(Rattus tiomanicus MILLER) PREFERENSI MAKAN TIKUS POHON TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA
Rizka Yudha Aryata A44102051
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK
RIZKA YUDHA ARYATA. Preferensi Makan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Miller) terhadap Umpan dan Rodentisida. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO. Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting dalam kehidupan manusia. Salah satu spesies yang menyebabkan kerugian besar adalah Rattus tiomanicus (tikus pohon) , terutama mengakibatkan kerusakan pada pertanaman kelapa dan kelapa sawit. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan, baik secara non kimia maupun secara kimiawi. Penelitian ini bert ujuan untuk mengetahui jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif dalam mengendalikan tikus pohon. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif dalam mengendalikan tikus pohon. Pengujian umpan dan pengujian sesama rodentisida menggunakan metode pilihan (choice test), sedangkan pengujian umpan dan rodentisida menggunakan metode bichoice test. Tikus pohon yang digunakan sebanyak 50 ekor. Pengujian umpan dan rodentisida menggunakan 20 ekor tikus pohon dengan empat jenis umpan dan satu rodentisida, diamati selama tiga hari berturut-turut. Selanjutnya pengujian umpan menggunakan 20 ekor tikus yang telah diadaptasi selama satu bulan, diamati selama satu minggu. Setelah pengujian selesai, 20 ekor tikus tersebut digunakan untuk pengujian sesama rodentisida selama tiga hari berturutturut. Kemudian dilakukan pengujian sesama rodentisida terhadap 10 ekor tikus yang baru tiga hari diadaptasi. Pengujian dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Analisis ragam menggunakan rancangan acak lengkap dengan Program SAS for Windows V.6.12. Uji lanjut dengan uji selang ganda Duncan dengan taraf a =5% dan 1%. Peubah yang diamati adalah tingkat konsumsi umpan dan rodentisida. Hasil yang diperoleh dari pengujian umpan adalah tikus pohon lebih menyukai gabah dibandingkan dengan sawit, beras, dan jagung. Untuk pengujian umpan vs rodentisida, diperoleh bahwa konsumsi semua umpan (gabah, beras, jagung, dan sawit) lebih tinggi dibandingkan dengan rodentisida brodifakum. Pada pengujian rodentisida, didapat bahwa pada pengujian menggunakan tikus yang lama diadaptasi, rodentisida yang paling banyak dikonsumsi adalah bahan aktif bromadiolon yang berbentuk patahan/hancur . Sedangkan pada pengujian menggunakan tikus yang baru diadaptasi, rodentisida yang paling banyak dikonsumsi adalah bahan aktif seng fosfida yang menggunakan bahan penarik, yaitu minyak nabati. Pada uji tanpa rodentisida, sawit lebih disukai dibandingkan dengan beras dan jagung, tetapi pada perlakuan dengan rodentisida, sawit paling sedikit dikonsumsi. Tidak ada kecenderungan perbedaan konsumsi rodentisida sebagai akibat dari lama waktu adaptasi tikus pohon di laboratorium.
PREFERENSI MAKAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus MILLER) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian , Institut Pertanian Bogor
Oleh: Rizka Yudha Aryata A44102051
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: PREFERENSI MAKAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus MILLER) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA
Nama
: Rizka Yudha Aryata
NRP
: A44102051
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi NIP 131 664 407
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham , MAgr NIP 130 422 698
Tanggal lulus : ………………..
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 18 Januari 1985 sebagai putra keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Singgih Prawoto dan Ibu Pujiatie. Penulis menyelesaikan sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah umum di Bandar Lampung, sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2002. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Vertebrata Hama pada Semester Genap 2004-2005 dan Dasar-dasar Perlindungan Tanaman pada Semester Genap 2004-2005. Selain itu penulis juga memiliki hobi olahraga, yaitu bola basket dan aktif sebagai pemain tim basket Departemen Proteksi Tanaman dan Fakultas Pertanian IPB.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan petunjuk-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Preferensi Makan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Miller) terhadap Umpan dan Rodentisida” Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan dorongan moral dan materil atas selesainya skripsi ini, Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi yang telah bersedia menerima penulis sebagai mahasiswa bimbingannya, seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor yang telah memberikan pengetahuan selama menuntut ilmu di IPB, Aria Marlina yang telah menemani hari-hari penulis, Bapak Soban, Lusi, Erika, Sadat, dan Syarif yang telah setia menemani dan membantu penulis selama penelitian, seluruh anggota Sintingz.Corp dan HPTers ‘39 atas persahabatannya, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya, terutama di bidang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan.
Bogor, Januari 2006
Rizka Yudha Aryata
DAFTAR ISI
Halaman PENDAHULUAN ……………………………………………………... .
1
Latar Belakang ……………………………………………………. .
1
Tujuan …………………………………………………………….. .
3
Manfaat …………………………………………………………… .
3
TINJAUAN PUSTAKA ………………...……………………………… .
4
Taksonomi dan Morfologi ………………………….……………..
4
Bioekologi …………… ……………………………………………
4
Rodentisida …………………………………………………........... Brometalin ………………………………………………........ Seng fosfida ………………………………………………….. Kumatetralil ………………………………………………….. Brodifakum ………………………………………………....... Bromadiolon …………………………………………………. Flokumafen ………………………………………………......
5 6 7 7 8 8 9
Umpan …………………………………………………………….. Kelapa sawit …………………………………………………. Beras dan gabah ……………………………………………… Jagung ……………………………………………………......
9 9 10 11
BAHAN DAN METODE ………………………………………………. .
12
Waktu dan Tempat ………………………………………………... .
12
Bahan dan Alat …………………………………………………….. Hewan Percobaan .................................................................... . Umpan ..................................................................................... Rodentisida ............................................................................... Kurungan ..................................................................................
12 12 12 12 13
Metode …………………………….………………………………. Pengujian umpan ...................................................................... Pengujian umpan dan rodentisida ............................................. Pengujian rodentisida ................................................................ Konversi umpan .......................................................................
13 13 14 15 16
Rancangan Percobaan .......................................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
17
Pengujian Umpan terhadap R. tiomanicus .....................................
17
Pengujian umpan vs rodentisida terhadap R. tiomanicus ................. 1. Pengujian terhadap empat jenis umpan dan rodentisida ... 2. Pengujian masing-masing perlakuan umpan dan rodentisida .....................................................
18 18
Pengujian Rodentisida ........................................................................
20
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
23
LAMPIRAN ..............................................................................................
25
19
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Konsumsi tikus pohon terhadap umpan (g/100g bobot tubuh) …
17
Tabel 2 Konsumsi umpan pada tikus pohon (g/100g bobot tubuh) ..........
18
Tabel 3 Konsumsi tikus pohon terhadap umpan dan racun (g/100g bobot tubuh) ....................................................................
19
Tabel 4 Konsumsi tikus pohon terhadap rodentisida (g/100g bobot tubuh) ....................................................................
20
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Wadah pakan bersekat …………………………………….…
14
Gambar 2 Wadah pakan bersekat dengan beberapa rodentisida ..............
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Tabel 1 Konsumsi umpan selama tujuh hari (20 ekor tikus) ……..…….
25
Tabel 2 Konsumsi rodentisida selama tiga hari (20 ekor tikus) ...............
25
Tabel 3 Konsumsi rodentisida selama tiga hari (10 ekor tikus) ………...
