MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
TENGGELAMNYA JAKARTA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KONSTRUKSI BANGUNAN BEBAN MEGACITY Jack M. Manik1 dan M. Djen Marasabessy2*) 1. Balai Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Ambon, Kotak Pos 1108, Indonesia 2. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 14430, Indonesia *)
E-mail:
[email protected]
Abstrak Kota Jakarta dan sekitarnya sebagian besar berdiri di atas dataran pesisir yang berelevasi rendah telah mengalami pertumbuhan penduduk dan juga pembangunan bangunan-bangunan tinggi dan berat secara dramatis. Beban bangunan dan segala isinya di Jakarta dan sekitarnya menekan dataran pesisir yang berdaya dukung relatif rendah terhadap bangunan sehingga menimbulkan aneka dampak negatif dalam bentuk amblesan tanah dan aneka dampak negatif runutannya, semisal genangan air dan banjir. Tulisan ini secara eksplisit mencoba membuat hipotesis bahwa betapa total gaya berat megacity dan populasi cenderung memberikan dampak negative berupa amblesan dataran pesisir dan perubahan isostasi bumi, dan selanjutnya juga pada perubahan rotasi bumi.
Abstract Sinking of Jakarta in Relation with Building Construction Namely Megacity Load. The Jakarta city which lies on low coastal plain is home of over ten millions mof people. The number of population has been growing together with the constructions of high rise buildings. The buildings with all of the materials and people who live and use them together with continuous ground water extraction have resulted in undergone dramatic subsidence and other following negative impacts such as permanent flooding. This paper explicitly propose a hypothesis that the total weight of the megacity and the population tends to cause subsidence in coastal area and the charge in the earth isostasi, as well as in earth rotation. Keywords: building construction, coastal zone, ground water extraction, Jakarta, megacity load, negative impact, subsidence
sangat dinamik dan dapat berubah cepat sewaktu-waktu. Teori ini pada hakekatnya menjelaskan bahwa bagian lempeng bumi yang berupa dasar laut umumnya dibentuk oleh material batuan dengan massa jenis dan berat jenis tinggi, sementara daratan terbentuk oleh material bermassa dan berberat jenis lebih rendah. Agar beban seimbang, maka material di daratan lebih tebal dibanding dengan yang di dasar laut.
1. Pendahuluan Kerak bumi atau litosfer (lithosphere) dibentuk oleh material dengan sifat yang tidak homogen dan tidak memiliki kepadatan atau kerapatan massa, massa jenis dan berat jenis yang merata, yang secara umum nilainya meninggi ke arah pusat bumi. Lapisan dengan ketebalan sekitar 60 km ini penuh dengan perlipatan, patahan, dan rekahan. Kerak bumi ini harus menahan desakan magma dari lapisan astenosfer (astenosphere) melalui retakanretakan bumi dalam bentuk rekahan, pemekaran atau perekahan dasar tengah samudera (mid oceanic sea floor spreading) dan gunung-gunung berapi yang tersebar di daratan dan di dasar lautan dalam lokasi dan jalur-jalur tertentu sesuai dengan teori tektonik lempeng bumi (plate tectonics) (Gambar 1). Desakan magma terjadi akibat proses geologi di dalam bumi, yang dicakup pula dalam teori keseimbangan (isostasi) lempeng bumi, yang meskipun secara umum berlangsung pelan tetapi
Permukaan luar kulit bumi berada dalam bentuk batuan, hasil pelapukan batuan, atau sedimen lepas. Sebagian daratan merupakan dataran pesisir (coastal plain) yang berelevasi rendah dan berdaya dukung rendah terhadap beban bangunan. Sebagian daratan kota Jakarta dan sekitarnya berada di atas dataran pesisir berelevasi rendah rentan genangan air dan berdaya dukung rendah yang rentan pemadatan dan amblesan. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar resiko membangun gedung pencakar langit di atas kerak bumi yang lemah
69
70
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
seperti itu, di atas daratan yang hanya sekitar 32% dari lapisan luar planet bumi berupa daratan, sedangkan penduduk bumi selalu bertambah dan sekarang telah mencapai lebih dari 6,8 milyar orang [1]. Agaknya bumi saat ini melewati proses-proses evolusioner ketika kulitnya bergetar dan berbenturan sebagai akibat proses tektonik dan dipengaruhi pula oleh sangat besarnya efek gaya berat beban megacity dan populasi penduduk dunia sehingga terjadi entropi (entropy) semakin besar yang menimbulkan amblesan dataran pesisir serta perubahan bentuk geoid, dan mungkin juga perubahan rotasi bumi. Bila diasumsikan bahwa pada mulanya gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tanah adalah seimbang atau dikatakan jumlah gaya-gaya adalah nol. Adanya beban megacity ini, memberikan gaya berat tambahan pada suatu bagian bumi yang dapat merubah keseimbangan. Gaya berat dari megacity dapat diibaratkan merupakan suatu struktur dalam teknik sipil. Sedangkan struktur adalah gabungan dari komponen-komponen yang menahan gaya desak dan atau gaya tarik, dan mungkin juga momen untuk meneruskan beban-beban ke tanah dengan aman [2]. Tulisan ini secara eksplisit mencoba membuat hipotesis bahwa betapa total gaya berat megacity dan populasi cenderung memberikan dampak negatif berupa amblesan dataran pesisir dan perubahan isostasi bumi, dan selanjutnya juga pada perubahan rotasi bumi.
