8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan laut Flores.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan
Oceanografi Angkatan laut (1990) diacu dalam Farhum (2006) di laut Flores dan Tteluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan. Pola arus permukaan di laut Flores mengalami perubahan total 2 kali setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat (Desember – Pebruari) arus permukaan berasal dari arah Barat (Laut Jawa) mengalir ke arah Timur ( Laut Banda) melewati Laut Flores. Memasuki musim peralihan pertama (Maret - Mei), arah arus tidak menentu. Pada bulan Maret arus permukaan pada bagia Selatan Laut Flores masih mengalir dari laut jawa menuju laut Banda, sedangkan pada bulan April - Mei arah arus sudah tidak menentu (Wyrtki 1961). Pada musim Timur (Juni - Agustus), arus permukaan di laut Flores dan Teluk Bone kembali memperlihatkan pola yang tetap.
Pada bulan Mei arus
permukaan berasal dari arah timur (Laut Banda) mengalir ke arah Barat (Laut Jawa) melalui laut Flores sebelah Utara (Teluk Bone).
Pada awal musim
peralihan kedua, arah arus permukaan pada sebelah utara laut Flores masih seperti pada musim Timur, namun pada bulan Oktober - Nopember arah arus permukaan disebelah utara laut Flores menunjukkan pola yang tidak menentu. Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m, dengan peluang kejadian 0,2-79 %, sedangkan panjang gelombangnya berkisar antara 21,3-60,4 m.
Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut, peluang
terbesar (79 %) dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang 0,5-1,0 m (Farhum 2006) Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang oleh daratan P. Sulawesi.
Dengan demikian gelombang yang terbentuk
umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara (angin pasat Tenggara) dan angin Timur yang terjadi pada musim timur dan peralihan II. Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2 musim lainnya. Berdasarkan kondisi teluk tersebut, maka dalam rangka pengelolaan kawasan perairan Teluk Bone selayaknya dibagi dalam 3 zona, yaitu Utara, Tengah dan Selatan. Zona Utara perairannya lebih hangat dibandingkan Zona
182
Tengah dan Selatan.
Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang
pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,610C, Zona Tengah yang pengaruh massa air laut Flores moderat memiliki rata-rata SPL 29,940C dan Zona Selatan yang pengaruh massa air laut Flores besar hanya memiiki SPL rata-rata 29,330C.
Hal ini terlihat bahwa peran massa air laut Flores yang
suhunya lebih dingin terhadap sebaran suhu di Teluk Bone cukup besar. Suhu air yang tinggi di Zona Utara juga dapat disebabkan oleh pemanasan sinar matahari yang mencapai kondisi maksimal sebagai akibat dari dangkalnya perairan di Zona Utara, Pada Zona Utara massa air dingin yang masuk dari laut Flores (mulut teluk) relatif kecil. Sebagaimana diketahui bahwa massa air di Zona Selatan lebih dingin hal ini dipengaruhi oleh angin munson. Secara bergatian antara angin musim Timur dan angin Barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Nilai SPL di seluruh zona dalam kawasan Teluk Bone mengalami titik terendah pada musim Timur (Juni-Agustus), Hal ini berkaitan dengan suhu dingin yang berasal dari Laut Banda, di mana pada musim Timur tersebut suhu permukaan air laut Banda mencapai titik terendah yaitu 26,50C dan massa air yang dingin ini bergerak dari arah Timur (Laut Banda) mengalir ke arah Barat (Laut Jawa) melalui laut Flores sebelah Utara (Teluk Bone). Selain itu pada musim Timur juga terjadi proses up welling di laut Banda (Susanto et al. 2006 diacu dalam Tubalawony et al. 2008). Penaikan massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat naik, menyebabkan SPL pada bagian permukaan lebih dingin atau lebih rendah dibandingkan pada musim-musim lain. Massa air yang dingin tersebut melewati laut Flores dan masuk ke kawasan Teluk Bone sehingga SPL di seluruh zona rendah terutama di Zona Selatan. Suhu perairan akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a di setiap zona. Rata-rata konsentrasi klorofil-a selama penelitian di Zona Utara dalam kurun waktu 2 tahun (2006 dan 2007) diperoleh 0,37 mg/m3, Zona Tengah memiliki rata-rata klorofil-a 0,27 mg/m3 dan Zona Selatan memiiki SPL rata-rata 0,23 mg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih subur dibandingkan dengan Zona Tengah dan Zona Selatan. Rendahnya kandungan klorofil-a di Zona Tengah dan Selatan berhubungan dengan kandungan nitrat dan fosfat di masing-masing zona. Nitrat dan fosfat di Zona Selatan dipengaruhi oleh arus dalam yang kuat menyebabkan nitrat dan fosfat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian Selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah Utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami
183
pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar antara 0,12 ppm - 0,796 ppm, sedangkan nilai kandungan fosfat berkisar antara 1,152 - 0,5 ppm (Wagey et al. 2004).
