TEKNOLOGI PEMBUATAN STEM SEL, TEKNOLOGI TERAPI GEN, DAN TEKNOLOGI TRANSPLANTASI ORGAN
TUGAS MATA KULIAH REKAYASA GENETIKA DAN BIOINFORMATIKA
Oleh: Rida Rizki Akbar
NIM 162520101001
Fathul Hidayah
NIM 162520101002
Yuliana
NIM 162520101005
Rosita Dewi
NIM 162520101010
M. Jimmy Kurnianta
NIM 162520101011
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOTEKNOLOGI UNIVERSITAS JEMBER 2017
0
A. TEKNOLOGI PEMBUATAN STEM SEL
Sel induk atau stem cell adalah sel yang dapat diperbarui melalui diferensiasi sel menjadi berbagai jenis sel khusus seperti sel saraf, sel kulit, sel-sel otot, jaringan usus, sel-sel darah, dan lain-lain. Karakteristik unik stem cell ini menjanjikan terjadinya regenerasi jaringan tubuh yang rusak. Perkembangan applikasi stem cell dalam dunia kedokteran sangat memberikan harapan besar bagi penyembuhan penyakit terutama pada kerusakan atau gagal fungsi organ-organ vital (jantung, ginjal, otak), leukemia, diabetes, dan berbagai penyakit lainnya. Permasalahan yang timbul adalah keterbatasan jumlah atau ketersediaan stem cell yang terkait dengan sumber atau asal stem cell tersebut. Stem cell terdapat pada embrio, organ-organ fetus, cairan sumsum tulang belakang, tali pusat, dan plasenta. Keterbatasan jumlah stem cell memotivasi para peneliti untuk berinovasi dalam metode maupun teknik dalam rangka meningkatkan jumlah sel potensial tersebut. a. Pengambilan sel induk jantung melalui biopsi endomyokard Prevalensi penyakit jantung termasuk disfungsi ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik (IHD), gagal jantung kongestif (CHF) semakin meningkat. Salah satu metode penatalaksanaan penyakit jantung adalah transplantasi jantung (orthotopic heart transplantation). Namun, keterbatasan ketersediaan donor untuk transplantasi jantung dan biaya yang sangat mahal membuat cara tersebut kurang efektif sebagai pengobatan penyakit jantung. Oleh karena itu, dikembangkan metode pengobatan dengan terapi stem cell. Biopsi endomyokard dapat dilakukan setelah transplantasi jantung orthotopic dengan tehnik bicaval atau setelah terjadi infark miokard untuk mengambil cairan yang mengandung sel induk jantung. Prosedur biopsi dilakukan menggunakan fleksibel bioptome dan USG sebagai petunjuk akses vaskular (Awad et al., 2014). b. Metode pembuatan stem cell Nadri et al. (2007) membuat stem cell menggunakan tikus sebagai hewan uji dan sel yang dikulturnya adalah mesenchymal stem cells (MSCs). Pembuatannya diawali dengan mengisolasi sel dari tikus yang berusia 6-8 minggu. Bagian tulang paha diambil dengan hati-hati, kemudian jaringan lunak yang melekat dibersihkan. Masing-masing tulang diangkat dengan rongeur dan sumsum tulang diambil menggunakan syringe dan dibilas dengan Dulbecco Modified Eagle Medium (DMEM). Sel-sel sumsum tulang kemudian disaring dengan saringan mesh nilon 70-mm. Sel-sel disimpan pada 6-well plate kultur sel dengan densitas 25 x 106 sel/well dalam DMEM yang mengandung 15% fetal bovine serum, 2 mm L-glutamine, 100 u/ml penisilin, dan 100 u/ml streptomisin. Kultur disimpan pada suhu 37 ºC dalam suasana lembab dengan kandungan CO2 5%. Saat kultur primer mendekati konfluen, kultur dibuat dalam 0,5 ml dari 0,025%. Tripsin yang mengandung 0,02% EDTA disimpan selama 2 menit pada suhu ruang. Sel-sel yang sudah diangkat pada menit ke-2, dipanen dan dikultur dalam labu berukuran 25cm3. Setelah kultur mencapai 70-80% konfluen, sel-sel dipanen untuk dilakukan eksperimen lanjutan. Beberapa sel sumsum tulang yang dikultur tanpa perlakuan dijadikan sebagai kontrol yang sering disebut sebagai sel WFMC. Sebagai kultur sel kontrol, WFMCs dikultur dalam 6-well plate dengan densitas 25 x 106 sel/well dalam DMEM dan media kultur diubah setelah 72 jam untuk pertama kalinya.
