Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
Teliti Sebelum Beraksi1 oleh: Arief Rahman Participatory Action Research (PRA) dapat diterjemahkan sebagai buah aksi yang didasarkan pada hasil dari riset yang dilakukan secara partisipatif. Riset (kata serapan dari bahasa Inggris “re search” yang berarti pencarian kembali) dapat dilihat sebagai suatu upaya terus menerus untuk menjelaskan dunia sebagaimana adanya (the real world situations). Dunia sebagaimana adanya adalah dunia yang dipandang tanpa subyektifitas atau bias si pemandang (bias agama, politik, ideologi, suku). Riset, upaya untuk mencari kembali, adalah proses tanpa tanda titik. Pencarian jawaban atas dunia sebagaimana adanya tersebut dilakukan secara terus menerus dan tidak akan ditemui sebuah jawaban final. Upaya untuk terus menerus mencari jawaban ini tidak akan menemui tanda titik karena dunia yang akan kita jelaskan adalah dunia yang dinamis, bukan statis. Seorang penulis menyatakan bahwa dunia yang kita diami saat ini adalah dunia yang semakin sementara. Semakin sementaranya dunia ini dikarenakan cepatnya perubahan yang terjadi di dalamnya. Masih sangat membekas di ingatan kita betapa barubaru saja hubungan kita dengan disket begitu romantisnya, media penyimpanan yang tanpa kita sadari telah tergeser dengan adanya flash disk. Dan flash disk pun natinya akan menuai kesementaraannya dengan media penyimpanan yang entah semacam apa lagi. Dunia menjadi semakin sementara, dan karena itulah proses mencari kembali terus menerus dilakukan. Dan juga, manusia sebagai sebagai subyek pemandang dunia menguasai pengetahuannya secara kumulatif, artinya pengetahuan manusia bukanlah wadah mati yang dapat penuh terisi suatu saat, tetapi terus berkembang seiring dengan bertambahnya aksi dan pengalaman. Terakumulasinya pengetahuan selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru atau kritisi atas pengalaman terdahulu. Dan jawaban-jawaban yang dihasilkan saat ini adalah siklus yang mengawali lahirnya pertanyaan-pertanyaan kritis di kemudian hari. Ketika manusia dengan pengetahuan kumulatifnya dihadapkan pada dunia dengan kesementaraannya, maka upaya untuk terus menerus mencari akan selalu dilakukan. Pada akhirnya, kesemua ini hanyalah digerakkan oleh keinginan manusia untuk membentuk wajah dunia sebagaimana apa yang ia inginkan. Lingkungan membangkitkan Sensasi
Sensasi Menjadi sensasi
indr a
per sepsi i sas sen
se ns as i
inf or masi
inf or masi
inf or masi
inf or masi
inf or masi
inf or masi
Informasi Filter: kriteria lokal
inf or masi
Rumusan masal ah
1
Disampaikan pada Pelatihan Community Development untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB, 2005
1
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005 Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 1. Ilustrasi mengenai bagaimana manusia menangkap sensasi-sensasi dari dunia di sekitarnya yang lantas diterjemahkan menjadi informasi dan informasi tersebut disaring hingga terumuskannya permasalahan Ilmu pengetahuan, dalam bentuknya sebagai teori yang terdokumentasikan, adalah bahan dasar bagi penyusunan dan pelaksanaan suatu riset. Tanpa bahan dasar ini, maka upaya mencari jawaban akan selalu dimulai dari titik 0 (zero point). Padahal, akumulasi pengetahuan jika dimanfaatkan dapat membuat upaya mencari jawaban ini dilakukan di titik awal yang jauh melebihi zero point tersebut. Riset akan dilakukan secara lebih efektif dan efisien, tidak ada kesia-siaan untuk mencari jawaban yang sebenarnya telah tersedia. Titik awal dari sebuah riset adalah rumusan masalah. Rumusan masalah merupakan pertanyaan yang diajukan dan secara umum meminta penjelasan mengenai 5W (What, Where, When, Who, dan Why) dan 1H (How). Rumusan masalah merupakan gelitikan dan panggilan bagi jiwa seorang peneliti untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang terajukan. Dan rumusan masalah inilah yang menjadi benang keterkaitan utama antara PAR dengan Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). RRA dan PRA adalah