TEKNIK HOMOGENISASI DAN PRA PENINGKATAN SKALA PROSES MIKROENKAPSULASI MINYAK SAWIT
ALFIA NURUL ILMA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Homogenisasi dan Pra Peningkatan Skala Proses Mikroenkapsulasi Minyak Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Alfia Nurul Ilma NIM. F24100024
ABSTRAK ALFIA NURUL ILMA. Teknik Homogenisasi dan Pra Peningkatan Skala Proses Mikroenkapsulasi Minyak Sawit. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI, DASE HUNAEFI dan SRI YULIANI. Minyak sawit adalah salah satu komoditas hasil perkebunan Indonesia yang sangat potensial, meskipun demikian pemanfaatannya sebagai produk hilir masih sangat terbatas. Minyak sawit memiliki keunikan karena mengandung pigmen karotenoid sebesar 500-700 ppm yang sangat sensitif terhadap beberapa kondisi pengolahan seperti panas dan oksidasi. Proses mikroenkapsulasi dapat diterapkan untuk melindungi karotenoid pada minyak sawit. Teknologi ini dapat menghasilkan produk dalam bentuk serbuk maupun granula yang memiliki kandungan karotenoid dengan stabilitas yang lebih tinggi selama penyimpanan dibandingkan dengan minyak sawit dalam bentuk mentah. Salah satu proses pembuatan mikroenkapsulat dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan semprot. Pada pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit, proses homogenisasi merupakan proses utama dalam pembentukan emulsi. Proses ini dipengaruhi oleh kecepatan homogenizer, lamanya waktu homogenisasi dan volume emulsi yang dihomogenisasikan. Formula mikroenkapsulat dengan bahan penyalut maltodekstrin, gum arab dan gelatin dapat digunakan pada produksi mikroenkapsulat dalam skala lebih besar pada penelitian ini. Kondisi homogenisasi mempengaruhi kualitas dan karakteristik dari emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit. Karakteristik emulsi meliputi stabilitas dan kadar total karotenoid dipengaruhi oleh peningkatan volume emulsi dan lamanya waktu homogenisasi. Peningkatan volume emulsi dan lamanya waktu homogenisasi tidak mempengaruhi karakteristik kadar air, aw dan kelarutan dari mikroenkapsulat minyak sawit secara signifikan, akan tetapi mempengaruhi kandungan minyak tidak tersalut dan efisiensi proses mikroenkapsulasi. Kata kunci : homogenisasi, karotenoid, mikroenkapsulasi, minyak sawit, pengering semprot, peningkatan skala
ABSTRACT ALFIA NURUL ILMA. Homogenization Technique and Prelimenary Study of Scaling Up Microencapsulation of Palm Oil. Supervised by TIEN R. MUCHTADI, DASE HUNAEFI and SRI YULIANI. Palm oil is one of the very important commodities in Indonesia, however the utilization of palm oil as downstream products is remain limited. Palm oil has unique characteristics because of it's carotenoids amounting of 500-700 ppm. On the other hand, carotenoids are very sensitive to heat and oxidation. Microencapsulation by spray drying is one of the methods to protect those active components. Homogenization is the main process in the formation of an emulsion of palm oil before drying process. This process is influenced by speed, time and volume of homogenization. Results showed that the process of homogenization affect the quality and characteristics of emulsion and microencapsulate of palm oil. An increase in the scale of material volume and lenght of time does not affect significant the characteristics of microencapsulate palm oil such as water content, solubility and aw, but its will affect the emulsion stability, surface oil, carotene and efficiency of microencapsulation and also affecting the quality of microencapsulate. Keyword: carotene, homogenization, microencapsulation, palm oil, scale up, spray dryer
TEKNIK HOMOGENISASI DAN PRA PENINGKATAN SKALA PROSES MIKROENKAPSULASI MINYAK SAWIT
ALFIA NURUL ILMA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang dilaksanakan sejak Maret hingga September 2014. Terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing akademik utama atas bimbingan, ajaran, serta perhatian yang telah diberikan selama menjalani masa perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. –Ing. Dase Hunaefi, STP, M.Food ST dan Dr. Sri Yuliani, MT selaku dosen pembimbing skripsi atas masukan dan perhatian yang diberikan selama penyelesaian tugas akhir. Mama, Papa, Mba Annis, Mba Ita, A Keni, A Rory, Albian dan Anqyara atas doa, dukungan, kasih sayang, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih juga kepada keluarga besar penulis atas doa dan dukungannya. Seluruh teknisi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membantu dan memberi masukan serta ilmu kepada penulis selama melaksanakan tugas akhir. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (DIKTI), atas bantuan pembiayaan penelitian melalui Hibah Kompetensi Nomor 035/SP2H/PL/DIT.LIT ABMAS/V/2013. Pihak PT. Salim Ivomas Pratama yang telah menyediakan minyak sawit sebagai bahan baku utama dalam penelitian ini. Teman seperjuangan satu bimbingan, Striwicesa Hangganararas, Ayu Pramesti dan Heri Supriadi yang selalu menemani, memberikan semangat dan masukan selama melaksanakan tugas akhir. Teman-teman seperjuangan tugas akhir Minyak Sawit, Raditya Prabowo, Stephanie Angka, Ganistie Furry Qisthina, Rahmalia Susanti, Arintiara Ramadhiastasari, Harridil Haq, Aby Hapsari, Maria Afrida dan Rizki Ardhiwan Cahya atas masukan, dukungan dan kerja sama selama melaksanakan tugas akhir. Terima kasih kepada Dewi Ratna Sari, Anggun Suriwijayanti Putri dan Desi Aristawati atas persahabatan, semangat dan dukungan kepada penulis. Terima kasih kepada Dandy Gamulya Putra, Fairuz Fajriah, Blasius Aditya Permana, Afifah Zahra Agista, Dyah Ratna Widyaswari, Tiarannisa Ikhsani, Mazaya Ghaisani, Qabul Dinanta Utama, M. As’ad dan teman-teman ITP 47 atas dukungan, kerja sama, semangat serta segala masukan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. Dan yang terakhir adalah terima kasih kepada segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata, penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih belum sempurna dan memerlukan saran serta masukan. Penulis berharap tugas akhir ini memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan memberikan dampat terhadap perkembangan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang Ilmu dan Teknologi Pangan. Bogor, Oktober 2014
Alfia Nurul Ilma NIM. F24100024
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Tahapan Penelitian
2
Prosedur Analisis
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Karakteristik Minyak Sawit Sebelum dan Setelah Pemurnian
10
Reformulasi Mikroenkapsulat Minyak Sawit
12
Proses Homogenisasi
16
Karakteristik Emulsi Minyak Sawit
18
Karakteristik Mikroenkapsulat Minyak Sawit
20
Kandungan dan Retensi Total Karotenoid Mikroenkapsulat Minyak Sawit
23
Proses Mikroenkapsulasi Minyak Sawit
24
Kajian Awal Peningkatan Skala
27
SIMPULAN DAN SARAN
30
Simpulan
30
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
35
DAFTAR TABEL 1. Reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit ........................................... 4 2. Rancangan percobaan hubungan volume dan formula bahan ................ 7 3. Rancangan percobaan hubungan volume emulsi dan waktu homogenisasi .......................................................................................... 7 4. Dimensi alat dan wadah yang digunakan pada kajian awal peningkatan skala .................................................................................... 7 5. Karakteristik minyak sawit sebelum dan setelah proses pemurnian ..... 11 6. Karakteristik reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .................... 13 7. Kestabilan emulsi minyak sawit (%) .................................................... 19 8. Kadar air dan aw mikroenkapsulat minyak sawit .................................. 21 9. Kelarutan mikroenkapsulat minyak sawit............................................. 22 10. Kadar karotenoid dan total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit ...................................................................................................... 24
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit (Modifikasi Fasikhatun 2010) ................................................................. 5 Diagram alir proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dengan parameter lamanya waktu homogenisasi .................................... 6 a) CPO b) Olein .................................................................................... 11 a) Sistem kerja homogenizer rotor-stator b) Rotor-stator homogenizer (Weiss 2008) ................................................................... 16 Grafik hubungan waktu homogenisasi, volume emulsi dan suhu akhir homogenisasi .............................................................................. 17 Kestabilan emulsi terhadap panas dan sentrifugasi............................... 19 Kadar karotenoid emulsi minyak sawit ................................................. 20 Kadar total karotenoid pada mikroenkapsulat minyak sawit ................ 23 Kadar minyak tidak tersalut mikroenkapsulat minyak sawit ................ 25
DAFTAR LAMPIRAN 1. Diagram alir pemurnian CPO .................................................................... 36 2. Hasil uji ANOVA penelitian pendahuluan reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .................................................................. 37 3. Hasil uji lanjut Duncan warna (L*) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .............................................................................................. 38 4. Hasil uji lanjut Duncan warna (a) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .............................................................................................. 38 5. Hasil uji lanjut Duncan warna (b) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .............................................................................................. 38 6. Hasil uji lanjut Duncan kadar air (%bb) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .................................................................. 39 7. Hasil uji lanjut Duncan minyak tidak tersalut reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit .................................................................. 39
8. Hasil uji ANOVA kadar air mikroenkapsulat minyak sawit .................... 39 9. Hasil uji ANOVA aw mikroenkapsulat minyak sawit ............................... 40 10. Hasil uji ANOVA kelarutan mikroenkapsulat minyak sawit .................... 40 11. Hasil uji ANOVA total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit ......... 40 12. Hasil uji ANOVA retensi karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit ...... 41 13. Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan minyak tidak tersalut mikroenkapsulat minyak sawit .................................................................. 41 14. Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan efisiensi mikroenkapsulasi minyak sawit ............................................................................................. 42 15. Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan kestabilan emulsi minyak sawit .......................................................................................................... 42 16. Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar karoten emulsi minyak sawit ............................................................................................. 43 17. Hasil uji linear stabilitas penentuan prediksi persamaan .......................... 44 18. Hasil uji linear karoten penentuan prediksi persamaan............................. 45 19. Gambar mikroenkapsulat hasil reformulasi .............................................. 48 20. Gambar mikroenkapsulat minyak sawit dengan perlakuan faktor ............ 49
PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak sawit adalah salah satu komoditas hasil perkebunan Indonesia yang sangat potensial. Secara global, posisi produksi minyak sawit Indonesia menempati urutan pertama dan memasok hampir 50% kebutuhan minyak sawit dunia (Ermawati 2013). Pada tahun 2013 berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Indonesia telah memproduksi 31 juta ton CPO, lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2012 yaitu sebesar 23 juta ton. Meskipun demikian, pemanfaatan minyak sawit di Indonesia sebagai produk hilir masih sangat terbatas. Kebanyakan minyak sawit di ekspor ke luar negeri dalam bentuk mentah yang berpengaruh nyata pada perekonomian negara. Minyak sawit memiliki keunikan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Minyak sawit mengandung pigmen karotenoid yang sangat tinggi, yaitu sekitar 500-700 ppm (setara dengan 60.000 IU aktivitas vitamin A per 100 g) (Wiley dan Sons 2013). Hal ini dapat dilihat dari warna pada minyak sawit yang merah kekuningan sebelum mengalami proses pemurnian terutama pada tahap bleaching. Dewasa ini permintaan produk pangan yang bernutrisi semakin meningkat dan berkembang (Zeba et al. 2006) dan salah satu nutrisi yang dibutuhkan adalah vitamin A yang bisa didapatkan dari minyak sawit. Pemanfaatan vitamin A perlu dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut sekaligus menanggulangi defisiensi vitamin A di Indonesia secara umum (Herman 2007). Minyak sawit kaya akan komponen karotenoid sebagai pembentuk vitamin A, akan tetapi sangat sensitif terhadap beberapa kondisi pengolahan seperti panas dan oksidasi. Proses enkapsulasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk melindungi komponen aktif ini. Teknologi mikroenkapsulasi minyak sawit merupakan salah satu alternatif proses hilir yang diharapkan dapat menunjang suplai vitamin A dalam bentuk produk pharmaceutical. Teknologi ini akan menghasilkan produk dalam bentuk bubuk yang memiliki kandungan karotenoid dengan stabilitas yang tinggi selama penyimpanan dibandingkan dengan minyak sawit dalam bentuk mentah. Mikroenkapsulasi merupakan proses penyalutan lapisan baik terhadap partikel padatan yang kecil atau droplet dari suatu cairan atau larutan. Dengan adanya proses penyalutan ini, lapisan yang terbentuk dapat berperan menjadi impermeable physical barrier, sehingga cairan yang ada didalamnya dapat terlindungi dan memudahkan dalam proses penanganannya (Levin 2006). Salah satu proses pembuatan mikroenkapsulat dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan semprot. Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara termal untuk menghasilkan produk bubuk yang kering. Pada pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit, proses homogenisasi merupakan proses utama dalam pembentukan emulsi minyak sawit dengan bahan penyalut yang digunakan. Proses ini dipengaruhi oleh kecepatan homogenizer, lamanya waktu homogenisasi dan volume emulsi yang dihomogenisasikan. Proses homogenisasi pada skala laboratorium tentunya akan berbeda dengan skala pilot plan dan skala industri. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh lamanya waktu
2 homogenisasi pada volume emulsi tertentu terhadap karakteristik emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit. Kajian awal peningkatan skala diharapkan dapat menjembatani proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dari skala laboratorium ke tingkat skala yang lebih tinggi dengan memprediksi karakteristik emulsi hasil proses mikroenkapsulasi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi proses homogenisasi dan peningkatan skala terhadap karakteristik emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit serta memberikan gambaran mengenai prospek peningkatan skala proses mikroenkapsulasi minyak sawit.
