BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara. Sumatera Utara 1 adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keberadaan masyarakat yang
1
Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota, seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Nias Utara, Nias Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kota Binjai, Kota Tanjungbalai, Kota
Universitas Sumatera Utara
heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, MandailingAngkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa. Pada menerima
masa sekarang sebagian besar masyarakat cara pembagian
delapan kategori, seperti
kelompok-kelompok yang ditawarkan
Sumatera Utara,
etnik setempat ke dalam
oleh pemerintah
Indonesia.
Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.
The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6).
Tebingtinggi, Kota Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan (Humbamas), Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Dairi, Pakpak-Bharat, juga Karo.
Universitas Sumatera Utara
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera populasi setempat (yaitu mereka dengan suku-suku.
Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan yang
bukan imigran), yang biasa disebut
Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi
pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus. 2 Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda.
Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan
Pakpak-Dairi di
utara
dan barat—dengan
kelompok Toba, Mandailing,
Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua
sistem
linguistik ini. 3 Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau.
Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar
473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar
384
km.
Sumatera
adalah
pulau
di sebelah barat
2
Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya. 3 Selain dari etnik natf yang biasa diuraikan dan dikaji oleh para ilmuwan, di Sumatera Utara terdapat juga dua etnik natif lainnya di wilayah Tapanuli Bahagian Selatan, yaitu orangorang Lubu dan Siladang. Mengenai eksistensi mereka belum banyak dikaji oleh para ahli, namun bagaimanapun mereka adalah termasuk ke dalam kategori etnik Sumatera Utara, yang keberadaannya harus diperhatikan dan mengikutsertakan mereka dalam konteks membangun Sumatera Utara dan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik pantai barat ataupun timurnya. dalam pemerintahan daerah
yang berdekatan dengan
Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke
di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera
didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell, 1973:80-81). Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan Karo Jahe [Ka.ro Ja.hê] yang bermukim di dataran rendah (pesisir timur) Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional Karo adalah katoneng-katoneng. 4 Katoneng-katoneng
[ka.to.nêng-ka.to.nêng]
merupakan
nyanyian
tradisional etnik 5 Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan. Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang 4
Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan. Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo. 5 Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbedabeda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lainlainnya. Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional, spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong 6 (penyanyi dan penari profesional Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu. Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka, menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting, Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu, Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya. 7 Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring, Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guroguro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan
6
Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune [pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya. 7 Penulisan huruf br adalah singkatan dari kata beru, yang artinya anak perempuan dari ayah yang bermerga tertentu. Penulisan seperti ini lazim dilakukan oleh orang-orang Karo, dan menurut pengalaman penulis jarang seorang perempuan Karo memanjangkannya dalam kara beru.
Universitas Sumatera Utara
sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni pada saat pembukaan acara. Menurut
keterangan
perkolong-kolong
Arus
Perangin-angin,
lagu
katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katonengkatoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya. Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah: (1) Memahami bahasa Karo dengan baik. (2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo. (3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna. (4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang. (5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya dengan baik. (6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen Karo. 8
8
Anding-andingen adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo. Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya, serta dapat menerapkannya dalam perilaku musikal.
Universitas Sumatera Utara
Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia), maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas di dalam kebudayaan Karo. Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa menghadirkan perkolong-kolong.
Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan
ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut (penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3 juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya. Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang perkolongkolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak hanya menyampaikan nyanyian katoneng-katoneng, tetapi juga melantunkan lagu-
Universitas Sumatera Utara
lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu Sada Perarih, Diding-diding, Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan keterampilan estetika mereka). Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng
berisikan
nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru) lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang kerabatnya ke alam kubur. Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan. Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap perkolongkolong memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, maka mereka
Universitas Sumatera Utara
mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong
yang
bersangkutan. Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari: (1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup. Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan. Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya, menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten (pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut. Bagian kedua, merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan teks nyanyian katoneng-katoneng. Tidak jarang pada bagian ini, kelompok adat
Universitas Sumatera Utara
tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang yang sudah meninggal itu, seolah-olah
sedang menyampaikan kata-kata
nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya. Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan. Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan yang dimilikinya. Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya. Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga. Bahasa
yang
dipergunakan
dalam
nyanyian
katoneng-katoneng
menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat (bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang bermakna konotatif mempunyai efek yang lebih dalam, yang mengandung
Universitas Sumatera Utara
falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya. Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas (figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, perganiganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu. Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting. Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek. Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong berbunyi. Seorang perkolong-kolong tidak dapat dengan pasti mengetahui di mana
Universitas Sumatera Utara
suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi lagu itu sendiri. Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam sebuiah kalimat sebagai berikut: That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer.
Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif (hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para seniman musik. Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu: rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek). Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat lagu, melainkan pada akhir sebuah frase.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis, dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya. Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini, mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian, sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia. Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang lima sidalanen atau telu sidalanen. Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo penuh dengan makna-makna dan nilai budaya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang, dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum). Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolongkolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai predikat kematian cawir metua.
Universitas Sumatera Utara
Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan berikut ini. Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research. Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicologists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics (http://www.ethnomusicology. org/?page=whatisethnomusicology).
berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan studi musik dalam konteks
Universitas Sumatera Utara
budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik. Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan
Universitas Sumatera Utara
disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek
yang melibatkan kebijakan budaya,
penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia. Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan hukum-hukum
dalam
mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai
internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik
sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music
Universitas Sumatera Utara
sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua bagian
keilmuan,
menimbulkan
yaitu
musikologi
dan
kemungkinan-kemungkinan
etnologi. Dampaknya adalah
masalah
besar
dalam rangka
mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengandaikan
kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks
Universitas Sumatera Utara
etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara permainan musik dalam sosial dan
musik sebagai suatu bahagian dari
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi
kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja
keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas. Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.
1.2 Pokok Permasalahan Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katonengkatoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya. Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan ini lebih menempatkan katoneng-katoneng
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katonengkatoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu: (1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? (2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? (3) Bagaimana
makna
tekstual
lagu
katoneng-katoneng
yang
dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo? Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan lainlainnya.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspekaspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis. Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun katoneng-katoneng ini.
1.3 Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan
yang berhubungan dengan katoneng-
katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.
1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan
Universitas Sumatera Utara
Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katonengkatoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsipprinsip keindahan penyajiannya. 3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo.
1.4.2
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua. 2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang. 3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di
Universitas Sumatera Utara
dalam
kebudayaan
Karo,
yang
disesuaikan
pula
dengan
perkembangan zaman. 4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan
disiplin
ilmu-ilmu
seni
khususnya
etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis. 5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman.
1.5
Konsep dan Teori
1.5.1
Konsep Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan
berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsepkonsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna. Konsep adalah
rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari
peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan
Universitas Sumatera Utara
argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177). Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng, (b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.
1.5.1.1 Katoneng-katoneng Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya. Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan dengan kematian dan cenderung sedih.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.2 Cawir metua Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum). Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.3 Kebudayaan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.” Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.4 Fungsi Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh
salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada
awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. 9 Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,
9
Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
Universitas Sumatera Utara
akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat.
Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal. Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan masalah-masalah lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.5 Struktur melodi Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.
1.5.1.6 Makna teks Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar
Bahasa
Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik yang disajikan dalam bentuk nyanyian tradisional Karo
Universitas Sumatera Utara
yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya. Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini.
1.5.2 Teori Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35). Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis
terhadap
struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat
diuraikan
sebagai berikut. 1.5.2.1 Teori fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi nyanyian katoneng-katoneng khusus pada upcara cawir metua dalam kebudayaan Karo, penulis menggunakan teori dalam disiplin
Universitas Sumatera Utara
antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (hidup tahun1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan dia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkannya tertarik kepada ilmu etnologi. Dia melanjutkan pelajarannya ke London School of Economics. Namun karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau etnologi, maka dia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya dalam ilmu etnologi, adalah C.G. Seligman. Pada tahun 1916 dia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai pengganti disertasi, yaitu: (a) The Family among the Australian Aborigines (1913) dan (b) The Native of Mailu (1913). Kemudian pada tahun 1914 dia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian. Selepas perang
Universitas Sumatera Utara
dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai pembantu ahli di London School of Economics. Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944). Pemikiran
Malinowski
mengenai
syarat-syarat
metode
etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry, 1957:82), yaitu: (1) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap
Universitas Sumatera Utara
keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; (3) Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, ketika Malinowski julung kali menulis karangan-karangannya tentang berbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan
Universitas Sumatera Utara
manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Kesenian sebagai contoh salah satu usur
kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu.
Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang
peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel berjudul “The Group and the Individual in Functional Analysis” dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan telah menjadi kebiasaan. Setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam
Universitas Sumatera Utara
suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan.
Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau
beberapa
keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan makanan atau untuk produksi makanan.
Untuk ini masyarakat mengadakan
bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat. Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat tradisional (primitif). Dia menjelaskan bahwa nilai yang praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka
Universitas Sumatera Utara
ragam, bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengeksploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif (Malinowski, 1927:40-41). 10 Selain Malinowski, pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi yang lain ialah Arthur Reginald Radcliffe-Brown.
Seperti Malinowski, dia
mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubunganhubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown, 1952). Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkahwinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia 10
Keberatan utama terhadap teori fungsionalisme Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginankeinginan yang didefinisikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan bahwa semua masyarakat menginginkan pengelolaan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tidak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap masyarakat berbeda pengelolaannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain, teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenarnya bisa saja dipenuhi dengan cara yang lain, yang dapat dipilih dari sejumlah pilihan dan mungkin cara itu lebih mudah.
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota keluarga dapat dihindarkan— dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga kesatuan sosial masyarakatnya. Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural adalah sukarnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencoba menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak bisa meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin bahkan merugikan.
Kita tidak bisa mengandaikan bahwa semua
kebiasaan dalam sebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun
Universitas Sumatera Utara
kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi teoretis ini tidak akan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sebuah masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menuurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara atau alternatif yang ada. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang digunakan pada upacara cawir metua dalam budaya Karo, maka teori fungsionalisme digunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi tersebut memenuhi keinginan masyarakat Karo. Berdasar kepada teori fungsionalisme Malinowski, katoneng-katoneng timbul dan berkembang karena diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai-bagai keperluan sosial, seperti pengabsahan upacara, memberikan hiburan, menunjukkan status sosial, integrasi masyarakat dan lainnya. Katoneng-katoneng ini memiliki fungsi-fungsi sosiobudaya. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi katoneng-katoneng adalah untuk memenuhi sistem sosial yang terintegrasi, yang akhirnya akan membentuk harmoni sosial. Melalui katoneng-katoneng setiap pendukungnya adalah menempatkan diri pada struktur sosial yang dibangunkan bersama-sama. Dalam lagu ini terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Karo yang dipegang kukuh oleh orang Karo dari generasi ke generasi.
Struktur sosial
masyarakat Karo ini termasuk di dalamnya aspek hubungan rakut sitelu, di antara
Universitas Sumatera Utara
yang tua dan muda, begitu juga pertuturan yang disebut tutur siwaluh, serta sistem klen yang disebut merga silima.
1.5.2.2 Teori weighted scale Dalam rangka menganalisis struktur melodi katoneng-katoneng yang digunakan dalam upacara kematian cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), yang ditawarkan oleh Malm (1977). Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) interval, (4) pola-pola kadens, (5) formula melodi, (6) kontur, (7) wilayah nada, dan (8) distribusi nada. Tangga nada yang dimaksud dalam teori ini adalah nada-nada yang digunakan, termasuk juga oktaf-oktafnya dalam rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya yang dimaksud dengan nada dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi tersebut dengan berbagai cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara nada-nada dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang di dalam etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekata minor, sekta mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya. Sementara itu yang dimaksud dengan pola-pola kadensa adalah beebrapa nada akhir di ujung frase-frase melodi atau juga ujung lagu tersebut. Selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi tersebut dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan sebagai benmtuk tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang dimaksud dengan kontur adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun rinci, yang dapat dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum, berjenang, menaik, menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud dengan wilayah nada adalah jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent antara nada terendah dengan nada tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu, yang dimaksud dengan distribusi nada adalah bagaimana masing-masing nada itu menyebar dan menyusun suatu melodi lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan dengan cara kuatitatif, jumlah masing-masing nada tersebut disertai dengan jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-unsur melodi yang dianalisis melalui teori weighted scale ini.
