Berita Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3
Membangun Kembali ‘Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika’: Menuju Masyarakat Multikultural 16–19 Juli 2002 Universitas Udayana, Denpasar, Bali Rubrik berita kali ini masih memuat informasi lanjutan tentang resume panel-panel yang digelar pada acara Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3 tanggal 16—19 Juli 2002, di Universitas Udayana, Bali. Selain resume dari sebagian sebagian panel tersebut, disajikan pula berita tentang Workshop on Visual Anthropology dalam rubrik berita ini.
Resume panel Panel: The transnational dimension of Indonesia’s transformation Koordinator Panel: Ken Young & Adrian Vickers Pemakalah: George J. Aditjondro, Adrian Vickers & Linda Connor, Abdul Harris, Catharina Purwani Williams The papers in this panel argue for a closer examination of transnational relations in understanding current transformations in Indonesia. The discussions cover various domains, including tourism, working women and the exploitation of natural resources. • Bali’s central place in tourism and the international/national links thus generated have the consequence of developing a Balinese cosmopolitanism, but the conditions of ongoing political crisis have led to a turn to localized identities of the desa adat. How can this contradiction be resolved, and can the Balinese use their cosmopolitanism to address the political and economic dimensions of the crisis? • Women from NTT travelling abroad to work as domestic servants do suffer exploitation and hardship, but also develop positive feelings about themselves, because of their ability to help families. Transnational linkages are important in developing new forms of subjectivity. • Using the example of negotiations over resource rights in the maritime region between Australia and East Timor, we can see the costs of ignoring the rights and lifeways of ordinary people. Anthropologists need to take a stronger stance in debates about international relations, to insist on consideration of customary and natural rights of groups where livelihoods
116
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
are affected by international negotiations. Recent local political conflicts and assertion of regional identities make it difficult to identify an Indonesian culture. However, executive authority remains strong. There is a need for a redefinition of Indonesia in a way which deals with sociocultural complexity. Conclusion: there is a need to take account of relations across national borders in order to understand the cultural dimensions of current conflicts/transformations. •
Panel: Reconfiguring the environment in decentralizing Indonesia: towards multilayered resource management in a multicultural nation-state Koordinator Panel: Gregory L. Acciaioli, Gerard A. Persoon, Amri Marzali Pemakalah: Gerard A. Persoon, Jim Schiller, Widya Wijayanti & Harisanto & John Wirawan & Omar Halim & Sri Hardjoko, Minako Sakai, Carol Warren, Oktovianus Rusmin, Manon Osseweijer, Dedi Supriadi Adhuri, Pam Minnigh, Yunita T. Winarto, John McCarthy, Moira Moeliono, Emmanuel M. Esguerra, Cecil Valmores, Stepi Hakim, Herlina Hartanto & Ma. Christina B. Lorenzo & Anita L. Frio, Ma. Christina B. Lorenzo, Lani Arda-Minas & Anita L. Frio & Ma. Christina B. Lorenzo, Edwarda Devanadera & Ed. Canete & Donald Rodriquez & Melquaides Rodriquez, Adhmad Rafieq, Anton Lucas, Erlinda M. Burton, Pawennari Hijang, Nur Widodo Panel ini mendiskusikan dua tema besar, yaitu 1) environmental knowledge and resource management-issues, contexts, and approaches; dan 2) in and around the forest: resources management and local knowledge in forestry. Beberapa makalah yang terkait dengan tema pertama lebih banyak membahas tentang manajemen sumber daya alam dengan program desentralisasi/otonomi daerah. Ada usulan agar pengembangan manajemen sumber daya alam yang diprogramkan seharusnya lebih bersifat sektoral dan berwawasan lokal. Sesungguhnya pemberdayaan komunitas lokal, pembangunan kewirausahaan rakyat, campur tangan hukum adat, dan kesiapan Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan faktor yang turut berperan dalam pengembangan manajemen sumber daya alam lokal. Para penduduk lokal pun berusaha mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kepentingan mereka sendiri yang tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah daerah dan pusat. Makalah-makalah yang terkait dengan tema kedua lebih banyak menyoroti masalah konflik kepentingan kepemilikan hutan yang banyak terjadi akibat disalahartikannya kebijakan tentang otonomi daerah. Masyarakat daerah menganggap bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan untuk menuntut kembali hak mereka yang selama ini telah lepas. Padahal, pengetahuan lokal untuk mengelola hutan secara arif masih sangat terbatas. Keterbatasan pengetahuan tersebut tentunya menjadi kendala tersendiri dalam upaya meningkatkan pemanfaatan hutan secara maksimal dan ramah lingkungan. Selain itu, masalah penebangan liar dan pengrusakan hutan yang dilakukan pihak luar juga merupakan kendala yang perlu diatasi oleh para penduduk, LSM, Pemda, dan aparat setempat. Beberapa makalah mengemukakan pendekatan PAR (Participatory Action Research) dan ACM (Adaptive Collaboration Management) untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Ilustrasi kasus keberhasilan para kaum akademisi untuk memberdayakan sumber daya manusia di sekitar hutan menjadi hal yang penting dalam diskusi di panel ini.