METODE Bahan Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/CPO) yang diperoleh dari PT. Salim Ivomas Pratama Jakarta. Bahan pendukung yang digunakan maltodekstrin DE 10-15 (dextrose equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan jumlah gula pereduksi dalam satuan persen), gum arab, gelatin yang diperoleh dari toko bahan kimia Setia Guna Bogor, Tween 80 dan aquades. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah heksana (pro analysis), methanol (p.a), chloroform (p.a), kertas saring, kertas saring Whatman No. 42 dan gas nitrogen teknis. Alat Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit meliputi peralatan fraksinasi (alat degumming, deasidifikasi, spinner, fraksinasi dan filter press), jerigen, ember, homogenizer ultra turax (model Silverson L4R armfield), pengering semprot (BUCHI 190 Mini Spray Drier) dan neraca analitik. Peralatan yang digunakan untuk analisis meliputi cawan alumunium, refrigerator, oven kadar air (Memmert 1983), chromameter, rotavapor, alat titrasi, alat Soxhlet dan alat-alat gelas yang dibutuhkan. Tahapan Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas proses pemurnian CPO dan reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit. Proses pemurnian CPO dilakukan tiga tahap, yaitu proses degumming, deasidifikasi dan fraksinasi. Analisis yang
3 dilakukan pada tahap ini baik sebelum dan setelah proses pemurnian CPO adalah analisis asam lemak bebas, bilangan peroksida, bilangan Iod, kadar air serta kandungan karotenoid. Proses pemurnian CPO menghasilkan fraksi olein dan stearin dari minyak sawit. Pada penelitian pendahuluan berikutnya, dilakukan reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit dengan berbagai jenis penyalut pada perbandingan tertentu. Analisis yang dilakukan pada tahap ini meliputi analisis kadar minyak tidak tersalut, kadar air, kelarutan dan warna. Analisis ini diolah secara statistik dengan menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf signifikansi 5%. Pada penelitian utama dilakukan proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit hasil formula terpilih dengan dua kali ulangan. Formula tersebut kemudian dibuat mengikuti rancangan percobaan terkait dua faktor kondisi homogenisasi, yaitu peningkatan volume emulsi dan lamanya waktu homogenisasi. Rancangan percobaan disusun secara duplo pada setiap analisis. Penelitian utama dilanjutkan dengan analisis karakteristik emulsi minyak sawit, analisis karakteristik mikroenkapsulat minyak sawit, analsis kandungan dan retensi total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit, analisis proses mikroenkapsulasi dan analisis pra peningkatan skala proses mikroenkapsulasi minyak sawit. Analisis karakteristik emulsi minyak sawit meliputi analisis kestabilan emulsi dan total karotenoid pada emulsi. Analisis karakteristik mikroenkapsulat minyak sawit meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, activity of water (aw), total minyak dan total karotenoid. Analisis fisik yang dilakukan adalah analisis kelarutan. Analisis proses mikroenkapsulasi meliputi analisis minyak tidak tersalut, efisiensi proses mikroenkapsulasi dan analisis rendemen. Analisis tahap ini dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA untuk melihat adanya perbedaan yang signifikan atau tidak selama proses homogenisasi dilakukan dan jika diperlukan maka dilanjutkan dengan analisis Duncan. Analisis kajian awal peningkatan skala meliputi prediksi karakteristik emulsi dan prospek peningkatan skala proses mikroenkapsulasi minyak sawit. Tahap ini memberikan gambaran umum apabila produk mikroenkapsulat minyak sawit akan dibuat pada skala yang lebih besar (pra-pilot plant, pilot plan dan skala industri). Diagram alir tahapan penelitian ini secara umum dapat dilihat pada Lampiran 1. Prosedur Analisis Proses Pemurnian Crude Palm Oil Degumming (Mas’ud 2007 dan Widarta 2008) Proses degumming dilakukan terlebih dahulu dengan memanaskan CPO hingga suhu 80OC, kemudian ditambahkan asam fosfat 85% sebanyak 0.15% dari berat CPO dan diaduk perlahan dengan kecepatan 56 rpm selama 15 menit. Deasidifikasi (Widarta 2008) Proses deasidifikasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH. Larutan NaOH yang telah ditentukan jumlahnya ditambahkan dengan cepat sambil diaduk. Pada tahap ini, dilakukan excess NaOH sebesar 17.5% yang akan
4 digunakan untuk dapat mereduksi asam lemak bebas hingga kadarnya tidak lebih dari 0.15%. Setelah melalui proses deasidifikasi, sabun dipisahkan dengan menggunakan spinner. Kemudian dilakukan pencucian dengan air panas (5-8OC) lebih hangat dari suhu minyak) dengan perbandingan 1 : 7 = air : minyak dengan tujuan menghilangan gum, selanjutnya disentrifugasi kembali menggunakan spinner. Fraksinasi (Widarta 2008) Proses fraksinasi dilakukan dengan meningkatkan suhu minyak yang telah melalui proses deasidifikasi sebelumnya hingga mencapai suhu 70OC pada tangki fraksinasi, kemudian suhu minyak sawit diturunkan secara bertahap hingga suhu 20OC. Proses penurunan suhu ini disebut juga sebagai proses kristalisasi yang menghasilkan kristal atau padatan secara perlahan dan akan menumpuk pada bagian bawah tangki. Proses ini berlangsung selama kurang lebih 10 jam. Setelah itu minyak dilewatkan ke membran filter press dan akan terpisah antara fraksi olein dan stearin CPO. Fraksi olein minyak sawit akan keluar melalui pipa dan fraksi stearin akan tertahan pada membran filter press. Rangkaian proses pemurnian CPO dapat dilihat pada Lampiran 2. Reformulasi Mikroenkapsulat Minyak Sawit Penelitian pendahuluan reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit dilakukan berdasarkan perbedaan dan perbandingan bahan penyalut yang digunakan. Formula yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1Reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit % Total A1 Formula 12.40 30 Minyak Sawit (g) 61.97 150 Air (g) 14.88 36 Maltodekstrin (g) 9.92/7.44 24 Gum Arab (g) 2.48 Gelatin (g) 2.48 Larutan Kitosan 0.5 % (g) 0.83 2 Tween 80 (g) 24.79 Total Padatan g/g (%)* 1:5 Rasio O/W (g/g) 2:1 Rasio Penyalut/Minyak Sawit (g/g)
B2 30 150 36 18 6 2 24.79 1:5 2:1
C3 30 150 36 18 6 2 24.79 1:5 2:1
Keterangan : * = Termasuk minyak sawit 1 = Modifikasi Wijaya 2012 2 = Modifikasi Simatupang 2013 3 = Modifikasi Wijaya 2013, Estevinho 2013, Wawensyah 2006, Marpaung 2014 Proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dilakukan dua tahap. Tahap yang pertama adalah proses pembuatan emulsi dan tahap yang kedua adalah proses pengeringan emulsi dengan menggunakan pengering semprot. Pada
5 penelitian Marpaung (2014) bahan pengkapsul disuspensikan ke dalam air hangat suhu ±80OC dan diaduk dengan menggunakan mixer tangan pada kecepatan 1000 rpm untuk membantu proses kelarutan bahan penyalut di dalam air. Suspensi bahan penyalut ini kemudian ditambahkan Tween 80 sebagai penstabil dan dilakukan homogenisasi pada kecepatan 8000 rpm selama 3 menit. Olein minyak sawit hasil proses pemurnian ditambahkan secara perlahan ke dalam suspensi penyalut dan dihomogenisasi pada kecepatan yang sama selama 10 menit. Pada penelitian Fasikhatun (2010), emulsi minyak sawit yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot pada suhu inlet 170-180 OC, suhu outlet 80-90OC, dan laju alir bahan 8.3 mL/menit. Diagram alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Tween 80 Bahan Penyalut*
Air 80OC
Mixing
Homogenisasi t = 3 menit, 8000 rpm
Homogenisasi t = 10 menit, 8000 rpm
Olein CPO
Pengering Semprot T inlet = 170 - 180OC, T outlet= 8090OC, laju alir bahan = 8.3 ml/menit
Mikroenkapsulat minyak sawit
* = sesuai dengan formula pada Tabel 1 Gambar 1 Diagram alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit (Modifikasi Fasikhatun 2010)
6 Pembuatan Mikroenkapsulat Minyak Sawit dengan Pengkondisian Proses Homogenisasi dan Peningkatan Skala Pengkondisian proses homogenisasi yang dilakukan didasarkan pada dua faktor, yaitu lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi. Proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit yang dilakukan sama seperti pada sub bab sebelumnya. Perbedaannya terletak pada lamanya waktu homogenisasi setelah minyak sawit dituang ke dalam suspensi penyalut dan volume emulsi yang digunakan (termasuk perbedaan dimensi wadah). Diagram alir pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 2. Volume emulsi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2, rancangan percobaan dengan faktor lamanya waktu homogenisasi dan volume yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3 dan dimensi wadah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tween 80* Bahan Penyalut*
Air 80OC*
Mixing
Homogenisasi t = 3 menit, 8000 rpm
Homogenisasi t = 5, 10, 15 menit, 8000 rpm
Olein CPO*
Pengering Semprot T inlet = 170 - 180OC, T outlet= 8090OC, laju alir bahan = 8.3 mL/menit
Mikroenkapsulat minyak sawit
* = sesuai dengan formula pada Tabel 2 Gambar 2
Diagram alir proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dengan faktor lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi
7
Tabel 2 Rancangan percobaan hubungan volume (mL) dan formula bahan %Total 250 450 900 1800 Formula 12.40 30 54 108 216 Minyak Sawit (g) 61.97 150 270 540 1080 Air (g) 14.88 36 64.8 129.6 259.2 Maltodekstrin (g) 7.44 18 32.4 64.8 129.6 Gum Arab (g) 2.48 6 10.8 21.6 43.2 Gelatin (g) 0.83 2 3.6 7.2 14.4 Tween 80 (g) 24.79 24.79 24.79 24.79 Total Padatan g/g (%)* 1:5 1:5 1:5 1:5 Rasio O/W (g/g) 2:1 2:1 2:1 2:1 Rasio Penyalut/Minyak Sawit (g/g) Keterangan : * = Termasuk minyak sawit Tabel 3 Rancangan percobaan hubungan volume emulsi dan waktu homogenisasi Volume (mL) Faktor 250 450 900 1800 P1 P4 P7 P10 Waktu 5 P2 P5 P8 P11 Homogenisasi 10 P3 P6 P9 P12 (menit) 15 Tabel 4 Dimensi alat dan wadah yang digunakan pada kajian awal peningkatan skala Basis skala Volume emulsi (mL) Diameter wadah (cm) Tinggi bahan (cm) Diameter rotor (cm) Diameter stator (cm)
Skala 1 250 6.9 5 2.2 4
Skala 2 450 6.9 9.8 2.2 4
Skala 3 900 9.1 11 2.2 4
Skala 4 1800 11.7 14.5 2.2 4
Metode Analisis Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC 2012) Cawan alumunium kosong dikeringkan pada oven suhu 105OC selama 15 menit dan didinginkan di dalam desikator. Sebanyak 1 gram sampel ditimbang dan diletakkan pada cawan. Sampel yang sudah berada dalam cawan alumunium dikeringkan dalam oven bersuhu 105OC selama 6 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit hingga diperoleh bobot tetap, dan timbang dengan menggunakan neraca analitik. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (1)
Keterangan :
8 W W1 W2
= bobot contoh sebelum dikeringkan (g) = bobot contoh + cawan kering kosong (g) = bobot cawan kosong (g)
Analisis Aktifitas Air (aw) (Apriyantono et al. 1989) Sebanyak 2 gram sampel diletakkan ke dalam wadah alumunium dan dimasukkan ke dalam alat aw-meter. Nilai aw dapat langsung diketahui dan ditampilkan dalam bentuk digital pada layar alat. Analisis Karotenoid, Metode spektrofotometri (PORIM 2005) Sebanyak 0.1 gram sampel dilarutkan dengan heksana dalam labu takar 25 mL sampai tanda tera, lalu dikocok hingga benar-benar homogen. Selanjutnya absorbansi diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 446 nm. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh nilainya lebih dari 0.700. Total Karotenoid dapat dihitung dengan cara : (2) Sampel minyak yang digunakan pada analisis ini didapatkan dari hasil ekstraksi mikroenkapsulat minyak sawit dengan menggunakan metode Folch et al (1957). Diagram alir proses ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 20. Perhitungan proses ekstraksi digunakan sebagai pengukuran total minyak. Analisis Asam Lemak Bebas, Metode Titrasi (AOAC 2012) Kadar bilangan asam lemak ditentukan berdasarkan jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel. Sampel minyak ditimbang sebanyak 5 gram dalam gelas erlenmeyer 250 mL. Kemudian ditambahkan etanol 95% dan dipanaskan dalam penangas air sambil diaduk. Tambahkan indikator fenolftalein 1% sebanyak 2 tetes. Lakukan titrasi dengan NaOH 0.1 N atau 0.25 N hingga terbentuk warna merah muda yang tidak berubah selama 30 detik. Asam lemak bebas dihitung sebagai asam palmitat dengan rumus sebagai berikut : (3) Analisis Bilangan Peroksida, Metode Titrasi (AOAC 2012) Sampel ditimbang sebanyak 5 gram ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan sebanyak 30 ml pelarut, dikocok sampai semua sampel larut. KI jenuh ditambahkan sebanyak 0.5 ml, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap. Kemudian ditambahkan 30 ml air destilata dan indikator pati 1% sebanyak 2 tetes. Kelebihan iod dititer dengan larutan tiosulfat (Na2S2O3) 0.1 N, dengan cara yang sama dibuat penetapan untuk blanko. Bilangan peroksida dihitung berdasarkan rumus: (4)
9 Analisis Bilangan Iod, Metode Titrasi (AOAC 2012) Sampel minyak ditimbang sebanyak 0.5 gram dalam gelas erlenmeyer 250 mL, ditambahkan 10 mL kloroform dan 25 mL pereaksi Hanus. Kemudian larutan didiamkan di ruang gelap selama 1 jam. Setelah 1 jam, larutan ditambahkan kalium iodida (KI) 15% lalu dikocok. Titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N hingga warna hampir ilang. Selanjutnya ditambahkan indikator pati 1% sebanyak 2 tetes. Titrasi kembali sampai warna biru yang terbentuk hilang. Bilangan iod dihitung berdasarkan rumus : (5) Analisis Kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al. 1992) Sebanyak 1 gram bahan ditimbang lalu dilarutkan dalam 100 mL aquades dan disaring dengan menggunakan penyaring vakum. Kertas saring yang digunakan adalah kertas saring Whatman 42 yang sebelum digunakan sudah dikeringkan dalam oven 105OC selama 30 menit kemudian ditimbang. Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu bahan dikeringkan kembali dalam oven pada 105OC selama 3 jam dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit hingga bobotnya tetap kemudian ditimbang. Kelarutan dihitung berdasarkan rumus : (6) Keterangan : a = berat contoh yang digunakan (g) b = berat kertas saring (g) c = berat kertas saring + residu (g) ka = kadar air contoh (%bb) Analisis Kadar Minyak Tidak Tersalut, Metode Ekstraksi (Shahidi dan Wanasundara 1997) Sebanyak 1 gram sampel dibungkus dengan kertas saring biasa dan dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah diketahui beratnya. Sampel kemudian dicuci dengan menggunakan 20 ml heksana selama 1 menit, dan pencucian diulang sebanyak 3 kali. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC sampai mencapai berat tetap, kemudian ditimbang. Kadar mminyak yang tidak tersalut diperoleh berdasarkan rumus berikut : (7) Keterangan : Wa = berat labu lemak kering (g) Wg = berat labu lemak dan sampel (g) Ws = berat sampel (g)
10 Analisis Stabilitas Emulsi (Modifikasi Metode Yasumatsu et al. 1972) Pengukuran stabilitas emulsi dengan metode ini didasarkan pada kemampuan pembentukan emulsi setelah dilakukan pemanasan dan sentrifugasi. Prosedur penentuannya adalah sampel emulsi dipanaskan dalam penangas air bersuhu 80OC selama 30 menit, kemudian didinginkan dan di sentrifuse pada kecepatan 1300 rpm selama 10 menit. Volume campuran yang masih membentuk emulsi diukur dan stabilitas emulsi ditetapkan dengan persamaan berikut : (8) Analisis Warna, Metode Hunter (Hutching 1999) Analisis dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters. Prinsip kerja dari alat ini bekerja berdasarkan pengukuran perbedaan warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam. Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai L, a, dan b terhadap sampel. Nilai L menyatakan parameter kecerahan yang mempunyai nilai dari 0-100 (hitam-putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan waktu kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a dari -80-0 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b dari 070 untuk kuning dan nilai –b dari -70-0 untuk warna biru. Penetapan Rendemen (Zilberboim et al. 1986 ; Ahn et al. 2007) Rendemen mikroenkapsulat merupakan rasio antara bahan setelah diproses dengan bahan kering sebelum di proses dikalikan 100%. (9) Keterangan : * Bahan pembuat mikroenkapsulat meliputi minyak sawit, penyalut dan stabilizer Penetapan Efisiensi Mikroenkapsulasi (Komari 1997) Efisiensi proses mikroenkapsulasi dapat ditentukan dengan menggunakan perbandingan antara minyak yang terkapsul dengan total minyak keseluruhan. Minyak yang terkapsul didapatkan dari selisih antara kadar minyak total dan minyak tidak tersalut. (10)
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Minyak Sawit Sebelum dan Setelah Pemurnian Pada penelitian pendahuluan dilakukan proses permunian CPO menjadi minyak sawit merah. Bahan baku CPO yang digunakan berasal dari PT. Salim
11 Ivomas Pratama dan dapat dilihat pada Gambar 3a. Proses pemurnian konvensional meliputi proses degumming, deasidifikasi, deodorisasi, bleaching, dan fraksinasi (Kusnandar 2010). Pada proses pemurnian minyak sawit tidak keseluruhan rangkaian proses dilakukan, tergantung pada tujuan dari minyak yang diharapkan. Pemurnian pada penelitian ini meliputi proses degumming, deasidifikasi dan fraksinasi. Pada penelitian ini proses bleaching tidak dilakukan karena merusak dan dapat menghilangkan kandungan karotenoid pada minyak sawit. Pada penelitian Helena (2003), sebanyak 80% kadar karotenoid dalam minyak hilang selama proses bleaching. Proses degumming merupakan proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari senyawa fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin (Lin et al. 1998). Proses degumming dapat dilakukan dengan metode dry degumming atau wet degumming. Pada penelitian ini digunakan metode dry degumming karena rendemen yang dihasilkan sangat tinggi, yaitu sebesar 99.00%, mengacu pada penelitian Simatupang (2013). Setelah dilakukannya proses degumming, maka dilanjutkan dengan proses deasidifikasi atau netralisasi yang bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas akibat aktivitas enzim, mikroba, uap air dan oksigen setelah buah kelapa sawit dipanen dan pada saat proses degumming. Proses deasidifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses fraksinasi yang bertujuan untuk memisahkan fraksi olein (70-80%) dan stearin (20-30%). Fraksi olein digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dan dapat dilihat pada Gambar 3b.
