TELAAH HUKUM ATAS KETENTUAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM UUPT (Sebuah Kajian dari Perspektif Etika Bisnis ke Pertanggungjawaban Hukum) Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Abstract Corporate Social Responsibility (CSR) which is regulated by the Act Number 40 Years 2007, has been transformed CSR from company responsibility to liability company, particularly in field of mining industries. Therefore, since the new liability limited company regulation is announced, CSR was not moral responsibility anymore, but has already become legal responsibility while against it. Key words : Company, liability, responsibility. A. PENGANTAR Seiring dengan perkembangan dunia usaha pada dekade belakangan ini, maka pemerintah bersama-sama dengan DPR RI melakukan revisi atau penyempurnaan terhadap UU PT No. 1/1995 agar dunia usaha dapat berkembang sesuai dengan kondisi yang ada dan juga tetap memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan sekitarnya. Dalam Undang-Undang PT No. 40/2007 yang baru telah diakomodasikan berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Salah satu concern yang dilakukan dalam penyempurnaan UU PT adalah mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi Perseroan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dimana praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), tidak lagi memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial dan lingkungan sekitarnya. Perusahaan tersebut selama ini dianggap sebagai biang kerok rusaknya lingkungan, pengeksploitasi sumber daya alam, karena hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperdulikan kondisi sosial dan lingkungan sekitarnya. Pengaturan bagi perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) yang diatur dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukanlah bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, maka kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut harus dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dan dalam hal Perseroan tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, maka Perseroan yang bersangkutan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban melaksanakan tanggung Jawab Sosial dan pelaporan saja tidaklah cukup untuk tercapainya akuntabilitas serta terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, oleh sebab itu kewajiban pelaksanaan dan pelaporan tersebut perlu didukung dan didasari oleh pemikiran reflektif mengenai CSR tersebut. Perusahaan sebagai subyek hukum atau pelaku kegiatan bisnis harus memperhatikan apa yang disebut dengan etika bisnis yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Sesungguhnya dalam UU Perseroan Terbatas, nafas atau semangat dari etika bisnis ini secara samar namun melekat, telah tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Nafas etika bisnis ini sudah menjalar dalam UU Perseroan Terbatas, yakni perseroan seyogianya menjalin hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Di sini tergambarkan bahwa perseroan selain melakukan kegiatan yang bertujuan laba, perseroan juga harus dijiwai dengan nilai-nilai etis yang sesuai dengan masyarakat dalam menjalin hubungan dengan pihak dan aspek lain selain dunia bisnis. Untuk itu semua, maka dalam makalah ini CSR akan ditinjau dari perspektif Etika Bisnis. Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu topik etika bisnis yang banyak dibicarakan. Topik ini menarik, karena menimbulkan perdebatan yang sera baik pada tingkat filosofis-teoretis maupun pada tingkat praktis. Antara lain dipersoalkan dan diperdebatkan mengenai apakah memang perusahaan punya tanggung jawab sosial dan apa sesunggulinya tanggung-jawab sosial perusahaan itu? Kalaupun ada, manakah lingkup tanggung jawab itu? Makalah ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Jawaban atas pertanyaanpertanyaan ini diharapkan bisa membuka perspektif bagi para pelaku bisnis khususnya perusahaan untuk berpikir secara lebih luas mengenai kegiatan bisnisnya dan kaitannya dengan hak dan kepentingan pihak-pihak lain. Dengan demikian diharapkan kegiatan bisnis mereka dapat utenampilkan wajah yang lain, yang lebih manusiawi, yang lebih etis, yang lebih ramah lingkungan dengan memperhatikan hak dan kepentingan pihak lain. Pada akhirnya, akan terbentuk sebuah wawasan baru bahwa bisnis itu bukan sebuah binatang Was yang perlu dijauhi, melainkan adalah bagian dari kehidupan kita dan sekaligus sangat peduli pada kepentingan