Tata-Kelola Mutu Total Pada Pendidikan Tinggi Gumilar Rusliwa Somantri∗ Globalisasi dunia pendidikan tinggi kini mulai deras merambah Indonesia. Kota-kota besar di tanah air mulai menjadi pasar incaran banyak universitas ternama manca nagara. Hal ini ditandai dengan mulai beroperasinya perguruan tinggi asing di Jakarta. Selain itu, kerjasama penyelenggaraan program pendidikan, riset, dan sebagainya antara universitas manca-nagara dengan lembaga pendidikan serupa di dalam negeri mulai bermunculan. Masyarakat pengguna jasa pendidikan tinggi pun kini dilihat tidak terbatas hanya di dalam negeri, namun menjangkau tataran regional bahkan internasional. Tuntutan rasional masyarakat pengguna jasa pendidikan tinggi akan mutu layanan yang konsisten dan memuaskan menjadi hal sangat penting yang tidak dapat diabaikan lagi. Banyak perguruan tinggi mulai menyadari tantangan di atas dan mulai mencoba menerapkan penjaminan mutu dalam rangka meningkatkan daya saing. Namun, pada umumnya lembaga pendidikan tinggi tersebut menghadapi kesukaran mendasar dalam proses “transformasi budaya” mutu berkesinambungan dan berorientasi pada pelanggan. Tulisan ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran dan pengalaman, bagaimana kita menjalankan transformasi tersebut.
** Wacana mutu mulai menyeruak di dunia bisnis manufaktur tahun 1950an di Jepang. Pada saat awal kemajuan industri di negeri Sakura, disadari bahwa mati-hidupnya perusahaan ditentukan oleh penilaian pelanggan atas produk yang dihasilkan. Dalam kaitan ini mutu difahami sebagai totalitas karakteristik dan gambaran produk atau jasa yang muncul dari kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau diakibatkan (Hills dan StewartDavid, 2001). Di era tahun 1970-an, ketika industri berkembang pesat di negara-negara maju wacana penjaminan mutu mulai ramai didiskusikan. Perlu dibedakan di sini dua istilah yang sering campur-aduk, yaitu kendali mutu dan penjaminan mutu. Kendali mutu (quality control) biasanya bertalian dengan penggunaan tehnik dan kegiatan operasional untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dalam rangka mencapai standar tertentu dari produk. Sedangkan penjaminan mutu (quality assurance) adalah tindakan terencana dan sistematis yang perlu dilakukan dalam rangka memberikan rasa percaya diri bahwa sebuah layanan akan memuaskan pada mutu yang ditentukan (Ho dan Wearn, 1995). Istilah pertama lebih konsen terhadap proses mutu dihasilkan, sedangkan istilah kedua berbicara mengenai sistem dalam rangka memastikan mutu. Menegaskan pengertian yang disebut terakhir, penjaminan mutu tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sistem mutu (quality system). Pada tahun 1980-an, kalangan dunia usaha mulai merasakan adanya
kebutuhan akan standardisasi dari sistem mutu yang handal. Sebagai puncaknya, organisasi internasional untuk standardisasi, yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, memperkenalkan seri sistem mutu ISO 9000 pada tahun 1987. Sistem mutu di atas, selain memungkinkan pengguna memperoleh sertifikasi, juga merupakan standar yang diterima secara luas. Ia banyak dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan ternama di dunia. Kritik terhadap sistem mutu ISO 9000 muncul dari perspektif terbaru tata-kelola mutu. Menurut mereka, sistem mutu di atas sangat mementingkan aspek keuntungan. Ia mengabaikan titik pandang pengguna produk atau jasa, bahkan secara nyata membatasi ruang gerak organisasi untuk secara kreatif mengembangkan daya saing. Bahkan sertifikasi dibuktikan secara empirik hanya fungsional dalam rangka memenuhi persyaratan administratif bisnis (Santos dan Escanciano, 2001). Ia tidak bertalian secara signifikan dengan kewirausahaan dan upaya terus-menerus meningkatkan mutu layanan dan kepuasan pelanggan. Sebagai jalan keluar, perspektif yang banyak