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
117
Panel: Rethinking the one and the many, the national and the local: perspectives from Southeast Asian experiences Koordinator Panel: Goh Beng Lan Pemakalah: Goh Beng Lan, Syed Farid Alatas, Reynaldo C. Ileto, Aurora Donzelli, Wan Zawawi Ibrahim The papers in this panel argue that a way out of standard interpretations of societies and cultures in relation to Western modes of representation is to critically engage with local history and struggles over power and meanings. A paper in this panel deals with how Dutch colonial discourse and more recently nationalist ideology of unity in diversity, have reshaped the practices and meanings of ‘tradition’ within the Toraja ritual system. The paper shows how rituals in Tana Toraja have been resementicised from ‘wasteful pagan feasts’ into ‘modern auctions’ in order to incorporate the region into a modern nation state. Another paper questions the hegemonic workings national identity, culture and Malayness in the periphery of the Malaysian nation-state. Using examples of identity transformations amongst the indigenous but non-Malay populations in contemporary popular and artistic discourses in the eastern states of Sabah and Sarawak, the paper argues for an emerging ‘multiculturalism’ in Malaysian society amidst globalisation and rising cultural industries. Another paper in this panel discusses recent developments in Malaysian nationalism that has moved away from a Malay cultural foundation to the idea of common citizenship. This paper suggests that the modern institutional bases for religion and ethnicity are capable of producing a myriad of subjectivities formed and defined by experience and discursive connections between different groups that are challenging existing normative and institutional definitions of Malaysian citizenship. One paper highlights some of the sources of its writer’s 1988 study about Philippine nationalist historiography in order to question the previous conclusions about the repressiveness of national history. The paper suggests that the ‘state’ was never really in control of the process and that the circulation of intellectual and political figures of various colors in and out of the center prevented the sort of closure that one might have expected of nation-state histories. According to another paper, while there has been awareness of problems of relevance of Western concepts, theories and assumptions in critical works on the state of the social sciences in the third world, what is meant at a conceptual level by relevance and irrelevance has rarely been the subject of discussion. The conceptualization of relevance is important because it lies at the basis of efforts to make the social sciences more relevant to conditions in the third world. Nevertheless, the calls for greater relevance have generally been made in vague terms owing to the less than systematic manner in which ‘irrelevance’ was discussed. The result was that calls for more relevant social sciences were equally unclear. This paper aims to advance our understanding of the problem of relevance by way of providing a preliminary conceptualization of relevance.
