Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
TATA NILAI PERDAMAIAN SUFISTIK JAWA CERITA PEWAYANGAN (VALUE’S JAVA SUFISM PEACE OF PUPPET STORY) Khalimi dan Abu Khaer FITK-PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta e-mail:
[email protected] dan
[email protected] Diterima tanggal: 03/05/2012, Dikembalikan untuk revisi tanggal: 04/11/2012, Disetujui tanggal: 10/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan kekurang-komprehensifan paradigma ilmu sosial dalam menjelaskan tentang perdamaian. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memperkuat pendapat Mohammed Abu-Nimer, Hamengkubuwono X dan Abdul Hadi WM., yang menyatakan bahwa kearifan lokal dapat dijadikan sebagai tata nilai dalam membangun binadamai dan nirkekerasan secara lebih komprehensif. Sebagai suatu paradigma bina-damai dan nirkekerasan, tata nilai perdamaian sufistik Jawa terangkum dalam teori empat pengabdian (catur sembah), yaitu raga, cipta/kalbu, jiwa dan rasa. Sumber utama yang dipakai ajaran Serat Wredhatama karya Mangkunegara IV. Metode penelitian ini sendiri bersifat kualitatif, studi kepustakaan (library research) dengan pendekatan fenomenologi-hermeneutik. Sembah raga dan sembah cipta merupakan tata nilai perdamaian sufistik Jawa yang selaras dengan tahapan tasawuf, syari’at dan tarekat untuk alam makrokosmos. Kedamaian alam mikrokosmos diejawantahkan melalui sembah jiwa dan sembah rasa sejalan dengan tema hakikat dan makrifat dalam menggapai ketentraman hidup secara paripurna. Kata kunci: catur sembah, sembah raga (syari’at), sembah cipta (tarekat), sembah jiwa (hakikat), dan sembah rasa (makrifat). Abstract: The aim of this research is to prove the lack of comprehensive social science paradigm in explaining about peace, which tend to rely on the theory of social facts or psychosocial. The result of this research is to strengthen the research Mohammed Abu-Nimer, Hamengkubuwono X and Abdul Hadi, which states that local knowledge can be used as values
in building peace
and non-violence in a more comprehensive way. As a paradigm of peace and non-violence, values Javanese-Sufi peace theory summarized in four devotion; body, heart, soul, and sense. A primary source is teaching Serat Wredhatama Mangkunegara IV. The study itself is qualitative, library research with a phenomenological-hermeneutic approach. Body worship and heart is Sufi Javanese peace values are aligned to the stages of Sufism, shariah and tariqah to the natural macrocosm. Peace microcosm of nature embodied soul through worship and adore sense in line with the nature and terms makrifat in achieving the perfect tranquility of life. Keywords: catur sembah, worship body (shari’ah), worship heart (tariqah), worship soul (haqiqah), worship sense (makrifat).
Pendahuluan
cenderung bersifat represif. Perlu digunakan
Di tengah makin maraknya konflik maupun tindak
resolusi konflik alternatif yang mampu ber-
kek erasan y ang mela nda Nega ra K esat uan
diale ktika de ngan str uktur sosial guna me-
Rep ubli k Indone sia (NKR I) k ini, dip erlukan
wujudkan tatanan yang madani. Salah satu
kontribusi berbagai macam pendekatan resolusi
alternatif resolusi konflik yang potensial untuk itu
konflik untuk dijadikan rujukan demi tercapainya
yaitu kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal
perdamaian sejati. Pendekatan legal-formal dari
merupakan hikmah kebijaksanaan yang ter-
piha k pemeri ntah mel alui apa rat keam anan
kristalkan dari pengalaman hidup secara jangka
18
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
panjang pada sistem sosial-budaya masing-
nilai p erdamaian sufi stik kisah pew ayangan
masing, yang menjelma dalam bentuk peri-
paralel dengan paradigma ilmu sosiologi pada
bahasa, pesan-pesan, prosa/puisi, dan lainnya.
penekanan sisi fakta sosialnya dalam mewu-
Hampir setiap sistem sosial budaya lokal di
judkan kedamaian hidup yang lebih menekankan
Indonesia memiliki butir-butir kearifan lokal yang
imanensi sisi makro atau mikro kehidupan sosial
pad a er a se kara ng d apat dif asil itasi untuk
manusia (Jhonson, 1986; Ritzer & Goodman, 2004;
berkontribusi dalam pengelolaan konflik ber-
Turner, 1998). Bahkan sebagai kearifan lokal (local
kekerasan dan tindakan kekerasan.
wisdom) Bangsa Indonesia, tata nilai perdamaian
Lebih jauh mendedahkan tentang urgennya kea rifa n
budaya
bag i
pe rada ban
ya ng t erka ndung da lam cer ita pewa yang an
bang sa,
memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dan unik
Hamengkubuwono XII (2011) menjelaskan bahwa
dari paradigma ilmu sosial dan Islam. Dengan
setiap budaya punya sisi baik dan buruknya.
demikian, pandangan yang menyatakan bahwa
Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai
kearifan lokal suatu bangsa, lebih khusus lagi
sintesis baru adalah cara yang bijak, daripada
pewayangan tidak memiliki norma-norma tata nilai
menolaknya semena-mena. Terhadap budaya
kehidupan yang luhur, setidak-tidaknya perlu dikaji
orang dan diri sendiri, filosofi yang baik adalah
ulang pernyataannya.
tidak merasa inferior, tetapi
juga tidak merasa
Kisah yang dilakonkan dalam jagat pewa-
superior dengan budaya sendiri. Beranilah belajar
yangan merupakan salah satu cerita yang berasal
dari budaya orang lain dan budaya sendiri. Filosofi
dari gubahan (carangan) atau cerita induk (babon)
ini penting bag i ma sa d epan keb uday aan
Kitab Mahabarata atau Ramayana (Gronendael,
Indonesia di dunia global yang multikultural ini.
19 86). Wayang, mem inja m istila h Be nedi ct
Kita bisa belajar banyak hal positif dari ke-
Anderson (1992), merupakan imagined community
beragaman manusia, agama, dan suku bangsa.
