BAB
PENUMBUHAN DAN PEMELIHARAAN
IV
KALUS DAN KULTUR SUSPENSI SEL
A. Pendahuluan Seperti diketahui bahwa kalus merupakan bahan awal untuk pembuatan kultur suspensi set. Untuk tujuan produksi metabolit sekunder, metode kultur suspensi sel merupakan metode pilihan sampai saat ini. Dari suspensi sel dapat juga dipakai sebagai bahan awal untuk pembuatan sel amobil. Hubungan antara tumbuhan sebagai sumber eksplan dan kemungkinan aplikasinya dapat dilihat pada skema (Gambar 4.1). Agar kalus dapat digunakan sebagai bahan awal suspensi sel harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain (a) komposisinya merupakan sel-sel yang mendekati homogen, (b) memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat, (c) bersifat 'mawur' (friable), yartu mudah bercerai-berai menjadi sel atau agregat sel. Untuk pembentukan kalus perlu pula diperhatikan beberapa faktor antara lain (a) media yang dipergunakan, (b) frtohormon yang dipilih, (c) lingkungan, (d) sumber eksplan yang dipakai. Sebelum menginjak hal tersebut terlebih dahulu akan ditinjau peralatan utama dan persyaratan yang diperlukan dalam laboratorium kultur jaringan tumbuhan.
B. Peralatan dan Persyaratan yang Diperlukan Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam suatu laboratorium kultur jaringan tumbuhan adalah : (i) suatu ruang tempat penyediaan media, (ii) ruang steril atau kotak asepis untuk bekerja secara aseptis, (iii) ruang inkubasi yang dapat diatur suhunya untuk budidaya kalus atau suspensi sel, (iv) penggojog berpusing (gyrototy shaker) untuk ku;tur suspensi sel.
Ruang untuk penyediaan media sebaiknya terpisah dengan laboratorium kultur jaringan, bila hal ini tak mungkin maka segala peralatan yang dimasukkan ke dalam ruang penyediaan media harus bersih; hal ini dimaksuskan untuk mencegah terjadinya pencemaran. Cemaran selatrt mikroba atau kapang juga harus dihindari,
Gambar 4.1 Hubungan antara tumbuhan sebagai sumber eksplan dan kegiatan kultur jaringan tanaman
Misalnya, piringan neraca yang terkotori oleh bahan kimia atau elektrode pHmeter yang tercemar oleh bahan kimia yang tidak diinginkan. Selain itu untuk ruang kultur hams memiliki pintu yang dapat tertutup rapat dan pintu tersebut tidak langsung berhubungan dengan aiang lain yang tidak termasuk untuk kegiatan
kultur
jaringan
tumbuhan.
Dinding
laboratorium
harus
mudah
dibersihkan dan licin serta tidak lembab, sehingga mudah kering dan tidak mudah ditumbuhi kapang. Ruang untuk bekerja secara aseptis dapat digunakan kotak aseptis yang dilengkapi dengan lampu TL-UV atau dapat pula dipergunakan 'laminar air flow cabinet'. Bila ingin bekerja pada pagi hari maka sebelumnya lampu ultra violet harus dihidupkan pada malam hari, dengan tujuan untuk mensterilkan permukaan almari bagi 'laminar air flow', sedangkan untuk kotak aseptis selain permukaan meja juga ruangan dalam kotak tersebut beserta peralatan serta air untuk pembilas yang terdapat dalam kotak tersebut. Untuk kotak aseptik sebelum lampu ultra violet dinyalakan, permukaan meja disaput dengan etanol atau larutan fenol 20% dalam air. Kegiatan pemindahan eksplan pada media (penaburan) merupakan kegiatan yang cukup penting dan perlu perhatian khusus dalam pengerjaannya. Faktor lingkungan yang penting adalah suhu. Suhu optimal pada pertumbuhan
kalus
adalah
(25±3)°C.
membiarkan
kalus
tumbuh
dalam
Beberapa
gelap.
peneliti
Pertumbuhan
kadang-kadang kalus
dengan
pencahayaan biasanya lebih cepat daripada dalam gelap. Sebagai sumber cahaya dapat digunakan lampu TL 'daylight' yang dipasang pada dasar rak sebelah bawah dari rak yang diatasnya. Untuk kalus yang ditumbuhkan dalam gelap dapat ditempatkan dalam almari yang diletakkan dalam ruang inkubasi. Periode pencahayaan yang biasanya digunakan dalam penelitian adalah 16 jam terang dan 8 jam gelap. Penggojog-berpusing
yang
digunakan
untuk
kultur
suspensi
sel
dimaksudkan untuk membantu penghawaan kultur sel tersebut. Penggojog tersebut terbuka dan ditempatkan pada ruang inkubasi dan mempunyai pengatur kecepatan putar serta dilengkapi dengan pencahayaan lampu TL. Dalam perdagangan tersedia bermacam-macam merk penggojog-berpusing yang dilengkapi dengan pencahayaan dan pengatur suhu serta lengkap dengan tutup. Kultur kalus biasanya ditempatkan dalam wadah transparan tak berwama,
misalnya cawan petri dari gelas atau plastik, tabung kutlur, pot gelas bekas, botol, iabu erlenmeyer. Tutup yang digunakan dapat berupa kertas aluminium, sumbat karet, sumbat kapas, tutup ulir atau parafilm. Wadah untuk kultur suspensi sel antara lain labu erlenmeyer atau untuk skala yang lebih besar dalam bioreaktor atau fermentor.
