1
TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, MA Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Pontianak
Taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb ) balâghah yang memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi pendengar maupun si pembicara. Dan setiap kalimat yang terucap melalui kata-kata serta susunan kalimat yang teratur merupakan ketinggian serta keindahan gaya bahasa ini. Ushlûb menurut pandangan para-sastrawan ( al-Balîgh ) adalah salah satu seni ilmu balâghah yang dapat mengungkap dan menyingkap rahasia serta sebab-sebab kalimat dalam menempatkan kata-kata yang dapat menggugah dan menyentuh perasaan. Dan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an terdapat bermacam-macam yang memiliki sebab-sebab dan rahasia yang jelas, kemudian diungkap oleh para ulama tafsir dengan berbagai penafsiran terhadap ayat-ayatnya.
A. Macam-macam bentuk taqdîm dan ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran ayat-ayatnya.
2
Bentuk taqdim dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an, menurut As-Zarkasyi ( w. 794 H )ada tiga macam, Pertama : Didahulukan dengan maknanya tetap sebagai taqdîm ( ٗ١ٍ ػٕٝاٌّؼٚ َِب لذ
). Kedua : Didahulukan tetapi maksudnya diakhirkan,
( ش١خ ثٗ اٌزؤخ١ٌٕاٚ َ) ِّب لذ. Ketiga : Didahulukan dalam suatu ayat dan diakhirkan
ّ خ٠ أٝ) ِب ل ّذَ ف. pada ayat yang lain ( ٜ أخشٝأخش فٚ
1
Ketiga bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, berkembang dari pemahaman yang dikembangkan oleh para pakar ilmu bahasa ( Nahwu-sharf, Balâghah serta sastra ), dan pada awalnya dikembangkan oleh para ulama Balâghah, di antaranya : Pertama : Oleh Abdul Qâhir Al-Jurjâni ( w. 471 H ) yang kemudian dilanjutkan oleh Khatîb Al-Qazwainî ( w. 379 H ). Kedua : Oleh Syamsuddin Ibn Shâ’ig al-Khifnî ( w. 876 H ). Ketiga : Oleh Dhiyâuddin Ibn Atsîr ( w. 1239 H ). Dan yang Keempat : Oleh ulama tafsir, yaitu Abu Su’ûd ( w. 982 H ) dan Imam Zamakhsyari ( 583 H ).
2
1. Metode ( manhaj ) yang dikembangkan para ulama Balâghah, berpegang kepada unsur-unsur berikut ini : a. Haqîkat ( kedudukan ) taqdîm. b. Tujuan ( aghrâd ) taqdm. c. Macam-macam taqdîm dan tema-temanya.
1
AZ-Zarkasyî ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1408 H / 1988 M ), Cet. I, Jilid ke-3, h. 279, 319, 329 2 Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu Al-Balâghiyah, ( Kairo : Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2, h. 79-80
3
Unsur kedua dan ketiga lebih terfokus kepada metode. Sedangkan unsur yang pertama lebih cenderung kepada pembahasan sebab-sebab terjadinya taqdîm dan ta‟khîr. Tujuan taqdîm menurut mereka ada dua macam, pertama : tujuan secara umum, seperti ; ambil perhatian ( ihtimâm ), dan kedua : tujuan secara khusus yaitu untuk mengkhususkan ( takhsîsh ). Sedangkan macam-macam taqdîm menurut ulama Balâghah, adalah : a. Taqdîm dengan niat ta‟khîr ( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ػ٠) رمذ, yaitu mendahulukan suatu kata tetapi niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan ). Contoh : ( ُ اٌؾىٝئر٠ ٗز١ ثٝ) ف dalam hal ini, mendahulukan khabar sebelum mubtada‟, maksudnya meskipun didahulukan khabarnya ( ٗز١ ثٝ) ف, namun tetap kedudukannya sebagai ta‟khîr. Juga ( أٔبّٝ١ّ ) رyaitu mendahulukan khabar ( ّٝ١ّ ) رterehadap mubtada’nya, yaitu : ( أٔب
). Mendahulukan maf‟ûl sebelum fâ‟il atau fi‟ilnya, meskipun maf‟ûl
didahulukan tetapi maksudnya tetap sebagai maf‟ûl yang kedudukannya di akhir ( ta‟khir ), contoh ; ( ذ٠) ظشة غالِٗ ص. b. Taqdîm tidak bertujuan ta‟khîr (ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ال ػ٠) رمذ, yaitu mendahulukan sesuai dengan kedudukannya, seperti ; mendahulukan mubtada’ terhadap khabar, mendahulukan fi‟il terhadap fâ‟il. Cara-cara ini adalah menurut Abdul Qâhir Al-Jurjâni dalam kitabnya ( Dalâ‟il I‟Jâz ) dan kemudian diikuti oleh
4
yang lainnya dari ulama Balâghah seperti Khatîb Al-Qazwâinî ( w. 379 H ), meskipun dalam hal ini Zamakhsyari ( w. 538 H ) tidak sependapat.
3
Sedangkan tema-tema ( maudhu‟ât ) taqdîm, menurut ulama Balâghah, tentu tidak keluar dari situasi berikut ini : 1.) Mendahulukan Musnad Ilaih. Dalam hal ini, hanya khusus untuk mubtada’, seperti mendahulukn musnad ilaih, yaitu lafazh ( ذ٠ ) صdalam contoh ( ذ ِٕطٍك٠ () صSi Zaid Berangkat ), sedangkan dalam bentuk fâ‟il tidak ada tempat dalam situasi ini, karena jika fâ‟il didahulukan terhadap fi‟ilnya maka ia harus menjadi mubtada’ dan akan hilang kedudukan fi‟il dan fâ‟ilnya, contoh ( ذ٠ٕطٍك ص٠ ), bila didahulukan fâ‟il-nya, maka menjadi ( ٕطٍك٠ ذ٠) ص. Dengan demikian kalimat tersebut bukan taqdîm dan tâ‟khîr. 2. ) Mendahulukan musnad. Hal ini khusus untuk khabar yang bukan dari fi‟il. Karena bila khabarnya didahulukan, maka mubtada’-nya berubah menjadi fâ‟il. Seperti contoh : ( ٕفغ٠ ) اٌصذقmaka menjadi ( ٕفغ اٌصذق٠ ). Dan kalimat ini, menjadi bab taqdîm dan ta‟khîr. 3. ) Mendahulukan muta‟alliqât terhadap „âmil ( faktor )-nya. Seperti ; mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟il, dan sebagainya.
4
2. Metode Ibn Sha’ig ( w. 876 H ) dalam persoalan taqdîm.
3
4
Ibid., h. 81 Ibid., h. 80-81
5
As-Suyûtî ( 911 H ) dalam kitabnya Al-Itqân, membagi taqdîm menjadi dua bagian, yaitu : Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan setelah diketahui bahwa pokok bahasan ini merupakan bab taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas maksudnya. Contohnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abû Hâtim ( w. 248 H ) , bahwa Al-Qur’an surat Thâha / 20 : 129, berbunyi :
) 129 :20 / ٗ ( غّٝأعً ِغٚ ال وٍّخ عجمذ ِٓ سثه ٌىبْ ٌضاِبٌٛٚ Artinya : “ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah SWT yang telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan pasti ( azab itu ) menimpa mereka ( Thaha / 20 : 129 ). Menurut As-Suyûtî, bahwa ayat di atas masuk dalam bab taqdîm dan ta‟khîr, dengan taqdîr (
ٌىبْ ٌضاِبّٝأعً ِغٚ ال وٍّخٌٛٚ ), dimajukan lafazh ( ) ٌىبْ ٌضاِب
dan diakhirkan lafazh ( ّٝأعً ِغٚ ) sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka. Ketetapan serta ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab. Demikian taqdîm ayat di atas tanpa mengubah maksudnya.
5
Kedua : As-Suyûtî memberi definisi dengan ungkapan (
ظ وزٌه١ٌ ) ِب
( sesuatu yang tidak sama dengan maksud yang pertama ). Yaitu bahwa taqdîm yang dimaksudkan adalah mendahulukan lafazh-lafazh yang keterangannya lebih penting
5
As-Suyûti, Al-Itqân îi Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut : Darul-Fikr Li at-Thabâ’ah Wa Nasyr Wa al-Tawzi’, 1416 H / 1996 M ), Jilid ke-2, Cet. Ke-1, h. 33
6
dan penjelasannya lebih diperlukan. Keterangan di atas merupakan penjelasan Al-Imâm Syamsuddin Ibn Shâ’ig Al-Khifnî ( w. 876 H ), yang tertulis dalam kitabnya yang berjudul ( أعشاس األٌفبظ اٌّمذِخٝ () اٌّمذِخ فpembukaan tentang rahasia lafazh-lafazh yang didahulukan ), dan Imam berkata : “ bahwa hikmah yang terpenting dalam mendahulukan lafazh-lafazh tersebut sama dengan yang dimaksud oleh as-Sibawaih ( w. 181 H ) dalam kitabnya, dengan ungkapan, yaitu ( ِْٛمَذ٠ ُٙٔوؤ
ٕٝبٔٗ أػ١ُ٘ ثجٚ ُ٘بٔٗ أ١ ثٜ ) ) اٌزbahwa mereka mendahulukan lafazh-lafazh yang dirasa keterangannya lebih penting dan penjelasannya lebih diperlukan ).Contoh, didahulukannya lafazh Jalâlah ( Allah ) dalam persoalan yang sangat penting, dengan tujuan tabaruk ( mencari berkah ). Sebagaimana dalam surat Ali-Imrân / 2 : 18 ( ذٙش
ا اٌؼٍُ لبئّب ثبٌمغػٌٛٚأٚ اٌّالئىخٚ ٛ٘ ( ) هللا أٔٗ ال اٌٗ االAllah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakan keadilan. Para Malikat dan orang-orang yang berilmu ). Tujuan dari taqdîm di atas, bahwa syahadat kepada Allah lebih besar kedudukannya dari pada syahadat kepada Malaikat. Dan syahadat kepada Malaikat lebih besar dari pada syahadat kepada para ulama, karena mereka lebih dekat kepada Allah dan lebih ta’at.
6
3. Metode Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) dalam taqdîm. Ibn Atsîr membagi taqdîm menjadi dua bagian, yaitu : pertama : sesuatu yang khusus untuk penunjukan lafazh terhadap makna, ( ٕٝ اٌّؼٍٝخزص ثذالٌخ األٌفبظ ػ٠ ) ِب. 6
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 104-105
7
Meskipun itu telah diakhirkan, namun tidak mengubah maknanya sebagai taqdîm. Yang kedua : sesuatu yang khusus untuk tingkatan taqdîm dalam penyebutan ( اٌزوشُٝ ف٠خزص ثذسعخ اٌزمذ٠) ِب. Dan menurut beliau, dalam bagian pertama bab taqdim ini, terdapat dua macam aspek, yaitu : 1. Sesuatu yang didahulukan itu lebih mengena ( ablag ). Seperti ; mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟ilnya, mendahulukan khabar terhadap mubtada’, mendahulukan hâl terhadap ‘âmilnya. Dan taqdîm semacam ini bertujuan untuk pengkhususan ( ikhtishâsh ) dan juga untuk menjaga keserasian kalimat ( murâ‟atu nazhm kalâm ). Pendapat ini tidak diterima oleh Al-Zamakhsyari ( w. 538 H ) kemudian dijadikannya sebagai satu maksud, yaitu ikhtishâsh ( pengkhususan ). Contohnya, sebagaimana terdapat dalam surat Az-Zumar / 39 : 66( ِٓ ٓوٚ ثً هللا فبػجذ
ٓ٠ ( ) اٌشبوشKarena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur ). Disebutkan dalam ayat ( ) ثً هللا فبػجذ dan tidak disebutkan (
) ثً اػجذ هللا. Didahulukan maf‟ûl bih dengan tujuan
memberikan makna secara khusus terhadap perintah ibadah yang hanya kepada Allah SWT semata dan tidak kepada selain-Nya. Meskipun kalimat ( ) ثً اػجذ هللاitu dibenarkan, namun mendahulukan maf‟ûl-bih dari fi‟ilnya adalah lebih utama. Ibn Atsir ( w. 1239 H ) memberikan contoh lain, untuk menjaga keserasian kalimat ( Murâ‟atu Nazhm al-Kalâm ), dan surat Al-Fâtihah / 1 : 5 ( ٓ١بن ٔغزؼ٠اٚ بن ٔؼجذ٠) ا ( Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
8
memohon pertolongan ). Namun Al-Zamakhsyari dalam hal ini menyebutnya sebagai ikhtishâsh. Disamping tujuan keserasian kalimat, juga dimaksudkan untuk menjaga keindahan susunan sajak yang diakhiri dengan huruf nûn, karena bila disebutkan ( ٕه١ٔغزؼٚ ) ٔؼجذن, maka akan hilanglah keindahan ( thalâwah ) kalimatnya.
7
Dan
contoh lain dari murâ‟atu nazhm kalâm, seperti yang terdapat dalam surat Al-Hâqqah / 69 : 30-32, yaitu ;
ْ رساػبٛب عجؼٙ عٍغٍخ رسػٟٖ * صُ فٍُٛ ص١ٖ * صُ اٌغؾٍٖٛ فغٚخز ) 32-30 : 69 / ٖ * ( اٌؾبلخٛفبعٍى Artinya : ( Allah berfirman ): " Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. " ( Al-Hâqah / 69 : 30-32 ) Dalam hal lain, mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il, bukan bertujuan untuk ikhtishâsh akan tetapi untuk menjaga keserasian susunan kalimat, seperti terdapat dalam surat Yâsin / 36 : 37-39.
ٌّغزمشٞاٌشّظ رغشٚ * ٍّْٛبس فبرا ُ٘ ِظًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍُ اٌٙ خ٠ءاٚ ْٛ ػبد وبٌؼشعٝاٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصي ؽزٚ * ُ١ٍض اٌؼ٠ش اٌؼض٠ب رٌه رمذٌٙ ) 39-37 : 36 /ظ٠ ( * ُ٠اٌمذ 7
Ibid., h. 124-125
9
Artinya : “ Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. “ ( Yâsin / 36 : 37-39 ).
Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) berkata, bahwa dalam ayat (
اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ ),
mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il tidak termasuk dalam kajian bab ikhtishâsh, akan tetapi bagian dari bab murâ‟atu nazm kalâm. Juga dalam kalimat ( ِٕٗ ً ٔغٍخ١ٌٍا
بسٌٕٙ) ا. Kalimat ( ٞاٌشّظ رغشٚ ) dan kalimat ( ٖاٌمّش لذسٔبٚ ) semuanya untuk tujuan keindahan susunan kalimat.
Demikian juga dalam mendahulukan maf‟ûl yang
terdapat dalam surat Ad-Dluhâ / 93 : 9-11, yaitu untuk keserasian susunan kalimat.
8
*أِب ثٕؼّخ سثه فؾذسٚ * شٕٙأِب اٌغبئً فال رٚ * شُٙ فال رم١ز١ٌفؤِب ا )11 -9 :93 / ٝ( اٌعؾ “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenangwenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya ( dengan bersyukur ). ( Ad-Dluhâ / 93 : 8-11 )
2. Suatu kalimat bila diakhirkan, lebih mengena ( ablag ). Maksudnya adalah bila suatu kalimat didahulukan itu baik, tetapi akan lebih baik bila diakhirkan. Seperti
8
Ibid., h. 26
10
didahulukan sifat terhadap maushûf, didahulukan shilah terhadap maushûl. Sebagai contoh Ibn Atsîr menyebutkan sebuah syair :
9
ُؼ١ص٠ صش ٌد َ ُ ُِٙه فِ َشال ِ ْشٛ ػَٕب ًّء * ثٌٝ َ ٓ١ ث- اٌ ًّّشهٚ - فم ْذ Artinya : “ ٍٍٍٍSungguh telah jelas keraguan itu setelah ada kesulitan bagiku, namun begitu berpisah dengan cepatnya burung-burung ( berkepala ) besar itu bersuara keras sambil menerkam burung-burung kecil itu “. Taqdîr kalimatnya adalah ( ػٕبءٌٝ ٓ١ُ ثٙشه فشالٛؼ ث١ص٠ ( ) صشدburungburung bersuara keras ketika berpisah, ketika telah jelas kesulitan bagiku datang ). Didahulukan ma‟mûl ( ُٙشه فشالٛ ) ثsebelum „âmil-nya, yaitu ( ؼ١ص٠ ). Dan kata ( ُُ صش ٌد
) adalah burung yang berkepala besar bersuara keras dan memangsa
burung-burung yang lebih kecil.
10
4. Metode Mufassirin dalam taqdîm. Bila diperhatikan ternyata bahwa metode yang dikembangkan oleh ulama tafsir jelas perbedaannya dengan beberapa metode sebelumnya, baik metode Ibn Shâ’ig, metode ulama Balâghah maupun metode Ibn Atsîr. Metode Mufassirin dikembangkan dengan menjelaskan makna dan lebih mengutamakan I‟jâz ( keindahan ) bahasanya. Dengan demikian, metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, tidak terlepas dari ketiga metode sebelumnya, dengan menggabungkan metode9
Ibid., h. 131
10
Ibid.,
11
metode sebelumnya. Maka metode ini memiliki kekayaan yang sangat tinggi dalam persoalan taqdîm dan rahasia yang terkandung di dalamnya, seperti menjaga keserasian ( ri‟âyatul fasl ) sebagaimana yang dilakukan ulama Balâghah, dan keindahan susunan sajak ( husnu nazhm saj‟î ) sebagaimana yang dilakukan Ibn Atsîr. Metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, landasannya adalah dua imam, yaitu : 1. Al-Allamah Abu Su’ud ( w. 982 H ) dalam kitabnya, Irsadul Aql al-Salim ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim. 2. Al-Imam Mahmûd Ibn Umar Al-Zamaksyari ( w.538 H ), dalam kitabnya, Al-Kasysyâf „An Haqâ‟iqi Gawâmidhi al-Tanzîl. Beberapa contoh penafsiran dari metode Abu Su’ûd sebagaimana dalam surat Al-Hajj / 22 : 23 ; yaitu :
) 23 : 22 / ش * ( اٌؾظ٠ب ؽشٙ١ُ فٌٙجبعٚ ٌئٌئاٚ س ِٓ ر٘تٚب ِٓ أعبٙ١ْ فٍٛؾ٠ Artinya : “ Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera “. ( Al-Hajj / 22 : 23 ) Abu Su’ûd ( w. 982 H ) mengatakan bahwa mendahulukan perhiasan ( tahliyah ) sebelum pakaian ( libâs ), dengan kata-kata ( ) ر٘تdan ( ) ٌئٌئا, karena libâs itu adalah pakaian yang biasa dan lazim dipakai oleh manusia, sedangkan
12
tahliyah suatu yang berbeda dan istimewa, sehingga menurut Abu Su’ûd pantas untuk didahulukan, karena memiliki makna khusus.
11
Dalam menafsirkan surat Al-Mu’minûn / 23 : 23, Abu Su’ud menjelaskan tentang mendahulukan suatu cerita ( qishah ), terhadap kisah yang lainnya. Yaitu dimulai dengan kisah Nabi Nûh As sebagai berikut :
شٖ أفال١ا هللا ِب ٌىُ ِٓ اٌٗ غَٚ اػجذٛبل٠ ِٗ فمبيٛ لٌٝؽب اٛٔ ٌمذ أسعٍٕبٚ )23 :23 /ِْْٕٛ * ( اٌّئٛرزم Artinya : “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, ( karena ) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa ( kepada-Nya ) ?" ( Al-Mu’minûn / 23 : 23 ).
Mendahulukan qishah Nabi Nuh As. terhadap qishah nabi-nabi yang lain, beralasan karena kedudukan Nabi Nûh As itu lebih dahulu adanya sehingga sesuai dengan urutan zamannya.
