3
tekanan 17,5 psi. Setelah itu, media disimpan selama 3 hari pada suhu ruangan, untuk memastikan ada tidaknya kontaminasi pada media tersebut. Sterilisasi Alat dan Eksplan Sterilisasi botol, cawan petri, alatalat diseksi dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada tekanan 17,5 psi pada suhu 121ºC selama 30 menit. Mula-mula bahan eksplan dicuci menggunakan air kran selama 15 menit, lalu dipotong selebar ± 5 cm, selanjutnya direndam didalam deterjen selama 5-7 menit, lalu dibilas dengan air kran. Tahap selanjutnya dilakukan di dalam LAFC (Laminar Air Flow Cabinet) secara aseptik. Potonganpotongan daun direndam dalam bakterisida (Agrept 1 g/l) selama 30 menit, kemudian dalam fungisida (Dithane 1 g/l) selama 15 menit, selanjutnya dibilas hingga bersih dengan aquades steril. Eksplan dipindahkan ke dalam botol kultur steril. Selanjutnya dilakukan sterilisasi bertingkat dengan Bayclin (5,25% NaClO) sebanyak 5% selama 10 menit dan 2,5% selama 5 menit. Setiap penggantian bahan sterilan, dilakukan pembilasan dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Eksplan yang telah disterilkan dipotong sepanjang 1 cm dan ditanam dalam media yang telah disiapkan. Fase Inisiasi dan Multiplikasi Penanaman dilakukan secara aseptik di LAFC. Tahap inisiasi menggunakan zat pengatur tumbuh BAP 10 mg/l yang dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/l. Pada tahap multiplikasi dilakukan pemisahan propagul dan ditanam dalam media dengan komposisi yang sama. Hal tersebut dilakukan sebanyak 2 kali, subkultur ke-1 dan subkultur ke-2 dengan interval waktu 2 bulan. Pemeliharaan kultur Kultur disimpan pada ruangan dengan suhu 25°C, intensitas cahaya sebesar 1000 Lux selama 16 jam/hari.
Aklimatisasi Planlet dari subkultur ke-1 dan ke-2 dikeluarkan dari botol kultur untuk diaklimatisasi. Planlet yang diaklimatisasi adalah mempunyai tinggi ± 5 cm, jumlah akar dan daun lebih dari 3. Aklimatisasi dilakukan dengan menggunakan tanah, sekam dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1:1 dalam polybag. Planlet dicuci bersih dengan menggunakan air kran, agar media tidak menempel pada planlet. Selanjutnya pot disimpan dengan penyungkupan selama 2 minggu, kemudian secara berangsur-angsur sungkup dibuka. Pengamatan Pengamatan awal dilakukan 3-4 hari setelah pengkulturan untuk melihat kemungkinan terjadinya kontaminasi. Pengamatan selanjutnya dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: a. Pengamatan di laboratorium meliputi saat muncul tunas, jumlah tunas, saat muncul daun, jumlah daun, saat muncul akar dan jumlah akar, yang diamati seminggu sekali selama 7 minggu. b.Pengamatan di fase aklimatisasi meliputi parameter ketahanan hidup, tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, warna dan bentuk daun. HASIL Fase Inisiasi Untuk tahap inisiasi, bahan eksplan yang digunakan dipilih terlebih dahulu dari indukan, yaitu masih muda berumur ± 1 minggu dan terbebas dari serangan penyakit. Media dengan kombinasi BAP 10 mg/l dan NAA 0,5 mg/l menunjukkan pertumbuhan tunas pada 8 MSK (minggu setelah kultur). Pertumbuhan setelah inokulasi pada 1 MSK sampai 8 MSK disajikan pada Gambar Lampiran 8. Eksplan yang berhasil tumbuh dalam media sebanyak 20 dari 30 eksplan. Kontaminasi umumnya terjadi 3 hari setelah inokulasi. Tingkat kontaminasi pada
4
Gambar 3 Eksplan yang mengalami kematian dan berwarna coklat. Fase multiplikasi Fase Subkultur ke-1 Setelah fase inisiasi selama 8 minggu, eksplan disubkultur ke media baru dengan komposisi yang sama (fase subkultur ke-1) dan pengamatan dilakukan 8 minggu lagi. Pada Gambar Lampiran 9, terlihat proses pembentukan tunas dan akar dari propagula yang tumbuh. Pertumbuhan tunas yang ditandai dengan kuncup yang memanjang berwarna hijau yang terbentuk dari
