namun terealisasi 14,03%. Kelemahan-kelemahan yang telah diuraikan di atas tentunya memberikan andil terhadap ketidakefektifan strategi pencitraan PDIP yang dibuktikan dengan menurunnya perolehan suara Partai pada Pemilu 2009 dibandingkan dengan Pemilu 2004. 3. Efektifitas Strategi Pencitraan PKS PKS konsisten melakukan metode door to door yang dalam menghadapi Pemilu 2009 dianggap paling efektif, sehingga diadopsi Partai Golkar dan PDIP secara mendadak. Dengan metode door to door itu, PKS telah mempraktekkan model kampanye yang bersifat interaction approach. PKS lebih bisa mengambil manfaat dalam strategi ini dikarenakan telah menjalankannya jauh sebelum dilakukan Partai Golkar dan PDIP. Dengan cara ini, PKS juga dapat dengan lebih efektif memberikan advokasi terhadap persoalanpersoalan publik, tidak terbatas pada wacana dan janji-janji semata. PKS juga menjalankan strategi pencitraan yang dalam implementasinya sesuai dengan metode kampanye Ostergaard, dimana salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah knowledge, attitudes, dan skill. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dirancang untuk dapat memberikan nilai-nilai positif pada pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat calon pemilih. Buktinya adalah dengan dilaksanakannya penyampaian pesan-pesan politik secara dakwah. Acara Maulidan yang disertai pesan-pesan atau dakwah yang menyampaikan tentang tipe kepemimpinan ideal dengan bercermin pada akhlak Rasulullah Muhammad SAW setidaknya dapat mencerminkan visi PKS tentang pemimpin ideal yang tentunya akan diusung. Cara ini tentunya memunculkan stimulus-stimulus pengharapan dari masyarakat calon pemilih kepada PKS tentang hadirnya caleg-caleg yang meneladani akhlak Rasulullah Muhammad SAW sebagai hasil Pemilu 2009. Perlu digarisbawahi bahwa acara Maulidan tersebut juga menunjukkan ketajaman PKS dalam meng-counter anggapan sebagian kalangan yang berpandangan bahwa PKS adalah partai yang „antiMaulidan‟. PKS menyadari betul bahwa citra sebagai partai yang „antiMaulidan‟ itu dapat mengurangi potensi perolehan suara pada Pemilu 2009. Pembekalan kepada para caleg yang lebih lengkap dan dipublikasikan agaknya menjadi salah satu cara menunjukkan kepada masyarakat, bahwa potensi, kompetensi dan kredibilitas caleg PKS tidak perlu diragukan. Dari sisi competence source, PKS memberikan materimateri yang tidak hanya berupa unsur-unsur normatif program, tetapi juga yang bersifat aplikatif dalam konteks political marketing. Dengan demikian, caleg memiliki wawasan tentang Partainya dan juga memiliki kemampuan praktis dalam mengemas transmisi pesan politik kepada
masyarakat calon pemilih. Disini terjadi transfer of knowledge yang cukup ideal kepada para caleg. Selain itu, diadakannya Bai‟at Amal yang diucapkan oleh para caleg merupakan wujud keinginan PKS untuk lebih menonjolkan komitmen memperjuangkan kesejahteraan rakyat. PKS tampaknya berusaha selangkah lebih maju daripada PDIP, karena para caleg PDIP hanya melakukan kontrak politik, sedangkan para caleg PKS melakukan Bai‟at Amal yang merupakan suatu sumpah. Pencitraan partai dilanjutkan dengan mengingatkan masyarakat terhadap jargon : PKS sebagai partai yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Secara intens, stimulus-stimulus pengingat tersebut ditayangkan di media massa, terutama televisi. Dengan demikian, PKS menekankan pada track record kaderkadernya selama menjalankan pemerintahan atau ketika berperan sebagai anggota legislatif. Semakin intensnya PKS mencitrakan diri sebagai partai yang bersih menunjukkan bahwa Partai ini berusaha membuat garis pemisah yang tajam guna menunjukkan perbedaan dari sisi nama baik dibandingkan dengan partai-partai lain. PKS menjalankan prinsip image dominant dalam strategi pencitraan. Selain track record kader tersebut, PKS juga berhasil mengisi kekosongan image dominant terkait masalah affirmative action atau keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi strategis pemerintahan termasuk Anggota Legislatif. Hal ini tidak terlalu dikedepankan oleh partai-partai politik lainnya secara signifikan, termasuk oleh Partai Golkar dan PDIP. PKS cukup jeli dalam menawarkan keseimbangan antara isu keterwakilan kaum muda dengan keterwakilan kaum perempuan. Selanjutnya, PKS terlihat sangat menyadari bahwa pesan-pesan persuasif dalam kampanye politik adalah bertujuan untuk mengubah sikap, keyakinan atau pandangan masyarakat calon pemilih yang muaranya adalah menumbuhkan keyakinan bahwa Caleg-caleg PKS merupakan calon-calon wakil rakyat yang layak dipilih. PKS tampak sadar bahwa proses tersebut tidak bisa dilaksanakan secara instan, melainkan harus melalui suatu penetrasi informasi dan praktek karya nyata yang terus-menerus. Satu hal yang menarik, untuk menghadapi Pemilu 2009, PKS tampaknya memprogram kampanyenya untuk mengembangkan sayap partai, khususnya dalam perluasan segmentasi calon pemilih potensial. Ini dibuktikan dengan iklan PKS di media massa yang materinya memuat penghargaan kepada tokoh-tokoh nasional secara lintas-paham atau lintas pandangan dalam politik, termasuk mantan Presiden Soeharto. Dengan strategi itu, pada prinsipnya PKS menggunakan pola transimisi pesan dua sisi (two sided message), di mana ditampilkan pengakuan terhadap kelebihan pihak lain yang diperkirakan berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu. Strategi pencitraan dengan pola perluasan segmentasi juga ditunjukkan dengan mendekati kaum muda, sebagaimana yang dilakukan Partai Golkar dan PDIP. Hal ini terlihat dari dimunculkannya jargon: PKS
= Partai Kita Semua, PKS = Partai Keren Sekali, dan sebagainya yang mempersonifikasikan sebagai jati diri kaum muda. Namun terlihat bahwa PKS yang notabene adalah partai islam kurang menajamkan visi dan cita-cita ideal yang ingin diusung bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dari contoh-contoh fenomena tersebut, yang disampaikan adalah berupa program-program atau pesan-pesan politik yang bersifat umum, belum memberikan visualisasi tentang sistem pemerintahan yang ditawarkan partai bagi perbaikan kehidupan bernegara. Hal ini sebetulnya penting untuk dijelaskan kepada masyarakat calon pemilih, mengingat sebagian masyarakat masih mempertanyakan bagaimana sebetulnya nilai-nilai Islam akan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Selain itu, PKS belum memiliki figur andalan untuk menarik perhatian masyarakat pemilih, sebagaimana yang dimiliki PDIP dengan figur Megawati Soekarnoputri-nya. Padahal, ketokohan yang kuat dalam partai politik merupakan „magnet‟ suara yang bisa membuat suara partai 63 membesar secara signifikan. Hasil strategi-strategi pencitraan PKS terlihat dalam hasil Pemilu 2009. Dalam menghadapi Pemilu 2009 PKS menargetkan perolehan suara 20 % namun terealisasi 7,88 %. Dari sudut pandang pencapaian target memang jauh tidak tercapai, tetapi PKS cukup berhasil mempertahankan kekuatan perolehan suaranya pada Pemilu 2009 dibandingkan dengan Pemilu 2004. Ini membuktikan bahwa strategi pencitraan yang dilakukan baru efektif pada aspek mempertahankan perolehan suara, belum efektif pada pencapaian target perolehan suara. IV. Penutup A. Kesimpulan Beberapa strategi pencitraan yang dilakukan Partai Golkar, PDIP dan PKS terbukti belum efektif. Hal ini ditunjukkan dengan persentase perolehan suara masing-masing Partai pada Pemilu 2009 yang jauh dari target. Partai Golkar belum berhasil menampilkan image dominant dalam hal visi kepartaian. Program-program yang ditawarkan kepada masyarakat tidak jelas. Pesan-pesan politik yang diandalkan hanya mengingatkan tentang peran partai dalam keberhasilan-keberhasilan program Pemerintah dalam periode 2004-2009. Partai Golkar, sebagaimana juga PDIP terlambat dalam mengadopsi pola strategi pencitraan dengan sistem door to door sebagaimana yang
63
M.Qodari, “Dibalik Pemilu 2009” (http://pks-kotatangerang.or.id/index.php? diakses 15 Februari 2010).