a
b Gambar 3 a) CPO b) Olein
Tabel 5 Karakteristik minyak sawit sebelum dan setelah proses pemurnian Parameter Kadar air (%) Kadar asam lemak bebas (%) Bilangan peroksida (mg/g ekivalen O2) Bilangan Iod (%) Kandungan total karotenoid (ppm)
Sebelum (CPO) 0.19 4.70 1.1 52.8 -
Setelah (Olein CPO) 0.25 0.24 1.5 51.71 516.25
Hasil analisis CPO sebelum dan setelah proses pemurnian dapat dilihat pada Tabel 5. Keberadaan asam lemak bebas dapat dijadikan sebagai indikator awal terjadinya kerusakan minyak akibat proses hidrolisis. Hal ini beriringan dengan naiknya kadar air setelah proses pemurnian dari 0.19% menjadi 0.25%. Kadar
12 asam lemak bebas CPO awal sebelum pemurnian sebesar 4.70%, dan setelah melalui proses pemurnian menurun menjadi 0.24% pada fraksi olein CPO. Penurunan kadar asam lemak bebas dipengaruhi oleh proses pemurnian pada tahap degumming dan deasidifikasi. Proses degumming menghilangkan adanya gum dan pengotor. Ketika proses ini berlangsung, kadar asam lemak naik menjadi 6.70% karena adanya penambahan asam fosfat sebagai bahan tambahan pembantu. Naiknya kadar asam lemak bebas membuat CPO tidak masuk dalam persyaratan yang ditentukan oleh SNI Minyak Sawit 2006. Tahap pemurnian selanjutnya adalah proses deasidifikasi yang bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam pada minyak sawit dengan menambahkan NaOH berlebih. Dengan begitu, kadar asam lemak bebas menurun dan berada dalam batas maksimal yang ditetapkan oleh SNI Minyak Sawit 2006 maksimal 0.5%, sebesar 0.24%. Bilangan peroksida minyak yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kandungan bilangan peroksida yang rendah dan memungkinkan dihambatnya kerusakan senyawa karotenoid selama penyimpanan. Bilangan peroksida minyak yang digunakan pada penelitian ini sebesar 1.5 mg/g ekivalen O2, jauh lebih rendah dibandingkan dengan bilangan peroksida pada bahan baku minyak sawit pada penelitian Simatupang 2013 sebesar 18.21 mg/g ekivalen O2. Disamping itu, bilangan Iod menurun selama proses pemurnian minyak sawit dilakukan. Bilangan Iod sebelum dan setelah proses pemurnian secara berurutan adalah 52.8% dan 51.71%. Kandungan bilangan Iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan asam lemak yang menyusun minyak atau lemak (Faridah et al. 2012). Besarnya bilangan Iod ini masih berada dalam batas standar SNI Minyak Sawit 2006 sebesar 50-55%. Dari hasil uji asam lemak bebas, bilangan peroksida dan bilangan Iod, minyak sawit hasil proses pemurnian masuk di bawah standar SNI Minyak Sawit 2006 sehingga layak digunakan sebagai bahan baku pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah fraksi olein dari minyak sawit, hal ini disebabkan karena kandungan karotenoid pada olein (680760 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi stearin (380-540 ppm) (Lai et al. 2012). Kandungan karotenoid pada minyak sawit fraksi olein hasil pemurnian penelitian pendahuluan lebih rendah dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 516.25 ppm. Nilai ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis spesies kelapa sawit atau proses pendahuluan yang dilakukan. Nilai kandungan ini dijadikan sebagai kadar karotenoid awal untuk melihat retensi penurunan karotenoid pada mikroenkapsulat minyak sawit selama proses. Reformulasi Mikroenkapsulat Minyak Sawit Reformulasi pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula terbaik dalam menurunkan kadar minyak tidak tersalut dan karakteristik mikroenkapsulat yang baik melalui analisis kimia dan fisik. Kadar minyak tidak tersalut merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas dari mikroenkapsulat minyak sawit. Pada penelitian Fasikhatun (2010) laju penurunan karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit ikut dipengaruhi oleh keberadaan minyak tidak tersalut. Kadar minyak tidak tersalut yang tinggi mengindikasikan bahwa sebagian besar minyak hanya menempel pada bagian luar dinding
13 mikroenkapsulat dan zak aktif tidak tersalut sempurna oleh bahan penyalut. Hal ini akan menyebabkan karotenoid sebagai zat aktif yang ada dalam minyak sawit tidak terlindungi dan mudah mengalami kerusakan yang berakibat menurunnya kadar karotenoid didalamnya. Pada penelitian Fasikhatun (2010) dengan metode pengeringan semprot menghasilkan mikroenkapsulat minyak sawit dengan kadar minyak tidak tersalut 32.24 – 54.18%. Kadar minyak tidak tersalut pada suatu produk ditentukan oleh jumlah minyak yang ditambahkan dan kemampuan bahan penyalut untuk menyalut minyak. Bahan penyalut yang digunakan pada penelitian Fasikhatun (2010) adalah maltodekstrin dan gum arab. Akan tetapi kekurangannya adalah menghasilkan kadar minyak tidak tersalut yang sangat tinggi. Dengan begitu, perlu ditambahkan bahan penyalut lain yang dapat menurunkan kadar minyak tidak tersalut. Maltodekstrin tidak memiliki sifat lipofilik, dengan metode pengeringan semprot menyebabkan stabilitas emulsi dan retensi minyak rendah, tetapi minyak yang terenkapsulasi akan memiliki daya tahan terhadap oksidasi. Gelatin adalah produk hasil hidrolisis parsial kolagen yang berasal dari protein pada kulit, tulang atau jaringan binatang, seperti ikan dan binatang ternak. Sifat gelatin sebagai pembentuk film sering dimanfaatkan dalam industri pangan dan farmasi, termasuk mikroenkapsulasi. Pada proses mikroenkapsulasi gelatin dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan bahan penyalut lain seperti gum arab seperti pada penelitian Yudha (2008) pada pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit. Selain gelatin, kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan penyalut. Kitosan digunakan dalam industri pangan dalam pembentukan film yang bersifat biodegradable dan dalam pembuatan mikrokapsul. Kitosan memiliki sifat membentuk cross-linking yang kuat sehingga dapat memerangkap suatu komponen bahan aktif didalamnya (Estevinho 2013). Tabel 6 Karakteristik reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Parameter A B C Minyak tidak tersalut (%) 12.55 ± 0.22b 10.13 ± 0.40a 15.04 ± 0.67c Kadar air (%bb) 3.50 ± 0.36b 1.37 ± 0.01a 1.44 ± 0.10a Kelarutan (%) 98.11 ± 0.20a 97.61 ± 0.52a 97.58 ± 0.66a Warna – L* 80.57 ± 0.15c 81.35 ± 0.01b 77.97 ± 0.03a a 2.79 ± 0.01a 3.15 ± 0.08b 3.96 ± 0.01c b 73.49 ±0.23b 72.60 ± 0.09a 74.67 ± 0.02c C 73.54 72.66 74.77 Keterangan : Huruf yang sama di belakang angka pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) Analisis karakteristik mikroenkapsulat minyak sawit terdiri atas analisis minyak tidak tersalut, kadar air, kelarutan dan warna. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis penyalut terhadap karakteristik akhir mikroenkapsulat minyak sawit. Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa kadar minyak tidak tersalut pada formula B memiliki kadar terendah sebesar 10.13 ± 0.40%, sementara kadar tertinggi diperoleh formula C sebesar 15.04 ± 0.67%. Pengujian statistik menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa perbedaan bahan penyalut yang digunakan menghasilkan
14 mikroenkapsulat dengan kadar minyak tidak tersalut yang berbeda. Hasil uji One Way ANOVA analisis kadar minyak tidak tersalut dapat dilihat pada Lampiran 3 diikuti dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 8). Bahan penyalut yang digunakan pada formula B adalah maltodekstrin, gum arab dan gelatin. Berdasarkan penelitian Simanjuntak (2007) dan Simatupang (2013), gelatin berperan dalam menurunkan kadar minyak tidak tersalut mikroenkapsulat minyak sawit dengan menggunakan metode pengeringan lapis tipis. Kadar minyak tidak tersalut pada metode ini berkisar 33.30 – 61.79%. Gelatin termasuk dalam bahan penyalut basis protein yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dapat berinteraksi baik dengan emulsi oil in water. Kemampuan gelatin memerangkap minyak disebabkan karena gelatin memiliki energi adsorpsi yang tinggi dan dapat membentuk dinding mikrokapsul dengan integritas yang kuat (Estiasih 2005). Berbeda dengan formula B, formula C mengganti bahan penyalut gelatin menjadi penyalut dalam bentuk larutan kitosan 0.5%. Pada penelitian Marpaung (2014) kitosan dilarutkan dalam asam asetat glasial kemudian dicampurkan dalam suspensi penyalut (b/b). Tingginya kadar minyak tidak tersalut pada formula C dapat disebabkan karena kitosan termasuk dalam golongan makromolekul polisakarida. Kitosan diharapkan dapat menjadi penyalut kedua, setelah proses penyalutan pertama, sehingga jumlah minyak yang akan tersalut akan lebih tinggi dan proteksi terhadap komponen aktif lebih besar. Akan tetapi, karena partikel penyalutnya terlalu besar, maka terjadi pemisahan emulsi yang membuat minyak yang sudah tersalut keluar dari matriks penyalut dan meningkatkan jumlah minyak yang tidak tersalut. Tingkat kestabilan emulsi dari masing-masing formula tidak diukur secara langsung, melainkan melalui respon kadar minyak tidak tersalut pada mikroenkapsulat. Tingkat kestabilan emulsi yang rendah berpengaruh pada kadar minyak tidak tersalut yang semakin tinggi dan retensi komponen aktif yang semakin rendah (Jafari et al. 2010). Pada Tabel 6 diketahui bahwa formula B memiliki kadar air (%bb) yang paling rendah, yaitu sebesar 1.37 ± 0.01 % dan formula A memiliki kadar air yang paling tinggi sebesar 3.50 ± 0.36 %. Kadar air dipengaruhi oleh jenis penyalut yang digunakan. Mikroenkapsulat minyak sawit diharapkan memiliki kadar air yang rendah untuk mencegah terjadinya reaksi hidrolisis yang dapat menyebabkan kerusakan pada produk. Kadar air mikroenkapsulat minyak sawit ini dibandingkan dengan standar susu bubuk dalam SNI Susu Bubuk 1999 maksimal 5 %. Bahan pangan yang kadar airnya mencapai 5% atau lebih akan menyebabkan terjadinya penggumpalan setelah disimpan. Kadar air mikroenkapsulat minyak sawit dari ketiga formula masih sesuai dengan standar yang digunakan. Pengujian statistik menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa bahan penyalut yang digunakan menghasilkan mikroenkapsulat dengan kadar air yang berbeda antara formula B dan C dengan A. Hasil uji One Way ANOVA analisis kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3. Formula B memiliki kadar air yang rendah karena adanya gelatin sebagai penyalut. Gelatin akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air sekitarnya, jika air dihilangkan akan terjadi pengkristalan, karna gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer, dengan adanya gelatin maka akan semakin cepat pengkristalan dan penguapan air sehingga kadar air akan semakin rendah (Gustavo dan Canovas
15 1999). Penyerapan air atau pembentukan gel terjadi karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan membuka ikatan gelatin dan cairan yang berada di sekitarnya akan masuk ke dalam struktur gelatin sehingga larutan menjadi lebih kental. Air yang ikut terperangkap dalam matriks akan sulit terlepas dengen pengeringan suhu rendah. Formula A memiliki kadar air yang paling tinggi dipengaruhi oleh sifat dari penyalut (maltodekstrin) yang memiliki sifat higroskosipitas yang sangat tinggi (Srihadi 2010). Maltodekstrin yang digunakan memiliki dextrose equivalent (DE) 10-15. Nilai DE akan mempengaruhi jumlah komponen aktif atau zat inti yang bisa tersalut, semakin tinggi nilai DE maka nilai higrokosipitasnya akan semakin tinggi dan makin mudah menyerap air. Rendahnya presentase kelarutan dari suatu bubuk mikroenkapsulat dapat diduga karena adanya pengaruh bahan penyalut yang digunakan memiliki sifat kelarutan yang berbeda-beda (Syamsiah 1996). Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa urutan tingkat kelarutan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah formula A, B dan C, sebesar 98.11 ± 0.20%, 97.61 ± 0.52% dan 97.58 ± 0.66%. Pengujian statistik menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa kelarutan tidak signifikan dipengaruhi oleh bahan penyalut. Hasil uji One Way ANOVA analisis kelarutan dapat dilihat pada Lampiran 3. Kecilnya pengaruh jenis penyalut disebabkan karena perbandingan penggunaan maltodekstrin dan gum arab yang lebih dominan pada semua formula, sehingga tingkat kelarutan antar formula cenderung seragam. Untuk menentukan mutu suatu bahan pangan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti citarasa, warna, tekstur, dan kandungan nilai gizinya. Warna suatu bahan pangan merupakan sifat fisik yang sangat penting, karena secara langsung mudah diamati oleh indera penglihatan. Pengujian warna dapat dilihat secara subyektif oleh indera penglihatan manusia maupun secara objektif dengan alat chromameter. Chromameter adalah suatu alat untuk analisis warna secara trimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan (Faridah et al. 2012). Alat ini menunjukkan nilai L*, a dan b yang merupakan sistem notasi Hunter. Warna pada mikroenkapsulat minyak sawit diperoleh dari pigmen karotenoid yang terkandung di dalam minyak sawit yang memiliki warna merah kekuningan. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa formula B memiliki tingkat kecerahan yang paling tinggi, diikuti oleh formula A dan C. Tingkat kecerahan yang paling tinggi mengindikasikan bahwa warna mikroenkapsulat semakin pucat atau mendekati putih. Hal ini dapat menunjukkan bahwa terjadi degradasi komponen karotenoid yang terdapat dalam produk yang disebabkan oleh kemampuan penyalut dalam melindungi karotenoid minyak sawit. Formula B dan A memiliki tingkat kecerahan yang tidak jauh berbeda (Tabel 6). Tingkat warna kuning yang tinggi dapat menunjukkan seberapa besar interaksi antara minyak sawit dengan bahan penyalut. Selain itu nilai C (chromatic) menunjukkan intensitas warna. Nilai a dan b yang positif pada semua formula menunjukkan bahwa mikroenkapsulat berwana kuning kemerahan. Jika dilihat dari nilai a dan b, formula C memiliki warna kuning kemerahan yang paling pekat (dibuktikan dengan nilai C yang paling tinggi). Hal ini diduga karena kadar minyak tidak tersalut pada formula C paling tinggi. Jumlah minyak yang banyak pada permukaan dapat meningkatkan nilai a dan b. Gambar hasil reformulasi
16 mikroenkapsulat dapat dilihat pada Lampiran 22. Tujuan dari reformulasi pada penelitian ini adalah menurunkan kadar minyak tidak tersalut. Formula yang digunakan untuk perlakuan pengkondisian proses homogenisasi adalah formula B dengan kadar minyak tidak tersalut paling rendah sebesar 10.13 ± 0.40%, diikuti dengan kadar air 1.37 ± 0.01% dan kelarutan 97.61 ± 0.52%. Formula B sebagai formula terpilih kemudian diuji kadar karotenoid total dan retensi karotenoid dibandingkan dengan olein yang digunakan. Kadar karotenoid pada formula B adalah 339.69 ± 1.48 ppm dan retensi karotenoid sebesar 66.15%. Proses Homogenisasi Homogenisasi adalah proses pengecilan ukuran partikel dari fase terdispersi dan sekaligus mendistribusikan secara seragam ke dalam fase kontinyu. Homogenizer yang digunakan pada penelitian ini adalah homogenizer ultra turax tipe model Silverson L4R armfield dengan sistem kerja rotor-stator. Banyaknya industri pangan yang menggunakan homogenizer tipe ini untuk mencampurkan minyak dan air secara langsung (McClements 1999). Sistem kerja dari homogenizer ini adalah suspensi bahan dialirkan ke bagian radial opening dari sistem rotor dan dicampurkan dengan cairan pada gap diantara rotor dan stator dan berlangsung secara kontinyu sehingga terjadi proses emulsifikasi. Sistem kerja homogenizer dapat dilihat pada Gambar 4a.