nodul-nodul. Tunas yang terbentuk pada fase subkultur ke-1, merupakan tunas adventif. Daun yang terbentuk berukuran kecil dan berwarna hijau. Pembentukan akar dimulai pada minggu ke-2, terlihat dengan adanya akar adventif berwana putih. Selama pengamatan yang dilakukan hingga minggu ke-8 terjadi peningkatan jumlah tunas, daun dan akar. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tunas Daun akar
Jumlah
kultur mencapai 33%. Kontaminan yang menyerang eksplan berupa cendawan dan bakteri, namun kontaminasi bakteri lebih banyak ditemui. Kultur yang mengalami organogenesis langsung sebanyak 16 kultur. Sedangkan 4 kultur mengalami organogenesis tidak langsung. Selama fase inisiasi, eksplan yang ditanam mengalami perkembangan morfologi pada setiap minggunya. Pada 1 MSK eksplan mulai membesar, 2 MSK eksplan semakin membesar dan berwarna hijau dan pada 4 MSK muncul nodul-nodul kalus pada ujungujung eksplan. Minggu ke-7 nodulnodul semakin menghijau dan minggu ke-8 terbentuknya propagul dan tunastunas berwarna hijau. Kedua puluh eksplan mengalami laju pertumbuhan dan perkembangan yang sama. Eksplan yang tidak membentuk nodul-nodul bakal tunas akhirnya berubah warna menjadi cokelat dan mati (Gambar 3).
1
2
3
4 5 6 Minggu
7
8
Gambar 4 Hasil rerata jumlah tunas, daun dan akar pada kultur keladi merah pada subkultur ke-1. Gambar 4 menunjukkan rerata jumlah tunas, daun dan akar yang terbentuk pada fase subkultur ke-1. Data rerata jumlah tunas dari 20 kultur selama 8 MSK meningkat dari 2,15 menjadi 7,75 dan menunjukkan pola pertumbuhan linier. Rerata jumlah daun pada minggu ke-1 yaitu 5,50 dan pada minggu ke-8 mencapai 14,4. Terlihat hubungan antara pertumbuhan tunas dengan daun yang berkorelasi positif. Sama halnya dengan pertumbuhan tunas dan daun, pertumbuhan akar menunjukkan pola pertumbuhan yang masih meningkat pada 8 MSK. Fase Subkultur ke-2 Pada fase multiplikasi (subkultur ke2) pengamatan dilakukan selama 8 MSK juga, terhitung setelah dilakukan pemisahan planlet hasil subkultur ke-1. Selama periode kultur, diamati parameter terhadap jumlah tunas, daun dan akar. Pada Gambar Lampiran 10 terlihat pertumbuhan planlet hasil subkultur ke2. Pertumbuhan tunas, daun, dan akar,
5
mengalami peningkatan selama 8 minggu. Peningkatan tersebut sangat pesat bila dibandingkan dengan subkultur ke-1.
Jumlah
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tunas Daun akar
1
2
3
4 5 6 Minggu
7
8
Gambar 5 Hasil rerata jumlah tunas, daun dan akar keladi merah pada subkultur ke-2. Pertumbuhan tunas, daun dan akar pada fase subkultur ke-2 lebih besar dari pada subkultur ke-1. Hal ini terlihat dari hasil rerata parameter pada setiap fase subkultur. Jumlah akar pada setiap subkultur menunjukkan nilai rerata yang tertinggi pada minggu ke-8. Aklimatisasi Pada tahap aklimatisasi, planlet disungkup atau disimpan dalam ruangan gelap selama 2 minggu. Pada kondisi in vitro planlet diregenerasikan di dalam lingkungan dengan kelembabpan tinggi dan bersifat heterotrof, kemudian planlet harus berubah menjadi autotrof bila dipindahkan ke tanah dan lingkungan luar. Yang siap untuk diaklimatisasi adalah planlet dengan tinggi sekitar 5 cm, jumlah daun dan akar lebih dari 3. Pengukuran yang dilakukan pada saat tanaman akan diaklimatisasi dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2 dan 3. Planlet hasil aklimatisasi dari subkultur ke-1, diamati pada minggu ke8 setelah dipindahkan ke lingkungan luar dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4. Pengukuran terhadap parameterparameter yang digunakan menunjukkan hasil yang bervariasi. Dalam hal ini, tanaman yang berhasil hidup setelah diaklimatisasi sekitar 86,7% dari 30 planlet. Sebagian planlet mengalami kematian pada minggu ke-2 yakni pada
