Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
“Kemajemukan di Indonesia : Rakhmat atau Petaka? Maka ada sebabnya. Nyaris hampir dua tahun masyarakat Indonesia digoncang oleh berbagai kerusuhan. Di dalam kerusuhan itu, ada bentuk-bentuk kekerasan yang sangat memprihatinkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada sejumlah peristiwa kerusuhan yang dapat disebutkan di sini, ambil saja sebagai awalnya adalah peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta yang diikuti oleh berbagai peristiwa lainnya, seperti : Peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Sangauledo, Banjarmasin, Jember, Pekalongan, Temanggung, Bangkalan, Timor-Timur, dan masih banyak lagi lainnya. Terakhir adalah masalah pembunuhan dukun santet di Banyuwangi yang menghadirkan sejumlah ninja. Muncul sejumlah pertanyaan terhadap berbagai peristiwa di atas, “mengapa masyarakat kita menjadi beringas?, Apakah benar masyarakat kita menyukai kerusuhan?, Benarkah masyarakat kita sedang sakit? Atau, Benarkah para penyelenggara pemerintahan telah kehilangan wibawanya di hadapan rakyatnya ?” Tak ada jawaban pasti dapat diberikan atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Setiap bangsa di dunia yang memiliki Negara pasti juga memiliki lambang Negara, begitu juga dengan Indonesia. Yang menakjubkan dari lambang “Garuda Pancasila” adalah sikapnya. Sang “Garuda” seakan-akan berani untuk bersikap menanantang semua yang dihadapinya. Ia menantang dengan memperlihatkan dadanya, tapi di antara kedua kakinya tertera goresan kalimat yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika”. Makna kalimat itu merupakan pencerminan dari sikap patriotik dan sikap nasional dari bangsa Indonesia. Kita boleh menyimak lambang-lambang negara lain, apakah mereka itu memiliki lambang negara yang memuat goresan persatuan bangsa?. Sampai saat ini belum dijumpai. Umumnya lambang negara mereka hanya merupakan gambar binatang, pedang, bulan bintang, palu arit, dan lain-lain. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang secara eksplisit atau nyata dan tegas mencantumkan unsur “Persatuan Bangsa” dalam gambar lambang negaranya. Oleh karena itu, kita bangsa Indonesia yang sejak menyatakan kemerdekaan nasional pada tanggal l7 Agustus 1945, harus konsukuen dan tegas dalam mengamalkan makna yang terkandung dari kalimat “Bhinneka Tunggal lka” tersebut. Sebab, jika kita tidak konsekuen melaksanakan konsep lambang negara kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka ini bermakna bukan saja memperlihatkan kepada bangsa lain, bahwa kita adalah bangsa yang tidak konsekuen, munafik dan dapat disebut sebagai bangsa yang menganut paham simbolisme, tapi lebih dari itu. Bangsa kita akan mengalami malapetaka yang menghancurkan tujuan dari revolusi 1945.
Rasialisme akan hidup dengan suburnya dalam kehidupan masyarakat, unsur etnosentrik berkembang biak dan disintegrasi nasionalpun akan melanda negara kita. Boleh jadi, pada akhirnya bangsa kita terpecah menjadi berkeping-keping atau dapat juga menjadi arena pertarungan ideologi asing, seperti apa yang kita jumpai di Negara-negara Amerika Latin. Kita harus senantiasa waspada dan jangan lalai dalam menyimak atau memantau pengamalan konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan. masyarakat. Apabila kita kaji kandungan konsep Bhinneka Tunggal Ika, maka jelas telah tersurat dan tersirat pengertian bahwa dalam
1/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, kita tidak mengenal unsur superior dan inferior dalam kehidupan kebudayaan dan politik, kita tidak mengenal. unsur mayoritas dan unsur minoritas, kita tidak mengenal derajat perbedaan kualitas budaya dan kita semua menolak ras atau kaum yang bersifat “spesial” di antara kelompok etnik di dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi lambang nasionalisme Bangsa Indonesia dijiwai oleh unsur demokrasi yang berintikan kepribadian Indonesia yang dinamik.
