ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Diki Kurniawan Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Menuntut Tanggung Jawab Penyebab Kabut Asap / Rudi Syaf........................................................................... 4 INTRODUKSI 5 • Pendidikan Bagi Masyarakat Adat / Darmaningtyas....................................................…….............................…....5 LAPORAN UTAMA • Masa Depan Pendidikan Orang Rimba, Sebuah Refleksi / Huzer Apriansyah...................................................…8 8 • Mewujudkan Kemerdekaan Pendidikan Bagi komunitas Adat / Sukmareni & Hermayulis.......................................12 12 • Dari Rimba Menuju Kota / Beteguh........................................................................................................................14 14 • Geliat Belajar dari Rimba ke Tinambu / Elviza Diana...............................................................................................15 15 • Pendidikan Orang Rimba, Simbol Perlawanan Penindasan / Theo Eldhora Fernando Lubis..................................16 16 FOKUS • Deforestasi di Selatan Bukit Tigapuluh / Sukmareni & Kristiawan.............................................................................20 20 • Orang Rimba Dalam Pusaran Konflik / Sukmareni & Kristiawan..............................................................................23 23 • Satwa Dilindungi Terancam Punah / Hermayulis.....................................................................................................25 25 GIS SPOT. • WEB GIS Penyusun Data Pengelolaan SDA / Andi Irawan.....................................................................................26 26 DARI HULU KE HILIR • Hutan Adat Terdesak PETI / Sukmareni..................................................................................................................28 28 • Uji Coba Benefit Sharing, Mempersiapkan Masyarakat Mengelola PES / Sukmareni............................................29 29 WAWANCARA • Forum Komunikasi PBHM Sumbar, Menyuarakan Kelestarian dan Kesejahteraan / Elviza Diana.......................30 30 SUARA RIMBA • Sungai Buluah Menghadang Illegal Logging / Sukmareni.......................................................................................32 32 • Menhut Serahkan 4 SK Hutan Nagari / Sukmareni.................................................................................................33 33 AKTUAL • Harapan Bagi Indudur, Nagari yang Ditinggalkan / Elviza Diana.............................................................................36 36 • Terbentuk POKJA PBHM Sarolangun / Agus Sumarli...................................…..........................…...….........…......39 39 • Pemetaan Potensi Ruang Mikro Desa PBHM di Bungo / Hermayulis……….......................................................40 40 MATAHATI • Mengukur Persepsi Masyarakat Untuk Skema PBHM / Ilesnawati & Nopri Hidayat...............................................42 42 • Undang Undang Desa Dukung Pengelolaan Hutan Secara Lestari / Hermayulis..................................................44 44 ETNOGRAFI ORANG RIMBA • Alkulturasi Budaya Orang Rimba Jalan Lintas Sumatera / Kristiawan....................................................................46 46 • Hulu Hilir Dalam Konsepsi Penyakit di Budaya Orang Rimba / Marahalim Siagian................................................49 49 SELINGAN • Sekolah Hijau Bagi Mereka / Elviza Diana..............................................................................................................52 52 • Bahasa dan Kearifan Lokal Masyarakat Masurai / Hermayulis...............................................................................53 53
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Dari Editor
T
erdidik dan berpendidikan, sejak dahulu sudah dijadikan untuk menentukan derajat seseorang dengan tolak ukur ijazah yang dipegangnya. Penilai-an ini sudah berlaku umum di tengah masyarakat kita. Namun sayangnya ketis ekspektasi terhadap pendidikan sudah tinggi masih banyak kelompok masyarakat kita yang sebenarnya belum tersentuh pendidikan yang memadai. Masyarakat asli marginal, yang berada di belantara, pulau-pulau terpencil dan perbatasan, termasuk kelompok yang masih sulit untuk menjangkau standar pandangan umum terhadap pendidikan. Bagi kelompok masyarakat adat, pendidikan yang mereka butuhkan adalah yang berbasis budaya dan adat kebiasaan setempat, bukan pendidikan umum dengan berbagai aturannya. Bagi mereka pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang sesuai dengan adat dan budaya, mudah dicerna dan berguna langsung untuk kehidupan mereka khususnya dalam berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya. Alam Sumatera kali ini tampil dengan laporan utama seputar pendidikan masyarakat adat, suka duka, problematika dan cita-cita pendidikan yang dikembangkan bersama kelompok masyarakat adat menjadi topik pilihan kami. Keterisoliran dan kehilangan hutan yang menjadikan kelompok Orang Rimba rawan terlibat konflik juga kami bahas dalam Alam Sumatera kali ini. Harapanya sajian yang dihadirkan semakin memperkaya khasanah dan pemahaman pembaca tentang masyarakat adat dan kondisi alam lingkungan kita saat ini.
Foto Cover : Beteguh, guru rimba
Semangat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk manusia dan alam lingkungan harus tetap dikobarkan.
Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Desain dan Cetak:
[email protected]
Salam Lestari.
Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Menuntut Tanggung Jawab Penyebab Kabut Asap
K
abut asap sudah menjadi bencana tahunan yang melanda Sumatera dan Kalimantan. Kerugian kesehatan dan ekonomi serta ekologis akibat kabut asap dari tahun ke tahun tak kunjung untuk menumbuhkan percepatan penanganannya. Padahal, dengan bermacam regulasi yang sudah ada didukung dengan kemajuan teknologi yang mampu memprediksi cuaca, penanganan kebakaran hutan harusnya bisa ditangani dengan baik. Namun apa daya, dari tahun ke tahun, kebakaran hutan masih terus terjadi. Berdasarkan analisis KKI WARSI, 2010 terdapat 80 titik hotspot, 2011 ada 641, 2012 ada 962, 2013 terdapat 376 dan 2014 sampai Oktober terdapat 485 titik api. Titik api ini terpantau satelit NAOA dengan konviden level 80% berdasar validasi LAPAN. Kebakaran ini ditemukan di dalam dan luar kawasan hutan. Kebakaran hutan berasal kondisi yang mayoritas disebabkan oleh aktivitas manusia, baik kesengajaan maupun kelalaian, serta adanya kanalisasi di kawasan gambut. Dalam kawasan hutan umumnya terjadi pada kawasan yang sudah mendapat izin HTI, dan dalam proses awal melakukan land clearing, serta kawasan yang berada di kawasan gambut yang sudah di kanalisasi. Sebut saja Lestari Asri Jaya, Wira Karya Sakti, Rimba Hutani Mas, Arangan Hutani Lestari, Malaka Agro Perkasa, merupakan perusahaan HTI yang terlibat kebakaran setiap tahunnya. Pun demikian dengan areal perkebunan sawit, tak luput dari kebakaran lahan. Setiap tahunnya ada saja perkebunan sawit yang terlibat kebakaran, baik di tanah mineral maupun gambut. Kebakaran juga terjadi dalam kawasan hutan yang dibuka untuk perladangan oleh kelompok masyarakat tertentu. Di selatan Bukit Tigapuluh, misalnya, sejak kawasan itu di bangun jalan koridor, setiap tahunnya di kawasanini terdetesi titip panas. Ini memperlihatkan jalan koridor, tidak mampu diamankan oleh pihak pengelola dalam hal ini Sinar Mas Forestri, yang tak mampu mengatasi migran berladang di wilayah yang seharusnya turun di amankan oleh Sinar Mas, sebagai konsekuensi mereka membuka jalan tersebut.
Harusnya pihak yang mengerjakan dan penganjur pembakaran lahan alias si penanggung jawab bisa di jerat dengan berbagai regulasi yang ada. UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Inpres no 16 tahun 2001 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan, merupakan beberapa regulasi yang jika diterapkan akan mampu meminimalisir kebakaran hutan sumber kabut asap. Pun ancaman untuk pelaku pembakaran dan pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan diatur pasal 98 ayat (1) UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini disebutkan pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 10 tahun penjara dan denda minimal Rp3 miliar maksimal Rp10 miliar. Sayangnya selama ini pelaku pembakaran belum tersentuh hukum. Kalaupun ada yang di tahan hanya operator lapangan, sedangkan pemilik modal sama sekali tidak tersentuh sehingga tidak ada efek jera apa sekali. Padahal dengan teknologi yang ada, kebakaran hutan bisa di pantau di areal kelola suatu perusahaan ataupun kelompok masyarakat. Kemampuan dan kemampuan para penegak hukum tentu diuji untuk bisa mengendalikan kebakaran yang timbul. Pun demikian Kebakaran di lahan gambut karena adanya kanalisasi yang dibuat perusahaan. Sudah bisa dipastikan bahwa kawasan gambut dalam (lebih dari 3 meter), tidak mungkin dikelola untuk kawan perkebunan atau HTI tanpa adanya sistem kanal. Namun sayangnya kanal yang di buat telah menyebabkan gambut kehilangan air dalam jumlah besar pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan kandungan gambut yang mengering sangat mudah terbakar baik dengan adanya api langsung ataupun faktor cahaya matahari. Membangun sistem kanal dengan sistem kanal bloking mengjadi pilihan untuk mengelola lahan gambut. Tentu juga yang paling penting adalah mengembalikan kawasan gambut ke fungsi semula, khususnya yang berada di kedalaman lebih dari 3 meter sesuai dengan amanah UndangUndang yang harus dijadikan kawasan lindung. Pertanyaannya apakah pemerintah akan membiarkan kabut asap terus berulang yang menimbulkan kerugian bagi semua kalangan. (Rudi Syaf)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2014 ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Pendidikan Hak semua warga negara, namun Orang Rimba termasuk kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya mendapat pendidikan yang layak. Foto anak rimba kelompok Sargawi di Kresna Duta Agroindo. Foto Aulia Erlangga/ Dok KKI WARSI
Pendidikan Bagi Masyarakat Adat Berbicara mengenai pendidikan masyarakat adat dapat menyentuh dua tataran yang berbeda, yaitu bicara mengenai hak dan mengenai substansi pendidikannya itu sendiri. Berbicara mengenai hak pendidikan bagi masyarakat adat itu berbicara dalam konteks hak warga untuk memperoleh pendidikan.
M
asyarakat adat, seperti masyarakat lainnya adalah bagian integral dari warga Indonesia yang segala hak-haknya wajib dilindungi dan dipenuhi oleh Negara, disamping memiliki kewajiban terhadap Negara yang perlu dipenuhi. Sedangkan substansi pendidikan itu terkait dengan kurikulum yang perlu dikembangkan di sekolah-sekolah di masyarakat adat agar kurikulum tersebut tidak mencerabut dari akar-akar geografis, ekonomi, sosial, dan budaya anak-anak; tapi justru memperkuatnya. Mengenai hak pendidikan bagi masyarakat adat itu sendiri dijamin dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab IV yang berbicara mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah pasal 5 ayat (3)
menyatakan bahwa “Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”. Bunyi pasal 5 ayat (3) di atas ditegaskan dengan keberadaan pasal 32 ayat (2) yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus: “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi”. Kedua pasal di atas memberikan gambaran kepada kita semua bahwa dari segi hak, jaminan bagi masyarakat adat untuk memperoleh layanan pendididikan dari Ne-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
5
INTRODUKSI
6
gara itu sudah cukup. Dalam arti, undang-undang menjamin hak-hak mereka secara jelas. Bila ada sekelompok masyarakat adat –dimana pun tempatnya—belum memiliki akses untuk memperoleh layanan pendidikan gratis dari Negara, mereka berhak untuk menuntut dan Negara memiliki kewajiban untuk memenuhinya, karena mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah salah satu tugas Negara yang diamanatkan oleh konstitusi. Persoalannya adalah undang-undang itu biasanya kurang disosialisasikan sampai ke bawah. Bahkan para pejabat tingkat kabupaten/kota pun banyak yang tidak mengetahui bunyi undang-undang tersebut, akhirnya tidak banyak warga, apalagi masyarakat adat di daerah pedalaman, tidak mengetahui adanya undangundang tersebut. Bahkan mendengar ada UU Sisdiknas pun mungkin mereka belum pernah. Dan jika mereka mengetahui karena ada pihak luar yang memberitahukannya, belum tentu tahu kemana harus mengajukan tuntutan atas hak-hak mereka yang tidak terpenuhi oleh Negara? Jadi ada kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat untuk memperoleh hak-hak pendidikan mereka, terutama terkait dengan akses informasi yang terbatas: antara tidak tau informasi, tahu informasi tapi tidak tau arah untuk memanfaatkan informasi tersebut, atau juga ada persoalan struktur kekuasaan di tingkat lokal yang tidak memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat adat untuk tahu lebih banyak mengenai hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Sehingga meskipun amanat konstitusinya sudah jelas dan undang-undangnya juga jelas, tidak otomatis menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi masyarakat adat. Masih diperlukan sosialisasi peraturan perundangan yang lebih masif lagi agar semua peraturan perundangan yang mengatur hak-hak masyarakat adat untuk memperoleh layanan pendidikan dari Negara itu sampai di tingkat akar rumput. Substansi Pendidikan Substansi pendidikan suatu lembaga pendidikan akan dapat terlihat dari kurikulum, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU Sisdiknas, ayat 1 butir 19). Sayangnya pada saat berbicara kurikulum sebagai penjabaran lebih detail tentang substansi pendidikan, UU Sisdiknas No. 20/2003 ini tidak mengenal pembedaan antara pendidikan di kawasan perkotaan, pedesaan, atau daerah terpencil. Semua diperlukan sama. Pasal 35 yang mengatur mengenai standar nasional pendidikan, tidak membedakan kondisi suatu wilayah,
geografis, sosial, dan budaya. Standar yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas tersebut adalah standar tunggal untuk seluruh negeri. Demikian pula pasal 36 dan 37 yang mengatur kurikulum, sifatnya generik, tidak ada pembedaan sama sekali misalnya kurikulum khusus untuk daerah terpencil atau masyarakat adat.
INTRODUKSI
Rimba rumahku dan kegembiraanku, d isinilah aku ingin hidup. Di sini juga seharusnya aku sekolah. Foto Dok KKI WARSI
Pasal 36 ayat (3) “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”. Bila kita hanya terpaku pada aturan legal formal, memang akan mati kutu dalam mengembangkan pendidikan untuk masyarakat adat karena tidak ada cantolan regulasi yang kuat untuk mengembangkan sistem pendidikan tersendiri sesuai dengan karakter sosial dan budaya masyarakat adat. Regulasi yang ada sifatnya generik berlaku secara umum bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Tapi peluang untuk mengembangkan sistem pendidikan yang cocok untuk masyarakat adat itu tidak berarti tertutup, masih tetap terbuka, mengingat standar nasional pendidikan hanya mengatur standar minimum saja. Bila suatu daerah, komunitas, atau sekolah akan mengembangkan standar yang lebih tinggi, maka hal itu tidak melanggar undang-undang. Pengembangan pendidikan di masyarakat ada semestinya dapat memanfaatkan celah tersebut, sehingga memiliki kebebasan untuk mengembangkan materi maupun metode pembelajaran yang sesuai dengan karakter geografis, ekonomi, sosial, dan budaya setempat, maupun sesuai dengan visi misi yang akan dikembangkan. Sebab terlalu naïf bila pendidikan masyarakat adat itu tunduk sepenuhnya pada ketentuan legal formal yang ternyata justru menghasilkan generasi yang tercerabut dari akar-akar geografis, ekonomi, sosial, dan budaya mereka; lantaran yang diajarkan kepada anak-anak adalah sesuatu yang di luar apa yang mereka kenali setiap hari. Sebagai contoh, mereka setiap hari berhadapan dengan berbagai jenis tanaman dan makhluk lain di hutan, makanan yang serba alami, dan budaya agraris; tapi tiba-tiba diperkenalkan dengan semua produk yang serba industri, tanaman yang hanya untuk kepentingan (bias) industri, budaya kota, dan kebiasaan orang-orang kota pula. Menghadapi gemburan melalui proses pembelajaran seperti itu, tentu saja itu dapat menghancurkan struktur berfikir dan kultur anak-anak di masyarakat adat. Konstruksi berfikir mereka bukan lagi dunia riil yang mereka
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
hadapi sehari-hari, tapi tentang masyarakat kota, yang serba mekanis, teratur, instan, dan hedonis. Akhirnya budaya yang terbangun pun budaya kota, sementara mereka tinggal di daerah terpencil yang serba mengalami keterbatasan, termasuk infrastruktur. Inilah yang kemudian melahirkan suatu tindakan paradok: tidak ada aliran listrik tapi membeli kulkas hanya sekadar agar terlihat modern dan disebut sebagai orang kota. Pendidikan di masyarakat tidak dimaksudkan untuk mengubah struktur dan budaya berfikir anak-anak di komunitas adat agar menjadi lebih meng-kota dan modern, tapi untuk meletakkan dasar-dasar berfikir secara logis, sistematis, dan kritis; sehingga meskipun mereka tetap menjadi bagian dari komunitas adat; tapi memiliki kesadaran yang tinggi akan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat, sehingga ketika menghadapi gempuran dari luar, mereka tetap dapat bertahan secara bermartabat. (Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
7
LAPORAN UTAMA
8
LAPORAN UTAMA Bagaimana bisa ‘memaksakan’ sebuah tradisi yang begitu abstrak kepada mereka. Pendidikan dalam konsep kehidupan orang di luar begitu mudah dipahami. Pendidikan sebagai investasi jangka panjang untuk bertahan hidup. Tapi Orang Rimba sulit menerima investasi jangka panjang yang sedemikian panjang (12 tahun paling tidak) dengan hasil yang belum pasti. Sebagai perbandingan jika mereka menanam karet alam, paling lama delapan tahun sudah menghasilkan. Tapi sekolah? belum tentu. Pendidikan tidak serta-merta dihadirkan dalam kehidupan Orang Rimba. Sejak 1998, KKI WARSI dengan hadirnya Guru Rimba pertama, Yusak Andrian Hutapea (alm) telah melakukan studi awal untuk pendidikan Orang Rimba. Langkah ini tentu saja tidak mudah, mengingat Orang Rimba yang berkeyakinan, apapun yang dihadirkan pada mereka akan mengubah adat dan budaya mereka atau mengubah halom dalam bahasa mereka. Ketidaktahuan mereka dengan angka dan huruf ini menyebabkan mereka sering ditipu pihak luar. Melihat kondisi ini, pendidikan menjadi sangat penting bagi mereka tidak hanya memberantas buta huruf dan aksara, namun juga pendidikan menjadi upaya penyelamatan identitas mereka. Pendidikan yang dikembangkan bersifat alternatif yang disesuaikan dengan adat dan budaya Orang
Anak-anak rimba belajar di pondok sederhana, pengajaran yang disesuaikan dengan adat dan budaya komunitas. Foto: Heriyadi/ Dok KKI WARSI.
Rimba. Setelah lebih dari lima belas tahun proses fasilitasi pendidikan terus dilakukan bersama silih bergantinya fasilitator pendidikan. Seiring dengan perkembangannya, Orang Rimba tidak hanya membutuhkan fasilitasi sebatas baca tulis dan hitung ataupun peluang mereka di sekolah formal. Dukungan pemerintah dalam proses advokasi yang dilakukan menjadi fokus kegiatan yang dilakukan. Dalam konteks advokasi ada beberapa yang disasar; sekolah-sekolah yang disekitarnya Orang Rimba berada, targetnya adalah kemudahan bagi Orang Rimba untuk mengakses sekolah tersebut dan juga pemberian kemudahan bagi Orang Rimba dalam proses belajar. Sasaran selanjutnya adalah pemerintah kabupaten, targetnya adalah dukungan fasilitas pendidikan bagi orang Rimba. Sasaran berikut adalah pemerintah Provinsi dengan target dukungan politik dan juga dukungan pembiayaan proses pendidikan bagi Orang Rimba. Pada level selanjutnya, advokasi diharapkan bisa menyentuh pemerintah pusat, dengan target adanya payung hukum perlindungan dan dukungan khusus bagi pendidikan komunitas adat marjinal. Pada tahun 2013, tim fasilitator pendidikan telah mencoba untuk melakukan proses advokasi di level sekolah, Pemerintah Kabupaten Sarolangun dan Merangin serta Pemerintah Provinsi Jambi. Beberapa hal yang menampakkan hal positif dari proses advokasi adalah :
Masa Depan Pendidikan Orang Rimba, Sebuah Refleksi
K
alimat “Education is the last war” diungkapkan Yudie Hayono, P.Hd. Alumni Duke University of North Carolina pada saat seminar Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JaPKA) . Beliau merupakan direktur Nusantara Centre, sebuah lembaga yang konsen terhadap penerbitan buku-buku politik pendidikan dan juga pemberi beasiswa bagi siswa dan mahasiswa se-Indonesia. Dalam konteks Indonesia, maka menurutnya pendidikan adalah perang terakhir bagi bangsa ini untuk tetap berjati diri dan bermartabat. Globalisasi yang begitu deras telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu mediumnya, pendidikan nasional Indonesia bahkan telah mulai lupa bahwa budaya bangsa seharusnya menjadi semacam common interest pendidikan, sehingga terbentuk generasi yang bangga akan budaya dan bangsanya.