satuan yang secara utuh adalah juga merupakan proses riset, karena RRA dan PRA memberikan penjelasan mengenai dunia (dalam hal ini suatu desa) sebagaimana adanya. Desa sebagaimana adanya ini didekati melalui informasi yang dihasilkan mengenai identifikasi potensi dan permasalahan. Jenis informasi yang dihasilkan adalah identifikasi permasalahan, dan permasalahan jelas menuntut solusi. Berlarutnya permasalahan akan menyebabkan permasalahan menjadi bertambah besar dan ruwet sehingga semakin sulit untuk dipecahkan. Identifikasi permasalahan yang dihasilkan oleh RRA dan PRA itulah yang menjadi titik awal dari riset yang dilakukan melalui desain PAR. Permasalahan yang teridentifikasi merupakan core issues yang diangkat untuk dicarikan jawabannya. Melalui proses RRA dan PRA yang ideal, jelas akan banyak permasalahan yang teridentifikasi. Keyakinan akan banyaknya permasalahan yang teridentifikasi ini dikarenakan rakyat selama ini dibiasakan untuk tidak berbicara mengenai kondisinya, dibatasi pilihan yang dapat diambil, dan dilenakan atas segala ketidaknyamanan. Segala inisiatif, bahkan yang menyangkut keseharian hidup, diambil alih oleh para birokrat dan teknokrat. Kekritisan untuk berpikir dan tanggap terhadap kondisi sekitarnya ditumpulkan, dan kesemua itulah yang pada akhirnya meninabobokan rakyat. Proses RRA dan PRA yang ideal merupakan upaya membangunkan rakyat yang tertidur, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk bercerita mengenai diri dan lingkungannya, membukakan pilihan baru dari terbatasnya pilihan yang selama ini ada, dan memupuk kesadaran bahwa banyak kemelencengan yang butuh untuk diluruskan. Inisiatif serta daya kritis pun pada akhirnya dapat ditumbuhkan. 2
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
Apabila RRA dan PRA yang ideal tersebut dapat dilakukan, artinya kesempatan bagi rakyat untuk meledakkan daya yang selama ini terpendam menjadi terbuka lebar, sebagai euforia reformasi yang pernah terjadi terdahulu. Hal inilah yang mendasari keyakinan bahwa RRA dan PRA yang ideal akan menghasilkan deretan panjang identifikasi permasalahan.
Sebagai Pendamping, Apa yang akan Anda lakukan? Di Desa Bojongsari Kabupaten Sukabumi
Isu dengan daya provokasi
The real world problem yang terkait dengan isu
•Sawah tadah hujan •Pendapatan di desa lebih rendah ketimbang pendapatan di kota •Bila musim kemarau tiba, sebagian besar warga desa merantau ke kota, menjadi pembantu rumah tangga dan buruh bangunan •Sulitnya untuk mencari tenaga buruh tani
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 2. Hasil RRA yang kemudian ditindaklanjuti dengan PRA di salah satu desa di Kabupaten Sukabumi menghasilkan enam isu besar. Perlu dilakukan pemilahan isu yang nantinya akan ditindaklanjuti dalam PAR Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pemilahan permasalahan yang dijumpai sehingga didapatkan core issues. Salah satu kriteria dari core issues adalah permasalahan yang memiliki daya provokasi terbesar, ialah permasalahan yang apabila diangkat (bahkan kalau bisa cukup hanya dengan disentil) maka dapat menggerakkan warga dengan segala antusiasmenya. Biasanya permasalahan-permasalahan semacam ini adalah permasalahan yang memiliki keterkaitan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dua contoh yang dapat dikemukakan disini adalah: 1. Isu memajukan pertanian dan menumbuhkan ekonomi adalah isu dengan daya provokasi yang besar. Hal ini didasari bahwa sebagian besar warga desa adalah petani, sedangkan mereka menjumpai kesulitan untuk mendapatkan tenaga buruh tani karena para penduduk desa lebih memilih untuk menjadi buruh bangunan atau pembantu rumah tangga di kota dikarenakan alasan penghasilan yang dua kali lebih besar di kota ketimbang di desa. 2. Isu konflik kepemilikan lahan antara masyarakat lokal dengan Departemen Kehutanan di Cagar Alam Watuata Pulau Flores Nusa Tenggara Timur adalah isu yang jelas memiliki daya provokasi karena isu tersebut menentukan tempat hidup
3
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