Ini berarti bahwa semua kelompok etnik mempunyai derajad yang sama, mempunyai kualitas budaya yang sama, mempunyai hak mengembangkan budaya local untuk menunjang kebudayaan nasional, dan semua kelompok etnik, meskipun berbeda dalam bahasa daerah, kebudayaan, agama, ataupun kepercayaan, dan latar belakang sejarah, tapi dalam kehiduapan bernegara dan bermasyarakat kita atau semua kelompok etnik mempakan satu unit politik, satu unit kebudayaan nasional, dan satu spirit untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Atau dengan kata lain, kita berbeda karena faktor latar belakang sejarah dan kebudayaan, namun, kita manunggal dalam semangat persatuan bangsa yang utuh . Inilah karakteristik dari kenyataan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia yang heroik untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gejala akan munculnya atau lahirnya integritas nasional, mulai terlihat pada saat organisasi Budi Utomo didirikan pada tahun 1908 yang dimotori oleh kelompok pemuda pelajar STOVIA.
Meskipun dalam hal ini organisasi Budi Utomo memulai gerakannya dalam bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa, akan tetapi, hal ini menampakan langkah awal yang menentukan langkah perjuangan selanjutnya dari semua kelompok etnik di Indonesia. Selepas Budi Utomo berdiri pada tahun 1908, menyusul berdiri berbagai organisasi lain yang tujuannya mempersatukan perlawanan rakyat melawan pemerintah penjajahan Belanda. Jika kita melakukan penilaian terhadap kehadiran Budi Utomo, kita jangan sekali-kali terperangkap pada fokus unsur etnosentrisnya saja (Jawa), namun kita juga harus dapat melihat dampak positif dari kehadiran organiiasi modern Budi Utomo itu di tengah-tengah perubahan zaman masa perjuangan dari Bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Begitu juga dengan kehadiran organisasi Sarikat Islam, kita jangan terperangkap pada fokus kereligiusannya saja, namun kita harus juga melihat makna kehadiran organisasi itu setelah Budi Utomo. Perkembangan organisasi pemuda lokal yang berasal dari berbagai kelompok etnik di tanah air, tidak mungkin terwujud tanpa dirangsang kehadiran Budi Utomo. Yang harus diingat adalah, bahwa perjuangan suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaannya pada umumnya tidak langsung di mulai dari muncul suatu organisasi politik yang bersifat murni nasional. Jika tidak gejala nasionalismenya di mulai dari unsur religius, tentulah di mulai dari gejala yang bermula dari unsur etnosentrik.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya berbagai organisasi itu kemudian mewujudkan dirinya dalam bentuk yang murni dan nasional. Kenyataan di atas dapat dilihat dari
2/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
perkembangan organisasi pemuda atau local di Nusantara pada zaman colonial belanda. Berbagai organisasi pemuda lokal itu pada mulanya berbentuk etnosentrik atau bersifat kedaerahan. Akan tetapi, hanya dalam beberapa saat khususnya tahun 1920-an berbagai organisasi itu mulai memperlihatkan bentuknya sebagai organisasi yang bersifat nasional. Berbagai kontak organisasi pun mulai di adakan di antara berbagai organisasi pemuda itu. Pada akhirnya, mereka bersepakat untuk saling memmbantu dalam perjuangan. Puncak kebersamaan itu adalah pada saat berbagai organisasi pemuda lokal itu meleburkan diri secara bersama dalam “Sumpah Pemuda”.
Sumpah Pemuda yang lahir pada tanggal 28 Oktober 1928, adalah fakta sejarah dimana kita dapat melihat bagaimana perkembangan organisasi pemuda local yang pada akhirnya menyatakan diri dalam unit perjuangan bersama. Istilah atau konsep Bhinneka Tunggal Ika belumlah dikenal oleh masyarakat luas pada waktu itu, namun spirit atau jiwanya sudah dimiliki oleh kelompok pemuda-pemuda kita, termasuk para perintis kemerdekaan yang bergerak secara langsung dalam bidang politik. Semangat Bhinneka Tunggal Ika itulah yang mengikat jiwa dan semangat mereka untuk mempersatukan tujuan perjuangan mereka, membulatkan aspirasi mereka, dan mempersatukan tindakan atau reaksi melawan pemerintah colonial belanda.