C. Pemilihan dan Penyediaan Media Untuk menumbuhkan kalus biasanya dapat dilakukan pada media Murashige-Skoog (media MS) atau media RT (Revised Tobacco Medium). Sedangkan untuk budidaya suspensi sel selain media tersebut juga digunakan media lainnya, misalnya media White, Hellter, SH, B5. perbedaan yang pokok antara media yang digunakan untuk kepertuan tersebut adalah bila untuk menumbuhkan kalus diperlukan agar, sedangkan untuk kultur suspensi tanpa agar atau merupakan media cair. Jelas bahwa media cair lebih menjadi proses perpindahan massa daripada media padat, sehingga terjadi pula perbedaan faktor fitohormon yang diperlukan, sebagai contoh untuk media cair diperlukan 2,4-D sepersepuluh bpj, sedangkan untuk media padat diperlukan satu bpj atau sepuluh kalinya (Kaul dan Staba,1965). Komposisi media MS dan media RT terdapat dalam lampiran I dan II. Sedangkan untuk media White, SH (Schenk dan Hildebrandt), B5, Heller dan LS (Lismaier dan Skoog) terdapat dalam lampiran III.
D. Komposisi Media Bahan penyusun media secara garis besar dapat digolongkan menjadi 6 golongan
berdasarkan
larutan
persediaan
yang
dibuat
dan
disimpan.
Penggolongannya adalah sebagai berikut: (a) makro-nutrien, (b) mikro-nutrien, (c) sumber besi, (d) vitamin, (e) sumber karbon, (f) pelengkap organik (fitohormon, air kelapa, asam kasamino dan sebagainya). Pembagian itu nampak pada susunan media yang tedapat dalam lampiran I, II dan III. Diantara media yang dipaparkan media White nampak paling sederhana, di sini vitamin diganti dengan ekstrak khamir sebanyak 100 mg/liter. Air merupakan pelarut pokok yang digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan. Kualitas air sering kali menentukan berhasilnya pertumbuhan kalus atau kultur sel air digunakan untuk melarutkan komponen media adalah air yang
disuling dua kali dengan alat serba-gelas. Air yang disuling dengan alat yang terbuat dari tembaga akan bersifat racun terhadap sel (Wetherell,1982). Bahan kimia yang digunakan harus memiliki derajat kemumian yang tinggi agar diperoleh suatu cara yang sifatnya dapat diulang. Untuk beberapa senyawa hanya dapat diperoleh dalam derajat biokimia atau derajat yang lebih rendah daripada p.a. (pro analisa), tetapi masih cukup baik untuk pembuatan media. Air kelapa (coconut milk) sering digunakan untuk mempercepat pertumbuhan kalus atau untuk memudahkan terjadinya regenerasi. Kadar yang dianjurkan berkisar antara 5-10% (Gamborg,1982) atau 2% (Gamborg dan Shyluk,1981). Dari penelitian yang paling akhir dilaporkan bahwa senyawa yang memiliki sifat mempercepat pertumbuhan dalam air kelapa adalah ribosilzeatin (Letham,1974), yang kemudian lebih ditegaskan oleh van Standen dan Drewas (1975). Ribosilzeatin adalah suatu sitokinin. Agar merupakan bahan untuk membuat media bersifat setengah padat, kadar yang digunakan biasanya berkisar antara 6-10 g/liter (Dixon,1985). Faktor yang penting adalah harus digunakan agar yang berkualitas baik, misalnya 'Oxoid Bacteriological Agar No.1' (Oxoid Ltd., England) atau 'Agar powder fine' (BDH Chemical Ltd., Poole England). Untuk menetapkan pH media dilakukan pada saat media belum diautoklaf, pH tersebut berkisar antara 5,5-6,0. Besarnya pH ini tidak menyatakan pH media akhir, karena kemungkinan terjadi perubahan pada saat diautoklaf, biasanya setelah diautoklaf terjadi sedikit penurunan pH karena terjadi asam gula selam diautoklaf (Dixon,1985).
