Target Pascasarjana, 2018 Semua Prodi Terakreditasi A UNAIR NEWS – Sekolah Pascasarjana berupaya terus meningkatkan akreditasi. Hingga saat ini, terdapat dua belas program studi di sana. Satu memiliki akreditasi A, empat akreditasi B, sedangkan tujuh prodi lain yang berakreditasi C, tahun ini melakukan pengajuan ke BAN PT. Tiga dari tujuh prodi yang diajukan tahun ini, diprediksi akan mendapat akreditasi A. Sisanya, diperkirakan mendapat akreditasi B. “Satu prodi yang diajukan tahun ini sudah mendapat keputusan dan akreditasinya B. Jadi, kami tinggal mengurus dan menunggu enam prodi lainnya,” kata Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Prof Dr Anwar Ma’ruf drh M.Kes saat ditemui di ruang kerjanya. Diharapkan, pada tahun depan, semua prodi yang terakreditasi B akan diajukan kembali. Lantas, secara menyeluruh pada 2018, semua prodi akan memiliki akreditasi A. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan ini mengutarakan, akreditasi sebuah program studi menjadi elemen penting saat kampus ingin mempromosikannya. Sebab, calon mahasiswa pasti menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Sejauh ini, kata lelaki asal Bojonegoro tersebut, pengisian borang akreditasi berjalan lancar. Maka itu, pihaknya yakin target yang sudah ditetapkan bisa tercapai. Apalagi, mimpi itu terhitung cukup realistis. Yang menarik, dalam waktu dekat Sekolah Pascasarjana akan mengaktifkan organisasi mahasiswa semacam Badan Eksekutif. Anwar menjelaskan, dalam borang akreditasi, keaktifan mahasiswa dalam kegiatan kampus memiliki nilai tersendiri. Di sisi lain, dia yakin, mahasiswa Pascasarjana juga ingin bersosialisasi melalui organisasi. Maka itu, rencana ini pasti
bakal gayung bersambut. Sudah menjadi tugas bagi pihaknya, memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan di kampus. Asalkan bermuatan positif, UNAIR pasti bakal mendukung. Teknis pelaksanaannya, akan dijabarkan dalam waktu dekat. “Selama ini kan ada asumsi, kalau sudah jadi mahasiswa S2 dan S3, sudah tidak perlu berorganisasi. Namun, pandangan itu kan bisa saja keliru. Makanya, kami nanti akan membuka peluang berorganisasi bagi para mahasiswa,” kata Anwar. Sekolah Pascasarjana selama ini aktif melakukan aneka kegiatan ekstra untuk meningkatkan kualitas. Misalnya, mengadakan seminar atau konferensi nasional/internasional, kuliah tamu, dan lain sebagainya. (*) Penulis : Rio F. Rachman
Prof. Nasaruddin Umar: Lailatul Qodar Membumi untuk Melangitkan Manusia UNAIR NEWS – Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap bulan Ramadhan Universitas Airlangga menyelenggarakan acara Buka Puasa Bersama sebagai wahana silaturahmi sivitas akademika dalam memakmurkan bulan Ramadhan. Buka bersama sivitas universitas tersebut dilaksanakan pada Rabu (29/6). Buka bersama ini dilaksanakan di Masjid “Ulul ‘Azmi” kampus C Universitas Airlangga. Sedang sebelumnya selalu diselenggarakan di Lantai I Gedung Rektorat UNAIR, karena pada saat itu belum memiliki masjid. Susunan acaranya juga diubah,
ceramah agama yang biasanya dilaksanakan menjelang buka puasa, kali ini ceramah agama dilaksanakan setelah salat Isya dan sebelum salat tarawih. Sehingga waktunya lebih fleksibel dan tidak terbatasi waktu berbuka. Penceramah yang dihadirkan tahun ini yang sekaligus mengawali “tradisi” ceramah buka bersama di masjid, adalah Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Imam Besar masjid Istiqlal Jakarta dan mantan Wakil Menteri Agama RI. Hadir dalam acara yang dibuka oleh Rektor UNAIR Prof. Dr. Moh Nasih, SE., MT., Ak., ini antara lain pada Guru Besar dan dosen, mantan Rektor, para Dekan, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Dalam ceramahnya dengan tema “Membumikan Alquran”, Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan secara ilmiah mengenai Alquran, mulai dari Nuzulul Quran, turunnya Wahyu Illahi tersebut hingga sebagai tuntutan dan pedoman umat Islam. ”Kita tahu turunnya Alquran itu dan lailatul qodar lebih sebagai surat undangan dari Allah SWT sekaligus tiket pulang kampung sejati untuk manusia itu sendiri. Mengapa demikian, karena kita dulu sebenarnya sudah di surga, hanya karena tergelincir sehingga turun ke bumi penderitaan. Maka dari itu Allah mencipta manusia dengan cinta, dan tidak ingin berlamalama menyaksikan hamba-NYA, kekasih-NYA, terlalu lama di bumi. Jadi turunlah Alquran untuk melangitkan kembali manusia,” katanya. Sehingga antara Nuzulul Quran dengan peristiwa Isra Mi’raj merupakan peristiwa yang tidak bisa terpisahkan. Keduanya mengangkat martabat manusia dan nilai kemanusiaan itu sendiri. Sehingga Allah membumikan Alquran itu untuk melangitkan kembali manusia. Artimnya agar manusia mengaplikasi dalam hidupnya sesuai aturan Alquran untuk sebagai bekal kembali ke langit dan menuju surga_NYA.