Kesadaran akan pentingnya persatuan yang terdapat di kalangan para pemuda di zaman pergerakan, adalah tidak mungkin menjadi kenyataan sejarah jika semangat Bhinneka Tunggal Ika itu tidak hidup dan berakar dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan nasional di tahun 1945, pencantuman kalimat Bhinneka Tunggal Ika dilambang Negara kita, hanyalah merupakan suatu formalitas belaka. Masalahnya, semangat dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika telah hidup dengan suburnya dalam dada setiap pejuang di zaman Pergerakan Nasional yang bermula dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Jadi, pada saat bangsa Indonesia secara resmi menggunakan Bhinneka Tunggal Ika, tidaklah diperlukan sebuah proses pemasyarakatan ataupun perkenalan dalam kehidupan masyarakat, oleh karena konsep Bhinneka Tunggal Ika itu secara mekanik sudah hidup di masyarakat, terutama di kalangan kelompok pejuang kita yang terdiri dari berbagai kelompok etnik. Selama periode Perang Kemerdekaan dari tahun 1945-l949,pewujudan semangat dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin dibantah kebenarannya. Pada periode di atas, meskipun rakyat Indonesia sebagian besar masih belum mengenyam pendidikan formal dan system komunikasi belum sehebat sekarang, akan tetapi kesadaran persatuan nasionalnya telah memperlihatkan bentuknya. Semua kelompok etnik yang berasal dari segenap penjuru tanah air secara bahu-membahu menyusun kekuatan untuk menangkis invansi atau agresi militer Belanda.
Kesadaran politik atau pemahaman politik mereka pada saat itu belumlah sehebat seperti sekarang ini, namun satu hal yang terlihat jelas pada zaman itu adalah kesediaan dari rakyat
3/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
untuk berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Mereka berasal dari kelompok etnik yang beragam, ada yang berasal dari Tapanuli, Bugis-Makassar, Padang, Jawa, Bali, Kalimantan, Manado, dan lain sebagainya ikut meleburkan diri menjadi satu wadah dalam perjuangan perlawanan rakyat. Rasa cinta tanah air dan kehormatan untuk mempertahankan kelanjutan hidup Negara Republik Indonesia jelas menggambarkan terhapusnya unsur sukuisme atau perasaan etnosentrik yang semula dihembuskan oleh Belanda untuk memecah persatuan kita. Negara Federal yang konsepnya dibuat oleh Van Mook, dan berusaha menghidupkan unsur sukuisme untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menemui kegagalannya. Rasa cinta tanah air yang telah tertanam dalam jiwa semua kelompok etnik adalah merupakan benteng yang tidak dapat tembus oleh de vide et empira dari Van Mook terhadap bangsa Indonesia. Semangat Bhinneka Tunggal Ika itulah yang merupakan senjata ampuh dari rakyat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat akan persatuan itu memperkuat daya tahan mental rakyat untuk memberikan pengbrbanan apa saja di masa revolusi nasional sedang berkecamuk. Orang Batak, orang Jawa orang Aceh, orang Bugis-Makassar, orang Minangkabau, dan sejumlah orang-orang dari etnik lainnya tanpa melihat perbedaan agama, bahasa, adat-istiadat” telah melebur menjadi satu unit bangsa di bawah lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Rasa persaudaraan yang lahir di zaman revolusi itu, merupakan kesaksian sejarah bagi pemersatuan cita-cita, aspirasi nasional, bersatunya tekad, untuk bersedia melakukan pengorbanan dan kesediaan hidup secara bersama secara damai di bawah lambang negara Bhinneka Tunggal Ika. Para pejuang kita pada zaman itu telah berhasil menghapuskan unsur sukuisme ataupun unsur fanatisme kedaerahan dan kemudian menggantikannya dengan jiwa dan semangat nasionalisme Pancasila/UUD 1945 serta lambang BhinnekaTunggal Ika.