12
Dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara taqdîm yang dikembangkan Al-Zamakhsyari dan Abu Su’ûd, namun metode taqdîm yang dikembangkan kedua ulama tersebut sangatlah bebas dan memiliki penghayatan yang mendalam serta tidak terfokus kepada kaidah bahasa ( nahwu-sharf ) dan
11
Ibid., h. 135
12
Ibid., h. 138
13
sebagai landasannya adalah surat An-Nahl / 16 : 6, dengan maksud tidak terikat kepada kaidah bahasa dan memiliki keindahan.
) 6 : 16/ ًْ ( إٌؾٛٓ رغشؽ١ؽٚ ْٛؾ٠ٓ رش١ب عّبي ؽٙ١ٌىُ فٚ Artinya : “ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya ( binatang ternak ), ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan “. ( An-Nahl / 16 : 6 ).
Az-Zarkasyi ( w.794 H ) dalam kitabnya menyebut sebagai contoh taqdîm dalam surat Al-Baqarah / 2 : 67-73.
ا لبيٚا أرزخزٔب ٘ضٌٛا ثمشح لبٛؤِشوُ أْ رزثؾ٠ ِٗ اْ هللاٛ ٌمٝعِٛ ار لبيٚ ٟ٘ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ) لب67( ٓ١ٍْ٘ ِٓ اٌغبٛر ثبهلل أْ أوٛأػ ْٚا ِب رئِشٍٛٓ رٌه فبفؼ١اْ ثٛال ثىش ػٚ ب ثمشح ال فبسضٙٔي اٛم٠ ٗٔلبي ا ب ثمشح صفشاءٙٔي اٛم٠ ٗٔب لبي اٌٙٔٛ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ) لب68( اْ اٌجمشٟ٘ ٓ ٌٕب ِب١ج٠ ا ادع ٌٕب سثهٌٛ ) لب69( ٓ٠ب رغش إٌبظشٌٙٔٛ فبلغ يٌٛب ثمشح ال رٙٔي اٛم٠ ٗٔ) لبي ا70( ْٚزذٌّٙ أب اْ شبء هللاٚ ٕب١ٍرشبثٗ ػ ْ عئذ ثبٌؾك٢ا اٌٛب لبٙ١خ ف١ اٌؾشس ِغٍّخ ال شٟال رغمٚ ش األسض١رض هللا ِخشط ِبٚ بٙ١ار لزٍزُ ٔفغب فبداسأرُ فٚ )71( ٍْٛفؼ٠ اِٚب وبدٚ ٘بٛفزثؾ
14
ُى٠ش٠ٚ ٝرٌّٛ هللا اٟ١ؾ٠ ب وزٌهٖٙ ثجؼعٛ ) فمٍٕب اظشث72(ّْٛوٕزُ رىز ) 73-67 : 2 / ْ ( اٌجمشحٍٛبرٗ ٌؼٍىُ رؼم٠ءا Artinya : Dan ( ingatlah ), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk ( untuk memperoleh sapi itu ). Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak cacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata: " Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: " Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu! " Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti ( Al-Baqarah / 2 : 67-73 ). Az-Zarkasyi mengatakan, mengapa beberapa qishah dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara berurutan. Yaitu yang seharusnya didahulukan adalah tentang pembunuhan ( al-qatl ), kemudian qishah penyembelihan sapi, sebagaimana yang
15
dimaksudkan ( taqdîr ) lain : ( ٖٛاظشثٚ ا ثمشحٛب فمٍٕب ارثؾٙ١ار لزٍزُ ٔفغب فبدسأرُ فٚ
بٙ) ثجؼع. “ Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu, lalu Kami berfirman : “ Sembelihlah seekor sapi dan kemudian pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi itu ). Az-Zarkasyi menjawab atas petanyaan di atas, bahwa setiap qishah ( cerita ) tentang Bani Israil tidak diceritakan sesuai dengan urutannya, karena setiap qishah sangat ditentukan sesuai dengan batasan dan beratnya suatu kejahatan ( jinâyat ). Karena itu qishah di atas dibagi menjadi kepada dua kelompok berdasarkan taqrî‟ ( celaan ). Pertama : dikelompokkan berdasarkan kekejihan perbuatannya, dan diperintahkan untuk meninggalkannya. Kedua ; dikelompokkan berdasarkan atas pembunuhan yang diharamkan. Sedangkan mendahulukan qishah penyembelihan sapi ( dzabhul baqarah ) terhadap pembunuhan yang diharamkan dalam ayat di atas, karena jika disesuaikan dengan urutannya ( pembunuhan yang diharamkan, kemudian penyembelihan sapi ) maka qishah-nya masih tetap sama tentang pembunuhan dan tidak ada perbedaan, oleh karena itu tidak perlu pengelompokkan. Dan dibedakan sesuai dengan kejahatan dan dikelompokkan dengan dua celaan ( taqrî‟ ) untuk membedakan kedua perbuatan dan dua bentuk kejahatannya. Demikian menurut imam Al- Zamakhsyari .
13
Ibid., h. 143-144
13
16
B. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran ayatnya. Dari macam-macam bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, yang pertama : didahulukan dengan makna tetap ( ٗ١ٍ ػٕٝاٌّؼٚ َِب لذ ( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ال ػ٠رمذ
), atau dengan kalimat lain
). Kita yakin bahwa terdapat sebab-sebab dan rahasia-
rahasia secara khusus. Secara global As-Suyûti ( 911 H ) menyebutkan, dengan tujuannya sebagai berikut,
14
dalam kitabnya
yaitu :
Pertama : Dengan tujuan tabarruk ( ) اٌزجشنyaitu mencari berkah. Terdapat beberapa ayat-ayat yang mendahulukan „asmâ Allah, yaitu dengan tujuan untuk memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mencari berkah. Contohnya dalam surat Ali-Imrân / 3 : 18,
ٛ٘ ا اٌؼٍُ لبئّب ثبٌمغػ الاٌٗ االٌٛٚأٚ اٌّالئىخٚ ٛ٘ ذ هللا أٔٗ ال اٌٗ االٙش ) 18 : 3 / ُْ * ( اي ػّشا١ض اٌؾى٠اٌؼض Artinya : “ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu ( juga menyatakan yang demikian ) tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha perkasa dan Maha Bijaksana”. ( Ali-Imrân / 3 : 18 ). Juga dalam surat Al-Anfâl / 8 : 41, yaitu :
14
As-Suyûtî ( 911 H ), Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet. I, Jilid ke-2, h. 35-39 , Az-Zarkasyi ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar alFikr, 1408 H / 1988 M ), cet. Ke I, h. 279
17
) 41 : 8/ ي ( األٔفبيٌٍٛشعٚ ٗء فؤْ هلل خّغٟا أّٔب غّٕزُ ِٓ شٍّٛاػٚ Artinya : “ Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul….” ( Al-Anfâl / 8 : 41 ). Didahulukan Lafazh Jalâlah dalam kedua ayat di atas, dengan alasan karena lafazh Jalâlah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa persyaksian terhadap Allah lebih tinggi kedudukannya dibanding persyaksian kepada Malaikat, dan persyaksian kepada Malaikat lebih tinggi dari para ulama, maka didahulukan.
15
bahwa dalam kalimat ( ذا١ٙش
Ibn Katsîr menafsirkan dalam ayat Ali Imrân / 3 : 18,
)
menyatakan, tentang tingginya sifat yang dimiliki
Allah SWT itu benar-benar Maha saksi, serta Maha Adil dari segala perkatan yang disampaikan melalaui rasul-Nya. Dan ayat ( ٛ٘ ) أٔٗ ال اٌٗ االmemiliki makna tauhid ulûhiyyah, hanyalah Dia satu-satunya Tuhan untuk semua makhluk yang berhak disembah. Di samping itu Dia sebagai Tuhan ( Khâliq ), dan semua makhluknya membutuhkan kepada-Nya, karena Dia Maha Kaya. Allah juga menyatakan persyaksiannya kepada Malaikat dan para ahli ilmi ( ulûl-Ilmi ), hal itu merupakan pertanda salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada mereka, karena kedudukannya yang mulia, memiliki sifat jujur dan benar dalam setiap hal. Kemudian ayat di atas di akhiri dengan ( ُ١ض اٌؾى٠ ) اٌؼضyaitu bahwa, Allah SWT Maha Mulia 15
Op.cit., h. 104 , As-Suyûtî, op.cit., h. 35
18
dan Maha Agung serta Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam setiap tindakan-Nya. 16
Sedangkan dalam penafsiran ayat 42 surat al-Anfal, bahwa lafazh jalâlah dalam
ayat
( يٌٍٛشعٚ ٗ) فؤْ هلل خّغ
berfirman
adalah sebagai pembuka kalâm, sebagaimana Allah
( األسضِٝب فٚ ادٚ اٌغّبٝ) هلل ِب ف,
yaitu, bahwa Allah mendapat
seperlima ( khumûs ), juga rasulullah SAW seperlima dari pembagian harta rampasan sebagai hasil peperangan.
17
Kedua : Untuk Ta‟dzîm ( ُ١ ) اٌزؼظyaitu untuk mengagungkan. Sebagaimana surat An-Nisâ’ / 5 : 69 :
ٓ١١ُ ِٓ إٌجٙ١ٍٓ أٔؼُ هللا ػ٠ٌئه ِغ اٌزٚي فؤٛاٌشعٚ طغ هللا٠ ِٓٚ . ) 69 : 5 / ( إٌغبء. ٓ١اٌصبٌؾٚ ذاءٙاٌشٚ ٓ١م٠اٌصذٚ Artinya : “ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul ( Nya ), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orangorang saleh “. ( Al-Nisâ‟ / 5 : 69 ). Dalam ayat di atas perintah ta’at kepada Allah didahulukan terlebih utama sebelum perintah ta’at kepada rasul, karena Allah itu lebih Agung kedudukan-Nya dan lebih besar dari semua makluk-Nya. Dan lafazh Jalâlah didahulukan menurut al16
Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, Muhamad Ali Shâbunî ( tahqiq ), ( Kairo : Dar As-Shâbuni, t.th ), Jilid : 1, h. 272
17
Ibid, jilid ke-2. h. 106
19
Baidhawi, karena perintah ta’at kepada Allah adalah sebagai sugesti ( targhîb ) bagi umat Islam untuk menta’ati Allah kemudian menta’ati mereka-mereka yang disebutkan dalam ayat, sesuai dengan janji-Nya, karena mereka memiliki ketinggian akhlaq yang mulia. Yaitu para nabi ( nabiyyûn ) yang sukses dalam perjuangannya sesuai dengan ilmu dan amal mereka dalam menegakkan kalimat tauhid. Juga orangorang yang jujur dan benar ( shiddîqun ) yang sangat tinggi derajat ketaqwaannya, serta para ahli jihad yang mati syahid dalam menegakan agama Allah ( syuhadâ‟ ) dengan semangat yang kuat dalam berdakwah menegakan kalimat lâ ilâha-ilallah, dan juga para orang-orang shaleh ( shâlihîn ) yang diberi umur panjang serta harta benda yang cukup yang digunakan untuk tujuan beribadah dan mencari keridha’an Allah SWT semata. Mereka tergolong orang-orang yang diberi nikmat ( oleh Allah ) kerena mereka betul-betul lebih mengenal Allah dibanding makhluk-makhluk lain, sehingga orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menta’ati mereka.
Ketiga : Untuk tujuan tasyrîf ( ف٠) اٌزشش
19
18
yaitu untuk memulyakan. Ibn
Shâ’ig mengatakan, bahwa mendahulukan muzakkar ( laki-laki ) sebelum mu‟annats
18
Al-Baidlâwi, Tafsîr Al-Baidlâwi ( Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Beirut : Dar-alFikr, 1416 H / 1996 M ), jilid ke-2, h. 214 19
Perbedaan antara ( ُ١ ) اٌزؼظdan ( ف٠ ) اٌزششyang artinya mengangungkan dan memuliakan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, karena mempunyai kesamaan tujuan yaitu penghormatan, namun dilihat dari penggunaan lafazh-lafazh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengunakan ta‟zhim sebagai penghormatan kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti ; kedudukan Allah sendiri, para nabi-nabi dan malaikat dan sebagainya ( QS. 4 : 69 ). Sedangkan kata tasyrif digunakan untuk penghormatan kepada yang lebih rendah kedudukannya, diantara makhluk-
20
( perempuan ) seperti yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb ayat 35, yaitu : (
اٌّئِٕبدٚ ٓ١ِٕاٌّئٚ اٌّغٍّبدٚ ٓ١ٍّاٌّغ
ْا
),( Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min ), bahwa laki-laki ( muzhakar ) itu lebih didahulukan dari pada perempuan ( mu‟unats ), karena kedudukan laki-laki lebih dimuliakan. Dan Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat di atas diawali dengan Islam, karena Islam mencakup di dalamnya makna iman yaitu perbuatan yang diiringi dengan anggota badan. Kemudian disebutkannya kata ( imân ) dengan lafazh ( ِْٕٛ ) اٌّئyang merupakan kekhususan, yakni seorang muslim yang memiliki keimanan yang sempurna. Sebagaimana juga didahulukan lafazh al-Hurr ( orang merdeka ) sebelum al-abdu ( budak sahaya )
untuk
memuliakan orang yang merdeka, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 : 178,
)178 : 2/ ( اٌجمشح. ٝ ثبألٔضٝاألٔضٚ اٌؼجذ ثبٌؼجذٚ اٌؾش ثبٌؾش Artinya : “ Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. “ ( QS. Al-Baqarah / 2 : 178 ). Didahulukan orang merdeka, karena ia lebih mulia dari pada hamba sahaya. Ibn Katsîr menyatakan bahwa hukum pembunuhan yang dimaksud adalah qishas. Hukum Islam pada awal Islam menetapkan, bahwa qishas bisa terjadi pada orang yang merdeka membunuh budak, atau budak pria membunuh budak wanita, kemudian dijelaskan dengan riwayat yang disampaikan kepada Ibn Abbâs, (
ٝ ثبألٔضٝاألٔضٚ اٌؼجذ ثبٌؼجذٚاٌؾش ثبٌؾش
) bahwa tidak dibenarkan seorang lelaki
makhluk-Nya, seperti Allah memulyakan bagi laki-laki dari wanita, atau memulyakan orang merdeka dari budak sahaya, orang yang hidup dari yang mati, ( QS. 33 : 35 , QS. 2 : 178, QS. 30 : 19 ), Abdul Azhîm Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 5-6
21
merdeka membunuh wanita budak sahaya, tetapi orang merdeka mengqishas orang lelaki merdeka juga, sebagimana juga seorang wanita mengqishas seorang wanita merdeka. Dan menurut pendapat yang diriwayatkan Abi Mâlik, bahwasanya ayat tersebut telah di-nasakh ( diganti ) dengan ayat ( ) إٌفظ ثبٌٕفظ
20
, sebagaimana
Allah berfirman dalam surat Al-Mâidah / 5 : 45.
ْاألرٚ األٔف ثبألٔفٚ ٓ١ٓ ثبٌؼ١اٌؼٚ ب أْ إٌفظ ثبٌٕفظٙ١ُ فٙ١ٍوزجٕب ػٚ ٌُ ِٓٚ ٌٗ وفبسحٛٙفّٓ رصذق ثٗ ف
ػ لصبٚاٌغشٚ ٓاٌغٓ ثبٌغٚ ْثبأل ر
)45 :5/ ْ * ( اٌّبئذحٌٌّٛئه ُ٘ اٌظبٚؾىُ ثّب أٔضي هللا فؤ٠ Artinya : “ Dan telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya ( At Taurat ) bahwasanya jiwa ( dibalas ) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka ( pun ) ada kishasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas ) nya, maka melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zalim. “ ( Al-Mâidah / 5 : 45 ). Juga didahulukan kata khail ( kuda ) terhadap bighâl dan hamîr ( keledai ), dalam surat An-Nahl / 16 : 8 , yang berbunyi :
/ ًْ * ( إٌؾٍّٛخٍك ِب ال رؼ٠ٚ ٕخ٠صٚ ٘بٛش ٌزشوج١ّاٌؾٚ اٌجغبيٚ ً١اٌخٚ ) 8 :16 Artinya :
20
Op.cit, Ibn Katsir. h. 155-156
22
“ Dan ( Dia telah menciptakan ) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan ( menjadikannya ) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. “ ( QS. An-Nahl / 16 : 8 ). Tujuan didahulukannya khail terhadap bighâl karena khail ( kuda ) lebih baik dari bighâl disebabkan banyak manfa’atnya. Dan juga lafazh al-Hayy ( yang hidup ) didahulukan terhadap lafazh al-Mayyît ( yang mati ) dalam surat Al-Rûm / 30 : 19 dan juga as-sama‟ ( pendengaran ) terhadap al-Bashar ( penglihatan ) dalam surat AlBaqarah / 2 : 7 dan surat Al-Isrâ’ / 17 : 36,
بٙرِٛ األسض ثؼذٟ١ؾ٠ٚ ٟذ ِٓ اٌؾ١ٌّخشط ا٠ٚ ذ١ٌّ ِٓ اٟخشط اٌؾ٠ ) 19 :30 / َْٚ ( اٌشٛوزٌه رخشعٚ Artinya : “ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi yang sudah mati. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan dari kubur”. ( Ar-Rûm / 30 : 19 ). Didahulukan al-hayy dari pada al-mayyît dalam ayat di atas, disebabkan karena orang hidup lebih mulia dari yang mati, sebagaimana juga terdapat dalam surat Fâthir / 35 : 22
) 22 : 35/اد ( فبغشِٛال األٚ بء١ األؽٞٛغز٠ ِبٚ Artinya : “ Dan tidak ( pula ) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. “ ( Fâthir / 35 : 22 ). Adapun al-mayyit didahulukan dalam surat Al-Mulk / 67 : 2, sebab keberadaannya terlebih dahulu.
) 2 : 67 /بح ( اٌٍّه١اٌؾٚ دٌّٛ خٍك اٞاٌز
23
“ Yang menjadikan mati dan hidup “ ( Al-Mulk / 67 : 2 ) Dan Allah menjadikan manusia dari yang asalnya tiada menjadi ada dengan tujuan untuk menguji mereka, diuji siapa di antara mereka ( manusia ) yang paling baik amal perbuatannya, sebagaimana yang dimaksudkan Ibn Katsîr dalam tafsirnya.
21
Kemudian mendahulukan as-sama‟ dari al-bashar, sebagaimana dalam
surat Al-Baqarah / 2 : 7, yaitu :
ُ ػزاةٌٙٚ حٚ أثصبسُ٘ غشبٍٝػٚ ُٙ عّؼٍٝػٚ ُٙثٍٛ لٍٝخزُ هللا ػ ) 7 :2 / ُ* ( اٌجمشح١ػظ Artinya : “ Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” ( Al-Baqarah / 2 : 7) Abdul ‘Azhîm Ibn Ibrâhim Muth’inî menulis dalam kitabnya, bahwa rahasia didahulukannya sama‟ ( mendengar ) dari bashar ( melihat ) sebagaimana banyak dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, karena mendengar ( as-sama‟ ) itu lebih utama dari melihat ( al-bashar ), karena setiap ilmu atau hal-hal lain berupa informasi ( ma‟lumât ) didapat terlebih dahulu melalui proses pendengaran dari pada penglihatan.
22
Dan al-qalb didahulukan dari pada sama‟ dan bashar dalam ayat di
atas, karena panca indra ( khawâs ) itu adalah alat pembantu hati yang paling utama. Kita memahami bahwa hati adalah alat yang menerima segala apa saja hasil dari 21 22
Ibn Katsîr, op.cit., h. 527 Abdul ‘Azhîm bin Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 107
24
proses mendengar dan melihat. Sedangkan qalb diakhirkan terhadap sama‟ sebagaimana dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 23 ( ٗلٍجٚ ٗ عّؼٍٝخزُ ػٚ ) bertujuan untuk menjaga, bila terdapat kejanggalan ( cacat ) dalam pendengaran atau karena tersumbat, sehingga telinga tidak bisa mendengar dengan baik. Dan Allah SWT mencela jika, dalam hal ini ia tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Allah SWT, sebagaimana dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 7-8.