26
Tabel 4 Selisih konsumsi umpan vs brodifakum 1 selama tiga hari (20 ekor tikus) …...............................................
26
Tabel 5 Analisis ragam pengujian umpan ………………………………
26
Tabel 6 Analisis ragam pengujian rodentisida terhadap tikus yang lama diadaptasi ………………………………….….
27
Tabel 7 Analisis ragam pengujian rodentisida terhadap tikus yang baru diadaptasi ……………………………………...
27
Tabel 8 Analisis ragam pengujia n umpan vs rodentisida dengan memperhitungkan konsumsi rodentisida ……………………….
27
Tabel 9 Analisis ragam pengujian beras vs klerat ………….…………...
28
Tabel 10 Analisis ragam pengujian gabah vs klerat …………………….
28
Tabel 11 Analisis ragam pengujian jagung vs klerat …………..……….
28
Tabel 12 Analisis ragam pengujian sawit vs klerat ……………………..
29
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang pertanian, perkebunan, permukiman, dan juga kesehatan (Meehan 1984). Pada bidang pertanian dan perkebunan, tikus menyebabkan kerusakan pada pertanaman padi, jagung, kopi, tebu, kelapa, dan kelapa sawit. Sedangkan pada bidang permukiman, tikus menyebabkan kerusakan pada bahan bangunan dan jalan raya. Selain itu tikus juga dapat menularkan penyakit pada manusia, antara lain penyakit pes, salmonellosis, leptospirosis, murine thypus, dan rickettsial pox (Priyambodo 2003). Setidaknya ada 24 spesies tikus yang merupakan hama penting di negara-negara Asia dan Indo Pasifik (Aplin et al. 2003). Beberapa spesies yang terdapat di Indonesia antara lain Bandicota indica (tikus wirok), Rattus norvegicus (tikus riul), R. rattus diardi (tikus rumah), R. argentiventer (tikus sawah), R. exulans (tikus ladang), dan R. tiomanicus (tikus pohon) (Priyambodo 2003) . Tikus pohon terutama mengakibatkan kerusakan pada pertanaman kelapa dan kelapa sawit. Pada pertanaman kelapa, kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam perut tikus pohon dapat ditemukan sekitar 83% sisa kelapa (Wood 1984). Pada pertanaman kelapa sawit, tikus pohon merusak tanaman yang masih muda dengan cara mengerat pelepah daun dan memakan titik tumbuh tanaman sehingga menyebabkan tanaman mati (Setyamidjaja 1993). Pada tanaman yang sudah menghasilkan, tikus makan bagian mesokarp buah sekitar 4,29-13,6 g per hari, kerusakan ini dapat menurunkan produksi sekitar 5% per tahun (Wood 1984). Secara umum, upaya pengendalian tikus pohon (R. tiomanicus) sudah banyak dilakukan oleh manusia, baik secara non kimia maupun secara kimiawi terutama dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu. Beberapa upaya pengendalian yang dapat dilakukan terhadap tikus pohon adalah dengan menggunakan musuh alami (burung hantu, musang, dan ular), perangkap (perangkap hidup, mati, dan berperekat), melakukan gropyokan , mengatur jarak
2 tanam agar tidak terlalu rapat/berdekatan, melakukan sanitasi terhadap lingkungan sekitar, dan penggunaan bahan-bahan kimia (rodentisida dan fumigan) (Priyambodo 2003). Meskipun demikian pelaksanaan pengendalian tikus belum optimal sehingga hasil yang diperoleh juga kurang memuaskan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengkajian lebih lanjut untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengendalian tikus di lapangan. Pengendalian tikus secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida, baik yang bersifat racun akut ataupun racun kronis merupakan pengendalian yang paling umum dilakukan daripada pengendalian lainnya, meskipun menurut konsep PHT seharusnya metode ini dilakukan sebagai alternatif terakhir. Metode pengendalian secara kimiawi yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan cara mencampur umpan yang disukai oleh tikus dengan rodentisida, misalnya brodifakum dan seng fosfida. Kemudian campuran tersebut diletakkan di tempat yang menjadi runway tikus dengan tujuan agar dikonsumsi oleh tikus. Pengendalian tikus secara kimiawi ini pelaksanaannya mudah, tetapi memiliki beberapa kekurangan seperti dapat membunuh hewan atau organisme bukan sasaran dan dapat juga mencemari lingkungan. Pengendalian secara kimiawi membutuhkan jenis-jenis umpan yang menarik perhatian tikus, terutama jika dibandingkan dengan umpan-umpan yang ada di sekitar lingkungan hidupnya. Untuk menghasilkan umpan yang menarik perhatian tikus, maka diperlukan bahan penarik (arrestant). Beberapa bahan penarik yang dapat digunakan yaitu air, minyak nabati, gula, dan feromon. Penggunaan bahan penarik ini bertujuan untuk menutupi rasa tidak enak dari racun tersebut, sehingga tikus mau memakan umpan dalam jumlah cukup banyak (Priyambodo 2003). Sampai saat ini penelitian mengenai tikus pohon di Indonesia belum banyak dilakukan, terutama tentang jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif untuk mengendalikannya. Penelitian yang banyak dilakukan antara lain terhadap tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus sawah (R. argentiventer). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian mengenai jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif dalam mengendalikan tikus pohon (R. tiomanicus) di Indonesia.
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif dalam mengendalikan tikus pohon (R. tiomanicus).
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai jenis umpan yang disukai dan jenis rodentisida yang efektif untuk mengendalikan tikus pohon, sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk pengendalian tikus pohon.
TINJAUAN PUSTAKA
Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Miller)
Taksonomi dan Morfologi Tikus pohon (R. tiomanicus) digolongkan ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae dan S ubfamili Murinae (Walker 1999). Tikus pohon (R tiomanicus) termasuk sebagai spesies tikus yang berukuran kecil hingga menengah. Ciri khusus yang dapat membedakan tikus pohon dengan spesies tikus lainnya antara lain panjang ekor yang lebih panjang daripada kepala dan badan (75-120% dari panjang tubuh), tubuh bagian dorsal beruban halus berwarna kehijauan dan bagian ventralnya berwarna abu-abu pucat dengan ujung putih (Payne et al 2002). Menurut Aplin et al (2003) tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventralnya berwarna putih kekuningan atau krem. Hewan betina memiliki puting susu lima pasang yaitu dua pasang pektoral dan tiga pasang inguinal, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, serta warna ekor bagian atas dan bawah cokelat hitam (Priyambodo 2003).