dikenal sebagai “TataKelola Mutu Total” (Total Quality Management/TQM) di atas menawarkan konsep yang lebih menyentuh sisi budaya organisasi untuk terus-menerus memperbaiki mutu dan berorientasi penuh pada kepuasan pelanggan. Perspektif ini banyak diadopsi oleh pendidikan tinggi pada tahun tahun 1990-an. Tata Kelola Mutu Total dalam pendidikan tinggi difahami sebagai pilosofi tata-kelola yang meletakan sistem-sistem dan proses-proses pada posisi untuk mencapai atau melampaui harapan pelanggan (Spanbauer, 1995). Sistem dan penjaminan mutu menurut perspektif ini menjangkau setiap sisi kebudayaan organisasi, dari mulai aspek administrasi dan penunjang, hingga proses belajar-mengajar di ruang kelas. Kami menyarankan perguruan tinggi di tanah air menentukan lima prioritas mesin penggerak “budaya mutu”, yaitu aspek administrasi akademik dan non akademik terutama keuangan, infra-struktur, sumber daya-manusia, riset, serta proses belajar-mengajar di kelas termasuk kurikulum yang berbasis kopetensi. Penting dicatat, komitmen pimpinan pendidikan tinggi yang kuat dan penuh dalam rangka merealisasikan transformasi budaya organisasi yang sinambung menjadi prasyarat mutlak. Banyak ahli berpendapat bahwa proses transformasi tersebut sangat tergantung pada perspektif dan gaya kepemimpinan. Proses transformasi budaya memang menjadi tugas eksekutif. Dalam menjalankan tugasnya, eksekutif dapat ditopang oleh kehadiran staf yang sangat ahli mengenai sistem mutu, yaitu orang yang disebut oleh Karapetrovic dan Wilborn (1999) sebagai “quality champion”. Staf inilah yang akan berperan sebagai ketua panitia dari proyek pengembangan sistem mutu. Anggota dari tim biasanya terdiri dari pimpinan, staf, dan dapat diperluas sesuai keperluan.
*** Studi kasus pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, peran quality champion dilakukan oleh Wakil Dekan terkait. Ia menjadi panitia proyek dengan anggota termasuk dekan, manajer, ketua program, beberapa staf, dan beberapa tenaga bantuan profesional. Diantara kelima prioritas mesin penggerak transformasi mutu yang disarankan di atas, yang teramat penting untuk didahulukan adalah 2
membangun sistem mutu di segmen administrasi, baik keuangan maupun akademik. Transparansi dan akuntabilitas keuangan menjadi fondasi pertama dari dibangunnya kredibilitas dan kepercayaan di mata pelanggan dan stakeholders lainnya, termasuk staf pengajar. Sementara itu, sistem administrasi akademik akan menjadi tolok ukur pertama stake-holders, terutama mahasiswa, untuk menilai apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan layanan yang diterima. Fakultas tersebut melihat kepercayaan adalah kunci untuk diperoleh terlebih dahulu. Oleh karena itu, ia memilih membangun sistem mutu di segmen administrasi keuangan sebagai langkah pertama membangun fondasi transformasi. FISIP-UI merumuskan sistem dan prosedur administrasi keuangan, dengan pendekatan dari “bawah” ke “atas”, yaitu dari program studi sebagai front-liner, ditarik ke departemen, kemudian dikonsolidasi di tingkat Fakultas. Langkah yang dilakukan adalah, cara kerja pengelolaan dan administrasi keuangan yang terdapat di salah satu program studi, yaitu DIII Ilmu Administrasi; diidentifikasi, kemudian per komponen dipetakan. Pemetaan dilakukan dengan menggambarkan cara kerja dari semua komponen, dari awal (masuk) hingga akhir (file), dengan menggunakan “bahasa” flow-chart. Dengan melihat peta di atas, kita dapat mendiskusikan dan mengevaluasi cara kerja yang selama ini dijalankan. Kita akan terkejut, melihat bagaimana selama ini sumber-daya manusia, waktu, dan sebagainya dihambur-hamburkan karena proses yang terlalu panjang atau prosedur yang berbelit-belit. Fakultas tersebut pada intinya merumuskan operation-line yang ringkas dan akurat untuk setiap komponen yang terdapat di program studi