Jurnal Keuangan dan Bisnis Vol. 5, No. 2, Juli 2013
ETIKA BISNIS PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT MELALUI IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Alda Kartika (
[email protected]) Staf Bagian Pemasaran PTPN II ABSTRACT Along with the rapid development of the business sector as a result of economic liberalization, various private sector, community organizations, and education seeks to formulate and promote social responsibility of the business sector in relation to society and the environment. But this time the change is sweeping the world so that the business community is also being squeezed by a variety of pressures, ranging from the need to improve competitiveness, the demand for implementing corporate governance, stakeholder interests until the problem is increasing. Therefore, businesses need to look for patterns of partnership with all stakeholders in order to participate in development, while improving its performance in order to still be able to survive and even grow into a company that can compete. Such efforts can be generally referred to as corporate social responsibility or corporate citizenship and is intended to encourage businesses more ethical in carrying out its activities in order to have no effect or a negative impact on the community and environment, so that eventually the business will be able to survive in a sustainable manner. Without exception in the palm oil industry, environmental issues become topical issues such as deforestation, biodiversity and climate change. Good Corporate Governance (GCG) has become a corporate necessity. If not implemented, the company will have difficulty because of the orientation of the company in the future is stakeholder oriented. Businesses are only required to obtain benefits from its field, but they are also required to implement Corporate Social Responsibility (CSR). Many palm oil companies still consider the environmental aspects of doing business with a member of the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and Indonesia on Sustainable Palm Oil (ISPO). Necessary operational steps are clear and the policy response to deal decisively negative campaign stating that the environmental damage of oil palm development and social conflict without looking at the role of palm oil economy, especially in poverty reduction. Keywords : Business Ethics, Good Corporate Governance, Corporate Social Responsibility
hampir 3 juta orang di Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit (Teoh, 2010).
PENDAHULUAN Industri kelapa sawit berpotensi menghasilkan perkembangan ekonomi dan sosial yang signifikan di Indonesia. Kelapa sawit merupakan produk pertanian paling sukses kedua di Indonesia setelah padi, dan merupakan ekspor pertanian terbesar. Industri ini menjadi sarana meraih nafkah dan perkembangan ekonomi bagi sejumlah besar masyarakat miskin di pedesaan Indonesia. Berdasarkan perkiraan, terdapat
Sejarah, potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit mengindikasikan bahwa kelapa sawit masih mempunyai prospek positif ke depan, khususnya terkait dengan nilai tambah dan daya saing, dalam rangka pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan. Namun, kelapa sawit juga menghadapi berbagai masalah/kendala terkait dengan 119
119 - 129
Jurnal Keuangan & Bisnis
teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Masalah-masalah tersebut perlu di atasi supaya tidak mendistorsi daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar (Bappenas, 2010).
Juli
memperhatikan prinsip-prinsip etika bisnis dengan melakukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).
World Growth (2011) melaporkan bahwa industri kelapa sawit Indonesia mendapat kecaman dari sejumlah LSM yang berkampanye menentang industri ini karena dianggap bertanggung jawab atas penggundulan hutan, emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati. Akibatnya, muncul keluhan yang meluas bahwa industri minyak sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan.
PEMBANGUNAN INDUSTRI KELAPA SAWIT Dibandingkan dengan komoditi lainnya pada sub sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju 11 persen per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9,4 persen per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masingmasing 10 persen dan 13 persen per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 120 ribu ha menjadi 5.160 ribu ha pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 telah mencapai 6.046 ribu ha (Dirjenbun dan PPKS dalam Deptan, 2007).
Saat ini Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di dunia yang mengeluarkan emisi gas-gas rumah kaca yang membahayakan iklim dimana 85 persen dari gas-gas tersebut dihasilkan akibat penggarapan lahan yang sebagian besar dilakukan dengan penebangan hutan hujan tropis dan perusakan tanah gambut (Greenpeace, 2010a). Selain itu banyak habitat tumbuh-tumbuhan dan hewan langka yang ikut punah karena tidak dapat bertahan dalam lingkungan monokultur perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, pembangunan industri kelapa sawit bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri atas Perkebunan Besar Negara (PBN), namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294.000 ha dan pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7,32 juta ha dimana 47,81% dimiliki oleh PBS, 43,76% dimiliki
Perusahaan memainkan peranan penting dalam memberikan kontribusi pengembangan perekonomian melalui kegiatan produksi barang atau jasa dengan
120
2013
Alda Kartika
oleh PR, dan 8,43% dimiliki oleh PBN (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).
Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80% total produksi. India adalah negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia, yaitu 33% dari total ekspor kelapa sawit, kemudian diikuti oleh Cina sebesar 13%, dan Belanda 9% (Oil World, 2010).
Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan jumlah produksi diperkirakan sebesar 20,6 juta ton minyak sawit, kemudiandiikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton.
Sumber: Hambali, 2009
Gambar 1. Klaster Industri Kelapa Sawit Industri kelapa sawit merupakan kontributor yang signifikan bagi pendapatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Pada 2008, lebih dari 41 persen perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil, menghasilkan 6,6 juta ton minyak sawit depan (World Growth, 2011).
menentukan jumlah panen. Hasil panen minyak dari dua negara penanam kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia dan Indonesia masing-masing per tahun 4,1 ton / hektar dan 3,5 ton / hektar. Para ahli bahkan menaksir sampai 8 ton minyak per hektar (Teoh, 2010; USDA, 2009).
Menurut Arifin (2001) bahwa potensi sub ektor perkebunan untuk dijadikan andalan ekspor di masa mendatang sangat besar. Prasyarat yang diperlukan hanyalah perbaikan dan penyempurnaan iklim usaha dan struktur pasar komoditas perkebunan dari sektor hulu sampai hilir (Syahza, 2004).
Dengan demikian jumlah panennya jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil panen tumbuhan lain yang juga menghasilkan minyak. Berdasarkan perkiraan, pohon kelapa sawit ditanam hanya pada areal seluas 5 persen dari keseluruhan areal untuk tumbuhan penghasil minyak nabati lainnya, tetapi mampu menghasilkan produksi sejumlah 38 persen dari total panen minyak nabati di seluruh dunia (Nestlé, 2010).
Faktor-faktor seperti kualitas dan umur pohon kelapa sawit, perawatan perkebunan, ketersediaan pupuk danobat semprot sangat
121
119 - 129
Jurnal Keuangan & Bisnis
Data mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi, tergantung sumbernya. Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa Indonesia pada tahun 2009 telah menanam kelapa sawit
Juli
pada lahan seluas kira-kira 7,3 juta hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah bahkan memperhitungkan sampai 9,2 juta hektar (USDA, 2009; SPKS, 2010).
Sumber : Bappenas, 2010
Gambar 2. Industri Hilir dan Produk Samping
(2010) menyatakan bahwa masalah lingkungan terkait dengan usaha kelapa sawit diantaranya adalah masalah deforestasi, biodiversitas dan perubahan iklim. Beberapa waktu terakhir, proses alih fungsi hutan alam dan lahan gambut berkontribusi negatif berupa deforestasi, degradasi lahan gambut, degradasi sumber daya air, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Pembangunan kelapa sawit juga diklaim tidak sesuai dengan peraturan tata ruang; dan terdapat kebun kelapa sawit di kawasan dengan nilai konservasi tinggi.