E. Pembuatan Media, Kultur Kalus, dan Kultur Suspensi Sel Pada waktu ini diperdagangan tersedia komponen utama media dalam bentuk serbuk kering yang mengandung semua komponen kecuali fitohormon, sukrosa dan agar. Media semacam ini dapat diperoleh daru produk pabrik 'Flow Laboratories, Irvine, Aryshire, England dan Gibco, Grand Island, New York, USA). Sediaan ini memudahkan kita untuk menyiapkan media yang diperlukan dan mengurangi kesalahan menimbang, karena seperti diketahui komponen banyak macamnya. Sebagai contoh marilah kita membuat media MS (Murashige-Skoog)
seperti yang dilakukan dilaboratorium yang sederhana. Adapun langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Alat yang digunakan (1) Timbangan gram dan timbangan milligram (2) Labu takar 1000 dan 1000 ml, pipet volume 5 dan 50 ml (3) Gelas piala 500,1000 dan 1500. (4) pH meter atau indikator universal pH 0-14 (E. Merck) tipe stik. (5) Pengaduk gelas atau pengaduk magnit dengan pemanas. (6) Corong gelas, pipet pasteur. (7) Label berpelekat atau spidol tahan air.
b. Bahan yana digunakan (a) Komponen makronutrien Amonium nitrat, kalium nitrat, kalsium klorida dihidrat, magnesium sulfat heptahidrat, kalium dihidrogenfosfat. (b) Komponen Mikronutrien Kalium iodida, asam borat, mangan sulfat tetrahidrat, seng sulfat heptahidrat, natrium molibdat dihidrat, tembaga (II) sulfat pentahidrat, kobalt klorida heksahidrat. (c) Sumber besi Besi (II) sulfat heptahidrat, natrium edetat dihidrat (d) Tambahan bahan organik Inositol (meso) inaktif (e) Sumber vitamin Asam
nikotinat,
aneurin
hidroklorida
(Vit.Bi),
piridoksin hidroklorida (Vrt.B6) (f) Asam amino Glisin (g) Sumber karbon Sukrosa (h) Air yang disuling dua kali dengan alat serba-gelas
c. Cara pembuatannya 1) Pembuatan larutan persediaan makronutrien (1) Ditimbang 33 g amonium nitrat, 38 g kalium nitrat, 8,800 g kalsium
klorida dihidrat, 7,400 g magnesium sulfat heptahidrat dan 3,400 g dihidrogen fosfat. (2) Bahan tersebut kemudian dilarutkan dalam gelas piala 1000 ml dengan air sebanyak ± 750 ml, sambil diaduk kalau perlu dipanaskan. (3) Setelah larut didinginkan, kemudian dipindah ke dalam labu takar 1000 ml dan ditambah air sampai 1000,0 ml. Perhatian: Larutan persediaan makronutrien ini mempunyai kadar 20 kali normal, untuk membuat satu liter media digunakan 50,0 ml. Penyimpanan dilakukan dalam almari pendingin pada 40 dan dalam keadaan tertutup rapat tahan sampai sekitar satu bulan lebih.
2) Pembuatan larutan persediaan mikronutrien (1) Ditimbang 166 mg kalium iodida, 1,240 g asam borat, 4,460 g mangan (II) sulfat tetrahidrat, 1,720 g seng sulfat heptahidrat, 50 mg natrium molibdat dihidrat, 5 mg tembaga (II) sulfat dan 5 mg koblat korida heksahidrat. (2) Bahan-bahan tersebut dilarutkan dalam gelas piala 1000 ml yang berisi air 750 ml dengan cara diaduk dengan pengaduk magnetik sampai larut. (3) Setelah larut dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml dan ditambah air sampai 1000,0 ml, lalu digojog sampai serba sama. Perhatian: Larutan persediaan ini mempunyai kadar 200 kali normal, sehingga untuk membuat media 1000 ml hanya diambil 500 ml. Penyimpanan seperti larutan makronutrien.
3) Pembuatan larutan persediaan besi (1) Ditimbang 5,560 g besi (II) sulfat heptahidrat dan 7,460 g natrium edetat dihidrat. (2) Bahan tersebut dilarutkan dalam 750 ml air dalam gelas piala 1000 ml sampai larut sempuma. (3) Setelah larut dipindah dalam labu takar 1000 ml dan ditambah air sampai 1000,0ml.
Perhatian: Larutan persediaan besi ini mempunyai kadar 200 kali normal, sehingga untuk membuat media diperlukan 5 ml. Penyimpanan sama dengan larutan persediaan makronutrien.
4) Pembuatan larutan persediaan vitamin (1) Ditimbang 100 mg asam nikotinat, 100 mg aneurin hidroklorida dan 100 mg piridoksin hidroklorida. (2) Bahan tersebut dilarutkan dalan 750 ml air dalam gelas piala 1000 ml sampai larut sempuma, kalau perlu diaduk dan dihangatkan. (3) Setelah larut dipindah ke dalam labu takar 1000 ml dan ditambah air sampai 1000,0ml. (4) Larutan tersebut dibagi dalam flakon dengan kapasitas 10 ml, sehingga didapat sekitar 100 buah vial/flakon. Perhatian: Untuk membuat media 1000 ml diperiukan larutan ini sebanyak 5,0 ml. Penyimpanan di almari pendingin bagian 'freezer' pada suhu -20°.