118
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Panel: Multiculturalism and market economy Koordinator Panel: Kartini Sjahrir Pemakalah: I.K. Rahyuda, Ganjar Nugroho, Endang Rudiatin Mardjono, Yanuarius Koli Bau Dalam panel ini dibahas beberapa masalah perekonomian yang melihat pendekatan sosioekonomi-kultural dalam pembentukan pasar sebagai salah satu cara pencegahan konflik internal. Kelahiran pasar di kota besar maupun di pinggiran kota tidak terlepas dari kebudayaan setempat yang mempengaruhi mulai dari harga barang hingga akses strategi ekonominya. Pemberdayaan ekonomi dan sosial politik untuk masyarakat setempat yang menjadi tempat berlangsungnya konflik dapat menjadikan mereka mandiri dan mampu menentukan sikap dalam perekonomian yang independen. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang berbasis pengembangan ekonomi lokal ternyata gagal total. Sementara di negara lain, pada tahun 90-an terjadi proses percepatan kemajuan industrialisasi ekonomi akibat bisnis global. Indonesia belum mampu mengatasi kerancuan dalam mengembangkan stabilitas perekonomian secara mendasar dan proporsional. Pengembangan ekonomi lokal masih harus ditingkatkan dengan melihat aspek-aspek keahlian setiap daerah yang dapat dilakukan dengan memajukan usaha mandiri rumah tangga. Panel: Indonesian women: towards a multicultural society Koordinator Panel: Francisia SSE Seda, Ida Ruwaida Noor Pemakalah: Lugina Setyawati, Sri Lestari Wahyuningrum, Francisia SSE Seda, B. Vivit Nurdin, Eman R. Goring, S. Swarsi, Emiliana Mariyah & Ni Made Wiratini & Alfiati, Ida Ruwaida Noor, Linda Ray Bennett, Budhi Wahyuni, Esther Kuntjara Panel ini mengangkat berbagai isu mengenai perempuan, yang eksistensi atau kiprahnya sangat terkait dengan latar belakang sosial budaya dan bahkan ekonominya. Setidaknya panel ini menunjukkan bahwa perempuan bukanlah kelompok homogen. Artinya, perempuan dan konteks situasi yang dialaminya berbeda berdasarkan usia, agama, etnis, latar belakang pendidikan, lapisan sosial, dan sebagainya. Kesadaran akan perbedaan ini dianggap penting dan mendasar dalam upaya memahami dan menjelaskan kondisi dan posisi perempuan. Misalnya, pemahaman akan kondisi perempuan dan kesehatan reproduksinya tidak dapat dilepaskan dari agama sebagai fenomena sosial budaya. Demikian pula halnya dengan isu perkawinan, khususnya poligami, yang seharusnya dilihat dalam konteks objektif ketika ayat alqur’an tentang hal tersebut diturunkan. Artinya, sebuah isu harus dipahami secara kontekstual. Pandangan kritis ini didasarkan pada fakta bahwa perempuan seringkali menjadi korban dalam praktik poligami. Keterlekatan agama dan tradisi budaya juga terefleksi dari kasus pemilihan jodoh di kalangan perempuan keturunan Arab. Studi tersebut menunjukkan adanya keterbatasan peluang bagi perempuan untuk memilih pasangan di luar keturunan Arab. Ketidakhomogenan perempuan Islam terefleksi nyata pada makalah yang memaparkan diversitas gerakan perempuan Islam. Diversitas ini, sekali lagi, didasarkan pada perbedaan pandangan atau penafsiran atas ajaran tekstual Islam. Panel juga membahas isu perempuan dalam ranah pendidikan, ekonomi, politik, dan isu ‘collective identity’ di kalangan perempuan. Perempuan seringkali diposisikan sebagai pihak yang menanggung beban bagi pemelihara, pelanggeng dan reproduser identitas kolektif, yang sekaligus
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
119