1
Gambar 1. Kultur sel sumsum tulang tikus. (A-D) Kultur terekspos Frequent Medium Changes (FMC). (E-H) Kultur without Frequent Medium Changes (WFMC). (A) Fitur morfologi in vitro diperluas berbentuk gelendong sel FMC yang muncul pada hari ke-3. (B) Lebih terimpit kultur FMC di hari ke-8 dan (C) 15 hari setelah isolasi. (D) Populasi terpurifikasi dari sel-sel berbentuk gelendong muncul di bagian pertama. (E) Tiga hari setelah inisiasi kultur: beberapa sel WFMC menunjukkan morfologi fibroblastik. (F) Delapan hari setelah inisiasi kultur, campuran WFMC sel dapat diamati. (G) Sel bulat kecil muncul di adherent cell setelah 15 hari dalam kultur. (H) Populasi heterogen dari WFMC sel muncul di bagian pertama. Pembesaran asli X10 (Nadri et al., 2007).
Referensi: 1. Awad, M., A. Ruzza, C. Soliman, J. Pinzas, E. Marban, A. Trento, dan L. S. C. Czer. 2014. Endomyocardial Biopsy Technique for Orthotopic Heart Transplantation and Cardiac Stem-Cell Harvesting. Elsevier Vol. 46 Issue 10: 3580-3584. 2. Nadri, S., M. Soleimani, R. H. Hosseni, M. Massumi, A. Atashi, dan R. Izadpanah. 2007. Efficient method for isolation of murine bone marrow mesenchymal stem cells. Int. J. Dev. Biol. 51: 723-729.
2
B. TEKNOLOGI TERAPI GEN Aplikasi Teknologi Terapi Gen dalam Penatalaksanaan Kanker Pendahuluan Kanker merupakan penyakit yang ditandai oleh abnormalitas pertumbuhan sel dan multiplikasi pada tingkat selular dan molekular. Kanker disebabkan oleh banyak faktor hasil interaksi antara host dan lingkungan hingga menimbulkan perubahan genom pada sel somatik. Selanjutnya terjadi aktivasi onkogen dan inaktivasi gen tumor suppressor. Karakteristik sel kanker antara lain memiliki sinyal pertumbuhan, tidak peka terhadap sinyal anti pertumbuhan, mampu menginvasi jaringan dan bermetastasis, berpotensi tinggi melakukan replikasi, menimbulkan angiogenesis, dan mencegah apoptosis. Karena karakteristik sel kanker tersebut, kanker merupakan salah satu penyakit yang menjadi objek penelitian terapi gen. Saat ini lebih dari 60% trial klinis yang menjadikan kanker sebagai target terapi gen (Wirth dan Herttuala, 2015). Strategi terapi gen yang digunakan sebagai terapi penyakit kanker antara lain suicide gene therapy, cytokine gene therapy, tumor suppressor gene replacement, anti-sense therapy, dll. Jenis kanker yang dapat diterapi dengan strategi terapi gen antara lain kanker orak, paru, payudara, pankreas, liver, kolorektal, prostat, kandung kemih, kepala dan leher, kulit, ovarium, dan ginjal. Hanya sedikit strategi terapi gen yang diterapkan di dunia klinik secara aktual. Salah satu strategi yang umum diaplikasikan adalah strategi tumor suppressor gene (p53) replacement yang mengacu pada proses timbulnya sel kanker, yaitu mutasi gen pengkode gen tumor suppressor p53 (Wirth dan Herttuala, 2015). Sejarah Terapi Gen Roger et al. pertama kali mendemonstrasikan bahwa virus dapat memediasi pemindahan material genetik asing ke dalam suatu sel. Selanjutnya Roger termotivasi untuk melakukan trial pada manusia, yaitu trial terapi gen pada manusia. Roger menggunakan wildtype virus papilloma untuk memasukkan gen yang mengkode aktivitas enzim arginase (katalist hidrolisis arginin menjadi ornitin dan urea) pada dua orang perempuan dengan hiperagininemia. Penelitiannya belum membuahkan hasil. Pada tahun 1989 FDA mengesahkan protokol terapi gen. Peneliti lain mengambil tumor infiltrating lymphocytes dari pasien melanoma kemudian ditransduksikan secara ex vivo dengan marker gen, diperluas secara ex vitro, dan diinjeksikan kembali kepada pasien untuk mengekspresikan tumor necrosis