A
2,8
B
2,8
2,8
2,8
2,8
3,0
3,3
2,8
2,6
2,9
3,0
3,3
Gambar 2. Teori Isostasi (keseimbangan kulit bumi/ litosfera) masing-masing menurut Teori Pratt = A, dan menurut Teori Airy atau Teori Akar-akar Pegunungan-pegunungan/Roots of Mountains = B [2]
2. Metode Penelitian Kulit bumi yang direpresentasikan dengan lempeng bumi dalam teori tektonik lempeng (plate tectonics) bergerak dan berubah bentuk dan tempat, baik dalam arah vertikal maupun lateral. Perubahan elevasi permukaan tanah secara global ini sekarang dapat dipantau dengan menggunakan jaring sipat datar dengan bantuan data (citra) satelit geodesi. Perubahan umumnya juga dilakukan dengan membandingkan dengan perubahan elevasi muka laut. Pemantauan permukaan air laut dapat dilakukan dengan menggunakan data citra satelit, dan data pengamatan pasang surut. Kedua data ini saling dihubungkan untuk menentukan penurunan atau kenaikan lapisan batuan dan permukaan tanah. Semua data dapat diperoleh melalui jaringan internet [4,5]. Kompilasi data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan metode IDEA (Imagination, Data, Evaluation, Action). Kemungkinan terjadinya proses terus-menerus penyeimbangan permukaan bumi, baik yang terjadi karena proses alam dalam bentuk pergerakan lempeng bumi serta erosi dan sedimentasi, maupun oleh proses kegiatan manusia khususnya melalui pembangunan perkotaan berbangunan berat dan tinggi didasarkan pada Teori Pratt dan Airy disajikan pada Gambar 2.
3. Hasil dan Pembahasan Gambar 1. Lapisan Astenosfer yang Kenyal dan Selalu Berubah-ubah dan Bergerak akan Semakin Terpengaruh oleh Keseimbangan Baru oleh adanya Beban Perkotaan Megapolitan Khususnya yang Semakin Semarak dibangun dan Berkembang di Wilayah Pesisir Menurut Teori Isostasi dalam Ilmu Geofisika [3].
Pertumbuhan kota-kota besar yang berpenduduk lebih dari 10 juta orang (megacity) [6], dan kota-kota besar lainnya (metropolitan, berpenduduk 1-10 juta orang) banyak terjadi di wilayah pesisir (coastal zone; Gambar 3). Bahkan, 60% kota-kota besar dunia berada pada jarak 60 km dari garis pantai (Ongkosongo, komunikasi pribadi). Sebagai pembanding, sekitar 53% penduduk Amerika Serikat tinggal di wilayah pesisir [7-9].