Bioekologi Tikus pohon termasuk golongan hewan omnivora (pemakan segala), tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia (Sipayung, Sudharto, dan Lubis 1987). Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang kebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk basah sekitar 20% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2003). Tikus pohon memiliki kemampuan fisik yang baik seperti memanjat, meloncat, mengerat, dan berenang. R. tiomanicus memiliki kemampuan untuk memanjat pohon atau vegetasi (Wood 1984), kemampuan memanjat ini ditunjang oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad yang besar dan permukaan yang kasar (Priyambodo 2003). Kerusakan yang disebabkan oleh
5 tikus pohon terutama karena tikus memiliki kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi panjang gigi seri yang tumbuh terus menerus (Walker 1999). Tikus dapat merusak bahan-bahan yang keras sampai dengan nilai 5,5 pada skala kerusakan geologi (Meehan 1984). Tikus pohon tidak membuat sarang dengan cara menggali tanah, tetapi membuat sarang di antara pelepahpelepah daun kelapa sawit atau celah-celah yang ada di antara pohon-pohon (Harrison 1954). Perkembangbiakan tikus dipengaruhi oleh keadaan makanan dan lingkungan sekitarnya (Aplin et al 2003). Dengan makanan yang berlimpah dan lingkungan sekitar mendukung, maka tikus dapat berkembang biak dengan sangat pesat. Priyambodo (2003) mengatakan bahwa tikus merupakan hewan poliestrus, dapat melahirkan anak antara 3-12 ekor, rata-rata enam ekor per kelahiran dengan masa bunting yang singkat, antara 21-23 hari. Habitat tiap spesies tikus berbeda -beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984). Tikus pohon selain ditemukan di sekitar perkebunan kelapa dan kelapa sawit juga sering ditemukan di perkebunan kakao, lahan persawahan, areal pertanian, lapangan terbuka, dan pekarangan rumah (Wood 1984). Daerah penyebaran utama dari tikus pohon adalah di Indonesia (Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera), Malaysia, Singapura dan Thailand (Harrison 1964).
Rodentisida Menurut Prakash (1988), berdasarkan kecepatan kerjanya, rodentisida dibagi menjadi dua jenis, yaitu racun akut (bekerja cepat) dan racun kronis (bekerja lambat). Racun akut adalah jenis racun yang menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle 1996). Contoh bahan aktif rodentisida yang tergolong racun akut adalah seng fosfida, brometalin, crimidine, dan arsenik trioksida (Priyambodo 2003) yang bekerja cepat dengan cara merusak jaringan saluran pencernaan, masuk ke aliran darah dan
6 menghancurkan liver. Racun kronis adalah racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K serta mengganggu proses pembekuan darah (Oudejans 1991). Yang tergolong ke dalam racun kronis antara lain bahan aktif kumatetralil, warfarin, fumarin, dan pival yang termasuk racun antikoagulan generasi I, serta brodifakum, bromadiolon, dan flokumafen yang termasuk racun antikoagulan generasi II (Priyambodo 2003).
1. Brometalin Brometalin mulai dikembangkan dan digunakan pada tahun 1985 untuk mengatasi masalah resistensi hewan pengerat terhadap rodentisida antikoagulan generasi I, yaitu warfarin dan yang mirip dengannya. Brometalin tidak termasuk sebagai rodentisida antikoagulan, tetapi termasuk sebagai rodentisida akut yang dapat menyebabkan kematian terhadap hewan pengerat dalam satu kali pemberian umpan. Kematian terjadi antara 24 sampai 36 jam setelah racun dicerna. Racun ini efektif terhadap hewan pengerat yang resisten terhadap rodentisida antikoagulan (Klausen 1997). LD 50 dari brometalin murni (tanpa umpan) adalah 4.7 mg/kg untuk anjing dan 1.8 mg/kg untuk kucing. Sedangkan dosis umpan minimum yang dapat mematikan adalah 25 mg/kg untuk anjing dan 4.5 mg/kg untuk kucing. Racun ini termasuk sebagai racun yang memiliki toksisitas yang tinggi, LD50 untuk R. norvegicus adalah 2 mg/kg, dan untuk M. musculus adalah 5 mg/kg (Prakash 1988). Racun ini direkomendasikan untuk digunakan dengan dosis 0.01% (Klausen 1997). Brometalin pada tubuh dapat terdeteksi di dalam hati, lapisan lemak, ginjal, dan otak. Tidak ada antidot yang khusus untuk racun ini. Rodentisida ini dapat diterima dengan baik oleh tikus dan juga tidak menimbulkan jera umpan (Corrigan 1997). Bentuk fisik racun ini adalah pelet berwarna hijau terang.
7 2. Seng Fosfida Zn 3P2 Seng fosfida berbentuk tepung yang berwarna hitam keabu-abuan, dengan bau seperti bawang putih, yang diproduksi dengan cara mengkombinasikan antara seng dengan fosfor (Buckle 1996). Bau bawang tersebut menarik bagi tikus, tetapi tidak menarik bagi manusia dan hewan peliharaan. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif, dan tidak dapat larut dalam alkohol dan air. Racun ini termasuk sebagai racun akut yang efektif (Corrigan 1997). LD 50 seng fosfida terhadap tikus rumah (R. rattus) adalah 45.7 mg/kg (Oudejans 1991), sedangkan untuk tikus riul (R. norvegicus) adalah 35-48 mg/kg (Corrigan 1997). Selain tikus, burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut ini telah digunakan secara luas terhadap tikus. Umpan yang mengandung 2.5 dan 5.0 mg/kg rodentisida dapat digunakan terhadap Rattus spp. (Sikora 1981). Lama kematian tikus setelah mengkonsumsi rodentisida ini adalah antara 17 menit sampai dengan beberapa jam. Tikus yang mengkonsumsi rodentisida dengan dosis rendah dapat bertahan hidup selama beberapa hari. Tikus yang mati karena mengkonsumsi rodentisida ini akan mengalami kerusakan pada bagian hati dan seperti mengalami gagal ginjal (Corrigan 1997).
3. Kumatetralil C 19H16O3 Kumatetralil adalah suatu bubuk kristal berwarna putih kekuningan. Kumatetralil tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini diproduksi dalam bentuk tepung dan umpan siap pakai. Kumatetralil efektif terhadap spesies tikus (R. norvegicus) yang resisten terhadap racun antikoagulan lainnya, misalnya terhadap warfarin (Sikora 1981). Rodentisida ini merupakan suatu antikoagulan yang tid ak menyebabkan jera umpan. Antidot dari racun ini adalah vitamin K1. LD50 yang sub kronis untuk tikus rumah (R. rattus) adalah 0.3 mg/kg (Sikora 1981), dan untuk R. norvegicus adalah 16.5 mg/kg. Racun ini digunakan dengan kandungan bahan aktif yang rendah. Resiko keracunan terhadap organisme bukan sasaran, termasuk manusia sangat kecil (Prakash 1988).
8 4. Brodifakum C31H23BrO Brodifakum merupakan salah satu rodentisida antikoagulan generasi II yang potensial, terutama efektif terhadap spesies tikus yang res isten terhadap rodentisida jenis warfarin (Corrigan 1997). Brodifakum juga merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air (Sikora 1981). Bentuk fisik racun ini adalah blok dengan warna hijau dan biru, sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991). LD 50 untuk tikus riul (R. norvegicus) adalah 0.27 mg/kg, dan untuk mencit (Mus musculus) 0.4 mg/kg (Corrigan 1997). Racun ini diproduksi dalam bentuk pelet dan blok yang siap pakai (Sikora 1981). Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung mematikan tikus, termasuk juga terhadap strain tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan jenis lainnya (Sikora 1981). Cara kerja racun ini adalah dengan mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan darah. Hewan pengerat dapa t menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg/ kg bahan aktif (Oudejans 1991).