banyak orang lain dan bukan hanya untuk keuntungan para pelaku bisnis semata. Bersamaan dengan itu, akan tercipta sebuah wawasan yang baru bahwa bisnis bukan sebuah pekerjaan yang kotor, penuh intrik, penuh tipu daya, egoistis, melainkan adalah sebuah profesi yang membanggakan dan didambakan begitu banyak orang. Hukum dalam konteks perseroan memiliki peranan yang panting tidak hanya terhadap pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders) dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial, selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur, Oleh karena itulah bagi perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, harus mematuhi hukum baik yang tertuang dalam UU yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup maupun ketentuan sebagaimana diatur dalam UU PT No. 4C/2007 sebagai wujud telah dilaksanakannya law enforcement. Untuk mewujudkan kepedulian sosial dan lingkungan, Perseroan tidak dapat berjalan dengan sepihak tanpa dukungan dan peran serta masyarakat sekitar. Oleh karena itu diperlukan hubungan kemitraan yang baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat
(living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibilit) didasarkan pada semua hubungan, tidak hanya dengan masyarakat tetapi juga dengan pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor. Selama ini CSR memang bersifat sukarela (voluntarily), maka wajar jika penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundangundangan dapat diberi sanksi. Untuk itu pula, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pertannggungjawaban hukum dari CSR dan apa saja ruang lingkupnya serta bagaimana peranan DPR. B. TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) Corporation atau korporasi, sebagaimana sudah dipakai dalam bahasa Indonesia, dimengerti sebagai perusahaan, khususnya perusahaan besar. Korporasi, yang dalam bahasa Inggris disebut corporation, dalam bahasa Belanda disebut corporatie, dan dalam bahasa Jerman disebut Korporation, secara etimologis berasal dari kata corporatio (Sutan Renny Syahdeni, 2006: 41-43) berasal dari bahasa Latin (corpus/corpora = badan) dan sebetulnya berarti “yang dijadikan suatu badan” (bandingkan: incorporated). Jika kita menelusuri perkembangan istilah ini, pada mulanya “korporasi” justru tidak menunjukkan organisasi yang mencari untung. Istilah yang berasal dari hukum Kekaisaran Roma ini, pada zaman pramodern di Eropa masih secara eksklusif dipakai untuk menunjukkan badan hukum yang didirikan demi kepentingan umum. Hal yang sama pada mulanya berlaku juga di Amerika Serikat. Bahwa kini korporasi secara spontan dimengerti sebagai perusahaan, merupakan salah satu di antara sekian banyak bukti lain yang menunjukkan betapa pentingnya peranan bisnis dalam masyarakat kita. Tetapi, bagaimanapun perkembangan istilah ini, “korporasi” masih tetap berarti “badan hukum”. Dalam situasi kita sekarang, perbedaan Jurnal Hukum Supremasi. Vol. 1, No.2, April 2008-September 2008 yang paling mencolok adalah antara badan hukum for profit dan badan hukum not, for profit (K. Bertens, 2000: 289). Pengertian Korporasi (Corporation) menurut Black Law diartikan sebagai suatu artificial person atau legal entity yang diartikan sebagai Badan Hukum yang sengaja dibuat berdasarkan hukum yang berlaku dan merupakan sebuah asosiasi yang didirikan perorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai Badan Hukum. Sebuah Badan Hukum tidak menjadi mati sekalipun individu para pendiri maupun pemegang sahamnya meninggal dunia, badan hukum itu dapat terus berlangsung dan saham-saham yang dimiliki dapat diartikan. Istilah korporasi dimasyarakat biasa disebut orang untuk menunjuk badan usaha (Commercial entity) yang berbadan hukum (Corporate body/rechtspersoon), walaupun dalam dunia usaha masih terdapat badan-badan usaha yang didirikan tidak berbadan hukum, seperti badan usaha berbentuk Maatschap atau Persekutuan Perdata, Firma dan CV/Commanditaire Vennootschap (vide pasal 1618-1652 KUHPerdata dan pasal 18-22 KUHDagang), sementara itu badan usaha yang berbadan hukum selain Perseroan Terbatas (PT) yang sudah kita kenal, masih terdapat Badan Usaha lain yang berbentuk Badan Hukum seperti Badan Usaha Koperasi dan Yayasan, serta Badan-Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang berbentuk Pesero dan Perum, vide: UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; W No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; UU No.