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
71
Adanya beban megacity, akan memberikan gaya berat. Gaya berat tersebut akan diteruskan ke tanah. Kalau kekuatan tanah lebih kecil daripada kekuatan beban bangunan, maka tanah memerlukan luas permukaan (A) yang lebih besar untuk memikul beban (P) yang sama. Luas permukaan tanah yang diperlukan berbanding lurus dengan beban bangunan dan berbanding terbalik dengan daya dukung tanah yang diizinkan, dengan rumus: A=P ρ (1) Keterangan: A = Luas permukaan tanah P = Beban bangunan ρ = Daya dukung tanah yang diizinkan Bangunan megacity yang berukuran besar selalu didirikan di atas pondasi yang kuat. Pondasi berguna untuk menyalurkan beban ke dalam tanah. Untuk itu harus ditentukan besar beban yang bekerja pada setiap pondasi. Pondasi adalah elemen untuk menyebarkan beban bangunan dari elemen struktur ke titik pendukung. Dengan kata lain, pondasi adalah elemen bangunan untuk memindahkan beban struktur ke dalam tanah. Bila tanah permukaan terlalu lemah, maka luas pondasi akan sangat besar, berat, dan secara ekonomi akan mahal. ltulah sebabnya dibutuhkan penanaman tiang pancang sampai begitu dalam sehingga tanah mampu mendukung beban. Penanaman tiang pancang yang sangat dalam menyebabkan tanah mendapat tekanan yang sangat besar. Sebagai misal, konstruksi bangunan menara Pisa di Italia dengan berat 14.500 ton akan disebarkan oleh pondasi yang sangat dalam untuk selanjutnya diteruskan ke dalam tanah. Apabila distribusi beban atau daya
Gambar 4. Contoh Bangunan Tinggi Pencakar Langit di Jakarta beserta Segala Pemukiman, Sarana dan Prasarana yang digunakan Manusianya merupakan Beban Sangat Berat yang menekan Bumi (Foto: Ongkosongo)
dukung tanah tidak merata atau salah satu bagiannya mengalami anomali, maka akibat beban yang berat ini menara Pisa menjadi miring. Hal ini dikarenakan daya dukung tanah tidak sanggup lagi menahan beban bangunan seberat itu. Kemiringan ini dianggap sebagai keajaiban dunia, padahal sebenarnya adalah kesalahan perhitungan insinyur pembuatnya dari Italia. Intinya adalah perbedaan daya dukung tanah akan menyebabkan perbedaan tingkat amblesan (differential settlement) yang menghasilkan kemiringan dari menara tersebut. Kipas vulkanik di sebelah selatan Jakarta, serta bentang alam daratan pesisir yang terbentuk karena prosesproses laut alami (marine origin), dijumpai di bagian utara dekat dengan garis pantai termasuk pematang pantai (beach ridge) ditambah mangrove yang terletak di bagian utara, dan alur-alur sungai purba dan sungai sekarang yang secara umum tegak lurus pantai dan mengarah selatan-utara membentuk fondasi kota megapolitan Bogor-Depok-Jakarta-Tangerang SelatanTangerang-Bekasi [11].
Gambar 3. Contoh Sebaran Megacity di Wilayah Pesisir [10]
Amblesan terjadi di Jakarta menurut Ongkosongo dan Supriyana karena tanah ini termasuk sedimen muda dan tidak kompak [12]. Karena beban megacity, tanah mengalami tekanan dan mudah terjadi penurunan (land subsidence). Penyebab lain diperkirakan adalah pengambilan air tanah yang berlebihan [13]. Secara akumulatif, baik penurunan elevasi daratan kota Jakarta, yang terus-menerus juga dipicu selain oleh beban bangunan dan kegiatan perkotaan yang ada, juga oleh pengambilan air tanah, dan kenaikan air laut, yang secara keseluruhan akan menambah resiko kota Jakata
72
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
untuk semakin sering dan tinggi tergenang banjir/genangan air, baik air dari daratan (hulu), curah hujan, hilir, ataupun dari air pasang laut tinggi [14]. Kesemuanya disimpulkan sebagai beban dari megacity, terutama di bagian utara Jakarta yang daratannya merupakan marine origin yang masih lunak seperti di kawasan Gunung Sahari. Amblesan itu sendiri pada hakekatnya adalah ekspresi dari gaya vertikal beban terpusat. Efek dari amblesan di Jakarta tampak dalam bentuk: 1. Retakan konstruksi permanen di kawasan Jakarta Pusat di sepanjang Jalan Thamrin [15]. 2. Daerah genangan banjir yang semakin meluas setiap tahun, seperti yang terjadi bulan Februari 2002 yang lalu. 3. Intrusi air laut ke arah daratan. 