Ketika orang Indonesia jauh lebih bangga dengan nilai dan budaya yang datang dari Eropa atau Amerika, itu menandakan ada yang tidak beres dengan pendidikan kita. Untuk itu ia mengingatkan bahwa pendidikan untuk komunitas adat menjadi sangat mutlak dilakukan dengan menekankan pada aspek budaya lokal mereka, bukan justru menarik mereka keluar dari budaya mereka.Selanjutnya terkait dengan pengakuan negara, ada dua pilihan, berjuang optimal mendorong negara menjadi bagian aktif dari proses pendidikan komunitas adat ini dengan resiko kita dipaksa mengikuti pola negara yang kaku dan lamban atau sekalian diabaikan saja negara dan berjalan dengan pola dan sistem yang benar-benar menafikkan kehadiran negara. Tentu saja persepsi pendidikan dan peranan pemerintah menjadi sangat bias bagi komunitas masyarakat adat khususnya Orang Rimba.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Pola hidup orang rimba di dalam hutan dan sebagian di dalam areal perkebunan, menyebabkan mereka kurang terjangkau dari program pendidikan pemerintah. Foto Aulia Erlangga/Dok KKI WARSI.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
9
LAPORAN UTAMA
10
LAPORAN UTAMA ; Temenggung Tarib, Mangku Basemen, Beteguh, Besudut, Budi, Meruya, Ibu Tujini, Ibu Maryatun, Bedingin, Rahmat Hidayat, Rudi Syaf, Robert Aritonang, Huzer Apriansyah, Andi Agstanis, Herma Yulis. Pada Desember 2013 kita mendapat kepastian dari kepala dinas, bahwa Pemerintah Provinsi Jambi menganggar block grant (hibah) untuk bidang pendidikan. Buku Bahan Ajar Orang Rimba
Terbentuknya Forum Guru Peduli Pendidikan Orang Rimba Proses pembentukan forum guru ini telah dimulai pada akhir 2012 dan terus ditindaklanjuti pada 2013. Forum guru ini terdiri dari guru dan kepala sekolah dari tiga SD di Sarolangun dan satu SMP, kemudian terdapat enam SD di Merangin. Forum guru ini telah melahirkan rekomendasi pada dinas pendidikan di tingkat kabupaten (Sarolangun dan Merangin) dan tingkat Provinsi Jambi. Forum guru ini juga telah berkomitmen untuk menjadi semacam pendamping bagi Orang Rimba yang belajar di sekolah mereka. Mereka juga menjadi contact person bagi Warsi dalam memantau perkembangan anak-anak Orang Rimba yang bersekolah. Anggota forum guru juga terlibat aktif dalam kegiatan pendidikan Orang Rimba Sejauh ini ada sekitar 15 orang guru dan kepala sekolah yang secara aktif membangun komunikasi dengan Warsi terkait pendidikan anak Orang Rimba. Forum tidak memiliki struktur kaku, sifatnya cair dan keanggotaan bersifat sukarela. Tidak hanya itu Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun bahkan mengangarkan bantuan sosial tiga ton beras setiap tahun untuk anak-anak Rimba yang belajar, mereka juga menganggarkan sepuluh paket beasiswa. Komitmen Dukungan Pemerintah Provinsi Jambi Sebagai upaya mendapat dukungan pemrintah Provinsi Jambi, maka pada bulan Agustus 2013 tim KKI Warsi bersama Orang Rimba melakukan audiensi dengan Gubernur Jambi. Pada audiensi ini tim KKI Warsi terdiri dari
Proses penyusunan bahan ajar ini sendiri melalui tahapan yang bisa disebut panjang. Dimulai dari diskusi awal dengan rerayo Orang Rimba, pengumpulan materi awal, dilakukan oleh kader pendidikan Orang Rimba, bersama fasilitataor pendidikan KKI WARSI. Hingga akhirnya penyusunan materi ini melibatkan forum guru dan orang rimba. Buku bahan ajar ini terdiri dari 11 bab yang berisi mengenai Ruang Hidup Orang Rimba dan Kebudayaan mereka. Bab per bab dalam buku bahan ajar ini terdiri dari asal-usul Orang Rimba, Ruang Hidup Orang Rimba, Taman Nasional Bukit Duabelas, Orang Rimba dan Madu, Rumah Orang Rimba, Orang Rimba dan Kerajinan Tangan, Obat dan Penyakit, Orang Rimba dan Aktivitas Berburu, Bahasa Rimab dan bab terakhir tentang Melangun. Disamping diterbitkan, buku bahan ajar ini juga telah disosialisasikan kepada SD-SD yang ada di dua kabupaten dan 1 kota; Merangin, Sarolangun, Kota Jambi. Acara sosialisasi dilaksanakan pada 23 Desember 2013 di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Kegiatan ini sepenuhnya didukung oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JaPKA) Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JaPKA) sebelumnya bernama Jaringan Pendidikan Alternatif (JPA), namun kemudian melalui diskusi mendalam diubahlah namanya menjadi JaPKA. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perubahan ini : 1.Adanya persamaan nama dengan jaringan yang pernah dibentuk di Trawas-Jawa TImur pada tahun 1999. 2.Frasa pendidikan alternatif, belum menunjukkan kekhasan dari jaringan ini, yang semuanya beraktivitas secara khusus di kelompok komunitas adat marjinal. Pendidikan untuk komunitas adat ini sendiri lahir karena paling tidak dilatarbelakangi oleh dua konteks. Pertama,
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Anak-anak Rimba Terap belajar membaca bersama Fasilitator Pendidikan WARSI, Shaha. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
bentuk antitesa dari sistem pendidikan nasional yang tidak peka akan realitas sosial dan budaya komunitas adat marjinal. Kedua, pendidikan komunitas adat ini hadir karena kegagalan negara memeberikan pelayanan pendidikan kepada komunitas adat marjinal. Sejauh ini paling tidak ada tiga lembaga yang memotori jaringan; Yayasan Merah Putih (Sulawesi Tengah), Yayasan Citra Mandiri Mentawai (Sumatera Barat) dan KKI WARSI (Jambi/Sumatera Tengah). Mengutip dari Dharmaningtyas, pengamat pendidikan nasional bahwa pendidikan telah menjadi barang mewah, dimana hanya yang ternteu saja bisa mengaksesnya. Belum lagi bicara kualitas pedidikan nasional yang hancur-hancuran. Satu hal yang seharusnya dilakukan sekolah adalah menghadirkan jiwa merdeka tapi apa yang terjadi justru sebaliknya, peserta belajar terjebak dalam kepompong kepalsuan dan kemunafikan, karena sekolah membentuk mereka menjadi manusia seragam yang selalu hidup dalam ketakutan untuk
mencoba hal baru. Pendidikan juga telah menjadikan manusia Indonesia sangat konsumtif, hal-hal produktif seperti bertani atau berkebun sama sekali tak lagi ada. Maka dalam konteks pendidikan alternatif bagi komunitas adat, narasumber menyarankan untuk menjadikan isu kedaulatan pangan sebagai salah satu muatan. Penuhi dulu kebutuhan perut, maka hal lain bisa menyusul. Proses belajar harus mampu meningkatkan kecakapan hidup mereka terutama menyangkut pangan. Misalnya saja bagaimana bahan makanan pokok seperti gandum, jagung atau ubi bisa mereka budidayakan dengan maksimal. Bukan justru menghilangkan bahan makanan pokok dengan beras, yang tanpa sadar akan memiskinkan mereka. Anak-anak dari komunitas adat harus mampu memiliki pemahaman akan realitas dunia luar namun dengan tidak mencerabut mereka dari akar sosial dan budaya asli. Anak-anak tanpa identitas akan sulit sekali memberi warna dalam kehidupan nyata. Mereka akan cenderung menjadi konsumtif dan bahkan hedonis. (Huzer Apriansyah)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
11
12
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Mewujudkan Kemerdekaan Pendidikan Bagi komunitas Adat
P
endidikan yang layak, sesuai dengan adat dan budaya setempat tentu merupakan harapan semua pihak. Undang-Undang Dasar pun menjamin kesetaraan semua pihak untuk memperoleh pendidikan yang baik dan layak. Hanya saja, meski sudah 69 tahun Indonesia merdeka, pendidikan yang layak dan merata masih belum dirasakan oleh sebagian warga negara. Terutama masyarakat adat yang hidup dalam kondisi yang marginal dan terpinggirkan, baik secara konteks akses ke layanan umum maupun dalam konteks geografis. Masyarakat adat Mentawai, Komunitas Orang Rimba, TauTaaWana, di Sulawesi Tengah dan juga komunitas adat lain di nusantara, merupakan contoh masyarakat adat yang masih berjuang untuk pendidikan layak. Komunitas-komunitas adat ini nyaris terlupakan dalam setiap proses pembangunan yang berlangsung di kawasan yang menjadi tempat mereka hidup dan berpenghidupan. Disamping juga layanan pendidikan untuk komunitas adat tidak memadai. Kemarginalan komunitas adat disebabkan negara belum serius memberi layanan pendidikan dasar bagi komunitas adat, disamping juga kalaupun sudah memberikan pendidikan, pendekatannya kurang mempertimbangkan kondisi sosial dan kultural, sehingga pendidikan yang didapatkan komunitas adat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka. Akibatnya, banyak komunitas adat yang tersebar di berbagai wilayah di nusantara yang belum mendapat layanan pendidikan memadai, sesuai kebutuhan mereka. Padahal Pendidikan nasional memiliki peran dalam upaya membangun integrasi bangsa. Komunitas adat masih memiliki identitas yang bersifat khusus baik terkait adat, budaya maupun tatanan sosial lainnya. Kenyataan saat ini, ada kecenderungan menyamaratakan kondisi komunitas adat dengan kebanyakan masyarakat umum dalam pelayanan pendidikan. Di antaranya, penerapan seragam sekolah dan atribut lain, upacara bendera, hingga materi pembelajaran dengan acuan kurikulum nasional. Padahal, komunitas adat memiliki tradisi kekhususan yang berbeda dengan masyarakat di luar komunitas mereka. Karena itu, selayaknya dalam mengintrodusir pendidikan ke tengah-tengah komunitas adat marjinal dibutuhkan strategi budaya. Tanpa pendidikan yang berbasis kondisi sosial dan budaya, niscaya pendidikan yang
mereka dapatkan selama ini cenderung semakin memarjinalkan. Pola pendidikan seperti sudah coba dikembangkan oleh sejumlah NGO, seperti WARSI, Yayasan Merah Putih dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai dengan skema pendidikan alternatif, yang menyesuaikan dengan kondisi adat budaya serta kebutuhan komunitas adat guna memberantas buta aksara.Ketiga NGO yang bergabung membentuk jaringan pengajaran untuk masyarakat asli marginal dengan nama Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JapKA). WARSI sudah sejak 1997 mengembangkan pendidikan alternatif dengan metode baca tulis hitung untuk komunitas Orang Rimba. Kini pendidikan juga mulai menjembatani anak-anak rimba ke sekolah formal. Dengan metode pengajaran yang langsung diberikan ke anak-anak rimba tanpa ada aturan jam pelajaran, gedung ataupun seragam lebih bisa diterima oleh Orang Rimba. Materi pelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan muridmurid rimba sehingga mudah mereka pahami. Ini dilakukan mengingat dalam keseharian Orang Rimba ada banyak huruf yang tidak mereka kenali, sehingga pelajaran huruf dan angka merupakan hal yang sangat baru sehingga harus dikaitkan dengan alam sekitar mereka. Misal huruf A bentuknya menyerupai atap sesudongon, pondok milik Orang Rimba dan lainnya. Belakangan metode seperti ini banyak dikembangkan dengan nama contekstual teaching and learning. Dengan metode ini, jauh lebih mudah mengenalkan pelajaran yang nota bene dianggap sebagai budaya luar yang bertentangan dengan budaya asli Orang Rimba. Pendidikan yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan Orang Rimba, tidak berbatas waktu dan ruang tertentu. Dengan metode ini, ratusan Orang Rimba yang terbebas dari buta aksara. Bagi yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan formal, difasilitasi ke sekolah lanjutan, kini tercatat ada anak rimba yang sudah duduk di bangku kuliah dan sekolah menengah. Tak hanya di Jambi, pendidikan alternatif juga dikembangkan oleh Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-M) yang memberikan pendidikan untuk komunitas Mentawai. Hidup di kepulauan menjadikan anak-anak dari berbagai suku terisolasi dari pendidikan yang digagas negara. YCM-M mulai menginisiasi sekolah hutan di komunitas Sagalu Di Bekkeiluk Mentawai pada tahun 2004, dilanjutkan dengan sekolah hutan Sangong tahun 2008 dan Komunitas Tanambu tahun 2009. Yayasan merah Putih di Sulawesi Tengah melalui SkolaLipu memberikan pendidikan untuk Komunitas Adat Tau-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
“Program kita sudah ada. Hanya saja karena masyarakat kita luas maka belum semua terjangkau oleh pemerintah. Makanya, kita mulai sekarang kerjasama dengan Pemda mendata anak-anak seperti ini. Kalau WARSI sudah punya kegiatan seperti ini kita melanjutkan,” katanya. Musliar mengakui, memberikan pendidikan kepada anak rimba bukanlah persoalan mudah. Dibutuhkan dedikasi dan semangat tinggi untuk bisa melakukan hal itu. Guru-guru dari sekolah formal belum tentu bisa melakukan program pendidikan seperti yang selama ini dikembangkan WARSI.
Musliar Kasim Wakil Menteri Pendidikan terlihat akrab dengan anakanak rimba. Foto Diambil sewaktu wamen berkunjung ke kelompok Orang Rimba Terap Pertengahan Agustus lalu. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
TaaWana yang berada di kawasan Pegunungan bagian Timur Sulawesi Tengah. Skola Lipu yang berarti sekolah kampung berdiri tahun 2006, dengan menggunakan pendekatan berbasis pengorganisasian kelas berbasis usia dan tanggung awan sosial peserta belajar. Untuk anak-anak usia 7-12 tahun dimasukkan kategori kelas reguler dengan proses belajar terjadwal, intensif dan terencana. Selain itu juga ada kelas khusus yang ditujukan bagi remaja dan Orang Tua. Proses belajarnya tidak terlalu ketat dan mengalir sesuai kesempatan dan kebutuhan peserta didik. Dengan adanya pendidikan alternatif yang sudah dikembangkan NGO ini, harapannya mendapat dukungan dari penyelenggara negara, untuk juga bisa mengaplikasikan di kelompok masyarakat adat lainnya yang tersebar di Nusantara. Hanya saja, pada level kebijakan, perhatian dan dukungan terhadap pendidikan bagi komunitas adat yang berbasis kondisi sosial dan budaya, belum terlihat signifikan. Aturan perundangan mengenai pendidikan nasional belum ada secara khusus mengatur tentang pendidikan bagi komunitas adat. Di sinilah kita menyandarkan harapan kepada pemerintah baru, bahwa masyarakat adat juga butuh dukungan dan sokongan untuk pendidikan yang memadai. Wamen Pendidikan Kunjungi Orang Rimba Dalam rangkaian menjaring dukungan untuk masyarakat adat, pada pertengahan Agustus lalu Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim melihat langsung kondisi Orang Rimba dan pendidikan yang mereka jalani. Dalam kunjungannya ke Kelompok Orang Rimba Terap di timur Taman Nasional Bukit Dua Belas ini, Musliar Kasim mendukung pendidikan alternatif yang dilakukan WARSI di komunitas Orang Rimba. karena sejalan dengan program pemerintah.
“Ini bukan pekerjaan yang mudah. Tadi saya lihat anakanak sudah bisa membaca, menulis. Saya yakin dan percaya untuk membuat bisa seperti itu tidak bisa dilakukan dalam dua tahun. Ini keberhasilan luar biasa yang sudah dicapai WARSI,” ungkapnya. Pihaknya sangat mendukung upaya pemberian pendidikan alternatif, karena saat ini sudah banyak anakanak rimba yang memiliki cita-cita yang selama ini belum terpikir. Artinya mereka sudah bisa membangun mimpi. Tinggal bagaimana mewujudkan mimpi tersebut melalui pemberian pendidikan yang lebih baik. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan kemudahan bagi mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan jika ada yang mau melanjutkan ke sekolah-sekolah formal. “Kami, saya dari Kementrian Pendidikan Nasional sudah bicara dengan asisten provinsi dan Kadis Pendidikan untuk melanjutkan ini. Mereka kalau sudah ada yang bisa masuk ke pendidikan formal kita fasilitasi,” ujarnya. Pada kesempatan itu, Wamen juga memberikan bantuan operasional layanan pendidikan khusus untuk anak rimba sebesar Rp 75 juta, yang diserahkan secara simbolis kepada Tumenggung Marituha pimpinan adat Orang Rimba di Sungai Terap. Bantuan tersebut nanti akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak rimba. Mulai dari pembelian buku hingga pakaian sekolah. Direncanakan juga ke depan, pendidikan Orang Rimba akan di dukung guru dari sekolah-sekolah formal baik guru yang sudah PNS maupun yang belum jadi PNS. Harapannya guru dari sekolah formal terdekat bisa membantu mengajar anak-anak rimba, dengan pemberian insentif khusus kepada mereka. Dengan adanya dukungan dan perhatian para pihak, harapannya pendidikan yang baik dan merata di kelompok masyarakat adat, akan menjadikan generasi ke depan komunitas ini berdaya saing dan mampu hidup layak sesuai dengan adat, budaya dan keinginan mereka. (Sukmareni & Hermayulis.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
13
14
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Dari Rimba Menuju Kota
B
eteguh, satu dari anak rimba yang tahun ini melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas. Dengan nilai kelulusan yang lumayan baik, yaitu 28,60 dengan rata-rata nilai 7,2 menjadi modal untuk menempuh pendidikan berikutnya. Berikut pengalaman Beteguh terkait sekolah barunya di SMA 11 Kota Jambi, yang dituliskannya sendiri. Setelah lulus SMPN 2 Satu Atap Sarolangun,aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Kota Jambi. Aku minta bantuan dari KKI WARSI untuk memilih sekolah yang cocok dan sesuai dengan keinginanku. Alasan sekolah di Jambi mulanya karena keingintahuanku mengenai cara orang kota sekolah dan bagaimana mereka hidup. Begitu diajak Huzer memilih dua sekolah yang akan aku daftar, aku langsung tertarik dengan SMAN 11Kota Jambi. Karena aku pikir di Kota tidak mempunyai rimba, di sekolah itu aku masih bisa menemui beberapa pohon. Setelah aku dinyatakan lulus di sekolah itu, banyak pengalaman yang menarik yang aku dapatkan. Karena di situ aku mulai memiliki banyak teman baik. Kami bisa bekerja sama mengerjakan tugas yang diberikan Bapak dan Ibu Guru. Di sekolah ini aku pun diminta untuk mengikuti Siswa Pencinta Alam (Sispala). Mendapat tawaran itu aku sangat senang sekali, aku pikir dari kecil aku memang hidup bersama alam. Menurutku sebagai pencinta alam “sejati”, jadi tidak ada alasan untuk menolak. Kini sudah hampir satu semester aku lalui. Setiap hari hari aku berjalan kaki ke rumah Huzer tempat aku tinggal menuju sekolah. Banyak sekali yang aku pelajari. Aku melihat ternyata sangatlah keras untuk hidup di kota ataupun di luar rimba. Jika di dalam rimba aku bisa mendapatkan buah-buahan, makanan bahkan obatobatan dari hutan. Tapi tentu saja di Kota aku tidak bisa mendapatkan itu semua. Hampir seratus persen kita harus menggunakan uang untuk mendapatkan semua kebutuhan, sementara di rimba hanya lima puluh persen kita menggunakan uang. Sebanyak itulah kesenangan dan kesulitan yang telah aku alami, akan tetapi aku tetap semangat sekolah. Di sekolah ini aku merasa lebih diterima, tidak ada temanteman yang mentapku aneh apalagi mengejek. Mereka bisa menerimaku sebagai Orang Rimba dan tentu saja berteman baik. Aku akan terus bersemangat dan aku berharap ini bisa menjadi contoh bagi teman-teman ku di rimba. Aku di sini merupakan cara kita untuk tetap menjaga rimba.
Berteguh (kiri) saat mengikuti ujian tengah semester di SMA 11 Kota Jambi. Foto Elviza Diana/Dok KKI WARSI
Beteguh (16), putra Mangku Basemen Orang Rimba kelompok Kedudung Muda, sejak kecil memang menunjukkan minat yang tinggi akan pendidikan. Tercatat sebagai peserta didik alternatif bersama fasilitator WARSI di belantara Bukit Duabelas sejak tahun 2006.Selama proses belajar ini, Beteguh menunjukkan kemampuannya diatas rata-rata anak lain dilingkungannya. Hingga 2011, Beteguh diikutkan ujian persamaan di SD 191 Pematang Kabau, Sarolangun. Setekah mendapat ijazah persamaan SD ini, Beteguh melanjutkan pendidikan ke SMP 2 Satu Atap Sarolangun. Di sekolah lanjutan pertama ini, Beteguh memperlihatkan “kemampuannya” dengan diraihnya sejumlah prestasi, termasuk juara kelas di SMP tempat dia bersekolah. Selain aktif bersokolah, Beteguh tidak lupa mendarmakan hidupnya untuk anak-anak rimba lainnya dengan menjadi kader pendidikan, yaitu membantu mengajar anak rimba lainnya, ketika ia kembali ke rimba. Tak kurang dari 50 orang anak rimba yang menjadi anak didiknya yang tersebar di berbagai kelompok di Bukit Dua Belas, seperti kelompok Orang Rimba di Sungai Gemuruh, Sungai Punti Kayu, Sungai Tengkuyungon, Tanah Kepayong, Pisang Krayak dan Nuaron Godong. Jarak antar kelompok yang berjauhan dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 3 jam perjalanan. Namun Beteguh dengan senang hati melakukannya. Karena ia ingin, tak ada lagi anak-anak Orang Rimba yang tak bisa baca tulis hitung, tak ada anakanak Rimba yang dengan mudah dibodoh-bodohi orang hanya karena buta huruf seperti generasi orang tuanya dulu. Kini Beteguh dengan mantap menempuh pendidikan di Kota Jambi, terpaut enam jam berkendara dari rimba tempat kedua orang tua dan anggota kelompoknya bermukim. Berteguh terus berusaha untuk menjadi yang terbaik, untuk dirinya dan anak rimba lainnya. ***
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Kader Pendidikan Orang Rimba berforo bersama dengan pengajar dan serta didik sekolah Uma di Mentawai. Foto TheoEldhora Lubis/Dok KKI WARSI.
Geliat Belajar dari Rimba ke Tinambu Kusut dan kusam rambutmu Hitam dan bernoda wajahmu Warna-warni aroma tubuhmu Kering keriput wajahmu Ah itu cuma pikiran culas sesaat Itulah pikiran orang tersesat Atau bersamamu cuma sesaat Mata semua pasti tersesat Wajah polos itu Semangat menggebu-gebu Mereka tak mengenal waktu Untuk berburu Izinkan ku menyebutmu orang tapal batas 21 Orang yang terpaku di lintas batas abad 21 Terpenjara disitu Tapi jangan takut kawan Aku menemani di sini Bersama kita lintas tapal itu. Theo Eldhora Fernando Lubis
P
erjalanan malam dari Kota Jambi yang kami lalui menuju Pelabuhan Muara di Kota Padang Sumatera Barat. Bangunan tua peninggalan Belanda masih terlihat menjelang memasuki pelabuhan Muara. Dari pelabuhan inilah kami akan menumpang kapal feri cepat mengarungi laut lepas menuju Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sepuluh jam terombang ambing di lautan lepas hingga sampai di pelabuhan Siberut.