Jadi perwujudan semangat dan jiwa Bhinneka Tunggal Ika di zaman revolusi, patutlah untuk dieksplorasi pada saat kini. Kita wajib melakukan koreksi terus-menerus terhadap tingkah laku kita sebagai warga negara RI yang secara konsekuen telah menjadikan dan menerima konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang negara. Tanpa koreksi yang intensif, maka setiap waktu bahaya disintegrasi nasional akan mengancam kesatuan nasional Indonesia. Bila hal yang menakutkan ini menjadi kenyataan, tentulah bermakna bahwa semua hasil perjuangan kita yang telah meminta pengorbanan yang tidak ternilai harganya akan sirna atau sia-sia.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika, dapat dikatakan telah hampir dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hal ini tentu saja sangat menggembirakan, oleh karena walau bagaimanapun bangsa kita yang terdiri dari masyarakat majemuk tidak dapat terlepas dari pengaruh yang bersifat destruktif, seperti umpamanya, pengaruh yang bertentangan dengan ideologi negara Pancasila pengaruh unsur budaya yang negatif,
4/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
pengaruh gerakan separatisme dan rasialisme yang pada akhir-akhir ini berkembang di kawasan Asia atau Asia Tenggara. Otomatis dengan semakin dikenalnya konsep Bhinneka Tunggal Ika disemua lapisan sosial masyarakat, paling tidak dapat mencegah atau menjadi benteng pertahanan kita dalam menghadapi penetrasi budaya dan ideologi yang akan menghancurkan nilai-nilai persatuan bangsa dan Negara RI.
Akan tetapi, satu yang patut diperhatiikan secara serius dan seksama, adalah kemungkinan munculnya bahaya yang berasal dari dalam negeri sendiri. Mungkin bahaya itu cukup sukar dilihat dipermukaan jika dibandingkan dengan bahaya yang berasal dari luar. Sebab, bahaya yang berasal dari dalam negeri pada umumnya mula-mula dianggap tidak mengkwatirkan dan tidak serius. Akan tetapi jika telah menjadi kenyataan, sebagaimana yang pada akhir-akhir ini terjadi kitapun menjadi panik dan saling bertanya, mengapa bias demikian?. Berdasarkan pengalaman sejarah, maka amatlah bijaksana jika masalah pergaulan social dikalangan kelompok etnik di tanah air kita tetap diusahakan oleh para penyelenggara Negara agar tidak sampai menyimpang dari konsep Bhinneka Tunggal lka. Demikian juga masalah yang menyangkut “semboyan” pengembangan kebudayaan daerah agar tidak berkembang menjadi gerakan fanatisme daerah yang jelas bertentangan dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Kebudayaan daerah sudah sewajarnya harus dipelihara dan dikembangkan. Oleh itu, bagaimanpun juga kebudayaan merupakan tulang punggung dari kebudayaan nasional.
Namun, yang kita kuatirkan dan takutkan adalah jika istilah semboyan pengembangan kebudayaan daerah itu kemudian menggeser menjadi pengembangan kebudayaan daerah yang mengandung unsur separatisme dan rasisme. Hal-hal seperti inilah yang patut dicegah untuk tumbuh dan berkembangnya separatisme dan rasisme dalam kehidupan masyakat kita. Hanya orang yang tidak waras atau dungu yang tidak mencintai kebudayaan daerahnya. Ini, telah merupakan kenyataan di mana-mana. Akan tetapi, bukan pengembangan kebudayaan daerah yang merangsang tiap-tiap kelompok etnik di negara RI untuk saling bersaing dalam menonjolkan keistimewaan kebudayaan daerahnya. Apalah arti kemegahan suatu kebudayaan ditonjolkan oleh suatu kelompok etnik yang menganggap kebudayaannya paling hebat, jika dampak penonjolan itu mempengaruhi integritas nasional. Atau, dengan perkataan lain dapat menghancurkan persatuan nasional dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dalam kehidupan budaya. Itulah yang mutlak harus dicegah baik oleh pemerintah maupun oleh kita semua yang konsekuen hidup di bawah naungan lambang negara Bhinneka Tunggal Ika.