5. Bromadiolon C 30H23BrO 4 Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan bekerja dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon termasuk racun antikoagulan generasi ke dua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya, juga terhadap tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan generasi pertama (Bennett 2002a). Bromadiolon digunakan dalam bentuk umpan siap pakai dengan konsentrasi rendah, yaitu sekitar 0.005%, selain itu racun ini juga diproduksi dalam bentuk tepung atau bubuk (Corrigan 1997). Bromadiolon mempunyai toksisitas oral yang akut (LD50= 1-3 mg/kg) terhadap beberapa spesies hewan, baik yang termasuk hewan pengerat maupun yang bukan hewan pengerat. Toksisitas dermal juga tinggi (LD 50=9.4 mg/kg pada kelinci) (Bennett 2002a). Tikus yang mengkonsumsi rodentisida ini dengan dosis yang mematikan, biasanya akan mengalami kematian pada hari ketiga setelah
9 konsumsi (Corrigan 1997). Bentuk fisik racun ini adalah seperti balok berwarna hijau gelap. Bromadiolon tidak mudah terlarut dalam air, tetapi sebagai bahan teknis, bromadiolon beracun bagi organisme air (Bennett 2002a).
6. Flokumafen C 33H25F3O4 Flokumafen secara kimiawi berhubungan dengan brodifakum, hampir tidak dapat larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam aseton. Racun ini direkomendasikan untuk digunakan dengan dosis 0.005% pada umpan butiran dan umpan blok (Bennett 2002b). Bentuk fisik racun ini adalah bentuk padatan seperti buah petai berwarna biru. Flokumafen merupakan rodentisida antikoagulan generasi kedua yang modern (Buckle dan Smith 1996). Bentuk asli racun ini adalah padatan putih (Oudejans 1991). Rodentisida ini mengakibatkan banyak kematian pada burung pemakan bangkai, karena itu maka penggunaan rodentisida ini termasuk ilegal di Inggris (Bennett 2002b). LD 50 untuk R. norvegicus adalah 0.4 mg/kg, untuk R. rattus 0.25 mg/kg dan untuk mencit 0.8 mg/kg. Racun ini tergolong sebagai racun antikoagulan urutan kedua yang paling efektif setelah brodifakum (Bennet 2002b).
Umpan 1. Kelapa Sawit Kelapa sawit termasuk ke dalam Ordo Palmales, Famili Palmaceae, Genus Elaeis dan Spesies Elaeis guineensis (Setyamidjaja 1993). Kelapa sawit adalah salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang sangat penting. Tanaman ini pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Bangsa Belanda untuk ditanam sebagai tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor (Setyamidjaja 1993). Produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2005 mencapai 378.638 ton, dengan pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 11,05 %. Produksi minyak sawit
10 Indonesia baru mencapai 3.00% dari total produksi minyak nabati dunia (PTPN XIII 2002). Salah satu kendala yang dialami pada perkebunan kelapa sawit adalah adanya serangan hama dan penyakit. Salah satu hama yang menyerang adalah tikus pohon (R. tiomanicus) yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis (Priyambodo 2003). Tikus pohon dapat menyerang semua stadia pertumbuhan tanaman, akan tetapi tikus pohon lebih sering merusak buah kelapa sawit yang sudah masak, terutama pada bagian mesokarp (Setyamidjaja 1993). Upaya pengendalian tikus pohon yang dilakukan pada pertanaman kelapa sawit antara lain, memperlebar jarak tanam, melakukan sanitasi (Setyamidjaja 1993), memasang penghalang mekanis berupa seng atau aluminium pada batang pohon, menggunakan predator (burung hantu putih), dan menggunakan baha n kimia (Priyambodo 2003).
2. Beras dan Gabah Beras adalah makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Produksi beras dunia menempati peringkat ke dua setelah gandum (Tasar 2000). Beras terdiri dari beberapa bagian, yaitu kulit luar, lapisan perikarp, lapisan aleuron, bakal kecambah, dan bagian endosperm (Lasztity 1986 dalam Nugraha 2004). Kandungan nutrisi dalam beras (per 100 g makanan) adalah protein 6.5 g, energi 358 kcal, lemak 0.52 g, karbohidrat 79.15 g, kalsium (Ca) 3 mg, dan besi (Fe) 4.23 mg (Riana 2000a). Beras berasal dari gabah yang telah dibuang kulitnya, sedangkan gabah berasal dari bulir tanaman padi. Semua stadia pertumbuhan padi sangat rentan terhadap serangan tikus. Kerusakan pada tanaman padi bukan hanya disebabkan oleh tikus sawah saja. Pada beberapa kejadian ditemukan bahwa tikus rumah dan tikus pohon juga menyerang pertanaman padi di sawah, terutama apabila ketersediaan makanan berkurang (Buckle dan Smith 1996). Menurut Buckle dan Smith (1996), tikus biasanya menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Sedangkan pada stadia pesemaian,
11 tikus mencabut benih yang sudah tumbuh untuk memakan bagian biji yang masih tersisa. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan cara mengatur jarak tanam, melakukan penanaman serempak, menanam tanaman perangkap, melakukan gropyokan , memasang pagar plastik, dan menggunakan bahan kimia (Priyambodo 2003).
3. Jagung Jagung merupakan salah satu palawija yang utama di Indonesia. Komoditas ini merupakan sumber karbohidrat, pr otein, dan lemak yang penting, sehingga dapat dijadikan bahan pangan alternatif selain beras. Meskipun demikian, sebagian jagung digunakan untuk pakan ternak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 1998). Kandungan nutrisi dalam jagung (per 100 g makanan) adalah protein 4.1 g, energi 129 kcal, lemak 1.3 g, karbohidrat 30.3 g, kalsium (Ca) 5 mg, besi (Fe) 1.1 mg, dan vitamin C 9 mg (Riana 2000b). Jagung terdiri dari beberapa bagian, yaitu kulit ari, lembaga, dan endosperma. Sebagian besar protein (65%) dan pati jagung (85%) terdapat pada bagian endosperma (Wikimedia 2000). Tikus tidak mengakibatkan kerusakan yang berat pada pertanaman jagung, namun hanya sedikit menimbulkan kerusakan pada saat jagung sudah dipanen dan dalam penyimpanan (Prastiawan 28 Desember 2005, komunikasi pribadi).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Juni sampai September 2005.
Bahan dan Alat Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus pohon (R. tiomanicus) yang diperoleh dengan cara melakukan penangkapan di daerah vegetasi atau semak belukar sekitar Kampus IPB, Darmaga, Bogor. Tikus pohon yang digunakan sebanyak 50 ekor yang terdiri dari 25 jantan dan 25 betina, berat badan berkisar 50-200 g, dewasa, sehat, dan tidak bunting. Tikus pohon yang diperoleh dari lapang diadaptasikan terlebih dahulu dalam kurungan di Laboratorium Vertebrata Hama selama 3-7 hari dan maksimal selama satu bulan dengan diberi pakan gabah secukupnya. Sebelum perlakuan, tikus pohon dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan membuatnya lapar, sehingga pada saat pengujian tikus segera memakan umpan dan/atau rodentisida.
Umpan Jenis umpan yang akan digunakan antara lain beras, gabah, jagung pipilan kering, dan buah kelapa sawit yang sudah masak. Masing-masing umpan tersebut diberikan dengan jumlah sekitar 20% dari bobot tikus.
Rodentisida Rodentisida yang digunakan terdiri dari dua jenis bahan aktif yaitu racun akut dan racun kronis. Rodentisida racun akut yang digunakan adalah racun yang berbahan aktif seng fosfida (bentuk fisik tepung, berwarna hitam, denga n konsentrasi b.a. 1%) dan brometalin (bentuk fisik pelet, berwarna hijau, dengan konsentrasi b.a. 0.01%).
