Tantangan Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air Berkelanjutan Menghadapi Perubahan Iklim Ikhwal Urban Metropolitan Jakarta Prof.Dr. Ir. Arwin Sabar, MS 1,2) Nicco Plamonia ST, MT 3) Ketua Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan1) Staf Ahli Sumber Air & Manajemen Air Ikatan Ahli Teknik Penyehatan & Lingkungan Indonesia2) Lulusan S2 Program Studi Teknik Lingkungan 3) Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No. 10 Bandung Telepon (022) 2502647 E-mail :
[email protected] 1) Abstrak Sumber daya air adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui melalui siklus hidrologi, yang dipengaruhi oleh perubahan iklim dan konversi lahan, membentuk rezim hidrologi tercatat di data historikal Hidrologi dimana komponennya berkarakter acak dan stokastik, sedangkan pembuangan air dari daratan laut tergantung pasut, merupakan fenomena deterministik. Iklim menpengaruhi keberlanjutan sumber air (water sustainability ) keacakan karakter komponen utama Hidrologi(P,Q) , m para ahli manajemen air merespon pengendalian air dalam dua langkah utama, yaitu langkah pertama adaptasi dan langkah kedua mitigasi. Adaptasi berkaitan dengan keacakan hujan & debit air , sehingga para ahli manajemen air mengembangkan konsep debit rencana banjir/kekeringan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air (drainase, infrastruktur air minum dan pengelolaan waduk multiguna) dan obyektif pembangunan infrastruktur SDA agar berkelanjutan dalam ruang dan waktu. Sedangkan mitigasi adalah upaya mempertahan keberlanjutan sumber air di daerah aliran sungai, bentuk konkrit upaya pengendalian air Mitigasi secara indirect yakni menerbitkan peraturan/UU pengendalian limpasan/pencemaran air dan secara direct yakni berupa insentif & disinsentif(pinalti & denda). Dari analisa time series hujan (P), debit air (Q) di zona iklim tipe monsoon, dan muka air laut di teluk Jakarta, ditemukan hujan semakin ekstrim,terjadi kenaikan muka air laut diperburuk eksploitasi air tanah & konversi lahan urbanized Land Cover di hulu ( real estate ) dan hilir sungai( reklamasi ), sehingga infrastruktur sumber daya air semakin terancam fungsi utilitasnya, dampaknya semakin meluasnya genangan banjir dipesisir dan lebih lama. Fenomena terjadi degradasi infrastruktur sumber daya air terutama ditemukan di urban Metropolitan : Jakarta , Bandung dan Semarang. Mengatasi pengaruh perubahan iklim terhadap degradasi infrastruktur sumber daya air dengan pendekatan “ Drainase Eco Friendly” , penghentian eksploitasi air tanah & subsitusi dengan air permukaan . Dstnya semakin pentingnya pelaksanaan pengendalian air secara mitigasi (indirect dan direct) dalam rangka terselenggaranya keberkelanjutan infrastruktur sumber daya air dan juga perlu dilaksanakan pengendalian air terpadu, baik secara kuratif maupun preventif. Kata Kunci: Perubahan iklim, debit rencana banjir/kering, infrastruktur sumber daya air, turunnya muka tanah, konversi lahan, genangan air, preventif & kuratif. I.
Pendahuluan Laju kawasan terbangun di DKI Jakarta begitu pesat, sebagai pusat pemerintahan ditransformasi
menjadi kota jasa Jakarta telah mengalami deformasi dari tahun ke tahun dan berkembang ke 4 (empat) arah penjuru , yakni berkembang ke arah barat (Tangerang), timur (Bekasi), selatan (Bopuncur) dan utara reklamasi Pantura Jakarta, yang membentuk Megapolitan Jakarta. Hal ini terlihat pada Gambar 1.1.
Seminar Nasional : Tantangan Pembangunan Berkelanjutan & Perubahan Iklim di Indonesia USU – BLH Sumut , Medan 2 Juni 2012
Konversi lahan di kawasan DAS hulu berupa perambahan hutan yang menjadi lahan budidaya dan permukiman mengakibatkan ekstrimitas debit air yang memperparah ancaman banjir & kekeringan di kawasan pesisir (Gambar 1.2). Dengan menggunakan pendekatan hidrologi statistik, perambahan fungsi hutan dan konversi lahan budidaya menjadi lahan terbangun dapat dilakukan kajian lebih lanjut. Sebagai input data hidrologi adalah arsip data hujan (P) dan debit (Q) dan output degradasi fungsi hidrologis lahan dinyatakan dengan degragasi debit rencana banjir/kekringan, sedangkan laju perubahan konversi lahan pemetaan akan menggunakan citra satelit.
Gamb 1.1 Perkembangan Tata Ruang Jakarta (1972-2005) Kota Metropolitan (Jakarta, Semarang dan Bandung) yang memiliki tingkat populasi di atas 1(satu) juta jiwa dan mobilitas yang tinggi. Secara geografis terletak pada Siklus Hidrologi hujan zona tipe Monsoon, dimana curah hujan terpusat pada musim monsoon barat sedangkan curah hujan ratarata pada monsoon timur relatif di bawah 100 mm/bulan. Pengaruh perubahan iklim terhadap hujan, konversi lahan mewarnai perubahan
watak aliran air
menuju ekstrim
(Q), hal ini mengancam
infrastruktur sumber daya air (Gambar 1.2 Banjir Jakarta 2002, Bencana Situ Gintung 2009). Polemik tentang banjir dan reklamasi Pantura di pesisir Jakarta terjadi pada masyarakat luas/akademik: Pernyataan Kementrian KLH “Penataan ruang berbasis permintaan pasar mengancam keberlanjutan sumber air” (Kuliah
Studium Generale
di ITB ,2003), Pernyataan Menteri
KIMPRASWIL “Reklamasi menyebabkan pembuangan air dari darat ke laut semakin sulit,”. (Kompas, 2003) dan pernyataan Dirjen CK Kementrian PU Budi Yuwono (capita selekta Infrastruktur FTSL-ITB ,2012).: kebijakan masa lampau membuang air secepat ke sungai & laut berpengaruh semakin parahnya muka air tanah di Metropolitan Indonesia . Ditambah dengan adanya fakta kerusakan lingkungan di Pesisir Pantura Jakarta yang semakin parah : meluasnya banjir, rob, turunnya muka tanah dan fenomena amblesnya Jalan Martadinata Jakarta.