factor. Cline et al. melakukan ekstraksi sumsum tulang pada pasien thalasemia dan mentransfeksikannya secara ex vivo dengan plasmid yang mengandung gen globulin kemudian menginjeksikan kembali kepada pasien. Penelitian ini juga belum membuahkan hasil (Wirth dan Herttuala, 2015). Metode Transfer Gen dan Vektor yang digunakan dalam Terapi Gen Tantangan teknologi terapi gen adalah bagaimana mentransduksikan material genetik dalam jumlah yang adekuat ke dalam sel target atau jaringan untuk menimbulkan dan mempertahankan ekspresi gen yang diharapkan. Material genetik dapat dimasukkan ke dalam sel target atau jaringan dengan beberapa metode, yaitu fisik, vektor viral, atau vektor nonviral. Electroporation, ultrasound, dan gene gun merupakan contoh metode fisik. Metode vektor viral menggunakan virus sebagai pembawa material genetik ke dalam sel, sedangkan metode transfer gen non-viral menggunakan synthetic carrier seperti liposom dan nanopartikel. Pemilihan vektor disesuaikan dengan tujuan terapi. Perbedaan penggunaan vektor menimbulkan perbedaan efisiensi dan efikasi dalam mengekspresikan gen yang dimasukkan. Selain itu, perbedaan penggunaan vektor juga mempengaruhi durasi ekspresi 3
gen dan safety profile. Vektor yang ideal adalah vektor yang memiliki spesifisitas tinggi terhadap jaringan dengan transduksi yang efisien dan berkelanjutan, meregulasi ekspresi gen tanpa efek samping dan respon imunogenik. Namun, belum ada vektor yang memenuhi seluruh kriteria tersebut. Pemberian vektor dengan injeksi lokal bersifat terbatas tetapi memberikan efek pada area yang akurat, sedangkan pemberian vektor secara sistemik menghasilkan ekspresi yang luas (tidak spesifik). Oleh karena itu, dilakukan modifikasi vektor dan cara pemberiannya untuk mencapai target dan meningkatkan efisiensi transduksi (Wirth dan Herttuala, 2015). Virus yang banyak digunakan sebagai vektor adalah adenovirus, lentivirus, retrovirus, vaccinia virus, adeno associated viruses (AAV), dan baculovirus. Masing-masing vektor dibedakan dari profil ekspresi, kapasitas transgen, imunogenisitas, dan durasi ekspresi transgen. Adenovirus dan baculovirus kurang memiliki kemampuan mengintegrasikan genom ke dalam genom host (hilang dalam beberapa minggu), sedangkan lentivirus, retrovirus, dan AAV memiliki kemampuan mengintegrasikan genom ke dalam genom host (bulan hingga tahun). Saat ini adenovirus (serotipe 2 dan 5) merupakan virus yang paling sering digunakan dalam terapi gen. Keterbatasan adenovirus, yaitu menimbulkan pre-existing antibody pada 97% individu yang dapat mempengaruhi efisiensi transduksi dan hasil terapi (Wirth dan Herttuala, 2015). Keterbatasan vektor virus secara umum adalah clearance vektor virus yang cepat saat diinjeksikan sistemik dan berpotensi menimbulkan respon imun dan inflamasi. Oleh karena itu, dikembangkan vektor sintetik misalnya naked plasmid DNA. Kelebihannya adalah memiliki toksisitas rendah atau jarang menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan, mudah diformulasikan, dan tidak mahal. Keterbatasannya adalah memiliki efisiensi transfeksi yang rendah. Oleh karena itu, dikembangkan polimer kationik atau formulasi lipid untuk melindungi DNA dari degradasi dan meningkatkan uptake dan efisiensi transfeksi plasmid. Tingkat keberhasilan penggunaan vektor non-viral lebih rendah dibandingkan vektor virus (Wirth dan Herttuala, 2015). Strategi Terapi Gen pada Kanker Paru Berikut ini akan dipaparkan beberapa strategi terapi gen yang diaplikasikan pada kanker paru. Suicide Gene Therapy Suicide gene therapy dilakukan dengan mentransduksi sel tumor dengan