masyarakat di kemudian hari. Rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana membuktikan bahwa kepemilikan lahan di wilayah Cagar Alam ada di tangan masyarakat. Dengan adanya core issues ini maka masyarakat akan lebih mudah untuk dilibatkan, apalagi kata ”participatory” dalam PAR memang mensyaratkan terlibatnya warga lokal sebagai peneliti, ditemani oleh orang luar sebagai co-researcher yang juga berperan sebagai research designer. Masih dibutuhkannya orang luar sebagai research designer karena riset bukanlah hal yang akrab dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Riset adalah suatu hal di luar rutinitas keseharian mereka, dan PAR adalah sebuah pilihan baru untuk dapat membangkitkan kesadaran kritis bahwa titik (kondisi) yang masyarakat anggap ”nyaman” dan ”mapan” selama ini sebenarnya adalah titik kenyamanan semu yang tidak mapan dan dapat digeser menuju ke titik kenyamanan yang lebih tinggi lagi.
Jeda dari Sebuah Rutinitas •Melihat apa yang tak terlihat •Melakukan apa yang tak terbayangkan •Menafsirkan dunia sebagaimana adanya •Beraksi berdasarkan informasi jernih
Ketika Masyarakat Menjadi Peneliti: Sebuah Pilihan Baru
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 3. Memberikan pilihan baru bagi masyarakat karena riset dianggap monopoli kaum elit, membongkar kemapanan yang selama ini diyakini, itulah substansi dari PAR sebagai bagian dari Community Development Apabila pilihan baru ini diambil oleh masyarakat (dengan syarat bahwa kapasitas untuk memilih telah dibangun), dan learning capacities terbangun pada beberapa kali repetisi proses PAR, maka Participatory dapat bergeser menjadi Community-based Action Research. Orang luar tidak lagi menjadi syarat mutlak bagi terlaksananya suatu riset, dan warga menjadi pemegang kendali penuh atas proses maupun hasil. Sebagai research designer, tantangan yang paling menarik bagi fasilitator adalah metodologi. Hal ini menjadi paling menarik karena metodologi riset selama ini dianggap
4
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
hanya ada di wilayah kekuasaan para elit penghuni menara gading. Hasil dari suatu riset boleh menjadi milik semua orang, tetapi metodologi yang digunakan adalah monopoli para peneliti yang telah tersertifikasi. Karena akses yang terbatas tersebut, maka metodologi menjadi ranah yang jauh dari jangkauan untuk dapat diterapkan dalam keseharian hidup masyarakat. Padahal sebagai peneliti, harus disadari bahwa substansi ilmu pengetahuan tiada lain adalah upaya penyederhanakan persoalan. Metodologi menjadi ranah terbatas karena dalih-dalih yang dikembangkan bahwa banyak kaidah yang harus dipenuhi agar metodologi yang digunakan layak mendapat sertifikasi ilmiah (scientific). Apabila dilihat secara lebih mendalam, sebenarnya pengetahuan masyarakat setempat mengenai wilayahnya telah sangat dapat memenuhi kaidah-kaidah seperti: 1. Pengulangan. Masyarakat membuktikan kebenaran pengetahuannya melalui pengulangan dalam bentuk pengalaman hidup selama berpuluh-puluh tahun (abundance time series data) dan dilakukan oleh berpuluh atau beratus orang yang menjadi anggota masyarakat di suatu wilayah tertentu (abundance crosssection data) 2. Sampling. Kebenaran pengetahuan masyarakat bukan lagi dibuktikan oleh sampel-sampel, tetapi dibagi antar anggota masyarakat sehingga menjadi pengetahuan komunal dan pengetahuan komunal tersebut adalah pembuktian oleh populasi, tidak lagi sampling yang hanya mencari perwakilan dari populasi. 