juga menjadi garis batas antara ‘kami’ dan ‘mereka’. Konstruksi identitas ini juga diperlihatkan khususnya melalui agama dan suku bangsa, bahkan seringkali diadopsi oleh negara. Stereotipi tentang wanita yang berkembang dan bagi sebagian perempuan dipahami sebagai ‘kodrat’ telah membatasi keleluasaan perempuan untuk berkiprah, misalnya di bidang politik dan ekonomi. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah terobosan baik secara struktural maupun kultural untuk mengubah stereotipi yang merugikan perempuan. Panel: Kejahatan dan penyimpangan dalam persepektif multikulturalisme Koordinator Panel: Adrianus Meliala Pemakalah: Sidik R. Usop, T.B. Roni Nitibaskara, M.M. Khow & P. Verhezen & T.S. Lim Klasifikasi kejahatan dan penyimpangan sebenarnya cukup beragam, bersifat kontekstual untuk waktu dan tempat-tempat tertentu. Apa yang dianggap sebagai kejahatan dan penyimpangan di suatu tempat belum tentu demikian di tempat lain, semata-mata karena fenomena yang sama dipahami secara berbeda. Pengertian yang berbeda tersebut kemudian berlanjut pada adanya reaksi yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, tingkat keseriusan kejahatan dan penyimpangan merupakan hal yang harus dikaitkan dengan interpretasi dan reaksi yang bersifat lokal. Berkaitan dengan konsep kejahatan dan penyimpangan, negara memiliki peranan dalam pemaknaan konsep tersebut dari waktu ke waktu. Wacana kejahatan yang dikonstruksi oleh negara (secara politis) seringkali mengabaikan voices/wacana-wacana kecil tentang konsepkonsep kejahatan dan penyimpangan berwarna lokal. Dengan pendekatan multikulturalisme yang menekankan pada pengakuan (negara) terhadap perbedaan kultural, panel ini mencoba mendiskusikan dan mencari pemecahan masalah dari berbagai persoalan kejahatan dan penyimpangan di Indonesia. Panel: Peran hukum dan kebijakan lainnya dalam mewujudkan Indonesia yang bhinneka tunggal ika menuju masyarakat multikultural Koordinator Panel: Sulistyowati Irianto Pemakalah: Dyah Aryani Prastyastuti, Tjokorda Istri Putra Astiti, Muh. Guntur & Galang Asmara, Muh. Guntur, Tasrifin Tahara, Abdul Madjid, I Nyoman Nurjaya, Sulistyowati Irianto, Priyambudi Sulistyanto Tiga hal penting yang dibicarakan di dalam panel ini ialah: Cara negara memberikan tempat bagi publik untuk berpartisipasi dalam merancang UU, Perda, dan Perpu. Sebagai wujud dari masyarakat multikultural, UU perlu dibuat berdasarkan kesepakatan dengan hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat. • Cara warga menggunakan hukum adat dalam proses mencari keadilan di negara hukum ini. Masih belum adanya keberpihakan hukum kepada kaum tani terlihat jelas dalam kasus-kasus yang terjadi di Buton dan Sulawesi Selatan. •· Cara hukum berperanan dalam mengatur hidup warga masyarakat yang bersifat multikultural dan pluralis dari segi agama, cara pandang, dan sebagainya. Perubahan hukum dalam masyarakat Indonesia dipahami sebagai perwujudan masyarakat yang multikultural sehingga diperlukan tinjauan khusus yang masuk dalam bagian antropologi hukum. •
120
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Panel: Land issues and cultural diversity in Indonesia Koordinator Panel: Anu Lounela, Yando R. Zakaria Pemakalah: Ann Patrick Hawkins, Budi Agustono, Narihisa Nakashima, I Ketut Kaler, I Made Ardhika, Iman Koeswahyono, Lorraine Aragon, Erwin Fahmi. Diskusan: Noer Fauzi, George J. Aditjondro Masalah tanah dan keragaman budaya di Indonesia merupakan topik yang penting untuk dipahami sehubungan dengan adanya klaim-klaim penduduk lokal atas tanah berdasarkan legitimasi kebudayaan dan sejarah. Beberapa makalah yang disajikan dalam panel ini menunjukkan bahwa artikulasi hak penduduk atas tanah dan usaha yang dilakukannya bergantung pada struktur kesempatan politik yang tersedia dan kebijakan pemerintah atas hak penduduk tersebut. Kasus Aceh menunjukkan adanya pengaruh konflik militer dan politik terhadap rasa aman, serta kepastian usaha pertanian dan kehutanan penduduk lokal. Pertanyaan pokok yang muncul selama diskusi antara lain: bagaimanakah proses dan hubungan antara intimidasi dan ketakutan yang menyebar di antara penduduk dengan pola penggunaan tanah pertanian dan hasil hutan? Siapa yang diuntungkan atas tanah dan sumber daya alam yang ditinggalkan itu? Kasus pertanahan lain di Sumatera Utara memperlihatkan dengan jelas bahwa panjangnya konflik pertanahan yang dialami oleh orang-orang Melayu tidak membuat mereka menghilangkan klaim atas tanahnya. Dari kasus Sumatera Barat nampak bahwa desentralisasi telah menghidupkan kembali klaim penduduk atas hak ulayat mereka. Tiga contoh yang diajukan