PERMASALAHAN LINGKUNGAN di INDUSTRI KELAPA SAWIT Perkembangan masa depan industri kelapa sawit menjanjikan. Minyak sawit diperkirakan akan mampu memenuhi tuntutan pemenuhan kebutuhan global dan domestik, yaitu minyak sawit untuk pangan (food), makanan ternak (feed), bahan bakar nabati atau biodiesel (bio-fuel), dan serat (bio-fibre) atau 4-F. Tuntutan kebutuhan di atas muncul sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kenaikan konsumsi per kapita, pergeseran dari konsumsi minyak jenuh hewan, pergeseran penggunaan bahan bakar dari minyak fosil berlatar belakang tuntutan lingkungan, subtitusi pakan ternak dan serat. Namun isu-isu yang dilontarkan berbagai kalangan terutama pandangan berbagai LSM dalam hal lingkungan, Teoh
Pada tahun 2008 tercatat sekitar 1,5 juta petani kecil di Indonesia yang menanam kelapa sawit dalam lahannya yang rata-rata hanya seluas 2 hektar. Sebagai bandingan, besarnya lahan yang dimiliki para pengusaha besar perkebunan dapat mencapai lebih dari 200.000 hektar (World Bank, 2010; USDA, 2009). Sejumlah
122
2013
Alda Kartika
pemilik modal utama dari perusahaanperusahaan kelapa sawit tersebut terhitung sebagai orang-orang terkaya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebutlah yang merupakan motor dari semakin meluasnya lahan perkebunan di Indonesia (FoE & Walhi, 2009; Greenpeace, 2010).
nilai-nilai. Moralitas adalah suatu doktrin atau sistem perilaku moral. Perilaku moral mengacu pada yang berhubungan dengan prinsip-prinsip benar dan salah dalam perilaku. Buchholtz dan Rosenthal (1998) mengatakan bahwa etika bisnis berkaitan dengan menjelaskan, karakteristik, dan mempelajari moralitas suatu bangsa, budaya, atau masyarakat. Hal ini juga membandingkan dan kontras kode moral yang berbeda, sistem, praktik, keyakinan, dan nilai-nilai.
Sebenarnya hutan Indonesia dilindungi. Tetapi pemerintah mengizinkan penebangan hutan untuk keperluan perkebunan. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan besar dengan menebangi hutan, namun tidak membuka perkebunan. Diperkirakan hampir 12 juta hektar telah ditebang tanpa ditanami (World Bank, 2010). Selalu saja terjadi pelanggaran hukum di lokasi-lokasi perkebunan kelapa sawit. Dalam 25 tahun terakhir ini, propinsi Riau di Sumatra kehilangan areal hutannya sebesar 65 persen untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau perkebunan akasia. Penebangan hutan bahkan juga terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya termasuk dalam kawasan hutan lindung. Hal tersebut memunculkan isu negatif tentang pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Dalam bisnis orang dituntut berani bertaruh, mengambil resiko, berspekulasi, berani mengambil langkah-langkah strategis tertentu agar berhasil dalam bisnisnya. Sebab yang dipertaruhkan dalam bisnis tidak saja bagaimana mendapatkan uang dan barang material, tetapi dipertaruhkan pula harga diri pebisnis tersebut, menjaga nama baik, keluarga, hidup karyawannya dan masyarakat memiliki hak akan kehidupan sosial yang baik dan atas lingkungan hidup yang sehat. Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, terdapat 70 persen perkebunan kelapa sawit yang dibangun di atas areal hutan (4,2 juta hektar), 25 persen bahkan dibangun di atas lahan gambut (World Bank, 2010). Hanya sepertiga dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan lahan tandus atau lahan yang sebelumnya ditanami dengan dengan tumbuhan lain (UNEP, 2009). Pada tahuntahun terakhir, besarnya lahan gambut yang dipakai untuk perkebunan baru meningkat paling tidak menjadi 33 persen, di Riau, Sumatra bahkan mencapai 80 persen (Edwards et.al., 2010).
Dari hal tersebut, menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR). Pada dasarnya telah banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit tetap memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan usaha dan mereka menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Development. Langkah operasional yang diperlukan adalah respon kebijakan yang jelas dan tegas untuk menghadapi kampanye negatif yang menyatakan bahwa pembangunan kelapa sawit merusak lingkungan dan
ETIKA BISNIS DALAM INDUSTRI KELAPA SAWIT Etika bisnis menurut Caroll dan Buchholtz (2003) merupakan disiplin yang berhubungan dengan apa yang baik dan buruk dan dengan kewajiban moral dan kewajiban. Etika juga dapat dianggap sebagai seperangkat prinsip moral atau
123
119 - 129
Jurnal Keuangan & Bisnis
menimbulkan konflik sosial tanpa melihat peran ekonomi kelapa sawit, terutama dalam pengurangan kemiskinan.
