5
BAB II TEORI DASAR STRUKTUR SESAR DAN INTERPRETASI PADA DATA SEISMIK REFLEKSI 3D
2.1 Struktur Sesar Sesar atau patahan merupakan zona rekahan pada lapisan batuan yang telah mengalami pergeseran baik secara garis lurus maupun terputar, sehingga terjadi perpindahan antara bagian-bagian yang berhadapan. Pergeseran/perpindahan batuan tersebut terjadi di sepanjang suatu permukaan disebut bidang sesar (fault plane).
Sesar terjadi akibat tekanan yang tidak seimbang pada suatu lapisan batuan. Sebagaimana dijelaskan pada teori elastisitas, batuan tersebut akan mengalami deformasi, yang apabila melewati ambang batas kekuatan elastisitasnya batuan tersebut akan mengalami patahan/sesar.
Dalam pemahaman sederhana, sesar terdiri atas dua bagian non-vertikal yang disebut hanging-wall dan footwall. Dari definisi, hanging-wall merupakan bagian sesar yang berada di atas bidang patahan. Sedangkan footwall merupakan bagian yang berada di bawah bidang sesar.
6
Gambar 2.1 Tatanama struktur sesar (Sheriff, 2002)
Sheriff (2002) dalam kumpulan kamus geofisikanya menjelaskan bahwa komponen sesar antara lain terdiri atas (1) Slip, yaitu jarak pergerakan relatif salah satu sisi terhadap sisi lainnya, (2) Throw, adalah komponen vertikal pada bidang separasi sesar, (3) Heave, yaitu komponen horizontal pada bidang separasi sesar, (4) Dip, merupakan sudut antara bidang/permukaan sesar dengan bidang horizontal, (5) Hade, yaitu sudut antara bidang/permukaan sesar dengan bidang vertikal, (6) Trace sesar, merupakan garis sesar pada suatu permukaan. Gambaran tentang komponen sesar tersebut diberikan pada Gambar 2.1.
7
TIPE SESAR NORMAL
REVERSE
STRIKE-SLIP
RELATED TERM Tension Fault Gravity Fault Slip Fault Listric Fault (Curved Fault Plane) Thrust Fault Low Angle (dip < 45 0) High angle (dip > 45 0) Transcurrent Fault Tear Fault Wrench Fault Right Lateral (Dextral) Left Lateral (Sinistral)
ARAH STRESS MINIMUM
MAXIMUM
KARAKTERISTIK
Dip biasanya 750 to 400
Horizontal (Tension)
Vertikal (Gravity)
Vertikal
Horizontal (Compression)
Bidang sesar dapat “hilang” di sepanjang lapisan
Horizontal
Horizontal
Trace sesar pada umumnya 300 terhadap stress maximum
ROTATIONAL Throw bervariasi di sepanjang strike; dari normal throw sampai reverse
Scissors Fault Hinge Fault
TRANSFORM
Dextral
Sinistral
Horizontal
Sesar yang terkait dengan pergerakan; pemisahan ataupun tumbukan lempeng tektonik Jika yang terjadi adalah separasi, maka rif yang terbentuk akan diisi oleh material baru. Jika yang terjadi adalah tumbukan, maka salah satu lempeng akan naik berada di atas lempeng yang lain.
Tabel 2.1 Tipe sesar dan karakteristiknya (Sheriff, 1995)
Berdasarkan model pergerakan relatif di sepanjang bidang sesar, maka terdapat tiga kategori utama sesar, yaitu: sesar normal, sesar naik, dan sesar mendatar/geser. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam Tabel 2.1.
8
Adapun tipe sesar yang lain adalah sesar transform dan sesar rotasional. Sesar transform adalah sesar geser yang terjadi berkaitan dengan pergerakan lempeng tektonik. Sedangkan sesar rotasional adalah sesar terjadi akibat rotasi blok sesar dengan arah sumbu hampir tegak lurus terhadap bidang sesar, sehingga variasi throw terjadi di sepanjang trace sesar.