gen yang mengkode aktivitas enzim spesifik. Enzim yang dihasilkan oleh sel tumor yang tertransduksi akan mengaktivasi pro-drug yang akan memicu kematian sel tumor. Kelebihan strategi ini adalah bystander effect, yaitu sel-sel tumor lain yang tidak tertransduksi di sekitarnya juga akan mati. Vektor yang digunakan pada strategi ini misalnya Herpes Simplex-1 Virus yang membawa gen yang mengkode aktivitas enzim thymidine kinase (HSVtk). Enzim thymidine kinase akan menginduksi sensitivitas sel tumor terhadap nucleoside analog ganciclovir (GCV). Enzim thymidine kinase mengkatalist reaksi GCV monofosfat menjadi GCV trifosfat yang akan menginhibisi DNA polymerase (Vachani et al., 2010). Cytokine Gene Therapy Pada strategi cytokine gene therapy, overekspresi sitokin immunostimulatory dari sel tumor seperti interleukin-2 (IL-2), IL-12, tumor necrosis factor (TNF), granulocyte-monocyte colony stimulating factor (GN-CSF), interferon (IFN α, β, γ) akan mengaktivasi sistem imun in situ yang menghasilkan respon anti-tumor. Kelebihan strategi ini adalah toksisitas rendah, dapat diberikan secara lokal dengan konsentrasi tinggi, sitokin persisten dalam jangka waktu lebih lama, dan sitokin disekresikan oleh sel tumor itu sendiri. Mukherjee malakukan trial
4
klinik pertama dengan menggunakan vektor virus vaccinia yang mengekspresikan gen IL-2 (Vachani et al., 2010). Tumor-based p53 Therapy Strategi tumor-based p53 therapy dapat dilakukan dengan teknik rekombinan adenovirus p53. Gen p53 merupakan gen tumor suppressor yang menginduksi kematian sel tumor secara cepat. Gen p53 yang tidak ada atau mengalami mutasi akan digantikan oleh gen p53 yang ditransduksikan. Suatu studi memaparkan bahwa injeksi gen p53 yang dibawa oleh retrovirus langsung pada lokasi tumor paru menunjukkan peningkatan apoptosis dan regresi tumor pada enam pasien dari tujuh pasien kanker paru (Vachani et al., 2010). Adenovirus encoding β-galaktosidase Pada strategi adenovirus encoding β-galaktosidase, digunakan vektor adenovirus yang membawa gen lacZ marker yang mengkode aktivitas enzim β-galaktosidase. Aktivasi enzim ini akan menimbulkan respon anti-tumor dari imunitas selular dan humoral. Pada suatu studi menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi protein rekombinan ini akan menimbulkan respon CD-4 dan limfosit T-sitotoksik (Vachani et al., 2010). Antisense Therapy Prinsip strategi ini adalah down-regulasi molekul-molekul yang mendukung pertumbuhan sel tumor. Aprinocarsen (20-mer oligonukleotida) mengikat mRNA protein kinase dan menghambat ekspresinya tetapi aplikasi strategi terapi ini belum menunjukkan keberhasilan. Aprinocarsen yang dikombinasi dengan kemoterapi tidak meningkatkan umur harapan hidup pasien kanker paru dibandingkan dengan kemoterapi saja. Selain itu, aprinocarsen juga menunjukkan beberapa efek toksisitas. Studi tahap awal terhadap molekul Raf antisense menunjukkan respon antitumor yang signifikan pada seorang pasien tumor paru tetapi pada studi selanjutnya gagal menunjukkan respon anti tumor yang signifikan. Secara umum, strategi antisense belum membuahkan hasil. Oligonukleotida bersifat tidak stabil sehingga sulit diberikan dalam jumlah yang adekuat dan tidak menimbulkan efek bystander (Vachani et al., 2010). Vaccines Strategi ini menggunakan vektor virus untuk menginduksi respon imun yang kuat melawan antigen sel tumor. Contoh vaksin antara lain konstruk virus vaccinia yang membawa gen yang mengkode sekuen MUC-1 dan IL-2 dan konstruk adenovirus yang membawa gen yang mengkode sekuen L523S akan meningkatkan respon imun (Vachani et al., 2010).
