Bab Empat
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu
Pengantar Pasar menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan tempat dimana terjadi pertemuan antara pembeli dan penjual. Kegiatan jual beli bisa berjalan dengan baik dan memberikan kenyamanan para penjual dalam proses perputaran barang dagangannya, harus didukung dengan fasilitas dan tempat yang layak untuk menempatkan barang dagangannya. Kelayakan tempat yang gunakan akan berpengaruh terhadap pembeli dalam memilih jenis-jenis barang dagangan yang disediakan oleh para pedagang yang ada di lokasi pasar dan tempat berjualan. Pasar Remu menjadi salah satu tempat mama-mama asli Papua melakukan kegiatan jual beli. Untuk kelancaran kegiatan jual beli mama asli Papua di pasar perlu didukung dengan tempat atau fasilitas yang baik dan tepat untuk menjajakan barang dagangannya. Tempat berjualan bagi pedagang menjadi faktor yang sangat menentukan dan memegang peran penting dalam proses kegiatan jual beli. Oleh sebab itu pada bagian ini penulis akan membicarakan tempat jualan yang digunakan mama-mama asli Papua dalam melakukan kegiatan jual beli di Pasar Remu.
25
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Kondisi Pasar dan Tempat Berjualan Musibah terbakarnya Pasar Remu pada tanggal 5 November 2011, menjadi awal dari perubahan kondisi kegiatan pasar yang kurang menguntungkan yang dirasakan oleh pedagang dalam melakukan kegiatan jual belinya. Secara umum peristiwa kebakaran itu menghanguskan ratusan kios dan menyebabkan beberapa pedagang tidak lagi mempunyai tempat berjualan. Untuk dapat melanjutkan aktivitas dagangnya, mereka membuat tempat berjualan darurat yang dibangun di depan dan di samping-samping Pasar Remu. Namun tempat berjualan darurat yang telah rampung dibangun oleh pemerintah, menimbulkan persoalan baru bagi pedagang dalam penempatannya. Tujuan utama pembuatan tempat berjualan sementara lebih diperuntukkan bagi pedagang yang mengalami musibah kebakaran, namun kondisi itu memberikan peluang dan dimanfaatkan oleh pedagang lain dalam menempati tempat berjualan darurat yang ada. Pedagang dari dalam pasar pun kemudian pindah dan berjualan di situ, ada pula pedagang baru. Hal ini kemudian diungkapkan oleh Bapak Oktovianus Kalasuat1 sebagai kepala Pasar Remu bahwa: Jadi itu begini, itu persoalannya waktu kebakaran itu, kita pindahkan penjagaan dari dalam, mereka itu bukan kewenangan kita tapi dari mereka sendiri ya mereka, kalau dari jalan itu saya bangun lapak-lapak sementara di depan, di jalur depan itu, sa siapkan oleh pemerintah. Jadi, terus kemudian ada pedagangpedagang lain yang mereka berinisiatif untuk ketemu dengan pemerintah Kota, Kota DPR untuk mereka siapkan di depan jalan itu. Kemarin bulan maret (tahun 2013) kita sudah bongkar, kita sudah bongkar, apa namanya tempat-tempat yang ada di dalam itu terus eee kita suruh masuk mengisi tempat yang sudah disiapkan oleh pemerintah yang sudah dibangun selesai. Pedagang-pedagang yang tadi mengalami musibah kebakaran disuruh masuk kembali, cuma di situ ada, sa taratau itu ada siapa yang di situ, bermain di situ, karna itu wilayah Kota ya, ada mama-mama Papua yang duduk di situ. Itu yang membuat sampe sekarang ini kita masih mengalami kendala, sehingga untuk kasih masuk mobil ke dalam tidak bisa, karna mobil kan tidak bisa masuk disitu sa sudah usaha ketemu Pak Lurah tapi sampe sekarang… sa juga tara bisa bikin apa-apa karna itu wilayahnya Kota. Ya tiap Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong. 1
26
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
hari kita pasrah dengan keadaan kalau mereka mau bantu ya, kalau tidak ya kita ini tinggal menunggu saja.
Maksud informan tersebut ingin menjelaskan bahwa: Begini persoalannya, waktu kebakaran itu, kita (Dispenda Kabupaten Sorong) pindahkan penjagaan dari dalam. Mereka itu (pedagang yang berpindah dari bagian dalam pasar) bukan kewenangan kita, tetapi itu dari mereka sendiri. Kalau dari jalan itu saya (Dispenda Kabupaten Sorong) bangun lapak-lapak sementara di depan, di jalur depan itu, disiapkan oleh pemerintah. Kemudian ada pedagang-pedagang lain yang berinisiatif untuk ketemu dengan pemerintah Kota Sorong dan DPR Kota Sorong untuk mereka siapkan di depan jalan itu. Kemarin Maret 2013 kita (Dispenda Kabupaten Sorong) sudah bongkar tempattempat (lapak-lapak sementara yang dibangun paska kebakaran) yang berada di dalam, terus kita menyuruh pedagang-pedagang masuk untuk mengisi tempat yang sudah disiapkan, yang sudah dibangun oleh pemerintah hingga selesai. Pedagang-pedagang yang mengalami musibah kebakaran disuruh masuk kembali. Cuma (saya tidak tahu ada siapa yang bermain di situ, karena itu wilayah Kota Sorong), ada pedagang mama-mama asli Papua yang duduk berjualan di situ. Hal itu yang membuat kita sampai saat ini masih mengalami kendala, sehingga untuk kasih masuk mobil (angkutan umum) ke dalam (ke depan pasar) tidak bisa. Mobil memang sampai saat ini tidak bisa masuk sampai ke depan pasar seperti dulu, saya sudah berusaha ketemu Pak Lurah Remu Selatan Sorong tetapi sampai sekarang saya juga tidak bisa bikin apa-apa karena itu wilayah Kota Sorong. Setiap hari kita pasrah dengan keadaan. Kalau mereka (Pak Lurah Remu Selatan Sorong dan pemerintah Kota Sorong) mau membantu ya, tetapi kalau tidak, ya kita hanya bisa menunggu saja.
Informasi yang terkandung dalam penuturan di atas menegaskan tentang keterlibatan pemerintah dalam penyediaan dan penataan tempat jual beli bagi pedagang di pasar pasca kebakaran. Namun kurang diikuti dengan koordinasi dan kerja sama di antara pemegang kebijakan untuk mencari solusi yang tepat terhadap persoalan yang dihadapi pedagang dan kegiatan jual belinya di pasar. Kondisi ini terkesan pemerintah tidak secara serius memperhatikan para pedagang di pasar, sehingga para pedagang berinisitif dan berusaha sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Tetapi kemudian pada kondisi itu pula ada sebagian pedagang menggunakan cara yang tidak
27
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
tepat untuk mendapatkan tempat jualan dengan jalan pendekatan pada petinggi-petinggi berwenang. Pada hal perilaku itu secara tidak sadar telah menutup dan merugikan peluang pedagang yang lain untuk berkesempatan berjualan di lokasi pasar. Dalam penuturan ini juga menginformasikan bahwa Pasar Remu mempunyai persoalan dengan hak pengelolaan, karena terdapat dua hak pengelolaan, baik Pemeritah Kota maupun Kabupaten dalam proses tersebut. Sekalipun dalam pembagian pengeloalaan antara pemerintah Kota dan Kabupaten secara jelas, tetapi dalam kegiatan jual beli yang dilakukan oleh pedagang masih bebas dan belum diatur secara tegas dalam menempati ruang pasar di antara dua hak pengeloalaan tersebut. Hal ini berakibat pada pengaturan kewajiban dan hak oleh pemerintah terhadap pedagang di pasar dan mempersulit bagian petugas di lapangan, khususnya Dinas Pendapatan Daerah. Pengamatan peneliti saat penelitian terlihat bahwa sebagian pedagang dalam melakukan kegiatan jual beli masih bebas dalam menempati lokasi-lokasi tempat jualan. Peneliti mendapati sebagian pedagang mama-mama asli Papua memiliki tempat jualan dengan cara mendahului dan menempati lokasi kosong yang ada di pinggiran pasar yang dianggap tepat dan baik untuk mengelar barang dagangannya. Lokasi jualan yang dimiliki oleh pedagang mama-mama asli Papua tanpa ada koordinasi atau sepengetahuan pihak pengelola pasar, namun pihak pengelola pasar tidak bertindak atau mengingatkan pedagang mama-mama asli Papua untuk tidak melakukan kegiatan jual beli di tempat tersebut. Hal itu tidak bisa dilakukan karena pertimbangan pihak pengelola dalam hal ini dinas terkait memposisikan pedagang mama-mama asli Papua sebagai orang Papua dan pertimbangan pribumi. Pada posisi itu agak sulit bagi seorang petugas lapangan untuk menjalankan tugasnya secara tegas dan tepat, sehingga terkesan membiarkan pedagang mama-mama asli Papua untuk tetap berjualan di situ sekalipun sikap itu agak bertentangan dengan aturan penataan tempat dagangan di pasar. Selain pertimbangan pribumi, juga dari sisi perhatian pemerintah yang tidak begitu serius dalam membina dan membantu para mama asli Papia yang melakukan kegiatan jual beli di pasar. Hal
28
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
ini membuat para pengelola lapangan sangat hati-hati dan segan untuk mengambil tindakan terhadap pedagang mama-mama asli Papua. Pada sisi lain menguntungkan pedagang pendatang dalam hal memiliki tempat jualan dengan melakukan pendekatan pada pedagang mama-mama asli Papua yang masih memiliki tempat jualan yang kosong. Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan tempat jualan tersebut melalui pembicaraan yang di dalamnya berhubungan dengan imbalan. Besar imbalan tergantung kesepakatan antara pedagang mama-mama asli Papua dan pedagang pendatang. Sekalipun penempatan posisi tempat jualan berdekatan dengan pedagang mama-mama asli Papua. Tidak sulit membangun pendekatan dan mendapatkan tempat jualan dari pedagang mama-mama asli Papua karena pertimbangan kemanusiaan dan kasih antara yang ada pada pedagang mamamama asli Papua terhadap sesama manusia. Kehadiran dan keterlibatan pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu merupakan peluang dan keinginan pribadi untuk melakukan kegiatan jual beli. Peluang dan keinginan itu pun menjadi motivasi bagi pedagang mama-mama asli Papua untuk membuka diri dan bersaing dengan pedagang pendatang. Sekalipun dalam proses kegiatan jual beli, para pedagang mama-mama asli Papua ini diperhadapkan dengan kesulitan baik dari sisi persaingan maupun fasilitas atau tempat jualan yang memadai untuk menunjang proses usaha kegiatan jual beli yang ditekuni. Oleh sebab itu di awal kegiatannya, pedagang mamamama asli Papua masih tetap berusaha sendiri dengan apa adanya untuk bisa melakukan kegiatan jual belinya. Bahkan sebagian besar dari pedagang mama-mama asli Papua menggelarkan barang dagangannya di bawah tanah beralas karung dan di ruang terbuka tanpa atap yang berhubungan dengan cuaca panas maupun hujan. Kondisi ini mereka jalani dengan rasa semangat dan motivasi karena dipacu oleh kebutuhan dan tanggung jawab keluarga. Lama-kelamaan kondisi ini pun membuat para pedagang mamamama asli Papua mulai berpikir untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Demi kelancaran kegiatan jual beli secara efektif mereka membeli dan menggunakan payung besar untuk tempat berteduh dan berjualan. 29
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Cara untuk menghindari cuaca panas dan hujan pun sudah teratasi namun dari segi tempat jualan yang digunakan untuk menggelarkan barang dagangannya masih tetap seperti dulu, di atas tanah dan beralas karung. Hari demi hari pedagang mama-mama asli Papua menjalani rutinitas jual beli seperti biasa, namun muncul persoalan baru ketika hujan terjadi genangan air di sekitar barang dagangan, terutama yang masih menggelarkan barang dagangan mereka di bawah tanah. Untuk mengatasi kondisi tersebut para pedagang mama-mama asli Papua membuat tempat jualan yang aman seperti meja (mama-mama Papua menyebutnya para-para) yang bahannya dari kayu berbentuk papan, kemudian dipaku agar kuat dan bertahan dari goncangan atau tiupan angin, serta dilengkapi dengan atap yang berbahan terpal dan seng seadanya. Pada umumnya tempat dan fasilitas yang digunakan oleh pedagang mama-mama asli Papua adalah hasil usaha dan daya mereka sendiri dalam mempertahankan keberlanjutan kegiatan jual beli di pasar. Kemauan dan inisiatif ini pun sudah sejak dulu mereka mulai, yaitu berdagang di pasar dengan keadaan seadanya. Ketika terjadi desakan situasi membuat pedagang mama-mama asli Papua justru lebih kreatif untuk menata dan memperbaiki tempat jualannya. Menurut mama Saa2, salah satu pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu mengatakan bahwa: Kalo menurut kami di depan ini itu dulu, kami duduk di bawah tanah, di b’lakang ini, kami duduk kami pake payung yang besar, kami beli payung itu, orang yang pertama kali beli di depan itu saya, sa beli itu seratus ribu, itu di polsa, beli payung itu kami pake di b’lakang kami buka karung di bawah baru kami jualan sampe kemarin pasar dia terbakar, akhirnya dorang datang bikin bantuan untuk yang dong bangun sosial begitu, sosial bukan mo untuk kita, itu untuk orang-orang yang terbakar di dalam sana, kebakaran di dalam, bukan untuk kami, untuk orang yang kebakaran itu.