Pada prinsipnya, adanya sesar pada data seismik ditunjukkan oleh: (a) putusnya event (b) difraksi (c) perubahan dip, baik itu flattening atau steepening (d) distorsi penampakan dip yang melewati sesar, sebagai konsekuensi dari pembelokan arah gelombang akibat perubahan kecepatan gelombang yang melewati sesar (e) perubahan pola pada event yang melewati sesar (f) dan adakalanya terlihat dari refleksi dari bidang patahan
2.2 Konsep Interpretasi Seismik 3D Interpretasi, menurut Sheriff (1995), mengandung pengertian determinasi atau penerjemahan makna geologi yang diturunkan dari dati seismik. Secara umum, interpretasi data seismik tersebut diasumsikan sebagai: (1) determinasi adanya reflektor/even yang terlihat pada rekaman data seismik, atau adanya kontras acoustic impedance dari hasil prosesing data seismik, yang merupakan hasil refleksi di bawah permukaan; (2) Kontras acoustic impedance tersebut berasosiasi
9
dengan kondisi lapisan yang merepresentasikan struktur geologi di bawah permukaan tersebut.
Generasi awal dari sistem interpretasi seismik 3-D berbasis pada prinsip interpretasi line-by-line. Namun pada perkembangan selanjutnya, teknik interpretasi ini berkembang dan berbasis pada visualisasi volume dan berbagai manipulasi amplitudo yang kemudian ditampilkan dalam bentuk volume, sehingga dapat membantu meningkatkan interpretasi komponen-komponen struktur dan staratigrafi pada daerah interest (Yilmaz, 2001).
Metode seismik 3-D pada intinya merupakan perihal pengumpulan data seismik beserta pemrosesan dan interpretasi volum data yang sangat rapat. Metode ini menghasilkan dapat pemahaman yang lebih baik mengenai gambaran geologi bawah pemukaan, karena pada prinsipnya pula, objek geologi merupakan objek tiga dimensi. Dikarenakan konsep ini terkait dengan suatu volum data yang besar dan rapat, maka proses interpretasi yang dilakukan umumnya memerlukan workstation yang memadai dan interaktif.
Mayoritas proses interpretasi 3-D dilakukan melalui potongan-potongan dari volume data tersebut. Volume 3-D itu sendiri mengandung susunan orthogonal berspasi teratur dari titik data yang didefinisikan dari geometri pengambilan data. Tiga arah utama susunan tersebut menentukan tiga set potongan orthogonal yang dapat dicuplik dari data volum tersebut (Gambar 2.2)
10
DATA VOLUME
SEISCROP SECTION
Y
X
Z CROSSLINE
LINE
Gambar 2.2. Tiga set slice orthogonal dari sebuah data volume yang merupakan dasar utama untuk interpretasi seismik 3D (After Brown, 2002)
Potongan vertikal pada arah pergerakan kapal atau lintasan kabel, dalam akuisisi data, disebut sebagai inline. Sedangkan potongan vertikal yang tegak lurus dengan lintasan tersebut didefinisikan sebagai crossline atau xline. Dan potongan horisontal disebut sebagai time slice atau potongan horizontal.
Menurut Brown (2004), produk dari interpretasi seismik dengan data volume ini dapat menampilkan berbagai tampilan sesuai yang dikehendaki oleh interpreter agar evaluasi interpretasi dapat dilakukan secara optimal. Lihat Gambar 2.3.
11
DATA VOLUME
Vertical Sections
Arbitrary line
Line
Horizontal Sections
Crossline
Time Slice
Surface Tracking
Horizon Slice
Depth Slice
Horizon Attribute display Fault Slice
Composite Display Gambar 2.3. Produk tampilan yang dapat diperoleh berdasarkan data volume seismik 3-D (After Brown, 2004).
Dalam kaitannya dengan interpretasi struktur, terdapat hubungan konseptual antara volume batuan di bawah permukaan dengan volume data. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
12
T
N
azimut Dip
Gambar 2.4. Konsep dip Azimuth (Sukmono, 2001)
Perpotongan bidang perlapisan dengan ketiga sisi orthogonal kotak segiempat menunjukkan dua komponen kemiringan dan jurus bidang perlapisan target. Oleh karenanya,
arah
refleksi
pada
potongan
horizontal
secara
langsung
mengindikasikan jurus dari permukaan refleksi tersebut.
