Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8 No. 4, Desember 2003, hal 141 – 146
Peningkatan Produksi Azadirahtin dalam Kultur Suspensi Sel Azadirachta indica A.Juss melalui Penambahan Skualen Zulfa Zakiah1) , Erly Marwani2), dan Arbayah H. Siregar2) Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Tanjungpura -Pontianak 2) Departemen Biologi, FMIPA ITB-Bandung
1)
Diterima Agustus 2003, disetujui untuk dipublikasikan Oktober 2003
Abstrak Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder dalam kultur jaringan adalah dengan penambahan prazat. Oleh karena itu telah dilakukan penelitian mengenai peningkatan produksi azadirahtin dalam kultur suspensi sel Azadirachta indica A.Juss melalui penambahan skualen sebagai prazat. Kalus diinduksi pada medium padat MS (Murashige & Skoog, 1962) dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa 0,5µM asam 2,4diklorofenoksi asetat (2,4-D) dan 1,0µM benzilamino purin (BAP). Kalus selanjutnya disubkultur ke dalam medium cair MS dengan penambahan 0,1µM 2,4-D dan 1,0µM BAP. Kultur suspensi sel disubkultur sebanyak tiga kali, selanjutnya dilakukan penambahan skualen dengan konsentrasi masing-masing 10; 100; 1000µM. Kandungan azadirahtin diukur pada 0; 2; 4; 6; 8; 10 dan 12 hari setelah penambahan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan fase gerak metanol:air (6:4). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan azadirahtin tertinggi di dalam kultur suspensi sel sebelum penambahan skualen diperoleh pada kultur yang berumur 8 hari, yaitu sebesar 0,041g/g berat kering (BK). Peningkatan kandungan azadirahtin di dalam sel dan medium dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi skualen dan umur kultur. Kandungan azadirahtin tertinggi setelah penambahan skualen di dalam sel (0,076 ± 0,006 g/g BK) dan medium (0,229 ± 0,003 mg/L) diperoleh pada penambahan 100µM skualen pada umur kultur 10 dan 12 hari. Kata kunci : azadirahtin, kultur suspensi sel, skualen Abstract One of the methods to enhance the secondary metabolite content in plant tissue culture is precursor feeding. The study on azadirachtin enhancement in cell suspension culture of Azadirachta indica A.Juss was conducted by supplying squalene as precursor. Callus were induced on Murashige-Skoog solid medium with addition of 0,5µM 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) and 1,0µM 6-benzylaminopurine (BAP). Callus were subcultured to Murashige-Skoog liquid medium with addition of 0,1µM 2,4-D and 1,0µM BAP. The cell suspension cultures were subcultured three times, and then treated each with 10, 100, and 1000µM of squalene. Azadirachtin content was measured at 0, 2, 4, 6, 8, 10 and 12 days after feeding using HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) with methanol:water (6:4) as mobile phase. The results showed that the highest azadirachtin content in cell suspension culture before supplying squalene was 0,041 g/g cell dry-weight (dw) at the age of 8 days culture. The increment of azadirachtin content in cell and medium was significantly influenced by squalene concentration and age of culture. The highest azadirachtin content after feeding in the cell mass (0,076 ± 0,006 g/g dw) and in the medium (0,229 ± 0,003 mg/L)was achieved on supplying 100µM squalene to 10 and 12 days culture. Keywords : azadirachtin, cell suspension culture, squalene Setiap gram biji nimba mengandung 3,6 mg azadirahtin2), namun keberadaan nimba di Indonesia relatif sedikit karena daerah penyebarannya terbatas di Jawa dan Bali. Disamping itu, nimba juga digunakan sebagai sumber obat-obatan dan bahan bangunan. Eksploitasi terhadap tanaman ini menyebabkan penurunan populasinya di alam yang secara langsung mengakibatkan berkurangnya sumber biopestisida, khususnya azadirahtin3,4). Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan metode alternatif, yaitu dengan menggunakan kultur jaringan. Salah satu tipe kultur yang dapat digunakan untuk menghasilkan metabolit sekunder pada tanaman adalah kultur sel. Meskipun pada beberapa
1. Pendahuluan Nimba (Azadirachta indica A.Juss) adalah salah satu jenis tanaman yang menghasilkan berbagai zat aktif, salah satu bahan aktif tersebut adalah azadirahtin, suatu senyawa triterpenoid yang berguna sebagai sumber terbaik untuk biopestisida1). Azadirahtin dapat digunakan sebagai biopestisida karena bersifat “antifeedant” (penolak makan pada serangga) dan mengganggu pertumbuhan serta reproduksi serangga. Sampai saat ini, produksi biopestisida dari tanaman nimba dilakukan dengan cara mengisolasi langsung dari tanaman utuh, terutama dari biji. 141
142
hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur sel tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder dengan jumlah yang sama bahkan lebih tinggi dari tanaman induknya, tetapi kandungan metabolit sekunder yang dihasilkan dalam kultur sel umumnya lebih rendah daripada tanaman asalnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan usaha peningkatan kandungan metabolit sekunder di dalam kultur in vitro3,5). Salah satu metode pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder dalam kultur in vitro adalah dengan penambahan prazat6). Penambahan prazat ke dalam medium kultur dapat merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam jalur biosintesis, sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder7). Prazat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan senyawa triterpen secara in vitro adalah skualen, yang merupakan senyawa triterpen linear tak jenuh dan prazat untuk semua triterpen8). Penambahan skualen sebagai prazat ke dalam kultur sel A. indica diharapkan dapat meningkatkan kandungan azadirahtin secara in vitro. Penelitian mengenai kandungan azadirahtin dalam kultur in vitro telah dilakukan oleh Veeresham et al.(1998). Kandungan azadirahtin terdeteksi pada kalus yang diinduksi dari eksplan daun (2,68% BK) pada umur kultur 20 minggu dan eksplan bunga (2,48% BK) pada minggu ke 129). Namun, informasi mengenai kandungan azadirahtin di dalam kultur suspensi sel A. indica sampai saat ini belum diperoleh. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui umur kultur yang optimum untuk memperoleh produksi azadirahtin tertinggi dalam kultur suspensi sel A. indica dan pengaruh penambahan skualen terhadap produksi azadirahtin di dalam kultur suspensi sel A. indica. 2. Bahan dan Metode 2.1 Kultur kalus Kalus diinduksi dari potongan eksplan daun majemuk kedua dan ketiga tanaman A. indica yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat (Balitro) Bogor. Eksplan ditanam pada medium padat MS10) yang ditambah zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan komposisi 0,5; 5,0; 7,5µM asam 2,4diklorofenoksi asetat (2,4-D) yang dikombinasikan dengan 0,1; 1,0; 5,0µM benzilaminopurin (BAP). 2.2. Kultur suspensi sel Kalus meremah terbaik yang diperoleh dari kultur kalus diinokulasikan ke dalam medium cair MS yang ditambah ZPT berupa 0,1; 0,5; 1,0µM 2,4D yang dikombinasikan dengan 0,1; 0,5; 1,0µM BAP, dan sebagai kontrol digunakan medium tanpa penambahan ZPT. Kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang menghasilkan pertumbuhan terbaik, yaitu kultur dengan berat massa sel tertinggi akan
JMS Vol. 8 No. 4, Desember 2003
digunakan untuk pembuatan kurva pertumbuhan sel, kurva kandungan azadirahtin dan perlakuan prazat. 2.2.1 Kurva pertumbuhan sel Kurva pertumbuhan dibuat untuk melihat pengaruh waktu (umur kultur) terhadap berat kering. Berat kering diperoleh setelah sel dikeringkan dengan “freeze dryer” hingga mencapai berat konstan. Sampling untuk pengukuran berat kering dilakukan setiap dua hari sampai pertumbuhan mengalami penurunan. 2.2.2 Kurva kandungan azadirahtin Kurva kandungan azadirahtin ditentukan dari hasil pengukuran kandungan azadirahtin di dalam massa sel dan medium dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pengukuran dilakukan setiap dua hari sekali hingga umur kultur 20 hari. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kandungan azadirahtin pada setiap fase pertumbuhan suspensi sel, sehingga waktu penambahan prazat dapat ditentukan. 2.2.3 Penambahan prazat Prazat yang digunakan adalah skualen dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000µM. Penambahan skualen ke dalam suspensi sel dilakukan pada saat kandungan azadirahtin sedang meningkat. Pemanenan dilakukan setiap dua hari sampai kultur berumur 12 hari dari waktu penambahan skualen. 2.3 Analisis kandungan azadirahtin 2.3.1 Ekstraksi sel dan medium Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Bahan kering (sel) yang telah digerus ditimbang sebanyak 0,1g, lalu diekstrak dengan 10 mL metanol teknis dalam labu Erlenmeyer yang diagitasi dengan alat pengocok pada kecepatan 120 rpm selama 48 jam. Selanjutnya ekstrak disaring dengan kertas saring Whatman no.1. Residu dibilas dua kali dengan 5 mL metanol teknis, filtratnya kemudian diuapkan dengan “vaccum rotary evaporator” sampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang, kemudian dilarutkan dengan 2 mL metanol KCKT. Medium sebanyak 10 mL dikeringkan dengan “freeze dryer” untuk menghilangkan kandungan airnya, diekstrak dengan 10 mL metanol teknis, dan dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman no.1, residunya dibilas dua kali dengan 5 mL metanol teknis. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan ”vaccum rotary evaporator” sampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang dan dilarutkan dengan 2 mL metanol KCKT.