3. Obyektifitas. Meminimalkan subyektifitas peneliti tidak lagi melalui penggunaan alat-alat modern yang terkalibrasi dalam standar tertentu, tetapi melalui alat sederhana yaitu rembugan, atau musyawarah (dapat dengan desain Focussed Group Discussion). Melalui verifikasi berbagai pihak tersebut maka subyektifitas dari opini individu menjadi terminimalkan. Ketiga kaidah tersebut telah dapat dipenuhi bahkan oleh masyarakat yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena pengalaman hidup beratus-ratus tahun di suatu wilayah memberikan pembelajaran hingga lahirnya traditional wisdom. Dan satu bukti tak terbantahkan dari kebenaran pengetahuan yang masyarakat miliki ialah: mereka dapat tetap bertahan hidup dan berkembang hingga saat ini. Dengan kebenaran pengetahuan yang dikuasai masyarakat dan terpenuhinya kaidahkaidah keilmuan, maka yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di dalam proses PAR adalah strukturisasi dari pengetahuan tersebut. Melalui strukturisasi pengetahuan, maka berbagai keterkaitan antar variabel (dependence dan independence variables) dapat diuraikan sehingga berbagai kesimpulan dapat ditarik. Dipahaminya keterkaitan antar variabel tersebut juga melahirkan pemahaman mengenai hal yang menjadi akibat, hal yang menjadi masalah, dan hal yang menjadi akar masalahnya. Melalui pemahaman hubungan sebab-akibat, pada akhirnya kriteria lokal (atau filter) yang dikembangkan oleh masyarakat setempat sebagai penentu sesuatu
5
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
sebagai masalah atau bukan dapat menjadi filter yang lebih lebih jeli dalam menangkap sensasi dan menyaring informasi.
Apa yang Mereka Butuhkan? •Kritisi atas kriteria lokal: filter sebagai filter •Simplifying Difficulties: jembatan antara “high-level text book” dengan “methods for everyone”
Mengapa? Jangan terjebak pada romantika masyarakat malaikat (The Trap of People as Angel)
“Wisdom may not be wise” Menyederhanakan yang rumit, mempermudah yang sulit Sehingga pengetahuan bukan monopoli kelompok elit, dan semua orang dapat melihat dunia sebagaimana adanya
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 4. Hal-hal yang dibutuhkan dari seorang fasilitator pada proses PAR. Upaya strukturisasi pengetahuan lokal melalui penyederhanaan metodologi yang digunakan merupakan bentuk kritisi dan penajaman kriteria lokal yang menjadi penentu ”apa itu masalah, dan mana yang bukan” Sebagaimana dikemukakan di atas mengenai dua contoh kasus lapangan, maka seorang fasilitator dituntut untuk dapat menguasai quasi-perfect of knowledge karena untuk dapat menyelami dinamika kehidupan masyarakat membutuhkan pemahaman holistik (ekologi, ekonomi, sosial) dan bukan parsial-sektoral. Melalui pemahaman holistik, maka metodologi yang akan digunakan dalam PAR selalu dapat disediakan oleh fasilitator sebagai jawaban atas tuntutan di lapangan. Ketika metode telah tersedia, maka penyederhanaan metode tersebut menjadi langkah selanjutnya sehingga metode tersebut dapat digunakan oleh setiap orang. Untuk masingmasing contoh kasus lapangan di atas, yang dilakukan fasilitator dalam mempersiapkan PAR adalah: 1. pada contoh kasus di salah satu desa di Kabupaten Sukabumi, fasilitator membangun matriks sederhana yang didasarkan pada konsep opportunity cost. Karena core issues telah ditentukan, yaitu memajukan pertanian dan ekonomi, sedangkan permasalahannya adalah banyaknya penduduk desa yang merantau ke kota untuk menjadi buruh bangunan dan pembantu rumah tangga sehingga desa mengalami kesulitan untuk mencari tenaga kerja sebagai buruh tani, maka masyarakat desa diajak untuk berhitung oportunity cost yang hilang pada saat merantau, mengingat pertimbangan utama yang mendasari aktifitas merantau
6
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
adalah penghasilan di kota yang dua kali lebih besar dari penghasilan di desa. Melalui konsep opportunity cost, dapat ditunjukkan bahwa meskipun komponen penghasilan yang lebih baik bisa didapatkan di kota, tetapi banyak komponen lain yang hilang dan menjadi biaya. Kesimpulan yang dihasilkan adalah skor 7-2 untuk buruh tani dibanding buruh bangunan, dan masyarakat menyatakan selanjutnya bahwa lebih baik hidup di desa dan menjadi buruh tani daripada hidup di kota. Bangunan Teori Pendukung
Simplyfying Difficulties
Dan Kesimpulannya