13 Sedangkan racun kronis yang digunakan adalah rodentisida yang berbahan aktif brodifakum (bentuk fisik blok, warna biru dan hijau, dengan konsentras i b.a. 0.005%), bromadiolon (bentuk fisik batangan, berwarna hijau gelap, dengan konsentrasi b.a. 0.005%), kumatetralil (bentuk fisik beras, berwarna merah, dengan konsentrasi b.a. 0.0375%) dan flokumafen (bentuk fisik seperti biji petai, berwarna biru, dengan konsentrasi b.a. 0.005%).
Kurungan Kurungan yang digunakan pada percobaan ini terbuat dari aluminium berukuran 50 cm x 50 cm x 40 cm (p x l x t). Pada masing-masing kurungan dilengkapi dengan tempat minum, tempat pakan, dan bumbung bambu untuk tempa t bersembunyi.
Metode
Pengujian Umpan Pengujian umpan dilakukan dengan metode pilihan (choice test) untuk mengetahui jenis umpan yang paling disukai oleh tikus pohon. Umpan yang digunakan adalah beras, gabah, jagung, dan buah kelapa sawit yang telah masak. Tikus pohon yang digunakan berjumlah 20 ekor dan telah diadaptasi di laboratorium selama satu bulan. Sebelum perlakuan, tikus pohon ditimbang untuk mengetahui bobot tubuh tikus dan menentukan jumlah umpan yang akan diberikan (± 20% dari bobot tubuh). Kemudian, masing-masing umpan tersebut diletakkan secara terpisah dalam wadah pakan bersekat (Gambar 1) dan dimasukkan ke dalam kurungan. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap jumlah umpan yang dikonsumsi dengan cara mengurangi bobot awal dengan bobot akhir umpan yang diberikan, termasuk yang tercecer di bagian dasar kurungan. Pengamatan juga dilakukan terhadap perubahan bobot tikus sebelum dan sesudah perlakuan. Pengujian ini dilakukan selama satu minggu.
14
Gambar 1 Wadah pakan bersekat.
Peng ujian Umpan dan Rodentisida Pengujian umpan dan rodentisida yang diberikan bersamaan bertujuan untuk mengetahui preferensi tikus terhadap umpan atau rodentisida yang tersedia. Pada pengujian ini digunakan 20 ekor tikus pohon (R. tiomanicus) yang telah dia daptasikan selama satu bulan dalam kurungan di Laboratorium Vertebrata Hama. Tikus yang akan diuji terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobot awal tikus, bobot umpan, dan bobot rodentisida yang akan diberikan. Bobot umpan dan rodentisida yang digunakan sebesar ± 20% dan ± 10% dari bobot tubuh tikus. Pada pengujian ini, masing-masing umpan dan rodentisida diletakkan secara acak dan terpisah dalam wadah pakan bersekat (Gambar 1). Kemudian pada setiap perlakuan dilakukan penghitungan terhadap jumlah umpan dan rodentisida yang dikonsumsi. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap bobot akhir tikus. Pengujian ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pada tiga hari pertama, perlakuan yang diberikan adalah beras dan rodentisida, kemudian tiga hari selanjutnya perlakuan gabah dan rodentisida. Demikian selanjutnya, perlakuan jagung dan rodentisida selama tiga hari, dan buah kelapa sawit dan rodentisida selama tiga hari berikutnya. Rodentisida yang digunakan pada perlakuan tersebut adalah rodentisida kronis dengan bahan aktif brodifakum.
15 Pengujian Rodentisida Pengujian antara sesama rodentisida dilakukan untuk mengetahui jenis rodentisida yang disukai oleh tikus pohon. Metode yang digunakan adalah metode pilihan (choice test). Sebelum perlakuan, tikus pohon ditimbang untuk mengetahui bobot awal tikus dan jumlah rodentisida yang akan diberikan (± 10% bobot tubuh). Setelah ditimbang sesuai keperluan, tiap rodentisida diletakkan secara terpisah pada wadah pakan bersekat (Gambar 2), kemudian dimasukkan ke dalam kurungan dan diamati selama tiga hari. Pada tikus yang mati pada hari pertama atau kedua, secara otomatis pengujian dihentikan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi dan bobot akhir tikus. Pengujian rodentisida dilakukan sebanyak dua kali. Pengujian pertama menggunakan 20 ekor tikus pohon yang telah diadaptasikan di laboratorium selama satu bulan, dengan menggunakan rodentisida berbahan aktif brodifakum, flokumafen, bromadiolon, brometalin, dan seng fosfida. Pengujian kedua menggunakan 10 ekor tikus pohon yang baru tiga hari diadaptasikan di laboratorium, dengan menggunakan rodentisida berbahan aktif brodifakum, flokumafen, kumatetralil, brometalin, dan seng fosfida. Perbedaan jenis rodentisida yang digunakan pada kedua pengujian disebabkan oleh ketersediaan rodentisida di laboratorium.
Gambar 2 Wadah pakan bersekat dengan beberapa rodentisida.
16 Konversi Umpan Semua data yang diperoleh dari pengujian, dikonversi terlebih dahulu terhadap 100 g bobot tubuh tikus, dengan rumus sebagai berikut:
Konversi umpan/ rodentisida (g)
Bobot umpan/rodentisida yang dikonsumsi (g) = ---------------------------------------------------------- x 100% Rata-rata bobot tubuh tikus (g)
bobot awal (g) + bobot akhir (g) Rata-rata bobot tubuh tikus (g) = --------------------------------------------2
Rancangan Percobaan Analisis ragam terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan program SAS for Windows V.6.12, menggunakan rancangan acak lengkap. Uji lanjut dengan uji selang ganda Duncan dengan taraf a =5% dan 1%. Peubah yang diamati adalah tingkat konsumsi umpan dan rodentisida.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Umpan terhadap R. tiomanicus Hasil yang diperoleh dari pengujian umpan terhadap 20 ekor tikus pohon disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Konsumsi tikus pohon terhadap umpan (g/100 g bobot tubuh) Umpan
Konsumsi
Gabah Sawit Beras Jagung
3.69 1.8945 1.096 1.0045
aA bB bB bB
Ket: angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf a=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar).
Dari Tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa konsumsi terhadap gabah memiliki nilai rata -rata yang paling tinggi dan berbeda nyata terhadap tiga umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai gabah dibandingkan dengan umpan lainnya. Hal ini kemungkinan terjadi karena sifat alami dari tikus tersebut, yaitu lebih menyukai makanan dari kelompok serealia (Sipayung, Sudharto, dan Lubis 1987). Selain itu, tikus pohon juga memiliki kebiasaan mengerat untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri (Walker 1999), serta perilaku mengupas kulit dari biji, sehingga dari keempat umpan tersebut tikus pohon lebih memilih memakan gabah yang masih memiliki kulit yang keras. Hal ini bertolak belakang dengan perilaku makan tikus riul (R. norvegicus) yang lebih memilih untuk mengkonsumsi gandum tanpa kulit dibandingkan dengan gandum berkulit (Priyambodo 2002). Umpan lain yang disukai oleh tikus pohon adalah buah sawit masak, yang menempati urutan kedua setelah gabah. Hal ini disebabkan habitat dari tikus pohon tersebut adalah semak belukar yang banyak ditumbuhi kelapa dan kelapa sawit, sehingga tikus pohon juga lebih menyukai sawit dibandingkan dengan beras dan jagung. Tikus pohon lebih menyukai beras daripada jagung karena kandungan protein jagung lebih sedikit dibandingkan pada beras. Kandungan protein pada
18 beras dan gabah relatif sama, sedangkan faktor yang menyebabkan beras kurang disukai oleh tikus adalah karena beras tidak memiliki lapisan kulit luar yang keras, sehingga tikus cenderung untuk mengkonsumsi gabah.