Perjalanan ini merupakan rangkaian kunjungan belajar kader pendidikan Orang Rimba ke suku kelompok masyarakat Mentawai. Kegiatan ini merupakan bagian rangkaian Deklarasi Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JaPKA) yang dimotori tiga lembaga yaitu Yayasan Merah Putih (Sulawesi Tengah), Yayasan Citra Mandiri Mentawai (Sumatera Barat) dan KKI WARSI (Jambi/Sumatera Tengah). Target kunjungan dalam pejalan ini adalah Sekolah Uma yang ada di Dusun Tinambu Desa Mogosai. Dari pelabuhan Siberut kami harus harus menumpang pompong (perahu mesin) lagi untuk mencapai Desa Magosi. Dan perjalanan menggunakan perahu kayu masih di lanjutkan, untuk tiba ke Kampung Tinambu. Kami harus menyusuri Sungai Silakoinan yang memakan waktu satu jam. Sepintak dan Budi- kader pendidikan Orang Rimba tampak letih setelah melalui perjalanan laut dan sungai yang cukup lama. Bagi mereka, ini perjalanan laut pertama kali yang mereka arungi. Sebagai kader pendidikan Orang Rimba, kunjungan belajar di daerah lain dengan berbagai perbedaan suku, budaya dan topografi wilayah dapat memperkaya kemampuan mereka mengajar sahabat-sahabatnya di Taman Nasional Bukit Duabelas. Tinambu, merupakan perkampungan lama di hulu Sungai Silakoinan. Saat ini penduduk Tinambu sebanyak 44 kepala keluarga dengan sekitar 300 jiwa. Di kampung
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
15
16
LAPORAN UTAMA ini minim sekali layanan pendidikan dan kesehatan. Tak ada fasilitas sekolah dan puskesmas. Untuk melanjutkan sekolah, anak-anak ini harus tinggal di Desa Saliguma, karena satu-satunya sekolah ada di sana dan itu berarti jauh dari orang tua mereka. Namun karena umur yang masih kecil dan kemampuan bertahan yang minim karena jauh dari orang tua memaksa mereka berhenti sekolah. Hampir sama dengan komunitas Orang Rimba, di Tinambu mereka juga hampir tak tersentuh layanan kesehatan. Jika ada yang sakit, sebagian besar warga mengandalkan jasa Sikerei pun dengan Orang Rimba yang disebut dengan dukun. Layanan pendidikan baru mereka terima pada tahun 2009 melalui sekolah Sekolah Uma yang dibuka Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM). Uma adalah sebutan untuk rumah adat masyarakat Suku Mentawai. Uma tidak hanya sebagai hunian, namun merupakan simbol sistem kekerabatan dan kebudayaan. Awalnya sekolah ini dikenal dengan nama sekolah hutan, mengingat masyarakat di Kampung Tinambu sama persis dengan Orang Rimba yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Meski pendidikannya nonformal, keberadaan sekolah tersebut mampu mengajar anak membaca, menulis, menghitung dan mengenal lingkungan sekolahnya. Saat ini di sekolah Uma sudah ada enam kelas, satu kelas berisi tujuh hingga sepuluh murid. Konsep yang diterapkan juga mengenalkan belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan media apapun. Koordinator Divisi Pendidikan dan Kebudayaan YCM Mentawai, Tarida Hernawati menyebutkan ada sekitar 40 anak yang saat ini sudah terdaftar di Sekolah Uma. Sebelum gedung sekolahnya di bangun, mereka pernah belajar di gereja. Kegiatan yang diadakan selama kurang lebih satu minggu ini, menjadi tempat berbagi pengalaman antara Orang Rimba dan suku mentawai. Tidak hanya melihat proses belajar di Kampung Tinambu, malam terakhir tim fasilitator Pendidikan KKI WARSI dan dua anak rimba mendapat suguhan pertunjukan tarian adat, dan sebagai gantinya Sepintak dan Budi juga sempat mengajarkan permainan pasung ke beberapa anak-anak yang ada di kampung ini. Menurut Shasa, salah satu Fasilitator Pendidikan KKI WARSI Jaringan ini diharapkan bisa terus diperluas sehingga akan juga dapat mendorong lahirnya kebijakan negara yang peka dan mengakomodasi pendidikan bagi komuditas adat marjinal.”Ke depan jaringan diharapkan bisa terus memperluas jaringan, dalam waktu dekat kawan-kawan dari Silva Papua juga akan mulai terlibat dalam jaringan. Disamping itu, jaringan diharapkan makin solid dalam mengupayakan penguatan kapasitas pelaku bidang pendidikan bagi komunitas adat di Nusantara”, jelasnya. (Elviza Diana)
LAPORAN UTAMA
Pendidikan Orang Rimba, Simbol Perlawanan Penindasan
B
agi setiap guru rimba selalu ada kesan unik dan menarik kala pertama kali mereka terjun ke rimba, ke kelompok masyarakat adat yang unik yang hingga kini mempertahankan tradisi nenek moyang mereka hidup di rimba-rimbe belantara Jambi. Laporan Alam Sumatera kali ini kami menurunkan catatan harihari pertama Theo Eldhora Fernando Lubis Fasilitator Pendidikan WARSI yang bergabung sejak Oktober 2013. Berikut penuturan Theo. Orang Rimba sejatinya baru aku kenal ketika sudah bergabung di WARSI. Sebelumnya saya hanya tahu mereka disebut kubu, istilah yang sangat populer di Jambi tempat saya lahir dan dibesarkan. Tak banyak yang saya ketahui tentang komunitas ini, saya hanya sesekali melihat mereka ketika ada ibu-ibu dari komunitas ini yang mengemis di jalanan Kota Jambi. Mengajar mereka? Belum terpikir waktu itu. Namun dalam hati saya bercita-cita akan mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak dari suku-suku terpencil. Saya semakin transpirasi ketika ada program Indonesia Mengajar yang digagas Anis Baswedan. Hanya saja ketika saya mendengar program ini, saya masih berkutat di bangku kuliah menyelesaikan tugas skripsi. Saya merasa kesempatan untuk terlibat aktif mengajar masyarakat masih akan datang. Dan benar. Setelah menamatkan kuliah, sahabat SMA saya mengabarkan kalau lembaga tempatnya bekerja, yang aktif berkegiatan di masyarakat asli marginal membuka kesempatan untuk bergabung sebagai fasilitator pendidikan. Kesempatan ini pun tak dilewatkan, setelah melalui proses seleksi, saya pun bergabung di WARSI. Babak baru dalam kehidupan saya dimulai. Ya... saya menjadi guru Orang Rimba, masyarakat asli minoritas yang tersebar di hutan-hutan sekunder di Provinsi Jambi. Masa orientasi awal di kantor WARSI, saya lewati untuk memahami lebih dalam tentang komunitas ini, namun karena belum pernah bertemu langsung, cukup sulit untuk menggambarkan mereka di dalam kepala. Semua materi masa orientasi saya coba cerna, siapa dan bagaimana mereka hidup, dan apa yang menjadi tugas saya bersama mereka.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Beteguh, kader pendidikan Orang Rimba (dua dari kanan) mengajar teman-temannya menulis dan membaca. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Setelah orientasi dan pengenalan tentang tugas yang kami jalani, saya bersama beberapa staf baru WARSI lainnya langsung diturunkan ke lapangan. Saya akan ditempatkan di Terap, wilayah Orang Rimba yang di kepung perusahaan sawit dan HTI. Perasaan saya campur aduk ketika untuk pertama kalinya saya harus bertemu langsung dengan komunitas ini. Perjalanan enam jam untuk menuju kelompok Orang Rimba Terap, terasa sangat melelahkan. Dua jam menjelang sampai, jalanan tanah dan melewati perkebunan sawit dan hamparan hutan yang sudah kehilangan pohon, semak belukar, semakin membuat saya kembali bertanya. “Benarkan ini yang saya inginkan, sejauh ke dalam rimba?”. Ahh... coba saja dulu, hibur saya pada diri sendiri.. Mantap ku melangkah turun dari mobil double garda yang mengantar kami. Sejumlah teman yang juga akan menempati pos baru di lokasi lain, ikut bermalam di Terap, besoknya baru akan melanjutkan perjalanan. Kami disambut Bang Abdi, staf WARSI. Sore itu, kami diajak Bang Abdi berkenalan dengan Orang Rimba, dari Tumenggung dan anggota kelompoknya, kaum perempuan menjauh namun masih bisa terlihat. Melihat langsung kehidupan Orang Rimba membuat saya terpana.... Baru kali ini melihat kondisi seperti ini, kumpulan orang yang hidup di hutan. Rumah berupa pondok-pondok terpal sederhana, anak-anak bertelanjang dada, kaum perempuan yang hanya berbalut kemben, lelaki dengan cawatnya. Perasaan asing langsung menyergap saya, benarkan saya akan tinggal bersama mereka? Sehari bersama Orang Rimba bisa saya lewati dengan baik, mungkin karena masih banyak teman ikut bermalam di pondok WARSI. Hari kedua, teman-teman bertolak ke SPI untuk masuk ke kelompok Orang Rimba lainnya. Tinggallah saya bersama Bang Abdi, yang sudah tiga Minggu bersama kelompok itu. Begitulah dari awal kami memang sudah di beri tahu, staf lapangan
akan tinggal bersama komunitas tiga minggu dalam sebulan. Kembali ke kantor Jambi hanya untuk workshop dan mengurus keperluan tertentu. Selebihnya memang di lapangan. Bang Abdi nampak sangat akrab dengan Orang Rimba, sekilas saya bahkan melihat bang Abdi identik dengan Orang Rimba hahaha.. Mungkin karena sudah lama kali ya... sehingga Bang Abdi begitu menjiwai dan sangat menghayati Orang Rimba.. Saya masih terus mencoba, bertanya banyak ke Abdi segala hal tentang Orang Rimba. Termasuk penggunaan bahasa yang sama sekali masih asing bagi saya. Bang Abdi meyakinkan saya, mereka cukup mengerti dengan bahasa Melayu, cukup lega.... Bang Abdi memesankan supaya saya tetap belajar bahasa rimba, karena itu akan membantu kelancaran tugas saya di masa datang. Beberapa lelaki rimba memang sudah diperkenalkan kepada saya, namun rasa kikuk karena tersekat kelancaran komunikasi kami. Dengan perempuan belum berani untuk berkenalan, karena ada pantang larang orang rimba untuk menjaga jarak dengan orang baru, dari pada saya salah lebih baik menahan diri dulu. Sejumlah anak-anak yang akan menjadi peserta didik sudah mulai berdatangan ke pondok tempat saya tinggal --bangunan sederhana dari kayu yang berada di tengah semak belukar, tanpa penerangan, bentuknya seperti pondok di ladang dijadikan tempat istirahat petani. Eh pada hari ke tiga di rimba, bang Abdi sudah harus balik ke Jambi, karena ada tugas lain. Ah... saya akan sendirian... dan baru tiga hari? Wow apa yang akan terjadi? Perasaan saya kembali campur aduk. Ooohh tinggal sendirian bersama kelompok masyarakat yang belum saya kenal dengan baik ini? Meski ada beberapa anak-anak rimba yang selalu datang ke pondok namun tinggal sendiri?? Keberanian harus ditunjukkan, saya lepas kepergian bang Abdi sampai ujung jalan, deru trailnya sungguh menantang. Saya segera kembali ke pondok. Tiga hari
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
17
LAPORAN UTAMA setelah kepulangan Abdi, saya tidak berani turun dari pondok. Sejak Bang Abdi pulang, induk-induk terus berbicara seperti orang yang sedang marah. Suara mereka sangat keras, parahnya saya tak mengerti apa yang mereka katakan, marahkan mereka dengan kehadiran saya?
Soal tugas saya sebagai pengajar di kelompok ini, saya anggap berjalan dengan baik. Para murid saya sebelumnya juga sudah mulai belajar dengan fasilitator pendidikan sebelum saya. Mereka cukup cerdas dan cepat paham dengan yang diajarkan. Mengajar atau memfasilitasi baca tulis hitung (BTH) untuk anak-anak rimba tidaklah sama dengan mengajar di luar, tidak ada ruang kelas yang pasti, jadi kami bisa belajar dimana saja, di pondok, di sungai, di bawah batang pohon, ataupun di jalan-jalan yang kami lewati. Waktunya juga tidak terikat, tidak ada bunyi lonceng, jam istirahat ataupun pulang ke rumah.
Sejumlah anak-anak rutin mulai mendatangi saya, ada yang memperhatikan barang-barang saya, melirik-lirik roti yang tersisa, ada juga yang sudah menanyakan kapan kita belajar sambil meminta buku dan pena. Saya pun mulai melakukan observasi terhadap calon murid-murid saya. Nama-nama yang mereka ucapkan cukup sulit saya ingat. Nama-nama yang cukup aneh dan tidak populer di kuping saya. Saya berusaha tidak memedulikan keanehan itu, yang terpenting adalah bagaimana saya bisa berbicara dengan mereka walau tidak semuanya saya paham. Untungnya anak-anak ini cepat akrabnya, mereka mau berlama-lama di pondok saya, kami mulai saling belajar. Saya belajar bahasa mereka, mereka belajar membaca dari buku-buku yang saya bawa. Namun demikian suara indok-indok yang keras dan terkesan marah sungguh mengganggu konsentrasi saya. Suara indok-indok itu membuat saya khawatir. Apa yang mereka marahkan? Apa memang mereka mengomel dengan kehadiran saya. Suara keras itu makin menakutkan, saya bertanya kepada murid-murid saya, “Dek, ibu itu marah sama abang ya?” dan setiap saya bertanya seperti itu jawaban mereka selalu sama, “Idak pak, mereka cuma ngobrol kok”. Hampir tiga hari pertanyaan yang sama selalu terucap, ketika ibu-ibu itu sedang berkumpul di luar pondok. Sempat terlintas di pikiran saya pada saat itu, kalau saya dibunuh, kemudian badan saya dicincang-cincang dan jasadnya di buang ke hutan tentulah tidak ada yang tahu. Iiiihh.... serem juga pikiran konyol yang singgah di kepala... Untunglah seiring bergantinya hari keadaan semakin baik... tak ada lagi suara-suara ‘marah’ yang saya dengar. Saya menjalankan tugas saya sebagai guru bagi anak-anak rimba, dan saya pun belajar banyak tentang kehidupan rimba. Bulan-bulan berikutnya ketika saya sudah bisa bergaul akrab dengan kelompok Orang Rimba, saya tersenyum sendiri mengingat pikiran konyol yang sempat singgah di pikiran saya dulu. Mereka tidaklah seperti yang saya bayangkan ketika saya baru datang tempat mereka. Pikiran konyol saya datang karena minimnya pengetahuan saya dengan kelompok masyarakat yang unik yang hanya ada di Provinsi Jambi ini. Stereotype masyarakat yang menggambarkan orang rimba itu kubu, jorok, tidak pernah mandi, kumal, dan penuh dengan hal-hal yang berbau magis tidaklah semuanya benar.
LAPORAN UTAMA
Theo tengah mengajar anak-anak rimba kelompok Terap. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
Mereka terlihat jorok karena memang hidup mereka di alam, jalan yang harus ditempuh oleh mereka adalah jalan yang becek, berlumpur ketika hujan dan mereka banyak yang tidak menggunakan alas kaki. Jadi wajarlah mereka terlihat jorok, mungkin kalau jalan-jalan di sekitar kita juga seperti mereka maka kita juga terlihat jorokkan? Mereka tidak pernah mandi? Saya sendiri menyaksikan kalau mereka cukup rajin untuk mandi, Cuma permasalahannya mereka tidak menggunakan peralatan mandi seperti kita. Mereka menggunakan sabun, odol dari bahan yang tersedia di alam. Konon Orang Rimba berkeyakinan, jika menggunakan bahan-bahan dari dunia luar maka dewa-dewa akan menjauh. Dan ini sangat menakutkan bagi Orang Rimba. Habis mandi di sungai, kadang mereka kotor lagi, karena ya arena jalan di sekeliling mereka merupakan jalan yang berlumpur. Orang rimba suka magis? Dan jangan meludah sembarangan ketika di depan mereka, jika dilakukan maka akan ikut bersama mereka dan tidak bisa pulang lagi, demikian wanti-wanti yang berkembang ketika harus berjumpa Orang Rimba. Faktanya tidaklah demikian. Memang ada orang Rimba yang diyakini memiliki kekuatan magis, mereka adalah yang berkedudukan sebagai dukun di kelompoknya. Mereka dianggap mempunyai kemampuan untuk berhubungan dengan para dewa dan sehingga bisa meminta pertolongan seperti untuk penyembuhan penyakit, menentukan tempat membuat pondok serta berbagai fungsi dukun yang berkembang di Orang Rimba. Walaupun ada yang punya kekuatan magis, dalam penggunaannya juga tidak akan semenamena karena Orang Rimba meyakini ada konsekuensinya untuk setiap tindakan yang mereka lakukan. Meludah sembarangan? Ya kalau merasa harus meludah silakan saja, toh kita di luar kalau meludah di depan seseorang tentu orang di depan kita itu juga merasa dilecehkan atau direndahkan. Jadi meludahlah di tempat yang wajar.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Biasanya ketika fasilitator pendidikan melakukan fasilitasi BTH ke kelompok maka dia akan tinggal selama beberapa waktu, ada yang tinggal selama tiga hari, satu atau dua minggu, bahkan tiga minggu sekalipun, itu semua tergantung dari kebutuhan. Sang fasilitator akan sering bertemu dengan murid-muridnya, bahkan bisa dibilang bisa sampai 24 jam malah, kegiatan belajar bisa dilaksanakan pagi, siang sore ataupun di malam hari. Jika belajar di malam hari biasanya akan ditemani oleh cahaya redup dari lampu lilin ataupun senter kepala yang biasa digunakan orang rimba ketika berburu di malam hari. Konsep belajar yang dilakukan adalah berbasis kepada kondisi ekologis orang rimba itu sendiri. Proses belajar dilakukan dengan keadaan nyata dan kondisi keseharian orang rimba, misalnya pagi hari mereka biasanya pergi memeci (menembak burung dengan katapel) burung di hutan. Sambil memeci dimasukkanlah beberapa materi pelajaran misalnya berhitung. Menghitung jumlah pohon tertentu di sepanjang jalan, menjumlahkan atau mengurangi hasil tangkapan burung yang di dapat hari ini, merupakan cara-cara kami belajar. Melalui pendidikan yang berbasis pada realitas ekologis ini diharapkan peserta belajar dapat menarik hubungan antara perubahan sosial dan ancaman masa depan hutan yang merupakan ruang hidup mereka. Dalam kesehariannya anak-anak rimba lebih terampil dan mandiri, coba bayangkan usia tujuh tahun saja anak-anak rimba sudah bisa hidup dari upaya sendiri, mereka sudah bisa memasak nasi sendiri, mencari makanan yang bisa mengganjal perut ketika merasa lapar, menghidupkan api tanpa bantuan dari minyak tanah ataupun sejenisnya. Kecakapan bertahan hidup telah dimiliki oleh orang rimba sejak mereka masih anak-anak, sungguh sangat jauh bedanya jika kita bandingkan anak-anak di luar yang seusia dengan mereka. Mereka sangat aktif, kegiatan keseharian mereka lebih menonjolkan kegiatan yang menggunakan saraf motorik, berjalan, berlari, bergulat, saling kejar-kejaran ataupun memanjat pohon.
Jangan takut masuk ke rimba jika kita pergi bersama dengan orang rimba, itulah pengalaman saya. Ketika kami masuk ke dalam rimba mereka sangat menjaga sekali orang yang mereka bawa, mereka akan selalu menjaga dan memastikan keselamatan kita dari ancaman-ancaman, misalnya dari hewan liar ataupun kondisi jalan yang terjal, licin dan berbahaya yang cukup membuat kita kerepotan. Mereka tidak akan meninggalkan kita sendirian ketika kita berada di dalam rimba. Mereka percaya akan hukum sio-sio yang tidak boleh menyianyiakan atau menelantarkan orang yang lagi kesusahan ataupun tersesat di dalam hutan, jika mereka melanggarnya mereka akan mendapatkan kutukan ataupun mendapatkan hukuman dari dewa-dewa. Jadi, jangan takut tersesat jika berjalan bersama Orang Rimba yang sudah sangat paham betul seluk beluk rimba. Mereka sangat menjaga tetamu yang datang ke kelompok mereka. Saya pun mencoba untuk memberi yang terbaik bagi mereka. Harapan saya, Orang Rimba akan mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai warga Negara Indonesia, mendapatkan pendidikan yang layak sama seperti yang dirasakan oleh anak-anak pada umumnya, mendapat perlindungan kesehatan dan mendapat perlakuan yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Semoga tidak ada lagi oknumoknum yang menutup hidungnya ketika mereka lewat, menutup rumah mereka, dan memasukan barang-barang mereka ketika barang itu tergeletak di luar rumah ketika Orang Rimba lewat. Mereka bukan penyakit yang harus di hindari dan di jauhi, mereka sama seperti kita, mereka adalah masyarakat Indonesia, dan dianggap unik hanya karena mempertahankan kelestarian adat dan kebiasaan mereka. Dengan pendidikan semoga menjadikan Orang Rimba menjadi lebih diterima dan bisa berbaur dengan kelompok masyarakat lain yang kini semakin tinggi interaksinya. Pendidikan adalah salah satu alat untuk melakukan ‘perlawanan’ dari ketertindasan. Melawan pembodohan dari orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dari ketidakpahaman Orang Rimba. Misalnya sebelum orang rimba mengenal pecahan uang, orang rimba sering di tipu oleh penjual ketika mereka berbelanja, kembalian uang sisa belanja terkadang tidak sesuai dengan yang semestinya. Oknum-oknum perusahaan yang menemui Orang Rimba dan mengatakan ada surat dari raja dan memerintahkan untuk membubuhkan cap jempol mereka, dan akhirnya hutan mereka di habisi karena telah mendapatkan persetujuan cap jempol dari Orang Rimba yang tidak mengerti apa isi surat tersebut dan apa kegunaan dari cap jempol tersebut. Saya berharap dengan peran saya, akan menjadi salah satu catatan kecil dari Orang Rimba untuk bangkit melawan semua ketertindasan yang mereka alami melalui pendidikan.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
19
20
21 Deforestasi yang berlangsung di selatan Bukit Tigapuluh. Foto diambil ketika berlangsung land clearing PT Tebo Multi Agro. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
Deforestasi di Selatan Bukit Tigapuluh Penghancuran Ekosistem yang Berimbas pada Konflik Lahan dan Sosial Perubahan Tutupan Hutan, Konflik Sosial & Posisi Orang Rimba di Selatan Bukit Tigapuluh
J
ambi pernah menjadi surga untuk usaha perkayuan. Kelebatan hutan Jambi di era tahun 70an menjadi daya tarik investor untuk mengeruk kehutanan Jambi. Sejak era 70-an, berbagai perusahaan logging hadir di hutan Jambi, termasuk di selatan Bukit Tigapuluh perbatasan Jambi Riau. Hamparan dataran rendah di hamparan Pasir Mayang yang secara administrasi berada di Kabupaten Tebo, salah satu primadona untuk mengeruk sumber kayu Jambi. Dari penelusuran WARSI perusahaan pertama yang mempunyai izin pengelolaan dan pengambilan kayu adalah HPH PT Sumatra Loging (SL), yang mendapatkan izin pada tahun 1972, yang beroperasi selama tiga tahun. Setelah itu konsesi SL ini dialihkan ke PT Industries et Forest Asiatiques (IFA) perusahaan milik investor Perancis,
keterbatasan anggaran pengawasan kawasan ini, seolah abai, para pendatangpun melihat kesempatan ini. Apalagi sewaktu ditetapkan menjadi HPH, pemerintah kurang memperhitungkan keberadaan desa-desa sekitar, yang sebagian berada di dekat kawasan. Keterbukaan akses sekaligus peluang untuk menggarap kawasan yang sudah puluhan tahun di kuasai perusahaan. Peluang dan kesempatan ini yang dimanfaatkan oleh perambah sehingga bisa menjalin kerja sama. Barulah belakangan oleh pemerintah kabupaten Tebo selaku pemangku kawasan dengan restu menteri kehutanan membagibagi lagi kawasan ini ke sejumlah perusahaan hutan tanaman.
mendirikan PT Tebo Multi Agro (PT TMA). Dengan komposisi kepemilikan saham HTC 30 persen dan PT NAA 70 persen. Kesepakatan mendirikan PT TMA tercatat dalam akte notaris Elben Syaklan SH, dengan Nomor: 06, tanggal 11 Juli 2001. Selanjutnya perusahaan ini melanjutkan upayanya untuk mendirikan perusahaan hutan tanaman. Bupati Tebo memberikan menerbitkan rekomendasi IUPHHK-HT PT TMA dengan SK Bupati Nomor: 522. 11/146/Dinhut/2002. Rencananya PT TMA sesuai dengan MoU akan menanam jati unggul seluas 20.000 hektar dan 12.000 ha akan di gunakan untuk tanaman buah-buahan dan area peternakan sapi, dengan panjang pengusahaan selama 41 tahun.
Pemerintah Kabupaten Tebo membentuk BUMD Tebo Holding Company (THC), perusahaan yang ditujukan untuk mengelola kawasan di blok pasir mayang. Dalam rangka mensukseskan rencana pengelolaan kawasan ini, THC menggandeng investor dari PT Niaga Agronesia Abadi (PT NAA). Pada 8 Juli 2001 THC menandatangani Memorandum of Agreement (MoA) Nomor: 01/PemkabTebo-NAA/ II/ 2001 dengan PT NAA, yang dilanjutkan dengan
Namun dalam perjalanan berikutnya PT TMA tidak dapat melaksanakan kegiatan pembangunan tanaman jati, perkebunan buah-buahan dan peternakan sapi. Alasannya karena kawasan yang akan dikerjakan berada di dalam kawasan hutan dan belum mendapat izin dari Menteri kehutanan, pasca terbitnya PP No 34 Tahun 2002 . Atas ketidakjelasan izin dari menteri kehutanan pada tahun 2005 PT NAA yang sekaligus pemegang 70 % saham di PT
dengan areal konsesi seluas 130.000 ha. Selama delapan belas tahun lamanya dari 1975 sampai tahun 1992perusahaan ini melakukan aktivitas logging. Pada tahun 1993 PT IFA berganti kepemilikan jatuh ke tangan Barito Pasific Group. Sekaligus mendapatkan izin perpanjangan dari menteri kehutanan de-ngan SK Menhut No.608/Menhut-VI/1993, mendapatkan izin konsesi seluas 108.000 ha di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi (Blok Pasir Mayang) dan selu-as 70.000 ha di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (Blok Rengat). Perusahaan ini mengantongi izin hingga 2008. Nampaknya krisis ekonomi yang membelit Indonesia pada 1997-1998, nampaknya membuat perusahaan ini linglung, hingga kemudian pada 2001 mengembalikan izinnya kepada pemerintah. Kayu hasil tebangan di selatan Bukit Tigapuluh. Foto Heriyadi/ Dok KKI WARSI
Pasca penyerahan ke pemerintah kawasan eks IFA seolah menjadi kawasan open akses. Dengan dalih
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
22
23
TMA mengundurkan diri dari manajemen PT TMA. Mundurnya PT NAA dari PT TMA, manajemen TMA menggandeng PT Hutani Pratama Makmur (PT HPM). PT HPM adalah anak perusahan Sinar Mas Group. Sebagai landasan kerja sama antara PT TMA dengan PT HPM, pada tahun 2005 mereka membuat kesepakatan kerjasama dengan akte notaris yang diterbitkan Notaris Yanti Susanti SH, dengan Nomor: 15 tanggal 26 September 2005. Dalam kesepakatan ini telah disepakati kepemilikan saham dengan komposisi saham, Pemda Tebo melalui BUMD Tebo Holding Company 30 persen, sedangkan PT Hutani Pratama Makmur 70 persen. Pengalaman dan jaringan yang dimiliki oleh Sinar Mas Group, pada tahun 2006 PT TMA mendapatkan izin dari IUPHHK-HTMenteri Kehutanan. Izin ini sesuai dengan SK No. 401/Menhut-II/2006, pada tanggal 19 Juli 2006. Luasan konsesi yang dicamtumkan dalam izin tersebut PT TMA mendapatkan konsesi seluas 19. 770 ha disebutkan sebagai hutan produksi tetap (HP). Sampai saat ini PT TMA menanam akasia dan Eucalyptus sebagai tanaman industri untuk menyuplai kebutuhan perusahaan APP Sinamas Group. Tak hanya TMA sejumlah perusahaan lain mendapat izin di kawasan ini, yang terbaru adalah PT.Lestari Asri Jaya yang mengantongi izin dari menteri kehutanan dengan SK Nomor 141/Menhut-II/2010 tertanggal 31 Maret 2010, seluas 61.495 ha, yang dibagi ke dalam empat blok kerja. Perusahaan yang berada di bawah naungan Barito Group ini, mendapatkan izin di sebagian besar kawasan yang masih berhutan. Koridor Setelah mendapatkan izin PT TMA, untuk mengangkut hasil tebangan kayu hutan alam yang dihasilkan selama proses land clearing dan juga untuk mengangkut akasia yang dihasilkan perusahaan, Sinar Mas Group membangun jalan koridor yang menghubungkan areal konsesinya dengan perusahaan pulp yang berada di kawasan Tebing Tinggi Tanjung Jabung Barat. Jalan Koridor ini dibangun, dari konsesi Sinar Mas di Riau, Tebo dan Tanjung Jabung Barat, sepanjang 169,2 km dengan lebar 14
meter. Dari Riau, APP dan mitranya membangun koridor sepanjang 15,6 km, tepatnya di areal konsesi PT Artelindo Wiratama Riau, kemudian di kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh dibangun koridor sepanjang 7,6 km dan di Hutan Lindung Bukit Limau (Jambi) sepanjang 21,2 km.