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 5. Teori pendukung sebagai dasar dari metode yang digunakan dan matriks sebagai hasil penyederhanaannya. Begitu mudahnya matriks ini, sehingga setiap komponen cost yang dihitung dan kesimpulan yang dihasilkan murni bersumber dari masyarakat. 2. pada isu konflik kepemilikan lahan antara masyarakat lokal dengan Departemen Kehutanan di Cagar Alam Watuata Pulau Flores Nusa Tenggara Timur, sebagai dukungan bukti kepemilikan maka dilakukan desain PAR untuk menegaskan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan lokal mengenai pemanfaatan dan konservasi kawasan Cagar Alam. Penegasan mengenai pengetahuan lokal dapat digunakan sebagai bargaining power bagi masyarakat di dalam konflik tersebut karena pengetahuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat telah memanfaatkan Cagar Alam tersebut sedari dulu karena mereka memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya di Cagar Alam tersebut, dan ketergantungan tersebut mendorong sikap kearifan bagi upaya konservasi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
7
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
Tujuan • Mendorong terjadinya pemahaman masyarakat tentang pengetahuan nilai konservasi kawasan yang dimilikinya sebagai modal dalam pengelolaan kawasan berbasis pengetahuan lokal Rincian Proses • Menentukan nilai konservasi keanekaragaman hayati menurut masyarakat, • Menentukan lokasi (hutan alam, hutan bambu, hutan ampupu, padang rumput, dan kebun rakyat), • Menentukan plot (uji lokasi) dengan metode acak, • Menentukan koordinat lokasi, • Mencari koordinat lokasi terpilih dengan GPS, • Membuat plot 20 x 20 m2, • Pencatatan jenis tumbuhan dan binatang dengan cara plot dibagi menjadi empat bagian (10x10m2), • Rekapitulasi data, • Analisa data, • Penyusunan laporan.
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 6. Tahapan proses PAR yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Cagar Alam Watuata Flores NTT. Metodologi menjadi mudah karena pengetahuan lokal yang memang telah memenuhi kaidah keilmuan (pengulangan, sampling, dan obyektifitas) menjadi bangunan dasarnya. Alat-alat modern yang digunakan, seperti Global Positioning System (GPS) bukanlah halangan selama proses saling belajar antara fasilitator dengan masyarakat lokal dapat dibangun secara harmonis.
Research are about facts, and these are undeniable facts that knowledge is not elite-group monopoly
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 7. Cuplikan gambar dari tahapan proses PAR yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Cagar Alam Watuata Flores NTT. Hal ini, dan contoh lain, menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa kesabaran fasilitator dalam
8
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
menemani proses Commmunity Development akan menuai hasil yang berkelanjutan karena terbangunnya learning capacities dari masyarakat. Sepanjang uraian di atas terlihat bahwa PAR memilki penekanan pada unsur riset, tetapi jangan pula dilupakan bahwa yang lebih penting dari hal tersebut adalah bagaimana hasil dari riset yang dilakukan secara partisipatif tersebut digunakan sebagai basis dalam menentukan sebuah aksi. Untuk melakukan aksi secara benar, memiliki wawasan long term ketimbang short benefit, maka dibutuhkan informasi yang mendekati sempurna (quasi-perfect information). Pengambilan aksi yang tidak didasari oleh basis informasi yang jelas ialah seperti perjudian yang apabila aksi tersebut menghasilkan kebaikan, itu bukanlah kesengajaan, melainkan kecelakaan (not by design, but by accident). Informasi yang mendekati sempurna ialah informasi yang mendekati dunia sebagaimana adanya, ialah informasi yang bersifat obyektif. Dan suplai informasi semacam ini telah dihasilkan melalui proses PAR. Di Sukabumi, seorang pemuda desa membatalkan niatnya untuk merantau dan akhrnya ingin untuk berkarya di desanya sendiri. Di Pulau Flores, masyarakat menjadi semakin percaya diri untuk menghadapi institusi semapan Departemen Kehutanan dalam konflik kepemilikan lahan. Maka itulah aksi yang berbasiskan informasi, maka itulah Participatory Action Research! Karakter PAR Halo, aku orang sini. Sampeyan mau memakai nama kami?
