SATU ABAD KULTUR SEL DAN JARINGAN: PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN IMPLEMENTASINYA (A decade of cell and tissue culture: The technology development and its implenentation)
Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Korespondensi: Dr. med. Tri Hanggono Achmad Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang, Km 21, Jatinangor, Sumedang Tilpon: 022-7794560, fax: 022-7795595 e-mail:
[email protected]
Abstrak Tissue culture telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan sederhana pada awalnya, diikuti fase perkembangan expansive pada pertengahan abad yang lalu, dan kini berada pada fase pengembangan khusus untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel. Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekuler dengan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini, sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan mulai berkembanganya teknologi biologi molekuler. Meskipun tantangan untuk mendapatkan sel-sel yang tumbuh secara in vitro telah terjawab, dan diversitas dari jenis sel telah meningkat secara konstan, tissue culture kini sudah semakin populer dari sebelumnya. Untuk beberapa kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk mengurangi percobaan hewan yang tidak perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture mendorong kemampuan untuk menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis, dan untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi sandaran guna mengeksplorasi permasalahan regulasi sel dan potensinya untuk pengembangan intervensi medis. Sangat jelas bahwa penelitian tentang aktivitas seluler pada tissue culture akan membawa berbagai manfaat, meski demikian perhatian juga perlu diberikan akan berbagai kelemahan dari teknologi ini untuk membangun perhatian yang lebih kuat guna pengembangannya di masa mendatang. Kata kunci : kultur jaringan, teknologi, perkembangan, implementasi
Abstract Tissue culture has been in existence since the beginning of last century and has passed through its simple exploratory phase, a later expansive phase in the mid century, and is now in a phase of specialization concerned with control mechanisms and differentiation functions. The development of molecular biology leads to an unclear zone between molecular biology and tissue culture. While the one is dependent on the other, it has been difficult to define a limit where tissue culture technology stops and molecular biology begins. Although the challenge of getting cells to grow in vitro has been met, and the diversity of cell types increases constantly, tissue culture is more in the public eye than ever. For some it presents an opportunity to reduce unnecessary animal experimentation, for others the ability to produce innovative pharmaceuticals at economically acceptable rates, while for yet others it still provides the only medium in which to explore the intricacies of cell regulation and the potential for medical intervention. It is clear that the study of cellular activity in tissue culture may have many advantages, but emphasis must also be placed on its limitations, in order to maintain some sense of perspective. Key words: tissue culture, technology, development, implementation
PENDAHULUAN Kultur jaringan (tissue culture) pertama digunakan pada awal abad 20 sebagai suatu metode untuk mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi sistemik yang dapat timbul saat hewan dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh percobaan atau perlakuan (experiment)1. Tissue culture bukanlah teknik yang baru. Teknologi ini telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan sederhana pada awalnya, diikuti fase perkembangan expansive pada pertengahan abad yang lalu, dan kini berada pada fase pengembangan khusus untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel. Kendati teknologi tissue culture kini telah berkembang begitu pesat, seperti kultur sel-sel khusus, chromosome painting, dan DNA fingerprinting, teknologi dasar yang awal dikembangkan, seperti teknik kultur primer, pasase serial, karakterisasi, preservasi sel, dan yang lainnya, secara prinsip masih sama.
Pada saat istilah tissue culture diperkenalkan, teknik ini pertama kali dikembangkan dengan menggunakan fragmen jaringan yang tidak terurai, dan pertumbuhan sel atau jaringan terjadi dengan bermigrasinya sel fragmen jaringan disertai adanya mistosis diluar pertumbuhan. Kultur sel dari jaringan explant primer seperti inilah yang mendominasi perkembangan teknik tissue culture pada lebih dari lima puluh tahun perkembangannya, sehingga tidaklah mengherankan jika istilah tissue culture sudah begitu melekat untuk pengembangan teknologi ini. Walaupun demikian, fakta yang terjadi pada saat percepatan perkembangan teknologi ini berikutnya di era setelah tahun 1950 lebih didominasi oleh penggunaan kultur sel yang terurai dari jaringan2.