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) Disamping perusahaan harus mempunyai rasa tanggung jawab sosial, dunia bisnis juga menuntut bagaimana cara perusahaan mengelola perusahaannya dengan baik sebagai perwujudan tuntutan global. Tata kelola (Corporate Governance) yang dilaksanakan dengan baik, maka akan tercipta manajemen perusahaan yang mampu menunjukkan kinerja yang baik. Penerapan dan pengelolaan corporate governance yang baik atau yang lebih dikenal dengan Good Corporate Governance bukan sebagai aksesoris belaka, tetapi sebagai upaya peningkatan kinerja dan nilai perusahaan (Tjager, 2003 dalam Darmawati, 2004).
Sawit Watch (2011) mengatakan bahwa RSPO mempunyai kode etik yang mengandung unsur (1) peningkatan peran dan komitmen; (2) transparansi, pelaporan dan klaim; (3) pelaksanaan; (4) penetapan harga dan insentif; and (5) pelanggaran atas tata tertib. Merupakan dasar untuk suatu integritas, kredibilitas dan kemajuan dari RSPO, setiap anggota memberikan dukungan, meningkatkan peran dan mengusahakan produksi, pemanfaatan dan penggunaan Minyak Sawit Berkelanjutan (Sustainable Palm Oil). Langkah lain yang sedang dirintis, yaitu penggunaan standar pembangunan kelapa sawit berkelanjutan perlu segera direalisasikan. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan petunjuk pelaksanaan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. ISPO ini dapat dijadikan alat promosi, advokasi dan kampanye publik untuk memperkuat posisi tawar kelapa sawit Indonesia. Seperti ditentukan dalam konsep, ISPO mensyaratkan 7 prinsip yang diturunkan tidak kurang dari 20 peraturan perundangundangan dalam penerapan pembangunan perkebunan kelapa sawit, yaitu: a. Sistem kebun
perizinan
dan
Perlunya tata kelola perusahaan untuk mengendalikan perilaku pengelola perusahaan agar dalam bertindak tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri tetapi juga menguntungkan pemilik perusahaan atau dengan kata lain menyamakan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan. Mekanisme corporate governance adalah syarat-syarat pelaksanaan sistem dalam suatu badan usaha di mana berbagai pihak yangberkepentingan terhadap badan usaha tersebut dapat memastikan bahwa pihak manajerdan pihak internal badan usaha lainnya dapat memenuhi kepentingan stakeholder (Sanda et.al., 2005).Tata kelola perusahaan harus dilihat sebagai suatu cara yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan posisi perusahaan dalam bersaing untuk jangka panjang (Julien dan Rieger, 2003).
manajemen
b. Penerapan pedoman teknis sistem budidaya dan pengolahan kelapa sawit c. Pengelolaan lingkungan
dan
Juli
pemantauan
Daily dan Dalton (2004) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu tata kelolaperusahaan yang didasarkan pada teori keagenan.Tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi semua pihak berkepentingan (stakeholders). Selanjutnya Black et.al. (2003) menjelaskan bahwa hubungan praktik corporate governance dengan nilai perusahaan adalah signalling dan endogenity.
d. Tanggung jawab terhadap pekerja e. Tanggung jawab terhadap individu dan komunitas (masyrarakat sekitar perkebunan kelapa sawit) f.
Pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat g. Komitmen terhadap perbaikan ekonomi secara terus menerus
124
2013
Alda Kartika
Pada dasarnya CSR mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance), yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, taat hukum, dan partisipasi masyarakat. Seperti sudah dikemukakan di atas, prinsip-prinsip tata kelola yang baik tidak hanya berlaku bagi perusahaan namun bagi semua pihak. Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dituntut selalu mengambil keputusan berdasarkan asas kepatuhan. GCG telah menjadi kebutuhan perusahaan. Kalau tidak diterapkan maka perusahaan akan mengalami kesulitan karena orientasi perusahaan di masa mendatang sudah stakeholder oriented. Artinya, berorientasi pada banyak stakeholder dan bukan pemegang saham saja. Sebab, menjalankan perusahaan itu juga memperhatikan bagaimana lingkungan, masyarakat, dan pemerintah.
yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Di tingkat nasional, UU No. 40 Tahun 2007 telah mengubah CSR menjadi sebuah tanggung jawab yang bersifat wajib yang mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumberdaya alam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, termasuk melaporkan program CSR tersebut dalam laporan tahunan (Darwin and Guntensperger, 2007 ; Radyati, 2008). Damiri (2008) menyatakan CSR yang efektif memerlukan peran civil society yang aktif. Setidaknya, terdapat tiga wilayah di mana masyarakat dapat menunjukkan perannya. Ketiga wilayah itu adalah :
Ciputra (2012) mengatakan bahwa GCG sendiri dibagi dalam tiga fase. Fase pertama itu biasanya dimulai dengan komitmen untuk melaksanakan prinsipprinsip dasar GCG, di antaranya transparansi, akuntabilitas, responsibility, independensi, dan awareness. Pada fase ini, di antaranya ada internal control yang baik dan risk management. Pada fase kedua ini lebih fokus pada perusahaan itu sendiri dengan membangun sistem yang memastikan bahwa apa yang direncanakan perusahaan itu. Sedangkan pada fase ketiga mengarah pada bisnis secara etika. Selanjutnya Ciputra (2012) mengatakan bahwa pada tahap ini ada yang namanya maximizing sustainable profit. Ketika menerapkan GCG, maka dalam mengejar profit perusahaan tidak hanya mencari nilainya, tapi juga caranya. Orientasi bukan hanya pada pemegang saham, tapi seluruh stakeholder. Berupaya untuk berbisnis secara beretika tanpa harus melanggar UU, moral, etika, dan sebagainya. CORPORATE RESPONSIBILITY (CSR)
a.
Kampanye melawan perusahaan yang melakukan praktik bisnis tidak sejalan dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi.
b.
Mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun institusi yang terkait dengan CSR.
c.
Mengembangkan inisiatif multistakeholder yang melibatkan berbagai elemen dari masyarakat, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan meningkatkan kualitas penerapan CSR
Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah tanggung jawab moral suatu orgnisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari operasi perusahaan (Nursahid, 2006).
SOCIAL
Menurut Widjaja dan Yeremia (2008), CSR adalah suatu komitmen bersama dari seluruh stakeholder perusahaan (para pihak) untuk bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek
125
119 - 129
Jurnal Keuangan & Bisnis
CSR bukan merupakan kegiatan sumbangan (charity-philanthropy) dari salah satu atau lebih stakeholder perusahaan, justru keterlibatan langsung dan kontinuitas kegiatan inilah yang menjadi ciri khas dari CSR.
Juli
kriteria dan prinsip yang telah ditentukan. Tujuan utama dari RSPO adalah untuk meningkatkan performa lingkungan dan citra perusahaan dalam industri kelapa sawit (Koh dan Butler, 2010).
Sedangkan menurut Robbins dan Coulter (2004) tanggung jawab perusahaan adalah kewajiban perusahaan bisnis yang dituntut oleh hukum dan pertimbangan ekonomi, untuk mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat. Menurut Monk dan Minow (2004), bahwa korporasi harus bertanggung jawab secara sosial atas perilaku organisasinya dan harus dimintai pertanggung jawaban atas akibat dari setiap tindakan perusahaan. Selanjutnya dikatakannya bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) mengharuskan setiap bisnis untuk secara serius mempertimbangkan dampak dari kegiatan bisnisnya bagi masyarakat.
SIMPULAN 1. Indonesia merupakan salah satu industri minyak sawit terbesar di dunia dengan kontribusi produksi yang paling tinggi nilainya dalam sektor ekspor pertanian selama dasawarsa terakhir yang berkontribusi dalam pembangunan nasional sebagai sumber daya penting melalui budidaya pertanian dan pemrosesan selanjutnya dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sebagai sumber pendapatan untuk pengentasan kemiskinan. 2. Industri kelapa sawit selalu dihadapkan kepada isu-isu lingkungan yang menganggap bahwa industri ini tidak menjalankan prinsip-prinsip etika bisnis dan bertanggung jawab atas penggundulan hutan, emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati sehingga industri kelapa sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan.