4. Genangan karena air laut pasang makin meluas seperti di sepanjang Jalan R.E. Martadinata dari kawasan Gunung Sahari sampai Tanjung Priok. 5. Bangunan gedung yang lantai pertamanya seperti tertanam sebagaimana terlihat pada gedung Pangkalan Angkatan Laut di Gunung Sahari. 6. Amblesan daratan di banyak tempat (Gambar 5 dan 6). Sementara itu laju kenaikan permukaan air laut rata-rata naik 0,3 cm per tahun di kawasan Jakarta Utara (Gambar 5). Sedangkan pada analisis global, kenaikan air laut (sea level rise) menunjukkan kenaikan air laut antara 0,1 cm–0,3 cm. Sementara itu, gejala kenaikan air laut nampak dari hasil pengolahan data pasang surut yang ada dengan laju kenaikan rata-rata 4,38 mm per tahun [14], yang mungkin dapat pula diperkirakan dari kenaikan suhu udara secara global termasuk perairan di Teluk Jakarta (Gambar 6). Dari akumulasi dampak penurunan tanah dan kenaikan air laut di dapat laju amblesan/penenggelaman (rate of sinking) dari Jakarta Utara sebesar 0,8 cm per tahun. Menurut penelitian Bakosurtanal didapat ketinggian rata-rata Jakarta Utara di atas permukaan air laut sebesar 1,5 m dan pantai Jakarta Utara akan tenggelam dalam tempo 182,5 tahun lagi sejak mulai tahun 1989. Dengan perkataan lain pada tahun 2172. Bahkan menurut perhitungan Tim ITB, Jakarta akan tenggelam pada tahun 2035. Daerah yang tenggelam meliputi Tanjung Priok, Bandara Soekarno Hatta, Pademangan, Koja, Cilincing, Penjaringan, Bekasi Utara, Muara Gombong, Babelan, dan Tarumajaya. Dari hasil data survei GPS, Jakarta selama lima periode ini rata-rata mencapai beberapa centimeter, belasan centimeter, dan bahkan di daerah tertentu sampai puluhan centimeter di bawah permukaan laut. Ini sesuai menurut Inter Governmental Panel on Climate Change melaporkan bahwa Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-1 derajat Celsius antara tahun 1990 hingga 2000. Penurunan yang drastis
(A)
(B)
Gambar 5. Sebaran Wilayah Amblesan di Jakarta pada Tahun 1982-1991 (A) dan 1991-1997 (B) menurut Abidin [14]
Gambar 6. Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut di Jakarta [14]
inilah di mana pada tahun 2002 dan 2007 Jakarta mengalami penenggelaman terutama pada bagian Barat. Hasil pengukuran terakhir menunjukkan bahwa suhu maksimum di Kutub Utara mencapai 22 derajat Celcius. Padahal sebelumnya tidak pernah menyentuh 2 sampai 4 derajat diatas 0 derajat Celcius, dan peristiwa ini sangat berpeluang menambah penenggelaman Jakarta. The United State Snow dan Ice Data Center di Colorado mencatat pencairan es tersebut mencapai 4,28 juta km2. Ini adalah pencairan terekstrim dalam tiga tahun terakhir. Untuk itu, pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting yang mau tidak mau merupakan tumpuan solusi saat ini dan masa depan. Konsep ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan, daya tampung lingkungan, tata ruang, pemanfaatan lahan, kesehatan masyarakat, serta masalah-masalah ekonomi dan sosial. Semuanya harus berkesinambungan tanpa henti. Teknologi adalah alatnya untuk mengendalikan lingkungan.
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
73
Dari segi daya dukung tanah, Jakarta tidak berkelanjutan sebab berada di wilayah pesisir dengan daya dukung tanah rendah serta parameter indikator tertekan lainnya. Pada kenyataannya Jakarta terus cenderung tenggelam dan pada waktu mendatang semakin besar risikonya, baik dari segi frekuensi genangan air maupun tinggi genangannya.
Sudut itu tidak tepat lagi sebesar 23,5 derajat sudut, penyebabnya belum diketahui. Sudut inilah yang membentuk empat musim di bumi. Boleh jadi ada juga pengaruh beban megacity-megacity dunia terhadap pergeseran ini. Dari perhitungan secara kasar dan sementara dapat diusulkan daftar beban pada beberapa kota besar di dunia (Tabel 1).
Mengenai beban megacity pada dasarnya adalah dapat dipandang secara teknik sipil sebagai beban terpusat. Beban ini diperkirakan akan mempengaruhi keseimbangan isostasi kulit bumi. Isostasi (keseimbangan) kulit bumi disebabkan oleh perbedaan densitas dan ketebalan lapisan batuan penyusunnya. Teori Pratt menyebutkan isostasi disebabkan oleh perbedaan densitas. Selanjutnya teori Airy menambahkan masalah ketebalan yang mempengaruhi isostasi tersebut (Gambar 2).