a
b
Gambar 4 a) Sistem kerja homogenizer rotor-stator b) Rotor-stator homogenizer (Weiss 2008) Karakteristik dari suatu formula dan kondisi homogenisasi memiliki efek yang sangat besar terhadap karakteristik produk akhir yang dihasilkan (Weiss 2008). Parameter yang mempengaruhi proses homogenisasi adalah formula bahan, lamanya waktu homogenisasi, kecepatan putar homogenizer dan volume emulsi yang dihomogenisasi (McClements 1999). Keberhasilan operasi suatu proses pengolahan bergantung pada keefektifan pencampuran zat cair, dalam hal ini proses homogenisasi. Tujuannya untuk menyebarkan zat cair yang tidak dapat bercampur dengan zat cair lain, sehinga membentuk emulsi atau suspensi butiranbutiran halus. Pada penelitian ini fungsinya untuk menyebarkan minyak ke seluruh bagian pra emulsi untuk berinteraksi dengan penyalut sehingga terjadi proses enkapsulasi.
17
Suhu akhir homogenisasi (oC)
90 81,5 75,5
80 70
71,5
60
61,5
450 mL
55,5 49,5 44,5 41
50 40
250 mL
49,5
900 mL 44
43
1800 mL
30 5
10
15
Waktu homogenisasi (menit)
Gambar 5 Grafik hubungan waktu homogenisasi, volume emulsi dan suhu akhir homogenisasi Pada Gambar 5 dapat dilihat hubungan volume emulsi dan lamanya waktu homogenisasi dengan suhu akhir emulsi. Dari grafik didapatkan bahwa semakin besar volume emulsi, maka suhu akhir emulsi akan lebih rendah pada waktu homogenisasi yang sama. Panas yang dihasilkan dari kerja rotor-stator menyebar keseluruh bagian bahan dalam wadah secara konduksi dan konveksi. Dengan volume emulsi yang lebih besar perpindahan panas akan berjalan lebih lambat dan suhu tidak akan meningkat dengan cepat. Hal ini dapat dilihat pada volume emulsi 1800 mL, dimana kenaikan suhu tidak meningkat secara signifikan, beriringan dengan lamanya waktu homogenisasi yang dilakukan. Berbeda halnya ketika volume emulsi yang digunakan lebih kecil, suhu akan meningkat dengan signifikan ketika waktu homogenisasi yang dilakukan lebih lama. Pada volume emulsi 900 mL, semakin lama waktu homogenisasi suhu akhir emulsi meningkat dari 44.5-75.5OC. Suhu akhir homogenisasi diduga dapat mempengaruhi karakteristik mikroenkapsulat minyak sawit yaitu kandungan total karotenoid. Kandungan total karotenoid akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Dimensi wadah yang digunakan ikut mempengaruhi keefektifan dari proses mikroenkapsulasi. Wadah yang digunakan adalah bejana volume 500 mL, 1000 mL dan 2000 mL. Wadah 500 mL digunakan pada volume emulsi 250 mL dan 450 mL, wadah 1000 mL digunakan pada volume emulsi 900 mL dan wadah 2000 mL digunakan pada volume emulsi 1800 mL. Perubahan dimensi wadah merupakan faktor yang cukup penting dalam peningkatan skala. Intensitas dan durasi proses homogenisasi berpengaruh langsung terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Pada homogenizer ultra turax, masuknya bahan ke dalam radial opening akan memecah partikel menjadi ukuran yang lebih kecil, sehingga ketika waktu homogenisasi yang dilakukan lebih lama, partikel yang sudah terpecah akan kembali mengikuti siklus tersebut hingga stabil pada ukuran tertentu. Ukuran partikel yang dihasilkan dari homogenizer ultra turax adalah 2 µm (Coupland dan Tangsuphoom 2005). Intensitas siklus ini akan membuat suhu saat proses homogenisasi meningkat. Apabila dibandingkan dengan high pressure homogenizer, lamanya waktu homogenisasi dengan menggunakan ultra turax
18 homogenizer sama dengan perlakuan pengumpanan yang dilakukan pada high pressure homogenizer (McClements 1999). Emulsi minyak sawit yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot. Pengeringan semprot merupakan salah satu metode yang cukup aplikatif untuk diterapkan dalam skala industri dengan prinsip kerja dengan merubah bentuk suatu bahan cair (seperti larutan dan emulsi) menjadi bentuk partikel-partikel padatan akibat adanya kontak dengan udara panas pada suhu tinggi dan dalam waktu yang singkat. Emulsi minyak sawit termasuk dalam larutan dengan persentase air yang tinggi. Sistem oil in water akan lebih mudah dikeringkan dengan metode ini. Pengering semprot merupakan operasi proses yang berkelanjutan (continous) yang terdiri dari beberapa tahap pengeringan, mulai dari preparasi, homogenisasi, atomisasi dan dehidrasi partikel hasil atomisasi (Estevinho 2013). Setelah dilakukan proses pembuatan emulsi minyak sawit dengan 12 perlakuan sesuai dengan rancangan percobaan yang dibuat, dilakukan analisis karakteristik emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit, analisis proses mikroenkapsulasi dan analisis kajian awal peningkatan skala pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit. Karakteristik Emulsi Minyak Sawit Proses homogenisasi dengan menggunakan homogenizer ultra turax telah digunakan secara luas untuk membuat emulsi dengan viskositas yang rendah maupun tinggi. Preparasi dan homogenisasi merupakan salah satu tahap menuju proses pengeringan dengan pengering semprot. Kestabilan emulsi merupakan salah satu faktor yang penting selama proses enkapsulasi. Emulsi yang diharapkan tidak hanya terkait dengan ukuran droplet akan tetapi tingkat kestabilannya cukup tanpa terjadinya koalesen atau flokulasi, sehingga komponen aktif yang berada dalam penyalut terlindungi secara maksimal (Jafari et al. 2010). Emulsi yang telah dibuat pada volume tertentu dengan waktu homogenisasi yang berbeda-beda tidak mengalami pemisahan emulsi hingga 6 jam pada suhu ruang. Pemisahan emulsi ditandai dengan adanya pemisahan emulsi dan air. Kestabilan emulsi dapat dilihat pada Tabel 7. Waktu pengamatan tingkat kestabilan emulsi diasumsikan sebagai waktu tunggu (holding) emulsi sebelum memasuki tahap pengeringan dan selama proses pengeringan berlangsung dengan tidak ada pemberian perlakuan apapun. Kestabilan juga ikut dipengaruh oleh interaksi sterik pada emulsi. Pada sistem emulsi oil in water seperti pada penelitian ini, droplet minyak akan dilapisi oleh bahan penyalut dan emulsifier yang memiliki gugus muatan yang sama. Ketika dua droplet emulsi berdekatan, maka akan terjadi gerak penolakan dari satu droplet ke droplet lain sehingga jarak antar droplet akan dipertahankan tetap dan penggabungan membentuk droplet yang lebih besar dapat dicegah (McClements 2004). Bahan penyalut yang digunakan ada yang berperan ganda, seperti gum arab yang berfungsi sebagai penyalut dan emulsifier. Selain itu, gelatin juga dapat meningkatkan viskositas yang membantu mempertahankan stabilitas emulsi. Pengering semprot yang digunakan memiliki laju alir bahan 8.3 mL/menit, sehingga untuk mengeringkan 500 mL emulsi dibutuhkan waktu 60 menit proses
19 pengeringan. Volume terbesar yang digunakan adalah 1800 mL dan membutuhkan waktu proses pengeringan selama 3.5 jam atau 216 menit. Emulsi hasil proses homogenisasi harus stabil sebelum dan selama proses pengeringan berlangsung. Tingkat kestabilan emulsi minyak sawit mencukupi selama holding dan proses pengeringan berlangsung. Tabel 7 Kestabilan emulsi minyak sawit (%) Waktu Homogenisasi (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Volume (mL) 250
450
900
1800
Kestabilan emulsi (%)
75
Waktu Pengamatan (jam) 0
1
2
3
4
5
6
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
70
70 64,72
65 60
59,89
55
62,8 59,09
63,64
63,64
59,98 56,59
10' 54,77
50
52,28
45 0
500
15'
50,39 1000
5'
1500
2000
Volume bahan (mL)
Gambar 6 Kestabilan emulsi terhadap panas dan sentrifugasi Lamanya waktu homogenisasi pada kecepatan putar yang sama berpengaruh pada tingkat kestabilan emulsi (Kailaku et al 2012). Tingkat kestabilan juga diukur dengan menggunakan pengaruh panas dan sentrifugasi. Tingkat kestabilan emulsi dapat dilihat pada Gambar 6 yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu homogenisasi maka akan semakin meningkat kestabilan emulsi pada volume yang semakin meningkat. Kondisi ini terkait dengan distribusi penyalut dan emulsifier yang digunakan semakin merata dengan semakin lamanya waktu homogenisasi sehingga akan meningkatkan kemampuan pengikatan air oleh penyalut dan emulsifier dan menghasilkan emulsi yang stabil. Tingkat kestabilan emulsi yang rendah berpengaruh pada kadar minyak tidak tersalut yang semakin tinggi dan retensi komponen aktif yang semakin rendah (Jafari et al. 2010).
20
Kadar karotenoid emulsi (ppm)
Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi berpengaruh signifikan terhadap kestabilan emulsi minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kestabilan emulsi minyak sawit dapat dilihat pada Lampiran 16. Pada penelitian ini dilakukan uji karotenoid pada emulsi sebelum dilakukan tahap pengeringan. Pada Gambar 7 teramati bahwa semakin lama waktu homogenisasi pada setiap volume emulsi, terjadi penurunan kadar karotenoid. Hal ini disebabkan karena adanya efek panas yang timbul akibat gesekan emulsi dengan rotor-stator pada homogenizer ultra turax. Komponen karotenoid dapat terdegradasi akibat adanya panas, cahaya dan oksigen (Tan dan Nakajima 2005). Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi berpengaruh signifikan terhadap kadar karoten emulsi minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kadar karoten emulsi minyak sawit dapat dilihat pada Lampiran 17. 120
110,72
110 100
92,82
90 80 70
96,93 94,72 94,37
98,74
77,16
94,73 89,82
83,46 78,99
5' 10' 15'
65,67
60 250
450
900
1800
Volume (mL)
Gambar 7 Kadar karotenoid emulsi minyak sawit Karakteristik Mikroenkapsulat Minyak Sawit Kadar air dan aw Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah maupun berat kering. Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar air mikroenkapsulat minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kadar air dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa data kadar air mikroenkapsulat yang dihasilkan fluktuatif pada rentang 0.881.85%. Kadar air mikroenkapsulat minyak sawit ini akan dibandingkan dengan standar susu bubuk dalam SNI 01-2970-1999 sebesar maksimal 5 %. Kadar air mikroenkapsulat minyak sawit dengan pengkondisian proses homogenisasi masih sesuai dengan standar yang digunakan. Nilai kadar air ini didukung oleh penelitian Fasikhatun (2010) pada produk mikroenkapsulat minyak sawit berkisar 0.62-2.92 (%bk). Menurut Reniccius (2004) dalam Yuliani et al. (2007) kadar air yang dihasilkan dengan pengering semprot berkisar pada 2-6%.