Selanjutnya istilah tissue culture digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur organ ataupun kultur sel. Terminologi kultur organ lebih lazim digunakan untuk suatu kultur jaringan
tiga dimensi yang tidak terurai dengan sebagian atau seluruh gambaran histologinya yang secara in vivo masih utuh. Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang berasal dari sel-sel yang terdispersi yang diambil dari jaringan asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau cell strain secara enzymatik, mekanik, atau disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic akan diterapkan untuk jenis kultur jaringan yang menggabungkan kembali sel-sel yang telah terdispersi sedemikian rupa untuk membentuk kultur jaringan menyerupai struktur tiga dimensi, seperti contohnya pada perfusi atau pertumbuhan berlebih pada kultur monolayer, reagregasi pada suspensi sel, atau infiltrasi dari matriks tiga dimensi seperti penggunaan gel kolagen. Istilah kultur
organotypic
digunakan
pada
kultur
dengan prosedur
seperti
diatas
namun
mengkombinasikan sel dari berbagai jenis yang berbeda, contohnya adalah keratosit epidermal yang dikombinasikan dengan mereagregasikan dengan fibroblas dermal.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TISSUE CULTURE Untuk mempelajari teknik dasar tissue cukture diperlukan pemahaman dasar tentang anatomi, histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekuler dengan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini, sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan mulai berkembanganya teknologi biologi molekuler.
Perkembangan teknologi tissue culture kini banyak diarahkan untuk dapat memberikan simulasi proses biologis yang terjadi pada tubuh manusia, sehingga tidak hanya digunakan untuk mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun juga interaksi yang terjadi antar sel dengan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai keadaan fisiologis ataupun patologis. Hal ini akan semakin mengatasi kelemahan teknologi tissue culture yang dianggap
sebagai teknologi experiment in vitro, kendati menggunakan sel atau jaringan hidup, dibanding dengan penggunaan hewan percobaan yang dinilai sebagai experiment in vivo. Wilkes dan kawan-kawan pada tahun 2007 mengembangkan suatu model bireaktor untuk mengaplikasikan keadaan tekanan subatmosfer pada kultur sel tiga dimensi.3 Model ini dikembangkan dengan tujuan memfasilitasi upaya mempelajari lebih baik mekanisme biologis proses penyembuhan luka dengan menggunakan teknik Vacuum-assisted Closure (VAC) Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) yang telah secara luas berhasil digunakan. Pada bioreaktor ini digunakan analog jaringan tiga dimensi terdiri dari fibroblas yang mengandung bekuan fibrin yang dikultur pada cawan bertingkat. Cawan kultur ini mendapat perfusi medium yang diatur dengan kecepatan dan tingkat aliran serta tekanan sesuai keadaan jaringan terluka, yang secara skematis divisualisaikan seperti tampak pada Gambar 1. dibawah ini.
Pompa NPWT Inkubator CO2
Canister Kain penutup
Cawan kultur
Isolator
Busa penghalang
Sel & Bekuan Darah
Gambar 1. Skema sistem cawan bioreaktor
Pompa Peristaltik
Obat
Model bioreaktor ini dapat diamati dengan menggunakan inverted microscope yang dilengkapi dengan sistem fluoresensi dengan tekanan CO2 5%. Sistem tertutup yang digambarkan melalui model bioreaktor ini merupakan simulasi penyembuhan luka dengan menggunakan metode Vacuum-assisted Closure Negative Pressure Wound Therapy (VAC-NPWT). Pengembangan bioreaktor ini memanfaatkan teknologi microelectromechanical system (MEMS) yang telah lebih dahulu banyak dikembangkan sebagai perpaduan teknologi tissue culture dengan rekayasa material biologis.4
Sejalan dengan perkembangan teknologi ini maka perkembangan berbagai referensi yang berkaitan dengan teknologi tissue culture banyak menyajikan berbagai teknologi khusus sehingga perhatian terhadap prosedur dasar menjadi banyak terabaikan. Meski banyak berkembang referensi yang menyajikan teknologi baru, namun masih banyak referensi teknologi dasar yang dipertahankan. Misalnya Puck dan Marcus5 melakukan kloning sel dengan teknik dilusi dan mengukuhkan metodenya yang kini secara rutin masih digunakan di banyak laboratorium. Lovelock dan Bishop6 mendemonstrasikan keunggulan dimethyl sulfoxide (DMSO) untuk preservasi sel bekuan. Kedua teknologi ini belum tergantikan tanpa adanya modifikasi yang substansial.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern menjadi semakin bergantung pada teknologi canggih. Prosedur pewarnaan antibodi, ELISA, analisis probe molekuler, pemeriksaan sitotoksisitas, dan yang lainnya, kini sudah tersedia dalam bentuk kit, yang memungkinkan penilaian regulasi gena dan produk sel lebih cepat dan mudah kendati dengan biaya yang lebih mahal. Keuntungan dari berkembangnya berbagai kit ini adalah penghematan waktu dan meningkatkan produktivitas,
meskipun demikian, bagi laboratorium dengan dana terbatas, hal ini akan mendatangkan masalah pembiayaan.