1.5.2.3 Teori semiotik Untuk mengkaji makna teks katoneng-katoneng ini, maka penulis menggunakan teori semiotika. Pada dasarnya teori ini hendak menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berfikir dengan tanda-tanda dan sekaligus sebagai makhluk pencipta tanda-tanda. Potensi tanda-tanda itu sendiri baik terdapat diluar diri manusia maupun pada dirinya sendiri. Apakah bahasanya lisan maupun tulisan, atau gerak-geriknya, demikian pula dengan warna, garis, bentuk, dan suara di sekitar kita semuanya dapat dikatakan tanda., sejauh itu telah
Universitas Sumatera Utara
diberi arti atau ditempatkan pada ruang tertentu. Dikatakan demikian, karena tidak secara begitu saja segala sesuatu langsung menunjukkan suatu tanda tertentu. Sesuatu yang masih potensial sebagai tanda tentu saja belum menunjuk pada suatu pengertian. Bahwa sesuatu itu menjadi jelas-jelas tanda hanya sejauh ketika sesuatu itu dikomunikasikan (Tommy F Awuy, 2003). Dengan demikian, apa yang ingin dimaksud dengan analisis semiotik di atas ini adalah yang berhubungan dengan dimensi komunikasi. Analisis semiotik komunikasi disini bermaksud untuk mencari proses pemahaman antara pihak yang memberi tanda dan pihak yang menerima tanda, dengan tidak atau melewati sebuah medium tertentu. Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang di gunakan dalam prilaku manusia. Dua tukoh perintis semiotika adalah Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre, semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahsasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier
yang
berhubungan
dengan
konsep
(signifed).
Peirce
juga
menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3 bagian yang saling berkaitan: (1) respresentatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha
Universitas Sumatera Utara
kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion. Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu katonengkatoneng, maka penulis menutip pendapat van Zoest (1996:11). Menurutnya di dalam sebuah teks terdapat ikon, apaila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu) adalah tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnyayang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam. Selanjutnya dalam rangka kerja dengan teori semiotika peneliti hendaklah menginterpretasi (menafsir) tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, baik yang muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural (dalam kalimat atau sekuen) maupun pada tingkatan makrostruktural (teks yang lebih luas), selalu dapat dianggap sebagai tanda. Terpulang kepada pembuat analisis teks, untuk memutuskan apa atau apa-apa saja yang ingin dipilihnya. Selain dari itu, jika ia memutuskan menganggap tanda yang dipilihnya sebagai ikon, konsep ikonositas
Universitas Sumatera Utara
dapat dipakainya sebagai alat heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya mengenali suatu makna yang mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak dipergunakan.
1.6 Tinjauan Pustaka Untuk menghindari repetisi kajian yang sama, baik dalam waktu penelitian maupun fokus yang sama, maka perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu. Studi ini adalah yang terkait dengan kebudayaan Karo secara umum, musik Karo, baik itu musik instrumental maupun musik vokalnya, tari Karo, sastra Karo, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tentang topik tersebut, sebahagian besar adalah berupa skripsi dan juga tesis di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam bentuk skripsi ditulis oleh para calon sarjana etnomusikologi, dan juga tesis oleh para dosen dan calon magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, baik itu berupa kajian tekstual, musikal, upacara, oraganoligis, di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Kumalo Tarigan, menulis skripsi sarajana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1985. Kumalo Tarigan, dalam skripsinya ini mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu
Universitas Sumatera Utara
sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural. (2)
Perikuten Tarigan, juga menulis sebuah skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1986. Perikuten Tarigan mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural.
(3)
Rini Rumiyanti, menulis sebuah skripsi sarjana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU medan,
tahun 1988. Beliau
melakukan studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo. (4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik keteng-keteng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu menggunakan teori klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan
Universitas Sumatera Utara
organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik. (5)
Fariana, seorang etnomusikolog lulusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1992 melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Di dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural.