Apabila berat rata-rata 1 orang = 50 kg, dan setiap megacity mempunyai 100 buah gedung setipe Wisma Nusantara Jakarta dengan 30 lantai, luas 832 meter persegi dan berat sekitar 52.000 ton [15], maka dapat diperkirakan beban setiap megacity di dunia. Perhitungan ini harus memasukkan pula aneka barang yang ada atau digunakan, termasuk kendaraan dan sebagainya. Beban kendaraan nampak misalnya dari
Keseimbangan ini akan terus berubah-ubah (dinamik) oleh adanya proses tektonik khususnya pemekaran dasar samudera (mid-oceanic spreading dan subduction), denudasi, erosi, sedimentasi, perubahan beban megacity yang juga merubah bentang alam (landscape) dan bentuk alam (landform), perubahan pemanfaatan lahan, dan sebagainya.
T (ºC)
Secara teori dan dalam skala kecil, pada sebuah bola yang berotasi, apabila terjadi perubahan berat dari material bola itu di suatu bagian tertentu, maka akan mempengaruhi putaran tersebut. Hal ini dapat dibuktikan secara matematika maupun percobaan empiris di laboratorium. Jika kondisi itu dikembangkan secara makro yang melibatkan bumi, pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh beban tersebut, dalam hal ini diekspresikan oleh kehadiran megacity terhadap isostasi bumi. Menurut para ilmuwan, sekali dalam 100 tahun telah berubah sudut antara poros bumi dengan garis tegak lurus bidang orbit bumi mengelilingi matahari. 29 –
Jakarta 28 –
27 –
26 –
25 –
1953
Month 1 - 444
1990
Gambar 6. Kecenderungan Kenaikan Suhu Udara dan Perairan di Berbagai Tempat di Dunia Termasuk pada Megacity Seperti Jakarta [13], dan Kenaikan Muka Air Laut Global yang Disebabkan oleh Pencairan Lapisan Es di Daerah Kutub dan Daerah Dingin lainnya Akibat Kenaikan Suhu Global tersebut [10]
Tabel 1. Perhitungan Kasar Jumlah Penduduk dan Beban pada beberapa Megacity di Dunia
No.
Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Jakarta Tokyo Shanghai Bangkok Beijing Dacca Calcutta Bombay Lahore New Delhi Karachi Baghdad Nairobi Moscow Cairo Istambul Rhein-Ruhr Kinshasha Lagos Paris London New York Sao Paulo Rio De Janeiro Buenos Aires Mexico City Los Angeles Santiago
Populasi Kasar (Juta) 30 20 30 20 20 30 30 30 15 30 30 20 20 15 30 20 10 20 30 10 10 20 30 20 15 30 15 10
Beban Kasar (Juta Ton) 17,10 11,40 17,10 11,40 11,40 17,10 17,10 17,10 8,55 17,10 17,10 11,40 11,40 8,55 17,10 11,40 5,70 11,40 17,10 5,70 5,70 11,40 17,10 11,40 8,55 17,10 8,55 5,70
Catatan: Asumsi berat satu orang = 50 kg, tiap satu kota diperhitungkan 100 gedung setipe Wisma Nusantara Jakarta dengan 30 lantai dan luas dasar lantai sekitar 832 m2, dan berat gedung sekitar 52.000 ton [15]. Sebagai misal, bila populasi penduduk megacity tersebut seperti pada Tabe1 1, yakni lebih atau sama dengan 10 juta jiwa, maka dapat diperhitungkan secara kasar beban dari adanya gedung dan seratus bangunan setingkat 30 lantai tersebut, tanpa memperhitungkan bebanbeban lainnya seperti kendaraan dan berbagai macam barang kebutuhan hidup lainnya.
74
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 69-74
amblesnya bagian jalan yang sering dilaluinya. Selanjutnya beban megacity-megacity dunia ini akan mempengaruhi pergerakan magma sehingga kutub utara dan selatan bumi akan bertukar seperti zaman primordial. Artinya, kutub utara sekarang bukan berada pada posisi yang sebenarnya. Hal itu berarti juga, posisi sudut antara poros bumi dengan garis tegak lurus bidang orbit mengelilingi matahari tidak lagi 23,5 derajat sudut, atau peralihan empat musim tidak konsisten lagi. Akhirnya dapat diduga bahwa kutub utara sekarang akan semakin dipenuhi oleh daratan dan kutub Selatan oleh lautan.