menunjukkan tidak adanya pola yang seragam berkaitan dengan usaha pengembalian tanah ulayat yang dahulu dialokasikan untuk pihak badan usaha. Kasus di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar memperlihatkan berbagai persoalan yang muncul ketika Pemda memungut pajak atas tanah yang berstatus ulayat desa. Kasus-kasus lain yang diketengahkan dalam panel ini antara lain adalah: permasalahan lahan perbatas antarkabupaten di Bali; peluang dan tantangan otonomi pertanahan di Kota Malang; perubahan konsep pemilikan tanah di Sulawesi Tengah; dan berbagai permasalahan pertanahan di kota Jambi. Panel: Question of identity on the internet: research ‘software’ towards new Indonesia Koordinator Panel: David Hakken, Nuri Soeharto Pemakalah: Eric Thompson, Martin Slama, Budi Putra, David Hakken, Wendy Mee, Merlyna Lim Perkembangan teknologi tidaklah dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, karena dari perkembangan teknologi itu dapat tercermin perkembangan/perubahan sosial budaya sebuah masyarakat. Teknologi dapat dipelajari sebagai jembatan untuk memahami perubahan perilaku kelompok sosial budaya tertentu. Mempertanyakan identitas para pelaku internet atau masyarakat cyberspace merupakan salah satu aspek dari teknologi yang patut diketengahkan, mengingat keragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Presentasi dan diskusi di dalam panel ini memperlihatkan cara masyarakat Indonesia menyikapi kehadiran internet tersebut. Seorang pemakalah di panel ini menyoroti kentalnya hirarki kekuasaan yang ada di lingkungan akademis, sementara seorang pemakalah lainnya memperlihatkan kebutuhan ‘privacy’ para kaum muda di tengah kehidupan masyarakat Yogya yang sangat bersifat kekeluargaan. Ada pula
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
121
pemakalah yang menunjukkan kebutuhan kelompok untuk ‘tampil’ dan dikenali. Pemakalah ini bicara tentang perbedaan dan hubungan studi cyberspace dengan identitas di negara-negara Barat dan non-Barat. Ia berpendapat bahwa ada ‘konteks’ yang menjadikan masyarakat nonBarat menunjukkan identitas yang bersifat ‘kekeluargaan’ dan tidak individual. Pendapat-pendapat yang terungkap dalam diskusi memperlihatkan perlunya pendalaman penelitian cyberspace di Indonesia sebagai jalan untuk memahami individu/masyarakat dalam menyikapi kehadiran teknologi (internet) untuk mengantisipasi globalisasi pada masyarakat Indonesia yang beragam ini. Panel: Multiple cultural traditions in Bali Koordinator Panel: Lyn Parker, Arlette Ottino Pemakalah: John MacDougal, Leslie Dwyer, Degung Santika, I Ketut Ardhana, Lyn Parker, Rachmi Diyah Larasati, Bendan Corrigan & John Lawrence, Arlette Ottino, Hanggar Budi, Nirarta Samadhi This panel discusses a variety of local knowledges, disparate discourses, minority and oppositional cultures in Bali that were ignored, silenced or otherwise subordinated under Soeharto.These include discourses such as Balinese tourism, environmentalism, Balinese art, indigenous peoples, Balinese cultural institution, and women’s empowerment. Two papers explore desa adat as a Balinese cultural institution from different perspectives. One paper examines the processes involved in reconceptualization of the domain of relevance of the desa adat in people’s live, as well as the limits beyond which the distinction between social/secular and ritual/religious loses its meaning during a period when free speech was deliberately suppressed by the central government. Meanwhile the other paper discusses the existence of desa adat as a Balinese cultural institution, and the aspects of its possible utilization as an urban design unit. According to this paper, desa adat helps to promote multiculturalism and pluralism in the urban design as a socio-spatial process in the Indonesian planning system. There are two papers that raise the issue of gender in Bali. One paper explores the narratives of Balinese women of 1965 and its aftermath, focusing on how state power and gender politics have marginalized Bali women’s