Pada aspek mekanisme, pemahaman mendasar dari pengorganisasian genome, pengaturan transkripsi gena, mekanisme intra dan ekstra sel dari kendali pertumbuhan, transduksi signal, dan dasar biologi dari spesifisitas interaksi sel, baik dalam bentuk signal yang termediasi maupun terdifusi, telah mencapai beberapa langkah kemajuan.
Transduksi signal
Imunologi
Analisis gegetik
Metabolisme dan produk sel
Gambar 2. Area penelitian utama pada tissue culture
Transformasi, yang awalnya merupakan masalah besar dalam stabilitas ”cell-line” dan terkait dengan keganasan, kini menampakkan manfaat untuk immortalisasi terkontrol sebagai alat
bernilai guna. Diperkenalkannya transformasi gena pada hewan transgenik memungkinkan dilakukannya isolasi cell lines dari berbagai jaringan yang telah mati namun masih memiliki fenotip7.
PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI TEKNOLOGI TISSUE CULTURE Meskipun tantangan untuk mendapatkan sel-sel yang tumbuh secara in vitro telah terjawab, dan diversitas dari jenis sel telah meningkat secara konstan, tissue culture kini sudah semakin populer dari sebelumnya. Untuk beberapa kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk mengurangi percobaan hewan yang tidak perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture mendorong kemampuan untuk menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis, dan untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi sandaran guna mengeksplorasi permasalahan regulasi sel dan potensinya untuk pengembangan intervensi medis.
Linked
dan
kawan-kawan
dari
Fraunhoffer
Institute
for
Interfacial
Engineering and
Biotechnology mengembangkan model bioartifisial liver secara in vitro dengan melakukan kokultur hepatosit dan sel endotel mikrovaskular.8 Model ini memungkinkan diperolehnya jaringan hati yang hidup dan berfungsi selama berminggu-minggu untuk dapat diamati sebagai sistem yang sangat berharga bagi penelitian dasar dan terapan. Perkembangan teknologi tissue culture juga telah dimanfaatkan untuk mempelajari peran leptin, protein yang kini banyak dibicarakan kontribusinya pada patogenesis berbagai penyakit degeneratif.9 Dengan memanfaatkan teknologi tissue culture diketahui bahwa leptin pada babi berperan pada prolifersi dan diferensiasi sel-sel preadiposit untuk berkembang menjadi jaringan adiposit baru.
Salah satu aspek yang paling menarik dalam perkembangan terkini tissue culture adalah mengetahui seberapa jauh tissue culture menjadi teknologi yang dapat diterima pada area dimana teknologi ini sebelumnya merupakan ”exploratory fringe”. Kalangan industri telah menerima berbagai keuntungan, setidaknya untuk saat ini, dalam menghasilkan biofarmasetikal melalui kultur sel hewan10, pengukuran in vitro untuk sitotoksisitas dan mutagenesis merupakan bagian standar dari ”repertoire” toksikologi industri, pemeriksaan berbagai marka untuk menilai reaksi peradangan kini mulai mengemuka11, penelitian yang mengungkap pengaruh hasil metabolisme terhadap berbagai marka biologis,12 dan kombinasi dari teknologi gena dan penggantian jaringan ”herald”
13
, suatu era yang kita fahami hanya merupakan fiksi ilmiah pada beberapa
tahun yang lalu.
Sejak dikembangkannya Laboratorium Kultur Sel dan Jaringan di Unit Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada tahun 1997, hingga kini beberapa jenis kultur sel telah berhasil dikembangkan, antara lain kultur sel fibro blas yang diisolasi baik dari preputium maupun chick embryo, sel endotel yang diisolasi dari porcine aorta, sel otot jantung yang diisolasi dari mouse embryo, dan sel tiroid yang diisolasi dari jaringan tumor tiroid. Isolasi berbagai sel di atas dilakukan dengan menggunakan teknik dispersi enjimatik maupun mekanik. Pemanfaatan teknologi ini banyak mebantu penyelesaian penelitian para peserta program pasca sarjana maupun para peneliti yang memperoleh hibah penelitian dari berbagai sumber.
A
B
D
C
Gambar 3. Kultur berbagai sel (perbesaran 100x). A. Sel endotel porcine aorta. B. Sel fibroblas chick embryo. C. Jaringan tiroid. D. Sel otot jantung mouse embryo.
Hal yang menarik dari pengembangan teknologi ini di Indonesia adalah tantangan mengatasi kontaminasi yang mendorong pengalaman diterapkannya penggunaan antibiotika diluar standar yang umumnya digunakan atau diperkenalkan pada berbagai referensi atau industri penopang teknologi tissue culture. Selain tingkat kelembaban yang cenderung tinggi di Indonesia sebagai negeri tropis, perilaku mikroba yang berkembang di berbagai rumah sakit yang cenderung tidak lagi sensitif terhadap antimikroba generasi pertama, telah mendorong penggunaan berbagai antibiotika generasi lanjut, seperti golongan ciprofloxacin14, untuk menggantikan gentamycin dan
strptomycin sebagai antibiotika standar yang lazim digunakan pada berbagai referensi1,15 guna menghambat pertumbuhan berbagai mikroba yang mungkin mengkontaminasi kultur.