ٌُ ْصش ِغزىجشا وؤ٠ ُٗ ص١ٍ ػٍٝبد هللا رز٠غّغ ءا٠ ) 7( ُ١ً ٌىً أفبن أص٠ٚ ) 8-7 :45 / خ١ ( اٌغبص.بٙغّؼ٠ Artinya : “ Kecelakaan yang besar bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. “ ( Al-Jâtsiyah / 45 : 7-8 ). Maksud ayat Al-Baqarah / 2 : 7 di atas, bahwa Allah SWT telah mengunci mati hati, pendengaran serta penglihatan mereka ( orang-orang kafir ). Didahulukan hati ( qalb ) dalam ayat, karena panca indra ( telinga dan mata ) yang merupakan alat bantu tadi, dan tidak dapat menyampaikan hasil kerjanya dengan baik, karena terutup dan juga tidak bisa menerima petunjuk, disebabkan banyaknya perbuatan dosa. Allah SWT benci atas perbuatan mereka, sehingga menutupi hati mereka yang menyebabkan hati mereka tidak bisa memberikan inspirasi dan berfikir dengan
25
baik,yang akhirnya tidak bisa mendengar hal-hal yang baik dan juga tidak bisa melihatnya.
23
Sedangkan didahulukan kata ( ٝعِٛ ) terhadap ( ْٚ) ٘بس, karena Nabi Mûsa As. lebih mulia dari Nabi Harûn As. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’râf / 7 : 122.
)122 : 7 /ْ ( األػشافٚ٘بسٚ ٝعِٛ سة " ( Yaitu ) Tuhan Musa dan Harun". ( al-‘Arâf : 7 : 122 ). Sedangkan mendahulukan ( ْٚ ) ٘بسterhadap ( ٝعِٛ ) dalam surat Thâha / 20 : 70, bertujuan untuk menjaga keserasian dan persamaan akhir ayat ( طِٚشاػبح سإ 24
خ٠) األ. , yaitu :
) 70 : 20 /ٗ( غٝعِٛٚ ْٚا ءإِب ثشة ٘بسٌٛ اٌغؾشح عغذا لبٟفؤٌم Artinya : “ Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: " Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa ". ( Thâha / 20 : 70 ). Dan mendahulukan manusia dari jin bertujuan untuk memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia, sebagaimana dalam surat Al-Isrâ’ / 17 : 88,
23
Al-Quthubî, Al-Jâmi‟ li Ahkâmi Al-Qur‟an, ( Beirut : Daru al-Fikr, 1419 H / 1999 M ), cet. I, Jilid ke-4, h. 16 24
Abdul Azhîm Muth’inî, of.cit., h. 116
26
ْٛؤر٠ ا ثّضً ٘زا اٌمشءاْ الٛؤر٠ ْ أٍٝاٌغٓ ػٚ لً ٌئٓ اعزّؼذ اإلٔظ ) 88 :17/ ( اإلعشاء.شا١ُٙ ٌجؼط ظٙ وبْ ثؼعٌٛٚ ٍٗثّض Artinya : “ Katakanlah : " Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain ". ( Al-Isrâ’/ 17 : 88 ). Didahulukan makhuk jin di dalam surat Al-An’âm / 6 : 130, karena penciptaan jin lebih dahulu dari manusia.
ُٔىٕٚزس٠ٚ ٟبر٠ىُ ءا١ٍْ ػٛمص٠ ُؤرىُ سعً ِٕى٠ ٌُا إلٔظ أٚ ٓبِؼشش اٌغ٠ ٍٝا ػٚذٙشٚ ب١ٔبح اٌذ١ُ اٌؾٙغشرٚ أٔفغٕبٍٝذٔب ػٙا شٌِٛىُ ٘زا لبٛ٠ ٌمبء )130 : 6 /َ (األٔؼب.ٓ٠ا وبفشُٛٔ وبُٙٔ أٙأٔفغ Artinya : “ Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasulrasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. “ ( Al-An’âm / 6 : 130 ). Kemudian disebutkan dalam ayat yang lain, bahwa jin terlebih dahulu penciptaannya dari makhluk lainnya.
)27 : 15 / ( اٌؾغش. َّٛاٌغبْ خٍمٕبٖ ِٓ لجً ِٓ ٔبس اٌغٚ Artinya :
27
“ Dan Kami telah menciptakan jin sebelum ( Adam ) dari api yang sangat panas. “ ( Al-Hijr / 15 : 27 ).
Dan boleh didahulukan jin sebelum manusia, bukan karena ia terlebih dahulu dalam hal penciptaannya, tetapi karena ta‟ajub ( keheranan ), sebagaimana dalam surat Ar-Rahmân / 55 : 33.
األسضٚ ادّٛا ِٓ ألطبس اٌغٚاإلٔظ اْ اعزطؼزُ أْ رٕفزٚ ٓبِؼشش اٌغ٠ .) 33 :55 /ّْٓ اال ثغٍطبْ ( اٌشؽٚا الرٕفزٚفبٔفز
Artinya : “ Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus ( melintasi ) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.“ ( Ar-Rahmân / 55: 33 ). Keempat : Untuk munasabah ( ) إٌّبعجخyaitu penyesuaian. Dalam hal ini, As-Suyutti membagi munasabah tersebut kepada dua sebab. Pertama : penyesuaian lafazh yang didahulukan ( al-mutaqaddim ) sebab siyaqul kalam ( konteks ). Contohnya dalam surat Al-Nahl / 16 : 6, yaitu :
) 6 :16 / ً ( إٌؾ. ْٛٓ رغشؽ١ؽٚ ْٛؾ٠ٓ رش١ب عّبي ؽٙ١ٌىُ فٚ Artinya : “ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. “ ( An -Nahl / 16 : 6 ).
28
Didahulukan kata (
ْٛؾ٠رش
) terhadap (
ْٛرغشؽ
) karena siyaqul kalâm
( konteks-nya ) yaitu sama-sama memiliki kesamaan arti ( istirahat ), baik kata ( ) اٌغشاػmaupun dalam kata ( ) اإلساؽخ. Dan kedua lafazh tersebut sama-sama indah ( jamâl ). Namun keindahan yang dimiliki kata ( (
ْٛرغشؽ
ْٛؾ٠رش
) melebihi kata
), karena istirahatnya ( binatang ternak ) dari tempat pengembalaan
( mar‟ah ) itu di sore hari, tentu dalam keadaan kenyang ( bithan ), dan hal itu lebih menyenangkan dan menarik. Berbeda dengan waktu istirahat mereka di saat melepaskannya menuju tempat pengembalaan ( di pagi hari, tentu tidak sama dengan yang pertama, kerena mereka dalam keadaan lapar ( khumash ). Demikian dimaksudkan as-Suyuti dalam kitabnya.
25
Juga hal yang semisal dengan taqdîm
dalam surat Al-Rûm / 30 : 24 yaitu :
) 24 : 30/َٚغّؼب ( اٌشٚ فبٛىُ اٌجشق خ٠ش٠ Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk ( menimbulkan ) ketakutan dan harapan. “ ( Ar-Ruum / 30 : 24 ) Didahulukan lafazh ( فبٛ ) خterhadap (
غّؼب
), karena rasa takut terhadap
petir itu lebih dahulu dari pada harapan akan datangnya hujan. Tidak mungkin terjadi hujan kecuali setela terjadi beberapa kali petir. Demikian pula didalahulukan kata
25
As-Suyutî, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Kairo : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet. ke- 1, jilid ke-2, h. 36
29
israf ( pemborosan ) dalam kedua kalimat tersebut (
اٛغشف٠
) dan (
اٚمزش٠
),
dalam surat Al-Furqân / 25 : 67 yaitu :
/ ْاِب * ( اٌفشلبٛٓ رٌه ل١وبْ ثٚ اٚمزش٠ ٌُٚ اٛغشف٠ ٌُ اٛٓ ارا أٔفم٠اٌزٚ ) 67 :25 Artinya : Dan orang-orang yang apabila membelanjakan ( harta ), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak ( pula ) kikir, dan adalah ( pembelanjaan itu ) di tengah-tengah antara yang demikian. “ ( Al-Furqan / 25 : 67 ). Didahulukan al-isrâf ( berlebih-lebihan ) terhadap qutur ( kikir ), untuk meniadakan sifat berlebih-lebihan tersebut, karena kemuliaan seseorang itu dengan memberikan infâq ( shadaqah ) bukan karena berlebih-lebihannya atau kikir. Juga dalam surat Al-Anbiya’ / 21 : 91, yaitu :
) 79 :21 /بء١ػٍّب ( األٔجٚ ٕب ؽىّب١وال ءارٚ “ Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 ). Didahulukannya hukm ( hukum ) terhadap ilm ( ilmu ), meskipun ilmu itu adalah lebih dahulu dari segalanya. Karena siyaqul kalâm ( konteksnya ) berkenaan dengan Daud As dan Sulaiman As. dalam memutuskan suatu hukum.
ُّٙوٕب ٌؾىٚ َٛٗ غُٕ اٌم١ اٌؾشس ار ٔفشذ فٟؾىّبْ ف٠ ّبْ ار١ٍعٚ دٚداٚ )78 : 21 / بء١( األٔج. ٓ٠شب٘ذ
30
“ Dan ( ingatlah kisah ) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 78 ) Yang kedua : Penyesuaian lafazh baik untuk tujuan taqdim ataupun ta‟khir. Contoh dalam surat Al-Hadîd / 57 : 3, yaitu :
) 3 :57 /ذ٠ُ * ( اٌؾذ١ٍء ػٟ ثىً شٛ٘ٚ ٓاٌجبغٚ اٌظب٘شٚ خش٢اٚ يٚ األٛ٘ “ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. “ ( Al-Hadîd / 57 : 3 ). Lafazh-lafazh pada ayat di atas, seperti lafazh ( يٚ ) األdidahulukan dari lafazh ( ) اٌظب٘ش, karena penyesuaian, yaitu al-awwal adalah sesuai dengan kedudukannya di awal. Juga sebagaimana kata ( ٓ١ِ ) اٌّغزمذdalam surat Al-Hijr / 15 : 24, maka ia didahulukan terhadap ( ٓ٠ ) اٌّغزؤخشyaitu ; ( ُٓ ِٕى١ٌِمذ ػٍّٕب اٌّغزمذٚ
ٓ٠ٌمذ ػٍّٕب اٌّغزؤخشٚ ) dan juga dalam surat Al-Muddattsir / 73 : 34, ( ٌّْٓ شبء ِٕىُ أ زؤخش٠ ٚزمذَ أ٠ ) yaitu didahulukan kata ( َزمذ٠ ), juga dalam surat Al-Qashâsh / 28 : 70, mendahulukan lafazh ( ٌٝٚ ) األdalam ayat ( خشح٢اٚ ٌٝٚ األٟ) ٌٗ اٌؾّذ ف, juga dalam surat Al-Wâqi’ah / 56 : 39-40, didahulukan lafazh ( ٓ١ٌٚ ) األdalam dua ayat ini ; ( ٓ١ٌٚ ) صٍخ ِٓ األdan ( ٓ٠خش٢صٍخ ِٓ اٚ ). Demikian selanjutnya.
26
Ibid ., h. 37
26
Az-Zarkasyi
31
menamakan hal itu dengan sebutan mura‟atul isytiqâq lafazh ( menjaga keserasian asal lafazh ).
27
Kelima : Untuk mendorong ( ٗ١ٍاٌؾش ػ
) dan menjaga agar tidak
menyepelekan. Contoh dari rahasia taqdîm ini sebagaimana dalam surat An-Nisâ’ / 4 : 11 tentang mendahulukan wasiat ( washaya ).
) 11 : 4 / ٓ ( إٌغبء٠ دٚب أٙ ثٟصٛ٠ خ١صٚ ِٓ ثؼذ “ ( Pembagian-pembagian tersebut di atas ) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau ( dan ) sesudah dibayar hutangnya. “ ( An-Nisâ’ / 4 : 11 ). Alasan didahulukan washiyah ( wasiat ) terhadap dain ( hutang-piutang ) bagi ibu / bapak yang meninggal dunia, untuk mendorong berwasiat dan menjaga agar tidak menyepelekan hak mereka, karena kebiasaan yang terjadi bahwa wasiat itu disepelehkan sedang hutang-piutang didahulukan.
28
Az-Zarkasyi ( w. 794 H )
mengatakan, bahwa wasiat didahulukan terhadap dain, karena menurut hukum syari’ah, bahwa wasiat itu berkenaan dengan warisan ( warasah ),
dan cara
pengambilannya serupa dengan mirats ( harta warisan ) yang memerlukan penyelesaian yang baik. Berbeda dengan hutang-piutang yang mudah dilaksanakan, karena merupakan suatu kewajiban yang harus disegerakan
27 28
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 306 Abdul Azhim Muth’ini, op.cit., h. 118
bersamaan dengan
32
wasiat. Sehingga digunakan kata auw (ٚ ) أdengan pengertian mempunyai kedudukan yang sama dalam syari’at, keduanya wajib.
29
Allah SWT memerintahkan berbuat adil, karena umat pada masa jahiliyah
30
tidak mengetahui hukum dalam pembagian harta warisan ( mirâts ) bagi nishâb lakilaki dan perempuan. Dan keduanya mempunyai hak yang sama, sebagiamana ketentuan syari’at bagian anak laki-laki sama dengan dua anak ( perempuan ), karena seorang pria itu memiliki tanggungjawab yang penuh untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya, dan bagi anak perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari yang diwariskannya, dan seorang ibu / bapak yang ditinggalkan seperenam atau sepertiga, dan hal itu dilakukan setelah urusan wasiat serta hutangpiutangnya telah diselesaikannya.
31
Juga taqdîm semacam ini, seperti mendahulukan
amwâl ( harta benda ) terhadap awlâd ( anak-anak ), sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Kahfi / 18 : 46 , surat As-Syua’ara / 26 : 88, surat Al-Anfâl / 8 : 2, Saba’ / 34 : 37, yaitu :
* ) 46: 18 / فٙب ( اٌى١ٔبح اٌذ١ٕخ اٌؾ٠ْ صٕٛاٌجٚ اٌّبي * ) 88 :26 / ْ ( اٌشؼشاءٕٛال ثٚ ٕفغ ِبي٠ َ الٛ٠ 29
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf „an Haqâ‟iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil Fî Wujûh at-Ta‟wîl, ( Beirut : Dar- Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M ), cet. Ke-1 h. 508, 30
“ Bahwa masyarakat jahiliyah, tidak memberikan yang senasab satu bapak, kecuali mereka yang seibu dan sebapak dalam pembagian warisan “, Ibn Katsîr., op.cit., h. 363 31
Ibid., h. 363 - 364
33
8 / ُ ( األٔفبي١أْ هللا ػٕذٖ أعش ػظٚ الدوُ فزٕخٚأٚ ُاٌىِٛا أّٔب أٍّٛاػٚ ِٓ اال ِٓ ءاٝ رمشثىُ ػٕذٔب صٌفٟالدوُ ثبٌزٚال أٚ ُاٌىِِٛب أٚ * ) 28 : اٌغشفبدُٟ٘ فٚ اٍُّٛ عضاء اٌعؼف ثّب ػٌٙ ٌئهٚػًّ صب ٌؾب فؤٚ * ) 37 : 34 / ْ ( عجؤِٕٛءا Artinya : “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. “ ( al-Kahfi / 18 : 46 ). ( yaitu ) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna ( alSyua’ara / 26 : 88 ). Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. ( al-Anfâl / 8 : 28 ). “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan ( pula ) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi ( dalam surga). “ ( Saba’ / 34 : 37 ). Rahasia didahulukan harta benda ( amwâl ), karena manusia dalam hidup ini memiliki harta terlebih dahulu sebelum mempunyai anak, dan dengan harta dia menikah dan mempunyai anak dan juga karena harta benda itu lebih bermanfaat, demikian didahulukanya amwâl ( harta ) menurut ulama Balâghah.
32
Keenam : Karena lebih dahulu ( ) اٌغجك, yaitu mendahulukan karena kejadiannya lebih dahulu, seperti mendahulukan malam terhadap siang. Karena itu para ulama ilmu falak mengawali dalam penetuan tanggal ( târikh ) pada malam hari. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali-Imrân / 3 : 190, 32
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 147
34
األٌجبةٌٟٚبد أل٠٢ بسٌٕٙاٚ ً١ٌٍاخزالف اٚ األسضٚ ادّٛ خٍك اٌغٟاْ ف )190 :3 / ْ( اي ػّشا Artinya : “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, “ ( Ali-Imrân / 3 : 190 ) Juga mendahulukan malaikat dari manusia, sebagaimana dalam surat Al-Hajj / 22 : 75, karena malaikat terlebih dahulu keberadaanya dari manusia.
) 75 : 22 / ِٓ إٌبط ( اٌؾظٚ ِٓ اٌّالئىخ سعالٟصطف٠ هللا “ Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia “ ( Al-Hajj / 22 : 75 ). Di samping itu, bahwa Allah SWT dengan kehendak dan kekuasaan-Nya memilih malaikat sebagai utusannya, karena ia lebih mampu untuk menyampaikan risalah dari Tuhan.
33
Demikian pula didahulukan sinnah ( ) عٕخterhadap naum
( َٛٔ ), karena kebiasaan manusia sebelum tidur dimulai dengan merasa ngantuk, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 255, (
َٛٔ الٚ ال رؤخزٖ عٕخ
) ( tidak
mengantuk dan tidak tidur ). Demikianlah ayat datang dengan kalimat yang sesuai dengan kebiasaan manusia. Juga zulumât ( kegelapan ) didahulukan terhadap nûr ( cahaya ), karena kegelapan mendahului datangnya cahaya. 33
Ibnu Katsîr, op.cit., h. 556
35
Sesuai dengan kewajiban dan taklîf ( beban ), seperti dalam surat Al-Hajj / 22 : 77 ( اٚاعغذٚ اٛ) اسوؼ, mendahulukan shafâ‟ terhadap marwâh, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 158 ( ح ِٓ شؼبئش هللاٚاٌّشٚ ) اْ اٌصفب, dan dimulai dengan bilangan yang terendah, mastnâ ( dua ), tsulâsa ( tiga ), kemudian rubâ‟a ( empat ), dalam surat An-Nisâ’/ 4 : 3, ( سثبعٚ صالسٚ ٕٝ) ِض, juga dalam surat Al-Mujâdilah / 58 : 7, berkenaan dengan nasehat dimulai dari yang lebih banyak, yang sederajat, kemudian sendiri-sendiri dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sebagaimana dalam surat Saba’ / 34: 46, (
ا ِبٚ صُ رزفىشٜفشادٚ ٕٝا هلل ِضِٛٛاؽذح أْ رمٛلً أّب أػظىُ ث
) ثصبؽجىُ ِٓ عٕخ. ( Katakanlah: " Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan ( tentang Muhammad ) 34
tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu ).