nomor 16, 22, 25 dan 28. Hal ini disebabkan tanaman mengalami kekeringan dan pembusukan. Tabel Lampiran 5 memperlihatkan hasil aklimatisasi setelah subkultur ke-2 diamati pada minggu ke-8. Dari 35 planlet yang ditanam, 85,7% berhasil tumbuh dengan baik. Kematian planlet terjadi pada nomor 16, 24, 29, 31 dan 35. Kematian pada aklimatisasi ke-2 dengan sebab yang sama seperti planlet hasil subkultur ke-1. Pengamatan terhadap bentuk dan warna daun dilakukan setelah tanaman berumur 2 bulan setelah aklimatisasi. Kontrol (Gambar 1) yang digunakan adalah indukan keladi merah yang diperoleh dari Laboratorium Unit Uji, Departemen Biologi, dan dijadikan sebagai pembanding untuk melihat variasi morfologi yang dihasilkan dari subkultur ke-1 dan ke-2. Pada Gambar Lampiran 11 memperlihatkan ciri-ciri morfologi hasil subkultur ke-1 yang menunjukkan adanya perbedaan bila dibandingkan dengan kontrol. Dari 26 tanaman, diperoleh 5 tanaman yang mempunyai variasi bentuk dan warna yang berbeda. Hasil subkultur ke-2, dari 30 tanaman, dihasilkan 6 tanaman yang menunjukkan adanya variasi (Gambar Lampiran 12). Secara keseluruhan variasi bentuk dan warna daun hasil aklimatisasi subkultur ke-1 dan ke-2 tersaji pada Tabel Lampiran 6 dan 7. PEMBAHASAN Teknik kultur jaringan tanaman merupakan perbanyakan tanaman dengan cara mengambil jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas. Teknik ini didasarkan pada teori totipotensi sel. Totipotensi merupakan suatu fenomena dimana sel tanaman mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman utuh bila ditumbuhkan pada lingkungan yang cocok (Salisbury & Ross 1995). Keberhasilan penggunaan teknik kultur
6
jaringan sangat tergantung pada jenis eksplan yang dikulturkan, media yang digunakan dan lingkungan tumbuh dimana kultur ditumbuhkan (Gunawan 1988). Pemilihan eksplan berupa daun menggulung yang masih muda merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan. Pada daun yang menggulung jaringan meristematik masih aktif membelah diri, sehingga akan lebih mudah tumbuh. Selain itu eksplan dipilih yang mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang baik agar mendapat kultur yang baik pula. Roset dan Bokelman (1980) dalam Sutjahjo (1994), menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari daun atau bagian daun memberikan keragaman genetik yang lebih besar daripada eksplan dari bagian tanaman lainnya. Menurut George & Sherrington (1984) sumber eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhaan dan potensi morfogenetik. Untuk mendapatkan kalus atau organogenesis, lebih baik digunakan daun berikut tulang daunnya. Organogenesis merupakan proses pembentukan organ dari jaringan eksplan. Organogenesis terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu komponen yang terkandung pada media, faktor endogen selama eksplan mulai dikulturkan, serta senyawa manitol selama inisiasi eksplan (Fahey 1986). Regenerasi tanaman melalui jalur organogenesis langsung terjadi apabila tunas terbentuk dari potongan organ seperti daun, batang dan akar tanpa melalui kalus (Lestari & Yunita 2008). Fase Inisiasi Eksplan yang dikulturkan sebanyak 30 dari satu induk tanaman. Kontaminan yang menyerang eksplan berupa cendawan dan bakteri, namun kontaminasi bakteri lebih banyak ditemui. Kontaminasi cendawan dan bakteri dapat berasal dari ruang kultur, permukaan eksplan, dan jaringan eksplan bagian dalam. Perkembangan eksplan sampai dengan terbentuknya tunas terjadi selama 8 minggu (Gambar
Lampiran 8). Pada eksplan daun Anthurium, Geier (1986) membutuhkan waktu yang lama untuk terbentuknya tunas, sekitar 8-10 minggu. Hal itu diawali dengan terbentuknya banyak tunas berwarna kehijauan. Menurut George dan Sherrington (1984), konsentrasi hormon auksin dalam media sebaiknya lebih rendah daripada sitokinin, sehingga pertumbuhan tunas lebih dahulu sebelum terbentuknya akar. Pada Gambar Lampiran 8, Setelah 2 MSK kultur pada fase inisiasi, mengalami pembengkakan jaringan eksplan. Hal ini disebabkan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media sehingga jaringan tumbuh membesar dan mengalami diferensiasi. Kultur pada fase inisiasi, setelah 4 minggu belum menunjukkan pertumbuhan tunas. Kultur justru menunjukkan munculnya nodul-nodul kalus pada ujung-ujung eksplan. Pada 7 MSK, nodul-nodul kalus semakin menghijau. Eksplan yang tidak membentuk nodul bakal tunas