Referensi: 1. Vachani, A., E. Moon, E. Wakeam, S. and M. Albelda. 2010. Gene Therapy for Mesothelioma and Lung Cancer. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology Vol. 42: 385-393. 2. Wirth, T. And S. Y. Herttuala. 2015. Gene Therapy Used in Cancer Treatment. Biomedicines 2014 Vol. 2: 149-162.
5
C. TEKNOLOGI TRANSPLANTASI ORGAN Teknologi Xenotransplantasi Ginjal Babi Pendahuluan Meskipun dengan adanya kemajuan signifikan dalam bidang kedokteran dan teknologi yang disertai peningkatan kesadaran pendonoran organ dan transplantasi, kesenjangan antara pasokan dan permintaan terus melebar. Di Inggris lebih dari 7000 pasien sedang menunggu transplantasi ginjal. Lebih dari 100.000 pasien di Amerika Serikat dengan jumlah yang sama di seluruh dunia sedang menunggu transplantasi ginjal. Meskipun 17.106 transplantasi ginjal terjadi pada tahun 2014, sebanyak 4589 pasien meninggal sambil menunggu adanya donor ginjal. Hal inilah yang telah mendorong para ilmuwan untuk mengeksplorasi hewan, sebagai alternatif sumber pasokan donor organ atau xenotransplantation yang tidak terbatas selama tiga dekade terakhir untuk mengatasi untuk kekurangan kronis donor manusia. Xenotransplantasi menawarkan kemungkinan mengatasi kekurangan kronis donor manusia yang telah meninggal. Xenotransplantasi yang sukses akan menghilangkan efek dari kematian otak, cedera iskemia-reperfusi terkait dengan berkepanjangan waktu pelestarian dan menawarkan potensi untuk menyesuaikan organ donor sebelum transplantasi. Namun, sukses program xenotransplant belum dirasakan karena beberapa hambatan fisiologis, imunologi dan mikroba, dan pertimbangan etis. Dari semua hewan yang diselidiki, babi dianggap sebagai kandidat terbaik untuk donasi organ karena ketersediaannya yang tidak terbatas dan mudah dibiakan dengan potensi tersedianya peternakan serta memiliki organ-organ tubuh dengan ukuran dan fungsi yang sama seperti pada manusia. Eksperimen dalam model xenotransplantasi yang paling sering digunakan adalah babi sebagai donor dan primata non-manusia (NHP) sebagai penerima. Primata non-manusia (NHP) adalah simpanse atau babon adalah keluarga dekat dengan manusia, tetapi tidak digunakan sebagai donor organ, karena merupakan spesies yang terancam punah dan yang memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil, tidak memiliki golongan darah O dan mempunyai periode kehamilan yang panjang dengan jumlah anak sedikit serta peningkatan risiko penularan penyakit. Masalah utama xenotransplantasi pada manusia dan juga pada NHP adalah penolakan pascatransplantasi karena adanya antibodi preformed dan respon bawaan kekebalan complement, koagulasi darah dan sel-sel kekebalan tubuh bawaan misalnya monosit, makrofag dan sel NK. Sampai saat ini 3 antigen babi telah diidentifikasi dalam endotelium pembuluh darah, yang paling penting adalah galaktosa-α1,3-galaktosa (Gal), yang lainnya adalahN-glikollineuraminat asam (NeuGc) dan Sd (a) antigen. Antibodi ini hadir dalam manusia dan NHP sehingga ketika antigen diinduksi maka akan mengaktifkan sistem kekebalan komplemen yang menyebabkan penolakan hiperakut dan kegagalan transplantasi. Sejarah Xenotransplantasi Pada tahun 1906, Mathieu Jaboulay merupakan dokter yang pertamakali melakukan transplantasi ginjal dari babi ke seorang pasien wanita yang menderita sindrom nefrotik. Hasilnya ginjal tersebut menghasilkan 1.500 ml urine pada hari berikutnya yang berisi 16 urea. Namun, pada hari ketiga ginjal tersebut diangkat kembali karena tidak berfungsi, di mana dikonfirmasi telah terjadi trombosis pembuluh darah dan infark ginjal sehingga pasien meninggal. Pada tahun 1960, Reemtsma mentransplantasikan ginjal simpanse pada 13 pasien, dengan kelangsungan hidup berkisar antara 11 hari sampai 2 bulan, kecuali untuk satu pasien yang bertahan selama hampir 9 bulan. Sebagian besar kematian terkait dengan penolakan atau infeksi. Selama yang periode sama, Starzl melakukan enam xenotransplant baboon ginjal pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir, dengan kelangsungan hidup mulai dari 19 6