experience of violence. Meanwhile, the other paper helps in understanding gender relations in Bali by highlighting the ways a society treats the birth of a baby. The study of accounts of birth can contribute to our understanding of the ways gender in Bali has been represented. Related to gender issue, another paper examines the role of advertisement in Balinese tourism, particularly advertisement that use the dancing female body. The paper draws a connection between the female images used for capitalist society and the gaze that this images offer. Another paper extends multiculturalism to include ‘voices’ from a globalized discourse: that of surfing. Noting the recent development of an indigenous environmental movement amongst Balinese surfers, waves of change, the paper also describes relationships between local and global agents and institutions that are played out in the seas of southern Bali.
122
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Panel: Membangun kepariwisataan berwawasan budaya: menghargai hak-hak budaya komuniti lokal Koordinator Panel: I Wayan Geriya, I Gde Pitana, Pemakalah; I Gde Pitana, Maribeth Erb, I Wayan Ardika, I Made Adhika, Arisetiarso Soemodinoto, I Wayan Geriya, Agung Suryawan Wiranatha & Anak Agung Gde Raka Dalem, Rusli Cahyadi, I Gde Parimartha, I made Ardana Putra, Emiliana Mariyah, I Nyoman Sirtha, I.K. Rai Setiabudhi, I made Suradnya, I Gusti Ngurah Bagus, I Ketut Widyazid Soethama & Andy Boon, I.B.G Pujaastawa, Pawennari Hijang, Nur Hadi. Beberapa isu kunci muncul dalam diskusi yang berlangsung di panel ini. Isu pertama berkaitan dengan isu teoretis tentang bentuk pariwisata yang sebaiknya dikembangkan. Dalam diskusi ini berkembang konsep-konsep indigenous tourism, ecotourism, community based tourism, dan lain-lain. Isu kedua berkaitan dengan pertanyaan: pariwisata untuk siapa? Siapa yang selama ini memperoleh keuntungan paling besar dari pariwisata, apakah devisa yang dihasilkan oleh dunia pariwisata dapat menjelaskan kondisi masyarakat lokal yang hanya menjadi penonton dimana kegiatan pariwisata berjalan? Isu ketiga lebih spesifik ke masalah pariwisata di Bali. Hal ini berkaitan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan hidup di Bali. Isu keempat berkaitan dengan posisi pemerintah Indonesia sebagai pembuat kebijakan pariwisata. Dalam diskusi disajikan pula berbagai kasus pengelolaan pariwisata di NTT, NTB, Bali, dan Sulawesi. Panel: Mempertimbangkan agama dalam membangun bangsa menuju masyarakat multikultural Koordinator Panel: Jamhari Makruf Pemakalah: E. Kusnadiningrat, Iim Imadudin, Raymond & Ace Hasan Syadizilly, Thomas Reuter, Abd. Latief Bustami, I Made Purna, Muhammad Abdullah, Ali Said Damanik, Muhammad Adlin Sila,I Nyoman Wijaya, Bernard Adeney Risakotta, Ach. Fathan, Endang Rudiatin, Jamhari Makruf Dalam panel ini dibahas peran agama dalam membangun bangsa Indonesia menuju masyarakat multikultural. Agama dipahami memiliki peran ganda: di satu pihak sebagai pemicu konflik; di lain pihak sebagai faktor pemersatu. Dalam diskusi terungkap bahwa masyarakat Indonesia saat ini—termasuk masyarakat kota Jakarta—belum menjadi masyarakat multikultural. Masyarakat Indonesia masih bercorak masyarakat suku bangsa atau masyarakat majemuk. Hal ini disebabkan semasa orde baru telah terjadi usaha penyeragaman kebudayaan suku bangsa. Selama ini, wacana keagamaan seringkali tidak dianggap kondusif, bahkan kontradiktif dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa bermaksud menuju pada pembentukan
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
123
