CAMPUR KODE PEDAGANG DI PASAR KOLPAJUNG PAMEKASAN Hendry Budiman Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Manusia sebagai makhluk individu memainkan banyak peran dalam lingkungan masyarakat, di berbagai situasi sosial, dan peran-peran itu di dalamnya mengandung normanorma, tingkah laku, yang diantaranya juga terdapat norma bahasa. Individu dapat dideskripsikan memiliki seperangkat kode, yang tiap kode itu cocok dalam seperangkat hubungan peran. Dalam hal memilih kode, salah satu jenis pilihan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu variasi bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain.Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif berupa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Berdasarkan hasil analisis data dapat dideskripsikan bahwa ujud campur kode berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat yang terjadi pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan. Campur kode tersebut masuk atau menyisip dalam peristiwa tutur bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Wujudnya berupa: (a) varian bahasa, (b) varian tingkat tutur dan (c) dialek. Kata Kunci: Peristiwa tutur, campur kode, pedagang Dalam berinteraksi dengan yang lain, manusia membutuhkan suatu alat untuk menjalin komunikasi dengan baik dan lancar. Alat yang diharapkan dapat membantu manusia yang berkomunikasi disebut bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat penyampai perasaan, pikiran, dan gagasan kepada orang lain. Untuk dapat berkomunikasi dengan ruang lingkup yang lebih luas, ternyata seseorang tidak cukup hanya menguasai satu bahasa. Setiap penutur bahasa, hidup dan bergerak dalam sejumlah lingkungan masyarakat yang adatistiadatnya atau tata cara pergaulannya dapat berbeda. Perbedaan itu terwujud pula dalam
pemakaian bahasa. Masyarakat pemakai bahasa sering kali menggunakan banyak kode bahasa. Kode biasanya berbentuk varianvarian yang digunakan dalam komunikasi secara nyata. Pada masyarakat bilingual terjadi kompleksitas penggunaan kode, ini dikarenakan dalam satu bahasa terdapat banyak varian bahasa. Secara operasional wujud pilihan bahasa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) alih kode (code switching), (2) campur kode (code mixing), dan (3) memilih satu variasi bahasa yang sama. Fasold (dalam Chaer dan Leoni, 2010:153). Ketiga fenomena ini dapat terjadi secara simultan. Bahkan menurut
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 613
Fasold, ketiga wujud pilihan bahasa itu dipandang sebagai rangkaian dan skala yang relatif besar kearah pilihan bahasa dalam skala yang relatif kecil. Penelitian ini memfokuskan pada campur kode. Dalam berkomunikasi, terkadang seseorang mencampurkan banyak kode, dari kode bahasa yang satu ke kode bahasa yang lainnya. Menurut Nababan (1984:32) campur kode sering kali terjadi dalam situasi informal. Dalam situasi yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya saja yang memegang peranan. Biasanya campur kode ini juga terjadi pada para pedagang pakaian di pasar. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana ujud campur kode berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung Pamekasan. Campur kode pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan, terjadi dalam situasi non-formal saat berikteraksi dengan calon pembeli barang dagangannya maupun antar sesama pedagang dengan tujuan untuk menjual barang dagangannya, mengakrabkan suasana, menyesuaikan situasi dan konteks, ataupun tidak adanya istilah yang sesuai untuk penjelasannya. Dalam penggunaan campur kode, tentu tidak menutup kemungkinan sering digunakan oleh setiap individu atau masyarakat lainnya, karena campur kode ini dapat terjadi dimana saja dan kapan saja pada masyarakat bilingual bahkan multilingual. Dengan demikian, masalah campur kode ini dikaji dalam suatu penelitian yang diberi judul “Campur Kode Pedagang di Pasar Kolpajung Pamekasan”.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Whitney (dalam Nazir, 1988:63) menjelaskan metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode deskriptif mempelajari masalahmasalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta prosesproses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.Penggunaan metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2010:68). Berdasarkan kajian tentang definisi-definisi tersebut dapat disintesiskan bahwa metode kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Ciri lain deskriptif kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai variabel sosial. Berdasarkan uraian diatas, maka artikel ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hal ini