(komunitas terbayangkan) keluhuran budaya
Dari tradisi inilah lahir keyakinan akan mungkinnya
bangsa Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO
“kolaborasi kemanusiaan” antara dua atau lebih
(http://www.unesco.org/culture/
manusia, agama, dan suku bangsa, misalnya
intangibleheritage, organisasi pendidikan, ilmu
lakon-lakon wayang sekaligus dengan wayang-
peng etahuan dan kebudayaan PBB, sej ak 7
nya. Tanpa ruh pluralisme tak mungkin wayang
November 2003 sebagai World Masterpiece of Oral
yang sekarang diakui sebagai World Heritage.
and Intangible Heritage of Humanity. Pengakuan PBB
Kisah inti cerita pewayangan secara filosofis
tersebut yang dijadikan landasan ilmiah bagi
melambangkan bagaimana manusia mendapat-
penulis bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung
kan kedamaian dalam hidupnya (Moerdowo,
dalam pewayangan dengan segala produknya
1982). Dalam kisah tersebut juga terkandung
bisa dijadikan sebagai sebuah paradigma untuk
nilai-nilai perdamaian, baik secara teoritis dan
menciptakan kedamaian dan kerukunan hidup
praktis tentang bagaimana manusia seyogyanya
masyarakat Indonesia yang heterogen.
menjalani perjalanan hidupnya lahir-batin guna
Ke bang gaan way ang seb agai im agined
menemukan identitas dirinya (mikrokosmos) dan
community yang luhur itu rasanya berbanding
pencarian asal dan tujuan hidup manusia/sangkan
terbalik tatkala saat ini didapati dalam menye-
paraning dumadi (makrokosmos). Dua jalan menuju
lesaikan konflik sosial, pihak Pemerintah Indonesia
kedamaian hidup yang terkandung dalam cerita
sendiri melalui aparat yang berwenang menjaga
pew ayang an se suai deng an aj aran tasaw uf,
keamanan dan kedamaian hidup masyarakat,
disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat
lebih memilih pendekatan makro struktural-
(sembah raga), tarekat (sembah cipta), hakikat
fungsional atau teori konflik dan pendekatan mikro
(sembah jiwa), dan makrifat (sembah rasa)
interaksionalisme simbolik dalam menyelesaikan
(Endaswara, 2006; Ekajati dkk, 1992).
berbagai kasus kerusuhan yang terjadi ketimbang
Me nurut pe nuli s, nila i-ni lai perd amai an tersebut kompatibel dengan potensi manusia
me lalui pe ndek atan kea rifa n lokal Bang sa Indonesia sendiri.
yang memiliki pranata imanensi dan transendensi
Dua contoh kasus misalnya, dalam menangani
dalam upaya untuk menjaga kehidupannya. Nilai-
kasus kerusuhan sosial di akhir tahun 2011 dan
19
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
awal tahun 2012 yang terjadi di Sapen Bima NTB
kehidupan masyarakat dengan menggunakan
dan Mesuji Lampung, pihak yang berwenang
paradigma sufistik kearifan lokal; untuk mencari
menj aga keam anan sep erti Pol ri berpa yung
tahu alasan dan penyebab konflik sosial masya-
pendekatan hukum legal-formal, menggunakan
rakat yang secara langsung telah menyimpang
pendekatan represif kepada masyarakat yang
dari konsensus berdirinya NKRI untuk menciptakan
justru malah menjadi pemicu kerusuhan yang
suatu ketertiban dunia dalam kehidupan ber-
berkela njutan memendam api dala m sekam
masyara kat dan upay a untuk mencipta kan
potensi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ke rusuhan
kem bali
(ht tp:/ /new s.
detik.com/read/2012/02/02/005549/1831993/10/ kapolda-provokator-rusuh-bima-dari-luar-ntb;dan
Kajian Literatur
http://nasional.kompas.com/read/2011/12/24/
Tulisan tentang nilai-nilai perdamaian kearifan
K ap old a.N T B.Pimp in.Pem b ub ar an.Massa.
lokal bagi kehidupan bukan tidak ada sama sekali,
di.Sape,2011). Hukum formal dalam penyelesaian
bahkan bisa dikatakan cukup banyak. Namun,
konflik di Indonesia mengalami involusi solusi
sej auh pe ncaria n pene litian yang dilakukan
perdamaian, meminjam istilah Geertz (1976).
penulis, tidak ada karya ilmiah yang disusun untuk
Ironinya pengabaian terhadap keluhuran
membahas secara khusus tentang tata nilai
bud aya bang sa sendi ri t erse but dipe rpar ah
perdamaian sufistik kearifan lokal pewayangan.
dengan perilaku salah-kaprah anggota Dewan
Oleh karena itu, apa yang penulis teliti dalam hal
Legislatif Badan Kehormatan DPR yang hanya
ini bukan merupakan pengulangan dari penulis-
untuk belajar etika meski belajar ke negara yang
penulis sebelumnya.
se bena rnya
sed ang
meng hada pi
k ebang-
Hamid Nasuhi (2007) dengan karya ilmiahnya
krutannya sendiri secara tidak terhormat, yaitu
bertema, Gagasan Mistik dalam Serat Dewa Ruci
Yunani (http://nasional. kompas. com/ read/ 2010/
Karya Jasadipura I (1729-1803); Tinjauan Tasawuf
10/ 20/1 7521 753/ BK.DPR.te tap.Keuk euh.ke.
Falsafi. Disertasi ini secara spesifik membahas
Yunani; http://suara merdeka.com/v1/index.php/
Dewa Ruci berdasarkan bentuk serat yang berupa
r ea d/ cet a k/ 20 1 0/ 1 0/ 20 / 12 7 41 0/ BK- D PR-k e
tembang macapat. Dalam kajiannya, Hamid Nasuhi
Yunani-Mengada-ada. Dalih para ‘wakil rakyat’
hanya menggali konsep-konsep kedamaian mistis
yang belajar etika ke negeri kiblat para filosof
yang terdapat dalam serat Dewa Ruci dengan
klasik Barat itu pada bulan Oktober 2010 justru
menggunakan pisau analisis tasawuf falsafi dan
kontraproduktif dengan kenyataan negeri Yunani
bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi
masa kini dan membalikkan sendiri pengakuan-
kehidupan beragama masyarakat Indonesia,
pengakuan dan penghargaan-penghargaan dunia
khususnya daerah Jawa.
internasional terhadap kearifan lokal budaya
Aris Wahyudi (2008) dari UGM Yogyakarta
wayang Indonesia yang memiliki norma-norma
dalam disertasi dengan tema Bima dan Drona
luhur bagi kehidupan, termasuk etika. Berda-
dalam Lakon Dewa Ruci, mengupas kandungan
sarkan hal-hal tersebut, penulis merasa tertarik
nilai-nilai ruhaniah dan etika yang terkandung
sekaligus terpanggil untuk menggali tata nilai
dalam lakon Dewa Ruci. Wahyudi menjelaskan
perdamaian sufistik kearifan lokal budaya bangsa
bahwa dalam lakon Dewa Ruci terdapat piwulang-
yang terkandung dalam cerita pewayangan.
piwulang luhur bagi manusia bagaimana agar dapat
Tata nilai perdamaian sufistik yang akan digali
secara ruhani dan etika dapat hidup damai dan
menggunakan pendekatan interpretasi budaya
harmonis di jagat raya ini. Nilai-nilai pendidikan
(cultural interpretative) kearifan lokal yang digali
karakter yang digali dari lakon Dewa Ruci lebih
dari cerita pewayangan berdasarkan metodologi
cenderung dikemukakan dan ditonjolkan dalam
ethnography Geertz (1973) yang ia sebut “Thick
karya ilmiah ini dan sedikit sekali mengupas sisi
Description,” yang dipinjam dari Gilbert Ryle, dan
perdamaian sufistiknya.
pendekatan “Religion as A Cultural System.”