akhirnya berubah warna menjadi cokelat dan mati. Pencoklatan (browning) bisa terjadi pada sistem biologis tanaman sebagai respon terhadap pengaruh fisik seperti memar dan luka bekas pemotongan atau disebabkan oleh serangan penyakit dan kondisi yang tidak normal (Santoso & Nursandi 2003). Selang waktu 1 minggu kemudian, yaitu 8 MSK terbentuk propagul dan tunas-tunas berwarna hijau. Tunas-tunas adventif ini dapat terbentuk langsung dari eksplan tanpa melalui terbentuknya kalus terlebih dahulu. Tunas yang terbentuk pada penelitian ini sebagian besar adalah tunas yang tumbuh pada bagian yang terluka pada eksplan. Pola pertumbuhan ini bersifat organogenesis langsung. Tunas adventif yang diawali dari pembentukan kalus terlebih dahulu bersifat organogenesis tidak langsung. Dalam hal ini kultur yang mengalami organogenesis tidak langsung dimungkinkan karena eksplan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon lingkungan.
7
Tunas berkembang dari meristem apikal, sehingga tunas yang muncul akan berkembang membentuk suatu formasi daun. Pertumbuhan tunas dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menguntungkan bagi aktifitas enzim, auksin endogen, kofaktor dan sitokinin. Pertumbuhan daun terjadi bersamaan dengan pertumbuhan tunas. Menurut Widyastuti (2004) sitokinin merupakan suatu zat pengatur tumbuh sintetik yang tidak mudah dirombak oleh sistem enzim dari tanaman sehingga dapat memacu induksi dan multiplikasi tunas. Senyawa nitrogen yang terkandung dalam sitokinin berperan untuk proses sintesis asamasam amino dan protein secara optimal yang selanjutnya digunakan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang dalam hal ini pembentukan daun (Gardner et al. 1991). Setelah 8 MSK pada fase inisiasi, tunas yang tumbuh disubkultur dan diamati selama 8 minggu lagi. Pertumbuhan akar terjadi pada fase subkultur ke-1, yaitu pada 2 MSK dan mengalami peningkatan. Kenyataan ini diperkuat oleh pernyataan Rochiman dan Haryadi (1973), tunas yang berkembang akan menghasilkan auksin yang dapat merangsang pembentukan akar. Fase Multiplikasi Hasil subkultur ke-1 menunjukkan rata-rata jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar berturut-turut yaitu 7,75; 14,4 dan 14,85. Hasil tersebut menunjukkan rata-rata pertumbuhan akar meningkat dengan pesat, sebanding dengan jumlah daun. Hal ini diduga, eksplan yang ditanam pada media kultur menghasilkan auksin endogen, yang menyebabkan pertumbuhan eksplan lebih diarahkan pada pemanjangan sel dan pembentukan akar. Ada pula beberapa tanaman yang tidak berespon terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan (faktor eksogen). Pendapat tersebut didukung oleh Ahmad et al. (2004) bahwa akar yang tumbuh pada media dengan hormon sitokinin yang
lebih tinggi dari pada auksin, kemungkinan diinduksi oleh faktor endogen. Menurut Gunawan (1988) bahwa interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen dan endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Janick (1979), diacu dalam Ratna (2002) menegaskan bahwa pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan auksin ke bawah, karbohidrat dan rooting cofactor (zat-zat berinteraksi dengan auksin yang mengakibatkan terbentuknya akar). Percobaan kedua, planlet yang belum mempunyai akar, hasil subkultur ke-1 dipindahkan ke dalam media baru dengan komposisi media yang sama. Hasil subkultur ke-2 menunjukkan ratarata jumlah tunas, daun dan akar berturut-turut yaitu 17,45; 19,8 dan 20,35. Kecepatan multiplikasi tunas, nilai rerata jumlah tunas, nilai rerata jumlah daun, dan rerata jumlah helai daun mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan subkultur ke-1. Hasil penelitian Pratiwi (2009) menunjukkan bahwa multiplikasi Anthurium plowmanii ada peningkatan jumlah tunas, daun dan akar lebih tinggi dibandingkan dengan subkultur ke-1. Hal ini dimungkinkan karena propagula yang dipindahkan sudah berbentuk planlet, sehingga kecepatan multiplikasi kuncup adventif yang