Informasi informan di atas menjelaskan bahwa: Kalau menurut kami yang berjualan di depan pasar ini, dahulu kami berjualan di bawah tanah, di sebelah belakang ini kami 2
Wawancara dilakukan tanggal 10 September 2013, di Pasar Remu.
30
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
duduk dengan menggunakan payung yang besar. Orang yang pertama kali beli payung besar di depan sini adalah saya, dengan harga seratus ribu di polsa. Payung itu kami pakai di sebelah belakang, kami buka karung di bawah, setelah itu kami jualan. Ketika pasar Remu terbakar, barulah mereka datang memberikan bantuan sosial, tetapi bantuan yang mereka bangun itu bukan untuk kami pedagang mama-mama asli Papua, melainkan untuk pedagang-pedagang yang mengalami musibah kebakaran.
Keterangan informan di atas merupakan pengakuan tentang kondisi awal mereka menempati dan melakukan kegiatan jual beli di pasar, dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh pedagang mamamama asli Papua. Mereka memulai kegiatan jual beli, melalui berbagai halangan maupun tantangan dari segi fasilitas yang dimiliki untuk menunjang kegiatan jual beli. Dengan kesadaran untuk melakukan suatu perubahan kehidupan yang lebih baik, harapan inipun tetap ada. Mereka mencari peluang dan kerja keras untuk mencapai kemandirian dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki demi menata kehidupan keluarga yang bermartabat dan bernilai positif bagi keberlanjutan hidup keluarga. Usaha dan motivasi yang dimiliki pedagang mama-mama asli Papua untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya tetap menjadi fokus utama untuk memberikan semangat juang di tengah kemandiriannya, sekalipun tanpa dukungan dan perhatian pemerintah. Di tengah kondisi yang demikian melatih dan mengasah pedagang mamamama asli Papua lebih kreatif berusaha mencari solusi dan mengatasi persoalan yang dihadapi. Dengan modal potensi semangat maupun jiwa juang yang dimiliki memberi sebuah harapan dan keyakinan dalam bertahan dan menggapai apa yang menjadi tujuan dalam melakukan kegiatan jual beli di pasar. Proses menuju perubahan yang lebih baik itu pun dirasakan oleh pedagang mama-mama asli Papua agak sulit, karena pendidikan dan pengalaman yang mereka miliki masih sangat kurang dibandingkan dengan pedagang pendatang. Selain itu, perhatian pemerintah cenderung kepada pedagang pendatang. Hal itu pun dirasakan di saat peristiwa kebakaran terjadi di Pasar Remu. Dalam proses penyiapan tempat jualan setelah kebakaran,
31
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
pemerintah lebih mengutamakan bantuan bagi pedagang pendatang. Sikap dan perhatian pemerintah ini menimbulkan perasaan berbeda dari pedagang mama-mama asli Papua terhadap pedagang pendatang. Perlakuan pemerintah ini terasa semakin menyisihkan pedagang mama-mama asli Papua dari tanah kelahirannya dan mempersempit peluang-peluang mereka untuk memperbaiki kehidupannya. Apalagi mereka sedang berupaya menaikkan pendapatan yang selama ini jauh dari kecukupan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Sebenarnya langkah dan sikap pemerintah bisa dipahami karena pemerintah lebih mengutamakan pembangunan yang berorientasi pada konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga memposisikan pedagang pendatang lebih utama dibandingkan pedagang mama-mama asli Papua. Pada sisi lain kebakaran itu juga memberi peluang bagi sebagian pedagang pendatang menggunakan kesempatan dengan pendekatan pada pihak berwenang. Mereka umumnya mendekati keluarga-keluarga yang lebih dulu berjualan di dalam pasar untuk mendapatkan peluang dan kesempatan berjualan dan memiliki tempat jualan di dalam Pasar Remu. Menurut pengamatan peneliti, di lokasi kebakaran terjadi penambahan tempat jualan dan pedagang baru. Penambahan pedagang baru terlihat pada kepadatan dan kepemilikan tempat jualan yang lebih banyak dikuasai oleh pedagang pendatang. Hal inipun nampak dari bergesernya tempat jualan yang semula adalah milik pedagang mamamama asli Papua berubah tangan kepada pedagang pendatang dengan jalan menyewa atau membeli. Hal ini dilakukan oleh pedagang mamamama asli Papua karena terdesak oleh tuntutan kebutuhan keluarga dan dalam jumlah yang besar, maka solusi terakhir yang ditempuh adalah menjual dan menyewakan tempat jualannya. Selain itu, terlihat jumlah pedagang pendatang lebih banyak dan menyebar baik di dalam pasar maupun di luar pasar dengan konsentrasi barang dagangan yang berbeda-beda. Pedagang pendatang yang di dalam pasar dengan konsentrasi barang dagangan lebih banyak pada penyediaan pakaian dan sembakau, sementara pedagang pendatang yang menyebar di pinggiran-pinggiran pasar dengan konsentrasi 32
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
barang dagangan yang berbeda, baik sembakau, pakaian, komoditi kebun, ikan maupun rumah makan. Adapun pedagang mama-mama asli Papua hanya sedikit yang berjualan di bagian dalam pasar dengan konsentrasi barang dagangan lebih pada komoditi kebun yang juga dijual oleh pedagang pendatang dan lebih banyak pedagang asli Papua berada di pinggiran pintu masuk pasar, baik di depan maupun di pintu belakang pasar. Satu hal yang menarik bagi peneliti adalah pedagang mama-mama asli Papua selalu membaca peluang dengan berjualan berpindah-pindah sebagai cara untuk lebih dekat dan menyambut pengunjung atau pembeli, dengan tujuan untuk menghabiskan barang dagangannya yang hanya bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu. Dinamika kegiatan pasar merupakan persoalan yang kompleks dialami oleh setiap pedagang, dan pedagang mama-mama asli Papua pun mengalami hal yang sama walau sedikit berbeda dibandingkan dengan pedagang pendatang. Khusus pedagang mama-mama asli Papua mempunyai persoalan yang berkaitan dengan kepemilikan fasilitas pasar atau tempat jualan yang digunakan yang kondisinya tidak mengalami perubahan yang lebih baik. Untuk mengatasi kondisi tersebut pedagang mama-mama asli Papua berusaha sendiri dengan kemampuan seadanya. Kondisi ini sering membuat pedagang mama-mama asli Papua mengeluh kepada pemerintah, namun hanya sebatas mengeluh dan tidak ada relalisasi nyata yang dirasakan oleh pedagang mamamama asli Papua. Peneliti juga memperoleh temuan, bahwa pedagang mama-mama asli Papua terbagi atas dua kelompok dengan posisi dan kepemilikan tempat jualan yang berbeda. Ada sebagian pedagang mama-mama asli Papua yang menempati bagian dalam pasar dengan komoditi seadanya dan pada umumnya komoditi yang diperoleh dengan hasil kebun sendiri atau membeli hasil kebun pada sesama orang Papua. Ada juga pedagang mama-mama asli Papua yang membeli komoditi tertentu pada pendatang terutama hasil kebun seperti kasbi (singkong), petatas (ubi jalar) dan keladi (ubi) dari daerah transmigrasi Sorong. Tempat jualan yang digunakan pun masih sebagian di atas tanah beralas karung
33
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
dan sebagian sudah di atas meja (para-para), namun pada umumnya sudah menggunakan meja sebagai tempat penjualan barang dagangan. Pedagang mama-mama asli Papua yang menempati ruang dalam pasar pada umumnya adalah mereka yang sudah lama menggeluti jual beli di pasar dan rata-rata sudah berumur sekitar 40 sampai 60 tahun. Sebagi-an dari mereka ini tetap bertahan di dalam pasar karena ruang di bagian luar pasar sudah penuh. Sebagian lain berjualan di luar pasar pada waktu tertentu terutama pada sore hari, dengan tujuan menghabiskan barang yang tidak habis terjual dari dalam pasar seperti sayur, tomat, cabe dan beberapa jenis komoditi lain yang tidak tahan lama. Untuk pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di bagian luar pasar, baik di depan, samping maupun di belakang, dari tiga posisi tempat jualan ini mereka tetap berjualan dan bertahan dengan melakukan adaptasi komoditi barang jualan yang sedikit berbeda. Pada umumnya adalah hasil kebun yang diperoleh dengan membeli kepada sesama orang Papua, hasil kebun usaha sendiri, maupun membeli dari pendatang. Yang berbeda pada kelompok ini adalah, sebagian besar dari mereka sudah menata, mengemas dan melakukan promosi barang jualan kepada pembeli. Hal lain yang mendukung dan membantu proses kelancaran penjualan barang dagangan, karena mereka menempati posisi yang sangat strategis, berdekatan dengan pintu masuk pasar dan angkutan pasar, maupun kendaraan lain para pembeli. Tempat jualan yang digunakan pun sebagian besar sudah menggunakan meja dan beralas karpet serta beratap terpal dan seng. Pedagang mama-mama asli Papua yang menggunakan meja dan beratap melakukan jual beli secara tetap, tidak berpindah-pindah dan aktivitasnya kontinyu (terus-menerus). Sedangkan sebagian yang tidak bermeja dan beratap melakukan kegiatan jual beli juga secara terusmenerus namun apabila cuaca hujan mereka mengalami kesulitan karena tempat jualan yang digunakan masih di bawah tanah dan beralas karung. Secara umum yang peneliti amati dari tiga posisi yang menjadi pilihan pedagang mama-mama asli Papua di bagian luar pasar, baik di bagian depan, samping, maupun belakang, tujuan utamanya adalah mendekatkan barang dagangannya dengan pembeli serta laris 34
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
terjual dan mempunyai harga yang berbeda bila dibandingkan dengan pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di bagian dalam pasar. Fenomena yang sama pun terlihat di tempat pedagang mamamama asli Papua berjualan ikan di Pasar Remu pada sore hari. Mereka ini berjualan hanya menggunakan meja saja tanpa penutup atap berupa terpal ataupun seng. Ketika sore tiba, mereka datang lalu menyiapkan meja jualannya dan berjualan di pinggiran jalan angkutan umum dekat pintu keluar Pasar Remu. Mereka ini mengalami kesulitan berjualan ketika hujan turun, mereka hanya bisa berlindung di bawah payung, menggunakan mantel atau plastik untuk menutupi kepala dari air hujan, ada pula yang berlindung di bawah atap bangunan terdekat sambil memantau barang dagangannya. Mereka tidak mendapatkan tempat jualan ikan di dalam Pasar Remu, sehingga setiap sore hari, sekitar jam tiga hingga jam setengah lima sore mereka datang menyiapkan meja mereka dan berjualan di lahan yang tadinya merupakan tempat parkir motor dan pangkalan ojek. Kehidupan di Pasar Remu, khususnya pedagang mama-mama asli Papua mempunyai cerita tersendiri. Kegiatan pasar secara umum mempunyai masalah yang sama baik di Papua maupun di daerah lain. Masalah yang sering dihadapi dalam kehidupan pasar adalah masalah fasilitas, kondisi pasar, dan pedagang yang memanfaatkan fasilitas dan melakukan jual beli, baik pribumi maupun pendatang. Namun yang terjadi pada pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di Pasar Remu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah menyangkut tempat jualan yang layak maupun bantuan-bantuan lain untuk menunjang kegiatan jual beli yang dilakukan mereka. Pada satu sisi pemerintah merasa sudah berperan dalam hal bantuan dan memberikan kesempatan untuk pedagang mama-mama asli Papua, di sisi lain pedagang mama-mama asli Papua merasa kurang mendapat perhatian pemerintah dari segi fasilitas tempat berjualan.
35
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Secara khusus kondisi pasar dan persoalan yang terjadi di Pasar Remu diutarakan oleh Bapak O. Kalasuat3. Menurutnya kondisi Pasar Remu saat ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu sebagai berikut: Pertama, kondisi pasar di mana-mana menjadi persoalan, apalagi ini merupakan pusat perekonomian, di situ terjadi persaingan yang sangat ketat sehingga kadang kita khususnya di Pasar Remu Pemerintah sudah memberikan kesempatan kepada pedagang mama-mama Papua tetapi pada kenyataannya ketika mama-mama Papua berjualan, mungkin karena faktor jualan mereka yang tergantung dari hasil kebun yang sering ada dan sering juga tidak ada. Jadi mungkin faktor-faktor ini juga yang sangat mempengaruhi sehingga mereka ini kan berjualan ratarata hasil produksi mereka punya di kebun-kebun seperti pisang, daun kasbi (singkong), keladi (ubi), petatas (ubi jalar), yang selamanya rutinitas ada pasti juga suatu saat kosong. Kedua, Faktor Kebutuhan dari anak-anak sekolah yang kadangkadang butuh secara mendadak, ya terpaksa fasilitas yang ada (tempat jualan yang ada) bisa dikontrakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan anak-anak sekolah.