Untuk kajian tata nilai perdamaian lokal, lagi-
Tujuan penelitian ini, yaitu untuk menganalisa
lagi sepanjang pengetahuan dan penelusuran
masalah-masalah sosial, terutama konflik-konflik
penulis yang terbatas, karya Abu-Nimer (2010)
sosial yang marak terjadi di bumi pertiwi di dalam
yang pembahasannya banyak dijadikan rujukan
20
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
tentang bag aima na r anca ng b angun te ori
negeri Indonesia sendiri, terlebih lagi untuk
perdamaian dalam Islam. Lewat karyanya A
seluruh dunia. Dalam karya inipun tidak menyen-
Framework for Nonviolence and Peacebuilding in
tuh bagaimana peranan organisasi seni, terutama
Islam, menggali nilai-nilai perdamaian dalam Islam
pewayangan berperan dalam membumikan nilai-
dari dua sumber utama ajarannya, Al-Qur’an dan
nilai perdamaian Islam di bumi pertiwi ini.
Hadits. Menurutnya, secara global teori bina-
Karya ilmiah dengan aneka pembahasan di
damai Islam terdiri dari tiga teori, yakni jihad-
atas, meskipun juga sama-sama berpendapat
pe rang ; pe rang -adi l; dan bina -dam ai d an
tentang pentingnya pernak-pernik nilai budaya
nirkekerasan. Tidak hanya berhenti pada kajian
Islam Indonesia sebagai solusi alternatif bagi
legal-formal, ia juga mencoba menggali tradisi-
kerangka bina-damai, akan tetapi tidak secara
tradisi (cultural) dari negara-negara Islam yang
spesifik membahas bagaimana nilai-nilai bina-
menurutnya bisa dijadikan bahan kajian ilmiah
damai sufistik cerita pewayangan. Oleh karenanya,
untuk mengungkapkan kandungan nilai-nilai
penulisan karya ilmiah ini bukan merupakan
perdamaian dalam Islam yang representatif
pengula ngan kaji an-ka jian ilmi ah te rdahulu
me rupa kan bagi an d ari aja ran Isla m ya ng
dengan mengambil tema dan analisis kajian yang
diterapkan oleh masyarakat setempat. Namun,
sama.
kajian Abu-Nimer lebih banyak memaparkan kajian me ngangkat nil ai-nilai dam ai d ari buda ya
Metode Penelitian
masyarakat Islam Timur-Tengah, dengan sedikit
Metode yang digunakan dalam pencarian data,
sekali mengungkapkan nilai-nilai bina damai dari
yaitu penelitian kepustakaan (library research)
kultural masyarakat Indonesia yang pendu-
berdasarkan metodologi interpretasi kultural
duknya merupakan negara terbanyak beragama
ethnography Geertz (1973). Obyek utama dalam
Islam di dunia.
kajian ini, yaitu cerita pewayangan Dewa Ruci.
Al-Na’im (2011) dalam karyanya Muslims and
Adapun kepustakaan yang dijadikan rujukan
Global Justice juga sependapat dengan Abu-Nimer
utama, yaitu Serat Dewaruci, karya Jasadipoera
dalam hal bahwa produk kultur masyarakat Islam
(1959); Sastroamidjojo (1962), Cerita Dewa Ruci:
penuh dengan nilai-nilai kearifan perdamaian
dengan
hidup, baik secara teoritis maupun praktis yang
Yogyakarta (1998), Kitab Dewa Ruci.
Arti
Filsa fatny a,
d an
Depd ikb ud
dapat digunakan sebagai kerangka konsep bina-
Buku-buku tentang pewayangan hasil karya
damai Islam. Al-Na’im juga kurang menjelaskan
pribumi Indonesia tersebut cukup refresentatif
tentang bagaimana budaya Islam berkembang
untuk menggambarkan keragaman cerita pewa-
dan menyatu di Indonesia.
yangan dan filosofinya yang agung, terutama
Dari kalangan cendekiawan Islam Indonesia,
yang berkaitan dengan perdamaian hidup.
Toha Hamim (2007) dengan karyanya Resolusi
Buku-buku tentang pewayangan hasil karya
Konflik Islam Indonesia, pendapatnya juga senada
pribumi Indonesia tersebut disandingkan dengan
dengan kedua tokoh di atas. Dalam karyanya
pemikiran para intelektual Barat yang memiliki
tersebut, Hamim memberikan justifikasi ilmiah atas
tradisi pembacaan kritis terhadap khazanah
pentingnya mazhab Islam kultural sebagai sebuah
budaya pewayangan. Oleh karena itu, pemikiran
paradigma teoretik dalam memb angun per-
tokoh-tokoh Barat seperti Suseno (1988), Hazeu
damaian.
(1979), Zoetmulder (1990), dan Geertz (1964)
Azhar Arsyad (2002) dalam karyanya ‘Islam dan Perdama ian Global’ menjelaskan fungsi
ya ng t erka it d enga n t opik bahasan dal am penelitian ini juga akan menjadi rujukan.
pra nata -pra nata Isl am d i Indone sia sepe rti
Mengingat obyek penelitian ini tentang filsafat
universitas-universitas Islam, organisasi-orga-
ta ta nilai per dama ian suf isti k da lam ceri ta
nisasi Islam dan sejenisnya bagaimana berfungsi
pew ayangan Dewa Ruci, m aka berd asar kan
untuk menerapkan ajaran-ajaran Islam tentang
analisis filsafat, terdapat dua persoalan mendasar
perdamaian sebagai prinsip universal dengan
yang perlu diklarifikasi terkait dengan penelitian
membuat standar dan teori-teori Islam yang
tentang filsafat wayang. Pertama, masalah filsafat
dapat dikembangkan, baik untuk kepentingan
wayang sebagai genetivus objektivus dan filsafat
21
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
wayang sebagai genetivus subjektivus. Kedua,
eksi stensi mitos ( Peurse n C.A. van, 19 89).
masalah yang masih bergayut dengan persoalan
Wayang memang penuh dengan lambang atau
pertama, yaitu tentang objek material dan objek
simbol. Cerita, termasuk lakon wayang, lahir dari
formal penelitian filsafat wayang. Tulisan ini
imajinasi manusia, khayalan manusia, walaupun
dimaksudkan sebagai kajian filosofis yang masih
unsur -unsur k hayalan tersebut berasal dari
berkisar pada filsafat wayang sebagai genetivus
kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Putra
objektivus, artinya wayang sebagai objek material
(2001) cerita seperti ini dapat dipandang sebagai
disoroti dari perspektif filsafat barat (sebagai objek
sebuah mitos. Di sini mitos merupakan suatu cerita
formal).