21 Kadar air lebih dipengaruhi oleh interaksi antar bahan dalam formula, kondisi proses pengeringan dan kondisi penyimpanan. Kadar air berperan dalam perubahan matriks penyalut dari mikroenkapsulat minyak sawit. Hal ini akan mempengaruhi distribusi minyak didalamnya sehingga akan terbentuk jalan bagi oksigen untuk bertemu dengan minyak yang dapat menyebabkan oksidasi lemak (Valesco 2003). Data kadar air yang fluktuatif dipengaruhi oleh kondisi suhu inlet dan outlet pada pengering semprot yang tidak dapat dikontrol pada satu suhu tertentu melainkan berada dalam range yang naik dan turun selama proses pengeringan berlangsung. Suhu inlet pengering semprot berkisar 170-180OC dan suhu outlet pengering semprot 80-90OC. Pada penelitian Frascareli (2012), jika suhu inlet dari pengering semprot kurang dari 175OC maka kadar air dari produk yang dihasilkan memiliki kadar air yang rendah, sedangkan jika berada pada suhu di atas 175OC akan menghasilkan kadar air yang tinggi. Pada saat suhu inlet 175OC, akan terjadi perbedaan suhu antara produk yang dialirkan dengan udara panas yang berada dalam chamber. Pada saat kontak ini berlangsung, terjadi perpindahan panas dan massa yang lebih besar, hal ini membuat proses evaporasi air akan berlangsung lebih besar. Berbeda hal yang terjadi apabila suhu inlet berada di atas 175OC. Suhu ini dapat meningkatkan kadar air yang disebabkan pembentukan dinding yang terlalu cepat, sehingga menyulitkan difusi air di dalam partikel bubuk mikroenkapsulat minyak sawit. Pada penelitian Yuliani et al. (2007) dan Mardaningsih (2012), suhu inlet pengering semprot mempengaruhi kadar air dari produk, semakin tinggi suhu inlet pengering semprot, maka akan semakin rendah kadar airnya. Tabel 8 Kadar air dan aw mikroenkapsulat minyak sawit Volume (mL) 250
450
900
1800
Waktu (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Kadar Air (%bb) 1.72 ± 0.36 1.85 ± 0.69 1.55 ± 0.57 1.60 ± 0.55 1.73 ± 0.21 1.69 ± 0.42 1.45 ± 0.72 1.45 ± 0.88 1.11 ± 0.10 1.09 ± 0.47 0.88 ± 0.64 1.00 ± 0.71
aw 0.481 ± 0.02 0.467 ± 0.03 0.438 ± 0.04 0.370 ± 0.02 0.441 ± 0.02 0.417 ± 0.02 0.483 ± 0.03 0.374 ± 0.04 0.412 ± 0.03 0.421 ± 0.03 0.432 ± 0.03 0.371 ± 0.03
Activity of water (aw) menunjukkan jumlah air bebas yang ada di dalam pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhan. Nilai aw pangan dapat dihitung dengan membagi tekanan uap air dengan tekanan uap air murni. Pada produk pangan aw sangat mempengaruhi oksidasi lemak yang dapat menyebabkan kerusakan produk. Pada aw sekitar 0.2 dan 0.3 kemungkinan terjadinya oksidasi lemak sangat kecil (Velasco 2003). Kualitas produk bubuk dapat dipengaruhi oleh perubahan aw selama proses produksi dan penyimpanan.
22 Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa aw dari bubuk mikroenkapsulat yang dihasilkan berada di sekitar 0.370 – 0.481. Pada produk tepung, aw dibawah 0.7 masih dapat diterima sebagai produk yang baik (Kusnandar 2010). Pada rentang nilai aw ini, bahan penyalut diduga memiliki sifat glassy, yaitu memiliki laju pelepasan komponen aktif dari dalam mikroenkapsulat rendah (Yuliani et al. 2007). Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai aw akhir mikroenkapsulat minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kadar aw dapat dilihat pada Lampiran 10. Kelarutan Kelarutan merupakan salah satu karakteristik yang baik untuk menentukan kualitas dari suatu produk bubuk. Pada umumnya, air digunakan sebagai media pelarut pada produk mikroenkapsulat minyak sawit. Mikroenkapsulat minyak sawit dapat berbentuk bubuk maupun granula dapat dikonsumsi sebagai campuran atau premix. Pada dunia pharmaceutical, mikroenkapsulat yang masuk ke dalam tubuh akan lebih mudah larut dengan air karena sebagain besar komponen dalam tubuh adalah air. Kelarutan sangat dipengaruhi oleh kadar air dari suatu bahan. Pada penelitian Novia (2009), penurunan kelarutan seiring dengan peningkatan kadar air mikroenkapsulat minyak sawit selama penyimpanan. Mikroenkapsulat minyak sawit diharapkan memiliki tingkat kelarutan yang tinggi. Tabel 9 Kelarutan mikroenkapsulat minyak sawit Waktu (menit) 5 10 15 a a 250 96.96 ± 1.53 98.19 ± 0.51 97.68 ± 0.99 a 450 98.38 ± 0.48 a 97.69 ± 0.98 a 98.28 ± 0.39 a 900 98.16 ± 0.62 a 97.49 ± 0.81 a 97.73 ± 0.21 a a a 1800 97.20 ± 0.27 97.39 ± 0.45 96.90 ± 0.69 a Keterangan : Huruf yang sama di belakang angka pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) Volume (mL)
Nilai rata-rata hasil kelarutan mikroenkaspulat dapat dilihat pada Tabel 9. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kelarutan yang dihasilkan berkisar 96.90 – 98.38%. Berdasarkan data ini dapat dikategorikan bahwa mikroenkapsulat memiliki tingkat kelarutan yang tinggi karena berada diatas 94-95% sesuai dengan penelitian Mardaningsih (2012) pada kelarutan produk bubuk klorofil Alfalfa dengan penyalut maltodekstin dan penelitian Yuliani et al. (2007) pada produk mikrokapsul oleoresin jahe dengan bahan penyalut maltodekstrin dan natrium kaseinat. Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kelarutan mikroenkapsulat minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kelarutan dapat dilihat pada Lampiran 11. Intensitas waktu homogenisasi mempengaruhi ukuran partikel dari emulsi (McClements 1999). Semakin lama waktu homogenisasi maka ukuran partikel
23 dari emulsi dan mikroenkapsulat akan menurun yang menyebabkan tingkat kelarutan akan semakin tinggi (Iswari 2007). Ukuran partikel yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan pada mikroenkapsulat sehingga kontak dengan medium pelarut akan semakin besar dan memudahkan kelarutan bahan. Lamanya waktu homogenisasi diduga mempengaruhi tingkat kelarutan mikroenkapsulat pada suhu ruang. Akan tetapi proses homogenisasi dengan kecepatan 8000 rpm pada waktu homogenisasi yang semakin lama belum merubah ukuran partikel. Hal ini didukung dengan penelitian Kailaku et al. (2007) yang menyatakan lamanya waktu homogenisasi dengan menggunakan homogenizer ultra turax dengan intensitas 6000 – 11.000 rpm memiliki ukuran partikel yang tidak berbeda signifikan. Kandungan dan Retensi Total Karotenoid Mikroenkapsulat Minyak Sawit
Kadar total karoten (ppm)
Karotenoid dari minyak sawit dapat diabsorbsi lebih baik dibandingkan dengan sumber nabati lain karena karotenoid berada dalam medium minyak. Komponen karotenoid yang mudah mengalami kerusakan akibat panas dan oksidasi perlu dilindungi, salah satunya dengan metode mikroenkapsulasi. Kadar total karotenoid diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri.
450 400
396,52 371,71
331,78
336,41
350 300
356,2
339,62
383,29 363,99 316,29
272,37
300,66
256,21
5' 10'
250
15'
200 250
450
900
1800
Volume (mL)
Gambar 8 Kadar total karotenoid pada mikroenkapsulat minyak sawit Lamanya waktu homogenisasi yang dilakukan pada volume emulsi tertentu mempengaruhi kadar karotenoid pada mikroenkapsulat minyak sawit. Berdasarkan hasil analisis, terjadi penurunan kandungan total karotenoid pada mikroenkapsulat jika dibandingkan dengan total karotenoid awal olein minyak sawit, yaitu sebesar 516.25 ± 4.45 ppm. Mikroenkapsulat memiliki kandungan total karotenoid sebesar 256.21 – 396.52 ppm. Dapat dilihat pada Gambar 8 bahwa pada skala volume 250 mL, semakin lama waktu homogenisasi yang dilakukan maka kadar karotenoid pada mikroenkapsulat akan semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin lama waktu homogenisasi, suhu dari emulsi akan semakin meningkat dan karotenoid mudah rusak karena panas. Akan tetapi, pada skala volume 450 mL, kadar karotenoid ikut dipengaruhi oleh jumlahnya minyak tidak tersalut. Semakin lama waktu homogenisasi, jumlah kadar minyak tidak
24 tersalut akan semakin menurun, sehingga jumlah minyak yang tersalut akan semakin banyak. Jumlah minyak yang semakin banyak pada produk akan meningkatkan kadar total karotenoid (Yanuwar 2007). Tabel 10 Kadar karotenoid dan total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit Volume Waktu (mL) (menit) 250
450
900
1800
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Karotenoid minyak mikroenkapsulat (ppm) 396.52 ± 15.90 331.78 ± 66.20 272.37 ± 38.72 256.21 ± 14.41 336.41 ± 54.37 371.71 ± 19.38 339.62 ± 40.17 356.20 ± 39.36 383.29 ± 24.46 363.99 ± 9.13 316.29 ± 14.78 300.66 ± 17.08
Retensi karotenoid (%) 76.81 64.27 52.76 49.63 65.16 72.00 65.79 69.00 74.25 70.51 61.27 58.24
Karotenoid bubuk mikroenkapsulat (ppm) 125.13 ± 2.54 91.69 ± 19.44 78.24 ± 6.26 64.85 ± 0.79 89.19 ± 9.17 91.64 ± 8.88 93.27 ± 5.82 94.35 ± 3.75 107.8 ± 1.01 99.7 ± 5.45 87.77 ± 5.69 81.19 ± 0.05
Nilai retensi karotenoid adalah perbandingan antara kadar karotenoid yang tedapat pada minyak sawit awal (dalam hal ini fraksi olein yang digunakan sebagai bahan baku) dengan kandungan karotenoid pada produk akhir mikroenkapsulat dikali dengan seratus persen. Retensi karotenoid lebih dipengaruhi oleh lamanya waktu homogenisasi yang berakibat naiknya suhu emulsi. Kadar total dan retensi karotenoid dapat dilihat pada Tabel 10. Retensi karotenoid berada berada pada range 49.63 – 76.81%. Retensi kandungan karotenoid diduga dipengaruhi oleh keberadaan kandungan minyak tidak tersalut yang berada pada produk. Semakin banyak minyak yang dapat disalut, maka perlindungan kandungan karotenoidnya akan semakin meningkat karena semakin banyaknya sumber komponen aktif yang dilindung oleh matriks penyalut. Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kadar karotenoid dan retensi total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit. Hasil uji ANOVA analisis kadar dan retensi total karotenoid dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Proses Mikroenkapsulasi Minyak Sawit Mikroenkapsulasi adalah suatu metode penyalutan suatu komponen aktif yang berbentuk cair, padat atau gas dengan material bahan penyalut seperti karbohidrat, protein maupun lemak (Arshady 1993 ; Agnihotri 2012). Proses mikroenkapsulasi pada pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit tidak hanya terjadi ketika proses homogenisasi berlangsung tetapi ikut dipengaruhi oleh proses pengeringan dengan pengering semprot.
25
Kadar minyak tidak tersalut (%)
Minyak tidak tersalut adalah minyak yang tidak terlindungi secara sempurna oleh matriks penyalut atau hanya menempel pada dinding bagian luar penyalut. Tingginya minyak tidak tersalut akan mengakibatkan mikroenkapsulat minyak sawit yang dihasilkan tampak berminyak. Apabila pada dinding bagian luar mikroenkapsulat masih terdapat banyak minyak yang tidak tersalut, ada kemungkinan jika mikroenkapsulat mendapatkan tekanan, minyak yang berada di dalam mikroenkapsulat akan keluar. Selain itu, dengan keberadaan minyak tidak tersalut, bahan inti sangat mudah terpapar oleh udara, sehingga dapat mempercepat kerusakan produk (Supriyadi 2013). Minyak tidak tersalut dapat memediasi terjadinya reaksi oksidasi yang dapat menurunkan kandungan karotenoid. Minyak tidak tersalut erat kaitannya dengan efisiensi proses penyalutan. 13,16 13 11
9,77 9,04
10,95 10,1 9,09
12,13 11,99 11,14 11,68 11,38 9,22 5'
9
10' 7
15'
5 250
450
900
1800
Volume (mL)
Gambar 9 Kadar minyak tidak tersalut mikroenkapsulat minyak sawit Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu homogenisasi, maka kadar minyak tidak tersalut akan cenderung menurun. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tesebut. Pada volume 250 sampai 900 mL, penurunan kadar minyak tidak tersalut beriringan dengan lamanya waktu homogenisasi. Pada saat proses enkapsulasi atau penyalutan minyak dengan suspensi penyalut, homogenizer membantu untuk mengecilkan ukuran droplet minyak kemudian suspensi penyalut akan mengelilingi droplet minyak. Lamanya waktu homogenisasi akan membuat waktu kontak antara suspensi penyalut dengan minyak akan semakin intens sehingga proses penyalutan akan berlangsung lebih baik. Ketika volume dinaikkan hingga 900 mL, waktu homogenisasi selama 15 menit akan berpengaruh nyata pada kadar minyak tidak tersalut. Akan tetapi ketika volume kembali dinaikkan hingga 1800 mL, kadar minyak tidak tersalut antara waktu homogenisasi 5, 10 dan 15 menit tidak berbeda nyata, yaitu sebesar ± 11%. Mikroenkapsulat diharapkan memiliki kandungan minyak tidak tersalut serendah mungkin. Untuk mendapatkan kadar minyak tidak tersalut yang lebih rendah, dibutuhkan waktu yang lebih lama pada volume yang lebih besar. Efisiensi dipengaruhi oleh total padatan, total minyak dan suhu inlet dari pengering semprot. Kadar minyak tidak tersalut akan mempengaruhi efisiensi proses mikroekapulasi terhadap kadar minyak total yang ada dalam mikroenkapsulat. Semakin rendah kadar minyak tidak tersalut membuktikan
26 bahwa proses enkapsulasi (proses homogenisasi) berlangsung dengan baik. Mikroenkapsulat diharapkan memiliki efisiensi penyalutan yang baik, dimana zat aktif seharusnya tersalut secara sempurna oleh bahan penyalut. Apabila minyak tidak tersalut lebih banyak dibandingkan minyak yang tersalut berarti bahwa minyak sawit hanya menempel pada bagian dinding luar mikroenkapsulat. Hal ini akan menyebabkan kerusakan dan hilangnya karotenoid dalam mikroenkapsulat dan tujuan perlindungan komponen aktif menjadi tidak efisien. Pada Tabel 11 ditunjukkan hasil analisis kadar minyak tidak tersalut, kadar minyak total dan efisiensi proses penyalutan. Dapat diketahui bahwa semakin lama waktu homogenisasi, kadar minyak tidak tersalut akan semakin menurun dan efisiensi proses akan meningkat. Efisiensi dapat dilihat dari seberapa banyak minyak yang berhasil disalut secara sempurna. Tabel 11 Kadar minyak tidak tersalut dan efisiensi proses mikroenkapsulasi Volume (mL) 250
450
900
1800
Waktu (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
Kadar minyak total (%) 31.57 ± 0.51 27.75 ± 0.92 28.95 ± 2.68 25.34 ± 1.08 26.75 ± 2.46 24.63 ± 1.07 27.63 ± 2.28 26.65 ± 2.48 28.21 ± 2.36 27.39 ± 1.37 27.74 ± 1.38 27.05 ± 1.55
Kadar minyak tidak tersalut (%) 13.16 ± 1.07 9.77 ± 0.70 9.04 ± 0.78 10.95 ± 0.75 10.10 ± 0.85 9.09 ± 0.85 12.13 ± 0.55 11.38 ± 0.99 9.22 ± 0.61 11.99 ± 0.14 11.14 ± 1.02 11.68 ± 0.41
Efisiensi (%) 58.31 64.80 68.49 56.72 62.23 63.15 55.87 56.91 67.32 56.18 59.72 56.72
Proses pengeringan semprot ikut mempengaruhi kadar minyak tidak tersalut mikroenkapsulat. Suhu inlet dan kecepatan alir bahan dari pengering semprot dapat mempengaruhi kadar minyak tidak tersalut. Menurut Dobry et al. (2009), diketahui bahwa semakin tinggi suhu inlet dan kecepatan alir bahan, dapat menyebabkan perbedaan tekanan di bagian dalam dan luar mikroenkapsulat yang mempengaruhi morfologi partikel yang dihasilkan. Pada pengering semprot juga dapat terjadi persitiwa ballooning yang merupakan proses penggelembungan partikel akibat pembentukan uap air atau udara yang berada dalam mikroenkapsulat. Peristiwa ini juga terjadi jika ada ketidaksesuain antara karakteristik bahan pengkapsul dan kondisi pengering semprot (Yuliani et al. 2007). Apabila bahan pengkapsul tidak dapat menahan tekanan dari dalam partikel, dinding akan retak bahkan pecah dan partikel akan mengempis (kisut). Peristiwa ini dapat menyebabkan minyak yang berada didalamya keluar dan menempel pada partikel yang sudah kering dan tersalut sempurna. Kondisi homogenisasi yang optimal dapat membantu meminimalisir terbentuknya retak pada pembentukan dinding kapsul akibat kondisi dari pengering semprot.