Dari pernyataan informan tersebut di atas tersirat makna, bahwa pasar mempunyai posisi yang sangat sentral dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Posisi sentral itulah membuat berbagai pihak terlibat secara pribadi maupun secara kelompok dalam hal pemanfaatan dan peranan, baik antara pemerintah dan pedagang, maupun pedagang dengan masyarakat. Aktivitasnya pun selalu diperhadapkan dengan berbagai persoalan, pedagang mama-mama asli Papua secara khusus akan terlibat bersama dengan pendatang, di tempat yang sama merebut peluang yang sama, sehingga menuntut pedagang mama-mama asli Papua mampu bersaing dan menyiapkan diri secara baik dari segi pengalaman dan pengetahuan. Kegiatan jual beli pedagang mamamama asli Papua yang selalu tergantung dan terfokus pada komoditi hasil kebun akan mempengaruhi ketahanan dan peluang dalam beraktivitas di ruang pasar secara maksimal. Sementara pendapatan pedagang mama-mama asli Papua yang bersumber dari hasil jualan dimaksimalkan untuk seluruh kebutuhan keluarga dan khususnya biaya pendidikan anak. Dengan klasifikasi kebutuhan itulah terkadang Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong. 3
36
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
pilihan terakhir yang digunakan adalah harus menyewa atau menjual tempat jualan yang dimiliki. Seperti itulah yang sering ditemukan oleh Bapak O. Kalasuat sebagai Kepala Pasar Remu. Kemudian Bapak O. Kalasuat juga pernah bertanya kepada pedagang mama-mama asli Papua, mengapa mengontrakkan tempat jualannya? Jawab mereka, “Bapa, karena kita punya anak sekolah, maka begini, begini, begini......”. Bapak O. Kalasuat juga mengungkapkan bahwa tempat jualan pedagang mama-mama asli Papua itu tidak dijual, melainkan dikontrakkan, tergantung mereka yang atur, hal itu tidak diketahui pemerintah, itu di bawah meja (secara ilegal).
Menyewakan dan Menjual Tempat Jualan sebagai Pilihan Pilihan ataupun langkah yang diambil oleh sebagian pedagang mama-mama asli Papua untuk menyewa ataupun menjual kepada pedagang lain disebabkan oleh letak tempat jualan yang tidak menguntungkan. Keberadaan pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu berada pada dua ruang pasar dengan situasi aktivitas ekonomi yang berbeda. Situasi yang dimaksudkan adalah situasi di dalam pasar dan situasi di luar pasar, dua tempat ini mempunyai sisi kelebihan dan sisi kelemahan yang berkonstribusi pada aktivitas dan pendapatan pedagang mama-mama asli Papua. Situasi aktivitas jual beli pedagang mama-mama asli Papua yang berada di dalam pasar mempunyai sisi kelemahan terutama berhubungan dengan jarak antara pintu masuk dan tempat jualan yang berada di dalam pasar berkisar 100 meter dan dilalui jalan yang becek. Dari segi penyediaan kebutuhan masih terbatas, sehingga pembeli kurang berkunjung dan kegiatan jual beli menjadi sepi, bila dibandingkan dengan yang berada di luar pasar. Dari sisi kelebihannya adalah harga barang lebih murah, berukuran lebih dan bisa bernegosiasi harga. Pada posisi pertimbangan kelebihan dan kekurangan itulah membuat sebagian pedagang mama-mama asli Papua khususnya yang berada di dalam pasar menyewakan atau menjual tempat jualannya pada orang lain demi memenuhi desakan dan keberlanjutan hidup. 37
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Sementara situasi yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua yang berada di bagian luar pasar pun berbeda. Perbedaan yang dirasakan pedagang mama-mama asli Papua adalah aktivitas jual belinya berjalan lancar dengan harga barang jualannya yang cukup seimbang. Mereka berhadapan dengan banyak pengunjung dan pembeli serta diperhadapkan dengan situasi yang kompetitif (bersaing) antar sesama orang Papua maupun dengan orang pendatang dalam merebut peluang situasi jual beli. Dari sisi penyediaan dan harga barang jualan agak sedikit lengkap dan mahal serta kurang memposisikan negosiasi sebagai bagian dari teknik atau strategi jual beli. Pergeseran tempat jual beli dari pedagang mama-mama asli Papua kepada pihak lain pun terjadi, namun hanya dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua tertentu yang diperhadapkan dengan persoalan kebutuhan keluarga yang mendadak dan membutuhkan uang dalam jumlah yang banyak serta keberlanjutan aktivitas jual beli yang kurang didukung oleh persediaan sumber komoditi (hasil kebun). Persoalan inilah yang menyebabkan pedagang mama-mama asli Papua dengan terpaksa menyewakan dan menjual tempat jualannya kepada pihak lain sekalipun dengan harga yang kurang memuaskan. Menurut mama Salomi Sesa4 salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua seperti berikut ini: Ada yang kasih sewa begitu terus, ada yang bayar kontrak, tapi itu milik orang Amber5. Dong ada yang keluar ke Maybrat, ada yang tinggal di sini tapi keluar itu yang jual jualan di situ saja. Mulai dari sini di luar sana itu, yang lorong sana itu s’karang orang amber dong jual pakaian, jual sepatu. Tong punya masyarakat dong pu meja disitu sudah tapi dong jual - jual, dong kasih kontrak orang begitu. Ada yang keluar saja begitu itu s’karang cari jalan jual di luar saja. Tapi kita yang punya meja tetap tidak bisa keluar, kalo kita jual (maksudnya jual tempat jualan) baro bisa keluar, tapi ini kita tidak jual jadi tidak bisa keluar dari tempat, kita tetap jual saja di dalam sini. Mama torang su lama di sini jadi... di dalam sini, jadi tidak bisa keluar, orang yang tau, yang tinggal-tinggal saja di rumah sana itu yang baru-baru dong datang, dong jualan di situ, dong kasih bebas itu 4
Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu. Amber merupakan istilah dari bahasa Biak yang berarti menggambarkan seseorang yang asing atau datang dari tempat lain (Suryawan: 2011). 5
38
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
untuk dong jualan itu yang... dong itu masih baru saja masuk sini, tapi kami ini yang su lama dapat meja di dalam, tara bisa keluar. Penuh tapi di luar itu orang yang baru, yang tinggaltinggal saja di rumah ka itu yang turun jualan di luar, kalo kita yang dulu tinggal di sini tidak. Ada yang dulu itu dong jualan di dalam sini, tapi dong jual-jual dong pu meja itu yang dong keluar di luar, jual sama orang-orang amber dorang.
Maksud informan tersebut adalah bahwa: Ada pedagang mama-mama asli Papua yang menyewakan tempat jualannya, dan ada pula pedagang pendatang yang membayar kontrak. Mereka (pedagang mama-mama asli Papua) ada yang keluar pergi ke Maybrat, dan ada pula yang tetap tinggal di sini (Kota Sorong) tetapi keluar jualan di bagian luar pasar, mereka itulah yang berjualan di sebelah situ saja. Dimulai dari sebelah sini, di sebelah luar sana sampai pada lorong-lorong di sebelah sana, itulah yang sekarang orang pendatang berjualan pakaian dan sepatu. Sedangkan kita (pedagang mama-mama asli Papua), mereka mempunyai meja (tempat jualan) berada di situ, tetapi mereka menjual dan mengontrakkannya kepada orang lain. Ada pedagang mama-mama asli Papua yang keluar begitu saja dari bagian dalam pasar, sehingga sekarang mereka mencaricari tempat jualan di luar sana. Akan tetapi kita (mama Salomi Sesa dan pedagang mama-mama asli Papua lainnya yang berjualan di bagian dalam pasar) yang mempunyai meja (tempat jualan) tidak bisa keluar dari bagian dalam pasar, kecuali kalau kita jual tempat jualannya barulah bisa keluar dari bagian dalam pasar untuk berjualan di bagian depan pasar, di bagian belakang pasar, atau di samping pasar. Tetapi kita tidak jual tempat jualannya, sehingga tidak bisa keluar dari bagian dalam pasar, kita tetap berjualan saja di dalam sini. Mama kita sudah berjualan lama di bagian dalam pasar sini sehingga tidak bisa keluar. Namun ada pula pedagang mama-mama asli Papua yang baru datang berjualan, mereka itu semula hanyalah tinggaltinggal di rumah saja. Tetapi kami (mama Salomi Sesa dan pedagang mama-mama asli Papua lainnya yang berjualan di bagian dalam pasar) ini yang sudah lama mempunyai meja (tempat jualan) di bagian dalam tidak bisa keluar. Penuh, tetapi di luar itu (maksudnya di bagian depan pasar, di bagian belakang pasar dan di bagian samping pasar) orang yang baru (pedagang baru), mereka itu yang hanya tinggal-tinggal saja di rumah yang kemudian datang berjualan di luar, sedangkan kita (mama Salomi Sesa dan pedagang mama-mama asli Papua lainnya yang berjualan di bagian dalam pasar) yang sejak dahulu berjualan disini tidak. Ada juga pedagang mama-mama asli Papua yang dahulunya mereka berjualan di bagian dalam pasar sini, tetapi mereka menjual meja (tempat jualan) nya itu kepada orang-
39
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
orang pendatang kemudian mereka keluar untuk berjualan di bagian luar pasar (maksudnya di bagian depan pasar, di bagian belakang pasar dan di bagian samping pasar).
Informan tersebut di atas mengisahkan tentang masalah yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua yang beraktivitas jual beli di Pasar Remu. Ketersediaan tempat jualan bagi pedagang mamamama asli Papua menjadi suatu peluang untuk membantu kelancaran kegiatan jual beli sekaligus memberikan keberlanjutan dan perubahan pada pendapatan keluarga. Akan tetapi kondisi dan peluang yang dimiliki dihadapkan dengan persoalan dan perkembangan kegiatan jual beli oleh pedagang mama-mama asli Papua itu sendiri. Pada bagian ini salah satu informan mengisahkan tentang kondisi pedagang mamamama asli Papua di Pasar Remu. Kisah informan ini bisa peneliti pahami bahwa terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua. Yang pertama, pemerintah kurang mengakomodasi keluhan dan keperluan pedagang pribumi yang lebih terfokus pada kekurangan dan kemampuan yang dimiliki; Kedua, mempunyai dua posisi tempat jualan dengan aktivitas yang berbeda di dalam dan di luar pasar; Ketiga, kurangnya kontrol pemerintah terhadap perkembangan penambahan pedagang baru secara ilegal masuk dan berjualan di dalam pasar; Keempat, antara desakan kebutuhan dan ketersediaan yang dimiliki pedagang mama-mama asli Papua. Selain dari keempat masalah tersebut di atas, masalah norma yang selalu dihadapi oleh setiap pedagang adalah persaingan yang selalu terjadi. Dari sekian masalah tersebut, peneliti mengkategorikan hanya satu yang menjadi kunci utama untuk membantu dan memberikan peluang yang lebih luas bagi pedagang mama-mama asli Papua dalam melanjutkan aktivitas jual belinya di pasar. Kunci tersebut adalah keseriusan dan ketelitian pemerintah dalam melihat kesulitan dan persoalan yang dihadapi pedagang mama-mama asli Papua dalam kegiatan jual beli di pasar. Untuk sebagian pedagang mama-mama asli Papua yang memiliki tempat jualan, selain melakukan kegiatan jualan beli juga memanfaatkan peluang dengan menyewakan, mengontrakkan bahkan menjual pada orang lain (pedagang). Menyewa atau mengontrakkan tempat 40
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
jualan melalui pembicaraan dan kesepakatan antara pemilik tempat dengan pengguna atau penyewa. Kesepakatan yang terjadi berhubungan dengan proses pembangunan, antara penyewa dan pemilik tempat. Proses pembangunan yang dimaksud oleh peneliti adalah tempat jualan berupa fisik atau bangunan yang dibangun oleh penyewa, sedangkan lahan atau tempat jualan disediakan oleh pedagang mama-mama asli Papua. Harga yang disepakati pun berbeda tergantung pada besaran dan jumlah tempat yang disewa atau digunakan. Harga per bulan berkisar pada jumlah ratusan ribu rupiah, sedangkan pada kesepakatan kontrak dihitung per enam bulan sekali bayar dalam tahun berjalan yang berkisar empat sampai lima jutaan dari beberapa tempat jualan atau petak (lapak) yang disepakati. Dua perbedaan harga sewa yang dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua bersama pedagang pendatang ini apabila dibandingkan dari segi harga sewa bagi orang Papua sudah cukup menguntungkan, namun bila dibandingkan dengan biaya kebutuhan hidup di Papua yang semakin hari semakin berubah atau naik, maka perbandingan harga sewa dan biaya kebutuhan hidup sama atau seimbang. Pada posisi demikian menguntungkan pihak penyewa (pedagang pendatang), sebagaimana penuturan mama Manakori6 berikut ini: …”Sewa per bulan 500 ribu, di sebelah itu sa kasih kontrak. Di sebelah lapak itu, sa kasih kontrak enam – enam bulan harga 5 juta. (sambil menunjukkan). 6 bulan 5 juta”... Keterangan informan di atas menjelaskan tentang kerja keras dan pemanfaatan peluang serta kesempatan dalam mengelola tempat jualan untuk menambah pendapatan keluarga dengan cara menyewakan ataupun mengontrakkan pada pedagang lain yang membutuhkan tempat jualan. Peluang ini dimanfaatkan untuk mengatasi tuntutan ekonomi keluarga, sehingga membantu sekaligus mensejajarkan mereka dengan pedagang pendatang yang menekuni kegiatan jual beli di pasar. Bahkan mereka mempunyai posisi yang berbeda bila dibandingkan dengan pedagang mama-mama asli Papua yang lain.