Hal itu sejalan dengan yang dikatakan (Erni, 2007 dalam Sutopoyudo, 2009) bahwa penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan. Menurut Darwin (2004) dalam Rakhiemah dan Agustia (2009) perusahaan dapat memperoleh banyak manfaat dari praktik dan pengungkapan CSR apabila dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, diantaranya: dapat mempererat komunikasi dengan stakeholders, meluruskan visi, misi, dan prinsip perusahaan terkait dengan praktik dan aktivitas bisnis internal perusahaan, mendorongperbaikan perusahaan secara berkesinambungan sebagai wujud manajemen risiko dan untuk melindungi reputasi, serta untuk meraih competitive advantage dalam hal modal, tenaga kerja, supplier, dan pangsa pasar.
3. Mengacu kepada Pasal 5 UndangUndang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 74 kewajiban perusahaan untuk melakukan CSR dalam UU, jelas sudah bahwa industri kelapa sawit sudah menjalankan prinsip-prinsip etika bisnis.
Dengan demikian RSPO yang didirikan di tahun 2004 sebagai wujud dari CSR bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan merupakan generatif dari etika bisnis dalam usaha untuk meningkatkan praktek pengelolaan perkebunan oleh sekelompok lembaga swadaya masyarakat, produsen dan penjual kelapa sawit. RSPO memberikan penghargaan berupa sertifikat pada perusahaan yang memproduksi minyak kelapa sesuai dengan beberapa
4. Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip etika bisnis yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan pada industri kelapa sawit yang berkelanjutan diatur di dalam RSPO dan ISPO.
126
2013
Alda Kartika
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2009). Statistik Perkebunan: Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Arifin. B. (2001). Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Departemen Pertanian. (2007). Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2010). Kebijakan dan Strategi Dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan. Naskah Kebijakan (Policy Paper).
Edwards, Robert, Mulligan, D and Marelli, L. (2010). Indirect Land Use Change from Increased Biofuels Demand. European Commision Joint Research Centre Institute for Energy. EUR 244845 EN. ISBN 978-92-79-16391-3. ISSN 10185593. DOI 102788/54137. Luxembourg : Publication Office of the European Union. www.jrc.ec.europa.eu. FoE & Walhi. (2009). Failing Governance – Avoiding Responsibilities. European Oil Policies and Oil Palm Plantation Expantion in Ketapang District, West Kalimantan (Indonesia). A Joined Publication of Mileudefensie (Friends of The Earth Netherland) and Walhi Kalbar (Friends of The Earth Indonesia, West Kalimantan). www.mileudefensie.nl.
Black, Bernard S H. Jang dan W Kim. (2003). Does Corporate Governance affect Firm Value Evidence from Korea. Finance Working Paper No. 103/2005. http://www.ssrn.com. Buchholtz, R. A and Rosenthal, S. B. (1998). Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall. Caroll and Buchholtz, R. A. (2003). Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall. C.T.: Greenwood Press. Ciputra. (2012). Pentingnya GCG dalam Perusahaan. http://ciputraentrepreneurship.com. Daily, Catherine M., dan R. Dalton. (2004). Bankruptcy and Corporate Governance : The Impact of Board Composition and Structure. The Academy of Management Journal. December, Vol. 37(6).
Greenpeace International. (2010). How Sinar Mas is Pulping The Planet. Pulp and Paper. Copyright © 2012 Synchronicity Earth.htm.
Damiri,
M.A. (2008). Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. http://www.madaniri.com. Darmawati, D. (2004). Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VII, Denpasar. Darwin, A. dan Guntensperger, P. (2007). Mandatory CSR: Waiting for The Details. Jakarta Post, 21 November 2007, Jakarta, Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2004). Statistik Perkebunan Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Greenpeace International. (2010a). Protection Money. Copyright © 2012 Synchronicity Earth.htm. Julien, Rick and Rieger, Larry. (2003). Seven Component of Good Corporate Governance. The Corporate Board. Corporate Board; Jul/Aug2003, Vol. 24 Issue 141, p6, Trade Publication, Article. Koh, Lian Pin and Butler, A. Rhett. (2010). REDD Mungkin Tidak Dapat Memberikan Insentif Yang Cukup Bagi Pengembang Dibandingkan Dengan Minyak Kelapa. www.indonesia.mongabay.com.