5) Pembuatan larutan persediaan 2,4-D (1) Ditimbang 50 mg asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D). (2) Kemudian dilarutkan ke dalam 2-5 ml etanol, dihangatkan hati-hati dan encerkan dengan air sampai diperoleh 100,0 ml larutan. (3) Larutan ini disimpan dalam almari pendingin, bila terjadi kekeruhan karena timbul kristal maka perlu dihangatkan sebelum dicampur dengan media. (4) Sebagai pengganti etanol dapat digunakan larutan natrium hidroksida 0,1 N bertetes sampai larut kemudian baru diencerkan dengan air. Kadar Sarutan persediaan 2,4-D ini adalah 2 mg/ml. Perhatian: Untuk pembuatan larutan auksin yang lain dapat dikerjakan sama dengan pembuatan larutan 2,4-D dan biasanya dengan melarutkan terlebih dahulu dalam NaOH 0,1 N.
6) Pembuatan larutan persediaan kinetin (1) Ditimbang
50,0
mg
kinetin
(6-furfurilaminopurin)
kemudian
dilarutkan dalam asam klorida 0,1 N bertetes sampai larut.
(2) Kemudian diencerkan dengan air sambil sedikit dihangatkan sampai larut benar, lalu ditambah air lag! sampai diperoleh 100,0 ml. (3) Penyimpanan dilakukan dalam almari pendingin. Larutan ini mengandung 2 mg kinetin/ml. Perhatian: Untuk membuat larutan sitokinin yang lain dapat dikerjakan seperti pada pembuatan larutan kinetin ini.
1. Pembuatan Media Murashige-Skoog (MS) Setelah kita mempunyai larutan persediaan (larutan stok) tersebut diatas maka untuk membuat media MS sebanyak 1000 ml, kita dapat menyusun resep sebagai berikut :
Larutan persediaan makronutrien
50 ml
Larutan persediaan mikronutrien
5 ml
Larutan persediaan besi
5 ml
Larutan persediaan vitamin
5 ml
Meso-inositol Sukrosa
100 mg 30 g
Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: (1)
Masukkan air sebanyak 750 ml ke dalam gelas piala 1500 ml, tempatkan diatas tungku dengan pengaduk magnetik, kalau tidak ada pakailah kompor listrik dan diaduk dengan pengaduk gelas.
(2)
Masukkan berturut-turut sukrosa, meso-inositol, larutan persediaan makronutrien, larutan persediaan mikronutrien, larutan persediaan besi, larutan vitamin sejumlah seperti tertera dalam resep di atas.
(3)
Bila larutan fitohormon diperlukan masukkan sejumlah sesuai dengan percobaan. Misalnya bila memerlukan 2,4-D sebanyak 1 bpj (ppm), berarti 1 mg/liter maka dapat diambilkan dari larutan persediaan sebanyak 0,5 ml.
(4)
Masukkan ke dalam labu takar 1000 ml dan ditambah air sampai didapat 1000 ml larutan.
(5)
Ukurlah pH-nya dengan pH-meter atau stik indikator universal, bila
perlu ditambah larutan kalium hidroksida 3% atau asam klorida 1%, sampai pH-nya 5,8. (6)
Masukkan agar sebanyak 8 g dan sambil diaduk dilakukan pemanasan sampai mendidih dan larutan menjadi jemih.
(7)
Untuk pembuatan media cair tidak perlu ditambah agar.
(8)
Larutan yang dalam keadaan panas tadi dibagi dalam tabung kultur atau wadah lainnya seperti diuraikan di muka. Sebagai standar untuk tabung kultur yang berukuran 25 x 150 mm diisi dengan 10 -15 ml media.
(9)
Kemudian ditutup dengan kertas aluminium dan disterilkan dengan diautoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
(10) Setelah waktu sterilisasi berakhir, buka kran hati-hati untuk membuat tekanan dalam autoklaf turun secara perlahan-lahan untuk mencegah media mendidih dan tumpah. (11) Tempatkan media yang masih cair dalam posisi tegak atau miring sesuai dengan keperluan, biarkan membeku secara perlahan-lahan dan biarkan demikian sampai hari keempat untuk mengetahui terjadinya pencemaran atau tidak. (12) Media padat atau cair jangan terlalu lama disimpan, karena kemungkinan besar terjadi perubahan selama penyimpanan. Kalau terpaksa disimpan, simpanlah pada suhu 4° C dan bila menggunakan biarkan dahulu sampai mencapai suhu ruang inkubasi.
2. Pembuatan media RT (Revised Tobacco Medium) Pembuatan media RT pada dasamya sama dengan pembuatan media MS, karena yang berbeda hanya kadar meso-inosrtol, yaitu 5.000 mg per liter serta konposisi vitamin (sembilan macam vitamin). Larutan persediaan vitamin untuk media RT adalah sebagai berikut : Sianikobalamin (vitamin B)
0,15 mg
Asam folat
50,0 mg
Riboflavin (vitamin B)
50,0 mg
Biotin (vitamin B)
100,0 mg
Kolin klorida
100,0 mg
Kalsium pantotenat
100,0 mg
Piridoksin fosfat (vitamin B)
100,0 mg
Aneurin hidroklorida (vitamin B)
100,0mg
Nikotinamida
200,0 mg
Aqua bidestilata
sampai 1.000,0 ml
Semua bahan dilarutkan dalam air sampai didapat 1000,0 ml larutan vitamin persediaan. Untuk membuat 1.000,0 ml media diperlukan 10,0 ml larutan persediaan vitamin RT. Penyimpanan pada suhu -20°C (dalam freezer) atau alamari pendingin bagian freezer. Tambahan: Untuk memacu pertumbuhan sering ditambah air kelapa (coconut milk) sebanyak 10 - 20% dari volum media.