16 Tahun 2001 Tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No.28 Tahun 2004 dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN (T. Gayus Lumbuun, 2007: 2). Corporate Social Responsibility (CSR) lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti perusakan lingkungan, eksploitasi somber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Kebanyakan perusahaan cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. CSR adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, masyarakat sekitar dan lingkungan, hahkan kompetitor dalam segala aspek operasional perusahaan. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya mengacu pada kenyataan, bahwa perusahaan adalah badan hukum yang dibentuk oleh manusia dan terdiri dari manusia. Ini menunjukkan bahwa sebagaimana halnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, demikian pula perusahaan (sebagai lembaga yang terdiri dari manusia-manusia) tidak bisa hidup, beroperasi, dan memperoleh keuntungan bisnis tanpa pihak lain. Ini menuntut agar perusahaan pun perlu dijalankan dengan tetap bersikap tanggap, peduli, dan bertanggung jawab atas hak dan kepentingan banyak pihak lainnya. Bahkan lebih dari itu, perusahaan, sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu pula ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat, sebagaimana halnya manusia pun, selain membutuhkan orang lain, juga ikut menyumbangkan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing demi kepentingan hidup bersama (A. Sonny Keraf, 1998: 122-123). Lebih lanjut menurut Bank Dunia, tanggung-jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan pekerja, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan. C. TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DITINJAU DARI PERSPEKTIF ETIKA BISNIS Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Suatu uraian sistematis tentang etika bisnis sebaiknya dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan cara kata seperti “etika” dan “etis” dipakai. Cara yang dipilih untuk menganalisis arti-arti “etika” adalah membedakan antara “etika sebagai praksis” dan “etika sebagai refleksi”. Etika sebagai praksis berarti nilai-nilai dan normanorma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Dapat dikatakan juga, etika sebagai praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas: apa yang harta dilakukan. tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, Etika sebagi refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah. Pemikiran ilmiah selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji dan yang tidak tahan uji, antara yang mempunyai dasar kukuh dan yang mempunyai dasar lemah. Pemikiran ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semrawut tetapi berjalan secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan sebelumnya. Akhirnya,
pemikiran ilmiah bersifat sistematis, artinya tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja tetapi menyoroti suatu bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif (K. Bertens, 2000: 32-33 dan O.P. Simorangkir, 1986: 9). “Etika” ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?”. Jadi, etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagian dan memuncak pada kebajikan. Pembedaan moral dan etika ini untuk lebih menajamkan refleksi hubungan moral dan hukum serta menempatkan posisi etika bisnis. Etika bisnis dapat dilihat sebagai suatu bidang peminatan dari etika terapan. Di Indonesia khususnya, studi tentang masalah etis dalam bidang ekonomi dan bisnis (Etika Bisnis) ditunjukkan dengan nama “Etika Bisnis”, sejalan dengan kebiasaan umum dalam kawasan berbahasa Inggris (business ethics). Tetapi dalam bahasa lain terdapat banyak variasi. Dalam bahasa Belanda pada umumnya dipakai nama bedrijfsethiek (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadangkadang dipakai corporate ethics (etika korporasi). Variasi lain adalah “etika ekonomis” atau “etika ekonomi” (jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen). Kemungkinan lain lagi adalah organization ethics (etika organisasi). Namun deinikian, pada dasarnya semua nama ini menunjuk kepada studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis, sebagaimana diupayakan dalam makalah ini (K. Bertens, 2000: 3436). Dalam Etika bisnis terdapat beberapa prinsip etika bisnis. Prinsip-prinsip etika bisnis yang berlaku di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat kita. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Karena itu menurut Sonny Keraf, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, di sini secara umum dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis tersebut, yaitu sebagai berikut: Prinsip pertama, prinsip otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Prinsip kedua, prinsip keadilan. Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggung-jawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalarn relasi eksternal perusahaan maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Jadi, prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, oleh karena itu dalam prinsip keadilan ini terkandung di dalamnya sikap untuk bertindak jujur, yang artinya memberikan sesuai dengan kenyataannya. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis, maka dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win situation. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa “tidak seorangpun akan melakukan kegiatan bisnis jika ia tahu bahwa ia akan rugi”. Prinsip ketiga, integritas moral. Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar dia perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Ada sebuah imperatif moral yang berlaku bagi dirinya sendiri dan perusahaannya untuk berbisnis sedemikian rupa agar tetap dipercaya, tetap paling unggul, tetap yang terbaik (A. Sonny Keraf, 1999: 7381).