(6) Selain itu, etnomusikolog Sinar, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992, dalam skripsinya mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat. (7)
Penulis budaya musikal Karo berikutnya adalah Julianus Limbeng, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994. Beliau mengkaji tentang aspek tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Tanah Karo. Teksnya penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng
Universitas Sumatera Utara
mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale). (8)
Ivy Irawaty Daulay, menulis skripsi sarjana di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995. Dalam skripsinya beliau mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi. Pada skripsinya ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut dengan surdam rumaris.
(9) Perdata Peranginangin, saat menyelesaikan studi di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1999 melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring. (10)
Penulis berikutnya adalah Popo Marince di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, tahun1999. Ia melakukan studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang
Universitas Sumatera Utara
Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional. (11) Seterusnya, Bahtiar Tarigan, ketika menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1999, beliau melakukan kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib). (12) Roy Jimny N. Sebayang, dalam menulis skripsi sarjananya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2004, melakukan analisis tentang kendang keyboard dan hubungannya dengan perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara adat erdemu bayu di Kota Medan. Skripsi ini juga berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu. (13) Roberta Sinurat, yang juga warga Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004, melakukan studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan.
Universitas Sumatera Utara
Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-guro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan pembaca. (14) Memasuki era dasawarsa 2010, Saidul Irfan Hutabarat, dalam rangka menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010, menulis skripsi yang berisi tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo. (15) Tri Syahputra Sitepu, di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2010, melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Di dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen. Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses
Universitas Sumatera Utara
akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman. (16) Selain itu, Agus Tarigan pada Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU, tahun 2011, melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame. (17) Perikuten Tarigan, yang boleh dikatakan sebagai etnomusikolog dan pengkaji budaya Karo, dalam rangka menyelesaikan studinya, menulis tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun 2004. Di dalam tesis ini, Perikuten Tarigan membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan
ini
dari
sisi
dalam
dan
luar
budaya
Karo
yang
mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo. (18) Selanjutnya studi musik Karo di peringkat magister ini, dilakukan oleh Kumalo Tarigan, dan diselesaikan penulisannya tahun 2006. Dalam
Universitas Sumatera Utara
tesisnya Kumalo Tarigan menganalisis mangmang (salah satu genre nyanyian ritual Karo), baik itu teks (seni kata) maupun melodinya. Di dalam tesis ini banyak diuraikan tentang praktik-praktik perdukunan di Tanah Karo yang menggunakan aspek-aspek musikal. Fungsi utama nyanyian ritual ini adalah seperti memanggil roh mendiang dukun. (19) Selain itu kajian yang juga dekat dengan focus kajian penulis adalah yang dilakukan oleh Yosherman Ginting, dalam skripsinya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang berjudul Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis, tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi ini, Yosherman Ginting menganalisis kateneng-kateneng dalam konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), khususnya di Dusun Deleng Payong Langkat. Ia mentranskripsi dan menganalisis teks serta melodi kateneng-kateneng yang utamanya dilantunkan oleh Bapak Ralinta Sitepu. (20) Kajian yang paling dekat dengan fokus kajian penulis adalah penelitian dalam rangka penulisan skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting, tahun 2012. Judul skripsinya adalah: Analisis Struktur Musikal dan Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo di Kecamatan Pancurbatu. Dalam skripsi ini dianalisis melodi dan teks katonengh-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Katoneng-
Universitas Sumatera Utara