Ketujuh : Karena menjadi sebab ( خ١( اٌغجج. Contoh mendahulukan (
(
ض٠اٌؼضterhadap ( ُ١ ) اٌؾىdalam surat Ali-Imrân / 3 : 62, ( ٌٛٙ اْ هللاٚ ِب ِٓ اٌٗ اال هللاٚ ُ١ض اٌؾى٠) اٌؼض, karena Dia Allah SWT adalah Azîs ( Maha Mulia ), maka Dia menjadi Hakim ( mahabijaksana ). Juga mendahulukan ( ُ١ٍ ) اٌؼterhadap ( ُ١) اٌؾى, dalam surat Al-Baqarah / 2 : 22 ( ُ١ُ اٌؾى١ٍا عجؾبٔه ال ػٍُ ٌٕب اال ِب ػٍّزٕب أه أٔذ اٌؼٌٛ) لب, karena adanya hukum dan kemapanan ( itqân ) keduanya timbul dan berkembang
34
As-Suyûtî, op.cit., h. 37-38 , Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit, h. 119
36
dengan adanya ilmu ( ilm ). Sedangkan mendahulukan ( ُ١ ) اٌؾىterhadap ( ُ١ٍ) اٌؼ dalam surat Al-An’âm / 6 : 83 ( ُ١ٍُ ػ١) ٔشفغ دسعبد ِٓ ٔشبء اْ سثه ؽى, dan 128 ( ُ١ٍُ ػ١ب اال ِب شبء هللا اْ سثه ؽىٙ١ٓ ف٠) خبٌذ, dan 139 ( ُ١ٍُ ػ١ُ أٗ ؽىٙصفٚ ُٙ٠غض١) ع, untuk memuliakan kedudukan hukum Islam ( tasyri ahkâm ). Dan didahulukan lafazh ( ) ٔؼجذsebelum lafazh ( ٓ١) ٔغزؼ, dalam surat Al-Fâtihah / 1 : 5, karena ibadah adalah sebab datangnya pertolongan ( ) اإلػبٔخ. Juga mendahulukan taubah, sebab dengan bertaubat ( taubah ), akan datang kesucian diri ( thahâroh ), sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 222 ( mendahulukan ifk
ٓ٠شٙؾت اٌّزط٠ٚ ٓ١اثٛؾت اٌز٠ ) اْ هللا, juga
( dusta ) terhadap itsm ( dosa ) dalam surat Jâtsiyah : 7 ( ًً ٌى٠ٚ
ُ١) أفبن أص, karena kebohongan itu adalah sebab adanya dosa. Dalam hal ini terdapat kesamaan pendapat antara Ibn Atsîr dengan Ibn Shâ’ig .
35
Kedelapan : Karena banyak ( ) اٌىضشح, yaitu mendahulukan yang lebih banyak terhadap yang sedikit, sebagaimana Allah SWT mendahulukan orang kafir terhadap orang mu’min, dalam surat Al-Taghâbun / 64 : 2, yaitu :
* ش١ْ ثصٍّٛهللا ثّب رؼٚ ِِٕٓىُ ِئٚ خٍمىُ فّٕىُ وبف شٞ اٌزٛ٘ ) 2 : 64/ ٓ( اٌزغبث Artinya :
35
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 119-120, As-Suyûtî, opcit., h. 38
37
“Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ ( At-Taghâbun / 64 : 2 ) Didahulukan ( ) اٌىبفشterhadap ( ِٓ ) اٌّئkarena banyak dari manusia yang kafir, dengan bukti bahwa Allah SWT telah menyatakan dalam surat yang lain, surat Yûsuf / 12 : 103, berbunyi :
) 103 : 12 /عفٛ٠ ( ٓ١ِٕ ؽشصذ ثّئٌٛٚ ِب أوضش إٌبطٚ Artinya : “ Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. “ ( Yûsuf / 12 : 103 ) Dan banyak manusia yang menjadi kafir, meskipun dengan usaha keras untuk mengajak mereka beriman, mereka tidak akan beriman, karena keimanan itu tidak bisa dipaksakan. Demikian juga dengan ayat lain dalam surat Fâthir / 35 : 32, dengan didahulukan ( ٌُ () اٌظبorang zhâlim ), kemudian ( () اٌّمزصذpertengahan ), kemudian ( ( ) اٌغبثكyang berlomba-lomba berbuat kebaikan ). Sebagaimana bunyi ayatnya :
ُ ِمزصذِٕٙٚ ُٗ ظبٌُ ٌٕفغّٕٕٙب ِٓ ػجبدٔب ف١ٓ اصطف٠سصٕب اٌىزبة اٌزٚصُ أ ) 32 :35 /ش ( فبغش١ اٌفعً اٌىجٛ٘ شاد ثبرْ هللا رٌه١ُ عبثك ثبٌخِٕٙٚ Artinya : “ Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.“ ( Fâthir / 35 : 32 )
38
Juga sama halnya dalam ayat lain yang mendahulukan ( ٟشم
)( yang
sengsara ) terhadap ( ذ١ ( ) عؼyang bahagia ) dalam surat Hûd / 11 ; 105, yaitu :
) 105 : 11 / دٛ٘ ( * ذ١عؼٚ ُٟ شمّٕٙؤد ال رىٍُ ٔفظ اال ثبرٔٗ ف٠ َٛ٠ Artinya : Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. ( Hûd / 11 : 105 ) Taqdim semacam ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an di antaranya dalam surat
Al-Mâidah /
5 :
38,
dengan mendahulukan
lafazh
(
اٌغبسق
)
) pencuri laki-laki ) dari pada ( () اٌغبسلخpencuri perempuan ), yaitu :
ض٠هللا ػضٚ ّب عضاء ثّب وغجب ٔىبال ِٓ هللاٙ٠ذ٠ا أٛاٌغبسلخ فبلطؼٚ اٌغبسقٚ ) 38 : 5 / ُ * ( اٌّبئذح١ؽى Artinya : “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ ( AlMâidah / 5 : 38 ) Alasan ayat di atas, menurut Abdul Azhîm Muth’inî, didahulukan lafazh ( ) اٌغبسقterhadap ( ) اٌغبسلخ, karena sumber penyebab perbuatan pencurian dilakukan kebanyakan oleh kaum pria dari pada kaum wanita. Hal ini tentu disebabkan karena persoalan tanggung jawab mencari nafkah dipikul oleh kaum pria, dan pencurian itu terjadi sesuai batas kemampuan seseorang dalam mencari nafkah.
39
Maksud dari hukuman tersebut, bahwa seoarang pencuri dipotong apabila mencapai ukuran tertentu ( nishâb ), sehingg nabi bersabda dalam hal ini, tidaklah dipotong seseorang yang mencuri kecuali telah mencapai seperempat dinar atau lebih, demikian hukuman tersebut dijelaskan oleh Allah Maha Mulia dan Maha Bijaksana. 36
Dan didahulukan ( خ١ٔ ( ) اٌضاwanita perzina ) dari pada ( ٝٔ ( ) اٌضاpria pezina ),
dalam surat An-Nûr / 24 : 2, yaitu :
) 2 :24 /سٌّٕٛب ِبئخ عٍذح ( إِٙ اؽذٚ ًا وٚ فبعٍذٟٔاٌضاٚ خ١ٔاٌضا Artinya : “ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera,. “ ( An-Nûr / 24 : 2 ) Alasan Abu Su’ud dalam tafsirnya, karena kaum wanita kebanyakan yang mengajak kepada perbuatan zina, dengan prilaku cara berpakaian, tanpa menutup aurat, sehingga mengundang syahwat. Sedangkan dalam surat An-Nûr ayat 3, tidak sama dengan taqdîm di atas, lafazh ( ٟٔ ) اٌضاdidahulukan terhadap ( خ١ٔ) اٌضا, karena persoalannya berbeda, kaum pria lebih berhak untuk mengajukan lamaran dengan meminang sebelum menikah ( khithbah ), karena pria yang memiliki kafâ‟ah ( kecukupan ) dan memiliki kesanggupan terhadap pemberian nafkah. Maksud dari ayat di atas, bahwa bahwa Al-Qur’an menjelaskan kepada kita, tentang ketentuan hukuman seorang pelaku zina baik itu bikr ( yang belum menikah ), atau muhsin
36
Ibid., h. 515
40
( telah menikah ), dan apabila dia seorang bikr, maka had ( ketentuan ) hukumannya dengan cambukan 100 kali kemudian diasingkan dari tempatnya menurut jumhur ulama, sedangkan bagi yang telah menikah hukumannya adalah dirajam ( dilempari dengan batu ).
37
Bunyi ayatnya yaitu :
ِششنٚب اال صاْ إٔٙىؾ٠ خ ال١ٔاٌضاٚ ِششوخٚخ أ١ٕٔىؼ اال صا٠ الٟٔاٌضا ) 3 :24 /سٌٕٛٓ ( ا١ِٕ اٌّئٍٝؽشَ رٌه ػٚ Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. “ ( An-Nûr / 24 : 3 ) Kata ( اطٚ ( ) األصistri-istri ) didahulukan terhadap ( الدٚ () األanak-anak ), dalam surat At-Taghâbun / 64 : 14, yaitu :
) 14 :64 / ُٓ٘ ( اٌزغبثٚا ٌىُ فبؽزسٚالدوُ ػذٚأٚ ُاعىٚاْ ِٓ أص Artinya : Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; ( At-Taghâbun / 64 : 14 ). Ibn Hajib berpendapat bahwa hal itu disebabkan, karena istri-istri yang menjadi musuh lebih banyak terjadi dari pada anak-anak. Allah SWT menerangkan hal itu untuk menjadi peringatan bahwa kecintaan itu akan membuat seseorang lupa untuk beribadah kepada Allah SWT. Demikian rahasia didahulukan kata azwâj dalam 37
Ibid., As-Suyûtî, h. 38, Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 120-121, Ibid ., h. 580-581
41
ayat di atas. Demikian juga didahulukan lafazh ( ايِٛ ) األterhadap ( الدٚ ) األdalam surat At-Taghâbun / 64 : 15, yaitu :
) 15 :64/ ُٓ ( اٌزغبث١هللا ػٕذٖ أعش ػظٚ الدوُ فزٕخٚأٚ ُاٌىِٛأّب أ Artinya : “ Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan ( bagimu ): dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” ( At-Taghâbun / 64 : 15 ).
karena amwal ( harta-benda ) kebanyakan menjadi penyebab datangnya musibah ( fitnah ), dengan dalil surat Al-‘Alaq / 97 : 6-7 :
) 7-6 :97 / ( اٌؼٍكٕٝ) أْ سآٖ اعزغ6( ٝطغ١ٌ ْوال اْ اإلٔغب Artinya : “ Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup “. ( Al-„Alaq / 97 : 6-7 ). Lafazh awlâd ( anak-anak ) tidak didahulukan dalam ayat di atas, karena tidak semua awlâd itu menjadi penyebab datangnya fitnah, sebagai peringatan dari Allah SWT terhadap makhluk-Nya siapa yang ta’at dan siapa yang ingkar kepadaNya. Sedangkan didahulukan ( اٌؼزاة
) terhadap ( () اٌّغفشحampunan ), sesuai
dengan konteks ( siyâqul kalam ), yaitu sesuai dengan sifat yang dimiliki Allah yang Maha Kuasa untuk memberi azab atau Maha Pengampun dan Maha Bijaksana terhadap hamba-Nya,
38
38
sebagaimana Allah berfirman :
As-Suyuti., Al-Itqan Fi Ulumil-Qur‟an, op.cit., h. 39
42
/ ُ* ( اٌّبئذح١ض اٌؾى٠ُ فبٔه أٔذ اٌؼضٌٙ اْ رغفشٚ ُ ػجبدنُٙٔ فبٙاْ رؼزث ) 118 :5 Artinya : “ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hambahamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ ( Al-Mâidah / 5 : 118 ) Demikian beberapa rahasia didahulukan lafazh-lafazh Al-Qur’an karena banyak terjadi dalam kehidupan manusia. Kesembilan : Dimulai dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ( ٍٝ األػٌٝ اٝٔ ِٓ األدٝ) اٌزشل, seperti mendahulukan kaki ( ً ) ُِ سعterhadap tangan ( ذ٠ ), sebagaimana firman Allah dalam surat Al-‘Arâf / 7 : 195, yaitu :
َب أْٙ ثٚجصش٠ ٓ١ُ أػٌٙ َب أْٙ ثٛجطش٠ ذ٠ُ أٌٙ َب أْٙ ثّٛش٠ ًُ أسعٌٙأ * ْْٚ فال رٕظشٚذ١ا ششوبءوُ صُ وٛب لً ادػْٙ ثٛغّؼ٠ ُْ ءاراٌٙ ) 195 : 7 / ( األػشاف Artinya : “Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar ? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan) ku, tanpa memberi tangguh ( kepada ku ).“ ( Al-‘Arâf / 7 : 195 )
43
Dalam ayat di atas, mendahulukan lafazh dari tingkatan yang rendah kepada tingkatan yang tinggi. Seperti dimulai lafazh (
ًأسع
) sebelum ( ذ٠) أ, dengan tujuan
peningkatan derajat ( ٝ) اٌزشل. Yaitu karena derajat tangan itu lebih mulia dari pada kaki, dan mata ( ain ) lebih mulia dari pada tangan ( yad ), dan pendengaran ( sama‟ ) lebih mulia dari pada penglihatan ( bashar ). Juga contoh, seperti mendahulukan ( ّٓ () اٌشؽPengasih ) terhadap ( ُ١ ( ) اٌشؽPenyayang ), mendahulukan ( فٚ ) اٌشء ( Pemurah ) terhadap ( ُ١) اٌشؽ, mendahulukan
( يٛ ) اٌشعterhadap ( ٝإٌج
).
Sebagaimana dalam surat Maryam / 19 : 51,
:19 / ُ٠ب ( ِش١ال ٔجٛوبْ سعٚ أٗ وبْ ِخٍصبٝعِٛ اٌىزبةٟاروش فٚ ) 51 “ Dan ceritakanlah ( hai Muhammad kepada mereka ), kisah Musa di dalam Al-Kitab ( Al Qur'an ) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” ( Maryam / 19 : 51 ). Kesepuluh :
Dimulai dari predikat yang tinggi kepada yang rendah
( ٝٔ األدٌٝ اٍٝ ِٓ األػٌٝ) اٌزذ.
39
Contoh : didahulukan lafazh ( شح١ ) صغterhadap
( شح١ ) وجdalam surat Al-Kahfi / 18 : 49,
) 49 : 18 /فٙ( اٌى0 شح اال أؽصب٘ب١ال وجٚ شح١غبدس صغ٠ ال Artinya : “ Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ( pula ) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya ". ( Al-Kahfi / 18 ; 49 ) 39
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 121
44
Allah menerangkan setiap perbuatan buruk sekecil apapun apalagi yang besar, atau perbuatan baik, maka Allah SWT akan membalasnya sesuai dengan catatannya. Didahulukan lafazh (
شح١صغ
)( kesalahan kecil ) terhadap(
شح١وج
) ( kesalahan
besar ), karena kesalahan yang kecil itu lebih ringan dan lebih sedikit ( dosa )nya dari pada kesalahan yang besar (
شح١وج
). Yang kecil itu tentu lebih tinggi ( tingkatan )
kebaikannya. Demikian pula mendahulukan Al-Masih terhadap Malaikat dalam surat An-Nisâ’ / 4 : 172,
) 172 : 4/ ْ *( إٌغبءٛال اٌّالئىخ اٌّمشثٚ ْ ػجذا هللٛى٠ ْؼ أ١غزٕىف اٌّغ٠ ٌٓ Artinya : “ Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak ( pula enggan ) malaikat-malaikat yang terdekat ( kepada Allah ).“ ( Al-Nisâ‟ / 4 : 172 )
Karena tingkatan Al-Masih lebih tinggi dari Malaikat dalam hal ketaatan kepada Allah SWT, maka Al-Masih didahulukan terhadap Malâikat, demikian menurut Ibn Shâ’ig. Menurut sebagian ulama, suatu kalimat yang tingkatannya lebih rendah ( lemah ) didahulukan terhadap yang lebih kuat ( qudrah ), seperti mendahulukan penyebutan hewan yang berjalan di atas perutnya, kemudian yang berjalan dengan dua kaki, kemudian yang berjalan dengan empat kaki, sebagaimana dalam surat An-Nûr / 24 : 45 ;
ٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُِٕٙٚ ٕٗ ثطٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُّٕٙهللا خٍك وً داثخ ِٓ ِبء فٚ ) 45 : 24/ سٌٕٛ أسثغ ( اٍٝ ػّٟش٠ ِٓ ُِٕٙٚ ٓ١ٍسع
45
Artinya : “ Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian ( yang lain ) berjalan dengan empat kaki. “ ( An-Nûr / 24 : 45 ) Binatang yang berjalan dengan perutnya didahulukan karena lebih rendah kemampuannya dan menakjubkan dibanding dengan hewan yang berjalan dengan dua kaki, dan yang berjalan dengan dua kaki tidak lebih mampu dibanding dengan yang berjalan dengan empat kaki. Contoh taqdîm ini didasarkan kepada kemampuan dan juga menakjubkan, seperti mendahulukan ( ) اٌغجبيterhadap (ش١) اٌط, dengan tujuan ta‟ajub ( menakjubkan ), sebagaimana dalam surat Al-Anbiyâ’ / 21 : 79 :
) 79 : 21 / بء١ش ( األٔج١اٌطٚ ٓغجؾ٠ د اٌغجبيٚعخشٔب ِغ داٚ Artinya : “ Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 ) Az-Zarkasyi berpendapat bahwa mendahulukan gunung-gunung terhadap burung dalam ayat di atas, adalah karena dalam penciptaan gunung-gunung ( jibal ) itu serta cara bertasbihnya lebih mengherankan dari pada kemampuan burung-burung, karena benda padat berbeda kemampuannya dengan burung sebagai hewan natiq ( yang berbicara ). Karena itu didahulukan.
40
As-Suyûtî, op.cit., h. 39-40
40
46
Kesebelas : Untuk tujuan dâ‟iyah ( خ١ ) اٌذاػyaitu ajakan, seperti perintah menahan pandangan ( gaddul basyar ), karena pandangan dapat mengajak kepada perbuatan syahwat ( farj ), sebagaimana dalam surat Al-Nûr / 24 : 30, yaitu ;
ُ اْ هللاٌٙ ُٝ رٌه أصوٙعٚا فشٛؾفظ٠ٚ ُ٘ا ِٓ أثصبسٛغع٠ ٓ١ِٕلً ٌٍّئ ) 30 : 24 /سٌْٕٛ ( اٛصٕؼ٠ ش ثّب١خج Artinya : “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". “ ( An-Nûr / 24 : 30 ). Didahulukan ( )) غط اٌجصشmenjaga pandangan ) terhadap ( طٚ) ؽفع اٌفش ( memelihara kemaluan ), karena pandangan dapat mengajak kepada perbuatan farj ( syahwat ), sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan ibn Mâjah ( ْب١ٕٔبْ رض١اٌؼ
ٗىزث٠ ٚصذق رٌه أ٠ اٌفشطٚ ) ( kedua mata berzina, dan farj membenarkannya atau mendustakannya ), maka Allah memerintahkan kepada seorang mu’min untuk menjaga pandangan serta menjaga kehormatan dari apa yang diharamkan Allah. Hal itu disebabkan perbuatan maksiat dimulai dengan melihat. Demikian Allah menerangkan itu, karena Allah Maha Mengetahui perbuatan yang dilakukan hambaNya.
41
41
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 293 , Ibnu Katsîr, op.cit., h. 598
47
Keduabelas : Untuk tujuan tartîb ( ت١ ) لصذاٌزشرyaitu berurutan, sebagaimana dalam ayat wudlu’ surat Al-Mâidah / 5 : 6 ;
ٌٝىُ ا٠ذ٠أٚ ُ٘ىٛعٚ اٍٛ اٌصالح فبغغٌٝا ارا لّزُ إِٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠ ) 6 : 5/ ٓ ( اٌّبئذح١ اٌىؼجٌٝأسعٍىُ اٚ ُعىٚا ثشءٛاِغؾٚ اٌّشافك Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan kedua mata kaki “ ( Al-Mâidah / 5 : 6 ) Mengusap ( mashû ) sebagian kepala setelah dua basuhan ( gaslain ) yaitu membasuh muka dan kedua tangan hingga kedua siku, juga larangan melihat ke kiri atau ke kanan untuk menjaga / menghidari percakapan, dengan demikian bukti diperintahkan tartîb ( berurutan ) dalam pelaksanaan wudhu’. Karena itu Imam AsySyafi’i mewajibkan tartib. Juga dengan alasan, bahwa huruf ( fâ‟ ) dalam kalimat ( اٍٛ ) فبغغmendahulukan perintah membasuh ( muka ), kemudian membasuh anggota-anggota wudhu’ lainnya, dan hal ini sebagai bukti bahwa pelaksanaannya harus berurutan ( tartîb ). Juga menyelipkan perintah mengusap kepala setelah membasuh muka dan kedua tangan sebagai bukti diwajibkannya tertib. Maksud ayat adalah bahwa perintah berwudhu’ bagi yang berhadats sebelum sholat adalah dengan membasuh muka, setelah niat, kemudian membasuh kedua tangan hingga kedua siku, kemudian menyapuh sebagian kepala menurut sebagian pendapat mazhab, kemudian
48
membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Demikian penjelasan tertib dari ayat wudhu’ di atas.