Kedua nutrien tersebut merupakan unsur yang sangat
dibutuhkan oleh klorofil-a dalam proses fotosintesis.
Laju penyerapan
-
fitoplankton terhadap nitrogen (NO3 dan urea) tergantung pada pencahayaan. Perbedaan penyerapan nutrien di daerah front dengan perairan terstratifikasi disebabkan karena perbedaan cahaya (Cohlan et al. 1991). Hasil citra tentang bathymetri Teluk Bone menunjukkan bahwa di Zona Utara perairannya lebih dangkal di bandingkan Zona Tengah dan Selatan sehingga menyebabkan suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a lebih tinggi akibat penetrasi sinar matahari hampir menembus kolom air sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik.
Menurut Syafruddin dan
Zainuddin (2008) menyatakan bahwa kondisi bathymetri memberikan informasi mengenai tingkat kedalaman suatu perairan dan topografi lautnya. Kondisi ini mempunyai hubungan dengan keadaan sirkulasi air misalnya peristiwa pusaran arus eddy, daerah front (pertemuan dua massa air laut yang berbeda tipe) dan area upwelling (naiknya massa laut ke permukaan yang diikuti oleh naiknya zat makanan yang penting untuk ikan) yang sangat penting untuk menemukan daerah yang potensial untuk menangkap ikan. Kandungan klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a
merupakan
salah
satu
parameter
yang
sangat
menentukan
produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a
pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara
184
langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species). Konsentrasi klorofil-a sangat menentukan laju produktivitas primer suatu perairan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan VGPM diperoleh bahwa kandungan rata-rata produktivitas primer yang diperoleh di Zona Utara 2
dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 547,31 mgC/m /thn
dan 585,34
mgC/m2/thn , di Zona Tengah dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 445,97 2
2
mgC/m /thn dan 433,53 mgC/m /thn sedangkan di Zona Selatan dalam
tahun 2006 dan 2007 adalah 449,38 mgC/m2/thn dan 365,68 mgC/m2/thn. Hal ini berarti bahwa kandungan produktivitas di Zona Utara lebih tinggi di bandingkan Zona Tengah dan Selatan. Hasil penelitian yang diperoleh hampir sama dengan yang didapatkan oleh Masrikat (2009) sebesar 341,55 – 702,61 mgC/m2/thn yang melakukan penelitian di LCS Indonesia, sedangkan hasil penelitian Kasma et al. (2008) sedikit lebih rendah dengan kisaran 73,22 – 658,57
2
mgC/m /day
yang
melakukan
penelitian
di
Samudera
Hindia.
Produktivittas primer > 400 mgC m-2 thn-1 dikategorikan tinggi (Platt et al 1995 diacu dalam Masrikat 2009).
Dengan demikian bahwa produktivitas primer
yang diperoleh selama penelitian termasuk dalam kategori yang tinggi kecuali di Zona Selatan tahun 2007. Penelitian ini menunjukkan nilai produktitivitas primer tertinggi antara bulan Juni –Setember (munson Tenggara) pada keseluruhan zona. Pada Zona Utara, Tengah dan Selatan tahun 2006 dan 2007 diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 471,04 - 721,06 mgC/m2/thn, 491,80 - 530,85 mgC/m2/thn, 462,90 - 588,87 mgC/m2/thn dan 537,15 - 850,19 mgC/m2/thn, 476,95 - 570,21 mgC/m2/thn, 392,52 - 504,22 mgC/m2/thn.
Hal yang sama diperoleh pula
oleh Kasma et a.l (2008), dari hasil penelitiannya menemukan bahwa nilai produktivitas primer lebih tinggi pada munson Tenggara dibandingkan munson Barat Laut. Hal ini disebabkan karena pada munson Tenggara suhu udara lebih dingin dibandingkan munson Barat Laut. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju pengendapan selsel fitoplankton itu sendiri (Gabric and Parslow 1989).
Beberapa penelitian
tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman di mana konsentrrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian atas lapisan termoklin.