27 Pengeringan dengan menggunakan pengering semprot mempengaruhi efisiensi enkapsulasi. Pengeringan yang cepat dapat meningkatkan efisiensi akan tetapi dapat juga mempengaruhi kandungan karotenoid yang berada dalam mikroenkapsulat. Untuk pengeringan semprot, hal yang perlu lebih diperhatikan terkait efisiensi proses adalah rendemen. Pengeringan semprot menghasilkan produk bubuk dengan kualitas yang baik. Pada penelitian ini digunakan pengering semprot Buchi 190 Mini Spray Dryer yang menghasilkan rendemen 20.38 – 26.99%. Rendemen dipengaruhi oleh proporsi minyak dan total padatan pada bahan. Perbandingan jumlah minyak dan jumlah total padatan pada semua perlakuan adalah sama, hanya ditingkatkan saja volume emulsinya. Rendemen juga terkait dengan karakteristik dari penyalutnya (Yanuwar 2007). Pada penelitian ini digunakan penyalut maltodekstrin, gum arab dan gelatin. Gelatin akan membantu membentuk ikatan yang lebih kuat terhadap air sehingga proses pengeringan dapat terhambat. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan mikrokapsul tidak dapat dipisahkan sehingga tertinggal pada tabung pengering (Yanuwar 2007). Pengujian statistik menggunakan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu homogenisasi berpengaruh signifikan terhadap kadar minyak tidak tersalut dan efisiensi proses penyalutan, sedangkan tidak pada peningkatan volume emulsi. Hasil uji ANOVA analisis minyak tidak tersalut dan efisiensi proses penyalutan dapat dilihat pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Kajian Awal Peningkatan Skala Peningkatan skala memiliki makna memperluas, replikasi, adaptasi dan mempertahankan formula meskipun tidak identik (Scoot et al. 2013). Perangkat pertama yang berguna dalam suatu peningkatan skala adalah pengembangan diagram alir proses yang menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada setiap proses. Langkah selanjutnya dilakukan uji coba terhadap peralatan yang menjadi titik kritis dalam suatu rangkaian proses. Proses homogenisasi dalam pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit merupakan proses yang paling kritis disamping proses pengeringan semprot. Hal ini disebabkan terjadi proses pengecilan ukuran partikel dan distribusi partikel ke seluruh bagian emulsi hingga membentuk emulsi yang stabil. Selain itu proses penyalutan minyak sawit dengan penyalutnya juga terjadi pada tahap ini. Penggunaan alat ikut mempengaruhi keefektifan dari proses. Pada penelitian ini digunakan homogenizer ultra turax dengan sistem batch. Pada kajian awal peningkatan skala proses mikroenkapsulasi akan dilihat respon perubahan volume emulsi (diikuti dengan perubahan geometrik wadah) disertai dengan peningkatan waktu homogenisasi terhadap karakteristik emulsi minyak sawit, dalam hal ini kestabilan dan kadar karoten emulsi. Model persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kestabilan dan kadar karotenoid emulsi apabila dilakukan perubahan volume emulsi serta waktu homogenisasi pada skala yang lebih besar dalam penelitian ini. Pengujian statistik menggunakan uji regresi linearitas ANOVA pada taraf signifikansi 5% didapatkan prediksi persamaan kestabilan emulsi dan kadar karoten emulsi yang ditunjukkan pada persamaan 11 dan 12.
28 Hasil uji statistik dengan menggunakan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 18 dan 19. Model persamaan kestabilan emulsi minyak sawit : Kestabilan emulsi (%) = 56.015 - 0.023V + 1.476t + 1.031x10-5V2
(11)
Model persamaan kadar karoten emulsi minyak sawit : Kadar karoten (ppm) = 103.945 + 0.033V - 4.840t - 1.245x10-5V2
(12)
Keterangan : V = volume emulsi (mL) t = waktu homogenisasi (menit) Model persamaan 11 dan 12 dapat digunakan untuk mengetahui prediksi kestabilan emulsi dan kadar karotenoid emulsi. Tingkat kestabilan emulsi memiliki hubungan negatif terhadap kadar karotenoid, apabila tingkat kestabilan emulsi meningkat (tinggi), maka kadar karotenoid cenderung menurun, begitupula sebaliknya. Pada model persamaan diatas, peningkatan volume emulsi dapat menurunkan tingkat kestabilan akan tetapi dapat meningkatkan kadar karotenoid emulsi, sedangkan peningkatan lamanya waktu homogenisasi dapat meningkatkan kestabilan dan juga menurunkan kadar karotenoid emulsi. Pada persamaan 11 dapat diketahui bahwa kestabilan emulsi akan semakin meningkat pada volume emulsi yang lebih kecil dan waktu homogenisasi yang ditingkatkan, akan tetapi karena persamaan ini digunakan sebagai kajian awal peningkatan skala, maka ketika volume ditingkatkan, maka kecenderungan kestabilan emulsi akan menurun, sehingga diperlukan waktu homogenisasi yang lebih lama untuk tetap mempertahankan atau meningkatkan kestabilan emulsi. Waktu homogenisasi yang lebih lama akan meningkatkan intensitas distribusi penyalut dan emulsifier yang digunakan akan semakin merata sehingga meningkatkan kemampuan pengikatan air oleh penyalut dan emulsifier sehingga menghasilkan emulsi yang lebih stabil (Kailaku et al 2012). Kestabilan emulsi akan meningkat seiring meningkatnya waktu homogenisasi akan tetapi mempengaruhi kadar karotenoid pada emulsi. Persamaan 12 menunjukkan bahwa seiring meningkatnya volume emulsi, maka kadar karotenoid emulsi akan ikut meningkat diiringi penurunan lamanya waktu homogenisasi. Lamanya waktu homogenisasi akan meningkatkan suhu dan menimbulkan panas yang dapat mendegradasi senyawa karotenoid yang sensitif terhadapnya, akan tetapi dengan meningkatnya volume emulsi yang lebih besar, perpindahan panas berjalan lebih lambat sehingga suhu emulsi tidak akan meningkat secara signifikan dan tidak cukup mempengaruhi penurunan kadar karotenoid. Waktu homogenisasi memegang peranan penting untuk mendapatkan emulsi dengan tingkat kestabilan emulsi yang tinggi diiringi dengan kadar karotenoid emulsi yang juga tinggi. Proses homogenisasi dengan menggunakan sistem batch memungkinkan untuk digunakan pada skala pilot plan maupun skala industri. Hal ini disebabkan
29 karena ukuran bejana dapat dibuat dengan menggunakan perbandingan secara geometrik terhadap ukuran bejana pada skala laboratorium. Menurut Valentas (1991), perbesaran skala dengan perbandingan geometrik dapat diterapkan pada proses mixing dan homogenisasi dengan mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya adalah faktor yang harus tetap dalam keadaan konstan, ukuran dari rotor-stator, kecepatan rotor dan waktu yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Prinsip persamaan geometri ini adalah landasan peningkatan skala yang paling banyak digunakan. Pada penelitian ini digunakan bejana plastik dengan ukuran volume 500 mL, 1000 mL dan 2000 mL. Wadah yang digunakan memiliki kelipatan terhadap volume. Ukuran dan perbandingan rotor-stator pada homogenizer dibuat tetap. Ukuran rotor-stator yang digunakan sebenarnya ikut dipengaruhi oleh peningkatan skala ini. Pada penelitian Mubarok (2010) digunakan perbandingan geometrik ukuran rotor terhadap stator dan diameter wadah dengan rotor yang dibuat tetap terhadap proses emulsifikasi emulsi minyak sawit. Proses emulsifikasi yang tepat akan menghasilkan emulsi dengan karakteristik yang baik (kandungan karotenoid tinggi) dan stabil, sehingga proses pengeringan semprot yang dilakukan sebagai tahap selanjutnya akan berjalan lebih efektif dan menghasilkan mikroenkapsulat dengan kualitas yang baik. Emulsi yang diharapkan tidak hanya terkait dengan ukuran droplet akan tetapi tingkat kestabilannya cukup tanpa terjadinya koalesen atau flokulasi selama waktu tunggu atau proses selanjut yang akan dilakukan (dalam penelitian ini adalah proses pengeringan dengan pengering semprot), sehingga memaksimalkan komponen aktif yang berada dalam penyalut selama proses pengeringan berlangsung (Jafari et al. 2010). Emulsi yang dihasilkan stabil pada waktu 6 jam saat penyimpanan. Waktu ini dianggap sebagai waktu tunggu sebelum dan selama proses pengeringan berlangsung. Tingkat kestabilan emulsi yang rendah berpengaruh pada kadar minyak tidak tersalut yang semakin tinggi dan retensi komponen aktif yang semakin rendah (Jafari et al. 2010). Respon hasil mikroenkapsulat hasil pengering semprot yang berpengaruh terhadap faktor peningkatan volume dan lamanya waktu homogenisasi adalah minyak tidak tersalut, efisiensi mikroenkapsulasi dan kadar karotenoid pada mikroenkapsulat. Pada proses pengeringan semprot, bahan penyalut yang memiliki karakteristik viskoelastis yang rendah dapat menyebabkan terbentuknya cracks pada dinding penyalut (Jafari et al. 2010). Kondisi suhu inlet pengering semprot akan mempengaruhi penguapan udara atau uap air yang berada di dalam droplet emulsi, pada suhu yang tinggi air akan keluar dan membentuk ruang kosong, apabila dinding dari bahan penyalut elastis, maka akan terjadi perubahan struktur morfologi dari partikel yang dihasilkan dan berpengaruh terhadap karakteristik mikroenkapsulat. Jafari et al. (2010) menyatakan bahwa komposisi emulsi, kondisi pengering semprot dan ukuran droplet emulsi yang sama akan menghasilkan efisiensi enkapsulasi yang sama. Pengering semprot merupakan operasi proses yang berkelanjutan (continous) yang terdiri dari beberapa tahap pengeringan, mulai dari preparasi, homogenisasi, atomisasi dan dehidrasi partikel hasil atomisasi. Pengering semprot yang digunakan dikategorikan sebagai pengering semprot skala laboratorium. Dalam waktu satu jam, pengering semprot ini dapat mengeringkan emulsi sebanyak 500 mL, dengan demikian kecepatan laju alir pengering semprot sebesar
30 8.3 mL/menit. Kecepatan laju alir pada pengering semprot sangat menentukan keefisienan dan keefekifan dari proses pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit. Dengan mengkombinasikan peningkatan skala volume emulsi pada saat proses homogenisasi dengan laju alir bahan saat proses pengeringan akan meningkatkan keefektifan dan keefisienan dari rangkaian proses pembuatan mikroenkapsulat.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Formula mikroenkapsulat dengan bahan penyalut maltodekstrin, gum arab dan gelatin dapat digunakan pada produksi mikroenkapsulat dalam skala lebih besar pada penelitian ini. Kondisi homogenisasi mempengaruhi kualitas dan karakteristik dari emulsi dan mikroenkapsulat minyak sawit. Karakteristik emulsi meliputi stabilitas dan kadar total karotenoid dipengaruhi oleh lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi. Lamanya waktu homogenisasi dan peningkatan volume emulsi tidak mempengaruhi karakteristik kadar air, aw dan kelarutan dari mikroenkapsulat minyak sawit secara signifikan, akan tetapi mempengaruhi kandungan minyak tidak tersalut dan efisiensi proses mikroenkapsulasi. Saran Penelitian ini tidak terlepas dari beberapa kendala dan masih memerlukan masukan dan perbaikan. Saran yang diberikan untuk penelitian ini adalah perlunya dilakukannya optimasi lamanya waktu homogenisasi terhadap peningkatan volume emulsi dan analisis lanjut peningkatan skala mikroenkapsulat minyak sawit dengan menggunakan pengering semprot untuk diaplikasikan pada skala industri.