katoneng tersebut disajikan oleh perkolong-kolong Ramlah Sitepu dan Jaya Ginting. (21) Tesis magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang bertemakan katoneng-katoneng adalah yang ditulis oleh Anton Sitepu pada tahun 2015 ini. Ia menulis tesis yang berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Tesis ini mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upcara mengeket rumah dengan dua kajian utama yaitu semiotik liriknya dan struktur musik, khusus melodinya. Dua buah skripsi yaitu Yosherman Ginting (1995) dan Yunika Martgaretha Ginting (2012), serta satu tesis magister yaitu Anton Sitepu (2015) di atas, memiliki berbagai kesamaan kajian dan tentu saja perbedaan-perbedaan dengan yang penulis lakukan. Yang dilakukan Yosherman Ginting adalah pada tahun 1995, yang telah berjarak 20 tahun dengan masa studi yang penulis lakukan. Tentu saja banyak hal yang berubah dan berbeda dalam masa sekian lama itu. Selain itu, yang dilakukan Yosherman adalah pada masyarakat Karo Jahe di wilayah Kabupaten langkat, yang sedikit banyaknya berbeda dengan yang penulis lakukan ini, terfokus di wilayah Karo Gugung. Demikian pula perkolong-kolong (penyanyi) yang dijadikan fokus perhatian analisis juga berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian yang diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting tahun 2012, adalah difokuskan kepada katonengkatoneng pada upacara cawir metua di Pancurbatu, dari sisi fungsi dan struktur musikal. Persamaan dengan yang penulis kerjakan adalah, wilayah penelitian sama-sama pada kawasan Karo Gugung. Selain itu, katoneng-katoneng yang disajikan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Namun yang berbeda dengan yang penulis kerjakan adalah tentu saja tingkat kedalaman kajian, yaitu apa yang ditulis Yunika Ginting baru tahapan skripsi untuk sarjana, sedangkan yang penulis lakukan adalah untuk peringkat magister, yang harus lebih dalam dan holistik. Selain itu perkolong-kolong yang dijadikan kajian adalah berbeda. Demikian juga tempat dan konteks diadakannya upacara cawir metua adalah beda tempat yaitu desa yang berbeda. Demikian pula kajian fungsi yang dilakukan Yunika Ginting lebih terfokus kepada penggunaan teori fungsi dari Merriam, sedangkan penulis lebih meluaskannya yaitu selain memakai teori fungsi Merriam, juga memakai teori Radcliffe-Brown dan Malinowski. Kemudian persamaan dan perbedaan kajian penulis dengan Anton Sitepu adalah sebagai berikut. Yang pertama, adalah perbedaan konteks. Anton Sitepu mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upacara mengekt rumah, sama seperti yang dilakukan Yosherman Ginting. Sementara itu yang penulis kerjakan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Seterusnya yang membedakan kajian Anton Sitepu dengan penulis adalah fokus kajian melodi pada perkolongkolong yang berbeda. Anton Sitepu tidak mengkaji secara mendalam fungsi
Universitas Sumatera Utara
katoneng-katoneng ini di dalam kebudayaan Karo, dan fungsi music dalam masyarakat ini tidak menjadi pokok permasalahan penelitian belaiu. Sementara penulis sebagaimana arahan Merriam adalah menyeimbangkan kajian struktural dengan kontekstualnya. Itulah yang membedakan kajian kami. Selain dari skripsi dan tesis, maka kajian kepustakaan lainnya adalah dengan membaca dan menerapkan berbagai isi buku-buku mengenai kebudayaan, kajian teks, dan semiotik. Di antara buku-buku itu adalah seperti yang diuraiakn berikut ini. (22)
Buku Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners (2002). Buku ini pada pada bab ketiga (Tipe-tipe Teori Budaya) sub bab ketujuh memuat tentang ideologi. Kaplan menggunakan istilah ideologi dengan pengertian yang netral dan tak bersifat menilai baik-buruk. Dalam sub bab kesembilan Kaplan mengungkapkan, bahwa karena sifatnya yang subjektif itu ideologi tidak dapat kita ketahui melalui pangamatan langsung. Ideologi harus disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni dari apa kata orang atau dari pengamatan atas orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai sistem sosial. Folklor Indonesia karangan James Danandjaja (1986). Buku ini memuat tentang folklor yang ada di Indonesia. Folklor Indonesia disajikan dalam bentuk
hakikat folklor,
penelitian folklor di Indonesia, bentuk-bentuk folklor Indonesia, folklor sebagai lisan, dan folklor bukan lisan. Penulis memfokuskan perhatian
Universitas Sumatera Utara
pada folklor Indonesia yang berupa nyanyian rakyat yang tertulis dalam buku ini untuk referensi tesis ini. (23) Teori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya karangan Paul Ricoeur (2012). Buku ini menekankan pentingnya interpretasi
untuk
dapat
memahami
realitas
dengan
segala
kompleksitasnya. Buku ini juga membantu kita untuk menjelajahi makna bahasa dengan seperangkat teori interpretasi yang terangkum dalam filsafat wacana. (24)
Serba-Serbi Semiotika karangan Panuti Sudjiman dan Art van Zoest (1991). Buku ini berisi ulasan-ulasan tentang apa itu semiotika terutama yang digunakan di dalam disiplin ilmu linguistik dan sastra. Di dalamnya juga diberikan contoh analisis terhadap karya-karya satrawan Indonesia seperti Chairil Anwar.
