Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari
Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun daerahnya. Harapannya, mendorong terciptanya pembangunan yang lebih merata di seluruh penjuru Indonesia sebagai salah satu jawaban atas ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah di Indonesia selama puluhan tahun sebelum-nya. Sejauh mana peran Pemda dalam mendorong pembangunan di daerahnya masing-masing menjadi hal yang menarik untuk diketahui pada era otonomi daerah ini. Dalam konteks itu, KPPOD mencoba berkontribusi dalam menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan survei mengenai tata kelola ekonomi di 243 kabupaten/kota dari 15 propinsi di Indonesia pada 2007-2008 lalu. Survei tersebut menghasilkan sebuah indeks yang disebut Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang menggali persepsi masyarakat mengenai tingkat tata kelola ekonomi daerah oleh para pemerintah di wilayahnya masingmasing. Indeks tersebut --dengan telah menghilangkan variabel-variabel yang bersifat anugrah-menjadi cerminan dari seberapa baik tata kelola ekonomi yang telah dilakukan oleh para pemerintah daerah untuk membuat daerahnya menjadi daerah yang aman dan nyaman bagi kegiatan berekonomi masyarakatnya. Dengan menggunakan hasil indeks tersebut sebagai main ingredient, penulis melakukan penelitian mengenai peran Pemda dalam mendorong pembangunan di daerahnya masing-masing. Pertanyaannya: 1) bagaimana tingkat pelaksanakan TKED di setiap daerah; 2) bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di masing-masing daerah.
Tingkat Pelaksanaan Tata Kelola Ekonomi Daerah di Indonesia Pertanyaan penelitian yang pertama, dijawab dengan penelaahan deskriptif terhadap indeks TKED. Untuk melihat hubungan antara ketimpangan pembangunan dengan tata kelola ekonomi daerah, dilakukan pengelompokkan daerah-daerah berdasarkan tingkat pembangunan yang telah dicapai. Dari 243 daerah yang disurvei dikelompokkan menjadi dua, yakni daerah Jawa dan daerah luar Jawa. Daerah-daerah Jawa untuk mewakili daerahdaerah dengan tingkat pembangunan maju, dan daerah-daerah di luar Jawa untuk mewakili daerahdaerah dengan tingkat pembangunan yang terbelakang. Selanjutnya diamati perbandingan rata-rata nilai indeks kedua kelompok daerah tersebut. Telaah deskriptif memperlihatkan ternyata kualitas tata kelola ekonomi daerah di wilayah Jawa secara umum terbukti lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal tersebut digambarkan oleh rerata nilai indeks gabungan tata kelola ekonomi daerah kedua wilayah, yaitu 64,25 poin untuk rerata indeks di Jawa dan 59,84 poin untuk rerata nilai indeks propinsi diluar Jawa. Namun demikian terdapat empat dari sembilan sub indeks tata kelola ekonomi yang menunjukkan bahwa kinerja governance di Pulau Jawa lebih buruk dibandingkan wilayah lainnya. Sub-sub indeks tersebut adalah interaksi Pemda dengan pengusaha, program pengembangan bisnis, integritas kepala daerah, serta kemanan berusaha dan
resolusi konflik. Secara umum, hasil rerata indeks gabungan untuk masing-masing wilayah tersebut memberikan gambaran awal bahwa dugaan adanya tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang lebih baik di daerah-daerah yang sejak lama menjadi pusat pertumbuhan di Indonesia dibandingkan wilayah lainnya yang dalam banyak aspek governance tidak terbukti, setidaknya pada tahun 2008 berdasarkan data 15 propinsi yang disurvei.