3. Penanaman eksplan pada media a. Alat yang digunakan (1) 'Laminar airflow cabinet atau kotak aseptis (2) Pinset, skalpel dengan tangkai skalpel yang sesuai (steril, masingmasing dua buah) (3) Pembakar Bunsen atau lampu spiritus (4) Labu Erlenmeyer 100, 300, dan 600 ml (steril, secukupnya) (5) Cawan petri 0 9 cm dialasi dengan kertas saring rangkap tiga (steril, 3 set) (6) Kertas aluminium untuk penutup wadah media (steril, secukupnya) (7) Karet gelang yang tidak mudah putus (secukupnya) (8) Kertas lap (steril, secukupnya)
b. Bahan vana diaunakan (1) Sumber eksplan berupa tanaman koleksi yang ditanam pada pot dan dipelihara di dalam rumah kaca (green house). (2) Bahan eksplan dapat dipilih sebagai berikut: Untuk tumbuhan yang termasuk suku Gymnospermae: tunas, kecambah steril atau bagian floem; Graminae: lembaga, mesokotil, akar atau bagian basal batang; Dicotyledoneae: kecambah steril (akar, hipokotil, keping biji), batang, umbi akar, dan daun (Gamborg,1982). Sebagai tambahan untuk tumbuhan termasuk suku Zingiberaceae
dapat digunakan rimpang muda yang bertunas atau biji tua (Soegihardjc-,1988).
c. Pensterilan bahan eksplan 1) Penyiapan kecambah steril (1) Pilih biji yang baik dengan memasukkan ke dalam air, pilih yang tenggelam, lalu dicuci dengan air mengalir selama 30 menit. (2) Masukkan biji yang telah dicuci ke dalam etanol 70% dalam labu Erlenmeyer 100 ml, digoyang selama dua menit. (3) Tuangkan
etanolnya, lalu ditambahkan larutan pengelantang
(desinfektan) yang mengandung natrium hipoklorit 1% (dalam perdagangan tersedia dengan kadar 5,25% dengan nama 'Clorox' atau 'Sunclin' atau 'Bayclin'). Digoyang pada penggojog girorotari selama 15-20 menit. Bila perlu perlakuan ini dapat diulang sekali lagi. (4) Biji dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali berturutan selama 3, 5, dan 15 mentt. Periakuan ini dilakukan secara aseptik dalam kotak aseptik atau laminar airflow cabinet. (5) Letakkan biji tersebut pada cawan petri yang di alasi dengan kertas saring steril dan basah, lalu ditutup dengan Parafilm atau kertas aluminium, diinkubasikan pada suhu 22 - 28° C. Setiap cawan petri diisi beberapa biji steril. Untuk biji yang keras dapat dilakukan pemotongan pada ujung biji atau radikula. (6) Setelah terjadi perkebambahan, sebarang bagian kecambah dapat digunakan sebagai eksplan untuk pembentukan kalus. Untuk sumber eksplan yang lain dapat dilakukan sterilisasi dengan cara yang tercantum dalam Lampiran I, sedangkan daftar desinfektan selain larutan natrium hipoklorit dapat dilihat pada Lampiran II.
4. Penaburan eksplan pada media Untuk eksplanyang berupa daun diletakkan telungkup atau telentang, tetapi berdasarkan pengalaman penulis posisi terbaik adalah bagian dorsal menghadap ke atas atau ditelungkupkan. Untuk batang atau tunas yang melekat dibatang atau tunas ketiak daun atau tunas ujung ditancapkan atau
diletakkan horisontal. Eksplan yang berupa kepingan atau irisan tipis dapat diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian permukaan yang luas melekat erat pada media. Kalau periu ditekan pelan-pelan. Untuk eksplan yang diletakkan vertikal ada dua posisi, yaitu polar (ujung di atas) atau apolar (ujung di bawah). Biji utuh yang keras langsung dapat digunakan sebagai eksplan dengan cara diiris ujung bijinya atau dbelah dengan skalpel. Untuk pembentukan kalus pada umumnya diperiukan fitohormon 2,4-D sebanyak 1 mg periiter media (1 bagian per juta =bpj=ppm), sedangkan media yang umum digunakan adalah media MS, RT atau B5.