Perusahaan selama ini dianggap sebagai biang rusaknya lingkungan, pengeksploitasi sumber daya alam, hanya mementingkan keuntungan semata. Kebanyakan perusahaan selama ini melibatkan dan memberdayakan masyarakat hanya untuk mendapat simpati. Program yang mereka lakukan hanya sebatas pemberian sumbangan, santunan dan pernberian sembako. Dengan konsep seperti ini, kondisi masyarakat tidak akan berubah dari kondisi semula, tetap miskin dan termarginalkan. tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang berbeda dimana perusahaan tersebut secara sukarela menyumbangkan sesuatu demi masyarakat yang lebih baik dan lingkungan hidup yang lebih bersih. Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility) didasarkan pada semua hubungan, tidak hanya dengan masyarakat tetapi juga dengan pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor. Perusahaan sebagai salah satu pelaku dari kegiatan bisnis adalah sebuah badan hukum. Artinya, perusahaan dibentuk berdasarkan hukum tertentu dan disahkan dengan hukum atau aturan legal tertentu. Karena itu, keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Itu berarti perusahaan adalah bentukan manusia, yang eksistensinya diikat berdasarkan aturan hukum yang sah. Sebagai badan hukum, perusahaan mempunyai hak-hak legal tertentu sebagaimana dimiliki oleh manusia. Sejalan dengan itu, perusahaan juga mempunyai kewajiban legal untuk menghormati hak legal perusahaan lain: tidak boleh merampas hak perusahaan lain. Pada tingkat ini, sesungguhnya dalam arti tertentu perusahaan sama dengan manusia. Sama seperti manusia, perusahaan pun punya hak dan kewajiban legal. Namun, apakah itu berarti perusahaan juga punya kewajiban sosial, dan bersamaan dengan itu tanggung jawab sosial? Bagaimanapun, perusahaan bukanlah manusia yang mempunyai akal budi dan kemauan bebas. Perusahaan hanyalah badan hukum, dan bukan pribadi. Sebagai hadan hukum perusahaan mempunyai hak dan kewajiban legal, tapi tidak dengan sendirinya berarti perusahaan juga mempunyai hak dan kewajiban sosial. Berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan memang punya tanggung jawab, tetapi hanya terbatas pada tanggung jawab legal, yaitu tanggung jawab memenuhi aturan hukum yang ada. Hanya ini tanggung jawab perusahaan, karena perusahaan memang dibangun atas dasar hukum untuk kepentingan pendiri dan bukan untuk pertama-tama melayani masyarakat. Secara lebih tegas itu berarti, berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan di atas, jelas bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab sosial. Tidak dapat disangkal, paling tidak menurut Sonny Keraf sebagaimana akan kita lihat di bawah ini, bahwa keuntungan ekonomi merupakan salah satu lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Akan tetapi, tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya mencakup keuntungan ekonomis. Kalau ini terjadi, ada bahaya bahwa demi keuntungan apa pun bisa dilakukan, karena keuntungan sebagai tujuan membenarkan apa pun yang dilakukan suatu perusahaan. Lebih dari itu, tidak sepenuhnya benar kalau dikatakan bahwa karena perusahaan hanyalah badan hukum dan bukan pribadi sosial, maka perusahaan tidak punya tanggung jawab sosial. Lebih lanjut menurutnya, tidak benar bahwa perusahaan hanya punya tanggung jawab legal. Hal ini disebabkan karena dalam arti tertentu perusahaan adalah pribadi attifisial (arti tertentu, misalnya menurut UUPT perseroan adalah yang didirikan oleh dua orang atau lebih). Perusahaan adalah lembaga atau organisasi manusia yang kegiatannya diputuskan, direncanakan, dan dijalankan oleh manusia. Jadi perusahaan sebagai badan hukum, tidak menjalankan tugasnya sendiri oleh perusahaan itu tanpa adanya orang yang menyelenggarakan. Karena itu, dalam berbicara mengenai perusahaan dan aktivitasnya, yang terbayangkan adalah manusia-manusia dengan
aktivitasnya. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa kendati perusahaan bukanlah pribadi sosial dalam arti sepenuh-penuhnya, ia tetap merupakan pribadi sosial artifisial. Tidak bisa disangkal bahwa kegiatan bisnis perusahaan adalah kegiatan yang didasarkan pada perencanaan, keputusan yang rasional, bebas, dan atas dasar kemauan yang diambil oleh staf manajemen. Karena itu, sesungguhnya sampai tingkat tertentu, paling kurang secara analog, perusahaan sesungguhnya punya suara hati dan sebagai pula mahkluk sosial. Artinya, ada kelompok orang-orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala kegiatan bisnis suatu perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan benar dari segala aspek: bisnis, keuntungan (jangka pendek dan jangka panjang), hukum, dan selalu berinteraksi dengan sesamanya, perusahaan lain maupun masyarakat. Mereka adalah suara batin (inner-self) perusahaan. Karena itu, perusahaan tetap mempunyai tanggung jawab sosial (A. Sonny Keraf, 1998: 113121). Berdasarkan argumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun perusahaan tetap punya tanggung jawab sosial. Pada tingkat operasional, tanggung jawab sosial ini diwakili secara formal oleh staf manajemen. Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada di tangan para manajer, maka pada tempatnya tanggung jawab sosial perusahaan juga dipikul mereka. Ini bukan soal melemparkan tanggung jawab, justru sebaliknya adalah konsekuensi logis dari pelimpahan seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan pada para manajer. Karena mereka telah menerima kepercayaan untuk menjalankan perusahaan itu, make mereka jugalah yang memikul tanggung jawab sosial perusahaan itu. Bahkan, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial perusahaan ini. Seluruh karyawan, dengan satu dan lain cara, dengan tingkat dan kadar yang beragam, memikul tanggung jawab sosial dari perusahaan di mana mereka bekerja. Selama mereka menjalankan pekerjaan dan kegiatan bisnis apa pun sebagai karyawan perusahaan yang bersangkutan, mereka tetap dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial atas nama perusahaan mereka. Maka, ketika mereka tampil dalam menjalin kegiatan bisnis dengan pihak lain, mereka diharapkan untuk memperlihatkan tanggung jawab sosial perusahaannya. Melalui karyawan-karyawan inilah tanggung jawab sosial perusahaan menemukan bentuk dan manifestasinya yang paling konkret dan transparan. Jika diterima bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial, pertanyaan menarik yang perlu dijawab selanjutnya adalah apa sesungguhnya tanggung jawab sosial perusahaan itu. Apa saja yang termasuk dalam apa yang kita kenal sebagai tanggung jawab sosial perusahaan? Dengan kata lain, manakah lingkup dari tanggung jawab sosial suatu perusahaan itu? Jawaban dari apa sesungguhnya tanggung jawab sosial perusahaan itu harus dikatakan bahwa tanggung jawab sosial menunjuk pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas dari pada sekadar terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan dapat dikatakan bahwa kendati secara hukum adalah boleh bahwa perusahaan mengejar keuntungan, tidak dengan sendirinya perusahaan dibenarkan untuk mencapai keuntungan itu dengan mengorbankan kepentingan pihak-pihak lain. Artinya, keuntungan dalam bisnis tidak mesti dicapai dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat luas. Bahkan jangan hanya karena demi keuntungan, perusahaan bersikap arogan tidak peduli pada kepentingan pihak-pihak lain. Selain itu, walau secara hukum dibenarkan bahwa perusahaan memang punya tujuan utama mengejar keuntungan, keuntungan itu harus dicapai dengan tetap mengindahkan kepentingan banyak orang lain. Dengan demikian, dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan dapat diartikan bahwa suatu perusahaan secara moral bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya
yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi. Maka, secaraa contrario itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga tidak sampai merugikan pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Secara normatif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya akan dapat ikut menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Bahkan secara normatif perusahaan diwajibkan (Pasal 74 UUPT) untuk ikut melakukan kegiatan tertentu demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan sekitarnya. Dalam menjawab mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini, menurut Sonny Keraf paling tidak ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, yakni sebagai berikut (A. Sonny Keraf, 1998: 123-127): Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatankegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat. Kedua adalah keuntungan ekonomis. Latar belakangnya adalah paham moral yang bermula dari filsafat Stoa dan yang kemudian dianut oleh hampir semua filsuf Hukum Kodrat dan ekonom seperti Adam Smith, dan juga Milton Friedman, bahwa semua orang. punya tanggung jawab moral untuk mengejar dan mempertahankan kepentingan pribadinya (selfinterest). Hal ini berakar pada konsep moral bahwa semua manusia mempunyai hak atas hidup, dan bersamaan dengan itu tanggung jawab moral untuk