(25) Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz (2002). Buku ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan karya-karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsepkonsep sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik. Buku ini penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa pentingnya tanda-tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia. (26) Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna karangan Yasraf Amir Piliang (2012). Buku ini lebih banyak menyoroti semiotika dan post-modernisme, dalam konteks aliran pemikiran, yang juga
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan dengan perkembangan teori-teori dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu budaya.
1.7
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller
(1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diperhatikan dari orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih menekankan kepada apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para informannya. Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek, serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka. Marshall dan Rossman (1995) menegaskan bahwa peneliti dalam penelitian kualitatif berperan sebagai instrumen. Oleh karena itu, peneliti harus turut serta dalam kehidupan pelaku seni. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni. Sebagai orang yang berasal dari daerah Karo (yaitu insider), di mana asal topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai pengetahuan yang cukup baik
mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa
Karo, sehingga hubungan rapport 11
dapat berlaku dengan para narasumber
seperti yang disarankan oleh James Danandjaya (1984). Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar adalah dengan kegiatan pembacaan literatur,
wawancara, dan pengamatan
terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan yang terjadi di lapangan, yang dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa memori auditif maupun visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang integral dari kajian peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya (partisipant observer).
11
Rapport yang dimaksud di sini adalah hubungan yang harmoni, berupa saling mempercayai antara peneliti yang melakukan penelitian dengan orang-orang desa, atau paling sedikitnya dengan para informannya.
Universitas Sumatera Utara
1.7.1
Studi perpustakaan Penelitian perpustakaan diperlukan untuk memperoleh data-data dari
sumber-sumber tertulis, untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil rekonstruksi
berbagai
wawancara
dan
pengamatan.
Bahkan
penelitian
perpustakaan sudah dilakukan sebelum terjun ke lapangan, juga secara bersamasama, maupun sesudah kerja lapangan. Untuk keperluan penelitian perpustakaan, penulis melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan umum, perpustakaan kampus, toko-toko buku, untuk memperoleh tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.
1.7.2 Wawancara Wawancara ini akan menjalin hubungan langsung dengan tokoh adat Karo,beberapa orang perkolong-kolong, pemusik tradisional Karo; serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka, berdasarkan daftar persoalan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengalaman, pengetahuan, gagasan-gagasan mahupun ide-ide mereka yang berkaitan dengan penyajian katoneng-katoneng. Di samping itu, penelitijuga melakukan wawancara dengan pemerhati budaya dan kesenian Karo, untuk mengenal pasti pandangan mereka tentang aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian. Wawancara dengan para responden ini penulis rekam dengan menggunakan tape Microcassette – Corder M-455 Sony Corp.
Universitas Sumatera Utara
1.7.3 Pengamatan Aktivitas lain yang juga dilakukan dalam penelitian lapangan ini adalah melakukan pengamatan terhadap penyajian katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua, untuk melihat langsung fenomena penyajiannya. Peneliti juga berusaha melakukan pengamatan terlibat (participant observation), dengan cara melibatkan diri dalam proses penyajian katoneng-katoneng, seperti contohnya: ikut memainkan instrumen musik tertentu yang peneliti kuasai; dan lain sebagainya. Dengan demikian peneliti dapat merasakan suasana penyajiannya sebagai orang dalam (James Danandjaya 1984 : 121). Karena objek yang peneliti amati sangat kompleks, peneliti juga mengumpulkan beberapa rekaman video, foto-foto penyajian katoneng-katoneng melalui rekan-rekan peneliti, baik berupa koleksi pribadi maupun koleksi lembaga-lembaga penggiat seni lainnya, swasta maupun negeri, untuk membantu peneliti mengamati lebih mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan penyajian katoneng-katoneng.