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 614
dikarenakan dalam penelitian ini hanya mendeskripsikan keadaan dan status fenomena yang muncul pada peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung Pamekasan. HASIL DAN PEMBAHASAN Data ini diambil melalui proses rekaman pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan saat terjadi proses transaksi dengan calon pembelinya, Bentuk data yang diperoleh peneliti berupa rekaman peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan yang selanjutnya di transkripkan ke dalam bentuk tulisan. Data peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan yang peneliti rekam berupa peristiwa tutur pedagang daging, pedagang kerudung, pedagang sandal, pedagang lombok, pedagang handuk, pedagang cumi, pedagang sandal, pedagang ulekan, pedagang pisang, pedagang ikan, pedagang buah, dll. Berujud Kata Kata adalah bentuk terkecil (dari kalimat) yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Dari segi bentuk, kata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kata yang bermorfem tunggal dan kata yang bermorfem banyak. Kata yang bermorfem tunggal disebut juga kata dasar(Finoza, 2002:61). Ujud campur kode berupa kata yang terjadi dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung Pamekasan misalnya: Ghâbây, Sayang/ Yang, pêssê, torêh, nêka, abayanya, sing, daleman, netral, Mi’/Umi’, besar, awêt, swallow, coba’, kortingan, Mba’/Ba’, ênga’, ini, lo’, dâ’remma, bâghi, karo, so,
hêdâh, sa, bârempah, Wê’/Cêwê’, mapan, dll. Berujud Frasa Frasa adalah kelompok kata yang tidak mengandung predikat dan belum membentukklausa atau kalimat. Pengertian kelompok kata bukanlah asal menyandingkan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai hubungan sama sekali; atau kalaupun ada, hubungan itu sangat renggang sehingga tidak membentuk kesatuan makna (Finoza, 2002:74). Ciri frasa ada tiga yaitu: (1) konstruksinya tidak mempunyai predikat (non-predikatif), yang dimaksud dengan predikat adalah kata yang menerangkan perbuatan/tindakan atau sifat dari subjek (pelaku); (2) proses pemaknaannya berbeda dengan idiom, walaupun keduanya berupa gabungan kata, cakupan makna yang dibentuk oleh frasa masih di sekitar makna leksikal kata pembentuknya; dan (3) susunan kata pada frasa berpola tetap, tidak tergoyahkan, dan tidak boleh dibalik. Kalau posisinya berpindah, maka kelompok kata itu berpindah secara utuh. Ujud campur kode berupa frasa yang terdapat dalam peristiwa tutur pedagang pakaian di pasar Kolpajung Pamekasan misalnya: nêkah maddhâ, besar coklatnya, maksudnya gambarrah, cêwê’ prinses, yang cêwê, ya’ De’, yang ini, mon mellêyah, la jih, sepiring berdua, reyah Ba’, bâ’en jih De’, la torot, ta’ taoh, dll. Berujud Klausa Sebagaimana frase, klausa merupakan kelompok kata. Akan tetapi, sebuah klausa merupakan kelompok kata yang terdiri dari subjek dan predikat. Klausa tidak
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 615
mengandung unsur intonasi dan kedudukannya merupakan bagian dari suatu kalimat (Kosasih, 2003:68) Adapun ujud campur kode berupa klausa pada peristiwa tutur pedagang pakaian di Pasar Kolpajung Pamekasan misalnya: segghut pajuh tello polo, garansi Bos… sebulan garansinya, kala’ Bu, Mba’… obângnga, bâdâh sandângngah. Berujud Kalimat Menurut Finoza (2002:107) menjelaskan bahwa kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S) dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Ujud campur kode berupa kalimat dalam peristiwa tutur pedagang pakaian di pasar Kolpajung Pamekasan misalnya:”Bârempa?”, “Bârempa Nak?”, ”Sêrah?”, ”Alhamdulillah..!”, “Biasana pa’polo lêma’.”, “Cemmol?”, “Sê towah napa sênêkah?”, “Jauh Sayang.”, “Tiga puluh pas.”, “Nêka êparêngê modâ pon Ning.”, “Nêkah.”, dll. Pada penelitian ini, ditemukan berbagai ujud campur kode yang muncul dalam peristiwa tutur pada masyarakat tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan. Variasi bentuk itu dapat dilihat dari pemilihan kode bahasa lain yang dicampurkan dalam proses tuturan. Dilihat dari dasar bahasa, peristiwa campur kode tersebut dapat dikategorikan dalam empat ujud campur kode, yaitu (1) campur kode berujud kata, (2) campur kode berujud frasa, (3) campur kode