Pengujian Umpan Vs Rodentisida terhadap R. tiomanicus 1. Pengujian terhadap Empat Jenis Umpan dan Rodentisida Hasil yang diperoleh dari pengujian empat jenis umpan minus rodentisida dan tanpa memperhitungkan rodentisida terhadap 20 ekor tikus pohon disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
Konsumsi tikus pohon terhadap umpan yang disandingkan dengan rodentisida (g/100 g bobot tubuh)
Umpan Gabah Beras Jagung Sawit
Minus Rodentisida 6.1895 5.7340 3.8245 0.4785
aA aAB bB cC
Tanpa Memperhitungkan Rodentisida 6.2011 5.7600 4.6755 2.4720
aA aAB bB cC
Ket: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyat a berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf a=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar).
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi gabah dan beras lebih tinggi jika dibandingkan dengan umpan lainnya. Hal ini disebabkan perilaku dari tikus itu sendiri, yaitu mengerat dan mengupas kulit dari biji, sehingga tikus lebih banyak mengkonsumsi gabah yang masih memiliki kulit luar yang keras. Selain itu, tikus pohon juga cenderung untuk mengkonsumsi makanan dari kelompok serealia (Sipayung, Sudharto, dan Lubis 1987), antara lain gabah dan beras. Pada Tabel 2 kelapa sawit paling sedikit dikonsumsi karena pada perlakuan kelapa sawit dan rodentisida, ada beberapa ekor tikus yang lebih menyukai rodentisida dibandingkan kelapa sawit. Meskipun pada umumnya tikus tetap lebih menyukai umpan kelapa sawit dibandingkan dengan rodentisida. Hal ini berbeda dengan pengamatan yang dilakukan oleh Priyambodo (2005), bahwa tikus pohon lebih menyukai rodentisida brodifakum dibandingkan dengan buah
19 sawit yang masak. Faktor lama waktu adaptasi kemungkinan menjadi pembeda dari kedua hasil tersebut.
2. Pengujian terhadap Masing-masing Perlakuan Umpan dan Rodentisida Hasil uji t yang diperoleh dari pengujian masing-masing umpan dengan rodentisida disajikan dala m Tabel 3. Tabel 3 Konsumsi tikus pohon terhadap umpan dan racun (g/100 g bobot tubuh) Perlakuan
Umpan
Gabah Beras Jagung Sawit
6.2011 aA 5.76 aA 4.6755 aA 2.4720 aA
Brodifakum 1 0.0091 0.00187 0.8433 1.9925
bB bB bB aA
Ket: angka dalam baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf a=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar).
Berdasarkan data pada Tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa setiap jenis umpan yang diberikan ternyata lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan rodentisida. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai umpan dibandingkan rodentisida. Pada setiap perlakuan, konsumsi umpan dan rodentisida berbeda nyata, kecuali pada perlakuan umpan kelapa sawit. Pada pengujian ini jumlah kelapa sawit yang dikonsumsi tidak berbeda nyata dengan rodentisida yang diberikan karena beberapa ekor tikus lebih menyukai rodentisida dari pada kelapa sawit. Selain itu, kandungan nutrisi pada serealia dan kelapa sawit juga mempengaruhi tingkat konsumsi tikus pohon terhadap umpan. Tikus pohon cenderung untuk memakan serealia karena kandungan protein dan karbohidrat pada serealia cukup tinggi, dibandingkan dengan kelapa sawit yang sebagian besar kandungan nutrisinya berupa lemak (Sipayung, Sudharto, dan Lubis 1987). Dalam hidupnya tikus pohon lebih membutuhkan protein dan karbohidrat daripada lemak. Faktor lain yang menyebabkan tikus pohon lebih menyukai umpan daripada rodentisida adalah bentuk fisik dari umpan dan rodentisida. Tikus pohon lebih menyukai makanan dari kelompok serealia, terutama yang memiliki kulit luar yang keras yaitu gabah. Sedangkan rodentisida yang digunakan berbentuk
20 blok, bentuk tersebut kurang disukai oleh tikus (Priyambodo 1992), sehingga tikus pohon lebih memilih untuk mengkonsumsi umpan yang diberikan. Pada Tabel 1 kelapa sawit menempati urutan kedua setelah gabah karena pada pengujian tersebut tidak digunakan rodentisida . Pengujian tanpa adanya rodentisida mencerminkan keadaan sebenarnya di lapang, sehingga dapat diketahui bahwa selain dari kelompok serealia, tikus pohon juga menyukai kelapa sawit yang berasal dari habitat alaminya yaitu pada semak belukar yang banyak ditumbuhi kelapa dan kelapa sawit.
Pengujian Rodentisida Pengujian rodentisida terhadap tikus pohon dilakukan sebanyak dua kali. Pengujian pertama menggunakan 20 ekor tikus pohon yang telah diadaptasi di laboratorium selama satu bulan, sedangkan pengujian kedua menggunakan 10 ekor tikus pohon yang baru diadaptasi di laboratorium selama tiga hari. Hasil yang diperoleh dari kedua pengujian tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Konsumsi tikus pohon terhadap rodentisida (g/100 g bobot tubuh) Rodentisida
Pengujian 1
Pengujian 2
Bromadiolon Seng fosfida Brometalin Flokumafen Kumatetralil Brodifakum 1 Brodifakum 2 Brodifakum 3
1.1115 aA 0.5660 abAB 0.5085 abAB 0.4715 abAB 0.2180 bAB 0.0615 bB 0.0125 bB
1.419 aA 0.073 bB 0.040 bB 0.015 bB 0.015 bB 0.012 bB 0.004 bB
Ket: angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan padataraf a=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar).