5. Pemeliharaan kalus atau pembiakan ulang (subkultur) Jika tidak terjadi pencemaran atau kontaminasi maka beberapa hari kemudian (sekitar dua minggu) kalus akan tumbuh dan setelah pertumbuhannya maksimal {sekitar tiga sampai empat minggu) dilakukan pembiakan ulang atau subkultur, yaitu dengan memindahkan kalus secara aseptis pada media segar. Kalus dapat dibagi menjadi dua sampai empat bagian untuk perbiakan ulang tersebut. Bila waktu subkultur terlambat, akan terjadi kekurangan nutrien dan media agar akan retak-retak karena kekurangan air. Selain itu, juga akan terjadi keracunan pada kalus dengan akibat akan timbul wama coklat pada kalus (browning).\uga pada media. Pada pemindahan kalus hams diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut, yaitu (a) kalus yang nekrosis atau mencoklat tidak diikutsertakan, (b) besamya kalus yang dipindahkan ke media segar harus sesuai dengan volum media yang tersedia. Menurut Street (1969) inokulum 5-10 mm dan beratnya sekitar 20 -100mg untuk media dengan volume 20 - 30 ml. Pemindahan kalus ke media baru tersebut sebetulnya sangat beragam, tergantung dari pertumbuhan kalus itu sendiri. Dianjurkan oleh Yeoman dan MacLeod (1977) bahwa inkubasi kalus pada suhu 25° C dan subkultur dilakukan setiap 4-6 minggu. Untuk kalus yang mawur (friable) atau mudah menjadi remah, subkultur dapat dilakukandengan membagi kalus dengan sudip aluminium atau skalpel dan langsung dipindahkan ke media baru. Untuk kalus yang kompakatau liat perlu dipindahkan ke cawan petri dan diiris dengan skalpel. Sisa eksplan dan kalus yang nekrosis harus dipisahkan dan dbuang. Untuk pemeliharaan kalus galur atau klon terpilih dalam jangka waktu lama dapat dilakukan penyimpanan secara kriopreservasi atau penyimpanan pada suhu yang sangat rendah.
6. Penumbuhan (inisiasi) ,pemeliharaan, dan pembiakan ulang kultur suspensi sel Penumbuhanan atau inisiasi kultur suspensi sel biasanya dilakukan dengan memindahkan kalus yang mawur (friable) ke media cair atau media tanpa agar, kemudian dilakukan penggoyangan secara berkesinambungan pada penggojog-berpusing atau gyrotory shaker dalam ruang inkubasi atau ruang kultur. Untuk Inisiasi kultur suspensi sel ada cara lain, meskipun memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu dengan penaburkan eksplan (hipokotil atau keping biji) dalam media cair dan digoyang terus-menerus. Sel yang baru akan lepas ke dalam media cair akibat penggojogan tersebut. Perlu diingat bahwa tidak ada kultur suspensi sel yang mengandung sel tunggal seluruhnya (Butcher dan Ingram, 1976). Walaupun misalnya seluruh sel tunggal namun dalam proses selanjutnya akan terjadi penggumpalan atau terbentuk agregat (kumpulan sel) yang ukurannya sangat beragam, selain itu juga ada sisa sel yang mati dari sisa inokulum. Yang dimaksud dengan kultur suspensi sel yang baik adalah kultur suspensi sel yang terdiri dari sebagian besar sel tunggal dan gumpalan sel yang kecil ukurannya. Untuk itu perlu kalus yang mawur yang dapat dicapai dengan upaya sebagai berikut, yaitu (a) dilakukan perubahan komposisi nutrien dalam media, (b) perbandingan auksin dan sitokinin dinaikkan, (c) memecah kalus dengan diblender, dan (d) dilakukan subkultur berulang kali. Menurut King dan Street (1977) tidak ada metode baku untuk membentuk kalus yang mawur. Banyak kondisi yang ditemukan berdasarkan trial and error. Untuk inisiasi kultur suspensi set diperlukan sejumlah kalus yang nisbi besar sebagai inokulum, misalnya untuk 100 ml media cair diperlukan 2-3 g kalus (Hegelson,1979). Pada mulanya bila kalus dimasukkan ke dalam media maka terjadi fase adaptasi (penyesuaian) sebelum terlihat adanya tanda-tanda pertumbuhan. Periode ini disebut 'lag phase'. Setelah diikuti dengan pembelahan sel dengan cepat dan jumlah sel akan meningkat secara eksponensial dan populasi sel menaik secara tinier flog phase' atau fase eksponensialUGambar 4.2). Setelah waktu pertumbuhan berhenti atau seimbang antara pertumbuhan dan kematian sel terjadi fase tetap atau 'stationary phase'. Pada tahap ini pembelahan sel berhenti karena nutrisi habis digunakan untuk pertumbuhan. Untuk pemeliharaan kultur suspensi sel, subkultur periu dilakukan sebelum fase
stasioner terjadi. Mengenai pemindahan kultur suspensi sel dilakukan pada kerapatan sel maksimal, yaitu antara hari ke-18 sampai 25, walaupun ditemukan untuk sel yang pembelahannya sangat aktrf, kerapatan sel maksimal dapat terjadi pada hari ke-6 sampai 9 (Street, 1977). Subkultur dapat dilakukan dengan cara pengenapan biomassa dan penuangan media lama, kemudian diganti dengan media segar atau media baru dengan volume yang lebih besar dari pada media semula, yaitu sekitar 1,5 sampai 2 kalinya. Agar terjadi penggojogan yang intensif, media cair tersebut ditempatkan dalam labu Erlenmeyer dengan kapasitas lima kali volume media yang digojog. Kerapatan sel maksimal berkisar antara 9x103 sampai 15x103 sel per ml. Pembiakan ulang kultur suspensi sel selalu dalam keadaan digojog dengan penggojog berpusing dalam ruang inkubasi pada suhu (25 ± 3)° C, dengan atau tanpa pencahayaan.
7. Parameter pengukuran pertumbuhan sel Kultur suspensi sel biasanya memerlukan subkultur beberapa kali. Untuk mengetahuisejauh mana pertumbuhan sel dalam kalus atau kultur suspensi sel dilakukan pengukuran atau penetapan parameter sebagai berikut (Dixon,1985). (a) Volume sel termampat, (b) Jumlah sel, (c) Bobot segar (bobot basah) dan bobot kering, (d) Kadar protein total da/atau DNA, (e) Daya hantar media, dan (f) Daya hidup sel
Gambar 4.2. Kurva pertumbuhan sel dalam sistem kultur suspensi sel
a. Volume sel termampat. Untuk menetapkan volume sel termampat (VST) dapat dilakukan dengan pemindahan sejumlah volume kultur suspensi sel dalam tabung pemusing (setrifuga), yang ukurannya 15 ml terbuat dari gelas atau plastik dengan sekala. Kemudian dipusingkan selama 5 menit dengan kecepatan 2.000 g atau 2000 rpm. Volume endapan atau gintil (pellet) akan diketahui dan dinyatakan dengan prosen terhadap volume kultur suspensi sel yang diambil. Kesalahan yang mungkin timbul adalah (a) pengambilan sampel yang tidak represetat'rf, (b) pemusingan yang tidak cukup waktu, (c) pembacaan volume endapan yang tertunda akan mengakibatkan terjadinya penggembungan sel, sehingga volume endapan yang terbaca lebih besar. Parameter ini hanya beriaku untuk kultur suspensi sel dan kultur protoplas saja.
b. Penetapan jumlah sel. Jumlah sel dalam kultur suspensi sel yang sangat halusdapat langsung ditetapkan dengan menggunakan hemositometer. Akan tetapi, pada umumnya kultur suspensi sel terdiri dari sel tunggal dan gumpalan sel yang cukup besar, sehingga sulit untuk dihitung dengan menggunakan hemositoneter. Untuk mengatasi hal ini dapat digunakan metode Brown dan Rickless (1949), yartu dengan cara merendam biomassa dalam larutan kromium
trioksida. Caranya adalah sebagai berikut: Kultur suspensi sel sebanyak satu bagian volume dicampur dengan 2 bagian volume larutan kromium trioksida 8% (b/v) dan dipanaskan selama 2-15 menit pada suhu 70° C, tergantung pada jenis sel. Setelah dingin digojog kuat-kuat untuk membantu pemecahan gumpalan sel. Setelah itu dilakukan perhitungan dengan menggunakan hemositometer dan numerator. Jumlah sel dinyatakan dengan jumlah sel per ml cuplikan. Jika perlu dilakukan pengenceran. Untuk membantu pemecahan gumpalan sel dapat digunakan enzim pektinase 0,25% (v/v) dari 'Sigma Chemical Co.) (Dixon, 1985). c. Penetapan bobot segar dan bobot kering. Bobot segar dan bobot kering dapat diterapkan terhadap kalus atau biomassa dari kultur suspensi sel. Untuk penetapan kedua parameter tersebut dapat dilakukan sebagai berikut. 1) Alat yang digunakan (a) Kertas auminium yang dibentuk seperti cawan petri untuk menimbang (b) Saringan nilon untuk memisahkan biomassa pada kultur suspensi sel (c) Cawan petri dialasi dengan kertas Whatman No.1 dua helai (lima set) (d) Eksikator berisi silikagel biru (e) Timbangan analitik (f) Almari pengering (oven)
2) Bahan yang digunakan (a) Sumber eksplan (bagian tanaman, kecambah steril, biji, dll) (b) Kultur suspensi sel
3) Cara penetapan bobot segar (fresh weight) (a) Dipilih sumber eksplan yang baik untuk penumbuhan kalus, untuk ditetapkan bobot basah atau kering (10-15 eksplan). (b) Setelah eksplan dicuci dan dibilas dengan air suling, lalu ditempatkan pada cawan petri yang dialasi dengan kertas saring, ditutup dengan cawan petri penutup. (c) Setelah itu eksplan dibentuk sesuai dengan pada waktu
penaburan,
sejumlah
tertentu
dan
eksplan
ditimbang
denganneraca analitik dengan ketelitian 0,1 mg.