Tabel 1. Perbandingan Kualitas TKED di Wilayah Jawa dengan Wilayah Lainnya Jawa
Non Jawa
Akses Lahan
71.34
71.20
Perijinan Usaha
60.19
59.78
Interaksi Pemda dengan Pengusaha
52.95
57.25
Program Pengembangan Bisnis
41.74
43.99
Integritas Kepala Daerah
54.97
58.35
Biaya Transaksi
70.10
69.15
Kualitas Infrastruktur Fisik Keamanan Berusaha dan Resolusi Konflik Peraturan Daerah Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah
73.82
59.50
59.77
60.20
85.76
83.09
84.25
99.84
Indeks
Sumber: Penulis
Pengaruh economic governance terhadap kesejahteraan. Setelah melihat secara umum perbandingan dua wilayah tersebut, kemudian bagaimanakah pengaruh economic governance terhadap kesejahteraan masyarakat? Spesifikasi model ekonometri dipilih untuk menjawab pertanyaan tersebut dan akan digunakan untuk menggambarkan hubungan dari kedua hal ini. PDRB Perkapita dan Tingkat Kemiskinan dijadikan variabel untuk mewakili tingkat kesejahteraan daerah, sementara Indeks TKED dijadikan variabel penjelas disamping beberapa variabel lainnya yaitu PAD dan IPM. Untuk melihat apakah ada perbedaan pengaruh Indeks TKED antara daerah Kabupaten dan Kota, maka dalam model yang dibangun juga menggunakan dummy daerah kabupaten-kota. Setelah melakukan beberapa kali uji ekonomoterik terhadap model yang terspesifikasi awal, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa model kuadratik pada persamaan (1) dibawah, merupakan model yang paling tepat untuk menjelaskan hubungan antara PDRB Perkapita dengan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah. 2
Log (PDRB per kapita) = 15.71 – 0.204 TKED + 0.00155 TKED2 + 0.075 IPM05 + 0.074 PAD (4.86)* (-2.04)* (1.87)* (8.81)* (2.51)* + 0.0036 Dummy*TKED…………………………………………...(1) (-1.708)* Adj. R2 = 0.42971
Hasil estimasi di atas memperlihatkan bahwa selain tata kelola ekonomi (TKED), variabel IPM dan PAD yang berasal dari kekayaan alam daerah memiliki hubungan yang signifikan terhadap laju pertumbuhan PDRB per kapita. Dampak yang berasal dari kedua variabel endowment tersebut bersifat positif yang mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan jumlah kekayaan alam yang melimpah merupakan daerah dengan laju pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Sementara dampak positif yang berasal dari variabel dummy yang berinteraksi dengan TKED mengindikasikan bahwa di wilayah kota, tata kelola ekonomi daerah lebih cepat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan PDRB. Hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB Perkapita (sebagai indikator kesejahteraan masyarakat) dapat dijelaskan dengan grafik di bawah ini: Gambar 1. Hubungan antara Laju Pertumbuhan PDRB per Kapita dengan TKED
Log PDRB
Kota Kabupaten
O
A B
Indeks TKED
Pada grafik diatas, terlihat 2 titik minimum yang menunjukkan hubungan antara peran pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk wilayah kota nilai minimum dari TKED adalah 54,36 poin (titik A), sedangkan untuk wilayah Kabupaten, nilai minimum dari TKED adalah 65,81 poin (titik B). Kedua titik minimum tersebut menunjukkan bahwa sebelum mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi tertentu, maka tata kelola ekonomi daerah belum bisa berdampak positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Setelah melewati tingkat tertentu, maka tata kelola ekonomi akan membawa
dampak yang positif terhadap laju pertumbuhan pendapatan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa stimulus pertumbuhan ekonomi berupa tata kelola ekonomi daerah yang dibutuhkan di wilayah kota lebih sedikit dibandingkan yang dibutuhkan oleh wilayah kabupaten. Dengan menggunakan kedua nilai minimum tersebut sebagai batas, ditemukan 37 dari 43 kota yang tata kelola ekonomi daerahnya telah melewati nilai A dan oleh karenanya menikmati dampak positif dari tata kelola ekonomi terhadap laju pertumbuhan pendapatan regionalnya. Empat belas dari tiga puluh tujuh kota tersebut berada di Pulau Jawa. Sementara itu terdapat 52 dari 163 kabupaten yang memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah melebihi nilai B dan 35 kabupaten di antaranya berada di Pulau Jawa. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari tingkat kemiskinan suatu daerah. Oleh karenanya, selain PDRB Perkapita, juga dilihat hubungan antara tata kelola ekonomi daerah dengan tingkat kemiskinan suatu daerah. Berbeda dengan PDRB Perkapita, tingkat kesejahteraan memiliki hubungan yang bersifat negatif dengan kemiskinan. Untuk melihat bagaimanakah hubungan TKED dengan kemiskinan, dilakukan melalui estimasi yang dilakukan terhadap model dihalaman berikut ini.