Gamb 1.2. Degradasi infrastruktur sumber daya air Dari overlay peta upaya pemberdayaan lahan di pesisir pantai utara Jakarta, diketahui bahwa laju penambahan daratan di pantura Jakarta antara tahun 2003 – 2007 bertambah 458,6 Ha dan rencana Reklamasi Pantura RTRW 2015 dengan luas total reklamasi 2700 ha lebar 2-2,5 km ke arah laut Naiknya muka laut rata-rata dipengaruhi oleh perubahan iklim akibat fenomena pemanasan global yang memberikan dampak cukup serius bagi iklim dunia. Salah satu dari dampak pemanasan global adalah mencairnya lempeng es di Antartika, Greenland dan gletser di benua. Pencairan es ini menyebabkan kenaikan muka laut. Peningkatan muka laut (sea level rise/SLR) di Teluk Jakarta diketahui sebesar 0,575 cm/thn. semakin ekstrimnya debit air
dari hulu sungai –sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
pengaruh perubahan iklim terhadap intensitas hujan ,Kurva banjir dari hulu sungai dan naiknya muka air laut dan diperburuk dengan subsidence muka tanah ( Gambar 1.3) dan diperburuk konversi lahan dari forested land cover ke urbanized land cover , pemberdayaan lahan pesisir Jakarta 1991, 2003, 2007, 2010 dan konversi lahan di hulu Sungai
, maka ancaman banjir semakin meluas di Jakarta (lihat
Gambar 1.4). dan fenomena memoire hujan berurutan 5 hari (Arwin, Kompas 11 Febuari 2002 Subsisdence Des 2002 Sept 05
Subsidence ,1982‐1997 Land Subsidence from Leveling, 1982
- 1997
g n i h t r o N
JAKARTA
Easting
-0.3 m -0.8 m -1 m -2 m -2 m Hasanuddin Z. Abidin, 2001
Hasanuddin Z. Abidin, 2001
Gamb 1.3 Land Subsidence from leveling di Pantura Jakarta (Hasnuddin Z. Abidin, 2006)
Ilustrasi pengaruh bencana banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2002 : sempat mengganggu jalannya roda perekonomian, antara lain dalam bentuk kemacetan di jalan-jalan (termasuk jalan bebas hambatan/TOL), rusaknya prasarana wilayah, terhambatnya pasokan bahan mentah serta padamnya aliran listrik dan jaringan telepon di berbagai lokasi genangan air. Bahkan di Jakarta, tidak kurang dari 7 ribu satuan sambungan telepon mengalami gangguan serta PLN terpaksa menghentikan pengoperasian PLTU Muara Karang, juga pemadaman pada 1570 gardu listrik di berbagai Lokasi (Kwie Kian Gie, 2002). Apabila muka laut terus naik, hujan semakin ekstrim akibat perubahan iklim, laju reklamasi pantai terus berjalan, eksploitasi air tanah terus berlangsung dan konversi lahan berjalan terus di hulu sungai–sungai bermuara di Teluk Jakarta, maka semua hal tersebut akan mengancam kawasan pesisir lama Jakarta: rentan terhadap banjir pada musim ekstrim basah dan rob pada musim kemarau, pada pasut tinggi di Teluk Jakarta menyebabkan degradasi fungsi utilitas infrastuktur sumber daya air (sistem drainase makro/mikro) di Pantura jakarta dan diprediksi akan tenggelam dalam 2 dekade mendatang.
Gamb 1.4 Genangan Banjir 1996 ,2002
Gamb 1.5.Fenomena Genangan Banjir di Jakarta 2002,2007 ,2010 (Nicco Plamonia,2010)
Pengaruh perubahan iklim terhadap degradasi infrastruktur Sumber daya air diteliti dari data historikal pos hujan(P) , debit air (Q) di DAS Ciliwung dan Sea water level diteluk Jakarta
dstnya
melakukan simulasi rambatan banjir dengan menggunakan data Banjir Jakarta 2007 dengan beberapa skenario simulasi rambatan banjir ,guna membandingkan
pengaruh iklim naiknya muka air laut dan
urbanized land cover di Hilir Pantura Jakarta
II. Metodologi Penelitian 2.1. Lokasi Penelitian Kawasan penelitian adalah DAS Ciliwung & DKI Jakarta merupakan zona hujan tipe Monsoon , membedakan ketiga tipe hujan tsb: distribusi hujan sepanjang tahun (lihat Gambar 2.1). Zona tipe Monsoon adalah curah hujan yang terkonsentrasi pada musim basah dan pada musim kemarau relatif di bawah 100 mm/bulan. Sedangkan zona tipe equatorial relatif hujan sepanjang tahun dimana curah hujan pada musim kemarau di atas 100 mm/bulan.
Gambar 2.1 Zona Penelitian DAS Ciliwung -Bopuncur dan Urban Metropolitan Jakarta
2.2. Rezim Siklus Hidrologi Ilmu hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pergerakan air di muka bumi baik kualitas dan kuantitas dalam ruang dan waktu. Fenomena banjir dan kekeringan merupakan fenomena siklus hidrologi. Pergerakan
Air
dalam runag & waktu selayaknya diteliti dengan kaidah-kaidah
hidrologi tunduk pada hukum kekekalan masa dan momentum ,hal ini mengantar para ahli manajemen air & konservasi pada visi & misi pembangunan infrastruktur sumber daya air berkelanjutan. Visi sumber air adalah sumber daya alam dapat diperbaharui melalui siklus hidrologi yang dipengaruhi oleh perubahan iklim
& tutupan lahan membentuk rezim hidrologi tercatat melalui
pengamatan komponen utama siklus hidrologi (Curah hujan (P) dan debit air (Q)) dimana karakternya acak dan stokastik, sedangkan pembuangan air dari daratan ke laut(tergantung pasut laut) kemiringan landai merupakan fenomena deterministik.
pada
Gambar 2.1 Iklim Hujan di Wilayah Indonesia (Diah 2010) Hujan di nusantara diklasifikasikan menjadi 3(tiga )tipe zona Hujan, yakni : zona hujan tipe monsoon, Zona hujan tipe equatorial dan zona hujan tipe lokal. Membedakan ketiga tipe hujan tsb: distribusi hujan sepanjang tahun (lihat Gambar 2.1). Zona tipe Monsoon adalah curah hujan yang terkonsentrasi pada musim basah dan pada musim kemarau relatif di bawah 100 mm/bulan. Sedangkan zona tipe equatorial relatif hujan sepanjang tahun dimana curah hujan pada musim kemarau di atas 100 mm/bulan. Mengacu pada one watershed one management, para ahli berkepentingan untuk membagi fungsi ruang hidrologi menjadi dua kawasan utama yaitu kawasan konservasi dan kawasan kerja sebagai upaya menjamin kelangsungan sumber-sumber air serta mengendalikan limpasan air permukaan terhadap ancaman banjir di kawasan hilir, seperti Kawasan konservasi air & tanah Bopuncur (Keppres Bopunjur No 114 /1999 Pasal 3). Berdasarkan karakteristik hidrologis, kawasan konservasi air merupakan pemasok sumber air untuk daerah di bawahnya, dengan ciri-ciri: curah hujan relatif tinggi, batuan relatif muda, morfologi bergelombang halus/kasar, rentan terhadap erosi dan longsor sehingga ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah seperti halnya kawasan Bopuncur (Keppres No.114 tahun 1999).
Gamb 2.2. Watershed Model Statistical Hydrology (Nicco Plamonia 2010 Mod .Sabar A, 2009) 2.2. DAS Ciliwung Hulu-Bopuncur Berdasarkan karakteristik hidrologis, kawasan konservasi air & tanah merupakan pengendalian Banjir & pemasok sumber air untuk daerah di bawahnya, dengan ciri-ciri: curah hujan relatif tinggi, batuan relatif muda, morfologi bergelombang halus/kasar, rentan terhadap erosi dan longsor sehingga ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah seperti halnya kawasan Bopuncur (Keppres No.114 tahun 1999).