Dapatkan purata bobot basah eksplan dengan mengurangi bobot cawan aluminium berisi eksplan dengan bobot cawan aluminium tadi, kemudian dibagi dengan jumlah eksplan yang ditimbang. Kalus
juga
ditetapkan
bobot
basahnya
untuk
mengetahui
pertumbuhannya, yang dilakukan sebagai berikut. (a) Eksplan yang sejenis dengan yang ditabur pada penumbuhan media penumbuhan kalus. Kemudian setiap periode tertentu (7, 14, 21, dan 28 hari) dilakukan pemanenan sebanyak 10 wadah. Pindahkan kalus, setelah dibersihkan dan sisa agar, di cawan aluminium yang telah ditara. (b) Setelah diketahui berat kotor maka kesepuluh kalus dapat diketahui berat segar. (c) Dan data ini dapat dibuat kurva pertumbuhan kalus tersebut.
d. Penetapan bobot kering. Eksplan yang digunakan untuk penetapan bobot segar dapat digunakan untuk penetapan bobot kering. Demikian pula kalus atau biomasa yang digunakan untuk penetapan bobot segar dapat juga digunakan untuk penetapan bobot kering. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara bobot segar dengan bobot kering (Dodds dan Roberts, 1983). Alat dan bahan yang digunakan dalam penetapan bobot kering ini sama dengan alat dan bahan yang digunakan pada penetapan bobot segar seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Cara kerja : (1) Pengerjaan penetapan bobot kering dilakukan sejajar dengan yang dikerjakan pada penetapan bobot segar, yaitu kalus atau biomasa yang dipanen setelah berumur 7, 14, 21 dan 28 hari. Untuk setiap selang waktu diambil sepuluh wadah kultur kalus atau suspensi sel. Cuplikan tadi ditimbang dengan alas cawan aluminium. Maka akan diperoleh bobot segar seperti yang telah dipaparkan di muka. Selanjutnya cuplikan dalam cawan aluminium tersebut diberi alas cawan petri, kemudian dipanaskan dalam almari pemanas pada suhu 60° C selam 12 jam atau semalam. (2) Setelah itu cuplikan kering didinginkan pada suhu kamar dalam eksikator,
lalu ditimbang bersama cawan aluminium. Selanjutnya dipanaskan lag! dalam almari pemanas pada suhu 60° C selam 4 jam. Didinginkan dalam eksikator dan ditimbang lagi. Bilamana selisih dua penimbangan tesebut tidak melebihi 0,1 mg maka beratnya dianggap konstan. (3) Bobot kering cuplikan diperoleh dari bwerat kotor tersebut dikurangi dengan berat cawan aluminium. Kemudian dapat dihitung purata bobot kering kalus atau biomasa untuk cuplikan tersebut pada selang waktu tertentu. (4) Eksplan segar yang telah ditetapkan bobot segamya diperlakukan juga seperti pada penetapan bobot kering kalus tadi. Pertumbuhan kalus pda selang waktu tertentu dapat dihitung, yaitu bobot kering kalus dikurangi dengan bobot kering eksplan yang sejenis. (5) Untuk penetapan Angka Unjuk Pertumbuhan sangat beragam, misalnya berdasarkan Schenk dan Hidebrandt (Dixon,1985) adalah kenaikan luas kalus setelah jangka waktu 21 hari dari inokulum seluas 20 mm2. (6) Dapat dibuat kurva hubungan antara bobot kering dengan fungsi waktu pada kertas yang sama dengan hubungan antara bobot segar dengan fungsi waktu. Apakah pertambahan bobot segar sejajar dengan pertambahan bobot kering?
e. Penetapan kandungan protein. Untuk penetapan kandungan atau jumlah dapat dilakukan berdasarkan penetapan kadar protein secara Folin-Ciocalteu (Lowry dkk.,1951). Cara ini cukup peka dan hingga kini masih banyak digunakan. Cara ini melibatkan 2 macam reaksi wama dan wama yang terjadi ditetapkan secara spektrofotometrik (Clark dan Swrtzer,1984).
f. Penqukuran dava hantar media. Dalam kultur suspensi sel tertentu (misalnya seledri atau kedelai), medianya memiliki daya hantar listrik tertentu yang berbanding
terbalik
dengan
bobot
segar
biomasa
atau
kerapatan
sel
(Dixon,1985). Perubahan daya hantar listrik atau konduktivitas tersebut disebabkan perubahan kadar ion nitrat. Pengukuran daya hantar listrik dilakukan dengan menggunakan konduktivimeter. Hubungan antara waktu, konduktivitas sertya volume sel termampat merupakan hal yang harus dikerjakan secara rutin pada pemantauan nutrisi, terutama unsur makro anorganik.
g. Daya hidup sel. Sebagai tambahan, adanya aliran protoplasma dalam sel adanya inti sel yang dapat diamati dengan mikroskop, maka daya hidup sel dapat diketahui dengan menggunakan pengecatan. Adapun prinsip dari pengecatan tersebut adalah penolakan sel hidup terhadap zat warna (misalnya 'Evans blue' 0,025%) atau zat wama tersebut mengalami metabolisme dalam sel hidup sehingga sel berpendar (misalnya fluoresein diasetat) atau sek menjadi berwama (misalnya garam tetrazolium). Hasil dari setiap metode tidak selalu sama karena ynag diukur parametemya berbeda (misalnya dalam pemberian fluoresein diasetat yang diukur aktivrtas esterase, sedangkan pada tetrazolium yang diukur efisiensi respirasi (Dixon,1985).