3
(%)Penduduk Miskin = 47.81 + 1.92 TKED – 0.0157 TKED2 – 1.0683 IPM05 – 0.05825 PAD (1.57) (2.05)* (-1.95)* (8.56)* (1.87)* - 5.1426 Dummy…..………………………………………………….(2) (5.256)* Adj. R2 = 0.535213 Sebagaimana yang dapat dilihat pada hasil estimasi di atas, persamaan 2 mengindikasikan bahwa hubungan antara proporsi penduduk miskin dengan tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah bersifat kuadratik dan dapat digambarkan dalam kurva berbentuk huruf U terbalik (Gambar 2), Gambar 2. Hubungan antara Tingkat Kemiskinan dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah
% Peduduk Miiskin O
Kabupaten
Kota C
Indeks TKED
Berbeda dengan Gambar 1, kurva-kurva persamaan pada Gambar 2 hanya memiliki satu titik maksimum untuk tiap nilai dummy, yaitu titik C. hal ini disebabkan karena pada persamaan 2 variabel dummy tidak berinteraksi dengan nilai indeks tata kelola ekonomi daerah sehingga tidak mempengaruhi nilai indeks maksimum pada masing-masing nilai variabel dummy1. Nilai maksimum dari nilai TKED yang harus dicapai adalah 61,15 poin (titik C). Serupa dengan interpretasi nilai-nilai minimum yang didapatkan dari hasil estimasi persamaan 1, suatu daerah juga harus melewati tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi tertentu agar tata kelola ekonomi daerah dapat menjadi salah satu faktor untuk menurunkan tingkat kemiskinan, dalam hal ini persentase jumlah penduduk miskin, sebagaimana yang digambarkan oleh kurva-kurva pada Gambar 2. Namun tidak seperti sebelumnya,
kali ini persamaan 2 mengindikasikan bahwa kedua fungsi kuadratik, baik yang berlaku untuk nilai variabel dummy sama dengan 0 maupun 1, tidak memiliki slope yang berbeda secara signifikan, sehingga titik maksimum kedua kurva kuadratik tersebut adalah sama, yaitu titik C. Dengan menggunakan nilai indeks tata kelola ekonomi maksimum yang dicerminkan oleh nilai indeks pada titik C, maka penulis menemukan bahwa terdapat total 119 dari 205 daerah yang terdiri dari 24 kota dan 95 kabupaten telah melewati nilai indeks tata kelola ekonomi daerah pada titik C (61.1465). Sebanyak 13 dari 24 kota tersebut berada di Pulau Jawa sementara sebanyak 43 dari 96 kabupaten tersebut berasal dari luar Pulau Jawa. Adapun variabel-variabel penjelas lain selain indeks tata kelola ekonomi daerah yaitu IPM dan PAD yang berasal dari kekayaan alam daerah berdampak negatif terhadap persentase penduduk miskin. Hal ini sejalan dengan dampak positif yang ditimbulkan kedua variabel endowment ini terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional sehingga hal tersebut dapat diartikan bahwa daerah yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang lebih baik maupun jumlah kekayaan alam yang lebih banyak merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah, diukur dari persentase penduduk miskin di daerah yang bersangkutan. Variabel dummy yang bersifat negatif pada hasil estimasi persamaan 2.3 tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan proporsi penduduk miskin di wilayah kota dengan kabupaten dimana proporsi penduduk miskin di wilayah kota lebih rendah dibandingkan dengan wilayah kabupaten.
1
Sebelumnya penulis telah melakukan pengujian terhadap beberapa alternatif bentuk persamaan dengan menggunakan variabel dummy untuk menentukan spesifikasi model terbaik bagi persamaan 1 maupun 2. 4
Kesimpulan dan Saran Daerah-daerah di wilayah Pulau Jawa masih cukup mendominasi. Hal ini bisa dilihat dari proporsi kabupaten/kota di Jawa yang telah mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang dibutuhkan untuk menghasilkan dampak yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini memberi indikasi bahwa tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah di Pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan di wilayah luar Jawa. Hasil yang didapat dari kriteria nilai indeks tata kelola ekonomi daerah pada titik kurva optimal ini pun memperkuat gambaran umum yang didapatkan dari penelaahan secara deskriptif pada penjelasan sebelumnya. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu juga ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten.
Namun demikian tata kelola ekonomi daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih cukup banyak daerah yang belum mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, agar perlu ditingkatkan kualitas tata kelola ekonomi di daerahdaerah tersebut supaya dampak positif dari tata kelola ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang bersangkutan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia pun harus terus dilakukan di setiap daerah berhubung hal tersebut terbukti menjadi salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat. Tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah di wilayah kabupaten juga perlu untuk ditingkatkan agar membawa dampak positif terhadap laju pertumbuhan pendapatan regionalnya.
Penulis adalah Alumnus FE-UI, tulisan ini merupakan intisari/ringkasan dari skripsinya
5