Gambar 2.3. DAS Ciliwung Hulu- Bopuncur
2.3. Data Historikal Hidrologi DAS Ciliwung Pengaruh pemanasan global dan faktor regional seperti perubahan temperatur di Samudera Pasifik dan faktor lokal seperti perambahan hutan/konversi lahan terbangun, berpengaruh terhadap komponenkomponen hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q) dan Sea water level . Pengaruh-pengaruh tersebut tercatat melalui pos-pos pengamatan komponen siklus hidrologi dan pos observasi muka laut. Dari arsip data hidrologi sebagai input, dapat dianalisa fenomena degradasi rezim hidrologi dengan pendekatan model hidrologi statistik dan deterministik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. Fenomena banjir dan intrusi air laut merupakan fenomena siklus hidrologi air dalam ruang dan waktu, selayaknya diteliti dengan kaidah-kaidah ilmu hidrologi. Ilmu hidrologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari pergerakan air di muka bumi baik kualitas dan kuantias dalam ruang dan waktu. Sensibilitas debit air merupakan turunan dari sensibilitas curah hujan. Hal ini menunjukkan terdapat dua fase pengaruh iklim Monsoon yaitu monsoon barat (musim penghujan) dan monsoon timur (musim kemarau) dimana curah hujan dbawah 100 mm/bulan. Sehingga konsekuensi dari pengaruh siklus hidrologi pada zona iklim monsoon pada musim kemarau, debit air didominasi aliran dasar, yakni merupakan limpasan air darat akuifer yang morfologinya terpotong (mata air dan limpasan air tanah di kiri–kanan sungai). Pada musim penghujan, debit air didominasi oleh limpasan air permukaan sedangkan aliran dasar relatif kecil (lihat Gambar 2.4). (Data Curah Hujan Jawa Barat Tahun 1950 – 2007)
Susandi. A., A. Lubis., Y. Permadhi, 2007.
Sumber: Arwin, dkk 2011
JA N
FE B
MA R
AP R
MEI
JUL
AU G
SE P
OK T
NO V
DE S
Gambar 2.4 Data Hidrologi DAS Ciliwung & Pasut 2007 di Tanjung Priok
Pengaruh iklim terhadap rezim hidrologi tercatat berturut-turut melalui pos hujan, pos duga debit air, dan pos observasi elevasi muka laut (Lihat Gamb 2.5 ). DAS HILIR
No
Sumber : Pegolahan Data. 2010
Pos Hujan Luas (Km2)
P4 CITEKO P3 EMPANG P2 DARMAGA P1 DEPOK P5 BMG Total
125.40 44.00 98.37 75.90 140.80 484.47
X
Y
Ketinggian
716363.95 701155.64 699830.27 704957.88 700373.44
9258859.58 9268016.38 9278400.51 9295562.93 9320714.16
1041.04 300.97 153.19 66.78 1.57 1563.56
(%) 0.26 0.09 0.20 0.16 0.29 1.00
25.88 9.08 20.30 15.67 29.06 100.00
DAS HULU – CASCADE HILIR No
Pos Debit
Luas (Km2) Ketinggian
Q1 KATULAMPA
125.40
Q2 SUGUTAMU
44.00
X
Y
526.049 706519.45 9265228.80 85.87
703479.34 9290671.64
Sumber : Pegolahan Data. 2010
DAS HULU – CASCADE HULU
Pos Hujan & Pos Debit Gamb 2.5. Data Pos Hidrologi DAS Ciwung Bopuncur Dari model fisik hidrologi, pada musim kemarau besaran debit air lebih dependent daripada limpasan air tanah dari akifer (mata air dan baseflow sungai): cadangan akifer maksimal pada akhir musim penghujan/awal musim kemarau. Pada periode musim kemarau tidak terjadi pengisian akuifer, cadangan air tanah menurun seiring menurunnya muka air di akuifer menuju akhir musim kemarau/awal musim penghujan). Seperti diketahui aliran limpasan air tanah ke badan air sungai dalam proses waktu, berkarakter dependent sedangkan pada musim penghujan debit air lebih independent. Ditemukan bahwa karakter sumber air, berturut-turut dari independent–dependent adalah air hujan, air permukaan air tanah, dan mata air. Sehingga pada musim penghujan besaran kejadian debit air didominasi pergaruh limpasan air hujan (independent) sedangkan pada musim kemarau didominasi dengan limpasan air tanah (dependent). 2.3. Adaptasi & Mitigasi Perubahan iklim/cuaca mempengaruhi variabel siklus hidrologi di sektor bagian atas muka tanah: terutama curah hujan (P). Setelah sampai di permukaan tanah, hujan terdistribusi, fungsi tutupan lahan terinfiltrasi dalam tanah, setelah jenuh maka terjadi limpasan air permukaan. Seiring dampak perubahan iklim terhadap komponen siklus hidrologi dan keberlanjutan sumber air, respon dilakukan dengan dua langkah utama, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi didasarkan pada ketidakpastian besaran hujan & debit air dalam proses waktu, mengantar para ahli hidrolologi dan Manajemen sumber air untuk melakukan proses penyesuaian dengan
memperhatikan resiko ekonomi fungsi infarstruktur sumber air berdasarkan pada pentingnya fungsi utilitas kawasan terbangun, dengan membangun konsep debit rencana banjir/kekeringan. Mitigasi adalah upaya mempertahankan keberlanjutan sumber air di daerah aliran sungai. Bentuk konkrit upaya mitigasi terhadap pengendalian air (kuantitas / kualitas) secara undirect: penerbitan peraturan / UU pengendalian limpasan / pencemaran air dan direct: Insentif & dissentif. Upaya ini dapat dilakukan dengan perencanaan tata ruang: seperti Keppres No.114 1999 (Kawasan Konservasi Bopuncur), UU Kehutanan No 41 tahun 1999, pengendalian pencemaran air, sbb: 1. Undirect (tak langsung): penerbitan UU dan Peraturan terkait pengendalian lingkungan air. • UUD fasal 33 ayat 3 : Air tanah dikuasai negara .... untuk kepetingan orang banyak. • UU no 7 th 2004 tentang Sumber daya air. • UU Kehutanan No.41 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 2 yang menyatakan bahwa: ‘…..luas hutan suatu DAS minimal 30% dengan sebaran yang proporsional’. • PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Pasal 8 ayat 2 Pemenrintah (pusat & daerah) menjamin Ketersediaan air baku (kuantitas & kualitas) memenuhi baku mutu air. • Keppres No. 114 tahun 1999 mengenai kawasan konservasi air dan tanah Bopuncur. 2. Direct (Langsung): Insentif dan Dissentif (pinalti, denda).