Untuk memahami dan mendapatkan hasil interpretasi dengan baik, maka (tetap) diperlukan beberapa pemahaman dasar sebagaimana dijelaskan pada sub-bab berikut:
2.2.1
Konsep dasar gelombang seismik
Metode seismik memanfaatkan perambatan gelombang yang melewati bumi. Karena perambatan tersebut bergantung pada elastisitas batuan maka gelombang
13
tersebut akan membawa informasi yang ada dibawah permukaan yang direpresentasikan dengan besaran fisis berupa kecepatan. Bahkan benda padat yang ada dibawah permukaan dapat berubah bentuk dan ukurannya hanya dengan memberikan gaya dipermukaan luar benda tersebut. Akan tetapi karena memiliki sifat elastis maka bentuk dan ukuran benda akan kembali ke keadaan semula ketika pengaruh gaya tersebut hilang. (Telford, 1990).
2.2.1.1 Teori elastisitas Ketika suatu benda padat dikenai gaya luar, maka benda tersebut akan mengalami perubahan ukuran dan bentuk. Jika benda tersebut bersifat elastik berarti benda tersebut akan kembali ke bentuk dan ukuran aslinya setelah pengaruh gaya eksternalnya hilang. Untuk kategori perubahan bentuk dan ukuran yang kecil dan dalam jangka waktu yang pendek, batuan dapat diklasifikasikan bersifat elastik.
Secara umum modulus elastik yang biasa digunakan dalam perhitungan elastik batuan diberikan dalam skema (Gambar 2.5) berikut:
14
Modulus Elastik: (a) Modulus Bulk, κ : Rasio/perbandingan antara peningkatan tekanan dengan perubahan volum yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan tersebut.
κ=
∆P ∆V / V
Dimana ∆P=perubahan tekanan, V=volume, ∆V=perubahan volume. Dan ∆V/V disebut dilatasi (b) Modulus Shear, µ : Rasio antara gaya pada setiap unit luasan dengan perubahan geseran material.
µ=
∆F / A ∆L / L
Dimana ∆F=gaya geseran, A=area cross section, L=jarak antara bidang geseran, dan ∆L=jarak perpindahan yang terjadi akibat geseran. (c) Modulus Young, E: rasio antara stress dan regangan ketika suatu ditarik atau ditekan.
E=
(d)
∆F / A ∆L / L
Dimana ∆F/A=Stress(Gaya per unit area), L=panjang awal, dan ∆L=perubahan panjang Poisson’s ratio, σ: rasio antara regangan transversal dengan regangan longitudinal; ketika suatu material ditarik, akan mengalami perubahan panjang ∆L dan mengalami perubahan lebar ∆W.
σ=
∆W / W ∆L / L
Nilai Rasio Poissons bervariasi dari nol sampai dengan ½ . Nilai σ untuk fluida adalah ½ sedangkan untuk solid Gambar2.5. Skema modulus elastik (After Sheriff, 2002)
15
2.2.1.2 Gelombang Badan
Gelombang badan (body wave) adalah gelombang sinyal yang diprioritaskan dalam eksplorasi seismik. Gelombang ini merambat dalam batuan bawah permukaan dari hasil sumber energi (pukulan, ledakan, vibroseis, dan lain-lain), kemudian merambat ke bawah permukaan dan terpantul saat gelombang menyentuh lapisan dengan kontras impedansi yang berbeda.
Jika bumi dianggap homogen isotropis maka hanya ada dua tipe gelombang yang dapat mejalar yakni gelombang badan yang terdiri dari gelombang P dan S. Apabila gelombang P ini merambat tanpa ada gelombang S, disebut juga dengan gelombang akustik. Jika kedua gelombang P dan S merambat (diperhitungkan) maka gelombang ini disebut sebagai gelombang elastik.