42
Ketigabelas : untuk perhatian bagi mukhatab ( ) اإل٘زّبَ ػٕذ اٌّخبغتSeperti mendahulukan para kerabat ( ٝ ) اٌمشثdari anak-anak yatim ( ِٝزب١ٌ ) اdan orangorang miskin ( ٓ١اٌّغبو
) serta Ibnussabîl ( ً١اثٓ اٌغج
), dalam hal pemberian
shadaqah, sebagaimana dalam surat Al-Anfâl / 8 : 41
ِٝزب١ٌاٚ ٝ اٌمشثٌٞزٚ يٌٍٛشعٚ ٗء فؤْ هلل خّغٟا أّٔب غّٕزُ ِٓ شٍّٛاػٚ )41 : 8 / ً ( األٔفبي١اثٓ اٌغجٚ ٓ١اٌّغبوٚ Artinya : “ Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil “ ( Al-Anfâl / 8 : 41 ) Didahulukan para ahli kerabat ( ٝ ) اٌمشثkemudian para yatim ( ِٝزب١ٌ) ا kemudian para miskin dan seterusnya untuk tujuan ihtimâm ( perhatian ) bagi atau oleh mukhâtab, karena mereka lebih diutamakan dan lebih membutuhkan.
43
Taqdîm dan ta‟khîr yang kedua : ialah mendahulukan suatu kata, sedangkan
niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan )( ش١خ ثٗ اٌزؤخ١ٌٕاٚ َ ) ِبلذatau dengan kalimat lain ( ش١خ اٌزؤخ١ٔ ٍُٝ ػ٠رمذ 42 43
), seperti mendahulukan khabar terhadap mubtada’. Dalam
Az-Zarkasyi, op.cit., h.317, Ibn Katsîr, op.cit., h. 488-489 Az-Zarkasyi, op.cit., h. 309
49
taqdîm bentuk ini terdapat rahasia dan sebab-sebab, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhân, dan juga As-Suyûtî yang memberikan maksud lain yaitu ( ش١ اٌزؤخٚ ُ٠ِب أشىً ِؼٕبٖ ثؾغت اٌظب٘ش فٍّب ػشف أٔٗ ِٓ ثبة اٌزمذ
() ارعؼsesuatu yang belum jelas maknanya secara zhahir, namun setelah diketahui bahwa hal itu termasuk taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas maksudnya ). Seperti mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟il, sebagaimana dalam surat Fâthir / 35 : 28 ;
) 28 : 35 / هللاَ ِٓ ػجبدٖ اٌؼٍّب ُء ( فبغشٝخش٠ أّب Artinya : “ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. “ ( Fâthir / 35 : 28 ) Didahulukan lafazh ( ) هللاsebagai maf‟ûl terhadap lafazh ( اٌؼٍّبء
).
Tujuannya untuk memberitahukan kepada umat, bahwa hamba Allah yang paling takut kepada-Nya adalah para ulama. Demikian juga dalam ayat ini ( ُ١٘ اثشٍٝار اثزٚ
ٗ () سثAl-Baqarah / 2 : 124 ), didahulukannya maf‟ûl ( ُ١٘ ) اثشsebelum lafazd ( ٗ) سث sebagai fâ‟il. Yang bertujuan bahwa penyebutan Ibrâhim karena beliau sebagai imam, maka didahulukannya lebih baik, dan juga untuk memberitakan kepada manusia bahwa ia sebagai manusia yang mulia.
44
Juga mendahulukan maf‟ûl tsâni ( ٌٗٙ) ا
terhadap maf‟ûl awwal ) ٖاٛ٘ ) dengan tujuan inâyah ( perhatian ). Sebagaimana surat Al-Jâtsiayah / 45 : 23
( ٖاٛ٘ ٌٗٙذ ِٓ ارخز ا٠ () أفشأMaka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ). Asal taqdîrnya 44
Ibid., h. 319
50
yaitu ( ٌٗٙاٖ اٛ٘ ذ ِٓ ارخز٠ ) أفشأyang menjadikan berhala atau hawa nafsu sebagai sesembahan. Juga contoh taqdîm ini terdapat dalam surat Al-Qamar / 54 : 1, yaitu :
) 1 : 54 /أشك اٌمّش ( اٌمّشٚ الزشثذ اٌغبػخ Artinya : “ Telah dekat ( datangnya ) saat itu dan telah terbelah bulan. “ ( Al-Qamar / 54 : 1 ) Didahulukannya lafazh ( () الزشثذ اٌغبػخtelah dekat hari kiamat ) terhadap ( ( ) أشك اٌمّشterbelahnya bulan ), yang asal taqdîrnya adalah ( الزشثذٚ أشك اٌمّش
() اٌغبػخterbelahnya bulan itu tanda datangnya kiamat ). Terbelahnya bulan merupakan tanda datangnya hari kiamat, dan langit serta bumi akan hancur sa’at itu. Karena itu didahulukan lafazh ( الزشثذ اٌغبػخ
) meskipun maknanya adalah sebagai
ta‟khîr ( diakhirkan ), dan sebab dan rahasia didahulukannya untuk menjaga keserasian akhir kalimat ( murâ‟atul fashilah ).
45
Dan mendahulukan maf‟ûl dalam
surat Yâsîn / 36 : 37, 38, 39, 40 ;
ٌّغزمشٞاٌشّظ رغشٚ *ٍّْٛبس فبرا ُ٘ ِظًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍُ اٌٙ خ٠ءاٚ ْٛ ػبد وبٌؼشعٝاٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصي ؽزٚ * ُ١ٍض اٌؼ٠ش اٌؼض٠ب رٌه رمذٌٙ ) 39 -37 : 36 /ظ٠ ( *ُ٠اٌمذ Artinya :
45
Ibid., h. 325
51
“ Dan suatu tanda ( kekuasaan Allah yang besar ) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga ( setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir ) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. “ ( Yâsîn / 36 : 37-39 ) Didahulukan maf‟ul dalam ayat ( اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ ) dengan tujuan menjaga keserasian susunan kalimat ( murâ‟atu nazhm kalâm ). Kemudia Allah berfirman ( بسًٌٕٙ ٔغٍخ ِٕٗ ا١ٌٍ ) ا, kemudian ayat berikutnya ( ٞاٌشّظ رغشٚ ), maka terlihat keindahan susunan kalimat ( nazhm ). Apalagi setelah datangnya ayat berikutnya (
اٌمّش لذسٔبٖ ِٕبصيٚ
), semuanya tersusun dengan satu keserasian ( nazhm ). Dan
jika dikatakan ( لذسٔب اٌمّش ِٕبصيٚ ), maka hilang keindahan serta keserasian susunan kalimat ( nazm ). Maksud ayat, bahwa apabila berganti siang kemudian berpindah menjadi malam, maka ia menjadi gelap gulita, dan matahari berhenti dari peredarannya pertanda datangnya hari Kiamat, maka tidak ada keputusan, tiada gerak, demikian ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan kami jadikan bulan berjalan sesuai dengan waktunya, maka terlihatlah cahaya malam dan matahari berputar pada waktunya, maka terlihatlah cahaya siang, dan apabila bulan pada malam pertamanya, terlihat sedikit cahaya, dan setiap berpindah manâzil ( tempat ), maka bertambah cahaya, hingga sempurna cahaya pada malam ke-14, kemudian berkurang sedikit demi sedikit hingga akhir bulannya, maka akan tampak
52
seperti ( urjûn yang tua ). Demikian Allah tentukan setelah itu awal bulan yang lain. 46
Dan mendahulukan ma‟bûd ( دٛ ( ) اٌّؼجyang disembah ) yaitu Allah SWT, dengan perbuatan seorang hamba (
) اإلخالdengan tujuan yaitu ikhtishâsh
( kekhususan ). Karena ayat tersebut memberitakan agar seorang hamba mengkhususkan dalam penyembahannya hanya kepada Allah SWT semata, dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana disebutkan dalam surat Az-Zumar / 39 : 14,
) 14 : 39 / ( اٌضِشٟٕ٠لً هللا أػجذ ِخٍصب ٌٗ د Artinya : “ Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agamaku". “ ( Az-Zumar / 39 : 14 ) Demikian pula mendahulukan dua jar-majrûr ( ٌٗ ) dalam surat At-Taghâbun / 64 : 1, yaitu ; (
ٌٗ اٌؾّذٚ ٌٗ اٌٍّه
)( hanya Allahlah yang mempunyai semua
kerajaan dan semua puji-pujian ). Yaitu segala bentuk kekuasaan atau kerajaan ( alMulk ) yang haqiqi hanyalah Allah SWT pemilikNya. Begitu pula dengan segala pujipujian yang merupakan sumber asalnya dari-Nya, oleh karena itu segala bentuk kerajaan dan segala pujian dikhususkan hanya untuk Allah SWT semata.
46
47
Muhamad Syeikhûn, Dirâsah Fî Lughah Al-Arabiyah Wa Adâbuha, ( Kairo : Maktabah Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, 1417 H / 1996 M ), h. 142, Ibn Katsîr, op.cit., h. 162-163 47
Mohamad Syaikhûn, op.cit., h. 142,
53
C. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Ilmu Qirâ’at dan tafsiran ayat-ayatnya. Pertama : Tentang Qirâ‟ah (
اٍِٛلزُٚ اٍٛلبرٚ
terhadap ( اٍٛلزٚ ) dalam ayat ( اٍٛلزٚ
اٍٛلبر
), yaitu mendahulukan ( اٍٛ) لبر
)( yang berperang dan yang terbunuh ),
surat Ali-Imran / 3 : 195, yaitu :
ُ ثؼعىٝ أٔضٚغ ػًّ ػبًِ ِٕىُ ِٓ روش أ١ ال أظُٟٔ أُٙ سثٌٙ فبعزغبة اٍٛلبرٚ ٍٟ١ عجٟا فٚرٚأٚ ُ٘بس٠ا ِٓ دٛأخشعٚ اٚٓ ٘بعش٠ِٓ ثؼط فبٌز اثبٛبس صٙٔب األٙ ِٓ رؾزُٞ عٕبد رغشٍٕٙألدخٚ ُٙئبر١ُ عٕٙا ألوفشْ ػٍٛلزٚ ) 195 : 3 / ْاة * ( اي ػّشاٛهللا ػٕذٖ ؽغٓ اٌضٚ ِٓ ػٕذ هللا Artinya : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya ( dengan berfirman ), " Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, ( karena ) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahankesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." ( Ali-Imran / 3 : 195 ) Dan Imam Hamzah ( w. 156 H ) dan Imam Kisa’i ( w. 189 H ) membacanya dengan mendahulukan bentuk maf‟ul (
اٍٛلزٚ
) terhadap bentuk fa‟il (
اٍٛلبر
).
54
Maksud ayat di atas adalah jawaban atas pertanyaan, tentang apakah akan dihapus dosa-dosa orang-orang yang berperang di jalan Allah atau terbunuh ?, Rasulullah SAW menjawabnya, ya, karena itu Allah berfirman : (
بسٙٔب األٙ ِٓ رؾزٞ) عٕبد رغش,
ٍُٕٙألدخٚ ُٙئبر١ُ عٕٙأوفشْ ػ
bahwa Allah SWT akan menghapuskan kesalahan
orang-orang yang berperang di jalanNya, atau terbunuh, dan memasukkanNya kedalam Surga, yang terdapat didalamnya bermacam-macam minuman ( masyrab ), susu, madu dan yang lainnya, yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah tersirat dalam sanubari. Demikian itu, sungguh karena besarnya kekuasaan Allah serta balasan-Nya yang tiada terbilang. Demikianlah maksud ayat (
اٍٛلزٚ اٍٛلبرٚ
), Allah mengangkat setinggi-tingginya
derajat orang-orang yang berperang di jalan Allah SWT apapun resikonya membunuh atau terbunuh. Demikian menurut Ibn Katsir dalam kitabnya.
48
Kedua : Mendahulukan huruf hamzah ( ) ّ٘ضحterhadap huruf ya‟ ( بء٠ ) dalam surat Ar-Ra’du : 31 dalam bacaan (
ؤط١٠ ٍُ) أف, yaitu :
ً ثٝرٌّٛ وٍُ ثٗ اٚ لطؼذ ثٗ األسض أٚشد ثٗ اٌغجبي أ١ أْ لشءأب عٌٛٚ ؼب١ّ إٌبط عٜذٌٙ شبء هللا٠ ٌٛ ْا إِٔٛٓ ءا٠ؤط اٌز١٠ ٍُؼب أف١ّهلل األِش ع
48
Ibn Katsir, op.cit., h. 348-349, Alamudin Ramadhan Al-Jundy, et. al., Al-Ghayah fi AlQira‟at Asyar lil Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Husein bin Mahran Al-Ashbahani ( w 371 H ), ( Saudi Arabiyah : Darussyawaf li Nasyr Wa Tawzi’, 1411 H / 1990 M ), cet. ke-2, h. 221
55
ُ٘جب ِٓ داس٠ رؾً لشٚا لبسػخ أُٛ ثّب صٕؼٙج١ا رصٚٓ وفش٠ضاي اٌز٠ الٚ )31 :13 /ؼبد ( اٌشػذ١ٌّخٍف ا٠ ػذ هللا اْ هللا الٚ ٟؤر٠ ٝؽز Artinya : Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, ( tentu Al Qur'an itulah dia). Sebenarnya segala itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki ( semua manusia beriman ), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. ( Ar-Ra‟d / 13 : 31 )
Maka bacaan yay‟asi (
ظ٠ْؤ٠
أط ِ َُْٟ َ٠
)( mengetahui ) dibaca menjadi ya‟yasi (
). Kedua bacaan tersebut dibenarkan ( shahihah ), menurut Imam Qalun ( 120-
205 H ) dan Imam Warsy ( 110- 197 H ). Dalam dua qira‟at di atas ( atau (
ظ٠ْؤ٠
أط ِ َُْٟ ٠َ
)
), adalah menjelaskan tentang iman umat terdahulu mengetahui dan
membuktikan, bahwa Zabur adalah bukan sekedar hujjah ( dalil ) atau mu’jizat, akan tetapi dirasakan serta masuk akal, karena bukti-bukti dapat diterima dengan baik dan sempurna. Dan semua kitab-kitab yang diturunkan kepada umatnya, serta mukjizat yang terdapat didalamnya, selesai dengan kematian para Nabinya, akan tetapi kitab
56
Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW sebagai kitab mukjizat, tetap abadi dan menjadi panutan bagi umat islam hingga hari kiamat. Ketiga : Mendahulukan bentuk maf‟ul (
49
ٍَُُْٛمز٠ ) terhadap
fa‟il (
ٍُُْٛمز٠َ
)
dalam bacaan ( ٍََُُْٛ ْمز٠َٚ ٍََُُْٛ ْمز١َ () فmereka membunuh dan terbunuh ), Dan Hamzah ( 80 H – 156 H ) dan Kisa’i ( 119 H – 189 H ) membacanya dengan mendahulukan bentuk maf‟ul terhadap bentuk fa‟il. Sebagaimana dalam surat At-Taubah / 9 : 111, yaitu :
ً١ عجْٟ فٍٛمبر٠ ُ اٌغٕخٌٙ ُْ ثؤٌٙاِٛأٚ ُٙٓ أٔفغ١ِٕ ِٓ اٌّئٜاْ هللا اشزش ِٓٚ ْاٌمشءاٚ ً١اإلٔغٚ ساحٛ اٌزٟٗ ؽمب ف١ٍػذا ػٚ ٍْٛمز٠ٚ ٍْٛمز١هللا ف ُ١ص اٌؼظٛ اٌفٛ٘ رٌهٚ ٗؼزُ ث٠ ثبٞؼىُ اٌز١ا ثجٚذٖ ِٓ هللا فبعزجششٙ ثؼٝفٚأ ) 111 : 9 : / ثخٛ( اٌز Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu. ( At-Taubah / 9 : 111 )
Didahulukan atau diakhirkan pada ayat ( ٍْٛمز٠ٚ ٍْٛمز١ ) فtidak berpengaruh kepada maksud ayatnya, karena menurut Ibn Katsir bahwa huruf wawu ( ٚاٚ ) tidak
49
Ibid., Jilid ke-2, h. 282
57
bertujuan untuk tartib ( urutan ), akan tetapi untuk persamaan ( taswiyah ), karena itu baik didahulukan atau sebaliknya, maka balasan dari perbuatan tersebut ( membunuh atau terbunuh ) dalam peperangan ( fi Sabilillah ) adalah mendapat pahala surga. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Demikianlah janji Allah bagi orang-orang yang beriman atas suatu kemenangan yang sangat besar.
50
Taqdîm dan ta‟khîr yang ketiga : ialah mendahulukan kalimat dalam suatu
ّ خ٠ أِٝب ل ّذَ ف ayat dan mengakhirkan dalam ayat lain. ( ٜ أخشٝأخش فٚ semacam
ini
sebagian
ulama
menyebutnya
taqdîm
yang
). Taqdîm
bukan
istilah
( ٝش االصطالؽ١ُ غ٠) اٌزمذ. Dalam hal ini terdapat sebab-sebab serta rahasia khusus, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zarkasyi dalam kitabnya, yaitu : Pertama : Didahulukan lafazh ( ) اٌؾّذdalam surat Al-Fâtihah / 1 : 1 ( اٌؾّذ
ٓ١ٌّ ) هلل سة اٌؼبdan diakhirkan dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 36 yaitu ( فٍٍٗ اٌؾّذ ٓ١ٌّسة األسض سة اٌؼبٚ ادّٛ) سة اٌغ. Didahulukan ( ) اٌؾّذdalam surat Al-Fâtihah karena ia sebagai asal, yaitu sebagai mubtada‟. Sedangkan diakhirkan ( ) اٌؾّذdalam surat Al-Jâtsiyah adalah sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, yang seakan-akan ada pertanyaan, “ Untuk siapa semua puji-pujian itu ? ( ) ٌّٓ اٌؾّذ ؟. Dan siapa pemiliknya ? ( ِٓ أٍ٘ٗ ؟ٚ ). Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab
50
Al-Baidhâwi ( w. 791 H ), Tafsir Al-Baidhâwi ( Anwârut Tanzîl Wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Libnani, Dârul Fikr, 1416 H / 19 96 ), Jilid ke-3, h. 174
58
sebagaimana jawaban Al-Qur’an dalam surat Al-Jâtsiyah di atas ( () فٍٍٗ اٌؾّذmaka milik Allah SWTlah segala puji-pujian itu ). Yaitu bahwa Allahlah penguasa bagi yang ada di langit dan di bumi. Dan contoh semacam ini, juga diungkap dalam Al-Qur’an surat Ghâfir / 40 : 16 ; ( َ ؟ٛ١ٌ ( ) ٌّٓ اٌٍّه اKepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? ). Dan sebagai jawabannya adalah (بسٙاؽذ اٌمٌٛ () هلل اKepunyaan Allah 51
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan ).