31
DAFTAR PUSTAKA Arshady R. 1993. Micocapsules for food. J. Microencapsulaion 1993 vol 10 No. 4 413-435 Agnihotri N, R Mishra, C Goda, M Arora. 2012. Microencapsulation – A Novel Approach in Drug Delivery : A Review. Indo Global Journal of Pharmaceutical 2012 : 2(1) : 1-20 [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2012. Official Methods of Analysis of AOAC International. Washington DC : AOAC International [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. Susu Bubuk. 01-2970-1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional ------- Badan Standardisasi Nasional. 2006. Minyak kelapa sawit mentah (Crude palm oil) SNI 01-2901-2006. Jakata : Badan Standardisasi Nasional Coupland JN, Tangsuphoom N. 2005. Effect of heating and homogenization on the stability of coconut milk emulsion. J Food Sci. 70 (8) : 466-470. Dorby DE, DM Settell, JM Baumann, RJ Jay, LJ Graham, RA Beyerinck. A model-base methodology for spray-drying process development. 2009. J Pharm Innov DOI 10.1007/s12247-009-9064-4 Ermawati T, Y Septia. 2013. Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdangan Vol. 7 No. 2. Estevinho BN et al. 2013. Microencapsulation with chitosan by spray drying for industry applications. Trends in Food Science & Techonology J 31 : 138-155 Estiasih T, M. Adnan, Tranggono, Suparno. 2005. Pengaruh komposisi lapisan pada permukaan globula minyak emulsi sebelum pengeringan semprot terhadap sifat-sifat mikrokapsul trigliserida kaya asam lemak ω-3. Jurnal Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XVI No. 1 Tahun 2005. Fardiaz D et al. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB Faridah DN et al. Penuntun Praktikum : Analisis Pangan. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Fasikhatun T. 2010. Pengaruh konsentrasi maltodekstrin dan gum arab terhadap karakteristik mikroenkapsulat minyak sawit merah dengan metode spray drying [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Frascareli EC, VM Silva, RV Tonon, MD Hubinger. 2012. Effect of process conditions on the microencapsulation of coffee oil by spray drying. J Food and Bioproducts Processing 90 (2012) 413-424 Gusnidar T, M Singgih, S Priatni, SAE, T Suciati. 2011. Enkapsulasi dan stabilitas pigmen karotenoid Neurospora intermedia N-1. J Manusia dan lingkungan Vol. 18 No. 3 Nov. 2011 : 206-211. Gustavo V dan B Canovas. 1999. Food Powders : Physical Properties, Processing and Functionality. Texas (US) : Springer Publisher Helena BR. 2003. Pengawasan Mutu Dalam Proses Pemurnian Minyak Sawit Kasar di PT. Sinar Meadow International Indonesia Jakarta[laporan magang]. Bogor : Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
32 Herman S. 2007. Masalah Kurang Vitamin A (KVA) Dan Prospek Penanggulangannya. Media Litbang Kesehatan Vol. XVII (4) Hutching, JB. 1999. Food Color and Appearance. Di dalam : Simanjuntak M. 2007. Optimasi Formula Mikroenkapsulat Minyak Sawit Merah Menggunakan Maltodekstrin, Gelatin, dan Carboxymethyl Cellulose Dengan Proses Thin Layer Drying [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Iswari K. 2007. Kajian Pengolahan Bubuk Instant Wortel Dengan Metode Foam Mat Drying. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 3 2007 Jafari SM, Y He, B Bhandari. 2010. Encapsulation of Nanoparticles of dLimonene by Spray Drying : Role of Emulsifier and Emulsfying Techniques. J Drying Technology Vol. 25 Issue 6 Kailaku SI, T Hidayat, DA Setiabudy. 2012. Pengaruh Kondisi Homogenisasi Terhadap Karakteristik Fisik dan Mutu Santan Selama Penyimpanan. Jurnal Litri 18(1) Maret 2012 Hlmn. 31-39. Komari. 1997. Efisiensi enkapsulasi dan model rilis vitamin C yang dienkapsulasi dengan teknik polymer deposition. Prosiding Seminar Tek. Pangan 1997 Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan. Jakarta : Dian Rakyat. Lai O, Tan C, Akoh CC. 2012. Palm Oil : Production, Processing, Characterization, and Uses [editorial]. New York (US) : AOCS Press. Levin M. 2006. Pharmacetical Process Scale-Up Second Edition. USA : Taylor & Fracis Grup, LLC Lin L, KC Rhee, SS Koseoglu. 1998. Recent Progress in Membrane Degumming of Crude Vegetable Oil on a Pilot-Plant Scale. Texas (US): Food Protein R&D Center, Texas A&M University. Mardaningsih, F, MAM Andriani, Kawiji. 2012. Pengaruh Konsentrasi Etanol dan Suhu Spray Dryer Terhadap Karakteristik Bubuk Klorofil Daun Alfalfa Dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin. Jurnal Teknosains Pangan Vol. 1 No. 1 Oktober 2012. Marpaung YG. 2013. Teknologi pembuatan minuman nanoemulsi kaya βkarotenoid dari minyak sawit dengan high-pressure homogenizer [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Mas’ud F, TR Muchtadi,P Hariyadi, T Haryati. 2008. Optimasi proses deasidifikasi untuk meminimalkan kerusakan Karotenoid dalam permunian minyak sawit (Elaeis guineensis, Jacq) Forum Pasca Sarjana Vol. 31 No. 1 Januari 2008:25-36. McClements DJ. 1999. Food Emulsiom Principles, Practices, and Techniques. New York (US) : CRC Press. ------------. 1999. Food Emulsiom Principles, Practices, and Techniques 2nded. New York (US) : CRC Press. Novia S. 2009. Stabilitas mikroenkapsulat minyak sawit merah hasil pengeringan lapis tipis selama penyimpanan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. PORIM. 2005. PORIM Test Method. Kuala Lumpur : Palm Oil Research Institute of Malaysia Scoot, DD, TJ Boser, McGlynn WG. 2007. Scaling Up Your Food Process. Food Technology Fact Sheet [internet]. [diunduh 2014 Agustus 20]. Tersedia pada : http://www.fapc.okstate.scaleup.
33 Shahidi F, Wanasundara PKJPD. 1997. Extraction and analysis of lipids. Di dalam: Akoh CC dan Min DB (eds.). Food Lipids, Chemistry Nutrition and Biotechnology 2nd Edition. New York (US): Marcel Dekker Inc. Simanjuntak M. 2007. Optimasi formula mikroenkapsulat minyak sawit merah menggunakan maltodekstrin, gelatin dan carboxymethyl cellulose dengan proses thin layer drying [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Simatupang RIM. 2013. Reformulasi mikroenkapsulasi minyak sawit dengan teknik koaservasi, pengeringan lapis tipis, dan penyerapan SiO2 [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Srihadi E et al. 2010. Pengaruh penambahan maltodekstrin pada pembuatan santan kelapa bubuk. Seminar Rekayasa Kiia dan Proses ; 4-5 Agustus ; Semarang, Indonesia. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro : ISSN 14114216 Supriyadi, AS Rujita. 2013. Karakteristik Mikrokapsul Minyak Atsiri Lengkuas Dengan Maltodekstrin Sebagai Enkapsulan. J Teknol. dan Industri Pangan Vol. 24 No. 2 Syahputra MR, FF Kawur,L Limantara. 2008. Analisis Komposisi dan Kandungan Karotenoid Total dan Vitamin A Fraksi Cair dan Padat Minyak Sawit Kasar (CPO) Menggunakan KCKCT Detektor PDA. Jurnal Natur Indonesia 10 (2), April 2008 89-97) Syamsiah M. 1996. Karakterisasi β-karotenoid dalam Teknik Mikroenkapsulasi Minyak Sawit Merah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tan CP, M Nakajima. 2005. B-carotene nanodispersions : preparation, characterization and stability evaluation. Food chemistry 92:661-671. Valentas KJ, L Levine, JP Clark. 1991. Food Processing Operations and Scale Up. New York : Marcel Dekker Inc. Velasco PJ, C Dobarganes, G Marquez-Ruiz. 2003. Variables affecting lipid oxidation in dried microencapsulated oils. Grasas y Aceites. Vol. 54. Fasc. 3 (2003), 304-314 Wardayanie NIMA. 2000. Mikroenkapsulasi minyak sawit kaya beta karotenoid dengan teknik penyerapan SiO2 dan orifice process [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wawensyah JA. 2006. Mikroenkapsulasi minyak atsiri jahe merah dengan penyalut kitosan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Weiss J. 2008. Emulsion Processing : Homogenization. Emulsion Workshop. Germany : Department of Food Science and Biotechnology, Universitt of Hohenheim. Willey J dan Sons. 2013. Edible oil processing second edition. UK : WileyBlackwell Widarta I, N Andarwulan, T Haryati. 2008. Kendali Proses Deadifikasi Dalam Pemurnian Minyak Sawit Merah Skala Pilot Plant. Prosiding PATPI Wijaya MW. 2011. Microencapsulation strategies for long term protection of ascorbic acid. [tesis]. RMIT University Yanuwar W, SB Widjanarko, T Wahono. 2007. Karakteristik dan stabilitas antioksidan mikroenkapsulat minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam) dengan bahan penyalut berbasis protein. J Teknol Pertani 8(2):127-135.
34 Yudha KB. 2008. Optimasi formula mikroenkapsulat minyak sawit merah menggunakan pektin, gelatin, dan maltodekstrin melalui proses thin layer drying. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Yuliani S, Desmawarni, N Harimurti, SS Yuliani. 2007. Pengaruh laju alir umpan dan suhu inlet spray drying pada karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe. J Pascapanen 4:18-26 Zeba AN et al. 2006. The positive impact of red palm oil in school meals on vitamin A status: study in Burkina Faso. Nutr J 5(17):1-10 Zilberboim R, IJ Kopelman, Y Talmon. 1986. Microencapsulation by a dehydrating liquid: retention of paprika oleoresin and aromatic esters. Di dalam: Ahn JH, Kim YP, Seo EM, Choi YK, dan Kim HS. 2007. Antioxidant effect of natural plant extracts on the microencapsulated high oleic sunflower oil. J of Food Engine 84:327-334.
35
LAMPIRAN Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Crude Palm Oil (CPO)
Proses pemurnian minyak sawit
Olein CPO
1. Kadar air, Metode oven (AOAC 2012) 2. Analisis karotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM 2005) 3. Analisis asam lemak bebas, Metode titrasi (AOAC 2012) 4. Analisis bilangan peroksida, Metode titrasi (AOAC 2012) 5. Analisis bilangan Iod, Metode titrasi (AOAC 2012)
Reformulasi
Formula A
Formula B
Formula C
Formula terpilih
Pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit formula terpilih dengan rancangan percobaan kondisi homogenisasi
Emulsi minyak sawit
Mikroenkapsulat minyak sawit
1. Analisis kadar air, metode oven (AOAC 2012) 2. Analisis kadar Minyak tidak tersalut, Metode ekstraksi (Shahidi Wanasundara 1997) 3. Analisis kadar kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al. 1992) 4. Analisis warna, Metode Hunter (Hutching 1999) 1. Analisis kestabilan emulsi (Modifikasi Yasumatsu et al. 1972) 2. Analisis kaotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM 2005)
1. Analisis kadar air, metode oven (AOAC 2012) 2. Analisis aw (Apriyantono et al. 1989) 3. Analisis kelarutan (Fardiaz et al. 1992) 4. Analisis kadar Minyak Tidak Tersalut (Shahidi Wanasundara 1997) 5. Analisis rendemen (Zilberboim et al ; Ahn et al. 2007) 6. Analisis efisiensi mikroenkapsulasi (Komari 1997)
36 Lampiran 2 Diagram alir pemurnian CPO
Crude Palm Oil (CPO)
Degumming
Asam fosfat 85%
Excess NaOH 17.5%
Deasidifikasi
Sentrifuse dengan spinner I
Air hangat
Sentrifuse dengan spinner II
Fraksinasi
Stearin CPO
Olein CPO
Gum dan sabun
Gum dan sabun
37 Lampiran 3 Hasil uji ANOVA penelitian pendahuluan reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit ANOVA Sum of Squares Df Warna (L)
Between Groups Within Groups Total Warna (a) Between Groups Within Groups Total Warna (b) Between Groups Within Groups Total Kadar Air Between (%bb) Groups Within Groups Total Kelarutan Between Groups Within Groups Total Minyak tidak Between tersalut Groups Within Groups Total
Mean Square
F
12.253
2
6.127 6.936E3
.003 12.256
3 5
.001
1.476
2
.738 7.380E3
.000 1.476
3 5
.000
4.604
2
.013 4.617
3 5
.004
5.865
2
2.933
.141 6.006
3 5
.047
.351
2
.175
.751 1.102
3 5
.250
24.098
2
12.049
.654 24.752
3 5
.218
2.302 521.211
Sig. .000
.000
.000
62.375
.004
.700
.563
55.242
.004
38 Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan warna (L*) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Warna (L) Duncan Formula
N
1 77.9800
Subset for alpha = 0.05 2
C 2 A 2 80.4850 B 2 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
3
81.3500 1.000
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan warna (a) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Warna (a) Duncan Formula
N
1 2.7850
Subset for alpha = 0.05 2
A 2 B 2 3.1050 C 2 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
3
3.9600 1.000
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan warna (b) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Warna (b) Duncan Formula
N
1 72.5550
Subset for alpha = 0.05 2
B 2 A 2 73.3600 C 2 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
3
74.6800 1.000
39 Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan kadar air (%bb) reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Kadar Air (%bb) Duncan Formula
N
Subset for alpha = 0.05 1 1.3687 1.4430
B 2 C 2 A 2 Sig. .754 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2
3.5022 1.000
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan minyak tidak tersalut reformulasi mikroenkapsulat minyak sawit Minyak tidak tersalut Duncan Form ula
N
1 10.1312
Subset for alpha = 0.05 2
B 2 A 2 12.5466 C 2 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
3
15.0399 1.000
Lampiran 9 Hasil uji ANOVA kadar air mikroenkapsulat minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar Air Type III Sum of Mean Source df Squares Square Corrected Model 2.121a 5 .424 Intercept 48.821 1 48.821 volume_bahan 2.022 3 .674 Waktu .098 2 .049 Error 5.680 18 .316 Total 56.621 24 Corrected Total 7.800 23
F 1.344 154.723 2.137 .155
Sig. .291 .000 .131 .857
40 Lampiran 10 Hasil uji ANOVA aw mikroenkapsulat minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : aw Type III Sum Source of Squares Corrected Model .015a Intercept 4.349 volume_bahan .012 Waktu .004 Error .027 Total 4.392 Corrected Total .042
Df
Mean Square 5 1 3 2 18 24 23
.003 4.349 .004 .002 .001
F
Sig.
2.020 2.904E3 2.578 1.184
.124 .000 .086 .329
Lampiran 11 Hasil uji ANOVA kelarutan mikroenkapsulat minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Kelarutan Type III Sum Source Df Mean Square of Squares Corrected Model 3.293a 5 .659 Intercept 229147.538 1 229147.538 volume_bahan 3.247 3 1.082 Waktu .045 2 .023 Error 10.873 18 .604 Total 229161.703 24 Corrected Total 14.165 23
F
Sig.
1.090 3.794E5 1.792 .038
.399 .000 .185 .963
Lampiran 12 Hasil uji ANOVA total karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit
Dependent Karotenoid
Variable
Source Corrected Model Intercept volume_bahan Waktu Error Total Corrected Total
Tests of Between-Subjects Effects : Total
Type III Sum of Squares 5358.806a 2700157.834 5157.819 200.988 55118.656 2760635.296 60477.462
Df
Mean Square 5 1 3 2 18 24 23
1071.761 2700157.834 1719.273 100.494 3062.148
F .350 881.786 .561 .033
Sig. .876 .000 .647 .968
41 Lampiran 13 Hasil uji ANOVA retensi karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Retensi Karotenoid Type III Sum of Source Df Mean Square Squares Corrected Model 5358.806a 5 1071.761 Intercept 2700157.834 1 2700157.834 volume_bahan 5157.819 3 1719.273 Waktu 200.988 2 100.494 Error 55118.656 18 3062.148 Total 2760635.296 24 Corrected Total 60477.462 23
F
Sig.
.350 881.786 .561 .033
.876 .000 .647 .968
Lampiran 14 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan minyak tidak tersalut mikroenkapsulat minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Minyak tidak tersalut Type III Sum Source Df Mean Square of Squares Corrected Model 29.189a 5 5.838 Intercept 2801.953 1 2801.953 volume_bahan 7.450 3 2.483 Waktu 21.740 2 10.870 Error 17.984 18 .999 Total 2849.125 24 Corrected Total 47.173 23 Minyak tidak tersalut Duncan Waktu 15 Menit 10 Menit 5 Menit Sig.
Subset
N 8 8 8
1 9.7563 10.5988 .109
2
12.0600 1.000
F 5.843 2.804E3 2.485 10.880
Sig. .002 .000 .094 .001
42 Lampiran 15 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan efisiensi mikroenkapsulasi minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Efisiensi Type III Sum of Source Df Mean Square Squares Corrected Model 328.489a 5 65.698 Intercept 87946.459 1 87946.459 volume_bahan 122.154 3 40.718 Waktu 206.336 2 103.168 Error 322.951 18 17.942 Total 88597.899 24 Corrected Total 651.440 23
F
Sig.
3.662 4.902E3 2.269 5.750
.018 .000 .115 .012
Efisiensi Duncan Waktu
N
5 Menit
8 8 8
10 Menit 15 Menit Sig.
Subset 1 56.7700 60.9112 .066
2 60.9112 63.9225 .172
Lampiran 16 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan kestabilan emulsi minyak sawit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Stabilitas Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
682.409a
5
136.482
154.682
.000
85871.610
1
85871.610
9.732E4
.000
Volume
224.364
3
74.788
84.761
.000
Waktu
458.045
2
229.023
259.563
.000
Error
15.882
18
.882
Total
86569.902
24
698.291
23
Corrected Model Intercept
Corrected Total
43 Stabilitas Duncan Waktu
N
5
8
10
8
15
8
Subset 1
2
3
54.3313 60.0962 65.0213
Sig.