Berdasarkan data pada Tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa pada pengujian pertama, rodentisida yang paling banyak dikonsumsi adalah rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon. Hal ini kemungkinan bentuk fisik dari rodentisida tersebut dapat menyebabkan ketertarikan bagi tikus, sehingga tikus lebih memilih untuk mengkonsumsi racun tersebut. Hal ini dapat juga disebabkan tikus cenderung
21 lebih menyukai makanan dengan bentuk patahan/hancur dibandingkan denga n bentuk blok (Priyambodo 1992). Rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon ini berbentuk batangan, dan dipatahkan dahulu sebelum digunakan. Sedangkan bentuk dari rodentisida lainnya adalah blok (brodifakum), seperti biji petai (flokumafen), pelet (brometa lin) dan beras (seng fosfida). Selain itu, tikus juga cenderung untuk mengkonsumsi rodentisida dengan kadar bahan aktif yang rendah, dalam pengujian ini racun yang disukai oleh tikus adalah bromadiolon dengan kadar bahan aktif 0.005%. Brodifakum dan flokumafen juga memiliki kadar bahan aktif 0.005%, tetapi tikus mengkonsumsi racun tersebut dalam jumlah kecil. Hal ini karena tikus kurang tertarik dengan bentuk fisik racun tersebut. Pengujian kedua dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan lama waktu adaptasi tikus pohon dalam kurungan di Laboratorium Vertebrata Hama. Dari Tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa pada pengujian kedua, rodentisida yang paling banyak dikonsumsi adalah rodentisida dengan bahan aktif seng fosfida. Hasil rata-rata konsumsi racun ini berbeda sangat nyata dengan jenis racun lainnya. Hal ini disebabkan oleh proses persiapan rodentisida ini yang harus dicampur terlebih dahulu dengan menggunakan minyak nabati dan beras, sehingga kemungkinan tikus lebih tertarik terhadap racun ini karena tertarik dengan bau minyak nabati yang juga merupakan bahan penyedap (Priyambodo 2003). Kedua
pengujian
rodentisida
terhadap
tikus
pohon
seharusnya
menggunakan rodentisida dengan lima bahan aktif yang sama, akan tetapi karena ketersediaan rodentisida di laboratorium maka pengujian tersebut menggunakan dua bahan aktif yang berbeda, yaitu bromadiolon dan kumatetralil.
SIMPULAN DAN SARAN
Tikus pohon (R. tiomanicus) paling menyukai umpan berupa gabah dibandingkan dengan jenis pakan lainnya, sesuai dengan perilaku mengerat dan mengupas bahan pakan. Selain itu dapat diketahui bahwa pada pengujian umpan, sawit lebih disukai dibandingkan dengan beras dan jagung, tetapi pada perlakuan dengan rodentisida, sawit paling sedikit dikonsumsi. Tikus pohon juga lebih menyukai rodentisida dengan bentuk patahan/hancur dan menggunakan bahan penarik (arrestant), berupa minyak nabati dengan bahan aktif seng fosfida. Secara umum tidak ada kecenderungan perbedaan konsumsi rodentisida sebagai akibat dari lama waktu adaptasi tikus pohon di laboratorium. Dengan demikian, faktor adaptasi di laboratorium dapat diabaikan dalam perilaku konsumsi terhadap rodentisida. Saran penulis dalam perbaikan penelitian ini lebih lanjut adalah pengujian menggunakan beberapa jenis umpan lain dan rodentisida dengan bahan aktif lain yang terdaftar di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aplin KP, Brown PR, Jacob J, Krebs CJ, Singleton GR. 2003. Field Methods For Rodent, Studies in Asia and the indo-Pasifik . Australian Centre For International Agricultural Research. Canberra: Australia. Bennett SM. 2002a. Bromadiolone. Piedpiper: http://www.the -piedpiper.co.uk/ th15 (b).htm [28 Okt 2005]. Bennett SM. 2002b. Flokumafen. Piedpiper: http://www.the-iedpiper.co.uk/th15 (i).htm [28 Okt 2005]. Buckle AP, Smith RH. 1996. Rodent Pest and Their Control. Cambridge UK: University Press. Corrigan MR. 1997. Rats and Mice. Di dalam: Mallis A, edit or. Handbook of Pest Control. Ed ke -8. Mallis Handbook and Technical Training Company. Harrison JL. 1954. The Natural Food of Some Rats and Other Mammals. Bulletin of the Raffles Museum, 25:157-165. Harrison JL. 1964. An introduction to the mammals of Sabah. Jesselton, Sabah: The Sabah Society. Klausen P. 1997. Bromethalin. Spring: http://www.addl.purdue.edu/newsletters /1997/spring/bromoethalin.shtml [28 Okt 2005]. Meehan AP. 1984. Rats and Mice, Their Biology and Control. East Grinstead: Rentokil Limited. Nugraha TBPS. 2004. Preferensi makan dan uji rodentisida terhadap wirok (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Oudejans DH. 1991. Agro Pesticides, Properties and Functions in Integrated Crop Protection. Economic and Social Commision for Asia and Pasific. Bangkok. Payne J, Francis CM, Phillipps K, Kartikasari SN. 2002. Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam. Prima Centra: Jakarta. Prakash I. 1988. Rodent Pest Management. United States: CRC Press. Priyambodo S. 1992. Pengaruh Pemberian Sekam dan Menir pada Rodentisida Antikoagulan terhadap Konsumsi Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. and Kloss). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Priyambodo S. 2002. Studies on the Feeding and Neophobic Behaviour in Norway Rats (Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) from Farms in Germany [dissertation]. Goettingen: Cuvillier Verlag.
24 Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-3. Jakarta: Penebar Swadaya. Priyambodo S. 2005. Pengujian Laboratorium Preferensi Tikus Semak (Rattus tiomanicus Miller) terhadap Rodentisida Klerat RMB (Brodifakum 0.005%) dibandingkan dengan Umpan Gabah dan Sawit. Departemen Proteksi Tanaman: Institut Pertanian Bogor. PTPN XIII. 2002. Produksi Budidaya Kelapa Sawit. PTPN XIII: http://www. members.bumn-ri.com/ptpn13/workplan.html [21 Des 2005]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1988. Koordinasi Program Penelitian Nasional: Jagung. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Riana A. 2000a. Nutrisi Beras per 100 gram Makanan. Asiamaya: http://www. asiamaya.com/nutrients/berasputihpendek. htm [20 Des 2005]. Riana A. 2000b. Nutrisi Jagung per 100 gram Makanan. Asiamaya: http://www. asiamaya.com/nutrients/jagungputih.htm [20 Des 2005]. Sikora RA. 1981. Rodent Pest and Their Control. West Germany: Eschbornz. Sipayung A, Sudharto PS, Lubis AU. 1987. Preferensi tikus terhadap jenis makanan dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit. [laporan tahunan] Kerjasama Penelitian. PP Marihat-Biotrop. Seameo-Biotrop. Bogor. Setyamidjaja D. 1993. Budidaya Sawit di Indonesia. Ed ke -3. Yogyakarta: Kanisius. Tasar. 2000. Mempelajari mutu protein beras semi instan yang diperkaya isolat protein kedelai [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Walker EP. 1999. Mammals of The World, 6th edition vol II. Ronald M Nowak [editor], hlm 1566-1567. The Jhon Hopkins University Press. Baltimore and London. Wikimedia. 2000. Deskripsi Jagung. Wikipedia: http://www.wikipedia.org/wiki/ jagung.htm [28 Okt 2005]. Wood BJ. 1984. A long term study of R. tiomanicus MILLER. Population in an Oil Palm Plantation in Johore, Malaysia. Study Method and Population Site without Control. Journal of Applied Ecology.