127
119 - 129
Jurnal Keuangan & Bisnis
Monk, R.A.G. & Minow, N. (2004). Corporate Governance. 3rd edition. Oxford : Blakcwell Publishing, Ltd.
Juli
African Economic Research Consortium, Nairobi, Maret 2005, Department of Economics, UsmanuDanfodiyo University, Sokoto, Nigeria.
Nestlé. (2010). Oil usage for biofuel production. Rhett A. Butler, mongabay.com. March 26, 2010. Nestle's palm oil debacle highlights current limitations of certification scheme. http://news.mongabay.com/2010/03 25-palm_oil_rspo.html.
Sawit Watch. (2011). Memahami RSPO : Pilihan Pendekatan Advokasi Hak Petani, Buruh, Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Terkena Dampak Industri Sawit di Indonesia. Sawit Watch : Perumahan Bogor Baru Block C1 No 10. Bogor. Jawa Barat. 16127 Indonesia. Phone:+62(251) 8352171 Fax: +62(251) 8352047. www.sawitwatch.or.id. Twitter@sawitwatch.
Nursahid, F. (2006). Praktik Kedermawanan Sosial BUMN : Analisis Terhadap Model Kedermawanan PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina dan PT. Telekomunikasi Indonesia. Jurnal Filontropi dan Masyarakat Madani. Jurnal Galang, Vol. 1 No. 2 Januari 2006 . Depok : PIRAC. Oil World. (2009). Oil World Annual 2009. ISTA Mielke GmbH Langenberg 25. 21077. Hamburg/ Germany Phone: +49-(0)40-7610500. e-Mail:
[email protected]. Radyati. (2008). Pedoman CSR Bidang Lingkungan. CECT (Centre Entrepreneurship, Change and Third Sector) Universitas Trisakti. Anggota Tim Penyusun Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat.
SPKS
(Serikat Petani Kelapa Sawit Sanggau). (2010). Fulfill Companies’ Commitment to Respect Human Rights and Best Practices for Indigenuous Peoples, Farmers and Labourers. Published by Brot fur die Welt, Stafflenbergstrabe 76, 70184 Stuttgart and Vereinte Evangelische Mission, Rudolfstr. 137, 42285 Wuppertae. Art. Nr. : 12950057001/2011.
[email protected]. Sutopoyudo. (2009). Pengaruh Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Profitabilitas Perusahaan. Sutopoyudo’s Weblog at http://www.wordpress.com. Diakses tanggal 30 Oktober 2009.
Rakhiemah, A. N. dan Agustia, D. (2009). Pengaruh Kinerja Lingkungan terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure dan Kinerja Finansial Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Robbins, S. P dan M. Coulter. (2004). Manajemen. Hermaya dan Selamet (penerjemah). Jakarta : Indeks Group Gramedia.
Syahza, Almasdi. (2004). Ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Riau. Jurnal. Website : http://almasdi.unri.ac.id. Teoh,
Cheng Hai. (2010). Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector. International Finance Corporation, World Bank Group. USDA (United States Department of Agriculture). (2009). Indonesia : Palm Oil Productions Growth to Continue.
Sanda, Ahmadu, Aminu S. Mikaliu, dan Tukur Garba. (2005). Corporate Governance Mechanism and Firm Financial Performance in Nigeria.
UNEP.
128
(2009). Towards Sustainable Production and Use of Resources : Assessing Biofuls.
2013
Alda Kartika
World Bank. (2010). Rising Global Interest in Farmland. World Growth. (2011). Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia. Palm Oil Green Development Campaign. Wijaya, G. dan Yeremia, A.P. (2008). Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR. Jakarta : Forum Sahabat.
129