(tidak harus suci) yang mengandung pesan-pesan
Sesuai dengan objek material, yakni sebagai
tertentu. Wayangpun yang kini hanya dianggap
simbol, maka objek formal atau metode yang
sekedar cerita mitos belaka merupakan hasil
di paka i ad alah fenomenolog i he rmeneuti k;
karya manusia yang luhur dimaksudkan sebagai
sebuah metode yang mensintesiskan antara
jawaban atas dinamika-dinamika kehidupan umat
metode fenomenologi d engan her meneut ika
manusia.
(interpretasi). Menurut Ricoeur (1976), bahasa
Wayang dan pewayangan pada dasarnya
simbol hanya dapat ditangkap dan dipahami
mer upak an b agia n da ri k ebud ayaa n Ja wa,
maknanya (hakikat, esensi) melalui pendekatan
walaupun repertoire-nya bersumber pada epos
hermeneutika (interpretasi). Tugas filsafat adalah
India Hindu, Ramayana, dan Mahabarata, namun
membangun makna simbol melalui interpretasi
bentuk wayang di Jawa dikerjakan berdasarkan
kreatif. Ricoeur menyebut hal itu sebagai deduksi
sikap kebudayaan Jawa. Bahkan, karena begitu
transendental simbol-simbol, yang terdiri dari
be sarnya p enga ruh way ang atas kehidup an
pembenaran suatu pengertian dengan menun-
orang Jawa, dipandang tidak berlebihan bila
jukkan bahwa pengertian itu dapat membentuk
dikatakan bahwa wayang merupakan identitas
objek-objek.
utama manusia Jawa (Sri Mulyono: 1982; Weiss: 2006; Aning, 2006). Wayang itu tidak lain dan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
tidak bukan merupakan suatu simbol dari hidup
Ajaran agama, termasuk ajaran sufistiknya, harus
manusia maupun kehidupan itu sendiri. Wayang
di liha t se baga i suatu sistem yang mam pu
bahkan dapat dikatakan sebagai ensiklopedi
mengubah suatu tatanan masyarakat (Ma’ruf
tentang hidup, yang dapat diungkapkan secara
Jamhari, 2012). Nilai-nilai ajaran agama yang
ontologis-metafisik. Wayang juga melambangkan
terkandung dalam kisah pewayangan Dewa Ruci
keberadaan atau cara beradanya manusia, yang
sebagai bagian kecil dari sistem budaya Islam
dalam pertunjukkan dimulai dari ruang kosong
Indonesia merupakan sistem budaya sendiri yang
(pendapa suwung) dan diakhiri atau kembali
dapat membentuk karakter masyarakat ke arah
menjadi pendapa suwung lagi (Djajasoebrata,
hidup yang sejahtera. Agar pemahaman terhadap
1999).
bagaimana konsep tata nilai perdamaian sufistik
Wayang juga dikatakan sebagai literatur
dalam cerita pewayangan secara lebih kom-
mengenai filsafat Jawa, untuk enggan menya-
prehensif, maka alangkah baiknya diketahui juga
takan filsafat Indonesia, yang sebenarnya tidak
terlebih dahulu tentang cerita pewayangan dalam
mempunyai bentuk tersendiri; tetapi merupakan
masyarakat Indonesia.
bagian-bagian tempat, masing-masing bagian
Pa da a walnya w ayang oleh keba nyak an
merupakan ide dari cara hidup. Sebagai filsafat,
orang selalu dikaitkan dengan mitos, mistik,
wayang adalah simbol ajaran “sangkan paran” dan
magis, dan ritus (Hazeu, 1979). Namun dalam
perbuatan, yaitu sikap atau cara manusia beramal
per kemb anga nnya way ang meng alam i di fe-
dan berjalan menuju kepada Penciptanya.
rensiasi fungsional, fungsi wayang mengalami pergeseran: dari mitos ke logos, tentu tidak dapat
Tata Nilai Perdamaian Sufistik Pewayangan
dipungkiri bahwa unsur-unsur mitologi masih
Ki sah pewa yang an, seb agai mana dik atak an
kental. Sayangnya banyak ahli apalagi orang
Florida (1995), telah memberi sumbangan penting
awam selalu memberi konotasi negatif atas
terhadap sastra Jawa, baik dalam jumlah naskah,
22
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
bentuk estetik, serta kemampuannya dalam
nafsu-nafsu dan pernyataannya yang melilit
memberi orientasi terhadap kebudayaan Jawa.
dirinya sendiri seperti seekor naga raksasa
Pada tengah malam, ketika para petani sedang
dengan
beristirahat setelah bekerja pada siang harinya,
(Sastroamidjojo, 1967). Di samping empat warna
mereka menikmati suluk yang dilantunkan dengan
itu, Dewa Ruci menerangkan, adanya delapan
berbagai metrumnya. Pada saat itulah orang
warna yang bersatu dan merupakan sesuatu
Jawa, dengan cara yang halus dan indah, sedang
nyala menggambarkan manusia sejati, yang tepat
digubah dan diisi ulang kandungan jiwanya,
serupa dunia besar yang berkembang, hingga
sehingga arah hidupnya perlahan mengikuti
kedua-duanya mewujudkan mikrokosmos dan
kandungan dalam suluk tersebut. Nadanya yang
makrokosmos (jagad cilik dan jagad gedhe).
senja tanya
“Kuku
Panca
K enak a”
berputar berulang bergerak menuju titik pusat
Dalam filosofi cerita pewayangan, susunan
yang di ketinggian, di mana Tuhan secara simbolik
sifat-sifat manusia dan alam dikuasai oleh lima
berada.
unsur asasi; empat yang padu dalam yang kelima waya ng
(keblat-papat-kelimo pancer-moncopat). Dalam
semalam suntuk merupakan suatu lambang atau
Pe rtunjukk an a tau
per gela ran
pandangan filsa fat wa yang kosmos diyak ini
simbol renungan transendental atau metafisis-
memiliki empat kiblat (selatan, barat, utara, dan
religius. Juga merupakan lambang dari suatu
timur), dan satu sebagai pusat. Kenyataan yang
ke bera daan (me ndunia) eksiste nsi maup un
terpahami sebagai hidup (kayon) yang bersifat
dumadi. Di dalam istilah paguron faham semacam
sem entar a, ha nya seked ar si nggah seje nak
ini disebut dengan “Sangkan Paraning Dumadi,”
(sadermo mampir ngombe) dan selalu dalam posisi
asal hidup atau dari mana dan ke mana manusia
selalu berubah (owah gingsir). Realitas yang
hidup. Jadi boleh disimpulkan, bahwa wayang
sungguh-sungguh ad ala h sumber hid up i tu
sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan
sendiri: “Sangkan paraning dumadi”, yaitu Hyang
peragaan pengalaman religius yang merangkum
Murbeing Dumadi. Sangkan pararing dumadi itu
bermacam unsur lambang, termasuk di dalamnya
diartikan sebagai “the origin and destination of
lambang perdamaian kehidupan (Djajasoebrata,
being.” Realitas kehidupan manusia sesungguhnya
1995; Moertono, 2009; Moerdowo, 1982).