LAMPIRAN
Tabel 1 Konsumsi umpan selama tujuh hari (20 ekor tikus) No
Rerata bobot tubuh
Beras
Gabah
Jagung
Sawit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
79.8 77.15 80.9 106.7 80.15 98.6 118.6 91.95 166.65 158.05 83.95 160.2 134 91.5 58.4 87.65 142.75 85.35 64.55 148.3
2.98 1.91 3.39 0.59 0.39 0.23 3.18 2.19 0.74 0.20 0.17 0.61 2.20 0.34 1.51 0.18 0.05 0.69 0.29 0.08
2.03 2.15 0.22 2.01 3.81 4.14 0.18 0.12 5.31 5.65 5.21 4.97 1.95 6.77 5.27 3.79 0.92 7.07 8.54 3.69
0.64 0.34 0.40 1.09 1.24 0.49 2.44 0.50 0.38 0.09 0.05 0.12 3.20 0.80 0.22 2.78 4.25 0.53 0.02 0.51
3.45 3.82 2.69 3.06 3.71 1.65 1.00 1.13 0.79 1.24 1.47 0.57 0.94 2.55 2.53 0.76 1.45 2.51 1.87 0.70
Tabel 2 Konsumsi rodentisida selama tiga hari (20 ekor tikus) No
Rerata bobot tubuh
Brome talin
Seng fosfida
Bromadi olon
Floku mafen
Brodifa kum 1
Brodifa kum 2
Brodifa kum 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
80.66 74.32 74.53 105.04 76.12 96.33 117.32 82.50 162.31 154.26 80.14 154.09 132.71 94.32 57.44 80.72 141.25 91.80 71.60 141.25
0 0 0 0.20 0 0 0.01 0.22 0 0.03 0.05 0.05 3.56 0.13 0.12 0.10 4.18 0.12 0.13 1.27
0.91 0.90 0.59 0.36 0.60 0.25 0.55 1.87 0.38 0.18 0.80 0.52 0.08 0.14 0.64 0.11 0.06 0.75 1.03 0.60
0.02 0.08 0 0 0.03 0 0 0.42 0.06 0.26 0.02 0.11 4.39 0.14 5.99 19.34 1.15 0.10 0.01 0.11
0.17 0.17 0 0 0.01 0.30 2.27 1.20 0.01 3.41 1.24 0.02 0.04 0.31 0.05 0.07 0.06 0.03 0.03 0.04
0 0.07 0 0.02 0 0 0 1.59 0.01 0.04 0 0 0.02 0 2.52 0.05 0.04 0 0 0
0 0 0 0 0 0.02 0 0.29 0.01 0.03 0.45 0 0.27 0.02 0.09 0 0.04 0 0 0.01
0 0 0 0.06 0.01 0.01 0.01 0.07 0 0 0 0 0.01 0 0.03 0 0.03 0.01 0 0.01
26 Tabel 3 Konsumsi rodentisida selama tiga hari (10 ekor tikus) No
Rerata bobot tubuh
Brome talin
Seng fosfida
Kumate tralil
Floku mafen
Brodifa kum 1
Brodifa kum 2
Brodifa kum 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
105.25 106.05 142.35 93.9 128.9 156.75 74.15 78.55 103.85 196.4
0.10 0.30 0.10 0 0.18 0 0.04 0 0.01 0
1.17 1.17 2.11 1.04 1.19 1.09 1.55 3.63 0.62 0.62
0.03 0 0.01 0.01 0.05 0 0 0 0.05 0
0.02 0.07 0.05 0.02 0.01 0 0.07 0.06 0.07 0.03
0.01 0.01 0.02 0.02 0 0.01 0.03 0.01 0.01 0.03
0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0 0.01 0 0.01
0.01 0 0.01 0.01 0 0 0 0 0 0.01
Tabel 4 Selisih k onsumsi umpan vs brodifakum selama tiga hari (20 ekor tikus) no
?1 (beras vs klerat)
?2 (gabah vs klerat)
?3 (jagung vs klerat)
?4 (sawit vs klerat)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
6.75 5.36 7.56 3.45 5.59 3.58 3.41 8.15 5.16 5.39 5.28 5.59 5.85 6.59 5.58 5.60 5.58 7.87 5.85 6.49
8.45 6.41 10.16 2.77 7.48 2.22 2.36 7.94 7.87 6.12 5.39 6.11 4.91 7.68 6.31 6.65 5.99 6.66 4.34 7.97
6.94 4.82 6.44 2.38 5.66 -0.30 -5.74 -2.03 6.02 5.29 4.95 4.41 2.79 4.50 4.81 5.63 5.93 5.01 0.17 8.81
3.16 1.51 2.40 -0.42 2.04 0.71 0.39 0.01 1.26 1.37 1.74 0.40 2.27 1.05 -3.48 1.32 -0.34 -1.18 -0.50 -4.14
Tabel 5 Analisis ragam pengujian umpan Sumber Perlakuan Galat Total R square 0.3331 CV 81.4686
db 3 76 79
JK 93.0.132 186.1925 279.2057
KT 31.0044 2.4499
F 12.66
P 0.0001
27 Duncan 0.05 0.01
2 0.986 1.308
3 1.037 1.363
4 1.071 1.401
Tabel 6 Analisis ragam pengujian rodentisida terhadap tikus yang lama diadaptasi di laboratorium Sumber Perlakuan Galat Total
db 6 133 139
JK 16.9068 173.3338 190.2406
KT 2.8178 1.3033
F 2.16
P 0.0505
5 0.7948 1.031
6 0.8091 1.047
7 0.8206 1.060
R square 0.0889 CV 270.9352 Duncan 0.05 0.01
2 0.7141 0.943
3 0.7516 0.983
4 0.7765 1.010
Tabel 7 Analisis ragam pengujian rodentisida terhadap tikus yang baru diadaptasi di laboratorium Sumber Perlakuan Galat Total
db 6 63 69
JK 16.6537 7.1918 23.8455
KT 2.7756 0.1142
F 24.31
P 0.0001
R square 0.6984 CV 149.8786 Duncan 0.05 0.01
2 0.3019 0.4013
3 0.3177 0.4184
4 0.3280 0.4300
5 0.3356 0.4385
6 0.3414 0.4453
7 0.3461 0.4508
Tabel 8 Analisis ragam pengujian umpan vs rodentisida dengan memperhitungkan konsumsi rodentisida Sumber Perlakuan Galat Total R square 0.5011 CV 56.7423
db 3 76 79
JK 404.3921 402.6779 807.0700
KT 134.7974 5.2984
F 25.44
P 0.0001
28 Duncan 0.05 0.01
2 1.450 1.923
3 1.525 2.005
4 1.575 2.060
Tabel 9 Analisis ragam pengujian beras vs klerat Sumber Perlakuan Galat Total
db 1 38 39
JK 329.625 32.284 361.909
KT 329.625 0.850
F 387.99
P 0.0001
F 177.18
P 0.0001
F 41.29
P 0.0001
R square 0.911 CV 31.901 Duncan 0.05 0.01
2 0.5901 0.7904
Tabel 10 Analisis ragam pengujian gabah vs klerat Sumber Perlakuan Galat Total
db 1 38 39
JK 383.402 82.228 465.630
KT 383.402 2.164
R square 0.823 CV 47.375 Duncan 0.05 0.01
2 0.9417 1.2610
Tabel 11 Analisis ragam pengujian jagung vs klerat Sumber Perlakuan Galat Total R square 0.5207 CV 68.348
db 1 38 39
JK 146.858 135.165 282.022
KT 146.858 3.557
29 Duncan 0.05 0.01
2 1.207 1.617
Tabel 12 Analisis ragam pengujian sawit vs klerat Sumber Perlakuan Galat Total
db 1 38 39
JK 2.299 67.699 69.999
KT 2.299 1.782
R square 0.0328 CV 59.7941 Duncan 0.05 0.01
2 0.8545 1.1450
F 1.29
P 0.2631