sampai 60 hari. Selanjutnya, usaha diarahkan ke alotransplantasi klinis, dengan hasil yang lebih sukses. Namun, karena organ tubuh manusia tetap langka karena meningkatnya permintaan, peneliti berbalik lagi untuk kemungkinan xenotransplantasi. Untuk sejumlah alasan, babi telah diidentifikasi sebagai sumber potensial yang paling mungkin dari organ manusia. Model Transplantasi babi ke NHP diperkenalkan ke dalam penelitian xenotransplantasi pada tahun 1980 dan telah menjadi model eksperimental standar. Sejak itu, dalam studi babi xenotransplantasi ginjal pada NHPs, kelangsungan hidup cangkokan telah meningkat secara signifikan. Ini telah dikaitkan terutama dengan meningkatnya ketersediaan babi dengan modifikasi genetik yang melindungi jaringan babi dari respon imun primata yang tidak kompatibel molekul yang benar antara babi dan primata. Kemajuan Terbaru Xenotransplantasi Ginjal Dengan ketersediaan dari babi rekayasa genetik sebagai pendonor transplantasi organ, transplantasi ginjal dari babi ke NHP kini tidak lagi dibatasi oleh penolakan akut antibodimediated (hiperakut atau pembuluh darah). Pada tahun 1989 penggunaan wild type ginjal babi, terpanjang pendukung kehidupan ginjal kelangsungan hidup adalah 23 hari. Pada tahun 2004, CD55 kelangsungan hidup ginjal telah diperpanjang untuk 90 hari. Dengan cotransplantation timus Jaringan donor-spesifik, GTKO babi ginjal kelangsungan hidup mencapai 83 hari pada tahun 2005. Pada 2015, dua kelompok melaporkan kelangsungan hidup GTKO / ginjal babi HCRP lebih lama dari 125 hari. Dengan masalah Gal diselesaikan, masalah lain menjadi lebih menonjol, dalam koagulasi dysregulated tertentu, seperti pengembangan mikroangiopati trombotik di cangkok atau koagulopati konsumtif sistemik di penerima, yang bisa berakibat fatal sekali didirikan, dan tampaknya berkembang lebih cepat ketika ginjal ditransplantasikan dari jantung. Meskipun penyebab disfungsi koagulasi belum sepenuhnya dipahami, ada kemungkinan bahwa beberapa faktor yang berkontribusi terhadap berlebihan. Koagulasi Pertama, sel-sel endotel vaskular graft diaktifkan oleh antibodi, komplemen, dan interaksi dengan sel kekebalan penerima dan trombosit, dan faktor jaringan akibatnya express, utama inisiatorfisiologis koagulasi. Kedua, telah diusulkan bahwa faktor jaringan penerima diekspresikan pada trombosit dan monosit setelah aktivasi mereka dengan peradangan dihadapan xenograft endothelium. Ketiga, babi endotel sel mengekspresikan protrombinase langsung (fgl2) yang diinduksi oleh proinflamasi sitokin yang mengubah protrombin manusia untuk trombin dalam jaringan faktor-independen secara. Keempat, mekanisme pengaturan sistem koagulasi-antikoagulasi terganggu dengan tidak kompatibel molekul antara babi dan primata. Akhirnya, aktivasi sel endotel di graft mengarah ke downregulation atau penumpahan molekul antikoagulan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi disfungsi koagulasi dengan pengenalan ke GTKO babi HCRP coagulationregulatory manusia gen (misalnya, thrombomodulin [TBM], endotel protein C reseptor [EPCR], jaringan faktor jalur inhibitor [TFPI], CD39). Berbagai