Civitas akademika Universitas Airlangga melaksanakan Salat Magrib bersama di Masjid Ulul ‘Azmi, kampus C UNAIR. Diterangkan, rasionalisasi pemahaman Alquran terlalu jauh meningkatkan visi-misi Alquran itu sendiri. Dan itu salah satu contoh wacana pembumian tetapi tidak untuk melangitkan. Seperti apapun kita berwacana tentang pembumian Alquran, maka andingnya atau tujuan utamanya, menurut Guru Besar STAIN Syarif Hidayatullah ini bahwa dengan Alquran harus mampu melangitkan kembali manusia, karena Allah menurunkan Alquran itu untuk mengangkat kembali dan mengundang kembali, ke pangkuan syurga-NYA di atas sana. Sedangkan makna Isra Mi’raj adalah melangit untuk membumi. Disinilah diuraikan perbedaan antara membumi dan melangit. Kalau Alquran tadi membumi untuk melangitkan (manusia), maka setelah turun ke bumi dan kemudian manusia menjalankan fasefase kehidupannya, maka manusia memerlukan energi spiritual. Padahal energi spirital itu tempatnya di alam atas, bukan dibawah. Karena itu Isra Mi’raj merupakan perjalananan hamba Tuhan naik ke atas (langit) yang tidak lain adalah dalam rangka menunaikan tugas kuwajibannya hidup di muka bumi dengan sepenuh energi spiritual. ”Orang kalau tidak pernah naik keatas, dikhawatirkan ia tidak
punya energi cukup untuk kembali ke pangkuan yang dicitacitakannya, yaitu di langit surga. Karena itu setiap kali pembahasan Nuzulul Quran harus juga membicarakan tentang Isra’ Mi’raj. Sebaliknya kalau kita bicara Isra’ Mi’raj ya semestinya tidak lepas dengan Nuzulul Quran, karena dua hal itu yang sama-sama melangitkan manusia,” kata Prof. Nasaruddin Umar. Pertanyaannya, bagaimana kita melangitkan diri? Dikatakan, melangit disini bukan dalam arti fisik, tetapi dalam arti maqom, ketinggian martabah dimata Allah SWT. Semakin tinggi maqom martabat kita maka semakin ideal hamba/anak manusian itu. Tetapi semakin kita tidak berani bicara tentang langit, hanya bicara bumi, akhirnya kita hanya akan hidup dibawah tempurung bumi. ”Karena itulah manusia yang tidak ideal dan itulah hakekat neraka sebelum waktunya. Tetapi sebaliknya, kalau manusian sudah berani naik keatas, maka itu juga syurga sebelum waktunya. Tidak ada kesulitan dalam hidup, tidak ada tantangan untuk naik,” katanya menjelaskan. (*) Penulis: Bambang Bes
Menghirup Kearifan Agama di Dunia
Agama-
Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara serampangan seseorang menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Dalihnya, semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi
ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan” tertinggi. Di sisi lain, mesti diakui pula bahwa ada misi perdamaian yang dibawa oleh semua agama. Bila kemudian dalam ajaran masingmasing ada celah: sebut saja penonjolan aspek “superioritas”, itu hal lain. Yang jelas, tiap agama memiliki kearifan atau kebijaksanaan universal. Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada makhluk hidup yang telah diciptakan. Termasuk, hewan, tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda pandangan. Setidaknya, ungkapan di paragraf-paragraf awal tadi menjadi salah satu butir kesimpulan buku Agama-Agama Manusia yang disusun oleh Huston Smith. Lelaki kelahiran Tiongkok ini meringkas poin-poin luhur tiap agama yang ada dunia. Setidaknya, ada delapan agama yang kena sorot. Yakni, Hindu, Budha, Taoisme, Islam, Konfusianisme, Yahudi, Kristen, dan Agama-Agama Primal (Purba). Bahwa agama ingin membawa perubahan yang baik di dunia, merupakan kunci klise benang merah semua agama di dunia. Walau demikian, tak sedikit pula kemiripan agama satu dengan yang lain. Misalnya, saat Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani, berkata, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu,”. Sementara Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, yang termaktub dalam satu riwayat hadist dan diterjemahkan bebas: tidak sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai sesama selayaknya mencintai dirinya sendiri.