negara agama, kekuatan transedental agama sebagai pemersatu seharusnya menjadi faktor penting untuk melahirkan konsensus sosial tentang bangsa Indonesia. Negara seharusnya melakukan usaha-usaha aktif dalam membina hubungan antaretnis dan agama dengan menjamin hak-hak komunitas mereka (terutama bagi komunitas minoritas) dalam melakukan aktivitas, dan mengonstruksi identitas agamanya dengan bebas. Selain itu, dalam panel ini juga disajikan beberapa hasil kajian dan penelitian mengenai kelompok keagamaan maupun komuniti agama dalam masyarakat Indonesia., baik dalam hubungannya dengan kerukunan antarumat agama maupun konflik. Hasil kajian yang disajikan di antaranya adalah: kajian tentang adanya benturan antara adat dan agama di Minangkabau, pemahaman inklusif dan eksklusif dalam beragama pada masyarakat kota, Islam Kangean, sinkretisme agama Hindu dan Islam pada masyarakat Lombok, komunitas kekerabatan dan agama dalam organisasi Subak di Bali, peran tarekat syattariyah dalam pengembangan masyarakat di Keraton Kanoman Cirebon, dan kajian mengenai fenomena gerakan tarbiyah sebagai transformasi gerakan Islam kontemporer. Kasus-kasus yang dikaji dalam panel ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk mewujudkan kesadaran multikulturalisme dalam beragama pada masyarakat Indonesia. Panel: Paradigma baru civic education dalam pengembangan masyarakat madani di Indonesia Koordinator Panel: Dede Rosyada, A. Ubaidillah, Wahdi Sayuti, Abdul Rozak Pemakalah: Danny Martianus Gunawan Catatan: sejumlah pemakalah dalam panel ini mengundurkan diri, dan satu-satunya pemakalah mengulas tentang ‘Demokratisasi Pendidikan: Membangun Ruang Keberdayaan Nilai-nilai Multikulturalisme lewat Dinamika Kehidupan Kampus’. Tulisan ini mendiskusikan transformasi nilai-nilai multikultural dan demokrasi dalam masyarakat melalui demokratisasi pendidikan di dalam kampus, baik dalam dinamika kegiatan akademis maupun pada tataran dinamika kegiatan kemahasiswaan. Dilaporkan oleh: Cecep Rukendi Agung Prasetyo Dian Sulistiawati Rusli Cahyadi
124
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
The Workshop on Visual Antropology
The Importance of Audiovisual in Anthropological Research The workshop on visual anthropology at the 3rd International Symposium of the Journal ANTROPOLOGI INDONESIA in Bali last July was intended as an arena for an exchange of views and discussions on the various ways of making ethnographic films and documentaries, and to talk about different ideas and visions about the methods and approaches to realize these films. The workshop was attended by experts in visual anthropology (anthropologists and filmmakers) from several institutes around the world. The exchange of experiences and perspectives on the use of audiovisuals as a tool for research and as a media of expression between anthropologists, filmmakers, audiovisual lovers, and students from: Indonesia, Australia, France, Italy, Finland, USA, Holland, Japan, India, and others was very interesting and very enriching, especially for Indonesian students not very familiar with this field. Discussions on the importance of audiovisual support in anthropological research were carried out by each intervention: anthropologists in making ethnographic films, documentaries made by professional filmmakers working together with anthropologists, the role of some footages and feedbacks used by anthropologists during their fieldwork and various missions, and also another vision of using audiovisual with an anthropological background for public television. Most of the participants of the workshop were tied to different universities in Europe, Australia or USA, with a department of visual anthropology, while others work with different associations. The public attending the workshop came from various backgrounds, mostly from the department of anthropology, cinematography and art of different universities. Very interesting films produced by the Australian National University in Canberra were presented by Gary Kildea and James Fox, from the RSPAS. The films were made in various islands of Indonesia and South East Asia. This presentation showed the different ways of making ethnographic films and documentaries by scholars and experts attached to ANU, such as James Fox, Gary Kildea, Judith and David Mac Dougall, and many others. There are various ways of making documentaries. Some are subtitled and others are directly narrated in English. The film tells of