berujud klausa, dan (4) campur kode berujud kalimat. Ujud Campur Kode Berupa Kata di Pasar Kolpajung Pamekasan Ujud campur kode berupa kata terjadi dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung misalnya dengan mencampur kodekode dalam wujud (1) varian bahasa, (2) tingkat tutur, dan (3) dialek. Wujud Campur Kode Berupa Varian Bahasa Ujud campur kode berupa kata pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi dalam wujud varian bahasa. Varian bahasa yang menyisip ke dalam peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan adalah bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan variasi-variasi bahasa Madura. Wujud kode bahasa yang dimaksud adalah wujud varian resional. Varian ini merupakan bahasa yang dimiliki dan disepakati oleh sekelompok masyarakat tertentu (Suwito, 1983:67). Misalnya: (a) bahasa Inggris, (b) bahasa Arab, (c) bahasa Indonesia, (d) bahasa daerah luar Madura mis: Jawa dan Betawi, dan (e) bahasa Madura. (1) Varian bahasa Inggris misalnya kata netral, swallow, princes, double, dan Je-eF digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari bahasa Inggris menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Model campur kode ini disebut campur kode keluar (outer codemixing). (2) Varian bahasa Arab misalnya kata abaya,Alhamdulillah, dan Mi’ atau Umik digunakan oleh
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 616
pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari bahasa Arab menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia dan bahasa Madura.Model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (3) Varian bahasa Indonesia misalnya penyisipan kata Sayang, De’/Adek, besar, awêt, coba, manalagi, Bapak, kortingan, mapan, anjlok, Batu, mobil, baru digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari bahasa Indonesia menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura.Campur kode model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (4) Varian bahasa daerah luar Madura (Jawa dan Betawi) misalnya penyisipan kata sing dan daleman digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari varian bahasa daerah luar Madura yaitu bahasa Jawa dan Betawi menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Model campur kode ini disebut campur kode kedalam (inner codemixing).Penyisipan kata to’, dan Ning digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari varian bahasa daerah luar Madura yaitu bahasa Jawa dan Betawi menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura. Campur kode ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (5) Varian bahasa Madura misalnya terjadi dalam tuturan berikut penyisipan kata likur, bârempah,
sa, gâbây, dan posang digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari varian bahasa Madura menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia.Model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Wujud Campur Kode Berupa Tingkat Tutur Ujud campur kode berupa kata pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi pula dalam wujud tingkat tutur. Wujud tingkat tutur yang menyisip ke dalam peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan adalah variasi-variasi bahasa Madura. Wujud kode tingkat tutur merupakan wujud varian sosial (sosiolek). Varian ini menandakan bahwa terdapat perbedaan pemakaian karena perbedaan klas sosial penuturnya. Hal ini disebabkan oleh anggapan tentang perbedaan sosial para peserta tuturnya (Suwito, 1983:67). Secara garis besar wujud kode tingkat tutur dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk hormat dan bentuk biasa. Pada bahasa Madura terdapat tingkatan yang kelompokkan dalam tingkatan: “êngghi bhunten”(tinggi), “êngghi-enten” (sedang), dan “enjâ’iyâh” (rendah). (1) Varian bahasa tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) misalnya penyisipan kata ghâbây, pêssê, mon, la, ênga’, dâ’remma, bâghi, bâghi, karo, so, ya’, mellê,dan endâ’, digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari varian tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) menyisip ke tingkat tutur sedang (êngghi-enten) dalam peristiwa tutur bahasa Madura.