6
Wawancara dilakukan tanggal 11 September 2013, di Pasar Remu.
41
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Peneliti juga menemukan salah satu pedagang mama-mama asli Papua menekuni kegiatan ekonomi jual beli di pasar bermodalkan kerja keras. Hal ini ia lakukan seorang diri karena menghidupi tujuh orang anak tanpa seorang ayah, namun dengan kerja keras dan kesungguhannya ia mampu menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi, bahkan sebagian dari anak-anaknya sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Beban tanggungjawab ia jalani dengan penuh kesabaran dan ketekunan dengan memanfaatkan sumber daya atau modal yang ada untuk mengisi dan mempertahankan kegiatan jual belinya, cepat membuka diri serta memanfaatkan peluang-peluang pasar. Pagi dan sore hari merupakan waktu yang ia gunakan untuk menjual barang dagangannya dan terlihat selalu sibuk melayani pembeli sekalipun dengan komoditi yang ada. Sikap kesungguhan ini pun hanya ditemui pada beberapa pedagang mama-mama asli Papua yang sedang berjualan di Pasar Remu. Lebih lanjut mama Salomi Sesa juga mengungkapkan bahwa pedagang mama-mama asli Papua yang dulu mempunyai tempat jualan di dalam sini, mereka menjual dan mengkontrakkan tempat jualannya kepada orang lain, kemudian mereka keluar cari-cari tempat jualan di luar pasar. Mama Salomi Sesa tidak bisa keluar jualan di depan pasar, kecuali kalau ia menjual tempat jualannya yang ada di dalam pasar barulah ia dapat keluar. Hal itu karena mama Salomi Sesa sudah merasa nyaman berjualan di dalam Pasar, meskipun sepi dari pembeli. Kembali lagi kepada setiap pribadi pedagang mama-mama asli Papua. Apakah mereka bisa mempertahankan tempat jualannya sampai anak, cucu, dan cece mereka? Meskipun sudah disiapkan tempat jualan sampai 1000 pun, tetapi kalau cara mereka seperti itu, tentunya tidak memberi solusi. Mereka menyewakan tempat jualan kepada pedagang pendatang itu juga tanpa sepengetahuan pemerintah. Tahu-tahu tempat jualan yang semula ditempati oleh pedagang mama-mama asli Papua, sudah ditempati pedagang pendatang, seperti yang diutarakan oleh Bapak O. Kalasuat7 bahwa: 7
Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong.
42
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Kembali kepada pribadi kita pu mama-mama dorang, ko siapkan tempat sampe 1000 pun, tapi kalo mereka dengan cara seperti begitu, tidak bisa atasi mereka dari tahun ke tahun. Misalnya orang Papua 1000, kita siapkan tempat 1000, apakah bisa mereka bertahan sampe anak cucu, sampe cece sampe ini, bisa ka tidak. Ini baru dua bulan tiga bulan empat bulan kaget begini Moi jadi Buton, Ayamaru jadi Jawa, ini kan persoalan. Ini yang Kaka hadapi di sana itu yang sa bicara.
Informan di atas hendak menjelaskan bahwa: Kembali lagi kepada setiap pribadi pedagang mama-mama asli Papua mereka, meskipun sudah menyiapkan tempat jualan sampai 1000 pun, tetapi kalau mereka pakai cara yang seperti begitu (maksudnya menjual dan menyewakan tempat jualannya kepada orang lain), tentu saja tidak bisa atasi mereka dari tahun ke tahun. Misalnya, orang Papua 1000, kita siapkan tempat jualan 1000, apakah mereka bisa mempertahankan tempat jualan itu sampai anak, cucu, cece mereka? Apakah bisa atau tidak? Ini baru dua, tiga, empat bulan kemudian, kaget begini Moi jadi Buton, Ayamaru jadi Jawa, ini kan persoalan. Inilah yang Kaka (Bapak O. Kalasuat) hadapi disana, yang Kaka bicara.
Apabila suatu saat tempat jualan yang di depan dan di samping pasar itu digusur untuk difungsikan kembali seperti semula sebagai tempat parkir angkutan umum dan jalan raya, maka para pedagang ini harus dipindahkan masuk ke bagian dalam pasar. Akan tetapi mereka sudah tidak bisa lagi masuk ke bagian dalam pasar, karena tempat jualan mereka yang ada di bagian dalam sudah dijual kepada pedagang lain, apalagi kondisi Pasar Remu saat ini sudah tidak bisa lagi menampung para pedagang. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah daerah setempat. Fenomena ini merupakan fenomena umum yang terjadi di berbagai kota dan kabupaten di tanah Papua, dimana pedagang mamamama asli Papua selalu mendapat jatah los dan kios di setiap pasar yang baru selesai dibangun. Akan tetapi pedagang mama-mama asli Papua itu seringkali menjual los atau kios mereka kepada para pendatang. Akibatnya mereka kembali berjualan di emperan, pinggir jalan, dan di depan kios atau toko. Dalam kasus di Pasar Remu, pedagang mama-
43
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
mama asli Papua menjual tempat jualannya kepada pedagang pendatang, disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor itu di antaranya adalah: Pertama, faktor kebutuhan mendesak. Kebutuhan mendesak itu di antaranya seperti kebutuhan anak sekolah, biaya rumah sakit anak, bayar denda (meliputi: bayar denda perkara laki-laki dan perempuan, bayar denda darah) mengakibatkan pedagang mama-mama asli Papua melepaskan atau menjual tempat jualan mereka kepada pedagang Pendatang; Kedua, faktor pembeli. Pengaruh pembeli sangat kuat, dimana ada keramaian dengan pembeli maka mereka pun pindah ke sana yakni di emperan, di pinggir jalan, dan di depan kios atau toko. Akibatnya, tempat jualan yang mereka miliki di bagian dalam pasar, kini mereka jual kepada pedagang pendatang dan ada pula yang diberikan kepada keluarga sendiri untuk dipakai; Ketiga, karena rasa kasih orang asli Papua yang besar dan gampang untuk dibujuk, maka orang-orang pendatang datang bernego, berbicara baik-baik untuk mendapatkan tempat jualan. Jadi orang pendatang datang kemari bilang: ...“Ibu bisa kasih sa tempat sedikit sa jualan, biar nanti sa bayar uang sewa”...; Keempat, mempunyai sifat menjual hanya untuk makan hari ini saja, urusan besok nanti cari lagi (tidak mencari kekayaan). Kecuali jika mereka keluar dari tanah Papua, di negeri lain baru mungkin mereka bisa mencari dan berusaha untuk menyimpan uang. Namun ada di antara mereka yang telah mempunyai tabungan di Bank. Keempat faktor inilah yang menyebabkan pedagang mama-mama asli Papua sulit untuk berkembang dan terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Posisi mereka di Pasar Remu kini sudah tidak mayoritas lagi, melainkan menjadi minoritas. Namun dengan jumlah mereka yang sedikit, mereka mempunyai kekuatan yang besar, karena sebagai tuan rumah atau tuan tanah di Papua. Mereka mempunyai inisiatif untuk menjual ikan, akan tetapi tidak didukung oleh tempat dan waktu berjualan. Banyak ikan yang tidak terjual karena pembeli lebih banyak membeli ikan di pagi hari, sedangkan mereka menggelar dagangannya baru pada sore hari.
44
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Mereka mendapatkan ikan dengan cara membelinya dari nelayan di Pasar Ikan Jempur atau biasa dikenal dengan nama Jembatan Puri. Di Jembatan Puri terlihat ramai di pagi hari, berkisar jam empat pagi hingga jam 8 pagi. Tetapi jika ingin mendapatkan ikan yang jauh lebih segar, maha harus datang lebih awal, agar bisa langsung beli pada nelayan yang baru saja pulang mencari ikan di laut. Selain itu mereka juga membeli ikan dari para nelayan. Setelah membeli ikan langsung di perahu nelayan, ada di antara mereka yang langsung menjualnya di Jembatan Puri. Tetapi jika tidak habis terjual, mereka menyimpan ikan itu di dalam coldbox dan ketika sore tiba, mereka membawanya untuk dijual di Pasar Remu. Apabila tidak habis terjual di Pasar Remu, mereka akan menyimpannya kembali ke dalam coldbox untuk dijual esok harinya, entah di Jembatan Puri atau di Pasar Remu. Karena pedagang mama-mama asli Papua ini tidak mendapatkan tempat jualan ikan di dalam pasar, maka tempat parkir yang di luar ini sepenuhnya menjadi milik mereka. Tidak ada pedagang lain lagi selain pedagang Papua yang boleh datang berjualan di situ. Apabila ada yang ingin datang berjualan, sudah ditegur dan dimarah-marahi oleh tukang parkir yang menjaga tempat itu, katanya tempat jualan ini khusus untuk orang Papua. Berikut ini merupakan salah satu pernyataan dari tukang parkir, Bapak Antonius Kodei8 di wilayah itu: Biasa itu kalo dari dalam datang, dari dalam macam mau bawa ikan begini, keluar begini baro mau jualan, baro Bugis, Makassar ka tong tegur dorang, tong marah-marah dorang, ini khusus untuk orang Papua saja.
Keterangan informan diatas menjelaskan bahwa; Biasanya itu kalau ada pedagang pendatang (pedagang Bugis dan Makassar) yang berasal dari bagian dalam pasar yang kemudaian datang untuk berjualan ikan di luar sini, kami (tukang parkir) sudah tegur mereka, kami marah-marah mereka, karena tempat jualan ini khusus untuk pedagang mama-mama asli Papua. 8
Wawancara dilakukan tanggal 13 September 2013, di Pasar Remu.
45
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Seperti itulah yang terjadi, tidak ada satu orang pun pedagang pendatang yang bisa datang berjualan di situ. Saat pagi hari pembeli masuk ke dalam pasar untuk membeli ikan untuk hidangan makan siang, itu pun tidak menutup kemungkinan kalau sore hari ada pembeli yang masuk ke dalam pasar dan membeli ikan di dalam pasar. Sedangkan pedagang mama-mama asli Papua mempunyai jatah berjualan di depan pasar dan hanya di sore hari. Hal ini dilakukan karena pedagang mama-mama asli Papua ini sudah merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri, dimana mamamama pedagang Papua tidak mendapatkan tempat jualan yang baik di Pasar Remu. Mereka seakan-akan tidak diperhatikan oleh pemerintah yang juga merupakan orang asli Papua. Mereka hanya diberikan tempat jualan, tetapi itu hanya berupa lokasi saja, mengenai fasilitas di lokasi itu seperti apa (misalnya atap, meja dan kursi yang baik), itu dibuat sendiri oleh pedagang yang menempati tempat jualan itu dengan menggunakan biaya sendiri (swadaya). Pemerintah hanya tahu setiap hari datang menagih retribusi Rp 2.000,- per hari untuk pedagang sayur dan buah-buahan dan Rp 3.000,- per hari untuk pedagang kelontong dll. Namun mengenai fasilitas pasar, mereka tidak memperhatikan dengan baik. Jangan mau saling lempar kepengurusan Pasar Remu dengan alasan status kepemilikan pasar yang tak hendak diserahkan dari Pemerintah Kabupaten Sorong kepada Pemerintah Kota Sorong, para pedagang dan pembelilah yang menjadi korban. Hal ini tampak ketika mama Salomi Sesa ingin menghadap ke Walikota Sorong. Mereka merasa seakan dilempar ke sana ke mari, berikut pernyataan dari mama Salomi Sesa9: Pernah mama ini menghadap ke Walikota, di pu Asisten, kemarin saja, kemarin itu satu minggu kemarin, baru menghadap ke Asisten, Asisten bilang Pasar Remu ini belum di serahkan kepada Walikota, nanti suruh kita bilang kita ke kabupaten, sekarang kita ke Kabupaten, mereka bilang, nanti kita mau serahkan pasar itu buat Walikota, jadi kami ini macam 9
Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.
46
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
di tolak b’lakang begitu saja. Kesana, dong bilang kesini, kesini sana, itu saja.
Maksud Informan tersebut di atas adalah bahwa: Sekitar satu minggu lalu, mama pernah menghadap Asisten Walikota Sorong. Menurutnya, Pasar Remu ini belum diserahkan kepada Walikota Sorong, sehingga ia menganjurkan untuk ketemu dengan pemerintah Kabupaten Sorong. Namun saat kami (pedagang mama-mama asli Papua) pergi ketemu pemerintah Kabupaten Sorong, mereka berkata bahwa, nanti kita mau serahkan pasar itu kepada pemerintah Walikota Sorong. Jadi kami ini seperti ditolak ke sana kemari begitu saja. Kesana mereka bilang ke sini, ke sini mereka bilang ke sana.