Orang Rimba TNBT dalam Pusaran Konflik
Selain itu, di areal konsesi eks HPH PT IFA di Kabupaten Tebo dibangun koridor sepanjang 56,6 km dan di eks HPH PT Dalek Hutani Esa yang tumpang tindih dengan konsesi HTI PT Wira Karya Sakti (WKS) ditemukan koridor sepanjang 8,3 km. Sedangkan di luar konsesi PT WKS juga dibangun koridor sepanjang 6,9 km. Sehingga total panjang jalan koridor di TNBT Riau dan Jambi mencapai 169,2 km. Belakangan jalan yang di bangun sejak 2006 ini yang berada di kawasan lindung dihancurkan karena memicu pembalakan di kawasan konservasi tersebut.
D
Meski tidak lagi terhubung sampai ke Riau, jalur koridor yang dibangun ini yang telah menjadi magnet tersendiri bagi para pihak. Peladang, semakin ramai mengelola kawasan kiri kanan koridor, meski kawasan ini berstatus hutan produksi. Praktek jual beli lahan pun tak terelakkan. Klaim lahan oleh warga sekitar dan ketidakadaan batas hutan yang jelas semakin memperlancar penghilangan hutan di wilayah ini. Kegiatan di wilayah ini semakin semarak kala perusahaan besar terus beraktivitas yang memunculkan ‘kecemburuan’ masyarakat sekitar. Akibatnya konflik lahan dan sosial sering muncul di wilayah ini. Berdasarkan catatan WARSI tercatat sepanjang 2010-2014 terdapat 10 kasus konflik yang terjadi di wilayah ini, antara masyarakat sekitar dengan perusahaan, masyarakat adat seperti Orang Rimba dengan perusahaan, ataupun masyarakat Orang Rimba dengan masyarakat Melayu. Korban pun sudah berjatuhan, tidak hanya jiwa, namun juga harta benda, khususnya yang dialami oleh kelompok marginal Orang Rimba. Apakah negara akan diam saja dan terjadi pembiaran pada Orang Rimba yang kini nanar menatap masa depan akibat perubahan yang tidak diimbangi dengan keterampilan dan kemampuan mereka untuk hidup secara layak alam mereka? (Sukmareni/Kristiswan)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
ULU, Orang Rimba menggantungkan hidup dari sumberdaya alam di kawasan hutan. Saat itu Orang Rimba masih mengadopsi pola hidup semi nomadik, dengan mempertahankan hidup dari aktivitas berburu, meramu hasil hutan dan berladang. Semua aspek hidup mereka masih terintegrasi dengan kawasan hutan, mulai dari religi, ekonomi, dan sosial budaya. Bagi Orang Rimba, hutan diibaratkan seperti sebuah rumah yang nyaman dengan tersedianya segala macam kebutuhan hidup bagi anak keturunan mereka. Namun, saat ini ketergantungan mereka dengan hutan semakin terancam. Kerusakan hutan yang kian memprihatinkan terus mengancam kehidupan Orang Rimba. Hal itu dipicu karena sejak 1980-an, terjadi alih fungsi hutan dalam skala besar di Provinsi Jambi. Hutan yang semula menjadi areal penghidupan bagi Orang Rimba telah berubah menjadi lahan perkebunan, transmigrasi, dan HTI. Kondisi itu akhirnya menimbulkan perubahan sosial bagi Orang Rimba, yang ditandai dengan semakin sulitnya mencari kebutuhan hidup sehari-hari.Dampak yang dirasakan Orang Rimba tidak hanya kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup, namun komunitas ini kemudian juga terjebak dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
Orang Rimba yang hidup di hutan akasia. Hutan yang dulu serat dengan sumber kehidupan, beralih hutan akasia yang sangat miskin sumber bahan makanan. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
24
25
Hampir semua ruang jelajah Orang Rimba sudah beralih fungsi. Kawasan hutan tersisa di selatan Bukit Tigapuluh juga sudah beralih fungsi mengaji arak kelola perusahaan. Selain berkonflik dengan pihak perusahaan seperti PT WKS, LAJ, dan TMA, Orang Rimba juga seringkali terlibat konflik dengan masyarakat yang tinggal di bagian selatan Bukit Tiga Puluh. Kasus terbaru adalah konflik antara kelompok Bujang Kabut dengan masyarakat Melako Intan, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo. Dampak dari konflik ini berakibat fatal bagi kelompok Bujang Kabut. Pertikaian ini menyebabkan tiga rumah milik Orang Rimba terbakar. Sebelum kejadian ini, Orang Rimba juga pernah terlibat konflik dengan Manggala Agni Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo. Hal itu menyebabkan seorang anggota Manggala Agni terluka. Tak hanya itu, bahkan Orang Rimba sempat menyandera sepeda motornya. Selain itu, Orang Rimba di kawasan ini juga pernah berkonflik dengan warga Desa Teluk Kuali. Sedangkan dengan pihak perusahaan juga berkalikali mereka terlibat konflik. Jika dicermati semua konflik tersebut, bisa dilihat bahwa Orang Rimba yang ada di selatan TNBT selama ini hanya dijadikan boneka demi kepentingan para aktor yang ingin menguasai lahan dan kawasan. Apabila dilakukan advokasi, justru yang diuntungkan dalam hal ini adalah para pendatang dan perambah yang selama ini memang sudah mengincar kawasan yang diklaim oleh Orang Rimba. Belajar dari sejumlah kasus konflik Orang Rimba dengan perusahaan maupun dengan masyarakat di sekitar mereka, maka bisa didapatkan bahwa benang merahnya adalah karena perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu, jika laju kerusakan hutan tak segera dihentikan oleh para stakeholders dan instansi terkait lainnya, maka ke depan keberadaan Orang Rimba akan tinggal cerita. Kepunahan hutan sama artinya dengan kepunahan komunitas Orang Rimba. Orang Rimba belum memiliki kemampuan untuk hidup tanpa hutan, sebagaimana layaknya orang-orang dari luar komunitas mereka. Sehingga
Anak-anak rimba yang hidup disepanjang koridor di selatan Bukit Tigapuluh, interaksi yang tinggi dengan kelompok masyarakat lainnya dan ketidaksiapan Orang Rimba dengan perubahan yang ada di sekitar mereka. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI
perjuangan mempertahankan hutan yang dilakukan Orang Rimba bersama pihak yang peduli terhadap penyelamatan lingkungan seharusnya didukung oleh semua pihak. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan transmigrasi, HTI dan perkebunan sawit dalam skala besar telah menciderai keberlangsungan hidup komunitas ini. Mereka terpaksa kehilangan hutan yang jumlahnya tak sedikit. Dampaknya, Orang Rimba saat ini tak lagi bisa leluasa mencari penghidupan di dalam hutan. Padahal, mereka sudah terbiasa hidup dengan berburu dan meramu hasil hutan. Namun, saat ini potensi sumber daya alam yang tersisa di hutan sudah tak lagi memadai bagi mereka. Hutan yang berada di selatan Bukit Tigapuluh merupakan salah satu rumah bagi komunitas adat ini, selain juga ada kelompok masyarakat Talang Mamak yang berada di wilayah ini. Berdasarkan survei yang dilakukan WARSI pada tahun 2008 Orang Rimba yang berada di Selatan Bukit Tigapuluh berjumlah 474 jiwa. Keberadaan mereka tersebar di koridor PT TMA tepatnya di Sungai Salak dan Sungai Kubu. Sebaran terbesar Orang Rimba juga berada di dalam tiga blok LAJ dari empat blok pembagian areal konsesi perusahaan di bawah Naungan PT Barito Group ini. Di Blok 1 LAJ terdapat rombong Wahap yang bermukin di Seberang Cempogan. Di Blok dua terdapat Rombong Seajang dan Muradi. Kemudian
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Kehilangan hutan sama dengan kehilangan sumber penghidupan. Ketika hutan sudah di tebang, kehidupan pun menjadi suram. Foto Heridoni/Dok KKI WARSI.
di blok empat ada rombong Buyung yang bermukim di Sungai Ndelang serta kelompok Hasan yang berada disekitar sungai Pakandangan. Selain itu dalam kawasan eks HPH IFA juga bisa ditemui kelompok Bujang Kabut di Batang Sumay, Laman di Sungai Keruh, Bujang Rancak di KM 18 Sungai kelumpang dan Cilugak di Km 32 di eks PT Samudra Hutani Permai. Kehadiran HTI dan pembukaan koridor sudah menyebabkan terjadinya pergeseran pola penghidupan Orang Rimba. Beberapa kelompok Orang Rimba ada yang mendapat kompensasi oleh perusahaan, berupa pembagian lahan. Hanya saja pemberian lahan ini tidak diiringi dengan proses pemberdayaan. Akibatnya Orang Rimba yang diberikan lahan ini tidak mengelola lahannya, namun malahan menjualnya ke pihak lain. Uniknya yang terjadi adalah ada kelompok yang sangat kuat dan menjadi rujukan dalam membeli lahan di selatan Bukit Tigapuluh. Akibatnya uangpun berlimpah di satu kelompok yang menyebabkannya terjadi perubahan prilaku Orang Rimba. Pola hidup yang dulunya meramu dan berburu, berganti dengan pola hidup yang menggantungkan penghasilan dari penjualan lahan. Kondisi ini diperburuk dengan masuknya pengaruh budaya luar yang tak mampu di
tepis Orang Rimba, seperti perjudian dan minuman keras. Perubahan sosial ini telah menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup sekaligus menjadikan Orang Rimba berada di posisi yang paling rawan. Daridata yang kami kumpulkan konflik antara Orang Rimba dengan perusahaan ataupun orang rimba dengan masyarakat sudah semakin banyak terjadi. Hal ini disebabkan karena ketidakadaan pemberdayaan terhadap Orang Rimba dan keadaan negara dalam mengakomodir hak-hak Orang Rimba secara baik dan terarah. Pendekatan oleh perusahaan yang hanya memberikan sebagian kecil lahannya dianggap akan mampu meredam konflik, namun upaya ini hanya akan menjadi dia-sia ketika tidak ada pembekalan yang memadai kepada Orang Rimba untuk mengelola areal yang dikelolanya. Tanpa ini hanya akan menjebak Orang Rimba untuk terbelit persoalan penjualan lahan. Ketika tak mampu bertahan, mereka akan menjual lahan yang diberikan perusahaan, kemudian hari ini akan menyebabkan timbulnya konflik-konflik baru. Apalagi dikawasan ini kehadiran pendatang sangat masif sehingga kemungkinan terjadinya gesekan akan semakin kuat. Tanpa ada campur tangan dan keterlibatan pemerintah untuk membuat kebijakan yang menyelamatkan Orang Rimba, ke depan konflik-konflik sosial akan semakin tinggi. (Sukmareni/Kristiawan)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
GIS SPOT
26
rus indicus), beruang (Haliartus malayanus), Orang Utan, primata: monyet ekor panjang, ungko, beruk dan simpai dan Burung. Hewan-hewan besar ini dengan mudah bisa ditemukan dilihat dari jejak yang ditemukan. Termasuk di jalan koridor ditemukan jejak dan kotoran kawanan gajah. Kehadiran perusahaan dan pembukaan kebun telah menyebabkan ruang hidup satwa di wilayah ini terusik. Konflikpun tak terhindarkan. Menurut data yang berhasil dihimpun KKI WARSI, konflik satwa yang terjadi di bagian selatan TNBT didominasi oleh konflik gajah vs manusia. Konflik ini tidak saja menimbulkan korban nyawa manusia dan kerusakan lahan perkebunan, namun juga menimbulkan kematian satwa langka tersebut.
Foto: Montase Dok. WWF Program Riau
Satwa Dilindungi Terancam Punah
T
ak hanya konflik sosial yang muncul kerusakan ekosistem di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini, juga mengancam kelestarian flora dan fauna di wilayah ini. Di kawasan Bukit Tigapuluh terdapat beragam flora dari yang berhasil diidentifikasi terdapat 86 jenis dan 28 Famili dengan komposisi : Dipterocarpaceae 18 jenis (34%), Euphorbiaceae 17 jenis (32%), Lauraceae 6 jenis (12%), Leguminoseae 6 jenis (12%), Burseraceae 4 jenis (8%) dan Famili lain (1 %). Jenis pohon komersial : keruing, meranti, keranji, kempas, jelutung, bintangur dan johor. Dikawasan ini juga ditemui sejumlah satwa mamalia besar: gajah sumatera (Elephas maximus): harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapi-
Setidaknya, sejak tahun 2009 hingga 2014, tercatat sebanyak empat orang meninggal akibat serangan gajah, tiga ekor gajah diduga mati diracun, dan ribuan hektar lahan perkebunan sawit dan karet rusak. Kasus terbaru, pada Kamis, 14 Agustus 2014, kembali terjadi serangan gajah ke perkebunan milik masyarakat di Desa Suo-suo, Kabupaten Tebo. Gajah mengamuk ketika diusir dari kebun masyarakat sehingga mengakibatkan salah seorang warga mengalami luka-luka diinjak satwa liar tersebut. Tak berselang lama, kawanan gajah juga mengusik masuk ke perkampungan di Tungkal Ulu, daerah penyangga Bukit Tigapuluh lainnya. Maraknya konflik satwa vs manusia di kawasan ini patut menjadi renungan bagi semua pihak. Sebab, konflik seperti ini tidak akan terjadi jika ruang jelajah satwa tersebut tidak rusak. Namun, karena pengelolaan sumber daya alam di Jambi yang keliru, akhirnya dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang berkonflik dengan satwa tersebut. Padahal, hanya segelintir orang yang menikmati pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dengan rakus selama ini. Dan yang perlu diketahui, selain konflik satwa yang terus meningkat, kehancuran hutan juga akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, dan longsor. Jika kehancuran hutan ini terus dibiarkan, maka tidak saja konflik satwa yang akan menjadi ancaman, tapi bencana ekologi yang lebih besar pun akan segera mengancam. (Hermayulis)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
WEB GIS Penyusun Data Pengelolaan SDA
M
ewujudkan dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik tentu menjadi harapan kita semua. Apalagi dengan kondisi saat ini, ketika pemanasan global sudah nyata mengancam kehidupan manusia. Langkah-langkah strategis harus terus dilahirkan sebagai langkah mitigasi dan adaptasi, salah satunya adalah memunculkan mekanisme transparansi informasi dan data. Langkah awal bisa dimulai dari informasi dan data pemanfaatan ruang (sumberdaya alam) khusus di wilayah gambut. Gambut merupakan penyimpan cadangan karbon sepuluh kali lipat atau lebih dari tanah mineral. Namun jika tidak dikelola secara berkelanjutan, maka sebaliknya akan menjadi sumber emisi terbesar. Untuk itu penting adanya Pusat Data tentang pemanfaatan sumber daya alam di Provinsi Jambi. Melalui sistem informasi dan data yang terpadu, uptodate dan dapat dengan mudah diakses para pihak, maka akan mempermudah pengelolaan dan monitoring pemanfaatan ruang / sumberdaya alam. Berangkat dari persoalan ini, WARSI bersama Bappeda Provinsi Jambi merancang kegiatan workshop dan pelatihan pembuatan sistem informasi berbasis Web-Gis, yang melibatkan Bappeda dan Dinas Kehutanan Kabupaten di Lima Provinsi yaitu, Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Salah satu metode yang bisa digunakan sebagai tempat pengumpulan data adalah dengan sistem WEB GIS. Sistem ini dapat diartikan “memindahkan” peta-peta yang dibuat dalam basis desktop menjadi peta-peta berbasis Web, atau peta-peta tersebut menjadi bisa diakses pada jaringan internet ataupun intranet hanya dengan menggunakan perangkat lunak browsing di internet, semacam Internet Explorer, Mozilla,Opera,GoogleCrome, dst. Dengan adanya Web-GIS, untuk bisa mengakses petapeta GIS atau informasi spasial pengguna tidak harus menggunakan aplikasi atau perangkat lunak GIS secara khusus. User atau pengguna umum pun bisa mengakses peta tersebut tanpa harus menguasai atau mengetahui secara khusus ilmu GIS, cukup bisa internet dan tahu alamat akses peta Web-GIS tersebut. Web-GIS sangat cocok ditunjukan sebagai media berbagi informasi spasial. Peta-peta dalam Web-GIS secara umum terlihat seperti gambar atau foto biasa yang terlihat di web pada umumnya, tetapi sebetulnya peta-peta yang dibuat
berbasis web tersebut secara teknis sangat berbeda dengan gambar biasa atau foto digital. Sifat-sifat peta pada aplikasi berbasis desktop juga tetap harus teraplikasikan di dalam Web-GIS, semisal skala peta, simbol peta, legenda peta, sistem koordinat peta, sifat pembesaran/perkecilan (zoom), dll. Hal-hal tersebut tidak akan ada pada sifat gambar/foto biasa. Untuk mewujudkan sebuah peta berbasis web, sangat diperlukan satu pengetahuan bahkan penguasaan teknis pembuatannya. Teknik membuat Web-GIS merupakan perpaduan antara pengetahuan/kemampuan GIS berbasis desktop dan juga pemrograman web. GIS desktop tetap diperlukan dalam dalam proses ini karena Web-GIS terkait dengan pembuatan peta dan informasi spasial, sedangkan pemogramanweb diperlukan untuk memahami kode-kode penulisan halaman berbasis web dan untuk kemudian membuat halaman web. Bagi yang sudah menguasai kedua hal tersebut, rasanya tidak terlalu sulit untuk memahami dan membuat sebuah aplikasi Web-GIS. Web-GIS merupakan Sistem Informasi Geografi berbasis web yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan. Yaitu gabungan antara design grafis pemetaan, peta digital dengan analisis geografis, pemograman komputer, dan sebuah database yang saling terhubung menjadi satu bagian webdesign dan web pemetaan. Nama lain untuk Web-GIS sendiri bermacam-macam yang diantaranya adalah Web-Bases GIS, Online GIS dan Internet Mapping serta sejumlah istilah lainnya. Semua komponen Web-GIS harus “bekerja” dalam lingkungan yang bersifat web dan terhubung dengan jaringan, baik itu local (intranet/LAN) dan atau internet (Online). Jika sudah masuk lingkungan web, maka hubungan antara data/peta, dan pengguna adalah Server – Client. Server adalah (Komputer) penyimpanan dan penyedia data/peta, sedangkan Client adalah pengakses melalui browser internet. Dimana kedua-duanya terhubung ke jaringan intranet (LAN) atau internet. Kehadiran Web-GISyang akan dijadikan rujukan untuk kebijakan mengelola sumber daya, maka peta yang ditampilkan harus memenuhi karateristik dan syarat secara kartografi dan harus bersifat sebagai sebuah objek web pula. Contoh Web-GIS yang sudah umum diketahui adalah Google Map, Bing Map, webgis.dephut.go.id, dll. Dengan adanya peta-peta yang bisa diakses bersama maka akan sangat mudah untuk mempermudah peruntukan dan penentuan pengelolaan kawasan hutan. Harapannya tentu ada upaya bersama untuk mencegah timbulnya overlapping pengelolaan untuk menghindari konflik dan upaya bersama untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa yang akan menjadi penyangga kehidupan masyarakat. (Andi Irawan/Berbagai sumber)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
27
DARI HULU KE HILIR
28
Hutan Adat Terdesak PETI
Areal persawahan yang juga di gali penambang emas liar. Pembiaran akan mengamcam ketahanan pangan masyarakat setempat di masa yang akan datang. Foto Rudi Syaf
A
ktifitas Penambangan PETI di Provinsi Jambi semakin menggila. Pada tahun-tahun sebelumnya penambangan emas hanya di sungai-sungai besar seperti Batanghari, Batang Tembesi kini, penambangan emas sudah merengsek masuk ke dalam kawasan hutan dan areal persawahan masyarakat. Bahkan penambangan emas liar ini juga sudah mulai mendekati Hutan Adat dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ratusan alat berat setiap hari beroperasi mengeruk tanah dan memindahkannya ke alat untuk pemisahan emas. Kawasan yang dulunya sempadan sungai dengan pepohonan, ataupun hamparan sawah kini sudah beralih menjadi cerukan-cerukan menganga diselingi undakan-undakan pasir. Penambangan emas liar telah menjadi tren baru. Usaha pengerukan emas tak berizin yang menggunakan alat berat ini, tentulah bukan usaha yang dilakukan masyarakat kebanyakan. Diyakini ada investor yang bersedia menyediakan alat-alat berat. Menurut informasi masyarakat disekitar lokasi penambangan dibutuhkan uang sewa Rp 100 juta perbulan untuk sewa excavator. Modal ini juga harus dilengkapi dengan alat pemisah biji emas dan bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk membantu proses pemisahan emas ini. Bahan kimia yang biasa digunakan dalam pemisahan biji emas ini diantaranya merkuri, sianida, boraks dan soda api. Dengan melihat kebutuhan dan cara eksploitasi emas ini, tentulah bisnis ini harus dijalankan oleh pihak-pihak yang tertentu yang memiliki modal besar, sekaligus punya jaringan luas. Masyarakat termakan bujuk rayu untuk menyerahkan lahannya dan kemudian mengatas namakannya demi kepentingan bisnis yang lebih besar.