informasi
Real world situations
Exploring and analyzing data
informasi informasi informasi informasi informasi
Identifying problems
sas sen
i
se
Filter: kriteria lokal ns a
si
Real world problems
Loc al needs
Research-based actions
Result-based reflection
Rumusan masalah
Sumber: Bahan presentasi pelatihan Community Development oleh SALAM
Gambar 8. Empat karakter utama dari PAR: (i) involvement of local people, (ii) dealing with real world situations, (iii) solving the real world problems, dan (iv) cyclic process. Dan sepanjang uraian di atas menegaskan empat karakter PAR yang membedakannya dengan riset konvensional, ialah: 1. Warga lokal terlibat sebagai peneliti. Yang seringkali terjadi ialah bahwa warga desa hanyalah menjadi obyek penelitian, diperas segala informasi yang dimiliki melalui wawancara dengan kuesioner oleh enumerator yang berasal dari negeri antah berantah dan tidak dikenalnya. Padahal, warga lokal adalah pihak yang paling memahami mengenai dunia desanya sebagaimana adanya. 2. Situasi yang dihadapi adalah situasi dunia nyata, menyelami keseharian hidup masyarakat di tempat dimana mereka hidup dan mempertahankan hidup, bukannya riset eksperimen di laboratorium-laboratorium. 3. Masalah yang hendak dipecahkan adalah masalah-masalah riil yang terkait langsung dengan keseharian hidup masyarakat. 9
Bahan pelatihan Community Development yang diberikan untuk Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)‐IPB. Bogor. 2005
4. Riset berjalan siklis, diawali dengan identifikasi permasalahan, dilanjutkan dengan eksplorasi dan analisis data yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, dan informasi tersebut digunakan sebagai basis untuk melakukan aksi-aksi, dan hasil dari aksi tersebut ditelaah kembali melalui refleksi, sampai akhirnya hasil dari refleksi tersebut melahirkan identifikasi permasalahan baru. Satu faktor utama yang menjadi daya penggerak sehingga proses PAR berjalan secara siklis adalah ”local needs”, karena kebutuhan untuk mengenali dan memecahkan masalah lokal adalah kebutuhan setempat, dan bukannya kebutuhan peneliti dari luar. Riset konvensional seringkali berhenti pada titik ”exploring and analyzing data”, dan setelah kesimpulan dihasilkan maka sang peneliti akan mencari judul penelitian lain tanpa memiliki insentif apapun terhadap segala bentuk implikasi dari hasil penelitiannya tersebut. Sedangkan di dalam PAR, mengingat permasalahan yang hendak dipecahkan adalah permasalahan yang menyangkut keseharian hidup mereka, mengingat aksi yang dilakukan berbasis riset tersebut adalah aksi yang langsung berimplikasi terhadap hidup mereka, maka insentif untuk melakukan refleksi dan perumusan masalah-masalah baru menjadi nyata adanya. Memberikan pilihan jelas tidak sama dengan menentukan pilihan. Kritikan pedas dan tajam yang seringkali kita lontarkan kepada gaya Orde Baru bahwa pemerintah pusatlah (atau birokrat, atau teknokrat) yang membatasi dan menentukan pilihan yang harus diambil oleh seluruh masyarakat Indonesia dikarenakan pemerintah tersebut tidak cukup berani untuk memberikan pilihan-pilihan baru, dan tidak cukup sabar dalam membangun kapasitas untuk memilih. Semoga kita sebagai praktisi Community Development dapat menjadi cukup berani dan sabar dalam memberikan pilihan, atau kritikan pedas dan tajam tersebut akan menyerang balik kepada para pelontar kritik tersebut sebelumnya. Sekian.
10