Gelombang P dapat diartikan sebagai primary wave karena datang paling awal yang juga selalu terekam lebih dahulu pada receiver gelombang seismik dibanding gelombang S. P juga berarti pressure wave yakni gelombang yang cara bergeraknya dengan mendasarkan pada efek tekanan yaitu terjadinya kompresi dan ekspansi pada partikel-partikel dalam medium bergerak. Gelombang ini analog dengan gelombang longitudinal dimana arah getar partikel-partikel medium yang dilewatinya searah dengan arah perambatan gelombang.
16
Gambar 2.6. Gelombang P (Lawrence, 2005).
Sedangkan gelombang S berarti secondary wave, datang setelah P. S juga berarti shear wave karena gelombang ini cara bergeraknya mendasarkan pada proses geseran (shear). Partikel-partikel dari medium yang dilewati bergerak ke arah propagasi dari gelombang dan bergetar tegak lurus terhadap arah propagasi dari gelombang tersebut. Gelombang ini analog dengan gelombang transversal.
17
Gambar 2.7. Gelombang S (Lawrence, 2005).
Diberikan untuk persamaan gelombang kompresi: ∂ 2φ = α 2 ∇ 2φ 2 ∂t
(2.1)
dimana φ adalah skalar potensial displacement dan α adalah kecepatan rambat gelombang dilatasi. Dan untuk persamaan gelombang rotasional: ∂ 2ψ = β 2 ∇ 2ψ 2 ∂t
(2.1)
dimana ψ adalah vektor potensial displacement dan β adalah kecepatan rambat gelombang rotasional.
18
Adapun displacement u oleh suatu gelombang pada suatu medium diberikan:
u = ∇φ + ∇ ∧ ψ
(2.3)
Dari penurunan rumus, maka akan didapatkan persamaan kecepatan rambat untuk gelombang P dan S sebagai berikut:
α=
β=
4 3
κ+ µ ρ
(2.4)
µ ρ
dimana α adalah kecepatan gelombang P dan β adalah kecpatan gelombang S. Κ adalah modulus bulk atau inkompresibilitas, µ adalah modulus geser/shear, dan ρ adalah densitas/kerapatan medium. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan gelombang elastik bergantung pada sifat elastik dan densitas material.
2.2.1.3 Pergerakan gelombang
Prinsip Huygens
Prinsip huygen merupakan suatu kondisi dimana setiap titik muka gelombang dapat dianggap sebagai sumber gelombang. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :
19
Gambar 2.8. Prinsip Huygens secara umum (support.svi.nl/wikiimg & www.lems.brown.edu)
Aturan refraksi menggunakan prinsip Huygens dideskripsikan pada gambar(2.9) sebagai berikut:
Gambar 2.9. Prinsip Huygens dalamn refraksi (physics.tamuk.edu)
Aturan refleksi
menggunakan prinsip Huygens dideskripsikan pada
gambar(2.10) sebagai berikut:
Gambar 2.10. Prinsip Huygens dalam refleksi (physics.tamuk.edu)
20
Prinsip Fermat
Prinsip Fermat merupakan prinsip penjalaran sinar yang menyatakan bahwa penjalaran sinar antara dua titik akan melalui jalur dengan waktu tempuh terkecil. Prinsip ini digunakan dalam prinsip penjalaran gelombang seismik yang analog dengan penjalaran sinar. Jika media yang dilewati memiliki kecepatan yang berbeda-beda, maka jalur yang dilalui sinar tidak akan lurus, tetapi akan ”memilih” jalur berbeda yang dapat memberikan waktu tempuh total yang paling kecil.
Hukum Snell tentang penjalaran gelombang mengikuti/ dapat diturunkan dari prinsip Fermat ini. Prinsip Fermat ini juga dapat dideduksi dari prinsip Huygen.
Hukum Snells
Dalam perambatan gelombangnya berlaku hukum Snells yang menyatakan perbandingan antara sudut datang dan pantul/bias dengan kecepatan jejak saat melewati lapisan.