2.4. Konsep Debit Rencana Infrastruktur Sumber Air Komponen siklus hidrologi berkarakter acak (variabel acak), yakni suatu kejadian dimana besarannya tidak menentu dalam proses ruang dan waktu. Ketidakpastian komponen utama hidrologi (P,Q) terukur melalui pengamatan (pos hujan atau pos duga air), hal ini membuat para ahli meneliti perilaku debit air historikal untuk dapat mengetahui ambang batas besaran kejadian debit air masa depan. Pengendalian banjir dan kekeringan di masa depan, ditempuh dengan langkah “adaptasi”, yakni pendekatan konsep debit rencana. Hubungan keandalan keberhasilan dan periode ulang diekspresikan, sbb: (1-P)=1/R, dimana: P= keandalan /keberhasilan komponen hidrologi ( %) dan R= periode ulang kejadian.Misalnya: suplai sumber air untuk memenuhi sektor irigasi : keandalan/ keberhasilan P= 80 % maka ekivalen dengan periode Ulang (R = 100/20 = 5 thn), berarti dalam selang 100 (seratus ) tahun terjadi 20 kali dan setiap 5 tahun, terjadi satu kali nilai ambang batas dilampaui. Pengendalian banjir & kekeringan: Drainase permukiman QR= 2-15 tahun Drainase Sungai : QR =20-50 thn Drainase Rel Kereta api/ Jalan TOL: QR=50 thn Drainase bandara udara : Q R= 50 -100 tahun
Spill way waduk QR = 50 -100 thn Intake air baku untuk irigasi : QR =5 thn Intake air baku sektor DMI (Domestik, Municipality, Industri): QR= 10-20 thn. 2.5. Fungsi Hidrologi Lahan 2.5.1. Indikator Konversi Lahan Massa air adalah tetap dalam ruang hidrologi, dimana curah hujan jatuh di permukaan tanah terdistribusi menjadi : P = I+ R dimana berturut–turut P adalah curah hujan, I adalah fraksi air hujan tertahan di bawah permukaan tanah dan R adalah fraksi air hujan menjadi limpasan air permukaan. Perubahan
tutupan lahan alami (lihat Gambar 3), dari hutan berturut-turut menjadi budidaya,
permukiman pedesaan dan urban yang berdampak semakin besar R pada musim hujan dan sebaliknya I dalam tanah semakin kecil (input) sehingga penyimpanan air tanah ( S ) semakin berpengaruh pada besaran aliran air tanah (output) terutama
limpasan aliran tanah
kecil. Hal ini menyentuh
permukaan bebas (B**) seperti : mata air dan aliran dasar sungai (lihat Gambar 2.2). Dari hukum kekekalan masa air, ketersediaan sumber air sangat tergantung sejauh mana massa air hujan tersimpan menjadi cadangan air tanah (I= P-R), sehingga persamaan ketersediaan air, dapat dituliskan sebagai berikut: S = I – E – B* - B** Ketersediaan air alamiah bertahan apabila jumlah air hujan tertahan di permukaan tanah (I), lebih besar daripada evapotrapirasi potensial (E) : I > E sehingga pengendalian konversi tutupan lahan perlu lebih dicermati pada masa depan. Hujan yang jatuh di permukaan bumi relatif konstan dan tunduk pada hukum kekekalan massa air. Bila keseimbangan massa P = I+R dibuat non dimensi, maka persamaan massa air menjadi IK + C= 1 dimana IK
adalah fraksi massa air hujan yang tertahan dalam tanah selanjutnya disebut indeks
konservasi. Sedangkan C= fraksi masa air hujan menjadi limpasan air permukaan selanjut disebut C=koefisien limpasan air. Pada ekosistem alam, dari masa ke masa, tutupan lahan yang bertahan terhadap alam (iklim) adalah tanaman keras (hutan). Dengan adanya sentuhan peradaban manusia, tutupan lahan mengalami konversi lahan secara suksesif menjadi lahan budidaya, permukiman dan urban, diekspresikan sebagai IkC (indeks konservasi aktual). Tabel 2.1 Indeks Konservasi tutupan lahan No
Kualitas lahan
1 2 3 4
Hutan Budidaya Pemukimandesa Urban Metro
Indeks Konservasi (IKAIKc) 0,8-0,9 0,4-0,5 0.5-0,6 0,0-01
Perambahan hutan alam (IkA) menjadi budidaya pertanian, permukiman dan urban metropolitan (IKc) menimbulkan degradasi penyimpanan air (tersimpan air hujan) di bawah permukaan tanah seperti diperlihatkan pada tabel 2.1. Selanjutnaya IK digunakan sebagai instrumen pengendalian konversi lahan di kawasan konservasi air (Keppres No 114 Kawasan konservasi Bopuncur).
2.5.2. Indeks Konservasi Indeks konservasi alami (IKA) digunakan sebagai indikantor konversi lahan, yaitu suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan yang alami pada suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebelum ada sentuhan peradaban manusia. Sedangkan Indeks Konservasi Aktual (IKC), yaitu suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan lahan yang terkonversi oleh kegiatan manusia (aktual) pada suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah (Keppres 114/99). Indeks konservasi pada persamaan tersebut, dibedakan menjadi IKA dan IKC,yaitu :
IK A F (YA ) IK C F (YC ) Dimana :YA = f (curah hujan, jenis batuan, jenis tanah, morfologi & topografi) YC = f (curah hujan,jenis batuan, jenis tanah, morfologi&topografi,tutupan lahan)
YA aX 1 bX 2 cX 3 dX 4 E a = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34) b = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34) c = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34) d = ( 12, 13, 14, 23, 24, 34) R =1-E dimana : YA= variabel besaran konservasi alami X1= variabel hujan X2 = variabel batuan X3 = variabel jenis tanah X4 = variabel morfologi dan topografi a,b,c,d = koefisien partial ketergantungan korelasi antar variabel 12 = koefisien korelasi antar variabel E = faktor koreksi R= koefisien determinasi (0,5 < R <1)
Evaluasi kondisi pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan dapat dilihat dari perbandingan nilai IKC dan nilai IKA yang dapat dibedakan seperti pada tabel 2.2. Nilai ini digunakan sebagai pedoman dalam pengendalian pemanfaatan ruang, maka dilakukan proses diskretisasi variabel–variabel yang mempengaruhi dari indeks konservasi. Nilai ini dapat dibagi tiga kelas atau lima kelas. Apabila dalam evaluasi suatu kawasan ternyata terdapat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (IKC < IKA) maka terdapat beberapa upaya untuk merehabilitasi fungsi konservasi agar (IKC+Ik) = IKA, upaya memperbaiki dengan Ik yaitu dapat dilakukan dengan pendekatan vegetatif dan non vegetatif (rekayasa teknologi). Tabel 2.2 Indeks Konservasi Lahan Indeks Konservasi
Fungsi Lahan
IKC + Ik = IKA
Sustainability
IKC < IKA
Unsustainability
Keberhasilan pengendalian air keberlanjutan air di DAS tercapai apabila IkC +k = IkA dengan demikian win-win solution dapat tercapai antara kepentingan kawasan hulu dan kawasan hilir. Sedangkan pengendalian kawasan lahan terbangun dapat dilaksanakan dengan pengendalian fungsi hidrologi lahan (IK): antara lain pengendalian luas bangunan terbangun (BCR) dan dengan vegetatif dan non vegetative (rekayasa engineering). Upaya rekayasa engineering, antara lain: sumur resapan, waduk resapan dan
drainase lingkungan. Ide paling sederhana dalam konservasi di lahan
terbangun disebut zero limpasan. Zero limpasan adalah suatu upaya konservasi di lahan terbangun dengan mengendalikan limpasan air hujan dalam suatu persil atau kawasan supaya tidak ada air hujan yang melimpas keluar.