4. Simpulan Bangunan yang tinggi beserta segala fasilitas khususnya yang ada di kota besar megapolitan (megacity) pada wilayah pesisir yang berdaya dukung rendah diperkirakan akan menyebabkan penurunan elevasi, baik oleh proses amblesan (subsidence), perosokan (settlement), maupun pemampatan tanah (compaction). Penurunan elevasi tanah pada megacity di wilayah pesisir yang berdaya dukung rendah, apalagi disertai dengan proses kenaikan air laut global, akan memberi resiko sangat besar secara perlahan-lahan genangan atau banjir pada dataran pesisir tersebut. Pertumbuhan pesat beban yang menekan dari megacity, meskipun relatif kecil, mungkin juga mempengaruhi isostasi (keseimbangan) litosfera atau kulit bumi, serta geoid dan rotasi bumi. Menghadapi resiko atas kemungkinan dampak negatif yang tidak diinginkan akibat beban megacity yang besar, maka perlu disiapkan strategi penanganan, antisipasi dan prediksi efek negatif tersebut secara tersistem dan terencana.
Ucapan Terima Kasih Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Otto S.R. Ongkosongo, APU dan Ir. Wahyu Budi Setyawan, M.Si. atas segala bantuannya dalam penelitian ini.
Daftar Acuan [1] Anon., World Population, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/world_population, March, 2006. [2] J. Gilluly, A.C. Waters, A.O. Woodford, Principles of Geology, W.H. Freeman & Co., San Francisco, 1968, p.687.
[3] Anon., Earth Observatory, NASA Official, http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?i d=43105, March 21, 2010. [4] Anon., Ocean Surface Topography from Space, Jet Propulsion Laboratory, NASA, http://topexwww.jpl.nasa.gov/science/jason1-quicklook/index.html, January 2006. [5] A. Madrigal, NASA Satellite Maps 99% of Earth’s Topography, http://www.wired.com/wiredscience/2009/06/nasasatellite-maps-99-of-earths-topography/, June 2006 [6] K. Eschelbach, The Human Coast, Lecture note, Univ. North Carolina, Chapel Hill, n.d, p.23. [7] O.S.R. Ongkosongo, H. Supriyana, Existing and future hydraulic engineering works on the coast of Jakarta, Indonesia, Intern. Worksh. Sea Level Changes and Their Consequences for Hydrology and Water Management, UNESCO IHP-IV Project H-22, Noordwijkerhout, 1993, p.59. [8] P. Soekardi, A. Djaeni, H. Soefner, M. Hobler, G. Schmidt, Geological Aspect of the Aquifer System and the Groundwater Situation of Jakarta Artesian Basin, Sem. Geol. Mapping in the Urban Development, Econ. and Soc. Comm. for Asia and the Pacific, Bangkok, 1986. [9] O.S.R. Ongkosongo, Kondisi Geomorfologi dan Kaitannya dengan Daerah Genangan Air di Jakarta, Sem. Tinjauan Geologi terhadap Daerah Genangan di Wilayah DKI Jakarta, Din. Pertambangan Prop. DKI Jakarta, Jakarta, 2001, p.22. [10] R.E. Waterman, Naar een integraal kustbeleid via bouwen met de natuur, Meinema, Delft, 1991, p.114. [11] O.S.R. Ongkosongo dkk. 2009. Perubahan lingkungan di pesisir kota Jakarta Utara. Pus. Penel. Oseanog., LIPI, Jakarta, pp. 97. [12] H.Z. Abidin, R. Djaja, D. Darmawan, S. Hadi, A. Akbar, H. Rajiyowiryono, Y. Sudibyo, I. Meilano, M.A. Kasuma, J. Kahar, C. Subarya, Natural Hazard 23 (2001) 365. [13] Hadikusumah, Mar. Res. Indon. 29 (1995) 31. [14] H.Z. Abidin, Land Subsidence Characteristics of the Jakarta Basin (Indonesia) Estimated from Leveling GPS and InSAR and its Environmental Impacts. Fac. Geoinformation Science and Engin, UTM, Johor Bahru, 2008, p.49. [15] H. Poerbo, Struktur dan Konstruksi Bangunan Tinggi, Djambatan, Jakarta, 2000, p.163.