Akibat dari pengerukan emas ilegal ini, tentu sangat dikhawatirkan dampak yang akan diterima oleh masyarakat setempat, berupa kerusakan ekologi untuk generasi mendatang serta terancam berbagai jenis penyakit akibat limbah bahan kimia yang mencemari air sungai. Dampak penambangan liar ini, mungkin untuk saat ini belum akan langsung terlihat, namun di masa depan berbagai persoalan akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Limbah yang dihasilkan dari pertambangan liar yang mengeruk tanah, akan menghasilkan limbah berupa lumpur pekat bercampur tanah liat dan pasir, jika limbah tersebut dibuang ditanah, maka tanah itu tidak akan bisa digunakan sama sekali, misal untuk kepentingan pertanian. Demikian pun jika dibuang ke sungai, maka airnya akan menjadi sangat kotor, warna akan berubah menjadi coklat pekat. Dan dibutuhkan bertahun-tahun untuk mengembalikannya ke bentuk semula. Sedangkan penggunaan bahan-bahan kimia pada penambangan ini semisal Mercury tentu akan mengancam kesehatan masyarakat yang ada disekitarnya. Mercuri alias air raksa atau hydragyricum (Hg) adalah satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair, tidak berbau, berwarna keperakan, dan mengkilap. Dalam pertambangan emas, merkuri digunakan dalam proses ekstraksi dan pemurnian hasil tambang emas. Penambangan liar biasanya akan membuang limbah mercuri kembali ke lingkungan sekitarnya, termasuk sungai. Apalagi Mercuri termasuk logam yang sangat mudah berinteraksi dengan air. Dengan sifat seperti ini maka merkuri mudah masuk tubuh manusia kulit, inhalasi (pernafasan), atau lewat makanan atau makanan yang tercemar, termasuk ikan dari sungai yang tercemar bahan ini. Apalagi di Jambi, kasus penambangan liar yang sudah hampar terjadi dia semua sungai besar dan juga masuk ke wilayah hulu, pencemaran bahan kimia ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Secara ilmu kesehatan, mercuri yang mengkontaminasi tubuh akan menyebabkan berbagai ganguan fungsi saraf, dan beraneka jenis penyakit. Parahnya lagi dampaknya tidak hanya dirasakan oleh generasi yang langsung kontak dengan bahan berbahaya ini, namun juga berdampak kecacatan pada generasi berikutnya. Melihat hal ini, maka keseriusan dan ketegasan para pihak sangat diharapkan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan penambangan emas liar. Operasioperasi yang dilakukan selama ini terbukti belum mampu mengatasi persoalan PETI. Dugaan keterlibatan dan backing aparat untuk usaha ini sepatutunya menjadi perhatian bersama. Memulihkan lingkungan yang rusak tidaklah mudah, pun demikian dengan penurunan kualitas hidup masyarakat yang tercemar bahan berbahaya dari kegiatan ini harusnya menjadi fokus utama. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
29 Bagi masyarakat dan penggiat lingkungan skema ini tentu sangat diharapkan akan memberikan kesejahteraan untuk masyarakat yang sudah menjaga hutannya dengan baik. Hanya saja skema ini dalam penerapan ini, masih membutuhkan kejelasan regulasi dan juga kesiapan di tataran masyarakat.
Uji Coba Benefit Sharing, Mempersiapkan Masyarakat Mengelola PES
M
engelola hutan dengan baik bagi masyarakat sekitar hutan sudah dilakukan sejak dulu. Skema -skema pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat tentu saja pada awalnya merupakan bentuk rasa syukur masyarakat atas sumber daya ada yang juga telah mendukung kehidupan mereka. Tak hanya masyarakat sekitar yang merasakan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan, juga dirasakan oleh publik luas. Belakangan manfaat yang dirasakan oleh publik luas ini, mulai mendapat perhatian, dengan adanya skemaskema pendanaan untuk imbal jasa lingkungan. Salah satunya melalui skema REDD+. Dari REDD +, salah satu bagian pentingnya adalah mendukung masyarakat yang sudah mengelola hutannya dengan baik. Salah satu manfaat yang akan di dapatkan masyarakat dari REDD+ adalah imbal jasa lingkungan (Payment for Environmental Service / PES) atas upaya masyarakat yang selama ini sudah menjaga hutannya dengan baik. Peluang yang memungkinkan masyarakat dapat meningkatkan penghasilan dari hutan yang terjaga dengan baik adalah masuk pada skema perdagangan karbon.
Tentu harapannya nanti, ketika skema perdagangan karbon sudah digulirkan atau skemaskema imbal jasa lingkungan sudah mengalir ke tengah masyarakat, juga dibutuhkan adanya kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam mengelola dana yang ada yang digunakan untuk kepentingan bersama. Menjelang skema-skema pendanaan ini berlangsung, WARSI terlebih dahulu mengawali dengan adanya program uji coba distribusi manfaat (benefitsharing) untuk lima kelompok pengelola hutan nagari, hutan adat dan hutan desa di Jambi dan Sumbar. Yaitu Hutan Adat Rantau Kermas, Hutan Desa Senamat Ulu, Hutan Ngarai Simancuang, Sungai Buluah dan Sirukam. Distribusi manfaat (benefitsharing) merupakan bentuk kompensasi non karbon untuk tingkat komunitas. Kegiatan ini merupakan bentuk pemanfaatan dari hasil kompensasi menjaga hutan yang berbasiskan lahan dan dikelola oleh masyarakat. Dalam uji coba benefitsharing yang dilakukan ini, pendanaan dimanfaatkan untuk mendukung kelompok dalam mempersiapkan rencana kerja kawasan kelola. Selain itu dana juga dimanfaatkan untuk pengembangan kapasitas anggota kelompok pengelola. Termasuk mendukung kesiapan dan kemampuan pengelolaan pendanaan dan pelaporan yang bisa dipertanggung jawabkan. Kegiatan ini juga ditujukan untuk pengembangan ekonomi masyarakat.Disamping juga kelompok pengelola melakukan sosialisasi keberadaan hutan desa/adat/nagari dan melakukan perencanaan baik penguatan ekonomi melalui unit-unit usaha yang dikembangkan, penguatan kelembagaan, peningkatan sumberdaya manusia dan pengayaan dan pengelolaan kawasan hutan desa. Harapannya nanti setelah adanya uji coba benefit sharing ini, masyarakat memiliki kesiapan dalam pengelolaan pendanaan dari skema-skema imbal jasa lingkungan yang saat ini sudah mulai implementing. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
WAWANCARA
30
WAWANCARA Apa yang menjadi tujuan dari terbentuknya Forum ini? Cita-cita forum ini menjadi media saling belajar antar lembaga atau kelompok pengelola hutan yang ada di Sumatera Barat. Dan ke depannya forum ini ada untuk menyuarakan secara bersama-sama praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sudah kami lakukan. Forum ini juga sebagai media untuk menjaring aspirasi terkait kebijakan pengelolaan hutan di Sumatera Barat dan Indonesia yang mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan keberadaan masyarakat di sekitar hutan. Dukungan seperti apa yang diharapkan dari para pihak?
Nagari Indudur, dilingkup Bukit Barisan, menjaga hutan untuk kehidupan. Foto Elviza Diana
Forum Komunikasi PHBM-Sumbar Menyuarakan Kelestarian dan Kesejahteraan
S
ampai saat ini terdapat 108 Nagari di Sumatera Barat yang sedang dalam proses yang berbeda untuk mendapatkan hak kelola hutan. Dalam perkembangannya, kelompok – kelompok pengelola hutan nagari (HN) dan kelompok pengelola hutan kemasyarakatan (Hkm) dalam berbagai kesempatan saling belajar mendiskusikan tantangan - tantangan dalam menginisiasi skema – skema Hutan Nagari dan Hkm dan menemukan solusi serta pembelajaran melalui diskusi saling belajar tersebut. Untuk menjembatani hal ini dibutuhkan media untuk saling belajar, mendiskusikan berbagai persoalan dalam implementasi pengelolaan hutan. Inilah yang melatar belakangi lahirnya “Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat – Sumatera Barat (FK PHBM – Sumbar). Bagaimana forum ini bekerja dan apa yang sudah dilakukan, berikut petikan wawancara reporter Alam Sumatera dengan Ketua FK PHBM – Sumbar, Johni Wardi Datuk Rajo Penghulu.
Kapan dan apa yang melatar belakangi FK PHBM ini terbentuk? Forum Komunikasi PHBM ini terbentuk pada September tahun lalu, ini diawali dengan adanya pertemuan di Jorong Simancuang pada agenda kegiatan saling belajar antar pengelola hutan berbasis masyarakat yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan KKI WARSI. Dari diskusi panjang dengan melihat banyak dan beragamnya permasalahan yang dihadapi dari masing-masing pengelola hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. Kemudian kami merumuskan perlunya dibentuk suatu forum yang dapat menjadi wadah untuk menampung berbagai permasalahan yang dihadapi dan berusaha bersama-sama saling membantu dan berbagi untuk mengatasinya.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Bersuara sendiri mungkin tidak didengar, bersuara bersama akan nyaring dan keras terdengar. Seperti itu lah harapan kami dengan adanya forum ini, kami dengan bentuk pengelolaan hutan masyarakat yang berbeda dan permasalahannya pun beragam. Dari mulai proses pengusulan hingga pengelolaan hutan nagari dan hutan kemasyarakatan yang telah mendapatkan SK penetapan. Masing-masing tahapan ini memiliki masalah dan kendala yang berbeda, dan tentu saja bentuk dukungan yang diinginkan pun berbeda. Bisa jadi dalam percepatan proses perizinan, misalnya saja di Nagari Indudur ini sudah mendapatkan SK penetapan areal, tapi belum juga mendapatkan SK Hak Pengelolaan Hutan Nagari ditandatangani oleh Bupati, sementara untuk Nagari yang sudah jalan dengan diterbitkan HPHN nya tetap saja masih belajar untuk menyusun Rencana Kelola Hutan Nagari nya. Jadi dukungan yang diinginkan adalah dukungan semua pemangku kebijakan yang dapat mewujudkan cita-cita kami dalam pengelolaan hutan yang lestari seiring dengan kesejahteraaan masyarakat. Saat ini, permasalahan-permasalahan apa saja yang dihadapi lembaga pengelola praktek-praktek PHBM? Banyak masalah yang kami semua hadapi, dan di sini kami duduk bersama untuk menjadikan itu sebagai masalah bersama. Dan semua kelompok pengelola hutan nagari maupun hutan kemasyarakatan akan saling berbagi untuk mencari solusi. Belum berjalannya sentralisasi pelayanan pemerintah terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi kendala yang kami hadapi saat ini. Misalnya saja, belum terhubung nya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengakomodir kepentingan dalam tindakan peningkatan kesejahteraan untuk nagari-nagari yang berkomitmen dalam pelestarian hutan. Kami butuh adanya kerjasama semua instansi pemerintah untuk membantu proses yang dilakukan, masalah PHBM bukan semata masalah Dinas
Johni Wardi datuk Rajo Penghulu. Foto Elviza Diana
Kehutanan, tapi ini juga seharusnya menjadi perhatian bagi dinas peternakan, dinas pariwisata, dinas pendidikan, dan dinas lainnya. Sehingga ke depan akan adanya konsolidasi dengan para pihak terkait pengembangan dan implementasi skema – skema pemberdayaan masyarakat. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan apa yang menjadi latar belakangi banyak nagari tertarik dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat? Latar belakang pengusulan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat baik itu Hutan Nagari, dan Hutan Kemasyarakatan beragam. Kebanyakan adalah adanya keinginan untuk perlindungan dan proteksi hutan dari ilegal logging. Karena rata-rata kawan-kawan di sini hidup di nagari yang dikelilingi perbukitan, dan hutan menjadi nadi bagi kehidupan dan juga penyelamat dari bencana. Hutan yang selama ini kami jaga tidak memiliki pengakuan yang kuat dari negara agar kami bisa melarang atau membuat semacam pengamanan dari pembalakan maupun izin-izin perusahaan yang akan masuk. Selain itu adanya Gaung dari Simancuang yang sudah sukses dengan hutan nagari nya juga memicu kami untuk bisa merasakan dampak dari adanya hutan yang lestari. Sumber air adalah fungsi hutan yang teramat penting bagi kami yang manyoritas menggantungkan hidup dari pertanian. Dengan adanya hutan yang lestari, tentu saja kami tidak perlu khawatir lagi dengan kekeringan dan bencana. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
31
SUARA RIMBA
32
SUARA RIMBA oleh KKI WARSI, bekerjasama dengan Pokja PHBM Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, BPDAS Agam Kuantan dan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman. SK ini menjawab kegelisahaan masyarakat yang kini memiliki kekuatan hukum untuk mencegah aksi pembalakan di kawasan hutan di lingkup nagari mereka. Tak hanya bencana ekologis yang ditakutkan, namun juga untuk memastikan sumber mata air selalu terjaga. Dari Sungai yang mengalir di Sungai Buluah ini, merupakan sumber air PDAM untuk ribuan masyarakat Padang Pariaman, termasuk kebutuhan air bersih untuk Bandara Internasional Minang Kabau.
Hutan Nagari Sungai Buluah, yang dijaga masyarakat sebagai daerah tangkapan air yang kemudian dikelola PDAM sebagai sumber air bersih. Foto Rudi Syaf.
Sungai Buluah Menghadang Illegal Logging
S
ungai Buluah Nagari paling Timur di Kecamatan Batang Anai Padang Pariaman, berintegrasi langsung dengan kawasan hutan lindung di gugus Bukit Barisan. Topografi perbukitan dan kondisi kawasan hutan sangat mempengaruhi sistem kehidupan masyarakatnya. Masyarakat nagari yang terdiri dari 8 korong (jorong) itu memang mengandalkan hidupnya dari pertanian. Namun dalam pengelolaannya mereka menggunakan sistem pertanian berbasis agroforest.
Aksi ilegal logging ini sangat merugikan masyarakat, namun mereka tidak mampu berbuat banyak karena pengawasan kawasan menjadi wewenang pemerintah pusat karena berstatus sebagai Hutan Lindung. Masyarakat sama sekali tidak bisa terlibat mengelola sehingga tidak punya kewenangan untuk mencegah pelaku illegal logging yang berada di dalam hutan negara itu. Apalagi penjarahan dilakukan semakin ke hulu semakin jauh dari kampung.
Karet, tanaman buah seperti durian, jengkol petai dan tanaman buah lainnya tumbuh baik di kebun-kebun yang dikelola masyarakat, di kawasan yang berbukit. Kawasan hutan yang berada di bagian hulu, tidak diusik. Hutan di gugus Bukit Barisan ini merupakan daerah tangkapan air 14 anak sungai yang mengalir di Nagari Sungai Buluah, sebelum menyatu ke Batang Anai.
Bagi masyarakat legalitas pengelolaan menjadi penting. Apalagi pelaku pembalakan berasal dari daerah tetangga, sehingga tanpa legal standing yang tepat peneguran dan pencegahan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik sosial.
Masyarakat menyadari pengelolaan yang berkelanjutan sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Namun sayangnya kawasan hutan di sekitar nagari tak luput dari aksi penjarahan yang dilakukan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, sejak beberapa tahun belakangan. Galodo dan banjir menjadi ancaman nyata untuk kehidupan masyarakat, khususnya kala musim hujan tiba.
Untunglah kemudian keluar PP tentang Hutan Desa yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan di sekitar mereka sekaligus melakukan pengelolaan yang berkelanjutan. Masyarakat Sungai Buluah pun segara mengajukan hak kelola Hutan Desa. Hingga kemudian terbit SK nomor 856/Menhut-II/2013 pada tanggal 2 Desember 2013, tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Nagari kepada masyarakat Nagari Sungai Buluh seluas 1.336 Hektar. Proses fasilitasi pengusulan Hutan Nagari ini difasilitasi
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Sejak adanya SK nagari melalui kelompok pengelola, membuat aturan pengelolaan yang bisa langsung diimplementasikan. Salah satu hal kongkrit yang telah dilakukan oleh Wali Nagari dan Kelompok Pengelola Hutan Nagari Sungai Buluh adalah penangkapan pelaku illegal logging beserta barang bukti berupa kayu dan chainshaw, yang kemudian diserahkan ke pihak yang berwajib. Dengan adanya legitimasi hukum ini, masyarakat Nagari Sungai Buluah juga melakukan pengayaan kawasan hutan nagari dengan berbagai jenis tanaman kayu dan buah-buahan yang bermanfaat, melindungi kawasan ikan larangan dan mulai menguatkan kelembagaan pengelola hutan nagari sebagai lembaga perwalian pengelolaan hutan. Terjaganya Hutan Nagari, juga akan sangat berkontribusi besar bagi umat manusia, selain tetap terjaganya fungsi hidrologi bagi pengairan sawah serta sumber PDAM, mengurangi resiko bencana ekologis, juga berkontribusi bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Di samping juga upaya masyarakat menjaga hutannya ini menjadi bagian penting dari Indonesia untuk menurunkan emisi dari kegiatan pengelolaan hutan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan sekaligus mengendalikan pemanasan global. Indonesia sudah berkomitmen untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan seiring dengan target pemerintah RI untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan pihak luar pada 2020 nanti. Hal ini menjadi penting dilakukan mengingat Sumatera Barat memegang peranan penting sebagai salah satu daerah percontohan implementasi REDD + yang bertujuan untuk mengatasi pelepasan karbon ke atmosfer yang menjadi penyebab perubahan iklim. (Sukmareni)
Menhut Serahkan 4 SK Hutan Nagari
S
umatera Barat terus meraih asa untuk menjadi daerah yang paling luas areal kelola masyarakat dengan pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Setelah memiliki road map PHBM, dengan target pencapaian rekognisi areal seluas 500.000 ha selama 5 tahun, akan menjadikan Sumbar sebagai daerah yang memiliki pengelolaan hutan oleh masyarakat yang terluas di Indonesia. Untuk mewujudkan ini Sumbar telah memiliki arah kebijakan dalam pengelolaan hutan, yaitu aktivitas kehutanan berbasis nagari, mengutamakan partisipasi dan bagi manfaat, meningkatkan tanggung jawab masyarakat lokal dan memberikan jaminan kelola hutan jangka panjang. Sehingga akan menjadikan Sumbar menjadi provinsi terkemuka dalam pengelolaan sumber daya alam berbasiskan kearifan lokal. Salah satu capaiannya yaitu adanya pengakuan hak kelola masyarakat. Pemerintah Sumatera Barat melalui kelompok Kerja PHBM yang dimotori Dinas kehutanan Sumbar dan WARSI sudah mengidentifikasi lebih dari 110 nagari yang berpotensi untuk mendapatkan hak kelola dengan skema-skema yang sesuai dengan masyarakat setempat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini, merupakan salah satu langkah mengembalikan kedaulatan masyarakat atas hutan. Usulan-usulan hutan nagari, Hutan Kemasyarakat terus mengalir ke meja menteri kehutanan. Meski proses pengajuan hak kelola hutan desa ini cukup rumit dan panjang. Namun masyarakat tetap bersemangat untuk mengajukan hak kelola mereka. WARSI pun berupaya melakukan advokasi kebijakan supaya ada perbaikan dalam tata laksana perizinan sehingga tidak panjang dan melelahkan. WARSI dengan masyarakat dampingan terus mengupayakan hak kelola sehingga hutan bisa dimanfaatkan masyarakat. Belum lama ini Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan disela-sela acara Rakor MP3EI Koridor Sumatera hari ini dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian dan diikuti oleh Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri-menteri bidang ekonomi lainnya beserta seluruh Gubernur se-Sumatera, berkesempatan menyerahkan
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
33
34
SUARA RIMBA
empat SK Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Nagari. Menteri menyerahkan SK 701/Menhut/II/2014 seluas 3.398 Ha untuk Nagari Sirukam Kecamatan Payung Sekaki, Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti dengan SK No. 702/Menhut/II/2014 seluas Sumatera Barat terus meraih asa untuk menjadi daerah yang paling luas areal kelola masyarakat dengan pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Setelah memiliki road map PHBM, dengan target pencapaian rekognisi areal seluas 500.000 ha selama 5 tahun, akan menjadikan Sumbar sebagai daerah yang memiliki pengelolaan hutan oleh masyarakat yang terluas di Indonesia. Untuk mewujudkan ini Sumbar telah memiliki arah kebijakan dalam pengelolaan hutan, yaitu aktivitas kehutanan berbasis nagari, mengutamakan partisipasi dan bagi manfaat, meningkatkan tanggung jawab masyarakat lokal dan memberikan jaminan kelola hutan jangka panjang. Sehingga akan menjadikan Sumbar menjadi provinsi terkemuka dalam pengelolaan sumber daya alam berbasiskan kearifan lokal. Salah satu capaiannya yaitu adanya pengakuan hak kelola masyarakat. Pemerintah Sumatera Barat melalui kelompok Kerja PHBM yang dimotori Dinas kehutanan Sumbar dan WARSI sudah mengidentifikasi lebih dari 110 nagari yang berpotensi untuk mendapatkan hak kelola dengan skema-skema yang sesuai dengan masyarakat setempat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini, merupakan salah satu langkah mengembalikan kedaulatan masyarakat atas hutan dengan SK No. 704/Menhut/II/2014 seluas 4.500 ha.
SUARA RIMBA dampaknya berupa susutnya air sungai yang dijadikan sumber pengairan sawah. Kekhawatiran kehilangan sumber mata pencarian menjadi momok masyarakat.
keperluan irigasi sawah organik ini, masyarakat sangat perlu menjaga hutan yang menjadi daerah tangkapan air mereka sebagai sumber irigasi.
Kini dengan adanya pengakuan hutan nagari, masyarakat memiliki legalitas untuk mengamankan wilayah hutan di sekitar desa mereka sekaligus memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pun demikian dengan Nagari Sariak Alahan Tigo Kecamatan Hiliran Gumanti, masyarakat desa ini sejak beberapa tahun ini mengembangkan pertanian organik untuk meningkatkan pendapatan mereka. Dengan pertanian organik, biaya produksi menjadi lebih ringan karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia, produk yang dihasilkan pun sehat. Dengan pola pertanian ini, pendapatan masyarakat bisa meningkat. Namun untuk
Izin pengelolaan Hutan Desa berumur selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Dengan ribuan keluarga dapat memanfaatkan hasil hutan diantaranya Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti bambu, kayu manis, dan madu. Di samping itu juga di bawah tegakan dapat dimanfaatkan untuk tanaman seperti karet, kopi, cokelat, dan cengkeh serta jamur tiram. Hutan Desa juga merupakan sumber air yang sangat penting bagi pengairan sawah, sumber air bersih, budidaya ikan, serta dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga mikro. (Sukmareni)
Penyerahan secara simbolis dilakukan Menteri kepada masing-masing wali nagari yang bertempat di Hotel Ina Muara Padang. Penyerahan SK PAK Hutan Nagari ini, menambah pengakuan hak kelola masyarakat oleh Pemerintah, total sudah 40.000 ha kawasan hutan yang dikelola masyarakat dengan skema Hutan Nagari dan Hutan Kemasyarakatan masing-masing di 11 nagari. Pengelolaan hutan yang disetujui pemerintah pusat ini, memiliki arti penting bagi masyarakat setempat. Hal ini karena nagari yang memperoleh SK hutan Nagari ini berada di punggungan Bukit Barisan, dengan topografi perbukitan, serta kekayaan sumber daya hutan yang baik. Kondisi ini menjadikan hutan di sekitar nagari sebagai penjaga ekosistem untuk mencegah longsor serta menjamin pasokan air untuk irigasi ke areal persawahan yang menjadi mata pencarian masyarakat nagari. Hanya saja, pihak lain banyak yang usil dengan melihat sumber daya khususnya kayu sehingga terjadilah ilegal logging. Bagi masyarakat Sirukam SK yang mereka terima akan menjadi bukti legalitas untuk mengelola hutan nagari, yang sebelumnya sudah difungsikan sebagai kawasan lindung, namun di ganggu pihak luar dengan melakukan penebangan di hutan. Kini dengan SK hutan nagari masyarakat punya kekuatan hukum untuk mencegah pelaku ilegal logging di kawasan yang menjadi hulu air untuk areal persawahan. Hal serupa juga dialami oleh masyarakat Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti. Nagari ini menjadi gempuran illegal logging sejak 1999, dan puncaknya 2005. Akibat illegal logging yang dimodali nagari tetangga ini,
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Berada di lingkup perbukitan menjadikan masyarakat sangat sadar dengan bencana yang mengancam jika pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan dengan lestari dan berkelanjutan. Foto Lander RJ/Dok KKI WARSI.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
35
AKTUAL
36
AKTUAL Nagari yang ditinggalkan ini semakin terpuruk, ada 215 Kepala Keluarga yang tinggal nagari seluas 1400 hektar. “Yang muda-muda pergi merantau, jadi hampir separuh penduduk di sini didiami oleh yang tua-tua ini,” kata Eva salah seorang warga. Di tinggal merantau warganya, nagari Indudur menyisakan banyak lahan terlantar. Banyaknya lahan terlantar ini menjadi perhatian khusus bagi Wali Nagari Indudur, Zofrawandi Rangkayo Mudo untuk mengembalikan semangat bertani di masyarakatnya. Sejak 2007, Zofrawandi bekerja sama dengan badan musyawarah nagari dan tokoh-tokoh masyarakat menetapkan peraturan nagari terkait dengan peningkatan ekonomi yang tertuang dalam Peraturan Nagari N0. 2 Tahun 2007. “Dalam peraturan nagari itu tertuang adanya aturan untuk mewajibkan masing-masing kepala keluarga menyiapkan lahan seluas setengah hektar tanaman tua yang bernilai ekonomi seperti karet, cokelat, pinang dan damar. Sementara untuk calon pengantin juga diwajibkan menyiapkan lahan seperempat hektar untuk ditanami tanaman yang sama,” jelasnya.