tersebut. Agar operation-line dapat dijalankan secara manual, kita merumuskan sistem menu untuk setiap komponen dan langkah. Dalam kaitan dengan pengembangan sistem akuntasi, FISIP-UI merumuskan pula akun-akun yang merupakan rujukan dalam proses penjurnalan. Akun tersebut sama dengan yang dipergunakan dalam sistem oracle di tingkat universitas, namun dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat diterjemahkan pada sistem MAK dalam pelaporan keuangan formal Depdiknas. Operation-line diuji-cobakan secara manual selama beberapa bulan, hingga para staf familiar dengan hal tersebut. Pada bulan ketiga baru kemudian dilakukan dijitalisasi. Proses tersebut dilakukan dengan menterjemahkan operation-line pada bahasa pemograman IT. Dengan kata lain, kita membangun sistem digital di bidang administrasi keuangan secara taylor-made. Namun, ia dapat dikoneksi ke modul-modul yang terdapat pada sistem oracle yang dipergunakan pada tingkat universitas. Setelah sistem di program studi tersebut berjalan dengan baik, tim menduplikasikannya pada program S1 dan Pascasarjana di Departemen Ilmu Administrasi. Selanjutnya Duplikasi dilakukan pada program studi yang terdapat dilingkungan Departemen Antropologi, Komunikasi, dan Kesejahteraan Sosial. Menyusul penerapan pada empat Departemen lain seperti Sosiologi, Kriminologi, Ilmu Politik dan Hubungan Internasional. Hal yang sangat membanggakan adalah engagement penuh dari para anggota panitia terutama yang berasal dari hampir empat puluh program studi yang terdapat di FISIP-UI. Proses pembangunan sistem administrasi non akademik tersebut diselesaikan dalam waktu kurang lebih tujuh bulan, yaitu dari Maret hingga September 2003.
3
Kini tata-kelola keuangan pada FISIP-UI ditopang oleh sistem akuntansi standar, yang memungkinkan kita melihat posisi keuangan rekapitulatif secara akurat, dan real-time. Sistem ini memungkinkan pula ia melihat daily-balance yang penting artinya bagi proses tata-kelola. Pada awal 2004, dengan metoda yang sama tim mulai mengembangkan sistem mutu di bidang layanan administrasi akademik. Saat ini kami telah mencapai tahap uji-coba digital dan registrasi mahasiswa pada bulan September 2004 akan dilakukan melalui sistem ini. Sistem mutu di bidang infra-struktur telah dirintis seperti dibangunnya perpustakaan terbuka semi-digital Miriam Budiardjo dan pusat riset Selo Sumardjan. Penataan sumber daya manusia dan proses belajar-mengajar akan dilakukan pada tahun depan. Singkatkata, fakultas yang kini mempunyai lebih dari 7000 mahasiwa dan 500 dosen tetap dan tidak tetap ini tersebut, mengharapkan pada tahun 2006 kerangka dasar transformasi budaya mutu secara sistimatik mulai mewujud.
**** Sebagai penutup, pembangunan sistem mutu pada perguruan tinggi seperti digambarkan pada studi kasus di atas secara embedded memuat mekanisme dokumentasi dari sistem dan prosedur dan data. Dokumentasi dan data yang baik akan sangat berguna untuk aneka keperluan penting seperti audit, akreditasi dan sertifikasi. Ia dapat menjadi dasar akurat dalam merancang rencana anggaran berbasis aktivitas dan pembuatan laporan tahunan. Bahkan ia merupakan modal untuk unggul dalam kompetisi pendanaan hibah tingkat nasional maupun internasional. Pada saat yang sama, sistem mutu jelas memberikan jaminan kepada stake-holders untuk memperoleh layanan memuaskan. Bahkan, ia menambah kepercayaan organisasi, terutama eksekutif, dalam menjalankan strategi transformasi budaya mutu menyeluruh yang saat ini masih merupakan PR pelik perguruan tinggi di Republik ini. Mudah-mudahan perguruan tinggi mampu menjadi inspirator dan teladan bagi transformasi budaya mutu bangsa secara keseluruhan termasuk mutu birokrasi negara kita yang dewasa ini masih carut-marut dan memprihatinkan kondisinya.
4
*∗Penulis adalah praktisi pendidikan tinggi/Dekan pada FISIP-UI, Jakarta