2.6. Skenario Simulasi Rambatan Banjir di Pantura Jakarta 2.6.1.Boundary Condition Banjir 2007 Untuk mengetahui pengaruh iklim dan perubahan garis pantai, mana yang lebih dominan terhadap fenomena banjir di pesisir pantura Jakarta, perlu dilakukan simulasi aliran permukaan bebas dengan kiriman banjir dari hulu DAS Ciliwung Hulu-Bopuncur yakni pos Sugutamu -Depok pada kejadian banjir dan fluktuasi muka laut Jakarta Febuari 2007. Model deterministik aliran permukaan bebas diterapkan di DAS Ciliwung dan pesisir Pantura Jakarta (Lihat Gamb 2.6 & 2.7)
1991
2003
2010
2015(RTRW)
Gamb.2.6: Posisis Grid 37.5 Km ( point Djakarta Loyd), Grid 39 Km (point Sunda Kelapa) ,Grid 40 Km (point Pantai Mutiara)
Gamb 2.7 Batas Hulu (DPU Pemda DKI & Batas Hilir (Dishidros, 2007) 2.6.2.Skenario Simulasi Model Gelombang Banjir di Pesisir Pantura Simulasi Boundary condi tion Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 1991 (Tanpa Reklamasi) Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai 2010 Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2015 Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2010 + SLR 5 Tahun Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2010 + SLR 50 Tahun Simulasi Boundary condition Banjir 2007 & Garis Pantai Jakarta 2015 Tanpa Kenaikan Muka Laut
III. Hasil & Pembahasan 3.1. Perubahan bidang batas di DAS Ciliwung-Bopuncur 3.1.1 Ekstrimitas Hujan Dari hasil analisis data harian maksimum historik, Pengaruh ilim terhadap kurva intesitas hujan (IDF) semakin ekstrim (Gambar 3.1) . Selain itu, hujan wilayah di DAS Ciliwung hulu pada musim
kemarau diketahui bahwa curah hujan wilayah semakin menurun pada bulan Agustus dan September dan sebaliknya musim penghujan hujan wilayah semakin tinggi pada bulan Februari (Gambar 3.2). Pengaruh perubahan iklim dan konversi lahan di DAS Ciliwung diteliti dengan penelusuran debit rata-rata 5 tahunan pada pos duga air Sugutamu. Dari tahun 1982-2007 menunjukkan pada musim hujan semakin besar debit air mengalir ke Jakarta sebaliknya musim kemarau semakin kecil.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Hujan Harian Maksimum Tergambar dalam Kurva IDF 120 100 80 60 40 20
(Tjasyono, B., & Gerwono, R., 2008)
Sumber: Susandi dkk, 2007
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
0 1987
Cu ra h Huja n Haria n Mak si mu m (mm/ha ri)
Curah Hujan Harian Maksimum Pos Hujan ITB 1987-2007 140
Tahun
89
Gamb 3.1: Ekstrimitas Kurva Intesitas hujan(IDF) insfrastrukur Drainase
. Gamb 3.2 Tendesi Hujan Wilayah 5 tahun di DAS Ciliwung-Bopuncur
Hasil analisa Intensitas hujan (IDF) dan konversi lahan semakin tinggi dan juga pengolahan data hujan wilayah di DAS Ciliwung Bopunjur ,dengan metoda moving average 5 tahunan, didapatkan bahwa hujan wilayah ekstrim pada bulan Februari semakin membesar sedangkan debit minimum didapatkan pada bulan Agustus dan September (Gamb 3.2). Pengaruh perubahan Iklim & tutupa lahan Pada musim penghujan, debit banjir Sungai Ciliwung Hulu-Bopuncur-Pos duga air Sugutamu semakin tinggi seiring 3.1.2. Ekstrimitas debit Rencana Banjir/kering DAS Ciliwung Hulu -Bopuncur Disamping pengaruh perubahan Iklim terhadap ekstrimitas hujan( Gambar 3.1. & Gambar 3.2) juga
dan
Konversi lahan sukseksif dari hutan menjadi lahan budidaya dan pemukiman( Gamb. 3.3.)
mempengaruhi limpasan air permukaan di sungai Ciliwung Hulu- Bopuncur.
Berdasarkan analisa
statistik data komponen hujan dan debit air data historikal , diperoleh bahwa koefisien air limpasan selama 30 tahun di DAS Ciliwung cenderung meningkat(lihat Gambar 3.4). Kenaikan koefisien limpasan berarti air yang jatuh di permukaan tanah akan semakin banyak menjadi limpasan daripada yang terinfiltrasi(teresimpan ) ke dalam tanah (Ik= 1- C) sehingga aliran dasar ( base flow)semakin kering ( lihat Gambar 3.4)
20.87 % 19.05 %
18.75 %
25.74%
26.86%
23.35% 19.67% 10.75 % 8.67 % 8.68%
38.78 % 33.54%
36.01%
26.3% 21.92 % 16.11% 10.35 %
25.52 %
9.85 %
9.45 %
6.1%
0.14%
23.11 % 20.91 %
19.98 %
0.14% 18.87 %
0.14%
0.14%
0.14%
Gamb 3.3 Laju Konversi Lahan di DAS Ciliwung Bopuncur (1990-2003)
Rainfall Area Ciliwung Rivers 4000 3500
1,0
Curah Hujan (mm/tahun)
Koefesien Limpasan
Kecenderungan Nilai Koefesien Limpasan Sugutamu C-1 Tahun (1979-2009)
0,9 0,8 0,7
y = 0,019x - 37,92 R² = 0,931
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1
3000 2500 y = ‐1.401x + 5768. R² = 0.81
2000 1500 1000
Linear ()
500
0,0 1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009 Tahun
0 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009
Perubahan Baseflow (b) (1979‐2009) 3,5 3
m3/s
2,5 2
DAS HULU – CASCADE HILIR
1,5 1
Baseflow
y = ‐0,039x + 3,083 R² = 0,948
0,5 0 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
Arwin ,Nico ,2010
71
Gambar 3.4 Degradasi Lahan & aliran dasar di DAS Ciliwung –Bopuncur Ekstrimitas debit air di dua pos debit Katulampa & Sugutamu cenderung meningkat terutama pos Sugutamu, menunjukan adanya peningkatan yang tajam. Debit ekstrim minimum di Pos Katulampa, Kp. Kelapa dan Ratujaya menunjukkan penurunan kecuali di Pos Sugutamu terlihat ada peningkatan sedikit karena posisi pos di komplek perindustrian wilayah Depok yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan debit. Hasil selengkapnya peningkatan debit air ekstrim rata-rata 5 tahunan ditunjukkan pada Gamb. 3.5 . Perubahan watak aliran di pos Sugutamu ditandai dengan semakin menurunnya aliran dasar (baseflow) sebagai pengaruh ekstrimitas hujan &
degradasi fungsi hidrologi lahan di DAS
Ciliwung Hulu –Bopunjur. Sensibilitas watak aliran selama 30 tahun terakhir (1979-2009) menunjukan terjadinya ekstrimitas debit aliran, hal ini tercatat di pos Duga Sugutamu
dimana debit rencana
basah/kering semakin ekstrim (Gambar 3.6).
Trend Debit Maksimum Harian Rata‐rata
Trend Debit Minimum Harian Rata‐ rata
Gambar 3.5 Ekstrimitas Debit Air Rata-rata 5 tahun di DAS Hulu Ciliwung Bopuncur (1979-2009)
4,20E‐07 0,000002 0,000002 0,000001 0,000001 0,000000 0 1979‐1983
1984‐1989
1990‐1994
1995‐1999
2000‐2005
2005‐2009
Periode 5 Tahun
Debit Minimum(m^3/detik)/Luas Lahan(A)
Debit Maksimum Harian/Luas Lahan(A)
Degradasi debit rencana kering R‐10 di DAS Ciliwung Bopuncur
Degradasi Debit Rencana Banjir R‐5 DAS Ciliwung Bopuncur 0,000003
4,15E‐07 4,10E‐07 4,05E‐07 4,00E‐07 3,95E‐07 3,90E‐07 3,85E‐07 3,80E‐07 3,75E‐07 3,70E‐07
Peningkatan Debit Banjir oleh Konversi Lahan
1979‐1989
1990‐1999
2000‐2009
Gamb 3.6 Ekrimitas Debit Rencana Basah/Kering di DAS Ciliwung Bopuncur] Terjadi penurunan ambang batas debit rencana kering harian R-10 untuk Air baku di Pos Sugutamu Ciliwung • Debit Kering (1979-1989) 200,74 L/detik • Debit Kering (1990-1999) 190,50 L/det • Debit Kering(1999-2009)187,91 L/det Sedangkan debit rencana banjir R-5 dari DAS Ciliwung kepesisir Jakarta meningkat: • Debit Banjir (1979-1983) 484,5 M3/det • Debit Banjir (1984-1989) 510,9 M3/det • Debit Banjir (1990-1994) 635,4 M3/det • Debit Banjir (1995-1999) 716,2 M3/det • Debit Banjir (2000-2004) 600,3 M3/det • DebitBanjir (2005-2009) 1117,2 M3/det Debit rencana banjir R-5 kurun waktu 1979 s/d 1999 terus meningkat, kecuali periode 2000-2004, tendesi menurun dengan terbitnya Keppres 114 tahun 1999 dan seterusnya menaik tajam pada periode 2005 -2009.