Untuk Gelombang pantul α 1 = α 2 , sehingga berlaku sebagaimana diiliustrasikan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Jejak sinar seismik pantul
21
Sedangkan untuk gelombang bias, (Gambar 2.12)
Gambar 2.12. Jejak sinar seismik yang terbias
kecepatan gelombang P lebih besar dari pada gelombang S maka kita hanya memperhatikan gelombang P. Dengan demikian antara sudut datang dan sudut bias untuk gelombang bias secara umum berlaku : sin α1 nn −1 vn −1 = = sin α 2 nn vn
(2.5)
Gambar 2.13. Jejak seismik terbias kritis
Dan pada pembiasan kritis (Gambar 2.13) sudut α 2 =
90° sehingga
persamaan pada gelombang terbias kritis berlaku: sin α 1 =
v n −1 vn
(2.6)
2.2.1.4 Fasa dan Polaritas Data Polaritas normal merupakan: 1. Sinyal seismik positif menghasilkan tekanan akustik positif pada hidrophone di air atau pergerakan awal ke atas pada geophone di darat.
22
2. Sinyal seismik negatif terekam sebagai nilai negatif pada rekaman, defleksi negatif pada monitor dan trough pada penampang seismik.
Oleh karena itu, dengan menggunakan konvensi ini, maka pada penampang seismik yang menggunakan konvensi SEG akan didapatkan: 1. Pada bidang batas refleksi dimana IA2 > IA1 akan berupa through. 2. Pada bidang batas refleksi dimana IA2 < IA1 akan berupa peak.
Gambar 2.14. Konvensi polaritas menurut SEG (Sheriff, 2002) Untuk refleksi positif, wavelet dengan fasa minimum (gambar atas) dimulai dengan down-kick.
2.2.1.5 Resolusi Resolusi seismik adalah kemampuan dari akuisisi seismik untuk memisahkan dua lapisan batuan. Resolusi menggambarkan jarak minimum antara dua reflektor yang dalam hal ini berupa batas perlapisan yang dapat dibedakan oleh gelombang seismik. Dalam interpretasi seismik resolusi terbagi menjadi dua arah resolusi yaitu resolusi vertikal dan resolusi horizontal. Resolusi horizontal memegang peranan penting dalam menentukan baik buruknya hasil interpretasi khususnya dalam hal identifikasi lapisan-lapisan batuan yang cukup tipis. Lapisan-lapisan tipis
23
tersebut hanya dapat diamati secara akurat dengan resolusi seismik yang tinggi. -
Resolusi Vertikal Ketebalan tuning adalah suatu ketebalan tertentu dari suatu batuan yang disyaratkan agar dapat dibedakan pada penampang seismik refleksi bidang batas atas dan batas bawahnya. Besar ketebalan tuning yang masih dapat dilihat adalah ¼ dari panjang gelombang atau ¼ λ (dimana
v = λf ). Dengan
bertambahnya kedalaman, dimana kecepatan bertambah tinggi, dan frekuensi bertambah kecil, maka ketebalan tuning juga akan bertambah besar.
Gambar 2.15. Refleksi dari tubuh batuan yang mempunyai IA diantara batuan atas dan dibawahnya (a) model (b) penampang seismik (Sukmono, 1999)
24
-
Resolusi Horizontal
Gambar 2.16. Zona Fresnel. (a) untuk sumber dan reciver yang bersamaan, radius zona fresnel pertama adalah R1 (tegak lurus terhadap h). Zona fresnel kedua adalah zona cincinnya. Begitu pula untuk zona fresnel pada orde yang lebih tinggi, juga berbentuk zona cincin. Panjang gelombang dominan adalah λ. Cara lain membayangkan zona fresnel ini adalah bahwa titik refleksi di bawah permukaan mempengaruhi suatu zona fresnel yang sama di permukaan. (b) gambaran keseluruhan energi yang keluar dari titik refleksi (After Sheriff, 2002)
Titik-titik refleksi secara normal berada pada daerah-daerah dimana terjadi interaksi antara muka gelombang dan muka reflektor. Daerah yang menghasilkan refleksi tersebut disebut sebagai zona Fresnel yaitu bagian dari reflektor dimana energi dipantulkan ke geophone atau hidropon setelah terjadinya refleksi pertama. Magnitudo zona Fresnel dapat diperkirakan dari : rf =
V 2
t f
dengan: rf = radius zona Fresnel (meter) V = kecepatan rata-rata (m/detik) t = TWT (detik) f = frekuensi dominan (Hz)
25
Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa resolusi horisontal akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman, bertambahnya kecepatan dan berkurangnya frekuensi.