JMS Vol. 8 No. 4, Desember 2003
Analisis kualitatif dan kuantitatif azadirahtin dilakukan dengan menggunakan KCKT merk Shimadzu dengan jenis kolom Shim-pack CLC-ODS (C18, Ø 6,0 mm x 0,15 mm). Elusi dilakukan dengan menggunakan metanol:air (6:4) secara isokratik dengan kecepatan aliran 1 mL/menit dan diamati pada UV λ 214 nm2,8). Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi puncak (“peak”) pada sampel dengan azadirahtin standar (SIGMA). Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkonversi luas area sampel dengan luas area standar. Kurva standar diperoleh dari data luas area berbagai konsentrasi larutan azadirahtin standar, kemudian dibuat hubungan luas area dengan kandungan azadirahtin. 2.4 Rancangan percobaan dan uji statistik Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor perlakuan yaitu konsentrasi skualen (10, 100 dan 1000 ppm) dan umur kultur (0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 hari setelah penambahan), dengan ulangan sebanyak tiga kali. Perbedaan kandungan azadirahtin di dalam sel dan medium sebelum dan sesudah penambahan, dilakukan dengan analisis varians (ANAVA) dengan taraf kepercayaan 95%. Jika terlihat adanya perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf kepercayaan 95%. 3. Hasil dan pembahasan 3.1 Hasil kultur kalus Potongan daun A. indica yang ditanam di dalam medium mulai memperlihatkan respons pertumbuhan pada hari kedua, yang ditandai dengan pemanjangan eksplan. Kalus mulai muncul rata-rata pada hari ke sepuluh. Pembentukan kalus dimulai dari pinggiran eksplan yang terluka dan selanjutnya akan menutupi permukaan eksplan. Pada sel yang rusak akibat perlukaan terjadi otolisis, dan dari sel yang rusak tersebut dihasilkan senyawa-senyawa yang merangsang pembelahan sel di lapisan berikutnya sehingga terbentuk kalus11). Tekstur kalus yang dihasilkan berupa kalus kompak dan kalus meremah. Perlakuan yang menghasilkan kalus yang paling meremah adalah pada medium dengan penambahan 0,5 µM 2,4-D + 1,0 µM BAP. Tekstur pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tanaman yang digunakan, komposisi nutrien medium, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan kultur12). Pertumbuhan in vitro sangat ditentukan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium dan zat pengatur tumbuh endogen yang dihasilkan oleh sel yang dikultur13).
3.2 Hasil kultur suspensi sel Pertumbuhan kultur suspensi terbaik dengan berat kering sel tertinggi diperoleh pada medium dengan penambahan 0,1 µM 2,4-D + 1,0 µM yaitu 0,259 ± 0,087g (Gambar 1). Pertumbuhan sel yang stabil dapat membentuk populasi sel dengan aktivitas fisiologi yang homogen, yaitu dalam mensintesis metabolit sekunder dan dalam pembentukan vakuola sebagai tempat penyimpanan metabolit sekunder7). Kombinasi perlakuan ini akan digunakan untuk pembuatan kurva pertumbuhan sel, kurva kandungan azadirahtin dan untuk perlakuan skualen.
berat kering sel (g/25 mL)
2.3.2 Analisis kualitatif dan kuantitatif
143
0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
kombinasi zat pengatur tumbuh
Gambar 1. Diagram batang berat kering sel kultur suspensi sel A. indica dalam medium cair MS + 2,4-D dan BAP Keterangan : A (kontrol) B (0,1 µM 2,4-D + 0,1 µM BAP) C (0,1 µM 2,4-D + 0,5 µM BAP) D (0,1 µM 2,4-D + 1,0 µM BAP) E (0,5 µM 2,4-D + 0,1 µM BAP) F (0,5 µM 2,4-D + 0,5 µM BAP) G (0,5 µM 2,4-D + 1,0 µM BAP) H (1,0 µM 2,4-D + 0,1 µM BAP) I (1,0 µM 2,4-D + 0,5 µM BAP) J (1,0 µM 2,4-D + 1,0 µM BAP) 3.3 Pertumbuhan sel dan kandungan azadirahtin Berat kering sel tertinggi dicapai pada pertumbuhan hari ke-16 yaitu 0,370 g (Gambar 2) yang menunjukkan bahwa kultur telah mencapai pertumbuhan maksimum. Setelah hari ke-16 pertumbuhan sel mengalami penurunan. Penurunan pertumbuhan sel dapat disebabkan ketersediaan nutrien di dalam medium mulai berkurang sehingga tidak mencukupi lagi untuk pertumbuhan sel selanjutnya. Selain itu menurunnya pertumbuhan sel dapat disebabkan oleh akumulasi metabolit yang bersifat racun bagi sel dan terjadinya lisis atau kematian sel14).
JMS Vol. 8 No. 4, Desember 2003
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20
umur kultur (hari)
Gambar 2. Kurva pertumbuhan kultur suspensi sel A. indica pada medium cair MS + 0,1 µM 2,4-D dan 1,0 µM BAP
azadirachtin (g/g BK sel)
Hasil analisis kualitatif kandungan azadirahtin di dalam sel dan medium menunjukkan bahwa waktu retensi azadirahtin standar adalah pada menit ke 8,409. Hasil analisis kuantitatif berupa kurva kandungan azadirahtin di dalam sel (Gambar 3) memperlihatkan bahwa azadirahtin sudah dapat terdeteksi pada kultur berumur 0 hari. Akumulasi azadirahtin tertinggi dicapai pada umur 8 hari dengan hasil sebanyak ±0,041 g/g BK atau 4,1% BK. Kandungan azadirahtin di dalam sel mulai mengalami penurunan setelah hari ke-8 sampai hari ke-20. Terjadinya penurunan kandungan azadirahtin di dalam sel disebabkan karena sel masih berada dalam fase pertumbuhan cepat (eksponensial) yaitu sampai hari ke-16, sehingga nutrien yang ada di dalam medium digunakan untuk pertumbuhan sel. Hal tersebut memperlihatkan bahwa di dalam kultur terjadi persaingan penggunaan prazat untuk metabolisme primer dan sekunder15). Selain itu terjadinya penurunan kandungan azadirahtin di dalam sel juga disebabkan karena sekresi azadirahtin ke dalam medium.
0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20
umur kultur (hari)
Gambar 3. Kurva kandungan azadirachtin dalam sel pada kultur suspensi sel A. indica Akumulasi azadirahtin di dalam medium mulai terdeteksi pada umur kultur dua hari dan akumulasi tertinggi diperoleh pada kultur berumur 10 hari yaitu 0,269 mg/mL (Gambar 4). Terjadinya akumulasi azadirahtin di dalam medium yang cukup
tinggi disebabkan oleh sekresi yang dilakukan oleh sel. Hal ini terjadi karena azadirahtin yang tergolong ke dalam senyawa terpenoid memiliki mekanisme sekresi alami secara pasif melalui proses difusi/”pure difusion”16). Selain itu, akumulasi azadirahtin di dalam sel akan menghambat sintesisnya melalui mekanisme regulasi yaitu penghambatan oleh produk (“product inhibition”), sehingga azadirahtin yang ada di dalam sel harus disekresikan ke dalam medium17). Setelah umur kultur 10 hari, kandungan azadirahtin di dalam medium mengalami penurunan. Penurunan dapat terjadi diduga karena azadirahtin terdegradasi menjadi senyawa lain atau aktivitas enzim yang terlibat dalam jalur biosintesis azadirahtin sudah menurun18). 0,3
azadirachtin (mg/mL)
berat kering sel (g/25mL)
144
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20
umur kultur (hari)
Gambar 4. Diagram batang kurva kandungan azadirachtin dalam medium pada kultur suspensi sel A. indica 3.4 Pengaruh penambahan skualen terhadap kandungan azadirahtin Berdasarkan kurva kandungan azadirahtin di dalam sel (Gambar 3), penambahan skualen ke dalam medium kultur dilakukan pada umur kultur 6 hari, yaitu saat akumulasi kandungan azadirahtin di dalam sel hampir mencapai maksimum. Penambahan prazat eksogen untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder di dalam sel sebaiknya dilakukan pada saat kandungan metabolit sedang meningkat16). Penambahan skualen pada konsentrasi 10, 100 dan 1000 µM ke dalam medium kultur memperlihatkan peningkatan kandungan azadirahtin bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa skualen mempunyai peran yang nyata dalam jalur biosintesis azadirahtin. Semua senyawa triterpenoid diturunkan dari triterpen linear tak jenuh yang disebut skualen19,20). Penambahan prazat ke dalam kultur dapat merangsang enzim tertentu dalam jalur biosintesis, sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder7).
145
penambahan skualen sekresi azadirahtin dari sel ke dalam medium tetap terjadi. Senyawa-senyawa triterpenoid, fenol, dan beberapa alkaloid mempunyai mekanisme sekresi alami berupa sekresi pasif melalui difusi16). Selain itu akumulasi metabolit sekunder di dalam sel atau sekresinya ke medium berlangsung lebih cepat bila dibandingkan dengan degradasinya21).
0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
2
4
6
8
10
0,25
12 azadirachtin (mg/mL)
azadirachtin (g/g BK sel)
JMS Vol. 8 No. 4, Desember 2003
umur kultur (hari) kontrol
alkohol
10 uM skualen
100 uM skualen
1000 uM skualen
Gambar 5. Diagram batang kandungan azadirachtin di dalam sel pada kultur suspensi sel A. indica yang ditambah skualen 10, 100 dan 1000 µM dibandingkan dengan kontrol Kandungan azadirahtin tertinggi di dalam sel diperoleh pada penambahan 100µM skualen dengan waktu pengamatan empat hari setelah penambahan atau pada kultur berumur 10 hari yaitu 0,0076 ± 0,006 g/g BK (Gambar 5). Kandungan azadirahtin pada perlakuan ini berbeda nyata dengan kandungan azadirahtin pada penambahan konsentrasi skualen lainnya maupun dengan kontrol. Waktu akumulasi kandungan azadirahtin pada kultur setelah penambahan skualen lebih lama bila dibandingkan dengan kandungan azadirahtin sebelum penambahan. Hal ini menunjukkan bahwa masuknya skualen ke dalam jalur biosintesis memerlukan rentang waktu tertentu. Kandungan azadirahtin di dalam sel setelah penambahan skualen memperlihatkan peningkatan maksimum sebesar 85,366% bila dibandingkan dengan kandungan azadirahtin tertinggi pada kontrol (0,041 g/g BK). Bila dibandingkan antara penambahan 10 dan 1000 µM skualen dengan penambahan 100 µM ke dalam medium, terlihat bahwa kandungan azadirahtin pada penambahan 100 µM skualen memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan skualen ke dalam medium mempunyai kisaran konsentrasi tertentu untuk dapat meningkatkan kandungan azadirahtin secara optimum baik di dalam sel maupun medium. Dalam hal ini penambahan skualen ke dalam medium selain berperan sebagai substrat bagi enzim untuk pembentukan azadirahtin, konsentrasi skualen juga merupakan faktor pembatas dalam pembentukan azadirahtin. Keadaan ini diduga berhubungan dengan jumlah dan kerja enzim yang terlibat dalam jalur biosintesis azadirahtin. Penambahan skualen juga meningkatkan kandungan azadirahtin di dalam medium. Kandungan azadirahtin tertinggi dicapai pada penambahan 100 µM skualen dengan waktu pengamatan hari ke-6 setelah penambahan atau pada kultur berumur 12 hari yaitu 0,229 ± 0,003 mg/mL (Gambar 6). Hal ini memperlihatkan bahwa setelah
0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
2
4
6
8
10
12
umur kultur (hari)
kontrol
alkohol
10 uM skualen
100 uM skualen
1000 uM skualen
Gambar 6. Diagram batang kandungan azadirachtin dalam medium pada kultur suspensi sel A. indica yang ditambah skualen 10, 100 dan 1000 µM dibandingkan dengan kontrol 4. Kesimpulan Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang optimum untuk menginduksi kalus meremah dari potongan daun A. indica dalam medium MS adalah 0,5 µM 2,4-D dan 1,0 µM BAP. Pertumbuhan kultur suspensi terbaik dengan berat kering sel tertinggi (0,259 g) adalah pada penambahan 0,1 µM 2,4-D dan 1,0 µM BAP. Kandungan azadirahtin tertinggi di dalam sel sebelum penambahan skualen (0,041 g/g BK) adalah pada kultur yang berumur 8 hari. Penambahan skualen berpengaruh nyata dalam meningkatkan kandungan azadirahtin di dalam sel (0,076 ± 0,006 g/g BK) dengan persentase peningkatan sebesar 85,366% diperoleh pada perlakuan dengan penambahan 100 µM skualen dan umur kultur 10 hari. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
Singhal, N., & Monika, S. “Neem and Environment”, World Neem 14, New Delhi (1998). Schmutterer, H. “The Neem Tree”: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest management, Medicine, Industry and Other Purpose, VCH Publishers Inc. New York , 1-5 (1995). Fowler, M.W., & Stafford, A.M. “ Plant Cell Culture: Process System and Product Synthesis”, dalam Plant Biotechnology (ed: M.W.Fowler & M. Moo-Young; Pergamon Press. Oxford, New York, 79-95 (1992).