3.2. Perubahan Bidang Batas di Hilir Pantura Jakarta 3.2.1. Kenaikan Muka air Laut Naiknya muka air laut rata-rata dipengaruhi oleh perubahan iklim, akibat adanya fenomena pemanasan global yang memberikan dampak cukup serius bagi iklim dunia. Salah satu dari dampak pemanasan global adalah mencairnya lempeng es di Antartika, Greenland dan gletser di benua. Pencairan es ini menyebabkan kenaikan muka laut. Peningkatan muka laut (sea level rise/SLR) di Teluk Jakarta diketahui sebesar 0,575 cm/tahun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Kenaikan Muka Laut Rata-rata (Nicco Plamonia, 2010) 3.2.2. Penurunan Muka Tanah di Pantura Jakarta Laju penurunan muka tanah rata-rata dari tahun 1985-2010 untuk Kecamatan Penjaringan sebesar -4.866 cm/th, Kecamatan Pademangan sebesar -4.157 cm/th, Kecamatan Tanjung Priok sebesar -3.49 cm/th, Kecamatan Koja sebesar -3.162 cm/th, dan Kecamatan Cilincing -2.65 cm/th. (Gamabr 3.8) Kecamatan Penjaringan memiliki laju penurunan muka tanah tertinggi hal ini mengakibatkan tingginya genangan air ( Banjir & Rob) di wilayah Kecamatan Penjaringan pada saat banjir dapat mencapai 3-9 m (Posko Banjir Jakarta Utara, 2007). Laju subsidens permukaan tanah di pesisir pantura Jakarta dari 1985 s/d 2010 (Bappedal & Dinas PU Jakarta ) menggunakan intrumen statistik dari data time series, diperoleh penurunan muka tanah berturut-turut di kacamatan Penjaringan - 4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok 3,49 cm/thn, Koja 3,16 cm/thn dan Cilincing 2,65 cm/thn. PENURUNAN MUKAtanah TANAH JAKARTA UTARA C. Identifikasi Penurunan muka jakarta 0 1980
1985
1990
Sumber data :
1995
2000
2005
2010
2015
2020
‐20
Data
Panjang Data
Pengolahan data,2010 Sumber Data
Servey Levelling
1982‐1991
Servey Levelling
1997
Dinas Pemetaan dan Pengukuran Tanah Dinas Pertambangan dan Energi DKI Jakarta
‐40
‐60
‐80
GPS Survey
1991 ‐ 2005
Bench Mark
1982 ‐ 1999
‐100 Proses
Abidin,2007 dalam Endang,2008
5 Priyambodo,2005 dalam Endang,2008 R² = 0,997
y = ‐2,652x + 5243,
pengolahan data :
4 1
‐120
‐140
Data ketinggian Muka tanah 1982,1991,dan 1997
4 2
Hitung Selisih 1982 – 1991 1991-1997 1982-1997
3
5
Trend Penurunan Muka Tanah (cm/th) 1982 – 1991 1991-1997 1982-1997
3
1 2 y = ‐4,866x + 9644, R² = 0,995
y = ‐3,162x + 6263, R² = 0,996
y = ‐3,492x + 6921, R² = 0,999
y = ‐4,157x + 8244, R² = 0,999
‐160
‐180
Data Penurunan Muka Tanah 1997-2010 Kec.Tanjung Priok
Pilih Kesamaan Titik Lokasi Kec. Pademangan
Kec. Cilincing
Linear (Kec.Tanjung Priok)
Linear (Kec. koja)
Linear (Kec. Cilincing)
Trend Penurunan Muka Tanah 1982-2010 Kec. Penjaringan
Kec. koja
Linear (Kec. Pademangan)
Linear (Kec. Penjaringan)
Gamb. 3.8. Laju penurunan tanah diPantura Jakarta (Nicco Plamonia, 2010)
3.2.3.Laju Reklamasi Pantura Laju atau trend kenaikan muka laut yang diperoleh dari model regresi linear satu peubah adalah 0.572 cm per tahun dengan selang kepercayaan 95%. Batas minimum trend adalah 0,4921 cm per tahun dan batas maksimum trend adalah 0,6488 cm pertahun dengan simpangan baku 5,788. Koefisien korelasi merupakan suatu indikator yang menunjukan kelinearan antara peubah tinggi muka laut dan tahun pengamatan. Koefisien korelasi hasil perhitungan sebesar 0.8837, maka dapat dikatakan bahwa 88% variasi tinggi muka laut disebabkan oleh korelasi linear tahun pengamatan. Dari overlay peta upaya pemberdayaan lahan dipesisir pantura Jakarta, didapatkan penambahan daratan seluas 458,6 Ha (rentang tahun 2000 – 2010) dan rencana reklamasi Pantura RTRW 2015 dengan lebar 2-2,5 km seluas 2700,7 ha (Lihat Tabel 3.1,Gambar 3.9 dan Gambar 3.10 )
Peta Perubahan Garis Pantai 1991 - 2015 Garis Pantai 1991 Garis Pantai 2003 Garis Pantai 2010 Garis Pantai 2015 Ellipsoid Projection Coord. System
: WGS 84 : UTM : UTM Zone 48 Southern
SUMBER : PENGOLAHAN DATA,2010
Dibuat Oleh : Nicco Plamonia 25308025 Pembimbing : Prof.Dr.Ir. Arwin Sabar,MS,DEA
Reklamasi 1991 - 2003 Reklamasi 2000- 2010 Reklamasi 2000- 2015
Magister Teknik Lingkungan Program Studi Teknik Lingkungan 37 Fakultas Teknis Sipil & Lingkungan
Gamb 3.9 :Perubahan Garis Pantura di teluk Jakarta
END
1991
2003
2010
2015 RTRWN
Kamal Muara sampai Sunda kelapa terjadi penambahan daratan kedalaman, 8 m dan lebar 2,5 km maka penambahan luas lahan Jakarta mencapai Ancol dan Kapuk Naga Indah sudah mencapai 2.5 km, 457,68 Ha (Pengolahan Data,2010) Rencana Pengembangan dilakukan 2000-2015 2.700 Ha.