Kedua : Mendahulukan kalimat ( ي اٌجبةٛ ) دخterhadap lafazh ( ي ثبٌؾطخٛ) اٌم. dalam surat Al-Baqarah / 2 : 58 ( ا ؽطخٌٛٛلٚ ا اٌجبة عغذاٍٛادخٚ )( dan masukilah dari gerbang sambil membungkuk dan makanlah dari hasil buminya ) dan diakhirkan dalam surat Al-A’râf / 7 : 161 ( ا اٌجبة عغذاٍٛادخٚ ا ؽطخٌٛٛلٚ ) ( Dan makanlah dari hasil buminya dan masukilah dari pintu gerbangnya sambil membungkuk ). Para ulama balaghah dan ulama lainya seperti Az-Zamakhsyari dan Abû Su’ûd tentang taqdîm dan ta‟khîr ini, berpendapat bahwa perintah dalam dua ayat di atas adalah dengan menggabungkan maknanya, yaitu baik ( ي ثبٌؾطخٛ ) اٌمatau ( ٓ٠ي عبعذٛ) اٌذخ tanpa harus berurutan di antara keduannya, dengan membolehkan mana yang harus didahulukan. Dan As-Suyûtî berpendapat, meskipun ada perbedaan dalam dua ayat tersebut, namun tujuannya adalah untuk keindahan dalam kefasihan ( tafannûn fil
51
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 329, Ibn Katsîr, op.cit., h. 314
59
fashîhah ).
52
Maksud surat Al-Baqarah / 2 : 58, bahwa Allah memerintahkan kepada
Bani Israil memasuki ardhul muqaddas ( Baitul Maqdis ) ada yang mengatakan Ariha’, karena pertolongan Allah dan keluar dari tîh selama 40 tahun
setelah
pembukaan maka diperintahkan untuk bersujud ( baca : bersyukur ) kepada Allah atas kemenangan dan pembukaan kota baru, dan beristigfar, maka Allah akan mengampuni kesalahan dan ditambahkan segala kebaikan.
53
Ketiga : Mendahulukan ( ٓ١ ) اٌّخبغجterhadap ( الدٚ ) األdalam dua surat AlAn’âm dan Al-Isra’ dengan redaksi yang berbeda. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 151 berbunyi :
) 151 : 6 / َبُ٘ * ( األٔؼب٠اٚ ُالدوُ ِٓ اِالق ٔؾٓ ٔشصلىٚا أٍٛال رمزٚ Artinya : “ Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka". ( Al-An‟âm / 6 : 151 ) Surat Al-Isra’ / 17 : 31 berbunyi :
ُ وبْ خطئبٍٙبوُ اْ لز٠اٚ ُٙخ اِالق ٔؾٓ ٔشصل١الدوُ خشٚا أٍٛال رمزٚ ) 31 : 17 / شا * ( اإلعشاء١وج Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. “ ( Al-Isra‟ / 17 : 31 ) 52 53
Ibid., h. 332, Abdul Azhm Muth’inî, op.cit., h. 150-151 Ibn Katsîr, op.cit., h. 68
60
Di dahulukan mukhâtab dengan dhamîr ( ُ ) ٔشصلىُ ) ) وdalam surat Al-An’âm / 6 : 151 dan tidak didahulukan dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, dengan khîtab pada ayat Al-An’âm ditujukan kepada orang-orang miskin ( ) اٌفمشاء. Ini dibuktikan dengan dalil ( ) ِٓ اِالق, yaitu karena kemiskinan. Dan kemiskinan itu bagi orang-orang miskin, tentu telah terjadi. Maka janji Allah untuk memberikan rejeki bagi orang-tua mereka lebih penting dari pada anak-anak mereka, karena itu didahulukan dlamîr kum ( ُ ) ٔشصلىterhadap dlamîr hum ( ُ٘ب٠اٚ ). Sedangkan khitâb Allah dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31 dengan mendahulukan dlamîr ( ُ٘ )( ُٙ ) ٔشصلyang ditujukan kepada orang-orang kaya ( بء١ٕ) أغ, dengan dalil ( خ اإلِالق١ () خشtakut kemiskinan ). Dan kata “ khasyiah “ adalah sebagai bukti adanya kekhawatiran mereka akan kemiskinan, yakni mereka takut bila terjadi terhadap anak-anak mereka. Dengan demikian rejeki bagi anak-anak mereka lebih penting, maka janji Allah untuk pemberian rejeki bagi anak-anak mereka diutamakan dari pada rejeki bagi orang-tua mereka. Melihat dua redaksi ayat yang berbeda di atas, Ibn Katsir menjelaskan dalam kitabnya tentang surat Al-An’âm / 6 : 151, bahwa Allah SWT melarang pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya disebabkan kemiskinan yang tidak dapat memberikan nafkah ( rejeki ) dengan baik terhadap anak-anak mereka. Maka dalam ayat tersebut didahulukan dlamîr-kum, sebagai ta‟kîd ( penekanan ), bahwa janji Allah untuk mengutamakan rejeki bagi mereka ( orang-tua ) karena rejeki bagi
61
mereka lebih penting. Sedangkan maksud larangan Allah atas pembunuhan yang terdapat dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, ditujukan kepada selain orang miskin ( baca : orang kaya ), akan tetapi orang kaya takut jatuh miskin di suatu hari dan hal itu bisa mengakibatkan kelaparan bagi anak-anak mereka. Maka rejeki bagi anak-anak mereka adalah lebih penting dari pada rejeki orang tua mereka. Karena itu Allah berjanji untuk mendahulukan rejeki anak-anak mereka. Dan redaksi ayat mendahulukan dhamir-hum ( ُٙ ) ٔشصلterhadap dlamîr-kum ( ُبو٠اٚ ), karena rejeki bagi anak-anak mereka lebih penting. Demikian maksud Allah dalam dua ayat di atas, karena Allah SWT Maha Penyayang terhadap hambaNya. Keempat : Tentang ( ٜذٌٙ اٛ٘ هللاٜ٘ذ
54
)( petunjuk Allah itulah petunjuk
yang sebenarnya ). Terdapat redaksi yang berbeda antara surat Al-Baqarah / 2 : 120 dan yang terdapat dalam surat Ali-Imrân / 3 : 73. Dalam surat Al-Baqarah / 2 : 120, yaitu :
ٛ٘ هللاُٜ لً اْ ٘ذٙ رزجغ ٍِزٝ ؽزٜال إٌصبسٚ دٛٙ١ٌ ػٕه اٌٝٓ رشظٚ ) 120 : 2 / ( اٌجمشح. ٜذٌٙا Artinya : “ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka “. ( Al-Baqarah / 2 : 120 )
54
Abdul Azhîm Ibrâhim Al-Muth’inî, op.cit., h. 183, Az-Zarkasyi, op.cit., h. 330, Ibn Katsîr , op.cit., h. 375
62
Didahulukan ( هللاٜ ) ٘ذterhadap ( ٜذٌٙ اٛ٘ ), kemudian datang ayat lain dengan redaksi yang berbeda, dengan mendahulukan ( ٜذٌٙ ) اdari pada ( هللاٜ) ٘ذ sebagaimana dalam surat Ali-Imrân / 3 : 73 yaitu :
: 3 / ْ هللا * ( اي ػّشاٜ ٘ذٜذٌٕٙىُ لً اْ ا٠ا اال ٌّٓ رجغ دِٕٛال رئٚ ) 73 Artinya : “ Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu, katakanlah : “ sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti ) adalah petunjuk Allah “. ( Ali-Imrân / 3 : 73 ) Bila diperhatikan dari beberapa redaksi ayat-ayat di atas, dapat dipahami, bahwa didahulukan ( هللاٜ ) ٘ذdalam dua tempat ( surat Al-Baqarah / 2 : 120 dan Al-An’âm / 6 : 71 ) terhadap ( ٜذٌٙ اٛ٘ ), terdapat sebab-sebab, yaitu : ( 1 ). Adanya nash yang menyatakan, bahwa petunjuk Allah SWT adalah petunjuk yang sebenarnya ( ٜذٌٙ اٛ٘ هللاٜ) ٘ذ, sebagai bantahan atas pengakuan dengan adanya petunjuk selain dari Allah SWT. ( 2 ). Dalam surat Al-Baqarah / 2 : 120, Yahudi dan Nasrâni itu mengaku, bahwa petunjuk itu dari mereka. Dengan adanya pengakuan itu, seakan-akan mereka tidak setuju kepada umat saat itu kecuali mengikuti dan membenarkan petunjuk mereka ( ٜال إٌصبسٚ دٛٙ١ٌ ػٕه اٌٝٓ رشظٚ ). Dan dalam hal ini, seakan-akan mereka menolak semua petunjuk kecuali dari mereka. Oleh karena itu Allah SWT mendatangkan nash, dengan penekanan atas batalnya dakwaan mereka, dengan
63
redaksi ( ٜذٌٙ اٛ٘ ) لً اْ ٘ذىبهلل, yang maksudnya bahwa tidak ada petunjuk kecuali dari Allah SWT. ( 3 ). Sedangkan didahulukannya ( ٜذٌٙ ) اterhadap ( هللاٜ ) ٘ذdalam surat Ali Imrân : 73, karena umat belum terlihat nampak keingkaran mereka dengan adanya petunjuk Allah SWT, bahkan mereka menyetujuinya dengan tujuan ingin memfitnah terhadap mereka-mereka yang telah beriman kepada Allah, karena kedengkian mereka ( hasad ) terhadap orang-orang yang diberikan Allah atas karunia-Nya, karena itu datang nash dengan redaksi ( هللاٜ ٘ذٜذٌٙلً اْ ا
), bantahan jelas,
terhadap sekelompok masyarakat yang mengira mereka bisa menyesatkan orangorang mu’min. Maka kata ( ٜذٌٙا
) dalam ayat Ali-Imrân / 3 : 73 ini, ditambah
dengan alif dan lam, dan menjadi pokok pembicaraan, bahwa maksud dari ( هللاٜ ) ٘ذadalah sama dengan ( ٜذٌٙ ) اdengan alif dan lam. Sebagaimana bunyi ayatnya :
أؽذ ِضً ِبٝئر٠ ْ هللا أٜ ٘ذٜذٌٕٙىُ لً اْ ا٠ا اال ٌّٓ رجغ دِٕٛال رئٚ هللاٚ , شبء٠ ِٓ ٗ١ذ هللا ثئر١ لً اْ اٌفعً ث, ُوُ ػٕذ سثىٛؾبع٠ ٚزُ أ١رٚأ ) 73 : 3 /ُْ * ( اي ػّشا١ٍاعغ ػٚ Artinya : “ Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: " Sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti ) ialah petunjuk Allah, dan ( janganlah kamu percaya ) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan ( jangan pula kamu percaya ) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu
64
“, Katakanlah : Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas ( pemberian-Nya ) lagi Maha mengetahui " ( Ali-Imrân / 3 : 73 )
Dan kesimpulan bahwa maksud ayat Al-Baqarah / 2 : 120, bahwa ayat ini ditujukan kepada Nabi SAW dan pengikutnya untuk meninggalkan petunjuk Yahudi dan Nasrani dan menerima petunjuk Allah SWT dalam hal perintah berdakwa yang jelas-jelas nyata kebenarannya. Maka dengan ayat (
ٜذٌٙ اٛ٘ هللاٜ) لً اْ ٘ذ
menegaskan kepada Nabi Muhamad SAW bahwa hidayah Allahlah yang mengutusmu ke jalan yang lurus ( agama yang lurus ), dan jika kamu mengikutinya setelah datangnya ilmu ( Al-Qur’an ), maka Allah tidak bisa melindungi dan menjadi penolong. Sedangkan maksud dalam Ali Imrân / 3 : 73, bahwa orang-orang mu’min tidak akan mendapatkan ketenangan kecuali dengan mengikuti petunjuka Allah ( agam Islam), dan Allah berfirman ( هللاٜ ٘ذٜذٌٙ ) لً اْ اmenegaskan bahwa hidayah Allah yang memberikan petunjuk ke dalam hati setiap mu’min dengan petujuk rasul-Nya dan dengan ayat-ayat-Nya.
55
Kelima : Terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an berkenaan dengan ungkapan ( ta‟bîr ) al-Qur’an yang berbunyi ( ش هللا١ِب أً٘ ٌغٚ ) ( yang disembelih atas nama selain Allah SWT ). Dalam tiga tempat didahulukan ungkapan ( ش هللا١) ٌغ terhadap ( ٗ ) ثyaitu dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3, surat / 6 : Al-An’âm / 6 : 145, dan
55
Abdul Azhîm Ibrîhim Muth’inî, op.cit., h. 114 dan 292
65
surat An-Nahl / 16 : 115, sedangkan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173 didahulukan ( ٗ ) ثterhadap ( ش هللا١) ٌغ. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3 :
: 5 / ش هللا ثٗ ( اٌّبئذح١ِب أً٘ ٌغٚ ش٠ٌؾُ اٌخٕضٚ َاٌذٚ زخ١ٌّىُ ا١ٍؽشِذ ػ )3 Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, ( daging hewan ) yang disembelih atas nama selain Allah. “ ( Al-Mâidah / 5 : 3 ) Dalam surat Al-An’âm / 6 : 145 :
ٚزخ أ١ِ ْٛى٠ ْطؼّٗ اال أ٠ ُ غبػٍٝ ِؾشِب ػٌٟ اٟؽٚ ِب أٟلً ال أعذ ف 6 /َش هللا ثٗ ( األٔؼب١ فغمب أً٘ ٌغٚش فبٔٗ سعظ أ٠ ٌؾُ خٕضٚؽب أٛدِب ِغف ) 145 : Artinya : “ Katakanlah : " Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah “. ( Al-An’âm / 6 : 145 ) Dalam surat An-Nahl / 16 : 115 :
/ ًش هللا ثٗ * ( إٌؾ١ِب أً٘ ٌغٚ ش٠ٌؾُ اٌخٕضٚ َاٌذٚ زخ١ٌّىُ ا١ٍأّب ؽشَ ػ ) 115 :16
66
Artinya : “ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu ( memakan ) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah .“ ( Al-Nahl / 16 : 115 ) Dan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173
ٖب٠ا هلل اْ وٕزُ اٚاشىشٚ ُجبد ِب سصلٕبو١ا ِٓ غٍٛا وِٕٛٓ أ٠ب اٌزٙ٠ب أ٠ ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ ش٠ٌؾُ اٌخٕضٚ َاٌذٚ زخ١ٌّىُ ا١ٍْ * أّب ؽشَ ػٚرؼجذ ) 173 -172 :2 / *( اٌجمشح Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rejeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benarbenar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ( ketika disembelih ) disebut ( nama ) selain Allah. “ ( Al-Baqarah / 2 : 172173 )
Dari empat nash di atas, terdapat tiga redaksi yang berulang-ulang dengan ungkapan ( ٗش هللا ث١ِب أً٘ ٌغٚ ), sebagaimana dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3, surat Al-An’âm / 6 : 145 dan surat An-Nahl / 16 : 115, yaitu dengan mendahulukan ( ش هللا١ ) ٌغterhadap ( ٗ) ث. Dan seharusnya ( asal ) didahulukan ( ٗ ) ثterhadap ( ش هللا١) ٌغ, karena dhamîr dalam ( ٗ ) ثkembali kepada mâ ( ) ِب, dan ( ش هللا١) ٌغ tidak terlepas maksudnya dari ( ً٘) أ, sebagai shilah dari maushûl. Dan hal ini, diungkap dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173, dengan ungkapan ( ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ ).
67
Dari empat nash di atas terdapat rahasia sebab-sebab didahulukan atau diakhirkannya, yaitu : ( 1 ). Didahulukan ungkapan ( ش هللا١ ) ٌغterhadap ( ٗ ) ثsasarannya ditujukan kepada Ahli Makkah, yang mayoritas saat itu belum beriman kepada Allah SWT. Juga sebagai pencegahan terjadinya kemusyrikan serta pembatalan atas aqidah mereka dengan menjadikan berhala sebagai tuhan yang disembah, serta penyembelihan yang mengatasnamakan nama tuhan mereka ( berhala ), sebagaimana diungkap dalam surat Al-An’âm / 6 : 145 dan An-Nahl / 16 : 115 ( keduanya Makiyah ), dan Al-Mâidah / 5 : 3 adalah Madaniyah, terkecuali ayat yang menyatakan tentang haji wada’ adalah Makiyah. ( 2 ). Sedangkan didahulukan lafazh ( ٗ ) ثterhadap ( ش هللا١) ٌغ, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173, sasarannya ditujukan kepada Ahli Madinah yang kita ketahui mayoritas mereka telah beriman. Dan mereka bukan penyembah berhala, juga bukan kafir tetapi untuk mencegah kemusyrikan, dan juga untuk menerangkan hukum-hukum Islam, seperti ; halal, haram dan sebagainya. Karena itu awal ayatnya dimulai dengan ungkapan ( إِٛٓ آ٠ب اٌزٙ٠بأ٠ ) ( wahai orangorang yang beriman ). 3. Didahulukan ( ش هللا١ ) ٌغterhadap ( ٗ ) ثdalam tiga tempat ( surat
Al-
An’âm : 145, An-Nahl : 115, serta surat Al-Mâidah : 3 ), untuk tujuan ta‟kîd ( penekanan ) tentang batalnya keimanan selain kepada Allah SWT, sehingga didahulukan lafadz ( ش هللا١) ٌغ, karena sangatlah penting. Sedangkan dalam surat Al-
68
Baqarah : 173 sesuai dengan asalnya (
ش هللا١ِب أً٘ ثٗ ٌغٚ
), dengan memajukan
lafazh ( ٗ) ث, kerena sebagian mereka telah beriman, maka diakhirkan kalimat ( ش١ٌغ 56
) هللاkarena tidak dibutuhkan penekanan ( ta‟khîd ).
Maksud ayat di atas, bahwa Allah SWT memberitakan kepada seluruh umat Islam tentang mengharamkan bangkai, darah, daging babi, serta penyembelihan yang disebutkan selain nama Allah SWT, karena memakan makanan yang baik ( tayyib ) adalah syarat diterimanya do’a dan amal ibadah, sedangkan memakan makanan yang diharamkan menghalangi diterimanya do’a dan ibadah. Sebagaimana hadits nabi SAW, “ Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik, maka Dia tidak akan menerima kecuali yang baik juga “ ( HR. Muslim ). Sedangkan kepada yang terpaksa Allah SWT hanya membolehkannya, kecuali tidak berlebihan sebagai rukhshah ( keringanan ) dari Allah SWT, karena Dia Maha pengampun dan lagi Maha penyayang. Demikian maksud ayat-ayat di atas menurut ulama tafsir.
57
Keenam : Mendahulukan ( ٓ هلل١ِاٛ ( ) لorang-orang yang menegakan keadilan karena Allah ) terhadap ( ذاء ثبٌمغػٙ ( ) شmenjadi saksi dengan adil ) dalam surat Al-Mâidah / 5 : 8, dan mendahuluakn ( ٓ ثبٌمغػ١ِاٛ ( ) لorang yang
56 57
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 162-163 Ibid., h. 150, 478, 626, 350
69
benar-benar penegak keadilan ) terhadap ( ذاء هللٙ ( ) شmenjadi saksi karena Allah ) dalam surat An-Nisâ’ / 4 : 135. Bunyi ayat Al-Mâidah, yaitu :
َٛغشِٕىُ شٕآْ ل٠ الٚ ذاء ثبٌمغػٙٓ هلل ش١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠ * ٍّْٛش ثّب رؼ١ا هللا اْ هللا خجٛارمٚ ٜٛ ألشة ٌٍزمٛ٘ اٌٛا اػذٌٛ أال رؼذٍٝػ ) 8 :5 / ( اٌّبئذح Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan ( kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( Al-Mâidah / 5 : 8 ) Dan ayat An-Nisâ’ / 4 : 135, yaitu :
ٚ أٔفغىُ أٍٝ ػٌٛٚ ذاء هللٙٓ ثبٌمغػ ش١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب ا ٌزٙ٠بأ٠ ْ أٌٜٛٙا اّٛب فال رزجؼٙ ثٌٝٚشا فبهلل أ١ فمٚب أ١ٕىٓ غ٠ ْٓ ا١األلشثٚ ٓ٠اٌذٌٛا :4 /شا * ( إٌغبء١ْ خجٍّٛا فبْ هللا وبْ ثّب رؼٛ رؼشظٚا أٍٚٛاْ رٚ اٌٛرؼذ ) 135 Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. “ ( An-Nisâ‟ / 4 : 135 )
70
Dua surat di atas ( An-Nisa’ dan Al-Maidah ) adalah keduanya madaniyah sebagaimana disepakati jumhur ulama, namun ayat al-Maidah berkenaan dengan ayat ini, terdapat perselisihan pendapat. Dan disepakati ulama ( ijma’ ), bahwa Al-Maidah atau An-Taubah surat yang turun terakhir dari Al-Qur’an. Sebagaimana Az-Zarkasyi mengatakan dalam kitabnya, al-Burhan, bahwa Rasulullah membaca surat Al-Maidah ketika haji wadâ‟, kemudian Rasulullah bersabda ; “ sesungguhnya akhir al-Qur‟an yang turun adalah Al-Mâidah, dan menghalalkan yang telah ditetapkan kehalalannya, dan mengaharamkan yang telah diharamkan “. Sebagaimana juga asSuyuti mengatakan dalam kitabnya.