kombinasi babi rekayasa genetik yang sekarang tersedia. Pengobatan dengan antikoagulan dan atauanti-platelet agen dapat memberikan manfaat lebih lanjut. Administrasi rekombinan antitrombin manusia terbukti menjadi pelindung pada minggu pertama setelah transplantasi babi ke babon ginjal xenotransplantasi, tetapi tidak memiliki manfaat jangka panjang jelas dalam model transplantasi ginjal babi ke kera, bahkan bila dikombinasikan dengan manusia diaktifkan protein C. Itu akan masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kedua modifikasi genetik dari babi dan farmakoterapi mungkin diperlukan untuk sepenuhnya disfungsi koagulasi benar dalam xenotransplantasi ginjal. Koagulasi, peradangan, dan respon imun memiliki antar-hubungan yang kompleks yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Modifikasi genetik lebih lanjut dapat melindungi cangkok dari penerima respon inflamasi(misalnya, ekspresi A20 manusia atau 7
hemeoxygenase-1, atau dari respon imun (misalnya, ekspresi babi dominan-negatif MHC kelas II transaktivator. Ada juga mungkin kebutuhan untuk pengobatan denganantiinflamasi, agen misalnya, agen anti-sitokin (anti-TNF-a, anti-IL-6R) dan atau statin. Peningkatan rejimen imunosupresif telah memberikan kontribusi untuk kemajuan dalam babi transplantasi ginjal di NHPs. Awalnya,induksi terapi dengan siklofosfamid (meskipun agen ini jarang digunakan saat ini) dan kombinasi darikonvensional pemeliharaan imunosupresif agen (misalnya, siklosporin, mycophenolate mofetil [MMF], dan kortikosteroid) terbukti berhasil dalam memperpanjangginjal kelangsungan hidup xenograft. Telah terjadi peningkatan minat dalam kostimulasi blokade, diperkenalkan ke xenotransplantation oleh Buhler et al., menggunakan agen yang menghambat CD28 atau B7 dan jalur CD40 atau CD154. Anti-CD154 antibodi monoklonal (mAb) terapi kontribusi signifikan terhadap perpanjangan GTKO ginjal kelangsungan hidup xenograft, tetapi tidak mungkin tersedia untuk penggunaan klinis karenanya sifat thrombogenic. Perhatian sekarang diarahkan agen kostimulasi blokade alternatif, seperti antiCTLA4-Ig dan anti-CD40 mAb. Studi terbaru menunjukkan bahwa regimen berdasarkan mAb CD40 adalah mungkin berhasil tetapi blokade CD28 / B7 jalur saja akan muncul menjadi tidak memadai. Secara keseluruhan, data eksperimental saat ini menunjukkan bahwakostimulasi blokade mungkin imunosupresif terapidisukai. Perhatian kini telah bergeser dari Gal kelainnya karbohidrat potensialtargetyang diekspresikan pada sel babi, terutamaNglikollineuraminatasam (NeuGc). Pada tahun 2013, babi NeuGcKO pertamakali tersedia. Meskipun ekspresi NeuGc pada babisel endotel vaskular akan memainkan bagian dalam penolakan dalam model NHP, itu akan menjadi penting dalam xenotransplantasi klinis. Pembahasan dan Kesimpulan Meskipun ginjal babi relatif mirip secara struktur dan ukuran terhadap ginjal manusia terdapat perbedaan fisiologis antara babi dan primata yang juga awalnya ditemukan bermasalah, meskipun apakah ini adalah sekunder untuk kekebalan tubuh aktivasi masih belum jelas. Pada manusia, asam urat diproduksi sebagai produk akhir dari purin tetapi di mamalia yang lebih rendah asam urat lebih teroksidasi oleh uratoksidase. Meskipun manusia tidak dapat mengoksidasi asam urat, ginjal babi dapat menghilangkan asam urat sehingga hyperuricemia tidak menjadi masalah. Berkenaan dengan sistem RAA atau renin-angiotensinaldosteron, renin babi telah terbukti tidak dapat membelah angiotensinogen manusia. Namun, seperti yang ditunjukan dengan xenotransplantasi pada NHP, babi ginjal berfungsi dengan baik