2.3 Atribut Seismik 2.3.1 Definisi dan klasifikasi atribut seismik Banyak definisi diberikan tentang atribut seismik. Chien dan Sidney (2001) mendefinisikan atribut seismik sebagai pengukuran spesifik mengenai sifat geometri, kinematik, dinamik atau statistikal hasil turunan data seismik. Barnes (1999) mendefinisikan atribut seismik sebagai sifat kuantitatif dan deskriptif dari data seismik yang dapat ditampilkan pada skala yang sama dengan data orisinil. Brown (2000) mendefinisikan suatu atribut sebagai derivatif suatu pengukuran seismik dasar. Pengukuran seismik dasar itu sendiri adalah waktu, amplitudo, frekuensi dan atenuasi, yang kemudian digunakan sebagai dasar klasifikasi atribut oleh Brown (Gambar 2.17)
Pada umumnya, atribut turunan waktu digunakan untuk deteksi atau penentuan struktur geologi, dan turunan amplitudo untuk penentuan stratigrafi dan karakterisasi reservoar. Sedangkan turunan frekuensi dan atenuasi belum begitu difahami atau belum banyak dimanfaatkan, namun diindikasikan bahwa atribut turunan frekuensi akan bermanfaat untuk memberikan informasi terkait stratigrafi dan karakterisasi reservoir, dan turunan atenuasi diharapkan dapat memberikan informasi tentang permeabilitas.
26
Gambar 2.17. Klasifikasi atribut berdasarkan informasi dasar seismik (Brown, 1999)
Atribut seismik merupakan perangkat yang terbuka (open set) dikarenakan terdapat banyak cara untuk melakukan pengaturan perhitungan data. Dan karena berdasarkan pada tipe pengukuran yang terbatas, atribut seismik pada umumnya tidak independent. Atribut sangat berguna karena memiliki hubungan yang luas dengan berbagai besaran fisis, dan besaran fisis tersebut biasa sangat membantu untuk melihat fitur, pola ataupun hubungan yang tidak mudah tersingkap dari data seismik.
27
2.3.2 Atribut kovarian, semblans dan koherensi Atribut koherensi, continuity dan kovarian merupakan atribut yang hampir sama. Kesemuanya bertujuan untuk mengkonversi dari volume berbasis kontinyu (refleksi normal) menjadi volume berbasis diskontinyu (sesar dan berbagai bidang batas yang lain). Atribut ini dioperasikan dalam suatu window temporal dan menggunakan berbagai algoritma pendekatan matematis yang mirip dengan perhitungan korelasi. Karena atribut ini dihitung langsung dari data seismik yang diproses, maka hasilnya dapat terhindar dari bias interpretasi yang biasa terjadi jika dilakukan langsung pada interpretasi manual.
Gambar 2.18. Metode perhitungan atribut semblance (after Landmark, 1999).
28
Semblance merupakan sebuah atribut turunan waktu yang dimanfaatkan untuk mengukur similaritas antar tras seismik yang dapat dimanfaatkan untuk menonjolkan perubahan lateral seismik akibat adanya perbedaan kondisi geologi.
Pada cube yang dihasilkan, ukuran utama similaritas adalah korelasi-silang yang membandingkan tras pusat dengan tras tetangganya dengan cara mengalikan sampel-sampel dari tras pusat dengan tras-tras tetangganya dalam suatu jendela analisis, dan dinormalisasi dengan melakukan autokorelasi kedua tras ini. Outputnya merupakan kombinasi statistik dari tras pusat ini dengan nilai korelasi silang tetangganya.
Gambar 2.19. Prinsip dasar atribut koherensi (http://www.kgs.ku.edu/PRS/publication/2002)
29
2.3.3 Spectral Decomposition Spectral
decomposition
merupakan
metode
untuk
menggambarkan
dan
memetakan ketebalan temporal lapisan dan ketidak-kontinyuan geologi pada survei seismik 3D, dengan memanfaatkan data seismik dan transformasi Fourier diskrit (TFD) (Partyka and Gridley, 1997). Pada metode ini, data seismik ditransformasi ke dalam domain frekuensi dengan TFD ehingga bisa didapatkan tampilan spektrum amplitude dan/atau spektrum fasa.