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 617
Campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode bawah-atas (bottomup code-mixing). (2) Varian bahasa tingkat tutur sedang (êngghi-enten) misalnya penyisipan kata torêh, nêka, digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari varian tingkat tutur sedang (êngghienten) menyisip ke tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) dalam peristiwa tutur bahasa Madura. Campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (topdown code-mixing). Wujud Campur Kode Berupa Dialek Ujud campur kode berupa kata pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi pula dalam wujud varian dialek. Wujud kode dialek adalah perwujudan kode bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama (Pateda, 1983:53). Kode dialek bahasa Madura, yaitu kode dialek bahasa Sumenep, dialek bahasa Madura Pamekasan, dialek bahasa Madura sampang, dan dialek bahasa Madura Bangkalan. Penyisipan kata Lo’dan hêdâh digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa
kata yang berasal dari varian dialek Bangkalan menyisip ke varian dialek Pamekasan dalam peristiwa tutur bahasa Maduradan campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Ujud Campur Kode Berupa Frasa di Pasar Kolpajung Pamekasan Ujud campur kode berupa frasa terjadi dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung misalnya dengan mencampur kodekode dalam wujud (1) varian bahasa dan (2) tingkat tutur. Frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat non predikatif (Pusat Pembinaan dan Pengembangan, 2001:321). Wujud Campur Kode Berupa Varian Bahasa Ujud campur kode berupa frasa pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi dalam wujud varian bahasa. Varian bahasa yang menyisip ke dalam peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan adalah bahasa Bahasa Indonesia. Wujud kode bahasa yang dimaksud adalah wujud varian resional. Varian ini merupakan bahasa yang dimiliki dan disepakati oleh sekelompok masyarakat tertentu (Suwito, 1983:67). Misalnya: (a) bahasa Indonesia, dan (b) bahasa Madura. (1) Varian bahasa Indonesia misalnya penyisipan frasa seperti: besar coklatnya, maksudnya gambarrah, yang cêwê, sepiring berdua, ini Sayang, dan batu raja digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa frasa yang berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menyisip ke dalam tuturan bahasa
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 618
Madura. Campur kode model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (2) Varian bahasa Madura misalnya terjadi dalam tuturan berikut penyisipan frasa Ta’ taoh digunakan oleh pedagang ketika bertutur menggunakan bahasa Indonesia dengan calon pembelinya. Ujud campur kode berupa frasa ini berasal dari bahasa Madura menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Campur kode model ini disebut campur kode dalam (inner codemixing). Wujud Campur Kode Berupa Tingkat Tutur Ujud campur kode berupa frasa pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi pula dalam wujud tingkat tutur. Wujud kode tingkat tutur merupakan wujud varian sosial (sosiolek). Varian ini menandakan bahwa terdapat perbedaan pemakaian karena perbedaan klas sosial penuturnya. Hal ini disebabkan oleh anggapan tentang perbedaan sosial para peserta tuturnya (Suwito, 1983:67). Pada bahasa Madura terdapat tingkatan tutur yang kelompokan dalam tingkatan: “êngghi bhunten”(tinggi), “êngghienten” (sedang), dan “enjâ’-iyâh” (rendah). (1) Varian bahasa tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) misalnya penyisipan frasa; ya’ De’, mon mellêyah, rêyah Ba’, bâ’en jih De’, la torot, yâh la, dan yâh Mi’ digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan
tingkat tutur sedang (êngghienten)dalam peristiwa tutur bahasa Madura, dan campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (bottom-up code-mixing). (2) Varian bahasa tingkat tutur sedang (êngghi-enten) misalnya frasa Nêkah maddhâ digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari bahasa Madura dengan tingkat tutur sedang (êngghi-enten) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh)dan campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner codemixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (topdowm code-mixing). Ujud Campur Kode Berupa Klausa di Pasar Kolpajung Pamekasan Ujud campur kode berupa klausa terjadi dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung misalnya dengan mencampur kodekode dalam wujud (1) varian bahasa dan (2) tingkat tutur. Sebagaimana frase, klausa merupakan kelompok kata. Akan tetapi, sebuah klausa merupakan kelompok kata yang terdiri dari subjek dan predikat. Klausa tidak mengandung unsur intonasi dan kedudukannya merupakan bagian dari suatu kalimat (Kosasih, 2003:68).