Lebih lanjut, mama Salomi Sesa juga mengungkapkan bahwa ia pernah pergi menghadap Asisten Walikota Sorong. Lalu Asisten Walikota Sorong itu pun berkata bahwa nanti dia akan menelepon Lurah Remu Selatan untuk mengurus tempat jualan buat ibu-ibu Bugis yang berjualan di pinggir-pinggir jalan raya (jalan raya dimana angkutan umum lewat sebelum masuk ke depan pasar). Satukan penjual pakaian di satu tempat, agar ada satu tempat jualan khusus untuk pedagang mama-mama asli Papua. Namun sampai saat ini belum terjawab. Memang sudah ada mandat begitu, tetapi di dinas sini belum turun tangan untuk menanganinya. Menurut mama Salomi Sesa, ia melakukan ini semata-mata bukan untuk dirinya, melainkan untuk teman-temannya yang juga merupakan pedagang mama-mama asli Papua yang saat ini berjualan berkeliaran di luar pasar. Kalau untuk mama Salomi Sesa sendiri, ia sudah mempunyai dua tempat jualan di dalam Pasar. Ia ingin agar pedagang mama-mama asli Papua lainnya juga berjualan sepertinya, mempunyai tempat jualan yang baik, tidak di pinggiran yang selalu ada air tergenang. Ia merasa kasihan, melihat teman-temannya yang juga merupakan pedagang mama-mama asli Papua harus mengalami kesulitan mencari tempat jualan. Ketika pagi hari di saat toko masih tutup, mereka dapat berjualan di depan toko, namun ketika toko itu dibuka, mereka pun disuruh pindah dari depan toko tersebut. Setelah mereka pindah dari depan toko, mereka pun jalan mencari-cari tempat yang 47
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
kosong untuk melanjutkan berjualan. Berikut ini adalah pernyataan mama Salomi Sesa10: Jadi kami sendiri kesana itu Asisten bilang nanti dia angkat HP sama Lurah yang disini, ee apa, Remu Selatan itu, karna dia punya wilayah, dia harus urus tempat buat ibu-ibu yang jualan di jalan-jalan, di pinggir jalan, jalan raya, taksi punya itu, suruh supaya orang bugis tuu yang sudah jual pakaian di dalam sini s’karang dia sudah pele pakaian lagi di luar too, suruh mereka harus masuk, pakaian di satukan di satu tempat, supaya tempat satu khusus ibu–ibu Papua, sampe hari ini belum terjawab. Memang disuruh disana begitu tapi di dinas sini belum turun, tidak terjawab, saya bilang saya bangkit buat saya punya teman– teman ibu-ibu Papua yang sekarang berjualan berke-liaran di luar, kalo untuk mama sudah punya meja, mama punya sertifikat ini. Tapi mama mau berusaha supaya mama teman– teman, ibu-ibu Papua yang lain itu harus jualan seperti saya bajual begini lagi. Tempat yang baik-baik. Di pinggir sana, luar sana itu kan air too, air tergenang, kasihan mereka tuu mau lari ke depan toko, nanti dari orang yang punya toko tuu datang buka toko su suruh mereka angkat jualan keluar, keluar dong jalan hanya cari-cari dimana tempat yang kosong. Jam 6 pagi tuu mereka jualan, kalo setengah 8, mereka su buka, su suruh mereka pikul jalan pergi dari depan toko. Begitu. Kami ibu–ibu Papua ini rasa tersisih. Ini mama punya mengadu ke Walikota. Jadi bagaimana, jangan tutup mama, tutup telinga, ibu–ibu Papua yang kini menderita di pecek, di air yang tergenang.
Informan di atas menjelaskan bahwa: Jadi kami (pedagang mama-mama asli Papua) sendiri yang ke sana (Kantor Walikota Sorong) itu Asisten berkata bahwa nanti dia akan telepon Bapak Lurah Remu Selatan Kota Sorong, karena dialah yang mempunyai wilayah itu, untuk supaya Bapak Lurah harus segera mengurus tempat jualan bagi Ibu-ibu Papua yang berjualan di pinggir-pinggir jalan raya, tempat taksi (angkutan umum) mangkal itu. Agar Bapak Lurah menyuruh orang Bugis yang sudah jualan pakaian di situ untuk masuk ke bagian dalam pasar, karena sekarang orang Bugis itu sudah keluar berjualan menutupi tempat yang di luar lagi. Bapak Lurah menyuruh mereka (orang Bugis) untuk masuk ke bagian dalam pasar dan menyatukan pakaian jualan mereka itu di satu tempat jualan, supaya ada satu tempat jualan khusus untuk Ibuibu Papua. Namun sampai saat ini belum ada jawaban. Memang 10
48
Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
di sana menyuruhnya demikian, tetapi karena di dinas (dispenda Kabupaten Sorong) belum turun tangan, jadi tidak terjawab. Saya bangkit ini untuk teman-teman saya Ibu-ibu Papua yang sekarang berjualan berkeliaran di luar, kalau untuk saya sendiri sudah memiliki meja (tempat jualan) yang bersertifikat. Tetapi saya mau berusaha supaya saya punya teman-teman Ibu-ibu Papua yang lain itu juga harus berjualan di tempat yang sama seperti saya. Di tempat jualan yang baik. Di luar, dipinggiran sana, ada air yang tergenang, kasihan mereka itu harus jalan mencari-cari tempat mana yang kosong yang dapat digunakan untuk berjualan. Mereka yang berjualan di depan toko, ketika pemilik toko tersebut membuka tokonya, maka mereka harus berpindah lokasi untuk berjualan. Jam 6 pagi mereka sudah mulai berjualan, ketika sudah jam setengah 8 pagi, pemilik toko sudah membuka tokonya, maka mereka disuruh pergi pindah dari depan toko sehingga membuat kami Ibu-ibu Papua merasa tersisih. Hal inilah yang menjadi keluhan pedagang mamamama asli Papua kepada Walikota Sorong. Kami berharap pemerintah jangan tutup mata dan telinga, karena Ibu-ibu Papua menderita berjualan diantara becek dan air yang tergenang.
Itulah yang menjadi bahan mengadu mama Salomi Sesa kepada Walikota Sorong. Mama Salomi Sesa hanya bisa berharap agar pemerintah tidak menutup mata dan telinga melihat kesulitan pedagang mama-mama asli Papua mencari tempat jualan. Hal demikian kemudian ditanggapi oleh Kepala Pasar Remu, Bapak O. Kalasuat. Menurutnya, “...banyak pedagang dan pembeli yang sudah datang mengeluh kepada saya, kemudian saya menjelaskan bahwa saya pun sudah melaporkan kepada Bapak Lurah Remu Selatan, tetapi tidak ada tanggapan karena beda pemerintahan...”. Untuk lebih jelasnya berikut pernyataan dari Bapak O. Kalasuat11: Banyak juga pedagang yang datang, pembeli yang datang mengeluh ke saya, tapi saya bilang jelaskan sama-sama. Sa su lapor sama Pak Lurah tapi Pak Lurah tidak ada tanggapan karna mungkin beda pemerintahan too. Makanya begitu sudah. Itu yang bikin sampe sekarang akhirnya mereka numpuk-numpuk disitu bikin, kita tidak bikin apa-apa, mulai, pedagang mulai bangun buat dia punya ini sendiri-sendiri lagi. Hal itu kan kita mau rencana mau siapkan lapak, lapak didepan itu supaya semua Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong. 11
49
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
orang yang jualan di bawah kita angkat naik, depan, depan kalau dulu jalur H masuk situ, itu maksud saya dulu tuu kami dari pemerintah Kabupaten mau siapkan lapak di situ, sepanjang itu baru supaya orang-orang yang duduk di bawah itu mereka naik ke atas meja. Nah, sa rencanakan seperti itu.
Keterangan informan di atas menjelaskan bahwa: Ada banyak pedagang dan pembeli yang datang mengeluh kepada saya, kemudian saya jelaskan bahwa saya sudah melaporkan hal ini kepada Bapak Lurah Remu Selatan tetapi Beliau tidak ada tanggapan dengan alasan karena mungkin beda pemerintahan, jadi begitu sudah. Hal ini yang menyebabkan sampai sekarang mereka (para pedagang) akhirnya bertumpukkan di situ membangun lapak. Melihat kita (pemerintah) tidak berbuat apa-apa, pedagang mulai membangun lapaknya sendiri-sendiri lagi. Hal ini sebenarnya kita mau merencanakan untuk menyiapkan lapak di depan itu, supaya semua pedagang yang berjualan di bawah, kita naikan ke atas. Di depan, tempat angkutan umum jalur H masuk itu, kami dari pemerintah Kabupaten mau menyiapkan lapak di situ, di samping jalan itu agar pedagang yang duduk berjualan di bawah itu mereka naik berjualan di atas. Yang saya rencanakan seperti itu.
Melihat pemerintah kabupaten tidak berbuat apa-apa, akhirnya para pedagang mulai berjualan di situ. Lalu para pedagang mulai bangun tempat jualannya sendiri-sendiri. Sebenarnya pemerintah sudah ada rencana untuk siapkan lapak di depan pasar itu, agar pedagang-pedagang yang berjualan di pinggiran dapat berjualan dengan lebih nyaman. Namun rencana tinggal rencana, realisasinya hingga sekarang belum ada.
Pengalaman Pedagang Mama-mama Asli Papua dalam Kebijakan Pemerintah di Pasar Remu Pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat, yang tidak terlepas dari perhatian dan tanggungjawab pemerintah sebagai bagian terpenting dari sebuah proses pembangunan suatu daerah. Pasar Remu merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat yang dikelola pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (pemkot) Sorong, sehingga antara pemerintah dan pedagang mempunyai keter50
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
kaitan dan tanggungjawab masing-masing dalam pengaturan dan pengelolaan aktivitas pasar. Posisi pemerintah sebagai pengelola dan pemilik seluruh fasilitas pasar, baik secara bangunan fisik maupun lokasi atau tanah, dan pedagang sebagai pengguna fasilitas pasar. Antara pemerintah dan pedagang mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas pasar berupa tempat jualan, kebersihan dan keamanan maupun bantuan-bantuan yang lain, namun juga berhak menarik retribusi kepada setiap pedagang dan pengguna jasa pasar. Begitupun kewajiban yang harus ditaati dan diperhatikan oleh para pedagang adalah membayar retribusi, mentaati ketentuan berupa peraturan pemerintah yang mengatur tentang penggunaan fasilitas pasar tersebut. Hak dan kewajiban antara pemerintah dan pedagang merupakan sebuah ketentuan yang harus ditaati dan dilaksanakan secara sungguhsungguh oleh kedua belah pihak. Apabila ketentuan ini disadari secara bersama dalam posisi masing-masing, maka akan melahirkan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan terutama bagi pedagang dan juga pemerintah. Namun terkadang kesadaran kebijakan dalam prosesnya tidak sejalan dengan apa yang diharapkan secara bersama. Pada akhirnya lewat kebijakan-kebijakan itu pula menimbulkan persoalan yang mengganggu proses aktivitas pasar itu sendiri. Pemerintah sebagai kekuatan pemegang kebijakan dan kekuasaan lebih memposisikan haknya sebagai fokus perhatian dan pengontrol terhadap para pedagang di pasar dan kurang memposisikan hak pedagang. Kondisi hak dan kewajiban antara pemerintah dan pedagang dalam pengelolaan kegiatan pasar yang dirasakan dan yang dialami oleh pedagang mamamama asli Papua adalah sebagai berikut: Pembayaran lain yang dialami oleh sebagian pedagang mamamama asli Papua dalam penggunaan tempat jualan bukan dikatakan retribusi karena pembayarannya atas persetujuan dan kerelaan pedagang mama-mama asli Papua pada orang-orang tertentu yang berhak dan mengatur tempat tersebut. Tempat yang dimaksud adalah tempat yang mempunyai fungsi utama sebagai tempat parkir yang kebetulan 51
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
menjadi tempat jualan ikan pedagang mama-mama asli Papua. Harga sewa yang disepakati adalah sebesar Rp. 5000,- per meja per hari. Meja yang dipakai lebih dari satu, sebagimana penuturan salah satu informan pengelola parkir yakni Bapak Antonius Kodei bahwa: ...”per meja satu orang jualan itu 5 ribu. Untuk orang yang mungkin angkat meja taruh ka tarada”... Menurut informan ini, tempat jualan ikan di bagian dalam pasar sudah penuh, sehingga pedagang mama-mama asli Papua menggunakan areal parkir pasar untuk kegiatan jual beli ikan. Untuk membayar penggunaan areal parkir tersebut, pedagang mama-mama asli Papua, tidak membayar retribusi, melainkan membayar uang meja kepada tukang parkir, dengan tujuan mendekatkan barang jualan pada pembeli. Kurangnya tempat berjualan ikan menyebabkan ada pedagang mama-mama asli Papua yang mengantri untuk menjualkan ikannya, bahkan ada sebagian pedagang mama-mama asli Papua yang terlihat berjalan mencari-cari tempat jualan yang masih kosong.