Lapisan permukaan
185
tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Sejalan dengan hal itu, Matsumura et al. (1997) berdasarkan hasil penelitiannya di bagian Timur Lautan Hindia menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit, dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a di bawah lapisan termoklin. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin munson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal di mana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh konsentrasi klorofil-a tertinggi pada Munson Tenggara, di mana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Munson Barat Laut. Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga
nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.
Perbedaan
konsentrasi klorofil-a pada kedua munson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti, diantaranya Monk et al (1997 diacu dalam Masrikat 2009) menyatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg m-3, sedangkan selama musim Barat sebesar 0,16 mg m-3 dan selama musim timur 0,21 mg m-3. Tingginya kandungan klorofil-a dan produktiviitas primer meningkatkan pula biomas cakalang pada seluruh lokasi penelitian (lampiran 27, 28 dan 29). Hal
ini
disebabkan
karena
ketersediaan
makanan
yang
cukup
untuk
memproduksi ikan pada level yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1982) bahwa persediaan makanan yang melimpah berpengaruh nyata terhadap produksi yang dikenal dengan efisiensi ekologi.
Pengaruh
efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar dari 10 – 20 % pada lima tingkatan tropik (Schaefer 1965 diacu dalam Parson et al. 1984).
Diantara
setiap tingkatan tropik ada mata rantai yang digolongkan sebagai mata rantai pemindahan atau mata rantai modulasi perpindahan. Nutrien ditransfer untuk produksi dan laju reproduksi alga diatur oleh konsentrasi nutrien pada tingkatan yang rendah. Perairan teluk digolongkan kedalam perairan coastal, sehingga nilai efisiensi ekologinya 15 % dan tingkatan tropik level maksimum 3 (Tabel 35). Cakalang yang hidup di dalam kawasan Teluk Bone tingkatan tropik levelnya adalah 3, sedangkan pada perairan oceanic bisa lebih besar dari 3. Menurut Kitchell et al (1999 diacu dalam NRC 2006) menyatakan bahwa cakalang yang
186
hidup di Samudera Pacifik Bagian Tengah dalam sistem jaring makanan (food web) berada pada tingkatan tropik level 4 di bawah ikan dari jenis Blueshark, Swordfish dan Bluemarlin.
Tabel 36 Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut (Ryther 1969 diacu dalam Lalli dan Parson et al. 1997)
Lautan
Rata-rata produktivitas primer (gC/m2/thn) 50
Coastal
100
3
15
340
Upwelling
300
1,5
20
36.000
Lingkungan Laut
Tingkatan tropik
Efisiensi ekologi
Produksi ikan (mgC/m2/thn)
5
10
0,5
Tingginya nilai produktivitas primer tidak berhubungan dengan produksi hasil tangkapan cakalang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi
cakalang di Zona Utara tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 3.744,8 ton dan 3.585,3 ton, di Zona Tengah tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 10.221,9 ton dan 9.380 ton serta di Zona Selatan pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 4.537,2 ton dan 7.449 ton. diperoleh Kasma et al. (2008) yang menyatakan
Hal yang sama
bahwa jumlah ikan hasil
tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan, dengan koefisien korelasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil (r = 0.008). Demikian juga yang diperoleh Silvia (2009), yang melakukan penelitian di perairan
Mentawai menyatakan bahwa
peningkatan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap produksi ikan cakalang dari hasil tangkapan. Hal ini didukung oleh uji statistik yang tidak signifikan. Jika dibandingkan produksi hasil tangkapan dengan biomas berdasarkan perhitungan dengan VGPM, maka nilai biomas bedasarkan VGPM jauh lebih kecil, hal ini menunjukkan bahwa cakalang dikawasan Teluk Bone banyak menerima pasokan dari Laut Flores terutama pada Zona Tengah dan Selatan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Prasetyo dan Suwarso (2010) yang memperoleh produksi ikan Layang di Selat Makassar yang dihitung berdasarkan VGPM jauh lebih tinggi dibandingkan kelimpahan hasil tangkapan (kelimpahan aktual). Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground).
Pada umumnya, selama ini sebagian
187
nelayan masih menggunakan pengalamannya dan pengamatan terhadap tandatanda alam secara konvensional dengan mengandalkan kemampuan panca inderanya. Ketidaksediaan informasi stok sumberdaya ikan laut mengakibatkan upaya (effort) yang besar dan minimnya pemahaman terhadap pola migrasi ikan juga mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang berlebih (over fishing) di suatu daerah. Apabila hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terganggu, sehingga diperlukan teknologi yang memadai sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat efisien dan efektif. Metode dalam mengestimasi potensi dengan menggunakan data citra satelit mempunyai kelebihan dan keterbatasan.