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 619
Wujud Campur Kode Berupa Varian Bahasa Ujud campur kode berupa klausa pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi dalam wujud varian bahasa.Varian ini merupakan bahasa yang dimiliki dan disepakati oleh sekelompok masyarakat tertentu (Suwito, 1983:67). Misalnya: (a) bahasa Indonesia, dan (b) bahasa Madura. (1) Varian bahasa Indonesia misalnya penyisipan klausa seperti: Garansi Bos… sebulan garansinya digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa klausa yang berasal dari bahasa Indonesia menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura. Campur kode model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (2) Varian bahasa Madura misalnya penyisipan klausa seperti segghut pajuh tello polo dan Bâdâh sandângngah digunakan oleh pedagang ketika bertutur menggunakan bahasa Indonesia dengan calon pembelinya. Ujud campur kode berupa klausa ini berasal dari bahasa Madura menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Campur kode model ini disebut campur kode dalam (inner code-mixing). Wujud Campur Kode Berupa Tingkat Tutur Ujud campur kode berupa klausa pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi pula dalam wujud tingkat tutur. Wujud kode tingkat tutur merupakan wujud varian sosial (sosiolek). Varian ini menandakan bahwa terdapat perbedaan pemakaian karena perbedaan klas sosial penuturnya. Hal ini disebabkan oleh
anggapan tentang perbedaan sosial para peserta tuturnya (Suwito, 1983:67). Pada bahasa Madura terdapat tingkatan tutur yang kelompokan dalam tingkatan: “êngghi bhunten”(tinggi), “êngghienten” (sedang), dan “enjâ’-iyâh” (rendah). (1) Varian bahasa tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) misalnya penyisipan klausa seperti kala’ Bu digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari bahasa Madura dengan tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan tingkat tutur sedang (êngghienten). Model ini disebut campur kode kedalam (inner codemixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (bottomup code-mixing). (2) Varian bahasa tingkat tutur sedang (êngghi-enten) misalnya penyisipan klausa seperti Mba’… obângnga digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari bahasa Madura dengan tingkat tutur sedang (êngghi-enten) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh). Model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (topdown code-mixing).
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 620
Ujud Campur Kode Berupa Kalimat di Pasar Kolpajung Pamekasan Ujud campur kode berupa kalimat terjadi dalam peristiwa tutur pedagang di Pasar Kolpajung misalnya dengan mencampur kodekode dalam wujud (1) varian bahasa dan (2) tingkat tutur. Kalimat adalah kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep dan perasaan. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan, 2001:494). Menurut Finoza (2002:107), kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S) dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Wujud Campur Kode Berupa Varian Bahasa Ujud campur kode berupa kalimat pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi dalam wujud varian bahasa. Varian ini merupakan bahasa yang dimiliki dan disepakati oleh sekelompok masyarakat tertentu (Suwito, 1983:67). Misalnya: (a) bahasa Arab, (c) bahasa Indonesia, (d) bahasa Madura. (1) Varian bahasa Arab misalnya kalimat Alhamdulillah, Cemmol, dan Astaughfirullahhilladzim…. Astaughfirullah.,digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kata yang berasal dari bahasa Arab menyisip ke dalam tuturan bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (2) Varian bahasa Indonesia misalnya kalimat; Jauh Sayang., Tiga puluh pas., Ya..ya..ya...., Apa Sayang?, Sekilo dua lima., dan
Oya…ya… ini kan bisa dibuka ya?, digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kalimat yang berasal dari bahasa Indonesia menyisip ke dalam peristiwa tutur bahasa Madura dan campur kode model ini disebut campur kode keluar (outer code-mixing). (3) Varian bahasa Madura misalnya terjadi dalam tuturan berikut kalimat Sê towah napa sê nêkah?,dan kalimat Ghân sêbu pettongatos bârempa? Anggheb sabidhâg, pêttong polo ghâllu., digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode berupa kalimat yang berasal dari bahasa Madura menyisip ke dalam peristiwa tutur bahasa Indonesia. Campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Wujud Campur Kode Berupa Tingkat Tutur Ujud campur kode berupa kalimat pada pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan terjadi pula dalam wujud tingkat tutur. Wujud kode tingkat tutur merupakan wujud varian sosial (sosiolek). Varian ini menandakan bahwa terdapat perbedaan pemakaian karena perbedaan klas sosial penuturnya. Hal ini disebabkan oleh anggapan tentang perbedaan sosial para peserta tuturnya (Suwito, 1983:67). Pada bahasa Madura terdapat tingkatan tutur yang kelompokan dalam tingkatan: “êngghi bhunten”(tinggi), “êngghi-enten” (sedang), dan “enjâ’iyâh” (rendah). (1) Varian bahasa tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) misalnya penyisipan kalimat seperti