Penarikan Retribusi Dalam proses pemberlakuan kebijakan retribusi terhadap pedagang sebagai pengguna fasilitas pasar, baik pada pedagang mama-mama asli Papua maupun pedagang pendatang mempunyai jumlah besaran restribusi yang berbeda tergantung fasilitas atau tempat jualan yang digunakan. Untuk pedagang pendatang pada umumnya menempati lapak (los) yang berskala kios yang dibangun pemerintah, sehingga pedagang pendatang berkewajiban membayar retribusi per bulan Rp.170.000,- yang terbagi atas retribusi tempat jualan Rp.120.000,- dan Rp.50.000,- sebagai retribusi kebersihan pasar. Penuturan informasi salah satu pedagang pendatang yaitu Pak Salma12 seperti berikut ini: …”Retribusi bulanan yang kami harus bayar 170 sudah semuanya itu. Kan 120 dan uang keamanan dan sampah (kebersihan) 50”...
12
Wawancara dilakukan tanggal 13 September 2013, di Pasar Remu.
52
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Demikianlah beban kewajiban retribusi yang harus dibayar pedagang pendatang kepada pemerintah setiap bulan dengan pembagian retribusi yang berhubungan dengan kondisi dan fasilitas pasar. Pembagian retribusi yang dimaksudkan mencakup bagian-bagian yang mempunyai peranan dan tugas terhadap fasilitas pasar seperti menjaga keamanan dan kebersihan pasar. Berkaitan dengan pengaturan dan penarikan retribusi para pedagang, langsung ditangani oleh pihak pemerintah dalam hal ini dinas terkait. Pedagang pendatang juga mempunyai kewajiban lain yang harus dibayar, yaitu penyetoran pajak setiap bulan pada pemerintah sebesar Rp.100.000,- diwajibkan untuk seluruh kios dan toko yang berada di lokasi Pasar Remu, berupa pajak yang berkaitan dengan bumi dan bangunan. Menurut informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Saa13 sebagai berikut: Pajak yang dorang bayar seratus berapa per bulan sama saja, kita kalo itu perhari bayar dua ribu to, maksudnya dorang itu kan biasa bayar pajak itu kan seratus yang punya toko–toko ini, setiap bulan to. Kalo kita ini kan setiap hari dua dua ribu yang dong kasih karcis.
Maksud informan tersebut adalah bahwa: Pajak yang mereka bayar seratus ribu sekian per bulan sama saja, kalau kita bayar dua ribu per hari, maksudnya, mereka itu yang punya toko-toko biasanya bayar pajak seratus ribu sekian per bulan. Kalau kita setiap hari dua-dua ribu yang mereka kasih karcis.
Menurut informan di atas, ada perbedaan pembayaran kewajiban retribusi antara pedagang pendatang dan pedagang mama-mama asli Papua. Pedagang pendatang yang menempati lapak dengan kegiatan kios dan toko membayar retribusi pajak dan retribusi bulanan pasar, proses pembayarannya dilakukan pada setiap bulan. Sdangkan pedagang mama-mama asli Papua membayar retribusi setiap hari dengan kegiatan jual beli yang lebih pada komoditi hasil kebun. 13
Wawancara dilakukan tanggal 10 September 2013, di Pasar Remu.
53
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi pasar, para petugas penarik retribusi menggunakan karcis sebagai bukti pembayaran yang sah dan umumnya diperuntukkan bagi pedagang pendatang, terutama pedagang pendatang yang menggunakan lapak kios dan toko maupun beberapa tempat jualan lainnya yang masuk katagori retribusi dan pajak. Dalam pengelolaan terhadap aktivitas dan fasilitas pasar, penarikan retribusi pasar dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Sorong. Hal ini dibagi atas kesepakatan bersama bahwa batas got ke dalam pasar, itu adalah areal penarikan retribusi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong, sedangkan batas got ke luar, itu adalah areal penarikan retribusi Dinas Pendapatan Daerah Kota Sorong. Untuk retribusi angkutan umum pun dibagi berdasarkan batas got pula. Pemerintah Kabupaten Sorong hanya menagih angkutan umum berjalur E dan angkutan umum jurusan Kabupaten Sorong, sedangkan Pemerintah Kota Sorong menagih angkutan umum yang berjalur A, jalur B, jalur H serta angkutan umum jurusan Kabupaten Makbon. Setiap pedagang di Pasar Remu wajib membayar retribusi harian pasar sesuai dengan jenis barang dagangannya. Umumnya mereka membayar retribusi untuk sayur dan buah-buahan sebesar Rp 2.000,per hari, sedangkan retribusi untuk pedagang kelontong dll dikenakan Rp 3.000,- per hari (Lihat Gambar 1). Namun ada pula pedagang mama–mama asli Papua yang membayar retribusi pasar dua kali sehari, yakni mereka yang berjualan di belakang pasar. Hal itu berlaku bagi mereka para pedagang yang datang ke Pasar Remu berjualan dari pagi hingga sore hari. Mereka biasanya membayar retribusi harian sebanyak dua kali per hari yakni pada waktu pagi hari Rp 2.000,- dan pada waktu siang hari Rp 2.000,-, sehingga total pembayaran retribusi mereka Rp. 4.000,- per hari.
54
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Gambar 1 Contoh Retribusi Pasar Harian di Pasar Remu
Ada salah satu pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu yang tidak mau membayar retribusi harian pasar. Menurutnya, ia tidak mau membayar retribusi kepada pemerintah dengan alasan pemerintah tidak membangun meja tempat mereka berjualan. Mereka membangun sendiri meja tempat jualan itu dengan menggunakan biaya sendiri. Hal ini terungkap melalui pernyataannya sebagai berikut: Pemerintah yang bangun meja kasih kami jualan kah? Ini kami punya tenaga, punya usaha sendiri, jadi kalo mau boleh kami di jalur-jalur pemerintah bangun sediakan di sana. Kalo mau tagih untuk kami, kami tidak ada. Sa tidak bayar karcis itu.
Informasi di atas menjelaskan bahwa: Apakah pemerintah yang membangun meja (tempat jualan) untuk kami (pedagang mama-mama asli Papua) berjualan? Tetapi ini kami yang mempunyai tenaga dan usaha sendiri untuk membangun tempat jualan. Jadi kalau boleh kami di jalur-jalur yang pemerintah bangun yang disediakan disebelah sana. Sehingga kalau mau tagih (retribusi) kepada saya, saya tidak mau membayar karcis itu.
Kenyataan itu menjadi alasan pedagang mama-mama asli Papua untuk tidak membayar retribusi harian pasar kepada pemerintah. Namun sebagai pedagang yang menempati suatu lokasi tempat jualan di pasar, mereka wajib membayar retribusi harian pasar, bagaimana pun kondisinya. Karena bukan satu pedagang saja yang mengalami kondisi
55
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
seperti itu, melainkan hampir sebagian besar pedagang di Pasar Remu juga merasakan fenomena itu. Meskipun demikian mereka tetap membayar retribusi sebagai kewajibannya kepada pemerintah. Setiap pedagang yang menggunakan fasilitas pasar, baik yang setengah permanen maupun yang permanen wajib untuk membayar retribusi sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh pemerintah daerah. Selain retribusi yang harus dibayar oleh para pedagang, pembayaran lainnya berupa uang keamanan sebesar Rp 10.000,- per hari. Biasanya pihak keamanan pasar datang menagihnya ketika menjelang sore hari. Pihak keamanan itu berasal dari anak-anak yang tinggalnya tidak jauh dari Pasar Remu, yakni di kompleks rumah papan, sehingga barang dagangan yang tidak habis terjual, dapat ditutup, disimpan dengan baik dan ditinggalkan di pasar, tanpa perlu repot–repot membawa pulang. Ketika esok harinya para pedagang dapat membawa barang dagangan yang baru untuk berjualan karena sudah ada keamanan yang menjaga pada waktu malam hari. Pernah terjadi kecurian di Pasar Remu, namun pencurinya berhasil ditangkap karena di setiap sudut kios atau toko Pasar Remu sudah dipasang kamera CCTV.
Bantuan Pemerintah dalam Kegiatan Pedagang Mamamama Asli Papua Bantuan pemerintah yang diharapkan oleh pedagang mamamama asli Papua dalam menunjang proses kegiatan jual beli di pasar menjadi sebuah impian dan keinginan. Namun perhatian pemerintah berupa bantuan masih belum merata dan tidak menyeluruh pada kebutuhan yang diinginkan oleh pedagang mama-mama asli Papua. Bahkan sebagian besar dari mereka juga belum pernah mendapatkan bantuan modal ataupun bantuan pembangunan berupa bangunan atap, meja maupun kursi dari pemerintah atau lainnya. Selama ini mereka hanya menggunakan modal sendiri (swadaya) untuk membangun tempat jualannya itu kecuali ada satu wilayah tempat jualan di Pasar Remu baru-baru ini (sekitar bulan oktober 2013), mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Sorong, yakni di wilayah tempat jualan
56
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
pedagang mama-mama asli Papua asal suku Moi yang terletak di sisi kanan depan Pasar. Kelompok pedagang mama-mama asli Papua ini mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Sorong dalam bentuk uang senilai Rp 50.000.000,- untuk membangun tempat jualan berupa atap seng, meja dan kursi untuk duduk para pedagang. Bantunan yang diperoleh melalui usaha keras dan negosiasi dalam jangka waktu yang cukup lama, namun realisasinya belum semua terlaksana dengan baik karena lokasi tempat jualan mereka tidak disemen dan masih tampak becek. Bantuan ini juga diberikan karena pedagang mama-mama asli Papua asal suku Moi pergi berdemo untuk meminta ketegasan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Melalui tuntutan tersebut barulah diberikan bantuan bagi pedagang mama-mama asli Papua asal suku Moi. Lewat tuntutan ini pula para pedagang asal suku moi mengingatkan pemerintah agar jangan hanya karena ada kepentingan tertentu saja baru memberikan bantuan kepada pedagang mama-mama asli Papua asal suku Moi. Walaupun pedagang mama-mama asli Papua asal suku Moi sudah mendapat bantuan pembangunan berupa bangunan atap seng, meja, dan kursi dari pemerintah, tetapi belum semua pedagang Papua asal suku Moi mendapatkannya. Masih ada di antara mereka yang berjualan di bawah tanah beralas karung. Hal itu dapat kita jumpai di belakang pasar, dan di samping pasar. Selama ini pedagang mamamama asli Papua tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Tempat jualan yang mereka miliki, mereka sendirilah yang membangunnya. Dimulai dari meja, kursi beserta atap tenda/seng, mereka sendirilah yang membangunnya dengan menggunakan biaya sendiri (swadaya), padahal setiap hari mereka harus membayar retribusi harian pasar. Mereka sudah mencoba mencari bantuan kepada pemerintah daerah tetapi tidak ada jawaban. Beberapa pedagang mama-mama asli Papua sudah putus asa dan sudah malas lagi untuk mengajukan proposal bantuan. Hal ini karena beberapa kali mereka mengajukan
57
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
proposal tersebut, namun tidak ada jawaban dari pemerintah sampai saat ini. Hal ini kemudian diungkapkan oleh mama Saa. Menurutnya14 ; Sampe yang ada ini. Kalo mungkin untuk orang lain dong harap, tapi kalo untuk diri saya, sa su macam pamalas, yang penting sa mencari apa adanya saja, dari pada kita buang waktu too.
Maksud informan tersebut adalah bahwa: Sampai saat ini, kalau mungkin untuk orang lain (pedagang lain), mereka berharap untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, tetapi untuk diri saya sendiri, saya sudah malas, sekarang yang terpenting adalah saya bisa mencari apa adanya, dari pada kita buang-buang waktu.
Kejadian serupa juga diungkapkan oleh mama Tina Wakum salah satu pedagang mama-mama asli Papua. Menurutnya15, tidak ada bantuan dari pemerintah untuk pedagang mama-mama asli Papua. Mereka sudah membuat proposal dan sudah diberikan kepada pemerintah, tetapi tidak ada jawaban dari pemerintah. Mama Tina Wakum ingin agar pemerintah memperhatikan tempat jualan yang mereka miliki, bukan memberikan mereka uang. Baginya yang terpenting adalah tempat jualan mereka. Berikut ini ungkapannya: Tidak ada bantuan untuk ibu–ibu Papua, apalagi mau bilang proposal, mau bikin kasih masuk, tidak ada jawaban. Maksudnya ya coba dorang ya perhatikan tempat, tidak usah kasih uang buat kita, yang penting kita pu tempat jualan ini.
Maksud informan di atas bahwa: Tidak ada bantuan kepada Ibu-ibu Papua, apalagi proposal, sudah dibuat dan dimasukkan kepada pemerintah, namun tidak ada jawabannya. Keinginan kami (pedagang mama-mama asli Papua) dari pemerintah adalah pemerintah memperhatikan tempat jualan kami. Tidak usah berikan kami uang, yang terpenting adalah tempat jualan kami.
14 15
Wawancara dilakukan tanggal 10 September 2013, di Pasar Remu. Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.