30
Gamb 3.10. Garis Pantai 1991,2003, 2010 dan 2015, Kec Penyaringan Citra Satelit (Nicco Plamonia, 2010) Tabel 3.1 Laju Reklamasi Pantura 2003, 2007 /2010dan Reklamasi RTRW 2015 1991‐2003 Luas (km^2) Perimeter (km) Penjaringan 0.624 8.644 0.4762 4.45 0.3507 2.808 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Pademangan 0.01451 0.8728 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tanjung Priok 0 0 Koja 0 0 Cilincing 0.5104 5.67 0 0 0 0 0 0 km^2 1.97581 22.4448 ha 197.581 2244.48
2000 ‐ 2010 Luas (km^2) Perimeter (km) 0.5405 5.478 0.7834 2.578 0.0731 3.174 0.0117 0.4691 0 0 0 0 0.1329 2.362 0.5287 3.112 0.2917 0.2487 0.2099 2.103 0.2145 0.9333 0.3146 0.09246 0.8248 1.282 0.1208 1.843 0.33 0.2498 0.1208 1.843 0 0 0 0 0.006713 0.4278 0.02772 1.683 0.05442 4.583 0 0 4.586253 32.46216 458.6253 3246.216
2000 ‐ 2015 Luas (km^2) Perimeter (km) 1.032 2.826 1.059 2.9855 1.817 3.7235 2.03 3.914 1.649 6.035 4.39095 6.199 0 0 0 0 4.2285 9.485 4.9155 7.745 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.193 5.33 4.7625 16.57 0 0 0 0 0 0 27.07745 64.813 2707.745 6481.3
Sumber Nicco Plamonia, 2010) 3.3. Simulasi Sensibilitas Muka Banjir & Kecepatan Gelombang Banjir di pantura Jakarta Laju Reklamasi (1991, 2010 & 2015) vs naiknya muka air laut (5,50 thn) Kondisi garis pantai 2010 (luas reklamasi 458,7 Ha) meningkatkan rata-rata ketinggian muka air sekitar 3.6 % - 43.16 % atau sekitar 0.02 – 0.95 m pada grid point pantai Mutiara (40.5 km) dari saluran pada garis pantai 1991. Profil muka air di muara lama pantai Mutiara (40,5 Km) menjadi meningkat dan tinggi puncak gelombang banjir pada kondisi reklamasi semakin tinggi daripada sebelum terjadi reklamasi (1991). Hal ini disebabkan karena aliran melambat sehingga memerlukan waktu yang lama
untuk membuang air dari daratan ke laut. Berdasarkan hasil simulasi, perlambatan kecepatan berkisar antara 0 % - 15.63 % atau sekitar 0.00 – 0.05 m /det dari kecepatan pada saat garis pantai masih sama dengan kondisi garis pantai 1991. Hal ini yang dapat meningkatkan banjir dan genangan di pesisir
A
B
Gambar 3.11. Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A), dan Kecepatan Aliran di Grid 37.5 Km point Djakarta Loyd (B)
A
B
Gambar 3.12.Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A),dan Kecepatan Aliran di Grid 39 Km point Sunda Kelapa ( B)
A
B
Gambar 3.13. Simulasi Sensitifitas Tinggi Muka Air (A) dan Kecepatan Aliran di Grid 40 Km point Pantai Mutiara(B)
Semakin panjang penambahan profil sungai ke arah laut, maka semakin menghambat pembuangan air ke laut dan semakin meningkatkan banjir dan genangan di kawasan pesisir. Laju reklamasi thn 2010 seluas 458,6 ha ditambah Sea Level Rise 5 Tahun meningkatkan taraf rata-rata muka air 41% - 60.79% sekitar 0.23 m – 1.34 m dan perlambatan kecepatan pada tahun 2015 sekitar 50 % 57.81 % (0.01 m/detik – 0.19 m/detik). Laju Reklamasi thn 2010( reklamasi 458,7 ha) ditambah Sea Level Rise 50 tahun ditambah pengaruh kenaikan muka laut 5 tahun meningkatkan taraf muka air 46.57 % - 60.79 % sekitar 0.26 m – 1.39 m dan perlambatan kecepatan sekitar 66.67 % - 71.88 % atau 0.01 m/detik – 0.23 m/detik. Bila reklamasi diteruskan 2015 seluas 2707 ha akan meningkatkan taraf muka air 0.32 m sampai dengan 1.54 m sekitar 56.47 % - 70.0 % dan perlambatan kecepatan 0.01 m/detik – 0.25 m/detik sekitar 75 % sampai 78.9 Tabel 4.1.Simulasi level banjir pengaruh reklamasi vs naiknya muka air laut Tinggi Muka Air Pada Saat Pasang Maksimum (Time Step Ke 6) Selisih 37.5 Km
Perubahan
∆37.5 Km ∆39 Km ∆40.5 Km 39 Km 40.5 Km 37.5 Km 39 Km 40.5 Km (Djakarta Loyd) (Sunda Kelapa) (Pantai Mutiara)
Garis Pantai 1991
Garis Pantai 2010
Selisih
%
%
%
Perubahan
1.93
1.39
0.56
3.26
0.72
0.67
1.33
‐0.68
0.11
69.21 ‐48.58 20.06
4.86
3.99
2.20
6.10
1.26
3.42
1.24
‐2.72
1.22
25.42 ‐68.37 55.28
Garis Pantai 1991
Garis Pantai 2010 + SLR 5
Selisih
Perubahan
1.93
1.39
0.56
3.31
1.02
0.80
1.39
‐0.37
0.23
71.98 ‐26.72 41.64
4.86
3.99
2.20
6.52
1.68
3.54
1.66
‐2.30
1.34
34.09 ‐57.83 60.79
Garis Pantai 1991
Garis Pantai 2010 + SLR 50
Selisih
Perubahan
1.93
1.39
0.56
3.37
1.06
0.82
1.44
‐0.33
0.26
74.66 ‐23.90 46.57
4.86
3.99
2.20
6.63
1.77
3.59
1.76
‐2.22
1.39
36.27 ‐55.65 63.16
Garis Pantai 1991
Garis Pantai 2015
Selisih
Persen Perubahan
1.93
1.39
0.56
3.42
1.14
0.88
1.65
‐0.25
0.32
86.18 ‐18.06 56.47
4.86
3.99
2.20
2.05
1.95
3.74
2.01
‐2.04
1.54
57.78 ‐51.19 70.00
Temuan-temuan penting yang diperoleh terhadap penelitian degradasi infrastruktur SDA di kawasan pesisir Pantura Jakarta- DAS Ciliwung, sebagai berikut: a) Semakin meluasnya genangan di pesisir pantura Jakarta, disebabkan oleh:
Pengaruh Iklim
dan Konversi Lahan dari Forested Land Cover ke Urbanized Land Cover
berdampak pada degradasi debit rencana. Dari DAS Ciliwung Hulu di pos Sugutamu (1979-2010), ditemukan parameter statistik data debit berubah menuju ekstrim F (,). Debit banjir rencana 5 tahunan semakin meningkat: QR5 = (484,5-1117,2) m3/det. Hal ini mengancam pesisir pantura Jakarta , kemiringan sungai relatif landai sedangkan kiriman air dari DAS Ciliwung hulu-Bopuncur
keandalan air baku minum semakin turun QR10 = ( 200,7-187,9 Lps), terjadi degradasi keandalan pasokan air baku.
Laju subsindens permukaan tanah di pesisir pantura Jakarta dari 1985 sd 2010 ditemukan penurunan muka tanah (seiring laju exploatasi air tanah), paling parah berturut-turut di kacamatan Penyaringan -4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok 3,49 cm/thn, Koja 3,16 cm/thn dan Cilincing 2,65 cm/thn
Perbandingan
laju
reklamasi berturut–turut 457,68 Ha (2010) dan 2707 ha (RTRW 2015).