selama ini dilakukan PKS. Dengan demikian, strategi ini menjadi kurang efektif. Di sisi lain, PDIP memang telah selangkah lebih maju daripada Partai Golkar dalam mentransmisikan pesan-pesan visioner partai kepada khalayak calon pemilih. Sayangnya hal tersebut menjadi kurang efektif ketika PDIP melakukan praktek kampanye yang menunjukkan inkonsistensi sikap Partai dalam menyikapi kebijakan program Pemerintah. Selain itu, pola arahan dari pusat kepada kader-kader partai, termasuk caleg-calegnya yang belum optimal diimplementasikan di tingkat daerah menunjukkan bahwa PDIP perlu meningkatkan sistem transfer of knowledge kepada para kader dan caleg tersebut. Adapun PKS, dengan metode kampanye dakwah dan door-to-doornya mampu menjalankan pola kampanye dengan pendekatan interaksi (interaction approach), tidak hanya melakukan transmisi pesan politik satu arah (one sided fashion). PKS juga cukup jeli dalam mengeliminasi image negatif yang sedang berkembang di beberapa kalangan masyarakat tentang sifat-sifat Partai. PKS juga berani menarik simpati berbagai golongan masyarakat guna menunjukkan image Partai yang terbuka, bukan Partai Islam yang eksklusif. Namun, hal itu kurang didukung adanya figur andalan partai, padahal ketokohan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menarik perhatian masyarakat pemili. B. Rekomendasi Pada Pemilu selanjutnya, Partai Golkar perlu menyampaikan pesanpesan politik yang bersifat image dominant terkait program-program partai secara lebih jelas agar masyarakat calon pemilih dapat mengetahui visi partai dalam upaya memperbaiki kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Partai Golkar harus menjalankan strategi pencitraannya secara kontinyu setiap waktu, tidak hanya diintensifkan menjelang Pemilu saja. Pola transmisi pesan-pesan politik kepada masyarakat sebaiknya sedapat mungkin menggunakan pola pendekatan interaksi (interactional approach), tidak hanya pola satu arah (one side fashion). Selanjutnya, PDIP perlu menunjukkan sikap konsistennya atas sikap politik tertentu yang telah ditetapkan Partai. Sebagaimana Partai Golkar, PDIP harus menjalankan strategi pencitraannya setiap waktu. PDIP juga perlu meningkatkan sistem transfer of knowledge kepada para kader dan caleg nya, sehingga di lapangan tidak terjadi lagi hal-hal yang mencitrakan kualitas, kredibilitas dan kapabilitas yang belum memadai. Adapun PKS, partai ini perlu mempertahankan strategi pencitraannya yang selama ini sudah dijalankan secara kontinyu. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah pemunculan seorang tokoh politik yang dapat menjadi figur andalan partai, sehingga dapat lebih menarik perhatian masyarakat pemilih.