58
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Lebih lanjut Mama Tina Wakum juga mengungkapkan bahwa kalau ada yang mau mencalonkan diri untuk DPR, Bupati, barulah datangi kami di pasar. Tetapi kalau sudah senang, kami dilupakan, ibarat kacang yang lupa kulitnya. Kami menggunakan swadaya untuk mengganti atap yang bocor dan juga menimbun jalan yang becek. Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan pernyataan mama Tina Wakum yaitu: Tidak ada sama s’kali, kita ini kalo, kalo dong maju DPR ka, maju Bupati baru dong turun cari kita di Pasar. Kalo datang dong su senang ya sudah, dong lupa kita too begitu. Kita pu orang–orang disini kan begitu too, makan kacang dan lupa... makan isi, lupa kulit ka... orang bilang. Dong su tara ingat mama–mama di Pasar ini. Ini tong cari sendiri, swadaya. Sedangkan Ade (peneliti) sementara ini kitong jualan nii, kita baru timbun ini, sementara diatas nii kalo hujan tuu basah. Bocor, bocor, ini bisa basah ini, ini semua.
Menurut informan di atas adalah bahwa; Tidak ada bantuannya sama sekali, kalau mereka mencalonkan diri sebagai DPR dan Bupati, barulah mereka datang menemui kami di pasar. Tetapi kalau mereka sudah senang, ya sudah mereka melupakan kami. Kami punya orang-orang asli Papua di sini begitu, orang bilang ‘kacang yang lupa kulitnya’. Mereka sudah tidak ingat lagi kepada pedagang mama-mama asli Papua yang di pasar ini. Ini (fasilitas di tempat jualannya berupa meja, kursi dan atap) kami cari sendiri dengan menggunakan biaya sendiri. Tempat jualan ini kami sendirilah yang menimbunnya. Dan apabila hujan, sebagian besar tempat jualan ini basah karena banyak terdapat bocor di atapnya.
Menurut Bapak O. Kalasuat, selama ini bantuan dari pemerintah daerah adalah dengan cara bekerjasama dengan pihak perbankan untuk memberikan simpan pinjam kepada para pedagang. Namun untuk bantuan ini, mereka harus membuat aturan yang jelas dan paling tidak harus dikoordinasikan dengan baik. Kalau pemerintah mau bantu secara langsung bisa, tetapi harus dibicarakan apa yang mau dibantu. Berikut ini pernyataan dari Bapak O. Kalasuat bahwa: Kalau kita bantuan ini kan itu hal yang bersifat eee harus kita apa namanya harus kita buat dia punya aturan yang jelas,
59
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
apalagi kalau bantuan dari pemerintah daerah paling tidak harus kita koordinasi dengan baik. Tapi sa selalu kita minta dari teman-teman yang dari perbankan. Teman-teman dari perbankan mereka selalu sa buka peluang bagi mereka untuk masuk dalam pasar, jadi mereka mungkin mereka berikan simpan pinjam. Jadi sa biasa berikan peluang kepada perbankan, kita kerjasama. Biasanya Bank yang datang ke saya tuu Bank BNI, Bank Danamon, kalau Mandiri belum pernah, Bank Papua juga belum pernah. Jadi mereka datang, sosialisasi mereka punya produk apa begitu baru sa selalu siapkan ruang mereka sambil sa undang masyarakat, ayo kalian datang, kalau memang bisa yaa silakan kalian kredit modal usaha. Kalau itu kan jalurnya perbankan kan lebih pas. Secara langsung, mereka berhubungan langsung dengan perbankan pasti semua tuu ada tuu. Kita punya modal usaha sendiri, tapi pemerintah kan eee tidak seperti itu, karena kita harus berpikir harus ada perangkat hukum yang jelas karna eee pemerintah kan tidak bisa berwenangan memberikan simpan pinjam untuk mereka. Kalau membantu secara langsung, ya oke, tapi kan harus dibicarakan apa yang mau dibantu, harus jelas to.
Maksud informan tersebut adalah bahwa: Mengenai bantuan, kita harus membuat aturannya yang jelas, apalagi kalau bantuan itu berasal dari pemerintah daerah paling tidak kita harus koordinasi dengan baik. Tetapi kita ada kerjasama dengan perbankan. Saya selalu memberikan peluang kepada teman-teman perbankan mereka untuk masuk ke dalam pasar memberikan simpan pinjam. Bank yang datang bertemu dengan saya adalah Bank BNI dan Danamon, sedangkan Bank Mandiri dan Bank Papua belum pernah. Jadi mereka datang untuk memsosialisasi produk mereka kepada masyarakat yang saya undang datang di suatu ruangan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Kalau memang pedagang mama-mama asli Papua bisa kredit modal usaha ya silakan. Jadi pedagang mama-mama asli Papua berhubungan secara langsung dengan pihak perbankan, jadi lebih pas, karena pasti semua jenis kredit modal itu ada. Pemerintah mempunyai modal usaha sendiri, tetapi pemerintah tidak seperti itu, karena kita harus berpikir harus ada perangakat hukum yang jelas. Sebab pemerintah tidak bisa berwenang memberikan simpan pinjam untuk pedagang, kalau membantu secara langsung, ya oke, tetapi harus dibicarakan terlebih dahulu tentang apa yang mau dibantu, agar lebih jelas.
O. Kalasuat juga mengutarakan bahwa pemerintah pernah memberikan bantuan, akan tetapi bantuan itu diberikan hanya kepada 60
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
mereka yang mengalami musibah kebakaran. Dengan cara menyiapkan tempat bangunan yang baru dengan fasilitas yang disiapkan seperti biasa pula. Upaya pemerintah untuk memfasilitasi pedagang mamamama asli Papua agar mampu bersaing adalah berupa pinjaman uang melalui bank-bank yang ada di kota itu. Namun untuk memperoleh pinjaman uang dari Bank, pedagang mama-mama asli Papua harus mendatangi Bank itu dan diproses sesuai dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Sementara mereka maunya yang praktis-praktis, mereka tidak mau dipersulit dengan urusan administrasi Bank, ikeh sebab itu mereka lebih memilih untuk meminjam uang pada koperasi simpan pinjam. Mengenai koperasi simpan pinjam, mama Salomi Sesa bercerita16 bahwa selama ini mereka juga menggunakan jasa tersebut. Hal itu dilakukan apabila ada kebutuhan mendadak seperti kebutuhan untuk membayar uang sekolah anak (uang semester) dan juga untuk membeli (memborong) barang dagangan, sehingga mereka terus berusaha meminjam kepada koperasi simpan pinjam, dan setiap hari mereka menyetornya selama 30 hari. Terkadang mereka sampai pusing kalau dagangan mereka tidak laku (laris) karena harus membayar utang di koperasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh mama Salomi Sesa sebagai berikut: Itu ada koperasi simpan pinjam yang orang pendatang dong punya yang cari uang putar–putar di pasar. Itu yang mama tong ambil, kalo ada kebutuhan mendadak ya, apalagi ade–ade yang sekolah, mama punya anak, punya uang sekolah, anak– anak punya uang semester, kalo mendadak ya kita harus ambil di Koperasi, untuk anak–anak dong pake kuliah, terus yang lain itu kita pake borong, borong kangkung, keladi, sagu terus kita terus berusaha pinjam. Baro tiap hari kita stor 40 ribu perhari. Kita nii jualan juga ada pikir utang. Utang karna orang punya uang yang kita ambil too. Tadi uang pinjaman koperasi itu.
Keterangan informan di atas menjelaskan bahwa: Itu ada koperasi simpan pinjam milik orang pendatang yang bekerja mengelilingi pasar untuk memberikan pinjaman ke16
Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.
61
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
pada para pedagang. Melalui orang pendatang itulah kami pedagang mama-mama asli Papua mengambil pinjaman kepadanya. Kami mengambil pinjaman apabila, ada kebutuhan mendadak, ada kebutuhan biaya sekolah anak (uang semester dan uang kuliah), dan yang lainnya kami gunakan untuk membeli barang dagangan untuk dijual kembali seperti memborong sayur kangkung, keladi dan sagu. Kemudian setiap hari kami stor 40 ribu. Kami jualan seperti ini juga ada pikir utang yang kami pinjam di koperasi.
Selama ini pedagang mama-mama asli Papua hanya menggunakan swadaya (biaya sendiri) untuk membuat meja (para-para17), memasang atap tenda/seng. Mereka sendiri mengumpulkan uang (patungan) sebesar Rp 200.000,- per orang untuk membeli papan, seng dan membayar ongkos kerja kuli bangunan. Mereka juga mengumpulkan uang Rp 1.000.000,- untuk membeli batu dan menimbun yang becek. Jika tempat berjualan sangat becek pembeli tidak mau datang membeli barang dagangan yang mereka jual. Hal ini seperti yang diceritakan oleh mama Tina Wakum18 yaitu sebagai berikut: Swadaya sendiri. Kita masyarakat sendiri kumpul uang, ibu– ibu kumpul uang. Satu orang begitu, macam mama (mama Salomi Sesa) yang ketua too dia tarik satu kepala itu 200 ribu, setiap ibu–ibu yang datang jualan too... Baru beli papan, beli seng, terus untuk bayar ongkos tukang yang kerja. Terus b’rapa bulan yang kemarin ini lumpur ini, pecek semua, air sampe penuh, orang tara bisa lewat untuk b’lanja disini terus sampe disana kalo hujan. Kita swadaya lagi, kita kumpul uang sampe, uang sampe 800 ribu, 1 juta sudah, baru kita timbun batu dari sana sampe di ini semua, kita beli batu ini, mama ini pergi beli, dong pergi beli batu ini di kampung cengkeh, di kampung baru.
Para-para: Pagu menurut Badudu (1994) dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah tempat menyimpan alat-alat dapur seperti kuali dan belanja, atau barang-barang lain seperti jagung terbuat dp bilah-bilah bambu atau kayu digantungkan di atas tungku. Dalam konteks di pasar, para-para merupakan tempat duduk yang menyerupai panggung mini. Umumnya di Papua, para-para biasanya dibuat dari papan atau bambu yang terletak di bawah pohon, di depan atau di pinggir rumah yang berfungsi sebagai tempat duduk. 18 Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu. 17
62
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Informasi informan diatas menjelaskan bahwa; Menggunakan swadaya sendiri. Kami mama-mama Papua sendirilah yang mengumpulkan uang per orang. Seperti mama Salomi Sesa yang ketua, dia mengumpulkan 200 ribu untuk setiap mama-mama Papua yang datang berjualan. Kemudian dari uang itu Ia gunakan untuk membeli papan, seng dan untuk membayar biaya buruh bangunan yang kerja. Beberapa bulan yang lalu, tempat ini terus sampai di sebelah sana kalau hujan lumpur, becek semua, air terisi penuh menyebabkan orang tidak dapat lewat untuk membeli di sini. Kami swadaya lagi, kami mengumpulkan uang sampai mencapai 1 juta, barulah kami timbun batu dari sebelah sana sampai di sebelah sini semua. Kami beli batu ini, mama pergi beli batu di kampung cengkeh, di kampung baru.
Kondisi Pasar Remu di antara dua sistem pengelolaan administrasi. Sebelum dimekarkan menjadi Kota Sorong, secara menyeluruh Pasar Remu merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Sorong. Namun setelah dimekarkan menjadi Kota Sorong, pembagian aset pun dilakukan. Untuk batas got ke dalam pasar, merupakan aset milik Pemkab Sorong, sedangkan untuk batas got keluar merupakan aset milik Pemkot Sorong. Akan tetapi itu bukan merupakan pembagian pengaturan yang resmi, melainkan merupakan masalah aset. Hal demikian diungkapkan oleh Bapak O. Kalasuat19 bahwa: Kita itu ada transisi pemerintahan, jadi pasar yang ada itu adalah merupakan aset Kabupaten Sorong, itu yang keliling itu saja, tapi yang keluar got sampe jalan raya itu adalah milik pemerintah kota.
Maksud informan tersebut adalah bahwa: Ada transisi pemerintahan di dalam Pasar Remu. Aset (penarikan retribusi) yang merupakan milik pemerintah Kabupaten Sorong adalah batas got yang mengelilingi pasar remu ke dalam. Sedangkan yang batas got keluar sampai dengan jalan raya merupakan aset milik pemerintah Kota Sorong.
19
Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong.
63
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
Lebih lanjut Bapak O. Kalasuat mengutarakan bahwa pemerintah mau menyiapkan tempat jualan berupa lapak, tetapi bagaimana caranya, karena semua tempat sudah terisi. Inilah yang menjadi persoalan bagi pemerintah. Pemerintah sebenarnya mempunyai keinginan yang sangat besar untuk membantu, namun belum memiliki cara yang tepat untuk melaksanakannya, “...Kita bisa bangun lapak tapi kita harus pindahkan kemana mereka? Mereka kan tidak mau satu dua hari kehilangan penghasilan...” Bapak O. Kalasuat memberikan contoh: ...misalnya kami mau bangun lapak untuk mereka yang di depan. Kami berencana untuk membangun lapak tapi persoalan yang kami hadapi sekarang ini adalah dimanakah mereka ini harus dipindahkan untuk berjualan. Sedangkan untuk membangun lapak, tidak mungkin satu atau dua minggu saja, paling tidak satu sampai dua bulan. Terus mereka ini istirahat tidak berjualan, tidak ada penghasilan. Sedangkan satu hari saja pedagang itu tidak berjualan, pedagang itu sudah pusing, apalagi kalau berbulan-bulan. Jadi sebenarnya kami mau memberikan pelayanan tapi tergantung kepada situasi yang ada, kami tidak mungkin membiarkan mereka begitu saja dan mereka ini mau dikemanakan...