berproses dari “tiada” menuju “tiada”, nothing and
Filsafat perdamaian wayang juga meng-
return to nothing. Di tengah-tengahnya kehidupan
isyaratkan bahwa realitas yang sungguh-sungguh
digelar dan dijalani manusia. Dinamika kehidupan
nyata (kasunyatan) berada dalam kesatuannya
dipahami dalam kaitanya aktivitas hidup manusia
dengan Yang-Mutlak. Entah itu tata alam raya,
menjalani kehidupannya.
maupun manusia. Kesatuan itu masih sementara
Dalam f ilsafat perd amaian wayang juga
di dunia (miyos), tetapi permanen di akhirat:
dikenal sebuah istilah yang menggambarkan
Jumbuhing atau pamoring kawulo-gusti. Alam
proses dina mika rea lita s, y aitu “ Ma nyok ro
semesta merupakan pengejawantahan Tuhan.
panggilingan”, artinya hidup itu berputar seperti
Manusia dan alam semesta merupakan satu
roda. Sastrohamidjojo (1967) menjelaskan bahwa
kesatuan, kesatuan makrokosmos dan miro-
dalam berputarnya “roda dunia” dengan baik,
kosmos (jagad gedhe-jagad cilik). Mikrokosmos dan
yang tidak pernah meleset (Manyokro panggi-
makrokosmos ada keselarasan progresif, tetapi
lingan), itu hanya ada satu kekuatan, satu-
bukanlah identitas. Tatanan abadi dipartisipasikan
sat unya
oleh manusia (homologi antropokosmis) (Azra,
menguasai penuh segala-galanya, yaitu Tuhan
2002).
(Yang Maha Esa/Adnjana Wasesa, Kaw Sejati atau
yang me ndor ong,
mengger akka n,
Di dalam lakon kisah pewayangan semisal
Sedjatining Kaw). Inilah yang merupakan poros
Dewa Ruci dikisahkan bahwa Bima mengenakan
satu-satunja dan pokok “pengeraning agesang”
“kampuh” (sejenis pakaian), Poleng Bang Bintalu
(pedoman hidup). Selain hal-hal di atas, ajaran
yang memiliki empat macam warna, yakni merah,
way ang juga sangat
kuning, putih, dan hitam (catur warna) berhasil
pewayangan Dewa Ruci, Bima sebagai tokoh
membangun kehidupan yang penuh damai karena
sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan
telah berhasil melepaskan rintangan yang berupa
Yang Maha Esa sebagai inti dari ketauhidan ajaran
Isla mi. Dala m la kon
23
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
Islam. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan
Konsepsi keagamaan di Indonesia, dalam hal
dunia dan segala isinya. Hal tersebut sesuai
ini konsepsi Islam sufistik, mampu mentrans-
dengan inti aja ran Pancasil a da lam konsep
formasi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
sehingga kebudayaan Jawa sebelum Islam tampil
de ngan
dam ai
k ebud ayaa n
Ja wa
Dalam sejarah perkembangan wayang, para
dalam balutan yang islami. Konsepsi keagamaan
Wal i be rperan b esar dal am p enge mbangan
memiliki peran besar dalam mentransformasi
pewayangan di Indonesia dengan mengisi ajaran-
kebudayaan tertentu dalam hal ini kebudayaan
ajaran sufistik menggantikan ajaran Hindu-Budha.
Islam Jawa. Konsepsi keagamaan dalam studi
Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa
Mark Woodward (2011) merujuk pada konsepsi-
da lam meng emba ngka n da n me ngislamk an
konsepsi Islam sebagai mana tercermin dalam
Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah
literatur keagamaan Islam. Konsepsi-konsepsi
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.
Islam tersebut ditransformasi melalui penafsiran
Pertama, wayang kulit di Jawa Timur; kedua,
orang Jawa dan menghasilkan berbagai bentuk
wayang Wong atau wayang orang di Jawa Tengah,
penafsiran baru sebagaimana terekam dalam
dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing
Babad Tanah Jawi dan sejumlah serat seperti serat
masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu
Centini, serat Cebolek, maupun serat Hidayat Jati.
“Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang
Kebudayaan Islam Jawa merupakan bentuk
Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari
respon yang kreatif terhadap kemunculan Islam
(Wayang Golek)” (Sumarsam, 1992; Rasmussen,
di Jawa yang di dalamnya terdapat kemauan
2010; James R Brandon, 1967).
untuk menyelaraskan Islam yang baru datang
Yang menarik dan patut ditekankan dari
dengan kepercayaan lama yang telah mengakar
kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka
beratus-ratus tahun lamanya. Penyelarasan yang
menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah
pada bentuk luarnya merupakan penyelarasan
dengan armada militer dan pedang, tidak juga
antara Islam dengan kebudayaan pra-Islam, pada
dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan
hakikatnya analog dengan penyelarasan antara
lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia
sya riat dan tasawuf ata u antara kesalehan
yang saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu
normatif dan kebatinan. Islam sedari awal telah
dan Budha. Namun, mereka melakukan perubahan
menggabungkan (unifikasi) tradisi-tradisi besar
sosial secara halus, damai dan bijaksana. Mereka
sebelum Islam seperti ajaran-ajaran Ibrahim dan
tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan
tradisi sufi Persia. Spirit ini yang mungkin diikuti
lama masyarakat namun justru menjadikannya
para penguasa Mataram yang dengan sangat je-
sebagai sarana dalam dakwah damai mereka.
nius menggabungkan unsur-unsur Islam dengan
Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai
unsur pra Islam dengan memberi penafsiran yang
media dakwah damai mereka adalah wayang
didominasi penafsiran islami. Mark Woodward
(Azyumardi Azra, 2005).