Harapan Bagi Indudur, Nagari yang Ditinggalkan
A
mril Marlin Malelo (60), Anggota Badan Musyawarah Nagari menatap sedih dengan surutnya air Sungai di belakang Masjid Jami’ Baiturahman yang dulu menjadi tempat masyarakat Nagari Indudur, Kecamatan IX Koto Sungai Lasi Kabupaten Solok memenuhi kebutuhan air mereka. Spontan Amril mengisahkan kenangan masa kecilnya yang tertinggal pada aliran satu-satunya sungai kebanggaan di nagarinya. Batu-batu besar yang teronggok pada aliran sungai seakan menjadi saksi dari derasnya aliran sungai itu dulunya. “Saya juga bingung kenapa sungai sekarang menjadi kecil, kalau dulu saya dan teman-teman berenang di sana. Banyak ikan di sungai ini dan kami juga sempat menggunakan kincir air sebagai pembangkit listrik,” ujarnya.
Kita harus melalui jalan setapak di perbukitan jika ingin berkunjung ke Nagari Indudur. Berada di punggung bukit barisan dengan topografi yang curam membuat hutan menjadi bagian yang terpenting untuk menghindarkan nagari ini dari bencana. Topografi perbukitan memberikan keindahan alam untuk Nagari ini. Namun sayangnya keindahan alam Nagari Indudur ini, tidak menyurutkan keinginan masyarakatnya meninggalkan kampung halaman, banyak generasi muda memilih hidup merantau, sebagaimana kebiasaan Orang Minang Kabau pada umumnya. Saat ini, Nagari Indudur hanya didominasi oleh kaum tua. “Sawah-sawah yang susah diolah dan tandus ini membuat banyak orang di sini merantau ke luar. Mereka mencari mata pencaharian yang lain yang lebih bisa menjamin kehidupannya,” sambung Amril.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Keberadaan Hutan lindung yang berada di Gunung Barangkek atau dikenal masyarakat dengan sebutan Batu Karak, merupakan hulu dari sungai yang menjadi sumber mata air di nagari ini juga mendapatkan perhatian khusus. Mulai 2008 lalu, dikeluarkan peraturan nagari tentang pemeliharaan tanaman kehutanan dan perkebunan. Dalam peraturan nagari itu dimuat beberapa poin tidak dibenarkan melakukan penebangan dan membakar hutan dan kebun.
Peraturan-peraturan bukan ditetapkan dan kemudian dibiarkan begitu saja, setiap dua kali dalam setahun dilakukan monitoring. “Menanam adalah sebuah pekerjaan yang mudah, namun memelihara tanaman itu hingga membuahkan hasil menjadi tantangan yang berat. Kami akan pantau perkembangan bibit yang ditanam masyarakat di lahannya. Jika lebih dari 70 persen tanamannya mati, maka akan dicari tahu dulu penyebabnya. Jika memang ada masalah pada bibit, maka akan dicarikan solusinya. Namun matinya tanaman karena kemalasan, kami akan lakukan sidang adat,” imbuhnya Jika ada pelanggaran maka akan diselesaikan secara adat. Tahapan pertama yang dilakukan jika adanya pelanggaran adalah melalui pemanggilan dan musyawarah, jika masih belum juga bisa berubah maka akan dikenakan denda sebanyak dua sak semen. Hingga untuk ketiga kali, jika masih ada masyarakat yang melakukan kesalahan yang sama maka dia akan mendapat hukuman yang sangat berat, yaitu pemerintah nagari dan adat akan lepas tangan terhadap segala urusannya di dalam nagari. Namun jika ada masyarakatnya yang taat terhadap peraturan, akan mendapatkan penghargaan. Setiap tahun akan dipilih satu orang masyarakat teladan yang akan dihadiahi berbagai macam alat pertanian. “Kita juga memberikan penghargaan bagi masyarakat yang taat dengan peraturan nagari yang ada, biasanya ini akan diplih setiap tahunnya”, kata wali nagari yang pernah meraih penghargaan wali nagari peduli kehutanan ini.
Lanskap Nagari Indudur. Foto Elviza Diana
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
37
AKTUAL
38 38
AKTUAL
Terbentuk Pokja PHBM Sarolangun
S
arolangun merupakan salah satu kabupaten yang menjadi basis pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Di Kabupaten ini terdapat sejumlah inisiasi untuk pengakuan hak kelola rakyat berupa hutan adat dan hutan desa. Tentu saja perjuangan hak kelola rakyat ini harus disinergikan dengan program lainnya di kabupaten ini, sehingga bisa berjalan dengan baik.
Pertemuan Forum Komunikasi PHBM Sumbar di nagari Indudur. Foto Hamdani
Hutan Kemasyarakatan Sebagai Solusi Sejak Dua tahun yang silam, Nagari Indudur telah mengajukan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dengan pola Hutan Kemasyarakatan. Hingga pertengahan tahun lalu, Nagari Indudur mendapatkan SK Areal Penetapan Kawasan seluas 588 hektar untuk Hutan Kemasyarakatan. Keberadaan Hutan kemasyarakatan ini sekaligus menjadi upaya mereka dalam penyelamatan hutan lindung yang berada di Gunung Barangkek yang juga memegang peranan penting bagi sumber air di nagari itu. Pola-pola pengeloaan hutan berbasis masyarakat ini bermanfaat dalam melindungi legalitas masyarakat serta memperkcecil terjadinya konflik tenurial. Perluasan kawasan kelola masyarakat itu melalui berbagai skema PHBM berupa Hutan Adat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Upaya ini diharapakan tidak hanya berkontribusi dalam upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan stok dan serapan karbon hutan, serta pengelolaan hutan secara lestari. Namun yang tidak kalah penting adalah upaya-upaya meningkatkan akses dan keberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Riche Rahma Dewita, Koordinator Ekosistem Aliansi menyebutkan menyebutkan PHBM juga dapat menjadi instrumen resolusi konflik untuk menjamin kepastiaan hak dan keadilan tenurial hutan bagi masyarakat yang hidup dan bergantung di dalam dan sekitar kawasan hutan. “Kita tidak hanya berpikir bagaimana skema PHBM ini sebagai upaya dalam menurunkan emisi dari deforstasi dan degradasi hutan, tapi yang terpenting ini juga alat resolusi konflik yang marak terjadi saat ini,” jelasnya.
Sesuai dengan komitmen Propinsi Sumatera Barat dengan mengalokasikan 500.000 hektar kawasan hutan dikelola oleh masyarakat melalui skema hutan nagari, hutan kemasyarakatan dan hutan adat. Hingga saat ini terdapat 108 Nagari yang sedang dalam proses yang berbeda untuk mendapatkan kewenangan pengelolaan hutan. Dalam perkembangannya, kelompok – kelompok pengelola hutan nagari dan kelompok pengelola Hkm dalam berbagai kesempatan saling belajar mendiskusikan tantangan - tantangan dalam menginisiasi skema – skema hutan nagari dan Hkm dan menemukan solusi dan pembelajaran melalui diskusi saling belajar tersebut karena itu dibutuhkan media untuk saling belajar, mendiskusikan berbagai persoalan dalam implementasi pengelolaan hutan, media berdiskusi ini kami sebut “Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat – Sumatera Barat (FK PHBM – Sumatera Barat). Nagari Indudur yang saat ini sedang menanti keluarnya Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dari Bupati Solok dipilih menjadi tuan rumah pada pertemuan ketiga FK BHBM ini. Ketua Forum Komunikasi PHBM Sumatera Barat Johni Wardi Datuk Rajo Penghulu, menyebutkan banyak pelajaran yang bisa didapatkan dari masing-masing nagari yang saat ini sedang dalam proses pengusulan hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. ”Forum ini menjadi media saling belajar antar lembaga atau kelompok pengelola hutan dan media untuk menjaring aspirasi terkait kebijakan pengelolaan hutan di Sumatera Barat dan Indonesia yang mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan keberadaan masyarakat di sekitar hutan,” sebutnya. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Untuk mencapai ini, tentu diharapkan adanya sebuah lembaga atau Forum PHBM sudah lama diidamkan. Keinginan tersebut mulai dicetuskan oleh penggiat kehutanan dan konservasi alam sekitar tahun 2007, namun ide dan gagasan tersebut lama baru mendapat respons dari para pihak terkait. Untungnya niat baik dan perjuangan yang tak pernah padam ini, akhirnya mendapat respons dari Bupati Sarolangun. Dengan keluarnya SK Bupati Sarolangun No 56/BUNHUT/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (POKJA PHBM) Sarolangun. Forum ini adalah sebuah lembaga yang bekerja dan beraktifitas dalam rangka mengawal kegiatan-kegiatan PHBM di kabupaten mulai dari inisiasi, fasilitasi penyiapan dokumen dan pendampingan serta monitoringnya. POKJA yang melibatkan beberapa instansi dan SKPD di daerah, diharapkan mendorong percepatan kegiatan dan program-program PHBM sekaligus mensejalankannya dengan TUPOKSI masing-masing instansi yang terlibat. POKJA PHBM memuat tujuh butir tugas dan fungsi kelembagaan antara lain : a. Melakukan identifikasi dan inventarisasi lokasi potensial untuk pengembangan dan perluasan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. b. Melakukan sosialisasi dan konsultasi berbagai skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya c. Melakukan fasilitasi proses pengurusan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten meliputi penyusunan perencanaan, pembinaan dan pendampingan hingga mediasi penyelesaian konflik pengelolaan hutan dalam skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
Anggota Pokja PHBM Sarolangun tengah berdiskusi. Foto Agus Sumarli/Dok KKI WARSI
d. Mendorong Kebijakan yang mendukung skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. e. Menyusun konsep rancang bangun penerapan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor kehutanan; f. Memberikan rekemondasi kepada pemerintah dan atau institusi terkait untuk mendukung skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat. g. Sebagai pusat data dan informasi skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sarolangun. Saat ini kelompok kecil yang dimotori oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun khususnya bidang PKBHKA, KKI WARSI dan FFI, sudah melakukan kurang lebih enam kali pertemuan untuk mendiskusikan Draft Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) POKJA PHBM. Harapannya bisa dijadikan sebagai Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sarolangun. Dari pertemuan-pertemuan tersebut tim kecil masih mencari format yang sederhana. Ada beberapa skema-skema PHBM yang nantinya akan dijabarkan dalam Perbup tersebut, seperti Skema Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan kemitraan serta lain-lain. Rencana ke depan draf JUKLAK PHBM ini akan didiskusikan dengan seluruh elemen lembaga yang tergabung dalam POKJA PHBM baik dari instansi pemerintah atau SKPD yang ada maupun dengan LSM dan NGO yang masuk di dalam SK POKJA PHBM tersebut. Diharapkan dari pertemuan tersebut muncul-muncul ide-ide cemerlang dan segar lainnya demi melaksanakan amanat kerja POKJA PHBM serta menjadikan kabupaten Sarolangun tetap hijau dengan kawasan hutan yang selalu terjaga dan terpelihara secara partisipatif dan berkelanjutan...semoga. (Agus Sumarli)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
39 39
AKTUAL
40
Pemetaan Potensi Ruang Mikro Desa PHBM di Bungo
S
etiap pembangunan bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Agar tujuan itu bisa diwujudkan, pembangunan perlu dilakukan melalui perencanaan matang. Dengan perencanaan yang matang, setiap pembangunan yang dilakukan diharapkan tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hal ini, perencanaan memiliki posisi penting untuk menentukan berhasil atau tidak setiap kegiatan pembangunan. Sebagaimana dipaparkan Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan. Perencanaan dapat pula ditafsirkan sebagai suatu proses pengambilan keputusan berdasarkan fakta-fakta terkait kegiatan yang akan dilaksanakan guna mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sehingga sangat disayangkan, ketika hal penting tersebut tidak diterapkan dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jika hal itu tidak diakomodir seringkali berdampak pada pembangunan yang tidak tepat sasaran. Untuk menciptakan pembangunan yang baik, dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawahatas (bottom-up). Dengan merujuk pada Undang-undang tersebut masyarakat memiliki peluang untuk dilibatkan dalam rangka mencapai pembangunan yang tepat sasaran. Perencanaan bottom up bisa menjadi jalur masuk untuk menghimpun masukan dari bawah (masyarakat desa). Perencanaan bottom up ini dimulai dari mencari input data di tingkat desa. Penggalian informasi dan masukan yang dibutuhkan untuk pembangunan bisa didapat melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Namun, perencanaan pembangunan melalui pendekatan bottom up yang dilakukan selama ini juga memiliki banyak kelemahan. Pertama, keterwakilan masyarakat desa hanya oleh tokoh-tokoh elite dan beberapa orang pemerintahan desa saja; kedua, rencana pembangunan yang diusulkan hanya berdasarkan keinginan dari keterwakilan masyarakat desa saja, sehingga tidak sistematis atau digali dari aspirasi masyarakat desa berdasarkan potensi yang ada; ketiga, belum ada database tentang potensi ruang dan kondisi sosial masyarakat desa yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan desa; keempat, agenda Musrenbang desa belum dijadikan sebagai suatu media penting dalam upaya penyusunan perencanaan pembangunan yang sinkron mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat. Musrenbang hanya sebagai agenda formalitas; kelima, usulan perencanaan pembangunan desa mayoritas dalam bentuk fisik; keenam, penyelenggaraan pembangunan seringkali dijumpai kurang manfaatnya bagi seluruh masyarakat desa. Jika hal itu dipertahankan maka efektivitas Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 yang bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama akan terkendala. Undang-undang ini juga bertujuan membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan dan kesejahteraan umum. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
AKTUAL nyusun perencanaan pembangunan desa benar-benar dapat diwujudkan. Dengan demikian, desa-desa dapat menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menegah dan Panjang berdasarkan potensi ruang yang ada dengan mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena usulan rencana pembangunan di tingkat desa dilaksanakan berdasarkan potensi ruang yang ada. Jika ini bisa dilakukan akan terjadi sinkronisasi perencanaan pembangunan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional. Untuk mendukung ini KKI WARSI bersama Bappeda Bungo dan masyarakat tengah melakukan kegiatan pemetaan potensi ruang mikro desa-desa PHBM yang ada di Kecamatan Bathin III Ulu. Kegiatan ini bertujuan melakukan pemberdayaan masyarakat desa dalam melakukan pemetaan potensi ruang mikro desa secara spasial dan sosial. Dengan demikian, akan terbangun peran aktif masyarakat desa dalam penyusunan data base tata ruang mikro dan penyusunan RPJMDes. Tujuan lainnya adalah untuk mempersiapkan data base potensi ruang mikro desa sebagai acuan dalam penyusunan RPJMDes. Sehingga nanti akan ada sebuah model RPJM desa-desa PHBM. Kemudian model data base tata ruang mikro desa-desa PHBM ini diharapkan dapat diterima dan menjadi model database desa oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo. Pada tahapan selanjutnya, database tata ruang mikro desa-desa PHBM ini diharapkan masuk ke website Bappeda Bungo. Hasil akhirnya adalah tersedianya dokumen database potensi tata ruang mikro di setiap desa PHBM yang ada di Kabupaten Bungo dalam bentuk elektronik dan cetak yang dapat diakses dengan mudah oleh berbagai pihak yang membutuhkan. Database tata ruang mikro ini diharapkan akan jadi acuan masyarakat desa untuk menyusun RPJM desa berdasarkan amanah Undangundang desa tahun 2014.
Kepala Bappeda Kabupaten Bungo, Dedi Irawan mengatakan bahwa kegiatan pemetaan potensi ruang mikro desa-desa PHBM ini adalah kebutuhan dasar Kabupaten Bungo dalam rangka mengembangkan suatu perencanaan berdasarkan kondisi aktual. Sebab hingga saat ini informasi terkait kondisi pemanfaatan ruang dan sosial masyarakat di Kabupaten Bungo masih tersebar di masing-masing instansi terkait. Selama ini keberadaan informasi tersebut belum dimanage dengan baik sehingga belum bisa diakses oleh semua orang dengan mudah. Untuk itu, pihaknya sangat mendukung kegiatan pemetaan yang meliputi semua potensi, ruang, dan pengelolaan SDA yang ada di Kabupaten Bungo. Dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam menyampaikan informasi diharapkan penyebarannya bisa lebih cepat. Untuk itu ia meminta dukungan dan bantuan dari masing-masing SKPD dalam mensukseskan kegiatan tersebut. “Karena berbasis IT, data–data ini nanti dapat diakses oleh kita dan publik dimana pun, seperti data penduduk, potensi, anak sekolah, akses investor, maupun lowongan kerja,” katanya. Dalam rangka mendukung proses penyempurnaan sistem pengumpulan data dan analisis data, semua instansi terkait di Kabupaten Bungo juga harus melihat apakah kegiatan yang dirancang tersebut sudah memenuhi kebutuhan daerah. Pihaknya juga akan mengkaji kebutuhan anggaran, waktu, tenaga kerja, dan keperluan lainnya untuk kegiatan pemetaan tataruang mikro di Kabupaten Bungo. “Kita juga akan membentuk kelompok kerja untuk menyelesaikan kegiatan ini. Karena data ini untuk kebutuhan kita Kabupaten Bungo.” ungkapnya. (Herma Yulis)
Surveyor WARSI (kiri) tengah berdiskusi dengan masyarakat dalam pembuatan peta partisipatif. Foto Heriyadi/Dok KKI WARSI.
Agar semua itu bisa diakomodir, maka perlu dilakukan kegiatan pemetaan potensi ruang mikro desa secara lengkap (spasial dan sosial), detail dan mudah diakses oleh masyarakat desa khususnya dan Pemerintahan Daerah (Bappeda) umumnya. Harapannya, dengan melalui kegiatan ini keterlibatan masyarakat dalam me-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
41
MATAHATI
42
MATAHATI naman ini biasanya ditanam di areal kebut kulit manis yang masih berusia muda dan tutupan kanopinya masih jarang. Hasil produksi komoditi-komoditi ini biasanya di ambil langsung di jemput oleh pedagang pengumpul untuk disebar ke sejumlah kota di Sumatera. Areal persawahan yang terbentang di desa ini, juga dimanfaatkan untuk bertanam padi dengan masa panen dua kali setahun. Umumnya sawah mereka telah menggunakan bibit unggul. Hasil produksi selain untuk kebutuhan harian juga di jual. Pola pertanian dan pengelolaan lahan yang dilakukan masyarakat mencerminkan kepiawaian masyarakat mengelola sumber daya alam yang akan menunjang kehidupan mereka hingga anak cucu kelak. Terlihat bahwa pemanfaatan lahan meski dilakukan dengan baik yang tentu pola pemanfaatan ini berdasarkan pengalaman dari masa lalu, yang melahirkan kearifan lokal. Selain mengelola sumber daya dengan baik, masyarakat juga memproteksi sejumlah daerah yang merupakan hutan hulu air. Kawasan hutan yang dianggap sebagai daerah tangkapan air, yang menjadi sumber air irigasi. Hutan HP3M dan Peluang Masyarakat Memanfaatkannya
Masyarakat Bintang Marak, menggantungkan sumber penghidupan dari pertanian. Foto : Nopri Hidayat/Dok KKI WARSI.
Mengukur Persepsi Masyarakat Untuk Skema PHBM
T
alang Kemuning dan Bintang Marak, dua desa yang berada di Kecamatan Bukit Karmen Kabupaten Kerinci, mengajukan hak kelola hutan adat kepada Bupati. Bagi masyarakat desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, hutan memiliki arti dan fungsi untuk menunjang kehidupan masyarakatnya. Pemilihan bentuk kelola hutan adat yang diajukan masyarakat, terlebih dahulu diawali dengan adanya Studi Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan Hutan dan Kearifan Adat dalam Mempertahankan Kawasan Hutan : Studi kasus desa Talang Kemuning dan desa Bintang Marak, yang dilakukan WARSI belum lama ini. Dari studi yang telah dilakukan sebagian besar masyarakat Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak memandang kawasan hutan di desa mereka sebagai kawasan yang perlu terus dipertahankan sebagai pemberi manfaat secara ekologi bagi masyarakat desa, terutama sumber air sawah mereka dan pencegah datangnya bencana alam. Meski juga ada sebagian kecil masyarakat yang beranggapan bahwa hutan merupakan kawasan cadangan untuk perladangan.