1.000
1.000
1.000
Stabilitas Duncan Volume
N
900
6
450
6
1800
6
250
6
Sig.
Subset 1
2
3
4
56.8750 58.0567 59.4650 64.8683 1.000
1.000
1.000
1.000
Lampiran 17 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan kadar karoten emulsi minyak sawit
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable : Karoten Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
2543.877a
5
508.775
15.948
.000
193535.164
1
193535.164
6.067E3
.000
volume
1262.119
3
420.706
13.188
.000
Waktu
1281.758
2
640.879
20.089
.000
Error
574.223
18
31.901
Total
196653.264
24
3118.100
23
Corrected Model Intercept
Corrected Total
44
Karoten Duncan Subset
Waktu
N
15
8
82.2138
10
8
87.5137
5
8
1
2
99.6713
Sig.
.077
1.000
Karoten Duncan Subset
Volume
N
250
6
80.5217
450
6
85.0883
900
6
95.3400
1800
6
98.2483
1
Sig.
2
.178
.384
Lampiran 18 Hasil uji linear stabilitas penentuan prediksi persamaan Model Summary Model
R
R Square .956a
1
Adjusted R Square
.913
Std. Error of the Estimate
.889
1.83496
a. Predictors: (Constant), vw, ww, vv, volume, waktu ANOVAb Sum of Squares
Model 1
Regression Residual Total
df
Mean Square
637.684
5
127.537
60.607
18
3.367
698.291
23
a. Predictors: (Constant), vw, ww, vv, volume, waktu
F 37.878
Sig. .000a
45 ANOVAb Sum of Squares
Model 1
Regression Residual Total
df
Mean Square
637.684
5
127.537
60.607
18
3.367
698.291
23
F 37.878
Sig. .000a
b. Dependent Variable: stabilitas Coefficientsa Unstandardized Coefficients
Model
B 1
(Constant)
Standardized Coefficients
Std. Error
t
Sig.
Beta
56.015
3.351
16.714
.000
volume
-.023
.004
-2.527
-6.178
.000
waktu
1.476
.655
1.117
2.253
.037
1.031E-5
.000
2.445
6.572
.000
Ww
-.017
.032
-.257
-.529
.604
Vw
-8.398E-5
.000
-.114
-.546
.592
Vv
a. Dependent Variable: stabilitas Lampiran 19 Hasil uji linear karoten penentuan prediksi persamaan Model Summary Model
R
R Square .907a
1
Adjusted R Square
.822
Std. Error of the Estimate
.773
5.55172
a. Predictors: (Constant), vw, ww, vv, volume, waktu ANOVAb Sum of Squares
Model 1
Regression Residual Total
Df
Mean Square
2563.311
5
512.662
554.789
18
30.822
3118.100
23
a. Predictors: (Constant), vw, ww, vv, volume, waktu b. Dependent Variable: karoten
F 16.633
Sig. .000a
46 Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients B
1
(Constant)
Standardized Coefficients
Std. Error
1.736
2.964
.008
1.983
-1.733
-2.441
.025
-1.245E-5
.000
-1.398
-2.624
.017
Ww
.137
.096
.993
1.426
.171
Vw
.000
.000
.265
.887
.387
Vv
.033
.011
-4.840
Beta .000
Waktu
10.140
Sig.
10.251
Volume
103.945
t
a. Dependent Variable: karoten
47 Lampiran 20 Metode Folch 1957 Ekstraksi Minyak Mikroenkapsulat
Mikroenkapsulat minyak sawit
Methanol : chloroform (2:1)
Stirer 60’
Saring dengan menggunakan penyaring vakum (Whatman 42)
NaCl 0.88%
Supernatan
Ambil lapisan bawah (berwarna kuning keoranyean)
Lewatkan pada Na2S2O4 anhydorus
Rotavapor
Ekstrak minyak
Filtrat
48 Lampiran 21 Penentuan takaran saji mikroenkapsulat minyak sawit Kandungan karotenoid mikroenkapsulat minyak sawit adalah 111.81 ppm. Kadar β-karoten adalah 56% terhadap karotenoid Kandungan β-karoten = 56% x 111.81 ppm = 62.62 ppm Kandungan β-karoten dalam produk = 62.62 ppm / 6 = 10.44 RE Untuk dapat di klaim produk menganduk karotenoid tinggi, takaran saji produk ini harus dapat memenuhi 20% AKG vitamin A. Pria dewasa = (20% x 600 RE x 1 gr) / 10.44 RE = 11.50 gram Wanita dewasa = (20% x 500 RE x 1 gr) / 10.44 RE = 9.58gram
Lampiran 22 Gambar mikroenkapsulat hasil reformulasi Mikroenkapsulat minyak sawit hasil reformulasi bahan penyalut
Formula C
Formula B
Formula A
49 Lampiran 23 Gambar mikroenkapsulat minyak sawit dengan perlakuan faktor
5’ – 250 mL
10’ – 250 mL
15’ – 250 mL
5’ – 450 mL
10’ – 450 mL
15’ – 450 mL
5’ – 900 mL
10’ – 900 mL
15’ – 900 mL
5’ – 1800 mL
10’ – 1800 mL
15’ – 1800 mL
50
RIWAYAT HIDUP Penulis dengan nama lengkap Alfia Nurul Ilma, dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Februari 1992 sebagai putri ketiga pasangan Bapak Suyono dan Ibu Imas Nursyamsiah. Penulis melalui jenjang pendidikan mulai dari TK Negeri Mexindo (1997-1998), SD Negeri Bantar Kemang 2 Bogor (1998-2004), SMP Negeri 2 Bogor (2004-2007) dan pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor, yang kemudian lulus seleksi untuk masuk IPB melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif menjadi bagian dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tenologi Pangan (HIMITEPA).
51
TUGAS TAMBAHAN 1.
Proses produksi Palm Kernel Oil ? Proses pengolahan buah sawit diawali dengan proses penimbangan tandan buah segar (TBS) kemudian disortir berdasarkan tingkat kematangannya. Setelah itu lori yang telah diisi oleh TBS dimasukkan ke dalam sterilizer dengan menggunakan capstand yang bertujuan untuk mengurangi peningkatan asam lemak bebas, mempermudah proses pembrodolan pada thereser, menurunkan kadar air dan melunakkan daging buah sehingga daging buah mudah lepas dari biji. Proses sterilisasi dilanjutkan dengan thereser process yang tujuannya untuk memisahkan buah dari janjangan dan untuk mempersiapkan buah dilakukan pengepresesan. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan screw press dan didapatkan minyak kasar atau crude palm oil dan ampas hasil proses pengepresan terdiri dari fiber, dan fiber ini yang akan digunakan sebagai bahan baku pengolahan biji inti sawit. Cake breaker conveyor berfungsi untuk membawa dan memecahkan gumpalan cake (fiber hasil proses pengepresan sebelumnya) ke alat depericarper. Alat ini berfungsi untuk memisahkan fiber dengan biji dan membawa fiber untuk menjadi bahan bakar boiler. Fungsi kerjanya adalah tergantung pada berar massa, yang massanya lebih ringan (fiber) akan terhisap oleh fan tan dan yang massanya lebih berat (biji) akan masuk ke nut polishing drum. Fungsi dari nut polishing drum adalah membersihkan biji dari serabut-serabut yang masih melekat, membawa biji dari depericarper ke nut transport, memisahkan biji dari sampah dan memisahkan gradasi biji. Setelah didapatkan, biji sawit disimpan sementara di dalam nut silo sebelum proses pemecahan biji dengan menggunakan ripple mill. Biji akan masuk diantara rotor dan ripple plate sehingga saling berbenturan dan memecahkan cangkang dari bij, kemudian menghasilkan cangkang dan inti sawit. Proses pemisahan keduanya didasarkan pada perbedaan berat jenis. Bila campuran cangkang dan inti sawit dimasukkan ke dalam suatu cairan kalsium karbonat, inti sawit akan terapung di bagian atas. Inti sawit kemudian disimpan dalam kernet storage. Inti sawit yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam screw-pressing dan dihasilkanlah minyak inti sawit. Minyak inti sawit ini kemudian dilkalrifikasi untuk menghasilkan minyak inti sawit yang lebih jernih dan menghilangkan padatan.
2.
Perbedaan dekstrin dengan maltodekstrin dan kaitannya dengan dextrose equivalent ? Dekstrin adalah produk hasil hidrolisis pati melalui hidrolisis asam atau enzim. Pati akan mengalami proses pemutusan rantai oleh enzim atau asam selama pemanasan menjadi molekul yang lebih kecil. Beberapa tingkatan dalam reaksi hidrolisis ini diawali molekul pati yang pecah menjadi unit rantai glukosa yang lebih pendek (6-10 molekul) yang disebut dekstrin. Dekstrin kemudian pecah menjadi maltosa yang selanjutnya dipecah lagi menjadi unit terkecil glukosa. Dekstrin masih mengandung ikatan α-1.4 dan α-1,6 sehingga masih mengandung gugus amilosa dan amilopektin dengan struktur bercabang. Pada maltodekstrin, gugus α-1,6 dipotong sehingga hanya menghasilkan ikatan α-1.4 yang berbentuk linear. Jika dilihat dari gugus fungsi didalamnya, maltodekstrin memiliki tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dekstrin karena strukturnya yang tidak bercabang dan lebih banyak mengandung gugus hidroksil. Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin (<62%), maltosa (>6%) dan glukosa (>6%) dan mempunyai DE 3-20. DE (dextrose
52 eqivalent) adalah jumlah gula pereduksi yang dibandingkan dengan standar dekstrosa dalam basis kering (Sun et al. 2010). Maltodekstrin merupakan campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan dekstrin. Maltodekstrin dengan DE rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi cenderung menyerap air (Srihari et al. 2010). Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH20]. Maltodekstrin sebagai komponen bahan di indutri terdaftar sebagai GRAS (Generally Recongnized As Safe), Nomor 21 CFR (Code of Federal Regulation) 184.1444 (Davidek et al. 1990) 3.
Karakteristik Gelatin sebagai bahan pengkapsul ? Gelatin merupakan campuran dari fraksi protein yang dimurnikan sebagian dengan hidrolisis asam (untuk tipe A) dan hidrolisis basa (untuk tipe B) dari protein kolagen pada hewan. Gelatin juga dapat merupakan campuran dari kedua tipe. Berat molekul gelatin berada diantara 15000 – 250000 (Rowe 2006). Protein yang paling umum berada di gelatin adalah gabungan asam amino glisin-prolin-hidroksiprolin. Glisin ada pada setiap tiga residu protein, dan rasio protein diantaranya sebagain besar adalah prolin dan hidroksiprolin. Struktur gelatin adalah sebagai berikut :
Secara luas gelatin sudah digunakan dalam formulasi bidang farmasetik antara lain berfungsi sebagai senyawa penyalut, pembentuk film, pembentuk gel, pembentuk susupensi, pengikat tablet dan bahan peningkat kekentalan. Gelatin digunakan juga dalam mikroenkapsulasi obat dengan prinsip zat aktif akan dijerat dalam matriks kemudian diperlakukan sebagai serbuk. Di dalam air, gelatin mengembang dan melunak dan dapat menyerap air 5-10 kali dari bobotnya. Gelatin larut dalam air panas, dan membentuk gel pada pendinginan suhu 35-40OC. Jika berada dibawah dari suhu 40OC sistem berada dalam keadaan sol. Sistem gel-sol ini bersifat reversibel terhadap pemanasan (Rowe 2006) 4.
Proses pengering semprot dikaitkan dengan komposisi bahan ? Komposisi bahan penyalut selama proses pembuatan mikroenkapsulat mempengaruhi karakteristik akhir mikroenkapsulat. Pada proses pengeringan semprot, bahan penyalut yang memiliki karakteristik viskoelastis yang rendah dapat menyebabkan terbentuknya cracks pada dinding penyalut (Jafari et al. 2010). Kondisi suhu inlet pengering semprot akan mempengaruhi penguapan udara atau uap air yang berada di dalam droplet emulsi, pada suhu yang tinggi air akan keluar dan membentuk ruang kosong, apabila dinding dari bahan penyalut elastis, maka akan terjadi perubahan struktur morofologi dari partikel yang dihasilkan dan berpengaruh terhadap karakteristik mikroenkapsulat. Penggunaan biopolimer untuk sebagai bahan penyalut lebih kuat jika dibandingkan dengan penggunaan surfaktan. Hal ini dapat mencegah bergabungnya antar droplet emulsi karena adanya gaya tolak menolak antar droplet. Dan dengan penyalutan komponen aktif yang lebih efisien ini maka tidak ada perubahan yang
53 signifikan yang dipengaruhi oleh kondisi atomisasi pada saat pengeringan terhadap retensi dari komponen aktif yang dilindungi. 5.
Penjelasan mengenai minyak tidak tersalut dan proses pengeringan semprot ? Minyak tidak tersalut dipengaruhi oleh bentuk dan morfologi dari partikel yang dihasilkan kemudian kontak partikel tersebut dengan bahan yang digunakan untuk ekstraksi. Jafari et al. (2010) menyatakan bahwa komposisi emulsi, kondisi pengering semprot dan ukuran droplet emulsi yang sama akan menghasilkan efisiensi enkapsulasi yang sama. Keterkaitan antara mekanisme pengering semprot dengan kadar minyak tidak tersalut dapat dilihat dari tahap atomisasi saat pengeringan. Proses atomisasi dapat menyebabkan penurunan ukuran droplet emulsi kasar. Gesekan yang terjadi saat atomisasi dapat memecah partikel dengan ukuran yang besar. Hal ini menyebabkan komponen aktif menjadi kurang tersalut dan banyaknya komponen aktif yang terdegradasi. Gesekan ini juga dapat menyebabkan minyak yang berada dalam mikroenkapsulat keluar dan menempel pada dinding penyalut yang telah mengering. Kerusakan pada integritas dinding penyalut (seperti adanya keretakan atau penyusutan) dapat meningkatkan kadar minyak tidak tersalut. Hal lain diduga disebabkan karena karakter internal bahan penyalut itu sendiri.
Sumber Pustaka : Davidek J, J Velisek, J Pokorni. 1990. Chemical Changes during Food Processing. Elsevier, New York, Tokyo. Di Dalam : Yusraini E, P Hariyadi, F Kusnandar. 2007. Karakterisasi Proses Produksi Maltodekstrin dari Pati Pisang (Musa sp.) Secara Enzimatis Dengan a-Amilase. Forum Pascasarjana Vol. 30 No. 2 April 2007 159 – 168. Jafari SM, Y He, B Bhandari. 2010. Encapsulation of Nanoparticles of d-Limonene by Spray Drying : Role of Emulsifier and Emulsfying Techniques. J Drying Technology Vol. 25 Issue 6 Rowe RC. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients 5th ed. London : Pharmaceutical Press. Srihari E, FS Lingganingrum, R Hervita, HWS. 2010. Pengaruh Penambahan Maltodekstrin Pada Pembuatan Santan Kelapa Bubuk. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, 4-5 Agustus 2010 ISSN : 1411-4216. Semarang : Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Univeristas Diponegoro Semarang. Sun J, R Zhao, J Zeng, G Li, X Li. 2010. Characterization of Destrins with Different Dextrose Equivalents. J Molecules 15, 5162-5173 DOI : 103390/molecules15085162 Poku, K. 2002. Small-scall Palm Oil Processing in Africa. Rome : Food and Agriculture Organization Of The United Nations.