berikutnya lebih tinggi dibanding yang masih berbentuk jaringan eksplan. Aklimatisasi Aklimatisasi merupakan perpindahan tanaman dari lingkungan yang terkendali ke lingkungan yang tidak terkendali. Aklimatisasi dilakukan pada planlet hasil subkultur ke-1 dan ke2. Planlet yang diaklimatisasi dengan perakaran yang baik, yaitu berwarna hijau, daun lebih dari 3 dengan batang berwarna hijau tua. Planlet subkultur ke1 yang berhasil tumbuh dengan baik setelah di aklimatisasi sekitar 86,7% dari 30 tanaman (Tabel Lampiran 4). sedangkan pada subkultur ke-2 sekitar 85,7% dari sebanyak 35 tanaman (Tabel Lampiran 5). Kematian planlet saat
8
aklimatisasi dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Kelembapan yang rendah dapat mengakibatkan kematian pada planlet. Hal ini karena planlet hasil kultur jaringan terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan tinggi, sedangkan intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan suhu lingkungan yang tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembabpan udara (Zulkarnain 2009). Menurut De Klerk (1990), terlihatnya perbedaan fenotipe tanaman merupakan salah satu cara memperkirakan ada atau tidaknya keragaman genetik. Fenomena variasi somaklonal ini dapat dilihat dari perubahan bentuk dan warna daun, serta bentuk daun. Dilihat dari Gambar Lampiran 11 dan 12, variasi yang terjadi dapat diduga sebagai keragaman somaklonal. Sumber eksplan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi frekuensi terjadinya variasi, baik variasi fenotipe maupun genotipe (Karf 1995; Kumar 1995;Faried et al. 2006). Semakin tua suatu jaringan yang dikulturkan, semakin besar variasi yang ditimbulkan. Keragaman pada planlet disebabkan oleh adanya sel-sel yang bermutasi atau variasi polisomik dari jaringan tertentu (Thorpe 1990). Keragamaan genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan bisa disebabkan oleh perubahan struktur kromosom, penggandaan jumlah kromosom dan perubahan gen (Anthony et al. 2000). Menurut Karf (1995), banyak bukti menunjukkan variasi somaklonal dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh, terutama pada konsentrasi tinggi dalam media. Kemungkinan zat pengatur tumbuh tersebut bertindak sebagai mutagen. Konsentrasi garam-garam nutrien yang tinggi seperti kalsium dan EDTA pada media kultur juga meningkatkan ketidaknormalan kromosom pada kultur sel (Kumar 1995). Selanjutnya konsentrasi sukrosa tinggi dapat menginduksi poliploidisasi sel yang akan menghasilkan keragaman
genetik yang dapat memproduksi varietas baru dengan karakter fisik dan fenotipe tertentu, seperti perubahan performa pertumbuhan, warna bunga, peningkatan ukuran dan daya adaptasi. Poliploidisasi tersebut akibat peristiwa nondisjunction (segregasi yang tidak normal dari kromosom pada saat meiosis atau mitosis) sehingga terjadi peningkatan ukuran sel dan jaringan tanaman termasuk perubahan bentuk dan warna. Variasi juga dapat ditimbulkan oleh ketidakseimbangan gen atau tidak sempurnanya kromosom. SIMPULAN Kultur jaringan keladi merah sudah menghasilkan variasi somaklonal setelah 16 MSK. Subkultur ke-1 menghasilkan 5 tanaman sedangkan subkultur ke-2 memberikan 6 tanaman yang bervariasi secara fenotipik. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang variasi yang ditimbulkan pada proses multiplikasi sehingga dapat menghasilkan keragaman yang memiliki nilai jual yang tinggi. Perlu pula dilakukan deteksi genetik terhadap variasi tersebut sehingga bisa mengetahui penyebab dari keragaman yang ditimbulkan. DAFTAR PUSTAKA Aisyah S. 2000. Perakitan baru Artemisia (Artemisia annua. L) melalui induksi dan keragaman somaklonal.[skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Ahmad EU, Hayashi. T, Yazawa S. 2004. Auxins increase the occurrence of leaf-colour variants in Caladium regenerated from leaf explants. Sci Hort 100: 153–171. Ali A, A. Munawar, S. Naz. 2007. An in vitro study on micropopagation of Caladium bicolor. International