Hampir semua warga ke dua desa ini merupakan petani sawah dan ladang. Sektor pertanian yang merupakan primadona masyarakat berupa pertanian sawah dan perkebunan. Kayu manis (Casiavera) merupakan primadona masyarakat desa ini, hampir sama dengan sebagian besar desa lainnya di Kerinci yang menjadikan kayu manis pohon perkebunan utama mereka. Kayu manis dengan sekali siklus 8 tahun merupakan tanaman cadangan yang bisa dimanfaatkan sebagai ‘tabungan’ untuk kebutuhan besar. Pengelolaan kayu manis yang dikelola warga juga sangat memperhatikan kelestarian, hal ini terlihat dari sistem tanam yang tidak melakukan land clearing. Pun setelah sekali daur panen, tidak akan dibongkar batang lama. Dengan sedikit perawatan akan muncul tunas baru dan kemudian bisa tumbuh baik dengan kualitas tidak berubah dari batang utama. Dengan cara pengelolaan ini tentulah sangat baik untuk tanah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat mengelola ladang-ladang yang ditanami dengan beraneka jenis tanaman semusim, seperti tanaman cabe, tomat, kacang merah dan beberapa jenis sayuran. Ta-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Masyarakat Kerinci memang berada di lingkup TNKS hampir 57,89% dari luas wilayah Kerinci berstatus kawasan konservasi. Sempat terjadi sengkarut dengan masyarakat, karena sebagian kawasan kelola masyarakat berada di dalam kawasan. Untuk itulah pada tahun 1999, sebagian kawasan TNKS dilepas menjadi hutan produksi yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah. Kawasan inilah yang diberi nama Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat (HP3M), seluas 28.655 Ha, kawasan ini, termasuk yang berada di sekitar Desa Talang kemuning dan Bintang Marak. Meski berstatus sebagai Hutan Pola partisipatif, namun hingga kini kawasan hutan ini belum dimanfaatkan atau dikelola masyarakat secara langsung. Padahal terlibatnya masyarakat mengelola hutan menjadi bagian penting khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentu dengan syarat pengelolaan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), seperti hutan adat, hutan desa, HKm seharusnya bisa dikembangkan di desa-desa yang berada di sekitar hutan. Dari studi persepsi yang dilakukan, maka masyarakat kedua desa ini kemudian bersepakat untuk mengajukan hak kelola hutan adat kepada Bupati Kerinci. Hal ini dilatar belakangi persepsi masyarakat yang kuat akan nilai-nilai adat dalam mengelola kawasan hutan mereka. Apalagi kedua desa ini, berada dalam satu kesatuan adat karena memang dulunya keduanya hanya satu
Lanskap desa Bintang Marak dan Talang Kemuning, desa penyangga TNKS. Foto Novri Hidayat/Dok KKI WARSI
desa yang kemudian dimekarkan. Tetapi terkait sengat adat kedua desa ini masih sepakat untuk berada dalam satu lembaga adat. Surat permohonan pengajuan hutan adat sudah di sampaikan masyarakat kepada Bupati Kerinci, Oktober 2014 ini. Kepada Bupati, masyarakat berargumen bahwa mereka telah lama melakukan pengelolaan hutan secara arif dan lestari. Pengelolaan yang dilakukan dengan menggunakan aturan adat yang menjadi tradisi turun-temurun, ternyata mampu menjaga kelestarian kawasan hutan untuk mendapatkan manfaat secara ekonomi dan ekologi. Beberapa aturan terkait yang mendukung hal tersebut, sebagai contoh; adanya aturan turut menjaga kawasan konservasi (Taman Nasional Kerinci Seblat), adanya kawasan lindung adat, melindungi sepadan sungai dan hulu sungai, sebagai sumberdaya alam yang harus tetap terjaga, diantaranya telah tertuang didalam Kesepakatan Konservasi Desa. Kawasan yang diajukan untuk dikelola dengan skema hutan adat ini adalah kawasan hutan Bukit Sungai Kering dan Bukit Sungai Seruk. Kedua kawasan ini, dianggap sangat penting bagi masyarakat, karena selain sebagai kawasan penyangga TNKS, fungsi pentingnya adalah sebagai kawasan hulu air DAS Grao Sikai dan Batang Jujun. Dimana dengan terjaganya kawasan tersebut akan memberikan manfaat langsung bagi kedua desa, yaitu terjaganya sumber air sebagai penopang kehidupan dan untuk menghindari bencana longsor dan kekeringan. Harapannya hak kelola hutan adat ini mendapat respon dari pemerintah. Pelibatan langsung masyarakat mengelola hutan akan memberikan manfaat nyata bagi kelangsungan kehidupan, baik itu manfaat ekonomi maupun secara ekologi. (Ilesnawati & Nopri Hidayat)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
43
44
MATAHATI
MATAHATI
Undang-Undang Desa Dukung Pengelolaan Hutan Secara Lestari
D
esa sebagai ujung tombak pemerintahan terbawah, memiliki otonomi dalam mengatur pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat. Hal itu perlu dipahami dengan baik oleh setiap aparatur pemerintahan desa. Selain aparatur desa, masyarakatnya pun diharapkan ikut mengawasi dan berperan aktif melalui musyawarah desa agar pelaksanaan pembangunan di desa bisa benar-benar efektif, tepat sasaran, transparan dan akuntabel. Peluang menciptakan kondisi tersebut semakin terbuka setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberi peluang bagi pemerintah desa untuk memasukkan nilai-nilai kearifan lokal dalam penyusunan produk hukum. Selain memiliki dampak positif bagi masyarakat desa secara umum, Undang-undang ini juga memberikan lampu hijau bagi Komunitas Pengelola Hutan Desa (KPHD). Lembaga ini bisa memainkan peran penting dan memberikan kontribusi dalam rangka menciptakan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Sebab, partisipasi masyarakat di desa merupakan bagian penting dari proses penjagaan dan pelestarian sumber daya hutan yang kolaboratif dengan melibatkan seluruh elemen di desa maupun antar desa yang secara ekologi saling berhubungan satu sama lainnya. Agar upaya pengelolaan hutan ini bisa sinkron antar setiap desa, diperlukan melakukan penguatan jaringan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan dan terlibat dalam pengelolaan hutan dengan skema hutan desa. Dan kesempatan itu mendorong KPHD di lima dusun di Kabupaten Bungo membangun jaringan dalam rangka menjaga keberlangsungan pengelolaan hutan yang lestari dan berdayaguna. Dusun-dusun itu adalah Senamat Ulu, Lubuk Beringin, Laman Panjang, Buat, dan Sungai Telang. Terkait hal itu KKI WARSI bekerja sama dengan Bagian Hukum Pemda Muara Bungo menggelar lokalatih guna memfasilitasi penguatan peran dan fungsi aparatur pemerintah desa dalam pembuatan aturan lokal di desa dan membangun jaringan pemantauan dalam pengelolaan sumber daya alam di desa yang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selain membekali aparatur desa dan pihak pengelola hutan desa, kegiatan lokalatih yang digelar di hotel Semagi Muarabungo beberapa waktu lalu, menyepakati pembentukan forum kelompok pengelola hutan desa di Kabupaten Bungo. Melalui ja-
ringan ini diharapkan informasi dan daya dorong untuk menerbitkan aturan terkait kehutanan di daerah tersebut ke depan akan semakin baik. Forum ini akan menjadi jejaring pemantauan pengelolaan kawasan hutan secara partisipatif dan kolaboratif, yang melibatkan para pihak dari tingkat desa dan pemerintah daerah. Koordinator Project KKI WARSI Adi Junaidi mengatakan, lahirnya undang-undang No. 6 Tahun 2014 ini sangat menguntungkan bagi masyarakat desa, karena ia memberikan kewenangan yang lebih luas kepada desa untuk mengelola dan mengatur desanya sendiri. Bahkan desa diberikan pilihan untuk kembali menjadi desa adat atau tidak. Keputusan akhirnya tergantung dari kesepakatan masing-masing desa. Keputusan yang akan diambil tentu saja dengan melihat realita yang ada di desa tersebut. “Ketika suatu desa memilih untuk memiliki desa adat, masih ada tidak masyarakat adatnya?” ujarnya. Untuk itu dibutuhkan fungsi pengelolaan dan pengaturan desa yang baik. Dalam hal ini yang memiliki peran besar adalah Kepala Desa dan BPD. Misalnya dalam pembuatan Perdes, dengan pemahaman yang memadai para aparatur desa tersebut, mereka akan bisa menggali nilai-nilai positif dan kearifan lokal yang selama ini ada di tengah masyarakat. Termasuk kearifan lokal mereka dalam melestarikan sumber daya hutan melalui skema hutan adat atau hutan desa. “Dengan adanya undang-undang ini, aparat desa memiliki peluang untuk membuat regulasi sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku berdasarkan dari nilai-nilai adat. Di sinilah akan dipertemukan nilai adat dan hukum negara. Keduanya jangan sampai bertentangan,” ungkapnya. Menurut dia, aparatur desa harus memahami hal itu dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat melalui pembuatan aturan yang ada di masyarakat agar bisa disinkronkan dengan hukum yang berlaku di negara ini. Sebab sekarang masyarakat bisa berperan sebagai pelaku utama, bukan lagi sebagai penonton dalam membuat produk hukum. Saat ini masyarakat bisa dilibatkan sebagai perencana dan memiliki peran pengawasan. Oleh karena itu harus dikuatkan dengan penerbitan aturan berupa Peraturan Desa (Perdes) yang disesuaikan dengan kondisi desa setempat.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Masyarakat desa tengah melakukan simulasi pembuatan peraturan desa. Foto Hermayulis / Dok KKI WARSI.
“Tujuannya adalah bagaimana nanti membuat aturan itu bisa sinkron dengan aturan hukum yang lebih tinggi,” paparnya. Untuk diketahui, penguatan pemahaman aparatur pemerintah dan masyarakat desa di sekitar kawasan hutan adalah komponen penting dalam partisipasi interaktif untuk memahami peraturan-peraturan, dalam kerangka pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Kegiatan ini merupakan upaya peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa, agar konsisten menerapkan peraturan yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dalam hal ini dengan melakukan penguatan lembagalembaga desa dan organisasi masyarakat desa diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pemerintahan di desa, maupun dalam penyusunan aturan lokal di desa sesuai dengan asasasas pembentukan peraturan-perundang-undangan yang baik, berkelanjutan dan berkeadilan.
Selanjutnya, aparatur pemerintah dan masyarakat desa serta lembaga yang diberikan hak kelola di dalam dan sekitar kawasan hutan merupakan komponen penting dalam partispasi interaktif untuk memahami peraturanperaturan, dalam kerangka pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Partisipasi masyarakat di desa merupakan bagian dari proses penjagaan dan pelestarian sumber daya hutan yang kolaboratif dengan melibatkan seluruh elemen di desa maupun antar desa yang secara ekologi saling berhubungan satu sama lainnya. Oleh karena itu penguatan jaringan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan dan terlibat dalam pengelolaan hutan dengan skema Pengelolaan Hutan di Kabupaten Muara Bungo sangat diperlukan untuk keberlangsungan pengelolaan hutan yang lestari dan berdayaguna. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
45
46
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
Alkulturasi Budaya Orang Rimba Jalan Lintas Sumatra
D
entuman musik dan suara nyayian sayupsayup mulai terdengar dari kejauhan ketika mulai mendekati perumahan Kelompok Nungkai, Orang Rimba di Desa Pelakar Jaya Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin. Dari kejauhan terlihat sekelompok anak-anak bermain dan berlari diantara pohon-pohon karet milik salah satu warga desa Pelakar Jaya. Hari itu, bukanlah hari biasa, ada hajatan istimewa yang digelar kelompok Nungkai, yaitu pesta pernikahan anak Pemetul, salah satu anggota kelompok itu. Pesta pernikahan ini turut dihadiri oleh Orang Rimba dari kelompok-kelompok Orang Rimba lainnya di Kecamatan Pamenang dan dari Kecamatan Pelepat Bungo serta dari kecamatan Batin VIII Sarolangun. Kehadiran mereka merupakan salah satu penghargaan atas undangan pernikahan salah satu anggota kelompok ini.
Pada pernikahan ini, Ngelelai membayar mahar sebesar tiga setengah mayam emas yang langsung diberikan ke calon istrinya dan membayar denda adat berupa dua keping kain, dua parang dan satu kecepek yang akan diserahkan ke ketua kelompoknya. Setelah ketua kelompok menerima bayaran denda adat tersebut ketua kelompok kemudian memberikan peralatan tersebut ke kedua pengantin sebagai bekal dalam mereka membentuk keluarga baru mereka. Pembiayaan sewa tenda, makan para tamu undangan dan pembiyaan make up
Kemeriahan pesta Karunia (14) putri Pematul dengan Ngelelai (17), tak berkurang maknanya meski kabut asap menyelimuti langit Jambi. Pernikahan Karunia dan Ngelelai ini dilakukan dengan menggunakan adat Orang Rimba yang kemudian dilanjutkan dengan pemberkatan di Gereja. Hampir 32 tahun hidup berdampingan dengan komunitas transmigrasi Pemenang sedikit banyak berpengaruh pada adat istiadat Orang Rimba kelompok ini.
Proses pernikahan Orang Rimna kelompok Nungkai Pamenang, yang mulai teralkulturasi dengan budaya sekitar mereka. Foto Zahida Hamid
kedua keluarga mempelai sepakat untuk menanggungnya secara bersama.
Jika dibandingkan dengan pernikahan Orang Rimba di Taman Nasional Buikit Duabelas, terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan utama terlihat dalam penentuan jumlah mahar atau denda adat yang dikenakan pihak keluarga perempuan ke pihak keluarga laki-laki. Jika Orang Rimba yang berada di TNBD dalam menentukan besarnya denda adat harus melibatkan seluruh anggota keluarga perempuan yang merupakan pihak waris (orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang masih sangat dekat dengan keluarga inti dari perempuan tersebut). Sebagai salah satu aturan adat pihak pengantin perempuan mengajukan mahar pada pengantin laki-laki yang besarnya ditentukan oleh pengantin perempuan. Sedangkan untuk membayar denda adatnya pihak laki-laki harus menyerahkan dua keping kain, dua buah parang dan satu tombak (kujur). Dengan adanya perubahan lingkungan yang berdampak pada perubahan mata pencaharian tombak atau kujur digantikan dengan kecepek (Senjata rakitan yang digunakan untuk berburu babi).
Setelah prosesi adat selesai, proses selanjutnya diadakan di Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan (GKSBS) di Desa Pelakar Jaya. Dengan pakaian kebaya dan jas hitam kedua mempelai duduk di depan altar gereja dan selanjutnya didoakan oleh seorang pendeta. Meskipun kedua mempelai kurang cakap dalam membaca janji pernikahan, proses ini tetap bisa dilakukan dengan bantuan dari pendeta yang dengan sabar membacakan naskah janji pernikahan yang diikuti oleh pengucapan kedua mempelai. Setelah kedua mempelai mengucapkan janji setia sehidup semati dan akhirnya kedua mempelai telah resmi menjadi pasangan suami istri yang di akui oleh agama kristen yang selama ini dianutnya.
Penganten Orang Rimba, teralkulturasi dengan budaya luar. Foto Zahida Hamid
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Proses pernikahan dengan menggunakan adat Orang Rimba dan adat orang luar juga pernah terjadi di Orang Rimba TNBD kelompok Tumengung Tarip. Tumenggung Tarip yang merupakan salah satu pemimpin kelompok Orang Rimba TNBD DAS Air Hitam saat ini telah memeluk agama Islam dan telah menetap tinggal Desa Bukit
Suban. Beberapa tahun yang lalu Tumengung Tarip menikahkan anaknya laki-laki Mandun dengan salah satu warga Desa Pematang Kabau. Atas pernikahan tersebut Tumengung Tarip mengadakan pesta sebanyak dua kali. Pesta yang pertama dilakukan di dalam kawasan TNBD dengan istilah bebalai. Pesta ini dilakukan untuk menjamu seluruh Orang Rimba dan merupakan bagian dari adat istiadat Orang Rimba. Setelah pesta bebalai dilakukan pada tahap berikutnya Tumenggung Tarib juga mengadakan pesta dengan mengundang warga desa yang ada di sekitarnya. Mahar yang diberikan Tumenggung Tarib kepada pihak keluarga perempuan sebesar 1 mayam emas Menurut Tumenggung Tarib proses pernikahan sebanyak dua kali dilakukan sebagai salah satu cara untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang ada di sekitar mereka. Dalam pesta yang pertama tersebut Tumenggung Tarib menanggung semua pembiyaan untuk bebalai. Sedangkan untuk pesta yang kedua Tumenggung Tarib memberikan bantuan biaya pesta sebesar sepuluh juta rupiah ke pihak keluarga mempelai perempuan selaku tuna rumah penyelenggara pesta.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
47
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
48
Beberapa kejadian di atas telah memberikan warna baru dalam proses alkulturasi budaya antara budaya Orang Rimba dengan budaya luar Orang Rimba. Tentunya pernikahan dengan menggunakan budaya Orang Rimba dengan budaya luar Orang Rimba tidak lepas dari proses interaksi yang terjadi selama ini. Menurut Koentjaraningrat (2005:155) alkulturasi merupakan konsep proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur budaya asing sehingga lambat laun unsur budaya asing itu akan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Peristiwa tersebut juga menggugurkan stigma yang selama ini berkembang bahwa Orang Rimba tidak dapat hidup berdampingan dengan komunitas di luar mereka. Berbagai konflik yang muncul akibat perbedaan budaya dan adat istiadat hendaknya dapat ditanggulangi dengan komunikasi dan proses alkulturasi budaya yang konstruktif. Kelompok Nungkai merupakan salah satu kelompok Orang Rimba yang berada di perumahan Desa Pelakar Jaya Kecamatan Pamenang Merangin yang berjumlah 20 KK berdasarkan survei KKI WARSI 2013. Sekitar 12 tahun yang lalu kelompok ini menempati perumahan yang disediakan oleh Departemen Sosial lewat Program Pemukiman Komunitas Masyarakat Terpencil (PKMT). Namun sayangnya tanah seluas dua hektar yang mereka tempati hanya merupakan hak pemakain saja karena tanah tersebut merupakan tanah restan (R) Desa Pelakar Jaya. Tanah R merupakan tanah kelebihan dari pembagian proyek transmigrasi pemerintah. Luasan tanah R dari masing-masing desa berbeda sangat tergan-
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
tung dari luasan area transmigrasi dan jumlah KK yang ikut transmigrasi tersebut. Sejak program transmigrasi pada era delapan puluhan kelompok Orang Rimba yang berada di Kecamatan Pamenang terpecah menjadi lima kelompok yang diimpikan dapat berintegrasi ke desa sekitar. Kelompok itu antara lain kelompok Nungkai di Desa Pelakar Jaya, Kelompok Sikap di Desa Pematang Kancil, Kelompok Mansur Desa Pauh Menang dan Kelompok Roni di Desa Rejosari yang kesemuanya berada di Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin. Namun dalam perkembangannya kelompok Orang Rimba belum dapat diterima secara utuh oleh komunitas yang ada di luar mereka. Sejak dilakukan pendampingan yang intensif selama tujuh tahun belakangan ini, berbagai adaptasi mulai terlihat dilihat di kelompok Orang Rimba Kecamatan Pamenang. Dari mulai mereka mengakses pendidikan sekolah dasar formal, mengakses Puskesmas dan Rumah Sakit secara mandiri dan mulai menerapkan perilaku hidup sehat di sekitar rumah mereka. Dari kelima kelompok tersebut kelompok Mansur di Desa Pauh Menang dan kelompok Nungkai di Desa Pelaka Jaya merupakan kelompok yang paling cepat beradaptasi di antar kelompok yang lain. Peranan masyarakat desa yang mulai terbuka terhadap kehadiran komunitas ini telah membantu menjembatani anggota kelompok untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitarnya. Adanya komunikasi yang terbuka, saling pengertian dan saling membantu akan sangat membantu proses adaptasi Orang Rimba sekaligus mengurangi dan menghilangkan konflik yang terjadi diantara mereka.(Kristiawan)
Pengobatan tradisional Orang Rimba dengan memanfaatkan tumbuhan yang ada di rimba. Foto: Alain Compost/Dok KKI WARSI.
Hulu Hilir Dalam Konsepsi Penyakit di Budaya Orang Rimba
D Orang Rimba mengalami perubahan sosial. Interaksi dengan masyarakat sekitar mulai merubah gaya kehidupan Orang Rimba, termasuk dalam pemanfaatan senjata untuk berburu. Foto Aulia Erlangga/Dok KKI WARSI.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
alam konsep ruang Orang Rimba, dunia yang aman, yang diidealkan adalah dunia hulu yang menjadi tempat hidup Orang Rimba berupa hutan belantara. “Halom rimba nioma tempat beranak pinak, beradat bepeseko (Alam rimba adalah tempat beranak pinak dan melaksanakan adat istiadat)”. Lalu hidup yang ideal itu adalah “berdingding bener, berhayom ko kuau, berhatop ko lipay, berlantai ko lumpur, berkambing ko kijang, berkerbau ko tonok., dan minom deri bukul kayu”.
ngan dunia Orang Rimba. Mereka disebut urang meru (orang terang) : bersunat berbersih, berumah berlamon, besekolah, bercucuk tanom, dan memelihara ternak. Dunia hulu vs hilir dalam konsepsi ini tidak saja menempatkan keduannya dalam satu ekologi yang berbeda, dimana masyarakat hulu tinggal di dalam rimba dan masyarakat melayu tinggal di “dunia terang” (bukan di rimba) tetapi keduanya adalah masyarakat yang berbeda secara prinsip hidup, dimana hulu secara tegas menolak ke hilir atau “berkampung”.
Lalu dunia hilir (masyarakat melayu, barangkali semua orang luar masuk dalam kategori Melayu, dikonsepsikan sebagai masyarakat yang beroposisi de-
Bahkan, lebih jauh penelusuran ditemukan adanya pemahaman bahwa melayu, bermakna membuat layu (analogi dari daun). Hal itu berarti hilir menimbulkan ba-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
49
ETNOGRAFI ORANG RIMBA
50
haya bagi Orang Rimba. Di luar alasan-alasan budaya, aspek ekonomi dan politik memberikan banyak peluang untuk bekerjasama dan saling membutuhkan diantara kedua masyarakat ini. Bahkan secara sadar orang hilir memanggil mereka “sanak” atau “dulur”(saudara) dan karena bersaudara jika terjadi kesulitan hidup, keduannya saling membantu. Sosok di rimba mengadu ke kampung, sosok di kampung mengadu ke rimba. Selain itu, aspek lain dari kebutuhan hidup Orang Rimba berasal dari hilir karena ketidakmampuan mereka memproduksi sendiri barang-barang rumah tangga yang mereka perlukan, pihak yang menyelesaikan perkara adat yang tidak selesai di rimba serta tempat mengadukan persoalan hidup dan pengesahan kepemimpinan internal. Bentuk kerjasama kedua masyarakat ini terlembagakan dalam jenang dan waris. Yang pertama, berfungsi sebagai media penghubung ke dunia luar, pengesahan kepepimpinan, penyelasaian perkara adat. Yang kedua, sebagai toke (pengumpul) hasil hasil hutan, sebagai bentuk transaksi formal antara masyarakat hulu dan masyarakat hilir. Penyakit Dari Hilir Penyakit bagi Orang Rimba datang dari dua tempat. Bisa datang dari hulu juga bisa datang dari hilir. Yang datang dari hulu relatif bisa ditangani oleh aktor medis tradisonal yang ada di rimba, sedangkan yang datang dari hilir tidak dapat disembuhkan oleh aktor medis tradisional yang ada di rimba. Penyakit yang datang dari rimba adalah seperti silom, hantu, pekerjaan sihir orang lain (di po koit ko urang) dan kecelakaan yang disebakan benda tajam. Silom punya asal yang berbeda-beda, setan tano beasal dari dari tanah, yang bisa menyebabkan pisu (bisu) dan setan betubo menyebabkan demam yang berulang . Setan- setan ini punya pertabat (derajat) yang berbeda yakni; setan tunggu tano, setan tunggu tano tumbuh, setan tunggu runggul kayu, setan tunggu subon, setan tunggu tumbuh berkat (setan yang mendiami tanah yang bergunduk-gunduk), dan mereka dinamai berdasarkan pendiom mereka. Penyakit dipercaya adalah sebuah makluk hidup yang punya tempat tinggal di hilir sungai dan laut. Makhluk ini diyakini hidup dan makan layaknya manusia, hanya saja mereka tidak bisa mati. Mereka hidup dengan memakan orang yang juga disamakan Orang Rimba seperti mereka memakan louq, begitu juga penyakit memakan mereka dan hidup dengan cara itu.Di tempatnya, penyakit layaknya manusia, namun setelah ke rimba berubah wujud tak berwujud. Psikologi penyakit punya hubungan yang erat dengan manusia, karena me-
51
reka bisa malu, marah dan dapat dibujuk. Penyakit akan malu apabila disebut namanya, malu karena mereka adalah pembunuh. Untuk menghindari mereka malu dan marah maka diciptakan istilah yang merangkum semua jenis penyakit tersebut dengan menggunakan kata yang sopan, yakni kebial atau kebialaon. Selain punya sifat malu, kebiasaan memperlakukan makanannya juga sama dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Orang Rimba terhadap louq mereka. Beberapa umpatan ini memberikan bukti terhadap argumentasi ini. Seperti; tegangan (digoreng), “anakke di makon gelira kalu….”, di gulai penyakit, dibunuh penyakit, dan lainnya. Kendati buas dan bahkan mematikan, beberapa jenis penyakit ini bisa dibujuk oleh dukun yang menemui hantu saleh sebagai perantara ke behelo agar mencabut penyakit dari tubuh yang sakit. Dukun hanya dapat menemui hantu saleh dalam mimpinnya, dia dapat dilihat, tetapi tuhan/behelo tidak dapat dilihat. Cara membujuknya adalah dengan memberikan benda pembujuk. Benda pembujuk ini haruslah yang kualitas baik. Seperti tembakau cap ayam, dan rokok filter (yang bergabus). Barang-barang ini dipakai dukun untuk menemui hantu seleh untuk meminta dewa/behelo agar dapat mencabut penyakit korban. Hal yang unik bahwa dewa/behelo dengan penyakit ini bertetangga, bahkan mereka hanya dipisahkan oleh selarik pinang. Hal ini menggambarkan bahwa antara hidup dan mati bagi Orang Rimba sangat dekat jaraknya. Dalam kepercayaan ini dewa/behelo menempati posisi lebih tinggi dari penyakit, walaupun tidak bisa membunuhnya hingga mati, namun dewa/behelo dapat mencabutnya dari badan manusia. Semua pangkal/asal mula penyakit dipercaya datang bersama petahunon. Petahunon (seperti diketahui) adalah musim buah-buahan yang terjadi hampir setiap tahun. Petahunon ini pada tahap awal adalah berbunganya berbagai jenis kayu dan dan terutama pohon buah, yang memberikan aroma keharuman yang disukai penyakit. Bukan saja unsur keharuman yang didatangkan oleh bunga-bunga yang sedang mekar, tetapi juga keharuman yang ditimbulkan karena pemakaian sabun, bedak, dan benda-benda lain yang menghasilkan aroma harum. Unsur keharuman dipercaya sebagai daya tarik bagi penyakit untuk mudik. Beberapa jenis penyakit itu punya kejahatan dan cara yang berbeda untuk mudik. Penyakit yang lebih rendah tingkatannya mudik dengan menggunakan blungkang, rakit kayu, dan rakit pisang. Sedangkan yang lebih tinggi tingkaannya mudik dengan menggunakan layar, atau beyong. Penyakit yang lebih besar dan canggih ini cukup de-
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
kepenghuluan Orang Rimba, tetapi cukup bisa menjelaskan pada komunitas (para informan Orang Terab) ini bahwa jenis penyakit yang urutan tertinggi terus ke bawah paling banyak memakan korban.