Sebenarnya Pasar Remu ingin diserahkan Pemkab Sorong kepada Pemkot Sorong. Namun hal itu tidak terlaksana sampai saat ini karena Bapak Bupati Sorong Stepanus Malak, maunya Pasar Remu itu ditata dulu dengan membangun lapak yang layak supaya mereka tidak duduk berjualan di situ lagi dan jalur mobil dapat difungsikan kembali dengan baik. Setelah itu barulah Pasar Remu diserahkan kepada Pemkot Sorong. Akan tetapi hasil pertemuan antara pemkot Sorong dan Pemkab Sorong pada bulan Juli 2013 yang lalu, tidak menghasilkan apa-apa bagi Pasar Remu. Hal itu karena tidak ada kesepakatan pendapat antara Pemkab Sorong dengan Pemkot Sorong. Maunya Pemkot Sorong, Pasar Remu itu tidak usah ditata atau dikasih baik-baik, melainkan diserahkan saja dulu kepada Pemkot Sorong, nanti Pemkot Sorong yang akan menata kembali dengan baik, namun Pemkab Sorong menghendaki agar Pasar Remu ditata baik dulu baru diserahkan
64
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
ke Pemkot Sorong. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Bapak O. Kalasuat sebagai berikut20: Terjadi pembicaraan antara pemerintahan Kota dengan Kabupaten Sorong yang sekarang ini lagi hangat masalah pasar ini, mau diserahkan too. Diserahkan dari pihak Kabupaten ke Kota. Jadi maksudnya pemerintah Kabupaten, maksudnya Pak Bupati itu maunya kita tata dia dulu kasih bagus, artinya pedagangpedagang yang itu kita bangun lapak yang bagus, yang layak, supaya mereka jangan duduk jualan di situ seperti begitu, macam bangunan-bangunan yang sekarang kalian lihat semrawut itu, kita mau atur langsung kasih naik mereka di atas, jalur mobil kita fungsikan kembali lalu kita serahkan aset ini ke Kota Sorong, maunya Kabupaten begitu tapi hasil pertemuan bulan Juli (tahun 2013) yang lalu antara Kota dan Kabupaten, mereka bilang tidak usah di ini, tidak usah dikasih baik-baik atau ditata, biar nanti di serahkan dulu ke Pemerintah Kota, baru nanti Kota yang tata maksudnya mereka seperti itu, itu yang mau terjadi.
Informasi informan diatas menjelaskan bahwa: Terjadi pembicaraan antara pemerintah Kota dengan pemerintah Kabupaten Sorong yang sekarang ini lagi hangat-hangatnya adalah masalah Pasar Remu yang mau diserahkan dari pemerintah Kabupaten Sorong kepada pemerintah Kota Sorong. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bapak Bupati Sorong bermaksud untuk menata Pasar Remu menjadi lebih baik dulu, dengan membangun lapak yang baik, yang layak bagi para pedagang yang berada di situ, supaya mereka tidak lagi duduk berjualan seperti begitu seperti bangunan yang sekarang terlihat semrawut itu, kita (pemerintah Kabupaten) mau atur langsung untuk menaikan mereka ke atas, kemudian jalur mobil (angkutan umum) kembali difungsikan lalu kita (pemerintah Kabupaten) serahkan Pasar Remu ini kepada pemerintah Kota. Maunya pemerintah Kabupaten demikian, tetapi hasil pertemuan antara pemerintah Kota dan pemerintah Kabupaten di bulan juli 2013 lalu bahwa menurut pemerintah Kota, Pasar Remu tidak usah ditata baik-baik, tetapi serahkan dulu kepada pemerintah Kota barulah nanti pemerintah Kota yang menatanya. Hal inilah yang akan terjadi dan yang diinginkan pemerintah Kota.
Memang pemasukan per bulan aset Pasar Remu bagi pemkab Sorong cukup besar. Tapi kalau mau bicara tentang aset, aset yang 20
Wawancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong.
65
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
dimiliki pemkab yang terletak di dalam wilayah pemkot Sorong selain Pasar Remu, ada pula Rumah Sakit Umum (RSU) Sorong tetapi mengapa tidak juga diserahkan kepada pemkot. Sebenarnya apa yang terjadi. Menurut perkiraan peneliti, hal ini dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpinnya saat ini, baik di pemkot maupun di pemkab. Bahwa kalau yang menjadi Walikota dan Bupati Sorong berasal dari satu suku yang sama, maka urusan penyerahan Pasar Remu akan menjadi lebih lancar. Tetapi kalau berbeda suku maka akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Akibatnya Pasar Remu tidak terurus dengan baik, karena posisi Pasar Remu tidak punya kepastian pengelolanya. Nasib para pedagang dan fasilitas pasar pun akhirnya juga tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini nampak dari kebersihan (masalah sampah), keamanan (terjadi kecurian), jalan aspal yang rusak, saluran air got yang tersumbat, dan fasilitas tempat jualan pedagang yang sudah rusak tetapi tidak diperbaiki. Selain itu, kalau ada pedagang mama-mama asli Papua yang berdemo ke kantor Walikota Sorong nanti dilemparkan ke pemkab Sorong dengan alasan Pasar Remu itu milik pemkab Sorong. Kalau datang ke pemkab dilemparkan pula ke pemkot atau Lurah Remu Selatan, sehingga tidak jelas mau kemana. Pasar Remu merupakan milik pemerintah Kabupaten Sorong. Menurut Bapak O. Kalasuat bahwa masalah aset ini adalah kewenangan pemerintah daerah, tergantung pada Bupati dan Walikota yang mengatur. Memang dari daya tampung, kondisi pasar sudah tidak mampu lagi, karena tidak bisa dikembangkan wilayahnya. Sekarang pedagang mama-mama asli Papua ini terpaksa menempat lokasi yang tidak layak, karena fasilitas yang tersedia di pasar sudah tidak memungkinkan. Masalah ini mungkin dapat teratasi kalau dibangun pasar bertingkat, tetapi siapa yang akan melaksanakan pembangunan ini? Lebih lanjut Bapak O. Kalasuat juga mengutarakan bahwa ia sudah mengupayakan untuk bicara ke pemerintahan Provinsi Papua Barat agar menyiapkan pasar tingkat untuk mengatasi kebutuhan pedagang mama-mama asli Papua yang ada di situ. Tapi dari pemerintahan Provinsi Papua Barat sampai saat ini belum ada tanggapan, 66
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
padahal Bapak O. Kalasuat sudah ke sana untuk presentasi datanya. Bapak O. Kalasuat hanya bisa berharap agar pemerintah Provinsi Papua Barat dapat menjawab semua kebutuhan yang ada di Pasar Remu dan juga kebutuhan pedagang mama-mama asli Papua yang berasal dari Kota Sorong maupun dari luar Kota Sorong seperti dari Kabupaten Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan dan Maybrat. Bapak O. Kalasuat hanya bisa berharap agar pemerintah Provinsi Papua Barat dapat menyiapkan satu tempat untuk mengatasi permasalahan pedagang yang ada di Pasar Remu. Sebenarnya sudah dibangun Pasar Bersama milik Pemerintah Kota, namun tidak terpakai sejak tahun 2005 sampai sekarang. Kini menjadi tugas pemerintah untuk memindahkan sebagian pedagang dari Pasar Remu ke Pasar Bersama21. Namun pekerjaan ini tidaklah mudah, meskipun letak Pasar Remu dengan Pasar Bersama tidak berjauhan, yakni hanya bersebelahan dengan Kali Remu. Dari keseluruhan persoalan yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam kegiatan jual beli disebabkan persoalan pasar berada pada dua sistem pengelolaan administrasi yang berakibat langsung terhadap pedagang mama-mama asli Papua. Akibat yang dirasakan adalah kurang adanya perhatian dari pemerintah dalam memposisikan pedagang mama-mama asli Papua sebagai pedagang pribumi yang perlu mendapat perhatian maupun bantuan untuk mendukung mereka dalam memperbaiki dan meningkatkan kegiatan jual beli yang ditekuni di Pasar Remu. Kurang adanya perhatian tersebut memposisikan mereka pada kelompok yang tidak diuntungkan bahkan dianggap dan terasa tersisih dari kelompok pedagang yang lain. Sebagaimana pengakuan salah satu pedagang mama-mama asli Papua22 berikut ini; Kalau menurut kita orang Papua ini kan memang kita su tasisi memang, maksudnya menurut kita orang asli ini to sudah tasisi Akibat tidak dipakai sampai saat ini, Pasar Bersama hanyalah tinggal berupa bangunan kios/toko yang kosong. Di bagian depan Pasar Bersama ada beberapa kios/toko yang digunakan, namun untuk dibagian belakang hanyalah tinggal gedung kosong yang kini sudah ditumbuhi oleh lumut, rumput dan jalan yang berbecek. 22 Wawancara dengan mama Saa, pada tanggal 10 September 2013, di Pasar Remu. 21
67
BERJUANG DI ANTARA PELUANG Studi Pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong
memang karna apa kita punya sodara bos itu kan tidak pernah perhatikan kita, dorang bangun untuk orang pendatang saja yang tinggal, untuk dorang punya kios, punya toko. Kita ini kan menderita begini sudah, tahun ke tahun begini, dorang kemarin tuu bangun begini sudah yang di dalam ini satu Ibu itu sampe lima enam orang itu satu meja, tidak pernah kasih khusus macam dorang di sebelah, pajak yang dorang bayar seratus berapa per bulan sama saja, kalo kita itu perhari bayar 2000 to, maksudnya dorang itu kan biasa bayar pajak itu kan seratus lebih kapa yang punya toko-toko ini, setiap bulan to. Kalo kita ini kan setiap hari dua dua ribu yang dong kasih karcis.
Informasi di atas menjelaskan bahwa: Kalau menurut kita orang Papua, kita memang sudah tersisih, maksudnya menurut kita, orang asli memang sudah tersisih karena kita punya saudara bos (pemerintah) itu tidak pernah perhatikan kita, mereka (pemerintah) bangun untuk orang pendatang saja yang tinggal, untuk orang pendatang mereka punya kios, punya toko. Kita ini menderita seperti ini sudah, tahun ke tahun seperti ini, mereka (pemerintah) kemarin itu bangun seperti ini sudah, yang di dalam ini satu Ibu itu, sampai lima enam orang itu mendapat satu meja, tidak pernah kasih khusus seperti mereka di sebelah, pajak yang mereka bayar seratus ribu sekian per bulan sama saja, kalau kita itu bayar dua ribu per hari, maksudnya mereka itu biasa bayar pajak seratus ribu lebih bagi yang punya toko-toko ini, setiap bulannya. Kalau kita ini setiap hari dua-dua ribu yang mereka kasih karcis.
Pengakuan informan tersebut di atas mengungkapkan tentang kekecewaan yang dirasakan pedagang mama-mama asli Papua sebagai pribumi yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah yang juga sebagai oang Papua. Namun, sebagai sesama pribumi pemerintah selaku pemegang kekuasaan kurang mempedulikan kesulitan yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam mempertahankan hidup lewat kegiatan jual beli di Pasar Remu Kota Sorong. Kekecewaan ini kemudian menimbulkan perasaan tidak percaya kepada pemerintah yang lebih memposisikan pedagang pendatang dalam hal perhatian dan kebijakan.
68
Tempat Jualan Pedagang Mama-mama Papua di Pasar Remu
Kesimpulan Pasar Remu merupakan salah satu fasilitas ekonomi rakyat yang diperuntukan bagi para pedagang, baik pribumi maupun pendatang. Mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan jual beli atau berdagang. Pasar mempunyai fungsi utama menjadi tempat pertemuan antara pembeli dan penjual dalam hal kebutuhan sehari-hari. Kegiatan jual beli yang dilakukan oleh para pedagang atau penjual memerlukan fasilitas yang ada di pasar, yaitu berhubungan dengan tempat jualan atau lokasi yang digunakan untuk melakukan kegiatan jual belinya. Di antara pedagang pribumi dan pedagang pendatang mempunyai fasilitas yang berbeda dalam posisi ruang pasar. Perbedaan fasilitas antara pedagang pribumi dan pedagang pendatang disebabkan oleh peraturan pemerintah yang sepihak tanpa melihat sejarah. Pengaturan fasilitas dan pengelolaan sarana prasarana pasar yang tidak teratur mempengaruhi proses kegiatan jual beli yang dilakukan oleh para pedagang, khususnya pedagang mama-mama asli Papua yang memperoleh tempat jualan kurang proposional. Posisi yang kurang menguntungkan ini tidak mendukung proses kegiatan jual beli sesuai yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mampu menghadapi persaingan yang semakin tajam, apalagi dukungan finansial berupa modal dan keterampilan berdagang dari pemerintah juga tidak mereka peroleh, maka semakin sulit mereka dalam mencapai percepatan perbaikan ekonomi keluarga. Namun sisi positif dari kondisi tersebut membuat pedagang mama-mama asli Papua lebih kreatif dan aktif mencari peluang untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pedagang pribumi di Pasar Remu.
69