1.7.4 Metode transkripsi dan analisis Dalam proses transkripsi penulis berpedoman pada pendapat Nettl (1991:23) yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan musik, yaitu : (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi musik itu dalam tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal notasi penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195) yang membedakan dua notasi ditinjau dari tujuannya, yaitu : notasi perskriptif dan notasi deskriptif. Notasi perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis besar dari bunyi. Notasi ini merupakan pedoman bagaimana musik itu dapat di wujudkan oleh pemain musik. Notasi deskriptif adalah laporan yang disertai dengan lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu komposisi musik diwujudkan. Dalam mentranskripsi katoneng-ketoneng dalam upacara cawir metua ini, penulis menggunakan transkripsi manual. Artinya segala yang terdengar dituliskan di dalam bentuk notasi balok Barat. Dalam menuliskan notasi ini penulis menggunakan sebuah perangkat lunak yang umum digunakan pada masa sekarang di bidang etnomusikologi dan musikologi, yaitu sibelius.
1.8 Organisasi Tulisan Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas tujuh bab. Ketujuh-tujuh bab ini ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang diajukan pada Bab I, yang terfokus ke dalam tiga aspek: (a) fungsi, (b) struktur melodi, dan (c) makna teks katoneng-katoneng yang digunakan dalam konteks upacara cawir metua. Ketujuh bab itu dapat diuraikan seperti berikut ini. Bab Satu merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi dengan uraian tentang Latar Belakang, Pokok Masalah yang dikaji, Kerangka Teori, Konsep, dan Metode Penelitian. Bab ini berisi mengenai faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan penulis tertarik meneliti dan menulis fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut dikaji berdasarkan keilmuan etnomusikologi dalam konteks multidisiplin ilmu. Bab Dua, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada masyarakat Karo dan kebudayaannya. Aspek yang dideskripsikan di antaranya adalah wilayah budaya, seni sastra, seni tari, seni musik, alat-alat musik, dan lain-lainnya. Pada dasarnya bab ini adalah mendeskripsikan secara umum masyarakat Karo dan kebudayaannya. Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi etnografis masyarakat Karo dan kebudayaannya serta hubungannya dengan katoneng-katoneng yang difungsikan dalam upacara cawir metua.
Bab Tiga, adalah deskripsi upacara cawir metua serta penggunaan gendang dan katoneng-katoneng pada budaya masyarakat Karo. Tulisan di dalam bab ini mengacu dari penelitian lapangan, dengan menerapkan deskripsi upacara yang ditawarkan oleh para ahli, termasuk di dalamnya: pelaku upacara, waktu upacara, benda-benda dan peralatan upacara, dan hal sejenis. Sedangkan Bab Lima, adalah bab yang berisi tentang kajian struktur melodi lagu katoneng-katoneng yang disajikan oleh informan kunci. Bagian ini memfokuskan kajian kepada unsur-unsur pembentuk melodi katoneng-katoneng, seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, pola-pola kadensa, interval, nada-nada yang digunakan, kontur, dan sejenisnya.
Universitas Sumatera Utara
Bab Enam, berisi kajian yang memfokuskan perhatian kepada makna teks katoneng-katoneng. Makna yang dikaji ini baik berupa makna sesungguhnya atau makna denotatif. Makna-makna itu dikaji berdasarkan data verbal nyanyian katoneng-katoneng yang diperoleh dalam upacara cawir metua. Bab Tujuh adalah berupa bab penutup yang merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang penulis tuliskan adalah kembali untuk menjawab tiga pokok masalah utama di dalam bab satu. Selain itu, beberapa saran penulis kemukakan dalam konteks penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara