Squalen Vol. 4 No. 1, Mei 2009
MODEL PRODUKSI SENYAWA BIOAKTIF MELALUI KULTUR SEL PADA SPONS Dysidea avara Muhammad Nursid dan Ekowati Chasanah*) ABSTRAK Spons merupakan hewan multiseluler yang paling sederhana sekaligus merupakan sumber senyawa bioaktif yang sangat berguna di dalam bidang farmasi. Senyawa-senyawa baru yang sangat beragam sudah banyak yang diisolasi dari spons. Kesulitan utama dalam memproduksi senyawa obat baru dari spons adalah kurang mencukupinya jumlah senyawa bioaktif yang dihasilkan spons untuk keperluan uji preklinis dan klinis karena rendemen yang dihasilkan sangat rendah. Artikel ini merupakan tinjauan terhadap metode kultur sel spons untuk memproduksi senyawa bioaktif dalam rangka mengatasi masalah suplai senyawa bioaktif yang diuji. Produksi senyawa avarol dari kultur primmorph spons Dysidea avara dibahas dalam review ini. Avarol dilaporkan memiliki bioaktivitas yang kuat sebagai substansi antitumor, antibakteri, dan antivirus. Model pendekatan melalui kultur primmorph dapat digunakan sebagai cara yang menjanjikan untuk memproduksi senyawa bioaktif dari spons. ABSTRACT:
The production of bioactive compounds through of cell culture of marine sponge Dysidea avara. By: Muhammad Nursid and Ekowati Chasanah
Sponge is the most primitive multicellular animal and the source of bioactive compounds that is useful as pharmaceuticals. Various novel bioactive compounds have been reported from marine sponges. The main challenge of the production of bioactive compounds from sponges is the limited quantity of the compounds which often exist in very low numbers. This article is a review of cell culture method of marine sponges to produce bioactive compounds in order to solve the supply problem of the tested bioactive compounds. Production of avarol compound from primmorph culture of marine sponge Dysidea avara is discussed in this review. Avarol has been reported to possess bioactivities as antitumor, antibacterial, and antivirus. This approach model through primmorph culture could be beneficial to produce bioactive compounds from marine sponges. KEYWORDS:
marine sponge Dysidea avara, bioactive compounds, cell culture, primmorph
PENDAHULUAN Lingkungan laut merupakan sumber senyawa bioaktif yang sangat melimpah. Senyawa bioaktif dari lingkungan laut yang secara umum berupa senyawa met aboli t sekunder sangat potensi al untuk dikembangkan sebagai bahan obat. Senyawa bioaktif dari lingkungan laut juga dapat dijadikan sebagai senyawa pemandu (lead compound) dalam sintesis obat-obatan baru. Filum Porifera (spons), Cnidaria, dan mikroorganisme merupakan sumber terbesar senyawa bioaktif dari lingkungan laut (Jha & Zi-rong, 2004). Hingga saat ini sudah lebih dari 12.000 senyawa bioaktif baru yang diisolasi dari lingkungan laut, di mana sekitar 37% diantaranya berasal dari filum Porifera (Blunt et al., 2004; dalam Hadas et al., 2005). Spons menghasilkan senyawa bioaktif yang sangat beragam (Qu et al., 2005), beberapa senyawa tersebut telah dikomersialkan dan beberapa masih dalam tahap pengujian menuju komersialisasi. Sipkema et al. (2005) melaporkan bahwa senyawa Ara-A dan Ara-B yang tel ah di gunakan untuk obat antiv i ral *)
dan anti leuki mia t elah dikembangkan oleh GlaxoSmithKline Pfizer. Senyawa tersebut dihasilkan oleh spons Cryptotethia crypta. Senyawa dari turunan agelasphin (KRN-700) yang dihasilkan oleh Agelas mauritianus telah dikembangkan oleh Kirin Brewery dalam status uji tahap 1, sedangkan perusahaan Novartis mengembangkan senyawa diskodermolid dari spons Discodermia dan masih dalam tahap yang sama. Senyawa antikanker halikondrin B yang dihasilkan oleh spons laut Lissodendoryx sp. juga dalam tahap 1 pengembangan oleh perusahaan Eisai, sedangkan senyawa isohomohalikondri n B dikembangkan oleh Pharmama dan masih dalam tahap uji preklinis. Senyawa dengan aktivitas anti kanker yaitu laulimalid, pelorusid A, salisilhalimid A, dan B, neoamfimedin masih dalam tahap preklinis, yang masing-masing berturut-turut dihasilkan dari spons Cacospongia myofijiensis, Mycale hentscheli, Haliclona sp., dan Xestospongia sp. Senyawa antiinflamasi IPL-576092 turunan contignasterol yang dihasilkan dari spons Petrosia contignata telah
Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
9
M. Nursid dan E. Chasanah
dikembangkan oleh perusahaan Inflazyme & Adventis dalam status uji tahap II, demikian juga senyawa ant ikanker hemiast erlins A & B dari spons Siphonochalina sp. oleh Wyeth Ayerst. Meskipun banyak senyawa bioaktif baru yang berasal dari spons, namun sangat terbatas jumlah senyawa yang dapat mencapai tahap uji klinis. Menurut Hadas et al. (2005) kesulitan utama untuk memproduksi obat dari spons adalah jumlah senyawa bioaktif yang dihasilkan sangat sedikit. Untuk memperoleh senyawa bioaktif yang memiliki nilai komersial diperlukan spons dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai contoh, 1 gram obat antikanker ET 743 diperoleh dari ekstraksi sekitar 1 ton (bobot basah) tunikata Ecteinascidia turbinate (Thakur & Muller, 2004). Mengambil spons dalam jumlah yang sangat besar dari habitatnya tentu saj a sangat membahayakan kesinambungan populasi spons sehingga secara ekologis sangat merugikan (Hadas et al., 2005). Metode yang berbeda telah diusulkan untuk mengatasi masalah suplai di atas. Metode pertama adalah dengan cara sintesis kimia. Hampir sebagian besar senyawa bioaktif sulit untuk disintesis karena struktur kimianya sangat kompleks. Bahkan untuk senyawa yang dapat di sintesis di laboratorium, scale-up produksinya sangat sulit untuk dikerjakan (Munro et al., 1999). Metode kedua adalah dengan mengembangkan immortal cell lines. Spons memiliki karakteristik tertentu yang membuat spons menjadi kandidat yang menjanjikan untuk mengembangkan immortal cell lines sekalipun cara ini belum berhasil, namun sel lestari primer sudah berhasil dikembangkan dari spons Suberites domuncula (Custodio et al., 1998). Kultur jaringan spons D. avara dalam skala laboratorium berhasil memproduksi senyawa bioaktif avarol (Muller et al., 2000), juga kultur sel primer dari spons Axinella corrugata mampu menghasilkan senyawa stevensine (Caralt et al., 2007). Cara yang menjanjikan dan sedang intensif dikembangkan adalah dengan memproduksi senyawa bioaktif melalui
kloning gen tertentu ke dalam mikroba yang mudah difermentasi. Budidaya spons di habitat aslinya di laut (sea ranching) juga sedang dikembangkan, contohnya adalah spons Negombata magnifica yang mampu memproduksi senyawa latuncrulin B (Hadas et al., 2005). Kultur sel spons untuk menghasilkan sel lestari spons merupakan salah satu metode produksi senyawa bioaktif yang menjanjikan sekaligus penuh tantangan. Keberhasilan dalam mengembangkan sel lestari dari mamalia telah memberi inspirasi untuk menerapkan teknik-teknik kultur sel mamalia dalam mengembangkan kultur sel lestari spons. Artikel ini akan melakukan tinjauan (review) tentang kultur sel lestari spons melalui kultur primmorph spons disertai dengan keberhasilan produksi avarol dari primmorph. KULTUR SEL LESTARI SPONS DAN PRODUKSI SENYAWA AVAROL OLEH Dysidea avara Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, sel-sel spons dapat dikultur di laboratorium dan memiliki kamampuan memproduksi senyawa bioaktif (Klautau et al., 1994; dalam De Rosa et al., 2001). Sel lestari merupakan sel-sel yang memiliki kapasitas proliferasi yang tidak terbatas. Pada mamalia, sel-sel tersebut dapat diperoleh dari jaringan tumor atau diinduksi secara artifisial melalui hibridisasi sel normal dengan sel-sel tumor, perlakuan dengan menggunakan bahan mutagen (misalnya senyawa karsinogenik, virus, atau bahan radioaktif) atau melalui tranfeksi sel dengan onkogen (misalnya gen E1 atau PER.C6 ® ). Sel lestari juga bisa dikembangkan secara spontan melalui mutasi sel-sel normal yang ditumbuhkan pada media yang diperkaya (Caralt et al., 2007). Kultur sel lestari spons yang sudah mulai berkembang dilakukan melalui kultur primmorph (Gambar 1). Primmorph merupakan kumpulan selsel multiseluler yang diperoleh dari suspensi sel-sel spons yang saling terpisah di mana sel-sel tersebut
Gambar 1. Primmorph spons Suberites domuncula (Custodio et al., 1998).
10
Squalen Vol. 4 No. 1, Mei 2009
mampu untuk berproliferasi dan berdiferensiasi (Muller, 1998 dalam Sipkema et al., 2005; Hadas et al., 2004). Sel-sel yang terdisosiasi ini dapat bersatu kembali (reaggregate) dalam media tertentu yang mengandung antibiotik. Sel-sel ini berbentuk bulatan atau bola (round-shape) dan menyerupai jaringan kulit (Custodio et al., 1998). Contoh keberhasilan kultur sel secara in vitro dapat diamati pada spons Suberitas domuncula dan D. avara. Secara umum teknik kultur primmorph dimulai dengan melakukan sterilisasi pada semua peralatan yang digunakan dalam kegiatan kultur ini. Media yang digunakan adalah CMFSW (Ca2+- dan Mg2+-free artificial seawater), CMFSW-E (CMFSWEDTA) serta air laut steril. Sampel jaringan spons dipotong-potong dengan ukuran 4–5 cm 3 lalu dimasukkan ke dalam tabung konikal yang berisi media CMFSW-E. Secara perlahan tabung konikal digoyang selama 30 menit pada suhu 16oC (proses ini dilakukan sebanyak 2 kali). Supernatan yang diperoleh lalu disaring dengan filter nilon ukuran 40 µm, digoyang selama 40 menit dan difiltrasi lagi.
Gambar 2.
Sel-sel tunggal yang terdapat pada supernatan kemudian dipanen dengan cara sentrifugasi (500 xg selama 40 menit) dan dicuci dengan CMFSW. Pelet yang diperoleh kemudian dihomogenkan dengan air laut steril yang sudah diberi antibiotik. Suspensi yang mengandung sel-sel spons sebanyak 107 sel dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diberi antibiotik. Setiap 2–3 hari media kultur diganti dengan air laut steril baru yang sudah diberi antibiotik. Kumpulan sel (cell aggregates) yang terbentuk selama inkubasi harus selalu disuspensikan kembali untuk mencegah pelekatan sel pada dasar flask kultur. Setelah primmorph berbentuk bulat (round-shape) terbentuk, primmorph lalu ditempatkan dalam mikroplat 24 sumuran dan ditambahkan 1 mL air laut dan antibiotik (Custodio et al., 1998; Muller et al., 2000). Keberhasilan kultur primmorph memberikan sebuah metode dan harapan baru dalam memproduksi senyawa bioaktif. Menurut Thakur & Muller (2004), sistem primmorph sangat berguna dan memberi harapan untuk penelitian-penelitian
(a). spons D. avara, (b). suspensi sel-sel tunggal, (c) round-shape primmorph berumur 2–3 hari (> <), (d dan e) primmorph berumur 6 hari berbentuk globular, (f) round-shape primmorph besar dengan ukuran 5 mm, (g dan h) primmorph yang melekat pada dasar flask (amp), (i) floating meshprimmorph (fmp) (Muller et al., 2000).
11
M. Nursid dan E. Chasanah
berikutnya. Produksi senyawa bioaktif yang paling menonjol yang dihasilkan oleh primmorph dalam bioreaktor pertama kali diungkap oleh Muller et al. (2000) dengan menggunakan spons D. avara sebagai sumber sel. Selama ini D. avara yang hidup di alam bebas, diketahui mampu menghasilkan senyawa avarol. Senyawa avarol merupakan kandidat obat yang memiliki aktivitas antiviral, antitumor, antiinflamasi, dan antifouling (Muller et al., 2000; Tsoukatou et al., 2007). Produksi senyawa avarol secara in vitro dengan menggunakan primmorph D. avara akan dijelaskan secara singkat dalam artikel ini. Perkembangan primmorph D.avara disajikan pada Gambar 2. Selsel yang saling terpisah dengan ukuran 12–18 µm (Gambar 2b) dimasukkan ke dalam air laut yang mengandung Ca 2+ dan Mg 2+ agar sel-sel ini membentuk kumpulan massa sel. Setelah 2–3 hari, primmorph berbentuk bulat dengan ukuran 1–3 mm mulai terbentuk (tanda > <), pada tahap awal primmorph dikelilingi oleh kumpulan sel yang tidak beraturan bentuknya (amorphous cells) (Gambar 2c). Hari ke-6 setelah dimasukkan ke dalam medium, primmorph yang memiliki bentuk globular mulai terbentuk (Gam bar 2d dan 2e). Gambar 2f memperlihatkan primmorph globular yang berukuran 5 mm. Dari hari ke-10, primmorph mulai bergabung, saling bertautan dan melekat pada dasar flask, pada masa ini primmorph berukuran 10–30 x 5–20 mm (Gambar 2g dan 2h). Pada umumnya, mulai hari ke-12 terbentuk primmorph mengambang (floatingprimmorph) yang disebut floating meshprimmorph (fmp) (Gambar 2i).
Sejauh ini laju peningkatan biomassa primmorph masih sedikit atau kurang. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh tingginya laju apoptosis sebagai penyeimbang tingginya laju pembelahan sel (Kozio et al., 1998 dalam Sipkema et al., 2005). Meskipun demikian, primmorph sangat resisten terhadap tekanan fisik dan secara umum primmorph dapat dipelihara dalam waktu yang lama (Custudio et al., 1998; Sipkema et al., 2005). Spons merupakan biota yang banyak mengandung bakteri pada jaringan tubuhnya termasuk spons D. avara. Mikroba simbion yang terdapat dalam spons diperkirakan sekitar 40–60% dari biomassa spons (Fieseler et al., 2007; Taylor et al., 2007). Untuk mendeteksi kehadiran bakteri dalam jaringan spons dan primmorph, dilakukan isolasi RNA dari jaringan spesimen D.avara dan dari primmorph, kemudian dianalisis melalui elektroforesis gel. Dari analisis ini terlihat bahwa RNA yang diekstrak dari jaringan spesimen D.avara mengandung
Penggabungan (cpm/mg) Penggabungan (cpm/mg)
Untuk membuktikan bahwa primmorph mampu melakukan pembelahan sel dapat dilakukan dengan
teknik BrdU (5-bromo-2’-deoksi-uridin) incorporation ataupun [metil-3H]timidin ([3H]-dThd) incorporation. Dengan teknik ini sintesis DNA diukur melalui laju penggabungan BrdU ataupun [3H]-dThd. Dalam kasus kultur primmorph D.avara sintesis DNA dilakukan dengan teknik [3H]-dThd yang disajikan pada Gambar 3. Dari Gambar 4 terlihat bahwa sel-sel tunggal memiliki laju penggabungan yang paling rendah sedangkan waktu i nkubasi selama 3 hari menghasi lkan laju penggabungan tertinggi. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sel-sel yang tergabung dengan primmorph mampu melakukan sintesis DNA, sebaliknya sel-sel tunggal yang belum membentuk primmoprh tidak mampu melakukan sistesis DNA.
Inkubasi Inkubasi(hari) (hari) Gambar 3.
12
Penggabungan [3H]-dThd ke dalam fraksi tidak dapat larut asam (acid-insoluble fraction) dari sel-sel D.avara (Muller et al., 2000).
Squalen Vol. 4 No. 1, Mei 2009
Gambar 4.
RNA total yang di isolasi dari jaringan spesimen D.avara (a) dan dari primmorph (b) setelah 10 hari dikultur (Muller et al., 2000).
baik 28S maupun 18S RNA. Kedua RNA ini merupakan ciri dari organisme eukaryotik (Gambar 4). Jaringan D. avara juga memperlihatkan pita 23S dan 16S RNA yang merupakan ciri dari organisme prokariyotik termasuk bakteri. Sebaliknya, RNA yang diisolasi dari primmorph hanya mengandung pita 28S dan 18S RNA. Hal ini menunjukkan bahwa primmorph hanya sedikit mengandung populasi bakteri sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa avarol yang ada dihasilkan oleh primmorph, bukan oleh bakteri.
298nm nm 298
Avarol diketahui diproduksi secara intraseluler di dalam sel dan dilepaskan ke jaringan sekitarnya. Untuk menunjukkan bahwa sel-sel tunggal dan juga primmorph mampu menghasilkan avarol, maka selsel tunggal dan primmorph D. avara diekstrak dengan menggunakan etil asetat. Secara berurutan,
ekstrak kasar difraksinasi dengan menggunakan teknik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) seperti terli hat pada Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan bahwa hanya primmorph yang menghasilkan senyawa av arol (Gambar 5B) sedangkan sel-sel tunggal (single cells) tidak menghasilkan avarol (Gambar 5A). Avarol terelusi dari kolom pada menit ke-8 (Gambar 5B). Senyawa lainnya yaitu avaron terelusi dari kolom setelah menit ke-28. Avaron merupakan senyawa minor pada D.avara. Fraksi yang mengandung avarol kemudian dianalisis secara spektrofotometri. Puncak absorbansi avarol terjadi pada panjang gelombang 298 dan 314 nm (Gambar 6A). Selanjutnya ekstrak kasar ditotolkan pada plat silika gel dan dikembangkan dengan etanol-kloroform. Avarol komersial digunakan
Waktu retensi (menit)
Waktu retensi (menit)
Gambar 5.
Kromatogram KCKT fraksi yang mengandung avarol, (A) ekstrak dari sel-sel tunggal dan (B) ekstrak dari primmorph berumur 6 hari (Muller et al., 2000).
13
M. Nursid dan E. Chasanah
B
Absorbansi
A
Kontrol
Panjang gelombang (nm)
Gambar 6. Absorbansi UV avarol (A) dan spot avarol pada plat Si gel (B) (Muller et al., 2000). sebagai standar sepert i pada Gambar 6B. Berdasarkan Gambar 6B terlihat bahwa avarol bermigrasi lebih lambat dibanding avaron. Konsentrasi avarol yang diperoleh dari spons D. avara yang berasal dari alam sebesar 1,8 µg avarol/100 µg protein (Tabel 2). Konsentrasi avarol yang berasal dari sel-sel tunggal pada umur 0–3 hari di bawah 0,05 µg/100 µg protein. Konsentrasi avarol yang paling tinggi terdapat pada primmorph
yang berumur 10 dan 15 hari masing-masing sebesar 1,2 dan 1,4 µg/100 µg protein. Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa untuk memproduksi senyawa avarol sebaiknya menggunakan primmorph yang berumur antara 10–15 hari karena pada umur ini produksi avarol paling tinggi. Avarol memiliki efek sitotoksik yang sangat kuat yaitu mampu menghambat proliferasi sel mamalia pada konsentrasi < 1 µg/mL. Karena sifatnya
Tabel 2. Kadar avarol pada spesimen spons yang dikoleksi dari lapangan, sel-sel tunggal, dan tiga jenis bentuk primmorph
Material awal
Waktu inkubasi (hari)
Kadar avarol (µg/100 µg protein)
Jaringan spons dewasa
Lapangan
1.8 ± 0.3
0
< 0.05
1
< 0.05
3
< 0.05
Primmorph (Round-shape)
3
0.4 ± 0.2
6
0.9 ± 0.4
Primmorph (adherent mesh-form)
10
1.2 ± 0.5
12
1.0 ± 0.6
Primmorph (floating/adherent)
15
1.4 ± 0.5
25
0.9 ± 0.5
Sel-sel tunggal
14
Squalen Vol. 4 No. 1, Mei 2009
Bcl-2 family, TNF family, caspase, dan faktor transkripsi) ternyata ditemukan terdapat pada spons juga (Wiens & Muller, 2006 dalam Caralt et al., 2007). Kesulitan lain yang dihadapi adalah sulitnya membedakan sel-sel embrionik spons dengan protozoa yang sering menjadi kontaminan dalam kultur sel. Namun saat ini melalui pendekatan molekuler kesulitan ini bisa dipecahkan. Dengan menggunakan marka genetik, identifikasi sel-sel spesifik yang terdapat pada spons misalnya sel pinacocytes, sclerocytes, dan collencytes dapat dilakukan (Caralt et al., 2007). Sekalipun kultur sel lestari spons belum bisa berkembang sebaik kultur sel lestari pada sel-sel
Kepadatan sel (%)
yang sitotoksik tersebut, maka perlu dilakukan pengujian apakah avarol yang diproduksi oleh primmorph juga bersifat toksik bagi sel-sel penghasil avarol. Untuk menjawab hal tersebut, maka sel-sel D. avara dan S. domuncula diberi perlakuan avarol selama 48 jam. Setelah perlakuan selama 48 jam, viabilitas sel D. avara dan S. domuncula ditentukan melalui uji 3-[4,5-dimetiltiazol-2il]-2,5-difeniltetrazolium bromida atau bromida (MTT). Viabilitas sel-sel D. avara masih tetap tinggi meskipun telah diberi perlakuan avarol pada dosis 0,1–1 µg mL, sebaliknya viabilitas sel-sel S. domuncula menurun drastis seiring dengan meningkatnya dosis avarol (Gambar 7). Hal ini memperlihatkan bahwa sel-sel D. avara memiliki mekanisme pertahanan terhadap efek toksik avarol;
Konsentrasi avarol (µg/mL) Gambar 7.
Efek pemberian avarol terhadap viabilitas sel-sel S. domuncula (balok hitam) dan D. avara (balok putih) (Muller et al., 2004).
mekanisme ini tidak dimiliki sel-sel S. domuncula (Muller et al., 2004). BEBERAPA KESULITAN DALAM MENGEMBANGKAN SEL LESTARI SPONS Kesulitan yang dihadapi dalam mengembangkan kultur sel lestari spons bersumber dari kurangnya informasi yang esensial tentang aspek biologi dan fisiologi jenis spons yang sedang di kultur. Kesulitan yang dihadapi diantaranya adalah tingginya kematian sel akibat peristiwa apoptosis. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kematian sel-sel spons berjalan dengan laju yang sama cepat dengan pembelahan sel-sel spons. Saat ini banyak penelitian yang sedang dilakukan untuk mengurangi tingginya kematian akibat aktivitas apoptosis pada sel-sel spons. Beberapa gen yang terlibat dalam proses apoptosis masih terus dipelajari. Gen-gen yang terlibat dalam apoptosis pada mamalia (misalnya kelompok
mamalia, namun bidang ini menawarkan prospek yang menjanjikan untuk mengembangkan teknik produksi senyawa bioaktif pada masa depan. Dengan demikian, meskipun beberapa kesulitan masih banyak yang tersisa, usaha untuk mengembangkan teknologi kultur sel lestari dari spons akan sangat bermanfaat. PENUTUP Produksi senyawa bioaktif secara kontinyu merupakan hal yang sangat penting agar ketersediaan senyawa bioaktif untuk uji preklinis, klinis, dan keperluan komersial dapat terpenuhi. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan untuk menghasilkan senyawa bioaktif secara kontinyu adalah melalui penerapan teknik kultur sel. Meskipun masih banyak masalah yang dihadapi dalam mengembangkan kultur sel lestari spons, tetapi keberhasilan kultur sel spons S.domuncula dan D. avara telah membuka kemungkinan dan harapan baru untuk menjawab
15
M. Nursid dan E. Chasanah
persoalan suplai senyawa bioaktif. Langkah berikutnya adalah bagaimana mengungkap informasi sebanyakbanyaknya mengenai aspek biologi, fisiologi, dan genetika dari spons, memperbaiki teknik kultur sel, dan upaya scale-up produksi senyawa bioaktif dari kultur sel-sel spons . DAFTAR PUSTAKA Caralt, S., Uriz, M.J., and Wijffels, R.H. 2007. Cell culture from sponges: pluripotency and immortality. Trend Biotechnol. 25 (10): 467–471. Custodio, M.R., Prokic, I., Steffen, R., Koziol, C., Borojevic, R., Brummer, F., Nickel, M., and Muller, W.E.G. 1998. Primmorphs generated from dissociated cells of the sponge Suberites domuncula: a model system for studies of cell proliferation and cell death. Mech. Age Develop. 105: 45–59. De Rosa, S., Caro, S.D., Tommonaro, G., Slantchev, K., Stefanov, K., and Popov, S. 2001. Development in a primary cell culture of the marine sponge Ircinia muscarum and analysis of the polar compounds. Mar. Biotechnol. 3: 281–286. Fieseler, L., Hentschel, U., Grozdanov, L., Schirmer, A., W en, G., Platzer, M., Hrvatin, S., Butzke, D., Zimmermann, K., and Piel, J. 2007. W idespread occurrence and genomic context of unusually small polyketide synthase genes in microbial consortia associated with marine sponges. Appl. Environ. Microbiol. 73 (7): 2144–2155. Hadas, E., Shpigel, M., and Ilan, M. 2005. Sea ranching of the marine sponge Negombata magnifica (Demospongiae, Latrunculiidae) as a first step for latrunculin B mass production. Aquaculture. 244: 159–169. Jha, R.K. and Zi-rong, X. 2004. Biomedical compounds from marine organism. Marine Drugs. 2: 123–146.
16
Munro, M.H.G., Blunt, J.W., Dumdei, E.J., Hickford, S.J.H., Lill, R.E., Li, S., Battershill, C.N., and Duckworth, A.R. 1999. The discovery and development of marine compound with pharmaceutical potential. J. Biotechnol. 70: 14–25. Muller, W .E.G., Bohm, M., Batel, R., Rosa, S.D., Tommonaro, G., Isabel M., Muller, I.M., and Schroder, H.C. 2000. Application of cell culture for the production of bioactive compounds from sponges: synthesis of avarol by primmorphs from Dysidea avara. J. Nat. Prod. 63: 1077– 1081. Muller, W.EG., Grabenjuk, V.A., Pennec, G.L., Schroder, H.C., Brummer, F., Hentschel, U., Muller, I.M., and Breter, H.J. 2004. Sustainable production of bioactive compounds by sponges-cell culture and gene cluster approach: a review. Mar. Biotechnol. 6: 105–117. Qu, Y., Zhang, W., Li, H., Yu, X., and Jin, M. 2005. Cultivation of marine sponges. Chin. J. of Oceanology and Limnology. 23(2): 194–198. Sipkema, D., Osinga, R., Schatton, W., Mendola, D., Tramper, J., and W ijffels, R.H. 2005. Large-scale production of pharmaceuticals by marine sponges: sea, cell, or synthesis? Biotechnol. Bioeng. 90(2): 201–222. Thakur, N.L. and Müller, E.G. 2004. Biotechnological potential of marine sponges. Current Sci. 86(11): 1506–1512. Tsoukatou, M., Marechal, J.P., Hellio, C., Novakovic, I., Tufegdzic, S., Sladic, D., Gasic, M.J., Clare, A.S., Vagias, C., and Roussis, V. 2007. Evaluation of the activity of the sponge metabolites avarol and avarone and their synthetic derivatives against fouling micro and macroorganisms. Molecules. 12: 1022–1034. Taylor, M.W., Radax, R., Steger, D., and Wagner, M. 2007. Sponge associated microorganisms: evolution, ecology, and biotechnological potential. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 71 (2) : 295–347.