the ways of life of different ethnic groups in specific islands of Indonesia (ex: films by James Fox) and also the Philippines (ex: film by Gary Kildea). Ian Dunlop showed an incredible series of films on the lives of the Aborigines of Australia from the 60’s to the 90’s called ‘the Yirrkala Film Project’, made with film Australia. He also explained another series of films on the Baruya people in Papua New Guinea, a series of films on Baruya manhood, made with French anthropologist Maurice Godelier, and shot in 1969. University of Paris 7 presented several films produced by their laboratory of visual anthropology, made by Jean Arlaud and Annie Mercier, as well as a short film from Agni Klintuni Boedhihartono who is attached to the laboratory. Nyangatom, a film about the life of a population in Africa was shot in the 70’s by Jean Arlaud on 16 mm film. Annie Mercier’s work on the life
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
125
of the Parisian shows the multicultural life in the north of Paris. They are also finishing their last film on the life of Pakistani truck drivers and their beautiful painted trucks. Agni Klintuni Boedhihartono showed her work on the Punan people of East Kalimantan and their vanishing oral traditions, which is a part of her work with CIFOR (Center for International Forestry Research) in Malinau and Bulungan regency, East Kalimantan. Boedhihartono, from the University of Indonesia, and with the collaboration of Agni Klintuni Boedhihartono, showed a film on the difficult life of the fishermen in Jakarta Bay as compared to the Balinese fishermen and the population living on the coast. From the University of Padova, Antonio Marazzi showed several documentaries on multiculturalism in Italy. With the film on an African wedding ceremony in Italy, he tells how a traditional ritual is adapted in another country. Another film on an Italian painter talks about his artwork and his thoughts. Father Philipp Tule showed a video that he made during a big Christian celebration in Timor, while Y. Koli Bau showed some images of a camp of East Timorese refugees after the independence of Timor Leste. Aryo Danusiri showed another view of using audiovisual for public television to tell of the different lives of Indonesian children around the archipelago. The series of ‘Pustaka Anak Nusantara ’ had been shown in the national television all over Indonesia to show the young public of multiculturalism in Indonesia. The use of VCD and books to sensibly the children to the cultural diversity that exists in the country could be useful for the younger generation in understanding tolerance. The workshop in Bali gave new ideas about the use of audiovisuals in anthropological research. Hopefully other workshops on visual anthropology will be organized in the coming years with a larger public.
Acknowledgement: We would like to express our gratitude to the French Embassy and JICA for the financial support provided to invite Ian Dunlop from Australia and Annie Mercier from France.
Participants for the visual anthropology workshop: Agni Klintuni Boedhihartono (University of Paris 7, France) Email:
[email protected] Anne Mercier & Jean Arlaud (University of Paris 7, France) Email:
[email protected] [email protected] Antonio Marazzi (University of Padova, Italy) Email:
[email protected] Aryo Danusiri (Yayasan SET, Indonesia) Email:
[email protected] [email protected]
126
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
Boedhihartono (University of Indonesia, Indonesia) Email:
[email protected] Gary Kildea (Australian National University, Australia) Email:
[email protected] Ian Dunlop (Australia) Email:
[email protected] James Fox (Australian National University, Australia) Email:
[email protected] Michael Vischer (University of Helsinki, Finland) Email:
[email protected] Philippus Tule (Indonesia) Email:
[email protected] Y. Koli Bau (Indonesia) Email:
[email protected] Reported by: Agni Klintuni Boedhihartono
ANTROPOLOGI INDONESIA 70, 2003
127