Metode penginderaan jauh
dengan pendugaan berdasarkan klorofil-a dan Ppeu terbatas hingga batas kedalaman berlangsung.
penetrasi
cahaya
(zona
eufotik)
dimana
fotosintesis
dapat
Walaupun dapat menduga ikan dan kelompok ikan hingga
kedalaman tertentu, namun terbatas pada jenis ikan apa yang terdeteksi. Jika dibandingkan dengan metode percobaan penangkapan (experimental fishing) dengan penyapuan area menggunakan trawl, dapat secara langsung mengetahui sumberdaya ikan di perairan tersebut, namun terbatas pada ikan demersal dan pada area yang sempit. Sehingga keterpaduan dalam menduga potensi ikan sangatah akurat jika menggabungkan beberapa metode sekaligus dalam suatu penelitian. Pada struktur ukuran cakalang yang tertangkap dengan alat tangkap pole and line menunjukkan di Zona Utara ukuran kecil (belum layak tangkap) berlangsung dari bulan Januari hingga bulan Maret, di zona Tengah hanya bulan Januari dan di Zona Selatan bulan Januari hingga Februari. Perubahan ukuran menjadi lebih besar selama kurang lebih 2 bulan di zona Utara memberikan inidikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berukuran lebih besar ke Zona Utara yang dimulai setelah bulan April berasal dari zona Tengah (Gambar 39).
terutama yang
Migrasi cakalang ini kemungkinan
berhubungan dengan adanya peningkatan klorofil-a yang dimulai dari bulan April sebesar 0,34 mg/m3 manjadi 0,36 mg/m3 pada bulan Juni dan 0,38 mg/m3 pada bulan Juli sehingga ketersedian makanan di Zona Utara yang lebih banyak dibanding Zona Tengah, hal ini terlihat dari konsentrasi rata-rata klorofil-a di Zona Utara yang mencapai 0,3-0,7 mg/m3 dan di Zona Tengah hanya mencapai 0,20,3 mg/m3. Klorofil-a
merupakan faktor yang dapat memberikan indikasi
langsung keberadaan makanan ikan maupun jalur wilayah migrasi ikan tuna (Polovina et al. 2001).
188
Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Zona Tengah
Penyebaran cakalang di
berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi
adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofi-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Selatan berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi namun dari seluruh tipologi terlihat bahwa keberadaan ikan berada pada SPL yang rendah pada klorofil-a tinggi. Tipologi pada kategori musim di Zona Tengah menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada klorofil-a dan SPL yang rendah maupun tinggi. Kecenderungan keberadaan cakalang dari parameter statistik pada kategori musim menunjukkan SPL rendah sampai tinggi dengan konsentrasi klorofil-a rendah maupun tinggi. Hasil yang diperoleh bahwa tidak ada perbedaan pola penyebaran ikan pada katergori musim dan kalender hubungannya dengan produksi ikan. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan dalam kurun waktu 2 tahun cenderung ditentukan oleh klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL yang tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah pada kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan kecenderungan
keberadaan
ikan pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi pula. Penyebaran ikan di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan pada kategori kalender di Zona Selatan cenderung pada klorofil-a rendah pada SPL rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produtivitas cenderung ikan berada pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah berdasarkan kategori musim
hubungannya
dengan
produktivitas
menunjukkan
kecenderungan
keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi dan klorofil-a rendah sampai tinggi dan penyebaran ikan di Zona Selatan berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas adalah pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah Penyebaran cakalang di Teluk Bone merupakan pengaruh dari beberapa faktor fisik biologi lingkungan seperti yang telah dijelaskan. Faktor lingkungan
189
lain yang mempengaruhi pola sebaran cakalang adalah salinitas. Nilai salinitas hampir sama pada masing-masing zona (Utara, Tengah dan Selatan). Namun berbeda antara musim Timur dan Barat. (Gambar 22). Perbedaan variabilitas salinitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Penyebaran ikan cakalang berdasarkan ukuran ikan layak tangkap menunjukkan bahwa pada kuartal ke IV rata-rata ikan telah layak tangkap pada seluruh zona (Utara, Tengah dan Selatan) dan melimpah.