Simulasi gelombang banjir dengan laju reklamasi pantai 2010 sensibiltas kenaikan tinggi muka banjir terletak di antara (0.02–0,95) m. Sedangkan simulasi gelombang banjir dengan laju reklamasi 2010 & ditambah kenaikan muka laut berturut –turut 5 tahun dan 50 tahun, kenaikan tinggi muka banjir berturut-turut naik sekitar (0.23 – 1.34 ) m dan (0.26–1,39 ) m. b) Simulasi gelombang tinggi muka banjir dengan laju reklamasi dibandingkan kenaikan muka air laut, di pesisir Pantura Jakarta, sbb:
Skenario laju reklamasi (2707 ha) sesuai RTRW 2015 tanpa memperhitungkan kenaikan muka air laut, diperoleh kenaikan muka air banjir maksimum lebih tinggi dibanding reklamasi 2010 ( 458 ha) dengan kenaikan SLR 50 tahun kedepan .
Dengan kata lain, skenario reklamasi RTRW 2015 ( 2707 Ha) kenaikan muka banjir naik 70 % dari muka air banjir tanpa reklamasi (1991) sedangkan skenario reklamasi (458 ha) tahun 2010 + SLR 50 tahun kenaikan muka banjir naik 63,16 % dari muka banjir tanpa reklamasi (1991).
Bila rencana reklamasi diteruskan sesuai RTRW 2015 (2707 ha) dan memperhitungkan kenaikan muka air laut maka tinggi muka air banjir semakin parah sebagai dampak kecepatan gelombang banjir semakin lambat.
c)
Bila degradasi rezim hidrologi berlangsung terus: degradasi lahan di DAS Hulu (debit banjir R-5 meningkat non linier) dan degradasi di hilir teluk Jakarta: kenaikan muka laut & laju reklamasi berlangsung terus dan exploitasi air tanah tidak dihentikan, maka Jakarta semakin rentan terhadap banjir pada musim ekstrim basah & Rob dan pantura Jakarta semakin ternggelam rentang dua dekade mendatang.
d)
Laju intrusi air laut semakin merambat ke daratan, disebabkan oleh perbedaan muka air statis antara muka air laut dan muka air tanah semakin tinggi sehingga vektor kecepatan rambatan air laut ke daratan semakin besar, dimana:
Kenaikan muka air laut 0,575 mm/tahun.
Exploitasi air tanah berlebihan semakin turun permukaan air tanah.
Imbuhan air aquifer dari daerah tanggapan semakin kecil (Ik = 1- C).
Debit rencana kering semakin kecil dari DAS ciliwung Hulu (Bopunjur).
Ancaman rob semakin parah seiring dengan semakin tingginya muka air laut ( Gambar 3.7 dan Gambar 3.8) dan laju subsidence sepanjang pesisir pantura, berturut-turut Pesisir Pantura, Jakarta Barat, Tengah dan Timur (lihat Gamb 3.8). Laju subsindens permukaan tanah di pesisir pantura Jakarta (1985 sd 2010) penurunan muka tanah
berturut-turut di kacamatan
Penyaringan-4,87 cm/thn, Pademangan -4,16 cm/thn, Tanjung Priok -3,49 cm/thn, Koja -3,16 cm/thn dan Cilincing -2,65 cm/thn
IV.Kesimpulan & Saran. 1. Perubahan Iklim pengaruhnya drainase, genangan banjir semakin meluas: terjadi ekstrimitas intensitas hujan (IDF) dan waktu pemusatan air semakin lbh cepat (time concentration), diperburuk terjadinya subsidence muka tanah (eksploatasi air tanah) sedangkan muka air di sungai semakin ekstrim akibat pengaruh perubahan iklim pd bidang batas hilir dan hulu sungai: berturut-turut naik muka air laut bidang & ekstrimitas hujan kurva banjir meningkat , sehingga ulit air dari daratan membuang kelaut, dampaknya semakin luas genangan banjir kawasan pesisir Metropolitan Jakarta, diperburuk konversi lahan (Urbanized Land cover) di hilir (reklamasi) dan hulu (real estate,perumahan dll) 2. Solusi pendekatan pembangunan “Drainase Eco Friendly” , Rehabitasi infrastruktur drainase dikombinasikan dengan drainase berwawasan lingkungan, yakni menahan air selama mungkin daratan (artificial recharge ,RHT, polder, waduk resapan), serta implementasi pengendalian air di kawasan konservasi air & tanah di DAS Ciliwung Bopunjur (Keppres 114 thn 1999) dengan solusi zero limpasan
dan
perlu dikembangkan kawasan konservasi Air & tanah untuk DAS Hulu lainnya
bermuara di teluk Jakarta, yang semakin mengancam meluas genangan banjir di Jakarta (Ekstrimitas debit air di DAS Pasanggrahan telah mengancam degradasi infrastruktur “Spill way Situ Gintung“) dan luapan banjir di down stream DAS Pasanggrahan (kawasan permukiman ) 3. Penghentian eksploitasi air tanah dengan subtitusi pemakaian air tanah dengan sumber air permukaan dengan kebijakan peningkatan infrastruktur air minum Jakarta, antara lain: sumber air baku dari waduk Jatiluhur (Tamin, 2008). 4. Ancaman Rob dipesisir pantura Jakarta :pengaruh turunnya muka tanah &
naiknya muka air laut
dengan solusi
rencana pembangunan sistem polder lepas pantai mengalami kendala kompleks &
sangat mahal
dari segi finansial
kontruksi ,operasi dan maintenance , menyangkut
aspek
Pengendalian Air terpadu Regional (kwantitas & kualitas air) di DAS Hulu- Hilir bermuara di Teluk Jakarta meliputi 2(dua) propinsi DKI, & Jabar
Daftar Pustaka Tamin M.Zakaria Amin. 2008. Kebijakan Strategis Pengembangan Air Minum di Kawasan Andalan Kasus Jagodetabek, Peringatan Hari Air Sedunia Kerma Dirjen CK –ITB. Abidin, H.Z., Djaja, R, Darmawan, D., Songsang, R. 2000. “Studi Penurunan Tanah Di DKI Jakarta Dan Bandung Dengan Metode Survei GPS.” Proceddings of 29th Annual Convention of Indonesian Association of Geologists. Bandung, 21-22 November. Priyambodo, B. 2005. “Banjir Di Daerah Pantai Yang Mengalami Penurunan Tanah Dan Dipengarui Oleh Peningkatan Muka Air Laut.” Disertasi S3, Jurusan Teknik Sipil ITB, Pujilestari, S.E. 2008. “Dampak Perubahan Iklim, Reklamasi Dan Konversi Lahan Terhadap Rezim Hidrologi Di Kawasan Andalan (Kasus Das Ciliwung-DKI Jakarta). Thesis Magister. Program Studi Teknik Lingkungan – FTSL ITB. 2008 Nicco Plamonia. 2010. Kajian Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut, Reklamasi Pantai dan Degradasi Lahan di DAS Hulu Terhadap Banjir di pesisir Terbangun DKI Jakarta – DAS Ciliwung, Tesis Magister Teknik Teknik Lingkungan, ITB Sabar Arwin, 2009. Perubahan Iklim, Konversi Lahan dan Ancaman Banjir dan Kekeringan I Kawasan Terbangun. Pidato Ilmiah Guru Besar MGB-ITB. Sabar Arwin, 2009. Tren Global Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air yang berkelanjutan, Dalam rangka Diskusi Pakar Perumusan Kebijakan Eco-Efficient Water Infrastructure Indonesia. Direktorat Pengairan dan Irigasi, Desember. Bapenas. Sabar Arwin. 2011. Iklim, Manajemen Air dan Degradasi Infrastruktur SDA di Zona Munsoon Ihwal Pantura Metropolitan Jakarta. Seminar Pengelolaan Sungai di Perkotaan Peringkatan Hari Air Dunia KE XIX Tahun 2011 Kementrian PU Gedung Ditjen SDA. Jakarta.