Mengapa masalah fanatisme kebudayaan daerah perlu mendapat tekanan utama ? Kemudian , mengapa hal ini dirasa perlu dibicarakan secara terbuka ? Menurut analisa kami, ada dua hal yang patut diperhatikan dalam konteks integrasi nasional. Pertama, penghayatan dan pengamalan konsep Bhinneka Tunggal Ika bagi semua kelompok etnik di Indonesia, menyangkut masa depan bangsa Indonesia. Maksud yang terkandung, bahwa kita sebagai bangsa yang bertipe majemuk harus dapat menetralisir semua gejala yang muncul dari ada
5/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
sikap melebih-lebihkan pengembangan kebudayaan daerah. Kita mutlak harus meningkatkan daya tahan kebudayaan kita dari kemungkinan munculnya gejala separatisme dalam kehidupan kebudayaan. Di mana kebudayaan daerah dalam perkembanaganya tidak menjadi kebudayaan yang bersifat fanatik bagi para pendukungnya. Jika kebudayaan daerah itu telah menyimpang dari konsep Bhinneka Tunggal Ika, dan merubah warnanya menjadi kebudayan yang justru menimbulkan sikap fanatisme, di kalangan pendukungnya, maka akibatnya pertarungan budaya di kalangan etnik sudah tidak mungkin dihindari lagi. Kenyataan seperti itu jelas merupakan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Kedua, bahwa gejala munculnya rasialisme dalam kehidupan masyakat majemuk seperti bangsa Indonesia ini, pada umumnya diawali oleh terjadinya persaingan kebudayaan yang tidak sehat di antara berbagai kelompok etnik. Setiap kelompok etnik akan tampil ke depan dengan perasaan “congkak” dan menonjolkan kehebatan kebudayaannya dalam kehidupan bermasyakat. Masing-masing merasa bahwa kebudayaannyalah yang terhebat atau yang paling tinggi kualitasnya. Akibatnya keadaan seperti di atas berkembang menjadi tindakan saling menghina kebudayaan dan disusul kemudian dengan perbuatan teror yang ganas.
Kenyataan ini merambat ke dalam sektor kehidupan yang lain, seperti hal yang menyangkut masalah kesenjangan sosial, masalah kesenjangan ekonomi atau dalam kehidupan politik dan sebagainya. Rasialisme sampai hari ini masih membayangi negeri Malaysia, Sri Langka, India, Amerika Serikat, dan beberapa Negara di Eropa Timur. Kenyatan di atas dapat dijadikan contoh yang relevan, betapa unsur fanatisme
budaya etnik yang berlebihan dapat menimbulkan malapetaka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kiranya patut pula diperhatikan, bahwa sekali rasialisme memperlihatkan dirinya dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat, cukuplah sukar untuk membasminya dengan cepat dan tuntas. Mengapa?’. Oleh karena di dalam aksi rasialisme itu yang memegang peranan atau yang dominan, adalah sentimen ras, dendam sosial untuk saling menghancurkan, serta pemikiran yang picik karena terbatasnya visi ke masa depan. Salah satu cara usaha pencegahan munculnya gejala fanatisme kedaerahan yang menjurus kepada penyimpangan konsep Bhinneka Tunggal Ika, adalah dijalankannya politik keseimbangan budaya oleh pemerintah.
Pelaksanaan kebijaksanaan di atas, adalah bertujuan untuk mengontrol secara langsung setiap perkembangan atau kehidupan kebudayaan daerah agar tetap berjalan dalam ruang lingkup BhinnekaTunggal Ika. Dengan dilakukannya kontrol secara langsung oleh masyarakat dan pemerintah, maka setiap gejala munculnya unsur fanatisme yang berdasarkan rasialisme dapat segera dicegah perkembangan-nya. Politik keseimbangan budaya dapat juga menahan ambisi dari setiap kelompok etnik untuk tidak secara berlebihan memamerkan kebudayaannya baik melalui idiom-idiom yang di kandungnya ataupun tidak, di tengah-tengah kelompok budaya
6/7
Tentang Bhinneka Tunggal Ika
Tuesday, 29 September 2009 06:25
etnik lainnya. Dengan demikian perkembangan kebudayaan daerah yang merupakan penunjang kebudayaan nasional dapat terwujud. Berbagai unsur “prejudice” dalam bidang kebudayaan dapat juga dicegah kemunculannya. Rasanya yang harus tampil sebagai sponsor dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini, adalah kelompok elit pemerintahan; baik yang berada di pusat maupun yang berada di tingkat propinsi/daerah. Oleh karena kelompok inilah yang sebenarnya dapat dijadikan acuan atau diteladani tingkah lakunya oleh lingkungan masyarakat yang dipimpinnya. ( Dari Jurnal Kebangsaan).
Sumber: poldem.co.cc/category/artikel
7/7