Daftar Pustaka
Buku: Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Firmanzah. Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Sidarta, GM. Strategi Pemenangan dalam Pemilihan Langsung, Jakarta : Kalam Pustaka, 2008. Dan Nimmo. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000. Peter Shroder, Strategi Politik; Edisi Revisi untuk Pemilu 2009, Penterjemah : Denise Joyce Matindas & Irina Dayasih, Jakarta : Friederich-Naumann-Stiftung fuer die Freiheit, 2008. Bonar Simangunsong & Daulat Sinuraya. Negara, Demokrasi dan Berpolitik yang Profesional, Jakarta: Kharisma Virgo Print, 2004. Herman Sofyandi & Iwa Garniwa. Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Pabundu Tika. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, Jakarta : Bumi Aksara, 2008. A. Usmara (ed), Implementasi Manajemen Stratejik : Kebijakan dan Proses, Yogyakarta : Penerbit Amara Books, 2003. Antar Venus. Manajemen Kampanye : Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007. Dokumen : Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51) Surat Kabar : Galamedia, Selasa, 24 Maret 2009 Koran Mingguan PDIP „Pejuang‟ Edisi 16-22 Maret 2009 Media Indonesia, Selasa, 9 Desember 2008 Internet: http://www.calegindonesia.com/content/history.asp
diakses tanggal 20 Januari 2009 http://www.uncunatsir.com/page_info.php?id_brt=103&id diakses tanggal 24 Juli 2009. http://www.beritaindonesia.co.id/politik/adil-bagi-semua.html diakses tanggal 24 Juli 2009 http://www.inilah.com/berita/politik/2008/12/24/70997/ diakses tanggal 24 Juli 2009 http://www.inilah.com/berita/politik/2008/12/24/70997/ diakses tanggal 24 Juli 2009 http://muhshodiq.wordpress.com/2009 diakses tanggal 9 Juni 2009 http://usmanyatim.wordpress.com/2009/01/09/partai diakses tanggal 11 Januari 2010 http://pksmaluk.multiply.com/journal/item/34/Golkar diakses tanggal 11 Januari 2010 http://politik.vivanews.com/news/read/12447 diakses tanggal 10 Agustus 2009 http://hariansib.com/?p=37564 diakses tanggal 12 Januari 2010 http://www.inilah.com/berita/pemilu-2009/2009/01 diakses tanggal 19 Agustus 2009 http://inilah.com/berita/politik/2009/01/02/72949 diakses tanggal 19 Agustus 2009 http://gugus.web.id/golkar-pasang-iklan-kampanyediakses tanggal 10 Agustus 2009 http://smsplus.blogspot.com/2008/07/golkar-contekdiakses tanggal 10 Agustus 2009 http://inilah.com/berita/politik/2009/01/02/72785/golkar diakses tanggal 19 Agustus 2009 http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php? diakses tanggal 10 Agustus 2009 http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1551762 diakses tanggal 10 Agustus 2009 http://pemilu.inilah.com/berita/2008/12/27/71722 diakses tanggal 19 Agustus 2009 http://www.sumbawanews.com/berita/daerah/anak-anak diakses tanggal 19 Agustus 2009. http://beritasore.com/2009/03/23/mega-optimis diakses tanggal 21 Agustus 2009 http://noriyu.wordpress.com/2009/04/07/catatan-akhir diakses tanggal 21 Agustus 2009 http://prayramelan.blogspot.com/ diakses tanggal 25 Februari 2009 http://www.sinarharapan.co.id/ diakses tanggal 25 Februari 2009 http://pemilu09.blogdetik.com/tag/soeharto/
diakses tanggal 10 Agustus 2009 http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php/%3 diakses tanggal 27 Agustus 2009 http://smsplus.blogspot.com/2008/12/caleg-pksdiakses tanggal 28 Agustus 2009 http://kompas.com/read/xml/2008/09/03 diakses tanggal 28 Agustus 2009