Ikan layak tangkap
lainnya berada pada kuartal ke II dan ke III hanya saja saja kelimpahannya sedang kecuali di Zona Selatan, ikannya melimpah. Ikan tidak layak tangkap umumnya berada pada kuartal I pada seluruh zona meskipun keberadaannya tidak melimpah dan tidak kurang. Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu (kuartalan) dapat dilihat pada Gambar 84. Zona
Utara
Tengah
Selatan
Kuartal I Keterangan :
Gambar 84
II
III
IV
:
Ikan layak tangkap dan melimpah
:
Ikan layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang
:
Ikan layak tangkap dan tidak melimpah
:
Ikan tidak layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang
Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu (kuartalan) di kawasan Teluk Bone Tahun 2007
Fluktuasi kelimpahan ikan di laut adalah suatu gejala umum, karena ikan cenderung berada atau terkonsentrasi pada kondisi lingkungan sesuai aktivitas, di mana faktor lingkungan ikan berkaitan dengan faktor biologi dan fisik (Laevastu dan Hayes 1981; Nybakken 1982). Namun dalam teori penangkapan menunjukkan bahwa populasi ikan akan berubah dengan meningkatnya upaya
190
penangkapan. Sehingga fluktuasi populasi ikan merupakan fungsi dan besaran populasi dan kapasitas lingkungan.
Kapasitas lingkungan berkaitan dengan
rekruitmen dan mortalitas alami, di mana keseimbangan populasi akan berubah dengan meningkatnya intensitas penangkapan (Rounsefell 1975 diacu dalam Nelwan 2010). Metode dalam penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menjelaskan pengelolaan perikanan tangkap cakalang dalam kawasan teluk pada zona penangkapan yang memiliki karakteristik berbeda yang berkaitan dengan perubahan kondisi oseanografis. Penelitian ini juga penting dalam menjelaskan fenomena perubahan kondisi oceanografi menggunakan parameter statistk dengan pendekatan skala waktu yang berbeda.
Ketersediaan data produksi
hasil tangkapan dalam periode bulanan akan lebih baik untuk menjelaskan hubungan
kondisi
occenografi
dengan
produksi,
sehingga
perubahan
keberadaan dan distribusi cakalang dapat terpantau dengan baik. Dalam rangka pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone, Zona Utara diduga merupakan daerah nursery area. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa panjang ikan yang tertangkap dengan ukuran terkecil adalah 29,0 cm dimana pada ukuran tersebut masih dikategorikan sebagai juvenil dari cakalang.
Sebagaimana pendapat Mori (1971 diacu dalam
Matsumoto et al. 1984) bahwa ukuran juvenil cakalang berkisar antara 1,4-30 cm dan pada daerah di mana juvenil cakalang diperoleh akan ditemukan pula larvanya.
Hanya saja penyebaran juvenil jauh lebih luas dari penyebaran
larvanya.
Hal ini dapat disebabkan karena juvenil cakalang meninggalkan
spawning area seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan mobilitas. Dalam upaya pengelolaan maka perlu dilakukan pembatasan upaya penangkapan terutama pada saat setelah pemijahan berlangsung dan penutupan sementara wilayah nursery ground
yang berada di Zona Utara dalam bentuk kebijakan
sehingga tidak berdampak negatif terhadap sumberdaya tersebut. Saat
ini
pemerintah
Indonesia
sedang
meningkatkan
peranan
sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumber pertumbuhan devisa negara, sehingga eksploitasi sumberdaya pesisir dan kelautan ini, diusahakan agar dapat meningkatkan perekonomian seluruh rakyat, terutama nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir.
Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan semua
komponen yang memiliki peran dalam ruang lingkup kebijakan pembangunan secara umum, khususnya disektor perikanan dan kelautan.
Pemanfaatan
sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiattan perikanan tangkap
191
oleh masyarakat perikanan, dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik disemua lapisan. Mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas dengan potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tentunya akan sangat bermanfaat jika dikelola dengan baik. Salah satu bentuk pengelolaan yang kini diterapkan oleh pemerintah melalui pembagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Teluk Bone, Selat Makassar dan Laut Flores merupakan salah satu wilayah pengelolaan tersebut. Dengan data dan informasi mengenai kondisi wilayah laut dan status potensi sumberdaya ikan di wilayah ini, diharapkan dapat membantu nelayan, pelaku industri perikanan dan kelautan dalam merencanakan usaha perikanan. diharapkan
Khususnya kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan, dapat
menetapkan
aturan
dan kebijakan
sumberdaya ikan yang ada dapat terjaga dan lestari.
sehingga potensi
Di samping itu pula
kebijakan mengenai penangkapan sumberdaya ikan pelagis perlu mendapat perhatian, mengingat sumberdaya ini sekarang berada pada status kelebihan tangkap.