58
Dan dari taqdîm dan ta‟khîr kedua ayat di
atas terdapat rahasia yang terkandung di dalamnya, yaitu : 1. Didahulukan ayat ( ٓ ثبٌمغػ١ِاٛا لٛٔٛو
) karena khitâb-nya ditujukan
kepada orang-orang mu’min secara mutlak. Karena mereka memiliki kewajiban secara mutlak menjadi penegak keadilan. Dan perintah tersebut ditunjukan bagi orang-orang yang beriman. Demikian yang dimaksudkan dalam surat An-Nisa’/ 4 : 135. Diriwayatkan bahwa turunnya ayat ini, sebagaimana dikutip oleh Al-Wâhidi dalam kitabnya ( asbâbu an-nuzl ). Diriwayatkan oleh Abi Hâtim dari as-Sa’dy bahwa ayat ini turun kepada Nabi SAW, tentang pesengketaan di antara orang kaya dan orang miskin, dan menjelaskan orang miskin tidak akan berbuat zhalim terhadap orang kaya. Maka kata Nabi, tidaklah Allah menghukum terhadap perkara mereka
58
Ibid.,h. 165
71
keculi dengan adil. Maka turunlah ayat ini ( ٓ ثبٌمغػ١ِاٛا لٛٔٛا وِٕٛٓ ءا٠ب اٌزٙ٠بأ٠ ) sampai ( ّبٙ ثٌٝٚشا فبهلل أ١ فمٚب أ١ٕىٓ غ٠ ْ) ا. 2. Sedangkan didahulukannya ayat (
ٓ هلل١ِاٛا لٛٔٛ ) وkarena khitâbnya
ditujukan kepada orang-orang beriman secara khusus dan semua manusia secara umum. Karena ayat ini, sebagaimana menurut ijma’ ulama turun di saat haji wada’ dan dia adalah surat yang terakhir turun dari Al-Qur’an. Oleh karena itu Ahli-Makkah termasuk dalam khitâb ayat ini. Dengan demikian ayat ini, sebagai ayat nasehat terhadap umat manusia pada umumnya. Kerena itu didahulukan ( ٓ هلل١ِاٛا لٛٔٛ) و, karena perintah menegakan kebenaran karena Allah adalah bukan hanya tanggung jawab mukhâtab akan tetapi ditujukkan kepada sebagian umat muslim lainya.
59
Sehingga ditafsirkan, bahwa kedua ayat di atas, memerintahkan kepada setiap mu’min berlaku adil, baik terhadap diri sendiri, terhadap kedua orang tua atau kerabat, kaya atau miskin dengan ikhlas karena Allah SWT, karena yang demikian itu lebih mendekati kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Nya karena Dia Maha mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya.
60
Ketujuh : Didahulukan lafazh ( ذا١ٙ () شsaksi ) terhadap ( ُٕى١ثٚ ٕٝ١) ث dalam surat Al-Isra’ / 17 : 96 sementara dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 52 didahulukan 59 60
( ُٕى١ثٚ ٕٝ١ ) ثterhadap (ذا١ٙ) ش.
Ibid., h. 166 Ibid., h. 447-447 dan 494-495
72
Surat Al-Isra’ / 17 : 96 yaitu :
/ شا ( اإلعشاء١شا ثص١ٕىُ أٗ وبْ ثؼجبدٖ خج١ثٚ ٟٕ١ذا ث١ٙ ثبهلل شٝلً وف ) 96 :17 Artinya : “ Katakanlah : " Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu sekalian. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya ". “ ( Al-Isrâ‟ / 17 : 96 ) Sedangkan surat Al-Ankâbut / 29 : 52 mengatakan :
ٓ٠اٌزٚ األسضٚ ادّٛ اٌغٟؼٍُ ِب ف٠ ذا١ٕٙىُ ش١ثٚ ٟٕ١ ثبهلل ثٝلً وف ) 52 :29 / دْٛ ( اٌؼٕىجٌٚئه ُ٘ اٌخبعشٚا ثبهلل أٚوفشٚ ًا ثبٌجبغِٕٛءا Artinya : “Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi. “ ( Al-Ankâbut / 29 : 52 ). Didahulukan ( ذا١ٙ ) شterhadap ( ُٕى١ثٚ ٕٝ١ ) ثdalam ayat 96 surat Al-Isra’/ 17, dan diakhirkan dalam ayat 52 surat Al-Ankâbut / 29, disebabkan : 1. Didahulukan ( ذا١ٙ ) شdalam surat Al-Isra’, karena bila kita amati sikap penolakan kafir Quraisy terhadap Rasululullah SAW sungguh telah sampai kepada puncak keingkarannya. Dibuktikan dengan ayat 90-93 dalam surat Al-Isrâ’ ini, yaitu :
ْ ٌه عٕخٛ رىٚػب * إٔٛج٠ رفغش ٌٕب ِٓ األسضٝا ٌٓ ٔئِٓ ٌه ؽزٌٛلبٚ رغمػ اٌغّبء وّبٚشا * أ١ب رفغٌٙبس خالٙٔػٕت فزفغش األٚ ً١ِٓ ٔخ
73
ِٓ ذ١ْ ٌه ثٛى٠ ٚال * أ١اٌّالئىخ لجٚ ثبهللٟ رؤرٕٚب وغفب أ١ٍصػّذ ػ ٖٕب وزبثب ٔمشإ١ٍ رٕضي ػٝه ؽز١ٌٓ ٔئِٓ ٌشلٚ اٌغّبءٟ فٝ رشلٚصخشف أ ) 93-90 : 17/ ( اإلعشاء Artinya : “Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikatmalaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca " ( Al-Isrâ‟ / 17 : 90-93 ) 2. Diakhirkan ( ذا١ٙ ) شdalam al-Ankabut atau didahulukan ( ُٕى١ثٚ ٕٝ١) ث. Karena ayat ini bercerita tentang pengingkaran kafir Quraisy terhadap Rasul yang masih bersifat umum. Redaksi ayat Al-Ankâbut / 29 : 50-51, itu adalah sebagai berikut :
ش٠أّب أٔب ٔزٚ بد ػٕذ هللا٠٢بد ِٓ سثٗ لً أّب ا٠ٗ ءا١ٍال أٔضي ػٌٛ اٌٛلبٚ رٌه ٌشؽّخُٟ اْ فٙ١ٍ ػٍٝز٠ ه اٌىزبة١ٍُ أٔب أٔضٌٕب ػٙىف٠ ٌُٚٓ* أ١ِج ) 51-50 : 29/ دْٛ ( اٌؼٕىجِٕٛئ٠ َٛ ٌمٜروشٚ Artinya : “ Dan orang-orang kafir Mekah berkata: " Mengapa tidak diturunkan kepadanya mu`jizat-mu`jizat dari Tuhannya?" Katakanlah: " Sesungguhnya mu`jizat-mu`jizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan apakah tidak cukup bagi
74
mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab ( Al Qur'an ) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam ( Al Qur'an ) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. “ ( Al-Ankâbut / 29 : 50-51 ) Dari perbedaan bentuk pengingkaran mereka, maka didahulukan( بدحٙ) اٌش ( saksi ) terhadap ( ٕخ١ () اٌجbukti ). Dan hal ini terbukti bahwa dakwah yang disampaikan oleh para rasul dan keingkaran mereka terhadap dakwah tersebut tidak membuahkan hasil. Karena itu seakan-akan, Rasul berkata : Saya telah menyampaikan dakwah ini kepada mereka, dan engkau, ya Allah telah mengetahui apa yang aku sampaikan “. Hal ini diisyaratkan dengan adanya bukti saksi dengan ayat ( شا١شا ثص١ ( ) أٗ وبْ ثؼجبدٖ خجSesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya ). Dengan alasan demikian, maka didahulukan zharaf ( ُٕى١ثٚ ٕٝ١ ) ثterhadap lafazh ( ذا١ٙ ) شuntuk tujuan takhshis ( pengkhususan ). Karena itu ayat Al-Ankâbut / 29 : 52 ini bertujuan untuk pengkhususan ( األسضٚ ادٚ اٌغّبٝؼٍُ ِب ف٠ ذا١ٕٙىُ ش١ثٚ ٟٕ١ ثبهلل ثٝ) لً وف, takdirnya ( ُشو١ٓ أؽذ غ١ٕىُ أٔزُ ال ث١ثٚ أٔبٕٝ١) ث. Dan kekhususan itu terletak hanya pada ilmu Allah, yaitu ilmu Allah terhadap hamba-Nya. Karena itu didahulukan zharaf untuk tujuan kekhususan ( takhshîsh ).
61
Dan maksud ayat di atas bahwa Allah SWT
memberi pelajaran kepada Nabi SAW tentang hujjah terhadap kaumnya, bahwa
61
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 171-173
75
segala yang disampaikannya itu benar, dan Allah menjadi saksi terhadap Nabi-Nya dan juga terhadap kaumnya.
62
Kedelapan : Berkenaan dengan ( () األوً اٌشغذmemakan banyak dan enak ). Didahulukan lafazh ( ) سغذاterhadap ( ش شئزّب١ ) ؽdalam surat Al-Baqarah / 2 : 35 dan didahulukan ( ُش شئز١ ) ؽterhadap ( ) سغذاdalam Al-Baqarah / 2 : 57. Redaksi ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Surat Al-Baqarah / 2 : 35 :
ال رمشثبٚ ش شئزّب١ب سغذا ؽِٕٙ والٚ عه اٌغٕخٚصٚ بآدَ اعىٓ أٔذ٠ لٍٕبٚ ) 35 : 2 /ٓ ( اٌجمشح١ٌّٔب ِٓ اٌظبٛ٘زٖ اٌشغشح فزى Artinya : “ Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. “ ( Al-Baqarah / 2 : 35 ) Surat Al-Baqarah / 2 : 58 :
ا اٌجبة عغذاٍٛادخٚ ش شئزُ سغذا١ب ؽِٕٙ اٍٛخ فى٠ا ٘زٖ اٌمشٍٛار لٍٕب ادخٚ ) 58 :2 / ٓ ( اٌجمشح١ٕذ اٌّؾغ٠عٕضٚ ُبو٠ا ؽطخ ٔغفش ٌىُ خطبٌٛٛلٚ Artinya : 62
Ibn Katsîr, op.cit. h. 401 dan h. 41
76
“ Dan ( ingatlah ), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini ( Baitul Maqdis ), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik".“ ( Al-Baqarah /2 : 58 ) Apa rahasia taqdîm dan ta‟khîr dari kedua redaksi ayat di atas ?. Rahasianya : ( a ). Didahulukan ( ) سغذاterhadap ( ش شئزّب١) ؽ, karena khitâb Allah itu ditujukan terhadap Nabi Adam As dan Siti Hawa’ agar masuk surga dan memakan makanan di dalamnya dengan suka hati dan banyak. Karena itu didahulukan raghadan ( banyak dan enak ) yang dimaksudkan adalah makanan, karena didulukannya makanan itu lebih penting bagi keduanya. Sedangkan makna yang terkandung dalam ( ش شئزّب١ؽ
), bahwa Adam dan Hawa’ di dalam surga berada
dalam keadaan tenteram dan damai tidak ada tekanan dan ganngguan apapun. ( b ). Sedangkan didahulukan ( ُش شئز١) ؽ, karena khitâb Allah itu ditujukan kepada Bani Isrâil ketika memasuki kota Ariha dan di dalamnya terdapat banyak penduduk, maka mendahulukan lafazh tersebut lebih penting. Sedangkan makna kalimat ( ُش شئز١ؽ
), adalah bahwa suatu tempat ( kota besar ), jika banyak
penduduknya tentu tidak nyaman, karena di dalamnya kurang ketentraman dan dibutuhkan usaha keras untuk mencari rejeki dan juga sebagai tempat tinggal yang layak. Maka mendahulukan ( ُش شئز١ ) ؽlebih penting bagi mereka.
63
Tafsir ayat
Al-Baqarah / 2 : 35 adalah bahwa Allah SWT memuliakan Adam AS, kemudian 63
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit.,h . 188
77
Allah SWT memerintakan kepada para Malaikat bersujud kepadanya, kemudian mereka bersujud kecuali Iblîs, dan Allah SWT memberikan kebebasan memakan sesukanya
( ragadan ), kemudian Allah SWT menguji Adam dan istrinya dengan
perintah menjauhkan pohon larangan, namun dengan godaan syaithan akhirnya keduanya melanggar larangan Allah, karena itu Allah menyuruh mereka keluar dari surga tersebut hingga datangnya waktu kiamat. Sedangkan dalam ayat Al-Baqarah / 2 : 58, perintah Allah ditujukan kepada Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdîs setelah menaklukan orang-orang kafir. Mereka diperintahkan memasuki kota itu dengan menundukan kepala ( sujûd ), kemudian bersyukur dan beristigfar kepada Allah, lalu Allah menambahkan nikmat-Nya.
64
Kesembilan : Tentang syafâ‟at dan keadilan ( اٌؼذاٌخٚ ) اٌشفبػخ. Terdapat dua redaksi yang sama tetapi kata “ syafâ‟ah “ didahulukan dalam suatu ayat dan diakhirkan dalam ayat yang lain. Yaitu : ( a ). Surat Al-Baqarah / 2 : 48 berbuyi :
ئخز٠ الٚ ب شفبػخِٕٙ ًمج٠ الٚ ئب١ ٔفظ ػٓ ٔفظ شِٞب ال رغضٛ٠ اٛارمٚ ) 48 :2 / ْ ( اٌجمشحٕٚصش٠ ُ٘ الٚ ب ػذيِٕٙ Artinya : “ Dan jagalah dirimu dari ( `azab ) hari ( kiamat, yang pada hari itu ) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan ( begitu pula ) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 48 ) 64
Ibn Katsîr, op.cit., h.54-55, dan 68
78
( b ). Terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 : 123 berbuyi :
بٙال رٕفؼٚ ب ػذيِٕٙ ًمج٠ الٚ ئب١ ٔفظ ػٓ ٔفظ شِٞب ال رغضٛ٠ اٛارمٚ ) 123 : 2 / ْ ( اٌجمشحٕٚصش٠ ُ٘ الٚ شفبػخ Artinya : “ Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa`at sesuatu syafa`at kepadanya dan tidak ( pula ) mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 123 ) Dalam kedua redaksi ayat di atas terdapat perbedaan yang nyata : ( 1 ). Dalam ayat pertama, Al-Baqarah / 2 : 48, didahulukan lafazh ( ) اٌشفبػخ terhadap ( ) اٌؼذيsedangkan lafazh ( ) اٌشفبػخmenjadi nâib-fâ‟il dari fi‟il yang manfi ( ًمج٠ ) الdan lafazh ( ) اٌؼذيmenjadi nâib fâ‟il dari fi‟il ( ئخذ٠ ) ال. ( 2 ). Dalam ayat kedua , Al-Baqarah / 2 : 123, didahulukan lafazh ( ) اٌؼذي terhadap ( ) اٌشفبػخ, sedangkan lafazh ( ) اٌؼذيmenjadi nâib-fâ‟il dari fi‟il yang manfi ( ًمج٠) ال, sebagaimana lafazh ( ) ا ٌشفبػخmenjadi nâib-fi‟il dalam ayat pertama. ( 3 ). Lafazh ( ) اٌشفبػخdiakhirkan dalam ayat kedua, dengan berganti fi‟il yang menjadi musnad ( predikat ) lafazh ( ) اٌؼذيdalam ayat pertama, yaitu fi‟il ( ئخز٠) ال, ketika diakhirkan. Abdul Azhîm Muth’inî memberikan penjelasan tentang kedua redaksi ayat di atas, sebagai berikut :
79
( 1 ). Kembalinya dlamîr dalam ayat pertama ( ب شفبػخِٕٙ ًمج٠ الٚ ) tentu kepada jiwa ( nafs ) karena ayat ini berbicara tentang mereka yang tidak bisa memberikan pertolongan kepada orang lain, juga tidak diterima syafa’at dan juga tebusan. Karena itu jika kembalinya dhamîr ( بِٕٙ ) dalam ayat di atas bukan kepada jiwa ) orang yang berbuat dosa ), maka redaksi ayat seharusnya seperti ini ( ًمج٠ الٚ
ب شفبػخٙ١) ف. Jika kembalinya dhamir pertama kepada nafs ( orang yang berbuat dosa yang tidak bisa memberi pertolongan ), maka kembalinya dhamir dalam ( ئخز٠ الٚ
ب ػذيِٕٙ ) kepada jiwa juga. Dengan demikian ayat Al-Baqarah / 2 : 48, mempunyai makna bahwa seorang mu’min tidak bisa memberikan pertolongan kepada orang lain, dan yang mendapatkan syafa’at tidak dapat memberikan syafa’at kepada orang lain, atau pemberian syafa’atnya itu ditolak. Jika dimintakan ganti dari syafa’at kepada tebusan, maka tebusan itu juga ditolak. Ayat Al-Baqarah / 2 : 123 menjelaskan, bahwa di akhirat itu semua hubungan kehidupan sosial terputus ( baik kepada kedua orang tua, anak, saudara, ataupun istri ). Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat An-Najm / 53 : 39 yaitu :
) 39 :53 / ُ ( إٌغٝظ ٌإلٔغبْ اال ِب عؼ١ٌ ْأٚ “ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. “ ( An-Najm / 53 : 39 ) Dengan demikian jelas kembalinya dlamîr kepada ayat-ayat ( ٜ) ال رغض, ( ال
ًمج٠ ), ( ئخز٠ الٚ ).
80
( 2 ). Sedangkan dlamîr dalam ayat kedua ( Al-Baqarah / 2 : 123 ), hanya kembali kepada jiwa orang kedua yang berbuat maksiat. Dengan maksud bahwa orang-orang yang berbuat maksiat pada hari kiamat tidak bisa digantikan sedikitpun, meskipun itu mempunyai hubungan kekeluargaan. Dan apabila ia ingin menggantikan tebusan maka tebusan itu tidak diterima, dan apabila memberikan syafa’at kepada orang lain, maka tidak bermanfa’at. Sedangkan mendahulukan ( ) اٌشفبػخdalam ayat pertama dan mengakhirkan dalam ayat kedua, juga mengakhirkan ( ) ػذيdalam ayat pertama dan mendahulukannya dalam ayat kedua, adalah bertujuan untuk meniadakan harapan ( raja‟ ), terhadap jiwa seseorang di hari Kiamat, dan menyatakan penolakan terhadap Bani Israil meskipun bapak-bapak mereka adalah para nabi, sehingga mereka mengira akan mendapatkan syafa’at dari bapak-bapak mereka di hari Kiamat.