(2011) secara eksplisit menyebut Islam Jawa
Penetrasi kebudayaan Islam yang diprak-
bukan semata replika dari Islam Timur Tengah
tekkan wali song o begitu e fektif dan tanpa
atau Asia Selatan. Lebih dari itu Islam Jawa bahkan
penggunaan kekerasan sebagaimana terjadi
merupakan tradisi spiritual dan intelektual dari
pada penetrasi Islam di berbagai belahan dunia
dunia muslim yang paling dinamis dan kreatif.
lainnya. Kajian Mark Woodward (2011) mem-
Pada akhirnya di mata orang Jawa, Islam tidak
buktikan bahwa Islam di Jawa sebagaimana
lagi tampak sebagai sesuatu yang asing malahan
banyak d iprak tekka n or ang J awa, bukanlah
sesuai dengan pola pikir orang Jawa.
bentuk Islam yang diklaim oleh sebagian sarjana
Konsep filosofis tata nilai perdamaian sufistik
Barat sebagai Islam yang salah atau paling jauh
pew ayangan berb entuk si klis. Ha l te rseb ut
hanya muslim nominal dan tidak memiliki akar dari
berbeda dengan pandangan pemikiran Barat yang
Islam itu send iri. Ma rk Woodw ard (201 1)
be rpol a li nier ata u ya ng spir alistik. Dal am
menyatakan bahwa Islam Jawa bukanlah feno-
pandangan wayang, realitas selalu dilihat dari dua
mena yang terisolasi dari peradaban yang lebih
perspektif, yaitu dunia “lahir” (outer side) dan dunia
besar yang mengelilinginya.
“batin” (inner side). Dunia lahir bukanlah esensi
24
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
dari realitas itu sendiri, tetapi adalah bayangan
paradigma ilmu sosiologi, termasuk di dalamnya
realitas, namun demikian harus ada keseim-
juga tentang paradigma perdamaian, yang ber-
bangan antara keduanya (Mrazek, 2005).
kembang sampai abad ke-21 ini telah menim-
Norma filosofi s ya ng dire flek sika n da ri
bulkan semacam konflik antara teori makrososial
pergelaran wayang adalah “harmoni-keselarasan
dan mikrososial. Tata nilai perdamaian makrososial
atau perdamaian”. Menurut Yumarma (1996),
diwakili oleh paradigma fungsionalisme struktural
dalam pemikiran Jawa ide mengenai keselarasan,
dan teori konflik, sedangkan mikrososial diwakili
yang bersifat deskriptif, global, dan intuitif;
oleh paradigma interaksionisme simbolik. Baik
ekspresi mistiknya nampak jelas dalam Wedhatama
teori perdamaian makrososial ataupun mikro-
dan Wayang. Sebelum pagelaran wayang dimulai
sosial, kedua pandangan tersebut kurang kom-
biasanya diadakan acara “selamatan”. Tujuannya
prehensif dalam memandang sub yek selaku
antara lain mencari keseimbangan kosmos. Lebih
pelaku perdamaian.
jauh, Geerzt (1964) menulis ”After slametan the
Paradigma perdamaian fakta sosial makro
local spirit will not bother you, will not make you ill,
cenderung m enga baik an e ksistensi indivi du
unhappy of confused. The goals are negative and
manusia selaku subjek perdamaian dan lebih
psychological-absence of aggressive feeling toward
cenderung menekankan pada struktur dan fungsi
other, absence of emotional disturbance.” Ide
masya rakat untuk mencipt akan perda maian
keselarasan dan harmoni juga disimbolkan dalam
(Durkheim, 1964; Parson, 2005; Dahrendorf,
perangkat gamelan dan gendhing-gendhing yang
1979; Coser, 1957). Sementara itu, paradigma
mengiringi pergelaran wayang semalam suntuk.
determinasi sosial mikro cenderung mengabaikan
Ha rmoni
waya ng
struktur dan fungsi masyarakat dan lebih cen-
dikonsepsikan sebagai kesatuan dan harmoni
derung menekankan sisi psikologis manusia untuk
antara mikro kosmos (jagad gedhe) dan jagad cilik
membangun bina damai dan nirkekerasan dunia
(mikro kosmos). Dengan tradisi pemikiran yang
(Coleman, 1990).
univer sal
dal am
f ilsa fat
demikian, setiap manusia berkewajiban untuk
Sufistik Islam Jawa yang terkandung dalam
menghayati harmoni dan keselarasan dalam
cerita pewayangan mengakui kedua paradigma
hak ikat nya dan dala m ke bersamaa nnya di
sosial di atas punya andil masing-masing dalam
kehidupan real ini.
ranah yang berbeda untuk menciptakan rancang-
Dengan latar belakang tersebut di atas,
bangun bina damai dan nirkekerasan kehidupan
pembacaan terhadap cerita-cerita dalam pewa-
manusia. Namun demikian, sufistik Islam Jawa
yang an dan telaah kritis terhad ap pelb agai
mengharmoniskan paradigma tersebut dengan
penafsiran filosofis yang terkait dengan konsep
paradigma sufistiknya. Paradigma perdamaian
tata nilai perdamaian sufistik dalam pewayangan
sufistik tidak memandang sebelah mata pada
de ngan tinjaua n te ori konflik sosial, per lu
kedua potensi subjek perdamaian, yaitu sisi
dilak ukan. De ngan car a itu, a kan dike tahui
psikologis seorang manusia sama pentingnya
pandangan jagat pewayangan dalam menyikapi
dengan struktur dan fungsi suatu masyarakat
dan merespon dinamika kehidupan umat yang
dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.
bernama manusia.
Terpenting, nilai-nilai tersebut, menurut ajaran sufistik, harus berlandaskan pada nilai-nilai
Perdamaian Sufistik Pewayangan
keilahian yang secara pasti dapat menjamin
Dalam cerita pewayangan, terkandung ajaran-
kesentausaan kehidupan tidak saja hanya di
ajaran luhur kearifan lokal (local wisdom) tata nilai
dunia, namun juga di akhirat kelak.
pe rdam aian suf isti k ya ng d apat dig unak an
Tata nilai perdamaian sufistik telah terbukti
sebagai salah satu alternatif atas involusinya
berhasil dan mampu diterapkan dalam mencip-
paradigma perdamaian ilmu sosial yang selama
takan perdamaiaan. Di Negara Kesatuan Republik
ini menjadi rujukan dalam menyelesaikan konflik
Indonesia ini, kaum da’i sufi Islam yang pertama
dan menciptakan perdamaian hidup manusia yang
kali menyebarkan dakwah Islam, dengan ber-
berinteraksi dengan diri, masyarakat, negara, dan
senjatakan kearifan lokal cerita pewayangan,
lingkungan alam di dunia ini. Dalam perkembangan
telah berhasil dengan nyaris sangat sempurna
25
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
mengislamkan masyarakat Indonesia dengan
bungan manusia dengan manusia, orang yang
pe nuh keda maia n da n m ampu mem bang un
menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua,
tatanan masyarakat yang cinta akan perdamaian.
guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat dan
Uniknya, ‘kolonialisme’ agama dan peradaban itu
segala perintahnya dilaksanakan. Dalam per-
berlangsung dengan nirkekerasan dan nir-chaos
gaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar,
yang timbul di masyarakat (Azra, 2005).