146
4.
Howatt, K. “Azadirachta indica: One Tree’s Arsenal against Pest”, (http://www.treemail.nl/ eurobio/press/ azadir.htm.) (1999) 5. Wetter, L.R., & Constabel, F., “Metode Kultur Jaringan Tanaman”, Edisi kedua, Penerbit ITB, Bandung, 1-13 1991. 6. Buitelaar, R.M., & Tramper, J. ”Strategies to Improve the Production of Secondary Metabolite with Plant Cell Culture: A Literature Review”, Journal of Biotechnology, 23, 6-9 (1991). 7. Mantell, S.H., & Smith, H., ”Plant Biotechnology”, Cambridge University Press, Cambridge, London, 39-102 (1983). 8. Charlwood, B.V., & Charlwood, K.A., ”Terpenoid Production in Plant Cell Culture” dalam Ecological Chemistry and Biochemistry of Plant Terpenoid. Proceeding of the Phytochemical Society of Europe, 31 (ed: J.B.Harborne & F.A. Tomas, Barberan Oxford Science Publications, Oxford), 90-91 (1991). 9. Veeresham, C., Kumar, M.R., Sowjanya, D., Kokate, C.K., & Apte, S.S., ”Production of Azadirachtin from Callus Cultures of Azadirachta indica”, Fitoterapia, 69, 5, 423-424 (1998). 10. Murashige, T & Skoog, F., ”A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassay with Tobacco Tissue Cultures”, Physiol.Plant.,15, 473-497 (1962). 11. Gunawan, L.W., “Teknik Kultur Jaringan”, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, IPB, Bogor, 167-181 1987. 12. Pierik, R.L.M., “in vitro Culture of Higher Plant”, Martinus Nyhoff, Netherlands, 213-217 (1997).
JMS Vol. 8 No. 4, Desember 2003
13. George, F.E., & Sherrington, P.D., “Plant Propagation by Tissue Culture”, Handbook and Directory of Commercial Laboratories, USA, 307-330 (1984). 14. Bhojwani, S.S., & Razdan, M.K.”Plant Tissue Culture: Theory and Practice”, Elsevier, Amsterdam, 44-67 1983. 15. Linsey, K., & Yeoman, M.M., ”Novel Experiment System for Studying the Productin of Secondary metabolites by Plant Tissue Culture”, dalam Plant Biotechnology (ed: S.H. Mantel & H. Smith; Cambridge University Press), 39-66 1983. 16. Endress, R., ”Plant Cell Biotechnology”, Springer-Verlag, New York, 121-245 1994. 17. Misawa, M., ”Plant Tissue Culture: An Alternative for Production of Useful Metabolite”, FAO Agricultural Service Bulletin, 108, 41-42 (1994). 18. Croes, A.F., Jacobs, J.J.M.R., Arroo, R.R.J., & Wullems, G.J., ”Molecular and Metabolic Control of Secondary Metabolism”, Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 43, 127-130 (1995). 19. Kumar, H.D., & Singh, H.N., ”Plant Metabolism”, The Macmillan Press. Ltd. London, 256-261 1976. 20. Vickery, M.L., & Vickery, B., ”Secondary Plant Metabolism”, The Macmillan Press. Ltd. London, 127-128 1981. 21. Crocomo, O.J., Aquarone, E., & Gottlieb, O.R., ”Biosynthesis of Secondary Product in vitro”, dalam Plant Tissue Culture: Methods and Applications in Agriculture (ed.: T.A. Thorpe; Academic Press, New York) 359-371 1981.