menjaga dan mempertahankan hidup tersebut. Maka, secara moral adalah hal yang baik dan benar bahwa setiap orang harus berusaha untuk mempertahankan hidupnya serta kepentingan pribadinya yang akan sangat menunjang kehidupan pribadinya. Konsep ini kemudian diterapkan dalam bisnis, khususnya perusahaan, bahwa setiap pelaku bisnis dan juga perusahaan secara moral dibenarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya yang dalam bisnis dibaca sebagai keuntungan karena hanya dengan demikian ia dapat mempertahankan kelangsungan bisnis dan perusahaan itu serta semua orang yang terkait dengan bisnis dan perusahaan itu. Dalam kerangka inilah, keuntungan ekonomi dilihat sebagai sebuah lingkup tanggung jawab moral dan sosial yang sah dari suatu perusahaan. Artinya, perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial untuk mengejar keuntungan ekonomi karena hanya dengan itu perusahaan itu dapat dipertahankan dan juga hanya dengan itu semua karyawan dan semua pihak lain yang terkait bisa dipenuhi hak dan kepentingannya. Ketiga, memenuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, baik yang menyangkut kegiatan bisnis maupun yang menyangkut kehidupan sosial pada umumnya. Sebagai bagian integral dari masyarakat, perusahaan punya kewajiban dan juga kepentingan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan sosial. Tanpa ini kegiatan bisnis perusahaan tersebut pun tidak akan berjalan. Salah satu bentuk dan wujud paling konkret dari upaya menjaga ketertiban dan keteraturan sosial ini sebagai wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan adalah dengan mematuhi aturan hukum yang berlaku. Asumsinya, kalau perusahaan tidak mematuhi aturan hukum yang ada, sebagaimana halnya semua orang lainnya, maka ketertiban dan keteraturan masyarakat tidak akan terwujud. Hal yang sama secara khusus berlaku dalam kaitan dengan aturan bisnis. Perusahaan punya tanggung jawab sosial untuk menjaga agar bisnis berjalan secara baik dan teratur. Salah satu cara terbaik untuk itu adalah dengan mematuhi aturan hukum tentang bisnis yang ada (UU Perseroan Terbatas, UU Larangan Praktek Monopoli, UU
Perlindungan Konsumen, dsb) dan pemenuhan terhadap aturan hukum yang menyangkut kehidupan sosial pada umumnya ini misalnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup (UULH), kelestarian hutan (UU Kehutanan), kesejahteraan masyarakat sekitar (UU J,aminan Sosial), dan sebagainya. Keempat, hormat pada hak dan kepentingan stakeholders atau pihak-pihak terkait yang punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan. Bersama dengan ketiga lingkup di atas, lingkup ini memperlihatkan bahwa yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan adalah hal yang sangat konkret. Maka, kalau dikatakan bahwa suatu perusahaan punya tanggung jawab sosial, itu berarti perusahaan tersebut secara moral dituntut dan menuntut diri untuk bertanggung jawab atas hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang punya kepentingan. Artinya, dalam kegiatan bisnisnya suatu perusahaan perlu memperhatikan hak dan kepentingan pihak-pihak tersebut: konsumen, buruh, investor, kreditor, pemasok, penyalur, masyarakat setempat, pemerintah, dan bahkan kompetitornya. D. PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DARI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yaitu kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya (JS. Poerwadarminta, 1976: 1014). Dalam kamus hukum istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Pertanggungjawaban Hukum atau Liability merupakan istilah hukum yang luas (abroad legal term), yang di dalamnya antara lain mengandung makna bahwa, “It has been referred to as of the most comprehensive sigrifcance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent, or likely. It has been defined to mean: all character of debts and obligations” (liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban). Di samping itu, liability juga merupakan; “Condition of being actually or potentially subject to an obligation; condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden; condition which creates a duty to perform an act immediately or in the future,”. Kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang (Ridwan H.R., 2006: 334-335). Pertanggungjawaban Hukum atau Liability dari CSR sebagaimana diatur dalam pasal 74 UU PT yang baru, di undang-undang tersebut tidak dicantumkan secara eksplisit pertanggungjawaban hukum seperti apa yang akan dibebankan kepada perusahaan. Namun demikian, dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa perusahaan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait misalnya; KUH Perdata, UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, UU Pertambangan, dan sebagainya. Dari peraturan perundang-undangan tersebut pertanggungjawaban hukum dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) bidang hukum yaitu: Pertama, dilihat dari hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum dalam bidang hukum administrasi dari tanggungjawab sosial perusahaan dapat diberikan oleh badan atau pejabat pemerintah terhadap pelanggaran ketentuan