KESIMPULAN Kita kini memasuki tahap biologi sel dan molekuler dimana prospek manipulasi dari genom, dan pengaturan dari produk ekspresinya baik in vitro maupun dalam transplant menjadi hampir tanpa batas melalui teknologi in vitro, dan pertanyaan yang mengemuka adalah lebih pada aspek hukum dan etika ketimbang ilmiahnya. Dapatkah neuron seseorang ditransplantasi pada individu lain, khususnya setelah melalui manipulasi genetik? Apakah etis menggunakan bahan fetus manusia untuk penelitian in vitro? Apakah sel-sel hasil transformasi genetik dapat digunakan untuk transplantasi normal gena kepada individu dengan gangguan genetik? Banyak sekali perdebatan muncul mengenai berbagai hal tersebut yang masih memerlukan penjelasan lanjut melalui berbagai penelitian dan pengembangan tissue culture. Sangat jelas bahwa penelitian tentang aktivitas seluler pada tissue culture akan membawa berbagai manfaat, meski demikian perhatian juga perlu diberikan akan berbagai kelemahan dari teknologi ini untuk membangun perhatian yang lebih kuat guna pengembangannya di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA 1. Freshney RI. Culture of animal cells: A manual of basic technique. Edisi ke-3. New York. A John Wiley & Sons, Inc. Publication. 1994. 2. Abercrombie M, Heaysman JEM. Observations on the social behaviour of cells in tissue culture, II. “Monolayering” of fibroblasts. Exp Cell Res. 1954;6:293-306. 3. Wilkes RP, McNulty AK, Feeley TD, Schmidt MA, Kieswetter K. Bioreactor for Application of Subatmospheric Pressure to Three-Dimensional Cell Culture. Tissue Eng. 2007;13(12):3003-10. 4. Puleo CM, Yeh HC, Wang TH. Applications of MEMS Technologies in Tissue Engineering. Tissue Eng. 2007;13(12):2839-54 5. Puck TT, Marcus PI. A rapid method for viable cell titration and clone production with HeLa cells in tissue culture. Proc Natl Acad Sci USA. 1955;41:432-37. 6. Lovelock JE, Bishop MWH. Prevention of freezing damage to living cells by dimethyl sulphoxide. Nature. 1959;183:1394-95. 7. Beddington R. Transgenic mutagenesis in the mouse. Trends Genetics. 1992;8:10. 8. Linke K, Achanz J, Hansmann J, Walles T, Brunner H, Mertsching H. Engineered Liverlike
Tissue
on
a
Capillarized
Matrix
for Applied
Research.
Tissue
Eng.
2007;13(11):2699-707. 9. Ramsay TG. Porcine preadipocyte proliferation and differentiation: A role for leptin? J Anim Sci. 2005;83(9):2066-74. 10. Cabric S, Sanchez J, Lundgren T, Foss A, Felldin M, Kallen R, et al. Islet Surface Heparinization Prevents the Instant Blood-Mediated Inflammatory Reaction in Islet Transplantation. Diabetes. 2007;56(8):2008-15.
11. Gomperts BN, Kim LJ, Flaherty SA, Hackett BP. IL-13 Regulates Cilia Loss and foxj1 Expression in Human Airway Epithelium. Am J Respir Cell Moll Biol. 2007;37:339-46. 12. Achmad TH, Wintercheidt A, Lindemann C, Rao GS. Oxidized Low Density Lipoprotein Acts on Endothelial Cells in Culture to Enhance Endothelin Secretion and Monocyte Migration. Meth Find Exp Clin Pharmacol. 1997;19(3):153-159 13. Bajada S, Harrison PE, Ashton BA, Cassar-Pullicino VN, Ashammakhi N, Richardson JB. Successfully treatment of refractory tibial nonunion using calcium sulphate and bone marrow cell transplantation. J Bone Joint Surg. 2007;89:1382-86. 14. Supriyadi R. Peningkatan produksi Endothelin-1 (ET-1) dan Pelepasan Radikal Bebas pada Kultur Kardiomiosit dalam Keadaan Hipoksia. Bandung. Universitas Padjadjaran. 1999 15. Jones GE. Human Cell Culture Protocols. Edisi ke-1. New Jersey. Humana Press Inc. 1996.