Pada bagian lain, terdapat pula kesamaan karakteristik sosok panutan sejumlah agama. Bodhisatva, contohnya. Dia pernah digambarkan sebagai penggembala yang baik. Tak ubahnya Yesus Kristus. Bertolak dari sini, dapat dimaknai, kesamaan Kristen dan Budhisme sejatinya lebih kompleks dari pada yang kasat mata (Hal. 351). Belajar Sejarah Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah dipaparkannya sejarah dan seluk beluk agama di dunia. Termasuk, soal Konfusianisme yang berawal dari “pengkultusan” seorang bernama Kung fu-Tzu atau Kung Sang Guru. Masyarakat Tiongkok, yang “mensucikan” orang ini, memuja namanya sebagai Guru Pertama. Bukan berdasar kronologi waktu. Karena sebelumnya, sudah banyak guru-guru yang lain. Melainkan, dari aspek kualitas. Dia adalah manusia biasa yang memiliki ajaran lintas bidang. Khususnya, di ranah kebijaksanaan. Pemerintah Tiongkok saat ini pun sudah dipengaruhi pemikiran Konfisius dengan begitu dalam. Tidak ada tokoh lain yang merasuk dalam perspektif tata kelola pemerintahan lelaki asal provinsi Shantung tersebut (hal. 172). Tak ayal, banyak pemikir yang menobatkannya sebagai salah satu intelektual penting dunia. Disinggung pula tentang Yahudi yang berkiblat pada sosok Nabi Musa. Selain soal sejarahnya, disampaikan pula keunikan dari agama monoteisme ini. Umpamanya, seperti terkutip pada salah satu ayat di kitabnya. Di sana, digambarkan betapa Maha Kasihnya Tuhan. Tuhan yang mereka yakini sangat mencintai ciptaannya. Maka itu, manusia dianggap sebagai “anak-anak” kesayangan (hal. 317). Aku-lah yang mengajari Efraim berjalan. Aku menggendong mereka dibuaianku; Aku membimbing meeka dengan tali kebaikan manusia, dengan balutan-balutan cinta (Hosea, 11:3) Tak ketinggalan, dijabarkan tentang ragam dalam agama atau ajaran tertentu. Tak hanya soal Kristen yang memiliki sejumlah
macam: Katholik, Orthodok, dan Protestan. Namun juga, soal varian dan metode umat Islam mendekatkan diri pada Tuhan. Di dalamnya, ada paham sufisme. Idiom sufisme yang mengacu pada perspektif para sufi ini memiliki akar kata “Suf”. Artinya, kain wol dari kulit binatang. Bahan dasar pakaian yang bersahaja atau sederhana. Golongan sufi, konon, memilih pakaian wol sebagai bentuk protes pada para pejabat di masanya yang suka memakai kain sutra dan satin: yang dianggap simbol kemewahan. Para sufi memilih untuk zuhud: tidak suka bermewah-mewah. Sebab, kemegahan duniawi kerap menipu dan membuat penyukanya mabuk. Dalam banyak kasus, sukses membuat manusia menjadi zalim. (*) Buku Judul: Agama-Agama Manusia Penulis: Huston Smith Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono Penerbit: Serambi Ilmu Semesta Tahun: Desember 2015 Tebal: 433 Halaman