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 621
Bârempa?, Bârempa Nak?, digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari bahasa Madura dengan tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan tingkat tutur sedang (êngghienten). Campur kode model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (bottomup code mixing). (2) Varian bahasa tingkat tutur sedang (êngghi-enten) misalnya penyisipan kalimat seperti Sêrah?, Nêka êparêngê modâ pon Ning.,dan Nêkah., digunakan oleh pedagang ketika bertutur dengan calon pembelinya sebagai ujud campur kode. Penyisipan kode tingkat tutur ini berasal dari bahasa Madura dengan tingkat tutur sedang (êngghi-enten) menyisip ke dalam tuturan bahasa Madura dengan tingkat tutur rendah (enjâ’-iyâh). Model ini disebut campur kode kedalam (inner code-mixing). Berdasarkan tingkatannya, peneliti menyebutnya dengan istilah campur kode atas-bawah (topdown code mixing). SIMPULAN DAN SARAN Ujud campur kode pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan berupa kata. Wujudnya berupa: (a) varian bahasa, (b) varian tingkat tutur dan (c) dialek. Dalam varian bahasa model campur kode yang terjadi berupa: (1) campur kode kedalam (inner codemixing) dan (2) campur kode keluar
(outer code-mixing). Pada varian tingkat tutur, campur kode yang terjadi berupa jenis campur kode atas-bawah (top-down code-mixing), dan campur kode bawah-atas (bottom-up code-mixing). Pada varian dialek, campur kode yang terjadi berupa campur kode kedalam (inner code-mixing). Ujud campur kode pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan berupa frasa. Wujudnya berupa: (a) varian bahasa, dan (b) varian tingkat tutur. Dalam varian bahasa model campur kode yang terjadi berupa: (1) campur kode kedalam (inner code-mixing), dan (2) campur kode keluar (outer codemixing). Pada varian tingkat tutur, campur kode ujud frasa yang terjadi berupa campur kode atas-bawah (top-down code-mixing), dan campur kode bawah-atas (bottom-up codemixing). Ujud campur kode pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan berupa klausa. Wujudnya berupa: (a) varian bahasa, dan (b) varian tingkat tutur. Dalam varian bahasa model campur kode yang terjadi berupa (1) campur kode kedalam (inner code-mixing) dan (2) campur kode keluar (outer codemixing).Pada varian tingkat tutur, campur kode ujud klausa yang terjadi berupa campur kode atas-bawah (top-down code-mixing), dan campur kode bawah-atas (bottom-up codemixing). Ujud campur kode pada peristiwa tutur pedagang di pasar Kolpajung Pamekasan berupa kalimat. Wujudnya berupa: (a) varian bahasa, dan (b) varian tingkat tutur. Dalam varian bahasa model campur kode yang terjadi berupa: (1) campur kode kedalam (inner code-mixing)
NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 622
dan (2) campur kode keluar (outer code-mixing). Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian dapat diungkapkan beberapa saran di antaranya sebagai berikut. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai korpus data dalam usaha perencanaan, pembinaan, dan pengajaran bahasa sebagai tambahan dalam memahami kajian sosiolinguistik terlebih lagi dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia umumnya dan bahasa Madura khususnya. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk lebih mengembangkan masalah tentang campur kode, misalnya faktor tempat dari aspek sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Solo: Henary Offset
DAFTAR RUJUKAN Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Chaer dan Agustina Leoni. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Bandung: Angkasa Finoza, Lamuddin. 2002. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia Kosasih, E.. 2003. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Nazir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa NOSI Volume 1, Nomor 6, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 623