misalnya hukum lingkungan. Dalam Undang-undang Lingkungan Hidup mengatur penerapan 3 jenis sanksi Administrasi yaitu paksaan pemerintah, pembayaran sejumlah uang tertentu, dan pencabutan ijin usaha atau kegiatan. Kedua, dilihat dari hukum pidana, perumusan tindak pidana bagi perseroan khususnya dalam lingkup tindak pidana lingkungan terhadap pelanggaran bagi perusakan lingkungan yang diakibatkan dari suatu kegiatan perseroan adalah diatur dalani UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23/1997. Sanksi pidana bagi perseroan ini berupa denda. Ketiga, dilihat dari hukum perdata, pertanggungjawaban hukum perdata dari perseroan didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Dalam perbuatan melawan hukum terdapat unsurunsur yaitu; perbuatan tersebut melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Pertanggungjawaban hukum perdata dari perseroan ini berupa ganti kerugian. Agar suatu perseroan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum peidata maka unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum tadi harus dapat dibuktikan. Mengenai cara pembuktiannya perlu kejelasan pihak mana yang harus rnembuktikan kesalahan, apakah perseroan ataukah masyarakat sekitar. Dalam hukum posistif di Indonesia terdapat dua asas yang melandasi tentang siapa yang harus membuktikan kesalahan tersebut yaitu; Asas siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan sebagaimana diatur dalam pasal 1865 KUH Perdata dan Asas strict liability, yaitu beban pembuktian terbalik atau lawan dari Asas siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan. E. PERAN LEGISLATIF TERHADAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Percepatan bisnis oleh perusahaan tidak saja mendeskripsikan sebuah perjalanan yang mulus, tanpa resiko. Dampak negatif dari berdirinya sebuah perusahaan dirasakar saat perusahaan bukan hanya semakin kaya, tetapi juga semakin berkuasa, sementara jumlah penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan semakin banyak. Dalam hal ini, kemajuan perusahaan ternyata menyumbangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan. Pada sebuah sisi, perusahaan memang menstimulus perilaku sosial masyarakat dalarn kegiatan ekonomi. Tapi, pada sisi lain kehidupan masyarakat juga menjadi terkooptasi pada perilaku konsumerisme dan resiko lain dari kesalahan rancang bangun sebuah korporasi. Resiko pada masyarakat ini lah yang harus pula mendapatkan perhatian serius dalam sistem hukum yang dibangun bagi Perseroan Terbatas. Karena itu, merupakan hal yang logis secara hukum bila kita, selain memberikan peluang bagi tumbuh kembangnya korporasi, juga meminta pertanggungjawaban perusahaan sebagai Corporate Social Responsibility ( CSR ). Sesungguhnya tanggung jawab sosial perusahaan itu harus dikatakan bahwa tanggung jawab sosial yang merujuk pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada sekedar terhadap kepentingan perusahaan belaka. Wajar jika pada akhirnya masyarakat juga menuntut agar perusahaan menjadi good corporate citizen. Sikap saling mendukung dan saling berbagi antara perusahaan dan masyarakat, baik berbagi dalam profit maupun berbagi dalam resiko yang diarahkan pada sikap saling menghormati dan bertanggungjawab. DPR sebagai bagian dari representatif masyarakat tentunya sangat concern dan mendukung sepenuhnya, terhadap pengaturan tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang wajib