kasih-mengasihi, dan beramal saleh (Ali, 1997;
Dalam kerangka paradigma bina damai dan
Ardani, 1995).
nirkekerasan, tata nilai perdamaian sufistik cerita
Tata nilai perdamaian makrokosmos pewa-
pew ayangan seba ngun dan sej alan dengan
yangan menuntun manusia untuk mampu meng-
pa radi gma sufi stik Islam yang mem aduk an
harmoniskan sembah jiwa dan sembah rasa dalam
paradigma makro dan mikro dengan memberi
kehidupannya. Tata nilai perdamaian sufistik
pand angan te rsendiri yang be rbeda de ngan
sembah jiwa atau tarekat adalah tahap per-
kedua paradigma sosial tersebut, bahkan dengan
jalanan menuju manusia sempurna yang lebih
paradigma sufi itu sendiri. Tata nilai perdamaian
maj u de ngan ber -tak hall i. D alam tahap i ni
sufistik Dewa Ruci terdiri atas dua pendekatan,
kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-
yaitu secara mikrokosmos dan makrokosmos
amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi
(Sastroamidjojo, 1967).
lebih dalam dan ditingkatkan (Ali, 1997; Ardani,
Dalam ajaran sufistik pewayangan, terdapat
1995). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih
dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap
banyak menyangkut hubungan dengan hati atau
kewaspadaan (eling lan waspada) mikro dan makro
kalbu individu manusia itu sendiri daripada hu-
kosmos manusia, karena dapat menghancurkan
bungan manusia dengan manusia dan hubungan
kaidah-kaidah kemanusiaan itu sendiri, yakni hawa
manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) dan pamrih.
Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju
Manusia harus mampu meredam hawa nafsu
manusia sempurna akan menyesali terhadap
(nutupi babahan hawa sanga), yakni mengontrol
segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala
nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur
pekerjaan yang maksiat, dan bertobat mensu-
yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas
cikan hati.
pamrihnya agar tercipta kedamaian jiwa-raga
Tata nilai perdamaian sufistik yang berkaitan
(nafsu al-muthmainnah) dengan dapat menya-
dengan sembah jiwa atau hakikat adalah tahap
tunya antara alam mikrokosmos dan makro-
perjalanan yang sempurna mensucikan fu’ada
kosmos (manunggaling kawulo-Gusti dan manung-
yang terletak di kalbu sebagai tahapan tahalli (Ali,
galing Gusti-kawulo). Nafsu-nafsu tersebut dapat
1997; Ardani, 1995). Pencapaian tahap ini di-
dikendalikan dengan catursembah, yaitu sembah
peroleh dengan mengenal Tuhan lewat menyinari
raga (syari’at), sembah cipta (tarekat), sembah
fuada yang terletak di kalbu manusia dengan
jiwa (hakikat), dan sembah rasa (makrifat) (Ali,
mengendalikan babagan howo songo. Dengan cara
1997; Ardani, 1995).
demikian, maka tirai yang merintangi hamba
Tata nilai perdamaian mikrokosmos pewa-
de ngan Tuhan a kan tersingk ap. Tira i ya ng
yangan menuntun manusia untuk mampu meng-
memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa
harmoniskan sembah raga dan sembah cipta dalam
nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba
kehidupannya. Tata nilai perdamaian sufistik
akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu
dengan sembah raga atau syariat adalah tahap
tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang
laku perjalanan menuju manusia sempurna yang
Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak
pa ling rendah, yai tu deng an m enge rjak an
berkesudahan. Dalam keadaan demikian, hamba
amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala
menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba
hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut
dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan.
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani
dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping
takluk kepada rohani, sehingga tidak ada rasa
amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hu-
sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga
26
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
maut tidak ada. Nyaman-sakit, senang-susah,
diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala
kaya-miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan
kesibukan dunia yang fana ini. Tindakan diri
Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu
manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan
mil ik Tuhan da n akan kemba li ke pada-N ya,
(manunggaling kawulo Gusti).
manusia hanya menjalankan saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil
Simpulan dan Saran
kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan,
Simpulan
kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta
Kisah dalam pewayangan merupakan hasil karya
yang sejati. Tahap ini biasa disebut keadaan mati
peradaban Bangsa Indonesia di bidang seni yang
dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat
dipengaruhi ajaran kaum sufi berdasarkan saduran
tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam
(carangan) dari cerita asli (babon) Mahabharata
suasana yang terang benderang gemerlapan
yang isinya sangat syarat dengan nilai-nilai
dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak
perdamaian sufistik. Inti ajaran perdamaian
sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala
sufistik cerita pewayangan terangkum dalam
Sejati atau Nur Ilahi.
paradigma catur sembah. Secara gradual, hierarki
Tata nilai perdamaian sufistik yang berkaitan
sembah tersebut bermula dari sembah raga,
dengan sembah rasa atau makrifat merupakan
sembah cipta/kalbu, sembah jiwa, dan memuncak
perjalanan menuju manusia sempurna yang
pada sembah r asa. Sem ua ta hapan sufistik
paling tinggi dalam tahap tajalli. Secara harfiah
tersebut merupakan rumusan tata nilai perda-
makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui
maian kearifan lokal Indonesia untuk menggapai
sesuatu
kemadanian peradabannya.
dengan
seya kin- yaki nnya .
Da lam
tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau
Sumbangan kearifan lokal Jawa tersebut
mengetahui langsung tentang Tuhan dengan
bukanlah sekadar pepatah demi etika Jawa.
sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-
Pernyataan ini mengungkapkan keyakinan kosmis-
Nya, meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran
mistis Jawa. Ketika kita jenuh menjalani hidup
ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai
secara legal-formal, jalan yang bijak adalah
dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup
menyelam ke danau kebudayaan. Di sana airnya
hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya.
jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala Yang
Setelah tirai tersingkap manusia akan merasakan
Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air
bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada
kebudayaan” itu, pendekatan kultural seharusnya
hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan
menjadi aras utama upaya solusi konflik sosial,
telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia
agar tidak meluas menjadi kekerasan kolektif
telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang
tanpa hati. Pendekatan kultural pada hakikatnya
Ilahi (Ali, 1997; Ardani, 1995). Keadaan ini tidak
adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari
dapat diterangkan (tan kena kinaya ngapa), yang
hati nurani guna tercapainya perdamaian yang
dirasakan hanyalah indah. Dalam masyarakat
berkelanjutan.
Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing
Saran
kawula Gusti, warangka manjing curiga-curiga
Bangsa kita sedang berada di persimpangan jalan
manjing warangka. Pada titik ini manusia tidak
pe rada ban dala m up aya -upa ya harmonisa si
akan diombang-ambingkan oleh suka dan duka
hubungan lintas SARA yang penuh kedamaian di
dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama
Bumi Pertiwi. Agar tidak kehilangan arah, segenap
menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah.
komponen bangsa seyogyanya seraya melekatkan
Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti),
citra diri ke-Indonesiaan sebagai The Country of
me njal anka n ke waji ban-kew ajib an-N ya d an
Tolerance dengan menghidupkan peradaban
memberi inspirasi kepada manusia yang lain. Ia
ke arif an l okal yang multi kult ural di teng ah
mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang
masyarakat. Dengan harapan seperti itulah,
tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih
sem oga Tuha n Ya ng M aha Kuasa be rkenan
27
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
melimpahkan berkah serta rahmat-Nya kepada
bernegara yang lebih rukun dan damai serta
Bangsa Indonesia, agar segera bisa menapaki
bermartabat.
kehidup an b erma syar akat , be rbangsa
dan
Pustaka Acuan Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi; Pengembangan Konsep Insal Kamil Ibn Arabi oleh al-Jilli. Jakarta: Paramadina. Anderson, Benedict., 1992. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Anonim. 2011. Memendam api dalam sekam potensi kerusuhan kembali(http://news.detik.com/read/ 2012/02/02/005549/1831993/10/kapolda-provo-kator-rusuh-bima-dari-luar-ntb;dan http:// nasional,kompas.com/read/2011/12/24/Kapolda.NTB.Pimpin. Pembubaran.Massa.di.Sape, 2011, diakses tanggal 18 November 2012. Anonim. 2010 (http://nasional. kompas. com/ read/ 2010/ 10/20/ 17521753/ BK.DPR.tetap.Keukeuh.ke.Yunani; dan http://suara merdeka.com/v1/index.php/read/cetak/ 2010/10/20/127410/BK-DPR-ke Yunani-Mengada-ada, diakses tanggal 18 November 2012 Aning, Floriberta. 2006. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo Al-Na’im, Abdullahi Ahmed. 2011. Muslims and Global Justice (Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Ardhani, Moh. 1995. Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV; Studi Serat-serat Piwulang. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Arsyad, Azhar. 2002. Islam dan Perdamaian Global. Makasar: Madyan Press bekerja sama dengan the Asia Foundation dan IAIN Alauddin Press. Azra, Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat. Jakarta: Kompas. Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana. Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Harvard: President ad Fellow of Harvard College. Coleman, James S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge: Belknap Press of Harvard University. Coser, Lewis A. 1957. Social Conflict and the Theory of Social Change. The British Journal of Sociology. Vol. 8. No. 3. September 1957. Dahrendorf, Ralf. 1979. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford, California: Stanford University Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. 1998. Kitab Dewaruci. Yogyakarta: Diknas Press, 1998.
28
Khalimi dan Abu Khaer, Tata Nilai Perdamaian Sufistik Jawa Cerita Pewayangan
Djajasoebrata, Alit Veldhuisen. 1999. Shadow Theatre in Java: the Puppets, Performance and Repertoire. Rotterdam: Pepin Press. Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. (terj). Sarah A. Solovay dan Jhon H. Mueller. New York: The Free Press A Divison of MacMillan Inc. Ekajati, Edi Suhardi; Darsa, Undang A; Fathurahman, Oman. 1992. Jawa Barat, Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole française d’Extrême-Orient. Endraswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi. Florida, Nancy K. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History As Prophesy In Colonial Java. Amerika: Duke University Press. Geertz, Clifford. 1964. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe. Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. (terj.) S. Supomo, Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books-Perseus Books Group. Gronendael, Victoria M. Clara. 1986. Wayang Theatre in Indonesia: an Annotated Bibliography. Dordrecht, Holland: Foris Publication. Hamengkubuwono XII, “Merayakan Perbedaan untuk Keadilan dalam Satu Bangsa” dalam Makalah Sambutan Penutupan Konferensi Nasional “Agama-Agama untuk Keadilan dan Perdamaian di NKRI”, Yogyakarta, 15 Oktober 2011. Hamim, Toha. 2007. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Yogyakarta: Kerja Sama Lembaga Studi Agama dan Sosial (LSAS), IAIN Sunan Ampel, IAIN Press, dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta. Hazeu, G.A.J. 1979. Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina. dialihaksarakan oleh Sumarsana dan dialihbahasakan oleh Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K. Jamhari, Ma’ruf. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, http://www.ditpertais.net/artikel/ jamhari01.asp. diakses tanggal 15 Januari 2012. Jasadipoera. I. 1959. Serat Dewaruci.Yogyakarta: Bratekeswara. Jhonson. 1986. Sociological Theory, II, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II (terj.) Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia. Moerdowo. 1982. Wayang, its Significance in Indonesian Society. Jakarta: Balai Pustaka. Moertono, Soemarsaid. 2009. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Shenton House, Singapura: Equinox Publishing, Asia PTE. LTD. Mrazek. 2005. Phenomenology of a Puppet Theatre: Contemplations on the Art of Javanese Wayang Kulit. Leiden: KITLV. Mulyono, Sri. 1982. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung. Nimer, Abu. 2010. A Framework for Nonviolence and Peacebuilding. Journal of Religion and Law, Vol. 15, No. 1/2, (2000-2001), 217 – 265. 29
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013
Nasuhi, Hamid. 2007. Gagasan Mistik dalam Serat Dewa Ruci. Jakarta: SPs UIN JKT. Parson, Talcott. 2005. The Social System. London: Taylor and Francis Group. Peursen, C.A. van. 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Rasmussen, Anne K. 2010. Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia. London: University of California Press. Ricoeur, Paul. 1976. The Symbolism of Evil, New York, Emerson Buchanan, Beacon Press. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern (terj.) Alimandan, Jakarta: Prenada Media. Sastroamidjojo, Seno. 1967. Tjerita Dewa Rutji (Dengan Arti Filsafatnya). Jakarta: Penerbit Kinta. Sumarsam. 1992. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development In Central Java. London: The University of Chicago Press. Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Turner. Jonathan H. 1998. The Structure of Socilogical Theory. Wadsworth Publishing Company USA. UNESCO: World Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. (http://www.unesco.org/ culture/intangibleheritage, diakses tanggal 18 November 2012) Wahyudi, Aris. 2008. Bima dan Drona dalam Lakon Dewa Ruci. Yogyakarta: UGM. Weiss, Sarah. 2006. Listening to an Earlier Java: Aesthetics, Gender, and the Music of Wayang in Central Java. Leiden: KITLV. Woodward, Mark. 2011. Java, Indonesia and Islam. New York: Springer. Yumarma, Andreas. 1996. Unity in Diversity: A Philosophical and Ethical Study of the Javanese Concept of Keselarasan. Roma: EPUG. Zoetmulder. 1990. Manunggaling Kawula Gusti.Jakarta: Gramedia.
30