dengan mempertahankan keseimbangan cairan dan berat badan selama beberapa bulan, ada kemungkinan mekanisme peraturan alternatif yang dapat menjaga keseimbangan cairan meskipun terjadi penurunan renin. Aktivitas anemia pada awalnya dilaporkan dan dikaitkan ketidakcocokan dengan molekul erythropoietin babi dengan primata Epo reseptor. Selain itu, karena erythropoietin bermanfaat secara klinis, itu tampaknya tidak begitu bermasalah. Meskipun sebagian besar serum elektrolit semisalnya natrium, klorida, kalium tetap dalam kisaran normal setelah transplantasi ginjal babi pada NHP namun kadar fosfat semakin menurun selama periode fungsi xenograft stabil. Penyebab hypophosphatemia tidak diditemukan. Selanjutnya, hipoalbuminemia dan proteinuria moderat sampai berat seragam didokumentasikan, sehingga perlu infus albumin manusia, meskipun apakah fenomena ini disebabkan oleh imunrespon (aktivasi atau cedera glomerulus dan atau sel tubular) atau ketidakcocokan fisiologis yang melekat antara babidan primata, atau keduanya, adalah tidak pasti. Baru-baru ini, dua kelompok melaporkan proteinuria minimal tanpa hipoalbuminemia menyertainya di NHPs dengan cangkok babi ginjal, mungkin karena respon imun telah lebih lengkap dikendalikan dengan modifikasi genetik dari babi donor atau intervensi farmakologis. Hal ini terkait dengan kelangsungan hidup graft untuk > 125 hari dalam kedua studi. Dalam studi lain dari babike transplantasi ginjal NHP, pengobatan dengan rituximab 8
berhasilmenunda pengembangan proteinuria, mungkin karenapencegahan gangguan babi podosit. Higginbotham et al. dipamerkan berkepanjangan kelangsungan hidup penerima ginjalsetelah transplantasi GTKO / CD55 ginjal babi padamonyet rhesus karena titer yang rendah antibodi anti-babi. Rejimen imunosupresif termasuk deplesi sel T diikuti dengan terapi pemeliharaan dengan anti-CD154 mAb, MMF, dan kortikosteroid. Dalam dua monyet, ada bukti penolakan atau patologi lain pada biopsi ginjal pada hari 100. Kelompok ini juga melaporkan bahwa penerima dengan titer tinggi antibodi anti-babi menolak cangkok ginjal dalam minggu pertama, dan dua rendah titer monyet diperlakukan dengan belatacept menolak cangkokan mereka dalam waktu tiga minggu. Kemajuan yang signifikan dalam mendukung kehidupan ginjal kelangsungan hidup xenograft pada primata non-manusia (NHP) telah dikaitkan terutama dengan meningkatnya ketersediaan babi dengan modifikasi genetik yang melindungi jaringan babi dari respon imun primata dan atau tidak kompatibel molekul yang benar antara babi dan primata. Blokade jalur kostimulasi CD40/CD154 dengan terapi anti-CD154 mAb telah memberikan kontribusi dalam memperpanjang xenograft survival. Regimen berbasis mAb anti-CD40 juga terbukti sukses, namun blokade jalur CD28/B7 belum terbukti. Penyebab proteinuria ini belum dapat dipastikan apakah disebabkan oleh reaksi imun atau inkompatibilitas antar spesies. Penelitian baru-baru ini menghubungkan proteinuria dengan respon imun. Sebelum tahun 2014, durasi bertahan hidup terlama dari NHP yang mendapatkan donasi ginjal babi adalah 90 hari. Saat ini diteliti durasi bertahan hidup NHP meningkat menjadi lebih dari 125 hari tanpa komplikasi concumptive coagulopathy atau proteinuria. Sebagai kesimpulan, pencegahan respon imun, koagulasi, dan respon inflamasi pada penerima donasi organ dapat dilakukan dengan modifikasi genetik yang tepat pada babi disertai dengan terapi immunosppresive dan antikoagulan/antiinflamasi.
Referensi: Iwase, H. dan T. Kobayashi. 2015. Current status of pig kidney transplantation. International Journal of Surgery xxx: 1-5.
9