Orang Rimba memanfaatkan beragam jenis akar tumbuhan untuk pengobatan, ketersediaan tanaman obat semakin terbatas seiring dengan semakin berkurangnya hutan. Foto: Alain Compost/Dok KKI WARSI.
ngan menunjuk saja korbannya. Namun yang lebih rendah tingkatannya memanfaatkan berbagai jenis miang (gatal) hasom, yang kesemuanya berasal dari tumbuhan orang hilir. Seperti, miang tobu, jelatong yang digunakan penyakit betuk untuk membunuh. Tetapi domom, tidak menggunakan miang, melainkan hasom yang berasal dari tayoi, becong, dan kemang. Walaupun unsur gatal atau miang tidak saja datang dari tebu, jelatong. Miang routon tidak menyebabkan penyakit karena routon adalah tumbuhan rimba (tumbuhan orang hulu). Gejala betuk menurut penuturan Orang Rimba disertai dengan rasa gatal ditenggorokan, rasa gatal itulah yang dipercaya bersumber dari miang. Sedangkan domom lebih sering dialami jika kelebihan banyak makan asam, seperti dari buah tayoi, becong, dan buah kemang. Kendatipun keduannya relatif sama tingkatannya, namun domom dipercaya lebih banyak membunuh, apalagi jika kedua jenis penyakit ini sama-sama hinggap di badan korban. Kedua penyakit ini walaupun lebih lama menbunuh, tetapi paling aktif menyerang, karena kendatipun tidak petahonon, juga sering datang. Ia juga dipercaya menyerang dengan cara meludah di jemban, di jelon godong, dan lamon rumah. Selain itu miang hinggop, karena nyerbuk dan memasuki korban dengan adanya gunjaron. Jenis penyakit yang lebih mematikan datang hanya sekali setahun atau tidak sesering bentuk dan domom, walau agak jarang, hampir tidak ada yang lolos dari serangan ini. Penyakit itu seperti caking, merancong, gelira, mutaberak, cacar, taun, dan larai doun kayu. Ada anggapan bahwa penyakit caking merupakan yang paling tinggi tingkatannya, sedangkan merancong, gelira, mutaberak, cacar, taun dan larai doun kayu, menempati urutan bertingkat ke bawah. Tetapi, yang perlu disadari bahwa urutan ini tidak baku seperti jenjang pankat
Semua jenis penyakit yang bergejala mencret dipercaya berasal dari daging hewan/ikan. Daging hewan/ ikan yang mendatangkan penyakit ini bersumber pada binatang-bintang orang hilir; bebi, nangoi, tonok, labi-labi, biuku, lampam, tapo, ikan ikan sema, tuman, boung, dan kuya haik, dan segala ikan besar. Bahkan, nangoi bukan saja dipercaya sebagai binatang dari laut (hilir), namun dari manusia yang mengalami reinkarnasi menjadi babi (asal kejadion deri urang, tiba menderot jedi nangoi). Nangoi memang cukup khas perilakunya, karena hanya muncul pada petahunon dan muncul berkelompok. Begitu juga dengan tapir (tonok), dipercaya punya pemilik, sehingga kalau tidak dipulangkan makluk dalam binatang ini dipercaya dagingnya akan berkurang. Beberapa jenis binatang di atas mudik bersama petahunon, jika dikonsumsi berlebihan akan menimbulkan “panas” pada tubuh sehingga darah dianggap juga panas. Orang Rimba mengaitkan mutaberak (berak disertai darah) dengan keluarnya darah dari anus karena panas yang terjadi pada tubuh (juga darah). Perjelasan sumber penyakit ini, dipercaya juga karena faktor busuk. Orang Rimba hanya mengolongkan makanan dengan dua kategori ini, walaupun unsur basi, seperti dalam klasifikasi kita bisa mendatangkan sakit perut seperti mencret. Penyakit lain seperti cacar, menurut sebagian orang berasal dari urang cino, anggapan ini sama sekali tidak relevan dengan logika terjadinya sakit pada kasus-kasus diatas. Kuat dugaan bahwa penyakit ini dialami bersamaan dengan pembukaan hutan oleh perusahaan yang dikelola etnis China beberapa waktu yang lalu. Sebahagian lagi mengatakan cacar berasal dari uap tano, terbawa melalui angin dan mengendap dalam tanah lalu menguap. Dengan demikian cacar dianggap berasal dari angin/cuaca. Penyakit lain yang sangat mengerikan namun jarang terjadi adalah larai doun kayu. Disebut larai doun kayu karena gejala yang dialami mirip dengan daun yang lerai (gugur) akibat angin. Gejalannya adalah matinya beberapa sel kulit, berkoreng, dan kulit terbakar, penyakit ini juga dianggap berhembus dari hilir dan mematikan jika makon di delom mengenai bagian dalam tubuh seperti jantung. Selain itu pada Orang Rimba juga terdapat keluhan penyakit kulit puru, yang diyakini berasal dari air hujan, kemudian ada juga kurap, dibagi dua yakni kurap bersih dan losong, yang juga diyakini berasal dari hujan yang meyebabkan gatal, dan jika digaruk menjadi kurap. (Marahalim Siagian)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
52
SELINGAN
Sekolah Hijau Bagi Mereka
Pemahaman yang berbeda, serta minimnya komunikasi serta ketidakmengertian budaya antara Orang Rimba dan Masyarakat Desa memunculkan berbagai praduga dan prasangka yang sangat mungkin memunculkan konflik. ”Dengan adanya pengenalan sejak dini terkait kebudayaan Orang Rimba ini, diharapkan akan meminimalisir terjadinya konflik. Biasanya masyarakat desa tidak asing dengan Orang Rimba karena sudah sejak dahulu mengetahui keberadaannya, namun tidak pernah terjalin komunikasi yang intensi,” sambungnya.
L
angit di barat daya Taman Nasional Bukit Duabelas masih terlihat pekat diselimuti kabut asap. Budi, Besigar dan Beteduh, memacu kendaraan bermotornya untuk menghadiri kegiatan sekolah hijau di SMPN 17 Merangin. Dilengkapi dengan masker dan ransel berukuran besar, ketiga anak rimba ini siap berbagi dengan anak-anak di sekolah itu. Sesampainya di aula serba guna, beberapa siswa laki-laki menyambut mereka, dan mengajak berkenalan. Keakraban pun terjalin, sesekali terdengar gelak tawa menyelingi percakapan antara anak rimba dan beberapa siswa. Ratusan murid mengenakan seragam pramuka telah berkumpul memenuhi aula. Setelah sambutan dari beberapa kepala sekolah, Kepala Desa dan Camat Tabir Selatan, dimulailah pengenalan dini terkait lingkungan. “Siapa yang tahu apa itu hutan,” terdengar suara lantang Saefullah, penyuluh dari Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Suara gumaman jawaban beberapa murid menebaknebak pengertian hutan menurut mereka. Ada yang memberanikan diri mengangkat tangan, sembari berteriak ”Hutan, tempat hidupnya banyak tumbuhan,” teriak seorang siswi. Berikutnya beberapa siswa memberikan jawaban mereka. Kegiatan ini adalah rangkaian dari kunjungan ke beberapa sekolah dalam hajatan Sekolah Hijau yang diselenggarakan KKI WARSI bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Sekolah Hijau, istilah ini digunakan menamai acara berbagi informasi dan peningkatan kesadaran lingkungan sejak dini dengan sasaran adalah siswa SMP dan SMA di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 2009, diawali dengan menjadikan kantor lapangan KKI WARSI di SPI Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Sarolangun sebagai rumah bermain yang mempertemukan anak rimba dan anak desa. Maka terbangunlah kedekatan, yang kemudian berkembang menjadi agenda-agenda tracking hingga menghasilkan sebuah film yang berjudul “Sahabat Rimba”. Siswaning Tyas, Koordinator Unit Desa Program Bukit Duabelas KKI WARSI menyebutkan, awalnya hanya ada rombongan anak sekolah yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas ingin mengenal hutan itu seperti apa dan melakukan tracking bersama anak-anak rimba ke kawasan. “Hanya ada dua sekolah waktu itu, SMAN 3 Merangin
SELINGAN
Penanaman pohon secara simbolik di halaman SMP 17 Merangin. Foto Elviza Diana/Dok KKI WARSI.
dan SMPN Satu Atap Bukit Suban, mereka mengadakan perjalanan ke kawasan dan mengenal kebudayaan Orang Rimba yang hidup di sana,” sebutnya. Hingga kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang dikenal dengan istilah sekolah hijau ini terus berkembang, bahkan menggandeng Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Melihat minimnya pengetahuan generasi muda akan adanya kawasan TNBD serta pemahaman kebudayaan Orang Rimba yang hidup di sana. Ini akhirnya menginisiasi KKI WARSI membuat sebuah gerakan sadar lingkungan, yang bukan hanya pada kegiatan fisik semata akan tetapi pada pembangunan mental dan pemahaman. ”Sudah lebih lima sekolah yang kita kunjungi selama tahun ini, sekolah-sekolah ini yang dekat dan berbatasan langsung dengan kawasan TNBD. Ke depannya ini bukan hanya kegiatan penanaman pohon dan pengenalan hutan dan Orang Rimba saja, namun akan terbangun kesadaran dan kepedulian dari generasi muda ini,” imbuhnya. Media Komunikasi Anak Rimba dan Desa Seringnya konflik Orang Rimba dan masyarakat desa belakangan ini, semakin membentang jarak antara keduanya. Sekolah Hijau juga menjadi media komunikasi antara masyarakat desa dan orang rimba, dengan harapan bisa meredam konflik di antara dua kelompok masyarakat ini. Dari data yang dihimpun KKI WARSI, setidaknya ada enam konflik melibatkan Orang Rimba dan masyarakat desa sepanjang tahun ini. Dijelaskan Kristiawan, Koordinator unit Kajian Suku-suku KKI WARSI bahwa hal-hal terkait dengan pengelolaan sumber daya alam menjadi masalah utama pemicu konflik. “Biasanya masalah sepele, misalnya Orang Rimba mengambil pinang masyarakat desa, atau senggolan motor di jalan, bisa berujung konflik komunitas dan menimbulkan korban,” ungkapnya.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Kini kegiatan Sekolah Hijau semakin berkembang, dukungan para pihak tampaknya mulai merambah pemerintah daerah. Kabupaten Merangin akan bersamasama mengembangkan program sekolah hijau ini di tingkat sekolah-sekolah. Hal ini disampaikan Camat Tabir Selatan, Sukoso “Kita sangat mengapresiasi kegiatan yang sudah dilakukan WARSI melalui pendidikan lingkungan hidup, sama dengan program kawasan rumah pangan lestari yang sudah kita lakukan. Ke depannya untuk tingkat sekolah kami akan mengadakan kerjasama dengan lintas sektoral untuk menggagas sekolah hijau,” jelasnya.
Program sekolah hijau, menjadi ikon penting dalam rangka antisipasi bersama sekolah dalam menghadapi penurunan kualitas lingkungan hidup. Program ini, juga sebagai bentuk kepedulian dunia pendidikan terhadap permasalahan global, khususnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekolah. Kepedulian dunia pendidikan akan terlaksana apabila ada sinergi berbagai pihak, mulai dari lingkungan sekolah sampai tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Ditambahkan Tyas, bahwa pemerintah pusat bahkan saat ini sudah mencanangkan program Adiwiyata. Program Adiwiyata ini adalah sebagai salah satu strategi pemberian pendidikan lingkungan yang dilakukan pemerintah dengan maksud agar tercipta sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan. Peserta program ini bisa diikuti oleh SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA serta sekolah kejuruan. Program adiwiyata ini merupakan program yang sangat potensi menumbuhkan kesadaran mengenai perlindungan lingkungan hidup. (Elviza Diana)
Bahasa dan Kearifan Lokal Masyarakat Masurai
S
ejarah panjang Bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, namun keberadaannya baru dikukuhkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal 36 yang menekankan kedudukan Bahasa Indonesia: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Bahasa yang saat itu hingga kini disebut Bahasa Indonesia bersumber pada Bahasa Melayu yang usianya lebih tua dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang pernah ada di Indonesia. Hanya saja, bahasa Melayu yang menjadi rujukan Bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa perkembangan mulai dari bahasa Melayu Kuno hingga bahasa Melayu Modern yang saat ini masih digunakan di Pulau Sumatra, Kalimantan, Singapura, Malaysia dan sebagian Thailand. Bahasa Melayu merupakan lingua franca untuk kawasan yang terletak di jalur perdagangan tertua itu (Selat Malaka dan sekitarnya).
Bahasa Melayu ketika masa penjajahan kolonial Belanda terbagi menjadi dua, yaitu Melayu Tinggi dan Melayu Rendah. Ajip Rosidi menyebut pembagian tersebut sebagai rekayasa ahli Belanda (Ajip Rosidi, 2000:368). Melayu Tinggi merupakan bahasa Melayu bentukan para ahli Belanda (C.A. van Ophuijsen) yang digunakan dalam majalah-majalah resmi, serta sebagai bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sedangkan bahasa Melayu Rendah –disebut seperti itu guna membedakan bahasa buatan ahli Belanda dan guna merendahkannya- atau yang disebut bahasa Melayu Pasar digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Melayu memiliki beberapa cabang, salah satu diantaranya Bahasa Melayu Jambi yang memiliki dialek berbeda dengan Bahasa Melayu Riau dan Malaka yang dianggap sebagai Bahasa Melayu yang paling murni (William Marsden, 2008:185). Bahasa Melayu Jambi yang banyak menggunakan konsonan /o/ dalam kosakatanya pun memiliki cabangnya. Salah satu diantaranya ialah bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat di kaki Gunung Masurai, kabupaten Merangin. Kajian dalam tulisan ini membahas mengenai bahasa tersebut serta peranannya dalam Lembaga Adat yang mempertahankan kearifan lokal di wilayah tersebut.
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
53
SELINGAN
54 Bahasa Masurai
Gunung Masurai terletak di ketinggian 2.980 meter (9.777 kaki) yang terletak di kabupaten Merangin, Jambi. Secara administratif, gunung tersebut terletak dalam tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Lembah Masurai, Kecamatan Jangkat dan Kecamatan Sungai Tenang, serta secara peruntukan kawasan berada dalam kawasan Hutan Konservasi yakni kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Meski sejak dulu sudah menggunakan bahasa daerah yang memiliki karakteristik sendiri, namun selama ini belum ada yang meneliti secara serius mengenai cabang bahasa Melayu Jambi yang digunakan oleh masyarakat di kaki Gunung Masurai. Penulis sendiri belum menemukan literatur yang meneliti tentang bahasa tersebut, sehingga belum ada yang memberikan nama secara khusus untuk bahasa tersebut. Masyarakat pengguna bahasa tersebut menyebutnya sesuai wilayah masingmasing. Pengguna bahasa ini terdiri dari empat kecamatan yaitu Lembah Masurai, Jangkat, Sungai Tenang dan Muara Siau. Misalnya, masyarakat Desa Tuo (kecamatan Lembah Masurai) menyebut bahasa itu dengan So Sunwo (bahasa Dusun Tuo), atau masyarakat Serampas (kecamatan Jangkat) yang terdiri dari 5 desa menyebutnya sebagai So Serampeh (bahasa Serampas), begitupula dengan masyarakat Sungai Tenang mereka menyebutnya bahasa Sungai Tenang. Guna mempermudah penyebutan, penulis memberi nama bahasa itu Bahasa Masurai, dengan pertimbangan bahwa bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kaki Gunung Masurai. Bahasa Masurai memiliki karakteristik yang unik dibandingkan cabang bahasa Melayu lainnya. Ada dua karakteristik dalam bahasa Masurai. Pertama, ia berinduk pada bahasa Melayu Jambi tetapi secara pengucapan berbeda, kosakatanya merupakan singkatan-singkatan dua hingga empat huruf dari kosakata bahasa Melayu Jambi. Misalnya, kata perintah yang berarti: Letakkan batu di atas kepala! Dalam bahasa Masurai menjadi: Tak tu teh lok! Kalimat tersebut berasal dari bahasa Melayu Jambi yang berkoherensi dengan dialek bahasa Minangkabau: Letakkan batu di ateh kepalo! Kata ‘tak’ berasal dari kata “leTAKkan”; kata “tu” berasal dari kata “baTU”; kata “teh” berasal dari kata “atas” yang mendapat pengaruh dari dialek Minangkabau “aTEH”; serta kata “lok” berasal dari kata “kepaLO”.
Bambang Hariyadi, seorang ahli Biologi dari Universitas Jambi, berpendapat bahwa karakteristik bahasa Masurai terbentuk akibat keadaan geografis yang berupa perbukitan itu. Ia menjabarkan alasannya, sebagai berikut: …. Tanpa memahami asal-usul suatu kata, orang-orang “baru” seperti saya sangat sulit mengikuti pembicaraan orang Serampas yang cepat. Saya sangat penasaran dan selalu bertanya-tanya dalam hati mengapa orang Serampas selalu menyingkat setiap kata yang diucapkan. Selama beberapa bulan turun-naik bukit berjalan kaki menelusuri alam Serampas untuk melakukan penelitian, sering kali saya terengah-engah kelelahan seperti akan kehabisan napas, terutama sewaktu melalui pendakian yang panjang. Dalam keadaan kelelahan seperti itu, saya cenderung berkata singkat dan yang penting saja. Terlintas dalam pikiran, mungkin kondisi kehidupan sehari-hari Serampas yang demikian, yang terus-menerus dijalani selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, membentuk bahasa Serampas yang kosakatanya selalu disingkat (Bambang Hariadi, 2012:74).
Kedua, ejaan dalam beberapa huruf mengalami perubahan bunyi. Kata yang berakhiran /ng/ berubah menjadi /k/, misalnya pada kata “samping” (sarung) maka pengucapannya menjadi “sampik”. Kemudian, kata dengan akhiran /as/ berubah menjadi /eh/, misalnya pada kata “panas” maka pengucapannya menjadi “paneh”. Kemungkinan perubahan /as/ menjadi / eh/ mendapat pengaruh dari dialek bahasa Minangkabau, karena letak geografis wilayah Gunung Masurai tak jauh dari perbatasan Sumatra Barat yang menjadi wilayah masyarakat pengguna bahasa Minangkabau. Kata dengan akhiran /n/ menjadi /t/ dan huruf /a/ menjadi /ea/, misalnya kata “badan” berubah menjadi “badat” atau “badeat”. Kata dengan akhiran /a/ menjadi / ok/, misalnya pada kata “kepala” menjadi “palok” atau kata “telinga” menjadi “telingok”. Kata dengan akhiran /ut/ menjadi /ot/, misalnya pada kata “perut” menjadi “perot”. Masih ada beberapa lagi ejaan yang berubah bunyinya. Ejaan-ejaan tersebut dapat dirangkum dalam sebuah tabel berikut:
Artinya: Selama (musim) panas tahun ini sudah banyak sumur kering. Terpaksa orang banyak mandi di Air (Sungai) Siau. Air Siau juga sudah surut saat ini.
lebih mengayun dibandingkan dialek Dusun Tuo dan Serampas, serta dialek Serampas dalam pengucapan huruf /r/ samar, seperti lidah cadel, dibandingkan dialek Siau dan Desa Tuo. Beberapa kosakata juga terdapat perbedaan, beberapa diantaranya sebagai berikut:
Bahasa Masurai meskipun digunakan oleh empat kecamatan, akan tetapi terdapat perbedaan dialek. Beberapa itu antara lain; dialek Siau, Dusun Tuo dan Serampas, dan Sungai Tenang. Perbedaan dialek bahasa Masurai ini terletak pada ritme pengucapannya. Dialek Siau
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
Bahasa dalam Etika Keluarga Jika terdapat ungkapan bahwa bahasa merupakan cerminan perilaku masyarakat, tentulah benar adanya. Melalui bahasa, terutama bahasa di kawasan Asia, memiliki peranan sebagai salah satu pembentuk etika dalam keluarga. Adanya tingkatan ‘kelas’ dalam bahasa Jawa untuk membedakan penggunanya, seorang bangsawan atau rakyat biasa, seorang anak kepada orang tuanya, dan sebagainya. Meskipun dalam bahasa Melayu, dalam hal ini terutama bahasa Masurai, tidak ada tingkatan seperti dalam bahasa Jawa, namun terdapat aturan khusus penggunaannya untuk beberapa kasus. Orang Serampas baik laki-laki maupun perempuan biasanya dipanggil bukan dengan namanya, melainkan dengan nama anak sulungnya. Contohnya, sebuah keluarga memiliki anak pertama bernama Roni, ayah dan ibunya akan dipanggil dengan sebutan “Pak Roni” dan “Induk Roni”. Menurut Bambang Hariyadi, sistem ini memberikan implikasi sosial, yaitu (1) nama asli seseorang tidak dikenal di kalangan masyarakat dibandingkan nama “panggilan” anaknya; (2) memberikan dorongan moral kepada orang tua untuk menanamkan budi pekerti kepada anak-anaknya, sebab jika si anak berbuat kesalahan maka akan berakibat “nama” orang tuanya tercemar.
Selain perbedaan di atas, terdapat beberapa kata yang sama dengan arti yang berbeda. Misalnya, di wilayah Serampas tepatnya di Tanjung Kasri dan Renah Kemumu, kata pucuk lumai (cukmai) biasa digunakan untuk merujuk salah satu jenis sayuran liar yang tumbuh di perladangan yang baru dibuka. Kata tersebut memiliki arti yang berbeda di Rantau Kermas dan Desa Tuo yaitu rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar kemaluan perempuan. (Bambang Hariadi:73-74). Kata yang memiliki arti yang sangat berseberangan. Kata lain yang berbeda makna namun tak seekstrim cukmai ialah kata num lah. Kata tersebut dalam dialek Siau, kata tersebut bertarti “minum lah”, sedangkan dalam dialek Desa Tuo berfungsi sebagai kata penguat/ menegaskan yang dapat diartikan “benarkah”. Contoh dalam kalimat:
Contoh dalam sebuah paragraf sederhana (dialek Desa Tuo), sebagai berikut:
“Selamo paneh taon nei le nyeak sumor kering. Tepakso urang nyeak ndi pek Yik Yau. Yik Yau be le surot go kiktow”.
SELINGAN
A: Po nyeak au pek sen? B: Duo tus ibu. A: Num lah. B: Nyan.
(Berapa banyak kau dapat uang?) (Dua ratus ribu) (Yang benar) (Nian/benar)
Sistem penyebutan nama tersebut berakar pada aturan yang diakui oleh masyarakat di kaki Gunung Masurai bahwa seorang anak tidak diperkenankan menyebut nama asli orang tua. Penyebutan nama asli orang tua merupakan sebuah penghinaan anak terhadap orang tua. Hingga saat ini, aturan tidak tertulis itu masih diberlakukan oleh masyarakat pengguna bahasa Masurai itu. Budaya luar sepertinya tidak menggerus sistem ini. Keunikan dalam bahasa Masurai dalam etika keluarga lainnya ialah penamaan panggilan dalam keluarga. Seorang keponakan atau cucu menyebut paman/bibi atau nenek/kakek dengan menyertai “julukan”. Misalnya, sepasang suami-istri memiliki enam anak laki-laki. Anak pertamanya memiliki dua orang anak. Kedua cucu suami-istri itu akan memanggil kelima adik ayahnya dengan sebutan Pak Ngah (Bapak Tengah), Pak Njang (Bapak Panjang), Pak Ndak (Bapak Pandak/Pendek), Pak Cik (Bapak Kecik/Kecil) dan Pak Ncu (Bapak Bungsu). Sedangkan sepupunya (anak-anak dari adik ayahnya) memanggil ayahnya dengan panggilan Pak Wo (Bapak Tuwo). Tidak ada aturan baku dalam penamaan panggilan tersebut, hanya saja biasanya berdasarkan posisi dan bentuk fisik orang yang akan mendapatkan julukan. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014
55
ALAM SUMATERA, edisi OKTOBER 2014