Konsep dasar dari spectral decomposition ini sendiri adalah bahwa refleksi dari suatu lapisan tipis memiliki karakteristik ekspresi di dalam domain frekuensi yang merupakan indikasi dari ketebalan lapisan temporal. Pada respon frekuensi tersebut, terdapat perbedaan yang signifikan jika ukuran window data yang digunakan lebar dengan penggunaan window yang pendek. Hasil transformasi dari trace seismik yang panjang (window lebar) kira-kira sebagaimana spektrum wavelet (Gambar 2.20)
30
Gambar 2.20. Transformasi Fourier pada window lebar (Partyka, 1999)
Gambar 2.21. Transformasi Fourier pada window kecil (Partyka, 1999)
31
Pada window data (yang pendek) tersebut, spektrum amplitudo bukan lagi hanya approksimasi dari wavelet, tetapi juga model perlapisan lokal (Gambar 2.23). Secara fisis, kondisi geologi berperan sebagai filter lokal yang beraksi pada wavelet terefleksi, sehingga mengatenuasi spektrum wavelet tersebut. Sehingga spektrum amplitudo yang dihasilkan merepresentasikan pola interferensi yang terjadi.
Adapun pada spektrum fasa, karena fasa sensitif terhadap perturbation yang halus pada karakter seismik, hasilnya akan dapat memberikan deteksi diskontinuitas akustik lateral dengan baik. Jika batuan yang ditinjau secara lateral stabil, maka respon fasenya akan stabil pula. Dan apabila, terjadi ketidakkontinyuan, respon fase yang terbentang pada daerah yang tidak kontinyu tersebut juga akan tidak stabil.
Spectral decomposition dan fenomena “thin bed tuning” dapat diiliustrasikan dengan model pembajian sederhana (Gambar2.22)
32
Gambar 2.22. Model pembajian sederhana (Partyka, 1999)
Respon temporal dari sinyal terdiri atas dua buah reflektivitas spike dengan magnitudo yang sama namun arahnya berlawanan. Bagian atas lapisan ditandai dengan koefisien refleksi negatif, sedangkan lapisan bagian bawah ditandai dengan koefisien refleksi negatif. Adapun ketebalan lapisan adalah dari 0 ms, sebagaimana tampak pada bagian kiri, sampai dengan 50 ms pada bagian kanan. Dengan melakukan filtering sinyal, dapat terlihat efek tuning yang terjadi akibat perubahan/perbedaan ketebalan. Lapisan atas dan lapisan bawah terlihat terpisah pada ketebalan yang cukup lebar, tetapi akan menjadi satu event refleksi seiring menipisnya lapisan tersebut.
33
Selanjutnya pada masing-masing trace reflektivitas dilakukan perhitungan window kecil dari spektrum amplitudo dan didapatkan suatu plot dengan komponen frekuensi pada sumbu vertikalnya. Dan ketebalan temporal dari lapisan akan menentukan periode notch pada spektrum amplitudo terhadap frekuensi (Gambar 2.23.a).
Gambar 2.23 Periode notch spektrum (Partyka, 1999)
Pf = 1 / t Dimana, o
Pf : periode notch pada spektrum amplitudo terhadap frekuensi (Hz), dan
o
t : ketebalan lapisan tipis (seconds)
34
Hal ini dapat pula diilustrasikan dari sudut pandang lain dimana nilai komponen frekuensi menentukan periode notch pada spektrum amplitudo terhadap ketebalan lapisan tipis (Gambar .b), dengan rumusan sebagai berikut, Pt = 1 / f
Dimana, o
Pt : periode notch spektrum amplitudo terhadap perubahan ketebalan
lapisan tipis (seconds), dan o
f : frekuensi Fourier diskrit
Gambar 2.26. Prinsip dasar Spectral decomposition (http://www.kgs.ku.edu/PRS/publication/2002/ofr49/index.html).