untuk dilaksanakan. Tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis penusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat sehingga perusahaan dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. F. CSR DAN ETIKA BISNIS Menurut perspektif etika bisnis, tanggung-jawab sosial perusahaan menunjuk pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas dari pada sekadar terhadap kepentingan perusahaan belaka. Konsep tanggung-jawab sosial perusahaan dapat dikatakan bahwa kendati secara hukum adalah boleh bahwa perusahaan mengejar keuntungan, tidak dengan sendirinya perusahaan dibenarkan untuk mencapai keuntungan itu dengan mengorbankan kepentingan pihak-pihak lain. Dengan demikian, konsep tanggung jawab sosial perusahaan itu adalah bahwa suatu perusahaan secara moral bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi, yang secara a contrario itu berarti suatu perusahaan seyogianya menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga tidak sampai merugikan pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Bahkan secara Yuridis Normatif perusahaan diwajibkan (Pasal 74 UUPT) untuk ikut melakukan kegiatan tertentu demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan sekitarnya. Ruang lingkup dari tanggung-jawab Sosial Perusahaan menurut perspektif Etika Bisnis terdiri dari empat bidang, yaitu: Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas; Kedua adalah keuntungan ekonomis; Ketiga, memenuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, baik yang menyangkut kegiatan bisnis maupun yang menyangkut kehidupan sosial pada umumnya; Keempat, hormat pada hak dan kepentingan stakeholders atau pihakpihak terkait yang punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan. G. PENUTUP Pertanggungjawaban Hukum atau Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban, yaitu kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undangundang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Pertanggungjawaban Hukum atau Liability ini memiliki ruang lingkup atau dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) bidang hukum yaitu; Pertama Hukum Administrasi, Kedua Hukum Pidana, Ketiga Hukum Perdata. DPR sebagai bagian Dari repesentatif masyarakat tentunya sangat concern dan mendukung sepenuhnya terhadap pengaturan tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang wajib untuk dilaksanakan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggung jawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat sehingga perusahaan dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha ekplorasi alam (tambang,
minyak, hutan). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya. Sedangkan jenis perusahaan lainnya walaupun tidak diwajibkan malaksanakan fungsi tanggungjawab sosial, namun dapat melaksanakan tanggungjawab sosial tersebut secara sukarela. H. DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), Kanisius, Yogyakarta, 1998; ___________, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogyakarta, 1997; ___________, Pasar Bebas Keadilan & Peran Pemerintah (Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith), Kanisius, Yogyakarta, 1996; B. Arief Sidharta, Teori Murni Tentang Hukum dalam “Filsafat Hukum (Mazhab dan Refleksinya)” disunting oleh: Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Remadja Karya, Bandung, 1989; Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003; ____________, Etika Dasar Kanisius, Yoyakarta, 1987; H. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004; Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, dan kekuasaan Kompas, Jakarta, 2003; Hans Kelsen, Teori Hukum Murni diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien, Nusamedia & Nuansa, Bandung, 2006; Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1996; Johannes Gunawan, Kontroversi Strict Liability dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Oratio Dies, Disampaikan dalam Upacara Dies Natalis ke 45 (Lustrum IX) FH UNPAR, Bandung, 13 September 2003, K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yoyakarta, 2000; O.P. Simorangkir, Etika Bisnis, Aksara Persada, Jakarta, 1986; Purwahid Patrik, Perkembangan Tanggung Gugat Resiko Dalam Perbuatan Melawan Hukum dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang” disunting oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995; Soerjono Soekanto, Teori yang Murni Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1985; Sondang P. Siagian, Etika Bisnis, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1996; Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006;
T. Gayus Lumbuun, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Hukum Korporasi (Telaah UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas), Fakultas Universitas Sahid Jakarta, Jurnal Hukum Supremasi Vol. 1 No. 1 Oktober 2007-Maret 2008. Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Badan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003; Virginia Held, Etika Moral diterjemahkan oleh: Y. Ardi Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989.