65
Demikianlah
maksud taqdîm dan ta‟khîr dalam ayat di atas. Kesepuluh : Tentang ( ) اٌٍؼتdan ( ٌٍٛٙ ) اyaitu main-main dan senda gurau. Dalam hal ini terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an, didahulukannya
( ) اٌٍؼت
terhadap ( ٌٍٛٙ) ا. Yaitu : 1. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 32, bunyi ayat :
*ٍْْٛ أفال رؼمٛزم٠ ٓ٠ش ٌٍز١خشح خ٢ٌٍذاس اٚ ٌٛٙٚ ب اال ٌؼت١ٔبح اٌذ١ِب اٌؾٚ ) 32 : 6/ َ( األٔؼب 65
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 189-194
81
Artinya : “ Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ? “ ( Al-An‟âm / 6 : 32 ).
2. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 70, bunyi ayat :
) 70 :6 / َب ( األٔؼب١ٔبح اٌذ١ُ اٌؾٙغشرٚ اٌٛٙٚ ُ ٌؼجبٕٙ٠ا دٚٓ ارخز٠رس اٌزٚ “ Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. “ ( Al-An‟âm / 6 : 70 ) 3. Dalam surat Muhamad / 47 :36 :
ُغؤٌى٠ الٚ ُسوٛئرىُ أع٠ اٛرزمٚ إِٛاْ رئٚ ٌٛٙٚ ب ٌؼت١ٔبح اٌذ١أّب اٌؾ ) 36 : 47/ اٌىُ* ( ِؾّذِٛأ Artinya : “ Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.“ ( Muhamad / 47: 36 ) 4. Dalam surat Al-Hadâd / 57 : 20
ايِٛ األٟرىبصش فٚ ُٕى١رفبخش ثٚ ٕخ٠صٚ ٌٛٙٚ ب ٌؼت١ٔبح اٌذ١ا أّٔب اٌؾٍّٛاػ ) 20 :57 / ذ٠الد ( اٌؾذٚاألٚ Artinya : “ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. “ ( Al-Hadîd / 57 : 20 ).
82
Kemudian didahulukannya ( ٌٍٛٙ () اsenda gurau ) terhadap ( اٌٍؼت
)
( permainan ), terdapat dalam dua tempat, yaitu : 1. Dalam surat Al-A’râf / 7 : 51 Yaitu :
اَٛ ٕٔغبُ٘ وّب ٔغٛ١ٌب فب١ٔبح اٌذ١ُ اٌؾٙغشرٚ ٌؼجبٚ اٌٛٙ ُٕٙ٠ا دٚٓ ارخز٠اٌز ) 51 :7 /ْ ( األػشافٚغؾذ٠ برٕب٠ا ثآِٛٔب وبٚ ُ ٘زاِٙٛ٠ ٌمبء Artinya : “ ( Yaitu ) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai senda gurau dan main-main, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. “ ( Al-A‟râf / 7 : 51 ). 2. Dalam surat Al-Angkabut / 29 : 64 yaitu :
اٛٔ وبٌٛ ْاٛ١ اٌؾٌٟٙ خشح٢اْ اٌذاس اٚ ٌؼتٚ ٌٛٙ ب اال١ٔبح اٌذ١ِب ٘زٖ اٌؾٚ ) 64 :29 /دْٛ * ( اٌؼٕىجٍّٛؼ٠ Artinya : “ Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. “ ( Al-Ankabût / 29 : 64 ) Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) menyebutkan, bahwa alasan didahulukan lafazh ( ) اٌٍؼتterhadap lafazh ( ٌٍٛٙ ) اdalam beberapa ayat di atas, karena ( ) اٌٍؼت ( permainan ) itu banyak dilakukan ketika masa kanak-kanak ( shiba’ ). Sedangkan ( ٌٍٛٙ ( ) اsenda-gurau ) sering terjadi di masa dewasa ( syabbab ). Waktu sibâ’ lebih
83
dahulu datangnya dari pada masa syabab. Sedangkan alasan mendahulukan ( ٌٍٛٙ) ا terhadap ( ) اٌٍؼت, dalam surat Al-A’râf menurut beliau, karena senda gurau akan berakhir setelah datangnya hari Kiamat dan juga dimulai dengan dua masa tadi, yaitu masa shibâ’ dan masa shabab. Dan dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 64 didahulukan ( ٌٍٛٙ) ا, karena masa-masa syabab ( muda ) lebih banyak senda-guaru dibanding pada masa shibâ’. Dan didahulukan (ٌٍٛٙ ) اdimaksudkan juga, untuk memberi isyarat bahwa kehidupan di dunia lebih cepat dan tidak kekal ( fana’ ) dibanding dengan kehidupan akhirat. Demikian menurut Az-Zarkasyi dalam kitab al-burhân sebagaimana diungkap oleh Abdul Azhîm Muth’inî dalam kitabnya.
66
D. Analisis tentang taqdîm dan ta’khîr. Setelah melalui proses panjang pembahasan tentang taqdîm dan ta‟khîr ini, penulis baru bisa menganalisis tentang terjadinya perubahan-perubahan redaksi dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan bacaan umat Islam dan menjadi pedoman hidup. Untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an tersebut dengan benar tentu kita harus memahami jalan atau cara untuk mencapai tujuan tersebut, tentu dalam hal ini berkenaan dengan beberapa syarat serta kaidah yang diperlukan bagi seorang mufassir. Karena itu proses pencapaian tujuan tersebut memerlukan pemahaman kajian ilmu-ilmu bahasa ( nahwu-sharf, balaghah dan sastra, ) dan ilmu-ilmu lainya
66
Ibid., h. 194 –195,
84
yang mendukungnya, seperti ; ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mantiq, nasikh-mansukh, asbab nuzul, serta qirâ‟at yang keseluhannya merupakan sumber-sumber utama dalam kajian Al-Qur’an. Sedangkan kajian taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu dari sekian banyak cara untuk memahami isi dan rahasia kandungan Al-Qur’an. Dan bila dilihat dari definisinya, sebagaimana dibahas dalam bab II taqdîm dan ta‟khîr itu merupakan kaidah dasar ilmu bahasa, sebagaimana dipahami dalam pandangan ulama nahwu, ulama balaghah serta ulama lainnya. Menurut ulama nahwu, sebagaimana diungkap oleh Mushtafah al-Ghalayini, bahwa taqdîm dan ta‟khîr adalah mendahulukan kedudukan mubtada‟ sebagai muhkûm alaih ( subjek ) dan mengakhirkan khabar sebagai mahkûm bih ( predikat ) dan kedua bentuk tersebut terkadang didahulukan atau diakhirkan sesuai kehendak pembicara. Sedangkan menurut yang lain, seperti ulama balaghah dan tafsîr misalnya, az-Zarkasyi ( w. 794 H ), bahwa taqdîm dan ta‟khîr merupakan gaya bahasa ( uslub ) balaghah, yang lebih mementingkan pemakaian kata-kata atau kalimat sehingga menjadi susunan kalimat yang indah dan menarik. Di anrata taqdîm dan ta‟khîr ini, seperti mendahulukan khabar terhadap mubtada’ dan sebaliknya, mendahulukan musnad ilaih terhadap musnad. Kemudian berkembang pemahamannya sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan., seperti taqdîm dan ta‟khîr dalam balaghah dan sastra umpamanya mendahulukan dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain untuk mengkhsuskan ( takhshîsh ), penyesuaian konteks ( siyaqul kalâm ), menjaga akhir kalimat ( murâ‟atul fawâshil ), dengan macam bentuk-bentuk taqdîm dan ta‟khîr dalam al-Qur’an. Juga metode ini
85
berkembang dimulai dari ulama balaghah yang dipelopori oleh Abdul Qâhir AlJurjâni ( w. 471 H ), dan Khatîb Al-Qazwaini ( w. 379 H ), kemudian dikembangkan lagi oleh ulama tafsir dan ulama-ulama lainnya, seperti ; Ibnu Shâ’ig dan diterusakan oleh As-Suyûti ( w. 911 H ), Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) dan ulama-ulama tafsir lainnya, seperti Abu Su’ûd dan al-Zamakhsyari dan sebagainya. Dan dari perbedaan macam bentuk taqdîm dan ta‟khîr serta metode yang dikembangkan masing-masing ulama, mereka tidak bergeser dari unsur-unsur berikut ini : a. Hakikat taqdîm dan ta‟khîr b. Urgensi taqdîm dan ta‟khîr serta macam-macam dan bentuknya. Dari urgensi ( tujuan ) taqdim menurut ulama balaghah di atas terdapat tujuan secara khusus dan juga secara umum. Tujuan secara khusus, seperti untuk tujuan takhsis, dan sebagainya dan tujuan secara umum seperti untuk ihtimâm terhadap yang didahulukan ( bil muqadam ) dan sebagainya. Macam-macam taqdîm juga terdapat pembagian dan bentuknya, seperti ; mendahulukan dengan niat untuk mengakhirkan, seperti ; mendahulukan khabar terhadap mubtada’, mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟ilnya. Macam taqdim yang lain, seperti mendahulukan tidak bertujuan ta‟khîr, seperti mendahulukan mubtada‟ terhadap khabar, mendahulukan fâ‟il terhadap fi‟ilnya dan sebagainya. Menurut pandangan ulama bahasa, dalam taqdîm dan ta‟khir terdapat banyak perbedaan pendapat, seperti pendapat ulama Bashrah dan Kufah dalam ilmu nahwu dan sharf, mereka masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat sebagaimana diungkap dalam pembahasan bab III. Dengan demikian taqdîm dan ta‟khîr bukan saja
86
ilmu yang tersusun dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga seni bahasa dalam rangka menyusun bentuk kalimat yang indah yang tidak terikat dengan kaidah-kaidah tertentu yang telah dikembangkan oleh ulama balaghah dan ulama-ulama lainnya. Sehingga dengan berkembangnya pemahaman luas tentang taqdîm dan ta‟khîr terdapat juga bentuk taqdîm dan ta‟khîr secara istilah dan juga secara bukan istilah. Taqdîm dan ta‟khîr semacam ini, dikenal dengan istilah ulama balaghah, ulama sastra dan juga ulama tafsir, dengan bentuk taqdîm dalam suatu ayat dan takhîr dalam ayat yang lain. Ini banyak dicontohkan dalam Al-Qur’an dengan taqdîm bukan istilah ( taqdîm gharu istilahi ). Demikian taqdîm dan ta‟khîr dalam alQur’an. *
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karîm Abdul Bâqi, Muhamad Fuâd, Al-Mu‟jam Al-Mufahrâs Li Al-Fâzh Al-Qur‟ân AlKarîm, Kairo : Dar Al-Hadîts, 1411 H / 1991 M, Cet. Ke-3 Akhdhori, Imâm, Ilmu Balâghah ( al-Ma’ni, Bayn, Badî’ ) ( terj. ), Jauhar AlMaknûn, Bandung : PT. Al-Ma’ârif, 1982 M, Cet. Ke-6 Al-Baili, Ahmad, Al-Ikhtilaf Baina Al-Qirâ‟at, Bairut : Dârul Jail, 1408 H / 1988 M, et. Cet. Ke-1
87
Anbâri, Abdullah, Al-, ( w. 577 H ), Al-Inshâf Fi Masâ‟il al-Khilâf Baina alNahwiyîn Al-Bashrîyîn Wa Al-Kûfîyyîn, Beirut : Dar Al-Kutûb AlIlmiyah, 1418 H / 1998 M, Jilid ke-1, Cet. Ke- 1 Athief Zein, Sâmih, Majma‟ Al-Bayân Al-Hadîts ( Tafsir Mufradât Li Al-Alfâzd AlQur’an Al-Karîm ), Beirut : Maktabah Al-Kitab Al-Lubnâni, 1404 H / 1984 M, cet. Ke-2. ……………….., Ushûl al-Fiqh Al-Muyassar Al-Muqadimah Li Al-Maushu‟ah AlAhkâm As-Syar‟iyah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, Beirut : Dar Al-Kitab Al-Lubnani, 1410 H / 1990 M, cet. Ke- 1 Baidhâwi, Nashiruddîn, Tafsir Al-Baidhâwi ( Anwar al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta‟wîl ), Beirut : Dar-Kutûb Ilmiyah, 1416 H / 1996M Cowan, J. Milton, Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟ashirah ( Dictionary of Modern Written Arabic, Hans Wehr ( Arabic-English ), Beirut : Maktabah Lubnan, 1974, cet. Ke-3 Dayyab, Hifni Bek, ( ed. ), Kaidah Tata Bahasa Arab terjemahan Prof. Dr. Chatîbul Umam et.al, Jakarta : Darul Ulum Press, t.th, cet. Ke-3 Echols, M. John, ( et.al ), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976, cet. Ke- 23 Ghalâyini, Syeikh Mushthafa, Al-, Jâmi‟ud Durûs Al-Arabiyah, Beirut : Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1441 H / 1991 M Jilid 1, cet. Ke-23 Hasan, Abbâs, An-Nahwu Al-Wâfi‟, Kairo : Dar- Al-Ma’ârif, t.th, cet. Ke- 11
88
Hâsyimi, Sayyid Ahmad, Al-, Jawâhir Al-Adab Fî Adabiyat Wa Insya‟ Lughatul Arab, Kairo : Maktabah As-Tsaqâfah Ad-Diniyah, 13 89 H / 1969 M, Jilid ke-1, cet. Ke- 27 Ibn Aqîl, Jamâluddin, Syarkh Ibn Aqîl, ( tahqiq HA. Fahuri ), Beirut : Dar Al-Jeil t.th, cet. ke-1 Ibn Katsîr, Mukhtasyar Ibn Katsîr, ( Tahqiq : Muhamad Ali Shâbuni ), Kairo : Dar As-Shâbuni, t.th Ismâil, Sya’bân Muhamad, Dr., Al-Qirâ‟at Ahkâmuha Wa Mashdaruha , Kairo : Darussalâm Li al-Thibâ’ah Wa Nasr Wa Al-Tawzi’, 1406 H / 1986 M Jârim, Ali, Al-, dan Mustafa Amîn, Al-Balâghah Al-Wadhihah ( terj. ) Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994, cet. Ke-1 Jurjâni, Abdul Qâhir Al-, Dala‟il I‟jâz, Beirut : Dar-Al-Kutub al-Ilmiyah, t.th, Jurjâni, Muhamad Al-, ( w. 471 H ), Kitab Asrârul Balâghah, Kairo : Mathba’ah AlMadani, 1412 H / 1991 M, cet. Ke-1 Khifnî, Abdul Mun’im Al, Dr. , Kitab At-Ta‟rifat, Kairo : Dar Al-Rasyad, 1991 Ma’luf, Louis, Al-Munjîd, Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986, cet. Ke-4 Muhamad, Ahamad Sa’at, Al-Ushûl Al-Balâghiyah Fî Kitab Sibaweih, Kairo : Maktabah Adab, 1419 H / 1999 M, cet. Ke-1 Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997
89
Mutawalli, Abdul Hamîd Mahmûd, Al-Mustanîr Fî Ulûmil Qur‟an, Kairo : Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafa AlBâbili Al-Halabi Wa Awlâduhu, 1411 H / 1991, cet. Ke-1 Muth’inî, Abdul Azhîm bin Ibrâhim Al-, Khasa‟is At-Ta‟bir Al-Qur‟ani Wa Simatuhu Al-Balâghiyah, Kairo : Maktabah Wahbah, 1413 H / 1992, Jilid ke-2 Qâbil Nasr, Athiah, Al-Qabsul Jâmi‟ Li Qira‟ati Nafi‟ Min Tharîq Al-Syâtibiyah, Kairo : t.t : 1415 H / 1994 M, Cet. Ke-1 Qattân, Manna’ Khalîl, Al-, Nuzul Al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahrufin, Kairo : Maktabah Wahbah, 1411 H / 1991 M, Cet. Ke-1 ………………….…, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, ( terj. ), Drs. Muzakir As, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996 M, cet. Ke-3 Qazwaini, Khatîb, Al-, Al-Idhâh Fî Ulûmi al-Balâghah, Beirut : Dar Al-Kutub AlIlmiyah, t.th Sakkaki, Al-, Miftâhul Ulûm, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1403 H / 1993 Sibawaih, Abu Basyar bin Usman bin Qanbar, ( tahqiq : Abdul Salam Muhamad Harun, Kitab Sibawaih, Beirut : Dar Al-Jeil, t.th, Jilid ke-1, cet. Ke- 1 Suyuti, Imâm Jalâluddin, Al-, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, Beirut : Dar Al-Fikr, 14 16 H / 1996, cet . ke-1 ……………………….., Ad-Dûr Mantsûr Fî Tafsîr Bil Ma‟tsûr, Beirut : Dar AlKutub Ilmiyah, 1421 H / 2000 M, Jilid ke-3, Cet. Ke-1 Shihâb, Quraish, Dr. , Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 1992, cet. Ke- 2
90
Syeikhûn, Muhamad, Dirâsat Fî Al-Lughah Al-Arabiyah Wa Adâbuha, Kairo : Dirasat Al-Islamiyah Wa Al-Arabiyah, 1417 H / 1996 Zamakhsyari, Abu Qâshim Mahmûd bin Umar, Al-, Asas al-Balâghah, Beirut : Dar Al-Fikr, 1409 H / 1989 M …………., Al-Kasyâf „An Haqâ‟iq Ghawâmidh At-Tanzil Wa Uyun Al-Aqâwil Fî Wujûh At-Ta‟wil, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M, cet. 1 Zarkasyi, Imam Badrudin bin Muhamad Abdullah, Al-, Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, Kairo : Tabâ’ah Al-Halabi, 1973 Zarqâni, Syeikh Muhamad Abdul Azhîm, Al-, Manâhil Irfân Fi Ulûmil Qur‟an, Kairo: Maktabah Al-Halabi, t.th ***
91
RIWAYAT HIDUP PENULIS Hasbullah Diman, lahir di Jakarta, 5 Juni 1968 dari pasangan Bapak H. Diman ( Jakarta ) dan Hj. Asmanih ( Jakarta ) kedua sudah Al-Marhum dan Al-Marhumah. Dengan Pendidikan Dasar SDN 07 Pulo Gebang Jakarta Timur ( 1981 ), dan SMP Negeri 138 Cakung Jakarta-Timur ( 1983 ), KMI Pondok Moden Gontor Ponorogo, Jawa-Timur ( 1990 ). Menyelesaikan Sarjana ( S1 ) di Al-Azhar University, jurusan Studi Islam dan Bahasa Arab, Cairo-Mesir ( 1999 ). Dan pernah mengecap pendidikan SMA AsSyafi’iyah, Jatiwaringin hanya satu tahun, kemudian pindah ke Pesantren Gontor hingga selesai. Pernah menjadi staff pengajar di KMI Pondok Modern Arisalah, Bakalan, Ponorogo ( 1990 ), pengajar di KMI Majlis Qurra’ Wal Huffadz Tuju-tuju-
92
Kajuara-Bone, Sulawesi-Selatan ( 1991 ), sebelum menyelesaikan ( S1 ) di Al-Azhar, Kairo-Mesir. Dan tahun 2000 melanjutkan ( S2 ) di Pascasarjana UIN ( Syarif Hidayatullah ), Jakarta, jurusan Tafsir-Hadits ( 2000- 2004 ) dengan tesis “ Taqdîm dan Ta‟khîr Dalam Al-Qur‟an “ ( Analisis Kebahasaan dengan Tafsir Terhadap AyatAyatnya ), sampai pada hari disidangkannya. Dan kegiatan sehari-hari menjadi staf pengajar di Ma’had Da’wah dan Ilmu Pengetahuan Islam, Al-Husnayain, Bekasi. Dan tinggal di Jakarta-Timur bersama Istri tercinta Hj. Barkah dan kedua-anak, Asyrof Arobi ( 5,1 tahun ) dan Sofwatun Nada’ ( 2,10 tahun ). Dan didampingi oleh seorang ibunda mertua tercinta. ***
93